Sosiologi Hukum
-
Upload
dodi-ilham -
Category
Documents
-
view
14 -
download
2
description
Transcript of Sosiologi Hukum
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah dalam bukunya Sosiologi Hukum
dalam Masyarakat menyatakan bahwa selama dalam suatu masyarakat pasti
mempunyai sesuatu yang dihargai, maka sesuatu itu akan menjadi bibit yang akan
dapat menumbuhkan adanya sistem yang berlapis-lapis atau stratifikasi sosial
dalam masyarakat tersebut. Stratifikasi sosial tersebut dapat diartikan sebagai
pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara hierarkis.1
Misalnya, masyarakat Bali yang terbagi atas kasta-kasta atau Jakarta (atau tempat-
tempat lainnya) ada orang-orang kaya, setengah kaya, dan miskin. Stratifikasi
sosial merupakan aspek vertikal dari kehidupan sosial di mana terjadi distribusi
yang tidak seimbang dari sandang, pangan, tanah, bahan-bahan mentah, dan
seterusnya sehingga adakalanya stratifikasi sosial diidentikkan dengan ketidak
seimbangan kekayaan materiil.
Setiap masyarakat memiliki penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu
dalam masyarakatnya. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu
yang akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi lainnya.
Gejala tersebut menimbulkan lapisan masyarakat yang merupakan pembedaan
posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara
vertikal.2 Masyarakat merupakan suatu kesatuan yang didasarkan ikatan-ikatan
yang sudah teratur dan boleh dikatakan stabil. Sehubungan dengan itu maka
1Soerjono Soekanto, & Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat (Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 1982), h. 197.
2M. Solly Lubis, Sistem Hukum Nasional, (Cet. I; Bandung: Mandar Maju, 2002), h. 1.
1
2
dengan sendirinya masyarakat merupakan kesatuan dalam pembentukannya
mempunyai gejala yang sama. Pitirim A. Sorokin dalam karangannya yang
berjudul “Socias Stratification” sebagaimana yang dikutip oleh Soejono Soekanto
mengatakan bahwa sistem lapisan dalam masyarakat itu merupakan ciri yang tetap
dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Jadi yang diamkasud
dengan stratifikasi sosial (Social Stratification) adalah stratification berasal dari
Stratum (yang berarti lapisan). Menurut Pitirim A. Sorokin, bahwa Social
Stratification adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam lapisan kelas-
kelas secara bertingkat.3 Sedangkan menurut Kingsley Davis dan Wilbert Moore,
menyatakan bahwa tak ada masyarakat yang tidak terstratifikasi atau sama sekali
tanpa kelas, sebab stratifikasi adalah keharusan fungsional4
Stratifikasi sosial terjadi karena ada sesuatu yang dihargai dalam
masyarakat, misalnya harta, kekayaan, ilmu pengetahuan, kesalehan, keturunan,
dan lain sebagainya. Stratifikasi sosial selalu ada selama dalam masyarakat
terdapat sesuatu yang dihargai . Stratifikasi sosial juga menimbulkan kelas sosial,
dimana setiap anggota masyarakat akan menempati kelas sosial sesuai dengan
kriteri yang mereka miliki. Kelas sosial adalah golongan yang terbentuk karena
adanya perbedaan kedudukan tinggi dan rendah, dan karena adanya rasa
segolongan dalam kelas tersebut masing-masing, sehingga kelas yang satu dapat
dibedakan dari kelas yang lain.5
3Soerjono Soekanto, & Mustafa Abdullah, h. 227.
4George Ritzer dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. (Cet. III; Jakarta: Kencana, 2008), h. 80.
5http://ozhyrosita.blogspot.co.id/2012/05/hukum-dan-stratifikasi-sosial.html (laman diakses tanggal 19 Oktober 2015).
3
Selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dapat dihargainya, maka
hal itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis
dalam masyarakat itu. Lapisan dalam masyarakat ini selalu ada yang jumlahnya
banyak sekali dan berbeda-beda, sekalipun dalam masyarakat kapitalis,
demokratis, komunis dan sebagainya. Terjadinya sistem berlapis-lapis dalam
masyarakat adakalanya terbentuk dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan
masyarakat itu seperti tingkat umur, kepandaian, dan kekayaan. Adapula yang
sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama, hal ini biasanya berkaitan
dengan pembagian kekuasaan dan wewenang resmi dalam organisasi-organisasi
formal seperti pemerintahan, perusahaan, partai politik angkatan bersenjata atau
perkumpulan. Dari kelompok-kelompok sosial inilah dapat dimulainya perbuatan
yang berasal dari persamaan dan perbedaan dalam cara pandang terhadap suatu
peristiwa, keadaan, situasi, dan lingkungan tempat mereka tinggal yang
memengaruhi kehidupan mereka dan keadaan ini pula yang dapat memengaruhi
adanya suatu perubahan produk hukum.6
Soerjono Soekanto mengungkapkan bahwa rule of law berarti persamaan di
hadapan hukum, yaitu setiap warga negara harus tunduk kepada hukum. Demikian
pengertian yang dapat dipahami dari suatu negara hukum. Namun demikian,
terhadap kecenderungan keterkaitan antara hukum dengan gejala- gejala sosial,
dalam hal ini stratifikasi sosial yang terdapat pada setiap masyarakat. Tujuann
kajiannya tidak lain hanya untuk mengidentifikasi fakta, yang mungkin ada
manfaaatnya di dalam pelaksanaan penegakan hukum yang saat ini banyak
dipersoalkan oleh masyarakat di Indonesia, terutama masyarakat yang mendiami
6Satjipto Rahardjo, Penegak Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Cet. I; Yogyakarta: Genta Publising, 2009), h. 63.
4
wilayah perkotaan. Kasus-kasus semacam ini dapat di ungkapkan, misalnya
peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti oleh oknum aparat keamanan ketika
melakukan aksi demonstrasi atas porotes terhadap situasi kondisi perekonomian
negara, Dwifungsi ABRI dan semacamnya. Terhadap kasus-kasus tersebut,
muncul pertanyaan mengapa oknum aparat POLRI dan/ atau TNI melakukan
penembakan terhadap mahasiswa?
Untuk praktisnya, di dalam makalah ini, hukum dapat kita artikan sebagai
aturan yang ditetapkan oleh penguasa. Peraturan- peraturan tadi dapat bersifat
umum dan dapat juga bersifat khusus dari sudut ruang lingkup norma-normanya.
Hal ini yang kemudian penulis coba hubungkan dengan stratifikasi sosial,.
B. Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan
masalah di dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana yang dimaksud dengan klasifikasi sosial hukum?
2. Bagaimana pengaruh stratifikasi sosial terhadap hukum?
3. Bagaimana realita penegakan hukum ditinjau dari stratifikasi sosial?
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Klasifikasi Sosial Hukum
Menurut Donald Black dalam buku The Behaviour of Law, proses
bekerjanya hukum di samping menegakkan pasal-pasal dalam undang-undang,
juga dipengaruhi oleh faktor di luar hukum. Salah satunya adalah stratifikasi
sosial. Semakin kuat stratifikasi sosial (kedudukan) seseorang, maka semakin
berpotensi orang itu mendapatkan perlakuan berbeda di depan hukum. Lihat saja
bagaimana perlakuan hukum terhadap pencuri, antara pencuri ayam dengan
pencuri uang rakyat (koruptor), tentunya koruptor akan mendapat perlakuan yang
berbeda di setiap tahapan proses hukum.
Meskipun demikian, hukum pada dasarnya tidak memandang kaya atau
miskinnya seseorang. Setiap orang baik kaya ataupun miskin punya hak yang
sama untuk merasakan keadilan hukum. Hukum menjanjikan adanya kesetaraan di
hadapan hukum. Salah satu asas hukum adalah equality before the law yang
artinya adalah kedudukan setiap orang adalah sama di hadapan hukum. Hukum
tidak membedakan status, kedudukan, kasta, dan kelas sosial. Semua sama
dihadapan hukum. Namun, pada kenyataanya, seringkali tidak demikian.
Terkadang terkesan bahwa hukum lebih berpihak pada kaum strata atas. Lapisan
kelas atas masih dianggap sebagai personifikasi dari sebuah struktur dalam
masyarakat. Termasuk juga struktur hukumnya. Yang menentukan hukum adalah
6
kaum kalangan atas dan kaum strata bawah dianggap sebagai alat struktur dan
pelaksana dari struktur.7
Hukum berlaku top-down. Artinya bahwa hukum ditentukan oleh kalangan
atas kemudian diterapkan pada masyarakat kalangan bawah. Pada posisi inilah
kaum strata bawah mulai tertekan. Tertekan oleh sebuah aturan yang ditetapkan
oleh strata atas. Hukum yang dibuat oleh kaum strata atas dimasuki oleh
kepentingan-kepentingan mereka sendiri. Keadaan ini di perparah lagi dengan
pengetahuan kaum miskin yang terbatas tentang hukum. Oleh karena itu, saat
hukum menghadapkan antara kaum strata atas dengan kaum strata bawah kaum
strata atas secara tidak langsung lebih unggul.
Menurut teori sibenertika Talcoot Parson menyatakan bahwa suatu sistem
sosial pada hakekatnya merupakan suatu sinergi antara berbagai subsistem sosial
yang saling mengalami ketergantungan dan keterkaitan satu dengan yang lain.
Adanya hubungan yang saling keterkaitan, interaksi dan saling ketergantungan.
Hukum
Sosial politik
Ekonomi budaya
A. Ross sebagaimana dikutip Soerjono Soekanto menyatakan bahwa
hukum merupakan sarana pengendali sosial yang mencakup semua kekuatan yang
menciptakan serta memelihara ikatan sosial. Ross yang menganut teori imperatif
tentang fungsi hukum dengan banyak menghubungkannya dengan hukum pidana.
7Syailendra Wisnu, Stratifikasi Sosial dan Hukum, http://wisnu.blog.uns.ac.id/ 2009/07
/28/stratifikasi-sosial-dan-hukum/ (laman diakses tanggal 19 Oktober 2015).
7
Dalam kaitan ini, hukum dianggap sebagai sarana pemaksa yang melindungi
warga masyarakat dari ancaman maupun perbuatan yang membahayakan diri serta
harta bendanya. Misalnya dapat dikemukakan perbuatan kejahatan penganiayaan
dalam Pasal 351 KUHP. Norma ini jelas merupakan sarana pemaksa yang
berfungsi untuk melindungi warga masyarakat terhadap perbuatan yang
mengakibatkan terjadinya penderitaan pada orang lain.8
Pengendalian sosial (social control) dari hukum, pada dasarnya memaksa
warga masyarakat agar berperilaku sesuai dengan hukum, Dengan kata lain,
pengendalian sosial daripada hukum dapat bersifat preventif maupun represif.
Preventif merupakan suatu usaha untuk mencegah prilaku yang menyimpang,
sedangkan represif bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang terganggu.
Hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa (dispute settlement). Di dalam
masyarakat berbagai persengketaan dapat terjadi, misalnya antara keluarga yang
dapat meretakan hubungan keluarga,antara mereka dalam suatu urusan bersama
(company), yang dapat membubarkan kerjasama. Sengketa juga dapat mengenai
perkawinan atau waris, kontrak, tentang batas tanah, dan sebagainya. Adapun
cara-cara penyelesaian sengketa dalam suatu masyarakat, ada yang diselesaikan
melalui lembaga formal yang disebut dengan pengadilan, dan ada yang
diselesaikan secara sendiri oleh orang-orang yang bersangkutan dengan mendapat
bantuan dari orang yang ada di sekitarnya.
Hal ini bertujuan untuk mengukur, sampai berapa jauh terjadi pelanggaran
norma dan apa yang harus diwajibkan kepada pelanggar supaya yang telah
dilanggar itu dapat diluruskan kembali sebagai sarana rekayasa sosial (social
8Soerjono Soekanto, & Mustafa Abdullah, h. 251.
8
engineering), menurut Satjipto Rahardjo, tidak saja digunakan untuk
mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam
masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan pada tujuan yang dikehendaki,
menghapuskan kebiasaan yang dipandang tidak sesuai lagi dengan pola-pola
kelakuan baru dan sebagainya. Dengan demikian, hukum dapat berfungsi untuk
mengendalikan masyarakat dan bisa juga menjadi sarana untuk melakukan
perubahan-perubahan dalam masyarakat.9
B. Pengaruh Stratifikasi Sosial terhadap Hukum
Masyarakat merupakan struktur organisasi kehidupan bersama. Di dalam
struktur, setiap orang memainkan perannya masing-masing. Suatu peran
berhubungan dengan peran yang lain. Hal tersebutlah yang membuat stratifikasi
sosial tetap ada walaupun hukum berusaha untuk menghilangkannya. Setiap peran
mempunyai tugasnya masing-masing. Aktivitas kerja seseorang berkaitan dengan
peran yang dimainkannya disebut dengan Occupation. Keanekaragaman peran
yang ada dalam masyarakat menimbulkan apresiasi yang berbeda terhadap
pemegang peran. Ada profesi yang dianggap ada pada struktur lapisan atas seperti
contohnya presiden, menteri, pengusaha, dosen, guru, dan profesi lain yang
dipandang oleh masyarakat baik. Namun ada juga kelompok profesi yang menurut
masyarakat dianggap berada pada struktur lapisan masyarakat tingkat bawah
seperti tukang becak, kuli, dan profesi yang lain yang dianggap masyarakat
kurang terpandang. Walaupun secara moral pekerjaan tersebut tidak tercela,
namun tetap saja oleh masyarakat dipandang rendah.10
9Satjipto Rahardjo, h. 79.
10Syailendra Wisnu, Stratifikasi Sosial dan Hukum, http://wisnu.blog.uns.ac.id/ 2009/07 /28/stratifikasi-sosial-dan-hukum/ (laman diakses tanggal 19 Oktober 2015)
9
Hal yang terjadi kemudian adalah disfungsi hukum bagi masyarakat
kalangan bawah. Hukum tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Seharusnya
hukum tidak membeda-bedakan dan berlaku adil bagi semua kalangan. Namun hal
tersebut tidak terjadi dalam struktur ini. Hukum tidak berpihak pada rakyat
miskin. Keadaan ini membuat berlakunya diskriminasi hukum di dalam
masyarakat. Bagi masyarakat lapisan atas, hukum terkesan amat menguntungkan.
Hal ini disebabkan karena memang merekalah yang menentukan hukum. Bagi
masyarakat lapisan bawah, dirasakan banyaknya ketidak adilan dalam hukum
yang berlaku. Akibatnya, masyarakat strata bawah akan lebih cenderung untuk
menyelesaikan perkara-perkara lewat caranya sendiri dari pada cara-cara formal
menurut prosedur Hukum.11
Adanya diskriminasi bagi masyarakat miskin membuat kalangan idealis
dari kaum elite membuat sebuah konsep bantuan hukum bagi kalangan bawah.
Bantuan hukum bagi masyarakat strata bawah terdapat dalam dua model. Dua
model tersebut berbentuk bantuan secara konvensional dan bantuan secara
structural. Para ahli hukum yang berprofesi sebagai pengacara mencoba
membantu mengatasi persoalan kesenjangan kaya-miskin ini dengan cara
memberikan bantuan hukun secara cuma-cuma kepada golongan miskin, apabila
golongan miskin ini harus berperkara dan beracara di siding-sidang pengadilan.
Bantuan ini desebut dengan legal aid. Menurut pendapat para ahli hukum yang
peduli terhadap rakyat miskin tanpa bantun hukum yang serius dari pihak-pihak
yang mengerti hukum modern, orang miskin akan terdiskriminasi oleh hukum.
Bantuan hukum macam ini akan membantu kaum miskin untukdiperlakukan sama
11Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 33.
10
di hadapan hukum. Dengan bantuan hukum yang diberikan, kepercayaan kalangan
miskin terhadap hukum tidak akan hilang. Bentuk inilah yang kemudian disebut
dengan bantuan secara konvensional.
Menurut pandangan kaum kritisi, bantuan hukum yang terbatas pada
bantuan hukum dalam persidangan saja belum cukup untuk melepaskan kaum
miskin dari diskriminasi yang disebabkan oleh stratifikasi. Bantuan hukum juga
dilakukan dengan memperjuangkan kaum miskin pada rancangan undang-undang
yang akan diberlakukan. Pada bentuk bantuan ini, para ahli hukum akan berusaha
agar hak-hak kaum miskin tidak terpinggirkan, Perjuangan semacam ini disebut
dengan legal service. Bantuan model ini juga disebut dengan bantuan secara
struktural. Pada dasarnya, kebijakan dalam bantuan hukum struktural ditempuh
untuk merealisasikan apa yang disebut dengan kebijakan diskriminasi terbalik
atau yang sering disebut juga kebijakan diskriminatif positif. Dikatakan demikian
karena diskriminasi yang diputuskan untuk dilakukan itu demi hukum akan
memberikan kesempatan dan hak yang lebih kepada mereka yang berada pada
strata bawah dibanding dengan strata atas. Langkah-langkah legislatif untuk
membuat undang-undang baru dilakukan dengan sadar untuk memajukan
kepentingan sosial ekonomi mereka yang ada pada strata bawah. Hukum
perundang-undangan yang dibuat atas dasar kebijakan seperti itu dikenal secara
luas sebagai hukum perundang-undangan sosial. Contoh dari kebijakan sosial
adalah kebijakan pajak yang diberlakukan secara progresif. Bagi kalangan atas, ia
akan membayar pajak yang jumlahnya lebih besar. Pendapatan pajak dari
kalangan strata atas tersebut pada akhirnya akan disalurkan kepada kaum yang
11
berada pada strata bawah dengan cara pembagian subsidi dan penyediaan layanan
umum.12
Masyarakat dalam realitanya memiliki lapisan-lapisan di dalamnya.
Terdapat masyarakat lapisan atas yang ditempati oleh orang-orang kaya dan
terpandang dan masyarakat lapisan bawah yang ditempai masyarakat miskin. Hal
tersebut tidak dapat dihilangkan. Hukum berusaha menghilangkan perbedaan ini
dengan mengusung asas equality before the law yang artinya bahwa kedudukan
setiap orang adalah sama di hadapan hukum tidak memandang kaya atau miskin.
Namun pelapisan sosial tetap saja tidak dapat dihilangkan karena di dalam
masyarakat terdapat peranan yang dimainkan masing-masing individu. Setiap
peran yang dimainkan memiliki prestige yang berbeda. Ada peran yang dianggap
oleh masyarakat baik, ada pula yang dianggap tidak baik.
Stratifikasi sosial ini pada akhirnya akan melahirkan sebuah stratifikasi
hukum. Hal ini disebabkan karena ada asumsi yang mengatakan bahwa yang
menentukan hukum yang berlaku adalah masyarakat kalangan atas. Masyarakat
kalangan atas berusaha memasukkan kepentingannya pada aturan yang ditetapkan.
Hal ini membuat kaum miskin semakin terpojok. Hal ini membuat kaum elite
yang idealis berpikir bagaimana caranya untuk memberikan bantuan hukum bagi
kalangan msikin. Bantuan diberikan dengan dua cara. Cara yang pertama melalui
proses yuridis yaitu pendampingan hukum terhadap kasus yang menimpa kaum
miskin atau biasa disebut dengan legal aid dan proses legislatif yang dilakukan
dengan cara memperjuangkan hak-hak kaum miskin dalam pembuatan suatu
undang-undang yang biasa disebut dengan legal service. Stratifikasi sosial
12Sabian Utsman, Dasar-dasar Sosiologi Hukum, (Cet. I; Pustaka Pelajar, 2010), h. 83.
12
memang tidak dapat dihilangkan. Namun sebenarnya hal tersebut tidak perlu
dihilangkan. Hal tersebut adalah sebuah dinamika dalam masyarakat. Stratifikasi
dengan system yang terbuka akan menimbulkan sebuah persaingan yang sehat.
Kaum strata atas akan berusaha meraih strata atas, sedangkan masyarakat strata
atas akan mempertahankan kedudukannya.13
Hal yang harus dihilangkan adalah diskriminasi dalam hukum. Tidak
seharusnya hukum hanya dibuat oleh kaum strata atas saja. Hukum menyangkut
kehidupan setiap orang. Tidak peduli dari strata atas atau bawah. Oleh kerena itu,
hukum seharusnya dibuat secara bersama-sama untuk kebaikan bersama. Semua
kalangan harus dilibatkan dalam sebuah perumusan hukum agar hukum dapat
diterima semua pihak.
C. Realita Penegakan Hukum ditinjau dari Stratifikasi Sosial
Salah satu karakteristik dari negara berkembang adalah lemah dalam hal
penegakan hukum, hukum selalu dijadikan alat bagi pihak-pihak yang
berkepentingan secara pribadi dalam mewujudkan kehendak dan ambisi pribadi
dan golongan. Atas dasar hal tersebut diatas tidak heran jika kita sering
menyaksikan dan mendengar, seseorang mendapat vonis yang jauh dari nilai
keadilan yang seharusnya ia (terpidana) terima atas kejahatan yang dilakukanya.
Sebagai contoh adalah seseorang yang mencuri sendal, jika tertangkap dan masuk
penjara maka ia akan mendapat hukuman yang lebih berat jika dibanding
seseorang yang mencuri uang rakyat “korupsi”.
13http://ozhyrosita. blogspot.co.id/ 2012/05/hukum-dan- stratifikasi- sosial.html (laman diakses tanggal 19 Oktober 2015).
13
Menarik dicermati bagi kita semua, manakala kita disuguhi kejadian-
kejadian yang terjadi dalam penegakan hukum dinegeri ini. Penegakan hukum
demikian sejalan dengan adanya dua hipotesa yang dikemukakan oleh Soerjono
Soekanto sebagai berikut:14
1. Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosialnya, semakin
sedikit hukum yang mengaturnya
2. Semakin rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosialnya,
semakin banyak hukum yang mengaturnya.
Hipotesa tersebut dapat dibuktikan dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Pemeriksaan yang pernah dilakukan oleh KPK terhadap mantan Wapres
Boediono di kantor Wapres RI.
2. Pemeriksaan terhadap mantan Menkeu Sri Mulyani oleh KPK, dilakukan
di Amerika Serikat.
3. Pembelaan yang berlebihan oleh para pengacara/penasehat hukum
terhadap mantan calon Kapolri Budi Gunawan
4. Perlakuan berbeda dapat dilihat manakala terjadi penegakan hukum
terhadap kasus seorang nenek Minah yang pernah dituduh melakukan
pencurian sebanyak 3 buah biji kakau di daerah Jawa Tengah.
5. Begitupun kejadian-kejadian yang pernah menimpa terhadap mantan
presiden era orde baru Soeharto.
Penegakan hukum terhadap lapisan-lapisan masyarakat yang
tergolong upper class begitu terasa tumpul, lambat dan tidak jelas akhirnya. Hal
yang berbeda manakala yang menjadi pelaku/korbannya adalah golongan yang
14Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. (Cet. I; Jakarta: Rajawali Grafindo, 2005), h. 23.
14
berkategori masyarakat lapisan bawah (Low/Botom Class). Sehingga dalam
penerapanya dikenal dengan penegakan hukum seperti tajamnya sebilah mata
pisau. Artinya pisau akan terasa tajam manakala diarahkan kebawah, pada saat
yang sama pisau akan terasa tumpul jika diarahkan keatas. Fenomena penegakan
hukum yang terasa pincang, berbeda, dan terasa jauh dari memenuhi asas equality
of justice dapat dijelaskan sebagai berikut:
Struktur kekuasaan yang komplek, umumnya ditemukan pada masyarakat-masyarakat yang tidak lagi sederhana, pada gilirannya juga akan menimbulkan penegakan hukum yang tidak sederhana lagi. Hubungan dengan masalah struktur kekuasaan yang komplek, berakibat adanya penegakan hukum yang selektif.15
Kelahiran dari penegakan hukum yang selektif dalam masyarakat modern
atau kompleks dapat dijelaskan sebagai berikut: sifat dan ciri sitem hukum yang
dilahirkan dalam masyarakat yang komplek diturunkan dari konplik-konplik yang
inheren pads struktur masyarakat tersebut, yaitu yang berlapis-lapis secara
ekonomi dan politik.16
Penegakan hukum adalah suatu proses yang didalamnya merupakan
perwujudan dari tujuan suatu organisasi. Maka walaupun penegakan hukum itu
dilakukan oleh orang perorang akan tetapi tetap hal tersebut tidak dapat lepas dari
organiasi dari orang- orang tersebut berada. Suatu organisasi pasti mempunyai
tujuan. Tujuan tersebut ada yang dirumuskan secara formal dan merupakan bagian
dari struktur organisasi. Maka dari tujuan tersebut dapat diketahui apa yang
dikehendaki dan ingin dilakukan oleh organisasi dalam masyarakat. Tujuan
organisasi penegakan hukum akan menentukan bagaiamana tingkah laku
15Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, h. 41.
16http://ozhyrosita. blogspot.co.id/ 2012/05/hukum-dan- stratifikasi- sosial.html (laman diakses tanggal 19 Oktober 2015).
15
organisasi. Dalam menjalankan tujuan suatu organisasi, disatu sisi harus dapat
melayani masyarakat. Pada sisi yang lainya organisasi tersebut harus hidup
ditengah-tengah masyarakat tersebut. Dalam kondisi demikian terjadi proses
penyesuaian yang menimbulkan gejala yaitu goal substitution dan goal
displacement.
Di dalam goal substitution. tujuan yang formal digantikan oleh kebijakan-
kebijakan dan langkah-langkah yang akan lebih menguntungkan bagi organisasi
di satu pihak dan di pihak lain akan menekan sedapat mungkin ancaman-ancaman
terhadapnya. Sedangkan di dalam goal displacement tujuan-tujuan organisasi
yang sudah diterima dan disetujui ditelantarkan demi tujuan-tujuan lain.
Di antara badan-badan penegakan hukum dengan masyarakat terdapat
hubungan yang resiprositas yang dapat dilihat melalui goal substitution dan goal
displacement. Dalam konteks tersebut, maka badan-badan penegak hukum
berusaha untuk meningkatkan atau mencari keuntungan dari masyarakat dan
menekan hambatan-hambatan serta ancaman-ancaman yang datang kepadanya.
Atas kondisi demikian maka penegakan hukum cenderung meringankan
golongan–golongan yang mempunyai kekuasaan dan memberatkan bagi mereka
yang tidak memiliki kekuasaan tersebut. Jika dari paparan-paparan di atas ditarik
kedalam kondisi kekinian dapat dijelaskan sebagai berikut:
Adanya perlakuan yang berbeda yang diterima oleh mantan wapres Boediono dan mantan Menkeu Sri Mulyani, disebabkan oleh keduanya pada waktu tersebut mempunyai kekusaan yang tinggi di negeri ini. Badan-badan penegak hukum dalam menjalankan tujuan organisasinya. maka mau tidak mau harus menyesuaikan terhadap keduanya. Yaitu disatu sisi memberikan layanan terhadap keduanya dan pada sisi yang lain harus menyelamatkan organisasi tersebut, sehingga terjadilah proses goal substitution dan goal displacement.
16
Dalam kasus yang berbeda seperti penyerobotan pemeriksaan terhadap hakim dalam perkara Gayus oleh MA, yang sebelumnya sudah direncanakan akan dilakukan pemeriksan oleh KY. Adanya penyerobotan tersebut dapat ditafsir sebagai bentuk perlindungan oleh MA terhadap hakim-hakim nakal yang tergabung dalam lokomotif dan gerbong Mahkamah Agung. Pemeriksaan yang dilakukan MA tersebut terhadap hakim-hakim nakal selama ini sesungguhnya lebih berfungsi sebagai pembekalan dan pengkondisian terhadap hakimnya. Sehingga, cukup punya alasan untuk ngeles dari bidikan KY. Motivasi inilah yang dilakukan oleh MA dengan melakukan penyerobotan pemeriksaan.17
Sehingga nyatalah ungkapan yang menyatakan bahwa penegakan hukum
(law enforcment) di Indonesia seperti sebilah mata pisau. Jika kita lihat bahwa
pisau mempunyai dua sisi, sisi bawah mempunyai ketajaman yang baik artinya
bahwa hukum hanya tajam dengan baik untuk menjangkau golongan-golongan
lemah (masyarakat miskin, pinggiran, dan masyarakat tak berdaya). Sebaliknya
pada sisi lainya (atas) pisau mempunyai ketajaman yang kurang/tumpul jika
diarahkan keatas, begitupun dengan hukum akan terasa tidak berdaya untuk
menjerat golongan-golongan pejabat, pengusaha, dan orang-orang berpengaruh
dinegeri ini. Orang-orang tersebut notabene berstatus high social (upper class).
BAB III
PENUTUP
17A. Ahsin Thohari, Sekutu Berdesain Seteru, Kompas Edisi Jumat, 30 April 2010
17
A. Kesimpulan
Dari pemaparan makalah sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Hukum tidak membedakan status, kedudukan, kasta, dan kelas sosial.
Semua sama dihadapan hukum. Namun, pada kenyataanya, seringkali tidak
demikian. Meskipun terkadang terkesan bahwa hukum lebih berpihak pada kaum
strata atas. Lapisan kelas atas masih dianggap sebagai personifikasi dari sebuah
struktur dalam masyarakat. Termasuk juga struktur hukumnya. Yang menentukan
hukum adalah kaum kalangan atas dan kaum strata bawah dianggap sebagai alat
struktur dan pelaksana dari struktur
2. Dalam penegakan hukum stratifikasi sosial sangat berpengaruh walaupun
dalam konsep hukum menyatakan bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang
sama di hadapan hukum (equality before the law) namun dalam aplikasinya
keadilah hanya berpihak pada orang-orang yang berada dalam kelas-kelas elite
dan menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap orang-orang yang berada
dalam kelas-kelas menengah ke bawah.
3. Penegakan hukum terhadap lapisan-lapisan masyarakat yang
tergolong upper class begitu terasa tumpul, lambat dan tidak jelas akhirnya. Para
penegak hukum masih terkesan tebang pilih dalam menegakkan hukum di negara
kita. Sehingga dalam penerapannya diibaratkan seperti tajamnya sebilah mata
pisau. Artinya pisau akan terasa tajam manakala diarahkan kebawah, pada saat
yang sama pisau akan terasa tumpul jika diarahkan keatas.B. Saran
Dari kesimpulan yang kami paparkan di atas, penulis mengajukan saran-
saran sebagai berikut:
18
1. Hukum dalam masyarakat seyogyanya digunakan untuk mewujudkan
kehidupan yang selaras, damai, dan tenang. Dan untuk mewujudkannya dengan
cara mewujudkan peradilan yang harus adil dan tanpa melihat status sosial
seseorang yang terbagi di dalam stratifikasi sosial yang terdapat dalam
masyarakat. Dalam mewujudkannya harus diperlukan dari seluruh pihak yang
berkaitan dengan peradilan seperti hakim, jaksa, polisi, dan penegak hukum
lainnya. Para hakim yang membuat keputusan haruslah progresif dan tidak hanya
mengeja undang-undang. Para hakim juga perlu mengutamakan nuraninya, baru
kemudian mencarikan dasar hukumnya dalam peraturan perundang-undangan.
Prinsip kesetaraan harus dipegang teguh.
2. Pengadilan harus sebagai tempat menemukan keadilan oleh golongan
kelas bawah, karena pengadilan dituntut untuk terus menunjukkan dan
membuktikan kemanfaatan sosial. Pengadilan bukan medan perang untuk mencari
kemenangan. Hakim harus mendengarkan, melihat, membaca, lalu menjatuhkan
pilihan yang yang adil tanpa melihat status seseorang itu berasal dari golongan
kelas manapun.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum, Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
19
http://ozhyrosita.blogspot.co.id/2012/05/hukum-dan-stratifikasi-sosial.html (laman diakses tanggal 19 Oktober 2015).
M. Solly Lubis, Sistem Hukum Nasional, Cet. I; Bandung: Mandar Maju, 2002.
Ritzer George dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. Cet. III; Jakarta: Kencana, 2008.
Satjipto Rahardjo, Penegak Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Cet. I; Yogyakarta: Genta Publising, 2009.
Soekanto, Soerjono & Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 1982.
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Cet. I; Jakarta: Rajawali Grafindo, 2005.
Syailendra Wisnu, Stratifikasi Sosial dan Hukum, http://wisnu.blog.uns.ac.id/ 2009/07 /28/stratifikasi-sosial-dan-hukum/ (laman diakses tanggal 19 Oktober 2015).
Thohari, A. Ahsin. Sekutu Berdesain Seteru, Kompas Edisi Jumat, 30 April 2010
Utsman, Sabian. Dasar-dasar Sosiologi Hukum, Cet. I; Pustaka Pelajar, 2010.
KLASIFIKASI SOSIAL HUKUM
Diajukan untuk memenuhi kewajiban