Skripsi.docx
Transcript of Skripsi.docx
![Page 1: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/1.jpg)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dry socket merupakan salah satu komplikasi yang sering ditemukan pasca
pencabutan gigi permanen. Tingkat insidensi dry socket dilaporkan mencapai 0,5%
hingga 5% pada pencabutan gigi dan dapat bervariasi dari 1% hingga 37,5% pada
pencabutan gigi molar ketiga mandibula. Pencabutan gigi secara bedah juga
dilaporkan dapat meningkatkan insidensi dry socket 10 kali lebih tinggi.1
Patogenesis yang tepat dari dry socket belum diketahui secara pasti.1 Namun,
banyak faktor yang memiliki kontribusi pada terjadinya dry socket, seperti tingkat
pengalaman operator, infeksi perioperatif, jenis kelamin, daerah pencabutan gigi,
penggunaan oral kontrasepsi, merokok serta penggunaan anastesi lokal dengan
vasokonstriktor.2
Berdasarkan penelitian pada 1087 pasien yang menjalani operasi
pengangkatan gigi molar ketiga mandibula pada Departemen Oral dan Maksilofasial
King Hussein Medical Centre, Royal Medical Services antara bulan Januari 1999
hingga Desember 2008, diperoleh data dan dianalisis mengenai insidensi dry socket.
Lima puluh empat pasien dari 208 sampel perokok kembali dengan adanya dry
socket. Sampel perokok sebesar 19,1% dari total sampel keseluruhan. Perbedaan
1
![Page 2: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/2.jpg)
insidensi dry socket antara sampel perokok dan non perokok secara statistik
menunjukkan arti yang signifikan.3
Berdasarkan penelitian pada 838 kasus pencabutan gigi dari 469 pasien di
Jordanian Dental Teaching Centre, diperoleh prevalensi dry socket secara
keseluruhan yaitu 4,8%. Prevalensi dry socket sebesar 9,1% pada perokok dan
perokok berat (23 insidensi dry socket dari pencabutan 263 gigi) dibandingkan
dengan 3% (17 insidensi dry socket dari pencabutan 575 gigi) pada non perokok.
Secara statistik menunjukkan arti yang signifikan.4
Merokok merupakan hal yang biasa ditemukan, baik pada orang dewasa
maupun remaja, khususnya laki-laki. Membicarakan rokok tidak terlepas
dari unsur utama rokok itu sendiri yaitu tembakau. Penggunaan
tembakau terus berlanjut sebagai bahan yang menyebabkan
kerusakan pada kesehatan manusia. Menurut WHO, ada 1,3 Milyar
perokok di dunia dan sepertiganya berasal dari populasi Global
yang berusia 15 tahun ke atas serta 84% diantaranya berasal dari
dunia ketiga.5
Berdasarkan pengamatan peneliti di Bagian Bedah Mulut RSGM Kandea,
terdapat banyak pengunjung yang datang untuk melakukan pencabutan gigi
permanennya. Bahkan, terkadang ada pasien yang mengabaikan instruksi dokter gigi
pasca pencabutan gigi, seperti tidak diperkenankan untuk merokok.
Penelitian ini dilakukan di Bagian Bedah Mulut RSGM Kandea, karena
penelitian ini merupakan penelitian klinis. Melalui penelitian ini diharapkan agar
dapat diketahui hubungan antara kebiasaan merokok dengan insidensi dry socket.
2
![Page 3: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/3.jpg)
Peneliti mengharapkan agar kelak hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan
pertimbangan bagi dokter gigi dalam perawatan pasca pencabutan gigi, jika terdapat
arti yang signifikan terhadap terjadinya infeksi pasca pencabutan gigi.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka
dirumuskan masalah sebagai berikut :
Apakah ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan insidensi terjadinya
dry socket ?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan
merokok dengan insidensi terjadinya dry socket.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yaitu :
1. Dapat memberikan informasi ilmiah mengenai hubungan antara kebiasaan
merokok dengan insidensi terjadinya dry socket dan untuk mengetahui
pencegahan yang dapat dilakukan untuk kasus tersebut.
2. Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi dokter gigi dalam
perawatan pasca pencabutan gigi sebagai bentuk upaya yang efektif untuk
mencegah infeksi pasca pencabutan gigi.
3
![Page 4: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/4.jpg)
1.5 HIPOTESA PENELITIAN
Terdapat hubungan antara kebiasaan merokok dengan insidensi terjadinya
dry socket.
4
![Page 5: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/5.jpg)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ALVEOLAR OSTEITIS (DRY SOCKET)
2.1.1 Definisi Dry socket
Dry socket dikenal sebagai osteitis lokal atau vokal dan secara klinis
bermanifestasi berupa inflamasi yang meliputi salah satu atau seluruh bagian
dari lapisan tulang padat pada soket gigi (lamina dura).6
Dry socket digambarkan sebagai komplikasi pada disintegrasi bekuan
darah intra alveolar yang dimulai sejak hari kedua hingga keempat pasca
pencabutan gigi.7
Dry socket adalah gangguan dalam penyembuhan yang terjadi setelah
pembentukan bekuan darah yang matang, tapi sebelum bekuan darah tersebut
digantikan oleh jaringan granulasi.8
Alveolar osteitis adalah sakit pasca operasi pada atau di sekitar soket
gigi yang dapat meningkat tiap waktu antara hari pertama dan hari ketiga
setelah pencabutan yang ditandai dengan hilangnya bekuan darah pada soket
alveolar serta dengan atau tanpa halitosis.1
Terdapat banyak istilah yang sering digunakan untuk komplikasi ini di
antaranya, seperti “alveolar osteitis”, “alveolitis”, “alveolitis sicca
![Page 6: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/6.jpg)
dolorosa”,“localized alveolar osteitis”, “fibrinolytic alveolitis”, “septic
socket”, “necrotic socket”, dan “alveolalgia”.1
2.1.2 Tanda dan gejala klinis
Tanda dan gejala klinis dry socket antara lain :
a) Dry socket muncul pada hari 1-3 setelah pencabutan gigi dengan
durasi biasanya hingga 5-10 hari.1
b) Hilangnya bekuan darah pada soket bekas pencabutan dan
biasanya dipenuhi oleh debris.7
c) Rasa sakit yang hebat dan ‘berdenyut’ dimulai sejak 24-72 jam
setelah pencabutan gigi dan dapat menjalar hingga ke arah telinga
dan tulang temporal.8
d) Pada soket bekas pencabutan, tulang alveolar sekitar diselimuti
oleh lapisan jaringan nekrotik berwarna kuning keabu-abuan.1
e) Inflamasi margin gingiva di sekitar soket bekas pencabutan.1
f) Mukosa sekitar biasanya berubah warna menjadi kemerahan.1
g) Ipsilateral regional lymphadenopathy1
h) Halitosis1
6
![Page 7: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/7.jpg)
Gambar 2.1. Gambaran klinis dry socket pada gigi molar kedua maksila. Sumber : Fragiskos D. Oral Surgery. Berlin : Springer ; 2007. p.199.
2.1.3 Klasifikasi
Hermesch et al dalam jurnal “Clinical Concepts of Dry socket”
mengklasifikasikan komplikasi ini ke dalam tiga tipe, yaitu : 7
a) Superficial alveolitis marginal
Pada marginal alveolitis, mukosa perialveolar menjadi terinflamasi dan
sebagiannya tertutupi oleh jaringan granulomatosa serta terasa sakit
selama mastikasi.
b) Suppurative alveolitis
Pada alveolitis supuratif, bekuan darah terinfeksi dan tertutupi oleh
membran berwarna hijau keabu-abuan serta dapat mengandung fragmen
dental atau tulang yang sequester. Hal ini menyebabkan rasa sakit yang
cukup hebat dan kadang-kadang disertai demam.
c) Dry socket
7
![Page 8: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/8.jpg)
Pada dry socket, dinding tulang alveolar terbuka, hilangnya bekuan darah
secara total atau parsial, berwarna agak gelap dan bau yang busuk. Rasa
sakit yang hebat dan terus-menerus yang tidak dapat reda dengan
pemberian analgesik. Hyperthermia lokal dan lymphadenopathy juga
dapat mumcul pada tipe alveolitis ini.
Selain itu, Oikarinen dalam jurnal “Clinical Concepts of Dry socket”
mengklasifikasikan komplikasi ini menjadi dua, yaitu :7
a) Real alveolitis
Real alveolitis menghasilkan gejala yang khas dari dry socket dan
memerlukan follow up secara profesional.
b) Nonspecific alveolitis
Nonspecific alveolitis terjadi pada hari ketiga hingga keempat pasca
pencabutan gigi. Tipe ini lebih sering ditemukan dan tidak memerlukan
perawatan profesional meskipun terdapat gejala rasa sakit.
2.1.4 Etiologi
Beberapa teori telah menyampaikan mengenai etiologi dry socket. Hal
tersebut mencakup infeksi, trauma dan agen biokimia.10 Etiologi yang tepat
mengenai dry socket belum dapat terdefinisikan. Namun, beberapa faktor lokal
dan sistemik diketahui memiliki kontribusi pada terjadinya dry socket, antara
lain : 1
a) Trauma Bedah dan Kesulitan dalam Bedah
8
![Page 9: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/9.jpg)
Hal ini karena lebih banyak pembebasan second direct tissue activator
pada inflamasi bone marrow yang dapat terjadi jika pencabutan gigi lebih
sulit dan traumatik. Pencabutan gigi secara bedah 10 kali lipat dapat
meningkatkan insidensi dry socket dibandingkan dengan pencabutan gigi
secara non bedah.1
b) Kurangnya Pengalaman Operator
Larsen mengemukakan bahwa operator yang kurang berpengalaman
dapat menyebabkan trauma yang lebih besar selama pencabutan gigi,
khususnya pencabutan gigi molar ketiga mandibula secara bedah. 1
c) Molar Ketiga Mandibula
Dry socket lebih banyak ditemukan pada pencabutan gigi molar ketiga
mandibula. Hal ini berkaitan dengan kepadatan tulang yang meningkat,
vaskularisasi menurun dan berkurangnya kapasitas produksi jaringan
granulasi yang bertanggung jawab khusus pada daerah tersebut. 1
d) Penyakit Sistemik
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa terdapat asosiasi antara
penyakit sistemik dengan dry socket. Pasien dengan immunocompromised
atau diabetes cenderung untuk mengalami dry socket karena dapat
mengubah proses penyembuhan luka. 1
e) Kontrasepsi Oral
Kontrasepsi oral merupakan satu-satunya medikasi yang memiliki
asosiasi dengan insidensi dry socket. Selain itu, ditemukan bahwa
peningkatan insidensi dry socket memiliki korelasi dengan penggunaan
9
![Page 10: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/10.jpg)
kontrasepsi oral. Estrogen dikatakan memiliki peran yang signifikan dalam
proses fibrinolisis. Estrogen dipercaya mengaktifkan sistem fibrinolitik
(meningkatkan faktor II, VII, VIII, X dan plasminogen) secara tidak
langsung dan kemudian menyebabkan peningkatan lisis bekuan darah. 1
f) Jenis Kelamin
Banyak penulis mengklaim bahwa jenis kelamin perempuan tanpa
memperhatikan penggunaan kontrasepsi oral merupakan predisposisi
terjadinya dry socket. Namun, dikemukakan juga bahwa tidak ada
perbedaan dalam insidensi dry socket yang berasosiasi dengan jenis
kelamin. 1
g) Merokok
Beberapa studi mengemukakan terdapat hubungan antara merokok
dengan dry socket. Mekanisme sistemik atau pengaruh lokal secara
langsung (panas atau isapan rokok) pada daerah pencabutan gigi yang
menyebabkan peningkatan insidensi dry socket juga belum diketahui
secara pasti. Dipertimbangkan bahwa fenomena ini berkaitan dengan
paparan substansi asing yang dapat bertindak sebagai kontaminan pada
daerah pencabutan gigi. 1
h) Physical Dislodgement of the Clot (Tercabutnya Bekuan Darah)
Dari berbagai teori, tidak ada fakta yang ditemukan pada literatur
mengenai hal ini, yang disebabkan oleh manipulasi atau tekanan negatif
jika mengisap melalui sedotan dapat memiliki kontribusi terjadinya dry
socket. 1
10
![Page 11: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/11.jpg)
i) Infeksi bakteri
Banyak studi yang mendukung bahwa infeksi bakteri merupakan
faktor utama terjadinya dry socket. Penelitian mengenai asosiasi antara
Actinomyces viscosus dan Streptococcus mutans pada dry socket
menunjukkan penyembuhan luka yang lambat dari daerah bekas
pencabutan gigi setelah inokulasi mikroorganisme ini pada model hewan. 1
Nitzan et al dalam jurnal “Review Article Alveolar Osteitis : a
Comprehensive Review of Concepts and Controversies” juga melakukan
observasi plasmin, berupa aktivitas fibrinolitik pada kultur Treponema
denticola, yaitu mikroorganisme yang terdapat pada penyakit periodontal. 1
j) Irigasi yang Berlebihan atau Kuretase Alveolus
Irigasi yang berlebihan secara berulang-ulang pada alveolus dapat
mengganggu pembentukan bekuan darah, sedangkan kuretase secara keras
dapat melukai tulang alveolar. 1
k) Umur
Semakin tua umur pasien, resiko untuk mengalami dry socket juga
semakin tinggi. Dikemukakan juga bahwa pengangkatan gigi molar ketiga
mandibula sebaiknya dilakukan sebelum umur 24 tahun.1
l) Anestesi Lokal dengan Vasokonstriktor
Penggunaan anestesi lokal dengan vasokonstriktor dapat
meningkatkan insidensi dry socket. Dikemukakan bahwa frekuensi dry
socket meningkat dengan anestesi infiltrasi. Karena, ischemia temporer
dapat menyebabkan suplai darah berkurang. 1
11
![Page 12: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/12.jpg)
m) Saliva
Beberapa penulis berpendapat bahwa saliva memiliki kontribusi
terhadap terjadinya dry socket. Namun, belum ditemukan bukti secara
ilmiah yang mendukung hal tersebut. 1
n) Terdapat Sisa Fragmen Tulang/Akar pada Luka
Fragmen sisa tulang atau akar dan debris dapat menyebabkan
terganggunya penyembuhan dan memiliki kontribusi dalam insidensi dry
socket. 1
o) Desain Flap/Penggunaan Jahitan pada Luka
Bukti mengenai hubungan antara hal ini dengan insidensi dry socket
masih belum dapat dijelaskan secara ilmiah. 1
2.1.5 Patogenesis
Patogenesis yang tepat mengenai dry socket belum sepenuhnya
diketahui. Artikel Birn di antara tahun 1963 dan 1973 mengemukakan
mengenai patofisologi dry socket yang lebih mudah dimengerti.1
Studi klinis dan eksperimental oleh Birn dalam jurnal “Review
Article Alveolar Osteitis : a Comprehensive Review of Concepts and
Controversies” telah menjelaskan mengenai peningkatan aktivitas lokal
fibrinolitik sebagai faktor prinsipil etiologi terjadinya dry socket. Birn
mengamati terjadinya peningkatan aktivitas fibrinolitik pada alveolus dengan
dry socket dibandingkan dengan aveolus normal. Birn memperkuat
pernyataannya bahwa lisis total atau partial dan hancurnya bekuan darah
12
![Page 13: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/13.jpg)
disebabkan oleh pelepasan mediator selama inflamasi oleh aktivasi
plasminogen direct atau indirect ke dalam darah.7
Ketika mediator dilepaskan oleh sel-sel pada tulang alveolar pasca
trauma, plasminogen akan berubah menjadi plasmin yang menyebabkan
pecahnya bekuan darah oleh disintegrasi fibrin. Perubahan ini terjadi oleh
adanya proaktivator selular atau plasmatik dan aktivator lainnya. Aktivator-
aktivator tersebut diklasifikasikan menjadi direct (fisiologik) dan indirect
(nonfisiologik) aktivator dan juga telah dibagi ke dalam subklasifikasi
berdasarkan sumbernya, yaitu aktivator intrinsik dan ekstrinsik. 7
Aktivator intrinsik berasal dari komponen plasma, seperti aktivator
factor XII-dependent atau factor-Hageman-dependent dan urokinase. Direct
aktivator intrinsik berasal dari luar plasma dan termasuk aktivator jaringan dan
plasminogen endothelial. Aktivator jaringan plasminogen paling banyak
ditemukan pada mamalia, termasuk pada tulang alveolar. Indirect aktivator
termasuk streptokinase dan stafilokinase. Substansi-substansinya dihasilkan
dari interaksi antara bakteri dengan plasminogen dan bentuk aktivator
kompleks tersebut yang mengubah plasminogen menjadi plasmin. 7
Rasa sakit yang khas pada dry socket berhubungan dengan
pembentukan senyawa kinin di dalam alveolus. Kinin mengaktifkan terminal
nervus primer afferen yang peka terhadap mediator inflamasi dan susbtansi
allogenik lainnya yang pada konsentrasi 1ng/ml dapat menyebabkan rasa sakit
yang hebat. Plasmin juga menyebabkan perubahan kallikrein menjadi kinin di
dalam sumsum tulang alveolar. Sehingga, adanya plasmin dapat menjelaskan
13
![Page 14: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/14.jpg)
kemungkinan terjadinya dry socket dari berbagai aspek (seperti neuralgia dan
disintegrasi bekuan darah). 7
Sedangkan, studi oleh Nitzan dalam jurnal “Modern Concepts in
Understanding and Management of the Dry socket Syndrome : Comprehensive
Review of the Literature” mengemukakan bahwa plasmin tidak diaktifkan oleh
aktivator jaringan, melainkan merupakan produk independen. Menurutnya,
penggunaan antibiotik lokal dapat mengurangi dry socket, sehingga tidak
konsisten dengan konsep mengenai aktivator jaringan. Hal tersebut telah
diketahui bahwa produk bakterial digunakan untuk mengobati penyakit
thromboembolik dengan meningkatkan fibrinolisis. Oleh sebab itu, implikasi
bahwa bakteri sebagai penghasil plasmin telah dibuat. 10
Treponema denticola diketahui berkembang biak dan menghancurkan
bekuan darah tanpa menghasilkan gejala klinis yang khas pada infeksi, seperti
kemerahan, bengkak atau terbentuknya pus dan sebelumnya telah diisolasi dari
dry socket. Treponema denticola adalah bakteri anaerob yang berimplikasi
pada penyakit periodontal dan dapat menghasilkan bau busuk yang khas dari
dry socket. 10
Treponema denticola menunjukkan aktivitas fibrinolitik seperti
plasmin, sedangkan bakteri rongga mulut lainnya pada umumnya hanya
memiliki aktivitas yang minim. T. denticola merupakan koloni yang
belakangan ditemukan pada rongga mulut dan berimplikasi lebih lanjut karena
dry socket jarang ditemukan pada anak-anak.10
14
![Page 15: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/15.jpg)
2.1.6 Perawatan
Tujuan perawatan dry socket adalah untuk mengurangi rasa sakit yang
dirasakan oleh pasien selama proses penyembuhan yang tertunda. Hal ini
biasanya diselesaikan dengan irigasi pada soket, debridemen secara mekanik
dan penempatan dressing yang mengandung eugenol. Dressing perlu untuk
diganti setiap hari selama beberapa hari dan kemudian berkurang frekuensinya.
Rasa sakit biasanya hilang dalam 3 sampai 5 hari, meskipun dapat mencapai 10
sampai 14 hari pada beberapa pasien.8
Beberapa studi menunjukkan teknik Matthew's pada tahun 1982 dan
Mitchell's tahun 1986 sangat efektif. Mereka menggunakan granula
dextranomer (Debrisan) dan pasta kolagen (Formula K) tanpa mengamati
terjadinya reaksi tubuh yang asing seperti pada penggunaan zinc
oksida/campuran eugenol. Dengan perawatan ini, rasa sakit berangsur-angsur
reda dan pasien diinstruksikan untuk menghindari mengunyah pada sisi yang
tersebut. Selain itu, menjaga oral hygiene tetap ditekankan.9
2.2 ROKOK
2.2.1 Definisi Rokok
Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus yang meliputi kretek
dan rokok putih yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana
rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar
dengan atau tanpa bahan tambahan.11
15
![Page 16: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/16.jpg)
2.2.2 Jenis Rokok
Berdasarkan komposisi bahan dasarnya, rokok terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu : 11
a) Rokok Kretek
Rokok kretek adalah rokok khas Indonesia sebagai hasil olahan
tembakau rajangan dan/atau krosok dicampur cengkeh rajangan dan sacs
serta bahan tambahan lainnya yang diizinkan dan dibungkus dengan
menggunakan berbagai bahan pembungkus.11
Kretek dikenal juga dengan nama cigarettes cengkeh, karena
mengandung 40% cengkeh dan 60% tembakau. Sediaan ini sangat
terkenal di Indonesia. Bahaya yang ditimbulkan hampir sama, namun
demikian ada beberapa yang khas yaitu : 5
Cengkeh menimbulkan aroma yang enak, sehingga menutup faktor
bahaya tembakau.
Cengkeh mengeluarkan zat eugenol yang mempengaruhi efek
sensori.
Suatu studi di Indonesia memperlihatkan bahwa perokok kretek
mempunyai risiko 13 – 20 kali lebih besar untuk terjadinya
kerusakan paru dibandingkan dengan bukan perokok.
b) Rokok Putih
Rokok putih adalah rokok dengan atau tanpa filter yang menggunakan
tembakau Virginia iris dan/atau tembakau lainnya tanpa menggunakan
16
![Page 17: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/17.jpg)
cengkeh, digulung dengan kertas sigaret dan boleh menggunakan bahan
tambahan yang diizinkan.11
2.2.3 Kandungan Rokok
Bahan dasar rokok adalah tembakau. Tembakau merupakan tanaman
yang dapat menimbulkan adiksi karena mengandung nikotin dan juga zat-zat
karsinogen serta zat-zat beracun lainnya. Setelah diolah menjadi suatu produk
apakah rokok atau produk lain , zat-zat kimia yang ditambahkan berpotensi
untuk menimbulkan kerusakan jaringan tubuh serta kanker.5
Tembakau mengandung kurang lebih 4000 elemen – elemen dan
setidaknya 200 diantaranya berbahaya bagi kesehatan. Racun utama pada
tembakau adalah tar, nikotin, dan CO. Beberapa kandungan rokok antara lain
yaitu: 5
a) Karbon Monoksida (CO)
Unsur ini dihasilkan oleh pembakaran tidak sempurna dari unsur zat
arang/karbon. Gas CO yang dihasilkan sebatang tembakau dapat
mencapai 3% - 6%. Gas CO mempunyai kemampuan mengikat
hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah lebih kuat
dibandingkan oksigen. Sehingga setiap ada asap tembakau, di samping
kadar oksigen udara yang sudah berkurang, sel darah merah akan
semakin kekurangan oksigen karena yang diangkut adalah CO dan bukan
oksigen. 5
17
![Page 18: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/18.jpg)
b) Nikotin
Nikotin yang terkandung dalam rokok adalah sebesar 0,5- 3 nanogram
dan semuanya diserap sehingga di dalam cairan darah terdapat sekitar 40-
50 nanogram nikotin setiap 1 ml-nya. Nikotin bukan merupakan
komponen karsinogenik. Hasil pembusukan panas dari nikotin seperti
dibensakridin, dibensokarbasol, dan nitrosamine yang bersifat
karsinogenik. 5
c) Tar
Tar adalah sejenis cairan kental berwarna coklat tua atau hitam yang
merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel
pada paru–paru. Kadar tar dalam tembakau antara 0,5-35 mg/ batang. Tar
merupakan suatu zat karsinogen yang dapat menimbulkan kanker pada
jalan nafas dan paru-paru. 5
d) Kadmium
Kadmium adalah zat yang dapat meracuni jaringan tubuh terutama
ginjal.5
e) Amoniak
Amoniak merupakan gas yang tidak berwarna terdiri dari nitrogen dan
hidrogen. 5
f) Hidrogen Sianida (HCN)
HCN merupakan sejenis gas yang tidak berwarna, tidak berbau, dan
tidak memiliki rasa. Zat ini merupakan zat yang paling ringan, mudah
18
![Page 19: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/19.jpg)
terbakar dan sangat efisien untuk menghalangi pernafasan dan merusak
saluran pernafasan. 5
g) Nitrogen Oksida
Nitrogen oksida merupakan sejenis gas yang tidak berwarna, dan bila
terhisap dapat menyebabkan hilangnya akal dan rasa sakit. 5
h) Formaldehida
Formaldehida adalah sejenis gas dengan bau tajam. Gas ini tergolong
sebagai pengawet dan pembasmi hama. Gas ini juga sangat beracun
terhadap semua organisme. 5
i) Fenol
Fenol adalah campuran dari kristal yang dihasilkan dari distilasi
beberapa zat organik seperti kayu dan arang, serta diperoleh dari tar
arang. Zat ini beracun dan membahayakan karena fenol terikat ke protein
sehingga menghalangi aktivitas enzim. 5
j) Asetol
Asetol adalah hasil pemanasan aldehid dan mudah menguap dengan
alkohol. 5
k) Asam Sulfida (H2S)
Asam sulfida adalah sejenis gas yang beracun yang mudah terbakar
dengan bau yang keras. Zat ini menghalangi oksidasi enzim. 5
l) Piridin
19
![Page 20: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/20.jpg)
Piridin adalah sejenis cairan tidak berwarna dengan bau tajam. Zat ini
dapat digunakan untuk mengubah sifat alkohol sebagai pelarut dan
pembunuh hama. 5
m) Metil Klorida
Metil Klorida adalah campuran dari zat – zat bervalensi satu dengan
hidrokarbon sebagai unsur utama. zat ini adalah senyawa organik yang
beracun. 5
n) Metanol
Metanol adalah sejenis cairan ringan yang mudah menguap dan
mudah terbakar. Meminum atau menghisap metanol mengakibatkan
kebutaan bahkan kematian. 5
o) Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH)
Senyawa hidrokarbon aromatik yang memiliki cincin dideskripsikan
sebagai Fused Ring System atau PAH. Beberapa PAH yang terdapat
dalam asap tembakau antara lain Benzo (a) Pyrene, Dibenz (a,h)
anthracene, dan Benz(a)anthracene. Senyawa ini merupakan senyawa
reaktif yang cenderung membentuk epoksida yang metabolitnya bersifat
genotoksik. Senyawa tersebut merupakan penyebab tumor. 5
p) N- nitrosamina
N - nitrosamina dibentuk oleh nirtrasasi amina. Asap tembakau
mengandung 2 jenis utama N- nitrosamina, yaitu Volatile N- Nitrosamina
(VNA) dan Tobacco N-Nitrosamina. Hampir semua Volatile N-
Nitrosamina ditahan oleh sistem pernafasan pada inhalasi asap tembakau.
20
![Page 21: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/21.jpg)
Jenis tembakau VNA diklasifikasikan sebagai karsinogen yang
potensial.5
2.2.4 Dampak rokok terhadap penyembuhan luka
Penyembuhan luka merupakan proses dinamis yang terdiri dari 4 fase
yang berkelanjutan, overlap dan terprogram secara tepat. Peristiwa dalam tiap
fase harus terjadi secara tepat dan dengan cara teratur. Gangguan,
penyimpangan atau perpanjangan dalam proses dapat menyebabkan
terlambatnya penyembuhan luka atau luka kronis yang tidak dapat
disembuhkan.12
Pada manusia dewasa, penyembuhan luka optimal meliputi : (1)
Kecepatan hemostasis ; (2) Ketepatan inflamasi ; (3) Diferensiasi, proliferasi
dan migrasi sel mesenkimal ke daerah yang luka ; (4) Angiogenesis yang
sesuai ; (5) Re-epitelisasi secara cepat (pertumbuhan kembali jaringan epitel di
atas permukaan luka) ; dan (6) Sintesis dan cross-linking kolagen untuk
menyediakan kekuatan bagi jaringan penyembuhan.12
Proses penyembuhan luka terdiri dari 4 fase yang terintegrasi :
hemostasis, inflamasi, proliferasi dan remodelling jaringan atau resolusi.
Keempat fase ini dan fungsi biofisiologisnya dapat terjadi dalam suatu
rangkaian, pada waktu yang spesifik dan berlanjut dalam durasi spesifik pada
intensitas yang optimal. Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi
penyembuhan luka dengan mengganggu satu atau lebih fase dalam proses ini.
Hal ini menyebabkan rusaknya perbaikan jaringan.12
21
![Page 22: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/22.jpg)
Tabel 2.1 Proses normal penyembuhan lukaFase Proses selular dan biofisologis
Hemostasis Konstriksi vaskular Agregasi platelet, degranulasi dan pembentukan
fibrin (trombin)
Inflamasi Infiltrasi neutrofil Infiltrasi monosit dan diferensiasi menjadi
makrofag Infiltrasi limfosit
Proliferasi Re-epitelisasi Angiogenesis Sintesis kolagen Pembentukan matriks ekstraselular
Remodelling Remodelling kolagen Maturasi vaskular dan regresi
Sumber :Guo S, DiPietro LA. Factors Affecting Wound Healing. J Dent Res 2010 ; 89 (3) : p. 220
Efek negatif merokok terhadap penyembuhan luka telah diketahui
sejak lama. Pasca operasi, pasien yang merokok menunjukkan keterlambatan
dalam penyembuhan luka dan peningkatan berbagai komplikasi, seperti infeksi,
ruptur pada luka, kebocoran anastomotik, nekrose flap, epidermolisis dan
menurunnya daya regang pada luka.12
Sekitar lebih dari 4000 substansi dalam rokok tembakau yang telah
teridentifikasi dan beberapa menunjukkan dampak yang negatif pada
penyembuhan. Banyak studi memfokuskan pada efek nikotin, karbon
monoksida dan hidrogen sianida dalam rokok. Nikotin kemungkinan dapat
mengganggu suplai oksigen dengan menyebabkan ischemia jaringan karena
nikotin dapat menyebabkan berkurangnya aliran darah pada jaringan melalui
efek vasokonstriksi. Nikotin menstimulasi akivitas saraf simpatik dan
22
![Page 23: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/23.jpg)
menghasilkan pelepasan epinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi periferal
dan menurunnya perfusi darah pada jaringan. Nikotin juga dapat meningkatkan
viskositas darah yang disebabkan oleh aktivitas fibrinolitik yang menurun dan
augmentasi daya lekat platelet. 12
Selain nikotin, karbon monoksida dalam rokok dapat menyebabkan
hipoksia jaringan. Karbon monoksida secara agresif berikatan dengan
hemoglobin dengan afinitas 200 kali lebih besar daripada oksigen. Hal ini
menghasilkan menurunnya jumlah hemoglobin oksigenasi dalam aliran darah.12
Hidrogen sianida juga telah diketahui merupakan komponen dalam
rokok yang dapat merusak metabolisme oksigen seluler dan menyebabkan
konsumsi oksigen yang membahayakan bagi jaringan. 12
Merokok menunjukkan efek yang negatif terhadap penyembuhan luka
dalam rongga mulut setelah scaling periodontal, bedah periodontal atau luka
bekas pencabutan gigi. Telah dilaporkan bahwa meningkatnya frekuensi
merokok atau merokok pada pada hari dilakukannya bedah, secara signifikan
dapat meningkatkan insidensi alveolar osteitis yang disebut juga dry socket.
Mekanisme penghambatan penyembuhan mungkin berhubungan dengan
peningkatan level plasma pada adrenalin dan noradrenalin setelah merokok,
dan menyebabkan vasokonstriksi periferal dan merusak fungsi neutrofil
polimorfonuklear. 13
23
![Page 24: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/24.jpg)
BAB III
KERANGKA KONSEP
24
Remaja dan Dewasa
Kebiasaan merokok
Alveolar Osteitis (dry socket)
Tanda dan gejala klinis
Waktu
Tidak melakukan instruksi pasca pencabutan gigi
Penyebaran infeksi
Faktor kontribusi
Pencabutan gigi permanen
Infeksi pasca pencabutan gigi
Berdampak negatif
Daerah pencabutan gigi
![Page 25: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/25.jpg)
Keterangan :
25
Variabel akibat
Variabel bebas
Variabel moderator
![Page 26: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/26.jpg)
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 RANCANGAN PENELITIAN
Desain atau rancangan penelitiannya adalah observasi studi longitudinal
prospektif yaitu dengan melakukan observasi mengenai insidensi alveolar osteitis
(dry socket) pasca pencabutan gigi pada pasien Bagian Bedah Mulut di RSGM
Kandea pada saat tertentu (selama periode penelitian). Hasilnya merupakan suatu
analisis mengenai bagaimana fenomena hubungan antara kebiasaan merokok pada
pasien dengan insidensi dry socket yang ditemukan.
4.2 POPULASI DAN SAMPEL
4.2.1 Populasi
Populasi yang digunakan adalah pasien pada Bagian Bedah Mulut di
RSGM Kandea.
4.2.2 Sampel
Sampel yang digunakan adalah pasien pada Bagian Bedah Mulut di
RSGM Kandea yang datang untuk mencabut gigi permanen pada saat
penelitian dan sesuai kriteria inklusi. Kriteria inklusi sebagai berikut :
a) Pasien yang bersedia untuk dilakukan pemeriksaan terhadap
kondisi soket bekas pencabutan gigi dan mengizinkan untuk
dilakukan penelitian terhadapnya.
![Page 27: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/27.jpg)
b) Pasien laki-laki yang berusia di atas 17 tahun.
c) Pasien yang bersedia untuk dilakukan follow up.
d) Pasien yang merokok.
4.3 DEFINISI OPERASIONAL
4.3.1 Kebiasaan merokok adalah kegiatan menghisap rokok yang dilakukan
berulang kali dan teratur baik dengan menggunakan rokok kretek
maupun rokok non kretek. Kebiasaan merokok dinilai dengan
menggunakan Indeks Brinkman (BI) untuk mengetahui derajat berat
merokok.
4.3.2 Jumlah batang rokok per hari adalah jumlah rokok tiap batang yang
dikonsumsi oleh pasien rata-rata setiap harinya.
4.3.3 Durasi merokok adalah lamanya waktu pasien mengonsumsi rokok
yang dimulai sejak awal hingga saat pengisian kuesioner.
4.3.4 Jenis rokok adalah jenis rokok yang dikonsumsi oleh pasien yang
dibedakan menurut komposisi bahannya yaitu dengan cengkeh
(kretek) dan tanpa cengkeh (non kretek).
4.3.5 Alveolar osteitis (dry socket) adalah sakit pasca operasi pada atau di
sekitar soket gigi yang dapat meningkat tiap waktu antara hari pertama
dan hari ketiga setelah pencabutan yang ditandai dengan adanya
jaringan nekrotik berwarna kuning keabuan serta limfadenopati
regional.
27
![Page 28: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/28.jpg)
4.3.6 Intensitas rasa sakit adalah tingkatan rasa sakit yang dirasakan oleh
pasien pada soket bekas pencabutan gigi ketika diaplikasikan sonde
lurus ke dalam soket.
4.3.7 Jaringan nekrotik adalah lapisan berwarna kuning keabu-abuan yang
terdapat dalam soket bekas pencabutan gigi.
4.3.8 Limfadenopati adalah pembengkakan pada kelenjar limfe regional
pada regio gigi yang telah dilakukan pencabutan.
4.4 ALAT DAN BAHAN
4.4.1 Alat
4.4.1.1 Nier becken digunakan sebagai tempat alat dan kapas.
4.4.1.2 Kaca mulut digunakan untuk melihat keadaan soket bekas
pencabutan gigi dan menarik pipi.
4.4.1.3 Pinset digunakan untuk menjepit kapas.
4.4.1.4 Sonde lurus digunakan untuk pemeriksaan klinis soket
bekas pencabutan gigi.
4.4.1.5 Kuisioner dan Indeks Brinkman (BI).
4.4.2 Bahan
4.4.2.1 Alkohol 70% digunakan untuk disinfeksi alat-alat yang
dipakai.
4.4.2.2 Betadine digunakan untuk disinfeksi daerah yang akan
diperiksa.
4.4.2.3 Kapas
28
![Page 29: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/29.jpg)
4.4.2.4 Alat tulis digunakan untuk mencatat data.
4.4.2.5 Gelas dan air digunakan pasien untuk berkumur.
4.5 KRITERIA PENILAIAN
4.5.1 Kebiasaan Merokok
Jumlah batang rokok per hari digolongkan menjadi(4) :
perokok ringan : pasien yang merokok ≤ 20 batang per hari
perokok berat : pasien yang merokok > 20 batang per hari
Durasi merokok digolongkan menjadi :
perokok ringan : pasien yang merokok ≤ 20 tahun
perokok berat : pasien yang merokok > 20 tahun
Perokok dan non perokok ditentukan berdasarkan kuisioner yang
dibagikan kepada sampel. Berdasarkan Indeks Brinkman, perokok
diklasifikasikan menjadi dua subkelompok yaitu perokok berat (Indeks
Brinkman ≧ 600) dan perokok ringan (Indeks Brinkman <600).(14)
Cara menghitung Indeks Brinkman yaitu :
Sehingga, sampel pada penelitian ini dikelompokkan menjadi :
a) Perokok ringan yaitu pasien dengan nilai Indeks Brinkman <600
b) Perokok berat yaitu pasien dengan nilai Indeks Brinkman >600
29
Indeks Brinkman (BI)Jumlah batang rokok per hari x durasi lama merokok (tahun)
![Page 30: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/30.jpg)
Berdasarkan jenis rokok yang digunakan terbagi menjadi dua kelompok,
yaitu(11) :
c) Rokok jenis kretek adalah rokok khas Indonesia sebagai hasil olahan
tembakau rajangan dan/atau krosok dicampur cengkeh rajangan dan sacs
serta bahan tambahan lainnya yang diizinkan dan dibungkus dengan
menggunakan berbagai bahan pembungkus.
d) Rokok jenis non kretek yang dimaksud adalah rokok putih. Rokok putih
adalah rokok dengan atau tanpa filter yang menggunakan tembakau
Virginia Iris dan/atau tembakau lainnya tanpa menggunakan cengkeh,
digulung dengan kertas sigaret dan boleh menggunakan bahan tambahan
yang diizinkan.
4.5.2 Dry socket
Insidensi alveolar osteitis (dry socket) diukur dengan
menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kualitatif yang
digunakan adalah berupa kuisioner yang dibagikan kepada sampel.
Sedangkan, metode kuantitatif berupa pengamatan klinis berdasarkan
indeks yang dinilai berdasarkan tiga hal yaitu :
4.5.2.1 Intensitas Rasa Sakit
Intensitas rasa sakit diukur melalui pemeriksaan secara
klinis dengan menggunakan sonde lurus. Sonde lurus diaplikasikan
pada soket bekas pencabutan gigi untuk melihat reaksi pasien.
Sehingga penilaian digolongkan menjadi 2, yaitu :
30
![Page 31: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/31.jpg)
a) Sakit
b) Tidak sakit
4.5.2.2 Ada atau Tidaknya Jaringan Nekrotik
Ada atau tidaknya jaringan nekrotik dinilai melalui pengamatan
soket bekas pencabutan gigi secara klinis. Digolongkan menjadi 2,
yaitu:
c) Ada jaringan nekrotik
d) Tidak ada jaringan nekrotik
4.5.2.3 Ada atau Tidaknya Limfadenopati
Ada atau tidaknya limfadenopati dinilai melalui pengamatan
secara klinis dengan meraba kelenjar limfe regional. Digolongkan
menjadi 2, yaitu:
a) Ada limfadenopati
b) Tidak ditemukan adanya limfadenopati
31
![Page 32: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/32.jpg)
Kuisioner I untuk sampel perokok dan non perokok
Sumber : Riset Kesehatan Dasar 2010. Pedoman Pengisian Kuesioner Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Jakarta : 2010. hal.71-72.
32
Kuisioner Kebiasaan Merokok
Berilah tanda checklist (√ )
Nama : (No. : Tanggal : )
Umur :
Apakah anda merokok selama 1 bulan terakhir ?
□ Ya, setiap hari □ Tidak, tetapi sebelumnya pernah
□ Ya, kadang-kadang □ Tidak pernah sama sekali
Berapa umur anda mulai merokok ?
Rata-rata berapa berapa batang rokok yang anda hisap per hari?
Apa jenis rokok yang anda hisap ?
□ Kretek □ Non kretek
![Page 33: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/33.jpg)
Kuisioner II untuk sampel dry socket
Sumber : Nusair YM, Abu Younis MH. Prevalence, Clinical Picture and Risk Factors of Dry socket in a Jordanian Dental Teaching Centre. J Contemp Dent Pract 2007 ; (8)3 : p.5.
33
Kuisioner Dry socket
Berilah tanda checklist (√ )
Nama : (No. : Tanggal : )
Umur :
Jenis Kelamin : □ laki-laki □ perempuan
Soket gigi yang dicabut :
Tanda dan gejala : □ sakit
□ soket yang kosong
□ tulang alveolar yang kering
□ bau mulut
Waktu muncul rasa sakit
□ sesaat setelah pencabutan □ 72 jam setelah pencabutan
□ 24 jam setelah pencabutan □ lainnya ______________
□ 48 jam setelah pencabutan
Perawatan yang diberikan : □ irigasi dengan larutan saline
□ packing dengan Alvogyl
□ medikasi ______________
![Page 34: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/34.jpg)
4.6 PROSEDUR PENELITIAN
a) Penelitian dilakukan selama tiga bulan dan sampel diambil berdasarkan
metode random sampling
b) Pasien yang telah melakukan pencabutan gigi permanen dan sesuai
dengan kriteria inklusi akan diberikan kuesioner I.
c) Pasien akan di-follow up pada hari ke-3 hingga hari ke-5 setelah
pencabutan gigi dan akan diberikan kuesioner II serta dilakukan
pengamatan terhadap soket gigi secara klinis.
d) Kemudian, setelah semua data dikumpulkan selama periode penelitian,
lalu datanya diolah, disajikan serta dianalisis.
4.7 DATA
a) Jenis data : Data primer
b) Penyajian data : Dalam bentuk tabel dan diagram
c) Pengolahan data : Menggunakan program SPSS
d) Analisis data : Uji Chi Square (x2)
34
![Page 35: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/35.jpg)
4.8 ALUR PENELITIAN
Desain Penelitian : Longitudinal Desain
35
Bagian Bedah Mulut RSGM Kandea
Penentuan dan pengambilan sampel sesuai kriteria inklusi
Pengisian kuesioner I
Pengisian kuesioner II dan pengamatan soket gigi secara
klinis
Pengolahan dan penyajian data
Analisis data
sesaat setelah pencabutan gigi
hari ke-3 pasca pencabutan gigi
![Page 36: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/36.jpg)
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 DESKRIPSI DATA
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada Bagian Bedah Mulut
RSGM Kandea pada tanggal 25 April 2012 sampai 29 Juni 2012 diperoleh 38
sampel secara random dari pasien pencabutan gigi permanen di Bagian Bedah
Mulut RSGM Kandea. Hasil penelitian yaitu mengenai tingkat derajat
kebiasaan merokok berdasarkan Indeks Brinkman dan insidensi dry socket
melalui pemeriksaan secara klinis maupun follow up via telepon bagi pasien
yang sukar dihubungi atau mengalami kendala masalah waktu follow up.
Kemudian disajikan dalam bentuk tabel sehingga dapat dilihat berapa banyak
pasien perokok yang dicabut giginya dan mengalami dry socket pasca
pencabutan gigi. Penelitian ini dilakukan pada 38 sampel dari pasien berjenis
kelamin laki-laki berusia di atas 17 tahun dan perokok serta melakukan
pencabutan gigi permanen di Bagian Bedah Mulut RSGM Kandea.
Penelitian yang dilakukan memperoleh 38 jenis sampel yaitu soket
bekas daerah pencabutan gigi pada perokok berjenis kelamin laki-laki.
Tingkat kebiasaan merokok dinilai berdasarkan Indeks Brinkman. Perokok
ringan mengonsumsi rata-rata 11 batang rokok per hari dengan durasi lama
![Page 37: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/37.jpg)
merokok rata-rata selama 20 tahun. Sedangkan perokok berat mengonsumsi
36 batang rokok per hari dengan durasi lama merokok rata-rata selama 23
tahun. Dengan demikian, perokok ringan memiliki Indeks Brinkman rata-rata
102, sedangkan perokok berat memiliki Indeks Brinkman rata-rata 895.
Tabel 5.1. Ditribusi tingkat kebiasaan merokok berdasarkan Indeks Brinkman pada laki-laki pengunjung RSGM Kandea tanggal 25 April sampai 29 Juni 2012Nilai Indeks Brinkman Frekuensi (n) Persentase (%)
<600 20 52.63
>600 18 47.37
Jumlah 38 100
Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa dari seluruh sampel
insidensi dry socket lebih banyak ditemukan pada perokok berat daripada
pada perokok ringan. Pasien pencabutan gigi permanen di-follow up oleh
peneliti pada hari ketiga sampai hari kelima pasca pencabutan gigi melalui
pemeriksaan secara klinis maupun non klinis. Berdasarkan pemeriksaan
klinis, kondisi soket bekas pencabutan gigi dipenuhi oleh debris dan dilapisi
oleh jaringan nekrotik berwarna kuning keabu-abuan, terjadi
limphadenopathy dan rasa sakit berdenyut yang dirasakan oleh pasien. Untuk
lebih jelasnya mengenai data insidensi dry socket berdasarkan kebiasaan
merokok dapat dilihat pada tabel 5.2.
37
![Page 38: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/38.jpg)
Tabel 5.2. Distribusi frekuensi dry socket pada pasien laki-laki pengunjung RSGM Kandea berdasarkan tingkat kebiasaan merokok tanggal 25 April sampai 29 Juni 2012 Sampel Perokok Frekuensi* (n) Persentase (%)
Ya Tidak Ya Tidak
Ringan 6 14 15.79 36.84
Berat 12 6 31.58 15.79
Jumlah 18 20 47.37 52.63
*insidensi dry socket
Melalui penelitian pada 38 sampel perokok, insidensi dry socket lebih
banyak ditemukan pada pengonsumsi rokok kretek daripada rokok non kretek.
Pada umumnya, rokok kretek yang digunakan berupa rokok berwarna coklat
yang mengandung bahan tambahan lain selain tembakau serta diproduksi oleh
pabrik rokok tertentu sedangkan rokok non kretek yang digunakan rata-rata
adalah rokok putih murni tembakau yang diproduksi oleh pabrik rokok
tertentu. Untuk lebih jelasnya mengenai insidensi dry socket berdasarkan jenis
rokok yang dikonsumsi dapat dilihat pada tabel 5.3.
38
![Page 39: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/39.jpg)
Tabel 5.3. Distribusi frekuensi dry socket pada pasien laki-laki pengunjung RSGM Kandea berdasarkan konsumsi jenis rokok tanggal 25 April sampai 29 Juni 2012 Jenis Rokok Frekuensi* (n) Persentase (%)
Ya Tidak Ya Tidak
Kretek 10 10 26.31 26.31
Non Kretek 8 10 21.07 26.31
Jumlah 18 20 47.38 52.62
*insidensi dry socket
39
![Page 40: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/40.jpg)
5.2 PENGUJIAN HIPOTESIS
Tabel 5.4 menunjukkan hubungan antara tingkat kebiasaan merokok
dengan insidensi dry socket. Perokok berat berjumlah 18 sampel yang terdiri
dari 12 sampel positif sebesar 31.6% (mengalami dry socket) dan 6 sampel
negatif sebesar 15.8% (tidak mengalami dry socket). Sedangkan, perokok
ringan berjumlah 20 sampel yang terdiri dari 6 sampel positif sebesar 15.8%
(mengalami dry socket) dan 14 sampel negatif sebesar 36.8% (tidak
mengalami dry socket).
Dari hasil uji person chi square diperoleh nilai p = 0.024 artinya
terdapat hubungan antara tingkat kebiasaan merokok dengan insidensi dry
socket karena nilai p (0.024) < 0.05.
Tabel 5.4 Tabel hubungan antara tingkat kebiasaan merokok dengan insidensi dry socket melalui uji chi-square
Sampel Perokok
Dry socket Jumlah
p<0.05
p= 0.024
Ya Tidakn % n % N %
Ringan 6 15.8 14 36.8 20 52.6
Berat 12 31.6 6 15.8 18 47.4
Total 18 47.4 20 52.6 38 100
Tabel 5.5 menunjukkan hubungan antara konsumsi jenis rokok
dengan insidensi dry socket. Pengonsumsi jenis rokok kretek berjumlah 20
sampel yang terdiri dari 10 sampel positif sebesar 26.3% (mengalami dry
socket) dan 10 sampel negatif sebesar 26.3% (tidak mengalami dry socket).
40
![Page 41: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/41.jpg)
Sedangkan, pengonsumsi rokok jenis non kretek berjumlah 18 sampel yang
terdiri dari 8 sampel positif sebesar 21.1% (mengalami dry socket) dan 10
sampel negatif sebesar 26.3% (tidak mengalami dry socket).
Dari hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0.732, artinya tidak ada
hubungan antara jenis rokok dengan insidensi dry socket karena nilai p
(0.732) > 0.05.
Tabel 5.5 Tabel hubungan antara konsumsi jenis rokok dengan insidensi dry socket melalui uji chi-square
Jenis Perokok
Dry socket Jumlah
p>0.05
p= 0.732
Ya Tidakn % n % N %
Kretek 10 26.3 10 26.3 20 52.6
Non Kretek 8 21.1 10 26.3 18 47.4
Total 18 47.4 20 52.6 38 100
41
![Page 42: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/42.jpg)
BAB VI
PEMBAHASAN
Dry socket merupakan suatu infeksi pasca pencabutan gigi yang
multifaktorial. Ada beberapa faktor yang memiliki kontribusi pada terjadinya dry
socket, seperti tingkat pengalaman operator, infeksi perioperatif, jenis kelamin,
daerah pencabutan gigi, penggunaan oral kontrasepsi, merokok serta penggunaan
anastesi lokal dengan vasokonstriktor.2 Dalam penelitian yang dilakukan di Bagian
Bedah Mulut RSGM Kandea pada tanggal 25 April 2012 sampai 29 Juni 2012, maka
dapat diketahui seberapa banyak insidensi dry socket yang dapat terjadi pada pasien
perokok. Penelitian ini memperoleh 38 sampel dari pasien perokok pasca pencabutan
gigi dan sesuai dengan kriteria inklusi.
Terlihat dalam tabel 5.2 insidensi dry socket lebih banyak ditemukan pada
perokok berat daripada perokok ringan. Dari 18 sampel perokok berat, terdapat 12
sampel positif sebesar 31.6% yang mengalami dry socket. Sedangkan dari 20 sampel
perokok ringan hanya terdapat 6 sampel positif sebesar 15.8% yang mengalami dry
socket.
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat kebiasaan
merokok dengan insidensi terjadinya dry socket. Hal ini dapat disebabkan karena
rata-rata perokok berat mengonsumsi jumlah batang rokok yang lebih banyak per
42
![Page 43: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/43.jpg)
harinya serta durasi merokok yang lebih lamadaripada perokok ringan. Sehingga,
tingkat paparan rokok pada perokok berat juga akan lebih tinggi daripada perokok
ringan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 38 sampel perokok, sebanyak 18
sampel mengalami dry socket pasca pencabutan gigi dengan persentase sebesar
47.4%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nusair YM, et al 4, di
Jordan, prevalensi dry socket sebesar 9,1% pada perokok dan perokok berat (23
insidensi dry socket dari pencabutan 263 gigi) dan menunjukkan arti signifikan. Hal
serupa juga ditunjukkan oleh Abu Younis MH, et al 2, di Palestina, 54 pasien dari
208 sampel perokok kembali dengan adanya dry socket. Sampel perokok sebesar
19,1% dari total sampel keseluruhan secara statistik menunjukkan arti yang
signifikan.
Tar, nikotin, dan karbonmonoksida merupakan tiga macam bahan kimia yang
paling berbahaya dalam asap rokok. Tar adalah kumpulan dari beribu-ribu bahan
kimia dalam komponen padat asap rokok dan bersifat karsinogenik. Pada saat rokok
dihisap, tar masuk ke rongga mulut sebagai uap padat yang setelah dingin akan
menjadi padat dan membentuk endapan berwarna coklat pada permukaan gigi,
saluran napas, dan paru-paru. Komponen tar mengandung radikal bebas, yang
berhubungan dengan resiko timbulnya kanker.16
Nikotin merupakan bahan yang bersifat toksik dan dapat menimbulkan
ketergantungan psikis. Nikotin merupakan alkaloid alam yang bersifat toksis,
berbentuk cairan, tidak berwarna, dan mudah menguap. Zat ini dapat berubah warna
menjadi coklat dan berbau seperti tembakau jika bersentuhan dengan udara. Nikotin
43
![Page 44: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/44.jpg)
berperan dalam menghambat perlekatan dan pertumbuhan sel fibroblast ligamen
periodontal, menurunkan isi protein fibroblast, serta dapat merusak sel membran.
Gas Karbonmonoksida dalam rokok dapat meningkatkan tekanan darah yang akan
berpengaruh pada sistem pertukaran haemoglobin. Karbonmonoksida memiliki
afinitas dengan haemoglobin sekitar dua ratus kali lebih kuat dibandingkan afinitas
oksigen terhadap haemoglobin. Timah hitam (Pb) merupakan komponen rokok yang
juga sangat berbahaya. Partikel ini terkandung dalam rokok sebanyak 0,5 μg. Batas
ambang timah hitam di dalam tubuh adalah 20 miligram per hari. Efek merokok yang
timbul dipengaruhi oleh banyaknya jumlah rokok yang dihisap, lamanya merokok,
jenis rokok yang dihisap, bahkan berhubungan dengan dalamnya hisapan rokok yang
dilakukan. 16
Panas yang ditimbulkan akibat pembakaran rokok, dapat mengiritasi mukosa
mulut secara langsung, menyebabkan perubahan vaskularisasi dan sekresi saliva.
Terdapat peningkatan laju aliran saliva dan konsentrasi ion Kalsium pada saliva,
selama proses merokok. 16
Perubahan vaskularisasi gingiva akibat merokok, menyebabkan terjadinya
inflamasi gingiva. Dilatasi pembuluh darah kapiler, diikuti dengan peningkatan aliran
darah pada gingiva dan infiltrasi agen-agen inflamasi, menimbulkan terjadinya
pembesaran gingiva. Kondisi ini diikuti dengan perubahan populasi sel, yaitu dengan
bertambahnya jumlah Limfosit dan Makrofag. 16
Merokok juga menyebabkan penurunan antibodi dalam saliva, yang berguna
untuk menetralisir bakteri dalam rongga mulut, sehingga terjadi gangguan fungsi sel-
sel pertahanan tubuh. Potensial reduksi-oksidasi (Eh) pada regio gingiva dan rongga
44
![Page 45: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/45.jpg)
mulut menurun akibat merokok. Hal tersebut berpengaruh terhadap peningkatan
jumlah bakteri anaerob dalam rongga mulut. Penurunan fungsi antibodi saliva,
disertai dengan meningkatnya jumlah bakteri anaerob rongga mulut, menimbulkan
rongga mulut rentan terserang infeksi. 16
Hasil penelitian membuktikan bahwa merokok juga dapat menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah. Hal tersebut mungkin dipengaruhi oleh derajat
inhalasi asap rokok serta absorbsi nikotin kedalam jaringan. Terjadinya
vasokonstriksi pembuluh darah, menurunnya aktifitas PMNs, berkurangnya aliran
darah dan cairan sulkus gingiva, berakibat pada menurunnya suplai oksigen dan
nutrisi pada jaringan, sehingga dapat menghambat penyembuhan luka. 16
Pada penelitian ini, sebagian besar pasien yang mengalami dry socket tetap
merokok pada hari pencabutan gigi, bahkan pasca dilakukannya prosedur pencabutan
gigi. Nikotin dengan rumus molekul C10H14N2, merupakan komponen aktif
farmakologis yang utama dari tembakau (Nikotiana tabacum). Nikotin yang
dikandung oleh rokok akan merangsang reseptor di otak untuk melepaskan hormon
dopamin.
Adiksi nikotin terjadi karena interaksi antara nikotin dengan reseptor nikotin
(nAChRs) di otak pada daerah mesolimbik dopamin system di Ventral Tegmental
Area (VTA) neuron yang mengawali aktivasi Central Nervus System (CNS)
termasuk system Mesoaccumbens DA. Reseptor nikotin mengatur pelepasan dopamin
(DA). Nikotin merubah aktifitas VTA untuk meningkatkan pelepasan DA. DA
adalah suatu senyawa katekolamin yang penting pada otak mamalia, yang
mengontrol fungsi aktivitas lokomotorik, kognisi, emosi, reinforsmen positif , dan
45
![Page 46: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/46.jpg)
regulasi endokrin. Dopamin tersebut juga diketahui dapat menimbulkan perasaan
tenang dan nyaman. Oleh sebab itu, perokok akan selalu mencari efek nyaman
tersebut dengan terus meningkatkan asupan rokok, apalagi ditambah dengan rasa
sakit yang ditimbulkan pasca pencabutan gigi.17
Dalam artikel oleh Vellapally S, et al13 menjelaskan bahwa meningkatnya
frekuensi merokok atau merokok pada pada hari dilakukannya bedah, secara
signifikan dapat meningkatkan insidensi alveolar osteitis yang disebut juga dry
socket. Mekanisme penghambatan penyembuhan mungkin berhubungan dengan
peningkatan level plasma pada adrenalin dan noradrenalin setelah merokok, dan
menyebabkan vasokonstriksi periferal dan merusak fungsi neutrofil
polimorfonuklear. 13
Terlihat pula pada tabel 5.5 bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis rokok
dengan insidensi dry socket. Dari 20 sampel pengonsumsi jenis rokok kretek
diperoleh 10 sampel positif sebesar 26.3% yang mengalami dry socket. Sedangkan,
dari 18 sampel pengonsumsi rokok jenis non kretek diperoleh 8 sampel positif
sebesar 21.1% yang mengalami dry socket.
Hal tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Hal ini mungkin
saja terjadi karena proporsi pengonsumsi jenis rokok kretek pada penelitian ini lebih
besar daripada jenis rokok non kretek. Selain itu, dipengaruhi oleh tingkat kebiasaan
merokok tiap pasien yang berbeda pula.
Penelitian yang dilakukan oleh Fidrianny I, dkk, menunjukkan bahwa kadar
nikotin dalam asap rokok kretek berfilter lebih kecil daripada dalam asap rokok
46
![Page 47: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/47.jpg)
kretek tanpa filter. Hal ini disebabkan karena dengan adanya filter sebagian nikotin
dalam asap rokok tertahan dalam filter yang memang dibuat untuk maksud tersebut.18
Kadar nikotin dalam asap rokok kretek berfilter ataupun rokok kretek tanpa
filter lebih kecil daripada dalam asap rokok putih. Hal ini disebabkan karena dalam
rokok kretek berfilter ataupun tanpa filter, sebagian jumlah tembakau digantikan
dengan penambahan sejumlah komponen cengkeh, sedangkan dalam rokok putih
semuanya terdiri dari komponen tembakau. Dengan demikian jumlah tembakau
dalam rokok kretek berfilter ataupun tanpa filter lebih sedikit bila dibandingkan
dengan jumlah tembakau dalam rokok putih, sehingga kadar nikotin dalam rokok
kretek berfilter ataupun tanpa filter lebih kecil daripada dalam rokok putih. 18
Berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis rokok kretek maupun
rokok non kretek sama-sama berbahaya bagi kesehatan. Hal ini dipengaruhi oleh ada
atau tidaknya filter tersebut maupun komposisi bahan dalam hal ini adalah kadar
tembakau dalam rokok tersebut.
Namun bagaimanapun, hubungan antara kebiasaan merokok dengan insidensi
dry socket juga masih mengalami kontroversi di kalangan peneliti. Patogenesis dry
socket juga belum diketahui secara pasti. Dalam jurnal “Review Article Alveolar
Osteitis : a Comprehensive Review of Concepts and Controversies” disebutkan
mengenai faktor kontribusi terjadinya dry socket dan literatur terkait. Terdapat empat
literatur yang mendukung bahwa merokok merupakan faktor kontribusi terjadinya
dry socket, walaupun ada juga dua literatur yang tidak mendukung hal tersebut.
47
![Page 48: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/48.jpg)
BAB VII
PENUTUP
7.1 SIMPULAN
Dari pembahasan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
Dry socket merupakan suatu infeksi pasca pencabutan gigi yang multifaktorial.
Insidensi dry socket lebih banyak ditemukan pada perokok berat daripada
perokok ringan.
Terdapat hubungan antara tingkat kebiasaan merokok dengan insidensi
terjadinya dry socket pada pasien laki-laki pengunjung RSGM Kandea
Meningkatnya frekuensi merokok atau merokok pada pada hari dilakukannya
bedah, secara signifikan dapat meningkatkan insidensi dry socket.
Insidensi dry socket lebih banyak ditemukan pada pengonsumsi jenis rokok
kretek daripada rokok non kretek.
Tidak terdapat hubungan antara jenis rokok dengan insidensi terjadinya dry
socket pada pasien laki-laki pengunjung RSGM Kandea
7.2 SARAN
Hal yang dapat penulis sarankan setelah melakukan penelitian ini yaitu :
![Page 49: Skripsi.docx](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022061206/5483a6deb4af9f554d8b45db/html5/thumbnails/49.jpg)
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai histopatologi kondisi soket
bekas pencabutan gigi setelah terpapar oleh rokok
Disarankan agar operator lebih menekankan instruksi pasca pencabutan gigi
kepada pasien khususnya larangan untuk merokok.
49