Studi Kasus Kelompok IV Kebudayaan Flores Dan Kebudayaan Timor

download Studi Kasus Kelompok IV Kebudayaan Flores Dan Kebudayaan Timor

of 2

Transcript of Studi Kasus Kelompok IV Kebudayaan Flores Dan Kebudayaan Timor

KELOMPOK IV : 1) FRAN MORI 2) GALIH RAMIAJI E.S 3) GANJAR GITA P. 4) I DEWA GDE G. M. P STUDI KASUS KELOMPOK IV KEBUDAYAAN FLORES DAN KEBUDAYAAN TIMOR KASUS I - KEBUDAYAAN FLORES : KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PADA MASYARAKAT FLORES KITA kembali dikejutkan oleh peristiwa kekerasan dalam rumah tangga. Berita duka itu datang dari Kampung Golo Wunis, Kecamatan Elar, Manggarai Timur. Gerardus Janu (48 tahun) membunuh istrinya Gaudensia Dakoka (37 tahun) pada hari Selasa (7/2/2012). Polisi telah menahan pelaku dan sedang diproses secara hukum di Polres Manggarai (Flores Pos edisi Kamis, 9 Februari 2012 dan edisi Jumat, 10 Februari 2012) Dari laporan media, berdasarkan pengakuann pelaku kepada penyidik kepolisian di Ruteng, dia tidak punya niat sama sekali untuk membunuh istrinya. Emosinya memuncak ketika dia menemukan istrinya sedang makan sirih pinang di pondok tetangga. Kontan dia ingat lagi perlakuan istrinya terhadap dirinya. Saat itu langsung dia naik pitam dan menghabisi nyawa istrinya. Kendati suaminya mengaku bahwa dia tidak punya niat sama sekali untuk membunuh istrinya walaupun kita tidak terlalu yakin dengan pengakuan itu namun paling kurang dari pengakuannya di polisi, kita tahu bahwa mereka punya masalah dalam keluarga yang tidak terselesaikan dengan baik Ada apa dibalik seringnya muncul kasus kekerasan dalam rumah tangga di Flores? Penyelesaian : inilah yang pada umumnya terjadi dalam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, yang berujung pada pembunuhan di Flores. Konflik dalam keluarga yang tidak pernah tuntas diselesaikan. Kasus pembunuhan oleh suami terhadap istri di Flores sebagiannya disebabkan karena masalah sosial budaya dan intervensi keluarga besar (extended family) yang membebani kehidupan keluarga inti (nuclear family), tapi sebagian karena konflik dalam hubungan dan relasi pribadi antar-suami dan istri, yang tidak pernah tuntas. Dalam kultur kita di Flores, konflik dalam hubungan pribadi suami dan istri menjadi sesuatu yang personal, privat, dan rahasia. Budaya apa kata orang nanti begitu kuat sehingga sulit sekali suami dan istri membawa masalah mereka ke luar pintu rumah. Inilah silent culture (kultur bisu) yang terjadi di dalam rumah tangga. Oleh karena itulah maka konflik yang tidak terselesaikan ini menjadi api dalam sekam. Suami seringkali memilih untuk mengakhiri konflik tersebut dengan membunuh istrinya. Sebab perempuan dalam budaya kita adalah pihak yang selalu kalah dan lemah. Persentase tingkat kekerasan dalam rumah tangga yang tinggi di Flores sebagaimana dilaporkan media menunjukkan bahwa keluarga-keluarga kita memang sedang bermasalah. Namun di pihak lain keluarga-keluarga kita hampir tidak menemukan lembaga atau institusi yang bisa bekerja efektif dan maksimal untuk menolong keluarga-keluarga ini keluar dari masalah mereka.

Menurut kelompok kami, ada beberapa usulan solusi dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut : 1. Meningkatkan peran Gereja Katolik dalam reksa pastoralnya memberi perhatian pada masalah keluarga, baik melalui pembinaan dan kursus perkawinan maupun dalam marriage encounter (ME) yang tidak hanya pada pasangan yang sudah tua tapi juga pasangan yang baru menikah. 2. Mengingat budaya malu masyarakat flores sangat kental, perlu ada sosialisasi terutama dari tokoh masyarakat dan pemerintah daerah untuk mengarahkan budaya ini ke arah yang lebih positif dengan mengadakan kegiatan seperti bimbingan psikologi keluarga, lembaga pemberdayaan keluarga, dll 3. Karena perempuan merupakan pihak yang paling sering menjadi korban, perlu ada lembaga perlindungan perempuan di daerah, penyuluhan terhadap peran perempuan yang lebih intensif. 4. Menghindari intervensi keluarga besar dengan cara, keluarga inti hidup terpisah dan mencari rumah baru untuk tinggal. KASUS II - KEBUDAYAAN TIMOR : SASANDO, ALAT MUSIK NAN MERDU KURANG DIPERHATIKAN Alat musik masyarakat Rote, Sasando, tergolong cordophone yang dimainkan dengan cara petik pada dawai yang terbuat dari kawat halus. Resonator sasando terbuat dari daun lontar yang bentuknya mirip wadah penampung air berlekuk-lekuk. Susunan notasinya bukan beraturan seperti alat musik pada umumnya melainkan memiliki notasi yang tidak beraturan dan tidak terlihat karena terbungkus resonator. Sasando dimainkan dengan dua tangan dari arah berlawanan, kiri ke kanan dan kanan ke kiri. Tangan kiri berfungsi memainkan melodi dan bas, sementara tangan kanan bertugas memainkan accord. Sasando di tangan pemain ahlinya dapat menjadi harmoni yang unik. Sebab hanya dari satu alat musik, sebuah orkestra dapat diperdengarkan Sayang, sasando ibarat masterpiece maestro yang terpendam dan nyaris punah. Alat musik luar biasa itu terancam tinggal cerita manakala di tempat asalnya sendiri telah menjadi sesuatu yang asing. Sasando memang menyimpan kisah haru. Alat musik ciptaan dua pendeta asal Pulau Rote itu kini hanya dapat dipetik oleh delapan orang yang menjadi generasi terakhirnya.?? Penyelesaian : 1. Harus ada upaya besar dari generasi terakhir pemetik sasando untuk mengajarkan masyarakat lainnya untuk bermain sasando, tidak hanya membuatnya. 2. Pendirian sanggar budaya Timor karena Sasando tidak hanya dimainkan begitu saja, melainkan dipadukan dengan budaya pakaian orang timor, topi tiilangga, dan aksesoris nya. 3. Promosi yang gencar oleh Pemda ke tingkat nasional melalui partisipasi dalam festival budaya nasional. 4. Perhatian dan fokus pemda terhadap potensi Sasando untuk menjadi alat musik yang dapat dilirik di dunia internasional dan menjadi kebanggaan bangsa.