Skripsi sahlan 3

51
PENDAHULUAN Salah satu sumber protein yang bermutu dan mudah diperoleh adalah telur dan daging unggas yang kebanyakan dihasilkan dari peternakan ayam ras. Menurut Anggorodi (1994), bahwa protein asal hewan (daging, susu dan telur) memiliki kualitas yang tinggi. Selanjutnya dikemukakan bahwa protein hewani lebih unggul dari pada protein tumbuh-tumbuhan untuk manusia karena lebih berimbang dalam asam-asam amino esensialnya. Keberhasilan produksi ternak ayam ras petelur sangat ditentukan beberapa faktor, diantaranya potensi genetik ayam, manajemen pemeliharaan dan makanan. Terpenuhinya kebutuhan makanan dan air minum, baik kualitas maupun kuantitas, sangat menentukan penampilan produksi ayam yang dibudidayakan. Ayam ras petelur adalah salah satu jenis ternak unggas yang sangat popular dikembangkan di kalangan masyarakat, baik dalam skala kecil yang dikelola oleh keluarga atau sekelompok masyarakat peternak maupun 1

description

skripsi

Transcript of Skripsi sahlan 3

PENDAHULUAN

Salah satu sumber protein yang bermutu dan mudah diperoleh adalah telur

dan daging unggas yang kebanyakan dihasilkan dari peternakan ayam ras.

Menurut Anggorodi (1994), bahwa protein asal hewan (daging, susu dan telur)

memiliki kualitas yang tinggi. Selanjutnya dikemukakan bahwa protein hewani

lebih unggul dari pada protein tumbuh-tumbuhan untuk manusia karena lebih

berimbang dalam asam-asam amino esensialnya.

Keberhasilan produksi ternak ayam ras petelur sangat ditentukan beberapa

faktor, diantaranya potensi genetik ayam, manajemen pemeliharaan dan

makanan. Terpenuhinya kebutuhan makanan dan air minum, baik kualitas

maupun kuantitas, sangat menentukan penampilan produksi ayam yang

dibudidayakan.

Ayam ras petelur adalah salah satu jenis ternak unggas yang sangat

popular dikembangkan di kalangan masyarakat, baik dalam skala kecil yang

dikelola oleh keluarga atau sekelompok masyarakat peternak maupun dalam

bentuk industri peternakan dalam skala usaha yang cukup besar. Banong (2012)

mengemukakan bahwa ayam petelur dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase starter

(umur 1 hari-6 minggu), fase grower pertumbuhan (umur 6-18 minggu), dan fase

layer/petelur (umur 18 minggu-afkir). Khususnya fase grower, fase ini sangat

berpengaruh pada saat fase produksi atau fase layer.

Pencapaian berat badan sesuai standar menjadi salah satu parameter utama

yang menentukan baik tidaknya produktivitas ayam. Berat badan ayam melebihi

standar, bukan suatu hal yang baik. Kelebihan berat badan lebih besar 10% dari

berat normal mengakibatkan saluran pencernaan dan saluran reproduksi banyak

1

terdapat lemak sehingga perkembangan saluran reproduksi terhambat dan

parahnya saat memasuki masa produksi, biasanya akan banyak ditemukan kasus

prolapse (keluarnya sebagian saluran reproduksi) yang diakhiri dengan kematian

ayam (Anonim, 2011a).

Untuk meningkatkan produksi telur ayam ras petelur khususnya pada fase

grower bobot badan sangatlah berpengaruh pada awal produksi sehingga dapat

menghasilkan produksi telur yang optimal. Menurut Yuwanta (1998). Berat badan

ayam saat dewasa kelamin selain ditentukan oleh variasi individu juga ditentukan

oleh jumlah pakan yang dikonsumsi. Oleh karena itu perlu dicari bobot optimum

yang tepat saat mencapai dewasa kelamin sehingga dapat menunjang produksi

yang baik pada saat pullet atau saat berproduksi sehingga dapat mengoptimalkan

produksi telur

Pencapaian bobot badan yang sesuai dengan grafik pertumbuhan untuk

setiap strain ayam ras petelur pada fase pertumbuhan merupakan salah satu

indikator utama dalam pencapaian produksi telur yang optimal pada saat berada

pada fase produksi. Namun, respon individu terhadap pakan, manajemen dan

lingkungan yang berbeda pada fase pertumbuhan menyebabkan besarnya variasi

keragaman bobot badan pada saat mencapai dewasa kelamin. Untuk itu perlu

diketahui sejauh mana keragaman bobot badan pada fase grower mempengaruhi

performans produksi pada fase layer.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh bobot badan pada

fase grower terhadap produksi telur saat ayam memasuki fase layer.

2

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai bahan informasi kepada para

peternak tentang berat badan yang optimal pada ayam ras petelur sebelum

memasuki fase layer sehingga dapat menghasilkan produksi telur yang tinggi.

3

TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Umum Ayam Ras Petelur

Ayam ras petelur merupakan tipe ayam yang secara khusus menghasilkan

telur sehingga produktifitas telurnya melebihi dari produktifitas ayam lainnya.

Keberhasilan pengelolaan usaha ayam ras petelur sangat ditentukan oleh sifat

genetis ayam, manajemen pemeliharaan, makanan dan kondisi pasar (Amrullah,

2003).

Ayam petelur merupakan ayam betina dewasa yang dipelihara khusus

untuk diambil telurnya (Cahyono, 1995). Anonim (2006), menyatakan bahwa

ayam petelur tubuhnya relatif lebih kecil dibandingkan dengan broiler. Produksi

telurnya antara 250 sampai 280 butir per tahun. Telur pertama dihasilkan pada

saat berumur 5 bulan dan akan terus menghasilkan telur sampai umurnya

mencapai 10 – 12 bulan. Umumnya, produksi telur yang baik akan di peroleh

pada tahun pertama ayam mulai bertelur pada tahun-tahun berikutnya cenderung

akan terus menurun.

Menurut Cahyono (1995), bahwa jenis ayam petelur di bagi menjadi dua

tipe:

1. Tipe Ayam Petelur Ringan. Tipe ayam ini disebut dengan ayam petelur putih.

Ayam petelur ringan ini mempunyai badan yang ramping/kurus-mungil/kecil

dan mata bersinar. Bulunya berwarna putih bersih dan berjengger merah.

Ayam ini berasal dari galur murni White Leghorn. Ayam galur ini sulit dicari,

tapi ayam petelur ringan komersial banyak dijual di Indonesia dengan berbagai

nama. Setiap pembibitan ayam petelur di Indonesia pasti memiliki dan menjual

ayam petelur ringan(petelur putih) komersial ini. Ayam ini mampu bertelur

4

lebih dari 260 telur per tahun. Sebagai petelur, ayam tipe ini memang khusus

untuk bertelur saja sehingga semua kemampuan dirinya diarahkan pada

kemampuan bertelur, karena dagingnya hanya sedikit. Ayam petelur ringan ini

sensitif terhadap cuaca panas dan keributan, dan ayam ini mudah kaget dan bila

kaget ayam ini produksinya akan cepat turun, begitu juga bila kepanasan.

2. Tipe Ayam Petelur Medium. Bobot tubuh ayam ini cukup berat. Meskipun itu,

beratnya masih berada di antara berat ayam petelur ringan dan ayam broiler,

oleh karena itu ayam ini disebut tipe ayam petelur medium. Tubuh ayam ini

tidak kurus, tetapi juga tidak terlihat gemuk. Telurnya cukup banyak dan juga

dapat menghasilkan daging yang banyak. Ayam ini disebut juga ayam tipe

dwiguna. Karena warnanya coklat, maka ayam ini disebut ayam petelur coklat

yang umumnya mempunyai warna bulu yang coklat juga. Dipasaran konsumen

berpendapat telur coklat lebih disukai dari pada telur putih, kalau dilihat dari

warna kulitnya memang lebih menarik yang coklat dari pada putih, tapi dari

segi gizi dan rasa relatif sama. Satu hal yang berbeda harganya di pasar, harga

telur coklat lebih mahal dari telur putih dan produksinya telur coklat lebih

sedikit dari pada telur putih. Selain itu daging dari ayam petelur medium akan

lebih laku dijual sebagai ayam pedaging dengan rasa yang enak. Tabel 1.

menggambarkan performans beberapa strain ayam petelur.

5

Tabel 1. Performans Beberapa Strain Ayam Petelur

StrainUmur Awal

Produksi (minggu)

Umur pada Produksi

50% (minggu)

Puncak Produksi

(%)FCR

Lohmann Brown MF 402 19-20 22 92-93 2,3-2,4

Hisex Brown 20-22 22 91-92 2,36

Bovans White 20-22 21-22 93-94 2,2

Hubbard Golden Comet 19-20 23-24 90-94 2,2-2,5

Dekalb Warren 20-21 22,5-24 90-95 2,2-2,4

Bovans Goldline 20-21 21,5-22 93-95 1,9

Brown Nick 19-20 21,5-23 92-94 2,2-2,3

Bovans Nera 21-22 21,5-22 92-94 2,3-2,45

Bovans Brown 21-22 21-23 93-95 2,25-2,35

Sumber: Rasyaf (1995).

Gambaran Umum Ayam Lohmann Brown

Lohmann Brown adalah ayam tipe petelur yang populer untuk pasar

komersial, ayam ini merupakan ayam hibrida dan selektif dibiakkan khusus untuk

menghasilkan telur, diambil dari jenis Rhode Island Red yang dikembangkan oleh

perusahaan asal Jerman bernama Lohmann Tierzuch. Kebanyakan ayam ini

memiliki bulu berwarna coklat seperti caramel, dengan bulu putih di sekitar leher

dan di ujung ekor (Anonim,2011b).

Ayam ini mulai dapat bertelur pada umur 18 minggu, menghasilkan 1 butir

telur per hari, dapat bertelur sampai 300 butir pertahun dan biasanya bertelur pada

saat pagi atau sore hari. Kebanyakan orang akan memelihara ayam ini pada fase

grower atau fase dimana ayam ini akan mulai berproduksi (Anonim,2011b). Tabel

6

2. menunjukkan berat rata-rata strain ayam Lohman Brown dan Gambar 1.

menunjukkan grafik produksi telur Lohmann Brown.

Tabel 2. Berat Rata-Rata Strain Ayam Lohman Brown.UsiaMm

Berat Badan Usia Berat Badan Usia Berat Badan(

Minggu) (g) (Minggu) (g) (

Minggu) (g)

4 265 - 285 30 1824 – 2016 56 1886 - 20846 458 - 492 32 1829 – 2021 58 1891 - 20908 661 - 709 34 1834 – 2027 60 1895 - 209510 843 - 905 36 1838 – 2032 62 1900 - 210012 1006 – 1080 38 1843 – 2037 64 1905 - 210514 1155 – 1239 40 1848 – 2042 66 1910 - 211116 1283 – 1377 42 1853 – 2048 68 1914 - 211618 1423 – 1527 44 1857 – 2053 70 1919 - 212120 1583 – 1697 46 1862 – 2058 72 1924 - 212622 1727 – 1853 48 1867 – 2063 74 1929 - 213224 1786 – 1954 50 1872 – 2069 76 1933 - 213726 1805 – 1995 52 1876 – 2074 78 1938 - 214228 1815 – 2006 54 1881 – 2079 80 1943 - 2147

Sumber: Anonim (2007).

Produksi Telur %

Umur (Minggu)

Sumber: Anonim (2007).

Gambar 1. Grafik Produksi Telur Ayam ras strain Lohmann Brown.

7

Pertumbuhan dan Pertambahan Berat Badan

Morrison (1967) menyatakan pertumbuhan adalah sebagian dari

pertambahan besar urat daging dan jaringan – jaringan lainnya yang mengandung

protein yang sangat penting dalam peternakan, karena mempunyai titik tolak

produksi yang merupakan hasil akhir. Selanjutnya Tillman, Hartadi, Prawiro dan

Lebdosoekodjo (1986), menyatakan bahwa, pertumbuhan pada hewan merupakan

suatu fenomena universal yang bermula dari satu sel yang telah dibuahi dan

berlanjut sampai hewan menjadi dewasa. Pertumbuhan umumnya dinyatakan

dengan berat badan melalui penimbangan berulang-ulang tiap hari dan tiap

minggu.

Dalam kehidupan sehari-hari proses pertumbuhan umumnya diartikan

sebagai pertambahan berat badan sejak terjadinya fertilisasi sampai dewasa.

Pertumbuhan biasanya mulai perlahan-lahan, kemudian berlangsung lebih cepat

dan akhirnya perlahan-lahan bahkan berhenti (Anggorodi. 1985).

Crampton dan Harris (1968) yang dikutip oleh Waskito (1983)

mengemukakan bahwa proses pertumbuhan terjadi peningkatan jaringan otot,

tulang, dan organ-organ lainnya, di dalam hal ini perubahan pertambahan berat

badan, sehingga totalitas pertumbuhan dari berbagai macam komposisi tubuh

berbeda satu sama lain.

Pertumbuhan adalah hasil langsung yang dapat dilihat pada hewan-hewan

muda dan perkembangan yang terjadi adalah perkembangan jaringan, air, dan

tulang. Card dan Nesheim (1972) menyatakan bahwa pertambahan berat badan

setiap minggu tidak merata dan maksimum pertumbuhan tercapai pada umur 8

minggu setelah itu pertambahan berat badannya setiap minggu akan menurun.

8

Anggorodi (1990), menyatakan bahwa pertumbuhan mencakup

pertumbuhan dalam bentuk dan berat jaringan-jaringan pembangun seperti urat

daging, tulang, jantung, otak dan semua jaringan tubuh kecuali jaringan lemak.

Pertumbuhan dapat terjadi dengan penambahan jumlah sel, disebut hyperplasi dan

dapat pula terjadi dengan penambahan ukurannya yang disebut hipertropi. Marks

(1989), menyatakan bahwa pertambahan berat badan sangat dipengaruhi oleh

makanan yang dikonsumsi dan konsumsi air minum, umur serta lingkungan.

Pertumbuhan dipengaruhi oleh banyak faktor, sebagaimana yang

dikemukakan oleh Soeharsono (1976) bahwa faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan adalah strain yang digunakan, mutu ransum, temperatur lingkungan,

sistem perkandangan, dan pengendalian penyakit. Lebih lanjut dikatakan bahwa

pertumbuhan adalah hasil interaksi antara heriditas dan lingkungan dimana

sumbangan genetik terhadap pertumbuhan kurang lebih 30%, sedangkan

lingkungan 70%. Hal ini berbeda yang dilaporkan oleh North (1990) yang

menyatakan bahwa sumbangan faktor genetik terhadap pertumbuhan adalah

sekitar 45% dan faktor lingkungan sekitar 55%. Sedangkan Jull (1978)

menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu dimana ayam

dipelihara, ransum yang diberikan, penyakit, genetik dan keturunan.

Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran besar dari tubuh yang

meliputi pertambahan besar dari organ-organ tubuh, jaringan-jaringan otot, dan

jaringan tulang (Jull, 1978). Sedangkan Anggorodi (1985) mengatakan bahwa

pertumbuhan merupakan manifestasi dari perubahan dalam unit pertumbuhan

terkecil yakni sel, yang mengalami hyperplasia dan hypertropi (terjadi

9

penambahan dalam ukuran). Tabel 3. menjelaskan tentang perkembangan bobot

badan , konsumsi pakan dan produksi telur ayam petelur coklat.

Tabel 3. Perkembangan Normal Bobot Badan, Konsumsi Pakan dan Produksi Telur Ayam Petelur Coklat.

Umur Rata-rata BB/kg/ekor

Konsumsi pakan Produksi (%)(minggu) Harian (g/ekor) Total (g)

1 - 10 0,07 -4 0,27 35 0,65 -8 0,59 54 1,97 -12 0,91 64 3,70 -16 1,23 72 5,61 -19 1,47 80 7,24 120 1,55 82 7,81 521 1,62 87 8,49 1022 1,70 96 9,21 4023 1,75 100 9,82 65-70

24-25 1,83 105 11,24 82,3-89,426-27 1,92 110 12,78 92,1-92,728-40 1,98 120 25,49 90,9-93,540-45 2,01 119 27,15 88,7-90,946-56 2,03 118 40,76 82,4-88,757-60 2,04 117 41,94 79,5-82,460-63 2,05 117 42,74 77,2-79,560-65 2,05 116 43,37 75,7-77,266-76 2,06 115 52,15 66,4-75,777-80 2,08 115 55,31 62,9-65,5Sumber : Anonim 2001.

Produksi Telur

Blakely dan Bade (1991) menyatakan bahwa untuk ayam petelur produksi

telur rata-rata yang baik adalah 20 butir per bulan. Tilman, dkk. (1986)

kemampuan ayam petelur berproduksi tinggi akam menghasilkan rata-rata 250

butir telur per-ekor pertahun dengan berat kira-kira mencapai 60 g. Amrullah

(2003), menyatakan bahwa petelur unggul dapat berproduksi sampai 70% atau

10

275 butir pertahun. Produksi telur ayam lokal di Indonesia dengan makanan yang

baik juga berkisar dari 40-50%.

North dan Bell (1990) menyatakan bahwa jumlah telur yang dihasilkan

selama fase produksi sangat di tentukan oleh perlakuan yang diterima termasuk

pada fase starter dan grower khususnya imbangan nilai gizi pakan yang diberikan.

Selanjutnya Anonim (2005) menyakan bahwa penurunan rataan produksi telur

tergantung pada lingkunagn, kualitas pakan, pemberian pakan, strain dan faktor

manajemen .

Berat telur dan ukuran telur berbeda-beda, akan tetapi antara berat dan

ukuran telur saling berhubungan (Sarwono, 1994). Kemudian ditambahkan

berdasarkan beratnya, telur ayam ras dapat digolongkan menjadi beberapa

kelompok sebagai berikut : 1). Jumbo, dengan berat 65g per butir, 2). Ekstra

besar, dengan berat 60-65g per butir, 3). Besar, dengan berat 55-60g per butir, 4).

Sedang, dengan berat 50-55g per butir, 5). Kecil, dengan berat 45-50g per butir,

dan kecil sekali, dengan berat di bawah 45g per butir.

Menurut Tillman, dkk. (1986), berat rata-rata sebutir telur ayam ras yang

sedang berproduksi adalah 60 gram dengan rata-rata produksi pada titik optimal

adalah 250 butir per ekor per tahun. Selanjutnya Romanoff dan Romanoff (1963)

menyatakan, bahwa membrane telur 10,5%, putih telur atau albumen 58,5%, dan

kuninmg telur atau yolk 31,0 % dari berat telur.

Anggorodi (1994) mengemukakan bahwa besarnya telur di pengaruhi oleh

beberapa faktor termasuk sifat genetic, tingkat dewasa kelamin, umur, obat-

obatan,dan makanan sehari-hari. Faktor makanan terpenting yang diketahui

mempengaruhi besar telur adalah protein dan asam amino yang cukup dalam

11

pakan. Selanjutnya di jelaskan, bahwa di samping ransum yang berkualitas baik

juga air minum turut berpengaruh terhadap ukuran besar telur, dimana pada ayam

kekurangan air minum akan mempengaruhi organ reproduksinya. North dan Bell

(1990) menyatakan, bahwa telur dihasilkan dari induk ayam yang baru bertelur

atau induk muda lebih kecil dibandingkan dengan telur yang dihasilkan dari induk

yang lebih tua. Mude (1987) melaporkan, bahwa besar dan berat telur dapat

dipengaruhi oleh suhu lingkungan dimana telur itu di tempatkan dan berat

maksimum dapat dicapai pada suhu lingkungan yang rendah dan berat terendah di

atas suhu 29oC.

12

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai April 2012,

bertempat di Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan,

Universitas Hasanuddin, Makassar.

Materi Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik,

kandang cage, ember, sekop, gerobak dan timbangan.

Sedangkan Bahan yang digunakan adalah ayam ras petelur fase grower

dengan umur 13 minggu strain Lohman Brown sebanyak 126 ekor, telur, pakan

(jagung giling, dedak dan konsentrat), dan vitamin (egg stimulant).

Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara eksperiment dengan menggunakan

Rancangan Acak Lengkap (RAL) 3 perlakuan dan 21 kali ulangan.

Adapun perlakuan yang diterapkan pada berat pullet umur 16 minggu sebagai

berikut :

B1 : Ringan (< 1300 g)

B2 : Sedang (1300-1400 g)

B3 : Berat ( > 1400 g)

13

Prosedur Penelitian

a. Sumber Data

Data yang gunakan pada penelitian ini berasal dari dua sumber data yaitu

data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari hasil pencatatan

(recording) yang telah dilakukan oleh Laboratorium Ternak Unggas Fakultas

Peternakan Unhas. Pullet yang digunakan memiliki tingkat keseragaman yang

tinggi pada saat pemasukan sehingga dilakukan pengelompokan berat badan dan

dilakukan pencatatan (ayam berumur 17 sampai 20 minggu). Sedangkan data

primer merupakan data pengamatan selama pelaksanaan penelitian yang

merupakan kelanjutan dari data sekunder (pada saat ayam berumur 21 minggu

sampai dengan akhir puncak produksi yaitu umur 29 minggu).

b. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini menggunakan 126 ekor ayam fase grower, strain Lohman

Brown. Pada umur 16 minggu ayam ditimbang dan dibagi dalam 3 kelompok

bobot badan yaitu < 1300 g (ringan), 1300-1400 g (sedang) dan > 1400 g (berat).

Ayam ditempatkan dalam kandang cage berderet, tiap deretan memiliki 21 unit,

Tiap unit cage diisi 2 (dua) ekor, sehingga setiap perlakuan menggunakan 42 ekor

ayam. Ukuran setiap unit cage mempunyai lebar 40 cm, panjang 30 cm dan tinggi

40 cm, berdinding dan berlantai kawat, dilengkapi dengan tempat makan dan

minum, terbuat dari pipa pvc (puralon).

Pemberian pakan berdasarkan jenis pakan dan konsumsi harian (Tabel 6)

dan air minum secara ad libitum, yang diberikan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan

sore hari. Untuk pakan grower terdiri atas 30% konsentrat SLC-22 yang

dicampur dengan 45% jagung dan 25% dedak, sehingga kandungan protein yang

14

di dapatkan dari ketiga pakan tersebut sebanyak 16%. Sedangkan pakan yang

diberikan pada fase layer terdiri atas 30% konsentrat RK 24 AA++ yang dicampur

dengan 40% jagung dan 30% dedak, sehingga di dapatkan kandungan protein

sebanyak 17.03%. Kandungan nutrisi konsentrat SLC-22 dan RK 24 AA dapat

dilihat pada Tabel 4 dan 5 :

Tabel 4. Kandungan Nutrisi Konsentrat (SLC- 22)No. Zat Nutrisi Persentase1 Kadar Air 122 Protein 27-293 Lemak 24 Serat 105 Abu 156 Kalsium 37 Phospor 1,20

Sumber : Analisis PT. Charoen Pokphan Indonesia.

Tabel 5. Kandungan Nutrisi Konsentrat (RK 24 AA)No. Zat Nutrisi Persentase1 Kadar Air 122 Protein 34-363 Lemak 34 Serat 85 Abu 306 Kalsium 107 Phospor 1,1

Sumber : Analisis PT. Charoen Pokphan Indonesia.

Tabel 6. Jumlah Pemberian.

15

Umur (Minggu)

Jumlah Pemberian(g/Ekor/Hari)

Jenis Pakan

13 65 Pakan Grower14 6615 7016 7517 7518 78 Pakan Layer19 8020 8021 9022 9523 10024 10525 11026 11027 11528 120

Parameter Yang Diukur

1. Umur produksi pertama (hari) : Dihitung dari menetas sampai dengan

memproduksi telur pertama

2. Bobot badan awal produksi (g) : Menimbang bobot badan pertama berproduksi

menggunakan timbangan duduk.

3. Produksi telur

a. Produksi telur : Banyaknya telur yang dihasilkan dari awal produksi

sampai dengan puncak produksi.

b. Berat telur pertama (g) : Diukur dengan cara menimbang berat telur

perbutir dengan menggunakan timbangan analitik.

c. Umur pada puncak Produksi (minggu)

d. Berat rata-rata telur (g)

Analisis Data

16

Data yang diperoleh diolah secara analisis ragam berdasarkan Rancangan

Acak Lengkap (RAL) 3 perlakuan dengan 21 kali ulangan. Apabila perlakuan

berpengaruh nyata maka diuji lebih lanjut dengan menggunakan Uji Beda Nyata

Terkecil (BNT) (Gazpersz, 1991). Adapun model matematika yang digunakan

adalah sebagai berikut :

Yij = µ + α i + ε ij

dimana : i = 1, 2, 3j = 1, 2, . . ., 21

Keterangan :

Yij = Produksi telur ke – j yang memperoleh perlakuan ke – i.

µ = Nilai tengah populasi (rata-rata populasi)

α i = Pengaruh perlakuan ke - i

ε ij = Pengaruh galat dari satuan percobaan ke - j dan yang memperoleh

perlakuan ke – i.

HASIL DAN PEMBAHASAN

17

Umur Produksi Pertama

Hasil rata-rata umur produksi pertama ayam ras petelur dengan berat

badan yang berbeda pada fase grower dapat dilihat pada Gambar 2.

B1 B2 B30

20

40

60

80

100

120

140

160

180164.71a 155.29b

141.95c

Um

ur P

rodu

ksi P

erta

ma

(Har

i)

Berat Badan (g)

Gambar 2. Rata-Rata Umur Produksi Pertama Ayam Ras Petelur Dengan Berat Badan yang Berbeda pada Fase Grower

.Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa, berat badan ayam ras

petelur fase grower berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap umur produksi pertama

pada fase produksi. Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) memperlihatkan bahwa

rata-rata umur produksi pertama antara perlakuan B1, B2 dan B3 berpengaruh

nyata. Namun, dibandingkan dengan perlakuan B1 dan B2 pada perlakuan B3

akan lebih awal bertelur. Hal ini mungkin disebabkan terbatasnya konsumsi

protein pada saat periode pertumbuhan, yang mengakibatkan awal peneluran lebih

rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Leeson dan Caston (1997) yang

menyatakan bahwa pada ayam petelur pada taraf protein 12 % pada periode

pertumbuhan umur 12-30 minggu mengakibatkan pubertas yang lebih dini

dibanding protein rendah. Terbatasnya konsumsi protein pada saat periode

18

pertumbuhan akibat dari terlambatnya pertumbuhan jaringan dan terbatasnya

persediaan pertumbuhan jaringan dan terbatasnya persediaan cadangan material

untuk pembentukan telur pertama. Etches (1996) mengemukakan bahwa

Pemberian ransum pada saat pertumbuhan akan berpengaruh terhadap

perkembangan organ reproduksi dan dewasa kelamin, sehingga berdampak pada

kemampuan menghasilkan telur pada saat periode produksi.

Berat Badan Awal Produksi

Rata-rata berat badan awal produksi ayam ras petelur dengan berat badan

yang berbeda pada fase grower dapat dilihat pada Gambar 3.

B1 B2 B30

200400600800

10001200140016001800 1673.57 1714.05 1743.57

Berat Badan (g)

Ber

at B

adan

Aw

al P

rodu

ksi

(g)

Gambar 3. Rata-rata Berat Badan Awal Produksi Ayam Ras Petelur dengan Berat Badan yang Berbeda pada Fase Grower

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berat badan

yang berbeda pada fase grower tidak memberi pengaruh yang nyata (P > 0.05)

terhadap berat badan awal produksi. Dari data terlihat bahwa berat badan awal

produksi, rata-rata berat ayam petelur relatif sama. Hal ini kemungkinan

disebabkan oleh tidak seimbangnya asupan energi yang terdapat dalam bahan

19

makanan pada saat periode starter sehingga hanya mampu memenuhi untuk

kehidupan pokok tetapi tidak untuk produksi. Jika dibandingkan dengan pendapat

Leeson dan Caston (1997) yang menyatakan bahwa, ayam-ayam yang tidak

dilakukan seleksi/penimbangan secara total dan hanya melakukan penimbangan

sample 10% dari jumlah ayam, berat badan ayam yang dihasilkan tidak akan bisa

seragam, sehingga dewasa kelamin juga tidak dapat tercapai secara bersamaan

dan ayam akan mengalami awal produksi yang tidak sama. Pada unggas petelur,

apabila berat badanya sesuai dengan berat badan yang dianjurkan oleh breeder,

umumnya akan mempunyai produksi telur yang baik, sedangkan yang berat

badannya jauh lebih berat/lebih ringan dari yang dianjurkan, umumnya produksi

telur kurang baik (Coonor, Barram dan Fueling 1976). Pada saat dua minggu

menjelang dewasa kelamin konsumsi protein meningkat pada ayam yang diberi

makan bebas memilih (Forbes dan Shariatmadari, 1994) Hal tersebut dibutuhkan

untuk cadangan bahan produksi telur. Tersedianyan cadangan bahan yang cukup

di dalam tubuh dapat ditunjukkan dengan tercapainya bobot hidup optimal pada

saat dewasa kelamin (Leeson dan Summers, 1991).

Produksi Telur

20

Rata-rata Produksi telur ayam ras petelur dengan berat badan yang berbeda

pada fase grower yang diperoleh selama penelitian dapat dilihat pada gambar 4.

B1 B2 B30

102030405060708090

100110120

88.43a99.24a

111.71bPr

oduk

si T

elur

(But

ir)

Berat Badan (g)

Gambar 4. Rata-rata Produksi Telur Ayam Ras Petelur Dengan Berat Badan yang Berbeda pada Fase Grower.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa berat badan ayam ras

petelur fase grower terhadap produksi telur pada fase produksi berpengaruh nyata

(P<0,05) terhadap produksi telur. Setelah dilakukan uji Beda Nyata Terkecil

(BNT) menunjukkan bahwa tingkat produksi telur ayam pada perlakuan B1 tidak

berbeda dengan B2, namun pada perlakuan B1 dan B2 nyata lebih rendah

dibanding B3. Hal ini mungkin diakibatkan oleh banyaknya asupan protein yang

dikonsumsi didalam ransum selama periode bertelur. Hal ini sesuai pendapat

Lilburn dan Miller (1990) yang menyatakan bahwa, produksi telur meningkat

seiring dengan meningkatnya penambahan protein dalam ransum yang diberikan

beberapa saat (2 minggu) sebelum bertelur serta ketika saat periode bertelur. Hal

yang sama juga dikemukakan oleh Suthama (2005) yang menyatakan bahwa,

tinggi rendahnya konsumsi protein dan energi pada fase bertelur awal, secara

fisiologis akan berpengaruh pada jumlah telur yang dihasilkan. Dimana pada fase

21

bertelur awal, tubuh ayam akan memperioritaskan penggunaan zat-zat gizi untuk

memproduksi telur.

Berat Telur Awal Produksi

Rata-rata berat telur awal produksi yang diperoleh selama penelitian dapat

dilihat pada Gambar 5.

B1 B2 B305

101520253035404550 45.67 44.16 44.04

Ber

at T

elur

Per

tam

a (g

)

Berat Badan (g)

Gambar 5. Rata-rata Berat Telur Awal Produksi Ayam Ras Petelur Dengan Berat Badan yang Berbeda pada Fase Grower.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa berat badan ayam ras

petelur fase grower tidak memberi pengaruh yang nyata (P > 0.05) terhadap berat

telur awal produksi. Dengan demikian, taraf protein ransum saat periode

pertumbuhan tidak berdampak terhadap konsumsi ransum selama periode awal

produksi, yang berdampak pada berat/massa telur dan performans pada saat awal

periode produksi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Douglas dan

Harms (1982) yang menyatakan bahwa, taraf protein ransum pada saat periode

pertumbuhan hanya berpengaruh pada produksi telur saat awal produksi, tetapi

tidak berpengaruh pada berat rata-rata awal produksi. Bell dan Weaver (2002)

mengemukakan bahwa besar telur dalam batas-batas tertentu akan meningkat

22

apabila ketersediaan protein dalam tubuh bertambah karena diperlukan untuk

membentuk albumen. Begitu pula tentang kebutuhan energy, untuk membentuk

telur yang lebih besar diperlukan energi yang lebih banyak.

Umur Puncak Produksi

Hasil pengamatan umur puncak produksi yang diperoleh selama penelitian

dapat dilihat pada Gambar 6.

B1 B2 B30

5

10

15

20

25

3025 25

23

Um

ur P

unca

k P

rodu

ksi (

min

ggu)

Berat Badan (g)

Gambar 6. Rata-rata Umur Puncak Produksi Ayam Ras Petelur Dengan Berat Badan yang Berbeda pada Fase Grower.

Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa umur puncak produksi relatif

sama antara perlakuan B1 dan B2 tetapi tidak demikian dengan perlakuan B3.

Dengan demikian ayam yang berat badan diatas 1400 g akan lebih dahulu

mencapai puncak produksi dibandingkan ayam yang beratnya dibawah 1400 g.

Untuk mengetahui umur puncak produksi pada ayam ras petelur yaitu dimana Hen

Day Production (HDP) sudah memasuki produksi sekitar 90% dari setiap

kelompok perlakuan.

23

Setelah memasuki umur 18 minggu ayam petelur mempunyai

pertumbuhan yang baik, organ reproduksinya sudah dewasa ditandai dengan

perkembangnya kelamin sekunder ayam betina yaitu jengger dan pial mulai

memerah, mata bersinar, dan postur tubuh sebagai ayam petelur mulai terbentuk

(North dan Bell, 1990).Ayam dewasa kelamin pada umur 19 minggu dan ditandai

dengan telur pertama. Pada prinsipnya produksi telur akan meningkat dengan

cepat pada bulan-bulan pertama dan mencapai puncak produksi pada umur 7

sampai 8 bulan (Malik, 2003).

Berat Telur Selama Produksi

Hasil pengamatan berat rata-rata telur selama produksi dapat dilihat pada

Gambar 7.

B1 B2 B305

10152025303540455055 52.1 52.443 52.957

Ber

at T

elur

(g)

Berat Badan (g)

Gambar 7. Rata-rata Berat Telur Selama Produksi Ayam Ras Petelur Dengan Berat Badan yang Berbeda pada Fase Grower.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berat badan

ayam ras petelur fase grower tidak memberi pengaruh yang nyata (P > 0.05)

terhadap berat telur selama produksi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa,

24

berat rata-rata telur selama produksi relatif sama yaitu berkisar 52,1 – 52,9

g/ekor/hari dan dapat dikategorikan sebagai telur tipe sedang. Hal ini sesuai

dengan pendapat Sarwono (1994) yang menggolongkan berdasarkan berat telur

menjadi beberapa kelompok yaitu : Jumbo (65 g), ekstra besar (60-65 g), besar

(55-60 g), sedang (50-55 g),kecil (45-50 g), dan kecil sekali (<45 g). Pemberian

protein ransum selama periode pertumbuhan hanya berpengaruh pada

pertumbuhan organ reproduksi, folikel dan bobot hidup. Sejalan dengan pendapat

Keshavarz (1995) yang menyatakan bahwa, taraf pemberian protein ransum

selama periode pertumbuhan berdampak terhadap performans produksi hanya

sampai pada awal produksi (umur 21-24 minggu), ditandai dengan adanya

perbedaan persentase produksi, massa/berat telur. Hal tersebut ditunjukkan

dengan adanya persentase produksi, berat telur yang tidak berbeda.

25

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Ayam ras petelur yang lebih ringan pada fase grower memperlihatkan

umur bertelur pertama yang lebih lama dibandingkan dengan ayam yang

lebih berat. Sebaliknya produksi telur tertinggi diperlihatkan pada ayam

yang memiliki berat badan yang lebih tinggi pada fase grower.

Berat badan yang berbeda pada fase grower tidak mempengaruhi berat

badan awal produksi, berat telur pertama, umur puncak produksi, dan rata-

rata berat telur ayam pada fase produksi.

Saran

Berdasarkan penelitian ini dapat disarankan penimbangan berat badan

pada saat ayam memasuki fase grower sehingga mendapatkan keseragaman berat

badan.

26

DAFTAR PUSTAKA

Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Seri Beternak Mandiri. Cetakan Pertama. Penerbit Lembaga Satu Gunungbudi, Bogor.

Anggorodi, R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Kemajuan Mutakhir. Cetakan Pertama. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta.

____________. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Cetakan 4. Gramedia, Jakarta.

____________. 1994. Ilmu Makanan Ternak Unggas Cetakan 5. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Anonim, 2001. Annual Report. PT. Japfa Comfeed. http://www. Japfacomfeed.co.id/profile/JapfaAnnualReport 2001. pdf . Diakses tanggal 3 Maret 2012.

_______, 2005. Manual Manajemen Layer CP 909R. PT. Charoen Pokhphand Indonesia, Surabaya.

_______, 2006. Cara Memilih Ayam Negri. http://www..peternakan .com/Tip/Ayam/topik01.htm. Diakses tanggal 3 Maret 2012.

_______, 2007. Layer Management Guide. http://www.morrishachery.com . Diakses tanggal 3 Maret 2012.

_______, 2011a. Pertumbuhan Berat Badan yang Optimal pada Ayam Petelu/Layer.http://kunta-adnan.blogspot.com/2011/07/pertumbuhan-berat-badan-yang-optimal.html. Diakses tanggal 1 Maret 2011.

_______,2011b. Growing Guide Lohmann Brown. http://realisingthedream . blogspot.com/p/lohmann-browns.html. Diakses tanggal 3 maret 2012.

Banong, S. 2012. Manajemen Industri Ayam Ras Petelur. Masagena Press, Makassar.

Bell, D.D., & W.D. Weaver. 2002. Comercial Chicken Meat and Egg Production. 5th Edition. Springer Science and Business Media, Inc., New York.

Blakely, J dan D.H Bade. 1991. Ilmu Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Cahyono, B. 1995. Ayam Petelur (Gallus sp). Pustaka Nusatama, Yogyakarta. http://warintek.progressio.or.id/-by rans.

27

Card, L.E. and M.C. Nesheim. 1972. Poultry Production. 11th Ed. Lea and Febiger, Philadelphia.

Coonor,J.K.,K.M Barram and.D.E. Fueling. 1976. Controlled Feeding of the layer.2.Restriction Intime of toFeedof the ReplacementPullet and Laying Hen. Aust. Journal.Exp.Agric Anim.Husb. 17:588-597.

Douglas, C.R. and R.H. Harms. 1982. The influence of low protein grower diets on spring housed pullets. Poult. Sci. 61: 1885-1827.

Etches, R.J. 1996. Reproduction in Poultry. University press. Cambridge.

Forbes, J.M. and F. Shariatmadari. 1994. Diet selection by poultry. World’s Poultry Sci.J. 50: 7-24.

Gazpersz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Penebar Swadaya, Jakarta.

Jull, M.A. 1978. Poultry Production. 3rd Ed. Mc Graw Hill Book Company Inc. New York.

Keshavarz, K. 1995. Further investigations on the effect of dietary manipulations of nutrients on early egg weight. Poult. Sci. 74:50-61

Leeson,S ., and J.D Summers. 1991. Commercial Poultry Nutrition. University Books, Guelph, Ontario, Canada.

Leeson, S . and L.J. Caston. 1997. A Problem with characteristics of the thin albumen I laying hens. Poult. Sci. 76: 1332-1336.

Lilburn, M.S. and D.J.Myers-Miller. 1990. Dietary effects on body composition and subsequent production characteristics in broiler breeder hens. Poult. Sci 69:1126-1132.

Malik, A. 2003. Dasar Ternak Unggas. Fakultas Peternakan dan Perikanan. Universitas Muhammadiyah Malang, Malang.

Marks, H.L. 1989. Diovergent Selection for growth in Japanese Quail under split and complete nutritional environment. 3. Influences of selection for growth on heritic effects for body weigh, feed and wared intake patterns, abdominal fat, and carcass lipid characteristic. Poultry Science Vol. 68, No. 1 Hal 37.

Morrison, F.B. 1967. Feed and Feeding. The Morrison Publishing Co. Clinton, Iowa, USA.

Mude, M. 1987. Produktifitas dan Berat Telur pada Ayam yang Dipelihara di atas Alas Limbah yang berbeda. Tesis. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

28

North, M.O. And D.D Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th

Edition. Published By Van Nostrand Reinhald, New York.

Rasyaf, M. 1995. Penyajian Makanan Ayam Petelur. PT. Penebar Swadaya, Jakarta

Romanoff, A.L., and A.J. Romanoff. 1963. The Avian Egg. John Willey and Sons Inc., New York.

Sarwono, B. 1994. Pengawetan Telur Dan Manfaatnya. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.

Soeharsono. 1976. Respon Broiler Terhadap Berbagai Kondisi Lingkungan. Disertasi. Universitas Padjajaran, Bandung.

Suthama, N. 2005. Respon produksi ayam kampung petelur terhadap ransum memakai dedak padi fermentasi dengan suplementasi sumber mineral. J. Indon. Trop. Anim. Agric. Pp. 116-121.

Tillman, D. A., H. Hartadi, S. Prawiro dan Lebdosoekodjo. 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan Ketiga. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Waskito, M.W. 1983. Pengaruh Berbagai Faktor Lingkungan Terhadap Gala Tumbuh Ayam Broiler. Disertasi. Universitas Padjajaran, Bandung.

Yuwanta, T. 1998. Pengaruh Berat Badan Inisial dan Model Distribusi Pakan Terhadap Hirarkhis Folikuler dan Persistensi Produksi Ayam Petelur, Vol 22 (2). Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Lampiran 1. Analisis Sidik Ragam Umur produksi pertama

29

Deskriptives

umur produksi pertama Mean N

Std. Deviation

% of Total N Minimum Maximum

B1 164.71 21 12.598 33.3% 150 204B2 155.29 21 11.199 33.3% 130 183B3 141.95 21 13.687 33.3% 123 164Total 153.98 63 15.514 100.0% 123 204

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups

5493.460 2 2746.730 17.477 .000

Within Groups 9429.524 60 157.159Total 14922.984 62

Berpengaruh Sangat Nyata (P<0,05)

Multiple Comparisons

(I) umur prod. pertama

(J) umur prod. Pertama

Mean Difference (I-

J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

LSD B1 B2 9.429* 3.869 .018 1.69 17.17

B3 22.762* 3.869 .000 15.02 30.50

B2 B1 -9.429* 3.869 .018 -17.17 -1.69

B3 13.333* 3.869 .001 5.59 21.07

B3 B1 -22.762* 3.869 .000 -30.50 -15.02

B2 -13.333* 3.869 .001 -21.07 -5.59

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Lampiran 2. Analisis Sidik Ragam Berat Badan Awal Produksi

30

Deskriptif

ReportHasil BBadan awl. Prod

Berat badan awal produksi Mean N

Std. Deviation Minimum Maximum

% of Total N

B1 1673.57 21 109.306 1450 1915 33.3%B2 1714.05 21 114.669 1410 1860 33.3%B3 1743.57 21 124.310 1490 1960 33.3%Total 1710.40 63 117.971 1410 1960 100.0%

ANOVAHasil BBadan awl. Prod

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups

51869.841 2 25934.921 1.919 .156

Within Groups 810995.238 60 13516.587Total 862865.079 62

Lampiran 3. Analisis Sidik Ragam Produksi Telur

31

Deskriptif

Total Produksi Mean N

Std. Deviation Minimum Maximum

% of Total N

B1 88.43 21 17.724 41 117 33.3%B2 99.24 21 17.126 69 137 33.3%B3 111.71 21 22.470 67 149 33.3%Total 99.79 63 21.232 41 149 100.0%

ANOVAHasil Total Produksi

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups

5703.079 2 2851.540 7.690 .001

Within Groups 22247.238 60 370.787Total 27950.317 62

Berpengaruh nyata (P<0,05)

Multiple ComparisonsDependent Variable:Hasil Total Produksi

(I) Total Produksi

(J) Total Produksi

Mean Difference (I-

J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

LSD B1 B2 -10.810 5.942 .074 -22.70 1.08

B3 -23.286* 5.942 .000 -35.17 -11.40

B2 B1 10.810 5.942 .074 -1.08 22.70

B3 -12.476* 5.942 .040 -24.36 -.59

B3 B1 23.286* 5.942 .000 11.40 35.17

B2 12.476* 5.942 .040 .59 24.36

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Lampiran 4. Analisis Sidik Ragam Berat lelur awal Produksi

32

Descriptives

B.telur.Awal.Pro Mean N

Std. Deviation Minimum Maximum

% of Total N

B1 45.6743 21 4.88102 37.47 56.54 33.3%B2 44.1690 21 4.10325 36.89 54.77 33.3%B3 44.0429 21 5.80297 33.95 57.75 33.3%Total 44.6287 63 4.95351 33.95 57.75 100.0%

ANOVA

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups

34.603 2 17.301 .698 .501

Within Groups 1486.710 60 24.778Total 1521.312 62

Tidak berpengaruh (P>0,05)

Lampiran 6. Analisis Sidik Ragam Berat Rata-rata Telur.

33

DescriptifHasil Berat Telur rata-rata

Berat Telur rata-rata Mean N

Std. Deviation Minimum Maximum

% of Total N

B1 52.100 21 2.4048 49.0 56.2 33.3%B2 52.443 21 2.6919 44.7 56.4 33.3%B3 51.957 21 3.8234 45.9 61.3 33.3%Total 52.167 63 2.9935 44.7 61.3 100.0%

ANOVAHasil Berat Telur rata-rata

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups

2.617 2 1.309 .142 .868

Within Groups 552.963 60 9.216Total 555.580 62

Tidak berpengaruh nyata (P>0,05)

RIWAYAT HIDUP

34

Muh.Sahlan Bai’ad (I11107024), lahir di Sungguminasa

pada tanggal 9 Juni 1989, Provinsi Sulawesi Selatan.

Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, dari

pasangan suami istri Drs.H. Siradjudin sidik dan Hj.

Mukminati Saleh, S.Pd. Penulis mengawali pendidikan di

Taman Kanak-kanak (TK) Aisiyah pada tahun 1995. Pada tahun 1996 penulis

melanjutkan pendidikan di SD Inp. Bertingkat, Sungguminasa Kab.Gowa dan

lulus pada tahun 2001. Tahun 2001 sampai dengan 2007 penulis melanjutkan

pendidikan Madrasah Tsanawiyah (MTS) dan Madrasah Aliah (MA) pada

sekolah yang sama di Pondok Pesantren Al-Zaytun, Indramayu Prov.Jawa Barat.

Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan ke Universitas Hasanuddin

melalui jalur SPMB UNHAS dan masuk pada Fakultas Peternakan Jurusan

Produksi Ternak.

35