Suciati Nuraini 130711607598

25
Undang-Undang Pilkada, Sebuah Penyelewengan Prinsip Demokrasi Indonesia Makalah untuk memenuhi tugas matakuliah Bahasa Indonesia Keilmuan yang dibina oleh Dr. Sunoto, M.Pd. oleh Suciati Nuraini Nim 130711607598 Off B HKn 2013 1

description

a

Transcript of Suciati Nuraini 130711607598

Undang-Undang Pilkada, Sebuah Penyelewengan Prinsip Demokrasi Indonesia

Makalahuntuk memenuhi tugas matakuliahBahasa Indonesia Keilmuanyang dibina oleh Dr. Sunoto, M.Pd.

olehSuciati NurainiNim 130711607598Off B HKn 2013

UNIVERSITAS NEGERI MALANGFAKULTAS ILMU SOSIALJURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAANPROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAANNovember 20141. Pendahuluan1.1 Latar Belakang MasalahKesadaran akan pentingnya demokrasi bagi masyarakat saat ini kurang begitu penting. Oleh sebab itu masyarakat saat ini banyak yang tidak memperdulikan dan mengerti apa arti dari demokrasi itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari peran serta rakyat pada saat pemilihan umum yang banyak tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemilihan berlangsung, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Demokrasi itu sendiri adalah pemerintah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Pelaksananan demokrasi di Indonesia bertujuan untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia, yaitu untuk mewejudkan tujuan nasional. Pelaksanaan demokrasi juga di arahkan untuk civic society dan di dalamnya terdapat peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara sangatlah besar.Secara umum undang-undang pemilu telah memberikan pedoman untuk menyelesaikan pelanggaran yang terjadi. Pengaturan pelanggaran pemilu dengan batasan waktu yang singkat bertujuan untuk mendorong penyelesaian kasus yang disesuaikan dengan tahapan pelaksanaan pemilu sehingga ada jaminan bahwa pemilu diselenggarakan secara bersih. Persoalannya beberapa ketentuan tidak cukup mampu untuk menindak terjadinya pelanggaran pemilu apalagi mencegahnya. Hal ini karena ketentuan undang-undang pemilu belum lengkap, multitafsir dan beberapa diantaranya kontradiksi. Upaya mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan melalui pembuatan peraturan tertentu sebagaimana yang terdapat pada undang-undang pemilu, kesepakatan bersama antara KPU dan lembaga penegak hukum mengenai tata cara penanganan pelanggaran, serta meningkatkan kapasitas aparat di masing-masing lembaga mengenai aturan perundang-undangan pemilu. Penanganan pelanggaran secara jujur dan adil merupakan bukti adanya perlindungan kedaulatan rakyat dari tindakan-tindakan yang dapat mencederai proses dan hasil pemilu. Adalah kewajiban bagi pengawas, penyelenggara dan aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa semua pelanggaran pemilu yang terjadi dapat diselesaikan secara adil dan konsisten.Undang-undang pilkada merupakan sebagai penyelewengan prinsip demokrasi di Indonesia pada saat ini. Karena undang-undang pilkada hanya di pandang sebelah oleh rakyat maupun oleh pejabat pemerintah. Maka dari itu banyak sekali terjadi penyelewengan-penyelewengan yang ditemukan dalam pelaksanaan pilkada dilapangan. Penyelewengan dan kecurangan ini banyak dilakukan oleh bakal calon maupun pejabat pemeritah itu sendiri. Kecurangan yang dilakukan antara lain seperti; money politik, intimidasi, pendahuluan start kampanye, kampanye negatif, korupsi dan lain-lain. Dalam melaksanakan atau melakukan sesuatu pasti ada kendala yang dihadapi. Tetapi itu semua tergantung dari bagaimana kita mau menyikapinya dan meminimlkan kendala-kendala tersebut. Oleh sebab itu maka diperlukan peran serta masyarakat dalam mengadapi kendala yang terjadi karena ini semua bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja. Untuk menanggulangi yang timbul karena pemilu, maka diperlukan sebuah solusi agar undang-undang pilkada tidak dijadikan sebagai penyelewengan terhadap prinsip demokrasi indonesia itu sendiri.Penelitian terdahulu yaitu pelaksanaan prinsip-prinsip negara hukum demokrasi dalam pemilihan umum kepala daerah. Penelitian yang sebelumnya membahas tentang sejauhmana implementasi prinsip-prinsip negara hukum demokrasi dalam pemilukada. Fenomena pelaksanaan pemilukada sebagai bentuk pelaksanaan negara demokratis belum sepenuhnya menghadirkan optimisme terhadap pelembagaan nilai- nilai hukum dan nilai demokrasi. Hadirnya prinsip hukum dan demokrasi dalam pelaksanaan pemilukada menjadi penting untuk menunjukkan bahwa pemilukada tidak sekedar proseduralisme demokrasi yang miskin substansi hukum, sehingga perlu dikaji sejauhmana prinsip-prinsip negara hukum demokrasi tersemai dalam pelaksanaan pemilukada.Persamaannya yaitu sama-sama membahas tentang prinsip-prinsip demokrasi dalam pemilukada dan undang-undang pilkada yang secara umum yang telah di atur dalam undang-undang pemilu.Perbedaan antara undang-undang pilkada sebagai penyelewengan prinsip demokrasi Indonesia dengan pelaksanaan prinsip-prinsip negara hukum demokrasi dalam pemilukada adalah lebih luas penelitian atau makalah yang saya buat karena lebih banyak membahas tentang penyelewengan dan pelanggaran tentang undang-undang pilkada dan tidak lupa juga tterdapat solusi di dalamnya. Sedangkan makalah yang sebelumnya hanya membahas konsep, konteks dan struktur pemilukada.Pentingnya judul saya ini karena membahas tentang undang-undang pilkada sebagai penyelewengan prinsip demokrasi Indonesia. Dan banyak kita lihat akhir-akhir ini banyak orang yang tidak mengenal bahkan mengetahui tentang pentingnya arti sebuah demokrasi bagi Bangsa dan Negara Indonesia ini. Dengan membaca makalah yang saya buat ini mungkin masyarakat nantinya akan bisa dan lebih mudah untuk mengerti apa arti dari demokrasi itu sendiri. Saya berharap masyarakat maupun rakyat indonesia tidak lagi menyalah artikan demokrasi dan tidak menjadikan demokrasi sebagai penyelewengan bagi Bangsa Indonesia ini.

1.2 Rumusan MasalahRumusan masalah dalam makalah ini di jabarkan sebagai berikut.a. Mengapa undang-undang pilkada merupakan sebuah penyelewengan dari prinsip demokrasi Indonesia?b. Bagaimana bentuk penyelewengan prinsip demokrasi Indonesia dalam pilkada?c. Apa solusinya agar undang-undang pilkada tidak dijadikan sebagai penyelewengan prinsip demokrasi?

1.3 Tujuan MasalahAdapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.a. Untuk mengetahui lebih jauh lagi tentang undang-undang pilkada dan pentingnya prinsip demokrasi Indonesia.b. Untuk mengetahui bentu-bentuk apa saja yang terjadi dalam penyelewengan prinsip demokrasi Indonesia dalam pilkada.c. Untuk mengetahui seberapa penting solusi yang di berikan oleh penulis terhadap undang-undang pilkada yang di jadikan yang di jadikan sebagai prinsip demokrasi oleh masyarakat.

2. Pembahasan 2.1 Undang-Undang Pilkada Sebagai Penyelewengan Prinsip Demokrasi IndonesiaKata Demokrasi berasal dari bahasa yunani yaitu demos yang berarti rakyat sedangkan kratos yang berarti pemerintahan. Sehingga demokrasi dapat di artikan sebagai pemerintah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemerintahan yang kewenangannya untuk rakyat dan semua anggota masyarakat di ikutsertakan dalam kehidupan kenegaraan dalam aktivitas pemilu. Demokrasi di negara indonesia bersumber dari pancasila dan UUD 1945 sehingga sering di sebut dengan demokrasi pancasila. Demokrasi pancasila berintikan musyawarah untuk mencapai mufakat, dengan berpangkal pada paham kekeluargaan dan kegotongroyongan dalam masyarakat. Meskipun demikian masih banyak masyarakat yang belom mengerti dan begitu paham tentang pentingnya akan kesadarannya pada demokasi. Atri demokrasi bagi masyarakat saat ini kurang begitu penting. Oleh sebab itu masyarakat saat ini banyak yang tidak memperdulikan dan mengerti apa arti dari demokrasi itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari peran serta rakyat pada saat pemilihan umum yang banyak tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum baik yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali disebut pilkada atau pemilukada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten Walikota dan wakil walikota untuk kota. Sebelumnya, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dasar hukum penyelenggaraan pilkada adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, pilkada (pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah) belum dimasukkan dalam rezim pemilihan umum (pemilu).Secara umum undang-undang pemilu telah memberikan pedoman untuk menyelesaikan pelanggaran yang terjadi. Pengaturan pelanggaran pemilu dengan batasan waktu yang singkat bertujuan untuk mendorong penyelesaian kasus yang disesuaikan dengan tahapan pelaksanaan pemilu sehingga ada jaminan bahwa pemilu diselenggarakan secara bersih. Persoalannya beberapa ketentuan tidak cukup mampu untuk menindak terjadinya pelanggaran pemilu apalagi mencegahnya. Hal ini karena ketentuan undang-undang pemilu belum lengkap, multitafsir dan beberapa diantaranya kontradiksi. Upaya mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan melalui pembuatan peraturan tertentu sebagaimana diamanatkan undang-undang pemilu, kesepakatan bersama antara KPU dan lembaga penegak hukum mengenai tata cara penanganan pelanggaran, serta meningkatkan kapasitas aparat di masing-masing lembaga mengenai aturan perundang-undangan pemilu. Penanganan pelanggaran secara jujur dan adil merupakan bukti adanya perlindungan kedaulatan rakyat dari tindakan-tindakan yang dapat mencederai proses dan hasil pemilu. Adalah kewajiban bagi pengawas, penyelenggara dan aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa semua pelanggaran pemilu yang terjadi dapat diselesaikan secara adil dan konsisten. Undang-undang pilkada merupakan sebagai penyelewengan prinsip demokrasi di Indonesia pada saat ini. Karena undang-undang pilkada hanya di pandang sebelah oleh rakyat maupun oleh pejabat pemerintah. Maka dari itu banyak sekali terjadi penyelewengan-penyelewengan yang ditemukan dalam pelaksanaan pilkada dilapangan.

2.2 Bentuk Penyelewengan Prinsip Demokrasi dalam Undang-Undang PilkadaTerjadinya pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu sudah tidak terhindarkan. Pelanggaran dapat terjadi karena adanya unsur kesengajaan maupun karena kelalaian. Pelanggaran pemilu dapat dilakukan oleh banyak pihak bahkan dapat dikatakan semua orang memiliki potensi untuk menjadi pelaku pelanggaran pemilu. Sebagai upaya antisipasi, UU 10 Tahun 2008 tentang Pemiliham Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu) mengaturnya pada setiap tahapan dalam bentuk kewajiban, dan larangan dengan tambahan ancaman atau sanksi. Bentuk penyelewengannya yakni sebagai berikut.

2.2.1 Daftar Pemilihan yang Tidak AkuratPermasalahan daftar pemilih yang tidak akurat dalam Pilkada, sering dijadikan oleh para pasangan calon yang kalah untuk melakukan gugatan. Berdasar Pasal 47 UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu menyebutkan bahwa PPS mempunyai tugas dan wewenang antara lain mengangkat petugas pemutakhiran data pemilih dan membantu KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK melakukan pemutakhiran data pemilih, daftar pemilih sementara, daftar pemilih hasil perbaikan, dan daftar pemilih tetap. Melalui pengaturan ini jika dalam pemutakhiran data pemilih, melibatkan RT/RW sebagai petugas pemutakhiran, maka permasalahan data pemilih yang tidak akurat akan dapat diminimalisir, karena RT/RW adalah lembaga yang paling mengetahui penduduknya.

2.2.2 Proses Pencalonan yang BermasalahPermasalahan dalam pencalonan yang selama ini terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu konflik internal partai politik/gabungan partai politik dan keberpihakan para anggota KPUD dalam menentukan pasangan calon yang akan mengikuti pilkada. Secara yuridis, pengaturan mengenai pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dari beberapa pasal tersebut memberikan kewenangan yang sangat besar kepada KPUD dalam menerima pendaftaran, meneliti keabsahan persyaratan pencalonan dan menetapkan pasangan calon, yang walaupun ada ruang bagi partai politik atau pasangan calon untuk memperbaiki kekurangan dalam persyaratan adminitrasi, namun dalam perakteknya beberapa kali terjadi penetapan pasangan calon yang di rugikan. Pasal 59 ayat (5) a yaitu undang-undang nomer 32 tahun 2004 menyatakan bahwa partai politik atau gabungan partai politik pada saat pada saat mendaftarkan calaon, wajib menyerahkan surat mencalonkan yang di tandatangi oleh pimpinan politik atau pimpinan partai politik yang bergabung. Dalam tahapan ini kadang terjadi permasalahan di internal partai politik, ketika calon yang diajukan oleh pimpinan partai politik setempat berbeda dengan calon yang direkomendasikan oleh DPP partai politik.Dalam permasalahan ini karena pimpinan partai politik setempat tidak melaksanakan rekomendasi DPP partai politik,kemudian diberhentikan sebagai pimpinan partai politik di wilayahnya dan menunjuk pelaksana tugas pimpinan partai politik sesuai wilayahnya yang kemudian juga meneruskan rekomendasi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah namun ditolak KPUD dengan alasan partai politik tersebut melalui pimpinan wilayahnya yang lama telah mengajukan pasangan calon. Pasal 61 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa penetapan dan pengumuman pasangan calon oleh KPUD bersifat final dan mengikat. Dalam hal KPUD tidak netral, ketentuan ini kadang disalahgunakan untuk menggugurkan pasangan calon tertentu tanpa dapat melakukan pembelaan, karena tidak ada ruang bagi pasangan calon yang dirugikan untuk melakukan pengujian atas tindakan KPUD yang tidak netral melalui pengadilan. Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan perlu pasangan calon perlu diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses pencalonan dirugikan KPUD.

2.2.3 Permasalahan pada Masa Kampanye Pengaturan mengenai kampanye secara yuridis diatur dalam pasal 75 sampai dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu meliputi pengaturan mengenai teknis kampanye, waktu pelaksanaan, pelaksana kampanye, jadwal kampanye, bentuk dan media kampanye, dan larangan-larangan selama pelaksanaan kampanye. Kandidat dan tim kampanye cendrung mencari celah pelanggaran yang menguntungkan dirinya. Pasal 75 ayat (2) berbunyi dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 14 (empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara", dengan terbatasnya waktu untuk kampanye maka sering terjadi curi start kampanye dan kampanye diluar waktu yang telah ditetapkan. Kampanye yang diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pengenalan pemilih terhadap calon kepala daerah agar pemilih mendapatkan informasi yang lengkap tentang semua calon, menjadi tidak tercapai. Untuk itu ke depan perlu pengaturan masa kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari segi program.2.2.4 Manipulasi Penghitungan Suara dan Rekapitulasi Hasil Penghitungan SuaraManipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara dapat terjadi di setiap tingkatan, yaitu di KPPS, PPK, KPU Kabupaten, dan KPU Provinsi. Permasalahan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara akan manipulasi, disebabkan oleh banyaknya TPS yang tersebar dalam wilayah yang luas. Dengan banyaknya TPS yang tersebar luas membuat para pasangan calon sulit mengontrolnya karena memerlukan saksi yang banyak dan biaya besar. Di lain pihak para penyelenggara Pilkada di beberapa daerah tidak netral, berhubung sistem seleksi anggota KPUD tidak belum memadai.2.2.5 Penyelenggaraan Pemilu yang Tidak AdilPenyelenggaraan pemilu yang tidak adi yakni dijabarkan sebagai berikut.a. KPU dan KPU ProvinsiKeberpihakan KPU atau KPU Provinsi kepada salah satu pasangan calon dilakukan kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten dengan memberhentikan atau membekukan para anggota KPU Provinsi atau KPU Kabupaten. Padahal pengambil-alihan baru dapat dilakukan jika KPU dibawahnya tidak dapat melaksanakan tahapan Pilkada.b. KPU Provinsi dan Kabupaten/KotaKeberpihakan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada salah satu pasangan calon dilakukan pada tahapan proses pencalonan, penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.c. Panwalsu Keberpihakan Panwaslu kepada salah satu pasangan calon dilakukan khususnya pada tahapan setelah hasil penghitungan suara, dengan menjadi promoter bagi pasangan yang kalah. Akibatnya pelaksanaan Pilkada menjadi ruwet, terjadi ketegangan di tingkat grass root dan bahkan kadang sampai menimbulkan kerusuhan. Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman para anggota KPU, KPUD, dan Panwaslu dalam melaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta sistem seleksi para anggota KPU, KPUD, Panwaslu belum mengetengahkan adanya kebutuhan anggota KPU, KPUD, Panwaslu yang obyektif, netral, mempunyai integritas tinggi, tidak mudah mengeluarkan statement, dan memiliki pemahaman yang baik terhadap ketentuan peraturan perundang-undang Pemilu.

2.2.6 Putusan MA atau MK yang Menimbulkan Kontroversi di MasyarakatSengketa Pilkada diatur dalam pasal pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang pada intinya menyatakan bahwa sengketa hasil penghitungan suara dapat diajukan oleh pasangan calon kepada pengadilan tinggi untuk pilkda bupati/walikota dan kepada MA untuk pilkda Gubernur. Putusan yang dikeluarkan pengadilan tinggi/Mahkamah Agung bersifat final. Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang kewenangan penyesesaian sengketa pilkada beralih dari mahkamah agung ke mahkamah konstitusi. Baik dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan pengadilan untuk mengadili sengketa Pilkada hanya terbatas pada sengketa hasil yang mempengaruhi pemenang Pilkada, permasalahannya adalah bagaimana apabila terjadi sengketa di luar hasil penghitungan suara, selain itu beberapa putusan baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi menimbulkan kontroversi di masyarakat, akibatnya penyelesaian Pilkada berlarut-larut. Selama ini tidak hanya sengketa hasil penghitungan suara yang terjadi dalam Pilkada, seperti permasalahan DPT, permasalahan pencalonan baik terjadinya permasalahan di internal partai politik maupun pemenuhan permasalahan pilkada. Meskipun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 sudah membatasi kewenangan pengadilan hanya sebatas sengketa hasil penghitungan suara, namun pengadilan sering menabrak peraturan tersebut.

2.2.7 Putusan-Putusan Mk yang Membatalkan UU No. 32 Tahun 2004 Dan UU No. 12 Tahun 2008 Terkait dengan Pilkadaa. Putusan MK No.072-073/PUU-ii/2005 menyatakan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 :Dalam pertimbangan hukumnya mahkamah berpendapat bahwa Pilkada langsung tidak termasuk dalam kategori pemilu sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 namun Pilkada langsung adalah pemilu secara materiil untuk mengimplementasikan pasal 18 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945 karena itu dalam penyelenggaraannya dapat berbeda dengan pemilu yang diatur pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945, misalnya dalam hal regulator, penyelenggara dan badan yang menyelesaikan perselisihan hasil pilkada meskipun tetap didasarkan asas pemilu yang berlaku. Pembentuk Undang-Undang No 32 Tahun 2004 telah menetapkan KPUD sebagai penyelenggara Pilkada yang merupakan wewenang pembentuk undang-undang yang terpenting adalah harus dijamin independensinya dan terganggunya penyelenggaraan independesi mengakibatkan bertentangan dengan kepastian, perlakuan yang sama dan keadilan sesuai pasal 28D UUD Negara RI Tahun 1945. Mahkamah juga berpendapat bahwa pembentuk undang-undang dapat dan memang sebaiknya pada masa yang akan datang menetapkan KPU sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai penyelenggara pilkada karena memang dibentuk untuk itu dan telah membuktikan independensinya dalam pemilu 2004.

b. Putusan MK Nomor No.22/PUU-VII/2009 Menyatakan bahwa pasal 58 huruf o Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, namun dalam salah amar putusannya juga menyatakan bahwa masa jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani selama setengah atau lebih masa jabatan, dengan kata lain dihitung satu kali masa jabatan adalah apabila seorang kepala daerah telah menduduki jabatannya selama 2,5 tahun atau lebih. Penghitungan masa jabatan ini tidak dibatasi apakah karena pilkada langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 atau pilkada tidak langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, karena dalam pertimbangan hukumnya majelis hakim berpendapat bahwa perbedaan sistem pemilihan kepala daerah antara langsung dan tidak langsung, tidak berarti bahwa sistem Pilkada tidak langsung tidak atau kurang demokratis apabila dibandingkan dengan sistem langsung demikian pula sebaliknya. Dari pertimbangan majejelis ini berarti bahwa menurut majelis, Pilkada langsung maupun pilkada tidak langsung sama-sam demokratishya sebagaimana dimaksud pasal 18 ayat (4) UUDN 1945. Bahkan majelis berpendapat setelah pengalaman dalam pilkada langsung berdasar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sekarang timbul gagasan baru untuk kembali memberlakukan pilkada tidak langsung, dan hal ini sah-sah saja. Perubahan pengertian norma hukum pasal 58 huruf o UU No 32 Tahun 2004 yaitu batasannya adalah 2, 5 (dua setengah) tahun, artinya apabila Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah menduduki masa jabatannya kurang dari 2,5 (dua setengah tahun, belum dianggap satu kali masa jabatan sehingga masih bisa mencalonkan selama 2 (dua) periode sehingga apabila selama 2 (dua) kali masa pencalonannya selalu terpilih, yang bersangkutan bisa menduduki jabatannya maksimal 12, 4 (dua belas koma empat) tahun beberapa hari.

2.2.8 Penyesuaian Tata Cara Pemungutan Suara dan Penggunaan KTP sebagai Kartu PemilihPenyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu pemilu yakni dijabarkan sebagai berikut.a. Penyesuaian tata cara pemungutan suaraBerdasar Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "pemberian suara untuk Pilkada dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan calon dalam surat suara". Sedangkan dalam pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Perhllu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 melalui peraturan KPU pemberian suara dilakukan dengan memberi tanda "centang". Walaupun cara pemberian suara dalam Pemilu 2009 dengan memberi tanda centang masih banyak yang salah sehingga suara tidak sah, namun cara pemberian suara ini telah mulai memasyarakat, sehingga agar tidak membingungkan masyarakat, maka ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan cara pemberian suara perlu diselaraskan dengan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.

b. Penyesuaian penggunaan KTP sebagai kartu pemilihBerdasar Pasal 71 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: Pemilih yang telah terdaftar sebagai pemilih diberi tanda bukti pendaftaran untuk ditukarkan dengan kartu pemilih untuk setiap pemungutan suara". Sedangkan dalam pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 dalam rangka efisiensi KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau Surat Keterangan Kependudukan dapat dijadikan kartu pemilih. Untuk itu dalam rangka efisiensi pelaksanaan Pilkada, "ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan penggunaan kartu pemilih dalam pelaksanaan Pilkada perlu disesuaikan dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.

2.2.9 Posisi Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam PilkadaDalam rangka menjaga kesetaraan (fairness) dan menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Pilkada, kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah harus mengundurkan diri dari jabatannya. Namun melalui Putusan Nomor 17/PUU-VI/2008 tanggal 4 Agustus 2008, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan ketentuan dimaksud karena menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty, rechtsonzekerheid) atas masa jabatan kepala daerah yaitu lima tahun [vide Pasal 110 ayat (3) UU 32/2004] dan sekaligus perlakuan yang tidak sama (unequal treatment) antar-sesama pejabat negara [vide Pasal 59 ayat (5) huruf i UU 32/2004], sehingga dapat dikatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Akibatnya kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah hanya cuti selama kampanye. Mengindahkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan dimaksud ke depan bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah harus diberhentikan sementara sejak pendaftaran sampai dengan dilantiknya kepala daerah/wakil kepala daerah yang baru.

2.2.10 Penggabunggan Pilkada ( Pilkada Serentak )Penggabungan pelaksanaan Pilkada diperlukan selain untuk menghemat biaya Pilkada juga untuk kejenuhan masyarakat pada Pemilihan umum yang akan di laksanakan.

2.3 Solusi Tehadap Undang-Undang Pilkada Agar tidak Dijadikan Sebagai Penyelewengan Prinsip Demokrasi IndonesiaDalam melaksanakan sesuatu pasti ada kendala yang harus di hadapi. Tetapi tergantung dari kita bagaimana untuk mengatasi dan meminimalkan kendala tersebut. Untuk itu diperlukan peran serta masyarakat untuk menyelesaikan maslah yang terjadi karena ini tidak hanya tanggung jawab pemerintah. Solusinya antara lain sebagai berikut :a. Peraturan mengenai undang-undang pilkada harus lebih ditingkatkan dan tegaskan lagi, agar masyarakat tidak memandang sebelah tentang peraturan undang-undang pilkada. b. Money politik harus dihilangkan dari kehidupan dan cara pandang masyarakat mengenai adanya money politik yang berkembang dimasyarakat. Money politik ini tidak baik bagi masyarakat karena bisa membuat masyarakat mudah di peralat bagi orang yang yang punya uang dan membuat orang menjadi bodoh karena adanya money politik.c. Pendidikan harus di tingkatkan supaya tidak terjadi pembodohan mengenai undang-undang pilkada. Apabila seseorang sudah mempunyai pendidikan yang tinggi maka orang tersebut tidak akan mudah di pengaruhi oleh orang yang mempengaruhinya.d. Sosialisasi bagi orang-orang yang tidak memiliki pendidikan supaya orang-oarang tersebut bisa mengerti seberapa penting arti demokrasi itu bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

3. PenutupDemokrasi di negara Indonesia bersumber dari pancasila dan UUD45 sehingga sering di sebut dengan demokrasi pancasila. Demokrasi pancasila berintikan musyawarah untuk mencapai mufakat, dengan berpangkal pada paham kekeluargaan dan kegotongroyongan dalam masyarakat. Masyarakat harus bisa mengerti hukum dan arti demokrasi supaya tidak salah mengartikan pentingnya sebuah demokrasi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan Yang terlebih penting lagi adalah konsolidasi demokrasi yang harus merupakan konsensus untuk menyempurnakan system demokrasi, baik yang berkaitan dengan substansi, struktur dan budaya hukum, yang penyempurnaannya harus merupakan usaha yang tidak pernah henti (the endless effort). Demokrasi sebagai system politik harus didukung oleh system hukum yang mantap, yang effektivikasinya akan banyak tergantung pada kualtias perundang-undangannya, kelengkapan sarana dan prasarananya, kualitas sumberdaya manusia baik mental maupun intelektual dan partisipasi masyarakat secara luas.

DAFTAR RUJUKAN

Padmo, W. 1986. Indonesia Negara berdasarkan atas Hukum. Gahlia Indonesia, cetakan kedua. Jakarta.

Mawardi, I. 2013. Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Negara Hukum dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah. (Online),(http://irvanmawardi.blogspot.com /2013/12/pelaksanaan-prinsip-prinsip-negara-hukum-dalam-pemilihan-umum-kepala-daerah.html), diakses tanggal 01 November 2014.

Tipikor, 99. 2009. Pelanggaran Pemilu dan Mekanisme Penyelesaianya.(Online),(http://tipikor99.blogsport.com/2009/02/pelanggaran-pemilu-dan-mekanisme-penyelesaiannya.html), diakses tanggal 01 November 2014.

1