surimi
-
Upload
praktikumhasillaut -
Category
Documents
-
view
19 -
download
2
description
Transcript of surimi
1. MATERI METODE
1.1. MATERI
1.1.1. ALAT
Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu pisau, telenan, kain saring, penggiling
daging, plastic, freezer, texture analyzer dan pengepres.
1.1.2. BAHAN
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah daging ikan, garam, gula pasir,
polifosfat dan es batu.
1.2. METODE
1
Pencucian ikan
Pembuangan kepala, sirip, ekor dan isi perut
(Fillet daging ikan)
Fillet ikan ditimbang dan diambil 100 gr
2
Penggilingan fillet menggunakan alat penggiling daging dengan ditambah es batu
Pencucian daging giling dengan es batu sebanyak 3 kali
Penyaringan daging giling hingga kering (tidak menggumpal)
3
Penambahan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok 1,2); 5% (kelompok 3, 4, 5), garam sebanyak 2,5% dan polifosfat sebanyak 0,1% (kelompok 1); 0,3% (kelompok 2, 3);
0,5% (kelompok 4, 5)
Pembekuan selama 1 malam di dalam freezer
Thawing
Pengujian sensori meliputi kekenyalan dan aroma
Uji hardness menggunakan texture analyzer
4
Surimi dipress menggunakan presser untuk mengetahui WHC
Hasil press digambar di milimeter blok
Penghitungan WHC :
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan surimi berdasarkan uji hardness, WHC dan uji sensori dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengamatan Surimi
Kel. PerlakuanHardness
(gf)WHC
(mg H2O)Sensori
Kekenyalan Aroma
1Sukrosa 2,5% + garam 2,5%
+ polifosfat 0,1%108,24 188832,63 + + +
2Sukrosa 2,5% + garam 2,5%
+ polifosfat 0,3%121,52 216793,25 + + + +
3Sukrosa 5% + garam 2,5% +
polifosfat 0,3%188,05 130435,97 + + + + +
4Sukrosa 5% + garam 2,5% +
polifosfat 0,5%103,44 271751,05 + + + +
5Sukrosa 5% + garam 2,5% +
polifosfat 0,5%91,87 273975,32 + + + + +
Keterangan :Kekenyalan Aroma + : tidak kenyal + : tidak amis + + : kenyal + + : amis+ + + : sanagat kenyal + + + : sanagat amis
Dari data diatas didapatkan hasil hardness paling tinggi pada kelompok D3 sebesar
188,05 dan nilai WHC terendah sebesar 130435,97 dengan perlakuan sukrosa 5% +
garam 2,5% + polifosfat 0,3%. Kelompok D5 mendapatkan nilai hardness paling
rendah sebesar 91,87 dan nilai WHC paling tinggi yaitu 273975,32 dengan perlakuan
sukrosa 5% + garam 2.5% + polifosfat 0,5%. Kelompok D5 menghasilkan surimi yang
sangat kenyal, kelompok D1 dan D2 memiliki tingkat kekenyalan yang tidak kenyal.
Aroma surimi dari kelompok D2 dan D3 sangat amis.
5
3. PEMBAHASAN
Menurut Guenneugues and Morrissey (2005) dalam A.M. Martin-Sanchez (2009)
surimi adalah istilah untuk tulang daging ikan yang sudah dihilangkan dagingnya dan
dicuci kemudian digunakan untuk makanan laut imitasi, cara ini dirasakan memiliki
nutrient yang sangat bermanfaat bagi tubuh. Protein ikan merupakan komponen terbesar
setelah air dan merupakan bagian yang sama penting untuk tubuh. Protein ikan dapat
diklasifikasikan menjadi protein sarkoplasma, protein miofibril dan protein jaringan
ikat atau protein stroma. Proporsi yang paling tinggi terdapat pada protein miofibril
yang larut dalam garam. Protein miofibril berfungsi untuk kontraksi otot dan penyusun
protein miofibril terdiri dari 3 bagian yaitu miosin, aktin dan protein regulasi
(tropomiosin, troponin dan aktinin). Pada proses pembuatan surimi, protein miofibril
berperan sangat penting dalam proses pembentukan gel (Andini, 2006).
Hossain et al (2004) mengatakan selama proses pembuatan surimi ada beberapa faktor
utama yang perlu diperhatikan, yaitu suhu air pencuci dan penggilingan daging ikan.
Jumlah protein larut air yang hilang selama pencucian tergantung pada suhu air pencuci,
dimana hal tersebut akan mempengaruhi kekuatan gel. Proses pencucian merupakan
tahap yang paling penting, dimana pencucian itu sendiri diperlukan untuk
menghilangkan substansi yang larut air, terutama protein sarkoplasma, lemak, dan
bahan lainnya yang tidak diinginkan seperti pigmen.
Pada praktikum kali ini, ikan bawal digunakan sebagai bahan utama untuk pembuatan
surimi, karena dagingnya yang berwarna putih (Lee 1984; Tan et al. 1988). Daging ikan
yang berwarna merah bila sebagai bahan baku surimi akan memiliki beberapa kendala
(Flick et al., 1990) dan kurang disukai karena warna daging merah akan berubah
menjadi lebih gelap selama penyimpanan dan memiliki bau yang lebih amis. Selain itu,
kandungan asam lemak bebas yang relatif lebih besar pada daging merah juga akan
merangsang reaksi oksidasi saat proses pembuatan (Spinelli dan Dassow, 1982).
Tahap awal pembuatan surimi adalah pencucian dengan air bersih, selanjutnya
pemisahan antara daging ikan dengan kepala; isi perut; sirip; ekor; dan sisik. Pencucian
dan pembersihan adalah hal yang sangat penting karena didalam tubuh ikan banyak
komponen-komponen yang tidak diinginkan selama pembuatan surimi (Kosol
Lertwittayanon et al., 2013). Daging ikan ditimbang sebanyak 100 gram.
6
7
Selanjutnya daging dihaluskan dengan cara penggilingan, selama proses penghalusan
daging ditambahkan es batu sedikit-sedikit. Hal tersebut sesuai dengsn teori yang
disampaikan oleh F. Ducept (2012) bahwa saat penggilingan harus ditambahkan es batu
agar mencegah denaturasi protein pada daging ikan. Lalu ditambahkan sukrosa
sebanyak 2,5% untuk kelompok D1 dan D2, dan kelompok D3, D4, dan D5 sebanyak
5%. Penambahan sukrosa tersebut berguna untuk mencegah denaturasi protein karena
meningkatnya garam mineral. Sukrosa berperan sebagai senyawa krioprotektan, fungsi
dari krioprotektan adalah mencegah terbentuknya kristal es, mencegah denaturasi, dan
menstabilkan membran plasma selama proses pembekuan dan thawing (J.J. Stine et al.,
2012).
Dilanjutkan dengan penambahan garam 2,5% yang berguna untuk mempercepat
pengeluaran air sehingga surimi tidak cepat busuk dan tahan lama, penghilangan lendir,
darah dan kotoran lain dari daging. Garam ditambahkan sebagai bumbu untuk
menambah cita rasa asin. Dalam menambahkan garam, harus diperhatikan jumlah
garam yang digunakan karena penggunaan garam yang terlalu banyak akan
menimbulkan rasa asin yang berlebihan juga menyebabkan denaturasi protein, namun
penggunaan garam yang terlalu sedikit akan menyebabkan tekstur yang dihasilkan
kurang baik karena ekstraksi protein aktomiosin kurang sempurna (Wibowo, 2004).
Selain itu ada penambahan polifosfat 0,1% untuk kelompok D1; 0,3% untuk kelompok
D2 dan D3; 0,5% untuk kelompok D4 dan D5. Jenis polifosfat yang digunakan dalam
praktikum ini adalah natrium polifosfat. Menurut Nopianti et al., (2010) natrium
polifosfat merupakan salah satu komponen yang mengandung satu gugus fosfat yang
dinamakan orthophosphate. Jika mengandung 2 gugus fosfat disebut sebagai
pyrophosphates, 3 gugus fosfat disebut triphosphates dan 4 gugus fosfat disebut
tetraphosphates, gugus fosfat antara 5-15 disebut sebagai oligophosphate. Selain
natrium fosfat, bahan lain yang dapat ditambahkan yaitu sodium pyrophosphate (SPP),
sodium hexametaphospate (SHMP), tetrasodium pyrophosphate (TSPP), tetrapotassium
pyrophosphate, sodium hexametaphosphate (SHMP) dan trisodium phosphate (TSP).
Tujuan utama dari penambahan natrium fosfat yaitu untuk menurunkan tingkat
viskositas dari daging ikan sehingga akan meningkatkan tingkat pemotongan.
Kandungan fosfat dalam natrium fosfat dapat mempertahankan kelembapan dan
meningkatkan aktivitas protein untuk mengabsorbsi kembali air yang keluar ketika
8
daging ikan dithawing. Selain itu, kandungan fosfat akan meningkatkan pH yang akan
meningkatkan pembentukan gel, kekuatan gel, dan kepadatan tekstur karena
meningkatnya kapasitas pengikatan air atau WHC dalam pH yang tinggi. Polyphosphate
yang ditambahkan dengan kadar 0,5% akan memberikan kekuatan gel yang paling besar
tetapi penambahan 0,3% cukup untuk menghasilkan kekuatan gel. Penambahan fosfat
biasanya diikuti dengan penambahan dengan gula sukrosa atau sorbitol (Nopianti et al.,
2010).
Daging ikan yang sudah selesai diberi perlakuan dimasukkan kedalam plastik bening
dan dibekukan dalam freezer selama 1 malam. Selama penyimpanan didalam freezer
dapat terjadi perubahan sifat fungsional dari protein miofibril yaitu berkurangnya
kemampuan mengikat air dan garam sehingga kekuatan gel yang dihasilkan semakin
rendah. Hal ini dapat terjadi karena denaturasi protein miofibril yang terjadi selama
penyimpanan beku, oleh karena itu, penggunaan krioprotektan menjadi keharusan untuk
mempertahankan kualitas dari surimi ini. Namun dalam praktikum yang kami lakukan
didapatkan nilai WHC (lihat tabel 1) yang kurang tepat pada kelompok D2
mendapatkan nilai WHC lebih tinggi dari kelompok D1 yang mana seharusnya surimi
dengan panambahan krioprotektan konsetrasi lebih tinggi memiliki nilai WHC yang
lebih tinggi pula namun hal tersebut tidak terbukti dalam praktikum kami. Tekstur gel
akan semakin baik bila daya serap air semakin baik pula. Hal tersebut sudah sesuai
dengan hasil yang didapat oleh praktikum kami, yaitu semakin tinggi nilai WHC maka
akan semakin kenyal surimi yang dihasilkan (Chen, 1995). Kesalahan hasil dari
praktikum ini dapat disebabkan karena waktu lamanya pencucian daging ikan bawal
yang tidak ditentukan lamanya serta suhu air yang digunakan untuk pencucian yang
tidak sampai 10 -15 ºC. Suhu air yang lebih tinggi dari 15 ºC akan lebih banyak
melarutkan protein larut air sehingga daya ikat air pada daging berkurang. Kekuatan gel
terbaik diperoleh jika hancuran daging ikan dicuci dengan air yang bersuhu 10ºC – 15ºC
(Schwarz dan Lee, 1988). Hal ini sesuai dengan pendapat Winarno (2004), bahwa
pembekuan dengan suhu yang tidak tepat dapat menimbulkan pecahnya sel-sel sehingga
cairannya keluar dari sel, warna bahan menjadi gelap, terjadi pembusukan dan
pelunakan. Pada bahan pangan yang dibekukan tanpa dibungkus maka bagian luarnya
akan menjadi kering dan mengeras sehingga akan mempengaruhi tekstur produk akhir
yang dihasilkan.
9
Didalam jurnal yang ditulis oleh William Renzo Cortez-Vega et al. (2012) berjudul
Comparisons of the Properties of Whitemouth Croaker (Micropogonias furnieri) Surimi
and Mechanically Deboned Chicken Meat Surimi-Like Material dapat disimpulkan
bahwa surimi yang terbuat dari Mechanically Deboned Chicken Meat (MDCM) lebih
diterima oleh para panelis. Hasil yang disajikan menunjukan selisih penerimaan unggas
dan ikan makanan hasil pertanian adalah mungkin karena kebiasaan makan para umat
manusia.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas surimi, antara lain adalah: cara
penyiangan (pemotongan kepala, fillet), besarnya partikel daging lumat, kualitas air,
temperatur ikan, kebersihan peralatan, dan cara pencucian (Lee, 1994).
4. KESIMPULAN
Surimi adalah daging ikan lumat yang memiliki banyak nutrien bermanfaat bagi
tubuh.
Produk makanan beku dapat mengalami kerusakan akibat denaturasi protein..
Penambahan es batu bertujuan untuk mencegah denaturasi protein.
Penambahan sukrosa berperan untuk melindungi protein dari denaturasi selama
pembekuan.
Penambahan garam bertujuan untuk proses pembentukan gel secara optimal.
Penambahan polifosfat bertujuan untuk meningkatkan viskositas dan meningkatkan
pH.
WHC (water holding capacity) atau kemampuan daging untuk mengikat air baik
yang berasal dari daging itu sendiri maupun yang berasal dari luar.
Suhu yang tidak tepat dapat menimbulkan pecahkan sel-sel sehingga cairannya
keluar dari sel.
Semakin banyak konsentrasi natrium sulfat ditambahkan nilai WHC juga semakin
tinggi.
Semakin banyak natrium sulfat yang ditambahkan maka kekenyalan surimi akan
meningkat.
Aroma surimi dipengaruhi oleh kebersihan dalam mencuci daging.
Waktu penyimpanan bengaruh pada pH, WHC, kekuatan gel surimi beku.
Proses pencucian menjadi faktor yang paling penting untuk menentukan kekuatan
gel surimi.
Semarang, 27 Oktober 2015
Praktikan
Oei, Amelia A.W
13.70.0048
Asisten Dosen
Yusdhika Bayu S.
10
5. DAFTAR PUSTAKA
Andini YS. 2006. Karakteristik surimi hasil ozonisasi daging merah ikan tongkol (Euthynnus sp.) [skripsi]. Bogor: Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Chen NH. 1995. Thermal stability and gel-forming ability af shark muscle as related to ionic strength. Journal Food Science 60(6): 1237-1240.
Ducept F. et al. (2012). Influence of the Mixing Process on Surimi Seafood Paste Properties and Structure. Journal of Food Enginering 108, 557-562.
Flick GJ, Barna MA, Enriquez LG. 1990. Processing finfish. Di dalam: Martin RE, Flick GJ, editor. The Seafood Industry. New York: Van Nostrand Reinhold.
Hossain, M.I., Muhammad M.K., Fatema H.S., & MD. Shahidul Hoque. (2004). Effect of Washing and Salt Concentration on the Gel Forming Ability of Two Tropical Fish Species. International Journal of Agriculture and Biology.
Lee CM. 1984. Surimi process technology. Journal Food Techonology 38 (11) : 69-80.
Lee CM. 1994. Surimi-based imitation crab characteristic affected by heating method and end point temperature. J. Food Sci. 60 (2): 292-296.
Lertwittayanon K. et al. (2013). Effect of Different Salts on Dewatering and Properties of Yellowtail Barracuda Surimi. International Aquatic Research, 5:10.
Martin-Sanchez A.M et al. (2010). Alternatives for Efficient and sustainable production of Surimi: A review. Institute of Food Technologists. Vol. 8 Comprehensive reviews in food science and food safety.
Nopianti dkk. (2010). Loss of Functional Properties of Proteins During Frozen Storage and Improvement of Gel-forming Properties of Surimi.As. J. Food Ag-Ind. 2010 , 3(06), 535-547.
Renzo W. et al. (2012). Comparisons of the Properties of Whitemouth Croaker Surimi and Mechanically Deboned Chicken Meat Surimi Like Material. Food and Nutrition Science 3, 1480-1483.
Schwarz MD, Lee CM. 1988. Comparison of the thermostability of red hake and alaska pollack surimi during processing. Journal of Food Science. Vol. 53 (5): 1347 – 1351.
11
12
Spinelli J, Dassow JA. 1982. Fish proteins: their modification and potential uses in the food industry. Di dalam: Martin RE, Flick GJ, Hebard CE, Ward DR, editor. Chemistry and Biochemistry of Marine Food Products. Connecticut: AVI Publishing Company.
Stine J. J et al. (2012). Recovery and Utilization of Protein Derived from Surimi Wash Water. Journal of Food Quality 35, 43-50.
Tan SM, Ng MC, Fujiwara T, Kok KH, and Hasegawa H. (1988). Handbook on the Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Products in Southeast Asia.Marine Fisheries.Research Department-South East Asia Fisheries Development Center. Singapore.
Wibowo, Singgih., 2004. Pembuatan Bakso Ikan dan Daging. Penebar Swadaya, Jakarta.
Winarno, F.G., 2004. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
6. LAMPIRAN
6.1. PERHITUNGAN
Rumus:
Luas atas=13
a(h0+4 h1+2 h2+4 h3+…+hn)
Luas bawah=13
a(h0+4 h1+2h2+4h3+…+hn)
Luas area basah=Luasatas−Luas bawah
mg H 2O=Luas areabasah−8,00,0948
Kelompok D1
Luas atas=13
36,5 (89+4 (186 )+2 (197 )+4 (180 )+99 )=24893 mm2
Luas bawah=13
36,5 ( 89+4 (38 )+2 (23 )+4 ( 47 )+99 )=6983,667 mm2
Luas area basah=24893−6983,667=17909,33 mm2
mg H 2O=17909,33−8,00,0948
=188832,63 mg
Kelompok D2
Luas atas=13
40 (124+4 (213 )+2 (227 )+4 (210 )+133 )=32040 mm2
Luas bawah=13
40 (124+4 (67 )+2 (54 )+4 (57 )+133 )=11480 mm2
Luas area basah=32040−11480=20560 mm2
mg H 2O=20560−8,00,0948
=216793,25 mg
13
14
Kelompok D3
Luas atas=13
32 ( 105+4 (129 )+2 (148 )+4 (146 )+88 )=16949,33 mm2
Luas bawah=13
32 (105+4 (25 )+2 (14 )+4 (27 )+88 )=4576 mm2
Luas area basah=16949,33−4576=12373,33 mm2
mg H 2O=12373,33−8,00,0948
=130435,97 mg
Kelompok D4
Luas atas=13
45 (121+4 (201 )+2 (211)+4 (204 )+90 )=33795 mm2
Luas bawah=13
45 (121+4 (34 )+2 (30 )+4 (32 )+90 )=8025 mm2
Luas area basah=33795−8025=25770 mm2
mg H 2O=25770−8,00,0948
=271751,05 mg
Kelompok D5
Luas atas=13
47 ( 95+4 (182 )+2 (201 )+4 (195 )+107 )=33095,04 mm2
Luas bawah=13
47 (95+4 (24 )+2 (20 )+4 (29 )+107 )=7114,18 mm2
Luas area basah=33095,04−7114,18=25980,86 mm2
mg H 2O=25980,86−8,00,0948
=273975,32 mg