Kesultanan Utsmaniyah

36
Kesultanan Utsmaniyah - Ottoman Empire Kesultanan Utsmaniyah, atau dikenal juga dengan sebutan Kekaisaran Turki Ottoman, (Turki Utsmani: ت ل دو ه ي عل ه ي ن ما ث ع; secara harfiah, “Negara Utsmaniyah Raya”) didirikan oleh Bani Utsman, yang selama lebih dari enam abad kekuasaannya (1299 - 1923) dipimpin oleh delapan orang sultan, sebelum akhirnya runtuh dan terpecah menjadi beberapa negara kecil. Kesultanan ini menjadi pusat interaksi antar Barat dan Timur selama enam abad. Pada puncak kekuasaannya, Kesultanan Utsmaniyah terbagi menjadi 29 propinsi. Dengan Konstantinopel (sekarang Istambul) sebagai ibukotanya, kesultanan ini dianggap sebagai penerus dari kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Kekaisaran Romawi dan Bizantium. Pada abad ke-16 dan ke-17, Kesultanan Usmaniyah menjadi salah satu kekuatan utama dunia dengan angkatan lautnya yang kuat. Kekuatan Kesultanan Usmaniyah terkikis secara perlahan-lahan pada abad ke-19, sampai akhirnya benar-benar runtuh pada abad 20. Setelah Perang Dunia I berakhir, pemerintahan Utsmaniyah yang menerima kekalahan dalam perang tersebut, mengalami kemunduran di bidang ekonomi. 1. Berdirinya Kesultanan Utsmaniyah (1299-1453) Kekaisaran Bizantium pada pertengahan abad ke-13 melemah, lalu kehilangan beberapa kekuasaanya oleh beberapa kabilah. Salah satu kabilah ini berada daerah di Eskişehir, bagian barat Anatolia, yang dipimpin oleh Utsman I, anak dari Artogol, yang kemudian mendirikan Kesultanan Utsmaniyah. Menurut cerita tradisi, ketika Artogol bermigrasi ke Asia Minor beserta dengan empat ratus pasukan kuda, beliau berpartisipasi dalam perang antara dua kubu pihak (Kekaisaran Romawi dan Kesultanan Seljuk). Artogol bersekutu dengan pihak Kesultanan Seljuk yang kalah pada saat itu dan kemudian membalikkan keadaaan memenangkan perang. Atas jasa beliau, Sultan Seljuk menghadiahi sebuah wilayah di Eskişehir. Sepeninggal Artogol pada tahun 1281, Utsman I menjadi pemimpin dan tahun 1299 mendirikan Kesultanan Utsmaniyah. Utsman mengumumkan dirinya sebagai “Pedisyah Al Usman” (raja besar keluarga Usman). Kemudian Utsman I memperluas wilayahnya sampai ke batas wilayah Kekaisaran Bizantium. Beliau memindahkan ibukota kesultanan ke Bursa, dan memberikan pengaruh yang kuat terhadap perkembangan awal politik kesultanan tersebut. Diberi nama dengan nama panggilan “kara” (Bahasa Turki untuk hitam) atas keberaniannya, Utsman I disukai sebagai pemimpin yang kuat dan dinamik bahkan lama setelah beliau meninggal dunia, sebagai buktinya terdapat istilah di Bahasa Turki “Semoga dia sebaik Utsman”. Reputasi beliau menjadi lebih harum juga disebabkan oleh adanya cerita lama dari abad pertengahan Turki yang dikenal dengan nama Mimpi Utsman, sebuah mitos yang mana Utsman diinspirasikan untuk menaklukkan berbagai wilayah yang menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah. Pemerintahan formal Utsmaniyah terbentuk pada periode ini, yang bentuk institusi tersebut tidak berubah selama empat abad. Pemerintahan Utsmaniyah mengembangkan suatu sistem yang dikenal dengan nama Millet (berasal dari Bahasa Arab millah ه لم), yang mana kelompok agama dan suku

description

blabla

Transcript of Kesultanan Utsmaniyah

Page 1: Kesultanan Utsmaniyah

 

Kesultanan Utsmaniyah - Ottoman   Empire

Kesultanan Utsmaniyah, atau dikenal juga dengan sebutan Kekaisaran Turki Ottoman, (Turki Utsmani: عثمانيه عليه دولت ; secara harfiah, “Negara Utsmaniyah Raya”) didirikan oleh Bani Utsman, yang selama lebih dari enam abad kekuasaannya (1299 - 1923) dipimpin oleh delapan orang sultan, sebelum akhirnya runtuh dan terpecah menjadi beberapa negara kecil.

Kesultanan ini menjadi pusat interaksi antar Barat dan Timur selama enam abad. Pada puncak kekuasaannya, Kesultanan Utsmaniyah terbagi menjadi 29 propinsi. Dengan Konstantinopel (sekarang Istambul) sebagai ibukotanya, kesultanan ini dianggap sebagai penerus dari kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Kekaisaran Romawi dan Bizantium. Pada abad ke-16 dan ke-17, Kesultanan Usmaniyah menjadi salah satu kekuatan utama dunia dengan angkatan lautnya yang kuat.

Kekuatan Kesultanan Usmaniyah terkikis secara perlahan-lahan pada abad ke-19, sampai akhirnya benar-benar runtuh pada abad 20. Setelah Perang Dunia I berakhir, pemerintahan Utsmaniyah yang menerima kekalahan dalam perang tersebut, mengalami kemunduran di bidang ekonomi.

 

1. Berdirinya Kesultanan Utsmaniyah  (1299-1453)

 

Kekaisaran Bizantium pada pertengahan abad ke-13 melemah, lalu kehilangan beberapa kekuasaanya oleh beberapa kabilah. Salah satu kabilah ini berada daerah di Eskişehir, bagian barat Anatolia, yang dipimpin oleh Utsman I, anak dari Artogol, yang kemudian mendirikan Kesultanan Utsmaniyah. Menurut cerita tradisi, ketika Artogol bermigrasi ke Asia Minor beserta dengan empat ratus pasukan kuda, beliau berpartisipasi dalam perang antara dua kubu pihak (Kekaisaran Romawi dan Kesultanan Seljuk). Artogol bersekutu dengan pihak Kesultanan Seljuk yang kalah pada saat itu dan kemudian membalikkan keadaaan memenangkan perang. Atas jasa beliau, Sultan Seljuk menghadiahi sebuah wilayah di Eskişehir. Sepeninggal Artogol pada tahun 1281, Utsman I menjadi pemimpin dan tahun 1299 mendirikan Kesultanan Utsmaniyah. Utsman mengumumkan dirinya sebagai “Pedisyah Al Usman” (raja besar keluarga Usman).

Kemudian Utsman I memperluas wilayahnya sampai ke batas wilayah Kekaisaran Bizantium. Beliau memindahkan ibukota kesultanan ke Bursa, dan memberikan pengaruh yang kuat terhadap perkembangan awal politik kesultanan tersebut. Diberi nama dengan nama panggilan “kara” (Bahasa Turki untuk hitam) atas keberaniannya, Utsman I disukai sebagai pemimpin yang kuat dan dinamik bahkan lama setelah beliau meninggal dunia, sebagai buktinya terdapat istilah di Bahasa Turki “Semoga dia sebaik Utsman”. Reputasi beliau menjadi lebih harum juga disebabkan oleh adanya cerita lama dari abad pertengahan Turki yang dikenal dengan nama Mimpi Utsman, sebuah mitos yang mana Utsman diinspirasikan untuk menaklukkan berbagai wilayah yang menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah.

Pemerintahan formal Utsmaniyah terbentuk pada periode ini, yang bentuk institusi tersebut tidak berubah selama empat abad. Pemerintahan Utsmaniyah mengembangkan suatu sistem yang dikenal dengan nama Millet (berasal dari Bahasa Arab millah yang mana kelompok agama dan suku minoritas dapat mengurus ,(ملة masalah mereka sendiri tanpa intervensi dan kontrol yang banyak dari pemerintah pusat.

Pusat Kerjaan Utmani dipegang oleh Sultan Utsman yang berkuasa secara mutlak. Dalam menjalankan pemerintahannya, Sultan dibantu perdana menteri yang dikenal dengan sadrazan. Di bawahnya ada gubernur (pasya) yang menguasai wilayah tertentu, dan di bawahnya lagi memerintah seorang bupati, as-sawaziq atau al-alawiyah.

Kekuatan militer pada masa ini sangat handal. Perubahan mendasar yang dilakukan oleh Orkhan dalam menata militer telah mampu mendongkrak kekuatan militer menjadi mesin perang yang handa. Pada masa ini muncul kelompok elit

Page 2: Kesultanan Utsmaniyah

militer yang disebut Janissary atau Inkisyriyah yang merupakan kekuatan penghancur dan penakluk negeri-negeri non muslim.

Kekuasaan Utsmaniyah merambah sampai ke bagian Timur Mediterania dan Balkan setelah Utsman I meninggal. Setelah kekalahan di Pertempuran Plocnik, kemenangan kesultanan Utsmaniyah di Perang Kosovo secara efektif mengakhiri kekuasaan Kerajaan Serbia di wilayah tersebut dan memberikan jalan bagi Kesultanan Utsmaniyah menyebarkan kekuasaannya ke Eropa. Kesultanan ini kemudian mengontrol hampir seluruh wilayah kekuasaan Bizantium terdahulu. Wilayah Kekaisaran Bizantium di Yunani luput dari kekuasaan kesultanan berkat serangan Timur Lenk ke Anatolia tahun 1402, menjadikan Sultan Bayezid I sebagai tahanan.

Sepeninggal Timur Lenk, Sultan Muhammad II melakukan perombakan struktur kesultanan dan militer, dan menunjukkan keberhasilannya dengan menaklukkan Kota Konstantinopel pada tanggal 29 Mei 1453 pada usia 21 tahun. Karena keberhasilannya ini kemudian Sultan Muhammad II mendapat julukan Al Fatiih yang artinya Sang penakluk. Kota tersebut menjadi ibukota baru Kesultanan Utsmaniyah. Sebelum Sultan Muhammad II terbunuh, pasukan Utsmaniyah berhasil menaklukkan Korsika, Sardinia, dan Sisilia. Namun sepeninggalnya, rencana untuk menaklukkan Italia dibatalkan.

 

2. Perkembangan Kesultanan Utsmaniyah  (1453-1683)

Periode ini bisa dibagi menjadi dua masa: Masa perluasan wilayah dan perkembangan ekonomi dan kebudayaan (sampai tahun 1566); dan masa stagnasi militer dan politik

 

a.         Perluasan Wilayah dan Puncak Kekuasaan (1453–1566)

Penaklukkan Konstantinopel oleh Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1453 mengukuhkan status kesultanan tersebut sebagai kekuatan besar di Eropa Tenggara dan Mediterania Timur. Pada masa ini Kesultanan Utsmaniyah memasuki periode penaklukkan dan perluasan wilayah, memperluas wilayahnya sampai ke Eropa dan Afrika Utara; di bidang kelautan, angkatan laut Utsmaniyah mengukuhkan kesultanan sebagai kekuatan dagang yang kuat. Perekonomian kesultanan juga mengalami kemajuan berkat kontrol wilayah jalur perdagangan antara Eropa dan Asia.

Kesultanan ini memasuki jaman kejayaannya di bawah beberapa sultan. Sultan Salim I (1512-1520) secara dramatis memperluas batas wilayah kesultanan dengan mengalahkan Shah Dinasti Safavid dari Persia, Ismail I, di Perang Chaldiran. Salim I juga memperluas kekuasaan sampai ke Mesir dan menempatkan keberadaan kapal-kapal kesultanan di Laut Merah.

Pewaris takhta Salim, Sulaiman yang Agung (1520-1566) melanjutkan ekspansi Salim. Setelah menaklukkan Beograd tahun 1521, Sulaiman menaklukkan Kerajaan Hongaria dan beberapa wilayah di Eropa Tengah. Beliau kemudian melakukan serangan ke Kota Wina tahun 1529, namun gagal menaklukkan kota tersebut setelah musim dingin yang lebih awal memaksa pasukannya untuk mundur. Di sebelah timur, Kesultanan Utsmaniyah berhasil menaklukkan Baghdad dari Persia tahun 1535, mendapatkan kontrol wilayah Mesopotamia dan Teluk Persia.

Di bawah pemerintahan Salim dan Sulaiman, angkatan laut Kesultanan Utsmaniyah menjadi kekuatan dominan, mengontrol sebagian besar Laut Mediterania. Beberapa kemenangan besar lainnya meliputi penaklukkan Tunis dan Aljazair dari Spanyol; Evakuasi umat Muslim dan Yahudi dari Spanyol ke wilayah Kesultanan Utsmaniyah sewaktu inkuisisi Spanyol; dan penaklukkan Nice dari Kekaisaran Suci Romawi tahun 1543. Penaklukkan terakhir terjadi atas nama Prancis sebagai pasukan gabungan dengan Raja Prancis Francis I dan Barbarossa. Prancis dan Kesultanan Utsmaniyah, bersatu berdasarkan kepentingan bersama atas kekuasaan Habsburg di selatan dan tengah Eropa, menjadi sekutu yang kuat pada masa periode ini. Selain kerjasama militer, kerjasama ekonomi juga terjadi antar Prancis dan Kesultanan Utsmaniyah. Sultan memberikan Prancis hak untuk melakukan dagang dengan kesultanan tanpa dikenai pajak. Pada saat itu, Kesultanan Utsmaniyah dianggap sebagai bagian dari politik Eropa, dan bersekutu dengan Prancis, Inggris, dan Belanda melawan Habsburg Spanyol, Italia, dan Habsburg Austria.

Page 3: Kesultanan Utsmaniyah

Kerajaan Utsmani mengalami masa keemasan pada masa pemerintahan Sultan Sulaeman I (1520-1566 M) yang bergelar Sulaeman Agung dan Sulaeman Al-Qanuni. Pada masa pemerintahannya ini kerajaan Utsmani memilik wilayah kekuasaan yang cukup luas, yaitu :Afrika Utara, Mesir, Hedzjaz, Irak, Armenia, Asia kecil, Krimea, Balkan, Yunani, Bulgaria, Bosnia, Hongaria, Rumania, sampai ke batas Sunga Danube dengan tiga lautan yaitu Laut Merah, Laut Tengah, dan Laut Hitam.

Pada abad ke-16, kekuatan angkatan laut kesultanan mendapatkan saingan dari kekuatan angkatan laut Eropa Barat yang berkembang pesat, terutama Portugis, di Teluk Persia, Samudra Hindia dan di Kepulauan Maluku.

Dengan meluasnya wilayah Kerajaan Usmani terjadilah akulturasi budaya dari berbagai negara, di antaranya kebudayaan Persia, Bizantium dan Arab. Ilmu pengetahuan yang menonjol pada masa itu adalah bidang arsitektur sehingga banyak bangunan masjid yang indah seperti Masjid Al Muhammadi, Masjid Agung Sulaiman, dan Masjid Abi Ayub Al Ansari . Masjid tersebut dihiasi dengan kaligrafi yang indah dan ukiran seni yang menarik.

Kesultanan Utsmani mempunyai beberapa peranan yang sangat strategis dan penting sehingga dalam masalah pemerintahan pun diperlukan fatwa. Tanpa fatwa hukum dalam bidang keagamaan, kerajaan tidak berjalan. Pada masa ini muncul dua alirat tarekat, yaitu Bektasyi dan Maulawiyah. Aliran tarekat Bektasyi banyak berpengaruh di lingkungan militer, sedangka tarekat Maulawiyah banyak berpengaruh di lingkungan pejabat pemerintahan.

 

b.         Pemberontakan dan Kebangkitan Kembali(1566-1683)

Sepeninggal Sulaiman tahun 1566, beberapa wilayah kekuasaan kesultanan mulai menghilang. Kebangkitan kerajaan-kerajaan Eropa di barat beserta dengan penemuan jalur alternatif Eropa ke Asia melemahkan perekonomian Kesulatanan Utsmaniyah. Efektifitas militer dan struktur birokrasi warisan berabad-abad juga menjadi kelemahan dibawah pemerintahan Sultan yang lemah. Walaupun begitu, kesultanan ini tetap menjadi kekuatan ekspansi yang besar sampai kejadian Pertempuran Wina tahun 1683 yang menandakan berakhirnya usaha ekspansi Kesultanan Utsmaniyah ke Eropa.

Kerajaan-kerajaan Eropa berusaha mengatasi kontrol monopoli jalur perdagangan ke Asia oleh Kesultanan Utmaniyah dengan menemukan jalur alternatif. Secara ekonomi, pemasukan Spanyol dari benua baru memberikan pengaruh pada devaluasi mata uang Kesultanan Utsmaniyah dan mengakibatkan inflasi yang tinggi. Hal ini memberikan efek negatif terhadap semua lapisan masyarakat Utsmaniyah.

 

Pertempuran Lepanto tahun 1571

Di Eropa Selatan, sebuah koalisi antar kekuatan dagang Eropa di Semenanjung Italia berusaha untuk mengurangi kekuatan Kesultanan Utsmaniyah di Laut Mediterania. Kemenangan koalisi tersebut di Pertempuran Lepanto tahun 1571 mengakhiri supremasi kesultanan di Mediterania. Pada akhir abad ke-16, masa keemasan yang ditandai dengan penaklukan dan perluasan wilayah berakhir.

Di medan perang, Kesultanan Utsmaniyah secara perlahan-lahan tertinggal dengan teknologi militer orang Eropa dimana inovasi yang sebelumnya menjadikan faktor kekuatan militer kesultanan terhalang oleh konservatisme agama yang mulai berkembang. Perubahan taktik militer di Eropa menjadikan pasukan Sipahi yang dulunya ditakuti menjadi tidak relevan. Disiplin dan kesatuan pasukan menjadi permasalahan disebabkan oleh kebijakan relaksasi rekrutmen dan peningkatan jumlah Yenisaris yang melebihi pasukan militer lainnya

Murad IV (1612-1640), yang menaklukkan Yereva tahun 1635 dan Baghdad tahun 1639 dari kesultanan Safavid, adalah satu-satunya Sultan yang menunjukkan kontrol militer dan politik yang kuat di dalam kesultanan. Murad IV merupakan Sultan terakhir yang memimpin pasukannya maju ke medan perang.

 

Pemberontakan Jelali (1519-1610) dan Pemberontakan Yenisaris (1622)

Page 4: Kesultanan Utsmaniyah

Mengakibatkan ketidakpastian hukum dan pemberontakan di Anatolia akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, dan berhasil menggulingkan beberapa pemerintahan. Namun, abad ke-17 bukan hanya masa stagnasi dan kemunduran, tetapi juga merupakan masa kunci di mana kesultanan Utsmaniyah dan strukturnya mulai beradaptasi terhadap tekanan baru dan realitas yang baru, internal maupun eksternal.

 

Kesultanan Wanita (1530-1660)

Peridode di mana pengaruh politik dari Harem Kesultanan sangat besar, di mana ibu dari Sultan yang muda mengambilalih kekuasaan atas nama puteranya. Hürrem Sultan yang mengangkat dirinya sebagai pewaris Nurbanu, dideskripsikan oleh perwakilan Wina Andrea Giritti sebagai wanita yang saleh, berani, dan bijaksana. Masa ini berakhir sampai pada kekuasaan Sultan Kösem dan menantunya Turhan Hatice, yang mana persaingan keduanya berakhir dengan terbunuhnya Kösem tahun 1651. Berakhirnya periode ini digantikan oleh Era Köprülü (1656-1703), yang mana kesultanan pada masa ini pertama kali dikontrol oleh beberapa anggota kuat dari Harem dan kemudian oleh beberapa Perdana Menteri (Grand Vizier).

 

 

3. Keadaan Politik Menjelang Keruntuhan

 

Politik yang dimaksud di sini adalah politik dalam negeri, yang maksudnya ialah penerapan hukum Islam di wilayahnya; mengatur mu’amalat, menegakkan hudud dan sanksi hukum, menjaga akhlak, mengurus urusan rakyat sesuai hukum Islam, menjamin pelaksanaan syi’ar dan ibadah. Semua ini dilaksanakan dengan tatacara Islam. Ada 2 faktor yang membuat khilafah Turki Utsmani mundur: buruknya pemahaman Islam dan  salah menerapkan Islam.

Sebetulnya, kedua hal di atas bisa diatasi saat kekholifahan dipegang orang kuat dan keimanannya tinggi, tapi kesempatan ini tak dimanfaatkan dengan baik. Sulaiman II-yang dijuluki al-Qonun, karena jasanya mengadopsi UU sebagai sistem khilafah, yang saat itu merupakan khilafah terkuat-malah menyusun UU menurut mazhab tertentu, yakni mazhab Hanafi, dengan kitab Pertemuan Berbagai Lautan-nya yang ditulis Ibrohimul Halabi (1549). Padahal khilafah Islam bukan negara mazhab, jadi semua mazhab Islam memiliki tempat dalam 1 negara dan bukan hanya 1 mazhab.

Dengan tak dimanfaatkannya kesempatan emas ini untuk perbaikan, 2 hal tadi tak diperbaiki. Contoh: dengan diambilnya UU oleh Sulaiman II, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan kholifah bisa dihindari, tapi ini tak tersentuh UU. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan Sulaimanul Qonun, yang jadi khalifah malah orang lemah, seperti Sultan Mustafa I (1617), Utsman II (1617-1621), Murad IV (1622-1640), Ibrohim bin Ahmed (1639-1648), Sultan Muhammad IV (1648-1687), Sulaiman II (1687-1690), Ahmed II (1690-1694), Mustafa II (1694-1703), Ahmed III (1703-1730), Mahmud I (1730-1754), Utsman III (1754-1787), Mustafa III (1757-1773), dan Abdul Hamid I (1773-1788). Inilah yang membuat militer, Yennisari-yang dibentuk Sultan Ourkhan-saat itu memberontak (1525, 1632, 1727, dan 1826), sehingga mereka dibubarkan (1785). Selain itu, majemuknya rakyat dari segi agama, etnik dan mazhab perlu penguasa berintelektual kuat. Sehingga, para pemimpin lemah ini memicu pemberontakan kaum Druz yang dipimpin Fakhruddin bin al-Ma’ni.

Ini yang membuat politik luar negeri khilafah-dakwah dan jihad-berhenti sejak abad ke-17, sehingga Yennisari membesar, lebih dari pasukan dan peawai pemerintah biasa, sementara pemasukan negara merosot. Ini membuat khilafah terpuruk karena suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatannya untuk jadi penjilat dan penumpuk harta. Ditambah dengan menurunnya pajak dari Timur Jauh yang melintasi wilayah khilafah, setelah ditemukannya jalur utama yang aman, sehingga bisa langsung ke Eropa. Ini membuat mata uang khilafah tertekan, sementara sumber pendapatan negara seperti tambang, tak bisa menutupi kebutuhan uang yang terus meningkat.

Paruh kedua abad ke-16, terjadilah krisis moneter saat emas dan perak diusung ke negeri Laut Putih Tengah dari Dunia Baru lewat kolonial Spanyol. Mata

Page 5: Kesultanan Utsmaniyah

uang khilafah saat itu terpuruk; infasi hebat. Mata uang Baroh diluncurkan khilafah tahun 1620 tetap gagal mengatasi inflasi. Lalu keluarlah mata uang Qisry di abad ke-17. Inilah yang membuat pasukan Utsmaniah di Yaman memberontak pada paruh kedua abad ke-16. Akibat adanya korupsi negara harus menanggung utang 300 juta lira.

Dengan tak dijalankannya politik luar negeri yang Islami-dakwah dan jihad-pemahaman jihad sebagai cara mengemban ideologi Islam ke luar negeri hilang dari benak muslimin dan kholifah. Ini terlihat saat Sultan Abdul Hamid I/Sultan Abdul Hamid Khan meminta Syekh al-Azhar membaca Shohihul Bukhori di al-Azhar agar Allah SWT memenangkannya atas Rusia (1788). Sultanpun meminta Gubernur Mesir saat itu agar memilih 10 ulama dari seluruh mazhab membaca kitab itu tiap hari

Sejak jatuhnya Konstantinopel di abad 15, Eropa-Kristen melihatnya sebagai awal Masalah Ketimuran, sampai abad 16 saat penaklukan Balkan, seperti Bosnia, Albania, Yunani dan kepulauan Ionia. Ini membuat Paus Paulus V (1566-1572) menyatukan Eropa yang dilanda perang antar agama-sesama Kristen, yakni Protestan dan Katolik. Konflik ini berakhir setelah adanya Konferensi Westafalia (1667). Saat itu, penaklukan khilafah terhenti. Memang setelah kalahnya khilafah atas Eropa dalam perang Lepanto (1571), khilafah hanya mempertahankan wilayahnya. Ini dimanfaatkan Austria dan Venezia untuk memukul khilafah. Pada Perjanjian Carlowitz (1699), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venezia dan Habsburg. Malah khilafah harus kehilangan wilayahnya di Eropa pada Perang Krim (abad ke-19), dan tambah tragis setelah Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887).

Menghadapi kemerosotan itu, khilafah telah melakukan reformasi (abad ke-17, dst). Namun lemahnya pemahaman Islam membuat reformasi gagal. Sebab saat itu khilafah tak bisa membedakan IPTek dengan peradaban dan pemikiran. Ini membuat munculnya struktur baru dalam negara, yakni perdana menteri, yang tak dikenal sejarah Islam kecuali setelah terpengaruh demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh khilafah. Saat itu, penguasa dan syaikhul Islam mulai terbuka terhadap demokrasi lewat fatwa syaikhul Islam yang kontroversi. Malah, setelah terbentuk Dewan Tanzimat (1839 M) semakin kokohlah pemikiran Barat, setelah disusunnya beberapa UU, seperti UU Acara Pidana (1840), dan UU Dagang (1850), tambah rumusan Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha membatasi fungsi dan kewenangan kholifah.

 

4. Konspirasi Menghancurkan Khilafah

a.         Gerakan misionaris

Di dalam negara, ahlu dzimmah-khususnya orang Kristen-yang mendapat hak istimewa zaman Sulaiman II, akhirnya menuntut persamaan hak dengan muslimin. Malahan hak istimewa ini dimanfaatkan untuk melindungi provokator dan intel asing dengan jaminan perjanjian antara khilafah dengan Bizantium (1521), Prancis (1535), dan Inggris (1580). Dengan hak istimewa ini, jumlah orang Kristen dan Yahudi meningkat di dalam negeri. Ini dimanfaatkan misionaris-yang mulai menjalankan gerakan sejak abad ke-16. Malta dipilih sebagai pusat gerakannya. Dari sana mereka menyusup ke Suriah(1620) dan tinggal di sana sampai 1773. Di tengah mundurnya intelektualitas Dunia Islam, mereka mendirikan pusat kajian sebagai kedok gerakannya. Pusat kajian ini kebanyakan milik Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat, yang digunakan Barat untuk mengemban kepemimpinan intelektualnya di Dunia Islam, disertai serangan mereka terhadap pemikiran Islam. Serangan ini sudah lama dipersiapkan orientalis Barat, yang mendirikan Pusat Kajian Ketimuran sejak abad ke-14.

Gerakan misionaris dan orientalis itu merupakan bagian tak terpisahkan dari imperialisme Barat di Dunia Islam. Untuk menguasainya - meminjam istilah Imam al-Ghozali - Islam sebagai asas harus hancur, dan khilafah Islam harus runtuh. Untuk meraih tujuan pertama, serangan misionaris dan orientalis diarahkan untuk menyerang pemikiran Islam; sedangkan untuk meraih tujuan kedua, mereka hembuskan nasionalisme dan memberi stigma pada khilafah sebagai Orang Sakit. Agar kekuatan khilafah lumpuh, sehingga agar bisa sekali pukul jatuh, maka dilakukanlah upaya intensif untuk memisahkan Arab dengan lainnya dari khilafah. Dari sinilah, lahir gerakan patriotisme dan nasionalisme di Dunia Islam. Malah, gerakan keagamaan tak luput dari serangan, seperti Gerakan Wahabi di Hijaz. Sejak pertengahan abad ke-18 gerakan ini dimanfaatkan Inggris - melalui agennya Ibn Sa’ud - untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah Hijaz dsk, yang

Page 6: Kesultanan Utsmaniyah

sebelumnya gagal dilakukan Inggris lewat gerakan kesukuan. Walau begitu, akhirnya gerakan ini bisa dibendung di beberapa wilayah oleh khilafah lewat Sultan Muhammad Ali Pasha, Gubernur Mesir yang-ternyata agen Prancis-didukung Prancis. Di Eropa, wilayah yang dikuasai khilafah diprovokasi agar memberontak (abad 19-20), seperti kasus Serbia, Yunani, Bulgaria, Armenia dan terakhir Krisis Balkan, sehingga khilafah Turki Utsmani kehilangan banyak wilayahnya, dan yang tersisa hanya Turki.

 

b.         Gerakan nasionalisme dan separatisme

Nasionalisme dan separatisme telah dipropagandakan negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan Rusia. Itu bertujuan untuk menghancurkan khilafah Islam. Keberhasilannya memakai sentimen kebangsaan dan separatisme di Serbia, Hongaria, Bulgaria, dan Yunani mendorongnya memakai cara sama di seluruh wilayah khilafah. Hanya saja, usaha ini lebih difokuskan di Arab dan Turki. Sementara itu, KeduBes Inggris dan Prancis di Istambul dan daerah-daerah basis khilafah-seperti Baghdad, Damsyik, Beirut, Kairo, dan Jeddah-telah menjadi pengendalinya. Untuk menyukseskan misinya, dibangunlah 2 markas. Pertama, Markas Beirut, yang bertugas memainkan peranan jangka panjang, yakni mengubah putra-putri umat Islam menjadi kafir dan mengubah sistem Islam jadi sistem kufur. Kedua, Markas Istambul, bertugas memainkan peranan jangka pendek, yaitu memukul telak khilafah.

KeduBes negara Eropapun mulai aktif menjalin hubungan dengan orang Arab. Di Kairo dibentuk Partai Desentralisasi yang diketuai Rofiqul ‘Adzim. Di Beirut, Komite Reformasi dan Forum harfiah dibentuk. Inggris dan Prancis mulai menyusup ke tengah orang Arab yang memperjuangkan nasionalisme. Pada 8 Juni 1913, para pemuda Arab berkongres di Paris dan mengumumkan nasionalisme Arab. Dokumen yang ditemukan di Konsulat Prancis Damsyik telah membongkar rencana pengkhianatan kepada khilafah yang didukung Inggris dan Prancis.

Di Markas Istambul, negara-negara Eropa tak hanya puas merusak putra-putri umat Islam di sekolah dan universitas lewat propaganda. Mereka ingin memukul khilafah dari dekat secara telak. Caranya ialah mengubah sistem pemerintahan dan hukum Islam dengan sistem pemerintahan Barat dan hukum kufur. Kampanye mulai dilakukan Rasyid Pasha, MenLu zaman Sultan Abdul Mejid II (1839). Tahun itu juga, Naskah Terhormat(Kholkhonah)-yang dijiplak dari UU di Eropa-diperkenalkan. Tahun 1855, negara-negara Eropa-khususnya Inggris-memaksa khilafah Utsmani mengamandemen UUD, sehingga dikeluarkanlah Naskah Hemayun (11 Februari 1855). Midhat Pasha, salah satu anggota Kebatinan Bebas diangkat jadi perdana menteri (1 September 1876). Ia membentuk panitia Ad Hoc menyusun UUD menurut Konstitusi Belgia. Inilah yang dikenal dengan Konstitusi 1876. Namun, konstitusi ini ditolak Sultan Abdul Hamid II dan Sublime Port-pun enggan melaksanakannya karena dinilai bertentangan dengan syari’at. Midhat Pashapun dipecat dari kedudukan perdana menteri. Turki Muda yang berpusat di Salonika-pusat komunitas Yahudi Dunamah-memberontak (1908). Kholifah dipaksanya-yang menjalankan keputusan Konferensi Berlin-mengumumkan UUD yang diumumkan Turki Muda di Salonika, lalu dibukukanlah parlemen yang pertama dalam khilafah Turki Utsmani (17 November 1908). Bekerja sama dengan syaikhul Islam, Sultan Abdul Hamid II dipecat dari jabatannya, dan dibuang ke Salonika. Sejak itu sistem pemerintahan Islam berakhir.

Tampaknya Inggris belum puas menghancurkan khilafah Turki Utsmani secara total. Perang Dunia I (1914) dimanfaatkan Inggris menyerang Istambul dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah kampanye Dardanella yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kemal Pasha-yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan pada Perang Ana Forta (1915). Ia-agen Inggris, keturunan Yahudi Dunamah dari Salonika-melakukan agenda Inggris, yakni melakukan revolusi kufur untuk menghancurkan khilafah Islam. Ia menyelenggarakan Kongres Nasional di Sivas dan menelurkan Deklarasi Sivas (1919 M), yang mencetuskan Turki merdeka dan negeri Islam lainnya dari penjajah, sekaligus melepaskannya dari wilayah Turki Utsmani. Irak, Suriah, Palestina, Mesir, dll mendeklarasikan konsensus kebangsaan sehingga merdeka. Saat itu sentimen kebangsaan tambah kental dengan lahirnya Pan-Turkisme dan Pan Arabisme; masing-masing menuntut kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri atas nama bangsanya, bukan atas nama umat Islam.

 

 

Page 7: Kesultanan Utsmaniyah

5. Runtuhnya Khilafah Turki Utsmani

 

Sejak tahun 1920, Mustafa Kemal Pasha menjadikan Ankara sebagai pusat aktivitas politiknya. Setelah menguasai Istambul, Inggris menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan kholifah dan pemerintahannya mandeg. Instabilitas terjadi di dalam negeri, sementara opini umum menyudutkan kholifah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya - sehingga ada 2 pemerintahan; pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha tetap tak berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnyapun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.

Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah yang telah terkorupsi terintangi. Ia dianggap murtad, dan rakyat mendukung Sultan Abdul Mejid II, serta berusaha mengembalikan kekuasaannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia melakukan teror untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Kholifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.

Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional. Tepat 3 Maret 1924 M, ia memecat kholifah, membubarkan sistem khilafah, dan menghapuskan sistem Islam dari negara. Hal ini dianggap sebagai titik klimaks revolusi Mustafa Kemal Pasha.

 

6. Kesimpulan

 

Kesultanan Utsmaniyah, atau dikenal juga dengan sebutan Kekaisaran Turki Ottoman, didirikan oleh Bani Utsman, Kesultanan ini menjadi pusat interaksi antar Barat dan Timur selama enam abad. Pada puncak kekuasaannya, Kesultanan Utsmaniyah dipimpin oleh Sulaiman I dan terbagi menjadi 29 propinsi. Dengan Konstantinopel (sekarang Istambul) sebagai ibukotanya, kesultanan ini dianggap sebagai penerus dari kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Kekaisaran Romawi dan Bizantium. Pada abad ke-16 dan ke-17, Kesultanan Usmaniyah menjadi salah satu kekuatan utama dunia dengan angkatan lautnya yang kuat. Kesultanan Utsmaniyah menjadi ancaman bagi orang-orang Eropa Kristen.

 

7. Saran

 

Setelah mempelajari Kesultanan Utsmaniyah, tentunya kita menjadi tahu betapa kuatnya Islam pada saat itu. Maka, dengan belajar dari pengalaman, mari kita jadikan Islam sekuat Islam yang terdahulu dengan meningkatkan iman dan takwa kita kepada Allah Swt. dan dengan patuh dan konsisten terhadap hokum Islam.

 

8. Daftar Pustaka

 

Page 8: Kesultanan Utsmaniyah

 

1.       ^ Syamsuri, Pendidikan Agama Islam SMA kelas XI, Jakarta:Erlangga

2.       ^ Ilmy, Bachrui. Pendidikan Agama Islam untuk SMA Kelas XI, Jakarta:Grafindo

3. id.wikipedia.org

Kerajaan Ottoman

KERAJAAN OTTOMAN, atau KERAJAAN USMANI (1300-1922). Kerajaan Islam yang berpusat di Turki dan merupakan satu di antara tiga kerajaan Islam yang besar pada Abad Pertengahan, selain Kerajaan Safawi di Persia (Iran) dan Kerajaan Mogul di India. Dalam sejarah Islam, periode itu disebut juga Masa Tiga Kerajaan Besar.

Kerajan Ottoman didirikan oleh Usman, putra Artogrol. Artogrol adalah kepala suku Kayi di Asia Kecil yang datang ke Turki dan mendapat kepercayaan dari penguasa Salajikah, Alauddin Kaikobad, untuk menjadi panglima perangnya. Jabatan itu kemudian beralih kepada Usman setelah ia wafat. Sepeninggal Sultan Alauddin Kaikobad pada, tahun 1300, Usman mengambil alih kekuasaan dan sejak itu berdirilah Kerajaan Ottoman yang berlangsung selama kurang lebih tujuh abad. Sejak berdiri sampai runtuhnya, Kerajaan Ottoman dipimpin oleh 36 sultan (liha t tabel).

Usman sebagai sultan pertama lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada usaha-usaha untuk memantapkan kekuasaannya dan melindungi wilayahnya dari segala macam serangan, khususnya dari Bizantium yang memang mengancam hendak menyerang. Kemudian Orkhan, putra Usman, membentuk pasukan tangguh yang disebut Inkisyariah (Janissary) untuk membentengi kekuasaannya. Pada masa Orkhan dimulai upaya perluasan wilayah. Berturut-turut pasukan Inkisyariah (Janissary) dapat menaklukkan Broissa (Turki), Izmir (Asia Kecil), dan Ankara.

Ekspansi yang lebih besar terjadi pada masa Murad I. Di masa ini berhasil ditaklukkan Balkan, Andrianopel (sekarang bernama Edirne, Turki), Macedonia, Sofia (Bulgaria), dan seluruh wilayah Yunani. Melihat kemenangan yang diraih Murad I, kerajaan-kerajaan Kristen di Balkan dan Eropa Timur menjadi murka. Mereka lalu menyusun kekuatan yang terdiri atas Bulgaria, Serbia, Transsylvania (Rumania), Hongaria, dan Walacia (Rumania), untuk menggempur Kerajaan Ottoman. Meskipun Murad I tewas dalam pertempuran, kemenangan tetap di pihak Kerajaan Ottoman. Ekspansi berikutnya dilanjutkan oleh putranya, Bayazid I. Pada tahun 1391, pasukan Bayazid I dapat merebut benteng Philadelphia dan Gramania atau Kirman (Iran). Dengan demikian Kerajaan Ottoman secara bertahap tumbuh menjadi suatu kerajaan besar.

Kesuksesan Bayazid I kembali menimbulkan kegelisahan di daratan Eropa yang mengakibatkan Paus menyeru umat Kristen Eropa supaya mengangkat senjata. Dengan dipimpin oleh raja Hongaria Sijismond, mereka bergabung dengan tentara Perancis dan Jerman. Maka terjadilah pertempuran di Nicopolis (25 September 1396). Kerajaan Ottoman; berhasil memenangkan peperangan tersebut, sedangkan Eropa menerima kekalahan yang terparah.

Pada tahun 1402, Kerajaan Ottoman di bawah pemerintahan Bayazid I digempur oleh pasukan, Timur Lenk (penguasa Mogul) yang jumlahnya tidak kurang dari 800,000 orang, sementara jumlah pasukan Bayazid hanya 120.000 orang. Dalam pertempuran itu Bayazid I tewas, berikut sejumlah besar pasukannya. Akibat kekalahan itu, wilayah Ottoman hampir seluruhnya jatuh ke tangan Timur Leak.

Di samping itu, kekalahan tersebut menyebabkan terjadinya perpecahan di antara putra-putra Bayazid I, yaitu Muhammad I atau Muhammad Celebi, Isa, Sulaiman, dan Musa. Pada masa berikutnya, Muhammad I berhasil membangun kekuatan, sehingga dapat menundukkan saudara-saudaranya. Usahanya diarahkan pada konsolidasi pemerintahan dan mengembalikan kekuasaan yang hilang selama pendudukan Timur

Page 9: Kesultanan Utsmaniyah

Lenk. Pada tahun 1421 Muhammad Celebi meninggal dunia dan digantikan oleh Murad II.

Kerajaan Ottoman bangkit kembali pada masa pemerintahan Murad II. Di masanya ekspansi kembali dilanjutkan. Berturut-turut ia dapat menundukkan wilayah Venesia, Salonika, dan Hongaria. 1 Usaha Murad II diteruskan oleh putranya, Muhammad II. Ia dikenal dengan gelar al-Fatih (Sang I penakluk) karena pada masanya berlangsung ekspansi kekuasaan Islam secara besar-besaran. Kota penting yang berhasil ditaklukkan di masanya adalah Constantinopel (1453). Dengan demikian sempurnalah penaklukan Islam atas Kerajaan Romawi Timur yang dimulai sejak zaman Umar bin Khattab. Constantinopel dijadikan ibu kota kerajaan dan namanya diubah menjadi Istanbul (Takhta Islam). Kejatuhan Constantinopel memudahkan tentara Ottoman menaklukkan wilayah lainnya, seperti Serbia, Albania, dan Hongaria.

Ada tiga hal penting yang dapat diambil dari kejatuhan Constantinopel. (1) Bagi umat Islam, terpenuhinya tugas historis dalam pengembangan wilayah Islam ke Persia dan Romawi Timur. (2) Berakhirnya Abad Pertengahan yang gelap dan mulainya zaman kesadaran bagi bangsa Barat, selain masuknya ilmu pengetahuan. Kekalahan tersebut membangunkan bangsa Barat dari tidur yang panjang untuk mengejar ketertinggalan selama ini, yang pada akhirnya melahirkan pola pikir yang baru. Mereka melepaskan diri dari kungkungan gereja dan muncullah supremasi Barat dalam bidang ilmu pengetahuan. (3) Dengan dikuasainya Constantinopel oleh Islam, yang selama ini merupakan gerbang Eropa dan jalur perdagangan Timur dan Barat, nasib Barat tergantung sepenuhnya pada Kerajaan Ottoman.

Seusai penaklukan Constantinopel yang bersejarah itu, Sultan Muhammad al-Fatih kembali kota Andrianopel, ibu kota Kerajaan Ottoman sebelum Constantinopel ditaklukkan, dan kemudian memerintahkan agar membangun kembali kota Constantinopel yang porak-poranda akibat gempuran tentara Islam. Meskipun kota ini telah ditaklukkan, Sultan Muhammad al-Fatih tetap memberi kebebasan beragama kepada penduduknya sebagaimana yang dilakukan pada masa penguasa Islam sebelumnya apabila mereka menduduki suatu wilayah. Bahkan, dalam tulisan Voltaire (filsuf Perancis) disebutkan bahwa Sultan Muhammad al-Fatih membiarkan orang-orang Kristen menentukan sendiri ketuanya. Setelah itu, ketua yang terpilih dilantik oleh Sultan.

Puncak kejayaan Kerajaan Ottoman dicapai pada pemerintahan Sulaiman la digelari al-Qa-nuni (Pembuat Undang-Undang) karena keberhasilannya membuat undang-undang yang mengatur masyarakat. Selain itu Sulaiman I juga bergelar Sulaiman Yang Agung. Pada masanya wilayah Ottoman meliputi Aljazair, Mesir, Hedzjaz, Armenia, Irak, Asia Kecil, Balkan, Bulgaria, Bosnia, Yunani, Hongaria, Rumania, dan tiga laut, yaitu Laut Merah, Laut Tengah, dan Laut Hitam. Karena keluasan wilayahnya, Kerajaan Ottoman menjadi adi-kuasa ketika itu.

Ada lima faktor yang menyebabkan kesuksesan Kerajaan Ottoman dalam perluasan wilayah Islam. (1) Kemampuan orang-orang Turki dalam strategi perang terkombinasi dengan cita-cita memperoleh ganimah (harta rampasan perang). (2) Sifat dan karakter orang Turki yang selalu ingin maju dan tidak pernah diam serta gaya hidupnya yang sederhana, sehingga mudah digerakkan untuk tujuan penyerangan. (3) Semangat jihad dan ingin mengembangkan Islam. (4) Letak Istanbul yang sangat strategis sebagai ibu kota kerajaan juga sangat menunjang kesuksesan perluasan wilayah ke Eropa dan Asia. Istanbul terletak di antara dua benua dan dua laut, dan pernah menjadi piisat kebudayaan dunia, baik kebudayaan Macedonia, kebudayaan Yunani maupun kebudayaan Romawi Timur. (5) Kondisi kerajaan-kerajaan di sekitarnya yang kacau memudahkan Kerajaan Ottoman mengalahkannya.

Kerajaan Ottoman mulai melemah setelah wafatnya Sulaiman al-Qanuni. Sultan-sultan yang menggantikannya umumnya lemah dan tidak berwibawa. Penyebab lainnya adalah kehidupan mewah dan berlebih-lebihan di kalangan pembesar istana, sehingga banyak terjadi penyimpangan dalam keuangan negara.

Pada saat situasi dalani negeri semakin memburuk, negara-negara Eropa melancarkan serangan ke wilayah-wilayah yang dikuasai Kerajaan Ottoman. Misalnya,

Page 10: Kesultanan Utsmaniyah

pada masa Sultan Salim II, Kerajaan Ottoman menderita kekalahan dari tentara sekutu Kristen Eropa dalam Perang Liponto. Lalu ketika pemerintahan dipegangoleh Sultan Ahmad I, tentara Austria melakukan penyerangan yang berlangsung selama lima belas tahun. Akhirnya, Austria dapat mengalahkan tentara Kerajaan Ottoman. Kekalahan ini memberi pukulan hebat bagi Kerajaan Ottoman dan membuat cahaya kebesaran Turki memudar di mata bangsa-bangsa Eropa. Akibatnya, upeti yang biasa dikirimkan oleh wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Turki di Eropa tidak lagi diberikan. Hal tni mengakibatkan perekonomian Kerajaan Ottoman melemah.

Pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim (1640-1648) suasana dalam negeri Kerajaan Ottoman menjadi semakin kacau. Para wanita (ibu suri dan permaisuri) turut campur dalam mengendalikan roda pemerintahan. Ibrahim adalah seorang sultan yang sangat lemah, sehingga ia hanya dijadikan boneka oleh wazirnya (perdana menteri) yang bernama Mustafa. Pada hakikatnya Mustafalah yang memegang tampuk kekuasaan. Akan tetapi, kepemimpinan Mustafa tidak mampu menenteramkan suasana, bahkan mengundang banyak permusuhan di kalangan pembesar istana. Permaisuri Ibrahim yang berkomplot dengan para pejabat yang terdiri atas keluarganya mampu menggulingkan Mustafa. Kerusuhan pun timbul di mana-mana. Kelompok Janissary (pasukan elite kerajaan) mengambil alih kekuasaan dan menurunkan Sultan Ibrahim. Sebagai gantinya diangkat Muhammad IV (1. 1642) yang ketika itu baru berusia tujuh tahun.

Untuk memulihkan keamanan dalam negeri, ibu Sultan Muhammad IV mengangkat Koprulu, seorang panglima Turki yang berpengalaman, menjadi wazir. Koprulu tidak hanya berhasil menguras masalah dalam negeri dengan baik, tetapi jaga dapat merebut kembali Pulau Lemnos dan Pulau Tonedos dari Venesia.

Dalam pada itu, wilayah Turki yang begitu luas justru menjadi beban bagi pemerintah Ottoman karena tidak seluruh wilayah dapat dikontrol dengan baik. Selain itu penduduk dari wilayah yang luas itu pun terdiri dari bermacam-macam bangsa yang mempunyai adat istiadatnya masing-masing. Di antara bangsa-bangsa yang berbeda itu sering terjadi konflik, terutama antara bangsa Arab dan bangsa Turki. Masing-masing menganggap derajatnya lebih tinggi dan lebih mulia daripada yang lainnya. Hal-hal seperti itu merupakan salah satu faktor yang melemahkan kekuasaan Ottoman, yang pada akhirnya membuat Ottoman mengalami kekalahan dalam peperangan melawan orang-orang Eropa.

Selain kalah perang, Ottoman juga terpaksa menandatangani perjanjian yang isinya justru memojokkan pihak Ottoman. Di antara perjanjian itu adalah sebagai berikut. (1) Perjanjian Karlowitz yang terjadi pada tahun 1699 di masa pemerintahan Sultan Mustafa II. Isi penting dari perjanjian itu adalah pihak Ottoman harus menyerahkan seluruh Hongaria, sebagian besar Sloveria, dan Kroasia kepada Habsburg (nama dinasti raja-raja Eropa) serta daerah-daerah Dalmatia kepada Venesia. (2) Perjanjian Passarowitz yang ditandatangani tahun 1718, antara Ottoman (Sultan Ahmad III) dan Austria dengan Venesia. Isinya ialah Kerajaan Ottoman menyerahkan semua daerah yang dikuasai Austria, sementara Ottoman hanya dibenarkan menduduki pulau-pulau yang direbut dari Venesia. (3) Perjanjian Kainarji pada tahun 1774, antara Ottoman (Sultan Abdul Hamid I) dan Rusia. Perjanjian ini menyebutkan bahwa Rusia berhak atas daerah Azov (laut dangkal yang merupakan bagian dari Laut Hitam), kemerdekaan Tartar Crimea di-akui, dan kapal-kapai Rusia diizinkan melintasi Laut Hitam. (4) Perjanjian Sistova pada tahun 1791, antara Kerajaan Ottoman (Sultan Salim III) dan Austria. Isinya antara lain mengembalikan batas kedua kerajaan itu kepada keadaan sebelum perang tahun 1787. (5) Perjanjian Jassy pada tahun 1792, antara Ottoman (Sultan Salim III) dan Rusia. Isinya adalah Ottoman menyerahkan Crimea (kota dekai Laut Hitam) kepada Rusia.

Keadaan ini semakin parah tatkala Napoleon I, jenderal dan kaisar Perancis, menguasai Mesir pada tahun 1798. Sejak itu, Ottoman dijuluki The Sick Man of Europe (Orang Sakit dari Eropa) karena kondisi pemerintahannya dari hari ke hari semakin melemah.

Dulu penguasa Ottoman dapat mengalahkan tentara-tentara Eropa, tetapi kini mereka membiarkan wilayahnya dirampas oleh orang-orang Eropa. Perancis merebut Aljazair (1830) dan Tunisia (1881). Italia menduduki wilayah Ottoman di Afrika utara

Page 11: Kesultanan Utsmaniyah

(1911). Inggris menguasai Mesir (1882) dan Irak (1917). Kesempatan ini juga digunakan oleh wilayah lain untuk melepaskan diri dari kekuasaan Ottoman, misalnya Rumania, Yunani, Bulgaria, Cyprus, Albania, dan Macedonia.

Pada tahun 1876 Sultan Abdul Hamid II naik takhta. Pemerintahannya bersifat absolut dan penuh kekerasan. Karena itu, timbul rasa tidak senang, baik di kalangan sipil maupun di kalangan militer. Gerakan-gerakan oposisi terhadap pemerintah absolut Sultan Abdul Hamid II inilah yang kemudian dikenal dengan nama Gerakan Turki Muda, dengan para pelopornya antara lain Ahmad Riza (1859-1931), Muhammad Murad (1853-1912), dan Pangeran Sahabuddin (1877-1948). Sementara kelompok militer semakin memperketat usaha mereka untuk menggulingkan Sultan dengan membentuk komite-komite rahasia, seperti Komite Perkumpulan Persatuan dan Kemajuan. Salah seorang pemimpin komite itu adalah Mustafa Kemal yang kemudian populer dengan panggilan Kemal Ataturk (Bapa Bangsa Turki).

Pada tahun 1908 Perkumpulan Persatuan dan Kemajuan dapat mendesak Sultan Abdul Hamid II untuk menghidupkan kembali Konstitusi 1876. Akibat desakan itu, pemilihan umum diadakan dan terbentuklah Parlemen Baru yang diketuai olah Ahmad Riza dari Perkumpulan Persatuan dan Kemajuan. Di dalam parlemen baru itu, Turki Muda juga turut memegang kekuasaan.

Dalam perkembangan selanjutnya, Perkumpulan Persatuan dan Kemajuan menyeret Ottoman ke dalam kancah Perang Dunia I dengan berpihak pada Jerman. Perang Dunia I berakhir dengan kekalahan pihak Jerman dan Turki. Akibatnya, Kabinet Turki Muda mengundurkan diri dan para pemimpinnya melarikan diri ke Eropa. Perdana meuteri yang baru, Ahmad Izzet Pasya, mencari perdamaian dengan pihak Sekutu yang memenangkan peperangan.

Sebagai pihak yang menang perang, tentara sekutu masuk dan menduduki bagian-bagian tertentu kota Istanbul. Sementara itu, Yunani dengan bantuan Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat hendak merampas kembali wilayah-wilayahnya dari Turki. Kehadiran tentara Sekutu dan Yunani menimbulkan amarah dan semangat rakyat Turki untuk mempertahankan tanah air mereka. Dalam suasana serupa inilah tampil Mustafa Kemal yang dengan gagah berani berjuang menyelamatkan Kerajaan Ottoman dari kehancuran total dan ekspansi Eropa.

Atas usaha Mustafa Kemal dapat dibentuk Majelis Agung pada tahun 1920 dan ia terpilih sebagai ketuanya. Setahun kemudian disusun konstitusi baru yang menjelaskan bahwa kedaulatan adalah milik rakyat.

Dari hari ke hari kedudukan Mustafa Kemal semakin kuat di mata rakyat. Dalam kedudukannya sebagai panglima dari semua pasukan yang ada di Turki Selatan, Mustafa Kemal membentuk pemerintahan tandingan di Anatolia, sebagai imbangan terhadap kekuasaan Sultan Abdul Majid II di Istanbul. Hal ini dilakukannya karena ia melihat Sultan sudah berada di bawah kekuasaan Sekutu.

Akhirnya, pada tahun 1922 Majelis Agung dibawah pimpinan Mustafa Kemal menghapuskan ja-batan sultan. Ia kemudian memproklamasikan Republik Turki pada tanggal 29 Oktober 1923. Pada tahun 1924 jabatan khalifah juga dihapuskan dan Abdul Madjid II, khalifah terakhir, diperintahkan meninggalkan Turki.

Di samping berperan dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam, Kerajaan Ottoman juga mempunyai peranan besar dalam bidang iimu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan, publikasi dan penerjemahan, agama, hukum, dan ekonomi perdagangan. Ilmu pengetahuan yang banyak berkembang adalah ilmu-ilmu terapan yang berhubungan dengan kemiliteran, seperti ilmu maritim, teknik pembuatan mesin, dan meriam.

Sebelum abad modern, lembaga pendidikan yang ada hanya madrasah. Sejak pemerintahan Sultan Mahmud II mulai didirikan sekolah-sekolah modern, di antaranya

Page 12: Kesultanan Utsmaniyah

Makteb-i Ma'arif (Sekolah Pengetahuan Umum), Makteb-i Ulumu Edebiye Tibbiye-i (Sekolah Sastra), di samping sekolah militer, sekolah teknik, dan sekolah kedokteran. Selain itu, Sultan Mahmud mendirikan Darul Ulumu Hikemiye ve Mekteb-i Tibbiye-i Sahane yang merupakan gabungan dari sekolah kedokteran dan sekolah pembedahan. Di sisi lain, ia memasukkan ilmu-ilmu umum pada sekolah-sekolah tradisional yang sudah ada. Sumbangan lain yang menonjol dari Ottoman dalam bidang pendidikan adalah usaha mengirim para siswa belajar ke Eropa. Sekembalinya, mereka memberikan sumbangan yang sangat besar bagi perkembangan Islam di daerahnya. Para pemikir modern yang terkenal antara lain adalah Zia Gokalp (1875-1924), Yusuf Akcura (1876-1933), Taufik Fikret (1867-1915), dan Abdullah Jewdat (1869-1932).

Pengembangan budaya Turki tampak lebih menonjol di bidang bahasa. Bahasa Turki digunakan dalam segala lapangan, termasuk istilah-istilah politik yang diterapkan dalam hampir seluruh wilayah kekuasaannya. Dalam arsitektur, Turki mempunyai corak khusus dalam desain bangunan, seperti kubah separuh lingkaran di masjid. Ketinggian nilai arsitektur Turki dapat diamati dalam keindahan Masjid Sulaiman di Istanbul (didirikan tahun 1550) dan Masjid Salim di Adrianopel (didirikan tahun 1570). Seni lukis dengan cat khusus sudah pula dikenal sejak abad ke-15 yang ditemukan dalam Book of King Solomon (ditulis sekitar lahun 1500).

Peranan Kerajaan Ottoman dalam bidang publikasi dan penerjemahan terlihat ketika Sultan Ahmad III mendirikan biro penerjemahan (1717) yang beranggotakan 25 orang dan percetakan (1727). Di samping itu, Ibrahim Mutafarrik, seorang Hongaria yang tertangkap dan menetap di Istanbul, mencetak antara lain buku-buku kedokteran, astronomi, ilmu pasti, dan sejarah. Ia juga menerjemahkan buku-buku Barat ke dalam bahasa Turki untuk memperkenalkan ilmu pengetahuan modern dan kemajuan Barat. Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud II didirikan biro penerjemahan yangberperan menerbitkan buku-buku tentang ilmu-ilmu modern ke dalam bahasa Turki. Pada tahun 1831 Sultan Mahmud menerbitkan surat kabar Takvim-i Vekayi yang dinilai paling besar pengaruhnya dalam memperkenalkan ide-ide modern pada rakyat Turki.

Di bidang agama, syariat Islam menjadi satu-satunya sumber hukum Islam dalam Kerajaan Ottoman, dengan Mazhab Hanafi sebagai mazhab negara. Dalam bidang tasawuf, ajaran Tarekat Bektasyi berkembang pesat. Tarekat ini diajarkan oleh Bektasyi Veli yang berasal dari Khurasan dan menjadi terkenal di Anatolia (Asia Keeil) pada tahun 1281. Ia termasuk salah satu dari sejumlah tokoh tasawuf yang hijrah ke wilayah-wilayah kekuasaan Ottoman ketika Jengiz Khan menyerbu Asia Tengah. Tarekat Bektasyi yang muncul sebelum masa Ottoman sangat berpengaruh di kalangan pemuka agama, bahkan bagi pasukan Janissary dan para sultan. Tarekat ini terus berkembang sampai saat ini.

Dalam bidang hukum, Ottoman mempunyai peranan besar dalam sejarah perkembangan Islam, yang terlihat dalam dua hal. (1) Sultan Mahmud II membentuk lembaga hukum sekuler yang mengurus masalah-masalah hukum-hukum sekuler. Adapun masalah-masalah hukum syariat diurus oleh Syaikhul Islam. Sultan Mahmud adalah orang pertama yang membedakan urusan agama dan urusan dunia. (2) Pada masa pemerintahan Sulaiman Yang Agung, Ottoman berhasil membuat kitab Qdnun 'Usmdni yang berisi perundang-undangan pemerintahan, himpunan peraturan, dan praktik-praktik hukum lainnya. Pada masa ini pula disusun kitab undang-undang Multaqa al-Abhur yang menjadi dasar hukuni Ottoman sampai abad ke-19. Qdnun 'Usmdni memiliki arti historis yang sangat penting karena merupakan undang-undang negara pertama di dunia.

Adapun peran ekonomi perdagangan yang dilakukan Ottoman adalah penguasaannya terhadap beberapa kota pelabuhan utama, seperti pelabuhan-pelabuhan sepanjang Laut Tengah, Laut Merah, dan Teluk Persia, pelabuhan di Suriah (pantai Libanon sekarang), Pulau Cyprus, Pulau Rhodos, dan di pelabuhan pantai Asia Kecil, Laut Aegea, Selat Dardanella. Laut Marmora, dan Laut Hitam. Yang paling strategis pada waktu itti adalah pelabuhan internasional Constantinopel yang menjadi penghubung Timur-Barat. Dengan demikian, Ottorffan menjadi penyelenggara perdagangan dan pemungut pajak (cukai) pelabuhan yang menjadi sumber keuangan yang besar bagi negerinya. Selain itu, sumber keuangan Ottoman yang sangat besar berasal dari harta rampasan perang, upeti negara-negara yang ditaklukkannya, dan dari orang-orang Zimmi.

Page 13: Kesultanan Utsmaniyah

Setelah Sulaiman meninggal dunia, terjadilah perebutan kekuasaan antara putera-puternya, yang menyebabkan Kerajaan Turki Usmani mundur. Akan tetapi, walau mengalami kemunduran kerajaan ini dalam masa beberapa abad masih dipandang sebagai negara kuat yang masih bertahan selama 5 abad setelah itu.

Kemajuan Kerajaan Usmani

Kemajuan dan perkembangan ekspansi kerajaan Usmani yang demikian luas dan berlangsung dengan cepat itu diikuti pula oleh kemajuan-kemajuan dalam bidang-bidang kehidupan yang lain. Yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Bidang Kemiliteran dan Pemerintahan

Para pemimpin kerajaan Usmani pada masa-masa pertama, adalah orang-orang yang kuat, sehingga kerajaan dapat melakukan ekspansi dengan cepat dan luas. Meskipun demikian, kemajuan Kerajaan Usmani sehingga mencapai masa keemasannya itu, bukan semata-mata karena keunggulan politik para pemimpinnya. Masih banyak faktor lain yang mendukung keberhasilan ekspansi itu. Yang terpenting diantaranya adalah keberanian, keterampilan, ketangguhan dan kekuatan militernya yang sanggup bertempur kapan dan di mana saja.

Untuk pertama kali, kekuatan militer kerajaan ini mulai diorganisasi dengan baik dan teratur ketika terjadi kontak senjata dengan Eropa. Ketika itu, pasukan tempur yang besar sudah terorganisasi. Pengorganisasian yang baik, taktik dan strategi tempur militer Usmani berlangsung tanpa halangan berarti. Namun, tidak lama setelah kemenangan tercapai kekuatan militer yang besar ini dilanda kekisruhan. Kesadaran prajuritnya menurun. Mereka merasa dirinya sebagai pemimpin-pemimpin yang berhak menerima gaji. Akan tetapi keadaan tersebut segera dapat diatasi oleh Orkhan dengan jalan mengadakan perombakan besar-besaran dalam tubuh militer.

Pembaruan dalam tubuh organisasi militer oleh Orkhan, tidak hanya dalam bentuk mutasi personil-personil pimpinan, tetapi juga diadakan perombakan dalam keanggotaan. Bangsa-bansa non-Turki dimasukan sebagai anggota, bahkan anak-anak Kristen yang masih kecil diasramakan dan dibimbing dalam suasana Islam untuk dijadikan prajurit. Program ini ternyata berhasil dengan terbentuknya kelompok militer baru yang disebut Jenissari atau Inkisyariah. Pasukan inilah yang dapat mengubah Negara

Page 14: Kesultanan Utsmaniyah

Sebagaimana disinggung dalam bab di muka, bahwa kekakuan ilmu usul ortodoks diajarkan dalam madrasah-madrasah hingga batas tertentu dapat dibenarkan oleh perselisihan batin dengan ilmu tasawuf. Dibawah pengaruh pengakuan umum, sejumlah kecenderungan yang senantiasa hidup dalam alam pikir tasawuf berkembang cepat. Dalam waktu yang sama, maka dari suatu ketertiban yang dipercayakan kepada gabungan murid-murid yang kecil dan bebas, Sufi telah meluas hingga menjadi jaringan organisasi-organisasi tersebar di seluruh penjuru dunia Islam, dengan susunan tertib, upacara, dan perguruannya sendiri.Para Sufi yang terdahulu dalam memburu makrifat telah membina dengan sungguh-sungguh serangkaian “tahap” dengan peraturan ketertiban moril pertapaan mereka menyamai “penyucian jalan” orang Kristen. Contoh yang menjadi ciri rangkaian tadi ialah: tobat, pantangan, penolakan, kemiskinan, kesabaran, iman, kepuasan. Sejak zaman al-Hallaj (lihat halaman 100) beberapa kelompok Sufi yang berpengaruh telah mulai menggabungkan pada ketertiban amal sehari-hari cita-cita yang diambil dari doktrin kebatinan atau doktrin Plutinius. Kecenderungan filsafat itu selama dua abad antara al-Hallaj dan al-Ghazali telah dikukuhkan oleh perembesan “Surat dari saudara-saudara yang suci” merupakan suatu ensiklopedi tentang filsafat alamiah Plutinius Baru yang dipopulerkan, yang berasal dalam kalangan Ismailiyah atau kalangan Syi’ah yang ekstrim. Dibawah pengaruhnya tahap-tahap penyucian yang dahulu dihubungkan dengan suatu tangga yang merupakan derajat-derajat yang naik dari “peresapan” watak manusia, watak malaikat, kekuasaan, kelihaian. Murid baru diterima harus mendaki tingkat-tingkat evolusi jagat hingga ia “kembali menjadi” Allah.Meskipun cita-cita dan perbendaharaan kata Plutinius Baru menempati tempat penting dalam karya al-Ghazali, semua itu masih dikalahkan dengan bentuk cita-cita menurut Quran yang lama dengan istilah-istilah Islam murni. Satu abad kemudian semua unsur kebatinan yang telah masuk dalam alam pikiran Sufi telah dikerjakan dengan cermat dalam suatu sistem elektik (yang memilih pendapat terbaik dari pelbagai anggapan) oleh pengarang Arab Spanyol Ibn al-Arabi dari Mursia (m. di Damsyik 1240 M.). Mengingat kebanyakan dari karangannya dan pertentangan yang tidak dapat disesuaikan, tidaklah mudah untuk menyatakan dengan pasti cita-citanya. Tidak dapat disangkal bahwa sistemnya sebagai keseluruhan adalah monis dan panteis. Sambil menunjuk pada naskah-naskah dan alim ulama ortodoks, tafsir dan penjelasannya tidak mengindahkan apa yang berlawanan dengan filsafatnya. Tafsir Quran karangannya merupakan satu karya nekad dari tafsir batin.Dalam pandangan kaum ortodoks, Ibn al-Arabi tidak lebih dari seorang yang tidak beriman, tetapi karangan-karangannya telah menarik perhatian di seluruh dunia Islam bagian Timur, khusus wilayah Persia dan Turki. Tafsiran kebatinan doktrin Islam yang menurut pernyataannya sendiri telah diwahyukan kepadanya sebagai “khatam, penutup wali-wali” merupakan saingan sistem intelektual bagi ilmu. kalam ahli ortodoks. Hal itu merupakan bahaya yang cukup besar, akan tetapi yang lebih berbahaya ialah pengaruhnya atas pemimpin-pemimpin pergerakan Sufi. Perguruan-perguruan mistik merupakan lingkungan murid-murid yang tertutup, dan titik berat dialihkan dari pengawasan akhlak sendiri ke pengetahuan metafisika dengan akibatnya kenaikan kerohanian kearah “manusia sempurna,” mikrokosmos Yang Esa dijelmakan kepadanya sendiri. Tidak semua ahli Sufi tertarik pada agama paham pantetis itu, dan sedikit saja paham tersebut merembes kedalam badan besar muslimin yang bertakwa menganut tarekat-tarekat besar; tetapi pintu telah dibukakan bagi penyimpangan-penyimpangan yang kemudian harus disahkan oleh pergerakan Sufi.Salah satu sifat yang menjadi ciri pernyataan kesusasteraan ahli Sufi kemudian ialah penggunaan (menurut contoh Ibn al-Arabi) bahasa asmara dan kegairahan duniawi untuk menyatakan jamaah yang menggairahkan dengan cinta Ilahi. Bahasa yang dipakai acapkali berbentuk realistis kemanusiaan, hingga sarjana-sarjana Islam kadang-kadang menyatakan keraguan –sebagaimana madah-madah penyair Persia Hafiz– apakah si penyair menggambarkan kesenangan asmara duniawi atau Ilahi.Perkenalan utama dari Sufi panteis terdapat dalam syair-syair mistik para Sufi Persia yang besar, khusus dari Jabal ad-Din ar-Rumi dan Jami. Berkatalah Jami:Mata Kekasih melihat apa yang tidak berwujud, menganggap yang tidak berwujud, berwujud,

Page 15: Kesultanan Utsmaniyah

Walaupun tampak pada-Nya sifat-sifat dan kesaktian-Nya sebagai kesempurnaan tunggal dalam Inti-Nya,Namun la ingin semuanya tadi dipertunjukkan pada-Nya dalam cermin lain,Dan bahwa tiap-tiap sifat-Nya yang abadi dijelmakan dalam bentuk bermacam ragam.Karena itu diciptakan oleh-Nya medan-medan kehijauan waktu dan ruang, dan kebun pemberi kehidupan, dunia,Sehingga tiap-tiap ranting, daun, dan buah dapat membuktikan kesempurnaan-Nya yang berpanca warna.1Di tempat lain, ia menggambarkan cita-cita yang sama dalam bahasa yang lebih berfilsafat (dinukilkan dari Ibn al-Arabi)Zat yang Esa dibahas dengan mutlak … ialah al-Haqq, ‘Yang Nyata.’ Pada segi lain, dibahas dalam aspek jumlah besar dan keadaan banyak, apabila la mempertunjukkan Diri-Nya dalam perwujudan, la adalah Jagat Semesta yang diciptakan. Karena itu jagat ialah pernyataan lahir yang kelihatan dari al-Haqq, dan al-Haqq ialah pernyataan batin yang tidak tampak dari Jagat. Jagat sebelumnya dibeberkan keluar adalah sama dengan al-Haqq, dan al-Haqq setelah pembeberan tadi adalah sama dengan Jagat.Perkembangan baru Sufi ditolong oleh kemajuan intelek tersebut. Apabila ada doktrin yang harus dipelajari, harus dalam cara teratur. Al-Ghazali telah menyatakan, bahwa “murid harus mempunyai syekh (dalam bahasa Persia: pir) yang memimpinnya. Barangsiapa tidak mempunyai seorang syekh sebagai penunjuk jalan akan dituntun oleh iblis dalam jalan-jalannya. Oleh karena itu, si murid harus berpegang teguh pada syekh, sebagaimana seorang buta lekat pada pemimpinnya ketika berada di pinggir sungai mempercayakan diri kepadanya, jangan menentangnya sedikit pun dan berjanji mengikutinya dengan mutlak. Si murid harus tahu bahwa keuntungan yang didapat karena kekeliruan syekhnya, apabila ia bersalah; lebih besar keuntungan yang diperoleh dari kebenarannya sendiri, apabila ia benar”.Persatuan-persatuan yang asal mulanya bersifat lemah dan sukarela, waktu Sufi memulai menjadi pergerakan populer, tumbuhlah “persaudaraan” yang teratur dari “orang miskin” atau “pengemis” (bahasa Arab: faqir, Persia: darwisy). Orang-orang saleh dengan kepribadian luar biasa, yang masyhur dengan bakat mukjizat bahkan kesaktian untuk menciptakan sesuatu dikerumuni oleh murid-murid. Untuk menerima murid baru diadakan upacara sederhana atau diambilnya contoh dari upacara penerimaan warga baru persatuan pertukangan Syi’ah atau Qarmati. Pada upacara tersebut si murid harus berjanji akan taat. Kemudian ia hidup dalam hubungan yang rapat dengan syekh atau pirnya, hingga ia mencapai derajat yang lebih tinggi. Setelah itu ia diizinkan keluar untuk mengajar jalan (tariqah) gurunya kepada murid-murid baru di pusat lain.Dengan demikian, tempat tinggal guru merupakan pusat masyarakat darwisy dan ribat (Persia: changah) didirikan dengan teratur dari sumbangan penganut-penganut dan penyokong-penyokong, hingga para syekh dan murid tidak perlu menjalankan pekerjaan keduniawian, tetapi dapat mencurahkan tenaganya berbakti, beribadat, dan bertafakur. Murid-murid yang telah meninggalkan ribat gurunya acap kali mendirikan ribat ranting. Dengan demikian dari satu pusat tersebar jaringan ribat-ribat meliputi daerah yang luas, “tergabung dengan ikatan kehormatan, ketaatan, dan upacara yang sama terhadap syekh atau pirnya yang asli.” Apabila pembangun yang asli meninggal dunia (yang tentu saja dihormati sebagai wali), maka salah seorang muridnya menggantikannya sebagai pemimpin masyarakat. Lembaga tadi menjadi suatu ikatan agama tertentu yang boleh dibandingkan dengan ikatan biarawan Kristen. Penggantinya disebut khalifah atau Wali al-Sajadah “waris sajadah (gurunya),” dalam bahasa Persia: Sajadehnisyin dipilih, atau dalam tarekat-tarekat tidak ada pantangan kawin, pengganti pemimpin adalah turun temurun dalam keluarga pembangun tarekat.Sejak abad kedua belas dan ketika belasan tarekat-tarekat tersebut mulai meluaskan jaringannya di seluruh dunia Islam. Maksudnya ialah memimpin murid-murid dalam “jalan” atau “rintis” masih terlihat pada namanya tariqah. Tarekat itu adalah beraneka warna dalam tahap organisasinya. Ada tarekat yang dibentuk dalam susunan martabat yang naik dengan ratusan ribu pengikut dan penyokong, ada tarekat yang tetap dalam susunan yang lebih bebas daripada sufi-sufi yang bersahaja. Perbedaan utama terletak dalam upacara mereka dan dhikr. Dalam ciri pendirian keagamaan mereka –apakah mereka kurang atau lebih mentaati ibadat kaum ortodoks– bersifat sabar atau senang berperang, dan lain sebagainya. Keanggotaan biasanya dua jenis: suatu martabat yang lebih tinggi terdiri dari murid-murid yang ditugaskan bermacam-macam pekerjaan ibadat dalam ribat dan mengumpulkan penghasilan, dan suatu badan besar terdiri dari “anggota awam” yang tergabung pada tarekat dan yang menjalankan pekerjaan keduniawian dalam

Page 16: Kesultanan Utsmaniyah

desa atau kota, yang hanya berkumpul pada kesempatan-kesempatan tertentu untuk berpikir.Penyelenggaraan tarekat-tarekat tadi merupakan salah satu perkembangan yang amat menarik perhatian dalam sejarah Islam. Tarekat adalah pergerakan populer dalam asasnya, dalam caranya menarik anggota, dan menarik perhatian. Tarekat tadi ialah pergerakan populer pertama-tama karena pergerakan Sufi jemu akan doktrin kaku, ahli kalam, dan memudahkan jalan bagi orang yang ingin masuk Islam (karena pendapat umum bahwa “kesederhanaan” Islam dengan sendirinya merupakan daya penarik yang agak dilebih-lebihkan). Dalam pada itu, tambah lemahnya keyakinan tadi tentu menyebabkan akibat genting. Sebagaimana Sufi mula-mula telah memasukkan kedalam Islam beberapa unsur ibadat dan iman yang lebih tua di Asia Barat, sekarang tarekat-tarekat menunjukkan kelembutan yang luar biasa, bahkan suatu kesediaan yang membahayakan untuk berkompromi dengan kepercayaan dan kebiasaan agama lama di negeri-negeri lain serta membiarkannya, asal saja pernyataan iman mereka sudah jelas.Akibatnya ialah perubahan yang tidak sedikit dari aspek umum Islam. Apabila hingga abad kedua belas umat Islam merupakan badan sama jenis agak kecil (kendatipun dengan keserakahannya), kemudian Islam meliputi lebih kurang sepertujuh dari semua penduduk bumi dan telah menjadi suatu badan yang dalam hal kepercayaan dan upacara ibadat menunjukkan perbedaan luas, yang tidak disembunyikan oleh penerimaan umum dari upacara dan pernyataan keyakinan yang tertentu, ataupun oleh usaha yang sama dari alim ulama. Bentuk Islam populer berbeda di hampir semua negara Islam, dan acap kali bertentangan keras dengan sistem kaku para ulama ortodoks. Pada pihak lain, alim ulama terus menerus memberikan unsur yang mempersatukan badan yang besar tadi dengan kesabaran berusaha mengajarkan pokok-pokok dasar agama kepada kelompok-kelompok baru masuk Islam atau yang baru setengah diislamkan.Ditegaskan lagi bahwa diantara tarekat ada perbedaan menyolok dalam hubungannya dengan kaum ortodoks. Salah satu garis pembelah yang istimewa ialah perbedaan antara tarekat-tarekat di kota-kota –yang didirikan dan dipelihara oleh unsur-unsur penduduk kota yang rapat hubungannya dengan alim ulama dan madrasah-madrasah– dan tarekat-tarekat pedesaan, yang terutama tersebar di desa-desa yang –karena kurang terbuka bagi pengaruh para ulama– lebih mudah menyeleweng dari kepercayaan ahli ortodoks yang keras itu. Hubungannya dengan Syi’ah adalah bekas-bekas hubungannya dengan penyelewengan pada permulaannya, bahwa keturunan kerohanian wali-wali Sufi dikembalikan hingga tokoh-tokoh Syi’ah yang pertama-tama (misalnya Salman al-Farisi), kemudian Khalifah Ali ra. dan Nabi Muhammad saw. sendiri. Lebih-lebih karena dalil asasi bahwa tasawuf atau pengertian tentang pengetahuan ilmu gaib dimiliki oleh tarekat diambil langsung dari ilmu rahasia –yang dengan jalan rahasia– telah diberikan oleh Nabi saw. kepada Ali ra. Pada pihak lain, Syi’ah beritikad sebagai keseluruhan bermusuhan dengan tarekat-tarekat darwisy ini; karena hampir semua tarekat-tarekat terdapat diantara kaum Sunni. Keadaan sebagian besar darwisy Syi’ah yang malang dan merosot merupakan bandingan menyolok dengan kejayaan yang diperoleh alim ulama Sunni dalam mempertahankan derajat dan panji-panji kaum sunah waljamaah.Jumlah tarekat dalam dunia Islam amat besar. Disini kami hanya dapat menyebut beberapa contoh tarekat dalam beberapa negara dan mencatat beberapa ciri mereka yang khas. Contoh yang terutama dari tarekat “kota” ialah Qadariyah, yang dinamakan menurut Abd al-Qadir al-Jilani (1077-1166). Beliau asal mulanya seorang ahli bahasa dan ahli hukum Hambali. Karena beliau amat digemari sebagai guru di Baghdad, khalayak ramai mendirikan sebuah ribat untuk beliau di luar pintu kota. Tulisannya pada umumnya aliran kuno, dengan kecenderungan mentafsirkan Quran secara mistik. Semangat pemujaan penganutnya kemudian memberikan kepada beliau semua macam mukjizat dan tuntutan bagi tempat yang terutama dalam martabat mistik. Dikatakan bahwa beliau mempunyai empat puluh sembilan anak, diantaranya sebelas putra yang meneruskan karyanya dan dengan murid-murid lain menyebarkan pelajarannya ke lain bagian Asia Barat dan Mesir. Pemimpin tarekat dan pemelihara makamnya di Baghdad masih keturunan langsung Syekh Abd al-Qadir al-Jilani. Pada akhir abad kesembilan belas terdapatlah jumlah besar dari cabang-cabang tarekat ini yang meliputi Maroko hingga Indonesia –yang hanya secara kendur hubungannya dengan lembaga pusat di Baghdad– yang tiap-tiap tahun tetap menjadi tempat ziarah.Pada keseluruhannya tarekat Qadariyah merupakan tarekat paling banyak ragam dan progresif, yang tidak jauh pendiriannya dari paham ortodoks; tarekat tersebut unggul dalam kedermawanan, kesalehan, dan kerendahan hati, segan pada kefanatikan dalam bidang agama maupun dalam bidang politik. Tidak besar kemungkinan bahwa

Page 17: Kesultanan Utsmaniyah

pembangunnya menetapkan suatu sistem keras tentang latihan kebaktian. Sebenarnya latihan-latihan itu berbeda dalam masing-masing cabang. Suatu dhikr yang khas ialah seperti berikut, yang harus dibacakan setelah tiap-tiap salat “Kumohon ampun dari Allah Yang Mahakuasa; sekalian pujian bagi Allah; semoga Allah memberkati Sayidina Muhammad, keluarga, dan sahabatnya; tidak ada Tuhan melainkan Allah”. Masing-masing kalimat diulangi hingga seratus kali.Kekenduran hubungan antara cabang-cabang Qadariyah menguntungkan perkembangan ranting-ranting. Beberapa diantara ranting-ranting tadi tumbuh menjadi organisasi yang merdeka. Paling penting di Asia Barat ialah tarekat Rifaiyah yang didirikan oleh anak saudara al-Jilani bernama Ahmad al-Rifa’i (m. 1182 M.), juga di Irak. Tarekat ini terkenal dengan pandangannya yang lebih fanatik dan latihan-latihan mematikan hawa nafsu yang berlebih-lebihan dan latihan-latihan kemukjizatan yang luar biasa, misalnya makan gelas, berjalan di atas api, bermain dengan ular, yang telah dihubungkan dengan pengaruh pemujaan Syaman yang bersahaja selama pendudukan bangsa Mongul di Irak dalam abad ketiga belas.Pada waktu St. Louis menyerbu Mesir dalam peperangan Salib yang ketujuh seorang murid Rifa’i bangsa Mesir, Ahmad al-Bedawi (m. 1276 M.) telah memainkan peranan penting yaitu menggerakkan penduduk melawan para penyerbu. Tarekat yang didirikannya dinamakan Bedawiyah atau Ahmadiyah merupakan tarekat pedesaan yang paling populer di Mesir. Nama tarekat itu terkenal buruk karena melampaui batas sebagai warisan kebiasaan Mesir purbakala sampai waktu ini menyertai pasar malam di sekitar makam al-Bedawi di Tantah, dalam daerah Delta. Dua tarekat lain yang populer di Mesir Bawah ialah tarekat Bayyumi dan Dasuqi, kedua-duanya cabang tarekat Bedawiyah.Di Afrika Barat Laut pergerakan Sufi telah berkembang, menurut garis-garis yang khas dengan hubungan politik yang lebih kuat. Dalam tiga abad yang pertama dari Islam, reaksi bangsa Berber terhadap penjajahan Arab memperoleh bentuk menganut penyelewengan kaum Khawarij atau Syi’ah. Jumlah terbesar dari masyarakat tetap mempertahankan kepercayaan animis mereka yang serba bersahaja, khusus pada kesaktian sihir wali-wali mereka. Keluarga kerajaan bumiputera yang pertama yang kepentingannya melampaui kepentingan setempat, kaum Murabitin (abad kesebelas), mendirikan pergerakan keagamaan sepanjang garis-garis ortodoks, tetapi mereka dalam jangka yang tidak lama dikalahkan oleh keluarga kerajaan Berber baru, kaum al-Muwahidin (abad kedua belas). Dengan perantaraan pemimpin kerohanian al-Mahdi Ibn Tumart pergerakan al-Muwahidin mulai berhubungan dengan pergerakan Sufi. Semangat keagamaan yang kuat mendatangkan pengaruh Islam untuk pertama kalinya pada badan utama bangsa Berber.Wakil-wakilnya dalam pergerakan tadi kebanyakan orang-orang setempat, acap kali buta huruf, yang ingin menarik perhatian kawan senegaranya pada pokok-pokok keadaban dan mistik Sufi Timur dan mengislamkannya. Sebagian besar diantara mereka buat waktu tertentu telah turut pada seorang wali termasyhur di Spanyol atau Mesir, dan setelah kembali ke desanya mulai menyebarkan beberapa rukun yang sederhana tentang kebaktian beragama dan penyerahan. Paling terkenal adalah Abu Madijan (m. pada akhir abad-kedua belas), itikadnya hanya dimuat dalam suatu sajak: “Katakanlah: Allah, dan tinggalkanlah semua yang berupa kebendaan atau bertalian dengan dia, apabila kamu ingin mencapai al-Haqq!”Empat abad kemudian, pimpinan Sufi menggerakkan perlawanan terhadap tekanan Spanyol dan Portugis di Marokko. Bangsa Berber tetap tinggal kaum animis; dan ketekunan pada kepercayaan dan kebiasaan lama telah memberikan suatu sifat khas pada Islam Berber yaitu yang dinamakan “Maraboutism” pemujaan wali-wali yang masih hidup yang memiliki kesaktian sihir (barakah). Pergerakan Sufi di negara-negara Berber memancarkan dua sorotan. Pada satu pihak, ia memancar ke negara-negara Negro, sepanjang Niger, (dengan latar belakang yang sama tentang animisme) marabout alufah setempat menggantikan “dukun” dari pemujaan Fetis Negro. Pada pihak lain, pergerakan telah mempengaruhi Islam Timur dengan perantaraan dua tokohnya yang luar biasa.Seorang diantaranya tidak lain Ibn al-Arabi, rasul dari paham mistik panteis. Asalnya penganut dari aliran Zahiri dengan kehidupan sederhana, ia telah diterima dalam kalangan Sufi oleh Jusuf al-Kumi, murid pribadi Abu Madijan. Juga al-Sjadhili (m. 1258 M.) telah belajar di Fez di bawah seorang murid lain dari guru tunggal. Al-Sjadhili akhirnya menetap di Iskandariah, ia dikerumuni oleh sekalangan murid. Ia tidak memiliki ribat dan tidak mempunyai bentuk tertentu bagi upacaranya. Ia melarang penganutnya meninggalkan pekerjaan dan jabatannya untuk hidup tafakur. Sedikit lebih lama dari suatu keturunan murid-muridnya mendirikan tarekat sebagaimana biasa dilakukan, yang

Page 18: Kesultanan Utsmaniyah

meluas di Afrika Utara hingga masuk ke Arabia. Kota Mocha khusus menunjuk al-Sjadhili sebagai wali pelindung dan menghormatinya sebagai orang pertama yang minum kopi.Tarekat Syadhiliyah umumnya terlampau berlebih-lebihan dalam upacaranya, dan lebih menggairahkan daripada tarekat Qadariyah, tetapi menarik perhatian khusus karena banyak cabang-cabang yang didirikan langsung dan bergandengan dengan tarekat Qadariyah. Diantaranya yang terkenal adalah tarekat Iswiyah dengan upacaranya yang termasyhur memarang dengan pedang dan tarekat Derqawa yang ortodoks dan sederhana di Maroko dan Aljazair Barat.Propaganda Islam diantara orang Turki dan Mongol, berhubungan rapat dengan paham animis, dalam bentuk paham Syaman dan harus memperhitungkan adat-kebiasaan Turki yang telah berakar. Tarekat Turki yang paling tua, tarekat pedesaan –Yeseviyah misalnya– karena adat istiadat Turki telah memiliki sifat yang luar biasa yakni para wanita diperkenankan mengambil bagian dalam dikir tanpa kudung.Diantara orang Turki Dinasti Osman di Anatolia dan Eropa tarekat yang paling khas baginya ialah tarekat pedesaan lain, tarekat Bektasyi. Tarekat itulah yang dikatakan cabang dari tarekat Yeseviyah telah didirikan pada akhir abad kelima belas, yang bersifat sinkretis luar biasa. Pada satu sudut berhubungan dengan Syi’ah kebatinan, dan pada lain sudut bertalian dengan kebanyakan dari kekristenan populer dan ilmu kebatinan. Para Bektasyi lebih-lebih dari tarekat lain menganggap upacara lahir Islam sebagai barang yang tidak penting yang boleh diabaikan. Dalam upacaranya banyaklah kesejalanan yang terang dengan upacara kekristenan. Misalnya, sebagai ganti doa umum dikir, mereka mengadakan semacam jamaah dengan saling membagi anggur, roti, dan keju; mereka juga menunaikan kebiasaan pengikraran dosa terhadap baba mereka. Tarekat Bektasyi tadi memperoleh gengsi yang besar karena bertalian dengan prajurit Turki (Yanizar). Setelah para Yanizar ditundukkan dalam tahun 1826, tarekat tersebut lambat laun merosot dan sekarang hanya terdapat di Albania. Tarekat kota yang utama antara orang Turki Dinasti Osman adalah tarekat Mevleviya (Maulawiyah), yang didirikan oleh penyair mistik Persia yang tersohor Jalal ad-Din ar-Rumi (m. di Konia, 1273). Dikirnya adalah luar biasa karena latihan tarian murid-murid (”darwisy menari”) Setelah Republik Turki menjadi pemerintah duniawi, maka tarekat Mevleviya mundur; sekarang hanya terdapat beberapa tekke (takiyah) saja di Halap, dan kota-kota lain di Timur Tengah.India-lah tempat agama Islam populer menunjukkan beraneka warna tarekat, upacara, dan kepercayaan yang amat membingungkan. Selain penganut tarekat-tarekat umum dan besar (Qadariyah, Naqsyibandiyah, dan lain sebagainya) dan suatu tarekat penting yang tipenya sama dan khas buat India tarekat Cisyti (didirikan oleh Mu’in al-Din Tjisjti dari Sistan, m. di Ajmir dalam tahun 1236), masing-masing beberapa cabangnya, sejumlah besar muslimin India menggabungkan diri dengan tarekat yang tidak teratur. Jenisnya mencakup semua macam cabang-cabang mulai dari ranting-rantinq yang kurang baik namanya dari tarekat-tarekat yang teratur, meliputi beraneka warna tarekat yang merdeka –diantaranya tarekat Qalandari yang berkeliling (para Qalandari dalam Hikayat Seribu satu malam)– hingga pengemis atau para fakir yang mengembara dan tidak teratur, mengaku terikat dengan sanggar pemujaan salah seorang suci dan lain-lain. Jumlah jenis-jenis kepercayaan, upacara, adat istiadat, dan lain-lain yang bertalian dengan tarekat-tarekat yang tidak teratur itu barang tentu sama banyaknya dengan jumlah tarekat tersebut. Didalam beberapa hal, hubungannya dengan Islam hanya namanya saja. Adat kebiasaan dan kepercayaan Hindu dan Hindu purba (yang juga sedikit banyak mempengaruhi beberapa tarekat yang besar) banyak sedikit menguasai tarekat-tarekat tersebut. Latihan-latihan anggotanya telah menyebabkan –lebih dari barang lain– istilah darwisy bermakna buruk.Selain tarekat-tarekat tadi, pengaruh Hindu juga mengambil bagian yang besar dalam kehidupan keagamaan para buta huruf dan orang muslimin pedesaan yang hanya diislamkan setengah di desa-desa yang tidak dapat dihitung jumlahnya masih mempertahankan pemujaan berhala-berhala; dewa-dewa setempat, dan pemujaan setan meninggalkan bekasnya dalam kehormatan yang acapkali ditujukan khusus oleh wanita pada Syekh Saddu, tokoh mitos. Tercatat beberapa peristiwa dalam zaman Mughal tentang sati (seorang janda yang turut dibakar bersama-sama pembakaran jenazah suaminya) antara orang muslimin dan beberapa masyaraka yang masih mempertahankan upacara “api suci.” Peraturan kasta telah masuk dalam Islam India. Kedudukan Islam telah digambarkan sebagai berikut oleh salah seorang tokoh Islam dari zaman India Modern, Sir Muhammad Iqbal, (seorang ahli mistik)“Apakah kesatuan susunan Islam utuh di negeri ini? Petualang-petualang keagamaan

Page 19: Kesultanan Utsmaniyah

mendirikan berjenis-jenis aliran dan tarekat, senantiasa saling bertengkar; dan masih terdapat kasta-kasta dan cabang-cabang kasta sebagai diantara orang Hindu. Sebenarnya kami telah lebih bersifat Hindu daripada orang Hindu sendiri; kami menderita dua macam sistem kasta –sistem kasta keagamaan, keserakahan, dan sistem kasta sosial– yang telah dapat kami pelajari ataupun peroleh sebagai warisan orang Hindu. Inilah salah satu jalan tenang, di mana bangsa-bangsa yang ditundukkan membalas dendam pada penjajahnya.”2Segala usaha dari tarekat-tarekat yang memiliki asas-asas utama, kecenderungan untuk menjalankan cara-cara yang melebih-lebihi menggunakan ilmu sihir untuk menidurkan sendiri (otohipnose) dan berkompromi dengan kebiasaan animis yang telah menjadi adat tidak hanya membuka jalan bagi penipuan-penipuan, tetapi juga merosotkan ukuran moral sebagian besar masyarakat Islam. Sufi diwakili oleh darwisy yang mengembara sering kali tidak seimbang akalnya. Sufi merupakan suatu rintangan bagi kehidupan sosial dan agama. Demikian kuatnya dorongan yang diberikan, hingga perlawanan alim ulama berkurang sedikit demi sedikit, meskipun sejumlah tokoh yang luar biasa. memberikan prelawanan hebat, misalnya Ibn Taimijah (m. 1328 M.), yang telah mengutuk segala pemujaan orang suci, latihan dan ilmu ketuhanan Sufi akar dan cabangnya.Di Asia Barat pergerakan Sufi telah mencapai puncaknya dengan pembinaan Kerajaan Dinasti Osman dalam abad keenam belas. Rupanya masing-masing desa dan tiap-tiap persatuan pertukangan dan golongan di dalam kota telah terhubung dengan salah satu tarekat. Bahkan tarekat Melamiyah3 yang menentang hukum, memiliki penganut diantara pegawai-pegawai negeri tingkat tinggi. Satu-satunya jalan bagi alim ulama untuk dapat mempertimbangkan aliran ortodoks dengan paham Sufi adalah mengubah Sufi dari dalam. Turut sertanya mereka menyebabkan kehidupan baru dan perluasan dari tarekat-tarekat yang lebih ortodoks, khusus tarekat Naqsybandiyah, (mula-mula didirikan di Asia Tengah dalam abad keempat belas, dan pada waktu itu dipropagandakan dari India) dan tarekat Anatolia Khalwatiyah, yang dipropagandakan di Mesir dan Siria dalam abad kedelapan belas oleh Syekh Mustafa al-Bakri (m. 1749) .Penyeduhan ilmu suluk yang segar tadi meninggalkan bekas pada susunan keagamaan dan pendidikan ortodoks. Dalam abad ketujuh belas dan kedelapan belas serangkaian sarjana ternama telah berusaha untuk menyatakan lagi pokok-pokok ilmu ketuhanan Islam dengan suatu jalan yang meninggalkan formalisme dari buku pelajaran ortodoks dan menekankan unsur-unsur kejiwaan dalam pergerakan ini yang belum mendapat perhatian sewajarnya adalah sarjana Siria Abd al-Ghani dari Nablus (1641-1731), sarjana India Ahmad Sarhindi (1563-1624), dan Sjah Wali-Allah dari Delhi (1702-1762).Diantara orang suci Syi’ah di Persia, biarpun adanya perlawanan kuat, pengaruh cita-cita Sufi tidak dapat dilenyapkan semuanya. Pembentukan resmi keyakinan Syi’ah oleh Pemerintah Safawi yang baru dalam abad keenam belas telah menyokong penerbitan kesusasteraan pelajaran teratur dalam bahasa Persia dan Arab tentang soal-soal keagamaan Syi’ah, yang hasilnya kemudian diikhtisarkan secara sah dalam karangan-karangan Muhammad Baqir Majlisi (m. 1699). Di samping itu, perkembangan sebelumnya dari syair Sufi di Persia dan doktrin-doktrin Ibn al-Arabi terus menerus menarik perhatian, yang tidak dapat dibinasakan oleh pengutukan ulama siapa pun.Dengan perantaraan tulisan-tulisan ahli suluk Muhammad Sadr ad-Din (Mulla Sadra, m. 1640) mereka mempengaruhi pertumbuhan paham Syi’ah baru yang tidak sesuai dengan paham resmi yang dinamakan menurut pengaturnya Syekh Ahmad dari al-Ahsa (m. 1826), tarekat Syaikhiyah. Walaupun hanya sedikit saja yang diketahui dari sifat dan doktrin-doktrin yang sebenarnya dari aliran tersebut, ada titik persamaan antara “penyelewengan” mereka dan Sufi ortodoks pada waktu yang sama ialah doktrin suatu “alam perumpamaan” (alam al-mithal), suatu alam metafisik, dimana pembatasan-pembatasan kebendaan, badaniah dari barang-barang kasar digantikan dengan barang-barang halus atau dari langit. Doktrin utama Syaikhiyah adalah kebutuhan akan saluran hubungan yang hidup dengan “imam yang tersembunyi,” dan merupakan akar yang menumbuhkankan pergerakan Babi dalam abad kesembilan belas.Catatan kaki:1 R.A. Nicholson. The Mayestic of Islam, hlm. 81.2 Dikutip oleh Murray Titus; Indian Islam, hlm. 171.3 Inilah murid-murid yang lahirnya berlagak segan pada agama, tetapi melakukan latihan agama tersendiri. Bandingkanlah al-Hujwiri, terjemahan A. Nicholson, hlm. 22-69..Tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah, jamaknya tharaiq, yang berarti: (1) jalan atau

Page 20: Kesultanan Utsmaniyah

petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah).Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru.Pengertian diatas menunjukkan Tarekat sebagai cabang atau aliran dalam paham tasawuf. Pengertian itu dapat ditemukan pada Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naksibandiyah, Tarekat Rifa’iah, Tarekat Samaniyah dll. Untuk di Indonesia ada juga yang menggunakan kata tarekat sebagai sebutan atau nama paham mistik yang dianutnya, dan tidak ada hubungannya secara langsung dengan paham tasawuf yang semula atau dengan tarekat besar dan kenamaan. Misalnya Tarekat Sulaiman Gayam (Bogor), Tarekat Khalawatiah Yusuf (Suawesi Selatan) boleh dikatakan hanya meminjam sebutannya saja.Bagan Empat Tingkatan Spiritual Umum dalam Islam, syariat, tariqah atau tarekat, hakikat. Tingkatan keempat, ma’rifat, tingkatan yang ‘tak terlihat’, sebenarnya adalah inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari kempat tingkatan spiritual tersebut.

Allah Swt. berfirman:

“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).

Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.

Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.

Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri.

Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai

Page 21: Kesultanan Utsmaniyah

wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.

Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.

Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.

Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.

Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.

Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha’at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan:

“Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.

Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, — dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, — bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima:

1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.2. Memiliki pengetahuan yang benar.3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.

Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:

Page 22: Kesultanan Utsmaniyah

1. Bodoh terhadap ajaran agama.2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.

Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:

1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.2. Mempermainkan thaat kepada Allah.3. Tamak terhadap sesama makhuk.4. Kontra terhadap Ahlullah5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”

Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.

Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.

Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.

Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:

1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.

Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah.Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.

Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:1) Himmah yang tinggi,2) Menjaga kehormatan,3) Bakti yang baik,4) Melaksanakan prinsip utama; dan5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.

Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.

Page 23: Kesultanan Utsmaniyah

Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.

Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.

DIarsipkan di bawah: AKHLAK

ALIRAN MAULAWIYAH

Aliran ini didirikan oleh Maulana Jalal al-Din Rumi dari Konya, Turki, (1273 M). Pada masa sekarang, aliran ini paling banyak dijumpai di Anatolia, dan baru-baru ini di Amerika Utara. Pengikut aliran ini dikenal sebagai para darwis yang berkelana.

ALIRAN BEKTASHI

Aliran ini didirikan oleh Haji Bektash dari Khurasan (1338 M). Golongan Syi’ah menerima penuh aliran ini. Namun perkembangan aliran sebatas sampai di Anatolia, Turki, dan masih sangat kuat sampai awal-awal abad 20. Dan para pengikut aliran ini juga dipandang sebagai pengikut Syi’ah.

Pada mula pertama abad ke-Islam-an, pusat kegiatan sufi biasa disebut dengan Khaneqah atau Zawiyya. Sementara itu, orang Turki menyebutnya dengan Tekke. Sedang di Afrika Utara, pusat kegiatan sufi disebut dengan Ribat. Sebuah nama yang juga digunakan untuk mengandaikan makna dari benteng perbatasan pasukan sufi yang berjuang mempertahankan jalan Islam dari gangguan sekelompok orang yang berupaya untuk menghancurkan Islam. Sementara di anak benua India, pusat kegiatan sufi disebut dengan jama’ah khana atau khanegah.

Sebagaimana berbagai sekolah hukum Islam yang bermunculan pada abad-abad pertama setelah Nabi Muhammad wafat dan bermaksud menjelaskan secara langsung aplikasi hukum Islam secara jelas, maka, aliran-aliran ini hendak menjelaskan “suluk” atau langkah sederhana ataupun praktek-praktek penjemihan diri sebelah dalam.

Sebagaimana halnya banyak sekolah-sekolah hukum yang kesohor berhenti penyebarannya (untuk tidak dikatakan berakhir), aliran-aliran sufi besar juga menghadapi situasi yang sama. Selama abad 9 M, dijumpai sekolah-sekolah hukum lebih dari tiga puluh buah, namun kemudian dari jumlah tersebut tinggal lima atau enam buah saja.

Sementara pada perkembangan berikutnya, sekitar abad 12 M, kita kesulitan menghitung jumlah aliran-aliran sufi yang ada. Pasalnya, selain jumlahnya yang sangat banyak, keberadaan mereka juga belum terdefinisikan dengan nama tertentu. Hal ini dapat dimengerti, mengingat sebagian besar master atau guru spiritual maupun sekolah-sekolah hukum yang ada kala itu tidak menginginkan ajaran-ajaran mereka diberi definisi dengan nama tertentu.

Biasanya, adanya interpretasi yang baku ataupun pemberian nama bagi aliran atau sekolah sufi terjadi setelah masa mereka. Tepatnya setelah mereka meninggal dunia. Yang jelas, pemeliharaan kelestarian aliran sufi bukan disebabkan nama, tetapi lebih karena isolasi kelompok mereka secara fisik dari mainstream umat Islam yang ada.

Page 24: Kesultanan Utsmaniyah

Di bawah ini ada beberapa aliran sufi yang masih ada sampai hari ini, di mana satu sama lain memiliki karakter yang dominan. Para pencari pengetahuan dapat menjadi anggota salah satu atau lebih dari aliran-aliran yang ada di bawah ini. Sebab pada kenyataannya, mereka seringkali mengikuti atau memiliki lebih dari satu guru spiritual.

Berikut ini hanya contoh kecil dari aliran-aliran sufi yang dengan mereka penulis telah memiliki hubungan yang lumayan dekat.

ALIRAN QADIRIYAH

Aliran ini didirikan oleh Syekh Abdr al-Qadir al-Jaelani (1166 M) dari Jaelan, Persia, yang kemudian menetap di Baghdad, Irak. Sepeninggal beliau, aliran ini disebarluaskan oleh anak-anaknya. Pada gilirannya, aliran ini menyebar ke berbagai daerah, termasuk Syiria, Turki, dan berberapa tempat di Afrika, seperti Kamerun, Kongo, Mauritania, Tanzania, Kaukasus, Chechen, dan Ferghana, Uni Sofyet, serta tempat-tempat lain.

ALIRAN RIFA’IYAH

Aliran ini didirikan oleh Syekh Ahmad al-Rifa’i (1182) di Bashrah, kemudian menyebar sampai ke Mesir, Syira, dan baru-baru ini sampai ke Amerika Utara.

ALIRAN SADZILIYAH

Sadziliyah mulai mendapatkan bentuknya yang jelas melalui Syekh Abu al-Hasan al-Sadziliy dari Maroko (1258), dan memperoleh sambutan dari khalayak secara luar biasa. Aliran ini pada masa sekarang dapat dijumpai di Afrika, Mesir, Kenya, Tanzania, Timur Tengah, Srilangka dan tempat-tempat lain, termasuk Amerika Barat dan Utara.

ALIRAN MAULAWIYAH

Aliran ini didirikan oleh Maulana Jalal al-Din Rumi dari Konya, Turki, (1273 M). Pada masa sekarang, aliran ini paling banyak dijumpai di Anatolia, dan baru-baru ini di Amerika Utara. Pengikut aliran ini dikenal sebagai para darwis yang berkelana.

ALIRAN NAQSHABANDIYAH

Nama Naqshabandiyah diambil dari nama pimpinan aliran ini, yakni Bahaud Din Naqshabandi dari Bukhara (1390 M). Aliran ini kemudian menyebar secara luas di Asia Tengah, Volga, Kaukaus Barat dan Timur Daya China, Indonesia, anak benua Indi, Turki, Eropa serta Amerita Utara. Aliran ini adalah satu-satunya aliran sufi yang memiliki geneologi silsilah transmisi “ilmu” melalui pimpinan muslim pertama, yakni Abu Bakar. Bukan seperi aliran-aliran sufi lain yang memiliki geneologi melalui para pemimpin spiritual Syi’ah, Imam Ali, kemudian sampai kepada Nabi.

ALIRAN BEKTASHI

Aliran ini didirikan oleh Haji Bektash dari Khurasan (1338 M). Golongan Syi’ah menerima penuh aliran ini. Namun perkembangan aliran sebatas sampai di Anatolia, Turki, dan masih sangat kuat sampai awal-awal abad 20. Dan para pengikut aliran ini juga dipandang sebagai pengikut Syi’ah.

ALIRAN NI’MATULLAH

Aliran ini didirikan oleh Syekh Nuruddin Muhammad Ni’amatullah (1431 M) di Mahan, dekat kota Kirman, Barat Daya Iran. Pengikut aliran ini paling banyak dijumpai di Iran dan India.

ALIRAN TIJANI

Aliran ini didirikan oleh Syekh Abbad Ahmad ibnu al-Tijani, Aljazair (1815 M). Mulai dari Aljazair, aliran ini menyebar ke Selatan Sahara, Sudan Barat dan Tengah, Mesir, Sinegal, Afrika, Nigeria Utara bahkan sampai ke Amerika Barat dan Utara.

ALIRAN JARRAHI

Page 25: Kesultanan Utsmaniyah

Aliran ini didirikan oleh Syekh Nuruddin Muhammad al-Jarrah, Istambul (1720 M). San penyebaran aliran ini terbatas sampai Turki serta sebagian di Amerika Barat dan Utara.

ALIRAN CHISTI

Aliran sufi yang sangat berpengaruh di anak benua India dan Pakistan ini mengambil nama Khwaja Abu Ishaq Shami Chisti (966 M) sebagai pendirinya. Aliran ini menyebar terutama di daerah Asia Tenggara.

Sebagaimana gerakan-gerakan yang lain, secara alami, aliran sufi juga cenderung mengalami pasang surut. Secara umum, pasang surut itu terjadi antara dua sampai tiga ratus tahun setelah masa kebangkitannya — tepatnya, mulai berdiri, klimaks dan secara berangsur mengalami penurunan.

Salah satu trend yang nampak dalam sejarah alairan sufisme adalah, di mana terdapat kekurangan materi sumber Islam, baik Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi, maka, kecendrungan aliran sufi didominasi oleh budaya lingkungan yang lebih kuat dan tua. Percampuran ini sangat nampak pada aliran Chisti, di Asia Tenggara dan aliran sufi-sufi di Indonesia yang mengintegrasikan unsur-unsur budaya Hindu dan Budha dalam praktik-praktik mereka. Demikian pula, aliran-aliran sufi Afrika, seperti di daerah Sudan, yang mengintegrasikan adat agama suku Afrika dalam praktik-praktik mereka. Nampaknya, seluruh aliran sufi banyak mengambil warna yang beragam di daerah-daerah yang jauh.