SN Fadli
-
Upload
fadli-amali -
Category
Documents
-
view
217 -
download
0
description
Transcript of SN Fadli
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama RS : RS Universitas Hasanuddin
Nama : Tn. N
Tgl Lahir : 16 Februari 1998
Umur : 17 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Status : belum menikah
Agama : Islam
No RM : 037474
Tanggal masuk : 1-4-2015
Tanggal periksa : 6-4-2015
II. Anamnesis
Anamnesis : autoanamnesis
Keluhan utama : nyeri perut
Anamnesa terpimpin : nyeri perut tengah dan ulu hati kurang lebih 2
hari sebelum masuk rumah sakit, nyeri seperti
diremas-remas, kadang terasa mual tetapi tidak
muntah, ada BAB cair 4 kali, ada ampas, kadang
BAB nya keras dan sering mengedan kuat, bila
BAB keras pasien melihat sering ada darah segar
menetes sedikit-sedikit. Tidak ada riwayat BAB
hitam sebelumnya. Sebelumnya pasien sering
mengeluh nyeri perut hilang timbul seperti ini.
Ada riwayat minum obat metilprednisolon
karena pasien ada penyakit ginjal kurang lebih 10
tahun. Tidak ada keluhan demam. Pasien baru
saja keluar dari RS Wahidin Sudirohusodo 3 hari
yang lalu, saat itu keluhan pasien bengkak
seluruh tubuh. BAK: kuning, kesan lancar.
Riwayat Penyakit sebelumnya :
- Pasien didiagnosis sindrom nefrotik sejak 10 tahun yang lalu dan
mengkonsumsi metilprednisolon 5 buah dalam 1 hari, pasien tidak ingat
dosisnya.
- Riwayat Hipertensi ada dan mengkonsumsi obat anti hipertensi
- Riwayat Diabetes Mellitus disangkal
- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat sakit kuning disangkal
III. Pemeriksaan Fisis
Status present : SS/GC/CM
BB : 60 Kg
BB koreksi : 51 Kg
TB : 160 cm
IMT : 19,92 kg/m2
Tanda vital : T = 120/70
N = 72 x/m
P = 20 x/m
S = 36.7 oC
Pemfis :
Kepala : Anemis (-),
Ikterus (-),
Sianosis (-)
Leher :
Massa Tumor (-),
Nyeri Tekan (-),
DVS R+0 cm H2O
Thorax :
Inspeksi : simetris ka=ki
Palpasi : MT (-), NT(-), VF menurun di
hemithoraks dextra terutama di medial
basal
Perkusi : sonor ka=ki
Auskultasi : Bunyi pernapasan : vesikuler, menurun
pada hemithoraks
dextra
Bunyi Tambahan : Ronkhi -/-
Wheezing -/-
Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : pekak
Auskultasi : BJ I/II murni regular
Abdomen :
Inspeksi : cembung, ikut gerak nafas
Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : MT (-), NT (-), H/L TTB
Perkusi : Timpani menurun, shifting dullness (+)
Ekstremitas :
Edem dorsum pedis & pretibial (+)
IV. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium darah rutin
• Wbc : 11,02
• Rbc : 5,28
• Hb : 15,0
• HCT : 42,1 %
• Plt : 224.000
• Ureum : 43 (10-50)
• Kreatinin : 1.1 (<1,3)
• GOT : 18
• GPT : 12
• Albumin : 1,3 (3,5-5)
• LDL : 325 (<130)
• TG : 278 (200)
• PT : 13,4
• INR : 1,09
• APTT : 32,9
• GDP : 81
Hasil laboratorium urin rutin
• Warna : kuning jernih
• pH : 6,5
• BJ : 1.020
• Glucose : negative
• Bilirubin : negative
• Urobilinogen : normal
• Keton : negative
• Nitrit : negative
• Lekosit : negative
• Vitamin C : (-)
• Protein : 300/+3
• Blood : (+) 5 RBC/uL
Hasil pemeriksaan radiologi
Kesan :
• USG Abdomen
- Echografik cortex kedua ginjal meningkat, tanda-tanda nefropathy
- Ascites
- Efusi Pleura bilateral
• Foto Thorax
- Susp. Massa mediastinum
- Efusi dextra minimal
V. Diagnosis Sementara:
- Sindroma Nefrotik
- Efusi pleura dextra
- Dyspepsia
- Hematochesia
VI. Penatalaksanaan Awal
- Diet rendah garam,
- Furosemide 40 mg/24 jam/oral
- Simvastatin 20 mg/24 jam/oral
- Omeprazole 20 mg/12 jam/oral
Follow Up Harian
1/4/2015
T: 120/70
N: 72
P: 20
S: 36,7
S : bengkak pada kelopak
mata(+), bengkak pada perut
(+), bengkak pada kedua
tungkai(+), sesak(-),
batuk(-), dahak(-), nyeri ulu
hati (+), mual (-), muntah (-),
bab darah segar (+), bab
keras ada.
O: sakit sedang / gizi cukup /
composmentis anemis (-),
ikterus (-),Udem palpebra
+/+, ascites (+), udem
pretibial + / + , Leher :
DVS+0cm H2O, pembesaran
KGB (-) Bunyi pernapasan :
vesikuler, menurun di
hemithoraks dextra, rh(-/-),
wh(-/-), BJ I/II murni
regular, bising tidak ada.
Nyeri tekan epigastrum (+),
Peristaltic ada, kesan normal,
shifting dullness (+)
A:
- Sindrom nefrotik
- Efusi pleura dextra
- Dyspepsia
- Hematochesia
P :
- Metilprednisolon 40 mg /
24 jam / oral
- Simvastatin 20 mg / 24 jam
/ oral
- Furocemide 40 mg / 24 jam
/ oral
- Valsartan 80 mg / 24 jam /
oral
- Omeprazole 20 mg / 12
jam / oral
Rencana pemeriksaan :
- Cek darah rutin, SGOT,
SGPT, ureum, kreatinin
- Protein total, albumin
- Cek profil lipid
- Cek urinalisa
- Pro biopsi ginjal
- Foto thorax PA
- USG abdomen
2/4/2015
T: 110/70
N: 84
P: 20
S: 36,4
S : bengkak pada kelopak
mata(+), bengkak pada perut
(+), bengkak pada kedua
tungkai(+), sesak(-),
batuk(-), dahak(-), nyeri ulu
hati (+), mual (-), muntah (-),
bab darah segar (+), bab
keras ada.
O: sakit sedang / gizi cukup /
composmentis anemis (-),
ikterus (-),Udem palpebra
+/+, ascites (+), udem
pretibial + / + , Leher :
DVS+0cm H2O, pembesaran
KGB (-) Bunyi pernapasan :
vesikuler, menurun di
hemithoraks dextra, rh(-/-),
wh(-/-), BJ I/II murni
regular, bising tidak ada.
Nyeri tekan epigastrum (+),
Peristaltic ada, kesan normal,
shifting dullness (+)
A:
- Sindrom nefrotik
- Efusi pleura dextra
- Dyspepsia
- Hematochesia
- Hipertensi terkontrol
on treatment
P:
- Diet rendah garam, diet
tinggi serat
- Metilprednisolon 16 mg
1x2 ½ tab
- Furosemide 40 mg / 24jam
/ oral
- Simvastatin 20 mg / 24jam
/ oral
- Valsartan 80 mg / 24jam /
oral
- Ranitidine 1 amp / 12jam /
iv
- Domperidone 10 m mg / 8
jam / oral (usul)
3/4/2015
T: 120/70
N: 88
P: 20
S: 36,5
S : bengkak pada kelopak
mata(+), bengkak pada perut
(+), bengkak pada kedua
tungkai(+), sesak(-),
batuk(-), dahak(-), nyeri ulu
hati (+), mual (-), muntah (-),
bab hari ini belum
O: sakit sedang / gizi cukup /
composmentis
- Ur/Kr: 43/1,1
- GDP : 81
- SGOT/SGPT:18/12
- TG:278
- Kol. Total: 325
- As. Urat : 7,8
- Urin rutin : blood : +5
RBC / uL
anemis (-), ikterus (-),Udem
palpebra +/+, ascites (+),
udem pretibial + / + , Leher :
DVS+0cm H2O, pembesaran
KGB (-) Bunyi pernapasan :
vesikuler, menurun di
hemithoraks dextra, rh(-/-),
wh(-/-), BJ I/II murni
regular, bising tidak ada.
Nyeri tekan epigastrum (+),
Peristaltic ada, kesan normal,
shifting dullness (+)
Hasil foto thorax kontrol :
P:
- Diet rendah garam, diet
tinggi serat
- Metilprednisolon 16 mg
1x2 ½ tab
- Furosemide 40 mg / 24 jam
/ oral
- Simvastatin 20 mg / 24 jam
/ oral
- Candesartan 16 mg / 24
jam / oral
- Ranitidine 1 amp /12jam/iv
Rencana pemeriksaan :
Usul CT-scan Thoraks
susp. Massa mediastinum,
efusi dextra minimal
USG abdomen : echografik
cortex kedua ginjal
meningkat, tanda - tanda
nefropathy, ascites, efusi
pleura bilateral
A:
- Sindrom nefrotik
- Efusi pleura dextra
dd/massa paru dextra
- Dyspepsia
- Hematochesia
- Hipertensi terkontrol on
treatment
4/4/2015
T: 120/80
N: 84
P: 20
S: 36,5
S : bengkak pada kelopak
mata(+) berkurang, bengkak
pada perut (-), bengkak pada
kedua tungkai(+), sesak(-),
batuk(-), dahak(-), nyeri ulu
hati (+), mual (-), muntah (-),
bab darah segar (+)
O: sakit sedang / gizi cukup /
composmentis anemis (-),
ikterus (-),Udem palpebra
+/+ berkurang, ascites (-),
udem pretibial + / + minimal,
Leher : DVS+0cm H2O,
pembesaran KGB (-) Bunyi
pernapasan : vesikuler,
P:
- Diet rendah garam, diet
tinggi serat
- Metilprednisolon 16 mg
1x2 ½ tab
- Furosemide 40 mg / 24 jam
/ oral
- Simvastatin 20 mg / 24 jam
/ oral
- Candesartan 16 mg / 24
jam / oral
- Ranitidine 150 mg / 12 jam
/ oral
menurun di hemithoraks
dextra, rh(-/-), wh(-/-), BJ
I/II murni regular, bising
tidak ada. Nyeri tekan
epigastrum (+), Peristaltic
ada, kesan normal, shifting
dullness (-)
A:
- Sindrom nefrotik
- Efusi pleura dextra dd/
massa paru dextra
- Dyspepsia
- Hematochesia susp.
Hemoroid interna
- Hipertensi terkontrol on
treatment
Rencana pemeriksaan :
Rencana biopsy ginjal
Tunggu hasil CT-scan
Thorax
5/4/2015
T: 100/70
N: 88
P: 22
S: 36,8
S : bengkak pada kelopak
mata(+) berkurang, bengkak
pada perut (-), bengkak pada
kedua tungkai (+) minimal,
sesak(-), batuk(-), dahak(-),
nyeri ulu hati (+), mual (-),
muntah (-), bab darah segar
(+)
O: sakit sedang / gizi cukup /
composmentis anemis (-),
ikterus (-), Udem palpebra
+/+ berkurang, ascites (-),
udem pretibial + / + minimal,
Leher : DVS+0cm H2O,
P:
- Diet rendah garam, diet
tinggi serat
- Metilprednisolon 16 mg
1x2 ½ tab
- Furosemide 40 mg / 24 jam
/ oral
- Simvastatin 20 mg / 24 jam
/ oral
- Candesartan 16 mg / 24
jam / oral
- Omeprazole 20 mg / 12
jam / oral
pembesaran KGB (-) Bunyi
pernapasan : vesikuler,
menurun di hemithoraks
dextra, rh(-/-), wh(-/-), BJ
I/II murni regular, bising
tidak ada. Nyeri tekan
epigastrum (+), Peristaltic
ada, kesan normal, shifting
dullness (-)
A:
- Sindrom nefrotik
- Efusi pleura dextra dd/
massa paru dextra
- Dyspepsia
- Hematochesia susp.
Hemoroid interna
- Hipertensi terkontrol on
treatment
Rencana pemeriksaan :
Tunggu hasil CT-scan
Thorax
RESUME
Seorang laki-laki 17 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri perut tengah
dan ulu hati kurang lebih 2 hari sebelum masuk rumah sakit, nyeri seperti diremas-
remas, kadang terasa mual tetapi tidak muntah, ada BAB cair 4 kali, ada ampas, kadang
BAB nya keras dan sering mengedan kuat, bila BAB keras pasien melihat sering ada
darah segar menetes sedikit-sedikit. Tidak ada riwayat BAB hitam sebelumnya.
Sebelumnya pasien sering mengeluh nyeri perut hilang timbul seperti ini. Ada riwayat
minum obat metilprednisolon karena pasien ada penyakit ginjal kurang lebih 10 tahun.
Tidak ada keluhan demam. Pasien baru saja keluar dari RS Wahidin Sudirohusodo 3
hari yang lalu, saat itu keluhan pasien bengkak seluruh tubuh. BAK : kuning, kesan
lancar.
Pada pemeriksaan fisik abdomen ditemukan edema palpebra, ascites tetapi tidak
ditemukan pembesaran hepar dan lien, dan pemeriksaan ekstremitas diperoleh edema
pretibial.
Pada pemeriksaan laboratorium diperoleh Albumin 1,3 gr/dl, Kollesterol LDL 325
mg/dl ↑, Trigliserida 278 mg/dl ↑. Pada pemeriksaan urin diperoleh proteinuria (300
mg/dl +++), dan Blood (+) 5 RBC/uL.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan hasil laboratorium, maka pasien
ini didiagnosis Sindrom Nefrotik.
SINDROM NEFROTIK
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik adalah kondisi yang sering disebabkan oleh kelompok penyakit
yang merusak sistem penyaringan pada ginjal. Struktur glomerulus mencegah protein
keluar melalui urin. Dalam keadaan normal, seseorang kehilangan kurang dari 150 mg
protein dalam urin dalam 24 jam. Kisaran proteinuria pada sindrom nefrotik, pada
urinalisa protein lebih dari 3,5 gram dalam 24 jam, adalah indikator utama pada
sindrom nefrotik1.
Sindrom nefrotik adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai dengan
proteinuria masif (lebih dari 3,5g/1,73m2 luas permukaan tubuh/hari), hipoalbuminemia
(kurang dari 3 gr/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria, hiperkoagubilitas2.
Sindrom nefrotik merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis (GN)
ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif, hipoalbuminemia,
hiperkolestrolemia, dam lipiduria. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan
diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria masif merupakan
tanda khas SN, tetapi pada SN berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi
protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga terkontribusi terhadap berbagai
komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan lipiduria,
gangguan keseimbangan nitrogen, hyperkoagulabilitas,gangguan metabolisme kalsium
dan tulang, seta hormon tiroid dapat sering dijumpai3.
Berdasarkan defenisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa sindrom nefrotik
adalah keadaan klinis yang disertai dengan peningkatan permeabilitas glomerulus
terhadap protein yang mengakibatkan kehilangan protein yang masif dengan
karakterisitik: proteinuria masif (lebih dari 3,5g/1,73m2 luas permukaan tubuh/hari),
hipoalbuminemia (kurang dari 3 gr/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria.
EPIDEMIOLOGI
Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar (74%) dijumpai pada
usia 2 – 7 tahun. Rasio laki-laki : perempuan 2 :1 sedangkan pada masa remaja dan
dewasa ratio ini berkisar 1:1. 5
Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik). Pada anak-
anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan
umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali
lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa
(30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1.
Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa
3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan
oleh diabetes mellitus.2
ETIOLOGI3.4,5
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh GN primer dan sekunder akibat infeksi,
keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease) obat atau toksin,
dan akibat penyakit sistemik.
Klasifikasi dan penyebab Sindrom Nefrotik
Glomerulonefritis primer
- GN Lesi Minimal (GNLM)
- Glomerulosklerosis fokal (GSF)
- GN Membranosa (GNMN)
- GN Membranoproliferatif (GNMP)
- GN Proliferatif lain
Glomerulonefritis sekunder
Infeksi :
- HIV, Hepatitis virus B dan C
- Sifilis, malaria, skistosoma
- Tuberkulosis, lepra
Keganasan :
- Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma hodgkin, mieloma multipel,
dan karsinoma ginjal.
Penyakit Jaringan Penghubung :
- Lupus Eritematous Sistemik, Artritis Rheumatoid, Mctd (Mix Connective
Tissue Disease)
Efek Obat dan Toksin :
- Obat antiinflamasi non –steroid, preparat emas, pennisilinamin, probenesid, air
raksa, kaptopril, heorin
Lain-Lain :
- Diabetes Mellitus
- Amyloidosis, pre-eklampsia, rejeksi alograf kronik, refluks vesikoureter, atau
sengatan lebah.
Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering.
Dalam kelompok GN primer, GN lesi minimal, glomerulosklerosis fokal segmental,
GN membranosa, GN membranoproliferatif merupakan kelainan histopatologik yang
sering ditemukan.
PATOFISIOLOGI6
Penyaring glomerulus (endotel berfenestra, mambran basalis, celah membran
diantara podosit) memiliki permeabilitas yang tidak sama untuk semua komponen
darah (permeabilitas selektif atau permselectivity). Molekul yang berdiameter lebih
besar daripada pori-pori tidak dapat melewati penyaring sama sekali. Molekul yang
berdiameter lebih kecil dapat melewatinya., seperti air, yang berarti konsentrasinya di
plasma. Jika zat ini tidak direabsorbsi atau disekresi di ginjal, klirensnya (C) akan sama
dengan GFR, dan bagian yang dieksresi (C/GFR) adalah 1,0. Jika diameter molekul
sedikit lebih kecil daripada diameter pori-porinya, hanya sebagian molekul ini yang
dapat mengikuti air melewati pori-pori sehingga konsentrasinya di filtrat lebih rendah
daripada di plasma.
Akan tetapi, permeabilitas tidak hanya ditentukan oleh ukuran, tetapi juga oleh
muatan molekul. Umumnya, molekul yang bermuatan negatif lebih sulit lewat daripada
yang tidak bermuatan atau yang bermuatan positif. Ini terjadi karena muatan negatif
pada penyaring membuat partikel bermuatan negatif lebih sulit melewatinya.
Pada glomerulonefritis, keutuhan penyaring glomerulus rusak, dan protein plasma
serta eritrosit dapat masuk rongga kapsular. Hal ini menyebabkan proteinuria dan
hematuria. Pengamatan yang teliti terhadap proteinuria memperlihatkan bahwa
permeabilitas terhadap protein yang bermuatan negatif meningkat. Hal ini dapat
ditunjukkan secara jelas pada pemberian infus polisakarida yang memiliki berbagai
muatan karena polisakarida -berbeda dengan protein- hampir tidak direabsorpsi oleh
tubulus. Dekstran yang bermuatan negatif biasanya lebih sedikit difiltrasi daripada
dekstran yang bermuatan positif atau netral. Selektivitas ini akan hilang pada
glomerulonefritis sehingga filtrasi dekstran bermuatan negatif menjadi sangat
meningkat. Salah satu penyebab hal ini adalah pemecahan proteoglikan yang bermuatan
negatif, melalui enzim lisosom dari sel meradang yang mencegah glikosaminoglikan.
Seperti yang ditunjukkan melalui elektroforesis, terutama albumin yang relatif kecil dan
bermuatan negatif yang dapat melalui membran. Bahkan glomerulus yang utuh bersifat
permeabel terhadap sejumlah protein yang kemudian direabsorpsi di tubulus proksimal.
Namun, pada filter glomerulus yang rusak, kapasitas transpornya terbatas dan tidak
dapat mengatasi banyaknya protein kecil di urin (proteinuria tubulus).
Kehilangan protein di ginjal menyebabkan hipoproteinemia. Elektroforesis serum
memperlihatkan bahwa hal itu terjadi sebagian besar karena kehilangan albumin,
sementara konsentrasi protein yang lebih besar sebenarnya cenderung meningkat. Hal
ini terjadi karena penurunan tekanan onkotik di dalam vaskular menyebabkan
peningkatan filtrasi cairan plasma di perifer dan meningkatkan konsentrasi komponen
darah lainnya. Filtrasinya di kapiler perifer tidak hanya difasilitasi oleh penurunan
tekanan onkotik, tetapi juga oleh kerusakan dinding kapiler yang mungkin menjadi
target proses peradangan. Akibat filtrasi protein di perifer, konsentrasi protein dan
tekanan onkotik di ruang interstitial meningkat sehingga keseimbangan filtrasi bergeser
ke arah ruang interstisial. Jika pembuangan protein melalui sistem limfatik tidak
adekuat, terjadi edema.
Jika proteinuria, hipoproteinemia dan edema perifer terjadi secara bersamaan, hal
ini disebut sindrom nefrotik. Karena lipoprotein tidak difiltrasi meskipun jika
penyaringnya rusak, keadaan hipoproteinemia merangsang pembentukan lipoprotein di
hati sehingga terjadi hiperlipidemia dan hipekolesterolemia. Peranan kehilangan
lipoprotein lipase di glomerulus pada kejadian di atas masih menjadi perdebatan.
Hipoproteinemia membantu filtrasi perifer, kehilangan cairan plasma ke ruang
interstisial menyebabkan hipovolemia yang memicu rasa haus, pelepasan ADH, dan
pelepasan aldosteron melalui renin dan angiotensin. Peningkatan asupan air serta
reapsorbsi NaCl dan air menimbulkan keadaan yang ikut mendorong terjadinya edema.
Karena aldosteron meningkatkan eksresi K+ dan H+ , terjadi hipokalemi.
GAMBARAN KLINIK1,3,4,5
Berdasarkan pemikiran bahwa penyebab SN sangat luas maka anamnesis dan
pemeriksaan fisis serta pemeriksaan urin, termasuk pemeriksaan sedimen, perlu
dilakukan dengan cermat. Pemeriksaan kadar albumin dalam serum, kolesterol, dan
trigliserid juga membantu penilaian terhadap SN. Anamnesis penggunaan obat,
kemungkinan berbagai infeksi, dan riwayat penyakit sistemik lain perlu diperhatikan.
Gejala SN adalah urin berbuih (proteinuria), kaki berat, dan bengkak, dingin dan tidak
rasa,penderita merasa lemah dan mudah lelah (keseimbnagan nitrogen negatif),
anoreksia, diare. Edema merupakan gejala utama, bervariasi dari bentuk ringan sampai
berat (anasarka) dan merupakan gejala satu-satunya yang tampak. Bengkak seluruh
tubuh dimulai dari kelopak mata terutama bangun tidur, lalu dada, perut/ascites,
tungkai, dan genitalia. Edema generalisata yang disertai kenaikan berat badan, ascites
atau efusi pleura. Edema juga kadang diawali terutama pada tungkai dan kaki, terutama
setelah berdiri lama. Tahap selanjutnya, bengkak pada abdomen (ascites), tangan, dan
sekitar mata pada pagi hari (edema periorbital). Tahap selanjutnya, bengkak pada
seluruh tubuh (anasarca). Pada sebagian kecil pasien ditemukan manifestasi hematuria
dan hipertensi.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium 5
Urin:
Albumin:
kualitatif : ++ sampai ++++
kuantitatif : > 50 mg/kgBB/hari (diperiksa dengan memakai reagen
ESBACH)
Sedimen: oval fat bodies: epitel sel yang mengandung butir-butir
lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, torak hialin dan
torak eritrosit.
Darah:
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:
Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gm/100ml)
Albumin menurun (N:4-5,8 gm/100ml)
α1 globulin normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml)
α2 globulin meninggi (N: 0,4-1 gm/100ml)
β globulin normal (N: 0,5-0,9 gm/100ml)
γ globulin normal (N: 0,3-1 gm/100ml)
rasio albumin/globulin <1 (N:3/2)
komplemen C3 normal/rendah (N: 80-120 mg/100ml)
ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal dan
pengobatan non spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema, dan
mengobati komplikasi. 2,3
Terapi umum:
1. Pengobatan untuk edema:
Diet rendah garam 1-2 g/hari dan pembatasan cairan.2
Pemberian diuretik (furosemid 40 mg/hari atau golongan tiazid) dengan
atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretik ( spirolaktan).2
Furosemid meningkatkan urin output dengan menghambat transpor sodium
pada loop henle ascending dan tubulus renal distal. Spirolaktan mengurangi
edema dengan ekskresi aldosteron berlebih. Berkompetisi dengan
aldosteron dengan reseptor pada tubulus renal distal , lalu meningkatkan
ekskresi sodium.4
Bila perlu tirah baring, terutama untuk orang tua dengan edema tungkai
berat karena kemungkinan adanya insufisiensi venous.
Pengukuran berat badan setiap hari untuk mengevaluasi edema dan
keseimbangan cairan harus dicatat. BB diharapkan turun 0,5-1 kg/hari.
2. Pengobatan untuk proteinuria2
ACE inhibitor paling sering digunakan, mengurangi ultrafiltrasi protein
glomerulus dengan menurunkan tekanan intrakapiler glomerulus dan
memperbaiki size selective barrier glomerulus. Efek antiproteinurik obat ini
berlangsung lama.
Angiotensin II Receptor Antagonis (ARB) mempunyai efektivitas yang
sama dengan ACEI, tetapi tidak didapatkan efek batuk seperti pada ACEI.
Untuk memelihara keseimbangan nitrogen yang positif dibutuhkan
peningkatan kadar protein serum, tetapi pemberian diit tinggi protein selain
sulit dipenuhi penderita (anoreksia) juga terbukti meningkatkan ekskresi
protein urin. Untuk penderita SN diberikan diit tinggi kalori/karbohidrat
(untuk memaksimalkan penggunaan protein yang dimakan) dan protein
cukup (0,8-1 mg/kgBB/hr).
2. Terapi hiperlipidemia2
Walaupun belum ada bukti yang jelas bahwa hiperlipidemia pada SN
meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular, tetapi apa yang terjadi pada
populasi umum perlu dipakai sebagai pertimbangan untuk menurunkan
kadar lipid pada penderita SN. Dapat digunakan golongan HMG-CoA
reductase inhibitor (statin)
3. Hypercoagulability2
Masih terdapat silang pendapat mengenai perlunya pemberian antokoagulasi
jangka panjang pada semua penderita SN guna mencegah terjadinya resiko
thrombosis, tetapi bila telah terjadi thrombosis atau emboli paru maka perlu
dipertimbangkan antikoagulasi jangka panjang, seperti Warfarin.
4. Pengobatan infeksi: antibiotik yang tepat, hanya diberikan bila ada tanda-tanda
infeksi sekunder.2
5. Pengobatan hipertensi: bila terdapat hipertensi dapat diberikan ACEI, Non
Dihydropiridin, Calcium Channel Blocker (CCB). Pemberian diuretik dan
pembatasan diit garam juga ikut berperan dalam pengelolaan hipertensi.
Terapi Spesifik2,4
1. Pengobatan dengan kortikosteroid2
Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya
prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis dikurangi
bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat diulangi.
Regimen lain pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat
badan/hari selama 4 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4
minggu. Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24
minggu, namun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid
dihentikan.
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap, remisi
parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuri minimal (< 200
mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis lancar
dan edema hilang. Remisi parsial jika proteinuri <3,5 g/hari, albumin serum >2,5
g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema.
Dikatakan resisten jika klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan
atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.
2. Cyclophosphamide2
Cyclophosphamide: untuk penderita yang mengalami relaps setelah steroid
dihentikan (steroid-dependent) atau mengalami relaps >3 kali dalam setahun
(frequently relapsing) bisa diberikan cyclophosphamide 2mg/kgBB/hr selama 8-
12 minggu. Pada penggunaan cyclophosphamide perlu diwaspadai terjadinya efek
samping berupa infertilitas, cystitis, alopecia, infeksi, malignansi.
3. Chlorambucil: digunakan dengan alasan yang sama dengan cyclophosphamide.
Dosis 0,1-0,2/kgBB/hr selama 8-12 minggu.
4. Cyclosporine A (CyA)2
Pada penderita yang mengalami relaps setelah pemberian cyclophosphamide,
diberikan CyA dengan dosis awal 4-5 mg/kgBB/hari, di mana dosis selanjutnya
perlu disesuaikan dengan kadar CyA dalam darah. Pemberian berlangsung selama
1 tahun kemudian diturunkan perlahan-lahan. Mengingat CyA mempunyai efek
nefrotoksik, perlu memonitor fungsi ginjal.
5. Azathioprine2
Azathioprine dengan dosis 2-2,5 mg/kgBB/hari selama 12 bulan, walaupun
efektivitasnya belum terbukti.
KOMPLIKASI
Hiperkoagulasi (Komplikasi Tromboembolik)1,3
Hiperkoagulasi pada sindrom nefrotik dihubungkan dengan meningkatnya kehilangan
antitrombin III melalui urin, perubahan aktivitas dan kadar protein C dan S,
peningkatan sintesis fibrinogen oleh hepar, dan peningkatan agregasi platelet. Keadaan-
keadaan ini meningkatkan resiko terjadinya thrombosis dan emboli spontan pada
pasien. Emboli paru dan thrombosis vena dalam sering terjadi pada pasien SN.
Thrombosis vena renalis sering terjadi pada 30% pasien SN terutama pada
Glomerulonefritis membranosa (GNMN). Sekitar 10% pasien dengan thrombosis vena
renalis ini memberikan gejala nyeri pinggang atau abdomen, gross hematuria, dan
gangguan fungsi ginjal akut, tetapi kebanyakan pasien asimptomatik. Stroke dan infark
miokard juga merupakan komplikasi yang potensial terjadi akibat hiperkoagulasi.
Infeksi1,3
Sebelum era antibiotik, infeksi merupakan penyebab kematian pada SN terutama oleh
organism berkapsul (encapsulated organism). Infeksi pada SN terjadi akibat defek
imunitas humoral, seluler, gangguan sistem komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan
gamma globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh karena sintesis yang menurun
atau katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui
urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas
seluler. Hal ini dikaitkan dengan keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel
T agar dapat berfungsi dengan normal.
Gangguan Fungsi Ginjal1,3
Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui berbagai
mekanisme. Penurunan volume plasma atau sepsis sering menyebabkan timbulnya
nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi penyebab gagal
ginjal akut adalah terjadi edema intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubular
ginjal. Sindrom nefrotik dapat progresi dan berkembang menjadi penyakit ginjal tahap
akhir.
Malnutrisi1,3
Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada SN dewasa terutama apabila disertai
proteinuria massif, asupan oral yang kurang akibat perfusi usus yang menurun, dan
proses katabolisme yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Stanley J. Swierzewski, III, M.D. Nephrotic Syndrome. Available from-URL:
http://www.nephrologychannel.com/nephrotic/index.shtml. On line Update on
15 Sept 2010
2. A.Gunawan, Carta. Sindrom Nefrotik Patogenesis dan Penatalaksanaan.
Available from-URL:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/SindromaNefrotikPatogenesis.html. On
line update on August 2007
3. Sudoyo, Aru. Sindrom Nefrotik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.
Jakarta: FakultasKedokteran UI; 2007. Hal 547-9
4. Eric P Cohen, MD. Nephrotic Syndrome. Available from-URL
http://emedicine.medscape.com/article/244631-overview. On line update on dec
20, 2010
5. Rauf S. Sindrom Nefrotik. Dalam: Catatan Kuliah Nefrologi Anak. Makassar:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUH. Hal. 21-30
6. Sibernagl,Stefan. Disorder of Glomerular Permselectivity, Nephrotic Syndrome
dalam buku Color Atlas of Pathophysiology. New York:Thime; 2000. Hal 104-5