Lap akhir prak karmat2 fadli
-
Author
mohammad-fadli -
Category
Education
-
view
5.857 -
download
5
Embed Size (px)
description
Transcript of Lap akhir prak karmat2 fadli
- 1. BAB I: Laporan Awal Metalografi dan HST
A. Preparasi/Persiapan Sampel
1. Mounting
1.1 Tujuan Percobaan
Percobaan bertujuan untuk menempatkan sampel pada suatu media, untuk memudahkan penanganan sampel yang berukuran kecil dan tidak beraturan tanpa merusak sampel.
1.2 Dasar Teori
Spesimen yang berukuran kecil atau memiliki bentuk yang tidak beraturan akan sulit untuk ditangani khususnya ketika dilakukan pengamplasan dan pemolesan akhir. Sebagai contoh adalah spesimen yang berupa kawat, spesimen lembaran metal tipis, potongan yang tipis, dll. Untuk memudahkan penanganannya, maka spesimen-spesimen tersebut harus ditempatkan pada suatu media (media mounting). Secara umum syarat-syarat yang harus dimiliki bahan mounting adalah :
Bersifat inert (tidak bereaksi dengan material maupun zat etsa)
Sifat eksoterimis rendah
Viskositas rendah
Penyusutan linier rendah
Sifat adhesi baik
Memiliki kekerasan yang sama dengan sampel
Flowabilitas baik, dapat menembus pori, celah dan bentuk ketidakteraturan yang terdapat pada sampel
Khusus untuk etsa elektrolitik dan pengujian SEM, bahan mounting harus kondusif
Media mounting yang dipilih haruslah sesuai dengan material dan jenis reagen etsa yang akan digunakan. Pada umumnya mounting menggunakan material plastik sintetik. Materialnya dapat berupa resin (castable resin) yang dicampur dengan hardener, atau bakelit. Penggunaan castable resin lebih mudah dan alat yang digunakan lebih sederhana dibandingkan bakelit, karena tidak diperlukan aplikasi panas dan tekanan. Namun bahan castable resin ini tidak memiliki sifat mekanis yang baik (lunak) sehingga kurang cocok untuk material-material yang keras. Teknik mounting yang paling baik adalah menggunakan thermosetting resin dengan menggunakan material bakelit. Material ini berupa bubuk yang tersedia dengan warna yang beragam. Thermosetting mounting membutuhkan alat khusus, karena dibutuhkan aplikasi tekanan (4200 lb/in2) dan panas (1490C) pada mold saat mounting.
Ketika melakukan proses mounting, umumnya sampel dipotong melintang untuk mendapatkan struktur mikro dari material. Pemilihan resin juga sebaiknya disesuaikan dengan material yang dimounting. Proses Mounting yang mengaplikasikan tekanan sering menimbulkan berbagai permasalahan. Berikut permasalahan yang sering timbul dan solusi untuk mengatasinya :
Adanya Gelembung yang relative besar pada resin Acrylic
Penyebab: Tekanan Mounting tidak cukup
Solusi: Meningkatkan tekanan mounting atau menurunkan temperature
Permukaan yang halus pada cetakan
Penyebab : Mount tidak sempurna terpolimerisasi karena polimer tidak kompatibel dengan mold release atau minyak di permukaan specimen
Solusi: Bersihkan specimen dan mesin mounting untuk menghilangkan incompatible coating. Gunakan mold release yang lebih kompatibel.
Void / cracks
Penyebab: Tegangan internal yang tinggi akibat pendinginan yang sangat cepat
Solusi: Dinginkan mount lebih lambat dan lama
Bentuk tidak beraturan (haze) disekitar specimen (pada cetakan acrylic)
Penyebab: Spesimen mengandung uap, atau specimen mengandung tembaga atau beberapa paduan yang menghambat polimerisasi.
Solusi: Gunakan desicator atau oven temperature rendah untuk mengeringkan specimen. Lapisi specimen dengan pernis yang tepat sebelum mounting.
Cetakan Phenolic terlepas keluar akibat peningkatan jumlah alcohol
Penyebab: Temperatur mounting tidak mencukupi
Solusi : Tingkatkan temperatur mounting atau periksa elemen pemanas.
Distorsi atau cracking pada specimen
Penyebab: Tekanan terlalu besar
Solusi: Kurangi tekanan mounting atau gunakan castable resin
1.3.1 Metodologi Penelitian
Bahan: Sampel representatif
Alat:
Cetakan silinder
Resin
Hardener
1.3.2 Flowchart Proses
Castable mounting Compression mounting
Siapkanpermukaan SampelSiapkan cetakan
Letakan piston (hingga naik ke bagian atas silinder)
Tutupi silinder dengan isolasi
Letakan permukaan sampel
Letakan sampel padadasar cetakan
Kurangi tekanan (hingga piston naik)
Tuangkan bubuk bakelit kedalam silinderSiapkan resin (1/3bagian cetakan)
Tutup bagian atas silinder
Campur resin (15 tetes hardener)
Tambahkan tekanan
Aktifkan pemanasTuangkan ke dalam cetakan (hingga mengeras) 30 menit
Pertahankan tekanan
Keluarkan mounting dari cetakan
Stabilkan tekanan
Lepaskan pemanas & pasang blok pendingin
Turunkan tekanan hingga 1 atm
Keluarkan sampel
1.4 Daftar Pustaka
Modul Praktikum Karakterisasi Material 2. 2011. Lab. Metalografi dan HST, Departemen Teknik Metalurgi dan Material FT UI
2. PENGAMPLASAN/GRINDING
2.1 Tujuan Percobaan
Untuk meratakan dan menghaluskan permukaan sampel dengan cara menggosokan sampel pada kain abrasif/amplas.
2.2 Dasar Teori
Sampel yang baru saja dipotong, atau sampel yang telah terkorosi memiliki permukaan yang kasar. Permukaan yang kasar ini harus diratakan agar pengamatan struktur mudah untuk dilakukan. Pengamplasan dilakukan dengan menggunakan kertas amplas yang ukuran butir abrasifnya dinyatakan dengan mesh. Urutan pengamplasan harus dilakukan dari nomor mesh yang rendah (hingga 150 mesh) ke nomor mesh yang tinggi (180 hingga 600 mesh). Ukuran grit pertama yang dipakai tergantung pada kekasaran permukaan dan kedalaman kerusakan yang ditimbulkan oleh pemotongan. Lihat tabel berikut
Jenis alat potongUkuran kertas amplas (grit) untuk pengamplasan pertamaGergaji pita60 120Gergaji abrasif120 240Gergaji kawat / intan kecepatan rendah320 400
Hal yang harus diperhatikan pada saat pengamplasan adalah pemberian air. Air berfungsi sebagai pemidah geram, memperkecil kerusakan akibat panas yang timbul yang dapat merubah struktur mikro sampel dan memperpanjang masa pemakaian kertas amplas. Hal lain yang harus diperhatikan adalah ketika melakukan perubahan arah pengamplasan, maka arah yang baru adalah 450 atau 900 terhadap arah sebelumnya.
Ada beberapa Abrasif yang umum digunakan dalam proses grinding metalografi, diantaranya sebagai berikut :
Silicon Carbide (SiC)
Abrasif SiC diproduksi oleh reaksi temperatur tinggi antara silika dan karbon. Material ini memiliki struktur kristal heksagonal-rhombohedral dan memiliki kekerasan hingga mendekati 2500 HV. Material ini merupakan abraif yang ideal untuk cutting dan grinding karena kekerasan dan sangat mudah memproduksi bentuk ujung yang tajam. Untuk preparasi metalografi, SiC digunakan di pisau abrasi bdan untuk melapis kertas ginding abrasif (amplas) dalam rentang bervariasi, dari sangat kasar 60 grit hingga sangat halus 1200 grit
Alumina
Alumina merupakan material yang terbentuk secara alami (dari bauksit). Kekerasannya dapat mencapai 2000 HV, atau ( dalam skala mohs). Abrasif Alumina terutama sering digunakan sebagai tahapan akhir dalam pemolesan dikarenakan kekerasan dan ketangguhannya yang tinggi. Tidak seperti Sic, Alumina terpecah lebih mudah kedalam ukuran submicron atau partikel colloidal (Abrasif Halus).
Diamond
Merupakan material yang paling keras yang diketahi manusia. Kekerasannya sekitar 8000 HV dan 10 dalam skala Mohs. Memiliki struktur kristal kubik, dan tersedia dalam bentuk alami maupun buatan. Meskipun diamong ideal untuk grinding kasar, namun harganya yang relatif mahal membuat proses tersebut menjadi tidak lagi efisien.
Suatu proses grinding yang sukses ditentukan oleh parameter parameter sebagai berikut :
Tekanan Grinding
Kecepatan relatif
Arah Grinding
2.3 Metodelogi Penelitian
2.3.1 Alat dan Bahan
Bahan :
Sampel representatif yang telah dimounting
Air
Alat :
Kertas amplas ukuran grit 120 dan grit 200
Mesin amplas
2.3.2 Flowchart Proses
Buat bentuk lingkaran pada kertas amplas 120#
Pasang pada mesin amplas
Nyalakan dengan kecepatan rendah
Tuangkan air secara kontinu pada permukaan kertas
Letakkansample pada permukaan amplas
Tambahkan kecepatan putaran sesuai kebutuhan
Ubah arah pengamplasan (45o atau 90o terhadap arah sebelumnya)
Ganti amplas dengan grit yang lebih tinggi
Sampel halus dan rata
2.4 Daftar Pustaka
Modul Praktikum Karakterisasi Material 2. 2011. Lab. Metalografi dan HST, Departemen Teknik Metalurgi dan Material FT UI.
3. POLES
3.1 Tujuan Percobaan
Pemolesan bertujuan untuk mendapatkan permukaan sampel yang halus dan mengkilat seperti kaca tanpa gores.
3.2 Dasar Teori
Dalam pengamatan menggunakan mikroskop, permukaan sampel yang akan diamati harus rata. Apabila permukaan sampel kasar atau bergelombang, maka pengamatan struktur mikro akan sulit untuk dilakukan karena cahaya yang datang dari mikroskop dipantilkan secara acak oleh permukaan sampel. Hal ini dapat dijelaskan pada gambar berikut:
Permukaan halusPermukaan kasar
Tahap pemolesan dimulai dengan pemolesan kasar terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan pemolesan halus. Ada 3 metode pemolesan antara lain yaitu sebagai berikut :
Pemolesan Elektrolit Kimia
Hubungan rapat arus & tegangan bervariasi untuk larutan elektrolit dan material yang berbeda dimana untuk tegangan, terbentuk lapisan tipis pada permukaan, dan hampir tidak ada arus yang lewat, maka terjadi proses etsa. Sedangkan pada tegangan tinggi terjadi proses pemolesan.
Pemolesan Kimia Mekanis
Merupakan kombinasi antara etsa kimia dan pemolesan mekanis yang dilakukan serentak di atas piringan halus. Partikel pemoles abrasif dicampur dengan larutan pengetsa yang umum digunakan.
Pemolesan Elektro Mekanis (Metode Reinacher)
Merupakan kombinasi antara pemolesan elektrolit dan mekanis pada piring pemoles. Metode ini sangat baik untuk logam mulia, tembaga, kuningan, dan perunggu.
3.3 Metodelogi Penelitian
3.3.1 Alat dan Bahan
Bahan: sampel pengujian, kain poles, alumina
Alat: mesin poles
3.3.2 Flowchart Proses
Pasang kain poles pada mesin poles
Tuangkan sedikit alumina pada kain poles
Nyalakan mesin dengan kecepatan sedang
Poles sampel (sampel diputar secara kontinyu & perlahan pd porosnya )
Tambahkan alumina jika perlu
Poles halus sampai mengkilap
3.4 Daftar Pustaka
Modul Praktikum Karakterisasi Material 2. 2011. Lab. Metalografi dan HST, Departemen Teknik Metalurgi dan Material FT UI.
4. ETSA
4.1 Tujuan Percobaan
Mengamati dan mengidentifikasi detil struktur logam dengan bantuan mikroskop optik setelah terlebih dahulu dilakukan proses etsa pada sampel
Mengetahui perbedaan antara etsa kimia dengan elektro etsa serta aplikasinya
Dapat melakukan preparasi sampel metalografi secara baik dan benar
4.2 Dasar Teori
Etsa merupakan proses penyerangan atau pengikisan batas butir secara selektif dan terkendali dengan pencelupan ke dalam larutan pengetsa baik menggunakan listrik maupun tidak ke permukaan sampel sehingga detil struktur yang akan diamati akan terlihat dengan jelas dan tajam. Untuk beberapa material, mikrostruktur baru muncul jika diberikan zat etsa. Sehingga perlu pengetahuan yang tepat untuk memilih zat etsa yang tepat. Berikut ini adalah jenis-jenis etsa:
1. Etsa Kimia
Merupakan proses pengetsaan dengan menggunakan larutan kimia dimana zat etsa yang digunakan ini memiliki karakteristik tersendiri sehingga pemilihannya disesuaikan dengan sampel yang akan diamati. Contohnya antara lain :
- Nitrid acid/acital: asam nitrit + 95% (khusus untuk baja karbon) yang bertujuan untuk mendapatkan perlit, ferit, danferit dari martensit.
- 2. Picral: asam picric + alkohol (khusus untuk baja)yang bertujuan untuk mendapatkan perlit, ferit, dan ferit dari martensit.
3. Ferric chloride: ferric chloride + HCL + air untuk melihat
struktur pada SS, nikel austenitic, dan paduan tembaga. 4.
Hydroflouric acid: HF + air untuk mengamati struktur pada alumunium
dan paduannya.Keterangan:
1. Hindari waktu etsa yang terlalu lama (umunya sekitar 4-30
detik)
2. Setelah di etsa, segera dicuci dengan air mengalir lalu dengan
alkohol kemudian dikeringkan dengan hair dryer.
2. Elektro Etsa
(Grafik hubungan rapat arus dan tegangan)Merupakan proses etsa
dengan menggunakan reaksi elektoetsa. Cara ini dilakukan dengan
pengaturan tegangan dan kuat arus listrik serta waktu pengetsaan.
Etsa jenis ini biasanya khusus untuk stainless steel karena dengan
etsa kimia susah untuk medapatkan detil strukturnya. Skema
peralatan elektro etsa standar dapat dilihat pada gambar
berikut:
Gambar diatas mrupakan rangkaian dasar alat elektro etsa yang umum
digunakan dalam skala percobaan laboratorium. Hubungan kuat arus
dan tegangan dalam etsa dapat dijelaskan pada gambar dimana kurva
tersebut terbagi menjadi beberapa daerah karakteristik, antara
lain, yaitu:
Daerah A B :daerah proses etsa, dimana ion logam sebagai anoda,
larut dalam larutan elektrolit.
Daerah B C: daerah tidak stabil, karena permukaan logam merupakan
gabungan dari daerah pasif dan aktif yang disebabkan oleh perbedaan
energi bebas antara butir dan batas butir.
Daerah C D: daerah poles, terjadi kestabilan, meskipun tegangan
ditambahkan. Hal ini disebabkan oleh stabilnya larutan. Meskipun
pada daerah ini logam berubah menjadi logam oksida, tetapi oleh
larutan elektrolit logam itu dilarutkan kembali.
Daerah D E: terjadi evolusi oksigen pada anoda, dimana gelembung
gas melekat dan menetap pada permukaan anoda untuk waktu yang lama,
sehingga menyebabkan pitting. Dengan penambahan tegangan, rapat
arus melonjak tinggi tak terkendali.
4.3 Metodelogi Penelitian
4.3.1 Alat dan Bahan
Alat:
- Blower
5. Cawan gelas dan pipet 6. Alat elektro-etsa (rectifier,
amperemeter, penjepit sampel konduktif)Bahan:
- Zat etsa: FeCl3, Nital 2%, HF 0,5%, dan asam oksalat (H2C2O4) 15 g/100ml air.
7. Air, alkohol, dan tissue4.3.2 Flowchart Proses
Bersihkan sampel dengan air &alkohol
Celupkan pada zat etsa selama 5-10 detik
Bersihkan dengan alkohol
Keringkan dengan blower
Lap dengan tissue
4.4 Daftar Pustaka
Modul Praktikum Karakterisasi Material 2. 2011. Lab. Metalografi
dan HST, Departemen Teknik Metalurgi dan Material FT UI.
B. Pembuatana Foto dan Analisa Struktur Makro dan Mikro
5. PENGAMATAN STRUKTUR MIKRO
5.1 Tujuan Percobaan
Mengetahui proses pengambilan foto mikrostruktur
Menganalisa struktur mikro dan sifat-sifatnya
Mengenali fasa-fasa dalam struktur mikro
5.2 Dasar Teori
Metalografi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari karakteristik
mikrostruktur suatu logam dan paduannya serta hubungannya dengan
sifat-sifat logam dan paduannya tersebut. Ada beberapa metode yang
dipakai yaitu: mikroskop (optik maupun elektron), difraksi (sinar
x, elektron dan neutron), analisis (X-ray flouresence, elektron
mikroprobe) dan juga stereometric metalografi. Pada praktikum
metalografi ini digunakan metode mikroskop sehingga pemahaman akan
cara kerja mikroskop dapat diketahui, khususnya mikroskop
optik.
Pengamatan metalografi dengan mikroskop umunya dibagi menjadi dua,
yaitu:
- Metalografi makro, yaitu pengamatan struktur dengan perbesaran 10-100x.
8. Metalografi mikro, yaitu pengamatan struktur dengan
perbesaran di atas 100x.Berikut ini akan dijelaskan mikrostruktur
beberapa logam:
Mikrostruktur Baja Karbon
Baja karbon, merupakan material ferrous dengan < 2.14% C.
Terbagi atas 2 jenis, yaitu baja hypoeutectoid (< 0.8%C) dan
hypereutectoid (> 0.8%C). Pada kadar 0.8%Cterbentuk fasa perlit
(cementit 6.67%C + ferit 0.02%C). Fasa dan kandungan karbon pada
baja direpresentasikan dalam diagram berikut :
Meskipun diagram fasa diatas pada dasarnya merupakan hasil pada
kondisi kesetimbangan, namun dapat pula diaplikasikan untuk
memprediksikan sifat pada baja yang sedikit mengalami proses
pelunakan atau yang didinginkan pada pendinginan yang sangat
lambat. Terlihat pada diagram bahwasannya peningkatan temperatur
pada baja akan menghasilkan fasa austenit yang disebut juga dengan
besi gamma yang memiliki struktur FCC. Jika pendinginan pada fasa
ini dilakukan dengan tidak kontinyu, maka dapat didaptkan fasa
metastabil seperti martensit ataupun bainit yang idak terlihat pada
diagram normal.
Mikrostrktur Besi Tuang
Besi tuang, yaitu material ferrous dengan kadar karbon 2.14% -
6.67% . Besi tuang komersial 2.5 4%C, karena kadar C yang terlalu
tinggi membuat besi tuang rapuh. Secara metalografi besi tuang
dibagi menjadi 4 tipe berdasarkan kadar karbon, impurities, paduan,
serta proses perlakuan panas, yaitu :
- Besi tuang putih: merupakan besi tuang dimana semua kadar karbonnya terpadu dalam bentuk sementit
9. Besi tuang melleable: dimana hampir semua karbonnya dalam
bentuk partikel tak beraturan yang dikenal dengan karbon temper.
Besi tuang melleable diperoleh dengan memberikan perlakuan panas
pada besi tuang. 10. Besi tuang kelabu: dimana semua atau hampir
semua karbonnya dalam bentuk flake. 11. Besi tuang nodular: dimana
semua atau hampir semua karbonnya dalam bentuk spheroidal. Bentuk
spheroidal ini terjadi akibat adanya penambahan elemen paduan
khusus yang dikenal nodulizer.Mikrostruktur Baja karbon pada heat
& surface treatment
Baja karbon pada heat & surface treatment, dimana dasarnya
adalah transformasi fasa dan dekomposisi austenite. Proses
perlakuan panas antara lain annealing, spheroidisasi, normalisasi,
tempering & quenching. Dasarnya adalah diagram TTT dan CCT,
dimana perlakuan panas ini akan menyebabkan pembentukan fasa
martensit dan bainite.
Mikrostruktur Baja Perkakas
Baja perkakas, adalah baja dengan kualitas tinggi yang digunakan
sebagai perkakas.Tingginya kualitas baja perkakas diperoleh melalui
penambahan paduan Cr, W, dan Mo, dan perlakuan khusus. Umumnya
mikrostrukturnya berupa matriks martensite dengan partikel karbida,
grafit dan presipitat.
Mikrostruktur Paduan Aluminium
Aluminium alloys, terdiri atas kristal utama padatan aluminium
(dendritik) ditambah produk hasil reaksi dengan paduan. Elemen
paduan yang tidak berada dalam keadaan padat biasanya membentuk
fasa campuran pada eutektik, kecuali silikon yang muncul sebagai
produk utama. Pada paduan aluminim silikon , eutektik terjadi pada
sekitar 12% Si.
Mikrustruktur Paduan Tembaga
Copper alloys, umumnya dengan elemen dasar seng. Contohnya adalah
kuningan (paduan tembaga seng dengan timbal, timah dan aluminium).
Pada diagram fasa Cu-Zn, kelarutan seng dalam larutan padatan fasa
meningkat dari 3,25% pada temperatur 903 C ke 39% pada
temperatur454 C. Fasa berbentuk FCC, sementara fasa berbentuk
BCC
Mikrostruktur Material Hasil Lasan
Hasil proses pengelasan pada suatu material akan mempengaruhi
struktur asli dari material tersebut. Pada baja, akan terbentuk
austenit hingga tingkat kedalaman tertentu. Semakin dekat dengan
daerah fusi, temperatur baja semakin tinggi, kecepatan pendinginan
akan semaki tinggi. Berikut gambar yang menjelaskan daerah daerah
yang terbentuk setelah proses pengelasan :
Pada Logam las terbentuk beberapa area, diantaranya :
Area Fusi (Fusion Zone), daerah dimana logam filler yang cair
bercampur dengan logam induk yang dipanaskan sampai temperatur
cair. Bentuknya butir columbar dan widmanstatten, yaitu bentuk
memanjang karena logam cair mendapat pendinginan yang amat cepat,
seperti struktur produk cor.
Daerah Pertumbuhan butir, dimana logam induk yang tidak mencair
butirnya tumbuh membesar karena pemanasan yang amat tinggi akibat
proses pengelasan.
Daerah rekristalisasi/penghalusan butir, karena temperatur sedikit
lebih rendah dari daerah b, austenit mengalami rekristalisasi,
pembentukan butir baru yang lebih halus, pada pendinginan akan
terjadi ferit dan perlit yang lebih halus.
Daerah transisi, ketika proses welding sebagian fasa austenit masih
menjadi ferit, jadi waktu pendinginan, terdapat campuran ferit baru
dan ferit yang ada sebelumnya. Daerah b, c, dan e disebut daerah
terpengaruh panas (HAZ)
Daerah tak terpengaruh panas, fasa logam induk yang tidak berubah
fasa karena tidak terkena panas pada pengelasan.
5.3 Metodelogi Penelitian
5.3.1 Alat dan Bahan
Identifikasi dan Foto Mikrostruktur
Bahan:
Sampel representatif
Lilin
Alat:
Preparat
Mikroskop optik kamera
Pengambilan Foto Mikro
Bahan:
Sampel representatif
Alat:
Preparat
Mikroskop kamera
Perhitungan Besar Butir
Bahan:
Sampel representatif
Alat:
Preparat
Mikroskop optik kamera
5.3.2 Flowchart Proses
IdentifikasiPengambilan foto mikro
foto mikro dan makrostruktur
Letakan sampel di bawah lensa obyektifLetakan sampel pada
preparat
Tentukan fokusBeri lilin pada bawah sampel
Tentukan diafragma dan pencahayaanRatakan peletakan sampel (dengan
alat penekan)
Pengambilan fotoNyalakan lampu mikroskop
Penghitungan besar butirTentukan perbesaran mikroskop (dari kecil
ke besar) dan atur lensa obyektif
Tentukan metode yang dipilih
Atur focus dengan mengatur lensa
Gunakan perbesaran 100x
Amati dan gambar mikrostruktur
Siapkan tabel
Ambil sample dari meja objektif dan matikan mikroskop
Hitung besar butir
Catat hasil yang didapat
5.4 Daftar Pustaka
Modul Praktikum Karakterisasi Material 2. 2011. Lab. Metalografi
dan HST, Departemen Teknik Metalurgi dan Material FT UI.
6. PENGAMATAN STRUKTUR MAKRO
6.1 Tujuan Percobaan
Mengetahui bentuk bentuk perpatahan pada sampel makro
6.2 Dasar Teori
Metalografi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari karakteristik
mikrostruktur suatu logam dan paduannya serta hubungannya dengan
sifat-sifat logam dan paduannya tersebut. Ada beberapa metode yang
dipakai yaitu: mikroskop (optik maupun elektron), difraksi (sinar
x, elektron dan neutron), analisis (X-ray flouresence, elektron
mikroprobe) dan juga stereometric metalografi. Pada praktikum
metalografi ini digunakan metode mikroskop sehingga pemahaman akan
cara kerja mikroskop dapat diketahui, khususnya mikroskop
optik.
Pengamatan metalografi dengan mikroskop umunya dibagi menjadi dua,
yaitu:
- Metalografi makro, yaitu pengamatan struktur dengan perbesaran 10-100x.
12. Metalografi mikro, yaitu pengamatan struktur dengan
perbesaran di atas 100x.Berikut ini akan dijelaskan pengamatan
makrostruktur beberapa logam:
- 1 Mode Perpatahan Material
Sampel hasil pengujian tarik dapat menunjukkan beberapa tampilan
perpatahan seperti yang ditunjukkan pada gambar:
Perpatahan ulet memberikan karakteristik berserabut (fibrous) dan
gelap (dull), sementara perpatahan getas ditandai dengan permukaan
patahan berbutir (granular) dan terang. Perpatahan ulet
umumnyalebih disukai karen bahan ulet umumnya lebih tangguh dan
memberikan peringatan lebih dahulu sebelum terjadinya
kerusakan.
Pengamatan kedua tampilan perpatahan itu bisa diamati dengan mata
telanjang ataupun menggunakan SEM.Berikut ciri-ciri perpatahan ulet
dan getas:
- Perpatahan ulet
13. Dapat terlihat jelas deformasi plastis yang terjadi 14.
Karakteristik berserabut (fibrous) dan gelap (dull) 15. Perpatahan
getas 16. Tidak ada atau sedikit sekali deformasi plastis yang
terjadi pada material 17. Retak/perpatahan merambat sepanjang
bidang-bidang kristalin membelah atom-atom material (transgranular)
18. Pada material lunak denga butir kasa (coarse grain) maka dapat
dilihat pola-pola yang dinamakan chevrons or fan-like pattern yang
berkembang keluar dan dareah awal kegagalan. 19. Material amorphous
(seperti gelas) memiliki permukaan patahan yang bercahaya dan
mulus.6.3 Metodelogi Penelitian
6.3.1 Alat dan Bahan
Identifikasi dan Foto Mikrostruktur
Bahan:
Sampel representatif
Lilin
Alat:
Preparat
Mikroskop optik kamera
Pengambilan Foto Mikro
Bahan:
Sampel representatif
Alat:
Preparat
Mikroskop kamera
Perhitungan Besar Butir
Bahan:
Sampel representatif
Alat:
Preparat
Mikroskop optik kamera
6.3.2 Flowchart Proses
IdentifikasiPengambilan foto mikro
foto mikro dan makrostruktur
Letakan sampel di bawah lensa obyektifLetakan sampel pada
preparat
Tentukan fokusBeri lilin pada bawah sampel
Tentukan diafragma dan pencahayaanRatakan peletakan sampel (dengan
alat penekan)
Pengambilan fotoNyalakan lampu mikroskop
Penghitungan besar butirTentukan perbesaran mikroskop (dari kecil
ke besar) dan atur lensa obyektif
Tentukan metode yang dipilih
Atur focus dengan mengatur lensa
Gunakan perbesaran 100x
Amati dan gambar mikrostruktur
Siapkan tabel
Ambil sample dari meja objektif dan matikan mikroskop
Hitung besar butir
Catat hasil yang didapat
6.4 Daftar Pustaka
Modul Praktikum Karakterisasi Material 2. 2011. Lab. Metalografi
dan HST, Departemen Teknik Metalurgi dan Material FT UI.
C. Percobaan Jominy
7. PERCOBAAN JOMINY
7.1 Tujuan Percobaan
- Mendapatkan hubungan antara jarak permukaan pada pendinginan langsung dengan sifat kemampukerasan bahan.
20. Mendapatkan hubungan antara kecepatan pendinginan dengan
fasa yang terbentuk serta mendapatkan sifat kekerasan dari fasa
tersebut.7.2 Dasar Teori
Proses kombinasi pemanasan dan pendinginan yang bertujuan mengubah
struktur mikro dan sifat mekanis logam disebut perlakuan panas
(heat treatment). Logam yang didinginkan dengan kecepatan dan media
pendingin berbeda memberikan perubahan struktur mikro yang berbeda
pula. Setiap struktur mikro yang terbentuk (martensit, bainit,
ferit dan perlit) merupakan hasil transformasi fasa austenit. Tiap
fasa tersebut terbentuk pada kondisi pendinginan yang berbeda-beda
sebagaimana yang dapat dilihat pada diagram CCT dan TTT. Tiap fasa
memiliki nilai kekerasan yang berbeda-beda. Dengan pengujian Jominy
(jominy test) dapat dibuktikan bahwa laju pendinginan yang
berbeda-beda akan menghasilkan kekerasan bahan yang berbeda. Pada
percobaan ini, sampel dipanaskan hingga suhu austenit, selanjutnya
didinginkan secara merata, lalu dihitung nilai kekerasannya. Nilai
kekerasan berbanding lurus dengan jarak dari tempat berakhirnya
quenced. Makin lambat laju pendinginan logam, makin banyak matriks
perlit yang ditampilkan dan kekerasan makin turun. Sifat logam
tersebut disebut Haredenability atau kemampukerasan. Secara
definisi, hardenability adalah Sifat yang menntukan kedalaman dan
distribusi kekerasan yang ditimbulkan pada proses quenching dari
austenit. Sifat ini Ditentukan oleh berbagai factor
diantaranya:
Komposisi Kimia
Ukuran butir austenit
Struktur baja sebelum quenching
Metode Jominy menggunakan batang diameter4 inch, metodenya adalah
dengan meletakkan standar sampel Jominy dengan bagian ujungnya
didinginkan denganair. Setelah pendinginan, sampel di amplas rata
pada satu sisi, dan diukur kekerasan sepanjang batang
sampel.Kemudian sampel dipotong untuk dianalisa struktur mikronya ,
dari struktur mikro tersebut dapat dilihat hubungannya dengan
kekerasan. Sehingga nanti didapat bahwasannya laju pendinginan
mempengaruhi sifat mekanisnya, dan dapat pula dibuat diagram CCT
dengan mengetahui jumlah struktur mikro dan kekerasannya.
Berikut contoh diagram CCT yang dihasilkan oleh percobaan Jominy
:
Hubungan antara kekerasan dengan jarak quench umumnya dijelaskan
dengan kurva seperti berikut :
Makin lambat laju pendinginan logam, makin banyak matriks perlit
yang ditampilkan dan kekerasan makin turun. Penambahan kadar karbon
atau paduan atau bertambah besarnya ukuran butir akan menyebabkan
grafik bergeser kekanan sehingga memudahkan pembentukan struktur
martensit. Pergeseran grafik kekanan juga menggambarkan sifat
kemampukerasan bahan tersebut. Untuk pendinginan lambat akan
mendapatkan struktur:
- Bainit bawah; struktur seperti jarum mirip martensit
21. Bainit atas; struktur seperti perlit dengan sifat
lapisanyang lebih halus 22. Perlit halus; struktur perlit yang
halus dengan lapisan ferit dan sementit 23. Perlit kasar; struktur
sam dnegan perlit halus namun lamel lebih kasar dan kekerasan lebih
rendah.7.3 Metodelogi Penelitian
7.3.1 Alat dan Bahan
Batang baja sebagai benda uji (d = 2.5 cm, L = 10 cm)
Oven Muffle temperatur max. 11000C
Kran air dengan tekanan cukup
Amplas
Alat penguji kekerasan Brinell
Mikroskop pengukur jejak
7.3.2 Flowchart Proses
Siapkan benda uji
Amplas salah satu sisi untuk penjejakan
Preheating(350o, 15 menit)Panaskan batang uji dari oven
Keluarkan dari ovenAustenisasi(900o, 30 menit)
Letakan pada alat bangku Jominy
Semprot ujung bawah logam dengan air, biarkan sampai dingin
Bersihkan bagian penjejakan
Lakukan penjejakan (15 titik berjarak sama)
Ukur besarnyadiameter jejak
Hitung kekerasan dgn Brinnel
7.4 Daftar Pustaka
Modul Praktikum Karakterisasi Material 2. 2011. Lab. Metalografi
dan HST, Departemen Teknik Metalurgi dan Material FT UI.
Bab II Paper Praktikum
Pengaruh Perlakuan Panas Normalisasi Terhadap Sifat Mekanis dan
Struktur Mikro dari Baja Karbon Rendah
Normalisasi adalah proses perlakuan panas yang dilakukan pada suatu
material logam untuk
memperhalus butiran kristal, sehingga mempengaruhi nilai kekerasan
dan kekuatan. Dalam beberapa hal juga dapat menaikkan machinabiliti
yaitu kemampuan material untuk dapat dilakukan proses permesinan.
Pada normalisasi selain diperoleh butiran yang lebih halus juga
struktur menjadi lebih homogen. Normalisasi didapatkan dengan
memanaskan baja setidaknya 55 C (100F) di atas upper critical line
dari digram fasa Fe-Fe3C, seperti yang ditunjukkan pada gambar 1,
dimana di atas A3 untuk hypoeutectoid - komposisinya kurang dari
eutectoid (0,76%C). Pada perlakuan normalisasi, proses pemanasan
dilakukan hingga menghasilkan fasa austenitic yang homogen sebelum
dilakukan pendinginan. Gambar 2 menampilkan perbandingan pada
siklus temperatur dan waktu dari normalizing dan full anneal.
Normalisasi juga sering dipertimbangkan dalam mikrostruktur yang
dihasilkan. Daerah mikrostruktur yang terkandung 0.8%C adalah
peralitic dan daerah mikrostruktur yang lebih rendah dari itu
adalah ferritic. Pada baja hypereutectoid, proeutectoid Fe3C
pertama membentuk ssepanjang batas butir austenite. Transformasi
ini berlanjut hingga kadar karbon dalam austenite mencapai
mendekati 0.8%C yang mana waktu terjadinya reksi eutectoid
diindikasikan dengan pembentukan pearlite.
Tujuan normalisasi beragam tergantung aplikasinya. Normalisasi bisa
meningkatkan dan menurunkan kekuatan pada produk baja, tergantung
suhu dan mekanis produk baja tersebut sebelumnya. Pada umumnya,
alasan melakukan normalisasi adalah untuk mendapatkan butir yang
homogen, penghalusan butir, meningkatkan machibilitas dan
menghilangkan tegangan sisa yang akan mempengaruhi sifat mekanis
material tersebut. Sebagai contoh, normalisasi dilakukan pada
produk coran untuk menghilangkan struktur dendrit sehingga
menghasilkan mikrostruktur yang seragam. Begitu pula pada wrought
product, normalisasi bisa menghilangkan ketidakseragaman butir
selama pengerolan panas atau saat forging. Tabel berikut ini akan
menampilkan pengaruh perlakuan panas seperti full anneal,
normalisasi, dan temper terhadap sifat mekanik beserta alasannya
dilakukan perlakuan panas tersebut.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, normalisasi akan
mempengaruhi sifat mekanis dan struktur mikro baja. Ada beberapa
parameter penting yang mempengaruhi sifat mekanis dan struktur
mikro tersebut seperti temperatur austenisasi danlama waktu
tahannya. Makin tinggi temperatur austenisasi dan makin lama waktu
tahan, kekuatan baja makin menurun, namun ketangguhannya akan
meningkat. Keseragaman struktur mikro juga meningkat dengan
perlakuan panas normalisasi ini.
Hal ini karena temperatur yang makin tinggi tersebut ditambah
dengan energi sisa yang ada pada logam, memberikan energi yang
cukup untuk menghasilkan butir baru yang kecil dan seragam. Butir
yang kecil ini akan menyebakan logam menjadi tangguh, kekuatan
meningkat, kekerasan menurun, dan semakin ulet. Fenomena ini
dijelaskan dengan persamaan Hall-Petch yang menjelaskan hubungan
ukuran butir dengan kekutan luluh.
Jika temperatur dinaikkan dan waktu tahan diperlama, proses
pembentukan butir baru ini akan semakin sempurna dan didapat butir
yang homogen. Namun, apabila terlalu berlebih maka terjadi
pertumbuhan butir yang tak terkendali sehingga butir akan tumbuh
menjadi besar sehingga ketangguhannya menurun, kekerasannya
meningkat, kekuatan menurun dan getas. Oleh karena itu ada suhu dan
waktu optimum dalam melakukan normalisasi.
Berikut ini contoh mikrostruktur baja SCMnCr2 yang dilakukan
normalisasi pada 850 C selama 20 menit:
Sebelum Sesudah
Daftar Pustaka
ASM Metals Handbook Vol.4: Heat Treating
Calister, William.D . Materials Science and Engineering An
introduction 7th Ed. 2007. Wiley: New York
Darmawan, Agung Setyo; Masyrukan dan Ariyandi, Riski. PROSES
NORMALIZING DAN TEMPERING PADA SCMnCr2 UNTUK MEMENUHI STANDAR JIS G
5111. Jurnal Media Mesin Vol.8. 2007: Surakarta
Rochiem, Rochman; Purwaningsih, Hariyati dan Susanto, Edwin
Setiawan. PENGARUH PROSES PERLAKUAN PANAS TERHADAP KEKERASAN DAN
STRUKTUR MIKRO BAJA AISI 310 S. ITS: Surabaya
Widyatmadji. Pengaruh Perlakuan Panas Normalisasi Terhadap Sifat
Mekanik Dan Struktur Mikro Baja 1K3816AT Untuk Aplikasi Casing
& Tubing Spesifikasi API 5CT K55. 2001. UI: Depok
Bab III Pembahasan Praktikum
III. 1 Pengujian Metalografi
1.1 Hasil Mounting
- Mounting bertujuan untuk mempermudah penanganan sampel pada proses selanjutnya. Karena tujuannya hanya untuk mempermudah, maka sebelumnya ditentukan terlebih dahuluapakah sampel harus dimounting atau tidak didasarkan pada bentuk dan ukuran sampel. Sampel yang berukuran kecil dan tidak memungkinkan atau sulit untuk dipegang pada proses selanjutnya (dalam hal ini pengamplasan, pemolesan, dan etsa), perlu dilakukan proses mounting terlebih dahulu.Sebaliknya, sampel yang berukuran cukup besar yang memungkinkan untuk dipegang, maka proses mounting tidak perlu dilakukan terhadap sampel.
24. Kondisi sampel individu yang didapatkan oleh praktikan telah
dipotong dan dimounting sebelumnya oleh asisten, sehingga praktikan
menjadi lebih mudah dan cepat saat melakukan rangkaian proses
karena tidak perlu lagi melakukan mounting sampel, tetapi tinggal
melanjutkan proses selanjutnya yakni pengamplasan. 25. Pada
praktikum ini, media mounting yang digunakan oleh praktikan adalah
castable resin denganteknik mountingnya adalah castable mounting.
Teknik castable mounting ini merupakan teknik mounting yang lebih
sederhana dibandingkan dengan teknik compression mounting yang
menggunakan media bakelit, karena pada teknik castable mounting ini
tidak memerlukan aplikasi panas dan tekanan. Selain itu peralatan
dan bahan yang digunakan cukup simpel yaitu seperti plastik bekas
tempat rol film yang dipotong menjadi 2 bagian yang digunakan
sebagai cetakan, lakban yang digunakan untuk menutupi bagian bawah
cetakan, castable resin, dan hardener. Untuk melakukan teknik
mounting ini hal yang pertama yang perlu dilakukan adalah sebagai
berikut. 26. Prosedur kerja mounting : 27. Menutupi bagian bawah
cetakan dengan menggunakan lakban, setelah itu masukkan sampel uji
kedalam cetakan bagian bawah cetakan hingga sampel tersebut
terlihat menempel dengan lakban. 28. Membuat campuran antara
castable resin dengan hardener ditempat lain (tempatnya juga
menggunakan plastik bekas tempat rol film yang masih utuh),
perbandingan antara volume castable resin dengan hardener yaitu
castable resin yang volumnya 1/3 bagian dari plastik tempat rol
film diteteskan sebanyak 15 tetes hardener, pencampuran dilakukan
sambil diaduk agar pencampuran antara castable resin dan hardener
terjadi secara merata, tetapi pengadukannya jangan terlalu cepat
untuk menghindari terbentuknya gas hole pada mounting. 29. Setelah
dilakukan pencampuran, kemudian castable resin dimasukkan ke dalam
cetakan yang telah disiapkan, setelah dimasukkan ke dalam cetakan
kemudian tunggu antara 25 - 30 menit. 30. Setelah mounting
mengeras, melepas lakban dari cetakan lalu mengeluarkan mounting
dari cetakan.Beberapa hal yang dapat mempengaruhi hasil mounting
dengan proses castable mounting adalah :
- Pemasangan Cetakan
31. Pada pemasangan lakban serta cetakan harus benar-benar
diperhatikan, diusahakan serapat mungkin dan rapi. 32. Pengadukan
33. Pengadukan yang terlalu cepat saat pencampuran castable resin
dan hardener dapat menyebabkan timbulnya gelembung udara. 34.
Hardener 35. Jumlah dari hardener yang digunakan akan sangat
mempengaruhi hasil mounting yang didapat.Semakin banyak hardener
yang dimasukkan ke dalam resin maka semakin cepat mounting
mengering, namun juga akan memperkeruh mounting itu sendiri dan
akan menimbulkan asap.Untuk itu maka jumlah komposisi hardener yang
tepat akan menghasilkan warna mounting yang jelas dan tidak timbul
asap sehingga tidak ada cacat seperti gelembung gas dan retak.Pada
hasil mounting praktikan dapat dilihat hasil mounting yang tidak
keruh, bagian atas permukaannya rata, tidak terdapat rongga udara
dan retak, hal ini menandakan hardener yang diberikan sudah sangat
sesuai dengan kebutuhannya. 36. Ketebalan ResinSemakin tebal resin
maka akan semakin lambat waktu pengeringannya, namun juga akan
mempermudah dalam pemegangan sample.
Waktu Pengeringan
- Waktu pengeringan sampel biasanya sekitar 30 menit.Jika waktu pengeringan berlangsung lebih lama, hal ini mungkin disebabkan karena kurangnya hardener atau akibat pengadukan yang tidak merata.
37. 38. Sampel 618 quench udara 39. Dari kondisi sampel yang
diterima oleh praktikan, hasil mounting sampel praktikan cukup
baik. Hanya saja permukaan mounting tidak rata karena pemasangan
cetakan yang kurang baik. Lakban yang menutupi cetakan kurang rapat
dan rapi sehingga permukaan sampel agak miring. Disamping itu
permukaan sampel sudah sedikit terkorosi dan terdapat
mikropitting.Beberapa kendala yang mungkin terjadi saat kita
melakukan proses castable mounting adalah sebagai berikut :
Masalah yang timbulPenyebabPenyelesaianResin PanasRetak
radialCuplikan terlalu besarBesarkan ukuran molding dan kurangi
ukuran cuplikanPengkerutanSuhu terlalu tinggiTurunkan suhuRetak
melingkarUdara lembab terjebak di dalam resinHilangkan uap air,
turunkan tekanan pada fasa cairRemukWaktu pemadatan terlalu
singkat, tekanan tidak sesuaiTambah waktu pemadatan, sesuaikan
tekananTidak terjadi penggabunganKondisi tidak sesuaiEvaluasi
kondisi moldingResin dinginRetakWaktu pemadatan tidak cocok, suhu
terlalu tinggi, komposisi padatan dan pelarut tidak sesuaiKoreksi
kekurangan tersebut
- Hasil Amplas
40. Proses yang berikutnya setelah dilakukan mounting yaitu
grinding atau pengamplasan.Proses pengamplasan ini dilakukan
menggunakan mesin amplas otomatis, dalam artian mesin pengamplasan
tersebut telah berputar dengan kecepatan tertentu secara konstan
sehingga yang perlu kita lakukan adalah mengatur posisi sampel,
meletakkan diatas permukaan dan memberikan penekanan sesuai
kebutuhan, tentunya juga perlu dilakukan penggantian kertas amplas
untuk mendapatkan hasil pengamplasan yang sesuai dengan yang
dinginkan. Penggunaan mesin amplas ini bertujuan untuk menghasilkan
hasil amplas yang lebih baik dan homogen dibandingkan proses
pengamplasan manual. Proses pengamplasan dilakukan secara bertahap
dan berurutan agar didapatkan permukaan yang sangat halus karena di
bawah mikroskop diperlukan permukaan yang halus agar didapat hasil
pengamatan yang baik yaitu permukaan sampel yang bebas dari goresan
sehingga tidak akan terjadi pemantulan acak cahaya pada saat
pengamatan dengan mikroskop. Perlu diperhatikan agar selama
pengamplasan tekanan ke seluruh bagian sampel dijaga
uniformsehingga seluruh permukaan sampel mengalami pengamplasan
yang merata agar tidak dihasilkan bidang-bidang yang berlainan pada
sampel. 41. Pada proses pengamplasan, dimulai dengan menempatkan
kertas amplas pada mesin amplas dan kemudian dijepit sesuai dengan
ukuran mesin amplasnya.Pada saat pemasangan kertas amplas ini juga
harus diberi air pada permukaan mesin amplas agar nantinya kertas
amplas yang dipasang tidak bergelombang dan juga agar kertas amplas
dapat melekat dengan baik.Jika terbentuk gelombang pada mesin
amplas, maka akan menghasilkan permukaan yang tidak rata atau dua
permukaan yang terhaluskan dan juga dapat menyebabkan kertas amplas
robek.Selain itu air berguna untuk pemindah geram, memperkecil
gesekan agar sampel tidak rusak dan memperpanjang pemakaian kertas
amplas. Kemudian saat menjalankan mesin amplas, dimulai dari
kecepatan yang rendah ke kecepatan tinggi.Tujuannya agar sampel
ketika diamplas, pada kecepatan yang besar permukaannya akan
semakin cepat halus dan rata.Terutama untuk sampel dengan kekerasan
yang tinggi akan dibutuhkan kecepatan pengamplasan tinggi pula agar
sample lebih mudah untuk dihaluskan. 42. Dan proses pengamplasannya
melalui lima tahap ukuran grit yang berbeda yakni 240, 400, 600,
800, 1200, dan 1500. Pada setiap ukuran gritnya, penampakan
permukaan sampel berangsur-angsur memiliki goresan yang semakin
kecil. 43. Kemudian, untuk pengamplasan sampel HST, S50, diamplas
dengan menggunakan kertas amplas yang kasar,grit 240 kemudian
dilanjutkan dengan kertas amplas yang lebih halus yaitu dari yang
bernomor mesh 400, 600, 800, 1200 dan 1500.Tidak semua permukaan
sampel bersih dari lapisan oksida. Masih ada beberapa bagian kecil
yang sulit untuk dihilangkan karena permukaan sampel yang tidak
rata. Namun, masih banyak daerag yang bersih dari oksida untuk
dilakukan uji kekerasan dan pengamatan struktur mikro. 44. Sampel
HST S50 setelah di amplas 45. Beberapa parameter yang mempengaruhi
kerja pengampelasan: 46. Pemberian air pada saat pengampelasan 47.
Air yang dituangkan seharusnya konstan dan tidak tidak terlalu
banyak. Namun saat praktikum, air yang dituang tidak konstan dan
jumlahnya juga tidak sama. 48. Perubahan arah ampelas 49. Arah
ampelas setiap melakukan pergantian grit kertas amplas harus
disesuaikan. Diubah 45o atau 90o. Pada saat praktikum saya
melakukan hal itu, sehingga permukaan yang dihasilkan lumayan baik
walaupun tidak 100% permukaannya baik. 50. Pengoperasian mesin
ampelas 51. Mesin ampelas harus diatur konstan dan tidak terlalu
kencang agar permukaan sampel tidak cepat tergerus. 52. Pada saat
ampelas beberapa sampel di atas 1 mesin ampelas terdapat beberapa
sampel. Dan sampel tersebut jenisnya berbeda. Untuk sampel yang
jenis medium carbon steel seharusnya jangn bersamaan dengan baja
karena permukaan sampel medium carbon steel akan rusak karena
terkena bekas ampelas jenis baja. 53. Hasil Poles 54. Pemolesan
merupakan proses untuk memperhalus permukaan sampel hingga skala
mikron agar permukaan sampel yang dipoles dapat memantulkan cahaya
dengan baik, sehingga pada saat pengamatan mikrostruktur dapat
terlihat lebih jelas.Pemolesan yang dilakukan oleh praktikan
merupakan pemolesan tipe mekanik.Kain poles yang digunakan
praktikan ialah kain poles beludru dan bahan polesnya adalah
alumina yang berwarna putih yang telah dilarutkan dengan air.Untuk
sampel yang bertipe ferrous dan non ferrous harus dilakukan di
mesin poles yang berbeda.Hal ini ditujukan agar geram yang
dihasilkan oleh sampel ferrous tidak akan merusak permukaan halus
dari sampel non-ferrous.Mesin Poles Sampel non-Ferrous
- Seperti halnya pada proses pengamplasan, proses pemolesan pun harus diberikan air. Pemberian air saat pemolesan harus tetes demi tetes (tidak boleh terlalu banyak), pemberian air ini sebenarnya hanya untuk meratakan alumina keseluruh bagian kain beludru, sekaligus memudahkan praktikan dalam melakukan pemolesan karena jika tidak diberikan air maka pemegangan terhadap sampel akan semakin sulit karena koefisien gesek kain beludru terhadap sampel uji menjadi semakin besar. Tetapi jika pemberian air terlalu berlebih maka akan membuat pemakaian alumina semakin tidak hemat karena akan banyak alumina yang larut oleh air dan akhirnya terbuang. Berbeda dari proses pengamplasan, pada proses pemolesan sampel harus digerakkan dan diputar-putar terus menerus pada porosnya untuk menghindari terbentuknya cacat berupa ekor komet. Ekor komet adalah cacat berupa goresan melingkar pada pemukaan sampel akibat pemolesan yang statis atau tidak bergerak.
55. Pada saat pemolesan yang diperhatikan adalah goresan-goresan
yang masih ada pada permukaan sampel hasil ampelas. Karena larutan
alumina akan mengisi goresan-goresan tersebut sehingga akan terjadi
kesalahan pada foto mikro. 56. Dari hasil pemolesan sampel
praktikan 618 quench udara, terlihat sanagat mengkilap seperti kaca
dikarenakan baja 618 mengandung unsur Cr. Sedangkan sampel HST,
setelah dilakukan pemolesan masih terdapat gores kecil dan tidak
begitu mengkilap seperti baja 618. 57. Hasil etsaProses etsa
merupakan tahap akhir dari serangkain proses preparasi sampel dan
dilakukan setelah proses pemolesan. Proses etsa yang dilakukan
adalah pengetsaan kimia, yaitu dengan jalan mencelupkan spesimen ke
dalam larutan pengetsa selama beberapa detik tergantung dari jenis
sampel yang akan diuji. Etsa sendiri bertujuan untuk mengikis batas
butir dengan menggunakan prinsip korosi yang terkontrol.
Proses etsa yang dilakukan diawali dengan membersihkan bagian
permukaan sampel yang telah dipoles dengan air lalu kemudian
dikeringkan menggunakan blower. Setelah itu sampel dicelupkan ke
dalam kaca arloji yang berisi zat etsa yang akan digunakan dan
ditahan sampai batas waktu yang telah ditentukan sambil
digoyang-goyang. Untuk sampel ferrous, pada saat pengetsaan ditahan
selama 5-10 detik. Setelah ditahan sampai waktu yang ditentukan
tersebut sampel segera diangkat dan dibersihkan dengan air lalu
ditetesi alkohol. Setelah dibersihkan dengan alkohol sampel segera
dikeringkan dengan blower. Dan berikut ini adalah tabel sampel dan
jenis etsa,
SampelZat etsaWaktu618Nital 2 %10 detikS50( sampel HST)Nital 2 %10
detik
Hal yang perlu diperhatikan dalam proses etsa adalah penentuan zat
etsa yang sesuai untuk setiap jenis material sampel. Jika
penggunaan zat etsa yang tidak sesuai dapat menimbulkan cacat
terutama pada proses etsa kimia yang disebabkan oleh mekanisme
pengikisan batas butir tidak akan menghasilkan hasil etsa yang
baik. Selain itu juga harus diperhatikan waktu pengetsaan karena
terkait dengan kecepatan penyerangan zat etsa. Pengetsaan yang
terlalu cepat mengakibatkan batas butir tidak terkikis dengan baik
sehingga mikrostruktur tidak tampak dengan baik. Sedangkan jika
terlalu lama maka zat etsa akan mengikis butir dari material dan
menyebabkan material menjadi hangus. Untuk mengatasi masalah
pengetsaan yang kurang baik dapat diperbaiki dengan mengulang
kembali proses pemolesan hingga kembali didapatkan permukaan sampel
yang mengkilap kemudian dietsa kembali dengan zat etsa yang sama.
Sedangkan untuk proses etsa yang berlebihan atau sering disebut
dengan istilah over-etching dapat diatasi dengan mengamplas kembali
sampel yang hangus kemudian dipoles dan dietsa. Kemudian ketika
dilakukan pengeringan dengan blower juga terdapat hal yang harus
diperhatikan yaitu posisi sampel yang harus tepat agar didapat
pengeringan yang sempurna (semua permukaan sampel kering).
Hasil pengetsaan yang baik jika dilihat dengan mata telanjang akan
terlihat permukaan sampel yang agak keburaman. Setelah dilakukan
pengetsaan, maka selanjutnya melakukan pengamatan mikro. Bagian
yang diamati di bawah mikroskop optik adalah bagian permukaan yang
berwarna buram, yang menandakan bahwa daerah tersebut telah
mengalami pengetsaan dengan baik. Proses pengetsaan yang agak
kurang lebih baik daripada pengetsaan yang berlebihan. Proses
pengetsaan yang agak kurang dapat diperbaiki dengan proses
pemolesan kembali. Tetapi pengetsaan yang berlebihan akan
menghasilkan permukaan yang gosong dan struktur yang sukar untuk
diamati di bawah mikroskop optik, sehingga harus diamplas kembali
untuk memperbaikinya.
Pada proses pengetsaan, sampel praktikan, 618, dietsa selama 5
detik tapi batas butirnya belum terkikis dengan baik sehingga
ketika diamati dengan mikroskop mikrostruktur 618 terlihat dengan
samar-samar. Oleh karena itu dilakukan etsa ulang dengan waktu 10
detik. Setelah dietsa terlihat perbedaan dari sebelumnya. Permukaan
sampel terdapat korosi. Berarti sampel sudah teretsa dengan baik.
Ketika diamati dengan mikroskop, mikrostruktur terlihat jelas.
Sedangkan sampel HST tidak mengalami masalah ketika proses
pengetsaan.
Austenite
- MartensiteHasil Pengamatan Struktur Mikro
58. Ferrite320675205740Foto Struktur Mikro AISI 618 Quench udara
59. Foto sampel hasil praktikumMaterial : AISI 618 (Quench
udara)Perbesaran : 500 xEtsa: Nital 2 % selama 10 sFasa :
Martensite, sedikit austenit sisa, dan sedikit ferrite 60. Foto
LiteraturMaterial : Baja tipe Fe-Ni-Cr-Mo (AISI 618)Perbesaran :
200 xEtsa: Nital 2 % Fasa : Martensite, sedikit austenit sisa, dan
sedikit ferrite. Foto Literatur (Atlas of Time Temperature Diagrams
for Irons &Steel, G.F Van der Voort) 61. Penjelasan Sampel 62.
Sampel AISI 618 ketika sebelum dilakukan pengamatan dibawah
struktur mikro pada awalnya memunculkan pola berupa garis garis
memanjang yang merupakan pola mikro pitting yang semakin parah
akibat etsa. Disamping itu, terdapat daerah yang terkorosi akibat
proses etsa. Bisa dikatakan sampel sudah teretsa dengan baik.
Setelah dilakukan pengamatan struktur mikro terlihat sedikit
lapisan menempel pada sampel yang menunjukkan bahwasannya sampel
telah terkontaminasi oleh lemak yang dapat saja berasal dari jari
akibat tidak sengaja terpegang. Kemudian terdapat pula kotoran
kotoran dipermukaan karena bekas tisu ketika pengelapan. Namun hal
ini tidak menjadi masalah karena pengamatan mikro hanya membutuhkan
area yang relative sempit, sehingga dapat dicari area yang masih
bersih. Kemudian setelah didapatkan tempat yang tepat dilakukan
pengamatan struktur mikro, hasil pengamatan memperlihatka struktur
yang didominasi oleh struktur martensite yang relative halus dan
tajam sehingga praktikan menyimpulkan bahwa sampel tersebut
didominasi fasa martensit dengan jenis lath, atau bilah. Disamping
itu, terdapat beberapa daerah kecil yang berwarna putih dan
kecoklatan. Daerah yang berwarna putih adalah ferrite sedangkan
yang berwarna coklat adalah austenite sisa yang belum
bertransformasi menjadi martensite.Menurutliterature (ASM Vol 01) ,
baja AISI 618 merupakan baja dengan komposisi :
UnsurCCrFeMnMoNiSiKadar (%)0,372,0094,731,400,201,000,30
Dengan sifat mekanik:
- UTS: 485 Mpa
63. Yield Strength: 345 Mpa 64. % Elongation: 19 in 200mmDiagram
Fasa Fe-Fe3C
Baja AISI 618 adalah paduan baja Cr-Ni-Mo yang melalui proses
vacuum degassing. Baja jenis ini dimanufaktur dengan kandungan
sulfur (S) yang dikontrol secara ketat, yaitu pada kadar maksimum
0,015%. Setelah praktikan mencocokan dengan diaram TTT dari tipe
Fe-Ni-Cr-Mo yang komposisinya mendekati komposisi AISI 618 dan
disesuaikan dengan kurva pendinginan dengan udara, maka benar
didapat mikrostruktur martensit dengan sedikit austenit sisa dan
ferrite.
Gambar diagram TTT tipe Fe-Ni-Cr-Mo
Kurva pendinginan dengan media udara
- Aplikasi
Aplikasi AISI 618 adalah sebagai baja tahan panas untuk aplikasi
seperti pada komponen mesin mobil atau heat exchanger dimana
mikrostruktur martensite untuk meningkatkan kekuatan agar tahan
terhadap beban/tekanan saat aplikasinya. Namun dalam
penggunaannyaperlu di tempering terlebih dahulu karena sifatnya
yang sangat keras namun getas agar didapatkan sifat yang kuat,
keras dan cukup ulet.
Sampel HST
Foto Struktur Mikro S-50C / AISI 1050 Kelompok 16
MartensiteFerriteAustenite
- Sampel: Baja S-50C / Baja AISI 1050
65. Etsa: Nital 2% 66. Waktu etsa: 6 detik 67. Perbesaran:
500xKeterangan: Austenisasi pada 9000C dengan media pendinginan
minyak (oil)
Proses Heat Treatment di Oven (kiri) dan Proses Quenching di Media
Minyak (kanan)
Foto Struktur Mikro S-50C / AISI 1050 Literatur
- Sampel: Baja AISI 1050
68. Etsa: Nital 2% 69. Perbesaran: 500x 70. Keterangan: Media
Pendinginan Minyak 71. Penjelasan Mengenai Sampel 72. Karakteristik
73. Baja S-50C merupakan salah satu baja karbon menengah karena
memiliki kadar karbon sekitar 0.48 0.55 wt% C. Karena kadar
karbonnya yang kurang dari 0.8 wt% C, maka baja karbon ini
tergolong baja hypoeutectoid. Baja ini umumnya digunakan setelah
melalui proses hardening dan tempering. Dengan memvariasikan media
quench dan temperatur temper-nya, maka akan dihasilkan sifat
mekanik yang berbeda-beda atau bervariasi. 74. Pada baja S-50C
terdapat beberapa unsur paduan yang terkandung dalam medium carbon
steel seperti Mn, P, dan S. Kandungan mangan sebagai elemen paduan
yang terdapat pada medium carbon steel ini berfungsi untuk
meningkatkan kekuatan, sedangkan unsur P dan S merupakan impurities
yang juga berfungsi untuk meningkatkan kekuatan dari baja medium
carbon steel ini. 75. Komposisi S-50C 76. C: 0.48-0.55 77. Mn:
0.60-0.90 78. P (max): 0.04 79. S (max): 0.05 80. Sifat Mekanis
S-50C 81. Density: 7.7-8.03 (x 1000 kg/m3) 82. Poissons Ratio:
0.27-0.30 83. Modulus Elastis: 190-210 GPa 84. Tensile Strength:
636 Mpa 85. Yield strength: 365.4 MPa 86. Elongasi: 23.7% 87.
Reduksi Area: 39.9% 88. Hardness: 187 HB 89. Impact Strength: 16.9
J 90. Diagram Fasa 91. Berdasarkan pengamatan struktur mikro, pada
foto sampel HST kelompok 16 terdapat fasa ferrite berwarna putih,
austenite sisa berwarna coklat dan martensite berwarna hijau. 92.
Aplikasi Baja S-50CBaja S-50C ini memiliki kekerasan tinggi, tahan
aus, kekuatan tinggi, machinability baik, dan tahan terhadap
pemakaian yang lama. Aplikasi untuk material ini adalah alat potong
(pisau, pedang), gear, pembuatan injection plastic mould, general
machine parts dan plastic tool.
1.6. Hasil Pengamatan Struktur Makro
- Foto Struktur Makro dan Perbandingan dengan Foto Literatur yang Bersesuaian
Foto Struktur Makro Sampel Uji Tarik
93. Sampel: Kuningan (Cu-Zn) 94. Perlakuan : Uji Tarik 95.
Perbesaran: 7x 96. Keterangan: Perpatahan GetasFoto Struktur Makro
Literatur
- Analisa Karakteristik Permukaan
97. Bila dilihat dari foto struktur makronya, sampel merupakan
sampel uji tarik dengan perpatahan getas. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya penampakan perpatahan granular atau berbutir-butir
yang tampak terang saat dilihat. 98. Penjelasan Mekanisme yang
Dapat Menyebabkan Sifat dan Bentuk Penampakan pada Sampel Makro 99.
Jenis perpatahan sampel kuningan (Cu-Zn) yang kami dapat merupakan
sampel uji tarik yang menunjukkan adanya perpatahan getas di
permukaannya. Hal ini dapat dilihat pada foto makro bahwa adanya
perpatahan granular atau kristalin pada sampel. 100. Contoh Bentuk
Perpatahan Getas Hasil Uji Tarik 101. Ciri-ciri fenomena perpatahan
getas adalah sebagai berikut:Tidak ada atau sedikit sekali
deformasi plastis yang terjadi
Retak atau perpatahan merambat sepanjang bidang kristalin membelah
atom material (transgranular)
Pada material lunak dengan butir kasar (coarse grain) dapat
terlihat pola fan like yang berkembang keluar dan daerah awal
kegagalan
- Pada material amorphous (glass), permukaan patahan bercahaya dan mulus
102. Analisa Bahan Material yang Digunakan Sebagai Sampel
berdasarkan Sifat-Sifat yang Terdapat Pada Sampel Makro 103. Dengan
memperhatikan segala karakteristik yang muncul setelah melakukan
pengamatan terhadap permukaan patahan tersebut serta berdasarkan
pengamatan fisik dari sampel pengujian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa sampel tersebut adalah sampel kuningan (Cu-Zn). Sampel
tersebut dilakukan pengujian tarik dengan menggunakan Mesin
Shimadzu di Laboratorium Pengujian Merusak. Hal ini juga diperkuat
dengan membandingkan kuningan yang diperiksa struktur makronya
disini dengan kuningan yang pernah dipakai saat Praktikum Uji Tarik
(Praktikum Karakterisasi MaterialI). 104. Analisa Pemakaian Sampel
dan LingkungannyaKuningan merupakan salah satu material yang banyak
digunakan di masyarakat. Material ini merupakan material serbaguna
yang digunakan karena kekuatannya, ketahanan korosinya,
penampilannya dan kemudahannya untuk digunakan dan disambung.
Contoh aplikasi yang menggunakan kuningan antara lain:
- Terali sebagai pengganti besi (Grillwork)
105. Perhiasan (Jewelry) 106. Lencana (Badge) 107. Pegangan
Pintu (Door Handle), dan lain-lain.III.2. Percobaan Jominy
2.1. Data Percobaan
- Jenis Baja: AISI 1430
108. Temperatur Austenisasi: 850oC 109. Jenis Indentor: Hardened
Steel Ball 110. Diameter Indentor: 3,15 mm 111. Beban Indentasi:
187,5 kg 112. Waktu Indentasi: 15 detik2.2. Tabel Hasil Penjejakan
dan Nilai BHN
NoJarak dari end-quench (mm)Diameter Penjejakan (mm)BHNDx (mm)Dy
(mm)Davg
(mm)160.5450.5580.552768.922120.9430.9640.954256.553181.0090.9740.992236.784241.0150.9780.997234.365301.0191.0181.019223.846361.0711.0241.048211.287421.0731.0701.072201.648481.0891.0831.086196.319541.1191.1361.128181.4710601.1331.1561.145175.9611661.1561.1601.158171.8812721.1591.1601.160171.2713781.1591.1581.159171.5814841.1581.1741.166169.4415901.1741.1801.177166.17
Contoh perhitungan:
P = 3.15 mm, D = 187.5 kg
BHN=2PD(D-D2-d2)
BHN=2187.53.153.15-3.152-1.1772 =166.17 BHN
2.3. Grafik Hardenability
2.4. Pembahasan Hasil
- Analisa Penyebab Perbedaan Kekerasan Dihubungkan dengan Transformasi Fasa yang Terjadi di Setiap Daerah atau Perbedaan Jarak dari Titik Quench
113. Percobaan jominy memanfaatkan perbedaan kecepatan
pendinginan dari sampel. Bagian yang paling dekat dengan air adalah
yang paling cepat pendinginannya. Semakin jauh dari air, semakin
lama laju pendinginannya. Sesuai dengan diagram TTT, dari bagian
yang cepat pendinginannya sampai bagian terlama, mikrostrukturnya
akan bertransformasi membentuk full martensite; martensite,
bainite; martensite, ferit, bainite; full bainite; bainite ferit.
Mikrostruktur tersebut berhubungan dengan kekerasan dimana semakin
banyak martensitenya, maka makin keras dan sebaliknya seperti pada
grafik berikut 114. Kurva distribusi nilai kekerasan terhadap jarak
dari Quench End 115. Prinsip Percobaan Jominy berkaitan dengn
Temperatur dan Waktu Tahan yang Dihubungkan dengan Kemampukerasan
Material 116. Percobaan Jominy memanfaatkan prinsip kecepatan
pembekuan dalam mengukur kemampukerasan logam. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kemampukerasan adalah komposisi, ukuran butir austenit
dan mikrostruktur sebelum quenching. Jika kita kaikan dengan waktu
tahan dan temperatur, maka akan berkaitan dengan ukuran butir
austenit dan mikrostruktur sebelum quenching. Saat austenisasi jika
temperatur besar, maka terjadi pertumbuhan butir sehingga
butir-butir austenit menjadi besar dan ketika di quench martensite
yang terbentuk menjadi lebih banyak. Itu artinya hardenability
meningkat. Begitu pula jika waktu tahan besar, difusi karbon ke
austenit menjadi lebih banyak sehingga didapatkan austenit yang
sempurna. Jika dilakukan quenching, maka martensite yang terbentuk
juga sempurna sehingga hardenability meningkat. 117. TEMPERATUR (
C)18 Kekerasan setelah kuens (Rockwell C)18425663-6560-62
57-58aedcbf750850950Waktu tahan yang benar 118. Kesesuaian Hasil
Percobaan dengan Grafik Jominy dari Literatur, serta
Variabel-Variabel yang Berpengaruh pada Percobaan
- Bila dibandingkan dengan kurva Jominy praktikan, secara umum sudah benar, yaitu semakin jauh dari sumber air, kekerasan akan semakin menurun. Hal ini dikarenakan laju pendinginan dekat sumber air berlangsung cepat sehingga pembentukan fasa martensitenya semakin banyak dan memiliki kekuatan paling tinggi. Namun pada kurva Jominy praktikan, apabila dilihat secara detail menghasilkan nilai-nilai kekerasan yang fluktuatif. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh:
119. Pengamplasan yang kurang bersih, masih terdapat
oksida-oksida pada permukaan dimana nilai kekerasannya akan menjadi
lebih besar. Karena saat uji kekerasan yang terkena beban Brinnel
adalah oksidanya bukan materialnya. 120. Pengukuran jejak pada
measuring microscope yang kurang tepat. Hal ini karena bentuk
jejaknya tidak tepat seperti lingkaran mulus, sehingga penentuan
ujung-ujung lingkarannya hanya berdasarkan perkiraan yang
menyebabkan nilai kekerasannya menjadi kurang akurat. 121. Adanya
coretan bekas spidol yang digunakan untuk menandai daerah
penjejakan yang menghalangi proses pengamatan pada measuring
microscope. 122. Alat Measuring Microscope 123. Pada saat
penjejakan, waktu yang digunakan tidak tepat 15 detik untuk semua
posisi penjejakan (ada yang kelebihan, ada yang kekurangan). 124.
Aplikasi Percobaan Jominy 125. Aplikasi dari percobaan Jominy
bertujuan untuk mengetahui seberapa dalam kekerasan yang dicapai
sehingga diperoleh hubungan antara jarak permukaan pada pendinginan
langsung dengan sifat kemampukerasan bahan dan hubungan antara
kecepatan pendinginan dengan fasa yang terbentuk serta mendapatkan
sifat kekerasan dari fasa tersebut. Dasar grafik Jominy yaitu kurva
CCT yang dapat menjelaskan kemampukerasan bahan dari suatu
pendinginan dengan media pendingin tertentu sehingga dapat
diketahui fasa apa saja yang terbentuk. Laju pendinginan juga
berpengaruh dalam kemampukerasan baja. Semakin cepat laju
pendinginan maka semakin mudah mendapatkan fasa martensit. Jadi,
percobaan Jominy ini dapat dijadikan sebagai dasar penentuan
kemampukerasan baja terhadap laju pendinginan dan media pendinginan
yang berbeda. Selain itu, dapat diketahui fasa-fasa apa saja yang
terbentuk dan nilai kekerasan yang diperoleh.
III.3. Pengujian HST
3.1. Data Percobaan
- Kelompok 16
126. Jenis sampel: S-50C (AISI 1050) 127. Temperatur
austenisasi: 900oC 128. Waktu tahan: 25 menit 129. Media quench:
Oil 130. Waktu quench: - 131. Jenis indentor: Hardened Steel Ball
132. Diameter indentor: 3.15 mm 133. Beban indentasi: 187.5 kg 134.
Waktu indentasi: 15 detik 135. Kelompok 15 136. Jenis sampel: S-50C
(AISI 1050) 137. Temperatur austenisasi: 900oC 138. Waktu tahan: 10
menit 139. Media quench: Oil 140. Waktu quench: - 141. Jenis
indentor: Hardened Steel Ball 142. Diameter indentor: 3,15 mm 143.
Beban indentasi: 187,5 kg 144. Waktu indentasi: 15 detik3.2. Tabel
Hasil Pengujian Kekerasan
- Kelompok 16
No.d1(mm)d2(mm)drata-rata(mm)BHNBHNrata-rata10.9650.9760.971247.33243.4720.9890.9760.983241.1630.9930.9690.981241.92
- Contoh perhitungan :
BHN=2PD(D-D2-d2)
BHN=2187.53.153.15-3.152-0.9832 = 241.16 BHN
- Kelompok 15
No.d1(mm)d2(mm)drata-rata(mm)BHNBHNrata-rata10.9630.9750.969248.21240.7021.0011.0101.006230.0730.9770.9780.978243.55
- Contoh perhitungan :
BHN=2PD(D-D2-d2)
BHN=2187.53.153.15-3.152-1.0062 = 230.07 BHN
Perbandingan Foto Mikrostruktur Kelompok 16 dan 15
- Kelompok 16
Kelompok 15
3.3. Pembahasan Hasil
- Penyebab Perbedaan Kekerasan
145. Nilai kekerasan yang diperoleh dari tiga daerah yang
dilakukan penjejakan adalah berbeda-beda. Terdapat daerah yang
lebih lunak dan lebih keras. Hal ini dapat disebabkan oleh: 146.
Pengamplasan yang kurang bersih, masih terdapat oksida-oksida pada
permukaan dimana nilai kekerasannya akan menjadi lebih besar.
Karena saat uji kekerasan yang terkena beban brinnel adalah
oksidanya bukan materialnya. 147. Pengukuran jejak pada measuring
microscope yang kurang tepat. Hal ini karena bentuk jejaknya tidak
tepat seperti lingkaran mulus, sehingga penentuan ujung-ujung
lingkarannya hanya berdasarkan perkiraan yang menyebabkan nilai
kekerasannya menjadi kurang akurat. 148. Waktu indentasi yang tidak
tepat sama, kadang suka terlebih atau kekurangan beberapa
detik.Pada percobaan dilakukan perbandingan nilai kekerasan suatu
material yang sama dan media pendinginan yang juga sama (minyak /
oil) antara Kelompok 16 dan Kelompok 15. Nilai kekerasan yang
dihasilkan puntidak jauh berbeda antara Kelompok 16 (243.47 BHN)
dan Kelompok 15 (240.70 BHN). Nilai kekerasan yang diperoleh oleh
Kelompok 16 sedikit lebih besar dibandingkan nilai kekerasan
Kelompok 15. Jika dilihat lebih detail lagi, terdapat perbedaan
variable antara praktikum yang dilakukan oleh Kelompok 16 dan
Kelompok 15. Variabelnya adalah waktu tahan yang dilakukan pada
suhu austenisasi baja S-50C, yaitu 25 menit untuk Kelompok 16 dan
10 menit untuk Kelompok 15.
- Waktu tahan diberikan dalam suatu proses perlakuan panas dengan tujuan memberikan pada unsur-unsur suatu bahan untuk melakukan difusi. Dengan pemberian waktu tahan diharapkan karbon dapat larut dalam austenit dan austenit menjadi lebih homogen. Jadi waktu tahan yang lebih lama akan memberikan kekerasan yang tinggi.
149. Analisa Variabel-Variabel yang Berpengaruh pada Percobaan
150. Kecepatan PendinginanMedia quenching akan sangat mempengaruhi
tingkat kekerasan yang didapatkan. Media quenching akan sangat
berpengaruh terhadap kecepatan pendinginan terhadap material
tersebut, dimana kecepatan pendinginan akan mempengaruhi struktur
apa yang terbentuk pada material tersebut. Berikut adalah skema
singkat perbandingan media quenching terhadap waktu
pendinginan.
WaterTimeTemperature, C9500Skema pendinginan berbagai mediaOilFB2
bar over pressure quenchingAir
- Terlihat bahwa air memiliki waktu pendinginan yang paling singkat, yang berarti bahwa air memiliki kecepatan pendinginan yang paling tinggi. Sedangkan minyak berada di posisi berikutnya, yang berarti kecpatan pendinginan tidak secepat pendinginan dengan air.
151. Kecepatan pendinginan mempengaruhi fasa yang akan terbentuk
dan tingkat kekerasan dari suatu material. Dapat dilihat dari
diagram CCT di bawah, ditunjukkan bahwa pendinginan dengan media
air akan menghasilkan martensit lebih cepat karena laju
pendinginannya lebih cepat dibandingkan dengan media minyak ataupun
udara. Hal ini tidak terlalu terlihat untuk percobaan yang kelompok
kami lakukan dengan kelompok pembanding (Kelompok 15) karena
sama-sama menggunakan media pendingin yang sama, yaitu minyak /
oil. 152. Diagram CCT (Continous Cooling Transformation) 153.
Temperatur Austenisasi 154. Temperatur austenisasi akan
mempengaruhi pertumbuhan butir dari suatu material. Jika temperatur
austenitnya tinggi, maka akan didapatkan butir austenit yang besar.
Sedangkan bila temperatur austenitnya rendah maka akan didapatkan
butir yang kecil. Pengaruh temperatur austenit tidak hanya pada
pertumbuhan butir tetapi juga pada nilai kekerasan. Tingginya
temperatur austenisasi akan menghasilkan kekerasan yang lebih
tinggi. Hal ini disebabkan dengan tingginya temperatur autenisasi
akan membantu terlarutnya karbon dalam austenit yang akan
bertransformasi menjadi martensit karena kadar karbon yang
terperangkap dalam struktur kristal lebih banyak. Sedangkan dengan
temperatur yang lebih rendah, tidak akan menghasilkan kekerasan
yang maksimum. Hal ini disebabkan kadar karbon yang terlarut belum
banyak selain itu kemungkinan dapat terjadi belum tercapainya
daerah austenisasi. Sehingga masih terdapat ferrit yang akan tetap
berupa ferrit pada temperatur kamar. 155. Waktu Tahan Austenisasi
156. Waktu tahan diberikan dalam suatu proses perlakuan panas
dengan tujuan memberikan pada unsur-unsur suatu bahan untuk
melakukan difusi. Dengan pemberian waktu tahan diharapkan karbon
dapat larut dalam austenit dan austenit menjadi lebih homogen. Jadi
waktu tahan yang lebih lama akan memberikan kekerasan yang tinggi.
157. Pengaruh Waktu Tahan & Temperatur terhadap Kekerasan Hasil
Quench yang Diperoleh 158. Temperatur austenisasi Kelompok 16 dan
15 tidak berbeda dan sama-sama berada pada daerah austenit, namun
waktu tahan temperatur austenitnya lebih lama pada kelompok 16 (25
menit). Bila dilihat pada grafik di atas, waktu tahan yang benar
untuk proses ini sekitar 56-63 menit. Sehingga dapat dikatakan
bahwa perbedaan waktu tahan austenisasi yang dilakukan ini
berakibata pada nilai kekerasan yang diperoleh dan dibuktikan
dengan percobaan ini dimana Kelompok 16 dengan waktu tahan lebih
lama (25 menit) memiliki nilai kekerasan yang lebih besar
dibandingkan nilai kekerasan Kelompok 15 yang hanya ditahan selama
10 menit di fasa austenite. 159. Pengaruh Temperatur dan Waktu
Tahan Temper 160. Proses tempering merupakan suatu proses untuk
melunakkan baja yang telah dikeraskan dengan maksud mendapatkan
sifat ketangguhan dengan mengorbankan sifat kekerasannya. Hal ini
dilakukan dengan cara memanaskan kembali material yang telah
didinginkan yang bertujuan agar karbon yang terperangkap dapat
berdifusi. Banyaknya karbon yang berdifusi tergantung pada
temperatur tempernya dan waktu tahan temper. Semakin tinggi
temperaturnya dan semakin lama waktu tahan, maka semakin banyak
karbon yang berdifusi sehingga kekerasannya semakin rendah dan
keuletan meningkat. 161. 9000C5400CT(0C)T0T1T2t (menit)25 menit51
menit 162. Diagram Perlakuan Panas Sampel HST S-50C Kelompok 16BAB
IV
TUGAS TAMBAHAN
- Sebutkan jenis-jenis cacat saat preparasi sampel!
163. Cacat-cacat yang umumnya terjadi pada sampel castable
mounting antara lain: 164. Cracking: retaknya media mounting,
disebabkan oleh terlalu banyaknya hardener dan temperatur yang
terlalu tinggi. 165. Bubbles: terdapat gelembung gas pada media
mounting, disebabkan karena pengadukan yang terlalu kasar atau
cepat saat pencampuran resin dan hardener, sehingga ada udara yang
terperangkap di dalam campuran tersebut. Pencegahannya adalah
mengaduk secara perlahan campuran resin dan hardener. 166.
Discoloration: pengotoran, perubahan warna, dan perusakan warna,
yang terjadi karena rasio resin dan hardener tidak seimbang, dan
hardener teroksidasi. 167. Soft mounts: media mounting terlalu
lunak, perbandingan resin dan hardener tidak seimbang, dan juga
hardener terlalu sedikit. 168. Tacky tops: Permukaan mounting tidak
rata, disebabkan oleh tidak ratanya permukaan cetakan saat dituang
atau karena perbandingan resin dan hardener yang kurang tepat. Cara
pencegahannya adalah dengan benar-benar meratakan permukaan isolasi
yang akan dituang resin dan memperhitungkan perbandingan resin dan
hardener. 169. Unfused: retakan di sekeliling sampel, disebabkan
oleh tegangan permukaan dan tekanan yang berlebihan. 170. Cacat
pada proses pemolesan: 171. 38823901321435388239045085Cacat Ekor
Komet: cacat berupa goresan melingkar pada pemukaan sampel. Hal ini
dapat terjadi akibat penumpukan alumina pada celah-celah mikro di
sampel ketika pemolesan dilakukan secara statik. Ketika pemolesan
dilakukan static, terdapat kemungkinan adanya partikel-partikel
alumina yang terperangkap di dalam celah-celah mikro ,seperti
goresan yang dapat saja terbentuk pada saat pengamplasan, dan
membentuk suatu garis putih layaknya sebuah ekor komet. Apabila
menggunakan teknik poles satu arah, bubuk alumina akan berkumpul
dan tertahan pada satu bagian sampel. Dan lama kelamaanbubuk
alumina akan menimbulkan goresan pada sampel dan terbentuklah ekor
komet. Untuk mengatasinya, maka ketika proses pemolesan
berlangsung, sampel harus terus menerus diputar. 172. Cacat pada
proses etsa: 173. Cacat Hangus: cacat berupa hangusnya (gosong)
permukaan sampel akibat terlalu lamanya proses etsa berlangsung.
174. Cacat Micropitting: cacat berupa terbentuknya sumuran-sumuran
kecil pada saat pengamatan struktur mikro akibat pengetsaan terlalu
lama. 175. Berikan gambar mikrostruktur yang memiliki pearlite band
hasil dari pengerolan! 176. Gambar mikrostruktur baja paduan rendah
yang menunjukkan adanya butir ferrite dan pita pearlite dengan
menggunakan etsa picral 4% dan nital 2% dan perbesaran 200x 177.
Mengapa pearlite band harus dihilangkan? 178. Pearlite band atau
juga sering disebut sebagai ferrite-pearlite band merupakan suatu
distribusi tidak homogen dari susunan ferrite dan pearlite sebagai
filament atau pelat yang sejajar dengan arah pengerjaannya
(biasanya pengerolan). Pearlite band ini tidak diinginkan dalam
produk hasil pengerolan karena perbedaan distribusi ferrite dan
pearlite tersebut dapat mengakibatkan menurunnya sifat mekanis. Hal
ini disebabkan karena sifat ferrite yang ulet terpisah dengan sifat
sementit yang getas sehingga ada perbedaan distribusi kekuatan pada
produk. 179. Berikan perbandingan mikrostruktur sebelum dan sesudah
pengerolan yang memiliki pearlite band! 180. 181. Mikrostruktur
Baja Paduan Rendah Sebelum Pengerolan (kiri) dan Sesudah Pengerolan
(kanan) 182. Bagaimana cara mendapatkan foto HSLA dengan fasa
austenite? 183. HSLA dimanufaktur melalui proses Thermo Mechanical
Control, dimana ia dilakukan canai panas dan langsung di anil
normalisasi dan didinginkan agak cepat. Setelah didinginkan agak
cepat terdapat fasa asutenite yang belum bertransformasi. Oleh
karena itu kita amati mirostruktur HSLA setelah pendinginan untuk
menlihat fasa austenit.BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.I. Kesimpulan
- Mounting
Mounting bertujuan untuk menempatkan sampel pada suatu media
agar memudahkan penanganan sampel yang berukuran kecil dan tidak
beraturan.
Terdapat dua metode mounting yaitu castable mounting dan
compression mounting. Metode yang digunakan pada percobaan ini
adalah castable mounting karena lebih mudah dan alat yang digunakan
lebih sederhana.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan proses
mounting yaitu perbandingan resin dan hardener, proses pengadukan,
ketebalan resin dan pemasangan perekat pada cetakan.
- Terdapat beberapa cacat hasil mounting pada sampel, antara lain terdapat gelembung-gelembung dan permukaan mounting tidak rata.
184. PengamplasanPengamplasan bertujuan untuk meratakan dan
menghaluskan permukaan sampel dengan cara menngosokan sampel dangan
kertas amplas.
Pengamplasan dilakukan dari grid yang rendah (kasar) ke grid yang
tinggi (halus). Hal ini untuk menghilangkan goresan-goresan yang
terbentuk sebelumnya.
Setiap pergantian grid selalu diikuti dengan pergantian arah
pengamplasan sebesar 45o atau 90o.
Pada saat pengamplasan harus dilakukan pemberian air secara
kontinyu karena air berfungsi untuk pemindah geram, memperkecil
kerusakan akibat dan memperpanjang masa pemakaian kertas
amplas.
Pengamplasan sampel ferrous dan non ferrous yang dilakukan
bersamaan harus diperhatikan. Sampel ferrous diletakkan di bagian
luar sedangkan sampel non ferrous diletakkan di bagian agak dalam,
hal ini agar geram hasil amplas ferrous tidak merusak permukaan
sampel non ferrous.
- Terdapat cacat hasil amplas seperti cacat bidang.
185. Pemolesan 186. Pemolesan bertujuan untuk untuk mendapatkan
permukaan sampel yang halus dan mengkilap seperti kaca. 187.
Pemolesan ada tiga macam, yaitu pemolesan kimia mekanis, pemolesan
elektrolit kimia dan pemolesan elektromekanis. 188. Pada saat
pemolesan, sampel harus diputar-putar untuk menghindari cacat ekor
komet. 189. Jenis zat poles yang digunakan pada percobaan ini
adalah cairan alumina. 190. Hal yang perlu diperhatikan dalam
pemolesan adalah tekanan poles, pemutaran sampel, pemberian air dan
zat poles. 191. Etsa 192. Etsa adalah suatu proses penyerangan atau
pengikisan batas butir yang selektif dan terkendali dengan
pencelupan ke larutan pengetsa baik menggunakan listrik maupun
tidak ke permukaan sampel sehingga detil struktur yang akan diamati
akan terlihat jelas dan tajam. 193. Duaproses etsa yang dipakai
ialah etsa kimia dan elektroetsa. 194. Pada etsa kimia, untuk
melihat struktur baja menggunakan zat nital, Al dengan zat HF, dan
paduan tembaga dengan zat FeCl3. 195. Variabel etsa yang penting
untuk proses etsa kimia adalah pemilihan zat etsa, waktu
pengetsaan, dan pemberian alkohol. 196. Pengamatan Struktur Mikro
dan Makro 197. Tujuan dari pengamatan mikro adalah mengetahui
pengambilan foto mikrostruktur, menganalisa struktu mikro dan
sifat-sifatnya, dan mengenali fasa-fasa yang terdapat dalam
struktur mikro. 198. Tujuan dari pengamatan struktur makro adalah
mengetahui jenis perpatahan dari sampel. 199. Sebelum dilakukan
pengamatan, sampel untuk pengamatan struktur mikro harus dilakukan
persiapan sampel dengan baik, agar hasilnya dapat dilihat dengan
jelas dan tajam serta dapat dibandingkan dengan literatur yang ada.
200. Sampel pengamatan struktur makro pada percobaan ini adalah
sampel hasiil uji tarik dengan jenis perpatahan getas. 201. Hal
yang penting pada saat pengamatan struktur adalah pencahayaan,
fokus, dan perbesaran yang tepat agar dapat terlihat ada fasa,
karbida, presipitat dan komponen apa saja pada sampel pengamatan
struktur mikro dan patahan apa yang terjadi pada sampel pengamatan
struktur makro. 202. Percobaan Jominy 203. Percobaan Jominy
bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh material tersebut berfasa
martensit, memprediksi seberapa dalam kekerasan yang dicapai,
membandingkan kekerasan suatu material dengan standardnya. 204.
Dengan kurva Jominy dapat diketahui hubungan antara kecepatan
pendinginan dengan fasa yang terbentuk serta mendapatkan sifat
kekerasannya. 205. Semakin dekat dengan sumber air, maka sifat
kekerasannya makin tinggi, karena laju pendinginannya semakin cepat
sehingga martensit lebih mudah terbentuk. 206. Nilai kekerasan
untuk percobaan Jominy dilakukan dengan metode Brinell. 207.
Semakin landai grafik kekerasan dan jarak end-quench, menunjukan
bahwa kemampukerasan material akan semakin baik. 208. Pengujian HST
209. Perlakuan panas merupakan proses kombinasi pemanasan dan
pendinginan yang bertujuan mengubah struktur mikro dan sifat
mekanis logam. 210. Laju pendinginan suatu proses ditentukan oleh
media pendinginnya, dapat berupa air, minyak, udara, dan lain-lain.
211. Laju pendinginan yang berbeda akan menghasilkan fasa yang
berbeda. Masing - masing fasa tersebut terjadi dengan kondisi
pendinginan yang berbeda-beda dimana untuk setiap paduan bahan
dapat dilihat pada diagram CCT dan TTT. Dan masing-masing fasa
memiliki nilai kekerasan yang berbeda. 212. Pada percobaan ini,
dilakukan perlakuan panas dengan media pendinginnya minyak
(oil).V.2. Saran
- Praktikan diberi kesempatan untuk melakukan proses mounting untuk lebih memahami dan mengerti proses mounting itu tersebut.
213. Jumlah mesin amplas otomatis ditambah serta diadakan
perbaikan terhadap sistem saluran air di mesin tersebut agar
memudahkan praktikan. 214. Praktikan diberikan kesempatan untuk
belajar mengoperasikan atau mensetting mikroskop agar gambar yang
dihasilkan bagus. 215. Pengamatan struktur mikro dilakukan lebih
lanjut dengan menggunakan SEM.6. Daftar Pustaka
ASM Handbook Volume 1: Properties and Selection: Irons, Steels, and
High-Performance Alloys
ASM Handbook Volume 3: Alloy Phase Diagrams
ASM Handbook Volume 4: Heat Treating
ASM Handbook Volume 9: Metallography and Microstructures
Ariati MS, Dr. Ir. Myrna. Bahan Kuliah (slide) Heat Treatment &
Surface Engineering. 2010. Depok: DTMM FT UI
Callister, William. Material Science and Engineering An
Introduction Seventh Edition. 2007. New York: Wiley
Lab Metalografi & HST. Modul Praktikum Karakterisasi Material
2. 2011. Depok: DTMM FT UI
Voort, G.F Van der. Atlas of Time Temperature Diagrams for Irons
&Steel. 1991. ASM International