slow progression on stage 2-3 Chronic Kidney Disease

57
Therapeutic strategies to slow stage 3-4 chronic kidney disease progression Dokter Pembimbing : dr. Pujo Hendriyanto, Sp. PD Nafis Syauqi 03011207 Koas Interna Universitas Trisakti RSUD Semarang 2015 Periode : 29 Juli-12 September 2015 1

description

medical

Transcript of slow progression on stage 2-3 Chronic Kidney Disease

Therapeutic strategies to slow stage 3-4 chronic kidney disease progression

Dokter Pembimbing : dr. Pujo Hendriyanto, Sp. PD

Nafis Syauqi

03011207

Koas Interna Universitas Trisakti

RSUD Semarang 2015

Periode : 29 Juli-12 September 2015

1

PENDAHULUAN

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) kini telah menjadi masalah kesehatan serius di

dunia. Menurut (WHO, 2002) dan Burden of Disease, penyakit ginjal dan saluran kemih

telah menyebabkan kematian sebesar 850.000 orang setiap tahunnya. Hal ini

menunjukkan bahwa penyakit ini menduduki peringkat ke-12 tertinggi angka kematian.

Penyakit Ginjal Kronik merupakan suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang

beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya

berakhir dengan keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang

irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap,

berupa dialisis atau transplantasi ginjal. (1)

Enam negara dunia dengan penduduk melebihi 50% penduduk dunia adalah Cina,

India, USA, Indonesia, Brazil dan Rusia, tiga negara terakhir termasuk negara

berkembang dimana penyakit ginjal kronik tentunya ada tapi 2 tidak dapat

ditanggulangi secara baik karena terbatasnya daya dan data. Prediksi menyebutkan

bahwa pada tahun 2015 tiga juta penduduk dunia perlu menjalani pengobatan pengganti

untuk gagal ginjal terminal atau End Stage Renal Disease (ESRD) dengan perkiraan

peningkatan 5% per tahunnya. (1)

Ginjal dan hipertensi berkaitan dengan erat, hipertensi dapat menimbulkan

kerusakan ginjal dan kerusakan ginjal menyebabkan hipertensi. Kekhawatiran akan

timbulnya PGK akibat hipertensi tidaklah berlebihan. Prevalensi Hipertensi di populasi

cukup tinggi dan data mengindikasikan adanya kaitan antara PGK dan hipertensi.

Penyakit ginjal dan hipertensi dapat menjadi penyakit ginjal kronik (PGK) dan bila

tidak diatasi akan berkembang ke gagal ginjal terminal yang memerlukan terapi

pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. (1,2)

Penyakit ginjal kronik merupakan penyakit yang saat ini jumlahnya sangat

meningkat, dari survei yang dilakukan oleh Pernefri (Perhimpunan Nefrologi Indonesia)

pada tahun 2009, Prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia sekitar 12,5%, yang berarti

terdapat 18 juta orang dewasa di Indonesia menderita PGK. (1,2)

2

TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi (3)

Ginjal merupakan organ retroperitoneal yang terletak di sisi vena cava

inferior dan aorta abdominalis, serta di bawah hati dan limpa. Ginjal terdiri dari

dua buah yaitu ginjal kanan dan kiri. Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra T12

hingga L3 dimana pada bagian kanan letaknya lebih rendah dibandingkan ginjal

kiri yaitu sekitar vertebra L1 karena tekanan dari hati. Pada superior ginjal

terdapat kelenjar adrenal/suprarenal. Ginjal pada orang dewasa berukuran panjang

11-12 cm, lebar 5-7 cm, dan tebal 2-3,3 cm. Berat kedua ginjal kurang lebih 120-

150 gram.

3

Vaskularisasi ginjal diperdarahi oleh arteri atau vena renalis. A. Renalis

merupakan percabangan dari aorta abdominalis. Sedangkan v. Renalis akan

bermuara pada vena cava inferior. Setelah memasuki ginjal melalui hilus, a.renalis

akan bercabang menjadi arteri segmental arteri interlobarisarteri

arcuataarteri interlobularisarteriol aferen glomerulusarteriol

eferenkapiler peritubularvasa rekta yang nantinya akan keluar ginjal melalui

v. Renalis.

Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan

simpatis ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major,

n.splanchnicus imus dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan

aferen viseral. Sedangkan persarafan simpatis melalui n.vagus.

4

Secara mikroskopis, sebuah ginjal dengan potongan memanjang terbagi

menjadi korteks dan medulla. Setiap ginjal terdiri dari sekitar 1 juta unit

fungsional mikroskopik yang dikenal sebagai nefron.

NEFRON

Komponen vaskular Komponen kombinasi Komponen tubular

Arteriol aferen :

membawa darah ke

glomerulus

Aparatus

jukstaglomerulus :

secara khusus terdapat

sel granuler dan makula

densa yang berfungsi

untuk kontrol fungsi

ginjal

Kapsul bowman :

menyelubungi

glomerulus untuk

menangkap filtrat

Glomerulus : kuntum

kapiler yang

memfiltrasi plasma

bebas protein ke dalam

komponen tubulus

Tubulus proaksimal :

reabsorpsi dan sekresi

tak terkontrol bahan-

bahan tertentu

Arteriol eferen :

membawa darah dari

glomerulus

Ansa Henle :

membentuk gradien

osmotik di medula

5

ginjal yang berperan

penting untuk

menghasilkan urin

Kapiler peritubulus :

memberi makan

jaringan ginjal dan ikut

serta dalam pertukaran

cairan tubulus dan

plasma

Tubulus kontortus

distal dan duktus

koligens : reabsorpsi

dan sekresi terkontrol

bahan-bahan tertentu

yang akan dialirkan ke

pelvis ginjal

II. Fisiologi (4,5)

Ginjal berperan dalam homeostasis melalui cara spesifik berikut :

Fungsi regulasi

- mengatur konsentrasi sebagian besar elektrolit CES

- membantu mempertahankan PH dengan membuang kelebihan asam

atau basa

- membantu mempertahankan volume plasma yang sesuai dengan

mengontrol keseimbangan garam di tubuh

- mempertahankan keseimbangan air dalam tubuh dengan memelihara

osmolaritas CES

Fungsi Ekskresi

mengekskresikan produk sisa-sisa metabolisme di urin

Fungsi hormon

- Ginjal menghasilkan eritropoetin yang merangsang sumsum tulang

untuk menghasilkan sel darah merah

- Menghasilkan renin yaitu hormon yang memicu jalur renin-

angiotensin-aldosteron untuk megatur reabsorpsi Na di tubulus ginjal

untuk pemeliharaan jangka panjang volume plasma

6

Fungsi Metabolik

membantu mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya sehingga

dapat menyerap calcium dari saluran cerna.

Ginjal melakukan tiga proses untuk melaksanakan fungsi regulatorik dan

ekskretoriknya :

Filtrasi glomerulus

Cairan yang difiltrasi glomerulus harus melewati 3 lapisan yaitu :

- Dinding kapiler glomerulus

Terdiri dari satu lapis sel endotel gepeng yang memiliki banyak pori

besar sehingga 100 kali lebih permeabel terhadap H2O dan zat

terlarut dibandingkan kapiler lain di tubuh.

- Membran basal

Lapisan gelatinosa aseluler yang terbentuk dari kolagen dan

glikoprotein yang bermuatan negatif sehingga dapat menghambat

filtrasi albumin.

- Lapisan dalam kapsula bowman

Podosit yang mengelilingi kapiler glomerulus membentuk celah

filtrasi

Gaya filtrasi glomerulus dipengaruhi oleh :

7

1. Tekanan darah kapiler glomerulus = mendorong filtrasi (55mmHg)

2. Tekanan osmotik koloid plasma = melawan filtrasi (15mmHg)

3. Tekanan hidrostatik kapsula bowman = melawan filtrasi (30mmHg)

Hasil akhirnya disebut sebagai tekanan filtrasi netto.

Kreatinin juga sering digunakan untuk mengetahui perkiraan kasar

LFG. Kreatinin adalah suatu produk akhir metabolisme otot yang diproduksi

pada kecepatan relatif konstan. Bahan ini difiltrasi secara bebas dan tidak

direabsorpsi tetapi sedikit di sekresi. Oleh karena itu clearance creatinin

memberi gambaran yang mendekati laju filtrasi glomerulus.

Mekanisme otoregulasi laju filtrasi glomerulus :

Mekanisme miogenik

Sifat umum otot polos vaskular dimana vaskular arteriol berkontraksi

secara inheren sebagai respons terhadap peningkatan tekanan di

pembuluh darah begitu pula sebaliknya sehingga laju filtrasi

glomerulus dipertahankan

8

Laju Filtrasi Glomerulus = Koefisien filtrasi x tekanan filtrasi netto

Koefisien filtrasi

Luas permukaan glomerulus

Permeabilitas membran glomerulus

Mekanisme umpan balik tubuloglomerulus

Melibatkan aparatus jukstaglomerulus yang berjalan melewati sudut

yang dibentuk arteriol aferen dan eferen.

Sel tubulus khusus di regio ini secara kolektif dinamai macula densa.

Sel macula densa dapat mendeteksi perubahan kadar garam cairan tubulus

yang melewatinya. Sebagai respons terhadap peningkatan penyaluran garam

ke tubulus distal, sel ini mengeluarkan adenosin yang bekerja secara

parakrin lokal pada arteriol aferen sehingga berkontriksi dan LFG turun

kembali ke normal. Dalam keadaan sebaliknya berlansung mekanisme yang

sama.

Sel granular aparatus jukstaglomerulus mengeluarkan suatu hormon

yaitu renin sebagai respons terhadap penurunan tekanan darah. Sel granular

juga dipersarafi oleh saraf simpatis yang dimana ketika tekanan darah turun

refleks baroreseptor meningkatkan rangsang simpatis sehingga lebih banyak

renin yang dikeluarkan. Hormon renin mengaktifkan sistem renin-

angiotensin-aldosteron.

9

Renin mengaktifkan angiotensinogen, suatu protein plasma yang

diproduksi di hati, menjadi angiotensin I. Angiotensin I diubah menjadi

angiotensin II oleh angiotensin converting enzyme ( ACE ) yang diproduksi

di paru. Angiotensin II merangsang korteks adrenal untuk mengeluarkan

hormon aldosteron yang merangsang reabsorpsi Na+ oleh ginjal. Retensi Na+

yang terjadi menimbulkan efek osmotik yang menahan lebih banyak H2O di

CES. Angiotensin II juga memiliki efek lain yang membantu mengoreksi

rangsangan semula yaitu merangsang haus sehingga asupan cairan

meningkat juga vasokonstriksi dari arteriol.

Reabsorpsi tubulus

Reabsorpsi berlangsung aktif jika pada tahap menembus transepitel

membutuhkan energi seperti glukosa, asam amino, dan nutrien organik

lainnya, natrium, serta fosfat. Sementara reabsorpsi pasif tidak

membutuhkan energi hanya berdasarkan gradien osmotik.

10

Reabsorpsi Na+

Dari energi total yang dikeluarkan oleh ginjal 80% digunakan untuk

transpor Na+. Tidak seperti kebanyakan zat terlarut yang terfiltrasi,

Na+ direabsorpsi hampir di sepanjang tubulus, tetapi dengan

derajat yang berbeda-beda.

- 67% di reabsorpsi di tubulus proaksimal yang juga berperan

penting dalam reabsorpsi glukosa, asam amino, H2O, Cl-, dan

urea.

- 25% di ansa henle yang berperan penting dalam menghasilkan

urin.

- 8% di tubulus distal dan koligens dan berada dibawah kontrol

hormon aldosteron

Reabsorpsi glukosa

Secara umum, bahan yang direabsorpsi secara aktif memperlihatkan

maksimum tubulus. Tubulus maksimum untuk glukosa adalah

375mg/mnt. Setiap bahan yang jumlahnya melebihi Tm-nya tidak

akan direabsorpsi dan lolos ke dalam urin seperti pada orang

penderita diabetes mellitus akan ditemukan adanya glukosuria.

Reabsorpsi fosfat

Pada tubulus proaksimal reabsorpsi fosfat setara dengan fosfat

plasma, maka kelebihan fosfat yang masuk akan diekskresikan ke

dalam urin. Namun reabsorpsi fosfat dan calcium berada dibawah

pengaruh hormon paratiroid dimana dapat berubah ambang ginjal

terhadap elektrolit tersebut sesuai kebutuhan tubuh saat itu.

Reabsorpsi Klorida

Direabsorpsi secara pasif menurun gradien listrik yang tercipta oleh

reabsorpsi natrium yang bermuatan positif

Reabsorpsi air

Selama reabsorpsi H2O melewati aquaporin/ saluran air yang selalu

terbuka yang perpindahannya diatur oleh tekanan hidrostatik pada

11

tubulus proaksimal. Sementara pada tubulus distal, nefron diatur oleh

hormon vasopresin sehingga reabsropsinya berubah-ubah.

Reabsorpsi urea

Urea adalah suatu produk sisa dari pemecahan protein. Urea berdifusi

dari lumen tubulus ke plasma kapiler peritubulus namun karena

tubulus proaksimal hanya agak permeabel terhadap urea maka hanya

sekitar 50% dari urea yang terfiltrasi direabsorpsi. Peningkatan kadar

urea adalah salah satu karakteristik kimiawi pertama yang

teridentifikasi dalam plasma pasien dengan gagal ginjal berat.

Sekresi Tubulus

Sekresi ion hidrogen

Penting untuk menjaga keseimbangan asam dan basa. Bila tingkat

keasaman cairan tubuh tinggi maka sekresi ion hidrogen pun

meningkat pada tubulus, begitu pula sebaliknya.

Sekresi ion kalium

Ion kalium secara aktif direabsorpsi di tubulus proaksimal tanpa

dikendalikan dan secara aktif pula disekresikan oleh tubulus distal

dan koligens dibawah pengaruh hormon aldosteron. Hormon ini

merangsang sekresi kalium oleh sel tubulus di akhir nefron sekaligus

meningkatkan reabsorpsi Na+. Peningkatan konsentrasi kalium

plasma secara langsung merangsang korteks adrenal untuk

meningkatkan pengeluaran aldosteronnya.

Sekresi ion organik

Sistem ekskresi ion organik tubulus proaksimal berperan kunci dalam

mengeliminasi banyak senyawa asing dalam tubuh. Sistem non

selektif ini memungkinkan sistem sekresi ion organik mempercepat

pembuangan banyak organik asing seperti zat aditif, obat, dan lain-

lain.

12

III. Definisi

Penyakit Ginjal Kronis adalah adanya kelainan struktural atau fungsional pada

ginjal yang berlangsung minimal 3 bulan, dapat berupa : (6)

1. Kelainan struktural yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan

laboratorium (albuminuria, sedimen urin, kelainan elektrolit akibat ginjal),

pemeriksaan histologi, pencitraan, atau riwayat transplantasi ginjal, ATAU

2. Gangguan fungsi ginjal dengan laju filtrasi glomerulus

<60mL/menit/1,73m2.

IV. Klasifikasi

Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat

(stage) dan etiologi. (6)

Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat berdasarkan laju filtrasi glomerulus.

Stadium LFG(mL/menit/1,73m2) Deskripsi1 ≥ 90 Normal2 60-89 Penurunan ringan3a 45-59 Penurunan ringan-sedang3b 30-44 Penurunan sedang-berat4 15-29 Penurunan berat5 <15 Gagal ginjal

Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar diagnosis etiologi.

Penyakit Tipe mayor (contoh)Penyakit ginjal diabetes DM tipe I dan IIPenyakit ginjal non diabetes - Penyakit glomerular (autoimmune,

infeksi sistemik, obat, neoplasia)- Penyakit vaskular (hipertensi,

mikroangiopati)- Penyakit tubulointerstisial

(pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)

- Penyakit kistik (ginjal polikistik)Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik

Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)

Penyakit recurrent (glomerular) Transplant glomerulopathy

13

V. Epidemiologi (7)

Penyakit ginjal kronik merupakan penyakit yang sering dijumpai pada praktik

klinik sehari-hari. Prevalensinya di negara maju mencapai 10-13% dari populasi.

Sebuah studi yang dilakukan Perhimpunan Nefrologi Indonesia melaporkan

sebanyak 12,5% populasi di Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal.

VI. Etiologi (2)

Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi. Perhimpunan Nefrologi

Indonesia pada tahun 2000 mencatat penyebab gagagl ginjal yang menjalani

hemodialisa di Indonesia.

Penyebab InsidenGlomerulonefritis 46,39 %Diabetes Melitus 18,65%Obstruksi dan Infeksi 12,85%Hipertensi 8,46%Sebab lain 13,65%

VII. Faktor Risiko (8)

Faktor-faktor yang berperan dalam progresivitas penyakit ginjal kronik.

Tidak dapat dimodifikasi Dapat dimodifikasi Usia Jenis kelamin (laki-laki) Ras (Afrika-Amerika) Genetik Hilangnya massa ginjal

Hipertensi Proteinuria Albuminuria Glikemia Obesitas Dislipidemia Merokok Kadar asam urat

14

VIII. Patofisiologi

15

Etiologi

Jumlah nefron menurun

Kompensasi : Hipertrofi dan hiperfiltrasi

Kebocoran protein lewat glomerulus

Mikroalbuminuria Peningkatan ekspresi growth mediators/inflamasi/fibrosis

GlomerulosklerosisHipertensi sistemik

Penurunan fungsi ginjal

Defisiensi eritropoetin Uremia Hiperfosfatemia

Hiperkalemia

Anemia

Uremic syndrome

Penekanan sumsum tulang

Asidosis metabolik

Aritmia jantung

Penurunan calcitriol

Peningkatan PTH

Osteomalacia

Hiperparatiroid sekunder

IX. Gambaran Klinis

Gambaran klinisnya bergantung dari penyakit yang mendasarinya, sindrom

uremia, dan gejala komplikasinya seperti hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,

payah jantung, asidosis metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit.

Pada stage 1-3 biasanya tidak terdapat gejala klinis yang mencolok. Umumnya

gejala muncul ketiga CKD grade 4-5 (GFR <30 mL/min/1,73m2).

Triage CKD terdiri dari:

1. Hipertensi

2. Anemia ( bisa normositik normokrom atau makrositik normokrom)

3. Azotemia

Gambaran klinis lainnya:

1. Sesuai penyakit yang mendasari

2. Sindrom uremia (lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan

volume cairan, neuropati perifer, pruritus, kejang)

3. Gejala komplikasi (hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,

asidosis metabolik, gangguan keseimbangn elektrolit)

Sindrom uremia (9)

Biasanya muncul bila laju filtrasi glomerulus dibawah 30% yang terdiri dari:

- Lemah, lethargi

- Mual, muntah, anoreksia, dan penurunan berat badan

- Nokturia

- Sesak oleh karena efusi pleura

- Gangguan jantung : gangguan irama jantung dan pericarditis

- Perdarahan abnormal (urea induced platelets dysfunction)

- Neuropati perifer

- Uremic frost

- Pruritus

- Kejang-kejang coma

16

17

18

19

X. Konsep Penurunan Progresifitas CKD

a. Hipertensi

Hipertensi adalah penyebab dan konsekuensi dari CKD. Prevalensi dari

hipertensi berkaitan secara bertolak belakang dari GFR(10,11). Hasil penelitian

intervensi dan observasi menunjukkan penurunan tekanan darah mwnueunkan

kecepatan dari progrsifitas CKD(12-16). Dari sebuah penelitian meta analisis dari

84 penelitian menyebutkan pada pasien CKD setiap penurunan 10 mmHg dari

mean arterial pressure (MAP) didapatkan peningkatan dari pengurangan

kecepatan GFR sebesar 0.18 ml/min/1.73 m2/bulan(12). Serupa juga pada

meta analisis dari 20 percobaan klinis, setiap pencapaian target tekanan

darah dodapatkan penurunan resiko relatif sebesar 26% untuk kejadian

end stage renal disease(ESRD)(13).

b. Proteinuria

Proteinuria biasa didapatkan pada pasien dengan CKD dan merupakan

faktor resiko yang sangat berpengaruh perhadap progresifitas dari CKD (14,16).

Penurunan proteinuria menurunkan resiko dari perburukan CKD(17-22). Menurut

Jafar et al(20) pada pasien CKD tanpa diabetes menunjukkan adanya penurunan

resiko relatif sebesar 80% dari perkembangan CKD dengan penurunan

proteinuria per gram/hari.

c. Kontrol ketat hiperglikemia

The Diabetes Control and Complications Trial (DCCT)

mendemonstrasikan keuntungan dari kontrol gula terhadap proteinuria. 1441

pasien secara acak dibagi sebagai kelompik ‘intensif’ dan ‘konvensional’ terapi

yang dipantau selama 6,5 tahun. Pencapaian rata-rata secara berurutan dari

HbA1c adalah 7,2 dan 9,1%. Mikroalbuminuria turun sebesar 39% dan

makroalbuminuria turun 54% pada kelompok intensif dibandingkan kelompok

konvensional (23).

20

d. Obat Antihipertensi

Obat antihipertensi dapat menurunkan proteinuria dan memperlambat

perkembangan CKD secara independen dari efek tekanan darah, dengan data

yang sangat mendukung penggunaan angiotensis-converting enxyme inhibitors

(ACEIs) dan angiotensin receptor blockers (ARBs)(24). Meta analisis

menunjukkan penurunan proteinuria dalam penggunaan ACEIs (13,22,25) dan

ARBs(13). Pada pasien dengan CKD diabetes, meta analisis menunjukkan

penggunaan ACEIs dapam diabetes tipe 1(26) dan ACEIs dan ARBs pada

diabetes tipe 2 menunrunkan proteinuria(27).

Untuk agen antihipertensi lain, satu meta analisis telah menelaah efek

dari calcium channel blocker (CCB) sub kelas terhadap perkembangan CKD.

CCB non-dihydropiridine secara signifikan menurunkan proteinuria ketika

dibandingkan dengan CCB dihydropiridine (28). Terdapat juga penelitian

klinis secara acak yang menunjukkan efek dari diuretik thiazide

pada tipe 2 diabetes dengan hipertensi dengan hipertensi dengan

penurunan mikroalbuminuria yang sebanding dengan ACEIs,

enalapril(29) dan captopril(30).

e. Merokok

Penelitian observasional telah menunjukkan sifat nephrotoxic dari

merokok. Analisis dari National Health and Nutrition Examination Survey

(NHANES) II 2.3 kali untuk mengidap CKD pada orang-orang yang merokok

>20 rokok per hari dibandingkan kelompok non perokok(31). Perokok kronis

meningkatkan resiko proteinuria (32,33) dan percepatan dari penurunan GFR (34,35).

f. Penanganan komplikasi CKD

Anemia. Anemia pada CKD disebabkan dari beberapa faktor dimana

utama disebabkan defisiensi eritropoetin, namun juga disebabkan kekurangan

besi fungsional atau absolit, inhibisi akibat urimia(36). Pada penelitian NHNES

III prevalensi anemia sebesar 1% pada eGFR 60ml/min/1.73m2 , 9% pada

eGFR of 30 ml/min/1.73 m2 dan 33% (pria) hingga 67% (wanita) pada

21

eGFR of 15 ml/min/1.73 m2 (37). Anemia kronis yang tidak tertangani

menyebabkan mempengaruhi mortalitas dan morbiditas terutama

mortalitas penyakit kardiovaskular (38,39).

Asidosis. Insidensi dari asidosis metabolik meningkat seiring

penurunan fungsi ginjal namun biasanya tidak muncul hingga stage 4

CKD(40). Efek samping dari asidosis termasuk adalah penurunan masa

otot , tulang , penurunan sensitifitas insulin dan eksaserbasi dari

akumulasi b2-mikroglobulin(40-42). Namun bukti dengan menkoreksi

asidosis dapat memperbaiki hal tersebut sangat terbatas(42).

Hemeostasis kalsium dan fosfat. Serum fosfat mulai meningkat

ketika GFR turun dibawah 60 ml/min/1.73 m2 dikarenakan retensi dari

fosfat dengan serum kalsium menurun diakibatkan penurunan aktifitas

vitamin D unruk meningkatkan penyerapan kalsium di usus. Hormon

paratiroid mulai meningkat diakibatkan peningkatan kadar fosfat dan

penurunan kadar kalsium. Hal ini tidak hanua menyeabkan perubahan

integritas tulang namun juga menyebabkan kalsifikasi dari jaringan lunak

dan vaskuler yang berjalan seiring waktu berdampak pada resijo

kardiovaskular yang meningkatkan mortalitas dan morbiditas pada CKD

pada stadium berikutnya(43).

Bukti saat ini menunjukkan beberapa target penanganan dengan tujuan

menurunkan progresifitas dari CKD:

- Tekanan darag <130/80 (<125/75 mmHg jika proteinuria > 1g/hari)

untuk mengurangi progresifitas CKD

- ACEIs dan ARBs untuk mengurangi proteinuria dan mengurangi

progresifitas CKD.

- Non-dihydropyridine calcium channel blockers untuk mengurangi

proteinuria.

22

- HbA1c <6.5% pada pasien dengan diabetes untuk mengurangi

komplikasi mikrovaskular.

- Berhenti merokok

Asidosis, anemia, dan gangguan fosfat dan kalsium ditangani pada pasien

dengan CKD stage 3 atau lebih.

XI. Pemeriksaan Penunjang

Gambaran laboratoris

1. Penurunan fungsi ginjal (44)

Laju filtrasi glomerulus diestimasi melalui berbagai macam cara: - Creatinine clearance menggunakan rumus Kockcroft-Gault

Hasilnya x0,85 bila perempuan.

- MDRD (Modification of Diet in Renal Disease) formula

Hasilnya x0,742 bila perempuan.

- CKD-EPI formula

Hasilnya x1.018 bila perempuan. Cara ini yang direkomendasikan The National Kidney Foundation.

- Schwartz formulaK (konstanta)Bayi = 0,33Infant = 0,45Anak = 0,55

Rumus ini digunakan pada anak-anak.

23

eCCr = (140-usia)x BB (kg) 72 x Scr (mg/dL)

eGFR = 186 x SCr -1.154 x usia -0.203

eGFR = 141 x min (SCr/k,1) a x max (SCr/k,1) -1.209 x 0,993usia

eGFR = k x TB (cm) SCr (mg/dL)

2. Kelainan biokimia darah

o Peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum

o Penurunan kadar Hemoglobin

o Peningkatan kadar asam urat

o Hiperkalemia

o Hiponatremia

o Hiperfosfatemia

o Hipokalsemia

o Asidosis metabolik

3. Kelainan urinalisis

o Proteinuria/mikroalbuminuria

o Hematuri

o Leukosuria

Gambaran radiologis

- Foto polos abdomen : bisa tampak batu radio-opak

- Pielografi intravena : kontras yang digunakan bersifat

nefrotoksik sehingga jarang dilakukan

- USG ginjal : memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,

korteks yang menipis, adana hidronefrosis atau batu ginjal,

kista, massa, dan kalsifikasi

- Renogram : untuk mengetahui perfusi ke ginjal serta fungsi dari

ginjal itu sendiri menggunakan radioisotope

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal

Hal ini dilakukan apabila ukuran ginjal masih mendekati normal yang

bertujan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan

mengevaluasi hasil terapi yang diberikan

Kontraindikasi

- Contracted kidney (mengecil)

- Ginjal polikistik

24

- Hipertensi yang tidak terkendali

- Infeksi perinefrik

- Gangguan pembekuan darah

- Gagal napas

- Obesitas

XII. Penatalaksanaan

Action plan penyakit ginjal kronik berdasarkan derajatnya. (6)

Stadium LFG(mL/menit/1,73m2)

Rencana tatalaksana

1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi perburukan fungsi ginjal, memperkecil risiko kardiovaskular

2 60-89 Menghambat perburukan fungsi ginjal3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi4 15-29 Persiapan terapi pengganti ginjal5 <15 Terapi pengganti ginjal

25

26

Terapi penyakit dasar

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum

terjadinya penurunan LFG. Bila sudah terjadi penurunan LFG 20-30% dari

normal maka terapi penyakit dasar tidak banyak bermanfaat.

Menghambat perburukan fungsi ginjal (Terapi konservatif)

Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah hiperfiltrasi

glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus

adalah :

1. Pembatasan asupan protein

Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, protein tidak disimpan dalam tubuh

tetapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain seperti ion hidrogen,

fosfat, sulfat, dan lain-lain. Restriksi fosfat juga penting sebab protein dan fosfat

27

selalu berasal dari sumber yang sama. Oleh karena itu restriksi protein dapat

mengurangi sindrom uremia.

LFG(mL/menit/1,73m2)

Asupan protein (g/kg/hari)Fosfat (g/kg/hari)

>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi25-60 0,6-0,8 dengan ≥ 0,35 nilai biologi tinggi ≤105-25 0,6-0,8 dengan ≥ 0,35 nilai biologi tinggi

atau tambahan 0,3 gram asam amino essensial

≤10

2. Pengendalian tekanan darah

Mempunyai peranan yang sama penting dengan restriksi protein karena dapat

memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Penggunaan obat

anti hipertensi golongan ACE inhibitor, melalui berbagai studi terbukti

memperlambat proses perburukan fungsi ginjal. Pengendalian tekanan darah juga

mempunyai peranan untuk memperkecil risiko kardiovaskular. Hal ini penting sebab

40-45% kematian ada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit

kardiovaskular.

28

- ACEIs atau antagonis reseptor angiotensin II evaluasi kreatinin dan kalium

serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemi harus

dihentikan. eg captopril 25mg POqD TID

- ARB, jika RAAS inhibitor tidak responsif bisa dilanjutkan dengan CCB-ND

3. Pengendalian Gula darah

Pada pasien DM, kontrol gula darahhindari pemakaian metformin dan obat –

obat sulfonil urea dengan masa kerja panjang.

Target HbAIC untuk DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe

2 adalah 6%

Evaluasi dan terapi komplikasi (Terapi simptomatis)

1. Anemia

Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia

terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Pemberian

eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian

EPO ini, status besi harus selalu mendapatkan perhatian karena EPO

memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi

pack red cell harus cermat dan hati-hati sebab dapat mengakibatkan

kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal.

Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL (45).

2. Gangguan fosfat dan kalsium

29

- Pembatasan asupan fosfat

- Pemberian pengikat fosfat

Pemberian garam ini diberikan untuk menghambat absorpsi

fosfat. Garam yang sering digunakan adalah calcium carbonat

dan calcium acetate

- Pemberian calcium mimetic agent dilaporkan mempunyai

efektivitas yang tinggi dan efek samping yang minimal.

- Hiperphosphatemia dan hypocalcemia : menggunakan kalsium

karbonat yang bekerja mengubah fosfat menjadi kalsium fosfat

yang tidak dapat diserap lalu dibuang melalui tinja. 1g PO

qDay

- Hiperparatiroidisme : menggunakan analog vitamin D

(zemplar, Rocaltrol) bekerja meningkatkan penyerapan kalsium

dan menurunkan kadar fosfat dan PTH darah. 0.25 mcg

POqDay tiap selang sehari (oral). 1-2 mcg 3 kali seminggu (IV)

, dosis disesuaikan tiap 2 minggu.

3. Hiperhosmosistenemia

Pemberian suplemen oral : asam folat 15mg dan vitamin B3

500μg/hari untuk mencegah aterosklerosis.

4. Keluhan gastrointestinal

Merupakan keluhan utama pada penyakit ginjal kronik. Tindakan yang

harus dilakukan adalah program dialisis yang adekuat dan obat-obat

simptomatik.

5. Asidosis metabolik

Anion-anion yang tidak terekskresikan dengan baik yang biasanya

terjadi pada CKD stage 5 menyebabkan timbulnya asidosis metabolik.

Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila

pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.

6. Osteodistrofi renal

Pemberian calcitriol banyak dilaporkan, namun tidak dianjurkan sebab

dapat meningkatkan absorpsi dari fosfat dan calcium sehingga calcium

30

carbonat tertumpuk di jaringan yang menyebabkan kalsifikasi

metastatik. Selain itu, pemberiannya mengakibatkan penekanan

berlebihan terhadap kelenjar paratiroid.

7. Pembatasan cairan

Restriksi cairan sangat diperlukan pada penyakt ginjal kronik untuk

mencegah terjadinya volume overload. Balance cairan pernting untuk

dilakukan agar input dan output cairan harus seimbang dengan asumsi

insensible water loss antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas

permukaan tubuh) maka air yang masuk sama ditambah output urin.

8. Pembatasan kalium dan natrium

Elektrolit kalium penting diawasi karena hiperkalemia dapat

menyebabkan aritmia jantung. Kadar yang dianjurkan adalah 3,5-5,5

mEq/lt. Makanan yang tinggi kalium seperti sayur dan buah perlu

dibatasi. Restriksi natrium bertujuan untuk mengurangi derajat edema

yang terjadi.

Terapi Pengganti Ginjal (45)

1. Hemodialisis

Tindakan ini diperuntukkan pada penderita penyakit ginjal kronik

stage 5. Hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam

suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua

kompartemen yang terpisah yaitu kompartemen darah dan

komparetemen dialisat.

Kedua kompartemen ini dipisahkan oleh selaput semipermeabel

artifisial. Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat

terlarut yang berpindah. Terdapat 4 jenis membran dialiser, yaitu

selulosa, selulosa yang diperkaya, selulo sintetik, dan membran

sintetik.

31

Input = Output urine 24 jam + insensible water loss (15xBB)

Kompartemen dialisat dialiri oleh cairan bebas pirogen yang

komposisinya mirip serum normal dan tidak mengandung zat sisa

metabolisme nitrogen. Pada proses dialisis air juga dapat berpindah

dari kompartemen darah ke dialisat dengan cara menaikkan tekanan

hidrostatik negatif pada kompartemen dialisat. Kecepatan perpindahan

zat terlarut akan semakin tinggi bila :

o Perbedaan konsentrasi pada dua kompartemen besar

o Diberi tekanan hidrolik pada kompartemen darah’

o Tekanan osmotik di kompartemen dialisat lebih tinggi

Kadar natrium pada cairan dialisat 135-145meq/L agar tidak terjadi

hipernatremia pascadialisis sehingga rasa haus dapat dihindari oleh

karena diharuskan adanya restriksi cairan.

Dialiser dapat di re-use untuk mengurangi biaya hemodialisis.

Umumnya dipakai kembali bila volume dialiser 80% dan setelah itu

32

disimpan dalam cairan formaldehid 4% yang kemudian akan dibilas

kembali sampai bersih.

Dua jenis cairan dialisat yang sering digunakan adalah asetat dan

bikarbonat. Keuntungan cairan bikarbonat adalah dapat menetralisir

asidosis yang biasanya terjadi pada pasien PGK. Pada proses dialisis

juga diperlukan pemberian heparin rutin agar tidak terbentuk bekuan

darah.

Jumlah dan tekanan darah yang mengalir ke dialiser harus memadai

sehingga perlu suatu akses khusus yaitu fistula cimino dimana dibuat

shunt antara a. Radialis/ulnaris ke vena sehingga vena akan membesar

dan mengalami epitelisasi. Fistula cimino ini dapat bertahan beberapa

tahun dengan komplikasi yang minimal. Sebelum dibuat fistula

cimino biasanya digunakan kateter vena pada daerah lipat paha untuk

akses sementara.

33

Indikasi Hemodialisis segera:

Gangguan asam basa : PH < 7,1

Intoksikasi : metanol, litium, salisilat

Uremia : ureum > 200mg/dL

Gangguan elektrolit : hiperkalemia ( >6mEq/L ), hipernatremia

( >160mEq/L )

Overload cairan : edema paru, dan lain-lain.

Di Indonesia hemodialisis dilakukan 2 kali seminggu dengan setiap

hemodialisis dilakukan selama 5 jam. Komplikasi yang sering terjadi

diantaranya adalah hipotensi, keram otot, mual dan muntah, sakit

kepala, gatal, demam dan menggigil.

2. Dialisis peritoneal (DP)

Dialisis peritoneal adalah suatu bentuk dialisis untuk membantu

penanganan pasien gagal ginjal akut maupun gagal ginjal kronik

dengan menggunakan membran peritoneum yang bersifat

semipermeabel. Oleh karena kadar waste products tinggi pada plasma

maka akan terjadi proses difusi melalui membran peritoneum ke

cairan dialisat. Cairan dialisat yang sudah dikeluarkan akan digantikan

yang baru

34

Cairan dialisat yang biasa digunakan adalah cairan dengan kadar

dekstrosa 1,5%. Heparin ditambahkan dalam cairan dialisat dengan

tujuan menceah pembentukan fibrin yang dapat mengganggu aliran

cairan. Dosis permulaan 500-1000 U/2 liter cairan.

CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis) adalah salah satu

bentuk dialisis peritoneal kronik untuk pasien gagal ginjal terminal.

Kesederhanaan, keamanan, hidup tanpa mesin, perasaan naman,

keadaan bebas, biaya relatif murah merupakan daya tarik CAPD baik

dokter maupun pasien. Cairan dialisis diganti yang baru tiap 4 jam

sekali karena dalam waktu 4 jam baru akan terjadi keseimbangan

kadar ureum plasma dengan cairan dialisat.

Indikasi pada dasarnya sama dengan hemodialisis, namun pada

beberapa keadaan merupakan pilihan yaitu :

Hemodinamik tidak stabil

Bayi, anak kecil, dan usia lanjut yang secara teknis

hemodialisis sulit dilakukan

Kanulasi pembuluh darah tidak memungkinkan

35

Komplikasi yang sering terjadi adalah peritonitis, sindrom

disequilibrium bila penggunaannya tidak tepat, bahkan perforasi organ

abdomen.

3. Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan

faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:

a. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih

seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya

mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah

b. Kualitas hidup normal kembali

c. Masa hidup (survival rate) lebih lama

d. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama

berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah

reaksi penolakan

e. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.

36

KESIMPULAN

Penyakit ginjal kronik dalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang

beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya

berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang

ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang

memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

Uremia adalah salah satu sindroma klini dan laboratorik yang terjadi akibat penurunan

fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik

Prinsip penatalaksanaan dari penyakit ginjal kronik adalah terapi terhadap

penyakit yang mendasarinya, terapi yang dapat memperlambat progresivitasnya, dan

pencegahan terhadap faktor komorbid dan komplikasinya. Peranan kepatuhan dan

kedisiplinan pasien dalam menjalankan hemodialisis, restriksi asupan cairan dan

protein, serta minum obat-obatan sesuai anjuran menjadi hal yang sangat penting dalam

menentukan prognosis dari penyakit ginjal kronik.

37

DAFTAR PUSTAKA

1. Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3 Edisi 13. Jakarta: EGC, 2000. 1435-1443.

2. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009. 581-584.

3. Snell, Richard S. Anatomi Klinik. Ed. 6. Jakarta : EGC, 2006. 321-367.4. Sherwoon L. Fisiologi Manusia : Dari sel ke sistem. Ed. 7. Jakarta : EGC, 2011.

553-579.5. Guyton AC. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC, 2008. 467-489.6. Eknoyan G, Lamiere N, Kasiske BL, Wheeler DC, Abboud OI, Adler S, dkk.

KDIGO clinical practice guideline for evaluation and management of CKD. 2012:3(1).

7. Suhardjono. Penyakit ginjal kronik, suatu epidemiologi baru : protect your kidney save your heart. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) : 2010.

8. Fauci AS, Lane LC. Chronic Kidney Disease. Harrison/s principles of Internal Medicine. Ed 18. New York : McGraw-Hill; 2012.

9. Carrero JJ, Witasp A, Stenvinkel P, et al. Visfatin is increased in chronic kidney disease patients with poor appetite and correlates negatively with fasting serum amino acids and triglyceride levels. Nephrol Dial Transplant. 2010 Mar. 25(3):901-6.

10. Buckalew VM, Berg RL, Wang S-R et al. Prevalence of hypertension in 1,795 subjects with chronic renal disease: the modification of diet in renal disease study baseline cohort. Am J Kidney Dis 1996; 28: 811–821

11. Coresh J, Wei GL, McQuillan G et al. Prevalence of high blood pressure and elevated serum creatinine level in the United States: findings from the third national health and nutrition examina- tion survey (1988–1994). Arch Intern Med 2001; 161: 1207–1216

12. Maki DD, Ma JZ, Louis TA et al. Long-term effects of antihypertensive agents on proteinuria and renal function. Arch Intern Med 1995; 155: 1073–1080

13. Casas JP, Chua W, Loukogeorgakis S et al. Effect of inhibitors of the renin-angiotensin system and other antihypertensive drugs on renal outcomes: systematic review and meta-analysis. Lancet 2005; 366: 2026–2033

14. Jafar TH, Stark PC, Schmid CH et al. Progression of chronic kidney disease: the role of blood pressure control, proteinuria, and angiotensin-converting enzyme inhibition: a patient-level meta-analysis. Ann Intern Med 2003; 139: 244–252

15. He J, Whelton PK. Elevated systolic blood pressure and risk of cardiovascular and renal disease. Overview of evidence from observational epidemiologic studies and randomized controlled trials. Am Heart J 1999; 138: S211–S219

16. Peterson JC, Adler S, Burkart JM et al. Blood pressure control, proteinuria, and the progression of renal disease. the modifica- tion of diet in renal disease study. Ann Intern Med 1995; 123: 754–762

38

17. Zeeuw DD, Remuzzi G, Parving H-H et al. Proteinuria, a target for renoprotection in patients with type 2 diabetic nephropathy: lessons from RENAAL. Kidney Int 2004; 65: 2309–2320

18. Ruggenenti P, Perna A, Remuzzi G. Retarding progression of chronic renal disease: the neglected issue of residual proteinuria. Kidney Int 2003; 63: 2254–2261

19. Lea J, Greene T, Hebert L et al. The relationship between magnitude of proteinuria reduction and risk of end-stage renal disease. results of the african american study of kidney disease and hypertension. Arch Intern Med 2005; 165: 947–953

20. Atkins RC, Polkinghorne KR, Briganti EM et al. Prevalence of albuminuria in Australia: The AusDiab Kidney Study. Kidney Int 2004; 66: S22

21. Donadio JV, Bergstralh EJ, Grande JP et al. Proteinuria patterns and their association with subsequent end-stage renal disease in IgA nephropathy. Nephrol Dial Transplant 2002; 17: 1197–1203

22. Jafar T, Stark P, Schmid C et al. Proteinuria as a modifiable risk factor for the progression of non-diabetic renal disease. Kidney Int 2001; 60: 1131–1140

23. The Diabetes Control and Complications Trial Research Group. The effect of intensive treatment of diabetes on the development and progression of long-term complications in insulin-dependent diabetes mellitus. New Engl J Med 1993; 329: 977–986

24. Strippoli GL, Craig M, Craig J. Antihypertensive agents for preventing diabetic kidney disease. Cochrane Database Syst Rev 2005; 4: CD004136

25. Jafar TH, Stark PC, Schmid CH et al. The effect of angiotensin- converting-enzyme inhibitors on progression of advanced polycystic kidney disease. Kidney Int 2005; 67: 265–271

26. The ACE Inhibitors in Diabetic Nephropathy Trialist Group. Should all patients with type 1 diabetes mellitus and micro- albuminuria receive angiotensin-converting enzyme inhibitors? A meta-analysis of individual patient data. Ann Intern Med 2001; 134: 370–379

27. Strippoli GFM, Craig M, Deeks JJ et al. Effects of angiotensin converting enzyme inhibitors and angiotensin II receptor antagonists on mortality and renal outcomes in diabetic nephropathy: systematic review. Br Med J 2004; 329: 828–839

28. Bakris G, Weir M, Secic M et al. Differential effects of calcium antagonist subclasses on markers of nephropathy progression. Kidney Int 2004; 65: 1991–2002

29. Marre M, Puig J, Kokot F et al. Equivalence of indapamide SR and enalapril on microalbuminuria reduction in hypertensive patients with type 2 diabetes: the NESTOR Study. J Hypertens 2004; 22: 1613–1622

30. Molyneaux L, Willey K, Yue D. Indapamide is as effective as captopril in the control of microalbuminuria in diabetes. J Cardiovasc Pharmacol 1996; 27: 424–427

31. Stengel B, Tarver-Carr M, Powe N et al. Lifestyle factors, obesity and the risk of chronic kidney disease. Epidemiology 2003; 14: 479–487

32. Chase HP, Garg SK, Marshall G et al. Cigarette smoking increases the risk of albuminuria among subjects with type I diabetes. JAMA 1991; 265: 614–617

33. Halimi J, Giraudeau B, Vol S et al. Effects of current smoking and smoking

39

discontinuation on renal function and proteinuria in the general population. Kidney Int 2000; 58: 1285–1292

34. Regalado M, Yang S, Wesson D. Cigarette smoking is associated with augmented progression of renal insufficiency in severe essential hypertension. Am J Kidney Dis 2000; 35: 767–769

35. Orth SR, Stockmann A, Conradt C et al. Smoking as a risk factor for end-stage renal failure in men with primary renal disease. Kidney Int 1998; 54: 926–931

36. Fisher J. Mechanism of the anemia of chronic renal failure. Nephron 1980; 25: 106–111 37. Astor BC, Muntner P, Levin A et al. Association of Kidney Function With Anemia: The

Third National Health and Nutrition Examination Survey (1988–1994). Arch Intern Med 2002; 162: 1401–1408

38. Foley RN, Parfrey PS, Morgan J et al. Effect of hemoglobin levels in hemodialysis patients with asymptomatic cardiomyo- pathy. Kidney Int 2000; 58: 1325–1335

39. Xue JL, St Peter WL, Ebben JP et al. Anemia treatment in the pre-ESRD period and associated mortality in elderly patients. Am J Kidney Dis 2002; 40: 1153–1161

40. Kraut J, Kurtz I. Metabolic Acidosis of CKD: diagnosis, clinical characteristics, and treatment. Am J Kidney Dis 2005; 45: 978–993

41. Kopple JD, Kalantar-Zadeh K, Mehrotra R. Risks of chronic metabolic acidosis in patients with chronic kidney disease. Kidney Int 2005; 67: S21–S27

42. Bailey JL. Metabolic acidosis: an unrecognized cause of morbidity in the patient with chronic kidney disease. Kidney Int 2005; 68: S15–S23

43. Goodman W, London G, Amann K et al. Vascular calcification in chronic kidney disease. Am J Kidney Dis 2004; 43: 572–579

44. Levey AS; Stevens LA; Schmid CH et al. "A new equation to estimate glomerular filtration rate". Annals of Internal Medicine. 2009; 150 (9): 604–12

45. Locatelli F, Aljama P, Barany P et al. Revised European Best Practice Guidelines for the Management of Anaemia in Patients with Chronic Renal Failure. Nephrol Dial Transplant 2004; 19: ii1–ii47

46. Wheeler DC. Clinical evaluation and management of chronic kidney disease. Dalam: Feehaly J, Floege J, Johnson RJ, penyunting. Comprehensive clinical nephrology. St. Loius : ElsevierSaunders; 2010.

40