Stabilitas Vitamin C

25

Click here to load reader

Transcript of Stabilitas Vitamin C

Page 1: Stabilitas Vitamin C

STABILITAS

I. Tujuan Praktikum

Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk

1. Menerangkan faktor – faktor yang mempengaruhi kestabilan suatu zat

2. Menerangkan pengaruh suhu terhadap kestabilan zat

II. Dasar teori

A. Stabilitas

Dalam pengembangan suatu bahan obat, selain aktivitas farmakologis, salah

satu faktor yang perlu diperhatikan adalah stabilitas bahan obat. Stabilitas bahan obat

merupakan tahap awal penentuan baik atau tidaknya bahan obat tersebut untuk

dibuat suatu sediaan, sehingga dapat digunakan secara aman.

Banyak hasil degradasi bahan obat yang dapat menimbulkan reaksi samping.

Hasil degradasi tersebut yang paling sering dapat menjadi senyawa inisiator

pembentukan antigen adalah terjadinya reaksi anafilaksis atau reaksi alergi. Beberapa

diantara hasil degradasi tersebut bersifat sangat toksik. Oleh karena itu penentuan

stabilitas calon bahan obat sangat perlu dilakukan.

Tanggal kadaluarsa merupakan gambaran dari stabilitas obat dalam

penyimpanan. Stabilitas obat merupakan kemampuan suatu produk untuk bertahan

dalam batas yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan. Sifat

dan karakteristiknya sama dengan yang dimilikinya pada saat produk dibuat.

Kestabilan obat dapat dilihat dari beberapa hal dengan suatu perubahan dalam

penampilan fisik seperti warna, bau, rasa dan tekstur. Sedangkan dalam hal lain

perubahan kimia dapat terjadi yang tidak bisa dibuktikan sendiri dan hanya bisa

dibuktikan melalui analisis kimia.

Tanggal kadaluarsa menyatakan waktu dimana kandungan suatu obat telah

mencapai 90% dari kadar yang tertera pada etiket jika disimpan pada tempat dan

suhu yang sesuai. Berarti sekitar 10% dari kandungan obat telah mengalami

penguraian. Disinilah letak perlu ditentukannya tanggal kadaluarsa. 10% kandungan

obat yang terurai tidak diketahui secara pasti menjadi zat apa setelah mengalami

penguraian, apakah menjadi senyawa yang tidak aktif atau bahkan berubah menjadi

Page 2: Stabilitas Vitamin C

senyawa yang bersifat toksik. Efek terapi yang diinginkan pun menjadi menurun

karena penguraian yang terjadi.

Perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan suatu zat sehingga

dapat dipilih kondisi pembuatan sediaan yang tepat sehingga kestabilan obat terjaga.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kestabilan suatu zat antara lain panas,

cahaya, kelembaban, oksigen, pH, mikroorganisme, dan bahan-bahan tambahan yang

dipergunakan dalam formula sediaan obat. Sebagai contoh: senyawa-senyawa ester

dan amil nitrat seperti anvil nitrat dan kloramfenikol merupakan zat yang mudah

terhidrolisis dengan adanya lembab. Sedangkan vitamin C sangat mudah sekali

mengalami oksidasi. Pada umumnya penentuan kestabilan suatu zat dapat dilakukan

melalui perhitungan kinetika kimia. Cara ini tidak memerlukan waktu yang lama

sehingga cukup praktis digunakan dalam bidang farmasi.

Proses laju merupakan hal dasar yang perlu diperhatikan bagi setiap orang yang

berkaitan dengan bidang kefarmasian, mulai dari pengusaha obat sampai ke pasien.

Pengusaha obat harus dengan jelas menunjukkan bentuk obat atau sediaan yang

dihasilkannya cukup stabil sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu yang cukup

lama, di mana obat tidak berubah menjadi zat yang tidak berkhasiat atau racun.

1. Laju dan Orde Reaksi

a. Laju Reaksi

Laju atau kecepatan suatu reaksi dilambangkan dengan ± , artinya

terjadi penambahan (+) atau pengurangan (-) konsentrasi (C) dalam selang

waktu dt.

b. Orde Reaksi

Dari hukum aksi massa, suatu garis lurus didapat bila laju reaksi diplot

sebagai fungsi dari konsentrasi reaktan dipangkatkan dengan bilangan tertentu.

Orde reaksi keseluruhan adalah jumlah pangkat konsentrasi-konsentrasi yang

menghasilkan sebuah garis lurus.

Reaksi orde nol terjadi bila reaktan berkurang dalam suatu jarak waktu,

tetap terhadap waktu, tidak tergantung pada reaktan.

0

1

Page 3: Stabilitas Vitamin C

Persamaan laju reaksi dapat diintegrasikan antara konsentrasi awal Ao pada

t=0, dan At konsentrasi setelah t,

0

At - A0 = -k0

At = A0 – k0t

Reaksi orde satu persamaan lajunya dituliskan sebagai berikut:

,

dimana C adalah konsentrasi sisa yang tidak terurai pada waktu t dan k adalah

konstanta laju orde pertama. Integrasi persamaan diatas antara konsentrasi C0

pada saat t=0 dan konsentrasi C pada waktu t, akan didapat

ln C – ln C0 = -k(t-0) ------ ln C = ln C0 – kt

dengan mengubah persamaan ke bentuk logaritma didapatkan :

log C = log C0 – ----------- k = log 0

Laju reaksi bimolekuler terjadi bila dua molekul bertabrakan.

A + B = PRODUK

Sering dijelaskan dengan persamaan orde kedua. Bila laju reaksi bergantung

pada konsentrasi A dan B yang masing-masing dipangkatkan dengan pangkat

satu, laju penguraian A sama dengan laju penguraian B dan keduanya

sebanding dengan hasil kali konsentrasi reaktan :

2

Page 4: Stabilitas Vitamin C

2. Faktor yang Mempengaruhi Laju Reaksi

a. Temperatur

Sejumlah faktor lain selain konsentrasi yang dapat mempengaruhi

kecepatan reaksi diantaranya adalah temperatur, pelarut, katalis, dan sinar.

Kecepatan berbagai reaksi bertambah kira-kira dua atau tiga kalinya tiap

kenaikan 10o. Pengaruh temperatur terhadap laju ini diberikan dengan

persamaan yang pertama kali dikemukakan oleh Arrhenius :

k = A e-Ea/RT

b. Solven

Pengaruh pelarut terhadap laju penguraian obat merupakan hal terpenting

untuk ahli farmasi. Walau efek-efek tersebut rumit dan generalisasi tidak dapat

dilaksanakan, reaksi nonelektrolit dihubungkan dengan tekanan dalam relatif

atau parameter kelarutan dari pelarut dan zat terlarut. Pengaruh kekuatan ion

dan konstanta dielektrik dari medium pada laju reaksi ionik juga penting.

Larutan biasanya bersifat tidak ideal sehingga koefisien aktivita harus

disertkan dalam persamaan kesetimbangan.

Pelarut polar, yaitu yang mempunyai tekanan dalam yang tinggi,

cenderung menghasilkan reaksi yang dipercepat membentuk produk yang

mempunyai tekanan dalam yang lebih tinggi dari reaktan. Sebaliknya produk

kurang polar dari reaktan, produk akan dipercepat oleh pelarut dengan

polaritas rendah atau tekanan dalam rendah, dan diperlambat oleh pelarut yang

tekanan dalamnya tinggi.

c. Katalisis

Laju reaksi sering dipengaruhi dengan adanya katalis. Meskipun

hidrolisis sukrosa dengan adanya air pada suhu kamar berlangsung dengan

penurunan energi bebas, reaksinya begitu lambat sehingga dapat diabaikan.

Bila konsentrasi ion hidrogen dinaikkan dengan penambahan sejumlah asam,

maka reaksi akan berlangsung dengan laju yang dapat diukur.

Katalis didefinisikan sebagai suatu zat yang mempengaruhi kecepatan

reaksi tanpa ikut berubah secara kimia. Jika suatu katalis menurunkan

kecepatan suatu reaksi disebut sebagai katalis negatif. Sebenarnya katalis

3

Page 5: Stabilitas Vitamin C

negatif sering berubah secara tetap selama reaksi, dan katalis negatif yang

demikian lebih tepat disebut inhibitor daripada katalis.

Katalis dianggap bekerja dengan cara berikut ini. Katalis bergantung

dengan reaktan yang disebut substrat dan membentuk sesuatu zat antara, yang

disebut kompleks, yang kemudian terurai membentuk katalis dan

menghasilkan produk. Dengan cara demikian katalis menurunkan energi

aktivasi mengubah mekanisme proses, dan kecepatannya menjadi bertambah.

Selain itu, katalis dapat juga bekerja dengan menghasilkan radikal bebas

(CH3), yang akan mengadakan reaksi berantai yang cepat. Reaksi berantai

serangkaian melibatkan atom bebas atau radikal yangberperan sebagai zat

antara. Reaksi rantai dimulai dengan tahap pendahuluan (inisiasi) dan berakhir

dengan pemutusan rantai atau tahap terminasi. Katalis negatif sering berperan

dalam pemutusan rantai pada reaksi yang demikian.

d. Cahaya

Energi cahaya, seperti panas, dapat memberikan keaktifan yang

diperlukan untuk terjadinya reaksi. Reaksi dengan frekuensi yang sesuai dan

energi yang cukup akan diadsorpsi untuk mengaktifan molekul-molekul.

Satuan energi radiasi dikenal sebagai foton dan ekuivalen dengan 1 kuantum

energi.

B. Vitamin C

Nama resmi : ACIDUM ASCORBICUM

Nama lain : Asam askorbat

Rumus Molekul : C6H8O6

BM : 176,13

Pemerian : Serbuk atau hablur, putih atau agak kuning, tidak berbau rasa

asam, karena pengaruh cahaya jadi gelap.

4

Page 6: Stabilitas Vitamin C

Kelarutan : Mudah larut dalam air, sukar larut dalam etanol, praktis tidak

larut dalam klorofom

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.

(FI III, 47)

Keasaman atau pH vitamin C tergolong asam. Vitamin C sangat sensitif

terhadap pemanasan, bahkan pemanasan yang tergolong ringan (sedikit diatas suhu

kamar). Vitamin C juga sensitif terhadap sinar, senyawa oksidator (seperti: Iodium,

Hydrogen Peroksida, dll), dan logam (besi, dll). Vitamin C mudah teroksidasi,

terutama bila terlarut dalam suatu pelarut (misalnya air). Vitamin C teroksidasi

dalam larutan oleh oksigen, dengan memberikan 2 elektron pada senyawa oksidator

(Simon Bwidjanarko, 2008).

C. Titrasi Iodimetri

Diantara sekian banyak contoh teknik atau cara dalam analisis kuantitatif,

terdapat dua cara melakukan analisis dengan menggunakan senyawa pereduksi

iodium, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Cara langsung disebut iodimetri

(digunakan larutan iodium untuk mengoksidasi reduktor-reduktor yang dapat

dioksidasi secara kuantitatif pada titik ekivalennya). Namun, metode iodimetri ini

jarang dilakukan mengingat iodium sendiri merupakan oksidator yang lemah. Cara

tidak langsung disebut iodometri (oksidator yang dianalisis kemudian direaksikan

dengan ion iodida berlebih dalam keadaan yang sesuai yang selanjutnya iodium

dibebaskan secara kuantitatif dan dititrasi dengan larutan natrium thiosilfat standar

atau asam arsenit) (Day & Underwood, 1981).

Metode titrasi iodometri langsung (iodimetri) mengacu kepada titrasi dengan

suatu larutan iod standar. Metode titrasi iodometri tak langsung (iodometri) adalah

berkenaan dengan titrasi dari iod yang dibebaskan dalam reaksi kimia (Day &

Underwood, 1981)..

Iodimetri merupakan titrasi langsung dan merupakan metoda penentuan atau

penetapan kuantitatif yang dasar penentuannya adalah jumlah I2 yang bereaksi

dengan sampel atau terbentuk dari hasil reaksi antara sampel dengan ion iodide.

Iodimetri adalah titrasi redoks dengan I2 sebagai pentiter. Dalam reaksi redoks harus

selalu ada oksidator dan reduktor , sebab bila suatu unsur bertambah bilangan

oksidasinya (melepaskan electron), maka harus ada suatu unsur yang bilangan

oksidasinya berkurang atau turun (menangkap electron). Jadi, tidak mungkin hanya

5

Page 7: Stabilitas Vitamin C

ada oksidator saja ataupun reduktor saja. Dalam metode analisis ini, sampel

dioksidasikan oleh I2, sehingga I2 tereduksi menjadi ion iodida :

A ( Reduktor ) + I2 →       A ( Teroksidasi ) + 2 I –

Iodium merupakan oksidator yang tidak terlalu kuat (lemah), sehingga hanya

zat-zat yang merupakan reduktor kuat yang dapat dititrasi. Indikator yang digunakan

adalah amilum/kanji yang akan memberikan warna biru pada titik akhir titrasi.

I2 + 2 e - →   2 I-

Iod merupakan zat padat yang sukar larut dalam air (0,00134 mol/L) pada

25◦C , namun sangat larut dalam larutan yang mengandung ion iodida . iodium

membentuk kompleks triiodida dengan iodida :

I2 + I- →   I3-

Iodium cenderung dihidrolisis membentuk asam iodide dan hipoiodit :

I2 + H2O → HIO + H+ + I-

Larutan standar iodium harus disimpan dalam botol gelap untuk mencegah

peruraian HIO oleh cahaya matahari.

2HIO →  2 H+ + 2 I- +O2 (g)

(Riana Septyaningrum, 2009)

Warna larutan 0,1 N iodium adalah cukup kuat sehingga dapat bekerja sebagai

indikatornya sendiri. Iodium juga memberikan warna ungu atau merah lembayung

yang kuat kepada pelarut-pelarut seperti karbon tetraklorida atau kloroform dan

kadang-kadang hal ini digunakan untuk mengetahui titik akhir titrasi. Akan tetapi

lebih umum digunakan suatu larutan (dispersi koloidal) kanji, karena warna biru tua

dari kompleks kanji-iodium dipakai untuk suatu uji sangat peka terhadap iodium.

Kepekaan lebih besar dalam larutan yang sedikit asam dari pada dalam larutan netral

dan lebih besar dengan adanya ion iodida (Day & Underwood, 1981).

Larutan iodium merupakan larutan yang tidak stabil, sehingga perlu

distandarisasi berulang kali. Sebagai Oksidator lemah, iod tidak dapat bereaksi

terlalu sempurna, karena itu harus dibuat kondisi yang menggeser kesetimbangan

kearah hasil reaksi antara lain dengan mengatur pH atau dengan menambahkan

bahan pengkompleks. Larutan iod sering distandardisasi dengan larutan Na2S2O3 .

selain itu bahan baku primer yang paling banyak digunakan ialah As2O3 pada pH

tengah (Riana Septyaningrum, 2009).

6

Page 8: Stabilitas Vitamin C

Dua hal penting yang sering menyebabkan kesalahan dalam titrasi yang

melibatkan iod adalah:

Kehilangan iod yang disebabkan oleh sifat mudah menguapnya yang cukup

berarti, dan

Larutan iodida yang asam dioksidasi oleh oksigen di udara:

4I- + O2 + 4H+ 2I2 + 2H2O

Reaksi diatas lambat dalam larutan netral tetapi lebih cepat dalam larutan berasam

dan dipercepat oleh cahaya matahari (Day & Underwood, 1981).

III. Alat dan Bahan

A. Alat

1. Erlenmeyer, Beaker Glass,

2. Buret dan Statif

3. Penangas air

4. Batang Pengaduk

B. Bahan

1. Larutan Vitamin C 100 mg/mL

2. Es

3. Aquadest

4. Iodium 0.1 N

5. Indikator Kanji

6. H2SO4 10 %

IV. Langkah percobaan

A. Pembuatan Larutan H2SO4 10 %

1. Diukur sebanyak 10 mL H2SO4

2. Diukur sebanyak 90 mL air

3. H2SO4 10 mL dimasukkan ke dalam beaker dan ditambahkan 90 mL air

B. Pembuatan Larutan Iodium 0,1 N

1. Ditimbang iodium P sebanyak 12,69 gram

2. Dibuat larutan KLP 18 gram dalam 100 mL air

3. Iodium P dilarutkan dalam larutan KLP 18 gram dalam 100 mL air

7

Page 9: Stabilitas Vitamin C

4. Larutan diencerkan dengan air hingga 1000 mL

5. Ditambahkan HCl pekat sebanyak 1 mL

C. Pembuatan Indikator Kanji

1. Ditimbang kanji sebanyak 1 gram

2. Dilarutkan dalam 10 mL air panas

3. Diaduk hingga homogen

D. Cara Kerja Uji Stabilitas

1. Larutan vitamin C 200 mg/2 mL disiapkan.

2. Masing-masing sampel dipanaskan pada suhu 30oC (suhu kamar), 50oC,70oC,

dan 90oC selama 15 menit.

3. Sampel dimasukkan pada es begitu dikeluarkan dari penangas.

4. Dihitung kadar Vitamin C dengan cara campuran 50 mL air dengan 12.5 mL

H2SO4 10 % ditambahkan pada sampel. Dititrasi dengan menggunakan iodium

0,1 N dengan indikator kanji. 1 mL iodium setara dengan 8.806 mg Vitamin C.

5. Kesimpulan dijelaskan dari data yang diperoleh.

V. Hasil dan Perhitungan

A. Hasil

1. Hasil praktikum pertama

Sampel Suhu (°C) Volume Larutan Iodium 0,1 N1 30 > 30 mL2 50 > 25 mL3 70 > 25 mL4 90 > 25 mL

2. Hasil praktikum kedua

Sampel Suhu (°C) Volume Larutan Iodium 0,1 N1 30 32,50 mL2 50 13,90 mL3 70 11,00 mL4 90 10,20 mL

8

Page 10: Stabilitas Vitamin C

B. Perhitungan

Percobaan Pertama

Tidak dapat dihitung

Percobaan Kedua

a. Kadar Vitamin C yang dipanaskan sampai suhu 30°C

Diketahui : 1 mL Iodium = 8,806 mg Vitamin C

V Iodium = 32,50 mL

Massa awal Vitamin C = 200 mg

Ditanyakan : Kadar Vitamin C.....?

Perhitungan :

Massa Vit C = V Iodium ×

=

= 286,2 mg

Kadar Vitamin C =

=

= 143,1 %

b. Kadar Vitamin C yang dipanaskan sampai suhu 50°C

Diketahui : 1 mL Iodium = 8,806 mg Vitamin C

V Iodium = 13,90 mL

Massa awal Vitamin C = 200 mg

Ditanyakan : Kadar Vitamin C.....?

Perhitungan :

Massa Vit C = V Iodium ×

=

= 122,4 mg

9

Page 11: Stabilitas Vitamin C

Kadar Vitamin C =

=

= 61,2 %

c. Kadar Vitamin C yang dipanaskan sampai suhu 70°C

Diketahui : 1 mL Iodium = 8,806 mg Vitamin C

V Iodium = 11 mL

Massa awal Vitamin C = 200 mg

Ditanyakan : Kadar Vitamin C.....?

Perhitungan :

Massa Vit C = V Iodium ×

=

= 96,87 mg

Kadar Vitamin C =

=

= 48,435 %

d. Kadar Vitamin C yang dipanaskan sampai suhu 90°C

Diketahui : 1 mL Iodium = 8,806 mg Vitamin C

V Iodium = 10,20 mL

Massa awal Vitamin C = 200 mg

Ditanyakan : Kadar Vitamin C.....?

Perhitungan :

Massa Vit C = V Iodium ×

=

= 89,82 mg

10

Page 12: Stabilitas Vitamin C

Kadar Vitamin C =

=

= 44,91 %

VI. Pembahasan

Pada praktikum ini, dilakukan uji stabilitas untuk menerangkan faktor-faktor yang

mempengaruhi kestabilan suatu zat dan menjelaskan pengaruh suhu terhadap kestabilan

zat.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kestabilan suatu zat antara lain panas,

cahaya, kelembaban, oksigen, pH, mikroorganisme, dan bahan-bahan tambahan yang

dipergunakan dalam formula sediaan obat. Suhu dapat mempengaruhi kestabilan suatu

zat karena kenaikan suhu dapat mempercepat terjadinya berbagai reaksi termasuk reaksi-

rekasi penguaraian yang dapat mengganggu stabilitas zat-zat tertentu.

Untuk melakukan percobaan uji stabilitas ini, disiapkan beberapa larutan, yaitu

larutan iodium 0,1 N, larutan asam sulfat 10 %, dan larutan kanji. Larutan iodium 0,1 N

dibuat dengan melarutkan 12,69 gram iodium P dalam larutan KLP 18 gram dalam 100

mL air, yang kemudian diencerkan dengan air sampai 1000 mL. Setelah diencerkan,

larutan ditambahkan dengan 1 mL HCl. Larutan asam sulfat 10 % dibuat dengan

melarutkan 10 mL asam sulfat dengan 90 mL air. Larutan kanji dibuat dengan

melarutkan 1 gram kanji dalam 10 mL air panas.

Pada percobaan ini, uji stabilitas dilakukan pada vitamin C dengan kadar 200 mg

dalam 2 mL. Digunakan 4 buah sampel vitamin C, dimana sampel pertama dibiarkan

pada suhu kamar (30°C), sampel kedua, ketiga, dan keempat dipanaskan. Sampel kedua

dipanaskan pada suhu 50°C selama 15 menit. Sampel ketiga dipanaskan pada suhu 70°C

selama 15 menit. Sampel keempat dipanaskan pada suhu 90°C selama 15 menit.

Pemanasan dilakukan untuk menguji stabilitas vitamin C terhadap suhu. Vitamin C

merupakan zat yang mudah mengalami oksidasi oleh pemanasan. Pemanasan pada

berbagai suhu ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kestabilan Vitamin C pada

suhu-suhu tersebut. Setelah dikeluarkan dari oven, sampel langsung dimasukkan dalam

es. Sampel kemudian ditambahkan dengan campuran 50 mL air dan 2,5 mL asam sulfat

10 %. Untuk menentukan kadar vitamin C dalam sampel, dilakukan titrasi dengan

pentiter larutan iodium 0,1 N dan indikator kanji.

11

Page 13: Stabilitas Vitamin C

Dasar dari metode titrasi yang digunakan adalah sifat mereduksi dari vitamin C.

Titrasi dengan iodium 0,1 N pada vitamin C dilakukan dengan menggunakan proses

langsung atau yang biasa disebut iodimetri.

Warna larutan 0,1 N iodium cukup kuat, sehingga iodium dapat bekerja sebagai

indikatornya sendiri. Walaupun dapat bekerja sebagai indikatornya sendiri, tetap

digunakan suatu indikator lain dalam titrasi dengan iodium 0,1 N. Umumnya, digunakan

suatu larutan kanji karena warna biru tua dari kompleks kanji-iodium dipakai untuk

suatu uji sangat peka terhadap iodium. Kepekaan sangat besar dalam larutan yang sedikit

asam daripada dalam larutan netral, dan lebih besar dengan adanya ion iodide.

Karenanya, sampel vitamin C yang akan dititrasi ditambahkan terlebih dahulu dengan

campuran asam sulfat 10 % dan air. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan suasana

asam sehingga dapat memperbesar kepekaan titrasi. Titrasi dihentikan setelah terbentuk

endapan warna biru.

Pada percobaan pertama, titrasi iodimetri yang dilakukan pada keempat sampel

tidak mencapai titik akhir titrasi. Walaupun telah digunakan indicator kanji, namun

warna sampel yang dititrasi tidak mengalami perubahan dengan penambahan larutan

iodium 0,1 N. Penambahan larutan iodium 0,1 N hingga lebih dari 30 mL pada sampel

pertama dan hingga lebih dari 25 mL pada sampel lainnya, tidak menunjukkan adanya

tanda-tanda terbentuknya endapan ataupun adanya warna biru. Karenanya, kadar vitamin

C pada masing-masing sampel setelah dilakukan pemanasan tidak dapat ditentukan.

Ada beberapa hal yang merupakan penyebab dari kegagalan titrasi iodimetri pada

percobaan pertama. Penyebab pertama adalah kesalahan dalam penyimpanan larutan

iodium 0,1 N yang digunakan sebagai pentiter. Larutan iodium seharusnya disimpan

pada wadah yang gelap untuk mencegah terjadinya peruraian HIO oleh matahari. Pada

saat percobaan dilakukan, larutan iodium 0,1 N yang dibuat, disimpan pada wadah kaca

bening sehingga ada kemungkinan telah terjadi peruraian HIO oleh matahari. Peruraian

ini menyebabkan kadar Iodine dalam larutan iodium berkurang. Selain itu, proses titrasi

yang lama menyebabkan I2 menguap karena sifatnya yang volatile. Ditambah lagi oleh

oksidasi ion Iodida oleh oksigen di udara. Hal-hal tersebut menyebabkan kadar iodine

dalam larutan iodium banyak berkurang, sehingga volume yang diperlukan menjadi

sangat besar.

Penyebab kedua adalah pengunaan indikator kanji yang terlalu sedikit. Pada titrasi

iodimetri yang dilakukan, indikator larutan kanji yang digunakan adalah 3 tetes.

Kekurangan dalam penambahan larutan indikator menyebabkan hanya ada sedikit

12

Page 14: Stabilitas Vitamin C

iodium yang bereaksi dengan kanji, sehingga tidak ada perubahan yang signifikan yang

dapat diamati pada sampel. Jadi, ada kemungkinan titik akhir titrasi jauh terlewati karena

tidak adanya endapan biru yang teramati akibat sedikitnya jumlah indikator kanji yang

digunakan.

Pada percobaan kedua, titrasi iodimetri yang dilakukan pada keempat sampel

mencapai titik akhir titrasi. Volume larutan iodium yang digunakan hingga tercapai

terjadi perubahan warna menjadi biru adalah sebagai berikut.

Sampel Suhu (°C) Volume Larutan Iodium 0,1 N1 30 32,50 mL2 50 13,90 mL3 70 11,00 mL4 90 10,20 mL

Dari data tersebut, kadar vitamin C pada sampel setelah dilakukan pemanasan dapat

ditentukan. Berdasarkan perhitungan, kadar vitamin C yang terdapat pada sampel setelah

dilakukan pemanasan adalah sebagai berikut.

Sampel Suhu (°C) Kadar Vitamin C1 30 143,1 %2 50 61,2 %3 70 48,435 %4 90 44,91 %

Terlihat bahwa, kadar vitamin C yang terbesar terdapat pada sampel yang tidak

dipanaskan (dibiarkan pada suhu kamar 30°C). Kadar vitamin C terkecil didapat pada

sampel yang dipanaskan pada suhu 90°C. Hal ini disebabkan karena vitamin C mudah

teroksidasi. Pemanasan yang dilakukan pada sampel mempercepat terjadinya oksidasi

sehingga kadar vitamin C yang tersisa pada sampel menjadi berkurang. Semakin tinggi

suhu pemanasan, semakin banyak jumlah vitamin C yang teroksidasi, sehingga semakin

sedikit kadar vitamin C yang tersisa pada sampel.

Untuk menentukan kadar vitamin C yang tersisa pada sampel, dilakukan titrasi

iodimetri dengan indikator kanji. Vitamin C bersifat reduktor kuat akan dioksidasikan

oleh I2 dalam suasana asam dan I2 tereduksi menjadi ion iodida. Reaksi yang terjadi pada

titrasi iodimetri ini adalah :

13

Page 15: Stabilitas Vitamin C

Pada sampel yang dibiarkan pada suhu 30°C, kadar vitamin C yang tersisa pada

sampel lebih dari 100 %, yaitu 143,1 %. Ini berarti jumlah vitamin C yang terdapat di

dalam sampel melebihi jumlah awalnya. Data yang diperoleh tidak sesuai dengan sifat

dari vitamin C yang mudah mengalami oksidasi. Vitamin C mudah mengalami oksidasi,

sehingga walaupun dibiarkan pada suhu kamar, akan terjadi oksidasi walaupun sedikit.

Kadar vitamin C sisa yang melebihi kadar awal ini dapat disebabkan oleh kesalahan saat

melakukan titrasi, yaitu terlewatnya titik akhir titrasi. Hal ini menyebabkan volume

larutan iodium yang digunakan akan lebih banyak daripada seharusnya dan akan

berpengaruh pada perhitungan kadar vitamin C yang tersisa pada sampel.

Dari kedua percobaan di atas, terlihat bahwa ada banyak factor yang harus

diperhatikan dalam melakukan uji stabilitas, terutama saat menentukan kadar dari

sampel. Hal-hal yang perlu diperhatikan, antara lain :

pembuatan larutan

penyimpanan larutan

Jumlah indicator, dan

ketelitian dalam melakukan titrasi, yaitu dalam menentukan titik akhir dan pembacaan

skala pada buret

Data-data yang diperoleh dari percobaan pertama dan percobaan kedua jauh dari

sempurna. Hal tersebut disebabkan oleh faktor-faktor berikut.

Kesalahan dalam penyimpanan larutan yang sangat mempengaruhi hasil percobaan.

Kesalahan dalam penggunaan indicator yang menyebabkan tidak tercapainya titik

akhir titrasi (pada percobaan pertama).

Kekurangterampilan dalam melakukan titrasi hingga titik akhir titrasi sedikit terlewat.

Kekurangtelitian dalam pembacaan skala pada buret

14

Page 16: Stabilitas Vitamin C

VII.Kesimpulan

1. Kestabilan suatu zat dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satunya adalah suhu. Suhu

yang tinggi dapat mempercepat terjadinya berbagai reaksi yang dapat mengganggu

kestabilan suatu zat.

2. Vitamin C sangat mudah teroksidasi dengan adanya penambahan suhu. Semakin

tinggi suhu yang digunakan untuk pemanasan vitamin C, semakin banyak vitamin C

yang teroksidasi, sehingga kadar vitamin C yang tersisa akan semakin sedikit.

3. Penentuan kadar vitamin C yang tersisa setelah pemanasan dilakukan dengan titrasi

iodimetri. Pentiter yang digunakan adalah larutan iodium 0,1 N dengan indikator

larutan kanji. Titik akhir titrasi tercapai setelah terbentik endapan berwarna biru.

4. Pada percobaan pertama, titik akhir titrasi tidak tercapai karena kesalahan dalam

penyimpanan larutan iodium, yang menyebabkan berkurangnya konsentrasi iodium

dalam larutan dan penggunaan indikator yang terlalu sedikit menyebabkan titik akhir

titrasi tidak dapat diamati.

5. Pada percobaan kedua, diperoleh bahwa sampel vitamin C yang dibiarkan pada suhu

kamar mengandung vitamin C dengan kadar yang paling tinggi dibandingkan sampel

lainnya (143,1 %). Sampel vitamin C yang dipanaskan pada suhu yang paling tinggi

mengandung vitamin C dengan kadar yang paling rendah dibandingkan sampel

lainnya (44,91 %).

6. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan titrasi iodometri untuk penentuan

kadar vitamin C ini adalah pembuatan larutan, penyimpanan larutan, jumlah indikator

yang digunakan, dan ketelitian dalam melakukan titrasi (menentukan titik akhir titrasi

dan pembacaan skala pada buret).

15

Page 17: Stabilitas Vitamin C

DAFTAR PUSTAKA

Day.R.A dan Underwood A.L. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi VI. Jakarta : Erlangga.

Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III . Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Septyaningrum, Riana. 2009. Definisi Iodimetri.

Available at : http://www.chem-is-try.org.

Last opened : Saturday, November 7, 2009

Simon Bwidjanarko. 2008. Karakteristik Vitamin C.

Available at : http:// simonbwidjanarko.wordpress.com

Last opened : Saturday, November 7, 2009

16