skripsi Izul bismillah ^_^

99
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Attention-deficit/hyperactivity disorder atau Gangguan Pemusatan Perhatian/Hiperaktivitas (GPPH) merupakan satu diantara beberapa kondisi kesehatan kronik yang paling sering dialami oleh anak pada usia sekolah (AAP,2000). ADHD telah ada di tengah-tengah masyarakat sejak dahulu, tetapi baru mendapat perhatian pada 3 dekade terakhir atau sekitar tahun 1960-an (Kennet,1999;Osman,2002). Onset ADHD biasanya mulai pada usia 3-4 tahun (Tood,1997). Umumnya diagnosis baru ditegakkan setelah anak duduk di Sekolah Dasar. Situasi belajar yang formal menuntut pola perilaku yang terkendali termasuk pemusatan perhatian dan konsentrasi yang baik. Kasus ADHD lebih banyak ditemukan pada murid Sekolah Dasar yang mulai 1

description

word

Transcript of skripsi Izul bismillah ^_^

BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Attention-deficit/hyperactivity disorder atau Gangguan Pemusatan Perhatian/Hiperaktivitas (GPPH) merupakan satu diantara beberapa kondisi kesehatan kronik yang paling sering dialami oleh anak pada usia sekolah (AAP,2000). ADHD telah ada di tengah-tengah masyarakat sejak dahulu, tetapi baru mendapat perhatian pada 3 dekade terakhir atau sekitar tahun 1960-an (Kennet,1999;Osman,2002).

Onset ADHD biasanya mulai pada usia 3-4 tahun (Tood,1997). Umumnya diagnosis baru ditegakkan setelah anak duduk di Sekolah Dasar. Situasi belajar yang formal menuntut pola perilaku yang terkendali termasuk pemusatan perhatian dan konsentrasi yang baik. Kasus ADHD lebih banyak ditemukan pada murid Sekolah Dasar yang mulai memasuki suatu institusi dengan peraturan yang mengikat (Kaplan,1998; Saputro,2001). Masalah yang ditimbulkan ADHD mencapai puncaknya pada usia 7-10 tahun, misalnya dengan munculnya kesulitan belajar pada anak. Walaupun gejala hiperaktivitas akan mengalami remisi, gangguan pemusatan perhatian dan impulsivitas cenderung menetap sampai masa remaja bahkan sampai usia dewasa (Kaplan,1998; Elia et al., 1999). Anak dengan ADHD sering dihadapkan dengan masalah gangguan belajar dan emosional lain, masalah fungsional, kronisitas gejala yang dapat menetap sampai usia dewasa, serta perkembangan gejala ADHD yang dapat menjadi gangguan psikiatrik lain saat dewasa (Biederman et al., 1996; Brown et al ., 2001; Goldman et al.,1998; Schachar et al., 1987; Spencer et.al., 1993).

Anak ADHD yang tidak terdeteksi dan tidak tertangani secara dini dapat berdampak buruk dalam bidang akademik sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia. Anak ADHD juga dapat mengalami gangguan tingkah laku yang dapat mengganggu keluarga dan lingkungannya (Saputro,2001), dan memiliki risiko untuk mengalami gangguan belajar, rasa rendah diri yang berlebihan, problem sosial, rawan kecelakaan, masalah dengan keluarga, serta berpotensi menjadi alkoholik (APA,1994; Kaplan,1998). Penderita ADHD akan memberikan dampak yang cukup besar bagi masyarakat dan individu, meliputi biaya kesehatan, stress dalam keluarga, akademik-vokasional, dan terhadap harga diri (self esteem) individu (Spencer et al., 1998).

Angka prevalensi ADHD di Indonesia belum diketahui sampai saat ini. Pernah diteliti, prevalensi ADHD pada murid kelas 1 Sekolah Dasar di salah satu kecamatan di Jakarta Timur 3,63%. Penelitian yang dilakukan terhadap murid-murid dengan kesulitan belajar di SD Negeri Sukagalih I dan IV Kotamadya Bandung, ditemukan 2,70%. Sebuah penelitian di Sekolah Dasar di Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan prevalensi ADHD sebesar 26,2% yang diestimasi berdasarkan penapisan dengan instrumen SPPAHI/G pada cut off score 29. Penelitian pada murid Sekolah Dasar di Kecamatan Banguntapan, Bantul, Yogyakarta pada tahun 2006 menggunakan instrumen DSM-IV didapatkan prevalensi ADHD sebesar 5,37% (Wihartono,2007).

Sementara itu, gangguan anxiety merupakan keadaan psikiatri yang paling sering ditemukan di Amerika Serikat dan di seluruh dunia. Studi menunjukkan bahwa gangguan ini meningkatkan morbiditas, penggunaan pelayanan kesehatan, dan hendaya fungsional. Etiologi gangguan anxiety bisa ditelusuri dari faktor biologis, faktor genetik, maupun faktor psikososial (Kaplan & Sadock, 2004).

Saudara kandung dari pasien ADHD berisiko tinggi mengalami gangguan lain seperti gangguan perilaku disruptif, gangguan anxiety, serta gangguan depresi. Orangtua dari anak-anak ADHD menunjukkan peningkatan insidensi hiperkinesis, sociopathy, penyalahgunaan alkohol, serta gangguan konversi (Kaplan,2005).

Orang tua khususnya Ibu mengalami dampak stress yang lebih berat dari Ayah karena Ibu lebih banyak terlibat dalam pengasuhan anak sehari-hari. Biasanya Ibu cenderung mengalami perasaan bersalah dan depresi yang berhubungan dengan ketidakmampuan anaknya dan Ibu lebih mudah terganggu secara emosional (Cohen & Volkmar, 1997)

National Comorbidity Study melaporkan bahwa satu diantara empat orang memenuhi kriteria untuk sedikitnya satu gangguan anxiety dan terdapat angka prevalensi 12 bulan sebesar 17,7 persen. Perempuan (prevalensi seumur hidup 30,5 persen) lebih cenderung mengalami gangguan anxiety daripada laki-laki (prevalensi seumur hidup 19,2 persen). Prevalensi gangguan anxiety menurun dengan meningkatnya status sosio-ekonomik (Kaplan & Sadock, 2007).Untuk gangguan kecemasan jenis gangguan panik, wanita beresiko dua sampai tiga kali lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Phobia spesifik juga lebih umum terjadi pada wanita. Angka kejadian phobia spesifik pada wanita (13,6 sampai 16,1 persen) adalah dua kali lipat bila dibandingkan dengan laki-laki (5,2 sampai 6,7 persen).Studi epidemiologi menyebutkan bahwa wanita lebih sering mengalami phobia sosial bila dibandingkan dengan laki-laki, namun pada sampel klinis didapatkan hasil yang berkebalikan. Alasan dari variasi ini tidak diketahui secara pasti.

Pada usia dewasa, wanita dan laki-laki beresiko sama untuk mengalami gangguan obsesif kompulsif. Sedangkan untuk usia remaja, laki-laki lebih sering mengalami.Pada Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) atau Gangguan Stress Pasca Trauma , wanita dan laki-laki memiliki perbedaan dalam tipe trauma yang dialami dimana mereka rentan terkena PTSD. Lifetime prevalence secara signifikan lebih tinggi pada wanita bila dibandingkan dengan laki-laki, dan proporsi untuk mengalami PTSD juga lebih tinggi pada wanita.Generalized Anxiety Disorder (GAD) atau Gangguan Ansietas Menyeluruh lebih sering terjadi pada wanita dibanding laki-laki, dengan rasio 2:1, namun rasio wanita dibanding laki-laki yang menjalani inpatient treatment karena kasus ini adalah 1:1 (Kaplan & Sadock, 2007). Sementara itu, belum ada penelitian tentang kaitan antara anak ADHD dengan gangguan anxiety pada orang tua, khususnya ibu.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian di atas dapat di simpulkan beberapa masalah yang menjadi latar belakang penelitian ini di lakukan, yakni sebagai berikut:

1.Attention-Deficit/Hyperactiuvity Disorder (ADHD) merupakan permasalahan yang cukup serius pada anak, karena berdampak negatif pada bidang akademik, harga diri, biaya kesehatan, maupun menimbulkan stress terhadap keluarga yang mengasuhnya.

2. Dalam kaitannya dengan keluarga, orangtua khususnya ibu beresiko lebih tinggi mengalami kecemasan dalam mengasuh anak ADHD. Hal ini dikarenakan ibu lebih banyak terlibat dalam pengasuhan anak dalam praktek kehidupan sehari-hari.

C. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penulusuran penulis terhadap katalog karya ilmiah cetak dan elektronik, di dapatkan penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan kecemasan dan ADHD antara lain:

1. Dessie dan Ni Made (2007) dalam penelitian kualitatif dengan teknik wawancara dan observasi Mothers Anxiety in Dealing with the Eldest Child at Adolescent Age menunjukkan hasil kecemasan ibu dapat dilihat dari empat gejala kecemasan, yaitu manifestasi kognitif, manifestasi motorik, manifestasi somatik, serta manifestasi afektif. Persamaan dengan penelitian ini adalah melihat gambaran kecemasan ibu. Perbedaan dengan penelitian ini adalah anak sulung pada usia remaja. Penelitian yang dilakukan penulis mencari hubungan antara kecemasan ibu dengan anak ADHD.

2. Bania dan Raras (2005) dalam penelitian berjudul Stress Ditinjau dari Harga Diri pada Ibu yang Memiliki Anak Penyandang Retardasi Mental menunjukkan hubungan negatif antara harga diri dan stress pada ibu yang memiliki anak penyandang retardasi mental ( rxy=0,601 ; p