Swasembada Pangan Dan Penanggulangan Hama Di Aceh Periode Kesultanan

15
ISBN: 978-979-008-624-1 PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA Prosiding SEMINAR NASKAH KUNA NUSANTARA “PANGAN DALAM NASKAH KUNA NUSANTARA” Pembicara: HERMANSYAH, M.Th., M.Hum Judul: SWASEMBADA PANGAN DAN PENANGGULANGAN HAMA DI ACEH PERIODE KESULTANAN (KAJIAN SARAKATA DAN MANUSKRIP ACEH) PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA 18-19 SEPTEMBER 2013 JAKARTA

description

Sultan Aceh ‘Alauddin Muhammad Syah (1206 H/ 1791 M) harus bekerja keras dalam penanganan krisis pangan, khususnya sektor pertanian (padi). Pada periodenya tersebut telah terjadi hama tikus yang menyerang pertanian Aceh secara besar-besaran dalam kurun waktu yang cukup panjang. Negeri Peusangan (kini kabupaten Bireuen) yang dinobatkan sebagai wilayah penghasil komoditi beras terbesar periode tersebut menjadi lokus utama. Hingga saat ini, kabupaten Bireuen manjadi lahan paling potensial penghasil komoditas beras di Aceh, baik dengan cara penanaman satu kali atau dua kali dalam setahun.Surat sultan (sarakata) dari Banda Aceh menitahkan kepada hulubalang penduduk di wilayah Peusangan, Monklayu, Tanoh Mirah, Peudada, dan sekitarnya untuk dapat menghibahkan tanah perbukitan kepada Teungku Sayyid Abdurrahman ibn al-‘Alawi sebagai lahan karantina tikus. Sebab, dalam ideologi filosofi sufi, setiap binatang ciptaan Tuhan tidak boleh dibunuh dan dijaga kelestariannya. Tehnik dan tatacara karantina tikus di lahan atau perbukitan tersebut warisan kakeknya, Ahmad Habsyi, seorang tokoh terkemuka berasal dari semenanjung Arab. Dari sisi biologis, pemusnahan satu kelompok hama akan memutuskan mata rantai makanan yang mengakibatkan hama lain berkembang biak.Atas surat keputusan (sarakata) Sultan untuk mengkarantina tikus di daerah pesisir pantai timur dengan metode khusus. Ahmad Habsyi dan cucunya Teungku Sayyid Abdurrahman ibn al-‘Alawi telah menciptakan stabilitas perekonomian pangan. Dalam naskah-naskah klasik Aceh pun diperoleh teks-teks, baik dalam bentuk do’a ataupun simbol sebagai penangkal hama dan sekaligus untuk menjaga stabilitas pangan dan pengolahan makanan tersebut.

Transcript of Swasembada Pangan Dan Penanggulangan Hama Di Aceh Periode Kesultanan

  • ISBN: 978-979-008-624-1

    PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

    Prosiding SEMINAR NASKAH KUNA NUSANTARA

    PANGAN DALAM NASKAH KUNA NUSANTARA

    Pembicara:

    HERMANSYAH, M.Th., M.Hum

    Judul:

    SWASEMBADA PANGAN DAN PENANGGULANGAN HAMA DI ACEH PERIODE KESULTANAN

    (KAJIAN SARAKATA DAN MANUSKRIP ACEH)

    PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA 18-19 SEPTEMBER 2013

    JAKARTA

  • Pangan Dalam Naskah Kuna Nusantara

    SWASEMBADA PANGAN DAN PENANGGULANGAN HAMA DI ACEH PERIODE KESULTANAN

    (KAJIAN SARAKATA DAN MANUSKRIP ACEH) Oleh: HERMANSYAH

    ABSTRAK Sultan Aceh Alauddin Muhammad Syah (1206 H/ 1791 M) harus bekerja keras dalam penanganan krisis pangan, khususnya sektor pertanian (padi). Pada periodenya tersebut telah terjadi hama tikus yang menyerang pertanian Aceh secara besar-besaran dalam kurun waktu yang cukup panjang. Negeri Peusangan (kini kabupaten Bireuen) yang dinobatkan sebagai wilayah penghasil komoditi beras terbesar periode tersebut menjadi lokus utama. Hingga saat ini, kabupaten Bireuen manjadi lahan paling potensial penghasil komoditas beras di Aceh, baik dengan cara penanaman satu kali atau dua kali dalam setahun. Surat sultan (sarakata) dari Banda Aceh menitahkan kepada hulubalang penduduk di wilayah Peusangan, Monklayu, Tanoh Mirah, Peudada, dan sekitarnya untuk dapat menghibahkan tanah perbukitan kepada Teungku Sayyid Abdurrahman ibn al-Alawi sebagai lahan karantina tikus. Sebab, dalam ideologi filosofi sufi, setiap binatang ciptaan Tuhan tidak boleh dibunuh dan dijaga kelestariannya. Tehnik dan tatacara karantina tikus di lahan atau perbukitan tersebut warisan kakeknya, Ahmad Habsyi, seorang tokoh terkemuka berasal dari semenanjung Arab. Dari sisi biologis, pemusnahan satu kelompok hama akan memutuskan mata rantai makanan yang mengakibatkan hama lain berkembang biak. Atas surat keputusan (sarakata) Sultan untuk mengkarantina tikus di daerah pesisir pantai timur dengan metode khusus. Ahmad Habsyi dan cucunya Teungku Sayyid Abdurrahman ibn al-Alawi telah menciptakan stabilitas perekonomian pangan. Dalam naskah-naskah klasik Aceh pun diperoleh teks-teks, baik dalam bentuk doa ataupun simbol sebagai penangkal hama dan sekaligus untuk menjaga stabilitas pangan dan pengolahan makanan tersebut.

    Dosen bidang Teks Klasik/Kajian Naskah pada Fakultas Adab dan Humaniora di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh.

    2

  • Seminar Naskah Kuna Nusantara

    Pendahuluan Pembangunan pertanian mendapat prioritas utama dalam rangka pembangunan

    ekonomi nasional, pembangunan pertanian bertujuan untuk meningkatkan hasil dan mutu produksi, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, menunjang kegiatan industri serta meningkatkan ekspor. Di antaranya padi (latin: Oryza Sativa) merupakan salah satu komoditi terpenting dalam kehidupan manusia.

    Kenaikan produksi padi dalam negeri beberapa tahun belakangan ini merupakan prestasi tersendiri.Akan tetapi tidak berarti masalah pangan sudah teratasi. Permintaan akan pangan khususnya padi terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk serta perkembangan industri dan pakan.Peningkatan jumlah penduduk yang relatif tinggi menuntut peningkatan produksi, minimal setara dengan kenaikan jumlah penduduk. Sebagai contoh, untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional pada tahun 2011, Kementerian Pertanian RI telah menetapkan target produksi padi nasional sebesar 70,60 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), atau mengalami peningkatan sebesar 7 persen dari produksi padi nasional tahun 2010.

    Pada tahun yang sama, produksi padi di Aceh juga telah melampaui target nasional, yakni 1,7 juta ton produksi, dimana saat ini produksi padi Aceh telah mencapai 1,8 juta ton atau lebih 10 persen dari produksi nasional.Dan salah satu wilayah penghasil makanan pokok tanah air ini adalah Kabupaten Bireuen.Kabupaten tersebut merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara, salah satu kabupaten penghasil padi terbesar di provinsi Aceh.

    Tingkat produksi padi Kabupaten Bireuen pada tahun 2011 dengan luas tanam 37.918 ha, luas panen 37.918 ha, produktivitas 44,35 kw/ha serta tingkatproduksi mencapai 175,976 Ton. Kecamatan Peudada merupakan salah satu sentral produksi padi di Kabupaten Bireuen dengan luas areal penanaman sebesar3.115ha, luas panen 3.115 ha, produktivitas 52,55 kw/ha, serta tingkat produksi 16,369 ton.1

    Aceh dan masyarakatnya, dalam rentang sejarah, sangat bergantung kepada padi.Ketergantungan hidup tersebut juga menunjukkan kecondongan pada tanah sebagai lahan untuk menanam padi, dengan demikian menjadi ukuran kesejahteraan sebuah keluarga.Tanah (lahan) utamanya merupakan lahan yang dapat ditanami bahan pokok akan menjamin kehidupan ekonomi keluarga petani sebab dapat menghasilkan padi yang merupakan makanan pokok. Bahkan sebagian keluarga yang tidak memiliki lahan bertani akan bekerja di ladang orang lain dalam bentuk mawah (kerja bagi hasil) atau sewa lahan tanpa bagi hasil.

    Dalam catatan Snouck disebutkan bahwa masyarakat Aceh lebih suka membuka lahan di daerah baru atau di pedalaman, bahkan daerah-daerah yang sulit terjangkau oleh khalayak ramai.Migrasi tersebut kadang dalam jumlah besar, sehingga dengan

    1 Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh, 2011. diakses dari website www.aceh.bps.go.id pada hari Kamis, 01 Agustus 2013.

    3

  • Pangan Dalam Naskah Kuna Nusantara

    mudah membukan lahan-lahan baru yang tidak memiliki kepemilikan, atau lahan yang dikuasai yang kemudian dipekerjakan orang-orang tertentu dengan sistem mawaih.2

    Peranan posisi padi (makanan pokok) di masyarakat Aceh juga tergambar dalam beberapa hikayat Aceh, salah satu Hikayat Asai Padee (Hikayat Asal Padi) yang menyiratkan pentingnya padi dengan asal usulnya dan nilia filosofisnya daripada berdagang. 3 Sikap tersebut masih kokoh dalam kepercayaan masyarakat Aceh di periode Kesultanan hingga kolonial, kecuali periode berikutnya. Hidup bertani dipandang lebih menentramkan jiwa dan batin, hasil yang diperoleh dari usaha yang halal.

    Padi di Kesultanan Aceh

    Sejak awal, masyarakat Aceh, sebagaimana masyarakat Nusantara lainnya adalah masyarakat agraris tradisional yang sangat terikat dengan tanah garapan, ialah persawahan atau huma tempat bercocok tanam, diantaranya padi-padian.Karenanya, penduduk di Aceh baik kota ataupun desa- mengasumsi nasi (beras) yang berasal dari padi sebagai makanan pokok.

    Pada periode kesultanan, setiap sultan memiliki tugas ekstra untuk mengimpor beras ke wilayah keraton Banda Aceh dari luar daerah. Sultan harus mampu menjamin kesejahteraan ekonomi pangan masyarakat yang hidup sekitar kerajaan dengan cara menyiapkan berbagai kebutuhan pokok. Sebab, penduduk di sekitar kerajaan bukan hanya pribumi, akan tetapi juga pendatang resmi dari berbagai daerah atau luar negeri yang menikmati kekayaan Aceh, karenanya Sultan memiliki tugas besar dalam proses perkembangan ekonomi masyarakat.

    Dalam beberapa catatan disebutkan daerah Aceh memiliki lahan luas dan subur, namun demikian belum mencukupi subsidi pangan tersebut.Beaulieu (1619-1622) merekam perjalanannya pada periode Sultan Iskandar Muda (1604-1636) Tanahnya baik sekali, dapat menghasilkan segala macam padi-padian dan buah-buahan, ada perumputan yang bagus sekali, tempat merumput banyak kerbau yang dipakai untuk mengolah tanah, menarik bajak dan muatan. 4 Beaulieu melanjutkan, orang Aceh menukarnya kepada orang-orang yang mereka kenal baik, di daerah Minangkabau dengan beras, senjata dan kain katun, seperti juga kepada orang Pariaman (Priaman) dengan lada, garam, baja dari Masulipatan dan kain dari Surat.5

    Menurut TomPires bahwa Pulau-pulau Gamispola (Pulau Weh dan pulau-pulau sekitarnya) dikuasai raja Aceh. Penduduknya tak seberapa, tetapi pulau-pulai

    2 Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis. Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985. h. 131 3 Imran T. Abdullah, Hikayat Asai Padee: Mitos Padi dalam Masyarakat Aceh (Suntingan Teks,

    Terjemahan, dan Analisis). Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM, 1933. 4 Agustin de Beaulieu, diterjemah oleh M. Thevenot Memoirs of admiral Beaulieus voyage to

    the East Indies (1619-1622), drawn up by himself, dalam Harris Voyages and Travel, Jil. 1. 1705, h. 228-335

    5 Agustin de Beaulieu, diterjemah oleh M. Thevenot Memoirs of admiral Beaulieus h. 97. Lombard menekankan bahwa beras; bahan yang dipakai sebagai alat tukar menukar itu pasti mahal dibayar orang Aceh. Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: KPG, h. 100.

    4

  • Seminar Naskah Kuna Nusantara

    itu didatangi orang untuk menangkap ikan atau berdagang.Belerang berlimpah-limpah di semua pulau itu dan dibawa ke Pasai dan Pidir (Pidie). Adapun tanah pedalaman menghasilkan daging, beras, dan anggur yang dibuat dengan cara mereka, juga bahan makanan lain, seperti lada.6

    Persoalan yang dihadapi Sultan adalah stok beras yang sangat terbatas, selain kebiasaan orang Aceh (Banda Aceh) yang kurang memanfaatkan lahan-lahan kosong, dan berharap para budak melakukan pekerjaan tani.Jadi kerajaan dan orang di Banda Aceh selalu bergantung pada luar dan para Sultan selalu memikirkan dua hal; pertama adanya impor beras yang stabil dan memadai; kedua, ada budak yang bekerja di Aceh untuk menanam padi di sekitarnya.Sebab, semua penjelajah Eropa sama-sama menegaskan bahwa beras jarang ada dan mahal di Banda Aceh.

    Lancaster menyebut bahwa pada tahun 1602, beras didatangkan dari daerah luar, itu adalah produk marchandise baik dan jual-beli dengan enam-tujuh bambu seharga sembilan pence (sen Inggris).Tahun tersebut mengingatkan kitab Bustn al-Saltndisebut pada masa itulah negeri pun terlalu kahat banyak manusia mati adanya kemarau dan kelaparan yang merupakan bencana besar semasa Ali Riayat Syah (sekitar 1605).

    Sekitar 20 tahun kemudian, Beaulieu menjelaskan bahwa beras yang diimpor dari Pidie, yang dianggap sebagai lumbung Aceh, dan dari Daya, tapi tidak memadai.Untuk memenuhi itu pengiriman lewat laut yang didatangnya di Semenanjung.Pada zaman Dampier masih tetap ada kekurangan besar dan bangsa Eropa yang telah menyadari keuntungan yang biasa diperolehnya, sekarang datang dengan membawa beras yang tinggi nilainya itu pada kapal-kapal mereka sendiri atau mengimpor budak-budak dari Koromandel untuk menanam padi.7

    Untuk menyediakan makanan dan mengadakan barang dagangan, Aceh harus tetap menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam di sekitarnya, Pasai, Pidir, Daya, atau bahkan semenanjung Melayu. Wilayah-wilayah yang sudah tunduk harus tetap terjamin; pembagian beras yang perlu diadakan harus diawasi, dan pasokan beras pun dari luar harus terjamin selalu ada. Pidie dan Pasai (kini berada di Aceh Pidie, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara) merupakan penghasil beras terbesar di Aceh.

    Sultan mendapat persen dari hasil panen padi, kemungkinan juga orang kaya. Periode Sultan Iskandar Muda (w. 1637) dianggap paling berhasil dalam bidang pertanian dan perekonomian, karena salah satunya ia berhasil menjaga stabilitas ekonomi. Iskandar Muda (w. 1637) menyimpan panen di gudang sampai akhir musim panas.Beaulieu bahkan mengemukakan bahwa ada tahun-tahun beras dieskpor, tahun-tahun yang kaya panennya, dan baik pengelolaannya.

    6 Tom Pires, terj. A. Cortesao, The Suma Oriental of Tom Pires, an account of: the East from the Red Sea to Japan written in Malacca and India.2 jil.London: 1944,.

    7Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: KPG, h. 95. Lihat juga, Guillaume Dampier, Supplement du voyageautour du monde (contenant une description dAchin, ville de Sumatra, du royaume de Tonquin et autres places des Indes et de la Baye de Campeche, enrichi de cartes et figuras), J.B. Machuel Rouen, 1723, 3 Jil.

    5

  • Pangan Dalam Naskah Kuna Nusantara

    Proses dan tradisi tersebut terus dipertahankan dan dikembangkan periode berikutnya. Periode para sultanah dan setelah terus berkembang metode dan sistem tanam padi, walaupun kita tidak memiliki data-data akuratakan hal tersebut. Pemilihan wilayah-wilayah di sekitar Aceh sebagai pusat penanaman padi dan pengelolaannya.Kawasan Pidie (Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya) dan Pasai(Kab.Bireuen dan Aceh Utara) merupakan lahan utama tanaman padi di kawasan pantai timur Aceh. Padee di Masyarakat Aceh

    Padee atau padi menjadi simbol utama dalam kegiatan masyarakat, baik dari aspek perekonomian, maupun aspek ritual keagamaan.Simbolisme tersebut dapat dijumpai dalam acara-acara sacral, peusijuek(tepung tawar), khanduri (upacara syukuran), bekal pengantin baru, dan sebagainya, yang menempatkan posisi padi sebagai bahan (simbol) utama.Pemaknaan utama daripada simbol-simbol tersebut mencerminkan pentingnya padi dalam masyarakat Aceh, bukan hanya lambing kesejahteraan, akan tetapi juga nilai filosofisnya.

    Sejak awal, padi telah menampati kesakralan, proses sakral tersebut sejak mulai penanaman padi di Aceh, baik dari situasional maupun dari fungsional padi di tengah masyarakat. Proses tanam padi di Aceh sangat bergantung pada musim. Walaupun siklus musim mengalami pergeseran dalam historical cuaca dan global warning, namun masyarakat tetap memegang teguh pada prinsip kalender bulan tersebut dalam hitungan tahun hijriyah.Siklus pergantian musim disebut keunongatau keunenong(kena), dalam dalam bahasa Jawa dikenal mongso.

    Siklus Keunong Keunong sendiri dihitung sesuai penanggalan tahun hijriyah, sehingga

    perhitungan keunong melahirkan tiga belas macam keunong, maksudnya satu periode waktu yang memperlihatkan ciri-ciri dalam tertentu.Snouck menyusun siklus keunong ini mengikuti urutan bulan Masehi,8 sehingga perkiraan tersebut tidak cocok dalam dua atau tiga dasawarsa, termasuk periode saat ini.Imran sendiri telah mengurai siklus keunong dalam kalender musim Aceh, yang menjadi pedoman dan kebiasaan masyarakat di hampir seluruh wilayah bagian timur dan barat Aceh.9

    Oleh karena itu, pada saat penanaman padi di hari atau waktu yang kurang tepat, maka akan mendapat hasil yang kurang memuaskan, seperti terserang hama binatang dan binatang lainnya, seperti tikus, dan sebagainya. Keunong Sikuereung kena Sembilan misalnya, dimulai pada 9 Muharram, masyarakat menganggap bahwa bulan tersebut hingga satu bulan berikutnya akan banyak dihinggapi beberapa jenis binatang, seperti sejenis kepiting darat yang mencari tempat lebih aman.

    8 Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis. Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985. h. 280 9 Imran T. Abdullah, Hikayat Asai Padee: Mitos Padi dalam Masyarakat Aceh (Suntingan Teks,

    Terjemahan, dan Analisis). Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM, 1933. h. 12

    6

  • Seminar Naskah Kuna Nusantara

    Keunong sikuereung (kena sembilan) pada bulan Muharram dianggap paling baik untuk masa penyamaian padi, sebab keunong siblah (kena sebelas) yang dimulai pada 11 Zulhijjah akan terlalu awal, sedangkan keunong tujoeh (kena tujuh) pada bulan Safar agak terlambat, walaupun dianggap masih dapat disemai benihnya. Sedangkan keunong limoeng (kena lima) di bulan Rabiul Awal sudah sangat terlambat untuk menabur benih. Hal tersebut dihindari karena batang padi sebelum tumbuh besar telah dimakan oleh ulat padi.

    Hikayat Asai Padee dan Himponan Hadih Madja dalam bahasa Aceh menunjukkan bagaimana masyarakat Aceh tradisional menghayati kalender musim ini, sehingga mereka dapat mengenal mulai turun ke sawah, membajak, menebar benih (menyemai), pemindahan bibit, hingga masa panen. Kesesuaian semai dan masa tanam serta panen tersebut menghidari tanaman padi dari serangan hama, ulat, geusong(pianggang, walang sangit) yang menghisap isi buah padi yang masih cair.10

    Sesuai dengan masa penanaman dan penyemaian, periode yang ditunggu oleh para petani adalah masa panen. Jika merujuk kepada keunong kalender Aceh, maka masa umur padi untuk dipanen sekitar tujuh bulan, atau kena tiga blaih(kena 13), dan untuk masa mengerjakan sawah lebih lama lagi, sekitar sembilan bulan lamanya, periode itu sekitar bulan Rajab atau dikenal keunong dua ploh sa (kena 21) yang dikenal musemluwai blang(musim sawah tanpa produksi). Proses menunggu tersebut untuk menghindari musim hama tikus, tulo hitam (burung pipit kepala hitam), dan tulo puteh (pipit kepala warna kuning). Ini menunjukkan bahwa proses tanam dan panen padi dilakukan setahun sekali. Dan itu masih ditemui di Aceh, walaupun sebagian masyarakat juga telah melakukan dua kali panen setahun.

    Pesta Kenduri Padi Adat istiadat yang masih tetap dipertahankan hingga saat ini adalah kenduri,

    yaitu pesta syukuran dalam bentuk makanan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Maha Pemurah dan Pemberi rezeki.Beberapa wilayah di Aceh mengalami pergeseran dalam pelaksanaan kenduri tersebut, dan sebagian daerah berbeda dengan daerah lainnya. Biasanya kenduri dilakukan beragam, dari kenduri apam(sejenis kue serabi), pesta makan bersama di sawah, hingga pesta besar seperti sajian kuah beulangongatau gulai yang berbahan baku utama daging kambing atau lembu dalam porsi besar.

    Tradisi kenduri juga disebutkan dalam sarakata Sultan Aceh tertanggal 27 Safar 1206 H (Senin 26 Oktober 1791)

    Bermula hadiahnya pada masa Teuku Chik tuha yang bernama Setia Diraja, dan pada masa syaikhuna wa qudwatuna Teungku Peusangan, dan pada masa kenduri blang dibawah Glumpang bineh kampoeng.. Tradisi kenduri telah menjadi adat istiadat sebagaimana disebut dalam sarakata

    Sultan Aceh, bahwa proses hibah lahan kepada Teungku Peusangan, yaitu saat kenduri blang di daerah Glumpang bawah.

    10 Imran T. Abdullah, Hikayat Asai Padee: Mitos Padi dalam Masyarakat Aceh.. 16. Lihat juga, MK. Hasjim., Himponan Hadih Maja. Banda Aceh: Dinas P & K, Propinsi Daerah Istimewa Aceh, tt.

    7

  • Pangan Dalam Naskah Kuna Nusantara

    Tujuan lainnya dari kenduri adalah untuk mendoakan kemakmuran panen di masa mendatang dan terbebas dari berbagai hama dan gangguan binatang. Sehingga semakin banyak panen yang diperoleh tahun tersebut, maka semakin besar pesta kenduri yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Kearifan dan Penanggulangan Hama Selama proses tanam padi hingga panen, masyarakat harus selalu mengawasi dan memantau pertumbuhan tanamannya. Berbagai rintangan dan hama akan menggerogoti padi para petani, termasuk iklim cuaca yang sering berubah-ubah. Dewasa ini, masyarakat di Nusantara sering menanggulangi hama dengan membunuh binatang pengganggu secara massal dan seketika, termasuk tikus. Padahal pemusnahan salah satu binatang pemangsa akan berdampak pada siklus rantai makanan lainnya, dan akan melahirkan hama lainnya dalam jumlah banyak.

    Bagi masyarakat Aceh, nilai-nilai estetika di dalam padi tidak hanya sekedar berbentuk ekonomis, akan tetapi juga nilai amais dan etika. Masyarakat mempercayai etika seseorang dapat mempengaruhi hasil kerja, sehingga mereka harus bersikap baik, sopan dan beradab. Nilai filosofi tersebut cukup kokoh tertanam di dalam masyarakat Aceh untuk memperoleh hasil yang maksimal dan jauh dari segala terhadap binatang, yang dianggap sebagai makhluk Tuhan, dan dapat hidup sesuai habitatnya.

    Tokoh yang di-tua-kan dan dihormati di desa dikenal sebagai peutua blang akan melakukan beberapa ritual untuk penanggulangan hama di sawah. Ada beragam praktek ritual, yang biasa dilakukan sendiri. Peutua blang akan ke sawah sendirian pada malam-malam tertentu. Disana ia akan membaca mantra dan menggoreskan beberapa garis magis di tanah persawahan dan memanjatkan doa kepada Tuhan. Apabila tetua tersebut berhasil melakukan upacara pertamanya, ia akan melapor kepada kepala desa (geuchik) atau Imam masjid untuk memulai penanam padi.

    Menurut penelitian Skeat bahwa dalam masyarakat Melayu-Nusantara, pawanglah yang menentukan waktu turun kesawah. Petua desa akan mengumumkan pada masyarakatnya setelah shalat Jumat bahwa sudah waktunya menyemai bibit induk (mother seed) ke masjid, penghulu membacakan doa dan membakar kemenyan untuk memberkati bibit induk tersebut.11

    Di Aceh, metode penangkal hama di ladang atau sawah dengan doa-doa dan magic juga berlaku, baik diawal penyemaian hingga akan tiba masa panen. Penangkal tersebut dikenal ureeh atau urisyang dipasang di setiap sudut sawah atau ladang. Penandaan penangkal hama biasanya dilakukan dengan isyarat menggaris, menanam ajimat, atau penunjuk dari satu sudut ke sudut lainnya. Tujuannya agar segala hewan yang masuk ke dalam batas ureehtidak akan dapat keluar lagi. Dalam beberapa kasus, penangkal ini juga digunakan untuk pengamanan barang milik pribadi seperti harta benda dan rumah kediaman.

    11 Walter William Skeat, Malay Magic; An Introduction to the Folklore and Popular Religion of the Malay Peninsular. London: Frank Cass & co. Ltd.

    8

  • Seminar Naskah Kuna Nusantara

    Salah satu teks cara penangkal hama tikus yang ditemui di naskah Aceh dalam koleksi Perpustakaan Ali Hasjmy, nomor aktuil 201/ZD/11/YPAH 12 dalam kategori zikir dan doa. Naskah ini merupakan kumpulan karangan yang terdiri dari beberapa teks. Teks penangkal hama tikus sendiri tercampur dalam beberapa doa-doa yang digunakan secara khusus. Di dalam teks disebutkan;

    Bab ini tangkal tikus, disurat pada kulit kambing ditaruh tepat huma kita.ini yang disurat "al-faridh al-maqbudh, al-mishbahu fi zujajati, az-zujajatu ka-annaha kaukabun, birahmatika ya arhama rahimin". Dan sebagai lagi anak binatang sekalian disurat pada kulit kambing dipajangkan di tengah huma

    Ada dua metode penangkal hama yang disebut dalam teks diatas; pertama meletakkan tulisan yang digores diatas kulit kambing diletakkan di pembatas kebun atau lahan. Kedua; ajimat di atas kulit kambing diletakkan ditengah ladang atau sawah.Keduanya memiliki isi teks yang berbeda, dan tentunya memiliki fungsi yang berbeda pula.

    Dalam teks sarakata sultan 'Alauddin Muhammad Syah atau Tuanku Muhammad (1781-1795) menunjukkan bahwa Sayyid Abdurrahman membeli bukit Leulhab (Leulhob) dengan batas-batas wilayah yang jelas persegi empat di kampong Peusangan Siblah Krueng, meliputi, wilayah selatan berbatasan bukit Mirah, timur Krueng Leubeh, utaranya Bangka, dan baratnya perbatasan Mesjid Tanoeh Tanaman.

    Melihat luasnya perbukitan yang mencakup empat desa di Kecamatan Peusangan Kabupaten Bireuen, Sayyid Abdurrahman menggunakan ureeh (ajimat penangkal) dari segala sudut. Sudut-sudut tersebut disimpulkan dengan memberi tanda ajimat yang dapat mengurung seluruh tikus di dalamnya, sehingga tikus tidak dibunuh oleh masyarakat di persawahan, kecuali tikus yang berada di luar lingkaran karantina tersebut.

    Konsep penanganan hama tikus ini telah diwarisi oleh kakeknya, Teungku Sayyid Ahmad Habsyi, dengan cara karantina dan memberi pakan. Sebagai tokoh sufi yang menghargai setiap makhluk Tuhan dan menyadari perlunya siklus rantai makanan binatang untuk menjaga pengembang biakan hewan lainnya. Sebagai keturunan keluarga sufi, Sayyid Abdurrahman juga mewarisi tradisi yang arif dalam penanggulangan hama tikus, dengan cara pembelian tanah lebih luas dari sebelumnya di wilayah Peusangan. Kandungan Teks Sarakata

    Sarakata Sultan Alauddin Muhammad Syah (1781-1795 M) tertanggal 27 Safar 1206 H (Senin 26 Oktober 1791) tentang penanganan hama tikus (Rattus Argentiventer). Surat tersebut tidak memiliki cap atau stempel (halilintar) Sultan, sebagaimana sarakata-sarakata lainnya. Namun, beberapa sarakata bandingan ditemui kesamaan, seperti penyebutan dalil qaulul haq walau kana murran.

    12Oman Fathurahman dan Munawar Holil.Katalog Naskah Ali Hasjmy Aceh, Catalogue of Aceh Manuscripts: Ali Hasjmy Collection. Banda Aceh. Jakarta: C-DATS, PPIM, Manassa, 2007, h. 240

    9

  • Pangan Dalam Naskah Kuna Nusantara

    Sarakata tersebut menyebutkan bahwa Sayyid Abdurrahman diberi hadiah tanah di Peusangan dan daerah Matang. Teks sarakata yang ditujukan kepada uleebalang (hulubalang) di Peusangan dan sekitarnya dapat dibagi dalam empat struktur.

    Pertama; Pembukaan sarakata dimulai dengan penanggalan. Hal tersebut lazim ditemui di mayoritas sarakata Aceh dan Melayu.Teks berbunyi Hijrah Nabi SAW sanah [tahun] seribu dua ratus enam tahun pada tahun zai pada bulan Safar pada dua puluh tujuh hari bulan, [27 Safar 1206 H] pada hari Senin, pada waktu Zuhur.Bertepatan dengan26 Oktober 1791 M, atau di periode sultan Alauddin Muhammad Syah (Tuanku Muhammad) bin Sultan Mahmud Syah (Tuanku Radja) bin Sultan Alauddin Johan Syah bin Sultan Alauddin Ahmad Syah (Maharaja Lela Melayu).

    Periode Sultan Mahmud Syah (1735-1760 M) telah terjadi huruhara perebutan kekuasaan dan pertikaian saudara di kesultanan Aceh yang sangat luar biasa, sehingga berdampak ke wilayah lainnya seperti Pasai (Bireuen & Aceh Utara), Pidie, dan Daya (Aceh Jaya dan Meulaboh). Naskah Hikayat Pocut Muhammad menggambarkan krisis ekonomi dan pangan akibat perkembangan politik yang tidak stabil.13

    Kedua; bentuk penghormatan dan pujii-pujian dalam teks sarakata menunjukkan geneologi pemikiran dan struktural pemerintahan kesultanan.Dalam struktur tersebut menunjukkan betapa besar penghargaan kepada tokoh-tokoh penting dalam Islam, antara ulama dan umara (pemimpin).Padahal sebagiannya tidak memiliki kaitan langsung dengan konteks ke-Aceh-an. Di dalam teks secara teratur tersusun pujian kepada; Nabi Muhammad saw.; para nabi; Khulafaur Rasyidin, dan para sahabat; Syekh Muhyiddin Abdul Qadir Jailani; para wali; Raja Rum (Ottoman); Sultan Sayyid al-Mukammil (w.1604); Sultan Iskandar Muda (w. 1636); Sultan Alauddin Ahmad Syah (w.1735); Sultan Alauddin Johan Syah (w. 1760); dan Sultan Alauddin Muhammad Syah (1781-1795 M).

    Penyertaan dua nama tokoh Sultan Aceh, Sayyid al-Mukammil (w.1604) dan Sultan Iskandar Muda (w. 1636) dalam sarakata tersebut menunjukkan kebesaran keduanya. Kedua tokoh ini tidak memiliki kaitan geneologi langsung dengan Sultan Alaiddin Muhammad Syah.Namun, penggabungan kedua tokoh tersebut menunjukkan ikatan kuat penghormatan yang memberikan pengaruh besar kepada hulubalang dan pemimpin lokal lainnya.

    Ketiga; Tokoh protagonis yang tercantum dalam sarakata penanggulangan hama tikus dari Sultan Acehditujukan kepada Sayyid Abdurrahman bin 'Alwi bin Teungku Sayyid Ahmad Habsyi, sebagai hak pengguna lahan bukit Leulhob di Peusangan Kabupaten Bireuen, secara turun temurun dari kakeknya.

    Bagi sebagian peneliti menyebut bahwa Sayyid Abdurrahman seorang milyuner yang dikenal dengan Habib Bugak, yaitu salah seorang kaya raya dan dermawan, sehingga ia membeli tanah di seputaran Mekkah al-Mukarramah dan dihibahkan untuk para pelajar dan jamaah haji Aceh. Walaupun masih memerlukan penelitian lebih dalam antara dua nama yang berbeda, walaupun diasumsi berada di periode yang sama.

    13 Ramli Harun, Hikayat Pocut Muhammad, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1981

    10

  • Seminar Naskah Kuna Nusantara

    Kedermawanan Sayyid Abdurrahman setara dengan Habib Bugak dalam melihat kemaslahatan umat, termasuk dalam kasus pembelian lahan pakan tikus.

    Tokoh lainnya yang memiliki peran dalam penanganan hama tikus adalah para uleebalangpemilik lahan, mereka merelakan menghibah tanah perbukitan Leulhob untuk dijadikan pakan lahan tikus. Setelah Sayyid Abdurrahman memiliki tanah tersebut, ia menjadikan lahan tersebut sebagai tempat tikus hidup dan berkembang biak. Agar tikus-tikus yang berada di dalam are perbukitan karantina tidak keluar lagi, ia memasang ureehsebagai penangkal tikus atau hama.

    Struktur ke empat merupakan batas lahan. Batas wilayah sawah sangat penting untuk menentukan kepemilikan. Dalam teks sarakata penangkal hama tikus menunjukkan bahwa daerah-daerah yang disebutkan berada di Kabupaten Bireuen. Namun, sumber-sumber tersebut sulit ditemukan, dan kurang terawat di tangan masyarakat. Ada beberapa perbatasan wilayah tanah yang hibah ke Sayyid Abdurrahman, sebagian lagi dibeli sesuai dengan murah.

    Tanah tersebut diukur sesuai arah mata angin, dan biasanya pembatasannya ditandai dengan tanda-tanda yang permanen di tempat terdekat, seperti sungai, masjid, sawah, dan sebagaianya.Nama-nama tempat yang ditunjukkan dalam sarakata menjadi informasi penting bagi kita akan kekayaan alam dan manusia, kekayaan yang patut dijaga dan diwariskan oleh setiap generasi.

    Teks Sarakata Qaulul haqq walau kana murran. Hijrah Nabi SAW sanah seribu dua ratus enam tahun pada tahun Zai pada bulan Safar pada dua puluh tujuh hari bulan, [27 Safar 1206 H] pada hari Senin, pada waktu Zuhur, insya Allah Ta'ala. Dengan berkat mukjizat khatimul anbiya' wa sayyidul mursalin, dan dengan berkat syafaat segala anbiya wal-mursalin, dan dengan berkat sahabat yang empat radhiallahu 'anhum ajma'in, dan dengan berkat segala sahabat ridhwanullah 'alaihim ajma'in, dan dengan berkat karamat as-sultan al-arifin sayyid syekh Muhyiddin Abdul Qadir Jailani, dan dengan doa segala Qutub ar-rabbani ghaitsul hamdani, dan dengan berkat sempurna segala auliya Allah al-shalihin al-'abidin min masyariqi al-ardhi ila magharibiha, dan dengan berkat apuwah paduka marhum sekalian raja Rum, dan dengan berkat apuwah paduka sayyid al-Mukammil, dan dengan berkat apuwah paduka Meukuta Alam, dan dengan berkat apuwah paduka marhum 'Alauddin Ahmad Syah, dan dengan berkat apuwah paduka marhum 'Alauddin Johan Syah, dan dengan berkat apuwah paduka marhum 'Alauddin Mahmud Syah, dan dengan berkat yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan serta bertambah-tambah pangkat yang tinggi, yaitu Sayyidina wa maulana paduka sri Sultan 'Alauddin Muhammad Syah Johan berdaulat zillullah fil Alam, yang dalam tahta kerajaan negeri Aceh Bandar Darussalam. Dewasa itulah Teuku bin Hakim yang bernama Raja Seukayu Meurah, dan Teuku bin Panjoe, dan Teuku Keujruen Muda Poedum, dan Teuku Keujruen Pangsa, dan segala tuha semuanya memberi hadiah tanah glee Leulhab (Leulhob) akan Teungku Sayyid

    11

  • Pangan Dalam Naskah Kuna Nusantara

    Abdurrahman bin 'Alwi anak cucu Teungku Sayyid Ahmad Habsyi, teunongnyaTeungoh Paya, dan timurnya Glee Putoeh, dan baroehnya Teungoh Blang, dan baratnya Ulee Neuhen ditengahnya koh tanah yang sudah akad sudah kabul. Bermula hadiahnya pada masa Teuku Chik Tuha yang bernama Setia Diraja, dan pada masa syaikhuna wa qudwatuna Teungku Peusangan, dan pada masa khanduri blang dibawah Glumpang bineh kampoeng, dan pada masa tikus krut padi, nyanka sebab geubri tanoh glee nyan keu Teungku Sayyid Abdurrahman. Kemudian nibak nyan di Teungku Sayyid Abdurrahman neubri glee nyan keu teumpat tikus pakan, neubri keu tikus karena Teungku Sayyid Ahmad Habsyi yue duek tikus bandum jie keunan, bek jie krut-krut padi lee, jikalau han jitem duek keunan neu poh jih bandum, teuh tikus yang neuyu duek keunan jih, tikus yang duek didalam kampoeng Peusangan yang siblah Krueng, yaitu tunoengnya glee mirah phoen dan timuenya Krueng Leubeh, dan baroehnya Bangka dan baratnya Mesjid Tanoeh Tanaman neukhen lee Teungku Sayyid Abdurrahman bak Teungku Imam Pantee neuyu kheun bak seugala ureung-ureung dalam negri tikus nyan dum Teungku Sayyid Ahmad Habsyi yue duek bak tanoh glee Leulhob. Tamat al-kalam.Amin. Penutup

    Dalam masyarakat Aceh, keutamaan padi (beras) sebagai bahan pangan primer dan bahan ritual of affliction yang berdasarkan keagamaan dan kearifan yang didukung oleh sejumlah sumber primer seperti sarakata Sultan, naskah-naskah Aceh, doa-doa penanggulangan hama padi, dan sebagainya. Kultur pemuliaan padi ini telah mentradisi di masyarakat dan didukung oleh pemerintahan (Kesultanan). Apresiasi pemuliaan tersebut diekspresi dalam sehari-hari, baik perbuatan maupun analogi berpikir yang dapat menjaga dan mengarahkan moralitas masyarakat Aceh dalam kultur padi tersebut.

    Pemuliaan dan penanganan hama secara arif tersebut diharapkan mendapat realisasi fungsi penyempurnaan jiwa dalam konsep sufisme, ialah lahirnya kesadaran terhadap penyelamatan adat budaya, sumber daya alam, lingkungan hidup, kearifan lokal, yang harus dijaga warisan yang telah dititipkan. Pemuliaan dengan tradisi kenduri dan sejenisnya mengandung nilai-nilai good will (harapan), sebagai bentuk rasa syukur, pengharapan dan perlindungan atas berkah dan hal-hal lainnya.

    12

  • Seminar Naskah Kuna Nusantara

    13

  • Pangan Dalam Naskah Kuna Nusantara

    DAFTAR PUSTAKA

    Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh, 2011. diakses dari website www.aceh.bps.go.id

    Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis. Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985.

    Imran T. Abdullah, Hikayat Asai Padee: Mitos Padi dalam Masyarakat Aceh (Suntingan Teks, Terjemahan, dan Analisis). Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM, 1933.

    Agustin de Beaulieu, diterjemah oleh M. Thevenot Memoirs of admiral Beaulieus voyage to the East Indies (1619-1622), drawn up by himself, dalam Harris Voyages and Travel, Jil. 1. 1705,

    Denys Lombard.Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: KPG.

    Tom Pires, terj. A. Cortesao, The Suma Oriental of Tom Pires, an account of: the East from the Red Sea to Japan written in Malacca and India. London: 1944,

    Guillaume Dampier, Supplement du voyageautour du monde (contenant une description dAchin, ville de Sumatra, du royaume de Tonquin et autres places des Indes et de la Baye de Campeche, enrichi de cartes et figuras), J.B. Machuel Rouen, 1723

    Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis 1-2. Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985.

    MK. Hasjim., Himponan Hadih Maja. Banda Aceh: Dinas P & K, Propinsi Daerah Istimewa Aceh

    Walter William Skeat, Malay Magic; An Introduction to the Folklore and Popular Religion of the Malay Peninsular. London: Frank Cass & co. Ltd.

    Oman Fathurahman dan Munawar Holil.Katalog Naskah Ali Hasjmy Aceh, Catalogue of Aceh Manuscripts: Ali Hasjmy Collection. Banda Aceh. Jakarta: C-DATS, PPIM, Manassa, 2007,

    Ramli Harun, Hikayat Pocut Muhammad, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1981

    V.I Braginsky, The System of Classical Malay Literature. Leiden: KITLV Press, 1993

    14

  • Seminar Naskah Kuna Nusantara

    BIODATA PENULIS Nama Lengkap : Hermansyah, M.Th., MA.Hum

    Jenis Kelamin : Laki-laki

    Tempat / Tanggal Lahir : Lhokseumawe, 05 Mei 1980

    Pekerjaan : Dosen

    Bidang Keahlian : Kajian Teks dan Naskah (Filolog)

    E-mail : [email protected]

    Hp/Tlp : 085260500120

    Alamat 1. Kantor : Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry Darussalam

    2. Rumah : Jln. Tuan Dipakeh, Desa Punge Blang Cut, Banda Aceh

    15