Skripsi Jadi 1 File 2
description
Transcript of Skripsi Jadi 1 File 2
BAB 1PENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangMasyarakat Indonesia menganggap lumrah melihat kebiasaan
merokok pada kalangan laki-laki, bahkan pada beberapa budaya hal
tersebut dianggap sebagai suatu simbol kejantanan. Paradigma ini juga
dipengaruhi oleh maraknya iklan-iklan rokok yang menggambarkan
kejantanan laki-laki yang meningkat dengan merokok. Sedangkan perilaku
merokok pada kalangan perempuan masih dianggap tabuh pada sebagian
besar budaya di Indonesia, namun pandangan ini kini mengalami
pergeseran yang diakibatkan peningkatan iklan-iklan rokok yang juga
menggunakan model-model wanita yang digambarkan sebagai perokok,
sehingga menimbulkan suatu paradigma baru bahwa wanita muda, enerjik
dan modern dianggap wajar untuk merokok pada saat ini, hal ini
didasarkan pada hasil penelitian kualitatif yang telah dilakukan
(Reimondos A et al, 2010).
Rokok terbuat dari daun tembakau yang dikeringkan dengan
tambahan berbagai rasa untuk membuat rokok lebih menarik. (American
Cancer Society, 2013). Berdasarkan survey BPOM (Badan Pengawas
Obat dan Makanan) rokok kretek rata-rata mengandung tar dan nikotin
lebih tinggi dibandingkan rokok putih, kandungan tar dan nikotin pada
rokok kretek berkisar antara 40-60 mg untuk tar dan 3 mg nikotin. Angka
tersebut jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan rokok putih yang rata-
rata mengandung tar tidak lebih dari 20 mg dan mengandung nikotin rata-
rata tidak lebih dari 1,5 mg pada setiap batang rokoknya
(http:/wishmeluck78.wordpress.com/shoutbox/motivasi-kerja/artikel). Pada
Umumnya jenis rokok yang menjadi pilihan utama orang-orang Indonesia
menurut penelitian yang dilakukan oleh GATS (Global Adult Tobacco
Survey) adalah jenis rokok kretek, yakni sebanyak 80,4 persen angka
tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan pengguna rokok jenis
lainnya seperti rokok lintingan yang hanya 5,6 persen dan rokok putih
1
yang hanya 3,7 persen penduduk Indonesia (http://doktersehat.com/86-
persen-orang-indonesia-sadar-bahaya-rokok-bagi-kesehatan). Hal ini
dikarenakan harga rokok kretek yang sangat murah sehingga mudah
dijangkau baik oleh anak-anak usia sekolah yang belum memiliki
penghasilan maupun oleh keluarga menengah kebawah dengan
penghasilan yang pas-pasan (Wahyuningsih M, 2012).
Berdasarkan peringkat dunia, dengan 60% penduduk pria dan
4,5% penduduk wanitanya menjadi perokok, sekitar 61,4 juta penduduk
indonesia adalah perokok aktif, membuat indonesia berada di urutan
ketiga setelah cina dan india sebagai Negara dengan jumlah perokok aktif
terbesar di dunia. Usia mulai merokok di Indonesia juga semakin muda,
sehingga terjadi peningkatan jumlah perokok di kalangan anak dan
remaja, dan 43 juta anak Indonesia yang 11,4 jutanya berusia 0-4 tahun
ikut menyumbang jumlah perokok pasif yang seluruhnya 97 juta jiwa
(Rachmaningtyas A, 2013). Lebih dari dua ratus ribu kematian per
tahunnya yang terjadi di Indonesia diakibatkan oleh kebiasaan merokok,
menurut data WHO terakhir tentang konsumsi tambakau dunia, rata-rata
usia di atas 10 tahun penduduk laki-laki dan perempuan di Indonesia
hampir 46,8 persen dan 3,1 persennya merupakan perokok, sehingga
secara keseluruhan sekitar 62,8 juta penduduk Indonesia merupakan
perokok yang hampir setengahnya berasal dari kalangan ekonomi bawah
(Reimondos A et al, 2010). PPOK menyumbang angka kematian global
sebesar 5% atau lebih dari 3 juta jiwa selama tahun 2005, dimana 65 juta
jiwa di seluruh dunia megalami PPOK derajat sedang hingga berat,
dengan Negara-negara berkembang termasuk Indonesia berkontribusi
pada 90% dari angka kematian tersebut. Sekitar 80% pasien dengan klinis
PPOK yang signifikan memiliki riwayat perokok dan pada tahun 2012 jika
faktor resiko PPOK tidak dikendalikan khususnya kebiasaan merokok di
masyarakat maka angka kematian pada tahun ini akan jauh melebihi
kejadiannya di tahun 2002, dimana PPOK berada di urutan kelima
penyebab kematian di seluruh dunia (WHO, 2013).
2
Berdasarkan hasil penelitian The third National Health and Nutrition
Examination Survey (NHANES III) dan Lung Health Study. Rekomendasi
yang tepat untuk pelaksanaan skrining dengan spirometry untuk perokok
berusia 45 tahun ke atas atau pada semua perokok dengan keluhan-
keluhan pada saluran pernapasan (Albert RK et al, 2008). Hampir seluruh
nilai spirometrik didapatkan selama manuver forced expiratory vital
capacity (FEVC), Beberapa nilai yang penting dari manuver ekspirasi
paksa adalah forced vital capacity (FVC), first expired volume in the first
second (FEV1), dan rasio FEV1/FVC (Albert RK et al, 2008).
Penelitian terhadap hubungan kebiasaan merokok dengan hasil tes
fungsi paru yang abnormal telah banyak dilakukan. Namun sejauh ini,
belum ada penelitian yang dapat membuktikan adanya perbedaan efek
yang dihasilkan pada nilai tes fungsi paru pada perokok yang merokok
dengan rokok kretek dan rokok putih. Padahal, hal ini sangat penting
untuk memberikan edukasi pada masyarakat bahwa rokok kretek ataupun
rokok putih sama-sama memiliki efek yang buruk terhadap kesehatan. Hal
tersebut menjadi alasan peneliti untuk melakukan penelitian mengenai
perbedaan pengaruh antara kebiasaan merokok dengan rokok kretek dan
rokok putih terhadap forced expiratory volume in the first second ( FEV1).
1.2. Rumusan MasalahApakah terdapat perbedaan pengaruh dari kebiasaan merokok
dengan rokok kretek dibandingkan rokok putih terhadap nilai forced
expiratory volume in one second (FEV1) ?
1.3. Tujuan Penelitian1.3.1. Tujuan umum
membandingkan nilai forced expiratory volume in the first second
(FEV1) pada perokok dengan rokok kretek dan rokok putih.
3
1.3.2. Tujuan khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah
Untuk membuktikan adanya pengaruh dari kadar bahan yang
berbeda pada jenis rokok yang dihisap terhadap volume paru
forced expiratory volume in the first second (FEV1).
1.4. Manfaat Penelitian1.4.1. Manfaat teoritis2. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan bacaan dan sumber serta
referensi pembelajaran untuk perpustakaan Universitas Hang Tuah
khususnya Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya.
3. Penelitian ini adalah sebagai bentuk aplikatif ilmu kedokteran yang
telah saya peroleh selama menjadi mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya.
4. Sebagai sumbangan informasi dan ilmu yang dapat digunakan
sebagai dasar penelitian selanjutnya tentang hubungan merokok
dengan fungsi paru.
1.4.2. Manfaat aplikatif1. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan
kepada masyarakat pada umumnya, bahwa merokok merupakan
faktor resiko berbagai permasalahan kesehatan yang berhubungan
dengan penurunan fungsi paru.
2. Hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada
masyarakat cara menjaga kesehatan fungsi paru dan pencegahan
terhadap penyakit paru.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan mengenai Paru
2.1.1. Anatomi paru
Cavitas thoracis terdiri atas beberapa ruangan yang terbagi
menjadi sebuah ruang di tengah yang berisi struktur antara lain seperti
jantung, aorta, oesophagus dan disebut mediastinum, dan sepasang
ruangan di masing-masing sisi lateral mediastinum yang berisi pleura dan
paru-paru (Moore KL, Agur AMR, 2002).
Cavitas pleura kanan dan kiri merupakan sepasang kompartemen
terpisah pada kedua sisi mediastinum. Masing-masing membungkus
sebuah paru dan juga menghubungkan paru dengan bronchial tree dan
pembuluh darah, saraf dan limfatik. Dindingnya terbentuk dari membran
terluar yang disebut pleura parietalis, dan lapisan dalam atau lapisan
visceral lebih lembut dan melekat secara kuat terhadap permukaan paru
dan mengikuti fisura-fisura interlobaris. Kedua lapisan tersebut
berhubungan satu dengan yang lain mengelilingi struktur-struktur pada
hilum paru. Kedua lapisan tersebut tetap tertutup walaupun terdapat
pergesekan, selama kontak pada semua fase respirasi. Ruang potensial
diantara kedua lapisan tersebut disebut sebagai cavitas pleuralis. Paru-
paru tidak mengisi ruang ini disaat respirasi tenang. Tetapi bergerak ke
arah recessus seperti recessus costodiafragmaticus. Yang memisahkan
pleura costalis dari pleura diafragmatika, pada pernapasan dalam (Drake
RL et al, 2010).
Kedua paru-paru merupakan organ respirasi dan terletak pada
kedua sisi mediastinum yang dikelilingi oleh cavitas pleura kanan dan kiri.
Paru-paru kanan normalnya memiliki ukuran yang sedikit lebih besar
dibandingkan dengan paru-paru kiri karena mediastinum di tengah,
mengandung jantung, yang meluas lebih ke arah kiri daripada ke kanan.
Masing-masing paru memiliki bentuk setengah kerucut, dengan basis,
apeks, dua permukaan dan tiga batas (Drake RL et al, 2010).
5
Basisnya menduduki diafragma. Apeks terproyeksi di atas costa I
dan masuk ke dalam radiks leher. Dua permukaanya yakni, permukaan
costalis terletak berdekatan terhadap costa-costa dan ruang intercostal
dari dinding thoraks. Permukaan mediastinal terletak berhadapan dengan
mediastinum di bagian anterior dan kolumna vertebralis di bagian
posterior dan mengandung hilum paru yang berbentuk koma yang
merupakan tempat struktur-struktur masuk dan meninggalkan paru. Tiga
batas pada paru yaitu, batas inferior paru tajam dan memisahkan basis
paru dari permukaan costalis. Batas anterior dan posterior memisahkan
permukaan costalis dari permukaan medial. Tidak seperti batas anterior
dan posterior yang tajam, batas posterior bersifat lembut dan bulat (Drake
RL et al, 2010).
Paru-paru kanan memiliki tiga lobus dan dua fisura, yaitu fisura
obliqua yang memisahkan lobus inferior dari lobus superior dan lobus
medius paru kanan. Fisura horizontalis memisahkan lobus superior dari
lobus medius. Paru-paru kiri memiliki dua lobus yang dipisahkan oleh
sebuah fisura obliqua. Fisura obliqua pada paru kiri sedikit lebih miring
daripada fisura yang sama pada paru kanan (Drake RL et al, 2010).
2.1.2. Mekanisme ventilasi Seorang dewasa sehat yang tidak melakukan aktivitas berat
(istirahat) bernapas 10 sampai dengan 15 kali permenit, menghisap
sekitar 500 mL udara selama inspirasi dan menghembuskannya lagi
selama ekspirasi (Saladin KS, 2003).
1. Tekanan dan aliran
Salah satu cara untuk mengubah tekanan sebuah gas dan oleh
karenanya membuatnya mengalir, adalah dengan mengubah volume
tempat penyimpanannya, berdasarkan Hukum Boyle yang menyatakan
bahwa tekanan yang diberikan pada sejumlah gas berbanding terbalik
dengan volumenya (dengan menganggap temperatur dalam keadaan
konstan). Apabila paru-paru mengandung sejumlah gas dan volume paru
meningkat, maka tekanan intrapulmoner (tekanan dalam alveoli) menurun.
6
Apabila volume paru menurun, tekanan intrapulmoner meningkat. Untuk
membuat udara mengalir ke dalam paru-paru, yang diperlukan hanya
untuk menurunkan tekanan intrapulmoner dibawah tekanan atmosfer.
Peningkatan tekanan intrapulmoner diatas tekanan atmosfer
menyebabkan udara mengalir keluar lagi. Perubahan-perubahan ini
disebabkan oleh otot-otot skeletal pada dinding-dinding thoraks dan
abdomen mengubah volume cavitas thoraks (Saladin KS, 2003).
2. Inspirasi
Ventilasi pulmoner dicapai melalui perubahan yang berirama dari
tekanan dalam cavitas thoraks. Udara mengalir kedalam paru-paru ketika
tekanan dalam rongga thoraks turun dibawah tekanan atmosfer, kemudian
dipaksa keluar ketika tekanan dalam rongga thoraks meningkat diatas
tekanan atmosfer. Diafragma, bentuknya yang seperti kubah pada saat
istirahat, tetapi ketika distimulasi oleh nervus phrenicus, ia menegang dan
mendatar menurunkan permukaannya sekitar 1.5 cm pada pernapasan
biasa dan sebanyak 7 cm pada pernapasan dalam. Hal tersebut
memperbesar rongga thoraks dan oleh karenanya menurunkan tekanan
internalnya. Otot-otot bantu napas, m. scalenus melekatkan (membuat
tidak bergerak) pasangan tulang rusuk pertama sedangkan m.
intercostalis externus mengangkat tulang rusuk yang lainnya seperti
pegangan pada ember, membuat mereka bergerak ke atas dan ke luar.
Inspirasi dalam dibantu oleh m. pectoralis minor, m.
sternocleidomastoideus, dan m. erector spinae (Saladin KS, 2003).
Karena ruang dalam tulang rusuk mengembang, pleura parietalis
yang melekat padanya ikut mengembang. Pada ruangan diantara pleura
parietalis dan pleura visceralis tekanan intrapleura menurun dari nilainya
yaitu, sekitar -4 mmHg saat istirahat menjadi -6 mmHg selama inspirasi.
Pleura visceralis melekat pada pleura parietalis, sehingga ia juga tertarik
ke arah luar. Karena pleura visceralis juga membentuk permukaan paru,
maka paru-paru juga ikut mengembang (Saladin KS, 2003).
Ketika otot-otot pernapasan berhenti berkontraksi, udara yang
mengalir masuk secara cepat mencapai sebuah tekanan intrapulmoner
7
yang sebanding dengan tekanan atmosfer, dan menghentikan aliran.
Ukuran dari rongga thoraks meningkat beberapa millimeter pada setiap
arah, hal ini cukup untuk meningkatkan volume total sampai 500 mL.
Sehingga, 500 mL udara mengalir ke dalam traktus respiratorius selama
pernapasan biasa (Saladin KS, 2003).
3. Ekspirasi
Ekpirasi normal selama pernapasan biasa merupakan sebuah
proses pasif yang tidak membutuhkan energi. Ekspirasi dicapai oleh
adanya elastisitas paru-paru dan kerangka thoraks (kecenderungan untuk
kembali ke ukuran semula ketika terlepas dari suatu tegangan). Bronchial
tree memiliki sejumlah besar jaringan ikat elastis pada dindingnya.
Perlekatan dari tulang rusuk terhadap tulang belakang dan sternum, dan
adanya tendon dari diafragma dan otot-otot pernapasan lainnya, juga
memliki derajat elastisitas yang menyebabkan mereka kembali ke kondisi
awal ketika kontraksi muskular berhenti. Karena daya balik dari struktur-
struktur ini, rongga thoraks mengecil dalam ukurannya. Sesuai dengan
Hukum Boyle, hal ini akan meningkatkan tekanan intrapulmoner (Saladin
KS, 2003).
Ketika inspirasi berhenti, nervus phrenicus berlanjut menstimulasi
diafragma untuk beberapa waktu. Hal ini menghasilkan sebuah aksi
pengereman ringan yang mencegah paru-paru mengalami daya rekoil
yang terlalu tiba-tiba, sehingga hal ini menciptakan transisi dari inspirasi
ke ekspirasi menjadi lebih lembut. Pada pernapasan yang tenang,
inspirasi biasanya berlangsung sekitar 2 detik dan ekspirasi sekitar 3 detik
(Saladin KS, 2003).
8
Gambar 2.1 siklus perubahan tekanan yang menyebabkan ventilasi
pada paru. Tekanan disini berdasarkan pada tekanan atmosfer 760
mmHg (1 atm) (Saladin KS, 2003).
4. Volume paru
Jumlah udara yang bergerak ke dalam paru melalui masing-masing
inspirasi (atau jumlah yang bergerak ke luar melalui masing-masing
ekspirasi) disebut volume tidal. Udara yang diinspirasi dengan usaha
inspirasi maksimal yang melebihi volume tidal disebut dengan volume
cadangan inspirasi. Volume yang dikeluarkan melalui usaha ekspirasi aktif
setelah ekspirasi pasif disebut volume cadangan ekspirasi. Dan udara
yang tertinggal di dalam paru-paru setelah usaha ekspirasi maksimal
disebut volume residual (Ganong WF, 2005).
Ruangan pada daerah konduksi saluran udara ditempati oleh gas
yang tidak mengalami pertukaran dengan darah dalam pembuluh
pulmoner yang disebut ruang rugi respirasi. Kapasitas vital, jumlah
terbesar dari udara yang dapat diekspirasikan setelah suatu usaha
inspirasi maksimal, merupakan suatu frekuensi yang diukur secara klinis
sebagai suatu indeks fungsi pulmoner. Fraksi dari kapasitas vital yang
diekspirasikan selama satu detik pertama dari ekspirasi paksa (FEV1)
(Ganong WF, 2005).
Jumlah udara yang diinspirasi per-menit (ventilasi paru, volume
respirasi per-menit) normalnya sekitar 6 L (500 mL/napas X 12 kali
pernapasan/menit). Ventilasi sadar yang maksimal (maximal breathing
capacity) atau yang biasa disebut maximal breathing capacity, merupakan
9
volume terbesar dari gas yang dapat bergerak ke dalam dan keluar paru
dalam 1 menit dengan usaha yang disadari. Nilai normalnya adalah 125-
170 L/menit (Ganong WF, 2005).
Gambar 2.2.. menunjukkan diagram penyimpangan respirasi selama
pernapasan normal dan selama inspirasi dan ekspirasi maksimal
(Guyton AC, Hall JE, 2007).
2.1.3. Tekanan pleura dan perubahannya selama pernapasanAdanya cairan pada ruangan sempit yang terletak antara dua
lapisan pleura yaitu pleura parietalis dan pleura visceralis memiliki suatu
tekanan yang disebut tekanan pleura, pada keadaan fisiologis saat akan
memulai inspirasi dibutuhkan tekanan pleura untuk memastikan agar paru
tetap dalam keadaan terbuka, nilai tekanan tersebut sekitar -5 sentimeter
air. Pengembangan paru tersebut akan ditingkatkan oleh adanya daya
tarikan dari rangka dada yang menarik paru ke arah luar sehingga
meningkatkan tekanan menjadi lebih negatif, sekitar -7,5 sentimeter air
(Guyton AC, Hall JE, 2007).
10
Gambar 2.3 perubahan pada volume paru, tekanan alveolar,
tekanan pleura, dan tekanan transpulmonal selama pernapasan
normal (Guyton AC, Hall JE, 2007).
2.1.4. Tekanan alveolusAlveolus-alveolus dalam paru yang merupakan unit struktural dan
fungsional terkecil dari paru juga memiliki tekanan yang disebut tekanan
alveolus. Agar selama inspirasi berlangsung terjadi aliran dari udara ke
dalam alveoli, maka tekanan atmosfer pada lingkungan sekitar harus lebih
tinggi dari tekanan alveoli, sehingga harus terjadi suatu penurunan nilai
tekanan alveoli (di bawah tekanan atmosfer) (Guyton AC, Hall JE, 2007).
Normalnya, selama terjadinya inspirasi nilai tekanan alveoli akan
menurun sampai -1 sentimeter air. Hal ini cukup untuk menyebabakan
inspirasi normal dalam waktu 2 detik dan menarik sebanyak 0,5 liter udara
ke dalam paru (Guyton AC, Hall JE, 2007).
Selama ekspirasi normal dan tenang selama 2 sampai 3 detik akan
terjadi pengeluaran udara 0,5 liter, hal ini diakibatkan oleh adanya
peningkatan tekanan alveolus sampai nilai +1 sentimeter air selama
ekspirasi (Guyton AC, Hall JE, 2007).
11
2.1.5. Tekanan transpulmonalTekanan transpulmonal adalah perbedaan antara tekanan alveolus
dan tekanan pleura. Merupakan tekanan daya lenting paru yang
menggambarkan daya elastis paru yang akan mengempiskan paru pada
setiap pernapasan (Guyton AC, Hall JE, 2007).
2.1.6. Komplians paruKomplians paru merupakan suatu perluasan pengembangan paru
yang diakibatkan setiap unit peningkatan tekanan transpulmonal (jika
terdapat waktu yang mencukupi untuk suatu keseimbangan). Pada paru
orang dewasa normal memiliki komplians paru rata-rata sekitar 200
mililiter udara per cm tekanan transpulmonal air untuk kedua parunya. Hal
ini berarti, volume paru akan mengembang 200 mililiter setelah 10 sampai
20 detik, jika terjadi peningkatan nilai tekanan transpulmonal sebesar 1
sentimeter air (Guyton AC, Hall JE, 2007).
1. Diagram Komplians Paru
Gambar 2.4 diagram komplians pada orang sehat. Diagram ini
menunjukkan komplians dari paru sendiri (Guyton AC, Hall JE,
2007).
Dua macam daya elastis paru yang menentukan ciri khas diagram
komplians paru adalah: (1) daya elastis jaringan paru itu sendiri (2) daya
elastis yang disebabkan oleh tegangan permukaan cairan yang melapisi
12
dinding bagian dalam alveoli dan ruang udara paru lainnya (Guyton AC,
Hall JE, 2007).
Gambar 2.5 pembandingan dari diagram dari paru yang terisi saline
dan paru yang terisi udara ketika tekanan alveolar dijaga tetap pada
tekanan atmosfer dan tekanan pleura diubah (Guyton AC, Hall JE,
2007).
Parenkim paru yang juga tersusun atas jalinan serabut elastin dan
serabut kolagen mempengaruhi daya elastis jaringan paru itu sendiri. Jika
serabut-serabut ini berkontraksi dan menjadi kaku maka paru akan
mengempis; saat serabut-serabut ini meregang dan tidak kaku lagi,
sehingga setiap serabutnya akan menjadi lebih panjang paru akan
mengembang (Guyton AC, Hall JE, 2007).
Untuk melihat pengaruh tegangan permukaan cairan yang melapisi
dinding bagian dalam alveoli terhadap elastisitas paru, maka dilakukan
percobaan dengan membandingkan komplians paru saat diisi udara dan
larutan salin. Saat udara dimasukkan ke dalam paru akan terjadi
pertemuan antara udara tersebut dengan cairan yang melapisi alveoli
sehingga akan menimbulkan tegangan permukaan, namun saat larutan
salin diisikan ke dalam paru pertemuan udara-cairan itupun tidak terjadi
sehingga tidak menghasilkan tegangan permukaan. Sehingga dibutuhkan
tekanan transpleura yang lebih besar untuk mengembangkan paru yang
terisi udara dibandingkan dengan paru yang terisi larutan salin.
13
Kesimpulannya daya elastisitas paru total terdiri atas sepertiganya
merupakan elastisitas jaringan paru dan dua pertiganya adalah daya
tegangan permukaan cairan-udara (Guyton AC, Hall JE, 2007).
2.1.7. Surfaktan Seluruh permukaan alveoli mengandung sekitar 10 persen sel
epitel alveolus tipe II, yang mampu mensekresikan surfaktan yang berupa
campuran komplek beberapa fosfolipid, protein, dan ion. Fosfolipid
dipalmitoilfosfatidilkolin, dan beberapa fosfolipid lainnya bertanggung
jawab dalam menurunkan tegangan permukaan. Sebagian molekul dari
zat diatas akan terlarut sedangkan sisanya akan menyebar ke seluruh
permukaan air dalam alveoli sehingga akan menurunkan tegangan
permukaan alveoli menjadi setengah jumlah tegangan permukaan pada
permukaan air murni (Guyton AC, Hall JE, 2007).
2.1.8. Efek rangka toraks pada kemampuan pengembangan paruElastisitas dan kepadatan pada rangka toraks sangat mirip dengan
yang ada pada paru; bahkan jika tidak terdapat paru dalam rongga toraks,
rangka toraks tetap akan membutuhkan kemampuan otot untuk
mengembangkan rangka toraks tersebut (Guyton AC, Hall JE, 2007).
2.1.9. Pusat pernapasanRespirasi spontan dihasilkan melalui stimulasi berirama dari
aktivitas neuron motorik yang menginervasi otot-otot respirasi. Stimulasi
ini sepenuhnya bergantung pada impuls syaraf dari otak; pernapasan
akan berhenti jika chorda spinalis terpotong di atas dari daerah asal
nervus phrenicus (Ganong WF, 2005).
Stimulasi berirama dari otak yang memproduksi respirasi spontan
diatur oleh pergantian konsentrasi PO2, PCO2, dan H+ arterial, dan kontrol
kimia dari pernapasan ini juga ditingkatkan oleh sejumlah pengaruh-
pengaruh non-kimia (Ganong WF, 2005).
14
1. Kontrol syaraf terhadap respirasi
Pernapasan, secara kontras, bergantung terhadap stimulus
berulang dari otak. Hal ini disebabkan oleh dua alasan yaitu: (1) otot-otot
pernapasan tidak akan berkontraksi tanpa rangsangan dari syaraf. (2)
bernapas melibatkan aksi terkoordinasi dari beberapa otot dan hal
tersebut membutuhkan mekanisme kontrol pusat untuk memastikan
bahwa otot-otot tersebut akan bekerja bersama-sama (Saladin KS, 2003).
Syaraf-syaraf dalam medulla oblongata dan pons memberikan
kontrol otomatis terhadap pernapasan tak sadar. Sebaliknya syaraf-syaraf
dalam korteks motorik otak besar memberikan kontrol pada pernapasan
sadar ( Saladin KS, 2003).
2. Kontrol kimia terhadap respirasi
Mekanisme-mekanisme kimiawi yang berkaitan dengan pengaturan
ventilasi, PCO2 alveolar normalnya tetap konstan, efek dari kelebihan H+
dalam darah akan dilawan, dan PO2 akan meningkat ketika H+ turun
sampai level yang membahayakan. Volume pernapasan per-menit
sebanding terhadap kecepatan metabolisme, tetapi penghubung antara
metabolisme dan ventilasi adalah CO2 dan bukan O2. Adanya reseptor-
reseptor dalam carotid dan aortic bodies akan distimulasi oleh
peningkatan konsentrasi PCO2 dan H+ pada darah arterial atau penurunan
konsentrasi PO2. Setelah denervasi pada kemoreseptor karotid, respon
terhadap penurunan PO2 akan dihentikan; efek yang predominan terhadap
hipoksia setelah terjadi denervasi pada carotid bodies merupakan suatu
penurunan langsung terhadap aktivitas pusat pernapasan. Respon
terhadap perubahan konsentrasi H+ darah arteri pada pH 7.3-7.5 juga
akan dihentikan, walaupun perubahan-perubahn yang lebih besar akan
menghasilkan beberapa efek. Respon terhadap perubahan PCO2 arterial,
hanya akan sedikit berpengaruh; penurunannya tidak akan melebihi 30-
35% (Ganong WF, 2005).
15
2.2. Tinjauan mengenai Kebiasaan MerokokMerokok adalah suatu proses menghirup asap baik berasal dari
rokok, cerutu, atau pipa (shisha) ke dalam mulut dan lebih lanjut ke dalam
paru-paru dan kemudian menghembuskannya keluar (http:/www.merriam-
webster.com/dictionary/smoke).
Jenis kelamin dan tingkat pendidikan memberikan pengaruh
terhadap pola merokok pada masyarakat umum yakni, laki-laki cenderung
merokok dibandingkan perempuan dan semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang maka akan semakin kecil kemungkinannya menjadi seorang
perokok dibandingkan dengan orang dengan tingkat pendidikan yang lebih
rendah, hal ini sesuai dengan survei transisi penduduk dewasa muda di
Jakarta dan sekitarnya pada tahun 2010. Perokok yang menjadikan
merokok sebagai kebutuhan harian biasanya mengkonsumsi rata-rata
10,9 batang dengan kisaran antara 1-60 batang perhari. Sedangkan bagi
perokok yang hanya sesekali (iseng) jumlah rokok yang dikonsumsi rata-
rata 3,3 batang dengan kisaran 1-24 batang perharinya (Reimondos A et
al, 2010). Meskipun jumlah perempuan merokok di Indonesia masih
rendah, hal ini tidak berarti bahwa perempuan dan anak-anak bebas dari
bahaya rokok. Adanya suami atau kerabat perokok yang tinggal dalam
satu lingkungan menyebabkan mereka mempunyai resiko kesehatan
sebagai perokok pasif. Berdasarkan data kementerian kesehatan pada
tahun 2001 pada tingkat nasional, meyatakan bahwa sekitar 50 persen
penduduk terkena dampak rokok yang diakibatkan anggota keluarganya
yang merokok di dalam rumah (Reimondos A et al, 2010). Kecenderungan
untuk mulai merokok di kalangan penduduk berusia muda, usia mulai
merokok di Indonesia relatif sangat muda, yakni 24 persen laki-laki usia
13-15 tahun dan 4 persen perempuan pada usia yang sama sudah
menjadikan merokok sebagai suatu kebiasaan. Dan diantara perokok
diatas 1 dari 3 laki-laki dan 1 dari 4 perempuan mencoba merokok untuk
pertama kalinya pada usia di bawah 10 tahun. Kecenderungan untuk
merokok ini sepanjang tahun terus turun ke usia yang jauh lebih muda
(Reimondos A et al, 2010 ). Akibat kebiasaan merokok bagi masyarakat
16
dan individu memberikan dampak negatif bagi kesehatan dan sosial-
ekonomi. Rokok merupakan penyebab kematian dan membunuh
setengah dari masa hidup perokok (Reimondos A et al, 2010).
2.2.1. Kategori perokok Berdasarkan WHO’s Smoking and Tobacco Use Policy, perokok
adalah seseorang yang merokok produk apapun dari tembakau, baik
sehari-hari maupun hanya sesekali (sekedar menghilangkan stress)
(www.who.int/entity/…/FAQS_smoking_english.p…).
a) Perokok aktif
Perokok aktif merupakan orang yang menghisap rokok secara
langsung baik perokok yang habitual maupun yang dilakukan sesekali
(Kusmiyati, 2013).
b) Perokok pasif
Perokok pasif adalah seseorang yang bukan perokok tetapi
menghirup asap rokok yang berasal dari rokok, cangklong (pipa
tembakau), dan cerutu orang lain. Jumlah asap yang dihisap oleh perokok
pasif lebih sedikit jika dibandingkan dengan perokok aktif . tetapi merokok
secara pasif dapat memperburuk penyakit saluran napas dan dapat
menyebabkan penyakit serius, seperti kanker. Bayi, fetus, dan individu
dengan penyakit jantung dan paru kronik atau alergi terhadap tembakau
dapat dipengaruhi secara negatif dengan menjadi perokok pasif
(http:/medical-dictionary.thefreedictionary.com/passive+smoking).
2.2.2. Jenis rokok yang dihisapRokok merupakan hasil olahan tembakau dengan proses
pencampuran, pengolahan, dan pemberian bahan-bahan tambahan yang
berbeda-beda. Berdasarkan bahan-bahan tambahan yang terkandung,
rokok terbagi menjadi rokok putih dan rokok kretek (Soetiarto F, 1995).
a) Rokok kretek
Pengertian rokok kretek berdasarkan Standar Industri Indonesia
dari Departemen Perindustrian adalah rokok yang terbuat dari gulungan
17
kertas sigaret yang berisi campuran tembakau rajangan, cengkeh
rajangan dan boleh diberi tambahan bahan-bahan lain kecuali yang tidak
diizinkan baik dengan filter maupun tanpa filter (Soetiarti F, 1995). Adanya
modernisasi pada proses produksi rokok kretek membuat rokok kretek
terbagi lagi menjadi dua kelompok yaitu, SKT (Sigaret Kretek Tangan) dan
SKM (Sigaret Kretek Mesin) (Rujita YE, 2013).
b) Rokok putih
Rokok putih didefinisikan sebagai rokok yang menggunakan
tembakau Virginia iris atau tembakau lainnya tanpa tambahan cengkeh
baik dengan filter maupun tanpa filter yang dibungkus dalam kertas sigaret
dan boleh mengandung bahan tambahan lain kecuali yang tidak diizinkan
berdasarkan ketentuan pemerintah RI (Kusuma DA et al, 2003).
c) Perbedaan rokok kretek dan rokok putih
Berdasarkan Banbury Report No.9 terdapat perbedaan antara
rokok kretek dan rokok putih, asap rokok kretek mengandung lima
senyawa partikulat yang tidak ditemukan dalam asap rokok putih, salah
satu senyawa tersebut adalah eugenol (minyak cengkeh) dan turunannya
yang meningkatkan ketergantungan terhadap rokok yang dihasilkan oleh
efek psikotropik yang terkandung. Selain efek tersebut eugenol juga
memiliki beberapa peranan sebagai antibakteri, anti-inflamasi dengan
menghambat proses produksi prostaglandin, dan sebagai agen anestesi
topikal. Namun penggunaan yang berkepanjangan dalam kadar yang
tinggi untuk jangka waktu yang lama dapat menyebabkan nekrosis
beberapa jaringan (Soetiarto F, 1995).
Selain adanya eugenol dalam asap rokok kretek, terdapat
perbedaan lain antara kedua jenis rokok tersebut yaitu, kadar nikotin pada
rokok kretek lima kali lebih besar dibandingkan pada rokok putih dan
kadar tar pada rokok kretek tiga kali lebih besar daripada rokok putih
(Soetiarto F, 1995).
18
2.2.3. Kandungan utama dalam asap rokokLebih dari 2000 kandungan berbahaya ditemukan dalam asap
rokok, beberapa terdapat dalam bentuk gas dan lainnya terdapat dalam
bentuk partikel atau yang disebut fase tar. Fase tar atau fase partikel
merupakan suatu fraksi yang dieliminasikan melalui asap yang keluar
melewati Cambridge filter dari pori yang berukuran 0.1 mikrometer.
Cambridge filter berbeda dengan ‘filter tip’ yang mengijinkan lewatnya
sejumlah besar zat partikel (Lumb AB, 2005).
Terdapat suatu variasi yang besar pada kandungan rokok antara
merek dagang yang berbeda dan jenis rokok yang berbeda. Hal ini dapat
terjadi dengan menggunakan dedaunan dari spesies tanaman yang
berbeda, dengan mengubah kondisi pada proses perawatan dan
perlakuan yang diberikan pada tanaman, atau dengan penggunaan filter
tip (Lumb AB, 2005).
I. Fase gas
Karbon monoksida terdapat dalam asap rokok pada rentang nilai
antara 15 dan 25 mg (12 dan 20 mL) per rokok. jumlah pengeluaran dari
puntung rokok selama satu hembusan adalah sekitar 1-5 persen, yang
masih jauh dari nilai toksik. Sebuah indikasi yang lebih baik untuk
mengetahui tingkat paparan karbon monoksida adalah dengan persentase
karboksihemoglobin dalam darah. Untuk individu yang bukan perokok nilai
normalnya kurang dari 1,5 persen tetapi nilai ini juga dipengaruhi oleh
paparan terhadap polusi udara dan asap rokok dari orang lain. Sedangkan
nilai khas untuk perokok berkisar antara 2 persen sampai 12 persen. Nilai
ini dipengaruhi oleh jumlah rokok yang dikonsumsi, jenis rokok, dan pola
inhalasi asap rokok (Lumb AB, 2005).
Asap rokok juga mengandung sejumlah besar (sekitar 400 parts
per million) radikal bebas potensial nitric oxide dan sangat sedikit nitrogen
dioxide, nitric oxide mengalami oksidasi yang lebih lambat dibandingkan
dengan nitrogen dioxide jika terdapat oksigen. Toksisitas dari dua
senyawa ini sudah sangat dipahami. Nitrogen dioxide menghidrasi cairan
yang melapisi alveolus untuk membentuk campuran nitrous dan asam
19
nitrat. Selain itu ion nitrit juga mengubah hemoglobin menjadi
methemoglobin (Lumb AB, 2005).
Kandungan lain yang terdapat pada fase gas meliputi hidrogen
sianida, sianogen, aldehid, keton, nitrosamine dan hidrokarbon aromatik
polinuclear volatile (Lumb AB, 2005).
II. Fase partikel
Bahan-bahan yang dipisahkan melalui Cambridge filter disebut
sebagai ‘zat partikel total’, dengan partikel aerosol berukuran 0.2-1
mikrometer. Fase pertikel ini terdiri atas air, nikotin, tar. Kandungan nikotin
berkisar antara 0.05-2.5 mg per batang rokok dan tar dari 0.5-35 mg per
batang rokok (Lumb AB, 2005).
2.2.4. Pola inhalasiAda berbagai macam pola dalam merokok. Udara normalnya
dihirup melalui rokok dalam beberapa rangkaian kepulan (hembusan)
dengan volume sekitar 25-50 mL per hembusan. Kepulan tersebut dapat
secara sederhana dihirup melalui mulut dan secara cepat dikeluarkan
tanpa proses inhalasi yang mencukupi. Tetapi, perokok habitual akan
menginhalasi setiap kepulan secara langsung ke dalam paru-paru atau,
yang lebih umum, perjalanan asap dari mulut ke paru melalui penghirupan
udara baik melalui mulut atau melalui hidung saat membiarkan asap dari
mulut menuju faring dengan dengan menempatkan lidah secara
berlawanan dengan palatum sehingga menghilangkan ruang udara dalam
mulut. Inspirasinya biasanya sering, dalam, untuk mengalirkan udara yang
masih berada dalam ruang rugi menuju ke dalam paru (Lumb AB, 2005).
Hal ini akan memperjelas bahwa kuantitas nikotin, tar dan karbon
monoksida yang didapat dari setiap rokok memiliki nilai yang bervariasi
dan jumlah serta jenis rokok yang dikonsumsi bukan satu-satunya
penentu dari suatu paparan yang efektif. Terdapat sebuah bukti yang
menunjukkan bahwa perokok habitual menyesuaikan pola merokoknya
untuk menjaga kadar nikotin darah pada tingkat tertentu. Contohnya,
setelah mengubah merek rokok yang dikonsumsi ke suatu merek yang
20
menawarkan rokok rendah nikotin, maka akan terjadi modifikasi pola
inhalasi asap rokok untuk memaksimalkan absorpsi nikotin (Lumb AB,
2005).
2.2.5. Bahan-bahan kimia yang terkandung dalam rokokTidak kurang dari 4000 substansi dan gas-gas pengiritasi,
penyebab suffokasi, pelarut, penyebab inflamasi, toksik, beracun, dan
bersifat karsinogen dan bahkan senyawa radioaktif (nickel, polonium,
plutonium, dan sebagainya) telah teridentifikasi dalam asap rokok.
Beberapa diantaranya adalah: Benzopyrene, dibenzopyrene, benzene,
isoprene, toluene (hydrocarbons) ; naphthylamines; nickel, polonium,
plutonium, arsenic, cadmium (unsur-unsur logam) ; carbon dioxide,
methane, ammonia, nitric oxide, nitrogen dioxide, hydrogen sulphide (gas)
; acetaldehyde, acrolein, acetone (aldehyde dan ketone) ; cyanhydric atau
hydrogen sianida, turunan gugus karboksil (asam) ; chrysene, pyrrolidine,
nicotine, nornicotine, nitrosamines (alkaloid atau basa) ; cresol (fenol)
(http:/www.knowledgepublisher.com/article-393.html).
1. Nikotin
Daun tembakau mengandung berbagai macam zat-zat kimia
alkaloid; nikotin merupakan yang terbanyak. Nikotin bersifat adiktif pada
manusia karena suatu bagian dari molekul nikotin memiliki kemiripan
dengan acethylcholine, yang merupakan suatu neurotransmitter penting di
otak (www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK53014/).
Nikotin merupakan suatu insektisida kuat dan beracun terhadap
system syaraf. Selain itu, teradapat cukup nikotin (50 mg) dalam empat
batang rokok yang cukup untuk membunuh manusia hanya dalam
beberapa menit jika diinjeksikan secara langsung ke dalam aliran darah.
Kematian juga dapat terjadi pada anak-anak setelah mereka menelan
rokok atau puntung rokok (http:/www.knowledgepublisher.com/article-
393.html).
Ketika terdilusi dalam asap rokok, nikotin akan mencapai otak
hanya dalam tujuh detik, hal ini akan menstimulasi sel-sel otak dan
21
menghalangi impuls syaraf. Hal ini yang mengakibatkan munculnya
kecanduan terhadap rokok. Nikotin juga menyebabkan percepatan pada
heart rate, tetapi pada waktu yang bersamaan ia juga menyebabkan
vasokontriksi dan pengerasan (kaku) pada arteri sehingga pompa jantung
yang berlebihan tidak diimbangi oleh kondisi pembuluh darah
mengakibatkan darah yang diterima oleh jaringan menurun. Akibatnya,
dapat menimbulkan resiko coronary attack hingga 2 kali lipat. Nikotin juga
meningkatkan konsumsi lipid (sehingga menghasilkan efek penurunan
berat badan) dan menginduksi hiperglikemia sementara
(http:/www.knowledgepublisher.com/article-393.html).
2. Bahan iritan
Substansi-substansi ini melumpuhkan dan kemudian
menghancurkan silia pada bronchial tubes, yang bertanggung jawab untuk
proses penyaringan dan pembersihan paru. Substansi-substansi ini
memperlambat pengeluaran pada respirasi dan mengiritasi membran
mukosa, menyebabkan batuk, infeksi dan bronkitis kronik
(http:/www.knowledgepublisher.com/article-393.html).
3. Tar
Karena aktivitas silia yang terhalangi oleh bahan-bahan iritan
seperti yang dijelaskan di atas, mengakibatkan tar yang terdapat pada
asap rokok terdeposit dan mengumpul pada dinding traktus respiratorius
dan pada paru, sehingga mengubahnya menjadi berwarna hitam. Tar
bertanggung jawab terhadap 95 persen kanker paru. Hal ini membutuhkan
setidaknya 2 hari setelah berhenti merokok agar silia dapat berfungsi
normal kembali, walaupun secara bertahap. Dengan merokok sebungkus
rokok setiap hari, perokok sedang mengisi satu gelas penuh tar kedalam
paru-parunya setiap tahunnya (rata-rata 225 gram)
(http:/www.knowledgepublisher.com/article-393.html).
2.2.6. Efek rokok terhadap saluran pernapasanMerokok memiliki efek yang luas terhadap fungsi respirasi dan hal
ini sangat jelas terlibat dalam etiologi dari sejumlah penyakit saluran
22
pernapasan, khususnya penyakit paru obstruktif kronis dan karsinoma
bronkial (Lumb AB, 2005).
1) Mukosa jalan napas
Refleks jalan napas jauh lebih sensitif pada perokok ketika diukur
menggunakan stimulasi mekanik atau inhalasi uap ammonia dalam
konsentrasi yang kecil. Peningkatan sensitivitas ini hampir sepenuhnya
berkontribusi terhadap batuk pada perokok dan juga pada komplikasi
anestetik pada perokok. Perbaikan pada sensitivitas mungkin memerlukan
beberapa hari setelah berhenti merokok. Konsentrasi histamin yang
diinhalasi dibutuhkan untuk menurunkan konduktansi jalan napas spesifik
mendekati 35 persen, pada perokok, kurang dari 40 persen yang
dibutuhkan pada bukan perokok (Lumb AB, 2005).
Fungsi silia diinhibisi oleh senyawa yang terdapat pada fase
partikel maupun pada fase gas secara in vitro, tetapi pada penelitian in
vivo menunjukkan hasil yang bertentangan, dengan beberapa penelitian
menunjukkan peningkatan aktivitas silia dalam respon terhadap asap
rokok (Lumb AB, 2005).
Produksi mukus meningkat pada perokok kronik, dimana terjadi
hiperplasi pada kelenjar submukosa dan peningkatan sejumlah sel-sel
goblet bahkan disaat tidak terdapat gejala yang muncul. Meskipun
terdapat suatu penemuan yang berubah-ubah mengenai aktivitas silia,
mucus clearance secara menyeluruh ditemukan melemah pada perokok
yang bersamaan dengan peningkatan produksi mukus dan sensitivitas
jalan napas, yang mengakibatkan terbentuknya batuk produktif pada
perokok. Tiga bulan setelah berhenti merokok, semua perubahan-
perubahan tersebut akan kembali seperti kondisi awal kecuali pada pasien
yang telah mengalami perkembangan kerusakan jalan napas dari proses
inflamasi jalan napas jangka panjang (Lumb AB, 2005).
2) Diameter jalan napas
Diameter jalan napas berkurang secara tajam dengan merokok
sebagai hasil dari refleks bronkokonstriktor dalam respon terhadap
partikel-partikel yang dihirup dan peningkatan produksi mukus.
23
Penyempitan jalan napas terjadi sangat hebat pada subjek dengan
sensitivitas bronkial yang dialami, seperti asthma. Inflamasi jalan napas
kecil jangka panjang menyebabkan penyempitan jalan napas kronik yang
memiliki sejumlah besar efek pada fungsi paru. Penyempitan jalan napas
meningkatkan penutupan jalan napas secara prematur selama ekspirasi,
yang mengakibatkan suatu peningkatan terhadap volume akhir dan
terganggunya hubungan ventilasi/perfusi. Distribusi gas yang diinspirasi
seperti indikasi melalui single-breath nitrogen test sering abnormal pada
perokok. Penyempitan jalan napas kecil yang terjadi beberapa tahun
mengakibatkan penurunan yang progresif pada forced expiratory volume
in one second (FEV1). Berbagai macam perubahan-perubahan ini terjadi
pada tahap lebih lanjut sebelum berkembangnya gejala-gejala respirasi
pada perokok (Lumb AB, 2005).
3) Kapasitas ventilasi
FEV1 secara normal mencapai puncak pada awal masa dewasa,
dan tetap konstan untuk beberapa tahun dan kemudian menurun secara
nyata saat subjek mulai memasuki usia lanjut. Pada sebuah penelitian dari
FEV1 pada perokok menunjukkan suatu gambaran yang sangat berbeda.
Kebanyakan perokok mulai merokok pada awal masa dewasa dan
kecepatan peningkatan FEV1 segera melambat, menghasilkan suatu
plateau yang terlambat dan rendah. Plateau pada FEV1 juga memendek,
sebelum penurunan-penurunan yang lebih cepat terjadi. Penghentian
merokok yang diikuti dengan sedikit perbaikan pada FEV1, diikuti oleh
kembalinya ke suatu kecepatan penurunan normal, tetapi jarang
menunjukkan suatu perubahan ke nilai bukan perokok. Akhirnya,
penurunan pada fungsi paru ini mengakibatkan suatu kondisi patologis
pada paru, dengan satu diantara lima perokok mengalami perkembangan
penyakit paru obstruktif kronik (Lumb AB, 2005).
2.3. Tinjauan mengenai pemeriksaan faal paru dengan spirometriTes fungsi paru (pulmonary function test) merupakan suatu
pemeriksaan diagnostik non-invasif yang memberikan pengukuran tentang
24
fungsi paru. Dengan menilai volume paru, kapasitas, kecepatan aliran
udara, dan pertukaran gas, tes fungsi paru dapat memberikan informasi
yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis kelainan-kelainan paru
(http:/www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/test_procedures/pulmonary/
pulmonary_function_test_92,P07759/).
Salah satu dari fungsi utama sistem pulmoner adalah ventilasi,
yakni pergerakan udara ke dalam dan ke luar paru. Beberapa kondisi
medis mungkin dapat mengganggu fungsi ventilasi. Kondisi-kondisi ini
mungkin akan menyebabkan penyakit-penyakit paru kronik. Kondisi-
kondisi yang mengganggu ventilasi normal adalah restriktif dan obstruktif
(http:/www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/test_procedures/pulmonary/
pulmonary_function_test_92,P07759/).
Suatu kondisi obstruktif terjadi ketika udara sulit mengalir ke luar
paru yang dikarenakan adanya resistensi, menyebabkan penurunan aliran
udara. Suatu kondisi restriktif terjadi ketika otot-otot dinding thoraks tidak
mampu untuk mengembang secara adekuat, sehingga terjadi suatu
kekacauan pada aliran udara menuju ke dalam paru
(http:/www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/test_procedures/pulmonary/
pulmonary_function_test_92,P07759/).
Spirometri merupakan suatu metode penilaian fungsi paru dengan
mengukur volume udara yang dapat dihembuskan keluar oleh pasien
setelah inspirasi maksimal. Spirometri adalah suatu metode yang dapat
dipercaya untuk membedakan antara penyakit jalan napas obstruktif
(seperti: PPOK, asthma) dengan penyakit restriktif (dimana terjadi
penurunan ukuran paru, seperti: penyakit paru fibrotic) (Bellamy D,2005).
Spirometri digunakan untuk menilai fungsi mekanik terintegrasi dari
paru, dinding dada, dan otot-otot pernapasan dengan mengukur volume
total udara yang dihembuskan dari kapasitas paru total (Total Lung
Capacity [TLC]) sampai paru kosong (residual volume). Volume ini,
kapasitas vital paksa (Forced Vital Capacity [FVC]) dan volume ekspirasi
paksa pada satu detik pertama dari ekshalasi paksa (FEV1) seharusnya
dapat diulang sampai perbedaan nilai satu terhadap yang lain tidak
25
melebihi 0.15 L kecuali jika nilai terbesar untuk masing-masing parameter
tersebut kurang dari 1 L. pada kasus seperti ini, pengulangan yang
diharapkan memiliki nilai perbedaan sampai 0.1 L dari nilai terbesar.
Pasien diinstruksikan untuk menarik napas sebanyak mungkin dan
kemudian menghembuskannya secara cepat dan kuat selama mungkin
selama aliran udara masih tetap terjaga (konstan)
(http:/emedicine.medscape.com/article/30339-overview).
Pengukuran-pengukuran yang biasanya dilakukan dengan
spirometri adalah:
1. VC (Vital Capacity) atau kapasitas vital adalah volume terbesar
udara yang dapat dihembuskan atau diinspirasi selama maneuver
foced vital capacity (FVC) atau slow vital capacity (SVC) (Pierce R,
Johns DP, 2008).
2. FEV1 (Forced Expired Volume in One Second) atau volume
ekspirasi paksa pada satu detik pertama merupakan volume yang
dapat diekspirasikan pada satu detik pertama dari suatu ekspirasi
maksimal setelah suatu inspirasi maksimal dan merupakan suatu
pengukuran yang sangat berguna untuk menentukan seberapa
cepat paru-paru yang penuh menjadi kosong (Pierce R, Johns DP,
2008).
3. FEV1/VC (FEV1/FVC) merupakan nilai FEV1 yang disampaikan
dalam persentase dari VC atau FVC (nilai yang terbesar diantara
keduanya) dan secara klinis merupakan suatu indeks yang berguna
pada batas-batas aliran udara (Pierce R, Johns DP, 2008).
4. FEF25-75% merupakan angka rata-rata dari aliran ekspirasi diatas
pertengahan manuver FVC dan dianggap sebagai pengukuran
yang lebih sensitif dari FEV1 dalam deteksi penyempitan jalan
napas kecil (Pierce R, Johns DP, 2008).
5. PEF (Peak Expiratory Flow) merupakan kecepatan aliran ekspirasi
maksimal yang dapat dicapai dan terjadi pada awal-awal maneuver
ekspirasi paksa (Pierce R, Johns DP, 2008).
26
6. FEF50% dan FEF75% (Forced Expiratory Flow pada FVC 50 persen
atau 75 persen) merupakan aliran ekspirasi maksimal yang diukur
pada titik dimana 50 persen FVC telah diekspirasikan (FEF50%) dan
dimana 75 persen FVC telah diekspirasikan (FEF75%) (Pierce R,
Johns DP, 2008).
7. FVC6 merupakan suatu volume ekspirasi paksa selama 6 detik
pertama dan merupakan suatu alternatif FVC (Pierce R, Johns DP,
2008).
Seluruh indeks-indeks fungsi ventilasi ini harus dilaporkan pada
temperatur tubuh dan tekanan tersaturasi dengan uap air (BTPS). Jika hal
ini tidak terpenuhi maka hasil pengukuran tidak dapat dipercaya, karena
ketika pasien meniup ke dalam spirometer yang dingin, volume yang
terekam oleh spirometer lebih kecil dari volume yang dipindahkan oleh
paru (Pierce R, Johns DP, 2008).
2.3.1. Indikasi tes spirometriSpirometri digunakan untuk menentukan batas fungsi paru,
evaluasi dyspnea, deteksi penyakit pulmoner, monitor efek-efek terapi
yang diberikan pada penyakit-penyakit pernapasan, mengevaluasi
penurunan respirasi, evaluasi resiko operasi, dan pelaksanaan
pengawasan penyakit paru yang berhubungan dengan pekerjaan
(http:/emedicine.medscape.com/article/303239-overview).
Pasien dengan gejala yang mengarah ke PPOK (infeksi thoraks
berulang, batuk produktif, kesulitan untuk bernapas yang progresif),
perokok berat yang berusia diatas 35 tahun dan pasien yang memiliki
pekerjaan yang memungkinkan mereka terpapar terhadap bahan iritan
saluran napas, seperti asap atau debu, memiliki resiko yang harus
dipertimbangkan terhadap terjadinya PPOK. Semua pasien di atas
merupakan kelompok yang cocok untuk dipertimbangkan dilakukan
penilaian awal fungsi paru dengan menggunakan spirometri (Bellamy D,
2005).
27
2.3.2. Kontraindikasi tes spirometriKontraindikasi relatif terhadap spirometri meliputi hemoptysis yang
tidak diketahui asalnya, pneumothoraks, angina pectoris tak stabil, infark
miokard yang baru saja terjadi, aneurisma thoraks, aneurisma abdominal,
aneurisma cerebral, tindakan bedah mata yang baru saja terjadi
(peningkatan tekanan intraocular selama ekspirasi paksa), prosedur
bedah pada thoraks atau abdomen yang baru saja terjadi, dan pasien
dengan riwayat syncope yang berhubungan dengan ekshalasi paksa
(http:/emedicine.medscape.com/article/303239-overview).
2.3.3. Macam-macam spirometry curveSpirometri dilakukan melalui pengumpulan gas selama waktu
ekshalasi, yang biasanya dipaksakan. Hasil dari pengukuran ini dapat
dihitung dari volume gas yang diekshalasi dan kecepatan ekshalasi (flow
rate) dengan menggunakan spirometer atau pneumotachygraph.
Spirometer dapat berfungsi sebagai ruang pengumpul volume, sebaliknya
pneumotachygraph mengukur kecepatan aliran gas. Pengukuran
manapun yang dibuat, hasil pengukuran dapat diterjemahkan sebagai
volume-time tracing atau flow-volume loop (Stoller JK, 1992).
gambar 2.6 Volume-time tracing menunjukkan hasil spirometri
ketika fungsi paru normal (Stoller JK, 1992).
28
Gambar 2.7 Flow-volume loop menunjukkan fungsi paru normal
(Stoller JK, 1992).
jika gas yang diekshalasi terkumpul, kecepatan aliran untuk flow-
volume loop dihitung secara elektronik dengan penentuan turunan
pertama dari volume terhadap waktu, atau kemiringan dari volume-time
tracing, dan memotong garis tersebut berlawanan dengan volume yang
diekshalasi, sehingga menciptakan suatu flow-volume loop (gambar 2.7).
jika kecepatan aliran diukur, volume yang diekshalasi dihitung dengan
dijumlahkan dengan kecepatan aliran terhadap waktu, sehingga dapat
ditentukan volume yang diekshalasi. Untuk membuat volume-time tracing,
volume dipotong berlawanan dengan waktu ekshalasi (gambar 2.6)
(Stoller JK, 1992).
2.3.4. Interpretasi hasil perekaman spirometriUntuk menginterpretasikan uji fungsi ventilasi pada setiap individu,
bandingkan hasil dengan referensi nilai yang didapatkan dari populasi
sehat dengan mencocokkan jenis kelamin, usia, tinggi badan, dan etnis
subjek (Pierce R, Johns DP, 2008).
Nilai prediksi normal untuk fungsi ventilasi secara umum bervariasi
sebagai berikut:
29
1. Jenis kelamin: untuk tinggi badan dan usia yang sama, laki-laki
memiliki nilai FEV1, FVC, FEF25-75% dan PEF yang lebih besar,
tetapi sedikit lebih rendah pada FEV1/FVC (Pierce R, Johns DP,
2008).
2. Usia: FEV1, FVC, FEF25-75% dan PEF meningkat, sedangkan
FEV1/FVC menurun, dengan pertambahan usia sampai sekitar usia
20 tahun pada wanita dan 25 tahun pada laki-laki. Setelah itu,
semua indeks akan turun secara perlahan, walaupun kecepatan
tepat penurunan mungkin akan tertutup karena adanya hubungan
timbal balik antara usia dan tinggi badan (Pierce R, Johns DP,
2008).
3. Tinggi badan: semua indeks kecuali FEV1/FVC meningkat dengan
berdiri (Pierce R, Johns DP, 2008).
4. Etnis: Caucasians memiliki FEV1 dan FVC yang tertinggi dan,
Polynesians adalah yang terendah. Nilai untuk black Africans 10-15
persen lebih rendah dari Caucasians pada usia, jenis kelamin, dan
tinggi badan yang sama karena mereka memiliki thoraks yang lebih
rendah saat berdiri; nilai normal untuk Indigenous Australians
mungkin lebih rendah. Chinese telah diketahui memiliki FVC sekitar
20 persen lebih rendah dan Indians sekitar 10 persen lebih rendah
daripada Caucasians pada kelompok yang cocok (Pierce R, Johns
DP, 2008).
Pengukuran fungsi ventilasi mungkin akan sangat berguna dalam
suatu diagnostik tetapi tes ini juga berguna dalam mengikuti natural
history penyakit melebihi suatu periode waktu, penilaian pada resiko
perioperative dan mengukur adanya efek-efek dari suatu pengobatan.
Adanya keabnormalan ventilasi dapat ditunjukkan jika salah satu dari
FEV1, VC, PEF atau FEV1/FVC memiliki nilai yang diluar batas normal
(Pierce R, Johns DP, 2008).
30
2.3.5. Klasifikasi kelainan fungsi ventilasiHubungan timbal balik dari berbagai macam pengukuran juga
penting secara diagnostik, contohnya:
1. Suatu penurunan pada FEV1 dalam hubungannya dengan FVC
akan mengakibatkan penurunan FEV1/FVC dan hal ini sangat khas
untuk kelainan ventilasi tipe obstruktif (asthma dan emfisema)
(Pierce R, Johns DP, 2008).
2. Rasio FEV1/FVC dapat bertahan normal atau meningkat (secara
khas >80%) dengan penurunan baik pada FEV1 dan FVC pada
kelainan ventilasi tipe restriktif (penyakit paru interstitial, kelemahan
pada otot napas, dan deformitas pada rangka thoraks seperti
kypho-scoliosis) (Pierce R, Johns DP, 2008).
3. Penurunan FVC bersama dengan rendahnya rasio FEV1/FVC
merupakan suatu gambaran dari kelainan ventilasi campuran
dimana merupakan suatu kombinasi dari obstruksi dan restriksi
yang muncul bersamaan, atau kemungkinan lain mungkin terjadi
pada obstruksi aliran udara sebagai konsekuensi penutupan jalan
napas yang mengakibatkan gas trapping (Pierce R, Johns DP,
2008).
Gambar 2.8 diagram skematik bentuk-bentuk ideal kurva flow-
volume dan spirogram untuk defek-defek ventilasi obstruktif,
restriktif, dan campuran. (Pierce R, Johns DP, 2008).
31
Gambar 2.9 klasifikasi abnormalitas ventilasi dengan pemeriksaan
spirometri (Pierce R, Johns DP, 2008).
Bentuk kurva expiratory flow-volume berbeda-beda antara defek-
defek ventilasi obstruktif dimana kecepatan aliran maksimal berkurang
dan kurva ekspirasi berbentuk konkaf terhadap aksis-x, dan penyakit
restriktif dimana alirannya mungkin meningkat pada hubungannya dengan
volume paru (konveks) (Pierce R, Johns DP, 2008).
32
FEV1
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Konseptual
Keterangan:
: Variabel yang diteliti
Merokok
Jenis Rokok
Rokok PutihRokok Kretek
Tar >>Nikotin >>+ Eugenol
Tar >Nikotin >
FEV1
33
3.2. Deskripsi Kerangka KonseptualKebiasaan merokok secara tidak disadari akan memasukkan
sejumlah besar zat kimia berbahaya yang terkandung pada rokok ke
dalam tubuh, beberapa zat kimia utama dalam rokok adalah nikotin, tar,
iritan dan karbon monoksida. Nikotin memiliki efek adiktif yang
menyebabkan seorang perokok mengalami ketergantungan yang
menyebabkan ia menjadi perokok menahun selain itu, nikotin juga dapat
menyebabkan kontriksi pada otot polos sehingga menimbulkan
bronkokonstriksi yang berakibat penurunan diameter jalan napas. Tar
memiliki efek karsinogen dan melemahkan fungsi silia. Penurunan fungsi
silia, peningkatan produksi mukus, penurunan mukus klirens, serta
peningkatan sensitivitas jalan napas sebagai respons terhadap iritasi
membran mukosa akan meningkatkan penurunan diameter jalan napas
yang mengakibatkan penutupan jalan napas secara prematur selama
ekspirasi, hasilnya nilai FEV1 pada perokok memiliki nilai yang lebih
rendah.
Kandungan nikotin dan tar yang lebih tinggi pada rokok kretek
dibandingkan rokok putih, serta adanya senyawa eugenol yang memiliki
efek nekrosis pada penggunaan pada jangka waktu yang lama akan
memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap jalan napas sehingga
dapat mengakibatkan penurunan nilai forced expiratory volume in one
second (FEV1) yang lebih besar dibandingkan rokok putih.
3.3. HipotesisTerdapat perbedaan pengaruh dari kebiasaan merokok dengan
rokok kretek dibandingkan rokok putih terhadap nilai forced expiratory
volume in one second (FEV1).
34
BAB 4
METODA PENELITIAN
4.1. Rancangan PenelitianRancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah
rancangan penelitian cross sectional, penelitian cross sectional adalah
penelitian yang mempelajari dinamika hubungan antara faktor risiko
dengan efek yang dapat berupa suatu penyakit atau kondisi kesehatan
tertentu, dengan pendekatan point time, yang merupakan suatu penelitian
non-eksperimental. Observasi pada masing-masing variabel baik variabel
bebas maupun variabel tergantung dilakukan pada waktu yang
bersamaan. Yang dimaksud dengan waktu yang bersamaan adalah
variabel bebas dan variabel tergantung pada tiap subjek diukur satu kali
saja (Pratiknya AW, 2003).
PP V1 P-S-R
PR V2
Keterangan:
P : populasi
R : randomisasi
S : sampel
PP : perokok dengan rokok putih
PR : perokok dengan rokok kretek
V : forced expiratory in one second (FEV1)
4.2. Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel Penelitian
4.2.1. Populasi Populasi penelitian adalah seluruh karyawan yang bekerja di PT.
Dok dan Perkapalan Surabaya yang merokok.
35
4.2.2. Sampel Seluruh karyawan yang bekerja di PT. Dok dan Perkapalan
Surabaya yang memenuhi kriteria inklusi dari penelitian ini, antara
lain :
1. Karyawan yang bekerja di PT. Dok dan Perkapalan Surabaya
usia 20-45 tahun.
2. Memiliki jenis kelamin laki-laki.
3. Memiliki tinggi badan antara 160-185 cm.
4. Perokok Aktif. Perokok aktif merupakan orang yang
menghisap rokok secara langsung baik perokok yang habitual
maupun yang dilakukan sesekali (Kusmiyati, 2013).
5. Mengkonsumsi satu jenis rokok putih atau rokok kretek yang
sama selama satu bulan terakhir.
6. Bersedia mengikuti prosedur penelitian yang telah ditetapkan.
Kriteria eksklusi, yaitu ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat
diambil sebagai sampel, kriteria eksklusi pada penelitian ini antara
lain:
1. Tidak berusia diantara 20-45 tahun.
2. Jenis kelamin perempuan.
3. Tinggi badan kurang dari 160 cm atau lebih dari 185 cm.
4. Bukan perokok aktif.
5. Mengkonsumsi beberapa jenis rokok yang berbeda (rokok
putih, rokok putih menthol, rokok kretek) dalam satu bulan
terakhir.
6. Memiliki riwayat penyakit paru seperti asma, pneumonia,
bronkitis kronis, emfisema, dan lain-lain.
7. Mengkonsumsi obat-obatan tertentu yang dapat
mempengaruhi fungsi paru seperti obat-obatan bronkodilator.
8. Tidak bersedia mengikuti prosedur penelitian yang telah
ditetapkan.
36
Sampel dalam penelitian ini adalah karyawan yang bekerja di PT.
Dok dan Perkapalan Surabaya yang memenuhi kriteria inklusi.
4.2.3. Besar sampel Untuk populasi finit dengan besar populasi (N) 170 orang, besar
sampel minimum (n) pada penelitian diperoleh berdasarkan rumus:
ρ (1-ρ)
n= Z2
e2
n : besar sampel minimum, dalam penelitian ini 43 orang
Z : nilai konversi pada kurva normal, dalam penelitian ini 1,64
e : tingkat presisi, dalam penelitian ini dipilih 0,07
ρ : prevalensi pada penelitian sebelumnya, dalam penelitian ini
0,085
4.2.4. Teknik pengambilan sampelTeknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini
adalah sampel acak sederhana (simple random sampling).
4.3. Variabel PenelitianVariabel sering dijelaskan sebagai sebuah konsep dengan
variabilitas. Dan konsep sendiri dapat diartikan sebagai sebuah fenomena
yang dideskripsikan atau digambarkan. semua konsep yang memiliki ciri
yang bervariasi dapat disebut sebagai variabel, sehingga semua hal yang
memiliki variasi dapat disebut sebagai variabel (Pratiknya AW, 2003).
4.3.1. Klasifikasi variabel Variabel bebas
Variabel bebas (variabel pengaruh, variabel perlakuan, kausa,
treatment, dan sebagainya), merupakan variabel yang menyebabkan
perubahan pada variabel lain yang bersamanya, dimana variabel yang
terakhir ini akan mengalami perubahan pada variasinya (Pratiknya AW,
2003).
37
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jenis rokok yang dihisap
yaitu, rokok putih dan rokok putih kretek.
Variabel tergantung
Variabel tergantung (variabel terpengaruh, variabel tak-bebas, efek,
dan sebagainya) merupakan variabel yang mengalami perubahan akibat
pengaruh atau hubungannya dengan variabel bebas (Pratiknya AW,
2003).
Variabel tergantung pada penelitian ini adalah FEV1 (Forced
Expiratory Volume in One Second).
4.3.2. Definisi operasional variabelMendefinisikan variabel secara operasional adalah
menggambarkan variabel penelitian sedemikian rupa sehingga variabel
menjadi spesifik, yakni tidak menimbulkan makna ganda dan terukur
(observable atau measureable) (Pratiknya AW, 2003).
Merokok
Jenis rokok yang dihisap. Yaitu bentuk sediaan berdasarkan
komposisi dari rokok yang dihisap oleh responden. Data diperoleh
melalui wawancara dengan kuesioner.
Skala data jenis rokok yang dihisap adalah nominal
Untuk kepentingan analisis skala dikategorikan menjadi :
1. Rokok putih
2. Rokok kretek
Forced expiratory volume in one second (FEV1)
FEV1 (Forced Expired Volume in One Second) atau volume
ekspirasi paksa pada satu detik pertama merupakan volume yang dapat
diekspirasikan pada satu detik pertama dari suatu ekspirasi maksimal
setelah suatu inspirasi maksimal dan merupakan suatu pengukuran yang
sangat berguna untuk menentukan seberapa cepat paru-paru yang penuh
menjadi kosong (Pierce R, Johns DP, 2008). Skala data FEV1 adalah
rasio.
38
4.4. Alur Penelitian
4.5. Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan
penelitian yang dibutuhkan untuk
mengetahui kebiasaan merokok adalah berupa kuesioner.
Berdasarkan kamus besar bahasa
Indonesia yang dimaksud dengan
kuesioner adalah pernyataan
tertulis yang disusun untuk digunakan sebagai alat riset atau
survei yang dilakukan melalui
wawancara pribadi atau dengan
perantara pos yang dimaksudkan untuk mendapatkan
tanggapan dari sekelompok individu
yang terpilih, kuesioner dapat juga
dikatakan sebagai daftar pertanyaan (kbbi.web.id/kuesioner). Kuesioner
dalam penelitian ini berisi pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan
dengan kebiasaan merokok karyawan yang bekerja di PT. Dok dan
Perkapalan Surabaya.
Alat dan bahan penelitian yang dibutuhkan untuk mengukur
forced expiratory volume in one second (FEV1), berat badan, dan tinggi
badan antara lain :
1. Spirometer (produksi medical international research Itali, tahun
2012, merk minispir)
2. Penjepit hidung untuk mencegah keluarnya udara melalui hidung
3. Mouthpiece
Subjek penelitian
Memenuhi kriteria inklusi
Informed consent
Pengisian kuesioner dan pengukuran antropometri
Analisa data
Pengukuran FEV1
39
4. Spidol atau bolpoin atau pulpen untuk mencatat hasil
5. Timbangan berat badan analog (produksi China, tahun 2010, merk
SMIC ZT 120)
6. Microtoise (produksi China, tahun 2010, merk SMIC ZT 120)
4.6 Lokasi dan waktu penelitian Lokasi : PT. Dok dan Perkapalan Surabaya.
Waktu : bulan januari - februari 2014.
4.7 Prosedur penelitian
1. Survei lapangan untuk mendapatkan populasi penelitian yang
memenuhi kriteria inklusi dengan metode kuesioner. Karyawan
yang tidak memenuhi kriteria inklusi dikeluarkan dari populasi
penelitian.
2. Kemudian menentukan besar sampel dengan rumus besar sampel
minimum.
3. Pengambilan sampel dilakukan secara acak (stratified random
sampling) sekaligus meminta kesediaannya menjadi sampel dalam
penelitian.
4. Terhadap sampel yang memenuhi kriteria penelitian dilakukan hal-
hal sebagai berikut :
A. Pemberian penjelasan mengenai prosedur pengukuran yang
akan dilakukan kepada responden dan pengisian informed
consent.
B. Pemeriksaan fungsi ventilasi paru sesuai dengan
standardization of spirometry (Miller MR et al, 2005) antara
lain:
Menggunakan alat spirometer : spirolab II buatan Italia dengan
perlengkapannya yang telah dikalibrasikan terlebih dahulu.
Setiap responden dianjurkan meniup sedikitnya tiga kali dan
nilai yang diambil adalah nilai yang tertinggi dari ketiga nilai
yang diperoleh. Nilai yang diamati adalah nilai forced expiratory
volume in one second (FEV1).
40
Prosedur perekaman antara lain:
1. Cek kalibrasi spirometer.
2. Menjelaskan tujuan pemeriksaan kepada responden.
3. Persiapan responden.
Ditanyakan mengenai riwayat merokok, riwayat penyakit
sekarang, dan riwayat pemakaian obat-obatan.
4. Mencuci tangan.
5. Instruksi dan demonstrasi pemeriksaan kepada responden.
Sikap tubuh dimana kepala sedikit elevasi.
Inhalasi dilakukan dengan cepat dan komplit (tidak terputus-
putus).
Posisi mouthpiece pada mulut dan bibir harus rapat (supaya
udara tidak keluar melalui celah antara bibir dan
mouthpiece).
Ekshalasi dilakukan dengan kekuatan yang maksimal.
6. Pelaksanaan manuver (metode closed circuit).
Memastikan subjek mengerti sikap yang benar.
Pasang penjepit hidung, posisikan mouthpiece pada mulut
dan tutup rapat bibir.
Inhalasikan udara secara komplit dan cepat kemudian
berhenti satu detik pada saat total lung capacity (TLC).
Ekshalasikan secara maksimal sehingga tidak ada lagi yang
dapat dibuang dengan tetap mempertahankan sikap yang
benar.
Ulangi instruksi bila diperlukan.
Ulangi pemeriksaan ini minimal tiga manuver, tetapi tidak
lebih dari delapan manuver karena subjek akan mengalami
kelelahan.
Cek hasil pemeriksaan.
4.8 Cara Analisis Data
41
Data yang diperoleh kemudian diolah secara statistik menggunakan
program SPSS 21.0. analisis data statistik yang digunakan pada penelitian
ini adalah:
1) Uji normalitas untuk megetahui apakah data terdistribusi normal
atau tidak melalui uji Shapiro-Wilk.
2) Jika data terdistribusi normal (p > 0,05) kemudian dilakukan uji
statistik dengan uji t- 2 sampel bebas.
3) Jika data terdistribusi tidak normal (p < 0,05) kemudian lakukan uji
statistik dengan uji Wilcoxon / Mann-Whitney U.
42
BAB 5
HASIL PENELITIAN
5.1. Data Penelitian5.1.1. Gambaran Umum Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di PT. Dok dan Perkapalan Surabaya
dengan sampel penelitian sebanyak 43 orang yang terbagi menjadi 22
orang pengguna rokok kretek dan 21 orang pengguna rokok putih. Jumlah
ini telah memenuhi batas minimum sampel dan nilai hasil data penelitian
yang diperoleh dapat dilihat pada Lampiran.
5.2. Hasil Analisis Deskriptif5.2.1. Jumlah Rokok yang Dihisap
Tabel 5.1 : Jumlah Rokok yang Dihisap
Rokok Putih Rokok Kretek
Jumlah rokok yang Dihisap N
FEV1 Mean FEV1
Standar Deviasi
N FEV1 Mean FEV1
Standar Deviasi
< 10 batang 8 64
72.75 16.377
6 112
85.50 17.819
107 8984 5866 8875 9056 766070
10-20 batang 11 114
87.09 16.386
10 96
88.40 16.648
64 10288 10576 11689 67106 6472 84103 8574 8898 7774
> 20 batang 2 85
79.50 7.778
6 83
91.50 17.513
74 97122957478
Jumlah 21 80.90 16.703 22 88.45 16.509
43
Berdasarkan tabel 5.1 diatas menunjukkan bahwa responden yang
menggunakan rokok putih yang memiliki kebiasaan merokok kurang dari
10 batang perhari sebanyak 8 orang dengan nilai mean FEV1 72.75 nilai
ini jauh dibawah nilai FEV1 normal, dan yang memiliki kebiasaan merokok
10-20 batang perhari sebanyak 11 orang dengan nilai mean FEV1 87,09
nilai ini diatas nilai FEV1 normal, sedangkan yang memiliki kebiasaan
merokok lebih dari 20 batang perhari sebanyak 2 orang dengan nilai mean
FEV1 79.50 nilai ini dibawah nilai FEV1 normal. Untuk responden yang
merupakan pengguna rokok kretek yang memiliki kebiasaan merokok
kurang dari 10 batang perhari sebanyak 6 orang dengan nilai mean FEV1
85.50 dimana nilai ini masih diatas nilai FEV1 normal, dan yang memiliki
kebiasaan merokok 10-20 batang perhari sebanyak 10 orang dengan nilai
mean FEV1 88,40 dimana nilai ini masih diatas nilai FEV1 normal,
sedangkan yang memiliki kebiasaan merokok lebih dari 20 batang perhari
sebanyak 6 orang dengan nilai mean FEV1 91,50 dimana nilai ini masih
diatas nilai FEV1 normal.
< 10 batang 10-20 batang >20 batang0
20
40
60
80
10072.75
87.0979.585.5
88.4 91.5
Jumlah Rokok yang Dihisap
Rokok Putih Rokok Kretek
Jumlah Rokok yang Dihisap
Nilai Mean FEV1
Gambar 5.1 : Diagram jumlah rokok yang dihisap.
44
5.2.2. Lama Merokok
Tabel 5.2 : Lama Merokok
Rokok Putih Rokok Kretek
Jumlah rokok yang Dihisap N
FEV1 Mean FEV1
Standar Deviasi
N FEV1 Mean FEV1
Standar Deviasi
< 10 tahun 3 107
77.67 25.580
2 88
88.50 0.707
66 8960
10-20 tahun 16 114
80.00 16.091
15 83
86.33 17.120
64 10284 11264 9776 12289 64106 5872 84103 8556 8874 95
70 7474 7674 7775 7885
> 20 tahun 2 88
93.00 7.071
5 96
94.80 18.377
98 1051166790
Jumlah 21 80.90 16.703 22 88.45 16.509
Berdasarkan tabel 5.2 diatas menunjukkan bahwa responden yang
memiliki kebiasaan merokok dengan rokok putih yang telah merokok
untuk waktu kurang dari 10 tahun sebanyak 3 orang dengan nilai mean
FEV1 77,67 dimana nilai ini masih dibawah nilai FEV1 normal, dan yang
memiliki kebiasaan merokok selama 10-20 tahun sebanyak 16 orang
dengan nilai mean FEV1 80.00 nilai tersebut sama dengan nilai FEV1
normal, sedangkan responden yang memiliki kebiasaan merokok selama
lebih dari 20 tahun sebanyak 2 orang dengan nilai mean FEV1 93.00
dimana nilai ini lebih tinggi dari nilai FEV1 normal. Sedangkan untuk
responden yang menggunakan rokok kretek yang memiliki kebiasaan
45
merokok kurang dari 10 tahun sebanyak 2 orang dengan nilai mean FEV1
88.50, dan untuk responden yang telah memiliki kebiasaan merokok 10-20
tahun sebanyak 15 orang dengan nilai mean FEV1 86,33 dimana nilai ini
masih lebih tinggi dari nilai FEV1 normal, responden yang memiliki
kebiasaan merokok lebih dari 20 tahun sebanyak 5 orang dengan nilai
mean FEV1 94.80yang masih lebih tinggi dari nilai FEV1 normal.
< 10 tahun 10-20 tahun >20 tahun0
20406080
100 77.67 809388.5 88.63 94.8
Lama Merokok
Rokok Putih Rokok Kretek
Lama Merokok
Nilai Mean FEV1
Gambar 5.2 : Diagram lama merokok.
5.3. Hasil Analisis Statistik5.3.1. Hasil Uji Normalitas
Uji normalitas distribusi data dengan variabel rasio dalam
penelitian ini adalah data Forced Expiratory Volume In One Second
(FEV1) sebanyak 43 orang responden berdasarkan pada hasil
pengukuran, hasilnya seperti dalam tabel di bawah ini:
Tabel 5.3 : Hasil Uji Normalitas
N Shapiro-Wilk Signifikansi
Forced Expiratory Volume In One Second (FEV1)
43 0,972 0,370
Ket : menggunakan Shapiro-Wilk karena jumlah sampel kurang dari 50
46
Jika dilihat dari nilai signifikansinya yaitu 0,370 dimana nilai
tersebut lebih dari 5% maka dapat ditunjukkan bahwa data penelitian
variabel Forced Expiratory Volume In One Second (FEV1) pada 43 orang
responden adalah berdistribusi normal.
5.3.2. Hasil Independent Sample t TestSebelum dilakukan independent sample t test, perlu diketahui
uji homogenitas varians. Adapun hasil uji homogenitas pada penelitian ini
adalah sebagai berikut :
Tabel 5.4 : Uji Homogenitas
Variabel F-hitung SignifikansiForced Expiratory Volume In One Second (FEV1)
0,175 0,678
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa variabel Forced
Expiratory Volume In One Second (FEV1) adalah homogen, dilihat dari
nilai signifikansi yang dihasilkan lebih dari 5% (sig = 0,678) dengan
demikian uji independent sample t test bisa dilanjutkan.
Uji independent sample t test dilakukan dengan tujuan untuk
menguji perbedaan Expiratory Volume In One Second (FEV1) pada
responden yang menggunakan rokok kretek dengan responden yang
menggunakan rokok putih. Adapun hasil independent sample t test adalah
sebagai berikut :
Tabel 5.5 : Independent Sample T Test
Variabel Mean Std. DeviasiFEV1 rokok kretekFEV1 rokok putih
88,4580,90
16,50916,703
t-hitung = 1,490nilai signifikansi = 0,144
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa nilai rata-rata
FEV1 pada pengguna rokok kretek sebesar 88,45 dengan standar deviasi
47
sebesar 16,509 sedangkan nilai rata-rata FEV1 pada pengguna rokok
putih sebesar 80,90 dengan standar deviasi sebesar 16,703. Jika dilihat
dari rata-rata keduanya, tampak bahwa perbedaan yang relatif sangat
kecil dengan perbedaan rata-rata sebesar 7,55 (88,45 – 80,90).
Hasil ini diperkuat dengan hasil uji independent sample t test,
dengan nilai thitung yang dihasilkan sebesar 1,490 dengan tingkat
signifikansi sebesar 0,144. Karena nilai signifikansi yang dihasilkan lebih
dari 5% maka berarti tidak terdapat perbedaan Forced Expiratory Volume
In One Second (FEV1) yang signifikan antara pengguna rokok kretek
dengan pengguna rokok putih.
48
BAB 6PEMBAHASAN
Dalam bab pembahasan berikut akan dibahas mengenai hasil
penelitian mengenai perbedaan pengaruh rokok kretek dibandingkan
rokok putih terhadap nilai forced expiratory volume in one second (FEV1)
pada karyawan PT. Dok dan Perkapalan Surabaya.
Berdasarkan hasil pengolahan data dari hasil kuesioner yang
dibagikan dan pengukuran volume paru forced expiratory volume in one
second (FEV1) pada karyawan PT. Dok dan Perkapalan Surabaya,
didapatkan jumlah sampel sebanyak 43 orang dengan menggunakan
metode penelitian survei analitik cross sectional.
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan
metode simple random sampling dari populasi karyawan PT. Dok dan
Perkapalan Surabaya yang memiliki kebiasaan merokok.
Berdasarkan hasil analisis statistik independent sample t test
dengan nilai signifikansi P-value < α (α= 0,05), variabel jenis rokok yang
diteliti, yaitu rokok kretek dan rokok putih terhadap nilai forced expiratory
volume in one second (FEV1) memiliki nilai signifikansi lebih dari 5%
sehingga terdapat pengaruh yang sama atau tidak terdapat perbedaan
yang signifikan terhadap nilai forced expiratory volume in one second
(FEV1) pada karyawan PT. Dok dan Perkapalan Surabaya (P= 0,144).
Pada hasil analisis perbedaan pengaruh rokok kretek dibandingkan
rokok putih terhadap nilai forced expiratory volume in one second (FEV1)
didapatkan tidak terdapat perbedaan secara statistik. Berdasarkan
Banbury Report No.9 terdapat perbedaan antara rokok kretek dan rokok
putih, yaitu rokok kretek mengandung senyawa eugenol yang merupakan
bahan campuran utama dalam pembuatan rokok kretek, dimana efek
penggunaan jangka panjang dari zat ini dapat menyebabkan nekrosis.
Selain itu kadar nikotin dalam rokok kretek lima kali lebih besar
dibandingkan rokok putih dan kadar tar pada rokok kretek tiga kali lebih
besar daripada rokok putih (Soetiarto F, 1995). Namun terhadap
49
perbedaan ini tubuh akan mengkompensasi dengan menyesuaikan pola
merokoknya untuk menjaga kadar nikotin darah pada tingkat tertentu.
Contohnya, setelah mengubah merek rokok yang dikonsumsi ke suatu
merek yang menawarkan rokok rendah nikotin, maka akan terjadi
modifikasi pola inhalasi asap rokok untuk memaksimalkan absorpsi nikotin
(Lumb AB, 2005).
Dari data yang dihasilkan dari pembagian kuesioner dapat
disimpulkan bahwa responden rata-rata memiliki kebiasaan merokok yang
sama yaitu, jumlah rokok yang dihisap oleh mayoritas responden berkisar
10-20 batang perhari pada 21 orang, mayoritas responden telah memiliki
kebiasaan merokok selama lebih dari 10 tahun pada 30 orang, jenis rokok
yang digunakan oleh mayoritas reponden menggunakan filter pada 35
orang, serta rata-rata responden memiliki kebiasaan menghisap rokok
dengan menghisap dangkal pada 25 orang. Dari penelitian sebelumnya
diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara jumlah rokok yang
dihisap, lama menghisap rokok, serta cara menghisap rokok terhadap nilai
forced expiratory volume in one second (FEV1) (Saputro HE, 2012).
Sehingga semua faktor-faktor diatas dapat diabaikan pengaruhnya
terhadap nilai forced expiratory volume in one second (FEV1). Dari
penelitian yang sama juga diketahui bahwa terdapat korelasi positif antara
jenis rokok yaitu filter atau non-filter terhadap nilai forced expiratory
volume in one second (FEV1) (Saputro HE, 2012). Lumb AB menyatakan
bahwa lebih dari 2000 kandungan berbahaya ditemukan dalam asap
rokok, beberapa terdapat dalam bentuk gas dan lainnya terdapat dalam
bentuk partikel atau yang disebut fase tar. Fase tar atau fase partikel
merupakan suatu fraksi yang dieliminasikan melalui asap yang keluar
melewati Cambridge filter dari pori yang berukuran 0.1 mikrometer.
Cambridge filter berbeda dengan ‘filter tip’ yang mengijinkan lewatnya
sejumlah besar zat partikel. Dari data yang diperoleh dari kuesioner yang
dibagikan pada responden diketahui bahwa mayoritas responden merokok
dengan jenis rokok yang mengandung filter yaitu pada 35 orang dari 43
orang sampel. Sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah zat partikel yang
50
dihirup oleh rata-rata responden adalah sama. Zat-zat kimia seperti nikotin
dapat menyebabkan kontriksi pada otot polos sehingga menimbulkan
bronkokonstriksi yang berakibat penurunan diameter jalan napas. Tar
memiliki efek karsinogen dan melemahkan fungsi silia. Iritan
menyebabkan penurunan aktifitas silia dan mengiritasi membran mukosa.
Penurunan fungsi silia, peningkatan produksi mukus, penurunan mukus
klirens, serta peningkatan sensitivitas jalan napas sebagai respons
terhadap iritasi membran mukosa akan meningkatkan penurunan diameter
jalan napas yang mengakibatkan penutupan jalan napas secara prematur
selama ekspirasi yang seluruh proses tersebut akan mempengaruhi nilai
forced expiratory volume in one second (FEV1).
Dari ketiga penjelasan di atas, hasil penelitian ini dapat disimpulkan
tidak terdapat perbedaan yang signifikan pengaruh rokok kretek
dibandingkan rokok putih terhadap nilai forced expiratory volume in one
second (FEV1) disebabkan oleh mekanisme tubuh untuk mengkompensasi
kandungan zat kimia yang berbeda antara kedua jenis rokok dengan
menyesuaikan pola merokoknya untuk menjaga kadarnya dalam darah
pada tingkat tertentu dan adanya filter tip pada rokok yang berguna untuk
menyaring kadar zat partikel sehingga jumlah dari zat kimia yang dihirup
oleh rata-rata reponden adalah sama, sehingga efek terhadap fungsi
pernapasan juga sama.
51
BAB 7KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 KesimpulanKesimpulan dari hasil penelitian ini adalah:
Tidak terbukti terdapat perbedaan pengaruh antara rokok kretek
dibandingkan rokok putih terhadap volume paru forced expiratory
volume in one second (FEV1) pada karyawan PT. Dok dan
Perkapalan Surabaya.
7.2 Saran1. Untuk menjaga kesehatan fungsi paru dan mencegah terjadi
penyakit obstruksi dan juga restriksi pada saluran pernapasan
sebaiknya para karyawan PT. Dok dan Perkapalan Surabaya
menghentikan kebiasaan merokok.
2. Perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh dari merokok
terhadap kesehatan paru dengan menggunakan variabel yang
berbeda.
3. Perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut mengenai hubungan
merokok terhadap fungsi paru pada populasi berbagai kelompok
usia, pada wanita dan profesi dengan aktivitas yang berbeda.
4. Untuk penelitian selanjutnya, calon peneliti perlu lebih
mengendalikan faktor perancu lain dalam menilai kebiasaan
merokok dengan indikator jumlah rokok yang dihisap, lama
menghisap rokok, jenis rokok yang dihisap, dan cara menghisap
rokok sehingga hasil penelitian tidak dipengaruhi oleh variabel
perancu.
52
DAFTAR PUSTAKA
Albert RK, Spiro SG, Jeff JR, 2008, Clinical Respiratory Medicine, 3 rd
edition, Elsevier, Philadelphia.Bellamy D, 2005, Spirometry In Practice, A Practical Guide To Using
Spirometry In Primary Care, 2nd edition, pp. 5.Dictionary Encyclopedia and Thesaurus-The Free Dictionary, “Smoking”,
dilihat pada 14 Oktober 2013, http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/smoking .
DokterSehat.com, 2012, 86 Persen Orang Indonesia Sadar Bahaya Rokok Bagi Kesehatan, dilihat pada 15 April 2014, http://doktersehat.com/86-persen-orang-indonesia-sadar-bahaya-rokok-bagi-kesehatan/#ixzz2z3CEUrvj
Drake Richard L, Vogy Wayne, Mitchell Adam W.M, 2010,Gray’s Anantomy For Student, 2nd edition, Elsevier, Philadelphia.
Fishman AP et al, 2008, Fishman’s Pulmonary Disease and Disorders, 4 th
edition, The McGraw-Hill Companies, New York.Ganong WF, 2005, Review of Medical Physiology, 11 th edition, The
McGraw-Hill Companies, New York.Guyton AC, Hall JE, 2007, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 11, EGC,
Jakarta.Johns DP, Pierce R, 2008, Spirometry: The Measurement and
Interpretation of Ventilatory Function in Clinical Practice, The Thoracic Society of Australia and New Zealand, 2nd edition, pp. 4,10-11.
Johns Hopkins Medicine, “Pulmonary Function Test, Health Library”, dilihat pada 15 Juni 2013, http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/test_procedures/pulmonary/pulmonary_function_test_92,P07759/ .
Knowledge Publisher, 2007, Chemical Components of Cigarette Smoke, pp. 1-2.
Kusmiyati, (2013, 31 Mei), Kesehatan Perokok Pasif Lebih Buruk daripada Perokok Aktif, Liputan 6, viewed 9 Desember 2013, http://health.liputan6.com/read/600607/kesehatan-perokok-pasif-lebih-buruk-dari-pada-perokok-aktif .
Kusuma DA, Yuwono Sudarminto S, Wulan SN, 2003, Studi Kadar Nikotin dan Tar Sembilan Merk Rokok Kretek Filter yang Beredar di Wilayah Kabupaten Nganjuk, Laporan Kasus, Universitas Brawijaya Malang.
Lumb Andrew B, 2005, Nunn’s Applied Respiratory Physiology, 6th edition, Elsevier, Leeds.
McCarthy K, 2012, “Pulmonary Function Test”, dilihat pada 15 Juni 2013, http://emedicine.medscape.com/article/303239-overview.
Merriam-Webster, 2013, “Smoke”, dilihat pada 14 Oktober 2013, http://www.merriam-webster.com/dictionary/smoke.
53
Miller MR et al, 2005. Standardization of Spirometry, Eur Respir J, 26, pp.319-338.
Moore KL, Agur AMR, 2002, Anatomi Klinis Dasar, edisi 1, Hipokrates, Jakarta.
Pratiknya AW, 2003, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, edisi 1, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Rachmaningtyas A, (2013, 31 Mei), 61,4 Juta Penduduk Indonesia Perokok Aktif, sindonews, dilihat pada 15 Juni 2013, http://nasional.sindonews.com/read/2013/05/31/15/744854/61-4-juta-penduduk-indonesia-perokok-aktif.
Reimondos A, Dwisetyani I, Mcdonald P, Hull T, Suparno H, Utomo A, 2010, Merokok dan Penduduk Dewasa Muda di Indonesia, Laporan Kasus, Australian National University.
Rujita YE, 2013, Proses Pembuatan Rokok Kretek, Penta Aromindo, dilihat pada 9 Desember 2013, pentaaromindo.wordpress.com/proses-pembuatan-rokok-kretek-2/.
Saladin K.S, 2003, Anatomy & Physiology: The Unity of Form and Function, 3rd edition, McGraw-Hill Companies, New York.
Saputro HE, 2012, Hubungan Kebiasaan Merokok Terhadap Volume Paru Forced Expiratory in One Second (FEV1) Pada Penyelam-Dalam TNI-AL di Dislambair Koarmatim Surabaya, Skripsi, Universitas Hang Tuah Surabaya.
Setiawan E, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kemendikbud, viewed 12 November 2013.
Soetiarto F, 1995, Mengenal Lebih Jauh Rokok Kretek, Puslit Penyakit Tidak Menular, Vol. V no. 04, pp. 31-32.
Stoller JK, 1992, Spirometry: A Key Diagnostic Test in Pulmonary Medicine, Cleveland Clinic Journal of Medicine, Volume 59 no. 1, pp. 76.
US. Department of Health and Human Services, 2010, How Tobacco Smoke Cause Disease: The Biology and Behavioral Basis for Smoking-Attributable Disease, US. Department of Health and Human Services, Rockville.
Wahyuningsih M, (2012, 12 Desember), Harga Rokok Di Indonesia Lebih Murah Dari Permen, Detikhealth, dilihat pada 15 April 2014, http://m.detik.com/health/read/2012/12/12/155815/2116698/763/harga-rokok-di-indonesia-lebih-murah-dari-permen?l771108bcj
Wismilak Cigarettes, 2008, Ramai-ramai Produksi " Rokok Sehat,
dilihat pada 15 April 2014, http://wishmeluck78.wordpress.com/shoutbox/motivasi-kerja/artikel/
World Health Organisation, 2013, “Chronic Obstructive Pulmonary Disease”, dilihat pada 14 Oktober 2013, http://www.who.int/entity/respiratory/copd/en/.
54
Lampiran 1
Kepada Yth…………………………………………………..Di tempat
Dengan hormat,
Sehubungan dengan pelaksanaan penelitian dengan judul
“Pengaruh Rokok Putih dan Rokok Kretek Terhadap Penurunan Forced
Expiratory Volume in One Second (FEV1)”. Saya:
Nama : Helmina
Nim : 2010.04.0.0164
Jurusan : Kedokteran
Fakultas : Fakultas Kedokteran, Universitas Hang Tuah Surabaya
Memohon bantuan saudara untuk bersedia meluangkan waktu guna
mengisi pertanyaan-pertanyaan yang ada pada daftar ini tanpa ada
prasangka dan perasaan tertekan. Setiap data yang diperoleh tidak akan
disebarluaskan, karena itu saya sangat mengharapkan saudara untuk
menjawab pertanyaaan ini dengan sejujur-jujurnya dengan kondisi
obyektif yang dihadapi.
Akhirnya, saya ucapkan terima kasih banyak atas bantuan dan
partisipasi yang diberikan. Selanjutnya mohon lembaran kuesioner ini
dikembalikan.
Surabaya, 15 Desember 2013
Helmina
55
A. Identitas RespondenNama : ……………………………………………
TTL : ……………………………………………
Usia : …………………………………………....
Jenis Kelamin : ……………………………………………
No. Telpon : ……………………../…………………….
B. Mengenai hal-hal yang memiliki kaitan dengan fungsi paru (lingkari huruf yang sesuai dengan pilihan saudara atau istilah jawaban saudara).
I. Merokok1. Apakah saudara saat ini memiliki kebiasaan merokok?
a. Ya
b. Tidak
Jika jawaban saudara a lanjutkan ke nomor 2 dan
seterusnya. Jika jawaban saudara b lanjutkan ke bagian 2.
2. Berapa jumlah rata-rata batang rokok yang saudara hisap
perhari?
a. Kurang dari 10
b. 10-20
c. lebih dari 20
3. Telah berapa lama saudara merokok saat ini?
Jawab: …………………….. tahun
4. Jenis rokok apa yang biasa saudara hisap?
a. Rokok putih
b. Rokok kretek
c. Rokok putih menthol
5. Brand / merek rokok yang saudara gunakan?
Jawab:………………………………
6. Apakah rokok saudara menggunakan filter?
a. Ya
56
b. Tidak
7. Apakah saudara menggunakan satu jenis rokok yang sama
dalam sebulan terakhir?
a. Ya
b. Tidak
8. Bagaimana cara saudara menghisap rokok?
a. Menghisap dangkal, yaitu begitu menghisap langsung
dihembuskan
b. Menghisap dalam, yaitu menghisap rokok dengan
cara ditelan sampai ke dalam kerongkongan
II. Riwayat Penyakit Paru1. Apakah saudara pernah memiliki riwayat penyakit paru?
a. Ya
b. Tidak
2. Jika ya, riwayat penyakit apa yang pernah saudara
derita?
a. Asthma
b. Pneumonia
c. Bronkitis kronis
d. Emfisema
e. …………………………….
III. Riwayat Penggunaan Obat1. Apakah saudara sedang menggunakan obat-obat
bronkodilator (pembuka saluran napas, misal: obat
asthma)
a. ya
b. tidak
C. Setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, jika saudara
memenuhi kriteria yang kami perlukan, apakah saudara bersedia mengikuti prosedur pemeriksaan yang akan kami lakukan?
a.Ya
b.Tidak
57
Lampiran 2
PENJELASAN INFORMASI PENELITIAN (Inform for inform consent)
Judul Penelitian:“PERBEDAAN PENGARUH ROKOK KRETEK DIBANDINGKAN
ROKOK PUTIH TERHADAP NILAI FORCED EXPIRATORY VOLUME IN ONE SECOND (FEV1) PADA KARYAWAN PT. DOK DAN
PERKAPALAN SURABAYA”
PENGANTAR:Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan pengaruh dari jenis rokok
yang berebeda yaitu rokok kretek dan rokok putih terhadap nilai volume
paru penghembusan napas (ekspirasi) secara paksa pada 1 detik pertama
(FEV1) pada karyawan PT. Dok dan Perkapalan Surabaya. Partisispan
yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah pasien yang secara sukarela
bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini serta bersedia menjalani
semua prosedur penelitian yang telah disepakati bersama. Partisipan juga
berhak untuk mengundurkan diri sewaktu-waktu. Sebagai informasi,
penelitian ini dilakukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menyelesaikan program studi strata satu Kedokteran Umum di Universitas
Hang Tuah Surabaya.
TUJUAN PENELITIAN:Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan pengaruh dari jenis
rokok yang berebeda yaitu rokok kretek dan rokok putih terhadap nilai
volume paru penghembusan napas (ekspirasi) secara paksa pada 1 detik
pertama (FEV1) yang diukur dengan menggunakan alat spirometer
(spirolab II) dan pengukuran berat badan dan tinggi badan menggunakan
timbangan dan microtoise.
58
HAK PARTISIPAN:Partisipan berhak untuk megundurkan diri sewaktu-waktu dari penelitian
yang telah disepakati bersama dengan alasan ketidaknyamanan ataupun
alasan lain yang dapat dimaklumi oleh kedua belah pihak.
KEWAJIBAN PARTISIPAN:Beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh partisipan sebagai berikut:
1. Memberikan informasi yang sebenar-benarnya mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan kebiasaan merokok, riwayat kesehatan
paru, serta riwayat pemakaian obat dan informasi lain yang
diperlukan dalam penelitian ini.
2. Mematuhi prosedur penelitian yang telah disepakati bersama.
3. Bersedia bekerjasama dalam proses pengumpulan data penelitian.
4. Memberitahukan alas an pengunduran diri dari penelitian kepada
pihak peneliti.
KERAHASIAAN:Peneliti akan menjamin kerahasiaan terkait segala bentuk data, identitas
diri, dan informasi yang bersifat rahasia bagi partisipan.
EFEK SAMPING:Pengukuran volume paru ekspirasi paksa pada 1 detik pertama (FEV1) ini
sangatlah aman. Efek yang mungkin ditimbulkan secara minimal adalah
rasa nyeri pada dada akibat manuver ekspirasi paksa yang dilakukan
secara berulang.
59
PROSEDUR:Partisipan sesuai kriteria inklusi
Kelompok penelitian
Mendapatkan penjelasan alur penelitian
Menyetujui dan menandatangani informed consent form
Dilakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan
Dilakukan pengukuran volume paru ekspirasi paksa pada 1 detik pertama
Pencatatan hasil
Pengumpulan data
Pengolahan Data
60
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
SURAT PERSETUJUAN PEMERIKSAAN(INFORMED CONSENT)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :………………………………………………………………………
Umur :………………………………………………………………………
Alamat : ……………………………………………………………………..
No. Telp. : …………………………………………………………………….
Setelah mendapat keterangan secukupnya tentang tujuan, manfaat, dan
juga akibat-akibat yang mungkin akan terjadi, saya bersedia ikut dalam
penelitian ini dan menyatakan tidak keberatan dilakukan pengukuran
fungsi paru forced expiratory volume in one second (FEV1).
Surabaya,…………………..2014
Peneliti, Yang memberi pernyataan,
Helmina2010.04.0.0164
(………………………………)
Saksi
(……………………………….)
61
Lampiran 3
FORM PENELITIANFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYAJudul Penelitian:
PERBEDAAN PENGARUH ROKOK KRETEK DIBANDINGKAN ROKOK PUTIH TERHADAP NILAI FORCED EXPIRATORY VOLUME IN ONE SECOND (FEV1) PADA KARYAWAN PT. DOK DAN PERKAPALAN
SURABAYA
(DIISI OLEH RESPONDEN)
NAMA :…………………………………….............
TANGGAL LAHIR :…………………………………….............
USIA (tahun) :…………………………………….............
(DIISI OLEH PENELITI)TINGGI BADAN (m) :……………………………………............
BERAT BADAN (kg) :…………………………………................
FEV1 (ml) :…………………………………................
62
Lampiran 4 DATA PENELITIAN
63
ROKOK KRETEK
No
Nama
(Inisial)
Umur
(tahun)
Berat
Badan
(Kg)
Tinggi
Badan
(cm)
FEV1
(%predicted)
Jumlah
Rokok
yang Dihis
ap
Lama Merok
ok (tahun
)
Filter /
Tidak
Cara Menghisap Rokok
1 S 42 62 170 83 >20 20 Filter Dalam2 R 50 54 168 96 10-
2025 Filter Dangkal
3 OR 41 63 160 102 10-20
20 Filter Dalam
4 U 52 62 161 105 10-20
30 Filter Dangkal
5 IL 48 70 161 112 <10 15 Tidak
Dangkal
6 HAS 47 77 162 97 >20 15 Tidak
Dalam
7 AS 52 72 168 122 >20 10 Tidak
Dalam
8 S 53 75 167 116 10-20
27 Filter Dalam
9 M 52 50 163 89 <10 5 Filter Dangkal10
HR 54 45 160 67 10-20
30 Tidak
Dangkal
11
HTS 45 60 160 64 10-20
15 Tidak
Dangkal
12
H 54 56 163 58 <10 20 Tidak
Dalam
13
HS 51 111 165 88 <10 5 Filter Dangkal
14
H 54 68 170 84 10-20
10 Filter Dangkal
15
S 30 69 169 85 10-20
10 Filter Dalam
16
S 42 73 160 88 10-20
20 Filter Dalam
17
A 49 60 160 90 <10 28 Filter Dalam
18
SW 54 71 166 95 >20 18 Tidak
Dangkal
19
IS 46 72 156 74 >20 20 Filter Dalam
20
ER 45 65 162 76 <10 15 Filter Dangkal
21
IW 44 60 170 77 10-20
15 Filter Dangkal
22
EP 45 71 168 78 >20 10 Tidak
Dalam
ROKOK PUTIH
No
Nama
(Inisial)
Umur (tahu
n)
Berat
Badan
(Kg)
Tinggi
Badan
(cm)
FEV1
(%predicted)
Jumlah
Rokok
yang Dihis
ap
Lama Merok
ok (tahun
)
Filter / Tidak
Cara Menghisap Rokok
1 MS 49 62 156 114 10-20 15 Filter
Dalam
2 H 42 54 165 64 <10 19 Filter
Dangkal
3 I 35 63 163 107 <10 1 Filter
Dangkal
4 MI 43 62 173 84 <10 20 Filter
Dangkal
5 S 46 70 161 64 10-20 20 Filter
Dalam
6 I 44 77 164 66 <10 5 Filter
Dangkal
7 I 45 72 160 88 10-20 25 Filter
Dalam
8 DS 41 75 160 76 10-20 10 Filter
Dangkal
9 ME 43 50 160 89 10-20 20 Filter
Dangkal
10
BP 53 45 160 106 10-20 20 Filter
Dangkal
11
BH 44 60 160 72 10-20 20 Filter
Dalam
12
KM 53 56 164 75 <10 20 Filter
Dangkal
13
YH 46 111 168 85 >20 20 Filter
Dangkal
14
IS 41 68 161 103 10-20 20 Filter
Dangkal
15
R 45 69 163 56 <10 10 Filter
Dangkal
16
AY 41 73 174 74 10-20 20 Filter
Dalam
17
S 54 60 160 60 <10 5 Filter
Dalam
18
BS 41 71 167 98 10-20 22 Filter
Dangkal
19
A 49 72 185 70 <10 10 Filter
Dalam
20
AP 44 65 175 74 >20 18 Filter
Dangkal
21
H 49 60 168 74 10-20 10 Filter
Dangkal
Lampiran 5
OUTPUT UJI NORMALITAS
Tests of Normality
.098 43 .200* .972 43 .370FEV1Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
This is a lower bound of the true significance.*.
Lilliefors Significance Correctiona.
64
Lampiran 6
OUTPUT INDEPENDENT SAMPLE T TEST
T-Test
Group Statistics
22 88.45 16.509 3.52021 80.90 16.703 3.645
ROKOKrokok kretekrokok putih
FEV1N Mean Std. Deviation
Std. ErrorMean
Independent Samples Test
.175 .678 1.490 41 .144 7.550 5.066 -2.680 17.780
1.490 40.856 .144 7.550 5.067 -2.684 17.784
Equal variancesassumedEqual variancesnot assumed
FEV1F Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
t-test for Equality of Means
65
Lampiran 7
JADWAL PELAKSANAAN
66
No. Waktu Pelaksanaan Desember 2013
Januari2014
Februari2014
Maret2014
April2014
1 Persiapana. Perizinanb. Penelusuran
Kepustakaan
2 Penyusunan Proposal
3 Uji Etik Penelitian
4 Penelitian
5 Analisis Data
6 Penyusunan Laporan Penelitian
Lampiran 8
SPIROMETER
67
TIMBANGAN BERAT BADANDan MICROTOISE
68
Lampiran 9
69
70
Lampiran 10
Contoh Hasil Pembacaan Spirometer
71
Lampiran 11
Surat Keterangan Kelaikan Etik Penelitian
72