Catatan sosiologi hukum

33
Catatan sosiologi dan translate hukum Erik Tanaya,SHI

Transcript of Catatan sosiologi hukum

Catatan sosiologi dan translate hukumErik Tanaya,SHI

Sosiologi hukum diperlukan dan bukan merupakan

penamaan yang baru bagi suatu ilmu pengetahuan yang telah lama ada. Memang, baik ilmu hukum maupun sosiologi hukum mempunyai pusat perhatian yang sama yaitu hukum; akan tetapi sudut pandang ke dua ilmu pengetahuan tadi juga berbeda, dan oleh karena itu hasil yang diperoleh ke dua ilmu pengetahuan tadi juga berbeda. Hukum adalah suatu gejala sosial budaya yang berfungsi untuk menerapkan kaidah-kaidcah dan pola-pola perikelakuan tertentu terhadap individu-individu dalam masyarakat. Ilmu hukum mempelajari gejalagejala tersebut serta menerangkan arti dan maksud kaidah-kaidah tersebut, oleh karena kaidah-kaidah tadi seringkali tidak jelas. Pelbagai kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat harus digolong-golongkan ke dalam suatu klasifikasi yang sistematis, dan ini juga merupakan salah satu tugas dari ilmu hukum.

Terdapat fakta lain yang tidak diselidiki oleh

ilmu hukum yaitu pola-pola kelakuan (hukum) warga-warga masyarakat. Sampai sejauh manakah hukum membentuk pola-pola kelakuan yang bersifat atau apakah hukum yang terbentuk dari pola-pola kelakuan itu. Di dalam hal yang pertama, bagaimanakah cara-cara yang paling efektif dari hukum dalam pembentukan pola-pola kelakuan? Inikah yang merupakan ruang lingkup yang pertama dari sosiologi hukum. Ruang lingkup yang selanjutnya menyangkut hukum dan pola-pola perikelakuan sebagai ciptaan serta wujud daripada keinginankeinginan kelompok-kelompok sosial.

BEBERAPA MASALAH YANG DISOROTI SOSIOLOGI HUKUM Hukum dan Sistem Sosial Masyarakat. Pada hakekatnya, hal ini merupakan obyek yang

menyeluruh dari sosiologi hukum, oleh karena tak ada keragu-raguan lagi bahwa suatu sistem hukum merupakan pencerminan daripada suatu sistem sosial di mana sistem hukum tadi merupakan bagiannya. Persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan sistem-sistem hukum. Penelitian di bidang ini penting bagi suatu ilmu perbandingan serta untuk dapat mengetahui apakah memang terdapat konsep-konsep hukum yang universal, oleh karena kebutuhan masyarakat setempat memang menghendakinya. Sifat Sistem Hukum ynag Dualistis. Baik hukum substantif maupun hukum ajektif, di satu pihak berisikan ketentuan-ketentuan tentang bagaimana manusia akan dapat menjalankan serta memperkembangkan kesamaan derajad manusia, menjamin kesejahteraan dan seterusnya. Akan tetapi di lain pihak, hukum dapat menjadi alat yang ampuh untuk mengendalikan warga-warga masyarakat

Positivisme Hukum Positivisme di Indonesia lahir karena: Pendidikan hukum di Indonesia lebih mengarahkan kepada tujuan untuk

menciptakan sarjana Hukum yang profesional (keahlian hukum yang monolitik). S1 mencetak tukang untuk menerapkan hukum, bagaimana menciptakan SH yang handal dalam profesi hukum karena seolah-olah hukum di dominasi Undang-undang sehingga bersifat positivistik/normatik, maka hukum yang tidak normatik dianggap realtif tidak penting.profesi penerap UU Imposed from outside ~ Basic Law UU ~ KUHP ~ BW ~ Ordonansi

Law in abstracto Legislatif

Masyarakat Civil Law : deduktif : dibuat aturan yang umum yang untuk menyelesaikan kasus. Jadi hukumnya secara nasional sama meski beda daerah oleh legislatif. Asumsinya UU adalah bagus.

Pendidikan di Indonesia mewarisi tradisi continental law

yang mengikuti model civil law. Hukum adalah sesuatu yang sudah ada dalam UU atau apa yang sudah ada dalam ordonansi sehingga hukum adat dianggap tidak begitu penting, akan tetapi bisa jadi kalau Indonesia tidak dijajah belanda, maka yang berlaku adalah hukum adat. Civil law cenderung empiris / induktifnya tidak digunakan Lobus de droit : hakim adalah mulut undang-undang

karena hakim dalam menentukan putusan sudah ditentukan oleh undang-undang, sehingga penemuanpenemuan hukum menjadi miskin.

Pendidikan

hukum di Indonesia lebih banyak mengajukan pada psikologi anatomi hukum tapi kurang mengajarkan pada patologi anatomi hukum dengan asumsinya undang-undang tidak boleh diprotes, UU dianggap sudah baik karena hukum sudah ditentukan asas, pasal dst. Penyakit hukumnya tidak diajarkan sehingga kita tidak terbiasa menganalisis penyimpangan-penyimpangan hukum. Ketidakpatuhan hukum itu banyak tapi kadang tidak dipersoalkan, padahal hal itu menjadi bagian belajar

Menurut Satjipto Rahardjo 3 penyebab sarjana hukum Indonesia menganut positivisme : tidak banyak melakukan penelitian hukum. tidak banyak melakukan kritik-kritik terhadap hukum. beranggapan sistem hukum tidak bisa dirubah. Jadi banyak kasus yang sesungguhnya dari segi normatif bisa benar

tapi dari segi empiris bisa jadi sebaliknya. Sumber hukum bukan hanya Undang-undang saja tapi bisa juga moral dan seterusnya. Mahkamah konstitusi memeriksa suatu aturan menjadi undangundang, apakah bertentangan dengan UU lain, konstitusi dan seterusnya. Jadi tidak mengadili per kasus secara empiris. Contoh : UU Pemilu Pasal 60 : 3 ada ketentuan mantan PKI tidak bisa jadi caleg.

Perkembangan setelah itu: Positivisme berkembang abad 17-19M. Saat itu berkembang pesat

karena konsep negara modern Trias politica dari Montesquei yaitu konsep pemisahan kekuasaan yang mana hukum hanya dibuat oleh legislatif, di luar itu tidak ada undang-undang, yudikatif yang mengadili dan eksekutif yang melaksanakan, kecuali di negara-negara penganut common law, seperti di Romawi, Jerman dan seterusnya, sedangkan Indonesia menganut asas concordansi dari Belanda

Tokoh : Hans Kelsen dengan Teorinya yang terkenal Stuffen Baw, John Austin

dengan teorinya paham yurisprudence. Di sisi lain Indonesia saat ini juga mendapat pengaruh dari AS sehingga Indonesia tidak hanya berkiblat pada Belanda. Contoh : Hakim menemukan hukum, hukum dirubah sesuai perkembangan jaman, contoh lain : HAKI, Kepailitan dst.

Abad ke-sembilan belas menandai munculnya gerakan positivisme dalam

ilmu hukum dan abad tersebut menerima warisan pemikiran-pemikiran dari masa-masa sebelumnya yang bersifat idealistis. Perkembangan dan perubahan dalam masyarakat yang terjadi dalam abad ke-sembilan belas menimbulkan semangat serta sikap yang bersikap kritis terhadap masalahmasalah yang dihadapi. H.L.A.Hart, membedakan arti dari positivisme seperti yang banyak disebut dalam ilmu hukum kontemporer, yakni: pertama, anggapan bahwa Undang-undang adalah perintah-perintah manusia; kedua, anggapan bahwa tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral atau hukum yang ada dengan yang seharusnya ada; ketiga, anggapan bahwa analisis (studi tentang arti) dari konsepsi-konsepsi hukum: (a) layak dilanjutkan; (b) harus dibedakan dari penelitian-penelitian historis mengenai sebab-sebab atau asal-usul dari Undang-undang dari penelitian-penelitian sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya dan kritik atau penghargaan hukum apakah dalam arti moral atau sebaliknya; keempat, anggapan bahwa sistem hukum adalah suatu sistem logis tertutup, artinya, putusan-putusan hukum yang tepat dapat dihasilkan dengan caracara yang logis dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan lebih dulu tanpa mengingat tuntutan-tuntutan sosial, kebijaksanaan, norma-norma moral; kelima, anggapan bahwa penilaian-penilaian moral tidak dapat diberikan atau dipertahankan, seperti halnya dengan pernyataan-pernyataan tentang fakta, dengan alasan yang rasional, petunjuk atau bukti.

Aliran positivisme atau analytical positivism atau

rechtsdogmatiek merupakan aliran yang dominan dalam abad kesembilan belas, hal ini disebabkan oleh dunia profesi yang membutuhkan dukungan dari pikiran positivistis-analitis yang membantu untuk mengolah bahan hukum guna mengambil putusan. Di sisi lain, kehadiran bahan hukum yang begitu masif telah mengundang keinginan intelektuak untuk mempelajarinya, seperti menggolong-golongan, mensistematisir, mencari perbedaan dan persamaan, menemukan asas di belakangnya dan sebagainya. Dalam konteks tersebut, suatu teorisasi mengenai adanya suatu tatanan hukum yang kukuh dan rasional merupakan obsesi dari aliran positivisme tersebut. Hukum harus dapat dilihat sebagai sutu bangunan rasional, dan dari titik ini berbagai teori dan pemikiran dikembangkan. Dlam teoretisi positivis tersebut terdapat nama-nama besar, seperti Hans Kelsen, H.L.A.Hart, Lon Fuller dan Dworkin. Kelsen misalnya, terkenal dengamn Reine Rechtslehre dan Stufenbautheorie yang berusaha untuk membuat suatu kerangka bangunan hukum yang dapat dipakai

Teori Hart tentang hukum positif dimulai dengan menjawab pertanyaan

Apakah hukum itu? Teori Hart menjelaskan bahwa hukum terletak pada penggunaan unsur paksaan. Sementara itu, Teori Lon Fuller menekankan pada isi hukum positif, oleh karena harus dipenuhi delapan persyaratan moral tertentu antara lain: a. Harus ada aturan-aturan sebagai pedoman dalam pembuatan keputusan. Perlunya sifat tentang persyaratan sifat keumuman,. Artinya, memberikan bentuk hukum kepada otoritas berarti bahwa keputusan-keputusan otoritatif tidak dibuat atas suatu dasar ad hoc dan atas dasar kebijakan yang bebas, melainkan atas dasar aturan-aturan yang umum; b. Aturan-aturan yang menjadi pedoman bagi otoritas tidak boleh dirahasiakan melainkan harus diumumkan. Sseringkali otoritasotoritas cenderung untuk tidak mengumumkan aturan-aturan dengan tujuan mencegah orang mendasarkakn klaim-klaimnya atas aturan-aturan tersebut, sehingga aturan aturan tadi mengikat otoritas-otoritasnya sendiri; c. Aturan-aturan harus dibuat untuk menjadi pedoman bagi kegiatankegiatan dikemudian hari, artinya, hukum tidak boleh berlaku surut; d. Hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti oleh rakyat; e. Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain; f. Aturan-aturan tidak boleh mensyaratkan perilaku yang di luar kemampuan pihak-pihak yang terkena, artinya hukum tidak boleh memerintahkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan; g. Dalam hukum harus ada ketegasan. Hukum tidak boleh diubah sewaktu-waktu; 8. Harus ada konsistensi antara aturan-aturan sebagaimana yang

John Austin, seorang positivisme utama,

mempertahankan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Austin mengartikan ilmu hukum (jurisprudence) sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. Ilmu tentang hukum berurusan dengan hukum positif atau dengan hukumhukum lain yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau kejelekannya. Menurut Austin, tugas ilmu hukum hanyalah untuk menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui bahwa ada unsur-unsur yang bersifat historis di dalamnya, tetapi secara sadar unsur-unsur tersebut diabaikan dari perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara. Karya ahli hukum Inggris John Austin (1790-1859) tetap merupakan usaha yang paling lengkap dan penting dalam hubungannya dengan negara modern. Sumbangan Austin yang paling penting bagi teori hukum adalah digantinya perintah yang berdaulat yakni negara bagi tiap cita keadilan dalam definisi hukum. Austin mendefinisikan hukum sebagai: A rule laid down for guidance of an intelligent being by

Austin mengartikan ilmu hukum (jurisprudence) sebagai

teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. Ilmu tentang hukum berurusan dengan hukum positif, atau dengan hukumhukum lain yang secara tegas bisa disebut begitu, yaitu yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau kejelekannya. (Bodenheimer, 1974:94). Menurut Austin tugas dari ilmu hanyalah untuk menganalisda unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui, bahwa ada unsur-unsur yang bersifat histeris di dalamnya namun secara sadar unsur-unsur tersebut diabaikan dari perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara. John Austin (1790-1859) biasanya disebut sebagai bapak ilmu hukum Inggris, tetapi ternyata kemudian, bahwa sebetulnya Jeremy Bentham (1748-1832) lebih berhak untuk menyandang titel tersebut (Dias, 1976:457). Bentham adalah pejuang yang gigih untuk hukum yang dikodifikasikan dan untuk merombak, tetapi Bentham lebih sering memasukkan ke dalam aliran Utilitarinisme, bersama-sama dengan John Stuart Mill (1806-1873) dan Rudolph Von Jhering (1818-1889).

Rudolph Von Jhering berpaham social utilitarianism. Sistem Jhering

mengembangkan segi-segi dari positifisme Austin dan menggabungkannya dengan prinsip-prinsip utilitarianisme dari Bentham dan Mill. Jhering mengembangkan filsafat hukumnya sesudah melakukan studi yang intensif terhadap hukum Romawi. Hasil renungannya terhadap kehebatan dari hukum Romawi membuatnya sangat tidak menyukai apa yang disebut sebagai Begriffsjurisprudenz (ilmu hukum yang menekankan pada konsepkonsep). Studinya mengenai hukum Romawi tersebut telah mengajarkan kepadanya, bahwa kebijaksanaan hukum itu tidak terletak pada permainan teknik-teknik penghalusan dan penyempurnaan konsep-konsep itu untuk melayani tujuan-tujuan yang praktis(Friedmann, 1953:222).

Pusat perhatian Jhering adalah konsep tentang tujuan, seperti

dikatakannya dalam salah satu bukunya, ide dasar dari buku ini adalah pemikiran, bahwa tujuan adalah pencipta dari seluruh hukum: tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak memiliki asal-usulnya pada tujuan ini, yaitu pada motif yang praktis (Bodenheimer, 1974:87). Menurut Jhering, hukum itu dibuat dengan sengaja oleh manusia untuk mencapai hasil-hasil sesuatu yang diinginkan. Ia mengakui bahwa hukum itu mengalami suatu perkembangan sejarah, tetapi menolak pendapat para teoretisi sejarah, bahwa hukum itu tidak lain merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak direncanakan dan tidak disadari. Hukum terutama dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada tujuan tertentu (Bodenheimer, 1974:87)

Positivisme sebagai sebuah mainstream menempatkan dirinya

dalam posisi yang sulit dibela, oleh karena pandanganpandangannya terhadap hukum yang sangat simplistis jika harus berhadapan dengan suatu problem masyarakat yang kompleks dan rumit. Artinya, positivisme hanya bisa melihat bisa melihat persoalan secara hitam putih, sementara problem yang dihadapi dapat menjadi sangat kompleks justru karena manusia pada dasarnya berbeda. Dalam konteks Indonesia, dominasi pandangan normatif juga sangat dipengaruhi oleh perkembangan kehidupan bangsa. Aliran positif hanya ingin membicarakan kejadian yang dapat diamati dari luar secara murni. Mereka tidak mau sedikitpun memasukkan ke dalam kajiannya hal-hal yang tidak dapat diamati dari luar, seperti nilai, tujuan, maksud dan sebagainya. Donald Black dalam artikelnya The Boundaries of Legal Sociology, menelaah apa ynag sampai saat itu dilakukan dalam bidang sosiologi hukum di Amerika dan sekaligus juga menyatakan bagaimana hendaknya studi dalam bidang tersebut dilakukan. Artikel tersebut dapat dicatat sebagai pengumuman kehadiran aliran positif dan kritik terhadap aliran lain sebagaimana akan diuraikan di bawah nanti. Black menyatakan perihal terjadinya kekaburan antara ilmu (science) dan kebijaksanaan (policy) dalam sosiologi hukum. Kendati para sosiologiawan hukum saling mengkritik satu sama lain dalam penggunaan standar ilmu dan ketepatan metodologi serta validitas teori, tetapi menurut Black, itu semua dilakukan dalam kerangka mendiskusikan atau meneliti masalah-masalah kebijaksanaan (policy implications).

Hart mengatakan bahwa seorang pengikut

positivisme, diajukan sebagai arti dari positivisme sebagai berikut (Dias, 1976:451):Hukum adalah perintah. Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah uasaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas. Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima sebagai pemberian arti positivisme ini.

Pemikiran teori hukum murni. Fokus utama teori hukum murni, menurut Hans Kelsen, bukanlah salinan ide

transendental yang sedikit banyak tidak sempurna. Teori hukum murni ini tidak berusaha memandang hukum sebagai anak cucu keadilan, sebagai anak dari orang tua yang suci. Teori hukum tampaknya memegang teguh suatu perbedaan yang tegas antara hukum empirik dan keadilan transendental dengan meniadakan keadilan transendental dari perhatian spesifiknya. Teori ini tidak melihat manifestasi dari suatu otorita gaib di dalam hukum, melainkan meninjau suatu teknik sosial spesifik yang didasarkan pada pengalaman manusia; teori hukum murni menolak untuk dijadikan ilmu metafisika hukum. Pada dasarnya, tidak ada perbedaan esensial antara ilmu hukum analitik dan teori hukum murni. Adapun letak perbedaannyam, kedua bidang itu berbeda karena teori hukum murni berusaha untuk melanjutkan metode hukum analitik dengan lebih konsisten dari yang diupayakan Austin dan para pengikutnya. Usaha yang konsisten ini terutama menyangkut konsep-konsep fundamental, seperti konsep norma hukum di satu pihak dan konsep-konsep hak dan kewajiban hukum di lain pihak. Di Perancis dan Jerman, ilmu hukum disajikan secara berbeda antara hukum dalam pengertian obyektif dan hukum dalam pengertian subyektif, dan terakhir menyangkut hubungan antara hukum dan negara. Teori hukum murni merupakan suatu pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yakni yang hanya mengembangkan hukum itui sebagai alat pemerintahan dalam negara-negara totaliter. Teori ini lazim dikaitkan pada mazhab Wina yang tokohnya adalah Hans Kelsen. Pada dasarnya, pemikiran Kelsen sangat dekat dengan pemikiran Austin. Walaupun Kelsen ketika mulai mengembangkan teori-teorinya, seperti diakui kemudian, sama sekali tidak mengetahui karya Austin. Asal-usul falsafah madzhab Wina sangat berbeda dari Utilitarianisme Austin. Dasar falsafah pemikiran Kelsen adalah Neo Kantialisme, hal ini menghubungkan kelsen dengan inspirasi Neo-Kant dari Stamler dan Delfeccio, tetapi simpulan-simpulan yang ditarik Kelsen dan Madzhab Wina dari dalil-dalil aliran Neo-Kant, secara radikal bertentangan dengan dalil-dalil kedua kedua ahli hukum ini. Stamler menjadi terlibat dalam kesukaran-kesukaran teori hukum murni yang berlaku di seluruh dunia, bersih dari segala sesuatu yang dapat

Mulai muncul ketidakpuasan terhadap positivisme karena tidak sesuai

dengan keadilan, kebenaran sehingga muncul gerakan-gerakan untuk melawan positivisme. Contoh muncul beberapa pendapat : Donald B. Lake The age of sociology. Morton White The Revolusi of Formalisme. Alan Hunt The sociologische of common law, sehingga muncul madzab sosiologische yurisprudence. Keadilan kadang sulit terungkap jika berhadapan dengan formalisme, dimana hakim dalam suatu kasus kadang sulit untuk membuktikan meskipun yakin kalau si pelaku bersalah. Menurut Gustav Radbonch : hukum harus mengandung Kepastian dengan didasari landasan secara yuridis. Keadilan dengan didasari landasan secara filosofis Kemanfaatan dengan didasari landasan secara sosiologis Jadi UU harus dilandasi ketiga nilai tersebut seiring dengan tuntutan individualisme. Nilai idealisme hukum sebetulnya merupakan sesuatu yang ideal rule of espectarialitas yang diharapkan. Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, ada 3 karakteristik sosiologi hukum sebagai ilmu : Bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum. Menguji empirical validity dari peraturan/pernyataan dan hukum. Tidak melakukan penilaian terhadap perilaku hukum sebagai tetsachenwissevishaaft law is in the book yang berlawanan dengan law in society Contoh : Lampu kuning, harusnya pelan, siap-siap berhenti, tapi dalam kenyataannya malah ngebut.

Sosiologi hukum dalam ilmu sebenarnya masuk ke sosiologi bukan hukum Perbandingan KarakteristikKarakteristik 1. Ilmu Induk 2. Sifat kajian 3. Titik tolak 4. Teori 5. Kedudukan Hk. 6. Obyek kajian 7. Metode prosedur 8. LogikaHk. Sosiologi Sosiologi Hukum

1. Ilmu 2. Hub. Noramtik/logistik 3. Sollen (ius) 4. Ajaran pandangan ttg norma 5. Sbg titik tolak / orientasi 6. Norma 7. Ilmu Hukum 8. Deduktif

1. Sosiologi 2. Kausalitas (exprerience) 3. Fakta (sein) 4. Hub. antar gejala sistem 5. Sbg. Alat uji 6. Perilaku 7. Sosiologi 8. Induktif

Obyek Sosiologi Hukum Secara obyek kajian Sosiologi Hukum adalah: -Beroperasinya hukum di masyarakat ( ius

operatum) atau Law in Action & pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat. -Dari segi statiknya (struktur) : kaidah sosial, lembaga sosial, kelompok sosial& lapisan sosial. -Dari segi dinamiknya ( proses sosial), interaksi dan perubahan sosial. Menurut Soetandyo :Mempelajari hukum sebagai alat pengendali sosial ( by government ). Mempelajari hukum sebagai kaidah sosial. Kaidah moral yang dilembagakan oleh pemerintah. Stratifikasi sosial dan hukum. Hubungan perubahan sosial dan perubahan hukum.

Historical Yurisprudensi: Von Savigny, -Hukum adalah cermin dari jiwa rakyatnya maka muncul istilah ius supreme juristex, dan hukum harus dilihat dari sosial budaya masyarakat. -Kekuasaan membentuk hukum ada pada rakyat maka hukum itu ditemukan seiring dengan perkembangan masyarakat ( dari hukum sebagai sistem masyarakat sosial masyarakatnya). -Gerakan melawan formalisme, di Inggris tokohnya adalah Jeremy Bentham dll. Sosiologische Yurisprudence ( Roscoe Pound) -Ilmu Hukum yang sosiologis -Akan terjadi pembangkangan sosial kalau hukum dibuat tidak berdasar pada kehidupan sosial masyarakatnya. -Pada perkembangannya aliran ini timbullah aliran realisme hukum (di Amerika). Legal Realisme (Amerika), apa yang ada dalam kenyataan. Tool as Social Engeenering merubah dari pembentuk UU ( Legislator) , menjadi hakim. Critical Legal Study Movement: Gerakan Studi Hukum Kritis. -Lahir di Harvard, muncul atas ketidaksukaan mereka akan determinannya politik. Contoh: dalam perang Vietnam. -Pelopornya Roberto Mangabeira Unger -Tema : menolak tradisi hukum Liberal yang dominan. Adanya ketimpangan sosial yang diakibatkan oleh hukum. -Elektis ( pendekatan yang tidak konsisten) Sintesis ( dua pendekatan yang digunakan bersamaan). -Membuka teori Obyektivitas hukum ( kaya kritik, dikembangkan oleh orang positivisme). ( hukum tidak bisa dipisahkan dari politik). -Hukum direkonstrusi kembali. -Hukum itu dapat dinegosiasikan. -Hukum itu subyektif, tergantung pada politik dan kekuasaan. -Hukum mengandung Hidden Politikal Interest. -CLS ,menggugat keabsahan hukum. -Mendekonstruksi hukum.

Struktur Sosial X Hukum

Social Social Social Social

Norm. Yurisprudent Stratification. Group.

Kaidah sosial dan Hukum sebagai social Kontrol. Social Control merupakan aspek normatif dalam kehidupan sosial. Kontrol bertujuan agar perilaku masyarakat antar apa yang seharusnya ( nilai

ideal) yang terumuskan dalam norma. Donald Black

( Social Control is Quantitatif variabel kuatitatif, tidak konstan dan tidak ajeg) The Quantity of law varios Intime and Place: Kuantity hukum bervariasi sesuai waktu dan tempat. Contoh : Pasal 534 bahwa memperlihatkan alat kontrasepsi di depan umum, dipidana. Terjadi tarik-menarik antara hukum dan kontrol sosial. -Hukum menguat ketika kontrol sosial lain melemah. -Hukum melemah ketika kontrol sosial menguat. Apakah dimungkinkan sama ? -Dapat dimungkinkan karena akan memperkuat, namun ini dapat dikatakan mustahil, karena hukum merupakan Ultimum Remidium, hukum sebagai alternatif terakhir setelah kontrol sosial tidak mempan. Richard schwartz. -Kuutza ( kolektivisme) yang lebih efektif adalah kontrol sosial secara internal. -Mashar ( individualistis) yang efektif, kontrol sosial melalui hukum.

Seorang tokoh lain, yaitu H.L.A.Hart berusaha untuk

mengembangkan suatu konsep tentang hukum yang mengandung unnnsur-unsur kekuasaan yang terpusatkan maupun kewajiban-kewajiban tertentu yang secara intrinsik terdapat di dalam gejala hukum. Menurut Hart, maka inti dari suatu sistem hukum terletak pada kesatuan aturan utama dari aturanaturan sekunder (primary and secondary rules). Aturan-aturan utama merupakan ketentuan-ketentuan informal tentang kewajiban-kewajiban yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pergaulan hidup. Adalah mungkin untuk hidup dengan aturan-aturan utama saja di dalam masyarakat yang sangat stabil di mana para warganya saling mengenal serta mempunyai hubungan yang erat satu dengan yang lainnya. Tetapi semakin kompleks suatu masyarakat, semakin pudar kekuatan aturan-aturan utama tersebut. Oleh karena itu diperlukan aturan-aturan sekunder yang terdiri dari: rules

of recognition, yaitu aturan-aturan yang menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan aturan-aturan utama dan di mana perlu, menyusun aturan-aturan tadi secara hierarkhis menuruut urutan-urutan kepentingannya; rule of change, yaitu aturan yang mensahkan adanya aturan-aturan utama yang baru; dan

HUKUM DAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN. Mahfud M.D. Hukum Produk Politik Pengaruh konfigurasi politik terhadap karakter produk hukum Variabel bebas/ pengaruh

Variabel tergantung/ tergantung. karakter produk hukum responsif/ otonom, contoh kebebasan hakim. konservatif, ortodoks. progressif

Konfigurasi politik Demokratis

Non demokratis/otoriter

Ciri-ciri demokratis: -Peran serta publik dalam pembuatan kebijakan negara/ publik. -Badan perwakilan menjalankan fungsi dalam pembuatan kebijakan.

-Pers bebas sebagai fungsi kontrol. Ciri-ciri hukum yang responsif atau otonom: -Hukum memenuhi kebutuhan kepentingan individu dan masyarakat. -Proses pembuatan hukum partisipatif. -Fungsi hukum sebagai instrumen pelaksana kehendak rakyat. -Interpretasi hukum dilakukan oleh yudikatif. Ciri-ciri konfigurasi hukum yang otoriter : -Pemerintah atau eksekutif dominan.

Tujuan hukum legitimasi Peraturan2 alasan Diskresi Pemaksaan politik

Hukum refresif Hukum otonom Hukum kompetensi(kew) ketertiban keabsahan responsifPerlind.&masy Dasar alasan Keras, terperinci Adanya negara Namun lunak dan mengikat Bersifat keras,ad membuat perat hoc ,tepat dan tersendiri Meresap dilakukan Sesuai dengan kesempatan yang ada Meluas,pembatasnya lunak Huukum berada dibawah kekuasaan politic Kebenaran prosedural dibuat dengan Mengikat pada yang membuatsecara ketat pada Melekat dan diatur otoritas hukum Dibatasi oleh aturan,pengesahan Dilakukan oleh pembatas wewenang hukum Hukum terlepas dari kekerasan politic Keadilan substansial tunduk pada asas2 hukum kebijakan Sesuai dengan tujuan merupakan perluasan dari Diperluaskan ,tapi kompetensi legalitatif & dipertanggungjawabkan tujuan Dicari kemungkinan, kira demi tujuan insentif yang diciptakan Aspirasi hukum dan politic sendiri sesuai kewajiban terintegrasi menjadi satu kesatuan

LEGALIZATION OF SOCIETY

Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum sebagai alat perubahan sosial, sedangkan

Karl Marx justru pendapatnya bertentangan yaitu bahwa perubahan sosial tidak mungkin diciptakan oleh hukum, tetapi teknologi dan ekonomi. Hukum merupakan suprastruktur di atas ekonomi dan teknologi. Hukum sesungguhnya hanya institusi yang mengikuti perubahan sosial. Menurut Von Savigny, hukum bukan merubah konsep dalam masyarakat karena hukum tumbuh secara alamiah dalam pergaulan masyarakat yang mana hukum selalu berubah seiring perubahan sosial. Menurut Summer, ia tdak menyetujui hukum sebagai perubah sosial, menurutnya setiap perubahan sosial terjadi mores yaitu aturan tidak tertulis yang hidup di masyarakat.Jadi hukum hanya melegalisasi mores menjadi hukum. Hukum tidak sekedar produk masyarakat, tapi bisa dibentuk oleh pembentuk hukum itu sendiri, hakim dst. Jadi hukum bukan semata-mata tumbuh dalam masyarakat secara alami. Menurut Roscoe Pound, bahwa hukum sebagai alat perekayasa sosial, contoh: hakim merekayasa sosial, terjadi di negara Common Law sedang di negara Civil Law hukum dibentu oleh para pembentuk hukum.

Dalam konsep John Austin, hukum adalah perintah dari kedaulatan, hukum sebagai

instrumen yang melakukan/ memenuhi kebutuhan publik. Pada UU yang baru, dimasukkan hal-hal supaya masyarakatnya berubah, contoh: adanya pengaruh dari luar pada UU HaKI, UU Kepailitan, dengan maksud untuk merubah perilaku orang dibidang HaKI, Kepailitan dst, karena pada awalnya orang Indonesia tidak mempunyai budaya untuk melindungi hak kekayaan intelektual, dengan beranggapan bahwa hal itu karunia Tuhan yang tidak perlu dipertahankan perlindungannya. Akhirnya dalam UU itu diberi muatan agar masyarakat mengetahui hal itu.

Pendekatan social dan hukum Hukum adalah sebuah bentuk tatanan/aturan

yang efeknya sangat besar manfaatnya dalam kehidupan social masyarakat.bentuk hukum dalam kehidupan kita sudah berlangsung sejak kita dilahirkan hingga kita mati dan hal yang berkaitan dengan keduanya. Hukum harus mampu mengkondisikan ,mendidik,mengakomodasi,dan menyadarkan masyarakat dalam kapasitasnya sebagai warga Negara,anggota masyarakat yang produktif dan sebagai bentuk untuk mengenal identitas masyarakat dan sebagai peranan dalam kerangka social dimana

Hukum sangat complex dan terkadang

/bertentangan langsung dalam kehidupan kita.dan seiring dengan hidup sekarang,hukum sangat dibutuhkan untuk mengatur tatanan kehidupan dalam hidup bermasyarakat. Hukum juga dapat juga memberikan rasa adil,rasa tentram dan rasa damai bagi masyarakat. Hukum itu sangat kompleks dan terkadang bersinggungan dan bertentangan yang menyebabkan efec langsung pada hidup kita.seringkali hukum mampu menyokong untuk pencapaian hidup yang lebih baik dan tentram dan memberikan keadilan yang sama derajatnya bagi masyarakat dalam kehidupan

Hukum memberikan jaminan

keamanan kepada masyarakat dan mendapatkan perlakuan yang sama didepan hukum dan juga sebuah perlindungan Namun dalam praktiknya semua aspek kehidupan belum terjangkau oleh hukum,bahhwa hukum dan proses pengadilannya seringkali tidak tepat sasaran dan menyulitkan dan menimbulkan masalah yang sering dikorbankan adalah masyarakat.

Dalam perkembangannya pengetahuan

mengakui bahwa terdapat 2 tujuan berbeda dimana timbul pertanyaan diantara keduanya tentang bagaimana hukum saling berhubungan satu dengan yang lainnya.pada bagian ini mari kita selaraskan perbedaannya : Pertama: macam-macam pendekatan untuk mengenal hukum dansocial berdasarkan perbedaan antara undang,moral dan sosiologi sebagai sebuah penjelasan untuk menganalisis hukum.

tentang hukum dan social ,kita harus

Kemudian sekarang,alternative

pendekatan yaitu berupa studi sosiologi hukum dengan membutuhkan diantaranya: penelitian,penafsiran yang ilmiah, dan tinjauan kritis.penejelasan ini membuat kita dituntut untuk cermat dengan kerangka kerja yang digunakan untuk menganalisis issue yang kita temui.didalam hukum dan social dan bahwa untuk perkembangan keduanya pada bagian selanjutnya

Tinjauan kritis tidak hanya sebatas

lebih penting bagi untuk sebuah pendekatan hukum dan social. Beberapa penjelasan yang didapatkan diamerika Pengalaman amerika sebagai Negara adidaya dan diceritakan dalam sejarah amerika menetapkan politics,ekonomi,dan social dalam hubungannya dalam kacamata hukum dan hubungan diantaranya

Amerika berkah bangga bahwa

konstitusi amerika dan prinsip pokokpokok dasar telah membuka mata dunia dan menginspirasinya untuk membuat peraturan-peraturan hukum dalam masyarakat.prinsipprinsip keadilan di mata hukum,regulasi ekonom dan hubungan social yang luas yang mengatur hingga pola prilaku warga Negara dan lembaga social yang menggunakan hukum