Sosiologi Hukum

27
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah dalam bukunya Sosiologi Hukum dalam Masyarakat menyatakan bahwa selama dalam suatu masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargai, maka sesuatu itu akan menjadi bibit yang akan dapat menumbuhkan adanya sistem yang berlapis- lapis atau stratifikasi sosial dalam masyarakat tersebut. Stratifikasi sosial tersebut dapat diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara hierarkis. 1 Misalnya, masyarakat Bali yang terbagi atas kasta-kasta atau Jakarta (atau tempat-tempat lainnya) ada orang-orang kaya, setengah kaya, dan miskin. Stratifikasi sosial merupakan aspek vertikal dari kehidupan sosial di mana terjadi distribusi yang tidak seimbang dari sandang, pangan, tanah, bahan-bahan mentah, dan seterusnya sehingga adakalanya stratifikasi sosial diidentikkan dengan ketidak seimbangan kekayaan materiil. Setiap masyarakat memiliki penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakatnya. 1 Soerjono Soekanto, & Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat (Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 1982), h. 197. 1

description

NJH

Transcript of Sosiologi Hukum

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah dalam bukunya Sosiologi Hukum

dalam Masyarakat menyatakan bahwa selama dalam suatu masyarakat pasti

mempunyai sesuatu yang dihargai, maka sesuatu itu akan menjadi bibit yang akan

dapat menumbuhkan adanya sistem yang berlapis-lapis atau stratifikasi sosial

dalam masyarakat tersebut. Stratifikasi sosial tersebut dapat diartikan sebagai

pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara hierarkis.1

Misalnya, masyarakat Bali yang terbagi atas kasta-kasta atau Jakarta (atau tempat-

tempat lainnya) ada orang-orang kaya, setengah kaya, dan miskin. Stratifikasi

sosial merupakan aspek vertikal dari kehidupan sosial di mana terjadi distribusi

yang tidak seimbang dari sandang, pangan, tanah, bahan-bahan mentah, dan

seterusnya sehingga adakalanya stratifikasi sosial diidentikkan dengan ketidak

seimbangan kekayaan materiil.

Setiap masyarakat memiliki penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu

dalam masyarakatnya. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu

yang akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi lainnya.

Gejala tersebut menimbulkan lapisan masyarakat yang merupakan pembedaan

posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara

vertikal.2 Masyarakat merupakan suatu kesatuan yang didasarkan ikatan-ikatan

yang sudah teratur dan boleh dikatakan stabil. Sehubungan dengan itu maka

1Soerjono Soekanto, & Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat (Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 1982), h. 197.

2M. Solly Lubis, Sistem Hukum Nasional, (Cet. I; Bandung: Mandar Maju, 2002), h. 1.

1

2

dengan sendirinya masyarakat merupakan kesatuan dalam pembentukannya

mempunyai gejala yang sama. Pitirim A. Sorokin dalam karangannya yang

berjudul “Socias Stratification” sebagaimana yang dikutip oleh Soejono Soekanto

mengatakan bahwa sistem lapisan dalam masyarakat itu merupakan ciri yang tetap

dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Jadi yang diamkasud

dengan stratifikasi sosial (Social Stratification) adalah stratification berasal dari

Stratum (yang berarti lapisan). Menurut Pitirim A. Sorokin, bahwa Social

Stratification adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam lapisan kelas-

kelas secara bertingkat.3 Sedangkan menurut Kingsley Davis dan Wilbert Moore,

menyatakan bahwa tak ada masyarakat yang tidak terstratifikasi atau sama sekali

tanpa kelas, sebab stratifikasi adalah keharusan fungsional4

Stratifikasi sosial terjadi karena ada sesuatu yang dihargai dalam

masyarakat, misalnya harta, kekayaan, ilmu pengetahuan, kesalehan, keturunan,

dan lain sebagainya. Stratifikasi sosial selalu ada selama dalam masyarakat

terdapat sesuatu yang dihargai . Stratifikasi sosial juga menimbulkan kelas sosial,

dimana setiap anggota masyarakat akan menempati kelas sosial sesuai dengan

kriteri yang mereka miliki. Kelas sosial adalah golongan yang terbentuk karena

adanya perbedaan kedudukan tinggi dan rendah, dan karena adanya rasa

segolongan dalam kelas tersebut masing-masing, sehingga kelas yang satu dapat

dibedakan dari kelas yang lain.5

3Soerjono Soekanto, & Mustafa Abdullah, h. 227.

4George Ritzer dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. (Cet. III; Jakarta: Kencana, 2008), h. 80.

5http://ozhyrosita.blogspot.co.id/2012/05/hukum-dan-stratifikasi-sosial.html (laman diakses tanggal 19 Oktober 2015).

3

Selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dapat dihargainya, maka

hal itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis

dalam masyarakat itu. Lapisan dalam masyarakat ini selalu ada yang jumlahnya

banyak sekali dan berbeda-beda, sekalipun dalam masyarakat kapitalis,

demokratis, komunis dan sebagainya. Terjadinya sistem berlapis-lapis dalam

masyarakat adakalanya terbentuk dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan

masyarakat itu seperti tingkat umur, kepandaian, dan kekayaan. Adapula yang

sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama, hal ini biasanya berkaitan

dengan pembagian kekuasaan dan wewenang resmi dalam organisasi-organisasi

formal seperti pemerintahan, perusahaan, partai politik angkatan bersenjata atau

perkumpulan. Dari kelompok-kelompok sosial inilah dapat dimulainya perbuatan

yang berasal dari persamaan dan perbedaan dalam cara pandang terhadap suatu

peristiwa, keadaan, situasi, dan lingkungan tempat mereka tinggal yang

memengaruhi kehidupan mereka dan keadaan ini pula yang dapat memengaruhi

adanya suatu perubahan produk hukum.6

Soerjono Soekanto mengungkapkan bahwa rule of law berarti persamaan di

hadapan hukum, yaitu setiap warga negara harus tunduk kepada hukum. Demikian

pengertian yang dapat dipahami dari suatu negara hukum. Namun demikian,

terhadap kecenderungan keterkaitan antara hukum dengan gejala- gejala sosial,

dalam hal ini stratifikasi sosial yang terdapat pada setiap masyarakat. Tujuann

kajiannya tidak lain hanya untuk mengidentifikasi fakta, yang mungkin ada

manfaaatnya  di dalam pelaksanaan penegakan hukum yang saat ini banyak

dipersoalkan oleh masyarakat di Indonesia, terutama masyarakat yang mendiami

6Satjipto Rahardjo, Penegak Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis,  (Cet. I; Yogyakarta: Genta Publising, 2009), h. 63.

4

wilayah perkotaan. Kasus-kasus semacam ini dapat di ungkapkan, misalnya

peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti oleh oknum aparat keamanan ketika

melakukan aksi demonstrasi atas porotes terhadap situasi kondisi perekonomian

negara, Dwifungsi ABRI dan semacamnya. Terhadap kasus-kasus tersebut,

muncul pertanyaan mengapa oknum aparat POLRI dan/ atau TNI melakukan

penembakan terhadap mahasiswa?

Untuk praktisnya, di dalam makalah ini, hukum dapat kita artikan sebagai

aturan yang ditetapkan oleh penguasa. Peraturan- peraturan tadi dapat bersifat

umum dan dapat juga bersifat khusus dari sudut ruang lingkup norma-normanya.

Hal ini yang kemudian penulis coba hubungkan dengan stratifikasi sosial,.

B. Rumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan

masalah di dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana yang dimaksud dengan klasifikasi sosial hukum?

2. Bagaimana pengaruh stratifikasi sosial terhadap hukum?

3. Bagaimana realita penegakan hukum ditinjau dari stratifikasi sosial?

5

BAB II

PEMBAHASAN

A. Klasifikasi Sosial Hukum

Menurut Donald Black dalam buku The Behaviour of Law, proses

bekerjanya hukum di samping menegakkan pasal-pasal dalam undang-undang,

juga dipengaruhi oleh faktor di luar hukum. Salah satunya adalah stratifikasi

sosial. Semakin kuat stratifikasi sosial (kedudukan) seseorang, maka semakin

berpotensi orang itu mendapatkan perlakuan berbeda di depan hukum. Lihat saja

bagaimana perlakuan hukum terhadap pencuri, antara pencuri ayam dengan

pencuri uang rakyat (koruptor), tentunya koruptor akan mendapat perlakuan yang

berbeda di setiap tahapan proses hukum. 

Meskipun demikian, hukum pada dasarnya tidak memandang kaya atau

miskinnya seseorang. Setiap orang baik kaya ataupun miskin punya hak yang

sama untuk merasakan keadilan hukum. Hukum menjanjikan adanya kesetaraan di

hadapan hukum. Salah satu asas hukum adalah equality before the law yang

artinya adalah kedudukan setiap orang adalah sama di hadapan hukum. Hukum

tidak membedakan status, kedudukan, kasta, dan kelas sosial. Semua sama

dihadapan hukum. Namun, pada kenyataanya, seringkali tidak demikian.

Terkadang terkesan bahwa hukum lebih berpihak pada kaum strata atas. Lapisan

kelas atas masih dianggap sebagai personifikasi dari sebuah struktur dalam

masyarakat. Termasuk juga struktur hukumnya. Yang menentukan hukum adalah

6

kaum kalangan atas dan kaum strata bawah dianggap sebagai alat struktur dan

pelaksana dari struktur.7

Hukum berlaku top-down. Artinya bahwa hukum ditentukan oleh kalangan

atas kemudian diterapkan pada masyarakat kalangan bawah. Pada posisi inilah

kaum strata bawah mulai tertekan. Tertekan oleh sebuah aturan yang ditetapkan

oleh strata atas. Hukum yang dibuat oleh kaum strata atas dimasuki oleh

kepentingan-kepentingan mereka sendiri. Keadaan ini di perparah lagi dengan

pengetahuan kaum miskin yang terbatas tentang hukum. Oleh karena itu, saat

hukum menghadapkan antara kaum strata atas dengan kaum strata bawah kaum

strata atas secara tidak langsung lebih unggul.

Menurut teori sibenertika Talcoot Parson menyatakan bahwa suatu sistem

sosial pada hakekatnya merupakan suatu sinergi antara berbagai subsistem sosial

yang saling mengalami ketergantungan dan keterkaitan satu dengan yang lain.

Adanya hubungan yang saling keterkaitan, interaksi dan saling ketergantungan.

Hukum

Sosial politik

Ekonomi budaya

A. Ross sebagaimana dikutip Soerjono Soekanto menyatakan bahwa

hukum merupakan sarana pengendali sosial yang mencakup semua kekuatan yang

menciptakan serta memelihara ikatan sosial. Ross yang menganut teori imperatif

tentang fungsi hukum dengan banyak menghubungkannya dengan hukum pidana.

7Syailendra Wisnu, Stratifikasi Sosial dan Hukum, http://wisnu.blog.uns.ac.id/ 2009/07

/28/stratifikasi-sosial-dan-hukum/ (laman diakses tanggal 19 Oktober 2015).

7

Dalam kaitan ini, hukum dianggap sebagai sarana pemaksa yang melindungi

warga masyarakat dari ancaman maupun perbuatan yang membahayakan diri serta

harta bendanya. Misalnya dapat dikemukakan perbuatan kejahatan penganiayaan

dalam Pasal 351 KUHP. Norma ini jelas merupakan sarana pemaksa yang

berfungsi untuk melindungi warga masyarakat terhadap perbuatan yang

mengakibatkan terjadinya penderitaan pada orang lain.8

Pengendalian sosial (social control) dari hukum, pada dasarnya memaksa

warga masyarakat agar berperilaku sesuai dengan hukum, Dengan kata lain,

pengendalian sosial daripada hukum dapat bersifat preventif maupun represif.

Preventif merupakan suatu usaha untuk mencegah prilaku yang menyimpang,

sedangkan represif bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang terganggu.

Hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa (dispute settlement). Di dalam

masyarakat berbagai persengketaan dapat terjadi, misalnya antara keluarga yang

dapat meretakan hubungan keluarga,antara mereka dalam suatu urusan bersama

(company), yang dapat membubarkan kerjasama. Sengketa juga dapat mengenai

perkawinan atau waris, kontrak, tentang batas tanah, dan sebagainya. Adapun

cara-cara penyelesaian sengketa dalam suatu masyarakat, ada yang diselesaikan

melalui lembaga formal yang disebut dengan pengadilan, dan ada yang

diselesaikan secara sendiri oleh orang-orang yang bersangkutan dengan mendapat

bantuan dari orang yang ada di sekitarnya.

Hal ini bertujuan untuk mengukur, sampai berapa jauh terjadi pelanggaran

norma dan apa yang harus diwajibkan kepada pelanggar supaya yang telah

dilanggar itu dapat diluruskan kembali sebagai sarana rekayasa sosial (social

8Soerjono Soekanto, & Mustafa Abdullah, h. 251.

8

engineering), menurut Satjipto Rahardjo, tidak saja digunakan untuk

mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam

masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan pada tujuan yang dikehendaki,

menghapuskan kebiasaan yang dipandang tidak sesuai lagi dengan pola-pola

kelakuan baru dan sebagainya. Dengan demikian, hukum dapat berfungsi untuk

mengendalikan masyarakat dan bisa juga menjadi sarana untuk melakukan

perubahan-perubahan dalam masyarakat.9

B. Pengaruh Stratifikasi Sosial terhadap Hukum

Masyarakat merupakan struktur organisasi kehidupan bersama. Di dalam

struktur, setiap orang memainkan perannya masing-masing. Suatu peran

berhubungan dengan peran yang lain. Hal tersebutlah yang membuat stratifikasi

sosial tetap ada walaupun hukum berusaha untuk menghilangkannya. Setiap peran

mempunyai tugasnya masing-masing. Aktivitas kerja seseorang berkaitan dengan

peran yang dimainkannya disebut dengan Occupation. Keanekaragaman peran

yang ada dalam masyarakat menimbulkan apresiasi yang berbeda terhadap

pemegang peran. Ada profesi yang dianggap ada pada struktur lapisan atas seperti

contohnya presiden, menteri, pengusaha, dosen, guru, dan profesi lain yang

dipandang oleh masyarakat baik. Namun ada juga kelompok profesi yang menurut

masyarakat dianggap berada pada struktur lapisan masyarakat tingkat bawah

seperti tukang becak, kuli, dan profesi yang lain yang dianggap masyarakat

kurang terpandang. Walaupun secara moral pekerjaan tersebut tidak tercela,

namun tetap saja oleh masyarakat dipandang rendah.10

9Satjipto Rahardjo, h. 79.

10Syailendra Wisnu, Stratifikasi Sosial dan Hukum, http://wisnu.blog.uns.ac.id/ 2009/07 /28/stratifikasi-sosial-dan-hukum/ (laman diakses tanggal 19 Oktober 2015)

9

Hal yang terjadi kemudian adalah disfungsi hukum bagi masyarakat

kalangan bawah. Hukum tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Seharusnya

hukum tidak membeda-bedakan dan berlaku adil bagi semua kalangan. Namun hal

tersebut tidak terjadi dalam struktur ini. Hukum tidak berpihak pada rakyat

miskin. Keadaan ini membuat berlakunya diskriminasi hukum di dalam

masyarakat. Bagi masyarakat lapisan atas, hukum terkesan amat menguntungkan.

Hal ini disebabkan karena memang merekalah yang menentukan hukum. Bagi

masyarakat lapisan bawah, dirasakan banyaknya ketidak adilan dalam hukum

yang berlaku. Akibatnya, masyarakat strata bawah akan lebih cenderung untuk

menyelesaikan perkara-perkara lewat caranya sendiri dari pada cara-cara formal

menurut prosedur Hukum.11

Adanya diskriminasi bagi masyarakat miskin membuat kalangan idealis

dari kaum elite membuat sebuah konsep bantuan hukum bagi kalangan bawah.

Bantuan hukum bagi masyarakat strata bawah terdapat dalam dua model. Dua

model tersebut berbentuk bantuan secara konvensional dan bantuan secara

structural. Para ahli hukum yang berprofesi sebagai pengacara mencoba

membantu mengatasi persoalan kesenjangan kaya-miskin ini dengan cara

memberikan bantuan hukun secara cuma-cuma kepada golongan miskin, apabila

golongan miskin ini harus berperkara dan beracara di siding-sidang pengadilan.

Bantuan ini desebut dengan legal aid. Menurut pendapat para ahli hukum yang

peduli terhadap rakyat miskin tanpa bantun hukum yang serius dari pihak-pihak

yang mengerti hukum modern, orang miskin akan terdiskriminasi oleh hukum.

Bantuan hukum macam ini akan membantu kaum miskin untukdiperlakukan sama

11Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 33.

10

di hadapan hukum. Dengan bantuan hukum yang diberikan, kepercayaan kalangan

miskin terhadap hukum tidak akan hilang. Bentuk inilah yang kemudian disebut

dengan bantuan secara konvensional.

Menurut pandangan kaum kritisi, bantuan hukum yang terbatas pada

bantuan hukum dalam persidangan saja belum cukup untuk melepaskan kaum

miskin dari diskriminasi yang disebabkan oleh stratifikasi. Bantuan hukum juga

dilakukan dengan memperjuangkan kaum miskin pada rancangan undang-undang

yang akan diberlakukan. Pada bentuk bantuan ini, para ahli hukum akan berusaha

agar hak-hak kaum miskin tidak terpinggirkan, Perjuangan semacam ini disebut

dengan legal service. Bantuan model ini juga disebut dengan bantuan secara

struktural. Pada dasarnya, kebijakan dalam bantuan hukum struktural ditempuh

untuk merealisasikan apa yang disebut dengan kebijakan diskriminasi terbalik

atau yang sering disebut juga kebijakan diskriminatif positif. Dikatakan demikian

karena diskriminasi yang diputuskan untuk dilakukan itu demi hukum akan

memberikan kesempatan dan hak yang lebih kepada mereka yang berada pada

strata bawah dibanding dengan strata atas. Langkah-langkah legislatif untuk

membuat undang-undang baru dilakukan dengan sadar untuk memajukan

kepentingan sosial ekonomi mereka yang ada pada strata bawah. Hukum

perundang-undangan yang dibuat atas dasar kebijakan seperti itu dikenal secara

luas sebagai hukum perundang-undangan sosial. Contoh dari kebijakan sosial

adalah kebijakan pajak yang diberlakukan secara progresif. Bagi kalangan atas, ia

akan membayar pajak yang jumlahnya lebih besar. Pendapatan pajak dari

kalangan strata atas tersebut pada akhirnya akan disalurkan kepada kaum yang

11

berada pada strata bawah dengan cara pembagian subsidi dan penyediaan layanan

umum.12

Masyarakat dalam realitanya memiliki lapisan-lapisan di dalamnya.

Terdapat masyarakat lapisan atas yang ditempati oleh orang-orang kaya dan

terpandang dan masyarakat lapisan bawah yang ditempai masyarakat miskin. Hal

tersebut tidak dapat dihilangkan. Hukum berusaha menghilangkan perbedaan ini

dengan mengusung asas equality before the law yang artinya bahwa kedudukan

setiap orang adalah sama di hadapan hukum tidak memandang kaya atau miskin.

Namun pelapisan sosial tetap saja tidak dapat dihilangkan karena di dalam

masyarakat terdapat peranan yang dimainkan masing-masing individu. Setiap

peran yang dimainkan memiliki prestige yang berbeda. Ada peran yang dianggap

oleh masyarakat baik, ada pula yang dianggap tidak baik.

Stratifikasi sosial ini pada akhirnya akan melahirkan sebuah stratifikasi

hukum. Hal ini disebabkan karena ada asumsi yang mengatakan bahwa yang

menentukan hukum yang berlaku adalah masyarakat kalangan atas. Masyarakat

kalangan atas berusaha memasukkan kepentingannya pada aturan yang ditetapkan.

Hal ini membuat kaum miskin semakin terpojok. Hal ini membuat kaum elite

yang idealis berpikir bagaimana caranya untuk memberikan bantuan hukum bagi

kalangan msikin. Bantuan diberikan dengan dua cara. Cara yang pertama melalui

proses yuridis yaitu pendampingan hukum terhadap kasus yang menimpa kaum

miskin atau biasa disebut dengan legal aid dan proses legislatif yang dilakukan

dengan cara memperjuangkan hak-hak kaum miskin dalam pembuatan suatu

undang-undang yang biasa disebut dengan legal service. Stratifikasi sosial

12Sabian Utsman, Dasar-dasar Sosiologi Hukum, (Cet. I; Pustaka Pelajar, 2010), h. 83.

12

memang tidak dapat dihilangkan. Namun sebenarnya hal tersebut tidak perlu

dihilangkan. Hal tersebut adalah sebuah dinamika dalam masyarakat. Stratifikasi

dengan system yang terbuka akan menimbulkan sebuah persaingan yang sehat.

Kaum strata atas akan berusaha meraih strata atas, sedangkan masyarakat strata

atas akan mempertahankan kedudukannya.13

Hal yang harus dihilangkan adalah diskriminasi dalam hukum. Tidak

seharusnya hukum hanya dibuat oleh kaum strata atas saja. Hukum menyangkut

kehidupan setiap orang. Tidak peduli dari strata atas atau bawah. Oleh kerena itu,

hukum seharusnya dibuat secara bersama-sama untuk kebaikan bersama. Semua

kalangan harus dilibatkan dalam sebuah perumusan hukum agar hukum dapat

diterima semua pihak.

C. Realita Penegakan Hukum ditinjau dari Stratifikasi Sosial

Salah satu karakteristik dari negara berkembang adalah lemah dalam hal

penegakan hukum, hukum selalu dijadikan alat bagi pihak-pihak yang

berkepentingan secara pribadi dalam mewujudkan kehendak dan ambisi pribadi

dan golongan. Atas dasar hal tersebut diatas tidak heran jika kita sering

menyaksikan dan mendengar, seseorang mendapat vonis yang jauh dari nilai

keadilan yang seharusnya ia (terpidana) terima atas kejahatan yang dilakukanya.

Sebagai contoh adalah seseorang yang mencuri sendal, jika tertangkap dan masuk

penjara maka ia akan mendapat hukuman yang lebih berat jika dibanding

seseorang yang mencuri uang rakyat “korupsi”.

13http://ozhyrosita. blogspot.co.id/ 2012/05/hukum-dan- stratifikasi- sosial.html (laman diakses tanggal 19 Oktober 2015).

13

Menarik dicermati bagi kita semua, manakala kita disuguhi kejadian-

kejadian yang terjadi dalam penegakan hukum dinegeri ini. Penegakan hukum

demikian sejalan dengan adanya dua hipotesa yang dikemukakan oleh Soerjono

Soekanto sebagai berikut:14

1. Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosialnya, semakin

sedikit hukum yang mengaturnya

2. Semakin rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosialnya,

semakin banyak hukum yang mengaturnya.

Hipotesa tersebut dapat dibuktikan dengan hal-hal sebagai berikut:

1. Pemeriksaan yang pernah dilakukan oleh KPK terhadap mantan Wapres

Boediono di kantor Wapres RI.

2. Pemeriksaan terhadap mantan Menkeu Sri Mulyani oleh KPK, dilakukan

di Amerika Serikat.

3. Pembelaan yang berlebihan oleh para pengacara/penasehat hukum

terhadap mantan calon Kapolri Budi Gunawan

4. Perlakuan berbeda dapat dilihat manakala terjadi penegakan hukum

terhadap kasus seorang nenek Minah yang pernah dituduh melakukan

pencurian  sebanyak 3 buah biji  kakau di daerah Jawa Tengah.

5. Begitupun kejadian-kejadian yang pernah menimpa terhadap mantan

presiden era orde baru  Soeharto.

Penegakan hukum terhadap lapisan-lapisan masyarakat yang

tergolong upper class begitu terasa tumpul, lambat dan tidak jelas akhirnya. Hal

yang berbeda manakala yang menjadi pelaku/korbannya adalah golongan yang

14Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. (Cet. I; Jakarta: Rajawali Grafindo, 2005), h. 23.

14

berkategori masyarakat lapisan bawah (Low/Botom Class). Sehingga dalam

penerapanya dikenal dengan penegakan hukum seperti tajamnya sebilah mata

pisau. Artinya  pisau akan terasa tajam manakala diarahkan kebawah, pada saat

yang sama pisau akan terasa tumpul jika diarahkan keatas. Fenomena penegakan

hukum yang terasa pincang, berbeda, dan terasa jauh dari memenuhi asas equality

of justice dapat dijelaskan sebagai berikut:

Struktur kekuasaan yang komplek, umumnya ditemukan pada masyarakat-masyarakat yang tidak lagi sederhana, pada gilirannya juga akan menimbulkan penegakan hukum yang tidak sederhana lagi. Hubungan dengan masalah struktur kekuasaan yang komplek, berakibat adanya penegakan hukum yang selektif.15

Kelahiran dari penegakan hukum yang selektif dalam masyarakat modern

atau kompleks dapat dijelaskan sebagai berikut: sifat dan ciri sitem hukum yang

dilahirkan dalam masyarakat yang komplek diturunkan dari konplik-konplik yang

inheren pads struktur masyarakat tersebut, yaitu yang berlapis-lapis secara

ekonomi dan politik.16 

Penegakan hukum adalah suatu proses yang didalamnya merupakan

perwujudan dari tujuan suatu organisasi. Maka walaupun penegakan hukum itu

dilakukan oleh orang perorang akan tetapi tetap hal tersebut tidak dapat lepas dari

organiasi dari orang- orang tersebut berada. Suatu organisasi pasti mempunyai

tujuan. Tujuan tersebut ada yang dirumuskan secara formal dan merupakan bagian

dari struktur organisasi. Maka dari tujuan tersebut dapat diketahui apa yang

dikehendaki dan ingin dilakukan oleh organisasi dalam masyarakat. Tujuan

organisasi penegakan hukum akan menentukan bagaiamana tingkah laku

15Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, h. 41.

16http://ozhyrosita. blogspot.co.id/ 2012/05/hukum-dan- stratifikasi- sosial.html (laman diakses tanggal 19 Oktober 2015).

15

organisasi. Dalam menjalankan tujuan suatu organisasi, disatu sisi harus dapat

melayani masyarakat. Pada sisi yang lainya organisasi tersebut harus hidup

ditengah-tengah masyarakat tersebut. Dalam kondisi demikian terjadi proses

penyesuaian yang menimbulkan gejala yaitu goal substitution dan goal

displacement.

Di dalam goal substitution. tujuan yang formal digantikan oleh kebijakan-

kebijakan dan langkah-langkah yang akan lebih menguntungkan bagi organisasi

di satu pihak dan di pihak lain akan menekan sedapat mungkin ancaman-ancaman

terhadapnya. Sedangkan di dalam goal displacement tujuan-tujuan organisasi

yang sudah diterima dan disetujui ditelantarkan demi tujuan-tujuan lain.

Di antara badan-badan penegakan hukum dengan masyarakat terdapat

hubungan yang resiprositas yang dapat dilihat melalui goal substitution dan goal

displacement. Dalam konteks tersebut, maka badan-badan penegak hukum

berusaha untuk meningkatkan atau mencari keuntungan dari masyarakat dan

menekan hambatan-hambatan serta ancaman-ancaman yang datang kepadanya.

Atas kondisi demikian maka penegakan hukum cenderung meringankan

golongan–golongan yang mempunyai kekuasaan dan memberatkan bagi mereka

yang tidak memiliki kekuasaan tersebut. Jika dari paparan-paparan di atas ditarik

kedalam kondisi kekinian dapat dijelaskan sebagai berikut:

Adanya perlakuan yang berbeda yang diterima oleh mantan wapres Boediono dan mantan Menkeu Sri Mulyani, disebabkan oleh keduanya pada waktu tersebut mempunyai kekusaan yang tinggi di negeri ini. Badan-badan penegak hukum dalam menjalankan tujuan organisasinya. maka mau tidak mau harus menyesuaikan terhadap keduanya. Yaitu disatu sisi memberikan layanan terhadap keduanya dan pada sisi yang lain harus menyelamatkan organisasi tersebut, sehingga terjadilah proses goal substitution dan goal displacement.

16

Dalam kasus yang berbeda seperti penyerobotan pemeriksaan terhadap hakim dalam perkara Gayus oleh MA, yang  sebelumnya sudah direncanakan akan dilakukan pemeriksan oleh KY. Adanya penyerobotan tersebut dapat ditafsir sebagai bentuk perlindungan oleh MA terhadap hakim-hakim nakal yang tergabung dalam lokomotif dan gerbong Mahkamah Agung. Pemeriksaan yang dilakukan MA tersebut terhadap hakim-hakim nakal selama ini sesungguhnya lebih berfungsi sebagai pembekalan dan pengkondisian terhadap  hakimnya. Sehingga, cukup punya alasan untuk ngeles dari bidikan KY. Motivasi inilah yang dilakukan oleh MA dengan melakukan penyerobotan pemeriksaan.17

Sehingga nyatalah ungkapan yang menyatakan bahwa penegakan hukum

(law enforcment) di Indonesia seperti sebilah mata pisau. Jika kita lihat bahwa

pisau mempunyai dua sisi, sisi bawah mempunyai ketajaman yang baik artinya

bahwa hukum hanya tajam dengan baik untuk menjangkau golongan-golongan

lemah (masyarakat miskin, pinggiran, dan masyarakat tak berdaya). Sebaliknya

pada sisi lainya (atas) pisau mempunyai ketajaman yang kurang/tumpul jika

diarahkan keatas, begitupun dengan hukum akan terasa tidak berdaya untuk

menjerat golongan-golongan pejabat, pengusaha, dan orang-orang berpengaruh

dinegeri ini. Orang-orang tersebut notabene berstatus high social  (upper class).

BAB III

PENUTUP

17A. Ahsin Thohari,  Sekutu Berdesain Seteru, Kompas Edisi Jumat, 30 April 2010

17

A. Kesimpulan

Dari pemaparan makalah sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa

kesimpulan sebagai berikut:

1. Hukum tidak membedakan status, kedudukan, kasta, dan kelas sosial.

Semua sama dihadapan hukum. Namun, pada kenyataanya, seringkali tidak

demikian. Meskipun terkadang terkesan bahwa hukum lebih berpihak pada kaum

strata atas. Lapisan kelas atas masih dianggap sebagai personifikasi dari sebuah

struktur dalam masyarakat. Termasuk juga struktur hukumnya. Yang menentukan

hukum adalah kaum kalangan atas dan kaum strata bawah dianggap sebagai alat

struktur dan pelaksana dari struktur

2. Dalam penegakan hukum stratifikasi sosial sangat berpengaruh walaupun

dalam konsep hukum menyatakan bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang

sama di hadapan hukum (equality before the law) namun dalam aplikasinya

keadilah hanya berpihak pada orang-orang yang berada dalam kelas-kelas elite

dan menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap orang-orang yang berada

dalam kelas-kelas menengah ke bawah.

3. Penegakan hukum terhadap lapisan-lapisan masyarakat yang

tergolong upper class begitu terasa tumpul, lambat dan tidak jelas akhirnya. Para

penegak hukum masih terkesan tebang pilih dalam menegakkan hukum di negara

kita. Sehingga dalam penerapannya diibaratkan seperti tajamnya sebilah mata

pisau. Artinya  pisau akan terasa tajam manakala diarahkan kebawah, pada saat

yang sama pisau akan terasa tumpul jika diarahkan keatas.B. Saran

Dari kesimpulan yang kami paparkan di atas, penulis mengajukan saran-

saran sebagai berikut:

18

1. Hukum dalam masyarakat seyogyanya digunakan untuk mewujudkan

kehidupan yang selaras, damai, dan tenang. Dan untuk mewujudkannya dengan

cara mewujudkan peradilan yang harus adil dan tanpa melihat status sosial

seseorang yang terbagi di dalam stratifikasi sosial yang terdapat dalam

masyarakat. Dalam mewujudkannya harus diperlukan dari seluruh pihak yang

berkaitan dengan peradilan seperti hakim, jaksa, polisi, dan penegak hukum

lainnya. Para hakim yang membuat keputusan haruslah progresif dan tidak hanya

mengeja undang-undang. Para hakim juga perlu mengutamakan nuraninya, baru

kemudian mencarikan dasar hukumnya dalam peraturan perundang-undangan.

Prinsip kesetaraan harus dipegang teguh.

2. Pengadilan harus sebagai tempat menemukan keadilan oleh golongan

kelas bawah, karena pengadilan dituntut untuk terus menunjukkan dan

membuktikan kemanfaatan sosial. Pengadilan bukan medan perang untuk mencari

kemenangan. Hakim harus mendengarkan, melihat, membaca, lalu menjatuhkan

pilihan yang yang adil tanpa melihat status seseorang itu berasal dari golongan

kelas manapun.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum, Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

19

http://ozhyrosita.blogspot.co.id/2012/05/hukum-dan-stratifikasi-sosial.html (laman diakses tanggal 19 Oktober 2015).

M. Solly Lubis, Sistem Hukum Nasional, Cet. I; Bandung: Mandar Maju, 2002.

Ritzer George dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. Cet. III; Jakarta: Kencana, 2008.

Satjipto Rahardjo, Penegak Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis,  Cet. I; Yogyakarta: Genta Publising, 2009.

Soekanto, Soerjono & Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 1982.

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Cet. I; Jakarta: Rajawali Grafindo, 2005.

Syailendra Wisnu, Stratifikasi Sosial dan Hukum, http://wisnu.blog.uns.ac.id/ 2009/07 /28/stratifikasi-sosial-dan-hukum/ (laman diakses tanggal 19 Oktober 2015).

Thohari, A. Ahsin.  Sekutu Berdesain Seteru, Kompas Edisi Jumat, 30 April 2010

Utsman, Sabian. Dasar-dasar Sosiologi Hukum, Cet. I; Pustaka Pelajar, 2010.

KLASIFIKASI SOSIAL HUKUM

Diajukan untuk memenuhi kewajiban

20

Tugas Mata Kuliah Sosiologi Hukum

Oleh :

BUDI JAMINNIM. 15.16.2.03.0009

DOSEN PENGAMPU MATA KULIAH:

1. Prof. Dr. Lauddin Marsuni, M.H.2. Dr. H. Muammar Arafat Yusmad, S.H., M.H.

PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

IAIN PALOPO2015