Tahun Nama/Npm : Riri Suciati / 10503158 Pembimbing : Prof...
Transcript of Tahun Nama/Npm : Riri Suciati / 10503158 Pembimbing : Prof...
i
Judul : Perkembangan Moral Anak Tunggal Pada Usia 15 – 18
Tahun
Nama/Npm : Riri Suciati / 10503158
Pembimbing : Prof. Dr. A. M. Heru Basuki, Msi
ABSTRAKSI
Mengasuh, membesarkan dan mendidik anak merupakan satu tugas mulia yang tidak lepas dari berbagai halangan dan tantangan. Didalam psikologi perkembangan banyak dibicarakan bahwa dasar kepribadian seseorang terbentuk pada masa anak-anak. Proses-proses perkembangan yang terjadi dalam diri seorang anak ditambah dengan apa yang dialami dan diterima selama masa anak-anaknya secara sedikit demi sedikit memungkinkan ia tumbuh dan berkembangan menjadi manusia dewasa.
Moral adalah ajaran tentang baik buruk suatu perbuatan dan kelakuan akhlak, kewajiban, dan sebagainya. Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, serta sesuatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral juga mendasari dan mengendalikan seseorang dalam bersikap dan bertingkahlaku.
Ada tiga tingkat perkembangan moral yang berurutan, dimana setiap tingkat perkembangan moral terdiri dari dua tahap perkembangan moral. Jadi ada enam tahap perkembangan moral yaitu tahap pra-konvesional, tahap konvensional dan tahap pasca konvensional. Dikatakan juga bahwa setiap orang akan mengalami perkembangan moral secara bertahap dari tahap satu sampai dengan tahap enam. Namun tidak semua orang dapat mencapai tahap yang ke enam. Setiap perkembangan moral menunjukan arah / orientasi tertentu, individu yang berada pada tahap tertentu akan memberikan jawaban atau argumentasi yang sesuai dengan orientasinya. semakin tampak perbuatan-perbuatan moralnya yang bertanggungjawab. Semakin seseorang mendekati tahapan tersebut, semakin seseorang berada pada tahap moral yang lebih tinggi.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran dan penjelasan yang mendalam mengenai bagaimana moral dari subjek anak tunggal usia 15 – 18 tahun, mengapa moral subjek seperti itu, bagaimana moral dari subjek.
Pada penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan penelitian studi kasus karena metode kualitatif sesuai untuk digunakan pada masalah-masalah yang bertujuan untuk mengeksplorasi kehidupan seseorang atau tingkah laku seseorang dalam kehidupannya sehari-hari dan dengan menggunakan pendekatan penelitian studi kasus karena terdapat permasalahan yang kompleks pada subyek yang ingin diteliti dan dengan metode tersebut penulis
ii
mengharapkan dapat memperoleh hasil yang memuaskan tentang semua hal yang berkaitan dengan penelitian ini.
Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah seorang remaja perempuan berusia 15 - 18 tahun.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode wawancara dan observasi pada subjek dan significant other. Dalam proses wawancara dan observasi, peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara dan pedoman observasi serta alat perekam untuk membantu proses pengumpulan data.
Setelah dilakukannya penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pada kasus subjek, Subjek menilai suatu perbuatan itu baik bila ia dapat menyenangkan orang lain,itu terlihat dari subjek yang selalu mau membantu teman-temannya hanya karena subjek ingin mereka selalu menjadi temannya. Subjek melihat aturan sosial yang dan sebagai sesuatu yang harus dijaga dan dilestarikan, itu terlihat dari subjek yang sangat menjaga hubungan sosial yang subjek jalin terutama dengan teman-temannya. Sesuai dengan Adatahap kedua dari perkembangan moral yang dikemukakan oleh Lawrence E Kohlberg yaitu tahap konvensional Pada tahap ini sudah mulai terjadi internalisasi nilai moral walaupun belum sepenuhnya terinternalisasi. Individu masih menggunakan standar eksternal (hadiah atau hukuman) namun juga telah memiliki standar internal tertentu.
Kata Kunci : Konvensional, Tahap Perkembangan Moral
A. Latar Belakang Masalah
Masa remaja merupakan periode
kehidupan manusia yang selalu
menarik untuk dibahas. Dalam masa
itu berbagai masalah dan perubahan
yang serius mulai muncul. Dari yang
bersifat fisik seperti pertumbuhan
badan yang cepat (termasuk organ-
organ seksual) sampai hal-hal yang
lebih bersifat psikis seperti usaha
penemuan identitas diri, mulai timbul
aspirasi masa depan dan bahkan
kecenderungan yang bertambah untuk
berontak pada otoritas (Jerstld, Brook
dan brook, 1978). Masalah-masalah
yang ditimbulkan seringkali tidak
hanya dirasakan oleh remaja itu
sendiri tapi juga oleh orangtua dan
orang lain diluar lingkungan keluarga
juga tidak terbatas pada suatu negara
atau kebudayaan tertentu saja.
Masa remaja adalah masa transisi
atau peralihan, karena remaja belum
memperoleh status orang dewasa
tetapi tidak lagi memiliki status
kanak-kanak (Calon dalam Haditono,
dkk, 2002). Aspek perkembangan
dalam masa remaja yang secara global
iii
berlangsung antara umur 12 dan 21
tahun dengan pembagian 12-15 tahun:
masa remaja awal 15-18 tahun: masa
remaja pertengahan 18-21 tahun: masa
remaja akhir (dalam Haditono, dkk,
2002).
Keluarga merupakan suatu sistem
kesatuan yang terdiri dari ayah, ibu
serta anak yang kesemuanya saling
mempengaruhi dan dipengaruhi satu
sama lain. Keluarga juga merupakan
tempat dimana anak memperoleh
kasih sayang dan perhatian (Landis,
1997).
Suatu keluarga dikatakan sebagai
keluarga dengan anak tunggal jika
didalamnya terdiri dari orangtua (ayah
dan ibu) dengan satu orang anak
(Landis, 1997). Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Gunarsa S.D & Y.
Gunarsa D (2003), anak tunggal
dalam keluarga diartikan bahwa dalam
suatu keluarga yang terdiri dari suami
dan isteri hanya memiliki seorang
anak saja. Tapi sangat berbeda dengan
yang dikemukakan oleh Hadibroto
(2002) mengenai anak tunggal, ia
mengatakan anak bisa dikatakan
sebagai anak tunggal bila jarak antara
anak pertama dengan anak kedua
berkisar lima tahun atau lebih. Dia
terbiasa dengan fasilitas dan perhatian
yang berlimpah dari semua orang
sebelum akhirnya dia mendapatkan
adik baru makanya anak yang
mengalami situasi seperti di atas bisa
juga dikatakan sebagai anak tunggal
(Hadibroto, 2002)
Dalam teori kelekatan
(attachment) kompetensi sosial
ternyata dipengaruhi oleh pengalaman
awal kelekatan, terutama secure
attachment. Anak tunggal mempunyai
orangtua yang dapat mencurahkan
lebih banyak waktu dan memusatkan
lebih banyak perhatian pada mereka.
Anak tunggal lebih banyak bercakap-
cakap dengan orangtua mereka, lebih
banyak menghabiskan waktu berdua
dengan orangtua mereka (Falbo &
Polit, dalam Papalia & Olds 2007).
Memiliki anak tunggal bukan tanpa
tantangan. Tantangan utama adalah
perlunya keyakinan kuat untuk tidak
terpengaruh oleh pandangan-
pandangan negatif tentang anak
tunggal (Gracinia, 2004).
iv
Anak tunggal mungkin kurang
baik dalam mengembangkan perasaan
dan mengharapkan kerjasama dan
minat sosial, memiliki sifat parasit dan
mengharapkan orang lain
memanjakan dan melindunginya
(Adler dalam Awisol, 2004). Anak
tunggal cenderung memperlihatkan
tingkahlaku sosial yang negatif.
Mereka kurang menaruh rasa hormat
kepada orang yang lebih tua, tidak
mau bekerjasama, dan tidak memiliki
keterampilan untuk merawat diri
sendiri (Heng Keng, 1995). Lain
halnya dengan Falbo (dalam Berk,
1994), menyatakan bahwa anak
tunggal memperoleh skor harga diri
yang tinggi dan mempunyai motivasi
untuk berprestasi yang tinggi.
Menurut Berk (1994), bahwa anak
tunggal ditakdirkan menjadi anak
yang hanya berpusat pada dirinya
sendiri. Hal ini disebabkan karena
anak tunggal tidak mengalami
hubungan yang khas dengan saudara
kandung, baik hubungan kedekatan,
maupun hubungan konflik. Tanpa
mengalami hubungan kedekatan dan
konflik ini, anak tidak mengenal
bagaimana berhubungan dengan anak.
Seorang anak tunggal tidak atau
kurang mengalami pertentangan-
petentangan yang biasanya terjadi di
antara saudara-saudara kandung.
Perselisihan, rasa iri hati, menolong,
pendekatan pribadi yang selalu
terdapat dalam keluarga tidak pernah
dialaminya. Seolah-olah kehidupan
anak tunggal tersebut begitu
menyenangkan karena perlindungan
yang terus-menerus diberikan oleh
orang-orang dewasa yang berada
disekelilingnya. Oleh karena itulah
sering dialami adanya kelemahan
dalam hubungan antar pribadi di luar
lingkungan rumahnya. (Gunarsa S.D
& Y. Gunarsa D, 2003).
Istilah moral terlalu bebas
digunakan sehingga arti sebenarnya
seringkali tidak diperhatikan atau
diabaikan. Perilaku moral berarti
perilaku yang sesuai dengan kode
moral kelompok sosial. Moral berasal
dari kata latin mores, yang berarti tata
cara, kebiasaan, dan adat. Perilaku
moral dikendalikan konsep-konsep
moral peraturan perilaku telah
v
menjadi kebiasaan bagi anggota suatu
budaya dan yang menentukan pola
perilaku yang diharapkan dari seluruh
anggota kelompok. Perilaku tak
bermoral ialah perilaku yang tidak
sesuai dengan harapan sosial. Perilaku
demikian tidak disebabkan
ketidakacuhan akan harapan sosial
melainkan ketidaksetujuan dengan
standar sosial atau kurang adanya
perasaan wajib menyesuaikan diri.
Perilaku bermoral atau tidak bermoral
lebih disebabkan ketidakacuhan
terhadap harapan kelompok sosial
daripada pelanggaran sengaja
terhadap standar kelompok. Beberapa
diantara perilaku anak kecil lebih
bersifat bermoral daripada tidak
bermoral (Hurlock E.B, 1978).
Anak yang sudah menginjak masa
remaja membuat penilaian moral
berdasarkan equity, yaitu penetapan
hukuman berdasarkan kemampuan
individu untuk mengambil
tanggungjawab atas perilakunya.
Remaja sudah tidak lagi terpaku pada
fakta yang bersifat kongkrit tetapi
sudah mampu mempertimbangkan
berbagai kemungkinan yang ada.
Kemudian remaja juga belajar bahwa
peraturan diciptakan dan
dipertahankan berdasarkan
persetujuan sosial dan
pengaplikasikannya bersifat relatif
bagi setiap orang maupun situasi
(Rice, 1993).
Perkembangan moral remaja
banyak dipengaruhi oleh lingkungan
dimana ia hidup. Tanpa masyarakat
(lingkungan), aspek moral remaja
tidak dapat berkembang. Nilai-nilai
moral yang dimiliki remaja lebih
merupakan sesuatu yang diperoleh
dari luar. Remaja belajar dan diajar
oleh lingkungannya mengenai
bagaimana ia harus bertingkah laku
yang baik dan tingkahlaku yang
bagaimana yang dikatakan salah atau
tidak baik. Lingkungan ini dapat
berarti orangtua, saudara-saudara,
teman-teman, guru-guru dan
sebagainya (Gunarsa S.D & Y.
Gunarsa D, 2003).
Kohlberg mengajukan suatu teori
perkembangan moral. Ia mengatakan
bahwa ada tiga tingkat perkembangan
moral yang berurutan, dimana setiap
tingkat perkembangan moral terdiri
vi
dari dua tahap perkembangan moral.
Jadi ada enam tahap perkembangan
moral. Dikatakan juga bahwa setiap
orang akan mengalami perkembangan
moral secara bertahap dari tahap satu
sampai dengan tahap enam. Namun
tidak semua orang dapat mencapai
tahap yang ke enam. Kohlberg juga
menjelaskan bahwa setiap
perkembangan moral menunjukan
arah / orientasi tertentu, individu
yang berada pada tahap tertentu akan
memberikan jawaban atau
argumentasi yang sesuai dengan
orientasinya. Kohlberg menetapkan
tahapan perkembangan moral ini
dengan jalan menanyakan alasan /
argumentasi seseorang dalam
melakukan atau memilih suatu yang
dilihat oleh Kohlberg adalah
bagaimana seseorang
mempertanggung jawabkan
tindakannya. Ia juga mengatakan
bahwa semakin tinggi tingkat atau
tahap perkembangan moral seseorang,
akan semakin tampak perbuatan-
perbuatan moralnya yang
bertanggungjawab. Semakin
seseorang mendekati tahapan tersebut,
semakin seseorang berada pada tahap
moral yang lebih tinggi (dalam Monks
& dkk, 2002).
Kohlberg meneliti penilaian
moral dalam perkembangannya, jadi
apa yang dianggap baik (seharusnya
dilakukan) dan tidak baik (tidak
pantas dilakukan) oleh anak tahap
yang berbeda-beda.. Kohlberg
melukiskan perkembangan moral anak
dalam 6 tahap. Dalam tingkatan nol
anak menganggap baik apa yang
sesuai dengan permintaan dan
keinginannya. Tingkatan kedua yang
oleh Kohlberg disebut pra-
konvensional. Anak menganggap baik
atau buruk atas dasar akibat yang
ditimbulkan oleh suatu tingkahlaku:
hadiah atau hukuman (tahap 1).
Dalam tahap pra-konvensional yang
berikutnya (tahap 2) anak mengikuti
apa yang dikatakan baik atau buruk
untuk memperoleh hadiah atau
menghindari hukuman. Hal ini disebut
hedonisme instrumental. Sifat timbal
balik disini memegang peranan, tetapi
masih dalam arti ”moral balas
dendam”. Kedua tahap ini sesuai
waktu dengan tahap pra-konvensional.
vii
Kemudian tahap operasional formal
memulailah juga perkembangan moral
yang sebenarnya. Dalam hubungan ini
Kohlberg membedakan antara
tingkatan konvensional (tahap 3 dan
4) dan tingkatan pasca-konvensional
(tahap 5 dan 6). Dalam tahap 3 akan
dinilai baik apa yang dapat
menyenangkan dan disetujui oleh
orang lain dan buruk apa yang ditolak
oleh orang lain. Menjadi ”anak manis”
masih sangat penting dalam periode
ini. Dalam tahap 4 ini tumbuh
semacam kesadaran akan aturan yang
ada karena dianggap berharga tetapi
dengan belum dapat
mempertanggungjawabkan secara
pribadi. Tingkatan yang terakhir
disebut pasca-konvensional untuk
menunjukan bahwa dalam tahap
operasional formal moral akhirnya
akan berkembang sebagai pendirian
pribadi jadi lebih baik tidak
tergantung daripada pendapat-
pendapat konvensional yang ada
(dalam Monks & dkk, 2002).
Colby and Kohlberg dalam
Lickona (1976) mengatakan bahwa
individu yang berada pada tahap
tingkat konvensional (tahap 3 dan 4).
Bila dihadapkan kasus yang seperti
berikut ini : misalnya, jika sejak kecil
pada seorang anak diterapkan sebuah
nilai moral yang mengatakan bahwa
korupsi itu tidak baik. Pada masa
remaja ia akan mempertanyakan
mengapa dunia sekelilingnya
membiarkan korupsi itu tumbuh
subur. Hal ini tentu saja akan
menimbulkan konflik nilai bagi sang
remaja. Konflik nilai dalam diri
remaja ini lambat laun akan menjadi
sebuah masalah besar, jika remaja
tidak menemukan jalan keluarnya.
Kemungkinan remaja untuk tidak lagi
mempercayai nilai-nilai yang
ditanamkan oleh orangtua atau
pendidik sejak masa kanak-kanak
akan sangat besar jika orangtua atau
pendidik tidak mampu memberikan
penjelasan yang logis, apalagi jika
lingkungan sekitarnya tidak
mendukung penerapan nilai-nilai
tersebut (Papalia, D.E. & Olds, S.W.
1995).
Masalah di atas menarik peneliti
untuk meneliti perkembangan moral
anak tunggal usia 15 – 18 tahun.
viii
Dimana usia 15 – 18 tahun itu adalah
masa remaja pertengahan. Mengapa
remaja karena kehidupan moral
merupakan problematik yang pokok
dalam masa remaja (Furter, 1976
dalam Monks, 2002) problematik
anak tunggal remaja sangatlah
berbeda dengan anak remaja yang
lain.
B. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana perkembangan moral
dari anak tunggal pada usia 15 -
18 tahun?
Mengapa perkembangan moral
anak tunggal pada usia subjek
seperti itu?
Bagaimana proses perkembangan
moral dari anak tunggal pada
subjek?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari dilakukan penulisan
atau penelitian ini untuk memperoleh
gambaran dan penjelasan yang
mendalam mengenai bagaimana moral
dari anak tunggal pada usia 15 – 18
tahun, mengapa moral anak tunggal
pada usia 15 – 18 tahun seperti itu,
dan bagaimana proses perkembangan
moral dari anak tunggal pada usia 15
– 18 tahun.
D. Manfaat penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat
digunakan untuk
mengembangkan ilmu
khususnya psikologi sosial,
psikologi perkembangan
psikologi kepribadian.
Penelitian ini dapat digunakan
sebagai awal untuk penelitian
berikutnya khususnya yang
berhubungan dengan
perkembangan moral anak
tunggal pada usia 15 – 18
tahun.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan
masukan seta pemahaman
yang bermanfaat bagi yang
membaca terutama anak
tunggal pada usia 15 – 18
tahun, Penelitian ini dapat juga
ix
sebagai masukan bagi
orangtua dan pendidik untuk
dapat membantu anak-anaknya
terutama bagi anak tunggal
karena setiap anak
membutuhkan pengasuhan dan
pengarahan yang tepat dan
harmonis untuk bisa
berkembang dengan baik.
B. Tinjauan Pustaka
1. Perkembangan Moral
a. Pengertian Moral
Perkembangan moral adalah
istiadat, kebiasaan, tata cara
kehidupan yang berkaitan dengan
aturan dan konvensi tentang apa
yang seharusnya dilakukan oleh
manusia dalam berinteraksi
dengan orang lain. Berkaitan juga
dengan kemampuan seseorang
untuk membedakan antara
perbuatan yang benar dan yang
salah. Dengan demikian, moral
juga melandasi dan
mengendalikan seseorang dalam
bersikap dan bertingkahlaku.
Perilaku moral berarti perilaku
yang sesuai dengan kode moral
kelompok sosial. Jadi, suatu
tingkahlaku dikatakan bermoral
apabila tingkahlaku itu sesuai
dengan nilai-nilai moral yang
berlaku dalam kelompok sosial
dimana anak itu hidup.
b. Karakteristik
Perkembangan Moral
Karakteristik-karakteristik
dibawah ini mungkin dapat
membantu anda memahami arti
manusia yang baik (Wahyuning
W, Jash, Rachmadiana M.H,
2003), yaitu:
1) Setia, jujur dan dapat
dipercaya
2) Baik hati, penyayang, empati,
peka dan toleran
3) Pekerja keras, bertanggung
jawab dan memiliki disiplin
diri
4) Mandiri, mampu menghadapi
tekanan kelompok
5) Murah hati, memberi dan tidak
mementingkan diri sendiri
6) Memperhatikan dan memiliki
penghargaan tentang otoritas
yang sah, peraturan dan
hukum
x
7) Menghargai diri sendiri dan
hak orang lain
8) Menghargai kehidupan,
kepemilikan alam, orang yang
lebih tua dan orang tua
9) Santun dan memiliki adab
kesopanan
10) Adil dalam pekerjaan dan
permainan
11) Murah hati dan pemaaf,
mampu memahami bahwa
balas dendam tidak ada
gunanya
12) Selalu ingin melayani,
memberikan sumbangan pada
keluarga, masyarakat, negara,
agama dan sekolah
13) Pemberani
14) Tenang, damai dan tentram
Wahyuning W, Jash,
Rachmadiana M.H ( 2003)
menyusun karakteristik moral
yang bersifat umum, dan cocok
dengan tahap konvensional
berdasarkan tahapan
perkembangan moral dari
Kohlberg. Dikatakan cocok karena
karakteristik tahap konvensional
perkembangan moral dari
Kohlberg yang menyatakan
walaupun individu masih
menggunakan standar eksternal
(hadiah atau hukuman) namun
juga telah memiliki standar
internal tertentu (Lawrence E
Kohlberg dalam Monks & dkk,
2002) . Apabila dianalisis
karakteristik perilaku moral dari
Wahyuning W, Jash,
Rachmadiana M.H, ternyata
karakteristik perilaku moral
tersebut sesuai dengan standar
moral internal dari tahap
konvensional Kohlberg. Dengan
demikian karakteristik moral
Wahyuning W, Jash,
Rachmadiana M.H, tersebut dapat
digunakan untuk menggambarkan
ciri-ciri perkembangan moral
tahap konvensional.
c. Faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan Moral
Faktor keluarga
Faktor yang paling
mempengaruhi penilaian moral
adalah keluarga. Rice (1993)
menyatakan bahwa semua
xi
penelitian mengenai
perkembangan moral anak dan
remaja menekankan
pentingnya peran orang tua
dan keluarga. Terdapat
beberapa faktor keluarga yang
berhubungan secara signifikan
dengan pembelajaran moral
pada anak (Zelkowitz, 1987,
dalam Rice, 1993):
1. Tingkat kehangatan,
penerimaan dan
kepercayaan yang
ditunjukan terhadap anak.
Anak cenderung
mengagumi dan meniru
orangtua yang hangat,
sehingga menumbuhkan
sifat yang baik pada anak.
Teori differential
assosiation dari Sutherland
dan Cressey (1966, dalam
Rice, 1993) menjelaskan
bahwa prioritas, durasi,
intensitas dan frekuensi
dari hubungan orangtua
anak memfasilitasi
pembelajaran moral dan
perilaku kriminal pada
anak. Hubungan orangtua
anak yang dianggap
penting (prioritas tinggi)
dalam jangka waktu yang
lama (durasi tinggi),
dikarakteristikan dengan
kedekatan emosi
(intensitas tinggi) serta
jumlah kontak dan
komunikasi yang maksimal
(frekuensi tinggi),
memiliki efek positif pada
perkembangan moral anak.
2. frekuensi interaksi dan
komunikasi antara
orangtua dan anak
Teori role modeling
mengatakan bahawa
identifikasi anak terhadap
orangtua dipengaruhi
frekuensi interaksi
orangtua-anak. Orangtua
yang sering berinteraksi
secara intensif dengan
anaknya cenderung lebih
mempunyai pengaruh
terhadap kehidupan
anaknya. Interaksi
orangtua-anak memberikan
xii
kesempatan untuk
pembahasaan nilai-nilai
dan norma-norma,
terutama bila interaksi
dilakukan secara
demokratis dan bersifat
mutual.
3. Tipe dan tingkat disiplin
yang dijalankan orangtua
Hasil penelitian
menunjukan bahwa
disiplin mempunyai efek
yang positif terhadap
pembelajaran moral ketika:
a. Konsisten, baik
intraparent (konsisten
dalam melakukan
disiplin maupun
interparent (konsisten
antara kedua orangtua)
b. Kontrol terutama
dilakukan secara verbal
melalui penjelasan
guna mengembangkan
kontrol internal pada
anak. Orangtua yang
melakukan penjelasan
verbal secara jelas dan
resional menghasilkan
internalisasi nilai dan
standar pada anak,
terutama ketika
penjelasan disertai
dengan afeksi sehingga
anak cenderung untuk
menerima. Remaja
menginginkan dan
membutuhkan arahan
orangtua.
c. Adil dan sesuai serta
menghindari kekerasan
Orangtua yang
menggunakan
kekerasan menyimpang
dari tujuan disiplin,
yaitu, mengembangkan
hati nurani, sosialisasi,
dan kooperasi
(Herzberger and
Tennen, 1985, dalam
Rice, 1993). Orangtua
yang terlalu permisif
juga menghambat
perkembangan
sosialisasi dan moral
anak karena mereka
tidak memberikan
bantuan untuk
xiii
mengembangkan
kontrol dalam diri
anak.
d. Bersifat demokratis,
bukan permisif ataupun
autokratik.
4. Contoh yang diberikan
orangtua bagi anak
Hasil penelitian
menunjukan bahwa
perilaku menyimpang ayah
berkorelasi secara
signifikan dengan perilaku
devian anak pada masa
remaja dan dewasa.
Sangatlah penting bagi
orangtua untuk menjadi
sosok yang bermoral jika
ingin memberikan model
positif bagi anak mereka
untuk ditiru.
5. Kesempatan untuk mendiri
yang disediakan orangtua
Pengaruh peer juga
penting bagi
perkembangan anak.
Kontak sosial dengan
orang-orang dari budaya
dan latar belakang sosial
ekonomi yang berbeda
membantu perkembangan
moral (Kohlberg, 1996,
dalam Rice, 1993).
d. Tahap-tahap Perkembangan Moral
Adapun tahap-tahap
perkembangan moral yang sangat
dikenal ke seluruh dunia adalah
yang dikemukakan oleh Lawrence
E Kohlberg (dalam Monks & dkk,
2002) membagi perkembangan
moralitas ke dalam 3 tingkatan
yang masing-masing dibagi
menjadi 2 stadium hingga
keseluruhannya menjadi 6
stadium, sebagai berikut:
a) Pra-Konvensional
Pada tahap ini belum terjadi
internalisasi nilai moral pada
diri individu. Individu
berespon pada label
baik/buruk dan benar/salah,
namun intepretasi tersebut
dilakukan berdasarkan
konsekuensi fisik (hadiah,
hukuman dan exchange of
favors) maupun kekuatan fisik
yang dimiliki pemberi label.
xiv
Sarwono (2001) mengatakan
bahwa tahap ini biasanya
dimiliki oleh anak-anak yang
berusia di bawah sembilan
tahun dan sebagian remaja
serta orang dewasa yang
penalaran moralnya terlambat
atau kurang berkembang.
1. Orientasi Terhadap
Kepatuhan dan Hukuman
Suatu tingkahlaku
dinilai benar bila tidak
dihukum dan salah bila
perlu dihukum. Seseorang
harus patuh pada otoritas
karena otoritas tersebut
berkuasa.
2. Orientasi Naif Egoistis
atau Hedonisme
Instrumental
Masih mendasarkan
pada orang atau kejadian di
luar diri individu, namun
sudah memperhatikan
alasan perbuatannya,
misalnya mencuri dinilai
salah, tetapi masih bisa
dimaafkan bila alasannya
adalah untuk memenuhi
kebutuhan dirinya atau
orang lain yang disenangi.
Sesuatu dianggap benar
apabila memberikan
kepuasan bagi dirinya dan
terkadang bagi orang lain.
Membangun hubungan
resprokal secara pragmatis
(”kalau kamu membantu
saya maka saya membantu
kamu”).
b) Konvensional
Pada tahap ini sudah mulai
terjadi internalisasi nilai moral
walaupun belum sepenuhnya
terinternalisasi. Individu masih
menggunakan standar
eksternal (hadiah atau
hukuman) namun juga telah
memiliki standar internal
tertentu. Sarwono (2001)
menambahkan bahwa tahap ini
dimiliki oleh remaja dan
sebagian besar orang dewasa
dalam masyarakat.
3. Orientasi Anak Baik
Anak menilai suatu
perbuatan itu baik bila ia
dapat menyenangkan orang
xv
lain, bila ia dapat
dipandang sebagai anak
wanita atau anak laki-laki
yang baik yaitu ia dapat
berbuat seperti apa yang
diharapkan oleh orang lain
atau oleh masyarakat.
4. Orientasi Pelestarian
Otoritas dan Aturan Sosial
Anak melihat aturan
sosial yang dan sebagai
sesuatu yang harus dijaga
dan dilestarikan. Seorang
dipandang bermoral bila ia
melakukan tugasnya dan
dengan demikian dapat
melestarikan aturan dan
sistem sosial.
c) Pasca-Konvensional
Pada tahap ini nilai moral telah
terinternalisasi sepenuhnya
dan tidak berdasarkan standar
orang lain. Kontrol terhadap
perilaku bersifat internal dan
memiliki persepsi bahwa
konflik antara dua standar
sosial mungkin saja terjadi.
Individu menyadari adanya
alternatif dari jalur moral,
mengekplorasi kemungkinan
yang ada, dan mengambil
keputusan berdasarkan kode
moral personal. Sarwono
(2001) menyatakan bahwa
tahap ini tidak dimiliki oleh
semua orang dewasa,
melainkan hanya terjadi pada
sebagian dari mereka.
5. Orientasi Kontrol
Legalistik
Memahami bahwa
merupakan kontrol
(perjanjian) antara diri
orang dan masyarakat.
Individu harus memenuhi
kewajiban-kewajibannya
tetapi sebaliknya
masyarakat harus
menjamin kesejahteraan
individu. Peraturan dalam
masyarakat adalah
subjektif.
6. Orientasi yang Mendasarkan
Atas Prinsip dan
Konsensia Sendiri
Peraturan dan norma
adalah subjektif begitu
pula batasan-batasannya
xvi
adalah subjektif dan tidak
pasti. Dengan demikian
maka ukuran tingkahlaku
moral adalah konsensia
orang sendiri, prinsipnya
sendiri lepas daripada
segala norma yang ada.
Kohlberg menyebut prinsip
ini sebagai prinsip moral
yang universal, suatu
norma moral yang
dasarnya ada dalam
konsensia orangnya
sendiri.
C. Metode Penelitian
1. Pendekatan Kualitatif
Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan pendekatan kualitatif,
dimana peneliti bertujuan agar
mendapatkan pemahaman yang
mendalam dari masalah yang peneliti
teliti dan memberikan gambaran
melalui pengamatan yang dilakukan
dalam latar (setting) yang alamiah
(naturalistic) bukan hasil perlakuan
(treatment) atau manipulasi variabel
yang dilibatkan.
2. Subjek Penelitian
Karakteristik subjek dalam
penelitian ini adalah anak tunggal usia
15 – 18 tahun. Sementara itu subjek
penelitian dalam penelitian ini terdiri
dari satu orang subjek dengan 1 orang
significant others.
3. Tahap-tahap Persiapan
a. Tahap Persiapan, peneliti membuat
pedoman wawancara dan pedoman
observasi yang disusun berdasarkan
beberapa teori yang relevan dengan
masalah. Selanjutnya peneliti akan
mencari calon subjek dengan
karakteristik sebagaimana telah
disebutkan dalam subjek penelitian.
Setiap perkembangan dilaporkan dan
dikonsultasikan kepada dosen
pembimbing.
b. Tahap pelaksanaan, Peneliti terjun
langsung ke lapangan untuk
melakukan observasi dan wawancara
secara terpisah. Setelah itu, peneliti
memindahkan hasil rekaman
berdasarkan wawancara dan hasil
observasi ke dalam bentuk verbatim
tertulis, kemudian peneliti melakukan
xvii
analisis data dan interpretasi data
sesuai dengan langkah-langkah yang
dijabarkan pada bagian teknik analisis
data. Terakhir peneliti membuat
diskusi dan kesimpulan dari seluruh
hasil penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan sifat penelitian
kualitatif yang terbuka dan luwes,
metode dan tipe pengumpulan data
dalam penelitian kualitatif sangat
beragam, disesuaikan dengan
masalah, tujuan penelitian, serta sifat
objek yang diteliti.
Dalam penelitian ini observasi
yang dilaksanakan oleh peneliti adalah
pengamatan tidak berperan serta atau
non partisipan, karena peneliti tidak
terlibat secara langsung dengan
aktivitas subjek, peneliti hanya
mengamati sesuai waktu yang telah
ditentukan atau yang telah dibuat
peneliti dengan kesepakatan subjek.
Meskipun demikian, informasi atau
data yang diperoleh tetap memenuhi
kriteria atau standar yang diinginkan.
Sedangkan pendekatan wawancara
dengan pedoman umum, yaitu
semacam pedoman yang
mencantumkan isu-isu yang harus
diliput tanpa menentukan urutan
pertanyaan, peneliti juga
mengembangkan pedoman tersebut
berdasarkan kondisi di lapangan. Hal
ini dilakukan agar lebih efektif dalam
menggali informasi yang diperlukan.
5. Alat Bantu yang Digunakan
dalam Penelitian
Dalam penelitian, informasi atau
data yang dibutuhkan bisa dalam
bentuk verbal dan non verbal. Oleh
sebab itu dalam melakukan observasi
dan wawancara peneliti memerlukan
beberapa alat bantu yang dapat
digunakan sebagai sarana untuk
mempermudah proses jalannya suatu
penelitian. Beberapa sarana atau
instrumen yang digunakan adalah
menggunakan media perekam suara,
catatan atau tulisan tangan, pedoman
wawancara, dan pedoman observasi.
6. Keakuratan Penelitian
Untuk mencapai keakuratan dalam
suatu penelitian dengan metode
kualitatif, ada beberapa teknik yang
xviii
digunakan dan salah satu teknik
tersebut adalah triangulasi.
Triangulasi adalah suatu teknik
pemeriksaan keakuratan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di
luar data untuk keperluan pengecekan
atau sebagai pembanding terhadap
data itu. Triangulasi dapat dibedakan
menjadi emapat macam yaitu
triangulasi data, pengamat, teori, dan
metodologis.
7. Teknik Analisa Data
Data yang diperoleh akan di analisa
dengan menggunakan teknik analisa
data kualitatif. Adapun tahapan
tersebut adalah mengorganisasikan
data, mengelompokkan data, analisis
kasus, dan menguji asumsi.
D. Hasil Dan Analisis
1. Persiapan Penelitian
Pertama kali yang dilakukan oleh
peneliti sebelum proses pengambilan
data dilakukan, peneliti terlebih
dahulu mencari anak tunggal yang
berusia 15 – 18 tahun.
Setelah maksud dan tujuan telah di
ketahui oleh calon subjek maka
peneliti menjelaskan lebih rinci
mengenai penelitian yang dilakukan
peneliti agar subjek lebih mengerti
dan merasa nyaman dengan peneliti
sehingga penelitian dapat berjalan
dengan baik. Sebelum proses
pengambilan data, peneliti
mempersiapkan pedoman wawancara,
pedoman observasi, dan
memepersiapkan alat-alat penelitian
berupa tape recorder, kertas dan alat
tulis. Hal ini dilakukan agar proses
pengumpulan data dapat berjalan
dengan baik dan lancar.
2. Pelaksanaan Penelitian
Kegiatan wawancara dalam penelitian
ini dilakuakn pada tanggal 5 Mei 2008
dan wawancara dengan subjek
dilaksanakan dirumah significant
other. Sedangkan kegiatan wawancara
dengan significant other, yaitu ibu
subjek dilakukan pada tanggal 7 Mei
2008 dan dilakukan dirumah
significant other
Kegiatan observasi dalam penelitian
ini dilakukan pada tanggal 5 Mei 2008
xix
2008 yang dilakukan dirumah
significant other
3. Hasil Observasi dan Wawancara
a. Gambaran Umum Subjek
Subjek adalah seorang anak berusia
19 tahun, dengan tinggi sekitar 110
cm dan berat kira-kira 27 kg. Kulit
subjek sawo matang dan rambutnya
pendek.
E. Penutup
1. Simpulan
a. Gambaran perkembangan moral
anak tunggal pada usia 15 – 18
tahun
Pada kasus subjek,
terungkap bahwa subjek bila
mendapat tugas kelompok akan
mengerjakannya dengan teman
kelompoknya tidak individu dan
subjek orangnya aktif. berani
untuk menentang bila ada
ketidakcocokan dalam kelompok
belajarnya. Dia tidak merasa takut
bila nantinya dikeluarkan dari
kelompoknya. Subjek dalam
mengemukakan pendapat dalam
mengerjakan tugas kelompok dan
pendapatnya ditolak tidak
membuat dia marah tetapi malah
menerima dan mau mendengarkan
pendapat teman-teman yang lain
Subjek tidak meninggalkan teman
satu kelompoknya. Subjek
memahami kapan waktunya
bermain dan belajar meski
terkadang masih suka diingatkan.
Subjek lebih memilih untuk
belajar meski ternyata dia lebih
suka bermain sementara padahal
sebenarnya subjek lebih suka
bermain dari pada belajar. Subjek
bila mengerjakan tugas dikerjakan
dengan baik, maksimal dan serius.
Bila tidak ada yang dimengerti
maka subjek akan menanyakan
kepada yang mengerti. Dikerjakan
dan dikumpulkan tepat pada
waktunya sesuai dengan ibu/bapak
guru perintahkan dan selalu dicoba
kerjakan sendiri dulu baru
ditanyakan mana yang subjek
tidak bisa. Subjek pun membuat
jadwal untuk kepentingan
sekolahnya. Subjek suka sesuatu
yang terorganisir. Subjek dalam
xx
membuat suatu keputusan itu pasti
subjek laksanakan keputusan yang
sudah di ambil. Subjek
mempunyai banyak teman baik itu
laki-laki mapun perempuan dan
teman dekat subjek ini ada yang di
sekolah maupun di rumah. Untuk
menyenangkan teman dekatnya
subjek mau menemani kemana
saja, melakukan apa saja selama
itu masih sebatas wajar. Subjek
menjaga dengan baik curhatan
teman-temannya. Teman-teman
subjek sudah percaya kepada
subjek dan subjek menjaga dengan
cara tidak membocorkannya ke
orang lain. Subjek menjaga
dengan baik bila ada teman yang
menitipkan barang kepadanya.
Subjek bersedia waktu dimintai
tolong bawakan barang padahal
waktu itu subjek pun sedang
membawa banyak barang. Subjek
pernah berbohong tetapi kemudian
subjek mengatakan sejujurnya
kepada orang yang bersangkutan.
Subjek juga pernah disalahkan
atas sesuatu yang tidak subjek
lakukan dan subjek berani untuk
membela diri juga berani untuk
mengatakan siapa sebenarnya
yang bersalah. Subjek pernah
dimintai tolong dibantukan
mengerjakan tugas tetapi subjek
hanya membantu sebatas
menerangkan saja tidak membantu
mengerjakan semua. Subjek
sangat perhatian bila orangtua
maupun teman sedang sakit.
Terutama dengan orangtua subjek
tidak berani meninggalkan dan
selalu kepikiran. Subjek pun mau
menghibur bila orangtua maupun
teman yang sedang bersedih
dengan cara menceritakan hal-hal
yang lucu. Subjek mau memberi
sumbangan bila melihat pengemis
maupun pengamen. Subjek pun
mau memberi bantuan kepada
teman yang sedang kesusahan
dalam hal keuangan. Subjek bila
bertemu mau mencium tangan,
memberi salam dan berbicara
pelan, sopan kepada orang yang
lebih tua.Subjek pernah melanggar
peraturan di sekolah yaitu datang
telat tetapi belum pernah
melanggar peraturan di luar
xxi
sekolah. Subjek datang tepat
waktu bila janjian dengan
temannya. Tetapi subjek bila
janjian dengan teman-temannya
yang ternyata berbeda arah tujuan
pergi maka subjek lebih memilih
teman-temannya yang mengikuti
maunya dia.
Berdasarkan pembahasan
diatas, ada kesesuaian antara kasus
subjek dengan teori menurut
whayuning W, Jash, Rachmadiana
M.H (2003) tentang karakteristik
perkembangan moral.
b. Faktor-faktor yang
menyebabkan perkembangan moral
anak tunggal pada usia 15 – 18
tahun
Pada kasus subjek,
terungkap bahwa subjek tetap
menerima dan gabung meski
pendapatnya di tolak oleh teman
kelompoknya karena mungkin saja
mereka mempunyai pendapat yang
lebih baik dan dalam kelompok
harus ada kesepakatan bersama
juga karena subjek merasa mereka
semua adalah teman subjek.
Subjek mengerjakan tugas dengan
baik, maksimal dan serius karena
subjek orang yang teliti dan ingin
mendapat hasil bagus juga tidak
ada yang meremehkan subjek.
Subjek mau menyerahkan tugas
tepat waktu karena subjek sangat
teliti. Bila diminta serahkan tugas
besok pasti besok diserahin dan
dikerjakan dengan baik Menurut
subjek dia bila ada masalah
langsung menceritakannya kepada
temannya sementara menurut
significant other, subjek bila ada
tugas yang sulit selalu dicoba dulu
baru meminta bantuan temannya
yang bisa. Subjek bila dimintai
bantuan untuk mengerjakan tugas
oleh temannya dia hanya
membantu sebatas menerangkan
saja tidak membantu mengerjakan
karena dia merasa temannya itu
harus belajar sendiri jadi bila ada
tugas yang sama temannya bisa
mengerjakan sendiri. Subjek selalu
melakukan penjadwalan untuk
urusan sekolahannya seperti kapan
mengerjakan dan menyerahkan
tugas karena subjek tidak mau ada
xxii
yang terlewatkan nantinya. Subjek
dalam membuat keputusan itu
pasti subjek laksanakan karena dia
tidak mau mengikuti keputusan
orang lain dan lagi pula membuat
keputusan mebutuhkan
pertimbangan panjang jadi jangan
sampai menjadi percuma. Subjek
bila janjian selalu datang tepat
pada waktunya karena subjek
tidak mau membuat orang
menunggu dan dia tidak mau
menunggu. Subjek mau menemani
kemana saja dan melakukan apa
saja untuk teman dekatnya itu
karena subjek sudah merasa sangat
dekat dan sangat perduli dengan
teman terutama dengan teman
dekatnya. Menurut subjek dia mau
menjaga barang milik temannya
yang dititipkan kepadanya karena
subjek tidak mau nantinya
dirugikan dengan dijauhin oleh
teman-temannya. Tetapi menurut
significant other, subjek mau
karena dia merasa sesama teman
harus saling menjaga. Apalagi
menjaga barang yang dititipkan itu
seperti amanah. Menurut subjek
dia mau mengatakan yang
sejujurnya bahwa dia telah
berbohong karena dia tidak mau
nantinya kehilangan temannya
sementara menurut significant
other, subjek mau mengatakan
yang sebenarnya karena subjek
tahu bahwa dia salah dan dia harus
mengatakan yang sebenarnya.
Subjek lebih memilih temannya
yang mengikuti maunya dia
karena subjek tidak mau pergi
jalan bila temanya tidak mengikuti
maunya dia. Subjek mau
membantu bila dimintai tolong
bawakan barang padahal subjek
juga lagi bawa barang banyak
karena subjek merasa kalau bisa
dibantu kenapa tidak. Subjek mau
membantu bila dimintai tolong
bawakan barang padahal subjek
juga lagi bawa barang banyak
karena subjek merasa kalau bisa
dibantu kenapa tidak. Subjek
sangat perhatian sekali bila ada
orangtua maupun teman yag sakit
karena subjek orangtua adalah
orang terpenting dan sudah
menjadi kewajibannya sebagai
xxiii
anak merawat dan menjaga saat
mereka sakit. Dengan teman
subjek tidak tega bila melihat
teman yang sedang sakit. Subjek
mau menghibur bila orangtua
maupun teman yang sedang
bersedih karena subjek tidak mau
melihat orangtua maupun
temannya bersedih. Subjek mau
memberi sumbangan kepada
pengemis dan pengamen karena
subjek merasa mereka perlu
dibantu. Subjek pun mau
membantu teman yang sedang
kesusahan dalam hal keuangan
karena subjek merasa temannya
perlu dibantu. Subjek mau
mencium tangan, memberi salam
dan berbicara pelan, lembut, sopan
bila bertemu dengan orang yang
lebih tua karena untuk
menghormati dan karena takut
dikira sombong sementara
menurut significan other karena
untuk tetap menjalin hubungan
baik. Subjek pernah melakukan
pelanggaran didalam sekolah yaitu
telat datang kesekolah karena
jarak rumah ke sekolah lumayan
jauh dan rawan macet tetapi
subjek belum pernah melanggar
peraturan diluar sekolah.
Berdasarkan pembahasan
diatas, ada kesuaian antara kasus
subjek dengan teori menurut
Zelkowitz (1987, dalam Rice,
1993) tentang faktor yang
mempengaruhi perkembangan
moral.
c. Bagaimana perkembangan moral
anak tunggal pada usia 15 – 18
tahun
Pada kasus subjek,
terungkap bahwa subjek waktu
masih kecil lebih banyak
mendengarkan dan mengikuti apa
yang dibilang sama teman
kelompoknya. Subjek tidak berani
untuk berpindah kelompok yang
sudah dipilihkan oleh ibu/bapak
guru meski subjek tidak merasa
cocok. Bila subjek menolak
permintaan teman kelompoknya
subjek nanti tidak boleh
bergabung dengan mereka.
Dibandingkan dengan waktu
subjek sekarang, subjek sudah bisa
xxiv
mengemukakan pendapat dan
lebih aktif dalam mengerjakan
tugas kelompok, sama-sama
menemukan solusinya. Tetapi
subjek juga tidak suka ganti-ganti
kelompok. Subjek mau melakukan
apa saja yang teman dekatnya
suruh karena subjek tidak mau
nantinya teman dekatnya itu
menjauhi dan tidak mau main lagi
sama subjek hanya karena subjek
menolak permintaan teman
dekatnya itu dan karena subjek
merasa dia adalah teman dekatnya
dan subjek tidak merasa keberatan
dimintain melakukan apa saja
untuk teman dekatnya. Subjek
merasa senang saja dapat
melakukan sesuatu untuk
temannya. Subjek saat dimintai
tolong untuk menjagai barang
milik temannya subjek benar-
benar menjaganya dengan baik
karena subjek merasa harus
menjaganya dan subjek tidak mau
dirugikan nanti, dirugikan seperti
dijauhin hanya karena subjek tidak
dapat menjaga barang milik
temannya itu. Subjek waktu masih
kecil menjaga dengan baik
curhatan teman-temannya karena
subjek merasa takut sekali
kehilangan teman-temannya
apalagi dengan teman yang sangat
dekat dengannya. Subjek takut
nanti mereka pada menjauhinya.
Dan sampai saat ini belum pernah
ada keluhan dari teman-temannya
tentang bocornya curhatan yang
diceritakan ke subjek. Subjek yang
sekarang mau menjaga dengan
baik curhatan teman-temannya
karena menurut subjek untuk
menceritakan rahasia kita ke orang
itu butuh keberanian dan bila
orang sudah percaya sama kita
harus jaga kepercayaan itu. Subjek
yang sekarang mau membantu bila
dimintai bantukan bawakan
barang yang padahal saat itu
subjek sedang dalam keadaan
membawa banyak barang juga
karena subjek merasa dia teman
subjek kalau bisa dibantu kenapa
tidak dibantu. Subjek bila
orangtua maupun teman yang sakit
subjek sangat perhatian. Alasan
subjek mau menjaga dan merawat
xxv
orangtua yang sedang sakit karena
itu sudah menjadi kewajiban
seorang anak. Sementara bila
dengan teman itu bentuk kasih
sayang sebagai seorang teman.
Subjek baik dia waktu masih kecil
maupun sekarang mau
mengerjakan tugas dengan baik,
serius dan maksimal karena takut
nanti mendapat hasil yang tidak
bagus. Subjek baik dia waktu
masih kecil mau mengumpulkan
tugas tepat pada waktunya karena
takut nanti dimarahin oleh
ibu/bapak guru dan subjek yang
sekarang mau mengumpulkan
tugas tepat pada waktunya karena
subjek orangnya teliti dan tidak
mau orang lain meremahkannya.
Subjek waktu masih kecil maupun
subjek yang sekarang bila
mendapat tugas selalu di coba
dikerjakan sendiri dulu baru
setelah ada yang tidak bisa
ditanyakan kepada yang bisa dan
mengerti. Subjek waktu masih
kecil belum bisa membuat
keputusan tetapi subjek yang
sekarang sudah bisa membuat
keputusan dan keputusan itu pasti
dilakukan oleh subjek. Subjek
waktu masih kecil maupun subjek
yang sekarang bila mendapat
tugas selalu di coba dikerjakan
sendiri dulu baru setelah ada yang
tidak bisa ditanyakan kepada yang
bisa dan mengerti. Subjek waktu
masih kecil belum bisa membuat
keputusan tetapi subjek yang
sekarang sudah bisa membuat
keputusan dan keputusan itu pasti
dilakukan oleh subjek.Subjek baik
masih kecil maupun yang
sekarang bila mengemukakan
pendapat saat diskusi kelompok
subjek tidak merasa keberatan saat
pendapatnya ditolak karena subjek
merasa mungkin mereka punya
pendapat yang lebih baik. Subjek
waktu masih kecil saat melihat
pengamen dan pengemis dijalan
subjek selalu memberi sumbangan
karena subjek merasa kasihan dan
ingin bantu. Subjek yang sekarang
mau memberi sumbangan kepada
pengemis dan pengamen karena
subjek merasa harus menolong
sama sesamanya. Subjek baik
xxvi
waktu masih kecil maupun subjek
yang sekarang mau membantu
teman yang sedang kesusahan
dalam keuangan karena subjek
merasa teman harus dibantu.
Subjek waktu masih kecil belum
bisa mengatur kapan waktunya
belajar dan kapan waktunya
bermain. Subjek masih suka
diingatkan oleh mamanya. Tetapi
Subjek yang sekarang lebih
memilih belajar meski dia
menyukai bermain karena subjek
sudah tahu pentingnnya belajar
untuk masa depannya nanti.
Subjek waktu masih kecil bila
janjian dengan temanya selalu
datang tepat waktu karena subjek
merasa malu. Sama teman-
temannya. Begitupun subjek yang
sekarang selalu datang tepat waktu
karena subjek tidak mau membuat
orang lain menunggu.
Adanya ketidaksesuaian
antara jawaban subjek dengan
significant other. Subjek waktu
masih kecil saat melakukan
kesalahan awalnya subjek diam
tetapi kemudian subjek mengakui
bahwa dia yang melakukan
kesalahan itu. Alasannya karena
subjek merasa tidak enak sama
teman dan subjek pun tidak mau
nanti temannya membencinya.
Subjek yang sekarang merasa
perlu menceritakan yang
sebenarnya karena subjek merasa
tidak enak dan temannya sudah
sangat baik sekali selama temanan
sama subjek. Subjek merasa takut
bila temannya marah dan tidak
mau temanan lagi sama subjek
hanya karena subjek sudah
bohong. Menurut Significant
Other, subjek waktu masih kecil
berani untuk mengatakan yang
sebenarnya. Subjek mengakui
bahwa dia yang melakukan
kesalahan itu karena subjek
merasa bersalah. Subjek yang
sekarang mau mengatakan yang
sebenarnya karena subjek tahu
bahwa dia salah dan dia harus
mengatakannya yang sebenarnya.
Subjek waktu masih kecil belum
berani untuk membela diri saat
subjek disalahkan atas sesuatu
yang tidak subjek lakukan karena
xxvii
subjek merasa tidak enak. Subjek
yang sekarang mau membela diri
saat disalahkan atas sesuatu yang
tidak subjek lakukan karena
subjek merasa itu sangat perlu
karena subjek tidak bersalah dan
subjek tidak suka orang menuduh
yang macam-macam.
Subjek waktu masih kecil
lebih memilih untuk tetap gabung
dengan teman kelompok yang
sebenarnya tidak cocok. Menurut
subjek waktu dia kecil akan
melapornya ke ibu/bapak guru
tetapi menurut significant other
subjek lebih memilih nurut dan ga
banyak tingkah. Tetapi subjek
yang sekarang baik menurut
subjek maupun significant other,
subjek mau tetap gabung karena
subjek merasa itu adalah tugas
kelompok dan harus dikerjakan
secara kelompok juga. Subjek
waktu masih kecil sudah membuat
jadwal untuk kegiatan dan tugas
sekolahnya tetapi itu masih suka
diingatkan oleh mamanya.
Sementara menurut significant
other subjek waktu masih kecil
belum bisa membuat jadwal
sendiri. Subjek yang sekarang
sudah bisa mengatur jadwalnya
sendiri.
Berdasarkan pembahasan
diatas, ada kesesuaian antara kasus
subjek dengan teori menurut
Lawrence E Kohlberg (dalam
Monks & dkk, 2002) tentang
tahap-tahap perkembangan moral.
2. Saran
a. Untuk subjek
Sebaiknya subjek memilih teman
secara bijaksana karena umumnya
anak tunggal bergaul lebih baik
dengan orang yang jauh lebih tua atau
yang jauh lebih muda daripada dirinya
sendiri. Usahakan untuk memperoleh
eksposur dengan kedua kelompok
tersebut, karena mereka adalah
pribadi-pribadi yang cocok dengan
subjek sehingga kemungkinan terjadi
pertikaan dengan mereka sangat kecil.
b. Untuk keluarga subjek
Sebaiknya orangtua, terutama bagi
orangtua yang memiliki anak tunggal
juga bagi orangtua yang baru
memiliki anak pertama dan belum
xxviii
dikaruniai anak lagi agar jangan
terlena dengan toleransi semu
terhadap perilaku anak tunggal.
Karena orangtua terkadang menutup
mata dari ketidakberesan perilakunya
atau justru membiarkan diri orangtua
terbawa arus pandangan negatif
tentang anak tunggal. Tidak dapat
dipungkiri, memang banyak anak
tunggal yang kemudian tumbuh
menjadi anak yang bermasalah tetapi
anak tunggal pun bisa sangat
berpotensi menjadi anak yang
berprestasi. Karena semua anak yang
dibesarkan dengan cara yang salahlah
yang sangat berpotensi untuk menjadi
anak yang bermasalah. Tidak perduli
apakah anak itu anak sulung, anak
tengah, anak bungsu, anak kembar,
semua berpotensi untuk menjadi anak
yang bermasalah.
c. Kepada penelitian selanjutnya
Diharapkan pada penelitian
selanjutnya, peneliti bisa mengambil
kriteria subjek dengan latar belakang
yang lebih beragam lagi seperti subjek
anak tunggal yang berasal dari
keluarga dengan taraf ekonomi tinggi
atau subjek anak tunggal yang hanya
mempunyai bapak/ibu saja.
DAFTAR PUSTAKA Basuki, H. 2006. Penelitian kualitatif
untuk ilmu-ilmu kamanusian dan budaya. Jakarta: Universitas Gunadarma.
Berk, L.E. 1994. Child Development.
Singapore: Allyn and Bacon. Bull, N.J. 1970. Moral Judgment
From Childhood To Adolescene. London: Routledege & Kegan Paul.
Conger, JJ. 1991. Adolescene And
Youth: Psychological Development In A Changing World. USA: Harper Collins Publisher, Inc.
Fatimah, E. 2006. Psikologi
Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik). Bandung: CV Pustaka Setia.
Gerungan, W.A. 2002. Psikologi
Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama.
Gracinia, J. 2004. Mengasuh Anak
Tunggal. Jakarta: PT. Alex Media Komputindo.
Gulo, W. 2002. Metode Penelitian.
Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
xxix
Gunarsa, S.D. 2003. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Jakarta: Gunung Mulia.
Hadibroto. 2002. Misteri Perilaku
Anak Sulung, Tengah, Bungsu & Tunggal. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Haricahyono, C. 1995. Dimensi-
dimensi Pendidikan Moral. Semarang: IKIP Semarang Press.
Hart, D & Carlo, G. 2005. Moral
Development In Adolescent. Journal of Research On Adolescent, 15 (3), 223-233.
Heng, K.C. 1995. Understanding
Children. Kuala Lumpur: Pelanduk Publications.
Hetherington, M.E. & Parke, R.D.
1993. Child Psychology: A Contemporary Viewpoint. New York: McGraw-Hill, Inc.
Hofman, I, Paris, S.,& Hall, E. 1994.
Development Psychology Today. New York: McGraw-Hill, Inc.
Horrocks, J.E. 1976. Developmental
Psychology (6th Ed. ). USA: Wads Worth Group.
Hurlock, E.B. 1978. Child
Development Sixth Edition. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.
Kartono, K. 2000. Hygiene Mental. Bandung: Mandar Maju.
Kohlberg, L. 1984. Essy On Moral
Development: The Psychology Of Moral Development. New York: Harper & Row Publisher, inc
Landis, P.H. 1997. Your Marriage
And Family Living. New York: McGraw-Hill Book Company.
Marshall, C. & Rossman, G.B. 1995.
Designing Qualitative Research. California: SAGE Plubication, Inc.
Moleong, L.J. 2004. Metodelogi
Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Monks, F.J. & Knoers, 2002.
Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Muuss, R.E, 1990. Adolescent
Behaviour And Society (4th Ed.). USA: McGraw-Hill, Inc. .
Pagliuso, S. 1976. Understanding Stages Of Moral Development A Programmed Learning. Workbook. New York: Paulist Press. Papalia D.E,. 2007. Human
Development (10th Ed.). New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
xxx
Poerwandari, E.K. 2005. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Universitas Indonesia.
Rice, F.P. 1993. The Adolescen:
Development, Relationships, And Culture (9th Ed.). USA: Allyn and Bacon.
Santrock, J.W. 2005. Adolescene (10th
Ed.). New York: McGraw-Hill Companies, inc.
Sarwono, S.W. 1993. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Shaffer, D.R, 2002. Developmental
Psychology (6th Ed.). USA: Wads Worth Group Mifflin Company.
Sinolongan, A.Em 1997. Psikologi
Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Toko Gunung Agung.
Wahyuning W, Jash, Rachmadiana
M.H. 2003. Mengkomunikasikan Moral Kepada Anak. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo