Syok Septik
-
Upload
nurul-ilmia -
Category
Documents
-
view
18 -
download
1
description
Transcript of Syok Septik
Referat
Terapi Cairan pada Syok Septik
Pembimbing :
Dr. Suparto, Sp. An
Disusun oleh :
Nurul Ilmia (11-2015-080)
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi
Rumah Sakit Family Medical Care
Periode 23 November 2015 – 12 Desember 2015
PENDAHULUAN
Sepsis adalah sindrom respon inflamasi sistemik atau systemic inflammatory response
syndrome (SIRS) terkait dengan adanya suatu infeksi. Sindrom ini merupakan penyebab
utama kematian ke 13 di Amerika Serikat, dan meskipun kemajuan dalam pengobatan
modern, tingkat kematian sepsis tidak berubah. Pasien menunjukkan takikardia, takipnea,
demam, dan leukositosis, atau mungkin syok dengan gagal organ multiple. Seperti SIRS,
pelepasan mediator inflamasi sistemik dari hasil sepsis di dalam mikrosirkulasi, dilatasi vena,
dan ginjal dan disfungsi miokard. Terapi cairan diperlukan dalam pengobatan sepsis karena
relatif terjadi hipovolemia dan diikuti ekstravasasi cairan dari kompartemen vaskuler. Tujuan
resusitasi cairan pada sepsis adalah untuk mengembalikan tekanan pengisian arteri dan untuk
meningkatkan perfusi organ dan metabolisme oksidatif, sementara meminimalkan overhidrasi
yang dapat menyebabkan edema paru, ileus paralitik, dan sindrom kompartemen. Untuk
mencapai tujuan ini, dokter menggunakan beberapa indeks yang berbeda untuk mengatur
terapi cairan dan terapi lainnya. Upaya intensif yang dibuat untuk menghindari overhidrasi.
Namun, untuk mempertahankan hidrasi intravaskular terapi cairan pada sepsis akan
menyebabkan keseimbangan cairan positif yang besar. Meskipun terapi cairan yang
diperlukan saja jarang mencukupi untuk mempertahankan homeostasis fisiologis, dan terapi
ajuvan seperti pressors atau bahkan inotropik kadang diperlukan.1,2
Patofisiologi sepsis melibatkan pelepasan mediator inflamasi dari neutrofil, makrofag,
limfosit-T, dan sel-sel endotelial, atau dalam kasus gram positif dan gram negatif organisme,
endotoksin dan eksotoksin. Target seluler mediator ini akan merangsang pelepasan sitokin,
eikosanoid, protease, radikal oksigen, dan nitrat oksida (NO) dan katabolitnya. Sitokin
menyebabkan diferensiasi sel-T, sel-B, dan sel-sel makrofag alami, yang dapat menyebabkan
kerusakan jaringan secara langsung.3 Aktivasi dari rangkaian inflamasi ini juga
menghasilkan hiperkatabolisme dan demam. Kerusakan pada sistem kardiovaskular akan
menyebabkan disfungsi miokard dan hilangnya integritas mikrovaskuler. Aliran cairan
transvaskular yang terjadi pada mikrosirkulasi dapat disimpulkan dengan persamaan Starling-
Landis:2
Jv = Kf [(Pc - Pi) – σ (πp - πi)]
di mana Jv adalah aliran cairan transvaskular, Kf adalah koefisien filtrasi (luas permukaan
hidrolik area pertukaran permukaan X – suatu indeks permeabilitas mikrovaskuler untuk
molekul kecil, Pc adalah tekanan hidrostatik kapiler, Pi adalah tekanan hidrostatik interstitial,
2
σ adalah refleksi koefisien terhadap protein- suatu indeks permeabilitas mikrovaskuler
terhadap molekul besar, πp adalah tekanan onkotik plasma, dan πi adalah tekanan onkotik
interstitial. Dalam kondisi fisiologis normal, persamaan tersebut hampir mencapai
keseitimbangan dan aliran cairan transvaskular mendekati nol. Dengan demikian, cairan yang
disaring dengan adanya tekanan hidrostatik interstisial dan kapiler dikembalikan oleh
perbedaan tekanan onkotik. Pada beberapa keadaan, termasuk sepsis, perubahan ini
menyebabkan terjadinya filtrasi cairan, sehingga volume intravaskular akan menurun dan
terbentuklah edema. Permeabilitas mikrovaskuler, terutama untuk molekul besar, meningkat
selama sepsis akibat endotoksin dan pelepasan mediator inflamasi lainnya. Protein dan
molekul besar lainnya yang normalnya terkandung dalam kapiler pecah dan air akan keluar
secara osmosis. Gradien onkotik yang telah diperbaiki menjadi kurang efektif sebagai
meningkatnya permeabilitas mikrovaskuler. Meskipun peningkatan mekanisme untuk
permeabilitas mikrovaskuler belum sepenuhnya digambarkan, kontraksi endotelial mungkin
memainkan peran penting. Peningkatan tekanan kapiler oleh mediator sistemik, seperti
histamin, bradikinin, dan disfungsi miokard lebih meningkatkan ekstravasasi cairan. Pada
akhirnya, pemberian cairan volume besar untuk menggantikan volume pembuluh darah
berkontribusi pada pengenceran protein plasma, sehingga menurunkan tekanan onkotik
plasma. Hasilnya hubungan dari perubahan pada mikrosirkulasi menyebabkan ekstravasasi
cairan dan pembentukan edema.1
Venodilatasi yang dihasilkan dari pelepasan mediator inflamasi seperti nitrat oksida
(NO), mengurangi pengisian ventrikel dan dengan demikian menurunkan cardiac output dan
tekanan arteri. Normalnya, sistem kardiovaskular mengkompensasi berkurangnya preload
dengan meningkatkan resistensi pembuluh darah sistemik dan kontraktilitas miokard dan
denyut jantung, tetapi dalam sepsis, mekanisme ini tidak efektif karena responsif sirkulasi
buruk. Kurangnya respon sebagian hasil dari pembentukan NO. Cairan diberikan untuk
meningkatkan aliran balik vena dan meningkatkan curah jantung. Pada pasien yang awalnya
merespon bolus cairan, cardiac output, hipotensi, dan perfusi organ dapat dikembalikan.
Namun, pada pasien dengan resiko tinggi, jumlah yang lebih besar cairan dengan atau tanpa
inotropik dan vasopressor agen dibutuhkan untuk mempertahankan aliran balik vena dan
perfusi adekuat untuk jaringan vital.1
Meskipun meningkatnya curah jantung selama resusitasi pasien dengan syok septik,
terjadi juga penurunan compliance ventrikel, penurunan kontraktilitas, dan disritmia selama
terjadi sepsis. Necrosis tumor factor dan sitokin lainnya dapat menyebabkan pembentukan
3
dan pelepasan NO oleh miosit, sehingga mengakibatkan depresi miokard. Fungsi sistolik,
diukur dengan echocardiografi, menurun 20% sampai 30% selama sepsis. Kehilangan
sekunder volume intravaskular akibat peningkatan tekanan kapiler, karena pasien dengan
penurunan compliance ventrikel dan penurunan kontraktilitas miokard memerlukan tekanan
pengisian yang lebih tinggi untuk mempertahankan stroke volume yang adekuat. Oleh karena
itu, resusitasi cairan adalah upaya yang diperlukan untuk mempertahankan stabilitas
hemodinamik1
PETUNJUK AKHIR RESUSITASI
Setelah resusitasi cairan telah dimulai, dokter menggunakan beberapa petunjuk untuk
menuntun dalam pemberian cairan. Dimulai dengan urin output, tekanan arteri rata-rata atau
mean arterial pressure (MAP), dan denyut jantung dapat dipilih untuk panduan terapi cairan.
Meskipun petunjuk ini dapat memprediksi volume intravaskuler pada pasien hipovolemi non
septik, namun petunjuk tersebut gagal memprediksi perfusi yang menyeluruh selama sepsis.
Monitor invasif seperti kateter arteri pulmonal dihubungkan dengan resiko tinggi
menyebabkan trauma seperti pneumothoraks, infeksi, ruptur arteri pulmonal, dan disritmia.
Sementara tehnik baru ditingkatkan dan menunjukkan potensi yang menjanjikan sebagai
indeks yang lebih baik untuk resusitasi cairan, monitor hemodinamik dan pengukuran urin
output merupakan hal yang paling umum dan tersedia. Dalam hal ini, kita akan membahas
kelebihan dan kekurangan dalam setiap tehnik monitoring.1,2
Tekanan Arteri Rata-rata atau Mean Arterial Pressure (MAP)
Hipotensi arteri digunakan untuk mengukur seberapa berat syok septik yang terjadi.
Meskipun tekanan arteri rata-rata kurang dari 60 mmHg adalah kriteria syok septik, tapi 60
mmHg pada penderita hipertensi kronis juga dianggap syok septik. Resusitasi cairan jarang
dapat mengembalikan MAP ke normotensi. Pada kenyataannya, resiko overhidrasi cairan
menyebabkan edema paru, edema intestinal, dan sindrom kompartemen abdomen dapat
terjadi jika petunjuk tersebut digunakan untuk panduan terapi cairan. Tekanan arteri berfungsi
sebagai ukuran tingkat shock daripada digunakan sebagai petunjuk akhir indikator resusitasi.
Di samping itu, MAP harus diikuti dengan paradigma resusitasi untuk memastikan perfusi
adekuat pada peredaran darah serebral dan koroner. Jika hipotensi masih tetap berlangsung
dan indeks lain dari volume intravaskular normal atau lebih dari normal, harus
4
dipertimbangkan memberian inotropik dalam keadaan kritis. Jika inotropik tidak efektif,
pemberian agen pressor harus dipertimbangkan.1
Frekuensi Jantung
Takikardi (denyut jantung >90) terjadi dalam sepsis. Ini dapat terjadi dengan adanya atau
tidak adanya volume intravaskular rendah. Pasien dengan sepsis menunjukkan status
hipermetabolik, peningkatan denyut jantung dengan demam, katabolisme, dan rendahnya
resistensi vaskuler. Bahkan setelah pemberian cairan, takikardia biasanya tidak dapat
diselesaikan. Bradikardia juga bisa muncul pada beberapa pasien septik.1
Urin Output
Urin output lebih besar dari 0,5 mL/kg/jam sering digunakan untuk memandu terapi cairan.
Khususnya, angka ini mewakili klirens minimum dari sisa metabolisme nitrogen dan asam
metabolik yang diproduksi oleh tubuh, dan kemampuan konsentrasi maksimal dari ginjal
untuk mengekskresikan tambahan metabolik. Meskipun urin output bisa menjadi prediktor
perfusi ginjal yang wajar pada pasien non septik, tetap ada keterbatasan dalam
menggunakannya sebagai indeks baik perfusi global atau regional. Kami mendapat laporkan
bahwa laju filtrasi glomerulus menurun pada sepsis akibat berkurangnya tekanan filtrasi
glomerulus. Dengan demikian, urin output mungkin bukan indeks yang dapat diandalkan
dalam resusitasi. Urin output dapat normal atau meningkat meskipun berkurang aliran darah
ginjal, karena kadar faktor natriuretik atrium meningkat pada sepsis. Keadaan hiperosmotik
seperti hiperglikemia, atau terapi diuretik seperti furosemid, akan menambah produksi urin
bahkan saat filtrasi glomerulus berkurang. Faktor pengganggu yang umum pada pasien
septik. Hipoproteinemia, yang ada dalam sebagian besar pasien septik, mendorong
pembentukan urin meskipun penurunan potensial aliran darah ginjal, karena tekanan osmotik
koloid plasma yang rendah kurang mampu memfasilitasi reabsorpsi onkotik.1
Tekanan Pengisian Jantung
Tekanan atrium kanan atau right atrial pressure (RAP) dan tekanan oklusi arteri paru atau
pulmonary artery occlusive pressure (PAOP) merupakan indikator yang umum digunakan
oleh dokter untuk memperkirakan preload pada pasien yang merespon buruk terhadap terapi
cairan. Dalam kondisi fisiologis normal, RAP dan PAOP berkorelasi dengan volume akhir
diastolik ventrikel kiri atau preload jantung. Dengan demikian, volume dan tekanan saling
berhubungan. Untuk memaksimalkan curah jantung, tekanan pengisian ditingkatkan hingga
5
12 - 15 mmHg. Namun, saat sepsis pengisian tekanan mungkin tidak mencerminkan volume
akhir diastolik. Menurunnya compliance ventrikel, peningkatan tekanan jalan napas dari
ventilasi, regurgitasi trikuspid, hipertensi pulmonal, dan kelainan ventilasi atau perfusi di
paru-paru yang terjadi, membuat hubungan antara tekanan pengisian dan volume akhir
diastolik sulit untuk ditafsirkan. Hati-hati harus dilakukan bila menggunakan angka mutlak
untuk memandu terapi cairan. Lebih lanjut, tren dalam tekanan pengisian mungkin indeks
preload yang lebih singkat. Pengukuran ini, meskipun invasif, biasanya segera tersedia dan
yang akrab bagi kebanyakan dokter.1
Pengiriman Oksigen dan Konsumsi Oksigen
Pengiriman oksigen dan konsumsi oksigen diperoleh dari kateter arteri pulmonal.
Oksigen delivery (mL/min) = cardiac output (L/min) x hemoglobin concentration
(g/dL) x 1,34 (mL O2/ g hemoglobin) x % O2 arterial saturation
Oksigen consumption = cardiac output x (O2 saturation arterial – O2 saturation mixed
venous blood) x 1,34 (hemoglobin concentration)
Ada kekurangan pada konsensus dalam menggunakan pengiriman oksigen atau konsumsi
oksigen sebagai indikator untuk pedoman pemberian terapi cairan pada sepsis. Ini mungkin
disebabkan oleh gangguan dalam metabolisme sel, menyebabkan pemanfaatan yang tidak
memadai oksigen dan nutrisi meskipun "perfusi memadai". Penurunan saturasi oksigen vena
campuran (SvO2) dapat mencerminkan penurunan dalam cardiac output dan pengiriman
oksigen. Jika SvO2 kurang dari 50% sangat mungkin telah terjadi penurunan perfusi.
Menambah curah jantung atau pemberian sel darah merah sangat diperlukan untuk
meningkatkan pengiriman oksigen. Namun, pasien septik sering menunjukkan peningkatan
SvO2. Ini terjadi karena peningkatan aliran darah ke jaringan yang aktif secara non metabolik.
Pada kenyataannya, jika aliran darah ke jaringan aktif secara non metabolik lebih besar dari
aliran darah ke jaringan yang aktif secara metabolik, maka SvO2 akan lebih tinggi dari
normal.1
Kelebihan Laktat/ Base Excess
Pemeriksaan gas darah secara serial, termasuk konsentrasi serum laktat, merupakan indikator
prognostik dari hipoperfusi jaringan dalam keadaan sepsis. Namun, hasil dari pengukuran ini
tidak cepat, disamping itu biayanya cukup mahal. Sebagai tambahan, kelompok Wolfe
6
melaporkan bahwa glikolisis sangat dipercepat selama trauma dan sepsis. Aktivitas
dipercepat dari jalur ini dengan tidak adanya pemanfaatan energi menyebabkan peningkatan
piruvat dan laktat. Peralatan untuk pemeriksaan kadar laktat dengan cepat digunakan
laboratorium darurat. Namun, untuk menafsirkan perubahan laktat, disarankan untuk
mengetahui rasio laktat / piruvat.1
Echocardiography dan Doppler
Echocardiography bisa digunakan untuk mengukur kontraktilitas dan kompetensi ventrikel
dari katup jantung, yang keduanya mungkin abnormal pada pasien septik. Semakin banyak
unit perawatan intensif atau intensive care units (ICU) yang menyediakan perangkat ini, dan
banyak pula dokter yang dilatih untuk menggunakannya. Namun, echocardiography tidak
memonitor terus menerus resusitasi. Tanggap cairan dalam sepsis telah dievaluasi
menggunakan Doppler. Baru-baru ini, Fissel dkk. telah menunjukkan adanya perubahan
kecepatan aliran darah aorta selama respirasi, diukur dengan Doppler atau transesophageal
echocardiography, secara akurat dan dapat mencerminkan respon cairan pada pasien septik
dengan fungsi sistolik yang terjaga.1
Intrathoracic Blood Volume
Pengukuran volume darah intratoraks menggunakan prinsip termodilusi transpulmonal oleh
waktu transit vena-arteri. Volume darah intratoraks dapat dihitung jika cardiac output
(L/menit) dan waktu transit (menit) diketahui. Perangkat ini dipasarkan oleh Pulsion (Pulsion
Medical Inc, Cornelius, North Carolina, U.S.A.) mengukur cardiac output, tekanan sistolik
dan tekanan diastolik arteri, denyut jantung, stroke volume, dan variasi stroke volume dan
menghitung resistensi vaskular sistemik, cardiac output secara berkelanjutan, dan volume
darah intrathoracic. Sistem ini membutuhkan kateter arteri perifer dan vena sentral. Hal ini
tidak seinvasif kateter arteri pulmonal, karena kateter tidak ditempatkan di jantung atau arteri
pulmonalis. Volume darah intratoraks telah terbukti memiliki korelasi yang lebih tinggi
sebagai indeks preload dibanding tekanan vena sentral atau PAOP. Pada kenyataannya,
tekanan vena sentral dan PAOP mungkin tidak memiliki hubungan dengan stroke volume
pada pasien kritis.1
Variasi Tekanan Darah
Teknik memanfaatkan indeks dinamis preload sekarang sedang diuji dan menunjukkan hasil
yang menjanjikan dalam memprediksi respon cairan. Variasi tekanan darah sistolik dan
7
tekanan darah terkait erat dengan jumlah preload, karena mereka memperhitungkan dinamika
siklus jantung selama respirasi. Meskipun variasi tekanan darah sistolik mungkin tidak
menyebabkan perubahan dalam tekanan pleura, variasi tekanan nadi bisa menjadi suatu
pengukuran yang menguntungkan. Namun, pengukuran harus dilakukan oleh operator yang
berpengalaman.1
Tonometri Lambung
Indeks regional perfusi end-organ telah mendapatkan perhatian serius, dengan fokus utama
pada perfusi usus. Tonometri lambung melibatkan penempatan balon yang terisi saline ke
dalam perut atau bagian proksimal dari saluran pencernaan. Setelah 30-60 menit dari kontak
dengan dinding mukosa, balon yang terisi saline tersebut menyeimbangkan dengan jaringan
CO2 dinding mukosa. PH Intramukosa kemudian dihitung dengan mengukur pCO2 dari balon
yang terisi saline dan dengan sampel serum bikarbonat. Beberapa percobaan acak dikontrol
menggunakan metode ini sebagai titik akhir yang efektif untuk resusitasi telah menunjukkan
hasil yang beragam. Studi lebih lanjut diperlukan untuk memvalidasi kegunaan tonometri
lambung dalam membimbing resusitasi.1
PILIHAN CAIRAN
Perdebatan pilihan cairan dalam pengobatan sepsis masih berlangsung. Apakah
kristaloid, koloid, atau cairan hipertonik digunakan dalam resusitasi syok septik tampaknya
lebih soal praktek pribadi daripada standar perawatan. Meskipun jumlah keseimbangan cairan
dapat dikurangi jika larutan koloid diberikan, belum ada bukti yang meyakinkan yang
menunjukkan bahwa setiap jenis tertentu cairan mengurangi morbiditas atau mortalitas secara
keseluruhan. Sebaliknya tampak bahwa tingkat resusitasi cairan lebih menunjukkan hasil.1
Kristaloid
Kristaloid seperti NaCl 0,9% atau laktat Ringer (LR) adalah yang paling umum, paling
tersedia, antigenik yang terendah, dan paling murah dari cairan resusitasi. Namun, jumlah
yang lebih besar dari infus kristaloid yang diperlukan untuk mempertahankan volume
vaskular. Tidak diragukan lagi bahwa menginfus cairan kristaloid untuk resusitasi cairan pada
sepsis menghasilkan edema dan potensi gangguan metabolisme. Beban cairan besar dapat
mencairkan protein plasma dan menurunkan tekanan osmotik koloid plasma.1
8
Satu liter 0,9% NaCl (saline normal) mengandung 154 mEq natrium dan 154 mEq natrium
dan klorida 154 mEq dan memiliki osmolaritas 308 mOsm/L. Volume besar infus NaCl 0,9%
akan menghasilkan asidosis metabolik hiperkloremik, yang dapat memperburuk asidosis
metabolik yang ada. Demikian pula, ada laporan dari ketidaknyamanan pencernaan dan
masalah sistem saraf pusat dengan pemberian volume besar NaCl 0,9%. LR sedikit hipotonik
(273 mOsm/L) dan rendah natrium dan klorida dari NaCl 0,9%. Satu liter LR mengandung
130 mEq natrium, 109 mEq klorida, 28 mEq laktat, 3 mEq kalium, dan 3 mEq kalsium.
Kurangnya klorida suprafisiologi di LR dan adanya laktat untuk sisa komponen anion yang
membuatnya menjadi solusi yang lebih fisiologis seimbang dari NaCl 0,9%, terutama jika
volume besar yang diberikan. Laktat akhirnya mengalami metabolisme menjadi bikarbonat
setelah konversi dalam hati. Disfungsi hati atau asidosis laktat metabolik yang berat
merupakan kontraindikasi untuk menggunakan LR, dan kelainan ini terjadi pada syok septik.
Selain itu, hati-hati harus digunakan dalam menginfuskan LR pada pasien cedera kepala,
karena edema cerebral dapat diperburuk oleh LR hiposmolaritas.1
Koloid
Solusi koloid seperti albumin, plasma beku segar, hetastarch, atau gelatin menghasilkan
peningkatan tekanan osmotik koloid plasma. Efek hemat volume koloid adalah karena retensi
osmotik cairan di ruang vaskuler. Selama sepsis, mikrovaskuler permeabilitas meningkat,
menyebabkan ekstravasasi protein dan air ke dalam ruang interstitial dan dengan demikian
mengurangi efektif gradien onkotik plasma-interstitial. Secara khusus balace cairan paru telah
menjadi fokus dari banyak studi klinis dan eksperimental membandingkan pemberian
kristaloid dan koloid. Tampaknya ada perbedaan dengan berkurangnya edema paru, ketika
koloid digunakan untuk resusitasi.1
Albumin adalah protein 69 kD alami. Ini menghasilkan sebagian besar tekanan onkotik dalam
plasma dan digunakan baik sebagai rejimen resusitasi utama atau sebagai cairan ajuvan.
Sebuah tinjauan baru-baru ini oleh kelompok Cochrane mengatakan kematian meningkat
pada pasien yang diobati dengan albumin. Ada sejumlah artikel mengkritik ulasan ini.
Sebelumnya, sebagian besar bilogicals diizinkan untuk berisi sebanyak 1 ng/mL endotoksin.
Albumin juga membawa sedikit risiko penyakit penularan virus dibandingkan dengan
plasma. Namun, itu lebih mahal daripada kristaloid atau koloid buatan. Kebanyakan pasien
yang berada dibawah stres menunjukkan fase respon protein akut. Konsekuensi utama dari
reaksi protein ini untuk stres adalah pengurangan protein konstitutif seperti albumin.
9
Mengingat pentingnya dalam tekanan onkotik dan sebagai protein pembawa, beberapa
kelompok klinis mencoba untuk menjaga tingkat albumin atas 2 g/L pada pasien trauma.1
Meskipun fresh frozen plasma mungkin telah digunakan di masa lalu untuk resusitasi syok,
biaya dan ketersediaan melarang penggunaannya untuk resusitasi cairan hipovolemia.
Digunakan pada keadaan tertentu seperti untuk mengelola plasma pada pasien septik
termasuk koagulopati intravaskular, insufisiensi hati berat, dan pembalikan efek Coumadin,
dan pada pasien yang telah menerima transfusi darah masif.1
Solusi Hydroxylethyl adalah molekul polisakarida yang lebih besar dari albumin. Merek
komersial Hespan adalah rumus yang paling umum di Amerika Serikat. Ini adalah campuran
dari hetastarch 6% di NaCl 0,9%. Hespan memiliki tekanan onkotik yang sama dibandingkan
dengan albumin, tetapi enam kali lebih besar dengan molekul rata-rata 450 kD. Hespan lebih
murah dari albumin dan memiliki efek fisiologis yang sama. Meskipun Hespan memiliki
berat molekul rata-rata 450 kD, itu adalah campuran dari berbagai bahan yang berbeda
ukuran dari kecil seperti 5000 D, sebagian besar hingga beberapa juta. Ada kekhawatiran
bahwa infus Hespan dapat menghasilkan koagulopati, dan itu umumnya direkomendasikan
bahwa tidak lebih dari 15 mL/kg Hespan diberikan kepada pasien dalam waktu 24 jam. Ini
biasanya berarti pemberian tidak lebih dari satu liter Hespan untuk pasien septik, dan cairan
tambahan diperlukan untuk mempertahankan volume vaskular. Koagulopati adalah hasil dari
bahan dengan berat molekul tinggi menghambat faktor VIII dan faktor von Willebrand.1
Yang harus diperhatikan dalam pemberian Hespan adalah gagal ginjal. Sebuah studi terbaru
oleh Schorthen dkk. menyimpulkan bahwa ada dua kali lipat peningkatan risiko
mengembangkan gagal ginjal akut pada pasien sepsis berat yang diobati dengan Hespan
dibandingkan dengan koloid lain. Mekanisme insufisiensi ginjal dengan Hespan tidak jelas.
Hextend adalah hydroxylethyl rumus yang lebih baru yang lebih fisiologis seimbang dari
Hespan dan dapat diberikan dalam dosis yang lebih besar. Dalam sepsis eksperimental,
hextend menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup bila dibandingkan dengan saline.
Formula tepung hydroxylethyl lain dengan substitusi cabang-rantai yang berbeda cenderung
untuk menginduksi koagulopati. Ada juga upaya untuk menghasilkan senyawa dengan berat
molekul yang akan mencegah mereka dari bocor dari vaskuler, bahkan ketika ada perubahan
permeabilitas, tetapi tidak cukup besar untuk mempengaruhi faktor VIII. Hal ini
menyebabkan perkembangan pentafraksi koloid. Kami telah menggunakan molekul berat
(pentafraction) koloid tinggi untuk resusitasi pada sepsis eksperimental dan luka bakar.
10
Keuntungan dari bahan ini karena berat molecural tinggi (100.000-250.000). Ini tidak bocor
dari sirkulasi bahkan ketika permeabilitas meningkat. Kami menemukan itu sangat efektif. Ini
telah menjadi harapan banyak bahwa senyawa tersebut dapat disetujui untuk digunakan di
Amerika Serikat. Sayangnya, Administrasi Makanan dan Obat menuntut bahwa senyawa
akan terbukti unggul Ringer dalam uji klinis. Uji klinis yang begitu mahal, tidak ada
perusahaan telah bersedia untuk melakukannya.1
Dekstran lain adalah cabang rantai polisakarida dengan tekanan onkotik lebih tinggi
perkonsentrasi dari albumin atau hetastarch. Enam persen dekstran 70, 70 kD molekul,
memiliki tekanan onkotik dua kali lipat dari albumin. Resusitasi dengan dekstran
mengembalikan volume pembuluh darah dan memerlukan lebih sedikit cairan dari Hespan
atau Albumin. Dekstran, seperti hetastarch, akhirnya dimetabolisme dan dieliminasi oleh
ginjal. Namun, dekstran dilaporkan lebih antigenik dari baik hetastarch atau albumin.
Anafilaksis atau reaksi anafilaktoid terjadi pada sekitar 1 dari 400 pasien. Oleh karena itu,
penggunaan pesaing Hapten dekstran 1 (Promit) dianjurkan sebelum infus untuk mengurangi
risiko anafilaksis reaksi anafilaktoid. Dekstran juga dapat mengganggu fungsi trombosit yang
dapat memperburuk koagulopati yang mendasari.1
Gelatin tidak umum diberikan di Amerika Serikat, tapi yang umum di Eropa dan negara-
negara lain. Seperti pati hydroxylethyl dan dekstran, rute koloid buatan telah dibuktikan
untuk dipertahankan dalam ruang vaskular meskipun terjadi peningkatan permeabilitas
kapiler. Solusi ini juga lebih murah daripada albumin.1
Saline Hipertonik
Kedua data eksperimen dan klinis menunjukkan bahwa saline hipertonik dapat
mengembalikan hemodinamik sentral, menormalkan trauma mikrosirkulasi, mengurangi
kebutuhan cairan, dan memberikan perlindungan miokardium pada trauma dan luka bakar.
Larutan hipertonik bekerja secara osmotik menarik air, terutama cairan seluler, dari ruang
ekstravaskuler ke dalam ruang vaskuler. Meskipun konsentrasi tinggi natrium, tidak ada efek
samping dari hipernatremia yang ditunjukkan pada pasien trauma diresusitasi dengan 4
mL/kg dengan NaCl 7,5%. Kombinasi dekstran 70, yang merupakan koloid hiperonkotik,
dengan NaCl 7,5% (HSD) lebih lanjut dapat mempertahankan volume vaskular. Selain efek
fisiologis, saline hipertonik menunjukkan telah memiliki profil imunomodulator yang
menguntungkan, dan setidaknya eksperimental menurun kerentanan terhadap sepsis.1
11
Meskipun syok septik lebih rumit dari syok hipovolemik, beberapa tambahan dari resusitasi
saline hipertonik, seperti menjaga fungsi miokardium dan mempertahankan dari sistem
kekebalan tubuh yang lebih kompeten, sangatlah menarik. Studi eksperimental dalam
menangani sepsis telah menunjukkan peran yang potensial dari saline hipertonik.
Kepentingan utama dalam garam hipertonik sebagai cairan resusitasi bergeser jauh dari efek
volume yang hemat untuk efek protektif pada sistem kekebalan tubuh dan miokardium.
Solusi ini unik di bandingkan sedian lain, tetapi akan membutuhkan evaluasi lebih lanjut
dalam penanganan sepsis.1
DAFTAR PUSTAKA
1. Kinsky MP, Traber DL. Perioperative fluid therapy. Dalam: Fluid therapy in trauma.
New York: Informa Healthcare, 2007.h. 197-203.
2. Merx MW dan Weber C. Sepsis and the heart. Circulation. 2007. 116 : 793 – 802.
3. Angus DC dan Poll VD.Review Article : Severe Sepsis and Septic Shock. N ENGL J
Med. 2013. 369 (9) : 840-848.
12