Syarifa Liza Munira

12
PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN Syarifa Liza Munira Upaya pemerintah dalam menyelenggarakan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) telah mencapai banyak kemajuan yang ditunjukkan oleh perbaikan indikator kesehatan; termasuk penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk mencapai “universal health coverage”. Namun demikian, masih dihadapi berbagai tantangan seperti masih tingginya kematian ibu, kekurangan gizi, tuberkulosis (TBC), malaria dan HIV/AIDS. Tantangan lain adalah akses pelayanan kesehatan yang belum merata terutama di daerah terpencil. Dalam konteks tersebut, ketersediaan obat, vaksin dan alat kesehatan yang terjangkau, merata dan berkualitas menjadi unsur penting dalam penyelenggaraan SKN. Namun, upaya pemenuhan persediaan farmasi (obat dan vaksin) dan alat kesehatan (alkes) masih menghadapi beberapa tantangan terutama pemerataan antardaerah, khususnya ketersediaan obat esensial (Gambar 1, Gambar 2 dan Gambar 3; Tabel 1). Masalah dan tantangan seperti disebutkan diatas menjadi isu strategis dalam penguatan sistem kesehatan untuk mendukung berbagai macam pelayanan/upaya kesehatan. Empat isu utama dalam pemenuhan farmasi dan alkes, yaitu: 1) manajemen logistik; 2) penggunaan obat rasional; 3) sustainabilitas/keberlangsungan sektor farmalkes; dan 4) kemandirian produksi farmalkes di dalam negeri. 1. ANALISIS SITUASI DAN TANTANGAN 2020 - 2024 1 POLICY BRIEF Gambar 1. Capaian Indikator Persentase Puskesmas yang melaksanakan Pelayanan Kefarmasian sesuai standar, 2015 dan 2016. Sumber: Profil Kesehatan, Kemenkes RI (2017)

Transcript of Syarifa Liza Munira

Page 1: Syarifa Liza Munira

PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DANALAT KESEHATAN

Syarifa Liza Munira

Upaya pemerintah dalam menyelenggarakan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) telah mencapai banyak kemajuan yang ditunjukkan oleh perbaikan indikator kesehatan; termasuk penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk mencapai “universal health coverage”. Namun demikian, masih dihadapi berbagai tantangan seperti masih tingginya kematian ibu, kekurangan gizi, tuberkulosis (TBC), malaria dan HIV/AIDS. Tantangan lain adalah akses pelayanan kesehatan yang belum merata terutama di daerah terpencil. Dalam konteks tersebut, ketersediaan obat, vaksin dan alat kesehatan yang terjangkau, merata dan berkualitas menjadi unsur penting dalam penyelenggaraan SKN. Namun, upaya pemenuhan persediaan farmasi (obat dan vaksin) dan alat kesehatan (alkes) masih menghadapi beberapa tantangan terutama pemerataan antardaerah, khususnya ketersediaan obat esensial (Gambar 1, Gambar 2 dan Gambar 3; Tabel 1). Masalah dan tantangan seperti disebutkan diatas menjadi isu strategis dalam penguatan sistem kesehatan untuk mendukung berbagai macam pelayanan/upaya kesehatan.

Empat isu utama dalam pemenuhan farmasi dan alkes, yaitu: 1) manajemen logistik; 2) penggunaan obat rasional; 3) sustainabilitas/keberlangsungan sektor farmalkes; dan 4) kemandirian produksi farmalkes di dalam negeri.

1. ANALISIS SITUASI DAN TANTANGAN 2020 - 2024

1

POLICY BRIEF

Gambar 1. Capaian Indikator Persentase Puskesmas yang melaksanakan Pelayanan Kefarmasian sesuai standar,2015 dan 2016. Sumber: Profil Kesehatan, Kemenkes RI (2017)

Page 2: Syarifa Liza Munira

2

Gambar 2. Ketersediaan obat dan vaksin Indikator: 2015 dan 2016. Sumber: Sirkesnas 2016. N=400 Puskesmas

Gambar 3. Ketersediaan vaksin program di Puskesmas: data survey QSDS (2016) dan Risfaskes (2011).Sumber: QSDS Survey/World Bank (2016), Risfaskes (2011).

Tabel 1. Variasi ketersediaan obat dan vaksin indikator di Indonesia,berdasarkan fasilitas kesehatan dan tingkat pemerintahan

Sumber: Balitbangkes (2017)

Tahun 2015 Tahun 2016

Jenis fasilitas kesehatan/tingkat

pemerintahan

Ketersediaan obat dan vaksin indikator Tingkat ketersediaan

Dinkes Propinsi 66.7 – 86.7 persen Dinkes Kabupaten/Kota 77.0 – 83.9 persen 13 – 23.6 bulan Rumah sakit 84.1 – 89.5 persen 3.1 - 13.9 bulan Puskesmas rawat jalan 83.3 – 96.7 persen 3.6 - 10.8 bulan Puskesmas rawat inap 82.9 – 90.6 persen 4.6 – 11.4 bulan

Immunization

Page 3: Syarifa Liza Munira

3

1.1. Manajemen rantai suplai farmalkesStandar proses manajemen logistik melalui sistem informasi e-katalog dan e-procurement belum berlangsung secara baik, terlihat dari masih banyaknya ketidaksesuaian antara Formularium Nasional (Fornas) dengan e-Katalog, sehingga mempersulit perencanaan kebutuhan obat serta proses pembayaran klaim. Selisih perbedaan antara obat yang tercantum dalam Fornas dan e-Katalog adalah 75% pada tahun 2015, walaupun angka tersebut telah menurun dari tahun sebelumnya (83%) (Ariati, 2017). Selisih tersebut berdampak signifikan terhadap proses manajemen rantai suplai farmasi.

Tahapan rantai pengadaan obat JKN dimulai dari terbitnya Fornas, kemudian Rencana Kebutuhan Obat (RKO) disusun, dan Harga perkiraan sendiri (HPS) ditetapkan, diikuti oleh proses lelang dan negosiasi harga dimana pemenang dinotifikasi, kemudian informasi produk serta harga ditayangkan dalam e-Katalog. Namun pada prakteknya, jeda waktu antar proses tersebut masih belum optimal.

Pertama, durasi waktu untuk penerbitan dan sosialisasi Fornas masih kurang, sehingga RKO yang disampaikan oleh faskes tidak dapat disusun dengan acuan Fornas yang relevan/terkini sehingga lebih mengacu kepada anggaran daripada kebutuhan (Yuniar, 2017). Hal ini mengakibatkan terjadinya ketidaksesuaian antara perencanaan dan pengadaan obat, yaitu terjadinya persediaan obat yang stagnant (kelebihan) dan stockout (kekurangan/kekosongan), dengan realisasi hanya sebesar 30 – 40% (KPK, 2016; Rosmania & Supriyanto, 2015).Hal ini ditambah dengan belum seluruh Faskes menyampaikan RKO, yaitu 7% rumah sakit (RS) pemerintah dan 50% RS swasta partner JKN yang belum menyampaikan (Kemenkes RI, 2018). Hal ini menimbulkan resiko kadaluarsa/kerusakan (ketika stagnant) dan tersendatnya pelayanan di Faskes (ketika stockout).

Kedua, produsen yang menang tender hanya diberikan waktu satu bulan sebelum harga dan produknya ditayangkan dalam E-Katalog walaupun waktu yang diperlukan untuk menyusun proses produksi adalah minimal 3 bulan. Hal ini berdampak pada ketersediaan obat terutama di awal tahun berjalan (Januari – April). Selain itu, perbedaan antara Fornas dan E-Katalog tersebut menyebabkan adanya obat yang tidak memiliki acuan harga untuk dasar BPJS Kesehatan membayar klaim. Selain itu, adanya kepastian demand dari obat yang diperlukan akan mempermudah perencanaan produksi oleh industri farmasi serta proses lelang/negosiasi antara pemerintah (LKPP) dan industri farmasi.

1.2. Penggunaan obat yang rasional (POR)Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan tingginya penggunaan antimicrobial di Puskesmas, terutama untuk beberapa kategori pengobatan seperti ISPA, diare dan injeksi myalgia (Gambar 4). Jumlah Puskesmas yang memenuhi empat parameter yang ditetapkan untuk POR juga masih rendah (Gambar 5). Pemerintah (Kemenkes, 2016) mengungkapkan beberapa masalah yang dihadapi di lapangan dalam menyukseskan penggunaan obat yang rasional antara lain adalah: 1) dukungan dari Pemda dalam penganggaran program yang terkait dengan peningkatan POR masih terbatas; 2) kurangnya koordinasi lintas-sektor, baik di tingkat pusat maupun daerah; 3) terbatasnya sebaran media promosi kepada masyarakat untuk menerima informasi tentang POR; 4) kurangnya pelatihan dan bimbingan teknis kepada tenaga kesehatan di Puskesmas untuk melaksanakan pemantauan dan evaluasi POR; 5) belum adanya kebijakan khusus dan sanksi yang tegas tentang penggunaan antibiotika yang tidak tepat, sehingga penggunaan antibiotika secara tidak rasional oleh tenaga kesehatan masih tinggi, serta pembelian antibiotika secara bebas oleh masyarakat banyak terjadi; 6) masih kurangnya pedoman penggunaan obat yang rasional; dan 7) masih banyak Puskesmas yang tidak mempunyai tenaga farmasi (apoteker untuk Puskesmas perawatan dan asisten apoteker untuk Puskesmas non-perawatan).

Page 4: Syarifa Liza Munira

4

1.3. Sustainabilitas/keberlangsungan industri farmasi Terdapat dua aspek yang perlu diperhatikan untuk menjamin keberlangsungan sektor farmasi di Indonesia, yaitu: 1) keberlangsungan industri farmasi di Indonesia; serta 2) akses dan keterjangkauan produk farmalkes bagi masyarakat.

Kebijakan pembiayaan farmalkes dalam sistem JKN menitikberatkan pada harga yang rendah dan kurang mempertimbangkan biaya produksi. Hal ini dapat mengganggu sustainabilitas/ keberlangsungan industri farmasi, sehingga mengurangi ketersediaan suplai dan mutu dari produk farmalkes. Data periodik e-Katalog tahun 2015 – 2018 menunjukkan turunnya pagu harga obat generik yang tersedia (Gambar 6). Walaupun ini dapat mendukung keterjangkauan produk farmalkes, pemerintah harus mempertimbangkan mekanisme pasar dan biaya produksi, sehingga tidak menimbulkan disinsentif bagi industri farmasi di Indonesia. Sekitar 7,6% dari obat Fornas belum masuk ke dalam E-Katalog (TNP2K, 2018). Hal ini menyebabkan HPS yang kurang menarik bagi produsen.

Gambar 4. Indikator POR di Puskesmas. Sumber: SIRKESNAS 2016.

Gambar 5. Persentase Puskesmas yang memenuhi standar POR. Sumber: SIRKESNAS 2016.

Page 5: Syarifa Liza Munira

5

Kemudian, jika dibandingkan dengan international reference price (IRP), daftar harga pada E-Katalog umumnya lebih rendah atau sama nilainya, padahal diketahui bahwa kandungan impor bahan baku obat masih tinggi. Contohnya adalah paracetamol yang harganya hanya 15% dari IRP1 .

Selain itu, dalam tarif INA-CBGs yang ditetapkan melalui Permenkes No. 59 Tahun 2014 - komponen obat tidak didasarkan pada data harga obat dan volume penggunaan. Ini berpotensi menimbulkan reimbursement yang tidak realistis kepada supplier obat. Pada saat ini industri farmasi yang men-suplai sistem JKN mengungkapkan terlambatnya pembayaran yang diterima, sehingga mempersulit produksi selanjutnya serta keberlangsungan produksinya2 (Yuniar, 2017).

Masalah ketersediaan produk farmalkes di atas dapat mengakibatkan semakin tingginya pengeluaran out-of-pocket (OOP) untuk produk farmalkes. Sebelum JKN, data menunjukkan bahwa pengeluaran OOP masyarakat mencapai setengah dari total pengeluaran kesehatan di Indonesia (Gambar 7), dimana 20-30% dari total pengeluaran kesehatan dihabiskan untuk produk farmasi (Gambar 8). Studi oleh Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) menunjukkan bahwa estimasi pengeluaran out-of-pocket dapat mencapai 55% pada tahun 2040 (Gambar 9) (IHME, 2017). Studi oleh WHO (2011) menunjukkan bahwa dampak pilihan obat (generik dan paten) sangat berpengaruh terhadap biaya pengobatan. Misalnya biaya pengobatan untuk adult respiratory infection3 dengan obat generik nilainya setara dengan 1 hari bekerja sedangkan dengan obat paten setara dengan 17 hari bekerja (Gambar 10). Walaupun harga obat generik di Indonesia dapat ditetapkan rendah oleh pemerintah, namun jika suplai obat tidak tersedia melalui jalur publik, maka masyarakat akan terdorong kepada pasar swasta dan OOP yang tinggi (Tabel 2).

1 Data perbandingan antara https://e-katalog.lkpp.go.id/backend/katalog/lihat_produk/68890 danhttp://mshpriceguide.org/en/single-drug-information/?DMFId=592&searchYear=2015. Wawancara dengan ahli farmasi Prof Budiono Santoso (UGM).

2 http://www.beritasatu.com/nasional/510040-harga-obat-untuk-program-jknkis-diusulkan-naik.html 3 Studi ini menggunakan perbandingan biaya pengobatan dengan jumlah hari bekerja yang dibutuhkan oleh seorang pegawai negeri berpendapatan terrendah untuk membiayai

pengobatan adult respiratory infection selama 7 hari dengan menggunakan obat Ciprofloxacin dengan dosis 500 mg dua kali sehari.

Gambar 6. Trend harga obat generik di Indonesia. Sumber: DitJen Farmalkes (2018)

Gambar 7. Pengeluaran kesehatan di Indonesia berdasarkan sumber pendanaan.Sumber: Data National Health Accounts, WHO, 2017.

Page 6: Syarifa Liza Munira

6

Gambar 8. Pengeluaran kesehatan serta komponen pengeluaran farmasi. Catatan: * Estimasi BMI.Sumber: Laporan Indonesia Pharmaceuticals and Healthcare Q1 2018, BMI Research (2017)

Gambar 10. Nilai pengobatan adult respiratory infection berdasarkan pilihan obat generik dan paten.Nilai pengobatan diekspresikan dalam jumlah hari bekerja seorang pegawai negeri berpendapatan terrendah.

Sumber: WHO (2011)

Gambar 9. Estimasi pengeluaran kesehatan di Indonesia saat ini dan masa depan, berdasarkan sumber pendanaan.Sumber: Financing Global Health Database 2017. PPP = purchasing power parity.

Ekspektasi adalah estimasi pertumbuhan berdasarkan pertumbuhan sebelumnya.

Page 7: Syarifa Liza Munira

7

1.4. Kemandirian produksi farmalkes di dalam negeriTingginya konten impor pada produksi farmalkes menjadikannya rentan terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah. Sekitar 90% dari bahan baku farmalkes di Indonesia masih diimpor. Pemerintah telah mengeluarkan industri bahan baku farmalkes dari Daftar Negatif Investasi (DNI), untuk meningkatkan minat investasi perusahaan asing kepada Indonesia. Data BPS juga menunjukkan masih rendahnya jumlah industri farmasi dalam negeri yang melakukan investasi R&D (12%, data tahun 2011). Pemerintah telah menerbitkan beberapa regulasi seperti Inpres No. 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Permenkes No. 17 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, namun belum didukung kepastian berusaha. Indeks cost of doing business di Indonesia masih relatif rendah yaitu 72 (2017). Walaupun rangking ini sudah meningkat dibandingkan dengan masa sebelumnya (Gambar 11), namun masih dibawah rangking negara tetangga seperti Malaysia (24), Thailand (26) dan Vietnam (68) (World Bank, 2018). Masih lemahnya linkage antara inovasi (akademis/teknokrat) dengan pemerintah (birokrat). Kemandirian bahan baku farmalkes di Indonesia meningkat, namun masih rendah dan masih terjadi mismatch antara produksi dan penggunaan bahan baku obat (BBO). Data 2016 menunjukkan dari 23 bahan baku sediaan farmasi yang siap diproduksi, hanya 4 industri yang menggunakan BBO produksi dalam negeri4 . Selain itu, dari target penggunaan produk alkes dalam negeri pada tahun 2019 sebesar 18%, saat ini baru tercapai 4-5%5. Kemudian, untuk produk alkes, produksi dalam negeri masih terbatas pada alkes golongan teknologi rendah seperti produk syringe. Produk alkes yang berteknologi lebih tinggi seperti USG dan inkubator sudah mulai dikembangkan namun masih pada tingkat riset, dan belum di produksi dalam skala besar atau industri.

4 Data capaian tahun 2016 DitJen Farmalkes, Kemenkes RI5 Wawancara dengan ahli farmasi Prof Budiono Santoso (UGM)

Gambar 11. Peringkat Indonesia untuk Indeks Kemudahan Berusaha meningkat, periode 2008 – 2018.Tradingeconomics.com, World Bank.

Tabel 2. Ketersediaan obat pada fasilitas kesehatan pemerintahSumber: Indonesia Summary Report: Pricing surveys, WHO and HAI, May 2015

Ketersediaan pada sektor public

Merk Originator

Generik umum terjual

Harga generik terrendah

Rerata ketersediaan (interquartile range)

6.7%% (0 - 13.3%)

20% (0 – 33.3%)

46.7% (6.7 – 73.3%)

Page 8: Syarifa Liza Munira

8

2.1. Manajemen rantai suplai farmalkesUntuk mengatasi permasalahan dalam tahap perencanaan pengadaan produk farmasi sehingga dapat mengoptimalkan manajemen rantai suplai, perlu dipertimbangkan beberapa hal yaitu:a. Melakukan evaluasi terhadap proses serta jeda waktu antara penyusunan Fornas dan penayangan

E-Katalog, dimana Fornas dapat diterbitkan dan disosialisasikan dalam waktu yang cukup sehingga dapat menjadi acuan untuk mengendalikan mutu dan mengendalikan biaya;

b. Penyeragaman metode penyusunan RKO, yaitu yang didasarkan pada metode konsumsi serta pola epidemiologi setempat, dengan mempertimbangkan safety stock, lead time, sisa stok, pola penyakit (Athijah, Elida, Anila, Efrita, & Anindita, 2010; Rosmania & Supriyanto, 2015);

c. Pedagang besar farmasi (PBF) yang menang tender perlu diberikan waktu minimal 3 bulan untuk kepastian produksi (pembelian bahan baku, sertifikasi bahan baku, produksi, dan distribusi) sampai barang siap di pasar;

d. Pengembangan database nasional merekam konsumsi dan belanja obat di faskes, guna deteksi dini kekosongan obat; dan

e. Pemberian akses e-purchasing yang lebih luas kepada faskes swasta, mengingat 60% dari RS afiliasi JKN adalah swasta.

2.2. Penggunaan obat yang rasional (POR)Untuk mendukung penggunaan obat yang rasional (POR) dari sisi pengendalian pengadaannya, hal-hal berikut perlu diimplementasikan secara optimal, yaitu:a. Dukungan lintas-sektor melalui pengembangan strategi POR yang komprehensif, dengan melibatkan

Kemenkes, organisasi profesi, serta peran lembaga akademik;b. Melakukan studi untuk mengukur kondisi terkini mengenai Antimicrobial Resistance (AMR) di

Indonesia;c. Pengembangan pedoman POR serta pelatihan dan bimbingan teknis kepada tenaga kesehatan di

Puskesmas dan RS dalam pengumpulan data indikator peresepan;d. Peningkatan ketersediaan SDM kefarmasian di RS dan Puskesmas yang mendukung pengendalian

resistensi antimikroba (PRA);e. Promosi dan advokasi kepada berbagai kalangan seperti penyuluhan kepada masyarakat langsung

maupun melalui media, advokasi POR di kalangan pelaku pengobatan/provider; danf. Kebijakan dan sanksi yang tegas tentang penggunaan antibiotika yang tidak tepat.

2.3. Sustainabilitas/keberlangsungan industri farmasi Untuk menjamin sustainabilitas/keberlangsungan suplai produk farmalkes dari industri farmasi, sistem harga dari e-Katalog perlu dievaluasi kembali agar lebih realistis dan mengacu kepada interna-tional reference price (IRP) dengan mempertimbangkan unsur biaya pajak, distribusi dan sebagainya. Penetapan tarif INA-CBGs perlu diperinci untuk komponen farmalkes, sehingga mempermudah faskes dalam pengaturan anggaran dan untuk melakukan kewajiban pembayaran terhadap produsen farmalkes, guna menghindari penunggakan di kemudian hari.

2.4. Kemandirian produksi farmalkes dalam negeriDalam mendukung kemandirian produksi farmalkes dalam negeri, perlu dioptimalkan kelompok kerja (Pokja) Academic-Business-Goverment-Community Colaboration (ABGC) dalam pengembangan dan produksi bahan baku obat, obat tradisional, dan alat kesehatan dalam negeri. Hal ini dapat dilakukan antara lain melalui: a. Penetapan jenis-jenis produk yang akan dikembangkan dalam roadmap pengembangan dan produksi

bahan baku obat, obat tradisional, dan alat kesehatan dalam negeri, melalui penunjukkan instansi penanggungjawab dengan tahapan yang harus dicapai;

2. USULAN STRATEGI

Page 9: Syarifa Liza Munira

9

b. Penyusunan suatu strategic plan yang mengidentifikasi kebutuhan dan potensi bahan baku dalam negeri, dimana kebutuhan didasarkan pada beban penyakit dan tingkat biaya tertinggi untuk kelompok demografi dan geografis di Indonesia. Strategic plan ini kemudian perlu dikoordinasikan secara lintas sektor dengan kementerian/lembaga terkait riset dan teknologi (misalnya Kemenristek Dikti dan LIPI) untuk pengembangan produksi di dalam negeri, serta dengan pihak industri;

c. Melakukan monitoring dan evaluasi (monev) untuk setiap tahapan pengembangan dan produksi bahan baku obat, obat tradisional, dan alat kesehatan dalam negeri; dan

d. Pengembangan mekanisme pasar push/pull untuk produksi dalam negeri (Kremer, 2002), dimana push mechanism memberikan subsidi untuk melakukan riset, sedangkan pull mechanism memberikan reward terhadap hasil riset yaitu dengan menjamin demand atau pembelian dari hasil riset yang dilakukan.

Upaya untuk menjamin ketersediaan obat, vaksin dan alat kesehatan di Indonesia yang terjangkau, merata dan berkualitas akan mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelajutan atau Sustainable Development Goals (SDG) di Indonesia, terutama tujuan ketiga yaitu menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia, dengan target: 3.8) terjaminnya ketersediaan dan akses kepada farmalkes yang aman, bermutu dan berkhasiat, serta 3.b) dukungan terhadap penelitian dan pengembangan (R&D) untuk obat dan vaksin. Pencapaian ini dapat dioptimalkan dengan tiga strategi utama, yaitu: 1) mengoptimalkan penggunaan dan proses sistem informasi kesehatan dalam perencanaan dan

pengadaaan produk farmalkes sehingga memberikan kepastian kebutuhan serta anggaran baik bagi pemerintah maupun bagi pihak swasta;

2) pengembangan strategi POR yang komprehensif dan lintas sektor, dengan melibatkan Kemenkes, peran organisasi profesi, serta peran lembaga akademik. Selain itu, advokasi POR di kalangan pelaku pengobatan/provider perlu dilakukan secara berkesinambungan yang didukung dengan monitoring penggunaan obat termasuk antibiotika dengan mengoptimalkan tugas dari PPRA yang sudah ada di bawah koordinasi Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) pusat;

3) pengadaan sistem pricing dan penetapan tarif JKN yang mendukung sustainabilitas/keberlangsungan industri farmasi sehingga menjamin ketersediaan produk farmalkes yang terjangkau dan berkualitas bagi masyarakat; dan

4) koordinasi informasi yang strategis antara pihak swasta dan pemerintah agar dapat mendorong kemandirian produksi farmalkes dalam negeri yang berbasis riset dan inovasi.

Daftar PustakaAriati, N. (2017). Tata Kelola Obat di Era Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tata Kelola Obat di Era Sistem Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN), Jurnal Integritas, 3(2).Athijah, U., Elida, Z., Anila, I., Efrita, M., & Anindita, P. (2010). Perencanaan dan Pengadaan Obat di Puskesmas Surabaya Timur

dan Selatan. Jurnal Farmasi Indonesia, 5(1), 15-23.IHME. (2017). Financing Global Health 2016: Development Assistance, Public and Private Health Spending for the Pursuit of

Universal Health Coverage. Retrieved from Seattle:Kemenkes RI. (2018). Mewujudkan Akses dan Kemandirian Farmasi dan Alat Kesehatan yang Bermutu 2012 - 2018. Kemenkes

RI,.KPK. (2016). Kajian Tata Kelola Obat dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Jakarta: KPK.Kremer, M. (2002). Pharmaceuticals and the developing world. Journal of Economic Perspectives, 16(4), 67-90.Rosmania, F., & Supriyanto, S. (2015). Analisis pengelolaan obat sebagai dasar pengendalian safety stock pada stragnant dan

stockout obat. Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia, 3(1).TNP2K. (2018). Jaminan Kesehatan Nasional: Temuan Tingkat Nasional. Jakarta.WHO. (2011). The World Medicines Situation 2011: Medicines Prices, Availability and Affordability (WHO/EMP/MIE/2011.2.1).

Retrieved from http://www.who.int/medicines/areas/policy/world_medicines_situation/WMS_ch6_wPricing_v6.pdfWorld Bank. (2018). Doing Business 2018: Reforming to Create Jobs. Retrieved from Washington DC:

http://www.doingbusiness.org/content/dam/doingBusiness/media/Annual-Reports/English/DB2018-Full-Report.pdfYuniar, Y. (2017). Distribusi, Ketersediaan serta Pelayanan Obat dan Vaksin dalam Menghadapi Jaminan Kesehatan Semesta

2019. Retrieved from Jakarta:

2. REKOMENDASI KEBIJAKAN

Page 10: Syarifa Liza Munira

10

Grafik 6. Hubungan antara DALYs dan Utilisasi Fasilitas Kesehatan Modern menurutKelompok Umur, 2014 dan 2016, (X: DALYs; Y: utilisasi)

ISU STRATEGIS REKOMENDASI KEBIJAKAN INDIKATOR/TARGET 1. Manajemen rantai supply • Ketidaksesuaian Fornas dengan e-

Katalog (7,6%) • Durasi waktu penerbitan dan

sosialisasi Fornas terlalu singkat • Perencanaan dan pengadaan tidak

sesuai (oleh fasyankes), terjadi kelebihan dan stockout

• Produsen pemenang tender diberi waktu terlalu singkat (1 bulan); padahal proses produksi perlu 3 bulan

• Ada obat yang tidak memiliki acuan harga

• Penerbitan Fornas lebih awal • Penyeragaman metode

penyusunan RKO (metode konsumsi, safety stock, lead time, pola penyakit)

• Pemenang tender diberi waktu 3 bulan untuk produksi

• Pengembangan database nasional tentang konsumsi dan pembelanjaan obat di faskes

• Swasta diberi akses e-purchasing

• Fornas terbit sesuai keperluan penyusunan RKO

• Metode penyusunan RKO terstandar

• Ketetapan waktu 3 bulan untuk produksi oleh industri pemenang

• Database konsumsi dan belanja obat oleh yankes

• Regulasi akses swasta ke e-purchasing

2. Penggunaan Obat Rasional (POR) • POR baru dilaksanakan oleh sekitar

65% puskesmas • Informasi dan promosi POR kepada

masyarakat masih kurang • Pedoman POR dan bimtek ke

puskesmas kurang • Banyak puskesmas tidak punya

tenaga farmasi

• Semua stakeholder mendukung POR

• Studi situasi AMR di Indonesia • Pedoman POR dan pelatihan nakes

puskesmas dan RS • Ketersediaan SDM farmasi di

puskesmas dan RS • Penyuluhan tentang POR kepada

masyarakat dan pelaku pengobatan • Sanksi terhadap penggunaan

antibiotika yang tidak tepat

• Laporan kegiatan stakeholder dukung POR

• Laporan hasil studi AMR • Pedoman dan pelatihan nakes

dan RS tentang POR • Kekosongan SDM farmasi di

faskes menurun • Laporan kegiatan penyuluhan

untuk masyarakat dan SDM fasyankes tentang POR

• Regulasi tentang sanksi terhadap pengobatan yang tidak rasional

3. Sustainabilitas industri farmasi • Fluktuasi biaya produksi tidak

sejalan dengan turunnya pagu harga obat generik

• Harga pada e-katalog lebih rendah daripada “international reference price”

• Pembayaran kepada supplier terlambat

• Evaluasi sistem harga di e-katalog mengacu pada IRP (international reference price)

• Komponen farmalkes perlu dirinci dalam tarif INA-CBGs; memudahkan RS menghitung kewajiban kepada supplier farmasi

• Penyesuaian harga di e-katalog

• Rincian farmalkes dalam tarif INACBGs

4. Kemandirian produksi farmalkes • 90% bahan baku obat di impor • Beberapa regulasi sudah ada untuk

mendorong produksi dalam negeri • “Index cost of doing business”

rendah, dibawah Malaysia, ietnam, Thailand

• Mismatch antara produk bahan baku dan alkes dengan industri

• Produksi bahan baku baru pada tahap riset

• Pengembangan dan produksi bahan baku obat

• Rencana strategis proyeksi kebutuhan dan potensi bahan baku

• Koordinasi lintas-sektor dan industri untuk produksi bahan baku

• Subsidi untuk riset dan reward untuk hasil riset bahan baku

• Roadmap pengembangan dan produksi bahan baku

• Dokumen proyeksi kebutuhan dan potensi bahan baku

• Regulasi tentang koordinasi lintas-sektor bersama industri

• Mata anggaran subsidi riset dan reward dalam Anggaran lembaga terkait

Pernyataan :Ringkasan kebijakan ini difasilitasi oleh BAPPENASnamun isi dan materi sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Page 11: Syarifa Liza Munira

__________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________

NOTE

Page 12: Syarifa Liza Munira

www.bappenas.go.id