Syok Dengue
-
Upload
cindyanisa -
Category
Documents
-
view
46 -
download
2
description
Transcript of Syok Dengue
MAKALAH
SINDROM SYOK DENGUE
Disusun Oleh :
Kelompok 6 / 6 B
1. Ana Dwi Fatmawati 13010055
2. Cindy Anisa P. 13010057
3. Eka Siswanti 13010062
4. Hafi Datur Rofiah 13010067
5. Hafilah Nur Alizah 13010068
6. Muh. Zaenal Arifin 13010082
7. Weka Febrinda S. 13010099
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN dr. SOEBANDI JEMBER
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2016/2017
Jl. dr. Soebandi No. 59 Jember. Telp/Fax. (0331) 483536
E-mail : [email protected]
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan
rahmat serta penyertaannya sehingga makalah Sindrom Syok Dengue ini dapat kami selesaikan.
Dalam penulisan makalah ini kami berusaha menyajikan bahan dan bahasa yang sederhana,
singkat serta mudah dipahami oleh para pembaca, khususnya keluarga besar Stikes dr. Soebandi
Jember.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna serta masih dapat kekurangan
dan kekeliruan dalam penulisan. Maka kami berharap adanya masukan dari berbagai pihak untuk
perbaikan di masa yang akan datang.
Dalam menyelesaikan makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan, terutama
disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Kami menyadari masih banyak
celah dan kecacatan dalam makalah ini. Maka kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk kedepannya. Dan juga, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kami juga
pembacanya.
Jember, 07 Mei 2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh virus dengue dengan manisfestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri
sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis
hemoragik. Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18, seperti yang
dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus
dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari kadang-
kadang disebut juga sebagai demam sendi. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia
Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Pola
penyebaran penyakit infeksi virus Dengue sejak 1780 – 1949 memiliki kecenderungan
epidemic dan lebih banyak di daerah tropis.
Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling
banyak dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh dunia,
dilaporkan angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta dan angka kematian berkisar 24.000.
Sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis
berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara lain
seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di
Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat tinggi.
Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan
dengue (Dengue Shock Syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh tanda
renjatan atau syok dapat berakibat fatal. Kegawatdaruratan DBD dinyatakan sebagai salah
satu masalah kesehatan global
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan SSD (Sindrom Syok Dengue)?
2. Apa etiologi dari SSD?
3. Bagaimana epidemiologi dari SSD?
4. Bagaimana patogenesis dari SSD ?
5. Apa manifestasi klinis dari SSD ?
6. Bagaimana patofisiologi dari SSD ?
7. Pemeriksaan penunjang apa untuk SSD?
8. Bagaimana diagnosis dan penentuan derajat penyakit pada SSD?
9. Bagaimana penatalaksanaan pada SSD?
10. Apa komplikasi dari SSD?
11. Bagaimana langkah promotif dan preventif pada SSD?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pembahasan dari SSD ( Sindrom Syok Dengue )
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui definisi dari SSD (Sindrom Syok Dengue)
2. Untuk mengetahui etiologi dari SSD
3. Untuk mengetahui epidemiologi dari SSD
4. Untuk mengetahui patogenesis dari SSD
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari SSD
6. Untuk mengetahui patofisiologi dari SSD
7. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang untuk SSD
8. Untuk mengetahui diagnosis dan penentuan derajat penyakit pada SSD
9. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada SSD
10. Untuk mengetahui komplikasi dari SSD
11. Untuk mengetahui langkah promotif dan preventif pada SSD
BAB II
PEMBAHASAN
Spektrum klinis infeksi virus dengue bervariasi tergantung dari faktor yang mempengaruhi
daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian
infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala
(asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated febrile illness), Demam
Dengue (DD), atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom
Syok Dengue (SSD).
A. Definisi
Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria DBD
disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. SSD adalah kelanjutan dari
DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus dengue, derajat paling
berat, yang berakibat fatal.
B. Etiologi
Virus dengue, termasuk genus Flavivirus, keluarga flaviridae. Terdapat 4 serotipe virus
yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Keempatnya ditemukan di Indonesia dengan DEN-
3 serotype terbanyak. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe
yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang,
sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut.
Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe
selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di
Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di
beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi
sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan
menunjukkan manifestasi klinik yang berat.
Penularan terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama Aedes aegypti dan
A.albopictus). Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung
virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus
yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation
period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus
dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan transmission).
Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan
dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan
waktu masa tunas 46 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit.
Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia
yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam
timbul.
C. Epidemiologi
Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling banyak
dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh dunia dilaporkan
angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta kasus dan angka kematian berkisar 24.000 jiwa.
Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah
melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000
penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk (1989-1995).
Mortalitas DBD cenderung menurun hingga 2% tahun 1999.
Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada
suhu yang panas (28-32°C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap
bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban
tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap
tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat
terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.
D. Patogenesis
Patogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori
yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection)
dan hipotesis immune enhancement.
Halstead (1973) menyatakan mengenai hipotesis secondary heterologous infection.
Pasien yang mengalami infeksi berulang dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi heterolog
yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan membentuk
kompleks antigen antibodi kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit
terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh
tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag (respon antibodi
anamnestik).
Dalam waktu beberapa hari terjadi proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Terbentuknya virus kompleks antigen-
antibodi mengaktifkan sistem komplemen (C3 dan C5), melepaskan C3a dan C5a
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga plasma merembes
ke ruang ekstravaskular. Volume plasma intravaskular menurun hingga menyebabkan
hipovolemia hingga syok.
Gambar 2. Imunopatogenesis Infeksi Virus Dengue
Hipotesis kedua antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan
meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai
tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan
perembesan plasma kemudian hipovolemia dan syok. Perembesan plasma ini terbukti dengan
adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di
dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Virus dengue dapat mengalami perubahan genetik
akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada
tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai
potensi untuk menimbulkan wabah.
Gambar 3. Patogenesis Syok pada DBD
Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan
agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel
pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi
trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran
trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit
melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo
endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Kadar trombopoetin dalam darah pada
saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan sebagai mekanisme kompensasi
stimulasi trombopoesis saat keadaan trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif
(KID = koagulasi intravaskular diseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi
koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin
yang dapat memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang mempercepat terjadinya syok.
Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor
pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler.
Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya
tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus sehingga dapat bersifat
asimptomatik, atau berupa demam yang tidak khas (undifferentiated fever), demam dengue
(DD), demam berdarah dengue (DBD) atau sindrom syok dengue (SSD).
Masa inkubasi dalam tubuh manusia selama 4-6 hari (rentang 3-14 hari) timbul gejala
prodromal yang tidak khas berupa nyeri kepala, tulang belakang, dan merasa lemas.
a) Demam Dengue
Gejala klasik ialah gejala demam tinggi mendadak, kadang-kadang bifasik (saddle back
fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang pada bola mata, nyeri otot, tulang, sendi, mual,
muntah, dan timbulnya ruam. Ruam berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal
penyakit (1-2 hari) kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah
halus pada hari ke-6 atau ke-7 terutama di daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Selain itu,
dapat juga ditemukan petekie. Pada keadaan wabah telah dilaporkan adanya demam dengue
yang disertai dengan perdarahan seperti : epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran
cerna, hematuri, dan menoragi.
b) Demam Berdarah Dengue
Bentuk klasik ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai dengan muka
kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan
muntah sering ditemukan. Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium dan
dibawah tulang iga. Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple
leede) positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena. Kebanyakan
kasus, petekie halus ditemukan tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatumole,
yang biasanya ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih
jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam. Hati
biasanya membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae
kanan. Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi
penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi
dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi
minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok.
c) Sindrom Syok Dengue
Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke-3 sampai hari
ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam syok yang
ditandai dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat-lemah, tekanan nadi <
20 mmHg, hipotensi, pengisian kapiler terlambat dan produksi urin yang berkurang.
Kebanyakan pasien masih tetap sadar sekalipun sudah mendekati stadium akhir. Bila
terlambat diketahui atau pengobatan tidak adekuat, syok dapat menjadi syok berat dengan
berbagai penyulitnya seperti asidosis metabolik, perdarahan hebat saluran cerna. infeksi
(pneumonia, sepsis, flebitis) dan terlalu banyak cairan (over hidrasi), manifestasi klinik
infeksi virus yang tidak lazim seperti ensefalopati dan gagal hati. Pada masa penyembuhan
yang biasanya terjadi dalam 2-3 hari, kadang-kadang ditemukan sinus bradikardi atau aritmia,
dan timbul ruam pada kulit. Tanda prognostik baik apabila pengeluaran urin cukup dan
kembalin
F. Patofisiologi
Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan dan gejala
karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh badan, hiperemi
di tenggorokan, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin muncul pada system
retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam
pada DHF disebabkan karena kongesti pembuluh darah dibawah kulit.
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan DD
dan DBD ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena pelepasan zat anafilaktosin,
histamin dan serotonin serta aktivasi system kalikrein yang berakibat ekstravasasi cairan
intravaskuler. Hal ini berakibat berkurangnya volume plasma, terjadinya hipotensi,
hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan.
Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler dibuktikan dengan ditemukannya
cairan dalam rongga serosa, yaitu dalam rongga peritoneum, pleura dan perikard. Renjatan
hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma, bila tidak segera teratasi akan
terjadi anoxia jaringan, asidosis metabolik dan kematian. Sebab lain kematian pada DBD
adalah perdarahan hebat. Perdarahan umumnya dihubungkan dengan trombositopenia,
gangguan fungsi trombosit dan kelainan fungsi trombosit.
Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti
dengan terdapatnya kompleks imun dalam peredaran darah. Kelainan sistem koagulasi
disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya memang tebukti terganggu oleh
aktifasi sistem koagulasi. Masalah terjadi tidaknya DIC pada DHF/ DSS, terutama pada
pasien dengan perdarahan hebat.
G. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam
dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah
trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai
gambaran limfosit plasma biru.
Parameter laboratori yang dapat diperiksa:
- Leukosit: dapat normal atau menurun.
Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (> 45% dari total leukosit)
disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada
fase syok akan meningkat.
- Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8 akibat depresi
sumsum tulang.
- Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal. Sering ditemukan mulai hari ke-3.
- Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
- Imunoserologi
Pemeriksaan anti-dengue IgG, IgM
IgM IgG Interpretasi+ - Infeksi primer
+ + Infeksi sekunder
- + Riwayat terpapar/
dugaan infeksi sekunder
- - Bukan infeksi Flavivirus,
ulang 3-5 hari bila curiga.
Uji HI: ≥ 1: 2560 Infeksi sekunder Flavivirus
- Protein/Albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
- SGOT/SGPT dapat meningkat.
- Ureum, Kreatinin: dapat meningkat pada keadaan gagal ginjal akut.
- Gas darah: terdapat gangguan pada konsentrasi gas darah sesuai dengan keadaan
pasien.
- Elektrolit: sebagai parameter pemberian cairan.
- Golongan darah dan cross match: dilakukan sebelum tindakan tranfusi darah untuk
keamanan pasien.
b) Pemeriksaan Radiologis
a. Pemeriksaan foto roentgen dada, bisa didapatkan efusi pleura terutama pada
hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi dapat
dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto dada sebaiknya dalam posisi
lateral dekubitus kanan. Pemeriksaan foto dada dilakukan atas indikasi dalam
keadaan klinis ragu-ragu dan pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan.
b. USG: untuk mendeteksi adanya asites dan juga efusi pleura.
H. Diagnosis dan Penentuan Derajat Penyakit
Penegakan diagnosis berdasarkan kriteria WHO tahun 1997 :
a) Demam Dengue
1. Probable
Demam akut disertai dua atau lebih manifestasi klinis berikut; nyeri kepala, nyeri belakang
mata, miagia, artralgia, ruam, manifestasi perdarahan, leukopenia, uji HI >_ 1.280 dan atau
IgM anti dengue positif, atau pasien berasal dari daerah yang pada saat yang sama
ditemukan kasus confirmed dengue infection.
2. Corfirmed
Kasus dengan konfirmasi laboratorium sebagai berikut deteksi antigen dengue, peningkatan
titer antibodi > 4 kali pada pasangan serum akut dan serum konvalesens, dan atau isolasi
virus.
b) Demam Berdarah Dengue
Diagnosis tegak bila semua hal dipenuhi :
1. Demam akut 2-7 hari, biasanya bersifat bifasik.
2. Manifestasi perdarahan yang biasanya berupa :
a) Uji tourniquet positif
b) Petekie, ekimosis, atau purpura
c) Perdarahan mukosa (epistaksis, perdarahan gusi), saluran cerna, tempat bekas
suntikan
d) Hematemesis atau melena
3. Trombositopenia < 100.00/ul
4. Kebocoran plasma yang ditandai dengan
a) Peningkatan nilai hematrokrit > 20 % dari nilai baku sesuai umur dan jenis
kelamin.
b) Penurunan nilai hematokrit > 20 % setelah pemberian cairan yang adekuat
c) Efusi pleura, asites, hipoproteinemi
c)Sindrom Syok Dengue
Seluruh kriteria DBD (4) disertai dengan tanda kegagalan sirkulasi yaitu :
1. Penurunan kesadaran, gelisah
2. Nadi cepat, lemah
3. Hipotensi
4. Tekanan nadi < 20 mmHg
5. Perfusi perifer menurun
6. Kulit dingin-lembab.
d) Penentuan Derajat Penyakit
Karena spektrum klinis infeksi virus dengue yang bervariasi, derajat klinis perlu
ditentukan sehubungan dengan tatalaksana yang akan dilakukan.
Perbedaan gejala dan tanda klinis pada setiap derajat terbagi dalam tabel berikut :
DERAJAT GEJALA & TANDA LABORATORIUM
DD
Demam 2-7 hari
Disertai > 2 tanda : sakit
kepala, nyeri retro-orbital,
mialgia, atralgia
Leukopenia
Trombositopeni
Kebocoran Plasma (-)
Serologi
Dengue
Positif
DBD IGejala di atas (+)
Disertai uji bendung positif Trombositopeni
(<100.000/ul)
Kebocoran Plasma (+)
Peningkatan Ht > 20 %
Penurunan Ht > 20 %
setelah pemberian
cairan yang adekuat.
DBD IIGejala di atas (+)
Disertai perdarahan spontan
DBD
DSSIII
Gejala di atas (+)
Disertai tanda kegagalan
sirkulasi
DBD
DSSIV
Syok berat disertai dengan
tekanan darah dan nadi yang
tidak terukur
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dibedakan berdasarkan proses yang mendasari yaitu kebocoran plasma.
Pedoman tatalaksana DD dan DBD, SSD berbeda dari segi resusitasi cairan dan indikasi
perawatan di RS. Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan
cairan plasma. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang
perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi (SSD) diperlukan perawatan
intensif.
a. Demam Dengue
Pada fase demam pasien dianjurkan :
1. Tirah baring, selama masih demam.
2. Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.
3. Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, dll
a. Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan.
Semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2
hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan sulit
membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas
saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD
terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok).
b. Demam Berdarah Dengue dan Sindrom Syok Dengue
Tidak ada terapi spesifik untuk demam berdarah dengue, prinsip utama adalah terapi
suportif yaitu pemeliharaan volume cairan sirkulasi akibat kebocoran plasma.
1. Penanganan Tersangka (probable) DBD Tanpa Syok
Petunjuk dalam memberi pertolongan pertama pada penderita atau tersangka DBD di Unit
Gawat Darurat serta dalam memutuskan indikasi rawat. Tersangka DBD di UGD
dilakukan pemeriksaaan darah lengkap, minimal Hb, Ht dan trombosit. Bila hasil trombosit
normal atau turun sedikit (100.000 – 150.000) pasien dipulangkan, wajib kontrol 24 jam
berikut atau bila memburuk segera harus kembali ke UGD. Bila hasil Hb dan Ht normal,
trombosit <100.000, pasien dirawat. Bila hasil Hb, Ht meningkat, trombosit normal atau
turun, pasien dirawat.
Gambar 7. Penanganan Tersangka (probable) DBD Tanpa Syok
2. Pemberian Cairan Pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat
Tatalaksana kasus tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa
syok, diberi cairan infuse kristaloid dengan rumus volume cairan yang diperlukan per
hari :
1500 + (20 x (BB dalam kg – 20)
Monitor Hb, Ht, trombosit per 24 jam. Bila hasil Hb dan Ht meningkat >10-20% dan
trombosit turun <100.000 maka jumlah cairan tetap, lalu lanjutkan monitor per 12 jam.
Bila hasil Hb, Ht meningkat >20% dan nilai trombosit <100.000 lanjutkan pemberian
cairan sesuai Protokol 3.
Gambar 8. Pemberian Cairan Pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat
3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit >20%
Peningkatan nilai Ht >20% menunjukkan tubuh mengalami defisit cairan
sebanyak 5%. Terapi awal pemberian cairan, infuse kristaloid dengan dosis
6-7ml/kg/jam. Monitor dilakukan 3-4 jam setelah pemberian cairan. Parameter nilai
perbaikan adalah kadar Ht, frekuensi nadi, tekanan darah dan produksi urin. Bila
didapatkan tanda perbaikan maka dosis cairan dikurangi menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila 2
jam kemudian keadaan tetap dan ada perbaikan, dosis dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam.
Bila keadaan tetap membaik dalam 24-48 jam kemudian, pemberian cairan infuse dapat
dihentikan. Bila keadaan tidak membaik setelah terapi awal maka dosis cairan infus naik
menjadi 10ml/kgbb/jam. Bila 2 jam keadaan membaik, cairan dikurangi menjadi 5
ml/kgbb jam. Bila memburuk, naik menjadi 15 ml/kgBB/jam.Bila tanda syok (+) masuk
ke protokol syok.
Gambar 9. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit >20%
4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa
Sumber perdarahan masif dan spontan pada penderita DBD adalah epistaksis,
perdarahan saluran cerna (hematemesis, melena atau hematoskesia), saluran kencing
(hematuria), perdarahan otak, dan yang tersembunyi, dengan jumlah perdarahan sebanyak
4-5 ml/kgBB/jam. Terapi cairan sama seperti kasus DBD tanpa syok. Pemeriksaan tanda
vital, Hb, Ht, trombosit dilakukan 4-6 jam serta pemeriksaan trombosis dan hemostasis.
Heparin diberi bila tanda KID (+). Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi,
PRC diberi bila Hb <10 g/dl. Trombosit hanya diberi pad pasien perdarahan spontan
masif dengan kadar trombosit <100.000 dengan atau tanpa tanda KID. FFP diberikan bila
didapatkan defisiensi faktor pembekuan (PT dan aPTT memanjang).
5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa
Resusitasi cairan merupakan terapi terpenting dalam menangani syok hipovolemia
pada SSD. Fase awal, guyur cairan kristaloid 10-20 ml/kgBB, lalu evaluasi 15-30 menit
kemudian. Bila renjatan telah teratasi jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam.
Bila dalam 60-120 menit keadaan tetap stabil, pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam.
Bila dalam 60 – 120 menit kemudian tetap stabil, dosis menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila stabil
selama 24-48 jam, hentikan infus karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami
extravasasi terjadi (ditandai dengan Ht yg turun), bila cairan tetap diberi bisa terjadi
hipervolemi, edema paru dan gagal jantung.
Selain itu dapat diberikan oksigen 2-4 liter per menit, dengan pemeriksaan darah
perifer lengkap, hemostasis, AGD, elektrolit, ureum dan kreatinin. Harus dilakukan
pengawasan dini terhadap kemungkinan syok berulang dalam waktu 48 jam. Karena proses
patogenesis penyakit masih berlangsung dan cairan kristaloid hanya menetap 20% dalam
pembuluh darah setelah 1 jam pemberian. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam.
Bila setelah fase awal, renjatan belum teratasi, cairan ditingkatkan menjadi 20-30
ml/kgBB evaluasi dalam 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, perhatikan nilai
Ht. Bila ht meningkat, perembesan plasma masih berlangsung, maka pilihan cairan koloid.
Bila Ht menurun kemungkinan perdarahan dalam (internal bleeding) maka dapat diberikan
transfuse darah segar 10 cc/kgBB (dpt diulang sesuai kebutuhan). Tanda hemodinamik
masih belum stabil dengan nilai Ht lebih dari 30°/o dianjurkan untuk memakai kombinasi
kristaloid dan koloid dengan perbandingan 4:1 atau 3:1.
Koloid mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB, evaluasi setelah
10-30 menit, dapat ditambah hingga jumlah maksimal 30 ml/kgBB. Pilihan sebaiknya yang
tidak menggangu mekanisme pembekuan darah. Gangguan mekanisme pembekuan darah
ini dapat disebabkan terutama karena pemberian dalam jumlah besar, selain itu karena jenis
koloid itu sendiri. Oleh sebab itu koloid dibatasi maksimal sebanyak 1000-1500 ml dalam
24 jam. Pada kasus SSD apabila setelah pemberian cairan koloid syok dapat diatasi, maka
penatalaksanaan selanjutnya dapat diberikan ringer laktat dengan kecepatan sekitar 4-6 jam
setiap 500cc.
Hiponatremia danasidosis metabolik sering menyertai pasien SSD, dan apabila
asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien
menjadi lebih kompleks.Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan
secepatnya dandilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka
perdarahansebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.
Pemberian antibiotik perlu dipertimbangkan pada SSD mengingat kemungkinan
infeksi sekunder dengan adanya translokasi bakteri dari saluran cerna. Indikasi lain
pemakaian antibiotik pada DBD, bila didapatkannya infeksi sekunder di tempat/organ
lainnya, dan antibiotik yang digunakan hendaknya yang tidak mempunyai efek terhadap
sistem pembekuan.
Jenis Cairan Resusitasi (rekomendasi WHO)
1. Kristaloid
Larutan ringer laktat (RL)
Larutan ringer asetat (RA)
Larutan garam faali (GF)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)
Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)
(Catatan:Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh
larutan yang mengandung dekstran)
2. Koloid
Dekstran 40, Plasma, Albumin
Pilihan Cairan Koloid pada Resusitasi Cairan SSD
Saat ini ada 3 golongan cairan koloid yang masing-masing mempunyai keunggulan dan
kekurangannya, yaitu golongan Dekstran, Gelatin, Hydroxy ethyl starch (HES).
Golongan Dekstran mempunyai sifat isotonik dan hiperonkotik, maka pemberian dengan
larutan tersebut akan menambah volume intravaskular oleh karena akan menarik cairan
ekstravaskular. Efek volume 6% Dekstran 70 dipertahankan selama 6-8 jam, sedangkan efek
volume 10°/o Dekstran 40 dipertahankan selama 3-5 jam. Kedua larutan tersebut dapat
menggangu mekanisme pembekuan darah dengan cara menggangu fungsi trombosit dan
menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor VIII, terutama bila diberikan lebih dari 1000 ml/24
jam. Pemberian dekstran tidak boleh diberikan pada pasien dengan KID.
Golongan Gelatin (Hemacell dan gelafundin merupakan larutan gelatin yang mempunyai
sifat isotonik dan isoonkotik. Efek volume larutan gelatin menetap sekitar 2-3 jam dan tidak
mengganggu mekanism pembekuan darah.
Hydroxy ethyl starch (HES) 6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6% HES 450/0,7 adalah
larutan isotonik dan isonkotik, sedangkan 10% HES 200/0,5 adalah larutan isotonik dan
hiponkotik. Efek volume 6%/10°/o HES 200/0,5 menetap dalam 4-8 jam, sedangkan larutan
6% HES 200/0,6 dan 6% HES 450/0,7 menetap selama 8-12 jam. Gangguan mekanisme
pembekuan tidak akan terjadi bila diberikan kurang dari 1500cc/24 jam, dan efek ini terjadi
karena pengenceran dengan penurunan hitung trombosit sementara, perpanjangan waktu
protrombin dan waktu tromboplastin parsial, serta penurunan kekuatan bekuan.
J. Komplikasi.
a. Ensefalopati dengue, dapat terjadi pada DBD dengan syok ataupun tanpa syok.
b. Kelainan ginjal, akibat syok berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut.
c. Edema paru, seringkali terjadi akibat overloading cairan.
K. Langkah Promotif / Preventif.
Pencegahan / pemberantasan DBD dengan membasmi nyamuk dan sarangnya dengan
melakukan tindakan 3M, yaitu:
1. Menguras tempat-tempat penampungan air secara teratur seminggu sekali atau
menaburkan bubuk larvasida (abate).
2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air.
3. Mengubur/menyingkirkan barang bekas yang dapat menampung air.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling banyak
dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh dunia, dilaporkan
angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta dan angka kematian berkisar 24.000. Sindrom
renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai
oleh tanda renjatan atau syok dapat berakibat fatal. Kegawatdaruratan DBD dinyatakan
sebagai salah satu masalah kesehatan global.
Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Keadaan tersebut sangat
tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan
dan timbul antibodi,namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin
berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.
Pengobatan SSD bersifat suportif. Resusitasi cairan merupakan terapi terpenting.
Tatalaksana berdasarkan atas adanya perubahan fisiologi berupa perembesan plasma dan
perdarahan. Deteksi dini terhadap adanya perembesan plasma dan penggantian cairan yang
adekuat akan mencegah terjadinya syok. Pemilihan jenis cairan danjumlah yang akan
diberikan merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Penegakkan diagnosis DBD secara
dini dan pengobatan yang tepat dancepat akan menurunkan angka kematian DBD.
3.2 Saran
Gerakan 3M, tidak hanya bila terjadi wabah tetapi harus dijadikan gerakan nasional melalui
pendekatan masyarakat. Penanganan yang cepat sangat dibutuhkan agar tidak terjadi
komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2005. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik.
Hardiono, dkk. 2005. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.Ed.I. 2004. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Nusirwan Acang. 2009. Pemberian Cairan Pada Demam Berdarah Dengue. Sub Bagian Petri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK-Unand/RS Dr. M. Djamil Padang.: http://papdiplg.multiply.com/journal (akses: 4 Mei 2016).