Sturge Webber Syndrom

37
[Type text] TINJAUAN PUSTAKA PENDAHULUAN Sindrom Sturge-Weber merupakan suatu kelainan perkembangan yang dimulai saat periode intrauterin dan dikelompokkan dalam penyakit neurokutaneus (neurocutaneous disorder). Sindrom ini jarang ditemukan. Insidensnya diperkirakan satu tiap 50.000 kelahiran. Meskipun demikian, sindrom ini penting diketahui karena membutuhkan penanganan berbagai bidang keahlian dalam hal diagnosis, terapi, serta pemantauan lanjutnya. Neurologi anak memainkan peran sentral dalam diagnosis awal serta penanganan penyulit sindrom ini seperti bangkitan, retardasi mental, dan gangguan penglihatan. 1,2 Penyakit neurokutaneus dibagi menjadi dua kelompok besar. Pada kelompok pertama, bayi lahir dengan suatu kelainan kulit tertentu yang muncul dalam bentuk yang ringan saat lahir lalu berkembang menjadi bentuk kuasineoplastik. Kelompok yang ke dua (disebut fakomatosis oleh van der Hoeve, 1920) memiliki kesamaan ciri berupa transmisi herediter, keterlibatan organ yang berasal dari ektoderm (susunan saraf, bola mata, retina, dan kulit), evolusi lesi yang lambat pada anak dan remaja, kecenderungan membentuk hamartoma, dan perubahan menjadi bentuk maligna yang fatal. Yang termasuk dalam kelompok ke dua adalah sklerosis tuberosa, neurofibromatosis, dan angiomatosis kutan dengan abnormalitas susunan saraf pusat (SSP). Sindrom Sturge-Weber termasuk dalam kelompok angiomatosis kutan dengan abnormalitas susunan saraf pusat. 1,3 Nama Sturge-Weber diambil dari W. Allen Sturge yang melaporkan seorang anak dengan suatu noda “port-wine”(port-wine stain, selanjutnya 1

description

SSW

Transcript of Sturge Webber Syndrom

SINDROM STURGE-WEBER

TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUANSindrom Sturge-Weber merupakan suatu kelainan perkembangan yang dimulai saat periode intrauterin dan dikelompokkan dalam penyakit neurokutaneus (neurocutaneous disorder). Sindrom ini jarang ditemukan. Insidensnya diperkirakan satu tiap 50.000 kelahiran. Meskipun demikian, sindrom ini penting diketahui karena membutuhkan penanganan berbagai bidang keahlian dalam hal diagnosis, terapi, serta pemantauan lanjutnya. Neurologi anak memainkan peran sentral dalam diagnosis awal serta penanganan penyulit sindrom ini seperti bangkitan, retardasi mental, dan gangguan penglihatan.1,2 Penyakit neurokutaneus dibagi menjadi dua kelompok besar. Pada kelompok pertama, bayi lahir dengan suatu kelainan kulit tertentu yang muncul dalam bentuk yang ringan saat lahir lalu berkembang menjadi bentuk kuasineoplastik. Kelompok yang ke dua (disebut fakomatosis oleh van der Hoeve, 1920) memiliki kesamaan ciri berupa transmisi herediter, keterlibatan organ yang berasal dari ektoderm (susunan saraf, bola mata, retina, dan kulit), evolusi lesi yang lambat pada anak dan remaja, kecenderungan membentuk hamartoma, dan perubahan menjadi bentuk maligna yang fatal. Yang termasuk dalam kelompok ke dua adalah sklerosis tuberosa, neurofibromatosis, dan angiomatosis kutan dengan abnormalitas susunan saraf pusat (SSP). Sindrom Sturge-Weber termasuk dalam kelompok angiomatosis kutan dengan abnormalitas susunan saraf pusat.1,3 Nama Sturge-Weber diambil dari W. Allen Sturge yang melaporkan seorang anak dengan suatu noda port-wine(port-wine stain, selanjutnya disingkat PWS dalam makalah ini) dan bangkitan sensorimotorik kontralateral (1879) serta Parkes Weber (1922, 1929) yang pertama kali menunjukkan hubungan antara gambaran radiografik atrofi dan kalsifikasi hemisfer serebri ipsilateral dengan lesi kulit. Sayang eponim ini mengabaikan sumbangan penting Kalischer (1897, 1901) yang pertama kali melaporkan suatu kasus angioma meningen disertai angioma di wajah; Volland (1913) yang menunjukkan adanya deposit kalsium intrakorteks; dan Dimitri (1923) yang menggambarkan bayangan radiogradik double-contour (selanjutnya dikenal dengan gambaran jalur trem = tram-track appearance) yang khas. Krabbe (1932, 1934) membuktikan bahwa kalsifikasi tidak terletak di pembuluh darah (seperti yang disimpulkan oleh Dimitri dan yang lain) tetapi di lapisan ke dua dan ke tiga korteks.1Sindrom ini mencakup kelainan kulit, mata, dan susunan saraf. Kelainan kulit berupa suatu nevus vaskular yang melingkupi sebagian besar wajah dan kranium sesisi (di wilayah ramus oftalmikus nervus trigeminus) yang terlihat sejak lahir. Terkadang nevus bisa meliputi wilayah yang lebih luas. Gangguan mata berupa buftalmos kongenital, glaukoma, serta gangguan koroid. Gangguan neurologis bisa terlihat dalam tahun pertama setelah lahir atau di akhir masa kanak-kanak. Gangguan neurologis tersering adalah bangkitan unilateral diikuti hemiparesis spastik dengan pengecilan lengan dan tungkai, defek hemisensorik, dan hemianopia homonim, yang semua terletak kontralateral dari nevus trigeminal.1,4

DEFINISI DAN SINONIMSindrom Sturge-Weber merupakan suatu kelainan neurokutaneus kongenital berupa angioma yang mengenai leptomeningen, kulit wajah, serta mata dalam waktu yang berlainan. Sindrom ini juga disebut angiomatosis ensefalotrigeminal atau angiomatosis ensefalofasial.4,5

ETIOLOGI DAN KLASIFIKASISindrom Sturge-Weber terjadi karena adanya pembuluh darah embrional residual. Penyebabnya masih belum jelas. Mungkin disebabkan oleh mutasi somatik sporadik, familial, atau mungkin juga mutasi sporadik dan familial (2-hit hypothesis). Huq, dkk melaporkan adanya bukti mosaikisme pada empat pasien SWS. Inversi lengan 4q kromosom 4 dan trisomi 10 ditemukan pada beberapa pasien.2,4,5 SWS disebut komplit bila terdapat angioma susunan saraf pusat (SSP) dan fasial serta disebut inkomplit bila hanya mengenai salah satunya. Lebih lanjut, skala Roach digunakan untuk klasifikasi SWS, sebagai berikut:4 Tipe I: Angioma fasial dan leptomeningen; bisa disertai glaukoma. Tipe II: Hanya angioma fasial saja (tanpa keterlibatan SSP); bisa disertai glaukoma. Tipe III: Hanya angioma leptomeningen, biasanya tidak disertai glaukoma.EPIDEMIOLOGIInsidens dan Distribusi GeografisInsiden SWS diperkirakan 1 per 50.000 kelahiran. Tidak ada perbedaan berdasarkan wilayah.2

Morbiditas dan MortalitasGangguan neurologis mencakup bangkitan, kelemahan, stroke, nyeri kepala, hemianopia, retardasi mental, serta abnormalitas perkembangan. Perkembangan bangkitan dan usia awitan mungkin berkorelasi dengan derajat keterlibatan neurologis. Gangguan neurologis meningkat pada PWS bilateral. Penyulit yang dihadapi pasien paling sering diakibatkan oleh bangkitan refrakter dan antikonvulsan, penurunan penglihatan dan kebutaan akibat glaukoma, gangguan kosmetik, serta manifestasi keterlibatan jaringan ikat lain.4,5,6Dalam suatu penelitian terhadap 60 pasien SWS di Childrens Hospital, Boston, Amerika Serikat, dilaporkan dua kematian (3,3%). Oakes (1990) melaporkan empat kematian dari 30 pasien.4

Faktor Keturunan, Ras, dan Jenis KelaminSecara epidemiologi, kejadian SWS bersifat sporadik. Tidak ada perbedaan berdasarkan ras atau jenis kelamin yang dilaporkan.6

Secara umum, SWS mudah didiagnosis saat lahir atau di masa bayi berdasarkan tanda klinis saja. Walaupun demikian, perkembangan penyakit akibat perubahan sekunder dan penyulit akan terjadi seumur hidup. Kebanyakan bangkitan terjadi dalam tahun pertama setelah lahir (80%). Glaukoma sekunder bisa muncul di segala usia meski paling banyak muncul di usia dini. Enam puluh persen glaukoma timbul saat lahir atau di masa bayi awal sedangkan 30% terjadi saat masa kanak-kanak.4,6

GAMBARAN PATOLOGI ANATOMISusunan Saraf PusatLeptomeningen terlihat menebal dan kehilangan warna akibat angioma leptomeningen yang mengisi ruang subaraknoid. Terlihat juga struktur vena yang abnormal.4 Biopsi biasanya tidak dilakukan pada SWS. Meskipun demikian, spesimen patologis menunjukkan deposit kalsium di dinding pembuluh darah otak, di jaringan perivaskular, dan kadang-kadang dalam neuron. Terlihat pula kehilangan neuron dan gliosis. Abnormalitas ini bisa terlihat jauh dari lesi vaskular sebenarnya. 4Dari penelitian terhadap kasus-kasus bedah epilepsi, Di Trapeni, dkk melaporkan adanya substansi mukopolisakarida dengan kalsium dalam jaringan ikat pembuluh darah. Selanjutnya substansi mukopolisakarida dengan kalsium tersebut membesar dan bermigrasi ke luar pembuluh darah. Mereka memperkirakan bahwa anoksia, nekrosis, dan variasi kadar kalsium hanya merupakan faktor sekunder. 4

KulitPada biopsi kulit PWS terlihat pembuluh darah tipis dan melebar di pleksus vaskularis superior tanpa peningkatan jumlah pembuluh darah. 4

MataPada spesimen trabekulektomi pasien SWS terlihat deposit kolagen abnormal dan banyaknya pembuluh darah di ruang intratrabekular kanal Schlemm. Jala hemangioma intratrabekular merupakan ciri khas SWS. 4

PATOGENESISSeperti telah disebutkan, pembuluh darah embrional residual dan efek sekundernya terhadap jaringan otak sekitar menyebabkan sindrom Sturge-Weber. Suatu pleksus vaskularis berkembang di sekitar bagian sefalik tuba neuralis di bawah ektoderm yang dirancang untuk menjadi kulit. Normalnya, pleksus ini terbentuk pada minggu ke-6 dan mengalami regresi pada minggu ke-9 kehamilan. Kegagalan regresi normal ini menyebabkan timbulnya jaringan vaskular residual yang membentuk angiomata leptomeningen, wajah, dan mata ipsilateral.4,5,7Gangguan neurologis terjadi karena efek terhadap jaringan otak sekitar yang mencakup hipoksia, iskemia, oklusi vena, trombosis, infark, dan fenomena vasomotor.4,5Dari pemeriksaan spesimen patologis, Norman dan Schoene beranggapan bahwa abnormalitas aliran darah dalam angioma leptomeningen menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler, stasis, dan anoksia. Garcia, dkk dan Gomez & Bebin melaporkan bahwa oklusi vena bisa secara nyata menyebabkan gangguan neurologis awal seperti bangkitan, hemiparesis sepintas, atau keduanya.4Steal phenomenon vaskular bisa berkembang di sekitar angioma sehingga menyebabkan iskemia korteks. Bangkitan berulang, status epileptikus, bangkitan refrakter, dan kejadian vaskular berulang bisa memperparah fenomena tersebut karena peningkatan iskemia korteks. Selanjutnya iskemia korteks juga menyebabkan kalsifikasi progresif, gliosis, dan atrofi yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan peluang bangkitan dan perburukan neurologis.4,5Maria, dkk, Reid, dkk, dan Sujansky & Conradi mencatat adanya perburukan SWS yang jelas meski angioma leptomeningen tidak membesar.4Udani, dkk mengikuti perjalanan penyakit dan mengamati temuan MRI sembilan pasien dengan SWS. Mereka menemukan bahwa bangkitan yang lebih dini berhubungan dengan defisit neurologis residual dan memperburuk atrofi otak. Mereka juga menemukan bahwa dalam kebanyakan kasus, perjalanan penyakit menjadi stabil setelah usia lima tahun.4Pengendalian bangkitan, terapi aspirin, dan terapi bedah dini mencegah perburukan neurologis.4Manifestasi okular utama (mis. buftalmos, glaukoma) terjadi sekunder dari peningkatan tekanan intraokular (TIO) dengan obstruksi mekanis di sudut mata, peningkatan tekanan vena episklera, atau peningkatan sekresi humor akuosa.4,6 Pembuluh darah korteks yang mengalami malformasi ternyata hanya diinervasi oleh serabut saraf noradrenergik. Peningkatan ekspresi endothelin-1, suatu peptida yang mampu menyebabkan vasokonstriksi, juga terlihat di pembuluh-pembuluh darah tersebut. Temuan ini mungkin menjelaskan peningkatan vasokonstriksi di pembuluh darah korteks yang mengalami malformasi. 4 Fibronektin merupakan molekul yang penting dalam regulasi angiogenesis, mempertahankan sawar darah-otak, struktur dan fungsi pembuluh darah, dan respons jaringan otak terhadap bangkitan. Comi, dkk melaporkan bahwa pada pasien SWS, terlihat penurunan ekspresi fibronektin di pembuluh darah leptomeningen dan peningkatan ekspresi di pembuluh darah parenkim. Selain itu, ditemukan juga penurunan lingkar pembuluh darah dan peningkatan densitas pembuluh darah. 4,8,9Secara keseluruhan, pada SWS, mutasi somatik kelihatannya mempengaruhi regulasi struktur dan fungsi pembuluh darah, inervasi pembuluh darah, serta ekspresi matriks ekstrasel dan molekul vasoaktif. 4

GAMBARAN KLINISGambaran klinis SWS mencakup kelainan SSP, mata, dan kulit. Tabel I memperlihatkan gambaran klinis SWS yang sering ditemui. 4

Tabel I.Gambaran Klinis SWS

Gambaran KlinisProsentase(%)

Risiko SWS dengan PWS fasial8

SWS tanpa nevus fasial13

Keterlibatan otak bilateral15

Bangkitan72 93

Hemiparesis33

Hemianopia44

Nyeri kepala77

Keterlambatan perkembangan dan retardasi mental50 75

Glaukoma30 71

Hemangioma koroid40

Sumber: Masanori & Riviello (2008). 4

Bercak Port-wine, Masalah Kosmetik, dan Hipertrofi Jaringan LunakPWS merupakan efloresensi makular kongenital yang bisa menjadi progresif. Lesi ini awalnya bisa berwarna merah muda yang kemudian berubah menjadi lesi nodular merah tua atau ungu (Gambar 1). PWS bisa muncul sendiri di kulit, berhubungan dengan lesi di pembuluh darah koroid mata atau pembuluh darah leptomeningen otak, atau bahkan di kulit bagian tubuh lain. PWS sulit terlihat pada pasien berkulit gelap. 4Pasien yang khas memiliki angioma fasial saat lahir. Meskipun demikian, tidak semua pasien dengan angioma fasial dan PWS mengidap SWS. Insidens keseluruhan SWS pada pasien PWS sekitar 8 33%. Di lain pihak, pada SWS skala Roach tipe III terdapat angioma leptomeningen tanpa kelainan kulit sehingga tidak timbul kecurigaan akan adanya SWS sampai timbul bangkitan atau gangguan neurologis lain. Ini tentu menjadi masalah dalam diagnosis dan prognosis. 4,6

Gambar 1.Bercak port-wine pada pasien SWS di daerah fasial bilateral pada distribusi ramus oftalmikus dan maksilaris.Sumber: Masanori & Riviello (2008). 4

Enjolras, dkk secara retrospektif mempelajari 106 pasien dengan PWS fasial. Dua belas dari mereka menderita SWS dan empat menderita glaukoma tanpa lesi pia mater. SWS terjadi hanya saat PWS melibatkan kulit di distribusi ramus oftalmikus nervus trigeminus (N. V1). Tidak ada pasien dengan PWS di daerah distribusi ramus maksilaris dan mandibularis nervus trigeminus (N. V2 & N.V3) tanpa keterlibatan N. V1 yang menderita PWS. 4Bioxeda, dkk mempelajari 121 pasien PWS yang mengenai kulit pada distribusi nervus trigeminus. Mereka menyimpulkan bahwa hanya pasien dengan PWS di daerah N. V1 yang berisiko epilepsi atau glaukoma. 4Dalam studi tentang SWS terbesar sampai saat ini, Tallman, dkk melaporkan 310 pasien dengan SWS. Delapan puluh lima persen mengalami lesi PWS unilateral, 15% bilateral, dan 68% mengalami lesi di lebih daripada satu dermatom. Hanya pasien dengan PWS yang mengenai distribusi N. V1 dan N. V2 yang mengalami keterlibatan SSP dan mata. Dua puluh empat pasien dengan lesi bilateral dan 6% pasien dengan lesi unilateral mengalami lesi di SSP dan mata. Mereka merekomendasikan pemeriksaan glaukoma dan keterlibatan SSP jika PWS melibatkan kelopak mata, lesi V1, V2, dan V3 unilateral, atau lesi bilateral. 10Perlu diingat bahwa PWS ekstrafasial bisa berhubungan dengan abnormalitas intrakranial seperti yang ditemukan pada SWS, misalnya pada sindrom Klippel-Trenaunay-Weber. PWS di leher juga berhubungan dengan kalsifikasi di lobus oksipitalis. 4,5Survei Sturge-Weber Foundation terhadap 171 pasien SWS melaporkan adanya abnormalitas lain pada seluruh pasien tersebut. Abnormalitas ini mencakup lesi kulit pada semua pasien, asimetrisitas tubuh pada 164 dari 171. Dari 164 pasien tersebut, ditemukan hipertrofi jaringan lunak pada 38 pasien dan skoliosis pada 11 pasien. Karsinoma sel basal dilaporkan pernah timbul dalam lesi PWS. 4

Bangkitan: Bangkitan Refrakter, Bangkitan Fokal, Umum, dan Status EpileptikusInsidens epilepsi pada pasien SWS sekitar 75 90%. Bangkitan bisa bersifat refrakter. Anak dengan SWS bisa memiliki perkembangan neurologis awal yang normal sampai muncul bangkitan sebagai manifestasi gangguan neurologis. Pascual-Castroviejo, dkk melaporkan adanya bangkiyan pada 32 dari 40 pasien SWS. Bangkitan dimulai saat demam pada 10 pasien (demam bisa menjadi faktor pencetus di segala usia). 4,11Kebanyakan tipe bangkitan adalah bangkitan fokal. Dalam penelitian Pascual-Castroviejo, dkk juga dilaporkan 22 (69%) pasien mengalami bangkitan fokal kontralateral dari PWS. Generalisasi sekunder terjadi pada enam dari 22 pasien tersebut. Delapan pasien (25%) mengalami bangkitan umum saat awitan. Dua pasien mengalami spasme infantil. 11Pasien dengan awitan bangkitan lambat memiliki insiden keterlambatan perkembangan yang lebih rendah. Awitan bangkitan sebelum usia dua tahun meningkatkan risiko epilepsi refrakter dan retardasi mental. Pasien dengan bangkitan refrakter lebih sering mengalami retardasi mental. 4Bebin dan Gomez melaporkan awitan lebih dini pada penyakit bilateral. Pascual-Castroviejo, dkk juga melaporkan bahwa pasien dengan bangkitan yang lebih sering cenderung mengalami awitan bangkitan lebih dini. 4,11Status epileptikus lebih berbahaya pada pasien SWS. Ini dikarenakan sistem vaskular telah mengalami gangguan seperti steal phenomenon dari angioma sehingga bangkitan akan lebih mudah menyebabkan cidera otak. 4

HemiparesisInsidens hemiparesis sekitar 33%. Hemiparesis paling sering terjadi akibat iskemia karena oklusi vena dan trombosis. Umumnya kelemahan sepintas bisa terjadi setelah bangkitan. Hemiparesis sepintas bisa disertai nyeri kepala migrain. Ini mungkin menandakan bahwa mekanisme vaskular bertanggung jawab bagi terjadinya hemiparesis sepintas. 4

Episode-episode Serupa StrokeGangguan neurologis sepintas berulang disebut episode-episode serupa stroke. Maria, dkk melaporkan 14 dari 20 pasien yang ditelitinya mengalami gejala ini. Garcia, dkk melaporkan episode trombosis berulang. Selain episode serupa stoke, bisa juga terjadi stroke pada pasien SWS. Insidens gangguan neurologis lebih tinggi pada orang dewasa. 4

HemianopiaMekanisme terjadinya serupa dengan hemiparesis hanya lokasinya saja yang berbeda. Uram dan Zullabigo melaporkan heminaopia pada 11 dari 25 (44%) pasien. 4

Keterlambatan Perkembangan dan Retardasi MentalKeterlambatan perkembangan dan retardasi mental berhubungan dengan besarnya keterlibatan SSP. Masalah ini terjadi pada 50 60% pasien dan lebih sering terjadi pada penyakit bilateral. 4Pada sepuluh pasien SWS, Maria, dkk menemukan keterlambatan perkembangan dan masalah belajar pada kesepuluh pasien dan gangguan hiperaktivitas defisit atensi (attention deficit hyperactivity disorder = ADHD) pada tiga pasien. Abnormalitas yang luas ditemukan pada tujuh dari sepuluh pasien saat dilakukan pemeriksaan menggunakan kombinasi CT scan, MRI, dan SPECT. 4Bangkitan berhubungan dengan insidens retardasi mental yang lebih tinggi dan regresi mungkin berhubungan dengan frekuensi dan keparahan bangkitan. 4

Nyeri KepalaNyeri kepala pada SWS terutama terjadi akibat gangguan vaskular. Gejalanya serupa dengan nyeri kepala tipe migrain. 4 Menurut survei yang dilakukan Sturge-Weber Foundation, nyeri kepala terjadi pada 132 dari 171 (77%) pasien yang diteliti. Pada subkelompok dewasa, nyeri kepala dialami oleh 28 dari 45 (62%) pasien. 4Prevalensi migrain pada pasien SWS yang berusia lebih muda daripada 10 tahun adalah 31%. Jumlah yang lebih besar daripada prevalensi di populasi normal. 4 Manifestasi Gangguan Okular, Glaukoma, Kebutaan, dan BuftalmosKeterlibatan okular mencakup perubahan serupa hemangioma di kelopak mata (dalam pemeriksaan histologi menunjukkan dilatasi vena saja), glaukoma, hemangioma konjungtiva dan episklera, hemangioma koroid difus, dan heterokromia iris. Pembuluh darah retina yang berkelok dengan hubungan arteriovenosus juga bisa ditemukan. Sullivan, dkk meneliti abnormalitas bola mata pada 51 pasien SWS. Dari seluruh pasien, 36 (71%) mengalami glaukoma, dengan awitan sebelum usia 24 bulan pada 26 pasien. Hemangioma konjungtiva atau episklera terjadi pada 35 pasien dan 28 pasien mengalami hemangioma koroid. 4,6Manifestasi gangguan okular yang mengindikasikan adanya glaukoma infantil mencakup diameter kornea lebih daripada 12 mm dalam tahun pertama setelah lahir, edema kornea, robekan membrana desemet, perubahan miopik unilateral atau bilateral, cupping nervus optikus lebih besar daripada 0,3 atau setiap asimetrisitas cup yang berhubungan dengan TIO tinggi. 4,6Glaukoma secara khusus terjadi pada SWS hanya bila PWS melibatkan kelopak mata. Insidens berkisar antara 30 71%. Glaukoma bisa terjadi sejak lahir tetapi juga bisa terjadi di usia berapa saja bahkan pada orang dewasa. Terapi mencakup pemeriksaan tahunan, mendeteksi kerusakan nervus optikus (dengan pengukuran TIO dan lapangan pandang) dan diameter kornea serta perubahan refraksi pada anak. 4,6Glaukoma biasanya terjadi hanya pada PWS fasial ipsilateral tetapi bisa terjadi glaukoma bilateral bila lesinya bilateral. Jarang terjadi glaukoma kontralateral. 6Glaukoma pada SWS disebabkan oleh obstruksi mekanik sudut mata, peningkatan tekanan vena episklera, atau hipersekresi cairan, baik oleh hemangioma koroid atau korpus siliaris. Abnormalitas sudut kamera okuli anterior secara konsisten terlihat pada glaukoma infantil pada SWS. Peningkatan tekanan vena episklera mungkin memainkan peran kunci pada glaukoma awitan lambat. 6Peningkatan vaskularisasi konjungtiva dapat dilihat dengan pemeriksaan slit lamp. Dengan mata telanjang, peningkatan vaskularisasi konjungtiva terlihat berwarna merah mudah. Pleksus pembuluh darah episklera yang abnormal letaknya bisa tersembunyi di bawah jaringan kapsula Tenon pada bayi dan baru terlihat di akhir masa kanak-kanak. 4Pleksus vaskularis episklera dan konjungtiva yang menonjol dan berkelok terdapat pada sekitar 70% pasien SWS dan sering berhubungan dengan peningkatan tekanan vena episklera. Pembuluh darah retina di atasnya mungkin terkena sehingga memberikan memberikan gambaran yang melebar dan berkelok dan juga hubungan arteriovenosa perifer. 4Diagnosis hemangioma koroid dibuat berdasarkan penampakan tumor saat dilihat dengan oftalmoskopi binokular indirek. Dengan berlalunya waktu, hemangioma koroid mampu menyebabkan perubahan sekunder lain seperti degenerasi epitel pigmen retina, metaplasia fibrosa, degenerasi retina kistik, dan ablasio retina. Perkelokan pembuluh darah retina, heterokromia iris, koloboma diskus optikus, dan katarak telah dilaporkan pada pasien SWS. 4,6Heterokromia iris terlihat pada sekitar 10% pasien SWS. Iris yang pigmennya lebih gelap biasanya sesisi dengan PWS. Ini menandakan adanya peningkatan aktivitas dan jumlah melanosit di daerah itu. 4,6Penurunan penglihatan dan kebutaan terjadi karena glaukoma yang tidak diterapi sehingga terjadi peningkatan TIO yang menyebabkan kerusakan nervus optikus. 6 Pembesaran bola mata bisa terjadi dengan mekanisme yang sama dengan glaukoma. 6

PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan LaboratoriumKadar protein cairan serebrospinalis mungkin meningkat. Peningkatan protein ini terjadi akibat perdarahan sekunder. Perdarahan intrakranial sendiri jarang terjadi tetapi perdarahan mikroskopis sering terjadi. 4Pemeriksaan kadar hormon sebaiknya dilakukan mengingat SWS telah dihubungkan dengan gangguan sekresi hormon pertumbuhan dan hormon tiroid.12

PencitraanSelain pemeriksaan klinis, pencitraan neurologis sudah menjadi prosedur pilihan dalam menegakkan diagnosis. Pencitraan neurologis berkembang mulai dari foto Rontgn kepala, angiografi, CT scan, MRI, MRI dengan gadolinium, dan pencitraan fungsional dengan MRS, SPECT, atau PET. 4,5

Foto Rontgn KepalaFoto Rontgn kepala bisa menunjukkan gambaran klasik tram-track seperti ditunjukkan di Gambar 2 13, suatu gambaran kalsifikasi yang dianggap patognomonik untuk SWS di zaman sebelum pencitraan modern. Meskipun demikian, gambaran ini biasanya tidak ditemukan pada tahap awal penyakit. Wilms, dkk melaporkan kalsifikasi tram-track pada pasien sklerosis tuberosa. Borns dan Rancier juga melaporkan temuan ini pada leukemia pada anak. 5

Gambar 2.Gambaran klasik kalsifikasi tram-track pada pasien SWS.Sumber : Desai, dkk (2008).13

AngiografiAngiografi tidak menunjukkan angioma tetapi memperlihatkan kurangnya vena-vena korteks superfisial, tidak terisinya sinus-sinus dura mater, dan vena-vena yang membengkok secara tidak normal ke arah vena Galen. 4,5

CT ScanCT scan mampu memperlihatkan kalsifikasi pada bayi bahkan neonatus. Temuan lain mencakup atrofi otak, pembesaran pleksus koroideus, vena-vena pengalir yang tidak normal, dan kebocoran sawar darah-otak setelah bangkitan. Gambar 3 memperlihatkan penyangatan yang intens dari malformasi angiomatosa dan atrofi hemisfer ipsilateral (a) dan hemiartrofi sinistra korteks serebri serta kalsifikasi giriform yang klasik (b) pada CT scan penderita SWS. Penelitian oleh Terdjman, dkk terhadap CT scan 14 anak dengan SWS memperlihatkan kalsifikasi korteks pada 12 pasien, atrofi terlokalisasi 10 pasien, dan pembesaran pleksus koroideus serta vena-vena yang abnormal tujuh pasien.4,5

A BGambar 3.CT scan penderita SWS.a. CT scan kontras: penyangatan yang intens dari malformasi angiomatosa & atrofi hemisfer ipsilateral; b. hemiartrofi korteks serebri sinistra & kalsifikasi giriform yang klasik.Sumber : Khan, dkk (2008).5

Magnetic Resonance Imaging (MRI)Meski MRI tidak bisa memperlihatkan kalsifikasi, penyangatan gadolinium mampu memperlihatkan angioma di pia mater. Jadi diagnosis dini SWS dimungkinkan dengan MRI. Sugama, dkk melaporkan bahwa temuan paling khas SWS di MRI adalah penyangatan angioma leptomeningen setelah pemberian gadolinium yang biasanya tidak terlihat di CT scan atau angiografi. Gambar 4 memperlihatkan MRI T1WI dengan pemberian zat kontras gadolinium pada pasien SWS. Tampak penyangatan pia mater yang intens di malformasi angiomatosa dan atrofi korteks serebri sekitarnya (a) dan atrofi serebri dekstra, korteks oksipital yang menyangat, dan pembesaran pleksus koroideus dekstra (b2). 4,5Temuan lain mencakup mielinisasi di sekitar angioma leptomeningen, pleksus koroideus besar yang ukurannya berkorelasi dengan pembesaran angioma, serta oklusi sinovenosa progresif di MRI venografi. 4 Juhasz, dkk melaporkan bahwa volume substansia alba hemisfer serebri yang terletak sesisi dengan angioma merupakan prediktor independen untuk IQ. Penurunan volume substansia alba di lokasi tersebut mungkin berperan dalam terjadinya gangguan kognitif pada anak dengan SWS. 4Lin, dkk melaporkan temuan MRI perfusi yang sesuai dengan gangguan drainase vena pada kasus SWS awal dengan bangkitan awitan baru. MRI spektroskopi menunjukkan peningkatan kolin tetapi tidak ada penurunan N-asetil-aspartat (NAA). Laporan lain menunjukkan adanya penurunan NAA. Gambaran MRI difusi di daerah yang abnormal menunjukkan peningkatan apprarent diffusion coefficient (ADC). 4Sivaswamy, dkk melaporkan abnormalitas diffusion tensor imaging (DTI) di traktus kortikospinalis hemisfer yang terkena yang terlihat sebelum timbul defisit motorik. 4

A B1B2Gambar 4.a. MRI T1WI potongan aksial dengan pemberian zat kontras gadolinium pada anak berusia 5 tahun dengan nevus fasialis dekstra dan riwayat kejang fokal: tampak penyangatan pia mater yang intens pada malformasi angiomatosa dan atrofi korteks serebri sekitarnya; b1. CT scan potongan aksial dengan pemberian kontras pada pasien SWS: tampak atrofi serebri dekstra dan pembesaran pleksus koroideus dekstra; b2. MRI T1WI potongan aksial dengan pemberian zat kontras gadolinium pasien yang sama: tampak atrofi serebri dekstra, korteks oksipital yang menyangat, dan pembesaran pleksus koroideus dekstra; penyangatan malformasi ini tidak jelas terlihat dalam CT scan yang dibuat sebelumnya.Sumber : Khan, dkk (2008). 5Single-photon Emission Computed Tomography (SPECT)SPECT mengukur aliran darah otak secara noninvasif. Pada pasien SWS terlihat penurunan perfusi di lokasi angioma pia mater (Gambar 5) dan dengan demikian bisa mendeteksi angioma laten yang tidak terdeteksi dengan modalitas lain. 4 Reid, dkk menunjukkan bahwa hipoperfusi sudah terjadi sebelum timbul kalsifikasi, pengaliran abnormal, atau penyangatan CT scan/ MRI. Namer, dkk memperlihatkan adanya steal phenomenon selang terjadinya bangkitan yang menyebabkan iskemia di daerah yang jauh. Printon, dkk menemukan bahwa awalnya korteks mengalami hiperperfusi selang tahun pertama setelah lahir, sebelum bangkitan pertama. Setelah satu tahun baru timbul gambaran hipoperfusi bahkan pada pasien tanpa epilepsi. Maria, dkk melaporkan pembesaran pleksus koroideus dengan abnormalitas yang terlihat di SPECT. 4

Gambar 5.SPECT pasien SWS.Tampak penurunan perfusi terutama di hemisfer dekstra.Sumber: Masanori & Riviello (2008).

Positron Emission Tomography (PET)Dari penelitian terhadap gambaran PET pasien SWS, Chugani, dkk memperlihatkan daerah dengan abnormalitas metabolik yang luasnya melebihi daerah dengan abnormalitas anatomik. Dengan demikian, modalitas PET bisa dijadikan sumber informasi dalam menentukan pasien mana yang akan menjalani hemisferektomi atau reseksi korteks terbatas. 4

Sebagai rangkuman, untuk mengetahui perluasan maksimal penyakit dibutuhkan kombinasi modalitas pencitraan neurologis struktural dan fungsional karena ketidakcocokkan (mismatch) bisa terjadi di antara modalitas-modalitas tersebut. Hal ini terutama penting dalam identifikasi daerah epileptogenik yang harus diketahui dalam pembedahan. 4,5

ElektroensefalografiEEG digunakan untuk mengevaluasi bangkitan dan lokalisasi aktivitas bangkitan pada bangkitan refrakter yang dipertimbangkan untuk dioperasi. 4Brenner dan Sharbrough melaporkan penurunan unilateral amplitudo latar sebagai temuan yang paling konsisten baik pada saat bangun atau tidur. Temuan EEG mendahului timbulnya kalsifikasi. Aktivitas epileptiform terbatas di hemisfer yang terlibat. 4Pada studi terbaru, Sassower, dkk melaporkan atenuasi voltase yang bermakna di daerah angioma pada 13 dari 14 pasien. Aktivitas delta polimorfik timbul pada 12 dari 14 pasien. Aktivitas delta polimorfik bersifat unilateral pada enam pasien dan berkorelasi dengan angiomatosis. Tidak ada pasien dengan aktivitas delta polimorfik unilateral yang mengalami retardasi mental. Pada enam pasien dengan aktivitas delta polimorfik bilateral, empat pasien mengalami retardasi mental meski angiomanya unilateral. Gelombang paku interiktal terlihat hanya pada dua pasien dan bersifat bilateral pada satu pasien dengan angioma unilateral. Bangkitan terekam pada empat pasien dan aktivitas iktalnya muncul dari sekitar lesi. Bangkitan bersifat refrakter terhadap terapi pada enam dari 14 pasien. 4Erba dan Cavazzuti melaporkan di akhir perjalanan penyakit, aktivitas epileptiform bisa timbul dari korteks kontalateral. 4Pada suatu studi yang dilakukan di Toronto, ditemukan bahwa EEG hanya normal pada 4% kasus, supresi latar terjadi pada 74% kasus (64% unilateral, 10% bilateral), dan lepasan epileptiform terjadi pada 22% kasus. 4Rangkuman temuan pemeriksaan penunjang yang menunjang diagnosis SWS dapat dilihat dalam Tabel III. 4

Tabel III.Temuan Yang Menunjang Diagnosis SWS Dari Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan PenunjangTemuan

Analisis CSSPeningkatan protein

Foto Rontgn KepalaKalsifikasi bentuk tram-track

AngiografiKurangnya vena korteks superfisialTidak terisinya sinus-sinus dura materPembuluh darah yang berkelok secara abnormal

CT scanKalsifikasi, kalsifikasi bentuk tram-trackAtrofi korteksPembesaran pleksus koroideusKebocoran sawar darah-otak (saat bangkitan)Penyangatan kontras

MRIOklusi sinovenosaAtrofi korteksMielinisasi sekitar angioma leptomeningen

SPECTHiperperfusi, tahap diniHipoperfusi, tahap lanjut

PETHipometabolisme

EEGPenurunan aktivitas latarAktivitas delta polimorfikAktivitas epileptiform

Sumber: Masanori & Riviello (2008). 4

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDINGDiagnosis SSW ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis yang ditemukan pada organ nervus, kulit, mata, serta di tunjang oleh pemeriksaan radiologi, EEG dan laboratorium. Del Monte MA membagi SSW menjadi klasifikasi sebagai berikut: Complete trisymptomatic SSW: jika bermanifestasi lengkap pada tiga organ saraf, mata, dan kulit. Inclomplete bisymtomatic SSW : terdiri dari oculocutaneus yang meliputi mata dan kulit dan neurokutaneus yang meliputi nervus dan kulit. Inclomplete monosimptomatic SSW : apabila mengenai neural atau kutaneus (PWS)Diagnosis banding SWS cukup banyak bila kita mendiagnosis banding setiap unsur dari sindrom tersebut. Bangkitan, nyeri kepala, episode serupa stroke, dan stroke, keterlambatan perkembangan, serta retardasi mental harus didiagnosis banding dengan penyebab lain yang bisa ditemukan pada anak. Sindrom Klippel-Trenaunay-Weber memberikan gambaran PWS di wajah dan ekstremitas yang disertai hemihipertrofi jaringan lunak dan tulang, angioma SSP, dan mungkin berhubungan dengan tumor solid organ dalam terutama ginjal, kelenjar adrenal, atau hepar. Sindrom Beckwith-Wiedemann memberikan gambaran PWS disertai makroglosia, omfalokel, dan hiperplasia organ dalam. 5Hemangioma koroid terkadang sukar dibedakan dengan melanoma. Tumor fundus berwarna jingga yang harus dipertimbangkan dalam mendiagnosis banding hemangioma koroid difus adalah ablasio epitel pigmen retina serosa, osteoma koroid, skleritis nodular, dan hemangioma kapiler retina eksofitik. 4,6Sindrom Klippel-Trenaunay-Weber dan sindrom Wyburn-Mason dapat memberikan gambaran angiografik yang mirip SWS. Kalsifikasi intrakranial giriformis juga bisa disebabkan oleh infark serebri, meningitis dan ensefalitis, iradikasi tulang tengkorak, meningioangiomatosis, penyaki seliak, dan leukemia setelah pemberian methotrexate intratekal. 5Diagnosis SWS klasik dibuat jika kita menemukan adanya PWS yang disertai angioma leptomeningen dan koroid. Terdapat beberapa variasi dari bentuk klasik penyakit ini seperti yang terlihat dalam skala Roach. 4Pada Gambar 6 ditunjukkan ilustrasi pendekatan diagnosis SWS pada seorang anak dengan PWS. 6

A B

CGambar 6.Contoh pendekatan diagnosis pada SWS.a. Seorang anak dengan PWS yang terutama mengenai daerah N. V2 & V3 sinistra dengan keterlibatan daerah N. V1 sinistra yang lebih ringan. Tampak jelas glaukoma sekunder; b. Selanjutnya dilakukan ultrasonografi bola mata dan tampak penebalan koroid difus yang sesuai dengan hemangioma koroid difus; c. MRI T1WI yang dibuat selanjutnya menunjukkan hemiatrofi serebri sinistra yang berhubungan dengan angioma leptomeningen.Sumber : Del Monte & Eibschitz-Tsimhoni (2007). 6

PENATALAKSANAANMedikamentosisTerapi medikamentosis mencakup antara lain antikonvulsan untuk pengendalian bangkitan, terapi simptomatik dan profilaksis nyeri kepala, terapi glaukoma untuk menurunkan tekanan intraokular, dan terapi laser untuk PWS. 4

BangkitanObat antiepilepsi yang dipilih sebaiknya adalah antiepilepsi yang efektif untuk bangkitan fokal karena bangkitannya yang khas bersifat fokal. Dapat dicoba terapi dengan carbamazepine, valproic acid, gabapentin, clonazepam, phenobarbital, dan phenytoin. Cara pemberian dan evaluasi sama seperti dalam pengobatan epilepsi. 4

GlaukomaTujuan terapi adalah perbaikan gejala, pengendalian tekanan intraokular untuk mencegah cidera nervus optikus. 6Untuk anisometropia ringan dapat dilakukan koreksi optik total di kedua mata atau setidaknya koreksi total perbedaan refraksi antar mata. Pada anisometropia berat atau jika timbul strabismus pada anak harus dilakukan terapi untuk mencegah ambliopia dan strabismus. 6Terapi medis pada SWS dengan glaukoma biasanya pada akhirnya gagal. Meskipun demikian terapi ini dapat digunakan sementara untuk segera menurunkan TIO sembari pasien menunggu giliran operasi. Pada anak-anak, hal ini juga bertujuan untuk menunda bedah filtrasi sebab tindakan ini sulit dilakukan di mata yang lebih kecil (lebih eksesif dan kecenderungan terjadinya parut di tempat flap sklera lebih besar). 6Terapi medis juga berfungsi sebagai tambahan untuk pembedahan. Terapi antiglaukoma topikal selama beberapa waktu bisa membantu menurunkan TIO pasca operasi yang masih sedikit lebih tinggi daripada nilai normal sehingga tidak perlu dilakukan reoperasi ulang. Terapi medis awal dengan penyekat beta topikal yang diikuti penambahan inhibitor anhidrase karbonat (sistemik pada bayi dan topikal pada anak yang lebih tua) dan prostaglandin (latanoprost) merupakan protokol yang dianjurkan untuk pasien SWS pasca operasi glaukoma. 5,6Efektifitas radioterapi seperti brakiterapi atau iradiasi sinar eksternal untuk pasien hemangioma koroid difus yang berhubungan dengan ablasio retina bulosa masih belum diketahui. Masih diperlukan penelitian lanjut untuk menilai hasilnya dibandingkan terapi standar seperti fotokoagulasi. 5,6Paulus, dkk melaporkan adanya perbaikan dari ablasio retina eksudatif persisten setelah terapi dengan injeksi pegaptanib (anti-WEGF) pada seorang penderita SWS berusia 13 tahun. Walaupun demikian, tidak terjadi perbaikan visus.14

Nyeri KepalaKossoff, dkk memeriksa 68 pasien SWS dengan nyeri kepala. Awitan rata-rata nyeri kepala adalah delapan tahun. Lima puluh lima dari 68 pasien tersebut juga menderita bangkitan. Dua puluh dua pasien dengan epilepsi merasa nyeri kepalanya lebih bermakna daripada epilepsi. Riwayat nyeri kepala dalam keluarga ditemukan pada 37 pasien. Kebanyakan pasien hanya menerima terapi abortif, terutama paracetamol dan ibuprofen. Hanya 15 pasien yang menggunakan obat profilaksis seperti gabapentine, valproate, dan amytriptiline (tidak ada yang menggunakan penyekat adrenergik beta). 4 Kossoff, dkk juga melaporkan 104 pasien dengan SWS dan nyeri kepala tipe migrain. Kesimpulannya, pada SWS, agen profilaksis dan golongan triptan terlihat lebih efektif mengatasi nyeri kepala. 4

Kejadian Serupa StrokeAspirin telah digunakan untuk nyeri kepala dan pencegahan penyakit vaskular terutama pada pasien dengan perburukan gambaran neurologis dan kejadian vaskular berulang. Aspirin harus digunakan secara berhati-hati pada anak-anak karena risiko efek samping terutama terjadinya sindrom Reye. Thomas-Sohl, Vaslow, dan Maria merekomendasikan aspirin 3 5 mg/kgBB/hari untuk kejadian serupa stroke. Mereka juga menganjurkan imunisasi varisela dan influenza tahunan karena terdapat hubungan antara varisela dan influenza dengan terjadinya sindrom Reye. 4 Maria, dkk melaporkan penurunan insiden kejadian serupa stroke pada 20 pasien yang menerima aspirin. Dari 119 kejadian serupa stroke, 31 terjadi pada pasien yang diterapi dengan aspirin dan 88 terjadi pada pasien yang tidak menerima aspirin. Peneliti menganjurkan penelitian lanjut tentang terapi aspirin pada SWS. 4

Keterlambatan Perkembangan dan Retardasi MentalKeterlambatan dan retardasi mental, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bisa ditemui pada penderita SWS. Keterlambatan perkembangan mungkin bersifat global dan membutuhkan kerjasama berbagai bidang keahlian. Idealnya penanganan harus segera dilakukan sebelum usia enam bulan. 4 Penanganan mencakup terapi terhadap anak dan bimbingan/ bantuan terhadap keluarga. 4 Penanganan terhadap anak berupa bantuan dalam menguasai suatu keterampilan semaksimal mungkin, fisioterapi untuk gangguan neuromuskular dan fungsi motorik kasar, terapi okupasi untuk masalah motorik halus, terapi wicara, serta bimbingan mental dan psikososial. 1,4,16 Orang tua/ keluarga harus dibimbing dan diedukasi mengenai masalah dan masa depan anak sehingga mampu menyesuaikan sikap dan harapan terhadap anaknya. Informasi mengenai hal-hal yang dapat dilakukan juga perlu disampaikan kepada orang tua/ keluarga. 1,16Sampai saat ini belum ada terapi untuk mengembalikan fungsi susunan saraf yang subnormal dalam perkembangannya. Penatalaksanaan retardasi mental pada SWS, seperti halnya karena sebab lain, mencakup bimbingan dan edukasi orang tua/ keluarga, penyesuaian pendidikan, sosial, dan pekerjaan. Pada retardasi mental berat mungkin perlu dipertimbangkan perawatan panti. 1,4Peran dokter anak penting dalam memantau perkembangan anak dan mendeteksi adanya penyulit lain yang sering ditemui pada anak dengan gangguan perkembangan dan retardasi mental seperti infeksi, trauma, child abuse, malnutrisi, dan gangguan hormonal.

Gangguan PerilakuGangguan perilaku pada SWS yang bersifat hilang-timbul harus didiagnosis banding dengan suatu bangkitan. Gangguan perilaku bisa merupakan manifestasi iktal (bangkitan parsial kompleks) atau postiktal. Pada orang tua, perlu didiagnosis banding dengan demensia oleh berbagai sebab. 4Terapi mencakup pemberian obat antiepilepsi dan antipsikosis seperti risperidone. 4

Bercak Port-wineBercak port-wine harus diperiksa dalam minggu pertama setelah lahir dan dibedakan dengan hemangioma. PWS diterapi dengan terapi laser yang harus dimulai sedini mungkin karena dapat mengurangi jumlah sesi yang dibutuhkan. Makin kecil lesi awal juga akan makin menurunkan jumlah sinar laser yang dibutuhkan untuk menghilangkan lesi. 4,15Troilius, dkk melaporkan keuntungan psikologis dari terapi dini PWS. 4 Tidak ada perubahan pigmentasi menetap atau parut pasca terapi yang dilaporkan setelah terapi laser. 4

Terapi BedahPembedahan ditujukan untuk bangkitan refrakter, glaukoma, dan masalah spesifik yang berhubungan dengan bermacam-macam kelainan penyerta seperti skoliosis. 4

Bangkitan RefrakterPembedahan merupakan pilihan terapi bagi bangkitan refrakter yang gagal diterapi secara medis, terutama untuk bangkitan fokal. Prosedur bedah mencakup reseksi korteks terbatas, hemisferektomi, korpus kalosotomi, dan yang paling baru adalah stimulasi nervus vagus. SWS dianggap salah satu epilepsi berat yang, menurut Holmes, menyebabkan pengendalian dan keluaran perkembangan yang jelek bila tidak dikendalikan sejak dini. 4 Pembedahan dini sudah dianjurkan secara khusus pada SWS untuk memperbaiki keluaran dan mencegah bangkitan refrakter, keterlambatan perkembangan, dan hemiparesis. Di era sebelum pencitraan neurologis modern, Alexander dan Norman, dan kemudian Alexander, menganjurkan kraniotomi eksplorasi dan kemudian lobektomi jika diagnosisnya sesuai. Ini dianjurkan bahkan sebelum bangkitannya dimulai karena mereka menemukan bahwa bangkitan awitan dini berhubungan dengan retardasi mental. 4Hoffman, dkk dan kemudian Ogunmegan, dkk selanjutnya menganjurkan hemisferektomi dini untuk bangkitan. Dengan demikian, perlunya pembedahan, waktunya, serta prosedur bedah yang cocok perlu dipertimbangkan masak-masak. Erba dan Cavazzuti memperkirakan sekitar 40% pasien SWS bisa menjadi kandidat pembedahan epilepsi dengan mengeksklusi pasien yang memiliki pengendalian bangkitan yang baik atau penyakit bilateral. 4Peluang untuk mencapai pengendalian bangkitan dengan terapi medis pada SWS bervariasi. Menurut beberapa seri penelitian, pengendalian bangkitan sempurna dicapai pada 10 50% pasien dan bangkitan refrakter terjadi pada 11 83% pasien. 4 Jika dipertimbangkan untuk terapi bedah, pilihan prosedur yang sesuai harus menjadi pertimbangan utama. Daerah epileptogenik dilokalisasi di daerah korteks sekitar angioma. Mungkin diperlukan elektrokortikografi. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa angioma leptomeningen biasanya meliputi seluruh hemisfer dan daerah tanpa angioma pun dapat bersifat epileptogenik dan karenanya membutuhkan pembedahan untuk mencapai pengendalian bangkitan. 4 Reseksi korteks fokal (reseksi yang lebih terbatas) dilakukan bila angioma leptomeningen lebih kecil dan lebih terlokalisasi. Reseksi korteks terbatas lebih kurang menyebabkan defisit neurologis. Lokasi reseksi bisa ditentukan sebelum tindakan dengan menentukan daerah awitan bangkitan. Hal ini dilakukan dengan menggunakan elektroensefalografi permukaan maupun elektrokortikografi yang dikombinasikan dengan pencitraan neurologis struktural dan fungsional kemudian dilanjutkan dengan elektrokortikografi intraoperatif. 4Bangkitan sisa lebih sering terjadi pada reseksi terbatas daripada hemisferektomi. Gilly, dkk melaporkan tingkat kegagalan sebesar 30% setelah suatu reseksi terbatas. Pada kombinasi data dari tiga pusat bedah didapatkan tingkat kegagalan 12,5%.4Hemisferektomi dilakukan bila ditemukan daerah epileptogenik unilateral yang luas. Kossoff, dkk mengevaluasi keluaran hemisferektomi pada 32 pasien SWS. Semua pasien menjalani hemisferektomi antara tahun 1979 hingga 2001, usia rata-rata saat awitan bangkitan adalah empat bulan, dan usia rata-rata pembedahan adalah 1,2 tahun. Enam belas pasien menjalani hemisferektomi anatomis, 14 menjalani hemisferektomi fungsional, dan dua menjalani hemidekortikasi. Tindakan dilakukan di 18 pusat di seluruh dunia. Lima belas pasien mengalami penyulit segera setelah operasi yang mencakup perdarahan, infeksi, dan nyeri kepala berat. Mereka kemudian menjalani operasi ulang karena bangkitan berulang, shunting, atau hipertensi. Tidak ada yang meninggal. 4Dalam studi tersebut, 81% pasien menjadi bebas bangkitan, dengan 53% tidak lagi mengkonsumsi obat antiepilepsi. Tipe pembedahan (hemisferektomi anatomis, hemisferektomi fungsional, hemidekortikasi) tidak mempengaruhi keluaran. Usia saat awitan bangkitan tidak memprediksi keadaan bebas bangkitan. Hemiparesis pasca operasi tidak memburuk dibanding sebelum pembedahan. Keluaran kognitif tidak berhubungan dengan usia saat pembedahan, lokasi pembedahan, atau keadaan bebas bangkitan. 4Menurut kelompok Toronto, hemisferektomi lebih baik dilakukan saat bayi karena pengendalian bangkitan dini membantu mempertahankan fungsi hemisfer normal. 4 Bila pasien bukan merupakan kandidat untuk reseksi terbatas atau hemisferektomi, misalnya pada kasus penyakit bilateral, dapat dilakukan korpus kalosotomi atau stimulasi nervus vagus. 4 Hoffman melaporkan beberapa hal mengenai pembedahan pada SWS: 4 Gangguan fokal berespons baik terhadap reseksi. Elektrokortikografi mampu menentukan korteks epileptogenik. Hemisferektomi menghasilkan perbaikan keluaran yang bermakna dengan intelegensi normal dan peluang menjadi bebas kejang sebesar lebih daripada 90%.Sturge-Weber Foundation telah membentuk suatu kelompok kerja untuk mengevaluasi bedah epilepsi pada SWS. Berikut adalah rekomendasinya: 4 Hemisferektomi tidak harus dilakukan pada semua pasien SWS hanya karena makin meningkatnya praktek pembedahan dini. Pembedahan hanya sesuai untuk bangkitan yang refrakter dengan obat-obatan. Pasien dengan bangkitan refrakter dan lesi yang sangat terlokalisasi sebaiknya menjalani reseksi terbatas yang mempertahankan sebanyak mungkin jaringan normal. Video EEG dan pencitraan neurologis struktural serta fungsional harus digunakan untuk menentukan perluasan lesi dan lokasi asal bangkitan. Korpus kalosotomi hanya dilakukan pada pasien dengan bangkitan atonik atau tonik refrakter yang menyebabkan cidera sekunder, yang bukan merupakan kandidat bagi pembedahan yang lebih definitif. Pembedahan harus dilakukan hanya di pusat dengan program bedah epilepsi anak yang sedang berjalan. Meski keuntungan pembedahan bagi bangkitan refrakter telah diterima secara umum, masih diperlukan penelitian lanjut untuk mengevaluasi perjalanan penyakit dan untung-rugi yang mungkin diperoleh dari pembedahan. Stimulasi nervus vagus bisa dilakukan pada pasien yang bukan kandidat pembedahan.

Pembedahan MataKebanyakan dokter spesialis mata memilih pembedahan sebagai terapi glaukoma pada pasien SWS dan terapi medis sebagai tambahan. Meskipun demikian, teknik operasi masih menjadi kontroversi. Goniotomi, trabekulotomi, kombinasi trabekulotomi-trabekulektomi, trabelukoplasti laser argon, goniotomi laser Nd:YAG, dan prosedur seton sudah digunakan untuk glaukoma pada SWS, tetapi hasil jangka panjangnya sering mengecewakan. Belum ada prosedur yang memperlihatkan kesuksesan seperti pada glaukoma infantil primer. 6Tujun terapi adalah penurunan TIO yang cepat dan permanen hingga ke nilai normal (