KAIDAH FIQHIYYAH DAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM Bakri... · Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam...

135

Transcript of KAIDAH FIQHIYYAH DAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM Bakri... · Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam...

  • i

    KAIDAH FIQHIYYAH DAN PEMBAHARUANHUKUM ISLAM

  • i i

  • iii

    PROF. DR. H. MUKHSIN NYAK UMAR, MA

    KAIDAH FIQHIYYAHDAN PEMBAHARUAN

    HUKUM ISLAM

    Cetakan Kedua

  • i v

    Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

    Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam, Mukhsin NyakUmar, editor, N u r d i n , Banda Aceh, W D C B a n d a A c e h , 2014

    x + 124 hlm; 14,5 x 21 cmISBN 978-602-72256-3-3

    Penulis:Prof. Dr. H. Mukhsin Nyak Umar, MA

    Editor: Dr. Nurdin,M.Ag

    Layout/Sampul:Tim Layout WDC

    Cetakan Pertama, Februari 2006Cetakan Kedua, Dzul Qa'idah 1438 / Agustus 2017

    DITERBITKAN OLEH: Yayasan WDC Banda Aceh

    Jl. TP. Nyak Makam, Pango Raya Ulee Kareng, Banda Aceh

    Telp. (0651) 8057950 email: [email protected]

    HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

  • v

    PENGANTAR PENERBIT

    Al-Qur’an dan al-Hadis adalah dalil utama fiqh.Keduanya merupakan lahan bagi para fuqaha’ dalammenghasilkan hukum fiqh. Para fuqaha menggunakanpenalaran deduktif dan induktif, sebagai sarana untukmenemukan hukum-hukum yang terkandung di dalamal-Qur’an dan al-Hadis. Pemilihan dan penggunaanmodel penalaran ini, sangat berbeda antara mazhabyang satu dengan yang lain. Oleh karenanya, perbedaanmazhab pada dasarnya tertumpu pada perbedaanmetodologi penggalian hukum.

    Ketentuan hukum yang diperoleh fuqaha’ darial-Qur’an dan hadis, terutama dari rumpun hukum taklifiumumnya ditopang oleh kaidah ushuliyah. Sedangkandalam kaitan implementasi hukum fiqh dalamkenyataan sosial, memerlukan kaidah fiqhiyyah. Kaidahfiqhiyyah adalah kaidah yang dirumuskan para ulamadari ayat al-Qur’an dan al-Hadis Rasulullah dalamrangka mencapai kemaslahatan.

    Kemaslahatan merupakan dasar utamapenyari’atan hukum Islam. Ia dapat diwujudkan bilaperangkat-perangkat penalaran digunakan secaramaksimal oleh para mujtahid. Hukum Islam memilikisifat dinamis dan sesuai dengan tuntutan danperkembangan zaman. Oleh karena itu, penggunakankaidah fiqhiyah sebagai perangkat penalaran merupakan

  • v i

    kebutuhan yang tidak dapat dihindari, demi menjagakemaslahatan manusia.

    Buku yang ada dihadapan pembaca akanmenguraikan secara komprehensif tentang peran kaidahfiqhiyyah dalam upaya pembaharuan hukumIslam.Dinamika dan perkembangan hukum sangattergantung oleh kondisi dan situasi masyarakat di manaaturan itu diterapkan. Ibn Qayyim al-Jauzimenyebutkan bahwa hukum itu, dapat berubah karenaberubahnya waktu dan tempat (taghayyur al-ahkambitaghayyur al-azminah wa al-amkinah).

    Selamat membaca, dan semoga bermafaat…

    Banda Aceh, Agustus 2017

    Penerbit

  • vii

    Alhamdulillah atas rahmat dan karunia-Nya,sehingga buku ini telah dapat diselesaikan dengan baik.Shalawat dan salam kita sampaikan kepada NabiMuhammad Saw yang telah membimbing umatmanusia dari alam kegelapan kepada alam yangberilmu pengetahuan.

    Pada dasarnya setiap hukum yang disyari’atkanAllah bertujuan mewujudkan kemaslahatan.Sehubungan dengan itu syari’ menetapkan hukumnyaberdasarkan kaidah-kaidah yang dijadikan pedomanbagi mujtahid dalam mengistinbathkan hukum.Sehingga akan memudahkan mujtahid dalam upayamenemukan hukum sesuai dengan maqashid al-syari’ah.

    Kaidah fiqhiyah sebagai sebuah metodepenemuan hukum memiliki sifat dinamis. Kedinamisanitu terlihat ketika qa’idah tersebut memberikan prinsipdasar dalam menetapkan hukum tidak hanya berpegangkepada makna lahiriyah dari suatu nash. Lebih dari itupertimbangan kondisi sosial kemasyarakatan jugadikedepankan. Oleh karena itu suatu ketetapan hukumyang berbeda-beda sesuai dengan situasi merupakandinamika nilai kontekstualisasi hukum Islam.

    KATA PENGANTAR

  • viii

    Harus diakui buku ini tidaklah bermaksud untukmendapat pengakuan istimewa sebagai temuan baruatau sebuah karya komprehensif. Tetapi, walau bagai-manapun, usaha kearah itu tentu saja mesti dilakukanuntuk mencapai hasil yang maksimal. Karena itu, karyaini terbuka bagi saran-saran yang konstruktif daripembaca.

    Atas rampungnya buku ini penulis mengucapkanrasa syukur kepada Allah Swt. Selanjutnya terima kasihkepada pihak-pihak terkait yang telah memberikanbantuan berupa informasi dan bahan dalam upayamenyelesaikan karya yang sederhana ini terutama atassaran dan masukannya. Terima kasih juga disampaikankepada WDC yang bersedia menerbitkan buku ini.

    Ulee Kareng, Agustus 2017

    Penulis

    Mukhsin Nyak Umar

  • i x

    DAFTAR ISI

    PENGANTAR PENERBIT ............................... i

    KATA PENGANTAR........................................ ii

    DAFTAR ISI ..................................................... iii

    BAB I : PENDAHULUAN........................... 1BAB II : SEPUTAR KAIDAH FIQHIYYAH. 9

    A. Pengertian Kaidah Fiqhiyyah ...... 9

    B. Sumber-sumber Kaidah Fiqhiyyah 12

    C. Sejarah Perkembangan Kaidah

    Fiqhiyyah ................................... 19

    BAB III : HUKUM ISLAM DAN KEMAS-

    LAHATAN ..................................... 27

    A. Makna Hukum Islam .................. 27

    B. Kemaslahatan Sebagai Dasar

    Pertimbangan dalam Penerapan

    Hukum Islam.............................. 31

    C. Asas dan Tujuan Hukum dalam

    Islam .......................................... 40

  • x

    BAB IV : KAIDAH FIQHIYYAH DAN PEM-

    BAHARUAN HUKUM ISLAM ...... 73

    A. Pembaharuan Hukum Islam:

    Suatu Keniscayaan ...................... 73

    B. Peran Kaidah Fiqhiyyah dan Pem-

    baharuan Hukum Islam .............. 88

    BAB V : PENUTUP ..................................... 113

    DAFTAR BACAAN.......................................... 117

    --ooOoo--

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 1

    BAB IPENDAHULUAN

    Penerapan atau penetapan hukum dalam suatumasyarakat bertujuan untuk mengendalikan kehidupanmasyarakat itu sendiri. Hukum adalah suatu sistem yangditegakkan untuk melindungi hak individu danmasyarakat. Sistem hukum di setiap masyarakatmemiliki sifat, karakter dan ruang lingkup sendiri.Demikian juga Islam, memiliki sistem hukum yangdikenal dengan istilah fiqh.1

    Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukumIslam, sebagian besar masih bersifat umum atau global,memuat prinsip-prinsip dasar dan pesan-pesan moral.2

    Karakteristik al-Qur’an yang demikian itu menunjukkanbahwa manusia diberi wewenang untuk melakukaninterpretasi dan penjabaran sesuai dengan kondisi sosialdi setiap tempat.

    Dalam sejarah perkembangan hukum Islam,para ulama dalam melakukan interpretasi terhadap teks-teks nash atau menetapkan hukum dari masalah baruyang muncul, banyak terjadi perbedaan cara pandang.Perbedaan tersebut bukan semata-mata berbeda dalammemahami teks nash, tetapi juga karena perbedaankondisi dan situasi lingkungan yang mengitarikehidupan mereka.3

  • 2 Bab I : Pendahuluan

    Dewasa ini, kemajuan teknologi yang begitucepat dan pesat, tidak hanya menyebabkan perubahandalam satu bidang, melainkan meliputi berbagai bidangkehidupan masyarakat. Hal ini karena bidang atausektor kehidupan dalam suatu masyarakat berhubunganerat satu dengan yang lain secara sistematis. Sehinggaperubahan pada satu sektor akan menimbulkanperubahan pada sektor yang lain, yang di dalamnyatermasuk sektor atau bidang hukum. Oleh karena ituperubahan suatu ketetapan hukum merupakankesadaran historis yaitu kesadaran bahwa suatu tatananhukum sangat terkait dengan perubahan zaman danperbedaan waktu.4

    Berbagai permasalahan hukum yang muncul danberkembang saat ini adalah akibat dari dinamikamasyarakat di atas. Bagi masyarakat yang hidupsekarang dan di masa yang akan datang sangat mungkinberhadapan dengan masalah baru yang belum pernahdijumpai pemecahannya pada generasi sebelumnya.Begitu pula kebijakan atau ketetapan hukum yangdianggap tepat pada masanya, belum tentu relevan untukkondisi sekarang dan masa akan datang. Ini disebabkanterjadinya perubahan dalam masyarakat -yang padagilirannya- menyebabkan terjadinya perubahan dankompleksitas kebutuhan masyarakat itu sendiri.

    Berbagai pertimbangan Nabi Muhammad yangdigunakan dalam memberikan penjelasan wahyu,menjadi pelajaran bagi para ulama yang datangkemudian dalam upaya memahami ajaran Islam.Setelah Nabi wafat, berarti lengkaplah prinsip ajaranIslam yang kesemuanya tertuang dalam al-Qur’an.

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 3

    Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammadsebagai Nabi terakhir memberikan implikasi bahwaagama Islam membawa ajaran yang memiliki dinamikatinggi. Hukum-hukumnya berakar pada prinsip-prinsipuniversalitas dan fleksibilitas. Oleh karena itu hukumIslam bersifat akomodatif terhadap perubahan-perubahan yang ada dan mampu memenuhi kebutuhanmasyarakat yang terus berkembang mengikuti kemajuanzaman.5

    Di samping itu, sebagai Nabi terakhir, iamemberikan petunjuk kepada umatnya untuk berusahamengatasi persoalan-persoalan hidup kemasyarakatandengan menggunakan petunjuk-petunjuk dan prinsip-prinsip yang ada dalam nash.

    Untuk merealisasikan itu semua, tentunya perlupengembangan ajaran Islam terus menerus, termasukaspek hukumnya. Dengan demikian diharapkan hukumIslam mampu dijadikan sebagai pedoman hidup, dimana pun, kapan pun, dan dalam konteks apa pun.Dalam pengembangan untuk merealisasikan nilaipembaharuan hukum Islam tersebut perlu ada suatumetode yang mampu dijadikan sebagai pedoman di satupihak, dengan tidak meninggalkan prinsip-prinsippokok syari’at Islam di lain pihak.

    Di antara metode penetapan hukum yang dibuatoleh para ulama untuk menyelesaikan berbagaipermasalahan yang muncul saat itu adalah kaidahfiqhiyyah. kaidah fiqhiyyah merupakan salah satupedoman atau rujukan untuk menyelesaikan masalahhukum yang berkembang, diambil dari nilai-nilaifilosofis yang ada dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.

  • 4 Bab I : Pendahuluan

    Disiplin ilmu ini juga merupakan kekayaan khazanahintelektual masa lalu, dan terus mengalami per-kembangan serta masih menjadi materi kajian ilmiahyang cukup penting dalam merespons setiap persoalanyang muncul.

    Sebagaimana dikemukakan di atas bahwaperubahan kondisi sosial sebagai akibat dariperkembangan pemikiran dan teknologi adalahmerupakan hal yang wajar. Perubahan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat tidak selalu sama antara satudengan yang lainnya. Ketidaksamaan tersebutmenyebabkan beragamnya corak kehidupan masyarakatyang pada akhirnya akan menyebabkan beragamnyapermasalahan yang dihadapi dan kebutuhan yangdiperlukan termasuk dalam bidang hukum.

    Menurut Abdul Wahhab Khallaf, sumber-sumberhukum Islam itu laksana air yang tidak pernah kering.Dinamika dan kesuburan materi yang dikandung cukuptangguh untuk menghadapi tantangan-tantangan yangada. Ketangguhan sumber hukum Islam itu adalahkarena prinsip-prinsip yang ditetapkan cukup luas danfleksibel, sehingga dapat dijabarkan dan diterapkandalam berbagai konteks.6

    Selanjutnya Abdul Wahhab Khallaf mengatakandalam mengemukakan ajaran-ajarannya, nash tidakmenyajikan dalam bentuk yang sama. Hal-hal yangberkaitan dengan ibadah, hukum privat dan yangsejenisnya, lebih detail dan sekaligus denganpenjelasannya. Sedangkan yang berkaitan denganmasalah perdata, ekonomi, pidana, nash hanyamenyajikan dalam bentuk prinsip-prinsip umum. Hal

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 5

    ini dimaksudkan agar hukum Islam dapat dijabarkandan diterapkan sesuai dengan perkembangan dankondisi yang ada.7 Di sinilah pentingnya mengetahuikaidah fiqhiyyah sebagai Kaidah yang bersifat umumyang digunakan sebagai pedoman dalam menetapkanhukum yang bersifat furu’.8

    Imam Suyuthi mengatakan bahwa kaidahfiqhiyyah merupakan disiplin ilmu yang sarat dengannilai-nilai filosofis. Ilmu ini dirancang sedemikian rupauntuk mengetahui hakikat, rahasia dan keistimewaanhukum Islam. Dengan menguasai kaidah fiqhiyyahseorang mujtahid diharapkan mampu menyelesaikanpermasalahan hukum yang muncul dan dijadikanpijakan untuk menetapkan hukum sesuai dengankonteks yang ada.9 Berbagai permasalahan hukum yangmungkin berbeda antara satu tempat dengan tempatlain, antara satu orang dengan orang lain dapatdikembalikan kepada kaidah fiqhiyyah tersebut.

    Hal senada juga dikemukakan oleh MusthafaAhmad al-Zarqa’. Menurutnya, kaidah-kaidahfiqhiyyah merupakan metode penerapan atau penetapanhukum Islam yang dapat dijadikan pijakan untukmenerapkan hukum Islam dalam berbagai macamkonteks serta menyelesaikan permasalahan hukum yangmuncul akibat perkembangan dan perbedaan kehidupanmasyarakat.10

    Kaidah fiqhiyyah sebagai salah satu metodeijtihad memberikan arah untuk tetap terpeliharanya ruhIslam, prinsip-prinsip dan nilai-nilai filosofis hukumIslam. Prinsip-prinsip tersebut antara lain; ketuhanan,kemanusiaan, keadilan, persamaan hak, konsisten dan

  • 6 Bab I : Pendahuluan

    kontekstual.11 Prinsip umum ini disusun oleh paraulama berdasarkan berbagai persoalan-persoalanhukum yang muncul kemudian. Oleh karena itu kaidahfiqhiyyah mempunyai kemampuan untukmenyelesaikan kompleksitas permasalahan hukumIslam dan sekaligus merealisasikan elastisitas hukumIslam untuk diterapkan dalam berbagai konteks.12

    Dari uraian di atas dapat dipahami bahwakaidah fiqhiyyah merupakan salah satu disiplin ilmuyang mempunyai nilai kedinamisan yang cukup tinggi,dan mempunyai peranan penting dalam mewujudkannilai-nilai universalitas hukum Islam untuk diterapkandalam berbagai situasi. Di samping itu juga ia memilikikemampuan dalam menyelesaikan persoalan-persoalanhukum yang muncul sebagai akibat perkembanganpemikiran dan perubahan kehidupan masyarakat.

    Kajian terhadap persoalan di seputar tema di atas,sejauh ini belum ditemukan karya tulis yang secarakhusus mengkaji materi kaidah fiqhiyyah melaluipendekatan filosofis dan kaitannya dengan nilai-nilaipembaharuan serta perannya dalam merealisasikannilai universalitas, fleksibilitas dan pembaharuan hukumIslam. Namun demikian terdapat karya yang membahastentang kaidah fiqhiyyah yaitu karya Asymuni A.Rahman. Buku ini berisi terjemahan dari beberapa bukukaidah fiqhiyyah yang berbahasa Arab, tidak terlihatanalisa yang dikemukakannya. Selain karya tersebut,pembahasan singkat mengenai kaidah fiqhiyyahterdapat dalam salah satu bagian atau bab pembahasanushul fiqh atau hukum Islam secara umum. Ini tidaklain adalah terjemahan dari buku-buku yang berbahasa

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 7

    Arab, seperti Filsafat Hukum Islam karya Hasbi ash-Shiddieqy, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam karyaMukhtar Yahya, Pengantar Hukum Syari’ah karyaMasyfuk Zuhdi, Kaidah -Kaidah Ushuliyah danFiqhiyyah karya Muchlish Usman, dan karya JaihMubarok mengenai Sejarah Pertumbuhan KaidahFiqhiyyah, yang bahasannya tidak mengaitkan denganaspek pembaharuan hukum Islam. Oleh karena itu disinilah letak signifikansi dari kajian ini.

    Hasil dari kajian ini dapat memberikangambaran atau informasi karakteristik hukum Islam,dan sebagai respons terhadap anggapan bahwa hukumIslam itu bersifat kaku, statis sehingga dapatmenghambat perkembangan dan kemajuan zaman.Metode yang ditempuh dalam kajian ini berbentukpenelitian pustaka (Library Research) dengan mengambildata dari karya-karya atau literatur-literatur yangberkaitan dengan objek kajian. Setelah data terkumpullangkah selanjutnya adalah melakukan analisis datadengan menggunakan pendekatan kualitatif, yang terdiridari metode deduktif, induktif dan komparatif. Metodededuktif adalah menganalisis data-data yang berisi ide-ide atau keterangan-keterangan yang bersifat umum,kemudian ditarik menjadi suatu kesimpulan khusus.Metode induktif adalah menganalisis berbagai fakta danpengalaman empirik yang bersifat khusus kemudiandisimpulkan menjadi suatu pernyataan yang bersifatumum. Sedangkan metode komparatif yaitumenganalisa dengan cara membandingkan data-datayang ada, sehingga akan terlihat sisi persamaan danperbedaan dari keduanya.

  • 8 Bab I : Pendahuluan

    Endnote:1 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, alih bahasa Agah

    Granadi, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. XV.2 Dari seluruh ayat yang terdapat dalam al-Qur’an, terdapat sejumlah

    ayat hukum dengan rincian: 1. Hukum Keluarga 70 ayat, 2.Hukum Perdata 70 ayat, 3. Hukum Pidana 30 ayat, 4. HukumAcara 13 ayat, 5. Hukum Ketatanegaraan 10 ayat, 6. HukumInternasional 25 ayat, 7. Hukum Ekonomi 10 ayat. AbdulWahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, Cet. VIII, (Kairo: MaktabahDa’wah Islamiyyah, 1990), hlm. 22-23. Bandingkan denganAbdullah Ahmad an-Na’im, Toward an Islamic Reformation: CivilLiberties Human Rights and International Law, alih bahasa AhmadSuaedy dan Amiruddin Arrani, Cet. I, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 1994), hlm. 41.

    3 Yusuf Qardhawi, al-Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, alih bahasaAchmad Syatori, Cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm.126-127.

    4 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Cet. II, (Jakarta:Paramadina, 1992), hlm. LXVIII.

    5 Yusuf Qardhawi, Syari’ah al-Islamiyah Khuluduha wa Shalahuha liTathbiq li Kulli Zaman wa Makan, alih bahasa Abu Zaky,(Surabaya: Pustaka Progresif, 1990), hlm. 19-20.

    6 Abdul Wahhab Khallaf, Mashadir al-Tasyri’ al-Islami fi Ma La NashFihi, alih bahasa Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Risalah, 1972),hlm. 222.

    7 Ibid., hal. 222-223.8 Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan

    Hukum Fiqh Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1986), hlm. 485.9 Jalaluddin Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi, al-Asybah

    wa al-Nazdair, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 5.10 Musthafa Ahmad al-Zarqa’, al-Fiqh al-Islami fi Thaubi al-Jadid,

    Jilid II, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 947.11 Yusuf Qardhawi, al-Khashaish al-Ammah li al-Islam, alih bahasa

    Rafi’ Munawwar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1994).12 Asymuni A. Rahman, Kaidah-kaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang,

    1976), hlm. 5.

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 9

    BAB IISEPUTAR KAIDAH FIQHIYYAH

    A. Definisi Kaidah FiqhiyyahSebelum menguraikan secara mendalam

    berkenaan dengan pengertian kaidah fiqhiyyah, baikditinjau dari segi etimologi maupun terminologi, terlebihdahulu dijelaskan arti dari masing-masing akar katakaidah fiqhiyyah itu sendiri.

    Kata kaidah merupakan terjemahan dari bahasaArab ÞÇÚÏ(jama’: Þ æÇ) yang artinya menurut bahasaadalah dasar, asas atau fondasi. Para ahli bahasamemberikan contoh dengan lafadz ÞæÇÚÏ ÈÊ maksud-nya ialah dasar atau fondasi rumah. Kata qawa’id dalamal-Qur’an terdapat dalam firman Allah Swt surat al-Baqarah ayat 127:

    “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggalkan(membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail)”.

    Arti lafazd qawa’id dalam ayat tersebut ialah dasaratau fondasi. Sedangkan menurut istilah para ahli nahwu(gramatika bahasa) mengartikan qawa’id sebagai sesuatuyang tepat.

    قاعدة قواعد

    البيت قواعد

    وإمساعيل البيت من القواعد إبراهيم يرفع وإذ

  • 10 Bab II : Seputar Kaidah Fiqhiyyah

    “Ketentuan yang bersifat umum yang semua bagian-bagiannya harus sesuai dengan ketentuan tersebut”.

    Seperti kedudukan fa’il (subjek) adalah marfu’,kedudukan maf ’ul (objek) adalah mansub dansebagainya. Jadi ketentuan bahwa fa’il harus dibaca rafa’itu adalah qa’idah menurut ahli bahasa.

    Sedangkan pengertian qa’idah menurut ahli fiqh(fuqaha’) adalah sesuatu ketentuan yang biasa (padaumumnya demikian) atau disebut dengan istilah galib,seperti dalam ungkapan:

    “Hukum (aturan) yang pada umumnya bersesuaiandengan bagian-bagiannya”.

    Kata fiqhiyyah adalah berasal dari kata fiqh, yangmenurut bahasa berarti faham. Sedangkan fiqh menurutistilah fuqaha adalah sebagai berikut:

    1. Abu Zahrah menegaskan:

    “Ilmu yang menerangkan segala hukum syara’ yangamaliah diambil dari dalil-dalilnya yang tafshili”.

    2. Abdul Wahhab Khallaf mengemukakan:

    1 جزئياته مجيع على املنطق الكلى احلكم هي القواعد

    2 جزئياته معظم على ينطبق أغليب حكم

    3 التفصيلية أدلتها من العملية الشرعية باألحكام العلم

    4 التفصيلية أدلتها من املكتسب العملية الشرعية باألحكام العلم

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 11

    “Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yangamali yang diusahakan dari dalil-dalilnya yang tafhsili”.

    Ia juga mengemukakan bahwa fiqh:

    “Himpunan hukum-hukum syara’ yang amali yangdiperoleh dari dalil-dalilnya yang tafshili”.

    Dari definisi tersebut menunjukkan bahwa fiqhadalah ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitandengan perbuatan-perbuatan praktis.

    Kemudian kata fiqh tersebut dirangkai dengan “yanisbah” yaitu huruf “ya” yang berfungsi membangsakan6

    atau segala sesuatu yang berkaitan dengan fiqh.

    Dari pengertian dasar kata qa’idah dan fiqh itulahdirumuskan pengertian kaidah fiqhiyyah antara lainsebagai berikut:

    1. Menurut Mushtafa Ahmad Az-Zarqa:

    Kaidah fiqhiyyah ialah dasar-dasar yang berkaitan denganmasalah fiqh yang bersifat mencakup dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas, yang mengandungpenetapan hukum-hukum secara umum pada peristiwa-peristiwa yang tercakup dalam pembahasannya.

    2. Ali Ahmad al-Nadawi:

    Kaidah fiqhiyyah ialah dasar-dasar yang berkaitan denganfiqh yang mencakup proses penetapan hukum secara umum

    أدلتها من املستفادة العملية الشرعية األحكام جمموعة 5 التفصيلية

  • 12 Bab II : Seputar Kaidah Fiqhiyyah

    dan mencakup berbagai keputusan yang masuk dalampembahasannya.

    3. Ahmad bin Muhammad al-Zarqa:

    Kaidah fiqhiyyah ialah dasar-dasar yang berpedoman danberkaitan dengan fiqh, yang setiap ka’idah mempunyaiketentuan hukum secara umum.

    Dari tiga definisi di atas mempunyai pengertianyang sama, yakni kaidah fiqhiyyah merupakan aturanyang bersifat umum yang mencakup masalah-masalahfiqh.

    B. Sumber Pengambilan Kaidah FiqhiyyahSumber pengambilan dalam pembahasan ini ialah

    dasar-dasar perumusan kaidah fiqhiyyah. Dasar-dasartersebut ada dua macam, yaitu dasar formil dan dasarmateriil.

    Dasar formil ialah nash yang menjadi sumbermotivasi atau pendorong bagi para ulama untukmenyusun kaidah fiqhiyyah. Sedangkan dasar materiiladalah materi yang digunakan untuk merumuskankaidah fiqhiyyah itu sendiri.

    1. Dasar Formil

    Ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum sebagianbesar tidak dirinci dan tidak mengatur teknis pelaksanaanmaupun bentuknya. Hal ini dimaksudkan agar hukumIslam selalu relevan, aktual dan akomodatif dalammenghadapi dan merespons perkembangan kehidupanmanusia. Oleh karena itu al-Qur’an hanya menetapkan

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 13

    prinsip-prinsip dasar yang harus diperhatikan dandipegangi. Jikalau al-Qur’an mengatur secara rinci semuapermasalahan justru akan terjadi kesulitan ketikadihadapkan pada permasalahan baru yang tidak adarincian ketentuan hukumnya. Sebagai contoh, dalampencarian harta, berdagang atau bermu’amalah, Islammenetapkan prinsip yaitu harus melalui transaksi-transaksi (jual beli) yang baik, jujur, tidak merugikanorang lain. Firman-Nya menyatakan: “Allah telahmenghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (al-Baqarah: 275). Dalam bidang ketatanegaraan(pemerintahan) Islam menetapkan prinsip umum yaitusyura (musyawarah), keadilan dan persamaan. FirmanAllah:

    “Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunbagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalamsetiap urusan”. (Ali Imran: 159).

    “Dan Allah (menyuruh kamu) apabila menetapkanhukum di antara manusia supaya kamu menetapkan denganadil”. (al-Nisa: 58).

    Dalam bidang perekonomian, al-Qur’anmeletakkan prinsip perimbangan. Firman Allah:

    “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antaraorang-orang yang kaya saja”. (al-Hasyr: 7).

    Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwaketentuan-ketentuan hukum di dalam Islam sebagianbesar hanya berupa prinsip-prinsip pokok, tidakdijelaskan rincian dan teknisnya. Dan juga tidakdijelaskan bentuk transaksi jual beli, cara serta bentuk

  • 14 Bab II : Seputar Kaidah Fiqhiyyah

    lembaga musyawarah, kebijakan atau mekanisme untukmenciptakan dan mencapai keadilan, persamaan dankeseimbangan atau pemerataan.

    Sifat kemuliaan al-Qur’an tersebut dimaksudkanagar syari’at Islam mampu menyesuaikan danmenyelaraskan dengan kehidupan manusia di mana pundan kapan pun berada. Karena tidak dapat di pungkiribahwa perjalanan kehidupan manusia selalu mengalamiperkembangan. Perkembangan tersebut tentunya antarasatu dengan yang lain tidak sama, sehinggamengakibatkan kebutuhan yang tidak sama pula.Keadaan seperti itu harus dihadapi dan dijawab olehSyari’at Islam sebagai bukti atas keuniversalannya.

    Untuk memahami penyajian al-Qur’an yangbersifat umum itu, tentunya perlu diadakan penggalianterhadap hukum-hukum yang dikandungnya. Usahapenggalian atau mengeluarkan hukum dari dalil-dalil (al-Qur’an dan Sunnah) tersebut dinamakan ijtihad.7

    Penggalian atau penafsiran itu perlu dilakukan, agarprinsip-prinsip ajaran Islam tersebut tidak hanya bersifatteoritik, tetapi lebih aplikatif, dapat diterapkan dalamkehidupan sehari-hari.

    Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuanuntuk mendapatkan suatu hukum dalam menghadapipersoalan-persoalan atau masalah-masalah yang adamerupakan suatu keharusan. Dengan ijtihad, segalapersoalan yang hukumnya tidak ditegaskan secara rincidalam nash, akan bisa diatasi dengan lancar.8

    Ijtihad sebagai upaya untuk menghadapipersoalan-persoalan atau masalah-masalah yang muncul

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 15

    mempunyai dasar yang kuat. Firman Allah dalam suratal-Hasyr ayat 2:

    “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadipelajaran hai orang-orang yang mempunyai pandangan(akal)”.

    Ayat tersebut memerintahkan kepada manusiauntuk menggunakan akal pikirannya dalam menghadapipermasalahan kehidupan sehari-hari. Di beberapa ayatlain manusia juga diperintahkan supaya menggunakanakal pikirannya secara maksimal yaitu terungkap dalamkalimat afala ta’qilun, afala tatafakkarun, afala tandzurun.

    Di samping itu, di beberapa ayat al-Qur’andisebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang mulia(al-Baqarah: 34). Kemuliaan manusia itu karena iamempunyai akal yang tidak dianugerahkan oleh-Nyakepada makhluk selain manusia. Manusia akankehilangan nilai kemuliaannya apabila fungsi akaltersebut tidak digunakan secara optimal. Penggunaanakal secara optimal merupakan esensi atau substansiijtihad.

    Kebolehan melakukan ijtihad dalam menghadapimasalah-masalah yang tidak ada hukumnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah telah diisyaratkan sejak masaNabi. Ini terlihat pada dialog antara Nabi dan Mu’adzbin Jabal ketika beliau mengutusnya ke Yaman. Padawaktu Mu’adz akan berangkat untuk menjadi Hakimditanya oleh Nabi apabila nanti ada masalah-masalahyang tidak ada dalam al-Qur’an atau al-Sunnah, makaketika itu Mu’adz menjawab: Saya akan berijtihad(mencurahkan kemampuan saya) untuk menetapkan

  • 16 Bab II : Seputar Kaidah Fiqhiyyah

    hukumnya. Terkait jawaban Mu’adz tersebut, Nabimendo’akannya. Ini menunjukkan bahwa Nabimembolehkan ijtihad yang dilakukan oleh Mu’adz.

    Upaya penggalian hukum di atas yaitu ijtihadtentunya memerlukan suatu pijakan atau metode yangdigunakan sebagai prinsip dasar. Prinsip-prinsip dasaryang dapat dijadikan acuan dalam memahami teks-teksnash dan dalam menyelesaikan berbagai masalah hukum(fiqh) tersebut para ulama membuat metode yang disebutkaidah fiqhiyyah.

    Dengan demikian dasar formil yaitu yangmendorong atau menjadi sumber motivasi penyusunankaidah fiqhiyyah ialah keharusan dilakukannya ijtihaduntuk menghadapi masalah-masalah hukum yangmuncul dan secara zhahir tidak disebutkan ketentuanhukumnya.

    2. Dasar Materiil

    Qa’idah fiqhiyyah yang disusun oleh para ulamaitu pada dasarnya melalui pemahaman dan pengkajianyang mendalam terhadap kandungan syari’at yang adadalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal ini dapat dilihatpada qa’idah fiqhiyyah berikut:

    Dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 145:

    ثواب يرد ومن منها نؤته الدنيا ثواب يرد ومن منها نؤته اآلخرة

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 17

    “Barang siapa yang menghendaki pahala dunia,niscaya Kami berikan pahala dunia itu, dan barang siapa yangmenghendaki pahala akhirat Kami berikan pula kepadanyapahala akhirat itu”.

    dan hadis Nabi:

    “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung denganniat. Setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai denganniatnya. Barang siapa berhijrah karena Allah dan Rasu-Nya,maka hijrahnya karena Allah dan Rasulnya. Barang siapahijrah hanya karena ingin mendapatkan harta atau perempuanuntuk dinikahi, maka ia akan mendapatkan sesuai denganyang ia niatkan tersebut”.

    Berdasarkan ayat dan hadis di atas disusunlahqa’idah fiqhiyyah yang berbunyi: “Segalasesuatu tergantung kepada maksud mengerjakannya”.

    Begitu juga dengan firman Allah surat al-Hasyrayat 9:

    “Dan mereka mengutamakan (orang muhajirin) atasdiri mereka sendiri sekalipun mereka kesusahan”.

    9

    كانت فمن نوى ما امرأ لكل وإمنا بالنيات ألعمال إمنا ومن ورسوله اهللا إىل فهجرته ورسوله اهللا إىل هجرته ينكحها امرأة إىل أو يصيبها دنيا إىل هجرته كانت

    إليه هاجر ما إىل فهجرته

    مبقاصدها األمور

    خصاصة م ولوكان أنفسهم على ويؤثرون

  • 18 Bab II : Seputar Kaidah Fiqhiyyah

    Dan hadis Nabi:

    “Senantiasa suatu kaum memperlambatkan dari shafawal sehingga Allah mengakhirkan mereka, dimasukkanlahdalam neraka”.

    Para ulama menyusun qa’idah fiqhiyyah yangberbunyi:

    “Mengutamakan orang lain dalam masalah ibadahadalah makruh, sedangkan masalah keduniaan adalahdianjurkan”.

    Contoh lain adalah qa’idah:

    “Kemudharatan (kerusakan) harus dihilangkan”.

    Qa’idah ini merupakan induksi dari surat al-Qashash ayat 77:

    “Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimanaAllah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamuberbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidaksuka terhadap orang-orang yang berbuat kerusakan”.

    10

    يؤخرهم حىت األول الصف عن يتأخرون قوم يزال ال النار يف اهللا

    11 حمبوب وبالدنيا مكروه بالعبارات اإليثار

    12 يزال الضرر

    ف ي الفساد تبغ وال إليك اهللا أحسن كم ا وأحسن املفسدين حيب ال اهللا إن األرض

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 19

    Dan hadits nabi:

    “Tidak boleh berbuat kemudharatan dan membalasdengan kemudharatan. Barang siapa berbuat kemudharatanmaka Allah akan memberikan kemudharatan”.

    Dari beberapa qa’idah yang dikemukakan di atasmenunjukkan bahwa kaidah fiqhiyyah disusun darikandungan atau nilai-nilai yang ada dalam al-Quran danal-Sunah. Oleh karena itu Ali Ahmad al-Nadawimengatakan bahwa al-Quran dan al-Sunnah merupakansumber pengambilan kaidah fiqhiyyah. Karenabersumber dari al-Quran dan al-Sunnah itulah kaidahfiqhiyyah mampu menjadi sebagai metode penerapanhukum dan hujjah fiqhiyyah.14

    Dengan demikian dasar atau sumber materialpenyusunan Kaidah fiqhiyyah ialah nilai-nilai hukumyang ada dalam al-Quran dan al-Sunnah. Nilai-nilaihukum itu dibuat menjadi sebuah kalimat yang disebutkaidah fiqhiyyah.

    C. Sejarah Perkembangan Kaidah FiqhiyyahPenyusunan kaidah fiqhiyyah berbeda dengan

    penyusunan ilmu ushul fiqh atau kitab-kitab undang-undang hukum positif. Ilmu ushul fiqh atau kitab undang-undang hukum positif disusun sekaligus, sedangkankaidah fiqhiyyah disusun sedikit demi sedikit berdasarkanperistiwa dan permasalahan hukum yang berkembangdi masyarakat.

    13 اهللا ضاره ضار من ضرار وال ضرر ال

  • 20 Bab II : Seputar Kaidah Fiqhiyyah

    Menurut pendapat Abu Yusuf, qa’idah yangpertama kali disusun ialah qa’idah:

    Tidak ada wewenang bagi seorang imam untukmengambil sesuatu dari seseorang kecuali dengan dasar-dasarhukum yang berlaku.

    Qa’idah tersebut ditemukan dalam kitab al-Kharraj karangan Imam Abu Yusuf yang hidup padatahun 113 H sampai tahun 182 H.15 Dengan demikianmateri kaidah fiqhiyyah telah ada sejak abad ke-2 Hijriah.

    Ahli fiqh Mazhab Hanafi yaitu Zainul AbidinIbrahim ibn Muhammad bin Abu Bakr yang terkenaldengan sebutan Ibn Nujaim mengatakan, bahwapenyusunan pertama kali kaidah fiqhiyyah ialahMuhammad bin Muhammad yang terkenal denganpanggilan Abu Thahir al-Dabbas. Menurut riwayat,seorang ulama Syafi’i yaitu Abu Sa’id al-Harwimenukilkan lima qa’idah pokok dari al-Dabbas tersebut.Lima qa’idah terebut:16

    1. (Segala sesuatu urusan itu (dinilai)sesuai dengan tujuan/niatnya).

    2. (Keyakinan itu tidak dapatdihapuskan oleh suatu keraguan).

    3. (Kesulitan itu membawa kepadakemudahan).

    حبق إال أحد يد من شيئا خيرج أن لإلمام ليس معروف ثابت

    مبقاصدها األمور

    بالشك يزال ال اليقني

    التيسري جتلب املشقة

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 21

    4. (Segala bentuk kemudharatan harusdihilangkan).

    5. (Adat/tradisi dapat dijadikan (per-timbangan) hukum.)

    Memasuki abad ketiga dan keempat hijriah, ada‘ulama yang mengikuti jejak ad-Dabbas untuk menyusunkaidah fiqhiyyah. Antara lain Imam Abu HasanAbdullah bin al-Hasan (260-340 H) yang terkenal dengansebutan al-Karkhy. Kemudian muncul pula ImamAbdullah bin Umar bin Isa al-Qadiy yang digelari denganAbu Zayd al-Dabusy (w. 430 H) yang menyusun kitab“Ta’sis al-Nazr”.17

    Di abad kelima sampai abad keenam merupakanmasa kejumudan perkembangan kaidah fiqhiyyah. Padamasa ini, tidak banyak terjadi penyusunan kitab yangberkaitan dengan kaidah fiqhiyyah.

    Baru pada abad ketujuh hijriah, kaidah fiqhiyyahmengalami perkembangan. Ini terbukti dengandisusunnya kitab al-Qawa’id fi Furu’ al-Syafi’iyah olehImam Muhammad bin Ibrahim al-Jarjaniy (613 H) dankitab Qaw’id al-Ahkam fi Masalih al-’Anam oleh ImamIzzudin bin Abd al-Salam (660 H). Keduanya darimazhab Syafi’i. Dan dari mazhab Maliki adalahMuhammad bin Abdillah bin Rasyid al-Bakri al-Qafsiy(685 H) juga menyusun kitab-kitab tersebut yangkemudian mendorong dan mengantar perkembangankaidah fiqhiyyah pada abad-abad selanjutnya.18

    Pada abad kedelapan hijriah, merupakan abadkeemasan bagi perkembangan dan penyusunan kaidah

    يزال الضرر

    حمكمة العادة

  • 22 Bab II : Seputar Kaidah Fiqhiyyah

    fiqhiyyah. Hal ini karena permasalahan hukum yangterjadi semakin kompleks, sehingga para ulamamemandang penting membuat qa’idah untukmenyelesaikan permasalahan tersebut. Di antara kitab-kitab yang disusun oleh para ulama pada abad ini adalah:

    1. Al-Asybah wa al-Naza’ir, oleh Ibnu al-Wakil al-Syafi’i(716 H)

    2. Al-Qawa’id, oleh al-Muqarriy al-Malikiy (758 H)

    3. Al-Majmu’ al-Muhazhab fi Dhawabith Qawa’id al-Mazhab, oleh Imam ‘Ala’iy al-Syafi’iy (761 H)

    4. Al-Asybah wa al-Naza’ir, oleh Tajuddin al-Subki9771 H).

    5. Al-Asybah wa al-Naza’ir, oleh Jalaluddin al-Asnawiy(772 H).

    6. Al-Mansur fi al-Qawa’id, oleh Badruddin al-Syarkasy(794 H)

    7. Al-Qawa’id fi al-Fiqh, oleh Ibnu Rajab al-Hambali(795 H)

    8. Al-Qawa’id fi al-Furu’, oleh Usman al-Gaziy (799 H).19

    Di abad kesembilan hijriah, semakin banyak paraulama yang menaruh perhatian terhadap kaidahfiqhiyyah. Karena para ulama menganggap qa’idah-kaidah fiqhiyyah yang disusun sebelumnya cukupberperan penting dalam menyelesaikan masalah-masalahfiqh. Ini terbukti dengan banyaknya kitab-kitab yangdisusun pada masa ini, antara lain:

    1. Asna al-Maqashid fi Tahriri al-Qawa’id olehMuhammad al-Zubairi (808 H).

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 23

    2. Al-Qawa’id al-Manzumah, oleh Ibn al-Ha’im al-Maqdisi (815 H). Beliau juga mensyarah kitab “al-Maju’ al-Muhadzdzab fi Qawa’id al-Madzdzab”karya Imam ‘Ala’iy dengan nama kitabnya “Tahriral-Qawa’id al-’Aliyah wa Tamhid al-Masalik al-Fiqhiyyah”.

    3. Al-Qawa’id, oleh Imam Taqiyuddin al-Hishniy (829H)

    4. Nazmu al-Dzakha’ir fi al-Asybah wa al-Nazha’ir,oleh Abdurrahman bin Ali al-Maqdisiy (876 H).

    5. Al-Qawa’id wa al-Dhawabith, oleh Ibnu Abdul Hadi(880 H).

    6. Al-Kulliyyat al-Fiqhiyyah wa al-Qawa’id, oleh IbnuGazi al-Maliky (901 H).20

    Masa pertumbuhan dan perkembangan kaidahfiqhiyyah terus berlangsung sampai abad kesepuluhhijriyah. Pada abad ini banyak para ulama yangmenyusun kitab-kitab qa’idah fiqh, antara lain kitab-kitabyang disusun pada abad ini adalah:

    1. Al-Asybah wa al-Nazha’ir, oleh JalaluddinAbdurrahman bin Abi Bakr, yang terkenal dengansebutan Imam Suyuthi (910 H).

    2. Nazmu al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, oleh Abu al-Hasanal-Zaqaq al-Tujibiy al-Maliky (912 H).

    3. Al-Asybah wa al-Nazha’ir, oleh Zayn al-’Abidin binIbrahim, yang terkenal dengan sebutan IbnuNujaim.21

    Dari perkembangan di atas, terlihat bahwa paraulama dari empat mazhab terus mengembangkan disiplin

  • 24 Bab II : Seputar Kaidah Fiqhiyyah

    ilmu kaidah fiqhiyyah ini dan memunculkan beberapakarya besar pada abad selanjutnya, antara lain:

    1. Majamu’ al-Haqa’iq oleh Abi Sa’id al-Khadami (w.1176 H), terdiri dari 154 kaidah;

    2. Qawa’id Majalah al-Ahkam al-Adliyyah disusun olehHimpunan Ulama Kerajaan Turki Usmani pada 1292H.

    3. Al-Fara’id al-Bahiyyah fi al-Qawa’id wa al-Fawa’id al-Fiqhiyyah oleh Ibnu Hamzah al-Husaini (1236-1305H).

    4. Qawa’id Majallah al-Ahkam al-Syar’iyyah Ala Mazhabal Imam Ahmad Ibn Hanbal oleh Ahmad bin Abdullahal-Qari (1309-1359 H).

    Uraian di atas menunjukkan bahwa kaidahfiqhiyyah yang tersusun dalam berbagai karya yang adapada kita sekarang ini, tidak disusun sekaligus, melainkanmelalui proses bertahap. Ada dua analisa yang dapatdikemukakan terhadap hal ini;

    Pertama, penyusunan kaidah fiqhiyyah tersebutadalah melalui proses induksi dari ayat-ayat al-Qur’andan teks-teks al-Sunnah. Oleh karena itu sangat wajarapabila tidak dapat diselesaikan sekaligus oleh seorangulama atau oleh satu generasi.

    Kedua, kaidah fiqhiyyah merupakan induksi dariberbagai permasalahan hukum yang muncul danberkembang di tengah-tengah masyarakat. Daripermasalahan hukum tersebut, para ulama mencaripenyelesaiannya dari al-Qur’an dan al-Sunnah.Kemudian bentuk penyelesaian tersebut dibuat menjadisebuah kaidah fiqhiyyah.

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 25

    Dengan demikian apabila ada masalah hukumyang bersifat analog (mempunyai nilai atau ‘illat yangsama), diharapkan dengan mudah dapat diselesaikandengan kaidah fiqhiyyah tersebut. Demikian seterusnyadan tidak menutup kemungkinan akan terus mengalamiperkembangan bahkan mungkin perubahan.

    Endnote:1 Adnan M. Jama’ah, Raf ’u al-Harj fi al-Syari’ah al-Islamiyah,

    (Suria: t.p., t.t.), hlm. 215.2 Fathi Ridwan, Min Falsafah al-Tasyri’ al-Islami, (Kairo: Dar al-

    Katib al-Arabi, 1969), hlm. 171.3 M. Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (t.tp: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t),

    hlm. 6.4 Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-

    Qalam, t.t), hlm. 11.5 Ibid.6 Asymuni A. Rahman, Kaidah Fiqhiyyah…, hlm. 10.7 Yusuf Qardhawi, al-Ijtihad…, hlm. 2-5.8 Ibid, hlm. 101.9 Hadis riwayat Bukhari dari al-Hamidy Abdullah bin Zubair dari

    Sofyan dari Yahya bin Sa’id al-Ansari dari Muhammad binIbrahim dari al-Qamah bin Waqas dari Umar bin Khattab,Ahmad bin Hajr al-Asqalani, Fath al-Bari, Jilid I, (t.tp: al-Maktabah al-Salafiah, 1379 H.), hlm. 9.

    10 Hadis riwayat Abu Daud dari Yahya bin Main dari Abdurrazakdari Ikrimah bin Ammar dari Yahya bin Abi Kasir dari AbiSalamah dari Aisyah, Sunan Abu Daud, Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 181.

    11 Mukhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan…, hlm. 531.12 Ahmad bin Muhammad al-Zarqa, Syarh…, hlm. 178.

  • 26 Bab II : Seputar Kaidah Fiqhiyyah

    13 Hadis riwayat Hakim, dari Abu al-Abbas Muhammad binYa’qub dari al-Abbas Muhammad al-Dawuri dari Usman binMuhammad bin Usman bin Rabi’ah bin Abi Abdurrahman dariAbdul Aziz dari Amir bin Yahya dari Abu Sa’id al-Khudri.Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Zahabi,al-Mustadrak, Jilid II, (Beirut: Dari al-Fikr, 1978), hlm. 57.

    14 Ali Ahmad al-Nadawy, al-Qawa’id…, hlm. 238.15 Asymuni A. Rahman, Qa’idah-qa’idah…, hlm. 12.16 Adnan Muhammad Jam’ah, al-Harj fi al-Syari’ah al-Islamiyah,

    (Suria: t.p., t.t.), hlm. 217-218. Lihat pula Ali Ahmad al-Nadawi,al-Qawa’id…, hlm. 99-100. Dari berbagai literatur dan sistematikaKaidah fiqhiyyah nampaknya perkembangan atau kemunculanqa’idah-qa’idah berikutnya dikembangkan dari lima qa’idahtersebut.

    17 Ali Ahmad al-Nadawi, al-Qawa’id…, hlm. 99; MuhammadJam’ah, Raf ’u al-Harj…, hlm. 218.

    18 Ali Ahmad al-Nadawi, al-Qawa’id…, hlm. 101.19 Ibid., hlm. 102.20 Ibid., hlm. 103-104.21 Ibid., hlm. 105.

    --ooOoo--

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 27

    BAB IIIHUKUM ISLAM & KEMASLAHATAN

    A. Definisi Hukum IslamHukum Islam yang dimaksud dalam

    pembahasan ini ialah syari’ah. Secara harfiah, menurutFazlur Rahman “syari’ah” berarti jalan menuju sumberair. Sedangkan menurut istilah yaitu jalan kehidupanyang baik.1 Kemudian kata syari’ah digunakan denganpengertian “al-Thariqah al-Mustaqimah” (jalan yanglurus). Penggunaan syari’ah dalam pengertian “jalanyang lurus”, karena dalam syari’ah mengandung maksuddan makna sebagai petunjuk bagi manusia untukmenuju kepada kebaikan, keselamatan dan kebahagiaan.Syari’ah diartikan dengan jalan lurus sesuai dengan ayatal-Qur’an surat al-Jatsiyah ayat 18:

    “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atassyari’ah (jalan yang lurus/dari urusan (agama), maka ikutilahsyari’ah itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orangyang tidak mengetahui”.

    تتبع وال فاتبعها األمر من شريعة على جعلنك مث . يعلمون ال الذين أهواء

  • 28 Bab III : Hukum Islam & Kemaslahatan

    Pada perkembangan berikutnya muncul beragamterminologi syari’ah yang dikemukakan oleh para ahlihukum Islam antara lain:

    1. Muhammad Aly al-Thahanawiy:

    “Syari’ah adalah hukum-hukum yang ditetapkanAllah untuk hamba-hamba-Nya, yang dibawa oleh seorangNabi, baik hukum-hukum tersebut berhubungan dengan caramelakukan perbuatan yaitu yang disebut dengan hukum furu’dan amaliyah (perbuatan praktis) yang kemudian dihimpunmenjadi satu disiplin ilmu yaitu fiqh, atau yang berhubungandengan keyakinan yang disebut dengan hukum pokok, yangkemudia dihimpun dalam disiplin ilmu kalam. Syari’ahdisebut juga al-Din dan al-Millah”.

    2. Muhammad Abu Syuhbah:

    2

    جاء اليت األحكام من لعباده تعاىل اهللا شرعه ما عمل بكيفية متعلقة سواءكانت األنبياء من نيب ا

    أو الفقه علم هلا ودون وعملية فرعية وتسمى هلا ودون واعتقاديه أصلية وتسمى االعتقاد بكيفية .وامللة بالدين أيضا الشرعي ويسمى الكالم علم

    على فتطلق الشرعي العرف يف الشريعة وأما واألدب واألحكام العقائد من للعباد شرعه ما

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 29

    “Adapun syari’at pada istilah syara’ digunakankepada apa yang disyari’atkan Allah untuk hamba-Nya yangterdiri dari aqidah, hukum-hukum dan adab-adab (akhlak)untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat”.

    3. Muhammad Salam Madkur:

    “Hukum-hukum yang disyari’atkan Allah untukhamba-Nya supaya mereka menjadi orang mukmin yangberamal shaleh dalam kehidupan, baik yang berhubungandengan aqidah dan akhlak”.

    Definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwapada permulaannya syari’ah tidak hanya mencakupmasalah aqidah dan akhlak, tetapi juga hukum-hukumamaliah yaitu perbuatan mukallaf yang praktis.

    Definisi syari’ah yang meliputi segala hukumsebagaimana telah diutarakan di atas, baik yangberhubungan dengan aqidah, akhlak maupun amaliahyaitu berupa perkataan, perbuatan dan tindakan-tindakan lainnya, adalah wajar. Di dalam al-Qur’an danal-Sunnah banyak terdapat ketentuan hukum yangsudah jelas, bersifat operasional dan operatif. Sehinggadilihat dari sudut pandang ini kurang tepat apabila

    3 .واألخروية الدنيوية السعادتني لتحصيل

    4

    مؤمنني ليكونوا لعباده اهللا سنها اليت األحكام متصلة أكانت سواء احلياة يف صاحلني عاملني

    .باألخالق أو بالعقائد أو باألفعال

  • 30 Bab III : Hukum Islam & Kemaslahatan

    syari’ah hanya diartikan sebagai ketentuan hukum yangberkaitan dengan aqidah dan akhlak.

    Dalam perkembangan selanjutnya, hukum-hukum yang dihasilkan melalui pemahaman (fiqh:paham) terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah inilahdisebut fiqh. Sedangkan hukum dan peraturan yang jelasdan tegas dalam al-Qur’an dan al-Sunnah (bukan hasilpemahaman manusia) disebut syari’ah. Dengandemikian meskipun aspek hukum secara teknis berdirisendiri sebagai kajian fiqh, tetapi tidak dapat dilepaskansebagai bagian dari syari’at Islam secara umum. Olehkarena itu fiqh sebagai bagian dari syari’at, tidak bolehmenyimpang dari prinsip-prinsip yang ada dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Prinsip-prinsip inilah yangdimaksud syari’at Islam bersifat kekal dan abadi yaitumonotheisme (ketauhidan, keimanan), keadilan,persamaan dan moralitas.5

    Adapaun hukum Islam dalam pengertian fiqhyaitu pemahaman terhadap teks al-Qur’an dan al-Sunnah, sangat mungkin mengalami perubahan.Karena suatu pemahaman atau penyelesaian masalahhukum yang dianggap paling tepat untuk suatu tempatatau waktu belum tentu tetap relevan untuk tempat lainatau waktu yang berbeda.

    Dari uraian di atas jelas bahwa yang dimaksudsyari’ah adalah prinsip-prinsip dasar yang ada dalamal-Qur’an dan al-Sunnah serta semua ketentuan-ketentuan hukum yang sudah jelas (qath’i).6 Sedangkanfiqh adalah ketentuan-ketentuan hukum yang dihasilkanmelalui pemahaman terhadap syari’ah/teks nash (al-Qur’an dan al-Sunnah).

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 31

    B. Kemaslahatan sebagai Dasar Per-timbangan Penerapan Hukum Islam

    Allah menjadikan manusia di dunia ini tidakuntuk berbuat kerusakan, akan tetapi supaya salingtolong menolong antara sesamanya, berbuat hal-halyang baik dan mencegah hal-hal yang mungkar. Firman-Nya:

    Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan)kebiakan dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosadan pelanggaran. (al-Maidah: 2).

    Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adildan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, danAllah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran danpermusuhan. (an-Nahl: 90).

    Perintah tolong menolong, berbuat baik danberlaku adil dalam ayat di atas adalah untukmenciptakan kemaslahatan dalam kehidupan manusia.

    Syari’at Islam yang diturunkan kepada NabiMuhammad melalui malaikat Jibril adalah untukrahmat bagi manusia. Firman Allah dalam surat al-Anbiya ayat 107:

    Dan tidaklah kami mengutus kamu (Muhammad)melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

    Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwadiutusnya Nabi Muhammad ke dunia dengan segalaaspek risalah yang dibawa adalah sebagai rahmat

    للعاملني رمحة إال أرسلناك ومآ

  • 32 Bab III : Hukum Islam & Kemaslahatan

    manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu syari’atyang dibawanya adalah untuk kemaslahatan manusia.Hukum sebagai bagian dari syari’at Islam untukmewujudkan nilai-nilai rahmah lil ‘alamin dalampenerapannya harus didasarkan atas kemaslahatan.Mengesampingkan kemaslahatan dalam penetapansuatu hukum, berarti mengingkari pesan syari’at Islamyang ada dalam ayat tersebut ini.

    Dalam hadis juga disebutkan:

    “Tidak boleh berbuat kerusakan (pada diri sendiri) danberbuat kerusakan (pada orang lain)”.

    Hadits tersebut menurut Muhammad SaidRamadhan al-Buthi merupakan pesan singkat danmempunyai makna yang luas, yaitu mencakup semuaperbuatan dan tindakan, kebijaksanaan dan keputusantidak boleh menimbulkan kemudharatan baik individumaupun masyarakat. Dengan kata lain, kemaslahatanindividu maupun kemaslahatan umum (al-Maslahah al-’Ammah) harus selalu diperhatikan dan dipertimbang-kan dalam suatu ketetapan hukum.8

    Imam al-Syathibi mengemukakan:

    “Sesungguhnya syari’at Islam itu adalah untukkemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat”.

    7 .ضرار وال ضرر ال

    9

    العاجل يف العباد ملصاحل هو إمنا الشرائع وضع إن .معا واآلجل

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 33

    Kemaslahatan adalah suatu hal yang tumbuh danberkembang. Oleh karena itu, Ziauddin Sardarmengatakan bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah sebagaidasar keabsahan syari’at Islam tidak membuat ketentuanumum bagi setiap kemungkinan permasalahan yangdiprediksikan. Al-Qur’an hanya menggariskan konsep-konsep global. Untuk selanjutnya dapat dikembangkandan dibentuk sesuai dengan tuntutan masyarakat danzaman melalui pertimbangan maslahah.10 Denganmempertimbangkan kemaslahatan, syari’at Islam akanmampu memecahkan masalah-masalah yang muncul.

    Hukum yang dibebankan kepada manusia,menurut Izzuddin Abdussalam adalah untukkepentingan manusia sendiri.

    “Segala pembebanan hukum adalah untukkemaslahatan di dunia dan di akhirat”.

    Oleh karena itu menurut Ibnu Qayyim,kemaslahatan merupakan faktor yang harusdipertimbangkan dalam menerapkan hukum. Karenadengan terwujudnya kemaslahatan, berarti akanterwujud pula suatu keadilan dan ketenteraman sebagaitujuan pokok syari’at.12

    Berkaitan dengan maslahah (kemaslahatan)sebagai dasar penetapan hukum Islam, para ulamaUshul Fiqh mengelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian.13

    11

    دنياهم يف العباد مصاحل إىل راجعة كلها التكاليف .وأخراهم

  • 34 Bab III : Hukum Islam & Kemaslahatan

    1. Al-Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu maslahah yanglangsung ditunjukkan oleh syara’. Artinya dalamsuatu ketentuan hukum tertentu disebutkan langsungkemaslahatannya.

    2. Al-Maslaha al-Mulgha, yaitu kemaslahatan yang tidakdianggap atau ditolak oleh syara’. Walaupun secararasional merupakan suatu kemaslahatan, tetapikarena syara’ tidak menjelaskannya atau karenabertentangan dengan teks nash yang qath’i, makakemaslahatan tersebut tidak dapat dijadikan dasarpenetapan hukum.

    3. Al-Maslahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yangtidak disebutkan oleh syara’ dan juga tidak ditolak.Artinya, kemaslahatan yang dijadikan sebagai dasarpenetapan hukum adalah kemaslahatn yangdidasarkan atas pemikiran akal.

    Al-Thufi,14 ulama klasik menganggap betapapentingnya kemaslahatan sebagai dasar penetapanhukum Islam. Oleh karena itu ia tidak sepakat denganklasifikasi maslahah yang kemudian berimplikasiterhadap keberadaannya, ada yang diterima dan adayang ditolak.

    Menurutnya inti dari seluruh ajaran Islamtermasuk dalam bidang hukum adalah kemaslahatan.Karena kemaslahatan itu sesuatu yang baik danbermanfaat, maka mustahil syara’ menolaknya. Dengandemikian, lanjutnya, kemaslahatan merupakan dasaruniversal bagi suatu penetapan hukum.

    Selanjutnya dari sisi yang lain al-Syathibi jugamembagi maslahat menjadi tiga bagian15 :

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 35

    1. Maslahatd Daruriyat, yaitu kemaslahatan yangsifatnya sangat esensial dalam kehidupan manusia.

    2. Maslahat Hajiyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnyauntuk menghilangkan kesempitan dan kesukarandalam kehidupan manusia.

    3. Maslahat Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan sebagaipelengkap dalam kehidupan manusia

    Pembagian tersebut, menurut Ziauddin Sardaradalah untuk membuktikan bahwa metodologimaslahat dapat digunakan untuk mendapatkanketentuan hukum dari syari’ yang mampu memenuhikebutuhan masyarakat yang selalu mengalamiperubahan.16 Menurut Yusuf Qardawi, penerapanhukum atas pertimbangan kemaslahatan menjadi luasjangkauannya dan merupakan legalisasi yang suburdalam hal tidak terdapat nash. Karena di dalamnyaterdapat ruangan untuk mensejalankan denganperkembangan-perkembangan manusia serta kebutuhanmereka.17

    Dalam hubungan dengan masalah kemaslahatanini, Abdul Wahhab Khallaf mengatakan, bahwakemaslahatan manusia sifatnya selalu aktual, tidak adahabisnya. Apabila penerapan hukum tidak didasarkanatas kemaslahatan, maka masalah baru dan tuntutanperkembangan akan terabaikan. Hal tersebut tidak cocokdengan maksud syari’at yang selalu ingin mewujudkankemaslahatan bagi seluruh umat manusia.18

    Di antara sahabat Nabi, yang banyakmenggunakan pertimbangan kemaslahatan dalammenetapkan hukum Islam adalah Umar bin Khattab.

  • 36 Bab III : Hukum Islam & Kemaslahatan

    Ia merupakan salah seorang sahabat yang banyakmeninggalkan lembaran sejarah yang berkaitan denganpemikiran dan kebijakan hukum Islam. Ia terkenalsebagai orang yang genius, kreatif, bijaksana danmempunyai wawasan yang luas.

    Pemikiran dan kebijakan yang dilakukan oleh paraahli hukum Islam sesudahnya, bahkan sampai sekarangmisalnya upaya reaktualisasi, kontekstualisasi,reinterpretasi, perubahan, penyesuaian, dan yanglainnya adalah tidak lepas dan merujuk pada ide danpemikiran serta kebijakan yang pernah dilakukan olehKhalifah Umar bin Khattab.

    Adapun ide, pemikiran, dan kebijakan Umartersebut, antara lain, adalah berkaitan dengan masalah-masalah sebagai berikut :

    1. Rampasan Perang

    Dalam surat al-Anfal ayat 41 disebutkan bahwaseperlima dari harta rampasan perang adalah untukAllah, Rasul, Kerabat Rasul, anak yatim, orang miskindan ibnu sabil. Sedangkan yang empat perlima, Rasulmembagi-bagikan untuk tentara yang ikut berperang.

    Pada waktu pemerintahan Khalifah Umar danbeberapa wilayah telah berhasil ditaklukkan olehtentaranya, ia tidak melaksanakan pembagian hartarampasan perang seperti yang dilaksanakan oleh Rasulkepada prajurit yang ikut berperang. Untukmengetahui tindakan Umar dan alasannya, berikutsebagian cuplikan ucapan Umar dihadapan para tokohpada saat itu:

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 37

    “Kalian telah mendengar pembicaraan mereka,kelompok yang menuduhku berbuat zalim berkenaan denganhak-hak mereka. Aku benar-benar berlindung kepada Allahdari melakukan kezaliman. Jika aku telah berbuat zalimkepada mereka berkenaan dengan sesuatu yang menjadi milikmereka dan aku memberikannya kepada orang lain, makabenar-benar telah celakalah diriku. Tetapi aku melihat bahwatidak ada lagi sesuatu (negeri ) yang dibebaskan sesudah negeriKhusru (Persia), dan Allah pun telah merampas untuk kitaharta kekayaan dan tanah-tanah pertanian mereka. Makaaku bagi-bagikan semua kekayaan (yang bergerak) kepadamereka yang berhak, kemudian aku ambil seperlima dan akuatur menurut aturan, dan aku sepenuhnya bertanggung jawabatas pengaturan ini. Aku berpendapat, untuk menguasaitanah-tanah pertanian aku kenakan pajak ataspenggarapannya, dan mereka berkewajiban membayar jizyahsebagai fay’ untuk orang-orang muslim, untuk tentara yangberperang dan untuk anak turun mereka, serta generasi yangdatang kemudian. Tahukah kalian, negeri-negeri besar, sepertiSyam, al-Jazirah (Lembah Mesopotamia), Kufah, Basrah,dan Mesir? Semua itu harus diisi dengan tentara dandisediakan perbekalan untuk mereka. Dari mana merekamendapatkan perbekalan itu, jika semua tanah pertaniantelah habis dibagi-bagi?”19

    Dari kutipan tersebut terlihat, bahwa Umarmemutuskan untuk menyita dan tidak membagi-bagikan tanah-tanah pertanian yang telah ditaklukkan.Dengan demikian, tindakan Umar tersebutmenyimpang dari tindakan Rasul. Ini berartimenyimpang dari nash (al-Sunnah). Tetapi tindakanUmar tersebut adalah berangkat dari suatu pemikiran

  • 38 Bab III : Hukum Islam & Kemaslahatan

    yang sangat realistis. Jika tanah-tanah rampasan ituhabis dibagi-bagikan kepada prajurit perang, negaraakan kesulitan dana untuk membiaya penjagaan pos-pos keamanan dan akan terjadi penumpukan kekayaanpada orang-orang tertentu saja.

    Oleh karena itu menurut Nurcholis Madjidtindakan Umar tersebut, tidak melanggar sunnah,namun justru Umar menangkap semangat keagamaanatas tindakan Rasul. Dengan kata lain semangatkeagamaan yang ada pada tindakan Umar, sama dengansemangat keagamaan pada tindakan Rasul yaitumengutamakan kemaslahatan. Jika rasul membagi-bagikan harta rampasan perang kepada orang-orangmuslim dan prajurit perang, tanpa menyisakan untukgenerasi yang akan datang, itu karena situasi yang adamenghendaki demikian, yaitu untuk menolong orang-orang muhajirin yang diusir dari Mekkah.Kebijaksanaan Umar itu dikarenakan situasi saat itumenghendaki demikian.20

    2. Talak tiga

    Diriwayatkan seorang bernama Rakanahmentalak istrinya tiga kali dalam satu majelis. Ia amatberduka cita, Rasulullah menegurnya: bagaimanaengkau mentalaknya? Ia berkata: aku talak dia tigadalam satu majelis, kata Nabi: itu talak satu, rujukkembali dia.21

    Pada zaman pemerintahan Umar talak tiga yangdiucapkan dalam satu majelis, tetap dianggap jatuh talaktiga. Kebijaksanaan Umar tersebut, secara lahir jelasmelanggar ketentuan nash (al-Sunnah) di atas, tetapi

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 39

    sebenarnya adalah tidak. Justru karena ia melihatprinsip-prinsip syariat Islam yang ada dalam al-Qur’andan Sunnah yaitu kemaslahatan. Umar melihat, kalautalak tiga yang diucapkan dalam satu majelis, hanyadianggap jatuh talak satu, secara psikologis akanmenimbulkan pada diri seseorang sikap meremehkanurusan talak. Padahal dalam urusan talak, seseorangharus hati-hati dan harus melalui pemikiran yangmendalam dengan mempertimbangkan akibat yangmungkin terjadi. Umar memutuskan kebijaksanaantersebut adalah dimaksudkan untuk menjaga seseorangagar tidak mudah menjatuhkan talak.

    Dari dua contoh tindakan Umar di atas, bisadiambil satu pengertian bahwa kemaslahatan manusiamerupakan salah satu faktor yang harus dipertimbang-kan dalam menetapkan suatu kebijaksanaan hukum.Prinsip kemaslahatan ini dalam ushul fiqh dikenaldengan istilah Istishlah atau al-Maslahah al-Mursalah (al-Maslahah al-’Ammah).

    Dalam sistem hukum di Indonesia keputusanhukum yang didasarkan atas pertimbangankemaslahatan ini antara lain adalah mengenaiperceraian yang ada dalam undang-undang No.1 Tahun1974 dalam Pasal 39 (1) disebutkan:

    “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidangPengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusahadan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”22

    Undang-undang tersebut menentukan bahwaperceraian hanya boleh dilakukan dan dianggap sahkalau sudah diputuskan oleh sidang pengadilan.

  • 40 Bab III : Hukum Islam & Kemaslahatan

    Ketentuan tersebut tidak lepas dari suatu perhatiannyaterhadap situasi dan kondisi masyarakat (Indonesia).Adalah tidak maslahat kalau tidak ditetapkan suatukebijaksanaan hukum demikian. Seseorang akansewenang-wenang menjatuhkan talak (mencerai)istrinya dalam kondisi yang tidak dapat berpikir jernih.Yang akhirnya akan mengakibatkan penderitaan,kesengsaraan, ketidakmaslahatan di pihak lain (istri) dansemakin membuka kemungkinan untuk tidakbertanggung jawabnya seorang suami. Berangkat dariprinsip kemaslahatan itulah – antara lain kebijaksanaantersebut ditetapkan.

    C. Asas dan Tujuan Hukum Islam1. Asas-asas Hukum Islam

    Hukum Islam yang diterapkan dalam masyarakatselalu memperhatikan dan mempertimbangkankemaslahatan. Di samping itu, hukum Islam jugamemperhatikan kemampuan diri manusia sebagaipelaku hukum, supaya ia dapat melaksanakan denganmudah.

    Oleh karena itu hukum Islam dalam penetapan-nya di dasarkan atas asas yang sangat rasional dan sesuaidengan fitrah manusia. Asas-asas tersebut ialah:

    a. Tidak menyulitkan

    b. Menyedikitkan beban atau perundang-undangan

    c. Berangsur-angsur

    d. Sejalan dengan kemaslahatan / kepentinganmanusia.

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 41

    e. Keadilan dan persamaan 23

    ad.a. Tidak Menyulitkan

    Syari’at Islam dalam menerapkan hukum sangatmemperhatikan manusia yang akan menerima bebanhukum, agar terhindar dari kesulitan–kesulitan dandapat dilaksanakan dengan mudah. Dimaksudkan tidakmenyulitkan di sini ialah menghindari masyarakat yangberlebihan serta tidak mampu dilaksanakan olehmanusia. Firman Allah: “Allah tidak menghendakikemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaranbagimu”. (Al-Baqarah : 185), “Allah tidak membebaniseseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (al-Baqarah: 286), “Allah hendak memberikan keringanankepadamu, dan dijadikan manusia bersifat lemah”. (An-Nisa’: 28), “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untukkamu dalam agama suatu kesempitan”. (al-Hajj: 78).

    Dari beberapa ayat tersebut dapat dipahami,bahwa ketentuan hukum dalam Islam tidak menyulitkankehidupan manusia. Oleh karena itu dalam hukumIslam terdapat istilah rukhsah yaitu suatu ketentuankhusus dalam syari’at yang merupakan kelonggaranatau keringanan dalam mengerjakan suatu tuntunanatau meninggalkan suatu larangan dalam keadaanterpaksa /sulit. Sebagaimana Firman Allah:

    “(Puasa itu) hanya beberapa hari tertentu. Barangsiapa di antara kamu yang sakit atau dalam perjalanan,kemudian (dia berbuka) maka ia hendaklah mengganti puasadi hari yang lain. Bagi orang yang tidak sanggup (lanjut usia),maka ia wajib memberi fidyah, yaitu memberi makan orangmiskin”. (al-Baqarah : 184).

  • 42 Bab III : Hukum Islam & Kemaslahatan

    Dalam ayat sebelumnya, Allah menjelaskansecara umum tentang kewajiban puasa dalam keadaanwajar. Kemudian dalam ayat tersebut Allah menetapkanatau menjelaskan ketentuan-ketentuan pengecualian,yaitu suatu keringanan bagi seseorang dalam waktu ataukeadaan tertentu.

    Contoh lainnya adalah tentang kebolehanmemakan sesuatu yang dalam keadaan biasa tidakdibolehkan, seperti memakan daging babi, bangkai,darah dan binatang yang disembelih tanpa menyebutkannama Allah. Allah menjelaskan dalam firman-Nya:

    “Allah hanya mengharamkan untukmu bangkai,darah, daging babi dan hewan yang disembelih bukan dengannama Allah. Tetapi barang siapa yang terpaksa(memakannya) sedangkan dia tidak berbuat aniaya dan tidakpula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi MahaPenyayang”. (al-Baqarah : 173).

    Dalam ayat tersebut dengan tegas disebutkanapabila seseorang dalam keadaan membahayakan bagidirinya (karena tidak makan) sedangkan di sisi lain tidakada alternatif makanan yang halal, maka hukum Islammemberi kemudahan (tidak menyulitkan) yaitu bolehmakan makanan yang dilarang.

    Di dalam hadits juga ada isyarat “tidakmenyulitkan” dalam pelaksanaan hukum Islam ini,antara lain disebutkan:

    24 .كسمحة با بعثت.م ص اهللا رسول قال

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 43

    Rasulullah bersabda: “Aku diutus dengan membawaagama yang mudah dan gampang”

    Hadits tersebut menunjukkan bahwa syari’atIslam yang dibawa oleh Nabi Muhammad tidak untukmenyulitkan manusia.25 Oleh karena itu menurut al-Maududi semua ketentuan hukum dalam Islam adalahuntuk manusia itu sendiri. Sesuatu diharamkan karenamembawa mudharat dan sebaliknya sesuatu itudihalalkan karena dapat memberikan manfaat bagimanusia itu sendiri.26

    Prinsip tidak menyulitkan bukan berartiketentuan-ketentuan hukum dalam Islam tidak adakesulitan. Tetapi kesulitan itu secara umum dapatdiatasi dengan kesungguhan. Oleh karena itu dalam asasini bukan berarti seseorang boleh meremehkan danmempermudahkan kewajiban agama serta bersikapsewenang-wenang.

    ad.b. Menyedikitkan beban atau perundang-undangan

    Menyedikitkan perundang-undangan ini adalahakibat logis dari prinsip-prinsip (asas) tidakmenyulitkan. Karena pembebanan yang terlalu banyakjustru akan membawa kepada kesempitan, menurutwaktu, situasi dan kondisi. Oleh karena itu hukum-hukum yang disyari’atkan Allah dalam al-Qur’an sangatsedikit sekali. Begitupun hadits-hadits yang muncul,kebanyakan adalah sebagai reaksi atau jawaban darimasalah-masalah yang muncul. Sehingga menurutYusuf Qardawi, asas menyedikitkan beban atau

  • 44 Bab III : Hukum Islam & Kemaslahatan

    perundang-undangan ini sebagai salah satu faktor yangmembawa syari’at (hukum) Islam mampu berjalanseiring dengan perkembangan zaman27

    Menyedikitkan beban ini diisyaratkan oleh al-Qur’an berupa larangan untuk memperbanyakpertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu. Firman Allahdalam surat al-Maidah ayat 101:

    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamumenanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkankepadamu, niscaya menyusahkan kamu”.

    Ayat di atas menurut al-Qurtubi memberikanpemahaman bahwa umat manusia dilarang untukbanyak bertanya pada hal-hal yang belum diterangkanhukumnya kepada Nabi Muhammad Saw.28 Dengandemikian, dapat dipahami bahwa Nabi MuhammadSaw dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an selalumenyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat padamasa itu. Sedangkan yang belum dibutuhkan didiamkansaja.

    Jadi menyedikitkan perundang-undangan inidimaksudkan untuk kepentingan manusia itu sendiri.Yaitu agar tidak terjadi kesulitan dalam menetapkanhukum atau ketentuan baru yang paling relevan denganmasanya. Adalah tidak bijak apabila semua peraturanditetapkan terlebih dahulu, karena belum tentu sesuai

    لكم تبد إن أشياء عن تسألوا ال امنوا الذين أيها يآ ...تسئكم

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 45

    atau cocok dengan prediksi ketika suatu ketentuanhukum tersebut ditetapkan.

    ad.c. Berangsur-angsur

    Proses penerapan hukum secara berangsur-angsur ini terlihat dari proses turunnya wahyu selamakurang lebih 22 tahun, bertahap mengikuti beberapaperistiwa dan kejadian yang menuntut ketentuanhukumnya.

    Sistem gradasi dalam penerapan hukum inisecara psikologis sangat cocok dengan fitrah manusia.Adalah sangat sulit merubah adat atau kebiasaan danperilaku suatu masyarakat yang sudah mendarahdaging. Dengan mempertimbangkan faktor tersebut,syari’at Islam memakai sistem bertahap dalammenerapkan hukum-hukumnya, sehingga sedikit demisedikit dapat diterima dan dapat dilaksanakan denganmudah. Contoh yang populer dalam masalah ini ialahtentang larangan minum minuman keras (kharm).Firman Allah dalam surat al-Baqarah: 219:

    “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi.Katakanlah: Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapamanfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar darimanfaatnya”.

    كبري إمث فيهما قل وامليسر اخلمر عن يسألوانك ...نفعها من اكرب وإمثهما للناس ومنافع

  • 46 Bab III : Hukum Islam & Kemaslahatan

    Dalam ayat tersebut Allah tidak secara langsungdan terang-terangan melarang minuman keras,meskipun keharusan meninggalkan bisa dipahamisecara tidak langsung, karena sesuatu yang membawamudharat perlu ditinggalkan. Dalam ayat ini Allahmengajak manusia untuk berpikir secara rasionaltentang manfaat dan mudharat khamr tersebut, karenaminuman keras sudah menjadi adat kebiasaan yangtelah mengakar pada jiwa bangsa Arab sebelum datangagama Islam. Kemudian setelah jiwa dan akal pikiranmereka dapat menerima pertimbangan antara manfaatdan mudharat dari minuman keras tersebut, makaturunlah firman Allah surat an-Nisa’ ayat 43:

    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamushalat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk. Sehinggakamu mengerti apa yang kamu ucapkan”.

    Ayat tersebut berisi larangan untuk mengerjakanshalat ketika dalam keadaan mabuk. Sesudah itu, baruAllah melarang dengan tegas dengan menjelaskan segalaefek negatifnya yaitu dengan Firman-Nya surat al-Maidah ayat 90:

    سكارى وانتم الصالة تقربوا ال امنوا الذين أيها يآ ..تقولون ما تعلموا حىت

    واألزالم واألنصاب وامليسر اخلمر إمنا امنوا الذين أيها يآ تفلحون لعلكم فاجتنبوه الشيطان عمل من رجس

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 47

    “Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamr,berjudi (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib denganpanah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan.Maka jauhilah perbuatan itu agar kamu mendapatkeberuntungan”.

    Dalam ayat tersebut Allah dengan tegas melarangatau mengharamkan minum-minuman keras, setelahsebelumnya, menjelaskan secara bertahap tentang efeknegatifnya.

    Begitu pula dalam masalah hukuman zina. Padaawalnya hukuman zina hanya berupa hukumanpenahanan. Sebagaimana firman-Nya dalam surat An-Nisa’ ayat 15:

    “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakanperbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antarakamu (yang menyaksikan). Kemudian apabila mereka telahmemberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanitaitu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atausampailah Allah memberi jalan lain”.

    Hukuman penahanan ini dimaksudkan agarmereka sadar akan perbuatannya dan mau bertaubat.Kemudian apabila mereka mau taubat, maka supayadilepaskan. Ini terlihat pada ayat berikutnya surat An-Nisa’ ayat 16:

    عليهن فاستشهدوا نسآئكم من الفاحشة يأتني ولاليت حىت البيوت يف فامسكوهن شهدوا فان منكم أربعة

    . سبيال هلن اهللا جيعل أو املوت يتوفهن

  • 48 Bab III : Hukum Islam & Kemaslahatan

    “Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatankeji di antara kamu, maka berilah hukuman kepadakeduanya, kemudian jika keduanya bertobat dan memperbaikidiri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah MahaPenerima taubat lagi Maha Penyayang”.

    Ketegasan hukuman (had) zina baru ditetapkansesudah melalui proses di atas, yaitu dengan firman-Nya dalam surat An-Nur ayat 2:

    “Wanita yang berzina dan laki-laki yang berzina,deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, danjanganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamuuntuk (menjalankan) agama Allah Swt, jika kamu berimankepada Allah Swt dan hari akhirat, dan hendaklah(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulandari orang-orang yang beriman”.

    Dalam ayat tersebut dikemukakan secara tegastentang larangan zina, setelah melalui proses penjelasanbertahap yaitu anjuran untuk bertaubat dan hukumanyang ringan (penahanan).

    وأصلح تاب فان فأذومها منكم يأتياا واللذان . رحيما توابا كان اهللا إن عنهما فاعرضوا

    جلدة مائة منهما واحد كل فاجلدوا والزاين والزانية باهللا تؤتون كنتم إن اهللا دين يف أفةر ما تأخذوا وال

    . املؤمنني من طآئفة عذاما وليشهد األخر واليوم

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 49

    Metode penetapan seperti ini juga terlihat padaproses turunnya ayat-ayat dalam al-Qur’an. Ayat-ayatyang turun sebelum hijrah (Makkiyah) pada umumnyaberkisar pada perbaikan akidah dan pada periode pascahijrah (Madaniyah) baru kemudian diturunkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum kemasyarakatanyang bersifat praktis, seperti hukum kekeluargaan,ekonomi, jinayat serta pembinaan kemaslahatanindividu maupun masyarakat.

    Hikmah dari proses penerapan hukum secaraberangsur-angsur ini ialah untuk memudahkanpemahaman terhadap materi perundang-undangan danmemudahkan memahami masalah-masalah hukumdengan memperhatikan peristiwa yang melatarbelakangi kelahiran hukum. Sebagaimana yangdikatakan oleh Abdul Wahhab Khallaf:

    “Dan hikmah dari proses penerapan hukum secaraberangsur-angsur adalah memudahkan untuk mengetahuimateri demi materi undang–undang dan memudahkan pulamemahami masalah-masalah hukum dengan sempurnadengan memperhatikan peristiwa dan hal ikhwah yangmelatar belakangi adanya hukum”.

    29

    القانون معرفة يبتر أنه الزمن التدرج هذه يف واحلكمة وجه أملل على أحكامه ويشرفهم فمادة مادة بالتدرج يعها تثر اقتضت اليت والظروف احلادثة على بالوقوف

  • 50 Bab III : Hukum Islam & Kemaslahatan

    ad. d. Sejalan dengan kemaslahatan/kepentingan manusia

    Kedatangan Islam bukanlah sebagai doktrinsemata yang dapat membawa beban di atas pundakmanusia, tetapi juga mengandung ajaran untukkesejahteraan manusia. Oleh karena itu segala sesuatuyang ada dimuka bumi merupakan fasilitas bagimanusia dalam memenuhi kebutuhannya. Firman AllahSwt:

    “Tidakkah kamu memperhatikan sesungguhnya Allahtelah menundukkan untuk kepentinganmu apa yang di langitdan apa yang di bumi dan menyempurnakan untuk munikmat-Nya lahir dan bathin”. (Luqman : 20).

    Ayat itu menjelaskan apa yang ada di langitberupa matahari, bulan, air hujan dan sebagainya, sertaapa yang ada di bumi beserta isinya adalah untukmewujudkan kemaslahatan umat manusia lahir danbatin.30 Oleh karena itu hukum Islam sangatmemperhatikan kepentingan manusia sebagai objek dansekaligus subjek hukum, sehingga ketetapan hukumselalu didasarkan atas kemaslahatan.

    Berkaitan dengan kemaslahatan ini dalam sejarahhukum Islam terdapat ketentuan hukum yang dinasakh.31 Sebagai contoh tentang hukum larangan ziarahkubur. Peda permulaan Islam ziarah kubur dilarang,

    يف وما السموات يف ما لكم سخر اهللا أن تروا امل الناس ومن وباطنه ظاهرة نعمه عليكم وأسبغ األرض

    .منري كتاب وال هدى وال علم بغري اهللا يف جيادل من

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 51

    kemudian pada masa berikutnya dibolehkan kembali.Pada permulaan Islam, Nabi menganggap tidakmaslahat kalau umat Islam dibiarkan melakukan ziarahkubur, karena khawatir akan kembali ke perbuatansyirik. Setelah Nabi melihat para sahabat imannya telahkuat, maka ziarah kubur diperbolehkan kembali denganpertimbangan maslahat.

    Asas kemaslahatan sangat menjadi perhatiandalam pembinaan hukum Islam terutama dalam bidangkehidupan sosial kemasyarakatan secara umum(mu’amalah). Hal ini karena Islam merupakan agamauntuk seluruh umat manusia, maka bidang hukum punharus memperhatikan kepentingan danmempertimbangkan kemaslahatan terhadap kenyataanheterogenitas manusia, yang terdiri dari berbagai sukubangsa, kebudayaan dan tradisi (adat istiadat).

    Berkaitan dengan ini Ibnu Qayyim mengemuka-kan:

    “Sesungguhnya syari’at itu fondasi dan asanya adalahhikmah dan kemaslahatan hamba, baik dalam kehidupan didunia maupun di akhirat”.

    Proses perubahan ketentuan hukum seperticontoh di atas hanya berlaku pada Nabi masih hidup,namun hal itu cukup sebagai contoh bahwa hukumIslam itu dibangun di atas asas atau prinsipkemaslahatan atau kepentingan manusia.

    32

    العباد ومصاحل احلكم على وأساسها مبناها الشرعية إن .املعشرواملعاد يف

  • 52 Bab III : Hukum Islam & Kemaslahatan

    Menurut Yusuf Qardawi, ayat-ayat hukumdalam al-Qur’an (terutama selain yang berkaitandengan masalah ibadah murni) sebagai contoh bahwahukum Islam itu dibangun di atas asas atau prinsipkemaslahatan atau kepentingan manusia. Oleh karenaitu, menurut Yusuf Qardawi, ayat-ayat hukum dalamal-Qur’an (terutama selain berkaitan dengan masalahibadah murni) hanya berupa prinsip-prinsip pokok (al-Mabadi’ al-Ammah).33 Hal ini dimaksudkan supayaketentuan hukum selanjutnya dapat selaras dengankemaslahatan manusia.

    ad. e. Keadilan dan Persamaan

    Manusia di hadapan hukum Islam mempunyaikedudukan yang sama. Tidak ada perbedaan baikkarena keturunan, kekayaan, pangkat, kedudukan ataustatus sosial. Dalam hukum Islam tidak ada seorang punyang bebas dari ketentuan hukum atau undang-undangapabila ia melakukan kesalahan, semua diperlakukansama. Prinsip ini ditegaskan oleh Allah Swt dalamfirman-Nya:

    “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadiorang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orangyang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah SWT,menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kalikebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untukberlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekatkepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah SWT,sesungguhnya Allah SWT Maha Mengetahui apa yang kamukerjakan”. (al-Maidah : 8) :

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 53

    “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamuorang-orang yang benar penegak keadilan, menjadi saksikarena Allah SWT biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibubapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin,maka Allah SWT lebih tahu kemaslahatannya. Makajanganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena inginmenyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi makasesungguhnya Allah SWT adalah Maha Mengetahui segalaapa yang kamu kerjakan”. (al-Nisa’ : 135).

    Ayat tersebut menjelaskan bahwa hukum Islamselalu menyetarakan manusia, tidak membedakanantara suatu bangsa dengan bangsa yang lainnya.Syari’at Islam memandang sama rata terhadap umatnyadan antara mereka dengan umat yang lain berdasarkanprinsip persamaan dan keadilan yang ditetapkan dalamnas, yang membedakan adalah terletak pada faktorketaqwaan, Firman Allah Swt :

    “Hai manusia, sesungguhnya Kami (Allah Swt) telahmenjadikan kamu dari laki-laki dan wanita, dan Kamijadikan pula kamu berbangsa-bangsa dan bergolong-golonganagar kamu saling kenal mengenal satu sama lainnya,sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi AllahSwt adalah orang yang paling bertaqwa diantara kamu.Sesungguhnya Allah Swt Maha Mengetahui lagi MahaMengenal”. (al-Hujurat : 13).

    Dari ayat ini dapat dipahami bahwa konsepmanusia sebagai makhluk yang bermasyarakat, terdiridari berbagai suku bangsa, diperintahkan untukmembentuk suatu pergaulan hidup yang sama, tanpa

  • 54 Bab III : Hukum Islam & Kemaslahatan

    melihat ras, suku dan bangsa, saling membantu dalamkebaikan.

    Persamaan hak di muka hukum adalah salah satuprinsip utama syari’at Islam, baik yang menyangkut soalibadah dalam arti khusus, yakni hubungan antaramakhluk dengan Khaliqnya, maupun dalam arti luas,yaitu; hubungan muamalah antara sesama manusia.Syari’at Islam mengakui dan menegakkan prinsippersamaan hak di muka hukum untuk semua manusia.

    Persamaan hak tersebut, tidak saja berlaku bagiumat Islam, tetapi juga bagi penganut agama lain.Mereka diberikan hak sepenuhnya untuk mengikutiketentuan hukum menurut agamanya masing-masing,kecuali kalau mereka sendiri dengan sukarela memintauntuk diberlakukan menurut hukum Islam.34

    Mendengar hal itu. Rasulullah bersabda:35

    Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu menjadihancur disebabkan apabila seseorang yang terhormat darimereka mencuri, maka mereka membiarkannya. Tetapi jikaorang lemah yang mencuri maka mereka menjalankanhukuman atasnya. Demi Allah Swt, kalau sekiranya Fatimahbinti Muhammad mencuri, tentu saya potong tangannya.

    Hadits tersebut menunjukkan bahwa hukumIslam didasarkan atas asas keadilan, tanpa membedakan

    منهم سرق إذا كانوا أم قبلكم من الذين هلك إمنااحلد عليه أقاموا الضعيف سرق وإذا تركوه الشريق

    يدها لقطعت سرقت حممد بنت فاطمة أن لو اهللا وأمي

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 55

    golongan, keluarga, kelompok, status sosial, semuanyadiperlakukan sama.

    Asas keadilan dan persamaan dalam Islam tidakhanya dalam bidang hukum, tetapi juga keadilan dalambidang sosial dan pemerintahan. Hal ini sebagaimanadikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwakeadilan itu meliputi :

    1. Keadilan hukum, ialah memberi hukum yang berlakuharus seragam (unifikasi) untuk seluruh warganegara tanpa ada diskriminasi;

    2. Keadilan sosial, ialah memberi kesempatan yang samaterhadap setiap orang untuk bekerja menurutkemampuan dan keahliannya dan bagi mereka yangbelum mampu bekerja, karena masih di bawah umuratau bagi mereka yang sudah tak mampu bekerjakarena sudah terlalu lanjut usianya atau cacat fisikdan mentalnya dan sebagainya, maka mereka harusdiberi bantuan untuk kebutuhan hidupnya;

    3. Keadilan dalam pemerintahan, ialah semua warganegara mempunyai kedudukan yang sama di dalampemerintahan, tidak ada diskriminasi karenaperbedaan bahasa, suku bangsa dan sebagainya.36

    Dari beberapa ayat, hadits, dan praktek yangdilakukan Umar bin Khattab dan konsep Abu Zahrahdi atas, jelas bahwa syari’at Islam adalah berprinsip padakeadilan dan persamaan, tanpa memandang kepadasalah satu golongan kelompok, atau kedudukan, tetapiditujukan kepada umat manusia secara keseluruhan danmerata.

  • 56 Bab III : Hukum Islam & Kemaslahatan

    C. Tujuan Hukum IslamManusia dalam hidup bermasyarakat

    mempunyai kepentingan dan kebutuhan yang ingindicapainya untuk melangsungkan kehidupan generasiberikutnya dan untuk melestarikan nilai-nilai kehidupandan nilai-nilai kemanusiaan.

    Kebutuhan manusia antara yang satu denganyang lain tidak selalu sama, bahkan mungkinbertentangan. Dalam mencapai kebutuhan dankepentingan hidup yang berlainan tersebut, seringterjadi pertikaian dan bentrokan satu dengan yanglainnya, yang mengakibatkan ketidaktenteraman hidupdalam masyarakat. Oleh karena itu untuk menghindarisemua itu dan agar keadilan, ketertiban dalam hubunganbermasyarakat dapat terwujud dan terpelihara, perlunyaadanya sebuah aturan hukum.

    Setiap hukum mempunyai maksud dan tujuantertentu. Seperti halnya hukum positif, juga mempunyaitujuan yaitu untuk memelihara ketenteraman dalammasyarakat, mengatur sebaik-baiknya dengan jalanmenentukan hak dan kewajiban bagi setiap anggotanyadalam hubungan satu dengan yang lain.

    Hukum Islam sebagai suatu aturan dalammasyarakat tidak hanya sampai di situ, tetapimempunyai tujuan yang lebih tinggi dan luhur sertabersifat abadi, tidak terbatas pada lapangan materialyang bersifat sementara dan individu, akan tetapi aspekkemanusiaan dan sosial sangat diperhatikan.

    Di samping itu, tujuan hukum Islam tidak hanyauntuk memenuhi kepentingan manusia dalam rangka

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 57

    menuju kebahagiaan dunia semata, tetapi juga untukmenuju kebahagiaan akhirat. Oleh karena itu, hukumIslam di samping mengatur hubungan antara sesamamanusia, juga mengatur hubungan manusia denganTuhannya.

    Aturan berupa perintah kepada manusia agarselalu ingat dan menyebut nama Allah, menjalankanshalat, puasa, zakat dan haji adalah contoh ketentuanhukum yang mengatur hubungan manusia denganTuhannya untuk mencapai kebahagiaan akhirat.Sedangkan aturan berupa hukum mu’amalat,munakahat, jinayat dan lainnya yang mengaturhubungan manusia dengan manusia adalah merupakanhukum yang bertujuan untuk mencapai ketenteramandan kebahagiaan dunia.37

    Salah seorang ulama yang cukup mendalammembahas tujuan hukum Islam ialah al-Syathibi. Dalammenerangkan tujuan hukum Islam al-Syatibimenggunakan istilah maqashid al-syari’ah,38 al-Maqashidal-Syar’iyyah fi al-Syari’ah39 dan maqashid min syar’i al-hukmi.40 Menurutnya, tidak ada satu pun ketentuanhukum dalam Islam yang tidak mempunyai tujuan.Semua kewajiban (taklif) pada dasarnya untukkepentingan manusia itu sendiri. Adalah suatu hal yangtidak mungkin Allah menetapkan suatu hukum(peraturan tanpa maksud tertentu). Maksud dan tujuanakhir hukum Islam itu ialah untuk kemaslahatan umatmanusia.41

    Dalam mengomentari pandangan al-Syatibitersebut Fathi al-Duraini memperkuat yaitu bahwa suatuhukum dibuat untuk kemaslahatan.42 Senada dengan

  • 58 Bab III : Hukum Islam & Kemaslahatan

    itu juga dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah.Menurutnya tidak satu pun ketentuan hukum baikdalam al-Qur’an maupun al-Sunnah, melainkankemaslahatan.43

    Kemaslahatan sebagai kandungan hukum yangdisistematisasikan melalui analisis maqasid al-syari’ah(tujuan hukum Islam) tersebut tentunya tidak hanyadilihat dalam arti teknis, tetapi juga harus dilihat sebagaisesuatu yang mengandung nilai filosofis dalam semuaketentuan hukum yang disyari’atkan oleh Tuhanterhadap manusia. Sehingga identitas hukum Islamyang universal dan dinamis dilihat dari konsep al-Syathibi ini sangat logis dan relevan.

    Selanjutnya menurut al-Syathibi bahwakemaslahatan itu dapat diwujudkan apabila lima unsurpokok kebutuhan manusia yaitu agama, jiwa,keturunan, akal, dan harta terjamin dan dilindungikeselamatannya oleh hukum. Sebagai upaya untukmemelihara lima unsur pokok itu ia membagikemaslahatan menjadi tiga tingkatan yaitu daruriyah,hajiyyah dan tahsiniyah.

    Klasifikasi yang dilakukan oleh al-Syatibi tersebutmenunjukkan betapa pentingnya pemeliharaan limaunsur pokok dalam kehidupan manusia. Tingkathajiyyah dimaksudkan untuk memudahkan dalammerealisasikan pelaksanaan lima unsur yangmerupakan kebutuhan daruriyah, sedangkan tingkattahsiniyyah merupakan penyempurna bagi tingkathajiyyah.

  • Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam 59

    Dalam konteks dinamika hukum Islampengkategorian itu perlu pula dilihat dari dua klasifikasikebutuhan yaitu kebutuhan keduniaan (dunyawiyah) dankeakhiratan (ukhrawiyyah). Lima unsur pokok di atasmerupakan komponen yang secara bulat dan terpadumenata kehidupan manusia dalam rangka mencapaikehidupan dunia dan akhirat. Pembagian ini tentu tidakdimaksudkan untuk menarik garis pemisah secara tajamantara dua orientasi kandungan hukum Islam itu. Sebabkedua hal tersebut secara substantif sulit dipisahkan.Tetapi pembagian itu penting untuk menunjukkanmuatan dan skala prioritas antara wilayah hukum manayang boleh dilakukan kontekstualisasi dan mana yangtidak boleh dalam rangka untuk mengembangkan danmewujudkan karakteristik hukum Islam yang dinamis.

    Rincian penjelasan dari tingkatan-tingkatankebutuhan manusia yang menjadi perhatian hukumIslam itu adalah sebagai berikut:

    1. Kebutuhan Pokok

    a. Agama

    Menganut suatu agama merupakan fitrah dannaluri yang tidak dapat diingkari dan sangat dibutuhkandalam kehidupan manusia. Agama merupakan satu-satunya jalur vertikal yang menghubungkan manusiasebagai hamba untuk berkomunikasi dan mengabdikepada Tuhannya sebagai pencipta. Untuk membentuksatu sistem kepercayaan secara utuh, dalam Islamdibangun suatu fondasi yang disebut dengan rukunIman.

  • 60 Bab III : Hukum Islam & Kemaslahatan

    Islam mengajarkan bahwa salah satu tugas pokokmanusia adalah mengabdi (dalam artian yang luas)kepada Tuhan. Sebagai mana ditegaskan dalam firman-Nya:

    Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia,melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (al-Hujurat: 13)

    Untuk menjalankan tugas pengabdian dalam ayattersebut ditetapkanlah rukun Islam sebagai aturanoperasional dari konsep keimanan. Substansi pengabdiandalam konsep rukun Islam adalah pengabdian vertikaldan horizontal. Oleh karena itu apapun bentukpengabdian yang dilakukan oleh seseorang terhadapsesamanya pada hakikatnya ia telah melakukanpengabdian pada Tuhan. Sebaliknya pengabdian kepadaTuhan akan bermakna apabila diikuti dalam bentukpengabdian kepada sesama man