Suntingan Teks Serat Buddha Gotama: Bagian Kedua Sampai ...
Transcript of Suntingan Teks Serat Buddha Gotama: Bagian Kedua Sampai ...
1
Suntingan Teks Serat Buddha Gotama: Bagian Kedua Sampai Keempat
Wedya Permana Putri, Dyah Widjayanty Darmono
Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
E-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini menyajikan suntingan teks naskah Serat Buddha Gotama bagian kedua sampai keempat. Naskah koleksi Perpustakaan Universitas Indonesia ini memiliki nomor koleksi NR 319 dan berkode PW 5, berbentuk prosa dan macapat dengan menggunakan Bahasa Jawa dan aksara Jawa. Metode penyuntingan naskah tunggal dengan edisi standar atau kritis. Secara umum, naskah ini berisi tentang ajaran agama islam. Pada bagian kedua memuat ajaran kejawen. Pada bagian ketiga menceritakan tentang proses terbentuknya manusia hingga proses
kematiannya. Pada bagian keempat berisi tentang ketuhanan.. Kata kunci: Suntingan teks; Serat Buddha Gotama; Ajaran; Islam; edisi standar.
Edited text of Serat Buddha Gotama: Part Two Until Four
Abstract
This research presents an edited text of Serat Buddha Gotama manuscript part two until four. This manuscript collected by University of Indonesia library with collection number NR 319 and coded PW 5. This manuscript used prose and macapat with Java language and Java script. The editing method used in the research is a single manuscript editing with the standard edition or critical. In general, this text contains the religious teachings of Islam. In the second part contains kejawen teachings. In the third part tells about the process of formation of
human until death process. In the fourth section contains the divinity.
Key words: Edited Text, Serat Buddha Gotama, doctrine, Islam, Standart Edition.
Suntingan Teks ..., Wedya Permana Putri, FIB UI, 2016
2
Pendahuluan
Pulau Jawa merupakan salah satu pulau dengan kepadatan penduduk tertinggi di
Indonesia. Hal itu disebabkan oleh letak yang strategis sehingga Pulau Jawa dijadikan sebagai
pusat aktifitas masyarakat Indonesia. Menyadari fenomena itu, masyarakat dari berbagai
pulau di Indonesia berbondong-bondong pindah ke Pulau Jawa. Padatnya jumlah penduduk
menyebabkan banyak berkembangnya kebudayaan di Pulau Jawa.
Menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan
dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan cara belajar. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah
kebudayaan karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang tidak
perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu beberapa tindakan naluri, beberapa refleks, beberapa
tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan membabi buta (Koentjaraningrat, 2009).
Pada perkembangannya, kebudayaan yang didapatkan dari hasil cipta, rasa, dan karsa
manusia diwujudkan melalui berbagai macam bentuk. Dalam setiap kebudayaan terkandung
tujuh unsur yaitu sistem bahasa, sistem religi, sistem mata pencaharian, sistem organisasi
sosial, kesenian, ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketujuh unsur ini disebut tujuh unsur
kebudayaan universal (C. Kluckhohn dalam Koentjaraningrat, 2009). Sistem bahasa
merupakan salah satu unsur kebudayaan, bentuknya dapat berupa karya sastra baik lisan
maupun tulisan.
Pada bentuknya yang paling tua, karya-karya semacam itu berwujud tulisan tangan di
atas lembaran-lembaran alas tulis setempat. Alas tulis1 tradisional yang dikenal di Indonesia,
seperti daun nipah, rontal, bambu, kulit kayu, daluang atau dluwang. Daun nipah
dipergunakan untuk menulis naskah Jawa, Sunda, Bali, dan Lombok. Rontal dipergunakan
untuk naskah Sunda, Jawa, Madura, Bali, Lombok dan Bugis. Bambu dan kulit kayu
digunakan dalam tradisi pernaskahan di Batak, Bengkulu, dan singkel. Daluang (Sunda) atau
dluwang (Jawa) merupakan alas tulis yang sama, hanya berbeda dalam penyebutan. Biasanya
digunakan sebagai alas tulis oleh masyarakat di pulau Jawa (Karsono, 2008).
Karya Sastra tersebut biasanya dikaji untuk mengetahui seperti apa kehidupan manusia
di masa lampau. Mengkaji karya sastra lama berarti menambah wawasan serta menjadi salah
satu upaya melestarikan warisan budaya masa lampau. Di antara warisan kebudayaan tersebut,
karya tulis ada yang tersimpan pada berbagai bahan seperti batu, logam, kulit binatang, kulit 1 Bahan yang ditulisi dan dijilid menjadi satu kesatuan (Karsono, 2008:14).
Suntingan Teks ..., Wedya Permana Putri, FIB UI, 2016
3
kayu dan kertas. Karya sastra yang tersimpan dalam karya tulis yang berbahan kertas biasanya
disebut naskah (Baried, 1985). Warisan kebudayaan berupa naskah banyak ditemukan di
pulau Jawa dan sekitarnya, seperti Bali dan Lampung. Naskah2 ini biasanya berisi teks3
tentang cerita suatu peristiwa, religi, cerita rakyat, sosial, politik dan kesenian, ada pula
naskah yang berisi tentang ramalan.
Pada penelitian ini, penulis meneliti naskah Serat Buddha Gotama bagian kedua
sampai bagian keempat. Secara umum, bagian naskah ini berisi tentang pembahasan ajaran
agama Islam. Berbeda sekali dengan bagian pertama naskah yang membahas ajaran agama
Buddha. Menurut keterangan yang terdapat dalam Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara
Jilid 3B Fakultas Sastra Universitas Indonesia (Behrend, Titik Pudjiastuti: 1997), koleksi
naskah Serat Buddha Gotama tertulis dengan kode “PW” (piwulang). Kode tersebut dapat
diartikan bahwa naskah tersebut berisi ajaran. Naskah Serat Buddha Gotama merupakan
naskah tunggal atau dapat disebut sebagai codex unicus dan telah diteliti sebelumnya.
Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari hasil penelitian terdahulu4, naskah
Serat Buddha Gotama merupakan naskah yang dibeli oleh Pigeaud dari R. Ganda Sutaryo di
Burjaputran pada tanggal 18 Juni 1938. Selanjutnya, Mandrasastra membuat ringkasannya
pada bulan Oktober 1938. Ringkasan yang dibuat berjudul Isinipoen Serat Boeda Gotama.
Naskah ini ditulis menggunakan kertas Eropa5 dan kertas HVS, setiap halamannya terdiri dari
18 baris dengan jumlah halaman sebanyak 197 halaman, namun pada kenyataannya naskah ini
terdiri dari 230 halaman dengan 180 halaman berisi teks dan 50 halaman merupakan sampul
dalam. Naskah ini berbentuk prosa dan macapat6.
Isi naskah bagian kedua dan ketiga ditulis dalam bentuk prosa, sedangkan bagian
keempat ditulis dalam bentuk macapat. Di dalam naskah tidak dijelaskan nama pengarang
atau keterangan waktu pembuatan naskah. Naskah ini hanya mencantumkan informasi tentang
waktu penyelesaian isi teks, yaitu pada akhir cerita bagian pertama dan akhir cerita bagian
ketiga. Pada bagian pertama, naskah selesai ditulis pada tahun 1830 dan pada bagian ketiga,
2 Baried mengatakan, berita tentang hasil budaya yang diungkapkan oleh teks klasik dapat dibaca dalam peninggalan-peninggalan yang berupa tulisan yang disebut naskah (Baried, 1985:4). 3 Dalam filologi istilah teks menunjukkan pengertian sebagai sesuatu yang abstrak, sedang naskah sebagai sesuatu yang konkret. Oleh karena itu, pemahaman terhadap teks klasik hanya dapat dilakukan lewat naskah yang merupakan alat penyimpannya. Jadi, filologi mempunyai sasaran kerja yang berupa naskah (Baried, 1985:4). 4 Penelitian oleh Yulia Puspitorini tahun 2015 dengan judul “Suntingan Teks Serat Buddha Gotama” koleksi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. 5 Kertas yang didatangkan dari Eropa (Titik Pudjiastuti, 2006:13). 6 Puisi bertembang yang pembacaannya ditembangkan berdasarkan susunan notasi sesuai dengan metrumnya (Karsono, 2012:103).
Suntingan Teks ..., Wedya Permana Putri, FIB UI, 2016
4
naskah selesai ditulis pada tahun 1832. Adanya perbedaan dalam gaya penulisan serta rentang
waktu penulisan yang tidak jelas menunjukkan naskah ini kemungkinan ditulis oleh lebih dari
satu pengarang.
Pada penelitian Yulia (2015) ditemukan bahwa terdapat empat bagian cerita pada
naskah Serat Buddha Gotama. Pada bagian pertama (halaman 1 sampai 152) menceritakan
seorang tokoh yang bernama Sidharta dan penjelasan mengenai ajaran agama Buddha. Pada
bagian kedua (halaman 153 sampai 162) berisi tentang ajaran dari seorang kiai dari
Yogyakarta. Pada bagian ketiga (halaman 162 sampai 169) berjudul Pungun-pungun wungu
nendra menjelaskan sesungguhnya bangun tidur adalah bangun dari kematian. Bagian
keempat (halaman 170 sampai 180) berisi pembahasan tentang Allah dan keesaan Allah,
namun penelitian hanya dilakukan pada bagian pertama isi naskah. Oleh sebab itu, penulis
bermaksud melakukan penelitian tentang bagian selanjutnya, yaitu pada naskah Serat Buddha
Gotama bagian kedua sampai bagian keempat, namun karena keterbatasan waktu maka
penulis memfokuskan penelitian pada suntingan teks dan ringkasan cerita Serat Buddha
Gotama.
Naskah Serat Buddha Gotama bagian pertama berisi tentang ajaran agama Buddha
tetapi isi naskah pada bagian kedua sampai bagian keempat berisi tentang ajaran agama Islam
sehingga muncul ketertarikan penulis terhadap ada atau tidak adanya keterkaitan antara ajaran
agama Buddha dan agama Islam pada masa lampau. Dengan demikian, permasalahan
penelitian ini adalah bagaimana menyajikan suntingan teks Serat Buddha Gotama yang
merupakan naskah tentang ajaran keagamaan agar dapat dibaca dan lebih mudah untuk
dipahami oleh kalangan masyarakat umum?
Penelitian ini bertujuan untuk menyajikan suntingan teks naskah Serat Buddha
Gotama sesuai dengan kaidah-kaidah filologi supaya dapat dibaca dan lebih mudah untuk
dipahami oleh kalangan masyarakat umum sehingga pembaca pun dapat mengetahui
hubungan antara ajaran agama Buddha dan agama Islam pada masa lampau. Penulis juga
bermaksud ingin melanjutkan penelitian terdahulu agar dapat melengkapi hasil penelitian
yang telah ada.
Suntingan Teks ..., Wedya Permana Putri, FIB UI, 2016
5
Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode edisi naskah tunggal karena
hanya ada satu naskah sehingga naskah ini dianggap sebagai naskah tunggal. Apabila dalam
proses penelitian ini, penulis menemukan kesalahan maupun bacaan yang tidak sesuai dengan
ejaan yang benar, penulis memberikan tanda dan memberikan bacaan yang lebih baik.
Penyajian suntingan teks dilakukan dengan menggunakan edisi standar atau edisi kritis7.
Adapun pengalihaksaraan dari aksara Jawa ke aksara Latin naskah Serat Buddha
Gotama dilakukan dengan berpedoman pada kamus Baoesastra Djawa karangan
Poerwadarminta (1939), Pedoman Penulisan Aksara Jawa (2002) karangan Darusuprapta,
dkk., dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa Huruf Latin yang disempurnakan (2011) yang
diterbitkan oleh Balai Bahasa Yogyakarta.
1 Tanda Kritik Pada Teks Berbentuk Prosa
1.1 Aksara
Aksara adalah sistem tanda grafis yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan
sedikit banyaknya mewakili ujaran. Dalam naskah Serat Buddha Gotama terdapat 20 huruf
pada aksara carakan8 yaitu /ha/, /na/, /ca/, /ra/, /ka/, /da/, /ta/, /sa/, /wa/, /la/, /pa/, /da/, /ja/,
/ya/, /nya/, /ma/, /ga/, /ba/, /tha/, dan /nga/. Untuk aksara /ha/ dalam pengalihaksaraan
disesuaikan dengan kata yang terdapat dalam Baoesastra Djawa, contoh:
No. Aksara pada naskah Alih aksara kata dalam naskah Kata dalam Baoesastra Djawa
1.
dhihin Dhihin
2.
Johar Johar
3.
Hiya Iya
7 Menurut Robson (1994: 21-27), edisi kritis adalah naskah disunting dengan melakukan perbaikan atas kesalahan dalam penulisan yang disesuaikan pada ejaan yang berlaku. 8 singkatan dari urutan abjad Jawa yang terdiri dari dua puluh aksara (Behrend, 1995:649).
Suntingan Teks ..., Wedya Permana Putri, FIB UI, 2016
6
4.
hingsun Ingsun
Tabel 4.1. Penggunaan aksara /ha/
Pada contoh nomor 1 dan 2, kata tersebut tetap menggunakan huruf /h/. Pada contoh
nomor 3 dan 4 huruf /h/ dilesapkan sesuai dengan kata yang terdapat di dalam kamus
Baoesastra Djawa. Selain itu, ditemukan pula aksara swara9, yaitu /a/, /i/, /u/, dan /e/. Aksara
ini digunakan untuk menuliskan kosakata yang berasal dari bahasa Arab dan dialihaksarakan
dengan menggunakan huruf kapital, namun apabila ditemukan aksara swara ditengah kata
maka huruf kapital ditempatkan diawal kata, contoh:
No. Aksara swara Aksara pada naskah Alih aksara kata
dalam naskah
Kata dalam Baoesastra
Djawa
1. /A/
Alah Alah
2. /U/ dan /I/
Ula Ika Ula Ika
3. /I/
la Ilaha Ilelahu la Ilaha Ilelahu
5. /E/
malaEkat Malaekat
6. /I/
Islam Islam
Tabel 4.2. Penggunaan aksara swara
Pada contoh nomor 2 dan 5 ditemukan variasi dalam penulisan aksara swara. Contoh
2, aksara /u/ yang digunakan , sedangkan aksara /u/ yang dijadikan pedoman dalam
penulisan aksara Jawa10 adalah . Contoh 5, aksara yang digunakan dan aksara
9 aksara yang mewakili vokal awal atau yang berdiri sendiri dalam aksara Jawa. Dalam alih aksara huruf-huruf a,
i, u, e, o diwakili oleh huruf Kapital (Behrend, 1995:651). 10 Pedoman penulisan berdasarkan pada buku Pedoman Penulisan Aksara Jawa (Darusuprapta, dkk., 2002).
Suntingan Teks ..., Wedya Permana Putri, FIB UI, 2016
7
yang dijadikan pedoman . Ada pula aksara murda11, yaitu aksara yang digunakan untuk
menulis nama orang atau gelar. Dalam naskah Serat Buddha Gotama, ditemukan aksara
murda yang berada di tengah kata dan kata yang mengacu pada nama orang, namun tidak
ditulis dengan menggunakan aksara murda Dalam pengalihaksaraan, kata-kata tersebut
dialihaksarakan dengan menggunakan huruf kapital, contoh:
No. Aksara murda Aksara pada naskah Alih aksara kata
dalam naskah
Kata dalam Baoesastra
Djawa
1. /Sa/ dan /Na/
SuNan kalijaga Sunan Kalijaga
2. /Sa/
raSul Rasul
3. Tidak ada
muhkhamad Muhkhamad
Tabel 4.3. Penggunaan aksara murda
Pada contoh nomor 1, aksara /sa/ dan /na/ ditulis menggunakan aksara murda. Dalam
pengalihaksaraan huruf kapital digunakan pada awal kata yang menyatakan gelar dan nama
orang. Pada contoh nomor 2, kata tersebut menunjukkan gelar namun aksara murda ditulis
ditengah kata. Pada contoh nomor 3, kata tersebut merupakan nama orang, namun tidak
menggunaan aksara murda. Dalam pengalihaksaraan contoh nomor 2 dan nomor 3
menggunakan huruf kapital di awal kata.
1.2 Bahasa
Pada naskah Serat Buddha Gotama bagian kedua sampai keempat ditemukan istilah
dalam bahasa Arab dan istilah tersebut telah menjadi kosakata serapan12, seperti kata Salat13,
kata Sahadat14 dan puji-pujian dalam Bahasa Arab, contoh wa Ashadu Anna Ilelah, wa
11 aksara yang digunakan untuk mengungkapkan rasa hormat dalam sistem penulisan aksara Jawa. Dalam alih aksara huruf-huruf ini digambarkan dalam bentuk Kapital (Behrend, 1995:651). 12 Dalam mendefinisikan kosakata serapan dari Bahasa Arab digunakan definisi Bahasa Indonesia yang diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991). 13 Rukun Islam kedua, berupa ibadah kepada Allah Swt. 14 Persaksian dan pengakuan (ikrar) yang benar, diikrarkan dengan lisan dan dibenarkan dalam hati bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah.
Suntingan Teks ..., Wedya Permana Putri, FIB UI, 2016
8
Ashadu Anna muhkamaddan Rasulelah15, meskipun judul pada naskah serta isi naskah bagian
pertama mengacu kepada agama Buddha namun secara keseluruhan isi naskah bagian kedua
sampai keempat hanya membahas tentang agama Islam, sehingga apabila ditemukan kata-kata
yang tidak tercantum dalam kamus Baoesastra Djawa, kemungkinan kata tersebut merupakan
kosakata yang berasal dari Bahasa Arab.
1.3 Ejaan
a. Vokal
Huruf vokal bahasa Jawa ada enam, yaitu /a/, /i/, /u/, /e /, /o/ dan /ě/. Dalam naskah
Serat Buddha Gotama ditemukan kata yang penulisannya mengikuti bunyi yang dihasilkan
ketika diucapkan sehingga tidak sesuai dengan ejaan Bahasa Jawa yang disempurnakan,
contoh:
No. Aksara pada naskah Alih aksara kata dalam naskah Kata dalam Baoesastra Djawa
1.
rumongso rumangsa
Tabel 4.4. Penggunaan vokal /a/
Di dalam teks ditulis dengan huruf vokal /o/. Dalam pengalihaksaraan mengikuti ejaan
yang telah disempurnakan yaitu menggunakan vokal /a/. Ditemukan kata yang menggunakan
variasi konsonan, seperti kata areb. Dalam ejaan Bahasa Jawa yang disempurnakan ditulis
arep. Selain itu, kata tak kena ditulis tagkenna dan ditemukan pula kata-kata yang mendapat
tambahan fonem /ng/ seperti kata plenceng ditulis plengceng, contoh:
No. Kasus Aksara pada naskah Alih aksara kata dalam naskah Kata dalam Baoesastra Djawa
1. /b/→/p/
Areb Arep
2. /g/→/k/
Tagkenna Takkena
4. /d/→/t/
Kodrad kodrat
15 kalimat sahadat.
Suntingan Teks ..., Wedya Permana Putri, FIB UI, 2016
9
5.
Plengceng plenceng
Tabel 4.5. Variasi konsonan
Penulis juga menemukan ketidakkonsistenan kata, contoh kata muhkamad ditulis
dengan muhkhamad. Selain itu, dalam penulisan aksara Jawa apabila konsonan /n/ bertemu
dengan konsonan /c/ atau konsonan /n/ bertemu dengan konsonan /j/ maka penulisan
menggunakan tambahan konsonan /ny/, contoh:
No. Kasus Aksara pada naskah Alih aksara Kata dalam Baoesastra Djawa
1. /n/+/j/
ma[ny]jing Manjing
2. /n/+/c/
tuma[ny]cep Tumancep
Tabel 4.6. Pembentukan kata
b. Sastra Lampah
Pada penulisan naskah Serat Buddha Gotama ditemukan beberapa gejala sastra
lampah. Menurut Padmosoekatja (1967:68) sastra lampah adalah cara menuliskan aksara
Jawa yang tulisannya mengikuti bunyi pengucapan untuk memudahkan pembacaan agar vokal
yang diucapkan mengikuti konsonan akhir dari kata sebelumnya. Pengalihaksaraan dilakukan
dengan cara memisahkan kedua kata dan membuang konsonan yang mempengaruhi kata
kedua, contoh:
No. Aksara pada naskah Alih aksara kata dalam naskah Kata dalam Baoesastra Djawa
1.
sajroningngurip sajroning urip
2.
jumenengnging jumeneng ing
3.
wijiningngurippa wijining uripa
Suntingan Teks ..., Wedya Permana Putri, FIB UI, 2016
10
Tabel 4.7. Contoh sastra lampah
c. Konsonan Rangkap
Pada teks naskah Serat Buddha Gotama ditemukan beberapa konsonan rangkap yang
terdapat dalam satu kata. Untuk mempermudah pembaca, dalam pengalihaksaraan cukup
menggunakan satu huruf saja, contoh:
No. Rangkap huruf Aksara pada naskah Alih aksara kata dalam
naskah
Kata dalam Baoesastra
Djawa
1. P
Dhauppaken dhaupaken
2. L
Wekdalling wekdaling
3. N
Ngayunnan ngayunan
Tabel 4.8. Perangkapan huruf
1.4 Tanda-Tanda Yang Digunakan Pada Suntingan
a. Penomoran dalam suntingan teks naskah Serat Buddha Gotama bagian kedua sampai
keempat menggunakan angka Arab. Nomor halaman pada naskah menggunakan angka Jawa
dialihaksarakan dengan angka Arab dan ditempatkan pada urutan pertama, sedangkan urutan
ke dua menggunakan angka Arab untuk menunjukan alinea, contoh: 153.1 Bismillah.
b. Nomor halaman yang menggunakan angka Jawa dialihaksarakan dengan angka Arab,
contoh: dialihaksarakan 154
c. Alinea dialihaksarakan dengan angka Arab dan ditempatkan setelah nomor halaman,
contoh: 153.1 seka ngayunan jumeneng nutpah. rupane kaya lintang
d. Huruf kapital digunakan untuk awal bait, gelar, nama orang, hari, bulan dan kata yang
berasal dari Bahasa Arab.
e. Tanda Baca
Suntingan Teks ..., Wedya Permana Putri, FIB UI, 2016
11
Tabel 4.9. Tabel Tanda Baca
Istilah Tanda baca pada teks Fungsi
Adeg-adeg
Alinea baru
Awal alinea
Titik
Akhir kalimat
Koma
Pemisah kalimat
Pangkon
Mematikan aksara
Titik dua
Menandai pemerian
Penanda akhir teks dan penanda bagian
f. Pada teks terdapat kata ulang, namun tidak disertakan dengan tanda hubung (-). Dalam
pengalihaksaraan digunakan tanda hubung (-) untuk menandai kata ulang, contoh: uwung-
nguwung, angen-angen, dan under-underaning. dialihaksarakan menjadi uwung-
nguwung
g. Tanda titik dua (:) dipakai sesudah kata yang memerlukan pemerian, contohnya: pujine:
Ilelah kaping telu dan seh: tegesah: melok: teges nyata: laya: teges pati: gerbaning tembung.
Kata tersebut dialihaksarakan menjadi pujine: patekah sepisan.
h. Penjelasan tambahan atau hasil koreksian terhadap teks diberi nomor dengan superscript
dan diberi penjelasan pada bagian footnote, contoh: tokid8.
i. Kata-kata yang sulit terbaca atau sudah tidak jelas sehingga tidak dapat dialihaksarakan
diberi tanda titik tiga didalam tanda kurung, contoh : bi (…)4
2 Tanda Kritik Pada Teks Berbentuk Macapat
Suntingan Teks ..., Wedya Permana Putri, FIB UI, 2016
12
2.1 Aksara
Sama halnya dengan naskah berbentuk Prosa yang terdapat pada bagian kedua dan
ketiga, pengalihaksaraan naskah bagian keempat dilakukan dengan cara menyesuaikan kata.
Pengalihaksaraan aksara /ha/ disesuaikan dengan bentuk yang terdapat dalam Baoesastra
Djawa, contoh: kata harang dialihaksarakan menjadi arang, dan satuhu dialihaksarakan
menjadi satuhu.
No. Aksara pada naskah Alih aksara kata dalam naskah Kata dalam Baoesastra Djawa
1.
Harang Arang
2.
Satuhu Satuhu
Tabel 4.10. Penggunaan aksara /ha/
a. Pengalihaksaraan aksara swara menggunakan huruf kapital sesuai dengan fungsi yaitu
untuk menuliskan kata yang berasal dari Bahasa Arab, contoh:
No. Aksara pada naskah Alih aksara kata dalam naskah Kata dalam Baoesastra Djawa
1.
Ilelah Ilelah
2.
Isbandiyah Isbandiyah
Tabel 4.11. Penggunaan aksara swara /I/
b. Pengalihaksaraan aksara murda menggunakan huruf kapital. Apabila dalam suatu
rangkaian kata ditemukan aksara murda yang muncul ditengah atau akhir kata, atau tidak
ditemukan aksara murda dalam suatu kata namun kata tersebut mengacu pada nama orang
atau gelar, pengalihaksaraan tetap menggunakan huruf kapital, contoh:
No. Aksara pada naskah Alih aksara kata dalam naskah Kata dalam Baoesastra Djawa
1.
Pangran Pangran
Suntingan Teks ..., Wedya Permana Putri, FIB UI, 2016
13
2.
pratoNdha Pratandha
3.
sirNa Sirna
Tabel 4.12. Penggunaan Aksara murda
2.2 Bahasa
Pada bagian keempat naskah Serat Buddha Gotama, isi naskah berbentuk macapat,
sehingga muncul kata-kata yang mendapatkan perubahan ejaan. Perubahan tersebut
disebabkan oleh penyesuaian kata terhadap aturan tembang, seperti guru lagu16, guru gatra17,
dan guru wilangan18 yang terdapat dalam suatu metrum. Adanya penyesuaian tersebut
menyebabkan terjadinya penambahan atau pengurangan ejaan, sehingga muncul kata-kata
yang asing, contoh:
No. Aksara pada naskah Alih aksara kata dalam naskah Kata dalam Baoesastra Djawa
1.
trapugupuh trap puguh
2.
dha unine padha unine
Tabel 4.13. Penyesuaian ejaan
2.3 Ejaan
a. Vokal
No. Kasus Aksara pada naskah Alih aksara kata dalam naskah Kata dalam Baoesastra Djawa
1. /o/→/a/
Pratondha pratandha
2. /o/→/a/
Monca manca
Tabel 4.14. Variasi ejaan vokal
b. Konsonan
16 Aturan rima akhir dalam puisi tradisional (Karsono, 2012: 190). 17 Aturan jumlah suku kata dalam baris, terutama puisi-puisi tradisional Jawa baru (Karsono, 2012: 190). 18 Aturan jumlah baris setiap bait dalam puisi tradisional dalam puisi tradisional (Karsono, 2012: 190).
Suntingan Teks ..., Wedya Permana Putri, FIB UI, 2016
14
No. Kasus Aksara pada naskah Alih aksara kata dalam naskah Kata dalam Baoesastra Djawa
1. /g/→/k/
Yegti Yekti
2. /k/→/g/
Bugti Bukti
Tabel 4.15. Variasi ejaan konsonan
c. Sastra Lampah
No. Aksara pada naskah Alih aksara kata dalam naskah Kata dalam Baoesastra Djawa
1. Ingkangngala ingkang ala
Tabel 4.16. Contoh sastra lampah
d. Konsonan Rangkap
No. Rangkap huruf Aksara pada naskah Alih aksara kata dalam naskah Kata dalam Baoesastra Djawa
1. T
pangrupatting pangrupating
2. Ng
angngandaka angandaka
3. Ng
pamirengnge pamirenge
Tabel 4.17. Contoh perangkapan huruf
2.4 Metrum Tembang
Isi naskah Serat Buddha Gotama bagian keempat berbentuk macapat. Oleh sebab itu,
muncul kata-kata asing yang merupakan hasil dari penyesuaian ejaan. Tujuannya adalah untuk
memenuhi aturan metrum tembang yang digunakan. Apabila dalam penulisan penulis
menemukan kesalahan seperti ketidaksesuaian aturan metrum, kesalahan tersebut diberi
catatan dengan berpedoman pada buku Puisi Jawa. Dalam hal ini, teks dibingkai dengan
metrum Gambuh dan metrum Dhandhanggula. Pada metrum Gambuh dalam satu bait harus
terdiri dari lima baris dan dalam satu bait harus memiliki vokal akhir /u/, /u/, /i/, /u/, /o/ secara
berturut-turut. Pada metrum Dhandhanggula dalam satu bait harus terdiri dari sepuluh baris
dan dalam satu bait harus memiliki vokal akhir /i/, /a/, /e/, /u/, /i/, /a/, /u/, /a/, /i/, /a/ secara
berturut-turut.
Suntingan Teks ..., Wedya Permana Putri, FIB UI, 2016
15
2.5 Tanda – Tanda Yang Digunakan Pada Suntingan Teks
a. Penanda awal-akhir pupuh ditandai dengan : //0//
Penanda awal-akhir pada ‘bait’ ditandai dengan : //
Penanda awal-akhir gatra ‘baris’ ditandai dengan : /
b. Tanda (+1), (+2), (+3) dan seterusnya, menandakan kelebihan wanda ‘suku kata’ dalam satu
gatra ‘baris’. Tanda (+) menandakan kelebihan suku kata, sedangkan angka Arab (1, 2, 3 dan
seterusnya) menandakan jumlah suku kata yang lebih.
c. Tanda (-1), (-2), (-3) dan seterusnya, menandakan kekurangan wanda ‘suku kata’ dalam satu
gatra ‘baris’. Tanda (-) menandakan kekurangan suku kata, sedangkan angka Arab (1, 2, 3 dan
seterusnya) menandakan jumlah suku kata yang kurang.
d. Tanda (+1), (+2), (+3) dan seterusnya, menandakan kelebihan gatra ‘baris’ dalam satu
pada ‘bait’. Tanda (+) menandakan kelebihan baris, sedangkan angka Arab (1, 2, 3 dan
seterusnya) menandakan jumlah baris yang lebih.
e. Tanda (-1), (-2), (-3) dan seterusnya, menandakan kekurangan gatra ‘baris’ dalam satu
pada ‘bait’. Tanda (-) menandakan kekurangan baris, sedangkan angka Arab (1, 2, 3 dan
seterusnya) menandakan jumlah baris yang kurang.
f. Tanda 1), 2), 3) dan seterusnya, menandakan nomor urut bait dalam sebuah pupuh.
g. Tanda (a), (i), (u), (e), (o), merupakan koreksi atas bunyi vokal akhir gatra ‘baris’ atau guru lagu
yang sah.
h. Huruf kapital digunakan sebagai penanda awal bait, penulisan gelar, nama dan tempat.
i. Tanda (hlm. 1), (hlm. 2), (hlm. 3), dan seterusnya, menandakan nomor halaman naskah.
j. Penjelasan tambahan atau hasil koreksian terhadap teks diberi nomor dengan superscript
dan diberi penjelasan pada bagian footnote, contoh:
k. Kata-kata yang sulit terbaca atau sudah tidak jelas sehingga tidak dapat dialihaksarakan
diberi tanda titik tiga didalam tanda kurung, contoh: pa(…)30
Suntingan Teks ..., Wedya Permana Putri, FIB UI, 2016
16
Hasil Penelitian
Hasil dari penelitian ini berupa suntingan teks, berikut adalah kutipan bagian awal dari
suntingan teks
1) Serat Buddha Gotama Bagian Kedua
153.1 Bismillah19, duk meksih awang-ngawang uwung-uwung, Alah angandika, kun
payakun, kun dadine wiradat, payakun, dadine kodrat, yaiku jumenenging ngenur, kang dadi
wijining urip sajagad kabeh, nalikane Alah nitahaken makluk ya isih jumeneng nur.
2) Serat Buddha Gotama Bagian Ketiga
162.21 wungun pungun wungun nendra. salalahu alaii wasalam. nalika kanjeng Nabi
muhkammad, ngandikan maring ngayunaning maha suci. sajatine wungu sangkang seda. pan
solah patraping pati. mila aran nabi duta. tumular maring seh melaya. nalika sare soring
galingang aking. inggih ugi wungu sangking seda. mila jujuluk seh melaya. seh: tegesah:
melok: teges nyata: laya: teges pati: gerbaning tembung. kang mentas anglakoni mati
sajroning urip, urip sajroning mati. ing pati, jumeneng ehe. huk akat, kerana sinilih ing
datolah. inggih sami wali utusan nadyan keta yen saget pana inggih sami klayan auliya.
Pratandha senteg pisan rampung. sah.
3) Serat Buddha Gotama Bagian Keempat
Cerita pada bagian ini berbentuk macapat. Dimulai pada halaman 170-174 dengan
metrum gambuh dan halaman 174-180 bermetrum dhandanggula.
I. Teks Bermetrum Gambuh
1) (hlm. 170) gambuh jeng sunan dhawuh/ beng dununge Alah kang maha gung/ manggon
ana sajeroning ratwa sepi/ ngebaki jagat puniku/ ora priya ora wadon//
II. Teks Bermetrum Dhandhanggula
1. (hlm. 174) dhandanggula//
2. pangran bayat karna nyatu miling/ sunan nabda jebeng wruhanira/ lakune ngelmu
kinaot(e)/ kabeh atasing makruk/ ing makripat yen wus ngawruhi/ de tegese makripat/ prin rat
wahing kawruh/ umanjing sadalem nala/ ora samar pramana dat maujudi/ tan ana pangran
liya//
19 Kalimat dalam Bahasa Arab yang diterjemahkan menjadi Dengan nama Allah (biasa diucapkan jika akan mulai melakukan sesuatu) (KBBI, 1991).
Suntingan Teks ..., Wedya Permana Putri, FIB UI, 2016
17
Pembahasan
Di dalam Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 3B Fakultas Sastra Universitas
Indonesia (1997), tertulis bahwa naskah Serat Buddha Gotama berisi tentang kisah Sidharta
Gautama dan hal-hal terkait ajaran agama Buddha. Hal tersebut tidak sesuai dengan hasil
penelitian penulis, sebab peneliti juga menemukan ajaran agama Islam di dalam naskah.
Selain itu, dari hasil penelitian penulis ditemukan ketidakkonsistenan penggunaan kosakata
seperti penulisan nama Muhamad menjadi muhkhamad. Pada teks yang berbentuk macapat
penulis menemukan banyak kesalahan ejaan baik ejaan vokal maupun konsonan serta
ketidaksesuaian kata pada teks berbentuk macapat.
Kesimpulan
Naskah Serat Buddha Gotama merupakan naskah tunggal yang tergolong ke dalam
naskah piwulang atau naskah yang berisi tentang ajaran. Naskah yang memiliki judul identik
dengan agama Budha ini hanya memuat cerita tentang ajaran agama Budha pada bagian
pertama, sedangkan pada bagian kedua sampai keempat memuat cerita tentang ajaran agama
Islam. Penulis melakukan suntingan Serat Buddha Gotama bagian kedua sampai keempat
agar mengetahui isi teks tersebut. Setelah diteliti, penulis tidak menemukan keterkaitan antara
naskah bagian pertama dengan bagian kedua sampai keempat bahkan isi teks pada bagian
kedua sampai keempat tidak saling berhubungan.
Dari hasil penelitian diperoleh informasi bahwa naskah Serat Buddha Gotama
merupakan naskah tunggal atau codex unicus. Naskah ini dibeli Pigeaud dari R. Gandasutarya
di Durjan Putran, pada 18 Juni 1938 dan telah dibuatkan ringkasan pada Oktober 1938 oleh
Madrasastra, namun tidak ditemukan keterangan tentang nama pengarang dan waktu
penyelesaian penulisan naskah. Seperti yang telah dijelaskan pada BAB 3 bahwa keterangan
waktu yang tertulis di dalam naskah hanya terdapat pada akhir cerita bagian ketiga yaitu teks
selesai ditulis pada tahun 1832 dan di akhir cerita bagian pertama yaitu selesai ditulis pada
tahun 1830. Selain itu, adanya perbedaan pada gaya penulisan dari tiap bagian cerita serta
rentang waktu yang cukup lama dalam penyelesaian naskah maka menguatkan dugaan bahwa
naskah ini kemungkinan ditulis oleh lebih dari satu pengarang.
Metode kritik teks yang digunakan adalah metode edisi naskah tunggal dan
menggunakan suntingan teks edisi standar atau edisi kritis agar lebih mudah dibaca dan
dipahami oleh kalangan masyarakat umum. Naskah ditulis dalam dua bentuk. Pada bagian
Suntingan Teks ..., Wedya Permana Putri, FIB UI, 2016
18
kedua dan ketiga ditulis dalam bentuk prosa, dan pada bagian keempat ditulis dalam bentuk
macapat dengan metrum Gambuh dan Dhandhanggula, sehingga dalam pertanggungjawaban
alih aksara tanda kritik dibuat masing-masing.
Dalam naskah Serat Buddha Gotama bagian kedua dan bagian ketiga (teks berbentuk
prosa) banyak ditemukan kesalahan ejaan seperti penggunaan huruf vokal/konsonan yang
tidak tepat, contohnya: kata rumongso seharusnya ditulis rumangsa, kata monca seharusnya
manca, dan kata agbar seharusnya akbar, serta konsonan rangkap, contohnya: isslamming
seharusnya ditulis islaming, makripatting seharusnya makripating, dan ngubengngi
seharusnya ngubengi. Pada bagian keempat yaitu pada naskah yang berbentuk macapat,
kesalahan yang ditemukan terjadi karena adanya tuntutan dalam pemenuhan aturan metrum
tembang. Seperti kelebihan dan kekurangan suku kata, contohnya: kata /dha/ dalam kalimat
dha unine umanjing ing tarki. Kata /dha/ mengacu pada kata padha untuk memenuhi tuntutan
guru wilangan pada metrum dhandhanggula dan kata /de/ dalam kalimat de pangran ingkang
satuhu. Kata /de/ mengacu pada kata dene. Selain itu, ditemukan pula beberapa kata yang
berasal dari bahasa Arab dan istilah keagamaan dalam ajaran agama Islam, contohnya:
sahadad dan salat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
______________. 1981. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
______________. 1982. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Karsono H. Saputra. 2008. Pengantar Filologi Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
________________. 2012. Puisi Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Baried, Siti Baroroh, dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Titik Pudjiastuti. 2006. Naskah dan Studi Naskah. Bogor: Akademia.
Ekadjati, Edi S. 2000. Direktori Naskah Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Suntingan Teks ..., Wedya Permana Putri, FIB UI, 2016
19
Darusuprapta, dkk. 2002. Pedoman Penulisan Aksara Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka
Nusantara.
Kementrian Pendidikan Nasional. 2011. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa Huruf Latin
Yang Disempurnakan. Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta.
Robson, S.O. 1994. Prinsip-prinsip Filologi Indonesia. Jakarat: RUL.
Katalog
Behrend, T.E dan Titik Pudjiastuti. 1997. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 3B
Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
_____________. 1990. Katalog Induk Naskah - naskah Nusantara, Museum Sonobudoyo
Yogyakarta. Jakarta: Djambatan.
_____________. 1998. Katalog Induk Naskah - naskah Nusantara Jilid 4: Katalog
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Ecole
Francaise d’Extreme Orient.
Pigeaud, T.H. 1968. Literature of Java Volume I Descriptive Lists of Javanese Manuscripts.
The Hague: MartinusNijhoff.
Kamus
Poerwadarminta, WJS. 1939. Baoesastra Djawa. Groningen, Batavia: JB Wolters’ Uitgevers
Maatschappij N.V.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Sutrisno Sastra Utomo. 2009. Kamus Lengkap Jawa-Indonesia.Yogyakarta: Prnrtbit Kanisius.
Skripsi
Yulia Puspitorini. 2015. Suntingan Teks Serat Buddha Gotama. Depok: Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya.
Faqih Hamdani. 2014. Suntingan Teks Serat Darmasarana. Depok: Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya.
Umi Habibatul Muyasaroh. 2015. Dongeng Ratu Ngerum: Sebuah Suntingan Teks. Depok:
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya.
Suntingan Teks ..., Wedya Permana Putri, FIB UI, 2016