Sumber-sumber Kaidah Fiqhiyyah

27
QO’IDAH DAN KEDUDUKANNYA DI DALAM SYARA’ MAKALAH Diajukan untuk salah satu tugas mata kuliah: Aplikasi Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Istinbath Hukum Dosen Pembimbing: Dr. H. Sutrisno, RS, M.Ag Oleh: Mujib Iriyanto (08 3911013) Subhan (08 3911014) PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

description

Sumber-sumber Kaidah Fiqhiyyah

Transcript of Sumber-sumber Kaidah Fiqhiyyah

Page 1: Sumber-sumber Kaidah Fiqhiyyah

QO’IDAH DAN KEDUDUKANNYA DI DALAM SYARA’

MAKALAH

Diajukan untuk salah satu tugas mata kuliah: Aplikasi Qawa’id Fiqhiyyah Dalam

Istinbath Hukum

Dosen Pembimbing:

Dr. H. Sutrisno, RS, M.Ag

Oleh:

Mujib Iriyanto (08 3911013)

Subhan (08 3911014)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

PROGRAM PASCA SARJANA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JEMBER

APRIL 2013

Page 2: Sumber-sumber Kaidah Fiqhiyyah

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang mengelompokkan

masalah-masalah fiqih spesifik menjadi beberapa kelompok, juga merupakan

pedoman yang memudahkan penyimpulan hukum bagi suatu masalah, yaitu dengan

cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dibawah satu kaidah.

Berhubung hukum fiqih lapangannya luas, meliputi berbagai peraturan dalam

kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan khaliknya, dan hubungan

manusia dengan sesama manusia. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan

situasi tertentu, maka mengetahui kaidah-kaidah yang juga berfungsi sebagai

pedoman berfikir dalam menentukan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya,

adalah perlu sekali.

Jika dikaitkan dengan kaidah-kaidah ushulliyah yang merupakan pedoman

dalam mengali hukum islam yang berasal dari sumbernya, Al-Qur’an dan Hadith,

kaidah Fiqhiyah merupakan kelanjutannya, yaitu sebagai petunjuk operasional dalam

peng-istimbath-an hukum islam. Kaidah Fiqhiyah disebut juga sebaagai Kaidah

Syari’iyah

Adapun tujuannya adalah untuk memudahkan Mujtahid dalam meng-

istimbath-kan hukum yang sesuai dengan tujuan syara dan kemaslahatan manusia.

Sementara Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa

kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapat kemashalatan dan

menolak kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua hal tersebut.

Page 3: Sumber-sumber Kaidah Fiqhiyyah

2

B. Rumusan Masalah

Agar supaya pada pembahasan kali ini tidak melebar dan fokus, maka penulis

merumskan sebuah rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Definisi Qaidah Fiqhiyyah?

2. Jelaskan Macam-macam dan Tingkatannya?

3. Bagaimana Sumber-sumber Qaidah Fiqhiyyah?

4. Bagaimana Kehujjahan dan Kegunaan Qaidah Fiqhiyyah?

5. Dan Bagaimana Urgeninya dalam istinbath hukum?

C. Tujuan Pembahasan

Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan Definisi Qaidah Fiqhiyyah.

2. Menjelaskan Macam-macam dan Tingkatannya.

3. Mendeskripsikan Sumber-sumber Qaidah Fiqhiyyah.

4. Mendeskripsikan Kehujjahan dan Kegunaan Qaidah Fiqhiyyah.

5. Dan mendeskripsikan Urgeninya dalam istinbath hukum.

Page 4: Sumber-sumber Kaidah Fiqhiyyah

3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Kata Qawa’id merupakan bentuk jama' dari kata Qaidah, dalam istilah bahasa

Indonesia dikenal dengan kata 'Kaidah' yang berarti aturan atau patokan. Dalam

tinjauan terminologi kaidah mempuyai beberapa arti. Ahmad asy-Syafi‘i dalam

bukunya ushul fiqh al-islami menyatakan bahwa kaidah adalah:

كثيرة جزئيات حكم منها واحدة كل تحت يندرج التى الكلية القضايا

"Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz‘i yang banyak".1

Sedangkan bagi mayoritas ulama ushul mendefinisikan kaidah dengan:

جزئياته جميع على ينطبق كلي حكم

"Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagian-bagiannya“.

Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah  ialah : dasar-dasar fiqih yang

bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukum-

hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam

ruang lingkup kaidah tersebut.2

Para fuqoha pada umumnya memberikan pengertian bahwa yang dimaksud

dengan kaidah fiqhiyyah ialah hukum kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada

semua bagian-bagiannya atau cabang-cabangnya.3 Dari pengertian di atas dapat

diketahui bahwa setiap Qidah Fiqhiyyah telah mengatur dan menghimpun beberapa

banyak masalah fiqh dari berbagai bab dan juga diketahui bahwa para fuqoha’ telah

benar-benar mengembalikan masalah-masalah hukum fiqh kepada kaidah-kaidahnya.4

1 Ahmad Muhammad Asy-Syafii, Ushul Fiqh Al-Islami (Iskandariyah Muassasah Tsaqofah Al Jamiiyah, 1983), 4.

2 Abd . Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta, 133 Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih (al-Qowaidul al-Fiqhiyyah), Kalam Mulia : Jakarta4 Ibid,

Page 5: Sumber-sumber Kaidah Fiqhiyyah

4

Maka, Qawaidul fiqhiyah  (kaidah-kaidah fiqih) adalah sesuatu yang sangat

penting dan menjadi kebutuhan bagi kaum Muslim. Akan tetapi tidak sedikit orang

yang kurang memahami tentang hal ini, untuk itu perlu kiranya bagi kaum muslim

untuk mempelajari dan mengkaji ulang ilmu ini. Dengan menguasai kaidah-kaidah

fiqih seorang muslim akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqih, karena

kaidah fiqih itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih. Selain itu juga akan

menjadi  lebih arif dalam menerapkan fiqih pada waktu dan tempat yang berbeda

untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Dengan mempelajari kaidah

fiqih, diharapkan pada akhirnya juga bisa menjadi lebih moderat dalam menyikapi

masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, budaya sehingga kaum muslim bisa

mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam

masyarakat dengan lebih baik.5

B. Macam-Macam Qa’idah Fiqhiyyah

1. Qa’idah fiqh menurut fungsinya

Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan

marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki

cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra

al-Asasiyyat, umpamanya :

”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum” kaidah ini

mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya : ”Sesuatu

yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat”,

”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”

Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang

cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu.

2. Qa’idah fiqh mustasnayat

Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian. Kaidah

5 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqih). PT Raja Grafindo : Jakarta, 319

Page 6: Sumber-sumber Kaidah Fiqhiyyah

5

fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW.

Umpamanya adalah: ”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan

kepada tergugat”. Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian

kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.

3. Kaidah fiqh segi kwalitasnya

- Kaidah kunci

Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada

dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu : ”Menolak kerusakan

(kejelekan) dan mendapatkan maslahat”. Kaidah diatas merupakan kaidah kunci,

karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan

dan dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.

- Kaidah asasi

Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran

hukum islam. Kaidah fiqh tersebut adalah : ”Perbuatan/ perkara itu bergantung pada

niatnya”, ”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”. ”Kesulitan mendatangkan

kemudahan”

”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”.6

C. Sumber-sumber dan Kehujjahan Qa’idah Fiqhiyyah

Menurut riwayat Al-ala’i al-Syafi’i, al-Suyuthi, dan ibn al-Nujaim

mengatakan bahwa Abu Thahir al-Dabbas (ulama abad 4H) telah mengumpulkan 17

kaidah penting dalam madzhab Hanafi. Dalam melestarikan kaidah tersebut, Abu

Thahir al-Dabbas menghafalnya secara berulang-ulang pada setiap malam dimasjid

setelah pengunjung masjid lainnya keluar.

Pada suatu malam, Abu Thahir al-Dabbas menutup masjid karena pengunjung

masjid telah pulang. Dan ketika itu Abu Sa’id al-Harawi bersembunyi dibawah

tumpukan tikar masjid untuk mendengar hafalan kaidah fiqh Abu Thahir al-Dabbas.

Ketika Abu Thahir al-Dabbas telah menghafal sebagian kaidah fiqh yang

6 Tri Winarsih, Kaidah-kaidah Fiqhiyyah, (http://annajma92.blogspot.com/2012/04/kedudukan-kaidah-fiqhiyah-sebagai.html), diakses tanggal 05 April 2013

Page 7: Sumber-sumber Kaidah Fiqhiyyah

6

dikuasainya. Kemudian Abu Sa’id al-Harawi batuk dan Abu Thahir al-Dabbas

mendengarnya. Akhirnya Abu Sa’id al-Harawi dipukul dan dikeluarkan dari masjid

oleh Abu Thahir al-Dabbas dan setelah kejadian itu Abu Thahir al-Dabbas tidak

pernah mengulangi hafalannya tersebut.

Adapun kaidah-kaidah fiqh Abu Thahir al-Dabbas yang berhasil dihafal Abu

Sa’id al-Harawi adalah lima kaidah pokok, yaitu:7  

1) Kaidah yang Berkaitan Dengan Fungsi Tujuan

a) Teks kaidahnya:

,م*ق*اِص,د,َه*ا ِب /م/ْو0ر/ اُاْل0

 “Setiap perkara tergantung pada tujuannya.”

b) Dasar-dasar nash kaidah

Firman Allah SWT:  

*َف*اَء* ن ح/ الد6يَن* *ه/ ل ل,ِص,يَن* م/ْخ0 9ه* الل /د/وا *ْع0ب ,ي ل ,ُاْل9 ِإ وا م,ر// ُأ و*م*ا

Artinya : “Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus (jauh dari syirik dan jauh dari kesesatan)”. (QS. Al-Bayyinah: 5)

Dan dalam Sabda Nabi Muhammad SAW:

مانْوي امرئ لكل وِإنما ِبالنيات األعمال ِإنما

Artinya:“(Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati).”

c)      Eksistensi niat

Para fuqaha” berbeda pendapat dalam mendudukkan niat. Imam Abu Hanifah

dan imam ahmad bin hambal mendudukkan niat sebagai syarat perbuatan. Sedang

imam syafi’I mendudukkan niat sebagai rukun perbuatan. Syarat adalah ketentuan

yang harus dilakukan mukallaf sebelum terjadinya perbuatan, sedangkan rukun

adalah ketentuan yang harus dilakukan  bersama dengan perbuatan.

7 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 64

Page 8: Sumber-sumber Kaidah Fiqhiyyah

7

Jalaludin abdurrahman as syuyuti  menyatakan bahwa waktu niat adalah

dipermulaan ibadah. sedangkan tempatnya didalam qolb (Amaliyah Qolbiyah) yang

bersamaan dengan perbuatan (Amaliyah Fi’liyah).

Pada dasarnya ibadah itu ada yang membutuhkan niat adapula yang tidak

membutuhkannya. Ibadah yang membutuhkan niat adalah ibadah yang amaliyah yang

memerlukan penjelasan secara khusus, misalnya niat shalat, apakah shalat wajib atau

sunah. Dan ibadah yang tidak membutuhkan niat, karena bukan ibadah amaliyah yang

diperintahkan secara adat, misalnya iman kepada Allah cukup dilakukan dengan

bacaan syahadatain, sedang setiap hari tidak perlu melakukan niat bila beriman

kepada Allah SWT.8

2) Kaidah yang Berkenaan Dengan Keyakinan

a) Teks kaidahnya:

0َن/ *ق,ي 0ي *ل ال/ ُاْل ا /ز* ,ا ي ِّك6 ِب لَّش9

“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.”

Yang dimaksud yakin adalah

0َن/ *ق,ي 0ي *ل *اَن* َه/ْو* ا Eا م*اك ,ت *اِب ,ا َث 9ْظ0ر, ِب 0ل/ لن ,ي و*الد9ل

 “Sesuatu yang tetap , baik dengan penganalisaan maupun dengan dalil”.

Sedangkan yang dimaksud dengan syak adalah

Hِّك *اَن* َه/ْو* ال0َّش9 ًد6ًدEا م*اك *ر* 0َن* م/ت *ي /ْو0ت, ِب Hب او,ى م*ع* و*ع*د*م,ه, الث *َس* َف*ى0 ت 0ْخ*ط*اَء, َط*ر* ,ْو*ال 0ِح, ًد/و0َن* الِص9ْو*اِب ي ج, *ر0  ت

*ح*د,َه,م*ا َخ*ر, ع*ل*ى ا* األ

“Sesuatu yang tidak menentu antara ada dan tiadanya, dan dalam ketidaktentuan itu sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya.”

b) Dasar-dasar nash kaidah

Sabda Nabi SAW:

د* ,َذ*او*ج* /م0 ِإ *ح*د/ك ,ه, َف,ى ا *ط0ن Eا ِب 0ًئ ي *ل* َش* ك *َش0 0ه, َف*َأ *ي ج* ع*ل *َخ*ر* 0ه/ ا 0ٌئT م,ن ي *ْم0 َش* ج*َن9 ُاْل ا *ْخ0ر/ د, م,َن* َف*الي ِج, 0م*َس0  ال

م*ع* ح*ت9ى *َس0 Eا ي د* ِص*ْو0ت *ِج, *و0ي ا. ا E0ح (مَسلم رواه)  ر,ي

8 Mukhlis Usman, Kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), cet. 3,  105

Page 9: Sumber-sumber Kaidah Fiqhiyyah

8

“Apabila seorang diantara kalian menemukan sesuatu didalam perut kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah keluar dari masjid sehingga mendengar suara atau mendapatkan   baunya.”( HR. Muslim)

,َذ*ا ِّك9 ِإ د/ َش* *ح* /م0 ا ,ه, َف,ى ك *م0 ِص*الت *د0ر, َف*ل *م0 ي Eا ُأ ِص*لZى ك *الَث *و0 َث *اعEا ا ِب *ر0 ِّكH ا ح,الَّش9 *ط0ر* 0ي 0َن, َف*ل *ب 0ي  م*ا ع*ل*ى و*ل

0ق*َن* *ي ت (الترمذى رواه )ْس0

“Apabila salah seorang diantara kalian ragu dalam mengerjakan shalat, tidak tahu berapa rakaat yang telah dikerjakan tiga ataukah empat rakaat, maka buanglah keragu-raguan itu dan berpeganglah kepada apa yang diyakini (yang paling sedikit.”( HR. Thurmudhi).

Pada kedua dalil itu disebutkan bahwa keyakinan tidak dapat dihilangkan

dengan keraguaan. Misalnya seseorang ragu-ragu berapa raka’at yang ia lakukan

dalam shalatnya, maka yang yakin adalah rakaat yang paling sedikit, karena yang

paling sedikit itu yang yakin sedang yang paling banyak merupakan yang diragu-

ragukan.9

c) Pembagian syak

Abu hamid al-Asfiroyini menyebutkan bahwa syak (keraguan) itu terdapat 3

macam, yaitu:

- Keragu-raguan yang berpangkal dari yang haram.

Macam keraguan ini dicontohkan khusus penyembelihan binatang dinegara

yang penduduknya islam dan majusi, maka sembelihan itu haram dimakan, karena

pada dasarnya hal tersebut haram, sehingga diketahui benar-benar bahwa yang

menyembelih adalah seorang muslim, atau diketahui bahwa umumnya yang

menyembelih binatang disitu adalah orang muslim.

- Keragu-raguan yang berpangkal dari yang mubah.

Contoh keraguan ini adalah kasus seseorang yang menemukan air yang telah

berubah, perubahan itu ada 2 kemungkinan, bisa karena najis dan bisa juga karena

sudah lama, maka air dapat dibuat bersuci sebab pada dasarnya air itu suci.

- Keragu-raguan yang tidak diketahui pangkal asalnya.

9 Ibid, 114-115

Page 10: Sumber-sumber Kaidah Fiqhiyyah

9

Contoh keraguan ini adalah kasus bekerja dengan orang yang modalnya

sebagian besar haram. Dan tidak dapat dibedakan antara modal yang haram dan yang

halal. Kondisi semacam ini diperbolehkan jual beli karena dimungkinkan modalnya

halal dan belum jelas keharaman modal tersebut, namun dikhawatirkan karena itu

hukumnya makruh.

3) Kaidah yang Berkenaan Dengan Kondisi Menyulitkan

a) Teks kaidahnya:

ق9ة/ 0م*َّش* ل,ُب/ ال *ِج0 ر/ ت 0َس, 9ي الت

“Kesukaran itu dapat menarik kemudahan”.

b) Dasar-dasar nash kaidah

Firman Allah:

/م0…. َه*د*اك م*ا *̂ى ع*ل 9ه* الل وا 6ر/ *ب /ك ,ت و*ل 0ْع,د9ة* ال /ْوا 0م,ل /ك ,ت و*ل ر* 0ْع/َس0 ال /م/ ,ك ِب /ر,يد/ ي و*ُاْل* ر* /َس0 0ي ال /م/ ,ك ِب 9ه/ الل /ر,يد/ ي

وَن* /ر/ ك *َّش0 ت /م0 9ك *ْع*ل و*ل

Artinya: “….Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki

kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah

kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya

kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah:185)

Dan dalam Sabda nabi SAW:

( البْخارى ( رواه م0ح*ة/ الَس9 0َف*ة/ ,ي ن 0ح* ال الله, ,ل*ى ا 0َن, الد6ي Hح*ُب* ا Tر /َس0 ي 0َن/ الد6ي

“Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar

dan mudah”. (HR Bukhori)

c) Rasionalisasi kemudahan dalam islam

Allah SWT sebagai musyari’ memiliki kekuasaan yang tiada tara, dengan

kekuasaannya-Nya itu dia mampu menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi

kepadanya. Agar dalam realisasi penghambaan itu tidak terjadi kekeliruan maka dia

membuat aturan-aturan khusus yang disebut sebagai syari’ah demi kemashlahatan itu

sendiri. Tentunya syari’ah itu disesyuaikan dengan tingkat kemampuan dan potensi

Page 11: Sumber-sumber Kaidah Fiqhiyyah

10

yang dimiliki seorang hamba, karena pada dasarnya syari’ah itu bukan untuk

kepentingan tuhan melainkan untuk kepentingan manusia sendiri.10

d) Klasifikasi kesulitan

Wahbah Az- Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan dalam 2 kategori:

- Kesulitan Mu’tadah adalah kesulitan yang alami, dimana manusia mampu

mencari jalan keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan.

- Kesulitan Ghoiru Mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan ,

dimana manusia tidak mampu memikul kesulitan itu, karena jika ia

melakukannya niscaya akan merusak diri dan memberatkan kehidupannya.

e) Bentuk-bentuk keringanan dalam kesulitan

Syekh Izzudin bin Abdis Salam menyatakan bahwa bentuk-bentuk keringanan

dalam kesulitan itu ada enam macam, yaitu:

- Tahfitul isqoth (meringankan dengan menggugurkan) misal menggugurkan

kewajiban shalat jum’at jika ada udzur.

- Tahfitul tanqish (meringankan dengan mengurangi) misal bolehnya

mengqoshor shalat dari 4 raka’at menjadi 2 raka’at.

- Tahfitul ibdal (meringankan dengan mengganti) misal mengganti wudhu

dengan tayamum.

- Tahfitul taqdim (meringankan dengan mendahulukan waktunya) misalnya

kebolehan melakukan jama’ taqdim ketika shalat.

- Tahfitul ta’khir ( meringankan dengan mengakhirkan waktu) misal bolehnya

melakukan jama’ ta’khir dalam shalat.

- Tahfitul tarkhis (meringankan dengan kemurahan) misal bolehnya

menggunakan benda najis  atau khomr untuk keperluan berobat.11

4) Kaidah yang Berkenaan Dengan Kondisi Membahayakan

a) Teks kaidahnya:

ار/ ال/ الض9ر* /ز* ي

10 Ibid, 122-12411 Ibid, 130-131

Page 12: Sumber-sumber Kaidah Fiqhiyyah

11

“Kemadharatan harus dihilangkan”

Kaidah ini adalah suatu kaidah pokok yang dari kaidah tersebut merujuklah

sebagian besar masalah-masalah fiqh dan diistinbathkannya berbagai hukum.12

b) Dasar-dasar nash kaidah

Firman Allah SWT :

د,يَن*   0م/َف0َس, ال Hح,ُب/ ي ُاْل* 9ه* الل ,َن9 ِإ

Artinya:“Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat

kerusakan.”(QS. Al Qoshosh: 77)

Dan Sabda nabi SAW:

ار* *ِض,ر* و*ُاْل ر* *ِض*ر* ُاْل

“Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada

orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

c) Perbedaan antara masyaqot (kesulitan) dengan darurat

Masyaqqot adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan

(hajat) tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak akan membahayakan eksistensi

manusia. Sedangkan darurat adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi

manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab,

harta serta kehormatan manusia. 

Contoh kaidah diatas yaitu bahwa darah para pejuang islam ketika perang

dianggap suci untuk dipakai shalat, tetapi bila mengenai orang lain dianggap najis.

5) Kaidah yang Berkenaan Dengan Adat Kebiasaan

a) Teks kaidahnya:

0ْع*اًد* *ل *م*ةT ة/ ا م/ح0ك

“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum.”

b) Dasar-dasar Nash Kaidah

Firman Allah SWT:

,يَن* اَه,ل 0ِج* ال ع*َن, ع0ر,ْض0* و*ُأ 0ْع/ر0ِف, ,ال ِب م/ر0

0 و*ُأ 0ْع*َف0ْو* ال َخ/ذ,

12 Teungku Muhammad Hasby As Shidieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997), 364

Page 13: Sumber-sumber Kaidah Fiqhiyyah

12

Artinya:“Dan serulah orang-orang yang mengerjakan yang ma’ruf serta

berpalinglah dari orang yang bodoh.” (QS. Al A’raf: 199)

Sabda Nabi SAW:

/َخ0ر*ى ا *ْع0د* ِب Eة م*ر9 0ه, *ي ,ل و*ع*اًد/و0اا 0م*ْع0ق/ْو0ل, ال , 0م ح/ك ع*ل*ى 0ه, *ي ع*ل 9اُس/ الن *م*ر9 ت اْس0 م*ا 0ْع*اًد*ة/ ال

“apa yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula disisi Allah.” (HR.

Ahmad)

c) Pengertian adah dan ‘uruf

Jumhur ulama’ mengidentikkan ‘adah dengan ‘uruf keduanya mempunyai arti

yang sama. Namun sebagian fuqoha’ membedakannya. Al Jurjani misalnya

mendefinisikan ‘adah yaitu suatu perbuatan yang terus-menerus dilakukan manusia,

karena logis dan dilakukan secara terus-menerus. Sedangkan ‘urufyaitu suatu

perbuatan yang jiwa merasa tenang melakukannya, karena sejalan dengan akal sehat

dan diterima oleh banyak orang.

Misal ‘uruf/’adah yaitu menggunakan kalender haid bagi wanita, setiap bulan

seorang wanita mengalami menstruasi dan cara perhitunganya ada yang

menggunakan metode tamyiz (yakni membedakan darah kuat dan darah lemah, dan

yang kuat dianggap darah haid) dan ada juga metode ‘adah ( yakni menganggap haid

atas hari-hari kebiasaan keluarnya darah tiap bulan). Bagi Imam Hanafi mewajibkan

penggunaan metode ‘adah sedang imam Syafi’I menguatkan metode tamyiz.13

D. Kegunaan Qa’idah Fiqhiyyah

Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibn Abbas Salam menyatakan bahwa Kaidah

Fiqhiyah mempunyai kegunaan sebagai suatu jalan untuk mendapat suatu

kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua hal

tersebut. Sedangkan Al-Qarafi dalam al-Furu’nya menulis bahwa seorang fiqh tidak

akan besar pengaruhnya tanpa berpegang kepada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak

berpegang pada kaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak bertentangan dan berbeda

antara furu-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah

menguasai furu’-furu’nya.

13 Mukhlis Usman, Op.Cit., 140-142

Page 14: Sumber-sumber Kaidah Fiqhiyyah

13

Lebih lanjut berbicara tentang kegunaan Kaidah Fiqhiyah ini adalah

sebagaimana disebutkan oleh Ali Ahmad al-Nadwi sebagai berikut:

1) Mempermudah dalam menguasai materi hukum karena kaidah telah dijadikan

patokan yang mencakup banyak persoalan.

2) Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak

diperdebatkan, karena kaidah dapat mengelompokkan persoalan-persoalan

berdasarkan illat yang dikandungnya.

3) Mendidik orang yang berbakat fiqih dalam melakukan analogi (ilhaq) dan

takhrij untuk mengetahui hukum permasalahan-permasalahan baru.

4) Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami)

bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari thema yang berbeda-

beda serta meringkasnya dalam satu topik tertentu.

5) Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hukum

dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau

menegakkan maslahat yang lebih besar.

6) Pengetahuan tentang kaidah merupakan kemestian karena kaidah

mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam.

Demikian kegunaan kaidah yang disampaikan oleh Ali Ahmad al-Nadwi.

Secara sederhana, kegunaan kaidah fiqh adalah sebagai pengikat (ringkasan) terhadap

beberapa persoalan fiqh. Menguasai suatu kaidah berarti menguasai sekian bab fiqh.

Oleh karena itu, mempelajari kaidah dapat memudahkan orang yang berbakat fiqh

dalam menguasai persoalan-persoalan yang menjadi cakupan fiqh.14

E. Urgensi Qa’idah Fiqhiyyah

Qa’idah Fiqhiyyah dikatakan penting dilihat dari dua sudut :

1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk

memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami

14 Ahmad Supardi Hasibuan, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (http://riau.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=10117), diakses tanggal 05 April 2013

Page 15: Sumber-sumber Kaidah Fiqhiyyah

14

beberapa nash, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu

persoalan;

2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang

sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai

salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada

ketentuan atau kepastian hukumnya.

Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash tasyrik

telah mensyariatkan hokum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai

perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telh sempurna dengan adanya

nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang

kulli yang tidak terbatas suatu cabang undang-undang.15

Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi

berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’

menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para

mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah,

yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.

Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam

menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jlan untuk

mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi

kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang

fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika

tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil ijtihatnya banyak pertentangan dan

berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya

mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.

15 Abdul Wahab Khallaf, Op. Cit.

Page 16: Sumber-sumber Kaidah Fiqhiyyah

15

BAB III

PENUTUP

Dari penjelasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa qawaid fiqhiyah

ialah hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagian-

bagiannya. Perbedaan qawaid fiqhiyah dengan dhawabit fiqhiyah ialah cakupan

dhabith fiqhiyah lebih sempit dari cakupan qawaidh fiqhiyah dan pembahasan qawaid

fiqhiyah tidak dikhususkan pada satu bab tertentu, lain halnya dengan dhabith

fiqhiyah.

Perbedaan qawaid fiqhiyah dengan ushul fiqh ialah , qawaid ushuliyyah

adalah himpunan sejumlah persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat

dipakai untuk menetapkan hukum. Sedangkan qawaid fiqhiyah merupakan himpunan

sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah

cakupannya semata. Penggunaan masing-masing kaidah tersebut selalu berkaitan,

tidak dapat berdiri sendiri, mengingat kaidah ushuliyah memuat pedoman penggalian

hukum dari sumber aslinya sedang kaidah fiqhiyah merupakan petunjuk pelaksana

dari kaidah ushuliyah tersebut.

Pentingnya qawaid fiqhiyah karna kaidah fiqh ini merupakan media bagi

peminat fiqh Islam dalam menguasai Maqashid Syariah, dan juga merupakan cakupan

persoalan yang sudah maupun belum terjadi. Tujuan mempelajari kaidah fiqh itu

untuk mempermudah dalam mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan sebagainya.

Dasar pengambilan qawaid fiqhiyah terbagi pada dua yakni: dasar formil dan dasar

materiil.

Page 17: Sumber-sumber Kaidah Fiqhiyyah

16

DAFTAR PUSTAKA

Abd . Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta, 13Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih (al-Qowaidul al-Fiqhiyyah), Kalam Mulia :

JakartaAbdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqih). PT Raja

Grafindo : Jakarta, 319Ahmad Muhammad Asy-Syafii, Ushul Fiqh Al-Islami (Iskandariyah Muassasah

Tsaqofah Al Jamiiyah, 1983), 4.Ahmad Supardi Hasibuan, Kaidah-kaidah Hukum Islam,

(http://riau.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=10117), diakses tanggal 05 April 2013

Arifin, Miftahul, Ushul Fiqh : Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, Surabaya: Citra Media, 1997

Bakry, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.Kementerian Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, Jakarta: Pustaka Amani, 2002.Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2002), 64Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2002Mubarok, Jaih, Sejarah dan Kaidah-Kaidah asasi, Jakarta: PT. RajaGrafindo

Persada, 2002.Muhammad Hasby As Shidieqy, Teungku, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT

PUSTAKA RIZKI PUTRA, 1997Mukhlis Usman, Kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 1999), cet. 3,  105Teungku Muhammad Hasby As Shidieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: PT

Pustaka Rizki Putra, 1997), 364Tri Winarsih, Kaidah-kaidah Fiqhiyyah,

(http://annajma92.blogspot.com/2012/04/kedudukan-kaidah-fiqhiyah-sebagai.html), diakses tanggal 05 April 2013

Usman, Mukhlis, Kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999, cet. 3