Sosiologi-Topok 1
-
Upload
yee-hsiang-piong -
Category
Documents
-
view
48 -
download
1
Transcript of Sosiologi-Topok 1
TOPIK 1 SOSIOLOGI DAN PEMBELAJARAN
1.0 Pengenalan
Di era globalisasi seperti sekarang ini mutlak menuntut seseorang untuk membekali diri
dengan ilmu pengetahuan agar dapat bersaing dan mempertahankan diri dari semakin
kerasnya kehidupan dunia dan dari berbagai tantangan yang mau tidak mau harus dihadapi.
Melalui pendidikanlah seseorang dapat memperoleh ilmu pengetahuan yang mereka
butuhkan baik melalui pendidikan formal maupun non formal.
Pendidikan menjadi salah satu kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi, yang
mempunyai tujuan tinggi dari sekedar untuk tetap hidup, sehingga manusia menjadi lebih
terhormat dan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada yang tidak berkependidikan.
Pendidikan bertujuan untuk terus menerus mengadakan perubahan dan pembaharuan. Untuk
pembangunan di bidang pendidikan, harus mengupayakan perluasan dan pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia
menuju manusia Indonesia yang berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan
secara berarti, memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah
sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap dan kemampuan serta meningkatkan partisipasi
keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai,
Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat
maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam
menghadapi ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Sosiologi menawarkan suatu perspektif, suatu pandangan mengenai dunia. Perpektif
sosiologi membuka jendela ke arah dunia yang tak dikenal dan menawarkan pandangan segar
ke dunia yang dikenal. Dalam masyarakat tentunya sering ditemukan beberapa pandangan
yang berbeda satu sama lain, terutama dalam melihat kenyataan sosial atau realitas sosial.
Penilaian atas sebuah realitas umumnya dimulai dengan asumsi, yaitu dugaan individu yang
belum teruji kebenarannya. Kemudian asumsi-asumsi tersebut berkembang menjadi
perspektif, pandangan atau paradigma.
1.2 Definisi dan Tokoh-tokoh Sosiologi
Secara etimologis, sosiologi berasal dari kata socius (bahasa Latin: teman) dan logos
(bahasa Yunani: kata, perkataan, pembicaraan). Jadi secara harfiah, sosiologi adalah
membicarakan, memperbincangkan teman pergaulan. Lalu, bagaimana pengertian sosiologi
menurut para ahli sosiologi?
Auguste Comte : Sosiologi Positivis
Prancis (1798-1857)
Auguste Comte merupakan salah satu tokoh pemikir handal di bidang sosiologi. Bukunya
Course de Philosophie Positive, menjadikan Comte disebut sebagai Bapak Sosiologi atau
peletak dasar sosiologi. Pemikiran Auguste Comte yang dijadikan dasar pemikiran sosiologi
antara lain berikut ini.
1. Membedakan sosiologi ke dalam statistika sosial dan dinamika sosial.
2. Pengembangan tiga tahap pemikiran manusia (tahap teologis, metafisis, dan positif)
yang menjadi ciri perkembangan pengetahuan manusia dan masyarakat.
3. Gejala sosial dapat dipelajari secara ilmiah melalui metode-metode pengamatan,
percobaan, perbandingan dan sejarah.
4. Fakta kolektif historis dan masyarakat terikat pada hukum-hukum tertentu dan tidak
pada kehendak manusia.
diharapkan mampu mempercepat positivisme yang membawa ketertiban pada kehidupan
sosial.
Emile Durkheim : Sosiologi Struktural
Prancis (1859-1917)
Durkheim merupakan salah satu tokoh sosiologi yang dipengaruhi oleh tradisi pemikiran
Prancis–Jerman. Durkheim termasuk salah satu peletak dasar-dasar sosiologi modern.
Menurut Durkheim yang harus dipelajari sosiologi adalah fakta-fakta sosial mengenai cara
bertindak, berpikir, dan merasakan apa yang ada di luar individu dan memiliki daya paksa
atas dirinya.
Contoh fakta sosial menurut Durkheim antara lain hukum, moral, kepercayaan, adat istiadat,
tata cara berpakaian dan kaidah ekonomi. Fakta-fakta sosial tersebut dapat mengendalikan
dan memaksa individu karena individu yang melanggarnya akan diberi sanksi oleh
masyarakat.
Karl Marx: Sosiologi Marxis
Jerman (1818-1883)
Karl Marx lebih dikenal sebagai tokoh sejarah ekonomi daripada seorang sosiolog. Sebagai
seorang penulis sosiologi sumbangan Marx terletak pada teori kelas. Marx berpendapat
bahwa sejarah masyarakat manusia merupakan sejarah perjuangan kelas.
Menurut Marx, perkembangan pembagian kelas dalam ekonomi kapitalisme menumbuhkan
dua kelas yang berbeda, yaitu:
1. kaum borjuis (kaum kapitalis) yaitu kelas yang terdiri dari orang-orang yang
menguasai alat-alat produksi dan modal;
2. kaum proletar adalah kelas yang terdiri atas orang-orang yang tidak mempunyai alat
produksi dan modal, sehingga dieksploitasi oleh kaum kapitalis.
Menurut Marx, pada suatu saat kaum proletar menyadari akan kepentingan bersama,
sehingga mereka bersatu dan memberontak terhadap kaum kapitalis. Mereka menang dan
dapat mendirikan masyarakat tanpa kelas.
Herbert Spencer : Sosiologi Evolusioner
Inggeris (1820-1903)
Herbert Spencer (1820-1903) menganjurkan Teori Evolusi untuk menjelaskan
perkembangan sosial. Logika argumen ini adalah bahwa masyarakat berevolusi dari bentuk
yang lebih rendah (barbar) ke bentuk yang lebih tinggi (beradab). Ia berpendapat bahwa
institusi sosial sebagaimana tumbuhan dan binatang, mampu beradaptasi terhadap lingkungan
sosialnya. Dengan berlalunya generasi, anggota masyarakat yang mampu dan cerdas dapat
bertahan. Dengan kata lain “Yang layak akan bertahan hidup, sedangkan yang tak layak
akhirnya punah”. Konsep ini diistilahkan survival of the fittest. Ungkapan ini sering
dikaitkan dengan model evolusi dari rekan sejamannya yaitu Charles Darwin. Oleh karena itu
teori tentang evolusi masyarakat ini juga sering dikenal dengan nama Darwinisme Sosial.
Melalui teori evolusi dan pandangan liberalnya itu, Spencer sangat poluler di kalangan para
penguasa yang menentang reformasi. Spencer setuju terhadap doktrin laissez-faire dengan
mengatakan bahwa negara tak harus mencampuri persoalan individual kecuali fungsi pasif
melindungi rakyat. Ia ingin kehidupan sosial berkembang bebas tanpa kontrol eksternal.
Spencer menganggap bahwa masyarakat itu alamiah, dan ketidakadilan serta kemiskinan itu
juga alamiah, karena itu kesejahteraan sosial dianggap percuma. Meski pandangan itu banyak
ditentang, namun Darwinisme Sosial sampai sekarang masih terus hidup dalam tulisan-
tulisan populer.
Max Weber : Sosiologi Weber
Jerman (1864-1920)
Max Weber mengatakan bahwa yang dipelajari oleh sosiologi adalah tindakan sosial.
Tindakan manusia disebut tindakan sosial apabila mempunyai arti subjektif. Tindakan itu
dihubungkan dengan tingkah laku orang lain dan diorientasikan kepada kesudahannya, yang
termasuk dalam tindakan sisial bukanlah tindakan terhadap objek-objek bukan manusia,
seperti tukang kayu atau tindakan batiniah seperti bersemedi. Dalam analisis yang dilakukan
Weber terhadap masyarakat, konflik menduduki tempat sentral. Konflik merupakan unsur
dasar kehidupan manusia dan tidak dapat dilenyapkan dari kehidupan manusia. Manusia
dapat mengubah sarana-sarana, objek, asas-asas atau pendukung-pendukungnya, tetapi tidak
dapat membuang konflik itu sendiri. Konflik terletak pada dasar integrasi sosial maupun
perubahan sosial. Hal ini terlihat nyata dalam politik (perjuangan demi mencapai kekuasaan)
dan dalam persaingan ekonomi.
Georg Simmel : Filsafat Uang
Jerman (1858-1919)
Georg Simmel (1858-1919) sangat terkenal karena karyanya yang spesifik tentang tindakan
dan interaksi individual, seperti bentuk-bentuk interaksi, tipe-tipe orang berinteraksi,
kemiskinan, pelacuran, dan masalah-masalah berskala kecil lainnya. Karya-karya Simmel ini
nantinya menjadi rujukan tokoh-tokoh sosiologi di Amerika.
Karya yang terkenal dari Simmel adalah tentang Filsafat Uang. Simmel sebagai sosiolog
cenderung bersikap menentang terhadap modernisasi dan sering disebut bervisi pesimistik.
Pandangannya sering disebut Pesimisme Budaya. Menurut Simmel, modernisasi telah
menciptakan manusia tanpa kualitas karena manusia terjebak dalam rasionalitasnya sendiri.
Sebagai contoh, begitu teknologi industri sudah mulai canggih, maka keterampilan dan
kemampuan tenaga kerja secara individual makin kurang penting. Bisa jadi semakin modern
teknologi, maka kemampuan tenaga individu makin merosot bahkan cenderung malas.
Ferdinand Tonnies : Klasifikasi Sosial
Jerman (1855-1936)
Ferdinand Tonnies (1855-1936) mengkaji bentuk-bentuk dan pola-pola ikatan sosial dan
organisasi sehingga menghasilkan klasifikasi sosial. Menurut Tonnies, masyarakat itu
bersifat gemeinschaft (komunitas/paguyuban) atau gesselschaft (asosiasi/ patembayan).
Masyarakat gemeinschaft adalah masyarakat yang mempunyai hubungan sosial tertutup,
pribadi, dan dihargai oleh para anggotanya, yang didasari atas hubungan kekeluargaan dan
kepatuhan sosial. Komunitas seperti ini merupakan tipikal masyarakat pra-industri atau
masyarakat pedesaan. Sedangkan pada masyarakat gesselschaft, hubungan kekeluargaan telah
memudar, hubungan sosial cenderung impersonal dengan pembagian kerja yang rumit.
Bentuk seperti ini terdapat pada masyarakat industri atau masyarakat perkotaan. Tema dasar
Tonnies adalah hilangnya komunitas dan bangkitnya impersonalitas. Ini menjadi penting
dalam kajian tentang masyarakat perkotaan.
Herbert Marcuse : One Dimensional Man
Jerman (1898-1979)
Herbert Marcuse (1898-1979) merupakan anggota Mazhab Frankfurt yang setengah hati.
Menjadi terkenal selama tahun 1960-an karena dukungannya terhadap gerakan radikal dan
anti-kemapanan. Dia pernah dijuluki “kakek terorisme”, merujuk pada kritiknya tentang
masyarakat kapitalis, One Dimensional Man (1964) yang berargumen bahwa kapitalisme
menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu, kesadaran palsu, dan budaya massa yang
memperbudak kelas pekerja.
1.3 Konsep Sosiologi Pendidikan
Sosiologi adalah bidang ilmu pengetahuan moden yang ada hubungannya dengan
masyarakat.
Menurut Zanden (1996), sosiologi adalah kajian saintifik mengenai interaksi sosial dan
organisasi. Jary (1995) berpendapat sosiologi adalah suatu bidang kajian yang secara saintifik
mengkaji masyarakat daripada pelbagai sudut seperti melihat fungsi masyarakat, bentuk
organisasi sosial, perkembangan kebudayaan dan jenis-jenisnya. Giddens (1993) pula
berpendapat sosiologi adalah kajian mengenai kehidupan sosial manusia, kumpulan-
kumpulan dan masyarakat. Sosiologi akan memberikan manusia pemahaman bagaimana
pengaruh-pengaruh sosial telah mencorakkan ke hadapan mereka. Mills (1959)
memperkenalkan konsep imaginasi sosiologikal yang bermaksud menyedari perhubungan
antara individu, pengalaman dan masyarakat. Ia tidak boleh dianggap khayalan. Ia berkaitan
dengan kebolehan kita dalam meletakkan diri dalam konteks struktur social. Dengan kata
lain, kita menggunakan imaginasi sosiologi untuk memahami kedudukan diri kita dan juga
kedudukan orang lain dalam masyarakat.
Untuk mencapai tahap imaginasi kita perlulah terlebih dahulu mempunyai pemikiran
yang dianggap sosiologikal iaitu menggunakan kuasa imaginasi dalam mendapatkan
pengetahuan. Seorang sosiologis mesti dapat berpisah daripada hal-hal peribadi, berfikiran
terbuka dan tidak mencampuradukkan pemikiran sosial dengan kebiasaan kehidupan
seharian. Maksudnya, kita mesti terima akan kehidupan (gaya hidup) masyarakat yang lain
dengan membuangkan siapa diri kita sebenarnya agar kita dapat dan faham akan kehidupan
mereka sebenarnya. Sesuatu yang diimaginasikan dianggap sesuatu yang baru agar mudah
menganalisis dan memahami isu-isu sosial semasa yang selalunya merupakan perkara yang
dianggap biasa.
Imaginasi sosiologi berkait rapat dengan peranan seseorang dalam masyarakat seperti
peranan guru, ibubapa dan sebagainya dan juga berkait rapat dengan struktur sosial iaitu di
mana sesuatu peranan itu berfungsi. Misalnya, guru peranannya di dalam pendidikan dan
bertugas di sekolah dan bapa pula berperanan di dalam keluarga. Dengan adanya pengaruh
sosial, personaliti seseorang itu akan dapat ditentukan oleh peranan dan struktur sosial. Oleh
itu, untuk menyelesaikan masalah sosial adalah dengan mengubah peranan dan struktur sosial
yang ada.
Kesimpulannya, imaginasi sosiologikal merupakan keupayaan seseorang dalam
melihat kehidupannya dan kehidupan orang lain sebagai berada pada struktur sosial tertentu.
Sebagai rumusan, sosiologi adalah merupakan suatu kajian yang sistematik dan saintifik
mengkaji tentang manusia dan interaksi sosial dalam masyarakat daripada pelbagai sudut.
Melalui interaksi bermacam-macam fenomena sosial akan berlaku, sama ada sesuatu perkara
itu akan berkekalan, berubah, berkembang, ditinggalkan ataupun mundur. Sosiologi
memfokus kepada kajian penghidupan sosial di zaman yang dianggap moden. Disebabkan
bahan kajiannya adalah masyarakat, maka skop kajian adalah sangat luas bermula dari
peringkat yang paling kecil hubungan antara manusia (seperti hal percintaan, perkahwinan)
hinggalah ke proses sosial yang besar (seperti isu peperangan, globalisasi) – dari peringkat
keluarga hinggalah peringkat dunia. Dalam konteks pendidikan, sosiologi membawa
perubahan kepada pendidikan dalam sesebuah negara.
1.4 Teori- teori Sosiologi Pembelajaran
1.4.1 Teori Konflik
Teori konflik yang terkenal adalah teori yang disampaikan oleh Karl Mark, bagi Mark
konflik adalah sesuatu yang perlu karena merupakan sebab terciptanya perubahan.
Teori konflik Mark yang terkenal adalah teori konflik kelas dimana dalam masyarakat
terdapat dua kelas yaitu kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin
(proletar). Kaum borjuis selalu mengeksploitasi kaum proleter dalam proses produksi.
Eksploitasi yang dilakukan kaum borjuis terhadap kaum proletar secara terus menerus
pada ahirnya akan membangkitkan kesadaran kaum proletar untuk bangkit melawan
sehingga terjadilah perubahan sosial besar, yaitu revolusi sosial.
Teori konflik berikutnya yang juga mempengaruhi teori konflik dalam
sosiologi adalah teori yang disampaikan oleh Lewis A. Coser. Coser berusaha
merangkum dua perspektif yang berbeda dalam sosiologi yaitu teori fungsionalis dan
teori konflik. Pada intinya coser beranggapan bahwa konflik merupakan proses yang
bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur
sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih
kelompok. Ketika konflik berlangsung Coser melihat injap penyelamat dapat
berfungsi untuk meredakan permusuhan.
Katub penyelamat adalah mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk
mencegah kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katub penyelamat merupakan
institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sistem atau struktur sosial. Coser
membagi konflik menjadi dua yaitu konflik realistis dan konflik non-realistis. Konflik
realistis adalah konflik yang disebabkan tuntutan khusus yang dilakukan oleh
partisipan terhadap objek yang dianggap mengecewakan. Contoh: demonstarsi
menuntut agar dilakukan penurunan harga BBM. Konflik non-realistis adalah konflik
yang bukan berasal dari tujuan khusus, melainkan untuk meredakan ketegangan salah
satu pihak. Contoh: santet pada masyarakat tradisional dan pengkambinghitaman
kelompok lain yang dilakukan oleh masyarakat modern.
Teori konflik lainnya adalah Ralp Dahrendorf, teori dahrendorf merupakan
separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori konflik Mark. Karl
Mark berpendapat bahwa kontrol sarana produksi berada dalam satu individu yang
sama. Dahrendorf menolah asumsi ini dengan alasan telah terjadi perubahan drastis
dalam masyarakat, yaitu antara masa dimana Mark menyampaikan teorinya dengan
masa Dahrendrorf.
Munculnya dekomposisi modal, dekomposisi tenaga kerja, dan timbulnya
kelas menengah baru merupakan dasar dari teori Dahrendrorf. Dekomposisi modal
ditandai dengan munculnya korporasi dengan saham yang dikontrol orang banyak.
Dekomposisi tenaga kerja adalah munculnya orang ahli yang mengendalikan suatu
perusahaan. Timbulnya kelas menengah baru dari buruh terampil dalam suatu
perusahaan yang dibawahnya terdapat buruh biasa dengan gaji rendah.
Dalam perkembangannya teori konflik dibahas lebih spesifik dengan lahirnya
cabang baru sosiologi yang membahas tentang konflik yaitu sosiologi konflik. Istilah
sosiologi konflik diungkapkan oleh George Simmel tahun 1903 dalam artikelnya The
Sociology of conflict. George simmel kemudian dekenal sebagai bapak dari sosiologi
konflik. Dalam tulisan berikutnya akan dibahas beberapa tokoh dan pandangannya
mengenai teori konflik seperti Max Weber, Emilie Durkheim, Ibnu Khaldun dan
George simmel, teori Karl Mark tidak akan dibahas disini karena telah dijelaskan
dalam tulisan sebelumnya.
Ibnu Khaldun menyampaikan bahawa bagaimana dinamikan konflik dalam
sejarah manusia sesungguhnya ditentukan oleh keberadaan kelompok sosial
(‘ashobiyah) berbasis pada identitas, golongan, etnis, maupun tribal. Kelompok sosial
dalam struktur sosial mana pun dalam masyarakat dunia memberi kontribusi terhadap
berbagai konflik ( Novri Susan 2009:34). Dari sini dapat kita lihat bagaimana Ibnu
Khaldun yang hidup pada abad ke-14 juga telah mencatat dinamika dan konflik dalam
perebutan kekuasaan.
Max Weber berpendapat konflik timbul dari stratifikasi sosial dalam
masyarakat. Setiap stratifikasi adalah posisi yang pantas diperjuangkan oleh manusia
dan kelompoknya ( Novri Susan 2009:42). Weber berpendapat bahwa relasi-relasi
yang timbul adalah usaha-usaha untuk memperoleh posisi tinggi dalam masyarakat.
Weber menekankan arti penting power (kekuasaan) dalam setiap tipe hubungan
sosial. Power (kekuasaan) merupakan generator dinamika sosial yang mana individu
dan kelompok dimobilisasi atau memobilisasi. Pada saat bersamaan power
(kekuasaan) menjadi sumber dari konflik, dan dalam kebanyakan kasus terjadi
kombinasi kepentingan dari setiap struktur sosial sehingga menciptakan dinamika
konflik.
Emilie Durkheim dalam salah satu teorinya gerakan sosial menyebutkan
kesadaran kolektif yang mengikat individu-individu melalui berbagai simbol dan
norma sosial. Kesadaran kolektif ini merupakan unsur mendasar dari terjaganya
eksistensi kelompok. Anggota kelompok ini bisa menciptakan bunuh diri altruistik
untuk membela eksistensi kelompoknya ( Novri Susan 2009:45). Walaupun tidak
secara tersirat membahas teori konflik namun teori Weber ini pada dasarnya berusaha
untuk menganalisa gerakan sosial dan konflik. Gerakan sosial bagi Weber dapat
memunculkan konflik seperti yang terjadi pada masa Revolusi Prancis.
1.4.2 Teori Interaksi Simbolik
Dalam proses pembelajaran antara pendidik dan peserta didik harus ada interaksi.
Pendidikan pada dasarnya merupakan interaksi antara pendidik dengan peserta didik,
untuk mencapai tujuan pendidikan, yang berlangsung dalam lingkungan tertentu.
Lingkungan ini diatur serta diawasi agar kegiatan belajar terarah sesuai dengan tujuan
pendidikan. Pendidikan berfungsi membantu peserta didik dalam pengembangan
dirinya, yaitu pengembangan semua potensi, kecakapan, serta karakteristik pribadinya
ke arah yang positif, baik bagi dirinya maupun lingkungannya.
Fungsi dari tujuan pengajaran:
- Menjadi titik sentral perhatian dan pedoman dalam melaksanakan aktivitan/
interaksi belajar mengajar.
- Menjadi penentu arah kegiatan
- Menjadi titik sentral perhatian dan pedoman dalam menyusun corak
pengajaran
- Menjadi materi pokok yang akan dikembangkan dalam memperdalam dan
mempeluasruang lingkupnya.
- Menjadi pedoman untuk mencegah/menghindari penyimpangan yang akan
terjadi.
Interaksi terdiri dari kata inter (antar), dan aksi (kegiatan). Jadi interaksi
adalah kegiatan timbal balik. Dari segi terminologi “interaksi” mempunyai arti hal
saling melakukan aksi; berhubungan; mempengaruhi; antar hubungan. Interaksi akan
selalu berkait dengan istilah komunikasi atau hubungan. Sedang “komunikasi”
berpangkal pada perkataan “communicare” yang berpartisipasi, memberitahukan,
menjadi milik bersama. Menurut Wikipedia bahasa Indonesia, Interaksi adalah suatu
jenis tindakan atau aksi yang terjadi sewaktu dua atau lebih objek mempengaruhi atau
memiliki efek satu sama lain. Jadi, interaksi belajar mengajar adalah kegiatan timbal
balik antara guru dengan anak didik, atau dengan kata lain bahwa interaksi belajar
mengajar adalah suatu kegiatan sosial, karena antara anak didik dengan temannya,
antara si anak didik dengan gurunya ada suatu komunikasi sosial atau pergaulan.
Roestilah (1994 : 35 ) mengemukakan bahwa “interaksi yaitu proses dua arah
yang mengandung tindakan atau perbuatan komunikator maupun komunikan”. Berarti
interaksi dapat terjadi antar pihak jika pihak yang terlibat saling memberikan aksi dan
reaksi. Suhubungan dengan itu interaksi adalah proses saling mengambil peran. Zahra
( 1996 :91 ) mengemukan bahwa “Interaksi merupakan kegiatan timbal balik.
Interaksi belajar mengajar berarti suatu kegiatan sisial karena antara peserta didik dan
gurunya ada suatu komunikasi sosial atau pergaulan”. Menurut Homans (Ali, 2004:
87) mendefisikan interaksi sebagai suatu kejadian ketika suatu aktivitas yang
dilakukan oleh seseorang terhadap individu lain diberi ganjaran atau hukuman dengan
menggunakan suatu tindakan oleh individu lain yang menjadi pasangannya. Menurut
Sardiman (1986:8)” interaksi yang dikatakan dengan iteraksi pendidikan apabila
secara sadar mempunya tujuan untuk mendidik, untuk mengantarkan anak didik ke
arah kedewasaan”. Sedangkan menurut Soetomo, bahwa interaksi belajar mengajar
ialah hubungan timbal balik antara guru (pengajar) dan anak (murid) yang harus
menunjukkan adanya hubungan yang bersifat edukatif (mendidik). Di mana interaksi
itu harus diarahkan pada suatu tujuan tertentu yang bersifat mendidik, yaitu adanya
perubahan tingkah laku anak didik ke arah kedewasaan.
1.4.3 Teori Fungsionalisme
Teori fungsionalisme tidak bersifat historis dan tidak mengikuti perkembangan suatu
gejala sosial, seperti misalnya keluarga dalam tahap-tahapnya dikurun waktu
melainkan statis. Veeger, Karel J (1993 : 87), Gerhard dan Jean Lenski dalam
bukunya Human Societies (1974 : 28) menyebutkan enam keharusan fungsional yaitu
komunikasi, produksi, distribusi, pertahanan, penggatian anggota lama, dan kontrol
sosial.
Teori ini menekankan pada keteraturan dan mengabaikan konflik dan
perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya adalah:
fungsi,disfungsi,fungsi laten,fungsi manifest, dan keseimbangan. Andaian dasarnya
adalah bahawa setiap stuktur dalam sistem sisial,fungsional terhadap yang lain.
Sebaliknya kalau tidak fungsional terhadap yang lain maka struktur itu tidak aka nada
atau akan hilang dengan sendirinya. Penganut teori ini adalah Robert K.Merton dan
Talcott Parson.
Penganut teori ini hanya cenderung untuk melihat kepada sumbangan suatu
sistem peristiwa terhadap sistem yang lain dan karena itu mengabaikan bahwa suatu
peristiwa atau suatu sistem dapat beroperasi menentang fungsi-fungsi lainnya dalm
suatu sistem sisial. Secara ekstrim teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan
semua struktur adalah funsional bagi masyarakat. Dengan demikian pada tingkat
tertentu.misalnya peperangan,ketidaksamaan sosial,perbezaan ras, bahkan
kemiskinan,”diperlukan” oleh suatu masyarakat. Perubahan dapat terjadi secara
perlahan-lahan dalam masyarakat. Kalau terjadi konflik,penganut teori ini
memusatkan perhatiannya kepada masalah begaimana cara menyelesaikan sehingga
masyarakat tetap dalam keseimbangan.
Beberapa ahli teori moden yang dianggap sebagai wakil tradisi ‘ talcott
pnarsons dan Robert K merot, para sosiologi yang kurang terkenal juga
mengemukakan bahasa dan konsep fungsionalisme walaupun kadang-kala tanpa
menguji konsep secara rambang atau hanya mengapresiasikan implikasi penggunaan
belaka.
Andaian dasar adalah bahawa seluruh struktur sosial atau setidaknya yang
diberi keutamaan, menyumbangkan terhadap suatu interaksi dan menyesuaikan sistem
yang berlaku. Pada umumnya para fungsionalis telah mencuba menunjukkan bahawa
suatu pola yang ada telah memenuhi “ kebutuhan sistem “ yang pital dan menjelaskan
eksistensi pola tersebut. Zeitlin (1998, hal 03).
Persepsi Teori Fungsionalis dan Teori Konflik
Persepsi tentang Teori Fungsionalis Teori Konflik
Masyarakat
Suatu sistem yang stabil dari
kelompok-kelompok yang
bekerjasama
Suatu sistem yang tidak stabil dari
kelompok-kelompok dan kelas-kelas
yang saling bertentangan
Kelas Sosial
Suatu tingkat status dari
orang-orang yang memperoleh
pendapatan dan memiliki gaya
hiidup yang serupa.
Berkembang dari isi perasaan
orang dan kelompok yang
berbeda
Sekelompok orang yang memiliki
kepentingan ekonomi dan kebutuhan
kekuasaan yang serupa. Berkembang
dari keberhasilan sebagian orang dalam
mengeksploitasi orang lain
Perbezaan Sosial
Tidak dapat dihindarkan
ddalam susunan masyarakat
yang kompleks. Terutama
disebabkan perbedaan
kontribusi dari kelompok-
kelompok yang berbeda
Tidak perlu dan tidak adil. Terutama
disebabkan perbedaan dalam
kekuasaan. Dapat dihindarkan dengan
jalan penyusunan kembali masyarakat
secara sosialistis
Perubahan Sosial
Timbul dari perubahan
kebutuhan fungsional
masyarakat yang terus
berubah
Dipaksakan oleh suatu kelas terhadap
kelas yang lainnya untuk kepentingan
kelas pemaksa
Tata tertib sosial
Hasil usaha tidak sadar orang-
orang untuk mengorganisasi
kegiatan-kegiatan mereka
secara produktif
Dihasilkan dan dipertahankan oleh
pemaksa yang terorganisasi oleh kelas-
kelas yang dominan
Nilai-nilai Konsensus atas nilai-nilai
yang mempersatukan
masyarakat
Kepentingan yang bertentangan akan
memecahbelah masyarakat. Khayalan
(ilusi) consensus nilai-nilai
dipertahankan oleh nilai-nilai yang
dominan
Lembaga-
lembaga sosial
Menanamkan nilai-nilai
umum dan kesetian yang
mempersatukan masyarakat
Menanamkan nilai-nilai dan kesetian
yang melindungi golongan yang
mendapat hak-hak istimewa
Hukum dan
Pemerintahan
Menjalankan peraturan yang
mencerminkan consensus
nilai-nilai masyarakat
Menjalankan peraturan yang
dipaksakana oleh kelas yang dominan
untuk melindungi hak-hak istimewa
Rujukan
James M. Henslin. 2007. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Jakarta: Erlangga.
Johnson, D. P. (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Terjemahan Robert MZ Lawang.
Jakarta: Gramedia.
Jones, P. (2009). Pengantar teori-teori sosial: dari teori fungsionalisme hingga post-
modernisme. Yayasan Obor Indonesia.
Glasner, P. E. (1992). Sosiologi Sekularisasi: Suatu Kritik Konsep. Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana.
Mustofa, B., & Maharani, E. V. (2008). Kamus lengkap sosiologi. Panji Pustaka
Nazsir, N. (2008). Teori-Teori Sosiologi. Bandung: Widya Padjajaran.
Nirwana, H. (2009). Aplikasi Teori Humanistik dalam Interaksi Guru-Siswa di Kelas. Ilmu
Pendidikan, 27(2).
Pruitt, D. G., & Rubin, J. Z. (2004). Teori konflik sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2004). Teori Sosiologi Modern.
Soekanto, S. (1983). Teori sosiologi tentang perubahan sosial. Jakarta: Ghalia.
Wulansari, D. (2009). Sosiologi konsep dan teori. Refika Aditama. Bandung.