Sumeet Case Neuro Bogor
-
Upload
sumeet-vasandani -
Category
Documents
-
view
236 -
download
0
description
Transcript of Sumeet Case Neuro Bogor
LAPORAN KASUS
Epilepsi
PEMBIMBING :
dr. Zaenal Arifin Sp.S
Disusun oleh :
Sumeet Vasandani
030.10.261
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 1 DESEMBER 2014 – 3 JANUARI 2015
1
STATUS PASIEN
BAGIAN PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 44 tahun
Alamat : Kp. Rawa Kalong RT02/10. Bogor
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh
Pendidikan : SD
Suku Bangsa : WNI
No RM : 24-69-81
II. ANAMNESIS
Dilakukan secara Autoanamnesis pada tanggal 11 Desember 2014 pukul 09.30 WIB.
Keluhan Utama
Kejang berulang 1 minggu sebelum ke Poliklinik Rumah Sakit
Keluhan Tambahan
Daya Ingat Menurun
Gangguan Pendengaran
2
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien seorang laki-laki berusia 45 tahun datang ke Poliklinik Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki
Mahdi Bogor pada tanggal 11 Desember 2014 untuk kontrol penyakit epilepsi yang
dideritanya. Sekarang ini keluhan utama adalah kejang berulang 1 minggu sebelum ke rumah
sakit, dalam 1 minggu terakhir diakui Os 3 kali mengalami kejang, yang terakhir adalah 2 hari
yang lalu. Os mengaku sesaat sebelum timbul kejang badan terasa agak panas namun tidak
disertai demam, tidak ada firasat lain seperti gangguan penglihatan ataupun penciuman.
Kejang bisa timbul saat melakukan aktifitas ataupun pada saat pasien sedang istirahat. Pada
saat serangan kejang terakhir Os mengaku timbul saat sedang bekerja, lalu Os kehilangan
kesadaran dan pada saat kesadaran pulih Os mengaku sudah tergeletak di lantai. Dari
pengamatan teman kantor Os serangan berlangsung selama 2-3 menit, disertai fase kelojotan
dan kekakuan dan bola mata mendelik ke atas.Keluhan kejang pertama kali dialami pada usia
4 tahun. Selain keluhan kejang Os juga mengaku daya ingatnya menurun sejak 1 tahun yang
lalu, dan juga gangguan pendengaran telinga kiri sejak 2 tahun yang lalu. Os mengaku sering
lupa dalam kehidupan sehari-hari seperti dalam pekerjaannya dan sering lupa dimana dia
meletakkan barang-barang miliknya dan lebih terasa nyaman jika mendengar dengan telinga
kanan. Os menyangkal adanya demam, sesak napas, mual & muntah. Gangguan BAB & BAK
juga disangkal. Saat ini pasien sedang pilek, batuk disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Epilepsi (+)
Riwayat Hipertensi (+)
Riwayat DM (+)
Riwayat serangan jantung tidak ada
Riwayat asma tidak ada.
Riwayat alergi obat-obatan tidak ada
Riwayat Kebiasaan
Pasien menagaku merokok, sering minum kopi dan makan cemilan yang asin-asin.
3
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi pada keluarga (+), tidak ada riwayat DM, asma, penyakit epilepsi pada
keluarga.
Riwayat Pengobatan
Saat ini Os mengkonsumsi obat anti hipertensi, anti epilepsi dan anti DM
III. PEMERIKSAAN FISIK ( 11 Desembet 2014)
A. Keadaan umum
Kesadaran : composmentis
Tekanan darah : 130/90 mmHg,
Denyut nadi : 84x/mnt, isi cukup, irama regular teratur, equal
Frekuensi Nafas : 18x /mnt
Suhu : 36oC
BB : 66 kg
TB : 173 cm
Status gizi : baik
B. STATUS GENERALIS
Kepala
Bentuk : normochepali, simetri
Nyeri tekan : (-)
- Rambut : hitam lurus dengan beberapa uban, distribusi merata, allopecia (-)
- Wajah : simetris, pucat (-), ikterik (-), petekie (-)
- Mata : edema kelopak mata (-/-), pupil bulat isokor Ø 2 mm|2mm, RCL (+/+)
RCTL (+/+) konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sekret (-/-), ptosis
(-/-), lagoftalmus (-/-)
- Hidung : Simetris , septum deviasi (-), deformitas (-), sekret (+/+)
4
- Telinga : normotia, pendengaran normal, nyeri tekan tragus dan mastoid (-) secret (-/-)
- Gigi Mulut : bibir kering (-), gusi berdarah (-) caries (-)
- Lidah : tampak kotor berwarna putih, kering (-)
- Tenggorokan : normal, tidak hiperemis, tonsil T1-T1
Leher
- JVP : 5 + 2cm H2O
- Leher : Trakea ditengah, leher tidak kaku, KGB dan kelenjar thyroid tidak teraba
membesar
Thoraks
Paru
Inspeksi : Hemithoraks simetris saat statis dan dinamis, retraksi sela iga (-),
deformitas (-)
Palpasi : Vokal fremitus kanan dan kiri simetris
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V , 1 cm medial linea midclavicularis sinistra
Perkusi : batas jantung atas : ICS III linea parasternal kiri
Batas jantung kanan : ICS IV linea sternalis kiri
Batas jantung kiri : ICS V 1 cm medial linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : BJ I-II regular , murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : dinding abdomen datar, jaringan parut (-)
Auskultasi : bising usus 3x/menit
Palpasi : supel, nyeri tekan tidak ada, hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : timpani (+) pada 9 regio abdomen
Ekstremitas
- atas : akral hangat (+/+), oedem (-/-)
- bawah : : akral hangat (+/+), oedem (-/-) -
5
C. STATUS NEUROLOGIS
1) Kesadaran : Composmentis
2) GCS : E 4 V5 M 6
3) Tanda Rangsang meningeal :
Kaku kuduk : -
Brudzinsky 1 : -
Brudzinsky 2 : -|-
Laseque : >700 | >700
Kernig : >1350 | >1350
4) Saraf kranial :
1. N. I (Olfactorius )
Kanan Kiri Keterangan
Daya pembau - - Tidak
dilakukan
2. N.II (Opticus)
Kanan Kiri Keterangan
Daya penglihatan
Lapang pandang
Pengenalan warna
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dalam batas
normal
6
3. N.III (Oculomotorius)
Kanan Kiri Keterangan
Ptosis
Pupil
Bentuk
Ukuran
akomodasi
Refleks pupil
Langsung
Tidak langsung
Gerak bola mata
Kedudukan bola mata
(-)
Bulat
Φ2mm
baik
(+)
(+)
Dbn
Ortoforia
(-)
Bulat
Φ2mm
baik
(+)
(+)
Dbn
ortoforia
Dalam batas
normal
4. N. IV (Trokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Dbn Dbn Dalam batas
normal
5. N. V (Trigeminus)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik
Sensibilitas
Opthalmikus
Maxilaris
Mandibularis
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dalam batas
normal
6. N. VI (Abduscens)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Dbn Dbn Dalam batas
7
Strabismus (-) (-) normal
7. N. VII (Facialis)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik
Saat diam
Mengernyitkan dahi
Senyum
memperlihatkan gigi
Daya perasa 2/3
anterior lidah
simetris
Dbn
Dbn
Dbn
simetris
Dbn
Dbn
Dbn
Dalam batas
normal
8. N. VIII (Vestibulo-Kokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Pendengaran
Vestibular
Vertigo
Nistagmus
(-)
(-)
ada gangguan
(-)
(-)
Pendengaran
telinga kiri
terganggu
9. N. IX (Glossofaringeus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus farings
Daya perasa /3
posterior lidah
dbn
tidak
dilakukan
Dbn
Tidak dilakukan
10. N. X (Vagus)
Kanan Kiri Keterangan
8
Arkus farings
Disfonia
Refleks muntah
dbn
dbn
dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dalam batas
normal
11. N. XI (Assesorius)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik
Menoleh
Mengankat bahu
Trofi
dbn
dbn
Eutrofi
dbn
dbn
Eutrofi
Dalam batas
normal
12. N. XII (Hipoglossus)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik
Trofi
Tremor
Disartri
dbn
eutrofi
(-)
(-)
Dbn
Eutrofi
(-)
(-)
Dalam batas
normal
5) Sistem motorik
Kanan Kiri Keterangan
Ekstremitas atas
Kekuatan
Tonus
Trofi
Ger.involunter
5555
N
Eu
(-)
5555
N
Eu
(-)
Ekstremitas bawah
Kekuatan
Tonus
5555
N
5555
N
9
Trofi
Ger.involunter
Eu
(-)
Eu
(-)
6) Sistem sensorik
Sensasi Kanan Kiri Keterangan
Raba
Nyeri
Suhu
Propioseptif
dbn
dbn
dbn
dbn
7) Refleks
Refleks Kanan Kiri Keterangan
Fisiologis
Biseps
Triseps
Patella
Achilles
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
Patologis
Hoffman Tromer
Babinski
Chaddock
Openheim
Gordon
Schaeffer
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
8) Fungsi koordinasi dan keseimbangan
Pemeriksaan Kanan Kiri Keterangan
10
Test jari-jari
Test telunjuk hidung
Test tumit lutut
Gait
Tandem
Romberg
disdiakokinesia
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
9) Sistem otonom
Miksi : dbn
Defekasi : dbn
Keringat : dbn
10) Fungsi luhur: Gangguan Fungsi memori (+)[recall]. Tidak ada gangguan apraxia, alexia,
orientasi, agraphia, acalculia
11) Vertebra : tidak ada kelainan, tidak ada nyeri tekan
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium: (4 Desember 2014)
Glukosa sewaktu : 207 mg/dl
*Pemeriksaan Anjuran : EEG & Audiometri
V. RESUME
11
Pasien seorang laki-laki berusia 44 tahun datang ke Poliklinik Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki
Mahdi Bogor pada tanggal 11 Desember 2013 dengan keluhan utama kejang berulang sejak 1
minggu yang lalu. Os mengaku kejang terakhir 2 hari yang lalu disertai kehilangan kesadaran
dan mata mendelik ke atas.Dari penjelasan orang yang melihat fase kejang disertai fase tonik
dan klonik, serangan berlangsung 2-3 menit. Kejang tidak didahului demam ataupun aura,
hanya badan Os terasa panas. Os menderita serangan kejang pertama kali pada usia 4
tahun.Selain keluhan kejang Os juga mengaku menderita gangguan pendengaran telinga kiri
sejak 1 tahun yang lalu dan menurun nya daya ingat sejak 1 tahun yang lalu.Os memiliki
riwayat hipertensi (+) DM (+), riwayat alergi obat dan asma disangkal. Di keluarga ada yang
mempunyai riwayat hipertensi. Os sering mengemil makanan yang asin-asin dan jarang
berolahraga.Os saat ini sedang mengkonsumsi obat anti epilepsi, anti hipertensi dan obat
DM. Pada pemeriksaan fisik kesadaran composmentis GCS E 4 V5 M 6, tekanan darah
130/90 mmHg, denyut nadi 84x/mnt, Frekuensi Nafas 18x /mnt, Suhu36oC, Status gizi baik,
status generalis dalam batas normal. Tanda rangsang meningeal (-), refleks fisiologis (+/+),
refleks patologis (-/-), pemeriksaan pendengaran dan daya ingat terganggu. Pada pemeriksaan
motorik superior (5555/5555) dan inferior (5555/5555), pemeriksaan sensoris rangsang nyeri
(+ / +). Pemeriksaan laboratorium darah dalam GDS meningkat. Pemeriksaan EEG &
Audiometri disarankan.
VI. DIAGNOSIS KERJA
a. Diagnosis Klinis : Bangkitan umum epilepsi tipe tonik - klonik
b. Diagnosis Topis : Korteks lobus temporalis
c. Diagnosis Etiologi : Idiopatik
Diagnosis Banding :
- Tumor otak
- Gangguan metabolik / sistemik
VII. PENATALAKSANAAN
1. Farmakologi
12
- Carbamazepin
- Clobazam
- Metformin
- Amlodipin
- Mecocobalamine
- Piracetam
2. Non Farmakologi
- Hindari aktifitas berlebihan
-Hindari menonton terlalu lama
- Hindari membawa kendaraan pribadi
- Edukasi psikososial
Konsul pada dokter spesialis THT untuk penanganan gangguan pendengaran nya lebih
lanjut.
VIII. PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia
Ad sanationam : dubia ad malam
13
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak terkontrol
yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for
Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai
oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi
ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya.
Sedangkan status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit atau kejang
berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua serangan kejang.
2.2 . EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi, sekitar lima
puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara
berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara
berkembang mencapai 100/100,000.
Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan pengobatan
apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.
Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan uisa lanjut
di atas 65 tahun (81/100.000 kasus).
14
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang muncul tanpa
diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik jaringan saraf yang tidak terkontrol
baik sebagian maupun seluruh bagian otak. Keadaan ini bisa di indikasikan sebagai disfungsi
otak. Pendataan secara global ditemukan 3.5 juta kasus baru per tahun diantaranya 40% adalah
anak-anak dan dewasa sekitar 40% serta 20% lainnya ditemukan pada usia lanjut.
Gejala dan tanda klinik bangkitan epilepsi sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi
neuron kortikal yang mengalami gangguan. Loncatan elektrik abnormal sebagai pencetus
serangan sangat sering berasal dari neuron-neuron kortikal. Faktor lain yang ikut berperan dalam
terjadinya bangkitan adalah ketidakseimbangan neurotransmiter eksitasi dan inhibisi, dan
gangguan saluran ion di reseptor yang berperan terhadap kegiatan eksitatorik neurotransmiter.
Ikatan eksitatorik dengan reseptor terkait akan membuka pintu untuk masuknya ion kalsium yang
berlebihan kedalam sel sebagai penyebab dari kematian sel yang berdampak pada kualitas otak
dalam hal ini fungsi hipokampus dan korteks serta mengarah pada gangguan perilaku termasuk
bunuh diri
2.3. ETIOLOGI
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
1) Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari penderita epilepsi
anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia > 3
tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat – alat
diagnostik yang canggih kelompok ini makin kecil
2) Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya :
post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolik, malformasi
otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak,
toksik (alkohol,obat), kelainan neurodegeneratif.
3) Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk
disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik
2.4. KLASIFIKASI
Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League Against Epilepsy
(ILAE) 1981:
15
I . Kejang Parsial (fokal)
A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala sensorik
3. Dengan gejala otonomik
4. Dengan gejala psikik
B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan automatisme
2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
a. Dengan gangguan kesadaran saja
b. Dengan automatisme
C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-klonik, tonik atau
klonik)
1. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
2. Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
3. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan berkembang
menjadi kejang umum
II. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
A. Absens
B. Mioklonik
C. Tonik
D. Atonik
E. Klonik
F. Tonik-klonik
III. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan
Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 :
I. Berkaitan dengan letak fokus
A. Idiopatik
16
Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
Childhood epilepsy with occipital paroxysm
B. Simptomatik
Lobus temporalis
Lobus frontalis
Lobus parietalis
Lobus oksipitalis
II. Epilepsi Umum
A. Idiopatik
Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
Benign myoclonic epilepsy in infancy
Childhood absence epilepsy
Juvenile absence epilepsy
Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
Other generalized idiopathic epilepsies
B. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik
West’s syndrome (infantile spasms)
Lennox gastaut syndrome
Epilepsy with myoclonic astatic seizures
Epilepsy with myoclonic absences
C. Simtomatik
Etiologi non spesifik
Early myoclonic encephalopathy
Specific disease states presenting with seizures
2.5. PATOFISIOLOGI
17
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada
sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan
depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran
aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih
stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi
dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter
inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh
kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan
istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan
polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan
melepas muatan listrik.
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu
fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan
ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas
muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh
sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas
serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi.
Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga
sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-
menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu
serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting
untuk fungsi otak.
18
Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. 2000
2.6 GEJALA
Kejang parsial simplek, seranagan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami
gejala berupa:
- “deja vu”: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.
- Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan
- Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubih
tertentu.
- Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu
- Halusinasi
19
Kejang parsial (psikomotor) kompleks, serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas
dan biasanya bertahan lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar
tidak akan mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi:
- Gerakan seperti mencucur atau mengunyah
- Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan pakaiannya
- Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam keadaan
seperti sedang bingung
- Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang
- Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal), merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana
terdapat dua tahap: tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan
jenis ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa
didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa:
merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat:
kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak
tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik: terjaadi
kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak
dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun
ingin tidur setelah serangan semacam ini.
20
2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis.
2.7.1 Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis
menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan obat-obatan tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
a) Pola / bentuk serangan
b) Lama serangan
c) Gejala sebelum, selama dan paska serangan
d) Frekueensi serangan
e) Faktor pencetus
f) Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g) Usia saat serangan terjadinya pertama
h) Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
i) Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
21
j) Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2.7.2 Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti
trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau
difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan
umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anakanak pemeriksa harus memperhatikan
adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh
dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
2.7.3 Pemeriksaan penunjang
a) Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis
epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG
dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan
umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal:
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike) , dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal.
b) Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber
serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan
EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada.
Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum
22
diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan
lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan
operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat
struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl
lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk membantu terapi pembedahan.
VIII. TERAPI
Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien. Prinsip terapi
farmakologi epilepsi yakni:
OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimal dua kali
bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah mengetahui tujuan pengobatan dan
kemungkinan efek sampingnya.
Terapi dimulai dengan monoterapi
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan
tidak terkontrol dengan dosis efektif.
Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan,
ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE
pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.
Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi
dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila kemungkinan
kekambuhan tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG, terdapat riwayat
epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala disertai penurunan kesadaran, bangkitan
pertama merupakan status epileptikus.
Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :
Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA)
23
Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi kponduksi ion: Na+, Ca2+, K+, dan Cl-
atau aktivitas neurotransmiter.
Epilepsi yang merupakan penyakit saraf kronik kejang masih tetap merupakan problem
medik dan sosial. Masalah medic yang disebabkan oleh gangguan komunikasi neuron bisa
berdampak pada gangguan fisik dan mental dalam hal gangguan kognitif.
Dilain pihak obat-obat antiepilepsi juga bisa berefek terhadap gangguan kognitif. Oleh
sebab itu pertimbangan untuk pemberian obat yang tepat adalah penting mengingat efek obat
yang bertujua untuk menginhibisi bangkitan listrik tapi juga bisa berefek pada gangguan memori.
Levetirasetam salah satu obat antiepilepsi mempunyai keistimewaan dalam hal ikatan dengan
protein SVA2 di presinaptik. Selain itu sampai sekarang ini belum ditemukan efek gangguan
kognitif dan dapat digunakan pada penderita epilepsy yang mengidap penyakit termasuk ansietas
dan depresi.
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka mendasar pada
beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan potensi efek inhibisi seperti
GABA dan menginhibisi transmisi eksitatorik glutamat.6,7 Sekarang ini dikenal dengan
pemberian kelompok inhibitorik GABAergik. Beberapa obat antie- pilepsi yang dikenal sampai
sekarang ini antara lain karbamazepin (Tegretol), klobazam (Frisium), klonazepam (Klonopin),
felbamate (Felbatol), gabapentin (Neurontin), lamotrigin
(Lamiktal), levetirasetam (Keppra), oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital (Luminal), fenitoin
(Dilantin), pregabalin (Lyrica), tiagabine (Gabitril), topiramat (Topamax), asam valproat
(Depakene, Convulex) (Brodie and Dichter, 1996).10 Protokol penanggulangan terhadap
status epilepsy dimulai dari terapi benzodiazepine yang kemudian menyusul fenobarbital atau
fenitoin. Fenitoin bekerja menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblok
loncatan listrik.
Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai
efek samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap gangguan
kognitif ringan dan sedang. Melihat banyaknya efek samping dari obat antiepilepsi maka
memilih obat secara tepat yang efektif sangat perlu mengingat bahwa epilepsi itu sendiri berefek
pada kerusakan atau cedera terhadap jaringan otak. Glutamat salah satunya yang berpotensi
terhadap kerusakan neuron sebagai activator terhadap reseptor NMDA dan reseptor alpha-
amino-3-hydroxy-5-methyl-4isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor
24
NMDA dan AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang bisa
menstimulasi kematian dari sel.
Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan antiepilepsi yang
banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam penelitian lanjut. Levetirasetam
adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di
vesikel sinaptik yang mempunyai mekanisme berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan
dengan receptor NMDA dan AMPA yakni glutamat dan GABA). Pada hewan percobaan
ditemukan bahwa potensi levetirasetam berkorelasi dengan perpaduan ikatan obat tersebut
dengan SVA2 yang menimbulkan efek sebagai antiepilepsi.
Dari data penelitian ditemukan bahwa levetiracetam dapat digunakan
pada penderita epilepsi dengan berbagai penyakit saraf sentral lainnya seperti pasien epilepsi
dengan gangguan kognitif, karena ternyata levetirasetam tidak berinteraksi dengan obat CNS
lainnya. Salah satu andalan dari levetirasetam yang berfungsi sebagai antikonvulsan adalah
dengan ditemukannya ikatan levetirasetam dengan protein SVA2. Dari beberapa penelitian
membuktikan bahwa vesikel protein SVA2 di sinaptik adalah satu-satunya protein yang
mempunyai ikatan dengan levetirasetam mendasar pada karakter serta pendistribusian molekul
protein sebagai antikonvulsan. Keadaan ini terbukti pada hewan percobaan bahwa pemberian
levetirasetam yang analog dengan protein SVA2 di vesikel berpotensi sebagai antikonvulsan.
Sedangkan jika pasien sedang mengalami serangan sikap kita adalah jangan panik ,
Biarkan serangan berlalu karena serangan akan berhenti dengan sendirinya , amankan penderita
dari lingkungan yang membahayakan penderita, longgarkan pakaian yang ketat, posisi kepala
dimiringkan (bila kejang sudah berhenti), serta bila serangan berkepanjangan: kirim ke RS
Nama obat Dosis/kgBB ESO
Fenobarbital 2-5 mg/kgBB/Hari Mengantuk
Difenilhidantoin [DFH]
(Phenitoin,Dilantin)
4-10mg/kgBB 1-2dd Sedasi, nistagmus,
ataksia
Karbamazepin (Tegretol,
temporol)
400-1600mg/kgBB /hari Efek psikotropik
Diazepam
(valium,stesolid)-status
epilepsi
25
Penghentian pemberian OAE
Pada OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun bebas serangan .
Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai berikut:
Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah
minimal 2 tahun bebas bangkitan
Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap
bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE
yang bukan utama
VIII. ASPEK SOSIAL
Cenderung dikucilkan dari lingkungan, cenderung ditolak untuk sekolah
Sulit mencari pekerjaan, merupakan aib bagi keluarga, menurunkan rasa percaya diri sertalebih
mudah mengalami cedera
Mengenai kesempatan bekerja pada dasarnya tidak ada larangan untuk bekerja bagi
penderita epilepsi hanya pekerjaan disesuaikan dengan jenis serangan dan penderita harus
paham tentang penyakit yang dideritanya. Satu lagi yaitu dukungan positip dari keluarga dan
lingkungan kerja
Menikah adalah hak azasi manusia, perhatian lebih khusus pada penderita perempuan
(menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui), Suami-isteri harus selaras, keputusan pahit adalah
menunda kehamilan
Mengenai mengemudi ada prasyarat yang harus dipenuhi penderita. Yaitu sifatnya
sangat terbatas. Lebih aman apabila penderita tidak mengemudi kendaraan (bermotor). Penderita
harus memahami kondisinya sendiri secara jujur
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In : Kapita
Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 2005. p119-127.
2. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder, Pediatric Neurology:
Essentials for General Practice. 1st ed. 2007
3. Octaviana F. Epilepsi. In: Medicinus Scientific Journal of pharmaceutical development
and medical application. Vol.21 Nov-Des 2008. p.121-2.
4. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and Therapy in
Children and Adults.2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd. 2005
5. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed: 6.
Jakarta: EGC
6. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.
7. Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 2005
27