SKRIPSI IMPLIKASI INTERVENSI BERSENJATA NATO DI LIBYA...
Transcript of SKRIPSI IMPLIKASI INTERVENSI BERSENJATA NATO DI LIBYA...
SKRIPSI
IMPLIKASI INTERVENSI BERSENJATA NATO DI LIBYA
TERHADAP KEDAULATAN NEGARA LIBYA
Oleh
REZA LENSA
NIM B 111 07 793
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS HUKUM
BAGIAN HUKUM INTERNASIONAL
MAKASSAR
2011
SKRIPSI
IMPLIKASI INTERVENSI BERSENJATA NATO DI LIBYA
TERHADAP KEDAULATAN NEGARA LIBYA
Oleh
REZA LENSA
NIM B 111 07 793
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS HUKUM
BAGIAN HUKUM INTERNASIONAL
MAKASSAR
2011
UCAPAN TERIMA KASIH
Assalammu Alaikum Wr.Wb,
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya serta
karunia-Nya yang diberikan kepada penulis sehingga skripsi yang sederhana ini dapat
terselesaikan dengan baik, Penulis menyadari bahwa hanya dengan petunjuk-Nya jugalah
sehingga kesulitan dan hambatan dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta
salam kepada junjungan Nabi kita Muhammad saw yang telah membawa kita semua dalam
kehidupan yang penuh dengan kebaikan serta menunjukkan jalan dari jalan yang gelap
menuju jalan yang terang benderang.
Dalam penyusunan skripsi ini, Penulis banyak menemui hambatan dan tantangan baik
yang sifatnya teknis dan non teknis. Hanya dengan modal semangat dan keyakinan yang teguh
dengan dilandasi usaha dan berdoa maka kendala-kendala tersebut dapat Penulis atasi dengan
baik.
Oleh karena itu, Penulis sangat mengharapkan partisipasi aktif dari semua pihak berupa
saran dan kritik yang bersifat membangun (konstruktif) demi penyempurnaannya dimasa
mendatang.
Tak lupa pula penulis menghaturkan banyak terima kasih dan sembah sujud kepada
kedua orang tua penulis Drs. Sudirman dan Dra. Lenny Suaib yang telah mendidik,
membesarkan serta mengiringi setiap langkah penulis dengan do’a serta restunya yang tulus.
Penulis juga menghaturkan banyak terima kasih kepada Adikku Shindi Nurmuslimah, Gayatri
Oktaviani, Dimas Fahlevi, Shiva Alqarni yang telah memberi semangat buat penulis dan
seluruh keluarga besar di Kota Makassar atas nasihat dan doa yang tulus kepada penulis.
Adapun maksud dari penyusunan skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat akademik
dalam menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1) pada Jurusan Hukum Internasional Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.
Pada kesempatan ini penulis menghaturkan banyak terima kasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. DR. Dr. Idrus A. Paturusi SpBO, selaku Rektor Universitas Hasanuddin.
2. Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.S., D.F.M., Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H., Dr. Ansori Ilyas,
S.H., M.H., dan Romi Librayanto, S.H., M.H. selaku Dekan dan Wakil Dekan I, II, dan III
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
3. Prof. dr. S.M Noor, S.H.,M.H selaku Pembimbing I dan Maskun, S.H.,LLM.,. selaku
pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing dan
mengarahkan penulis didalam penyusunan skripsi ini.
4. Prof. Dr. Alma Manuputi S.H., M.H., Laode Abdul Gani, S.H., M.H., Birkah Latief, S.H.,M.H
selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan yang sangat
berharga demi kebaikan penulis dan kesempurnaan skripsi ini.
5. Ratnawati, S.H.,M.H. selaku Penasehat Akademik yang dengan sabar dan penuh tanggung
jawab memberikan petunjuk yang sangat bernilai bagi penulis.
6. Prof. dr. S.M Noor, S.H.,M.H dan Iin Karita SakharinaS.H., M.H. selaku ketua dan sekretaris
bagian Hukum Internasional.
7. Guru Besar, Dosen, dan Staf Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
8. Segenap pegawai Kementerian Luar Negri yang telah membantu penulis selama melakukan
penelitian di Jakarta.
9. Teman-teman KKN Kemenlu 2010, Yudho, Abob, Andi, ahkam, Ipul, Aswin, Elu, Rendi, Boy,
Emi, Cici, Lemot, Sasa, Jen, Minarti semoga kita tetap kompak.
10. The Big Family LEGALITAS’07, kita akan tetap menjadi keluarga selamanya
11. Semua teman-teman di Bagian Hukum Internasional
12. Sahabat seperjuangan HMI Kom. Hukum Unhas, Wiryawan Batara Kencan, Muh.
Firmansyah, Ilham azis, Yudho Perdana, Fadli Dwi Rezky, Adeh Dwi Putra, Aming Keple.
13. And the Last for the Best, buat NURUL RAMADHANI KAMARULLAH, terima kasih atas
bantuan semangat dan dukungan yang luar biasa dalam menyelesaikan skripsi ini…
semoga apa yang terjadi pada kita berdua dapat bertahan lama., semoga semuanya dapat
berjalan dengan lancar2 saja, tidak ada hambatan dan indah pada waktunya...Amin….….
14. Segenap pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu – persatu atas bantuan, dukungan,
kerjasama, dan semangat yang sangat berharga bagi penulis dan Jika suatu hari
nanti..Entah besok atau kapan saja..kita berpisah dan tidak bertemu lagi..Ketahuilah Hadiah
terindah yang pernah penulis dapat adalah mengenal kalian semua..
Atas segala bantuan, kerja sama, uluran tangan yang telah diberikan dengan ikhlas hati
kepada penulis selama menyelesaikan studi hingga rampungnya skripsi ini, tak ada kata yang
dapat terucapkan selain terima kasih. Begitu banyak bantuan yang telah diberikan bagi penulis.
Namun melalui doa dan harapan dari penulis semoga amal kebajikan yang telah disumbangkan
dapat diterima dan memperoleh balasan yang lebih baik dari Sang Maha Sempurna Pemilik
Segalanya, Allah SWT. Amin.
Akhir kata, meskipun telah bekerja dengan maksimal mungkin, skripsi ini tentunya tidak
luput dari kekurangan. Harapan penulis, kiranya skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada
pembacanya. Amin
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Makassar, ……………2012
M. Reza Lensa Sudirman
ABSTRAK
M. Reza Lensa Sudirman, B111 07 793, Implikasi intervensi bersenjata NATO di
libya terhadap kedaulatan negara Libya, dibimbing oleh Prof. dr. S.M Noor, S.H.,M.H.,
selaku pembimbing I dan bapak Maskun, S.H.,LLM., selaku pembimbing II.
Sampai saat ini, intervensi merupakan salah satu persoalan hangat dalam
hukum internasional. Pelanggaran terhadap prinsip non-intervensi, sering dilakukan
oleh organisasi internasional atas dasar perlindungan hak asasi manusia. Berawal dari
suatu konflik bersenjata yang sedang berlangsung di Libya yang dilakukan oleh pihak
oposisi dalam usahanya untuk menggulingkan pemerintahan khadaffi. PBB selaku
organisasi internasional yang bersifat universal dengan tujuan utama untuk
memelihara perdamaian dunia akhirnya mengeluarkan Resolusi DK PBB No.1970 ini
disusul dengan Resolusi DK PBB No.1973 yang dikeluarkan pada tanggal 17 Maret
2011 yaitu tentang embargo senjata dan larangan terbang.
Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam mengumpulkan data,
yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research) dan melalui
penelitian secara langsung di beberapa tempat lokasi penelitian, yang kemudian
penulis tambahkan dengan berbagai penelusuran buku-buku, dokumen-dokumen,
artikel, jurnal, surat kabar, dan hasil dari browsing di situs-situs yang berkaitan dengan
masalah yang diangkat. Lalu diolah dan dianalisa secara kualitatif dan disajikan dalam
bentuk deskriptif.
Dari penelitian yang penulis lakukan, diketahui bahwa intervensi yang dilakukan
oleh NATO di Libya melalui resolusi DK PBB No.1973 didasarkan oleh dua alasan,
yaitu: Penggunaan kekuatan bersenjata didasarkan oleh resolusi DK PBB, dan bahwa
intervensi menggunakan kekuatan bersenjata diperlukan untuk mencegah pelanggaran
HAM yang semakin parah.
Berkaitan dengan perkembangan masyarakat internasional yang tidak lagi
menempatkan negara sebagai pusat, akan tetapi telah beralih kepada pemenuhan
HAM dengan konsekuensi pengikisan terhadap kedaulatan, ditambah hadirnya
organisasi internasional untuk menginvestigasi, mengawasi, dan menghukum tindakan
yang melanggar HAM yang dilakukan oleh suatu negara terhadap warga negaranya
menjadikan kedaulatan sebagai “Letztbegründung” (prinsip utama) telah bergeser.
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL ...........................................................................................................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………………………………………………ii
ABSTRAK ……………………………………………………………………………………….iii
UCAPAN TERIMA KASIH …………………………………………………………………….iv
DAFTAR ISI ……….……………………………………………………………………………,v
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 4
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 6
A. Intervensi Bersenjata ..................................................................................... 6
1. Pengertian Intervensi Bersenjata ......................................................... 6
2. Latar Belakang Munculnya Intervensi .................................................. 9
3. Dasar Hukum Intervensi Bersenjata .................................................. 15
B. Pakta Pertahanan Atlantik Utara NATO ....................................................... 18
1. Badan Struktural NATO...................................................................... 19
2. Sekretariat NATO .............................................................................. 24
3. Keanggotaan NATO…….................................................................... 25
4. Organisasi Militer NATO .................................................................... 26
C. Negara ......................................................................................................... 32
1. Pengertian Negara ............................................................................. 32
2. Teori Pembentukan Negara................................................................ 36
3. Kedaulatan Negara………………………………………….................... 40
D. Selayang Pandang Libya ............................................................................. 42
1 .Sejarah Perkembangan Libya............................................................. 43
2. Letak Geografi Libya........................................................................... 43
3. Hubungan Internasional Libya............................................................ 44
4. Demografi Libya……………………………………………..................... 45
E. Konflik Libya dan Intervensi Bersenjata NATO…………….......................... 46
1. Penyebab Konflik………………………………………………............... 46
2. Respon Pemerintahan Dalam Negeri…………………………............ 47
3. Respon Internasional…………………………………………............... 48
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................................... 53
A. Lokasi Penelitia………………………………..….……………………………… 53
B. Jenis dan Sumber Data................................................................................. 53
C. Teknik Pengumpulan Bahan ........................................................................ 53
D. Analisa Data ................................................................................................. 54
BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................................ 53
A. Legalitas Intervensi bersenjata NATO di Libya ………………………………..55
1. Konsep Intervensi …………………………………………………………55
2. Intervensi Bersenjata Di Libya ……………………………………….....59
3. Legalitas Intervensi Bersenjata Nato di Libya ……………………......61
B. Implikasi kedaulatan Libya dalam intervensi bersenjata oleh NATO …......67
1. Intervensi dan Prinsip Kedaulatan …………………………..…….…..67
BAB V PENUTUP ……………………………………………………………………………..73
A. Kesimpulan ………………………………………………………………...……...73
B. Saran ……………………………………………………………………………….75
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………….76
A. Buku ………………………………………………………………………………..76
B. Jurnal Ilmiah ………………………………………………………………………77
C. Sumber Internet …………………………………………………………………...77
D. Koran ……………………………………………………………………………….79
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring berjalannya waktu, peradaban manusia pun berkembang,
baik dari aspek ilmu pengetahuan sosial, politik, ekonomi maupun budaya.
Dengan berkembangnya peradaban manusia, makin banyaklah
kebutuhan manusia itu sendiri. Dalam konteks yang lebih besar,
perkembangan peradaban pun mempengaruhi tingkat interdependensi
diantara negara-negara untuk memenuhi kebutuhan dan kelangsungan
hidupnya.
Alur dan bentuk kerjasama yang berlangsung akibat dari
interdependensi negara-negara ini memungkinkan terjadinya
permasalahan didalamnya. Oleh karena itu diperlukannya pengaturan dan
tata cara kelembagaan yang melibatkan berbagai subjek yang
berlangsung secara terus menerus. Atas dasar kebutuhan tersebutlah
sehingga terbentuk banyak organisasi internasional yang terus bertambah
banyak jumlahnya setiap tahun. Setiap organsisasi internasional tersebut
memiliki fungsi dan bertujuan di berbagai bidang yang mengatur secara
terperinci tugas-tugas nya dimasing-masing bidang.
Dalam membentuk kaidah hukum dalam hukum internasional,
sebagai salah satu subjek dari hukum internasional itu sendiri, organisasi
internasional memainkan peranan yang sangat penting. Selain daripada
itu, organisasi internasional pun memainkan peran dalam melakukan
persaingan yang bertujuan untuk mencapai balance of power dalam
2
geopolitik internasional yang tidak lain bertujuan untuk mencapai
kepentingan nasional negara-negara anggotanya.
Untuk membentuk sebuah organisasi internasional tentunya para
peserta haruslah merumuskan konsep dan landasan gerak organsisasi
tersebut serta memikirkan hasil yang diperoleh serta menganalisa dengan
dalam untuk melihat apakah tujuan organisasi internasional tersebut
berguna untuk menjadi suatu pakta pertahanan atau hanya sekedar
menjadi sebuah komunitas diregionalnya.
Sampai sejauh ini, organisasi internasional yang ada berusaha
untuk memberikan keuntungan-keuntungan dan memberikan fasilitas bagi
negara anggota guna mencapai kepentingannya masing-masing. Sebagai
contoh Association of South-East Asian Nations (ASEAN), Sebuah
organisasi internasional yang bertujuan sebagai community yang
dimaksudkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial
dan perkembangan budaya di kawasan dan juga untuk mempromosikan
perdamaian dan stabilitas regional melalui penghormatan terhadap
keadilan dan supremasi hukum dalam hubungan antara negara-negara di
kawasan dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB)
Adapun organsisasi internasional yang bertujuan untuk menjadi
suatu pakta pertahanan adalah North Atlantic Treaty Organization
(NATO). Sebuah organisasi internasional yang bertujuan untuk untuk
menjaga kebebasan dan kemanan seluruh anggotanya dari sisi politik dan
militer sesuai dengan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB dan juga untuk
3
menjalin kerjasama negara-negara anggota guna membangun
penyeimbang atau balance of power dalam peta perpolitikan internasional
paska perang dingin.
Runtuhnya Uni Soviet pada bulan Desember 1991 menjadi sebuah
tanda berakhirnya perang dingin dan menjadi sebuah babak baru
geopolitik internasional menuju sistem unipolar dimana NATO dan
Amerika Serikat sebagai polar utama. Tujuan awal NATO dimana untuk
membangun penyeimbang pun telah berakhir.
Paska berakhirnya perang dingin menjadikan posisi NATO semakin
kuat dengan unipolaritasnya dan negara-negara anggotanya semakin
berpengaruh di regional. Di awal 2011 NATO memiliki andil dan peran
yang cukup signifikan dalam melakukan penyerangan terhadap rezim
Muammar Gadaffi di Libya.
Intervensi NATO di Libya yang mengakibatkan jatuhnya korban
yang diperkirakan ratusan hingga ribuan tentara Libya baik di pihak
pemerintah maupun dipihak oposisi (dimana terjadi friendly fire) maupun
penduduk sipil semakin lama semakin menuai kontroversi karena
intervensi bersenjata yang dilakukan NATO menjadi ambigu, apakah
hanya untuk sekedar membangun embargo larangan terbang serta
melindungi rakyat sipil ataukah justru melanggar nilai-nilai kemanusiaan
dimana tentara oposisi dan rakyat sipil pun menjadi korban walaupun
intervensi yang dilakukan NATO berdasarkan dengan resolusi Dewan
4
Keamanan PBB yang dikeluarkan pada 17 Maret 2011 yang berkenaan
degan zona larangan terbang.1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, untuk
memfokuskan penulisan skripsi ini maka rumusan masalah yang dibahas
adalah:
1. Bagaimanakah legalitas intervensi bersenjata NATO di Libya
ditinjau dari perspektif hukum internasional?
2. Bagaimanakah implikasi kedaulatan Libya dalam intervensi
bersenjata oleh NATO?
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
a. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui Bagaimana legalitas intervensi bersenjata
NATO di Libya ditinjau dari perspektif hukum internasional.
2. Untuk Bagaimana implikasi kedaulatan Libya dalam intervensi
bersenjata oleh NATO.
b. Kegunaan Penulisan:
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai salah satu referensi masalah hukum Internasional di
Indonesia yang dapat digunakan bagi peneliti-peneliti
selanjutnya.
1 Wikipedia, 2011 Libyan civil war, http://en.wikipedia.org/wiki/2011_Libyan_civil_war
Diakses pada 29 Juni 2011 Pukul 12.15 Wita
5
2. Sebagai persyaratan memperoleh gelar sarjana pada Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin
3. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswa,
maupun umum.
4. Referensi bagi perpustakaan Universitas Hasanuddin,
khususnya Fakultas Hukum.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Intervensi Bersenjata
1. Pengertian Intervensi
Sampai sekarang belum ada pengertian baku tentang intervensi.
Namun demikian salah satu pegangan yang masih dikutip sampai dewasa
ini adalah definisi yang diberikan oleh lauterpacht. Menurut beliau,
intervensi adalah.
”a dictatorial interference by a State in the affairs of another State for the purpose of maintaining or altering the actual condition of things” Campur tangan secara diktator oleh suatu negara terhadap urusan dalam negri negara lainnya dengan maksud baik, untuk memelihara atau mengubah keadaan, situasi, atau barang di negri tersebut.2
Kata intervensi sering kali dipakai secara umum untuk menunjukkan
hampir semua tindakan campur tangan oleh suatu negara dalam urusan
negara lain. Tetapi menurut satu pengertian yang lebih khusus intervensi
itu terbatas pada tindakan mencampuri urusan dalam negeri atau luar
negeri dari negara lain yang melanggar kemerdekaan negara itu3. Dalam
pengertian ini, tidak dikatakan intervensi apabila berupa pemberian
nasihat oleh suatu negara kepada negara lain mengenai beberapa hal
yang terletak didalam kompetensi dari negara yang disebut kemudian
untuk mengambil keputusan untuk dirinya, walaupun pada umumnya
orang menganggap itu sebagai suatu intervensi, oleh karena itu Baik
2 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006, Hukum Internasional Kontemporer,
Bandung, Refika Aditama, hlm.259 3 Ibid, hlm 262
7
praktek negara-negara dalam hubungan mereka satu dengan yang
lainnya, maupun pendapat para sarjana tentang hukum internasional,
ternyata tidak satupun yang dapat memberi jawaban yang jelas atas
bilakah sah intevensi dalam arti ini. Dalam perakteknya intervensi dalam
pengertian ini cenderung menggunakan alasan politik daripada alasan
hukum dan sulit membatasi intervensi yang dapat dibenarkan oleh hukum.
Menurut teori, sahnya intervensi yang diawasi oleh banyak negara yang
bertindak bersama-sama, harus dipandang dari sudut yang sama, seperti
yang dilakukan terhadap intervensi dari satu Negara tunggal.
Intervensi dalam Black’s Law Dictionary didefinisikan sebagai
“pisaller by third party which is on initially non side in a case, but pretending it have importance in case.” (tindakan yang diambil oleh pihak ketiga yang pada awalnya bukan pihak dalam suatu kasus, tetapi menganggap dirinya memiliki kepentingan dalam kasus tersebut).4
Sedangkan Joseph S. Nye, Jr. Mengemukakan definisi yang lebih
luas mengenai intervensi, yaitu
“Intervention refers to external actions that influence the domestic affair of another sovereign state, some analyst use the term more narrowly to refer to forcible interference in the domestic affairs of another state.” (Pendapat ini berarti, intervensi mengacu pada tindakan eksternal yang mempengaruhi hubungan dalam negeri negara lain. Beberapa pakar menggunakan istilah intervensi dalam makna yang lebih sempit untuk mengacu pada campur tangan secara paksa dalam hubungan dalam negeri negara lain).5
Dari pengertian intervensi tersebut, dapat kita tarik kesimpulan
bahwa intervensi adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh salah satu
4 Henry Campbell Black, 1990, Black’s Law Dictionary, West Publishing, Kellog, hlm.820
5 Joseph S. Nye, Jr., 1993, Understanding International Conflict, Harper Collins College Publisher, New York, hlm.132
8
pihak (baik negara, beberapa negara, maupun organisasi) kepada suatu
negara dengan tujuan tertentu. Tindakan tersebut pada umumnya adalah
tindakan yang bukan merupakan kapasitas pihak yang melakukan
intervensi dan seringkali bersifat mencampuri urusan negara lain.
Walaupun intervensi bersifat mencampuri urusan negara lain, tetapi ada
pula intervensi yang didasarkan atas undangan suatu negara.
Intervensi dapat menggunakan kekerasan ataupun tidak. Intervensi
dapat berbentuk blokade, sanksi politik, embargo senjata, ekonomi,
ataupun keuangan.6 Menurut Starke, ada tiga jenis intervensi yang
dilakukan suatu negara terhadap negara lain, yaitu7 :
a. Intervensi Internal
Intervensi yang dilakukan dengan mencampuri urusan dalam
negeri negara lain. Misalnya negara A campur tangan dalam
pertikaian yang terjadi di negara B, negara A mendukung
pemerintah atau pemberontak di negara B.
b. Intervensi Eksternal
Intervensi yang dilakukan dengan mencampuri urusan suatu
negara dengan negara lainnya (dalam hubungan luar
negerinya). Misalnya negara A campur tangan dengan
mengadakan hubungan dengan negara lain (umumnya
dalam keadaan bermusuhan). Salah satu contoh kasus
6 Gareth Evans, The Responsibility to Protect, http://www.iciss.ca. Diakses pada tanggal
29 Juni 2011, pukul 16.00 WITA. 7 Eka Aqimuddin, Doktrin Intervensi Kemanusiaan dalam Hukum Internasional,
http://www.senandikahukum.blogspot.com. Diakses pada tanggal 30 Mei 2011 pukul 21.00 WITA
9
intervensi eksternal ini adalah ketika Italia melibatkandiri dalam
Perang Dunia II dengan memihak Jerman dan ikut
berperang melawan Inggris.
c. Intervensi Punitive
Intervensi yang dilakukan oleh suatu negara terhadap
negara lain sebagai balasan atas kerugian yang diderita negara
tersebut. Misalnya tindakan blokade damai yang dilakukan
negara A terhadap negara B yang melanggar perjanjian dengan
negara A.
2. Latar Belakang Munculnya Intervensi
Pada tahun 1994, dunia digemparkan oleh kasus genosida yang
terjadi di Rwanda. Namun tak ada yang dapat dilakukan oleh masyarakat
internasional karena terhalang oleh kedaulatan negara dan hak non
intervensi yang diakui dalam tata pergaulan internasional. Dunia hanya
bisa duduk manis menyaksikan ribuan orang dibantai secara massal di
Rwanda tanpa bisa berbuat apapun karena dijegal oleh pemerintah
Rwanda dengan alasan bahwa peristiwa tersebut adalah masalah dalam
negeri sehingga tidak boleh diintervensi. Sejak saat itulah, masyarakat
internasional menjadi sadar bahwa prinsip kedaulatan negara dan hak non
intervensi tidak selamanya dapat diterapkan secara mutlak karena dapat
menjadi senjata tuan saat terjadi kasus genosida seperti di Rwanda.
Seiring dengan berkembangnya zaman, hukum internasional beserta
segala aspeknya juga mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini
10
disebabkan karena kaburnya batas-batas antar negara yang
mengakibatkan munculnya kepedulian yang lebih tinggi dalam masyarakat
internasional. Kepedulian yang lebih tinggi ini dapat kita lihat dari hal-hal
sederhana, seperti meningkatknya ketertarikan masyarakat terhadap isu-
isu global dan mengakibatkan masyarakat ingin terlibat lebih aktif dalam
permasalahan global yang ada. Selain masyarakat, subjek hukum
internasional lainnya, yaitu negara dan organisasi internasional juga
memberi perhatian lebih terhadap masalah-masalah global ataupun
masalah yang dihadapi oleh negara lain.
Perkembangan dalam hukum internasional juga telah
mengindikasikan bahwa HAM adalah salah satu isu penting dan universal
sehingga perlindungan akan hak-hak tersebut harus diutamakan dalam
hubungan antarnegara.8 Indikasi bahwa HAM adalah salah satu masalah
internasional yang sangat penting terlihat jelas dengan dibuatnya
beberapa konvensi yang mengatur mengenai HAM, hal ini menunjukkan
bahwa HAM adalah masalah universal yang penting untuk diatur dan
dijamin secara universal. Ada tiga instrumen utama hukum internasional
yang mengatur mengenai HAM, yaitu:
Deklarasi Universal HAM (DUHAM)
Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau yang dalam
bahasa Indonesia disebut DUHAM adalah perjanjian internasional
8 artikel “Doktrin Intervensi Kemanusiaan dalam Hukum Internasional”,
http://www.senandikahukum.blogspot.com, Diakses pada tanggal 13 Oktober 2011, pukul 22.10 WITA.
11
yang pertama dibuat yang mengatur mengenai HAM, DUHAM juga
merupakan “induk” dari dua perjanjian internasional lainnya yang
mengatur mengenai HAM. Deklarasi ini dicetuskan pada tanggal 10
Desember 1948 melalui resolusi Majelis Umum PBB dan walaupun
tidak bersifat mengikat, namun merupakan hukum kebiasaan
internasional.9
Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, Dan Budaya
(ICESCR)
International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights
diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1966
dan mulai memiliki kekuatan hukum mengikat sejak tanggal 3
Januari 1976.10 ICESCR memuat peraturan mengenai hak-hak
ekonomi yang penting (hak untuk bekerja, hak untuk mendapatkan
kondisi kerja yang adil dan menyenangkan, kebebasan untuk
mendirikan dan bergabung ke serikat buruh, serta hak untuk mogok
kerja. Selain itu, ICESCR mengatur mengenai hak-hak sosial
(perlindungan keluarga, perlindungan anak dan remaja, hak untuk
mendapatkan jaminan sosial, dan hak atas penghidupan yang
layak). Hak terakhir yang diatur dalam ICESCR adalah hak-hak
budaya (hak atas pendidikan dan partisipasi dalam kehidupan
budaya, serta perlindungan atas kekayaan intelektual).
9 Manfred Nowak, Pengantar Pada Rezim HAM Internasional. Pustaka Hak Asasi Manusia Raoul
Wallenburg Institute, 2003, hlm.83 10
http://en.wikipedia.org/wiki/ “mInternational Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights”. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2011, pukul 23.10 WITA.
12
Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR)
International Covenant on Civil and Political Rights adalah
perjanjian internasional yang mengatur mengenai hak-hak sipil dan
politik. ICCPR diadopsi oleh Majelis Umum PBB dan memiliki
kekuatan hukum mengikat pada saat yang sama dengan ICESCR.
ICCPR memuat mengenai hak-hak sipil dan politik yang esensial,
meliputi hak untuk menentukan nasib sendiri, hak atas kesetaraan
dan non diskriminasi, hak untuk kelompok minoritas, dan larangan
propaganda perang sertaprovokasi terhadap diskriminasi,
permusuhan, atau kekerasan.11
Selain dari tiga instrumen utama ini, masih ada instrumen-instrumen
hukum internasional lainnya yang mengatur mengenai HAM, antara lain:
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against
Women (CEDAW), Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman,
or Degrading Treatment or Punishment (CAT), Convention on the Rights
of the Children (CRC), Declaration on the Rights of Indigenous People,
dan lain-lain.
Komitmen masyarakat internasional atas perlindungan HAM terlihat
jelas dari banyaknya perjanjian internasional yang mengatur mengenai
HAM. Selain itu, komitmen ini juga telah melewati batas wilayah negara,
terlihat dari kecaman yang sering muncul apabila terjadi pelanggaran HAM
11 Manfred Nowak, Op.Cit., hlm.86.
13
di negara lain. Kondisi seperti inilah yang akhirnya mengakibatkan
munculnya intervensi. Tindakan intervensi diawali dengan kesadaran
masyarakat internasional untuk menegakkan perlindungan HAM bagi
setiap orang, sehingga negara-negara mulai mengambil tindakan untuk
mengakhiri suatu tindakan yang melawan HAM, bahkan apabila tindakan
tersebut terjadi di negara lain.
Perlindungan HAM tidak hanya menjadi perhatian negara-negara,
tetapi terutama merupakan salah satu isu yang menjadi perhatian PBB.
Saat ini, HAM telah menjadi salah satu perhatian yang paling mendasar
dalam PBB, termasuk operasi-operasi penjagaan kedamaian (peace-
keeping operations)12 PBB.13
Selain PBB, terdapat suatu komisi yang memiliki fokus untuk
menangani permasalahan intervensi, yaitu International Commission on
Intervention and State Sovereignty (ICISS). ICISS diinisiasi oleh
pemerintah Kanada dan sejumlah yayasan terkemuka, pembentukan
ICISS ini diumumkan dalam sidang Majelis Umum PBB pada bulan
September 2000. ICISS bertugas untuk mengelola data dan opini yang
ada dari seluruh dunia, dan hasil ini akan disampaikan kepada Sekretaris
Jenderal PBB ataupunpihak-pihak lain yang berkepentingan.14
12
Peace-keeping operations adalah usaha PBB untuk membantu negara-negara yang sedang mengalami konflik dengan maksud menciptakan situasi yang stabil kembali di wilayah negara tersebut. 13
Fransesco Francioni, 2000, of War, Humanity, and Justice: International Law After Kosovo, dalam Max Planck Yearbook of United Nations Law, Kluwer Law International, hlm.108
14 http://www.iciss.ca. Artikel The Responsibility to Protect. Diakses pada tanggal 14 Oktober 2011,
pukul 16.00 WITA.
14
Pada tahun 2001, ICISS mengeluarkan suatu pendapat yang diberi
tema “Responsibility to Protect (R2P)”. Ide utama dari R2P adalah setiap
negara yang berdaulat memiliki kewajiban untuk melindungi warga
negaranya sendiri dari musibah yang dapat dicegah, seperti pembantaian
dan kelaparan. Tetapi apabila negara tersebut tidak mampu atau tidak
memiliki keinginan untuk memenuhi kewajibannya, maka kewajiban itu
harus dipenuhi oleh komunitas yang lebih luas, yaitu negara-negara.15
Menurut ICISS, intervensi tidak hanya menjadi kontroversial ketika
tindakan itu dilaksanakan, tetapi juga kontroversial saat tindakan tersebut
tidak dilaksanakan. ICISS, mengambil contoh kasus yang terjadi di
Rwanda, pada saat itu PBB telah mengetahui adanya rencana Pemerintah
Rwanda untuk melakukan tindakan genosida. Namun tak ada yang dapat
dilakukan oleh masyarakat internasional karena terhalang oleh kedaulatan
negara dan hak non intervensi yang diakui dalam tata pergaulan
internasional. Dunia hanya bisa duduk manis menyaksikan ribuan orang
dibantai secara massal di Rwanda tanpa bisa berbuat apapun karena
dijegal oleh pemerintah Rwanda dengan alasan bahwa peristiwa tersebut
adalah masalah dalam negeri sehingga tidak boleh diintervensi.
Sejak saat itulah masyarakat internasional menjadi sadar bahwa
prinsip kedaulatan negara dan hak non intervensi tidak selamanya dapat
diterapkan secara mutlak karena dapat menjadi senjata tuan saat terjadi
kasus genosida seperti di Rwanda. Dunia melalui Dewan Keamanan PBB
15
Ibid.
15
pada bulan April 2006 akhirnya membentuk sebuah organisasi
internasional bernama Responsibility to Protection atau biasa disingkat
menjadi R2P.16
Organisasi ini berfungsi untuk mengatasi berbagai masalah yang
menyangkut kemanusiaan seperti genosida (genocide), kejahatan perang
(crime war), kejahatan terhadap kemanusiaan (War against humanity) dan
pembersihan suku/etnis (ethnic cleansing). PBB juga telah menempatkan
pasukannya di sana. Akan tetapi, PBB menolak untuk melakukan tindakan
lebih lanjut, dan hal ini merupakan kegagalan “international will”. Akibat
dari tidak adanya tindakan yang lebih lanjut, terjadi genosida yang
berkepanjangan.17
3. Dasar Hukum Intervensi
Prinsip kedaulatan negara yang seringkali menjadi dasar
pertimbangan intervensi kemanusiaan dianggap melanggar hukum
perlu dikaji lebih jauh. Menurut Hans Kelsen, “tujuan adanya hukum
internasional adalah untuk membatasi kedaulatan negara itu sendiri.
Sejak individu menjadi subyek hukum internasional, maka sebenarnya
16 Niam, 2011, Peran R2P dalam konflik Libya tahun 2011, Kak Niam.blogspot.com. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2011, pukul 22.10 WITA. 17
Ibid.
16
kedaulatan negara itu diperoleh dari individu yang mendelegasikan
kewenangannya terhadap negara”18
Jadi ketika negara telah melanggar hak-hak individu (dalam
intervensi kemanusiaan hak individu yang dilanggar adalah Hak Asasi
Manusia atau disingkat HAM ), maka individu tersebut dapat meminta
bantuan dari negara lain untuk memulihkan hak-hak mereka.
Prinsip kedaulatan negara saat ini tidak dapat dilihat hanya
sebagai hak negara, akan tetapi harus dikaitkan dengan kewajiban
negara untuk menegakkan perlindungan HAM. Menurut J.J. Rousseau,
“negara pada prinsipnya dibentuk berdasarkan kontrak, yang salah
satu tujuannya adalah kewajiban untuk melindungi setiap manusia,
baik warga negaranya ataupun warga negara asing, dari terjadinya
pelanggaran atas hak asasinya. Konsekuensi dari pelanggaran
kewajiban negara dalam perlindungan HAM adalah berhentinya
kedaulatan yang dimilikinya secara sementara sehingga aspek
eksternal dari kedaulatan tidak lagi menempatkannya dalam posisi
yang sederajat.Masyarakat internasional memiliki tanggung jawab sisa
(residual responsibility) untuk mengambil upaya demi memulihkan
pelanggaran HAM yang terjadi dalam sebuah negara.19
Prinsip kedaulatan negara telah mengalami “pengikisan”
(“erosion”) sebagai konsekuensi dari adanya organisasi
18
Asrudin, 2009, Refleksi dan Teori Hukum Internasional, Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm.21 19 Anne Peters, 2009, Humanity As An Alfa and Omega of Sovereignty dalam European Journal of International Law Vol.20 No.3, hlm.535.
17
internasional untuk menginvestigasi, mengawasi, dan menghukum
tindakan yang melanggar HAM yang dilakukan oleh suatu negara
terhadap warga negaranya. Menurut Anne Peters, prinsip kedaulatan
negara harus dikonsep ulang. Hal ini berkaitan dengan perkembangan
masyarakat internasional yang tidak lagi menempatkan negara sebagai
pusat, akan tetapi telah beralih kepada pemenuhan HAM.20 Terlebih
sejak adanya konsep R2P (Responsibility to Protect), posisi prinsip
kedaulatan sebagai “Letztbegründung” (prinsip utama) telah
bergeser.21
Peter R. Baehr berpendapat bahwa negara yang melanggar
standar internasional yang sah mengenai perlindungan HAM tidak
dapat menggunakan prinsip non intervensi untuk membela diri karena
pelanggaran tersebut membenarkan campur tangan dari
luarmeskipun pelanggaran itu pada dasarnya adalah urusan
dalam negeri.22
Pernyataan Baehr ini juga dikuatkan dengan pernyataan
Yoram Dinstein yang berpendapat bahwa apabila suatu negara telah
melakukan pelanggaran HAM yang secara terus menerus dan
sistematis sehingga mengancam kedamaian internasional, maka
DK PBB perlu mengambil tindakan. Tetapi tidak ada satu negara pun
yang berhak untuk melakukan intervensi sendirian dengan alasan
20
Ibid, hlm.543. 21
Ibid,Hlm.544 22 Titon Slamet Kurnia, 2005, Reparasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.234.
18
kemanusiaan atau alasan lainnya, seolah-olah negara tersebut adalah
polisi internasional23.
Apabila sebuah negara gagal dalam melakukan kewajiban
perlindungan HAM maka secara filosofis kedaulatan negara dapat
dianggap berhenti sementara dan sekaligus memberikan tanggung
jawab kepada masyarakat internasional untuk melakukan intervensi
demi memulihkan HAM24.
Berdasarkan pendapat para pakar dan sumber hukum
internasional yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa pihak
yang berhak untuk memutuskan perlu tidaknya dilakukan suatu
tindakan intervensi kemanusiaan adalah DK PBB
B. Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO)
Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty
Organization atau disingkat NATO) adalah sebuah organisasi
internasional untuk keamanan bersama yang didirikan pada tahun 1949,
sebagai bentuk dukungan terhadap Persetujuan Atlantik Utara yang
ditanda tangani di Washington, DC pada 4 April1949. Nama resminya
yang lain adalah dalam bahasa Perancis: l'Organisation du Traité de
l'Atlantique Nord (OTAN).25
23
Jiangming Shen, The Non-Intervention Principle and Humanitarian Intervention Under International Law dalam International Legal Theory Vol.7 (1), 2001, Publication of the American Society of International Law, hlm.4 24
Eka Aqimuddin, Perlindungan HAM dan Mitos Kedaulatan Negara, http://www.senandikahukum.wordpress.com. Diakses pada tanggal 1 juli pukul 13.00 WITA 25
Wikipedia, Pakta Pertahanan Atlantik Utara http://id.wikipedia.org/wiki/Pakta_Pertahanan_Atlantik_Utara. Di Akses Pada 29 Juni 2011 Pukul 12.57 Wita.
19
Pasal utama persetujuan tersebut adalah Pasal V, yang berisi:
Para anggota setuju bahwa sebuah serangan bersenjata terhadap salah satu atau lebih dari mereka di Eropa maupun di Amerika Utaraakan dianggap sebagai serangan terhadap semua anggota. Selanjutnya mereka setuju bahwa, jika serangan bersenjata seperti itu terjadi, setiap anggota, dalam menggunakan hak untuk mepertahankan diri secara pribadi maupun bersama-sama seperti yang tertuang dalam Pasal ke-51 dari Piagam PBB, akan membantu anggota yang diserang jika penggunaan kekuatan semacam itu, baik sendiri maupun bersama-sama, dirasakan perlu, termasuk penggunaan pasukan bersenjata, untuk mengembalikan dan menjaga keamanan wilayah Atlantik Utara. Pasal ini diberlakukan agar jika sebuah anggota Pakta Warsawa
melancarkan serangan terhadap para sekutu Eropa dari PBB, hal tersebut
akan dianggap sebagai serangan terhadap seluruh anggota (termasuk
Amerika Serikat sendiri), yang mempunyai kekuatan militer terbesar dalam
persekutuan tersebut dan dengan itu dapat memberikan aksi pembalasan
yang paling besar. Tetapi kekhawatiran terhadap kemungkinan serangan
dari Eropa Barat ternyata tidak menjadi kenyataan. Pasal tersebut baru
mulai digunakan untuk pertama kalinya dalam sejarah pada 12 September
2001, sebagai tindak balasan terhadap peristiwa serangan teroris 11
September 2001 terhadap AS yang terjadi sehari sebelumnya.
1. Badan Struktural NATO26
NATO memiliki beberapa badan yang menjalankan fungsi dan
tugasnya masing-masing, antara lain:
a. The north Atlantic Council (NAC)
NAC memiliki kewenangan politik dan kekuatan untuk
mengambil keputusan.NAC terdiri dari perwakilan tetap setiap
26
NATO Handbook, 1990, Defence Policy and Planning Division, Brussels., hlm. 35
20
Negara anggota NATO yang melaksanakan pertemuan sedikitnya
sekali dalam seminggu.Badan ini juga mengadakan pertemuan
dalam tingkat yang lebih tinggi yang melibatkan mentri luar negri,
mentri pertahanan, atau kepala pemerintahan.
NAC adalah satu-satunya badan dalam NATO yang
kewenangannya bersumber langsung dari North Atlantic
treaty.Badan ini diberikan tanggung jawab oleh North Atlantic
Treaty untuk membuat badan-badan lainnya. Telah banyak komite
yang dibuat untuk mendukung kinerja dari NAC, ataupun untuk
bertanggung jawab dalam bidang tertentu, seperti rencana
pertahanan, rencana nuklir dan hal-hal yang berkaitan dengan
militer, memiliki hak yang sama dalam menyampaikan pendapat
mereka.
Pertemuan-pertemuan dalam NAC, dipimpin oleh sekertaris
jendral NATO dan keputusan yang diambil merupakan keputusan
bersama.Dalam pengambilan keputusan berdasarkan suara
terbanyak.
21
b. The Defence Planning Committee (DPC)
The Defence Planning Committee adalah badan yang terdiri
dari perwakilan tetap dari tiap negara anggota NATO dan
mengadakan pertemuan sekurang-kurangnya dua kali dalam satu
tahun yang dihadiri oleh menteri pertahanan. DPC khusus
membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah
pertahanan. DPC memberikan panduan bagi kekuatan militer
NATO dan memiliki kekuasaan yang sama dengan NAC. DPC
dibantu oleh beberapa komite yang berada di bawahnya yang
memiliki tanggung jawab yang berbeda satu dan lainnya.
22
c. The Nuclear Planning Group (NPG)
The Nuclear Planning Group adalah badan di dalam NATO
yang terdiri dari anggota yang sama dengan DPC. NPG
membahas mengenai peraturan-peraturan khusus mengenai
kekuatan nuklir.Hal-hal yang dibahas dalam NPG meliputi
peraturan-peraturan mengenai nuklir, termasuk di dalamnya
pengurangan penggunaan nuklir, keamanan, dan keberadaan
senjata nuklir. NPG dibantu oleh NPG Staff Group yang terdiri dari
delegasi negara anggota NATO, badan ini mengadakan pertemuan
setiap minggu. 38 Badan-badan yang bekerja di bawah NAC, DPC,
dan NPG antara lain:
Executive Working Group;
Political Committee At Senior Level;
Defence Review Committee;
Committee On The Challenges Of Modern Society;
Committee On Information and Cultural Relations;
High Level Task Force On Conventional Arms Control;
Atlantic Policy Advisory Group;
Conference of National Armaments Directors;
Civil and Military Budget Committees;
Council Operations and Exercises Committee;
Joint Committee on Proliferation;
Political Committee;
NATO Committee for Stadardisation;
23
Senior Resource Board;
NATO Air Traffic Management Committee;
Political-Military Steering Committee on Partnership for
Peace (PfP);
Mediterranean Cooperation Group;
Infrastructure Committee;
Senior Defence Group on Proliferation;
Central European Pipeline Management Organisation (Board
of Directors);
NATO Air Defence Committee;
Senior Politic-Military Group on Proliferation;
Senior Civil Emergency Planning Committee;
High Level Group;
NATO Pipeline Committee;
NATO C3 (Consultation, Command, and Control) Board;
Verification Coordinating Committee;
Senior NATO Logisticians Conference;
Senior Level Weapons Protection Group;
NATO Security Committee;
NATO Management Organisation (Board of Directors);
Policy Coordination Group;
Science Committee;
Economic Committee;
24
Special Committee.;
Beberapa dari badan tersebut sudah ada sejak masa awal
berdirinya NATO dan telah berkontribusi dalam beberapa
pengambilan keputusan dan 40 pembuatan peraturan, sedangkan
yang lainnya didirikan seiring dengan perkembangan NATO yang
beradaptasi dengan situasi internal dan eksternal.
2. Kesekretariatan NATO
Markas besar dari NATO terletak di kota Brussels, Belgia.
Terdapat sekitar 3.150 orang yang bekerja di markas besar NATO,
termasuk di dalamnya adalah 1.400 delegasi dari tiap negara anggota,
1.300 staf internasional, dan 350 anggota badan militer internasional.
Sejak berdirinya NATO sampai dengan saat ini, telah ada
beberapa Sekretaris Jenderal yang bekerja untuk NATO, yaitu:27
1952 - 1957 Lord Ismay (Inggris)
1957 - 1961 Paul-Henri Spaak (Belgia)
1961 - 1964 Dirk U. Stikker (Belanda)
1964 - 1971 Manlio Brosio (Italia)
1971 - 1984 Joseph M.A.H. Luns (Belanda)
1984 - 1988 Lord Carrington (Inggris)
1988 - 1994 Manfred Wörner (Jerman)
1994 - 1995 Willy Claes (Belgia)
1995 - 1999 Javier Solana (Spanyol)
27 NATO, sekertaris NATO, http://www.nato.int diakses pada 29 Juni 2011 Pukul 13.19 Wita
1999 - 2003 The Rt. Hon. Lord Robertson of Port Ellen (Inggris)
2004 - 2009 Jaap de Hoop Scheffer (Belanda)
2009 - sekarang Anders Fogh Rasmussen (Denmark)
3. Keanggotaan NATO
Hingga saat ini anggota da
28 negara dari berbaga
berikut:
Albania
Belgium
Bulgaria
Canada
Croatia
Czech Rep
Denmark
Estonia
France
Germany
Greece
Hungary
Iceland
Italy
Latvia
Lithuania
Luxembourg
Netherlands
28
NATO,keanggotaan NATO, Akses Pada 29 Juni 2011 Pukul 13.27 Wita
2003 The Rt. Hon. Lord Robertson of Port Ellen (Inggris)
2009 Jaap de Hoop Scheffer (Belanda)
sekarang Anders Fogh Rasmussen (Denmark)
Keanggotaan NATO28
Hingga saat ini anggota dari NATO yang telah bergabung yaitu
28 negara dari berbagai belahan dunia, antara lain adalah sebagai
NATO,keanggotaan NATO, http://www.nato.int/cps/en/natolive/nato_countries.htm
Akses Pada 29 Juni 2011 Pukul 13.27 Wita
25
2003 The Rt. Hon. Lord Robertson of Port Ellen (Inggris)
ri NATO yang telah bergabung yaitu
belahan dunia, antara lain adalah sebagai
http://www.nato.int/cps/en/natolive/nato_countries.htm Di
Norway
Poland
Portugal
Romania
Slovakia
Slovenia
Spain
Turkey
United Kingdom
United States
4. Organisasi Militer NATO
Sebagai salah satu bagian terpenting dalam NATO, bidang
militer di NATO memiliki beberapa badan yang lengkap dengan
struktur yang jelas.
a. Integrated Military Force
Integrated Military Force
terintegrasi berperan dalam NATO untuk
rancangan pertahanan terhadap wilayah negara anggotanya
yang terancam stabilitas dan keamanannya, sesuai dengan
Pasal 5 dari
berkembangnya NATO, terutama dengan adanya program
PfP dan peningkatan peran NATO dalam menjaga
29
The NATO Handbook, Op.Cit., hlm.245
Organisasi Militer NATO29
Sebagai salah satu bagian terpenting dalam NATO, bidang
militer di NATO memiliki beberapa badan yang lengkap dengan
struktur yang jelas.
Integrated Military Force
Integrated Military Force atau kekuatan militer
terintegrasi berperan dalam NATO untuk mempersiapkan
rancangan pertahanan terhadap wilayah negara anggotanya
yang terancam stabilitas dan keamanannya, sesuai dengan
Pasal 5 dari North Atlantic Treaty. Namun, seiring dengan
berkembangnya NATO, terutama dengan adanya program
PfP dan peningkatan peran NATO dalam menjaga
The NATO Handbook, Op.Cit., hlm.245
26
Sebagai salah satu bagian terpenting dalam NATO, bidang
militer di NATO memiliki beberapa badan yang lengkap dengan
atau kekuatan militer
mempersiapkan
rancangan pertahanan terhadap wilayah negara anggotanya
yang terancam stabilitas dan keamanannya, sesuai dengan
. Namun, seiring dengan
berkembangnya NATO, terutama dengan adanya program
PfP dan peningkatan peran NATO dalam menjaga
27
perdamaian dunia, mengakibatkan badan ini juga
melaksanakan tugas lain di luar fungsinya. Salah satu contoh
dari perluasan tugas ini adalah peran NATO di beberapa
negara, seperti pada tahun 1995 di Bosnia-Herzegovina,
dimana NATO diberi mandat oleh Dewan Keamanan PBB untuk
menerapkan aspek militer sesuai dengan Dayton Peace
Agreement.30
Pada akhir tahun 1996, dibentuk sebuah badan,
yaitu Implementation Force (IFOR) yang bertugas untuk
menjaga keamanan di wilayah Yugoslavia. Badan ini kemudian
diganti dengan Stabilisation Force (SFOR) yang merupakan
badan militer yang terdiri dari beberapa negara dan didirikan
berdasarkan mandat dari Dewan Keamanan PBB.
b. Military Command Structure
Kekuatan militer dalam NATO memiliki struktur
komando yang jelas, dan terbagi menjadi tiga kategori, yaitu:
Immediate and Rapid Reaction Force Immediate and Rapid
Reaction Force adalah badan dalam NATO, yang
mencakup kekuatan darat, laut, dan udara yang memiliki
mobilitas tinggi dan selalu siap walaupun dengan peringatan
yang datang tiba-tiba. Immediate Reaction Forces secara
30
Dayton Peace Agreement adalah perjanjian perdamaian antara Bosnia dan Herzegovina yang ditandatangani di Dayton, Ohio, Amerika Serikat. Perjanjian ini ditandatangani secara resmi pada 14 Desember 1995 dan mengakhiri perang yang telah berlangsung selama tiga setengah tahun di Bosnia, dalam Wikipedia, Dayton Peace Agreement, http://en.wikipedia.org/wiki/Dayton_Agreement. Di Akses pada 3 Juni 2011 pukul 14.15 wita.
28
khusus berhubungan dengan darat dan udara, sedangkan
Rapid Reaction Forces secara khusus berhubungan dengan
laut.
Main Defence Forces Main
Defence Forces mencakup kekuatan militer di darat, udara,
dan laut yang mampu menghadapi agresi terhadap negara
anggota NATO. Main Defence Forces terdiri dari formasi
yang hanya berasal dari satu negara dan formasi yang terdiri
dari beberapa negara.
Terdapat empat pasukan yang terdiri dari beberapa negara,
yaitu: Denmark dan Jerman, Belanda dan Jerman, dan
dua pasukan Jerman dan Amerika Serikat.
Augmentation Forces
Augmentation Forces terdiri dari beberapa kekuatan
militer yang terdiri dari beberapa tingkatan dan kesiapan
serta ketersediaan yang dapat digunakan untuk memperkuat
NATO. Pada umumnya, kekuatan militer NATO seluruhnya
berada di bawah komando dari negaranya sendiri sampai
mendapatkan tugas dari NATO untuk melaksanakan
operasi tertentu yang diputuskan dalam bidang politik.
c. The Supreme Allied Commander Europe (SACEUR)
Tugas utama dari SACEUR adalah untuk membantu
usaha perdamaian, keamanan dan kesatuan dari negara
anggota NATO. Dalam hal terjadi agresi, SACEUR
29
bertanggungjawab untuk mengambil seluruh tindakan militer
yang sesuai dengan kemampuan dan kewenangannya.
SACEUR juga memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan
kemampuan dan menjaga tingkat kesiapan kekuatan militer
NATO untuk menghadapi krisis, manajemen, dukungan untuk
perdamaian, bantuan kemanusiaan dan perlindungan terhadap
kepentingan NATO.
SACEUR membuat rekomendasi kepada bidang politik
dan militer dari NATO mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
militer yang berpengaruh terhadap tanggung jawabnya.
Dalam situasi tertentu, ketika dibutuhkan, SACEUR dapat
melakukan hubungan langsung dengan Pimpinan Bagian
Pertahanan, Menteri Pertahanan, dan kepala pemerintahan dari
negara anggota NATO.
Gambar : Struktur Allied Command Europe31
31
The NATO handbook, Op.Cit., hlm.250
30
d. Allied Command Europe (ACE)
Tugas utama dari ACE adalah untuk menjaga
keamanan diarea tambahan dari batas utara Norwegia sampai
ke bagian selatan Eropa, termasuk di dalamnya wilayah
Mediterania, dan dari garis pantai Atlantik sampai ke batas
timur Turki. Wilayah ini diperkirakan terdiri atas daratan seluas
dua juta kilometer kubik, laut seluas lebih dari tiga juta kilometer
kubik, dengan populasi sekitar 320 juta jiwa. Dalam keadaan
mendesak, SACEUR dapat mengambil tanggung jawab
untuk mengambil tindakan militer untuk bertahan, menjaga
keamanan, atau mengembalikan fungsi dari ACE sesuai
dengan kewenangan yang diberikan oleh badan politik NATO.
Dalam ACE, terdapat tiga badan yang bersifat subordinasi dari
ACE yang bertanggung jawab terhadap SACEUR, yaitu:
Allied Forces North West Europe (AFNORTHWEST)
Badan ini mencakup wilayah Norwegia, Inggris, dan laut yang
berada di wilayah tersebut. Komandan dari badan ini
adalah Jenderal dari Inggris.
Allied Forces Central Europe (AFCENT)
Wilayah dari AFCENT mencakup bagian selatan dari
AFNORTHWEST sampai ke batas selatan Jerman. Komandan
dari badan ini adalah Jenderal berkebangsaan Jerman.
Allied Forces Southern Europe (AFSOUTH)
31
AFSOUTH mencakup wilayah seluas empat juta kilometer
kubik, termasuk Italia, Yunani, Turki, dan laut Mediterania dari
selat Gibraltar sampai dengan bagian pesisir Siria, laut
Marmara dan laut Hitam. Wilayah ini terpisah dengan
AFCENT. Komandan dari badan ini adalah seorang
laksamana dari Amerika Serikat.
Selain ketiga badan di atas, di dalam ACE juga terdapat
NATO Airborne Early Warning Force (NAEWF) yang didirikan
berdasarkan keputusan dari DPC pada bulan Desember
tahun 1978 yang menyatakan bahwa NATO membutuhkan
suatu badan yang dapat menyediakan pengawasan di wilayah
udara dan komando serta kontrol terhadap seluruh komando
NATO.
e. The Supreme Allied Commander Atlantic (SACLANT)
SACLANT mempersiapkan rencana pertahanan,
mengadakan latihan gabungan, membuat standar untuk
latihan militer, dan memberi saran kepada kekuatan militer
NATO. Tugas utama dari SACLANT adalah menciptakan
keamanan di seluruh wilayah Atlantik. Seperti halnya
SACEUR, SACLANT juga dapat melakukan hubungan langsung
dengan Pimpinan Bagian Pertahanan, Menteri Pertahanan, dan
kepala pemerintahan dari negara anggota NATO.
Allied Command Atlantic (ACLANT)
32
Markas besar dari ACLANT berada di Norfolk, Virginia, Amerika
Serikat. Melalui struktur kekuatan NATO yang telah direvisi
pada tahun 1994, jumlah pulau yang berada di bawah ACLANT
hanya satu, yaitu Island Commander Iceland (ISCOMICELAND)
Gambar 4: Struktur Allied Command Atlantic32
C. Negara
1. Pengertian Negara
Secara etimologi kata negara diterjemahkan dari kata “Staat”
dalam bahasa belanda dan jerman, “State” dalam bahasa inggris dan
“Etat” dalam bahasa perancis33.
32 The NATO handbook, Op.Cit., hlm.257
33
Di Eropa kata-kata ini kemudian diturunkan dari kata “status”
“Statum” dalam bahasa latin. Dalam sejarahnya Kaisar Romawi
Ulpianus pernah menyebutkan kata statum dalam ucapannya
“Publicum ius est quad statum rei Romanae Spectat”.Menurut Jellinek
kata “statum” pada waktu itu masih berarti konstitusi34.
Menurut F.Isjwara secara etimologis kata status dalam bahasa
latin klasik adalah suatu istilah yang menunjukkan keadaan yang tegak
dan tetap35. Sejak Cicero (104 SM-43 M) kata “status” atau “statum”
itu lazim diartikan sebagai “standing” atau “station” dan dihubungkan
dnegan kedudukan persekutuan hidup manusia sebagaimana diartikan
dalam istilah “Status Civitatis” atau “Status Republicae”36. Dan baru
pada abad ke-16 dipertalikan dengan kata negara37.
Lanjut menurut F.Isjwara bahwa :
Negara diartikan sebagai kata yang menunjukkan organisasi politik territorial dari bangsa-bangsa.Sejak pengertian ini diberikan sejak itu pula kata negara lazim ditafsirkan dalam berbagai arti.Negara lazim diidentifikasikan dengan pemerintah, umpamanya apabila kata itu dipergunakan dalam pengertian kekuasaan negara, kemauan negara dan sebagainya.Kata negara lazim pula dipersamakan dengan bangsa, dan negara dipergunakan sebagai istilah yang menunjukkan baik keseluruhan maupun bagian-bagian negara federal38.
33
F. Isjwara, 1999, Pengantar Ilmu Politik, Pustaka Karya, Jakarta, hlm 90 34
K.C. Dowdall, 1923, The World State dalam Law Quarterly Review Volume XXXIX, Yurista Univ, Brussels, hlm.122 35
Op.Cit, hlm.91 36
J.W. Garner, 2003, Political Science and Government, University Press, Arkansas, hlm.47 37
Ernest Beker, 1998, Principles of Social and Political Theory, Cornell University, Ithaca, Hlm.90-91 38
F.Isjwara, Op.Cit, hlm 92
34
Sedangakan pengertian negara dari segi terminologi menitik
beratkan pendefenisian sebagai turunan dari bangunan kefilsafatan
mereka yang diterapkan untuk menjelaskan relasi yang terjadi antara
manusia dan manusia.Berikut pengertian negara dari beberapa tokoh
yang memberikan pengertian secara terminologi.
Aristoteles : Negara adalah negara hukum yang didalamnya
terdapat sejumlah warga negara yang ikut dalam
permusyawaratan negara (ecclesia)39.
Machiavelli : Negara adalah kekuasaan40.
Thomas Hobbes, Jhon Locke dan J.J Rousseau : Negara
adalah badan atau organisasi hasil daripada perjanjian
masyarakat41.
Karl Marx : Negara adalah organisasi yang dibuat oleh kaum
borjuis sebagai pelegitimasi dominasi yang dilakukannya
terhadap faktor-faktor produksi.
Roger H. Soltau : The state is an agency or authority managing
or controlling theses [common] affairs on behalf of and in the
name of the community42 (negara adalah suatu agen atau
otoritas tertinggi untuk mengatur atau mengendalikan ( secara
umum) mewakili dan atas nama masyarakat).
39
Moh. Kusnadi , 2005, Ilmu Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm 48 40
Ibid, hlm 49 41 Ibid, hlm 51 42
Roger H. Soltau, 1962, Education for Politics,London; Longman, Green & Co, hlm 96
35
Max Weber : the state is human society that (successfully) claim
the monopoly of the legitimate use of physical force within a
given territory43 (Negara adalah sekumpulan masyarakat yang
[dengan sukses] mengakui monopoli penggunaan kekuatan
phisik yang sah di dalam wilayah ditentukan).
Harold J. Laski : the state is a society wich is in integrated by
possessing a coercive authority legally supreme over any
individual or group wich is part of the society44 (negara adalah
suatu masyarakat yang terintegrasi dengan menguasai suatu
otoritas memaksa yang menurut hukum tertinggi atas siapapun
atau digolongkan yang menjadi bagian dari masyarakat)
Robert M. Mac Iver : The State is an association wich, acting
trough law as promulgated by a government endowed to this
end with coercive power, maintains within a community
territorially demarcated the external condition of orders45
(negara adalah suatu asosiasi, bertindak sebagai hukum dan
diumumkan resmi oleh suatu pemerintah yang diberkati sampai
di sini dengan kekuatan)
memaksa, mengatur masyarakat dengan membuat wilayah
dengan garis demarkasi untuk kondisi yang eksternal
43
Max Weber, 1958, From Max Weber Essays in Sosiology, trans. Ed. By greth and C. Wright Mills, C.A. Galaxy Books, New York, Oxford University Press, hlm 78 44
Harold J. Laski, 1947, The State In The Thory And Practice, The Viking Press, New York, hlm 8-9 45
Robert M. Mac Iver, 1955, Modern State, Oxford University Press, London, hlm 22
36
Miriam budiarjo : negara adalah suatu daerah territorial yang
rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang
berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada
peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (kontrol)
monopolistis dari kekuasaan yang sah46
Dari semua pengertian negara yang telah diapaparkan di atas
kita dapat menangkap sebuah persepsi umum yang kemudian
mempertemukan setiap defenisi. Bahwa setiap defenisi meniscayakan
negara akan mendapatkan maknanya ketika negara tersebut memiliki
tujuan. Dan perbedaan ini adalah perbedaan dalam memandang
tujuan negara. Dan perbedaan cara pandang terhadap tujuan negara
ini juga berpengaruh terhadap perbedaan dalam perumusan teori-teori
pembentukan negara.
2. Teori Pembentukan Negara
F. Isjwara membagi teori-teori negara kedalam dua golongan
besar yaitu teori-teori yang soekulatif dan teori-teori yang historis
(evolusionistis). Yang termasuk dalam teori-teori yang spekulatif ini
adalah teori perjanjian masyarakat, teori theokrartis, teori kekuatan,
teori patriarchal serta teori mastriarkal, teori organis, teori daluwarsa,
teori alamiah dan teori idealistis47.Berikut adalah pemaparan dari
setiap teori-teori tersebut.
Teori Perjanjian Masyarakat
46
Miriam Budiarjo, 1985, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, Cetakan ke-5 hlm 40-41 47
F. Isjwara, Op.Cit, hlm 136
37
Teori perjanjian masyarakat atau teori kontrak social
menganggap perjanjian sebagai dasar negara dan
masyarakat.Ini merupakan teori yang disusun berdasarkan
keinginan untuk melawan tirani atau menetang rezim
penguasa.Tokoh dari teori ini adalah Thomas Hobbes, Jhon
Locke dan J.J. Rousseau.Teori ini mengasumsikan adanya
keadaan alamiah yang terjadi sebelum manusia mengenal
negara.Keadaan alamiah itu merupakan keadaan dimana
manusia masih bebas, belum mengenal hukum dan masih
memiliki hak asasi yang ada pada dirinya.Akan tetapi karena
akibat pekembangan kehidupan yang menghasilkan
kompleksitas kebutuhan maka manusia membutuhkan sebuah
kehidupan bersama.Dimana dibentuk berdasarkan perjanjian
bersama untuk menyerahkan kedaulatan kepada sekelompok
orang yang ditunjuk untuk mengatur kehidupan bersama
tersebut.
Teori Theokrartis
Teori ini merupakan teori yang menyatakan bahwa kekuasaan
seorang penguasa negara merupakan pemberian dari Tuhan
kepada manusia.Teori ini mendapatkan kesempurnaannya pada
abad pertengahan di eropa dimana kemudian kekuasaan raja
mendapatkan legitimasi mutlak dari gereja.Maka dalam teori ini
penentangan terhadap perintah raja merupakan penetangan
terhadap Tuhan.
38
Teori Kekuatan
Negara yang pertama adalah hasil dominasi dari kelompok yang
kuat terhadap kelompok yang lemah.Negara terbentuk dengan
penaklukan dan pendudukan.Dalam teori ini factor kekuatan
merupakan unsur utama pembentukan negara.
Teori Patriarkhal serta Teori Matriarkhal
Keluarga sebagai pengelompokan patriarkhal adalah kesatuan
social yang paling utama dalam masyarakat primitif. Keluarga-
keluarga ini kemudian semakin meluas sehingga hubungan
antar keluarga juga semakin meluas samapai terbetuntuklah
suku. Suku-suku yang juga terus berkembang dan diiringi
hubungan yang semakin intens antara susku yang satu dengan
suku yang lain kemudian menjadi cikal-bakal negara.
Dalam teori patriarkhal hubungan kekeluargaan ditarik dari garis
keturunan ayah, sedangkan dalam teori matriarkhal keluarga
ditarik dari garis keterunan ibu.
Teori Organis
Teori organis ini adalah teori yang kemudian menjelaskan
tentang asal-usul perkembangan negara mengikuti asal-usul
perkembangan individu.Individu berasal dari sebuah unitas yang
disebut dengan sel, kemudian sel berkumpul membentuk
jaringan dan jaringan membentuk organ, sistem organ begitu
seterusnya sampai individu.
Teori Daluwarsa
39
Teori daluwarsa menyatakan bahwa raja bertakhta bukan
karena jure divino (kekuasaan dari Tuhan) akan tetapi karena
jureconsuetudinario (kebiasaan)48. Raja dan organisasinya
karena adanya milik yang sudah lama yang kemudian akan
melahirkan hak milik.
Teori ini juga dikenal sebagai doktrin legitimisme dan
dikembangkan di Perancis pada abad ke-1749.
Teori Alamiah
Teori alamiah adalah teori yang menyatakan bahwa negara
dalam kehidupan manusia merupakan sesuatu yang alamiah
terjadi dan merupakan esensi dari kemanusiaan itu sendiri.Teori
ini diperkenalkan oleh Aristoteles yang menyebut manusia
sebagai zoon politicon. Penyebutan manusia sebagai zoon
politicon adalah bahwa manusia bar dikatakan sempurna
apabila hidup dalam ikatan kenegaraan. Negara adalah
organisasi yang rasional dan ethis yang dibentuk untuk
menyempurnakan tujuan manusia dalam hidup.
Teori Idealistis
Disebut sebagai teori idealistis dikarenakan negara dianggap
sebagai sebuah kesatuan yang mistis dan memiliki aspek
supranatural.
Teori Historis
48 Ibid, hlm 158 49
ibid
40
Bahwa negara sebagai sebuah organisasi social tidak dibuat
akan tetapi tumbuh berdasarkan evolusi kehidupan manusia.
Dalam hukum evolusi lembaga-lembaga sosial mendapatkan
keniscayaan, dan sangat bergantung pada kondisi, waktu dan
tempat dimana evolusi itu bergantung. Lembaga sosial
merupakan sebuah keniscayaan untuk memenuhi kebutuhan
manusia yang hadir dan bertambah mengikuti perubahan yang
terjadi.
3. Kedaulatan Negara
Kata kedaulatan merupakan terjemahan dari kata souvereignty.
Kata ini sebenarnya berasal dari kata superanus dalam bahasa latin
yang oleh Mochtar kusumaatmadja diterjemahkan sebagai yang
teratas.50 Jean bodin adalah orang pertama yang memberi bentuk
ilmiah pada teori kedaulatan ini sehingga ia dapat disebut sebagai
Bapak Teori Kedaulatan. Ia mengatakan kedaulatan sebagai atribut
Negara, sebagai cirri khusus dari negara. Menurutnya kedaulatan
adalah kekuasaan mutlak dan abadi dari negara yang tidak terbatas
dan tidak dapat dibagi-bagi.51 Selanjutnya, Jean Bodin menyatakan
bahwa tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat
membatasi kekuasaan negara. Menurutnya, yang dinamakan
kedaulatan mengandung satu-satunya kekuasaan sebagai:
50
Mochtar kusumaatmadja, 2003, Konsepsi Hukum Negara Nusantara, PT. Alumni, Bandung, hlm.15. 51 Yudha Bhakti, 1999, Imunitas Kedaulatan Negara Di Forum Pengadilan Asing, Alumni, Yogyakarta, hlm.3.
41
1. Asli, artinya tidak diturunkan dari kekuasaan lain; 2. Tertinggi, tidak ada kekuasaan lain yang lebi tinggi yang
dapat membatasi kekuasaannya; 3. Bersifat abadi dan kekal; 4. Tidak dapat dibagi-bagi karena hanya ada satu kekuasaan
tertinggi.
Disini harus diperhatikan adalah bahwa Jean Bodin menyelidiki
kedaulatan dari aspek internalnya, yaitu kedaulatan sebagai
kekuasaan Negara dalam batas-batas lingkungan wilayahnya. Dilihat
dari aspek internal, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dari Negara
untuk mengurus wilayahnya.Sedangkan Grogitus menyelidiki dan
menguraikan kedaulatan dalam hubungannya dengan Negara-negara
lain.Kadaulatan yang dilihat dari aspek eksternal inilah yang
perwujudannya dikenal sebagai kemerdekaan atau persamaan derajat
di antara negara-negara.52
a. Kedaulatan negara dalam hukum internasional
Dalam hal ini hukum internasional menjadi tidak berlaku
Karena Negara memiliki kekuasaan tertinggi dan tidak mau
mengakui adanya kekuasaan yang lebih tinggi dari pada
kekuasaan negara. Akibatnya, hukum internasional tidak dapat
menjadi sarana hubungan antar Negara karena masing-masing
Negara dalam hubungan internasional masih menonjolkan
kedaulatannya.
Kenyataan masyarakat internasional dewasa ini merupakan
suatu masyarakat yang terdiri dari atas Negara-negara yang bebas,
52
Ibid, hlm.4-5.
42
merdeka, dan sederajat. Sekalipun masing-masing negara memiliki
kekuasaan tertinggi yang disebut kedaulatan, kenyataannya
didalam masyarakat internasional telah muncul hubungan yang
tertib.
Satjipto Rahardjo menguraikan bahwa ketertiban tampil
sebagai unsur pertama yang membentuk suatu sistem sosial. Maka
dari itu harus dikatakan bahwa ketertiban dalam masyarakat
internasional akan dapat terpelihara selama mereka mengetahui
tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam hubungan
internasional.
D. Selayang Pandang Libya
Libya ( bahasa Arab : لیبی�������������ا Lībiyā) adalah sebuah negara di
Maghreb wilayah Afrika Utara . Dibatasi oleh Laut Mediterania di utara,
Mesir di timur, Sudan di tenggara, Chad dan Niger di selatan, dan Aljazair
dan Tunisia di sebelah barat. Sebagai akibat dari perang sipil, saat ini ada
dua entitas yang mengklaim sebagai pemerintah resmi Libya. Berbasis di
Tripoli, pemerintah dari Muammar Gaddafi mengacu pada negara Libya
sebagai Great Socialist People's Libyan Arab Jamahiriya, yang
mengontrol sebagian besar bagian barat negara itu, dan kelompok oposisi
di bagian timurnya.
Dengan luas hampir 1.800.000 kilometer persegi (700.000 sq mi),
Libya adalah negara terbesar keempat di Afrika, dan terbesar ke 17 di
dunia . Ibukotanya adalah Tripoli yang juga sebagai rumah bagi 6,4 juta
orang Libya. Libya memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) tertinggi di
43
Afrika dan tertinggi keempat PDB ( PPP ) per kapita di Afrika pada 2009,
di belakang Seychelles, Guinea Khatulistiwa dan Gabon. Libya juga
memiliki cadangan minyak terbesar ke sepuluh di dunia.
1. Sejarah Perkembangan Libya
Libya memperoleh kemerdekaan pada tahun 1951 sebagai
Libya Inggris(al-Mamlaka al-Libiyya al-Muttahida), lalu pemerintah
mengubah namanya menjadi Kerajaan Libya ( bahasa Arab :
pada tahun 1963. Menyusul kudeta (al-Mamlaka al-Libiyya)اللیبی�������������ة
tahun 1969, nama negara diubah lagi menjadi Republik Arab Libya (
Arabic : اللیبی����������������ة العربی�����������ة الجمھوری�����ة al-Ǧumhūriyyah ʿ al-Arabiyyah al-
Lībiyyah).53
Pada tahun 1977 judul negara diubah menjadi Great Sosialis
Rakyat Libya Arab Jamahiriya ( bahasa Arab : العربی�����������ة الجماھیری�������ة
-al-Ǧamāhīriyyah ʿ al-Arabiyyah al ىالعظ����م الاش�������������تراكیة الش�������������عبیة اللیبی����������������ة
Lībiyyah-sA ʿ ʿ biyyah-Uzma al-Ištirākiyyh yang berarti sebagai “Negara
Rakyat” atau lebih dikenal dengan dikenal sebagai Jamahiriya Arab
Libya.
2. Letak Geografi Libya54
Libya membentang lebih dari 1.759.540 kilometer persegi
(679.362 sq mi ), menjadikannya sebagai negara terbesar ke-17 di
dunia dengan ukuran. Libya agak lebih kecil dari Indonesia, dan kira-
53
Ben Cahoon,World Statement of Libya, http://www.worldstatesmen.org/Libya.htm Diakses Pada 29 Juni 2011 Pukul 14.04 Wita 54
Amr Hamdy, ICT in Education in Libya, http://www.educationlibya.org/country_profile.htm Diakses Pada 29 Juni 2011 Pukul 14.12 Wita
44
kira seukuran dengan negara bagian Alaska . Libya berbatasan
dengan Laut Tengah di Utara, sebelah barat berbatasan dengan
Tunisia dan Aljazair, di barat daya berbatasan dengan Niger, serta di
sebelah selatan berbatasan dengan Chad dan Sudan, di sebelah timur
oleh Mesir. Libya terletak antara garis lintang 19 ° dan 34 ° N , dan
garis bujur 9 ° dan 26 ° BT.
3. Hubungan Internasional Libya
Kebijakan luar negeri Libya telah berfluktuasi sejak 1951.
Sebagai Kerajaan, Libya mempertahankan sikap pro-Barat, namun
juga mengakui sebagai anggota blok tradisionalis konservatif dalam
Liga Arab, yang menjadi anggota pada tahun 1953. Pemerintah juga
dekat dengan negara-negara Barat seperti Inggris , Amerika Serikat ,
Perancis , Italia , Yunani , dan membangun hubungan diplomatik
penuh dengan Uni Soviet pada tahun 1955.
Setelah kudeta oleh Gaddafi tahun 1969 perusahaan minyak
asing milik Amerika Serikat dan Inggris ditutup dan dinasionalisasikan
untuk tujuan komersil dan kepentingan nasional Libya. Dia juga
memainkan peran kunci dalam mempromosikan embargo minyak
sebagai senjata politik, dan berharap bahwa harga minyak naik dan
embargo pada tahun 1973 akan membuat Libya dapat membujuk
Barat untuk menghentikan dukungan bagi Israel.55
55 Rossy Leah Agles, Libyan History, http://www.bartleby.com/65/qa/Qaddafi.html Diakses Pada 29 Juni 2011 Pukul 14.24 Wita
45
Pada tanggal 5 April 1986, agen Libya membom La Belle,
sebuah klub malam di Berlin Barat , yang menewaskan tiga orang dan
melukai 229 orang-orang yang menghabiskan malam di sana.
Jerman dan Amerika Serikat mengetahui bahwa pengeboman di
Berlin Barat telah dipesan dari Tripoli.Pada tanggal 14 April 1986,
Amerika Serikat melakukan Operasi El Dorado Canyon terhadap
Gaddafi dan anggota rezimnya. Pertahanan udara, pangkalan-
pangkalan militer tiga, dan dua lapangan terbang di Tripoli dan
Benghazi dibom. Serangan bedah gagal untuk membunuh Gaddafi
tetapi ia kehilangan beberapa perwira militernya.56
4. Demografi Libya57
Kepadatan penduduknya adalah sekitar 50 orang per km ²
( 130/sq. mi of.) Sekitar 88% dari penduduk perkotaan, sebagian besar
terkonsentrasi di tiga kota terbesar, Tripoli , Benghazi dan Al Bayda.
Libya memiliki populasi sekitar 6,5 juta, sekitar setengah dari mereka
berada di bawah usia 15. Pada tahun 1984 populasi mencapai 3,6 juta
dan telah tumbuh sekitar 4% per tahun, salah satu tingkat tertinggi di
dunia. Total populasi tahun 1984 adalah peningkatan dari 1,54 juta
yang dilaporkan pada tahun 1964.
Penduduk asli Libya paling banyak adalah Arab atau campuran
Arab dan etnis Berber, dengan kelompok-kelompok kecil Afrika seperti
56 Abu Sayyaf, Target of Philippine-U.S.Anti-Terrorism Cooperation, http://www.fas.org/irp/crs/RL31265.pdf Diakses pada 29 Juni 2011 Pukul 14.28 Wita 57 Wikipedia, Libya, http://en.wikipedia.org/wiki/Libya Diakses pada 29 Juni 2011 Pukul 14.40 Wita
46
Tuareg dan Tebu, yang nomaden atau seminomadic. Di antara warga
asing, kelompok yang terbesar adalah warga negara Afrika lainya,
termasuk Afrika Utara (terutama Mesir ), dan Sub- Sahara Afrika. Pada
tahun 2011, diperkirakan terdapat 60.000 orang Bangladesh, Cina
30.000 orang dan 30.000 orang Filipina di Libya. Libya juga
merupakan rumah bagi populasi besar yang ilegal yang jumlahnya
lebih dari satu juta, sebagian besar Mesir dan Sub-Sahara Afrika.
E. Konflik Libya dan Intervensi Bersenjata NATO58
1. Penyebab Konflik
Suatu konflik bersenjata yang sedang berlangsung di Afrika
Utara keadaan Libya yang terjadi antara mereka yang berusaha untuk
menggulingkan Muammar Gaddafi dan menyelenggarakan pemilihan
umum demokratis, dan pro-Gaddafi pasukan. Situasi ini dimulai
sebagai serangkaian protes damai yang layanan keamanan Gaddafi
berusaha untuk menekan, dimulai pada tanggal 15 Februari
2011.Dalam seminggu, pemberontakan ini telah menyebar di seluruh
negeri dan Gaddafi berjuang untuk mempertahankan kontrol.Gaddafi
menanggapi dengan kekuatan militer dan langkah-langkah seperti
lainnya dengan memblokir komunikasi.
Situasi ini kemudian meningkat menjadi konflik bersenjata,
dengan pemberontak mendirikan sebuah koalisi bernama Dewan
58 Wikipedia, Libyan Civil War, http://en.wikipedia.org/wiki/2011_Libyan_civil_war Diakses Pada 29 Juni 2011 Pukul 14.56 Wita
47
Nasional Transisi yang berbasis di Benghazi . Pengadilan Kriminal
Internasional memperingatkan bahwa ia dan anggota
pemerintahannya mungkin telah melakukan kejahatan terhadap
kemanusiaan. Dewan Keamanan PBB melakukan pembekuan aset
Gaddafi dan sepuluh anggota lingkaran dalam dirinya, dan membatasi
perjalanan mereka.Pada awal Maret, pasukan Gaddafi menyerang ke
arah timur dan kembali mengambil beberapa kota-kota pesisir sebelum
menyerang Benghazi. Sebuah resolusi PBB secara resmi
memerintahkan negara-negara anggota untuk membangun dan
menegakkan zona larangan terbang di Libya.
2. Respon Pemerintah Dalam Negeri59
Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa mengatakan,
Pemerintah Indonesia sangat menyesalkan atas serangan tentara
NATO di Libya. Menurut Marty Natalegawa, kekerasan itu justru
menimbulkan masalah yang lebih pelik. “Kita tentu prihatin,
situasi dan kondisi di libya berkembang sedemikian rupa, sehingga
semakin tampillah sosok penggunaan kekerasan,” kata Marty. Hal
tersebut diungkapkan Marty Natalegawa sehubungan gempuran
pasukan koalisi terhadap Libya, di Kantor Kementerian Luar
Negeri, Jakarta,Selasa, 22 Maret 2011.
59
Mahmoud Alam, Mengapa Turki Menolak Intervensi NATO di Libya, http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&view=article&id=31090:mengapa-turki-menolak-intervensi-nato-di-libya&catid=15:lintas-warta&Itemid=58 Diakses Pada 15 Juli 2011 Pukul 14.56 Wita
48
Marty mengatakan, paska serangan udara tentara sekutu
pimpinan Amerika Serikat (AS), situasi di negara pimpinan Muammar
Khadafi saat ini bukannya makin membaik, tapi justru malah makin
memburuk. Seperti diberitakan, tentara Koalisi Dewan Keamanan PBB
pada Minggu, 20 Maret 2011, menjatuhkan ratusan rudal ke komplek
kediaman Khadafi dan sekitarnya di Tripoli. Akibat serangan itu, 48
orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka.
Marty menyesalkan mengapa sampai harus menggunakan
kekerasan terhadap Libya.Padahal tindakan yang diambil dalam
mengatasi krisis di Libya kata Menlu, haruslah sesuai dengan hukum
internasional dan Piagam PBB. Dikatakan Marty, kita ingin agar
pelaksanaan resolusi itu dilakukan dengan terukur dan pas, jangan
sampai menimbulkan masalah baru. Masalah baru yang dimaksud
Marty adalah dampak kemanusiaan yang justru mempersulit dan
memperumit permasalahan.
3. Respon Internasional
a. Pemerintah Turki
Ahmad Davut Oglu, Menteri Luar Negeri Turki kembali
menjelaskan pandangan dan sikap pemerintah Ankara terkait
transformasi kawasan Timur Tengah, khususnya Libya. Davut Oglu
menyampaikan pendapatnya ini di depan pejabat tinggi Turki
menyikapi fenomena terbaru Libya. Pasca pernyataannya itu,
Menlu Davut Oglu di depan para wartawan Turki menilai perubahan
49
terbaru Timur Tengah sama dengan gempa kuat dan pasca gempa
ini adalah masa rekonstruksi.
Sekaitan dengan Libya, Menteri Negeri Luar Negeri Turki
menyatakan penolakan negaranya atas campur tangan Pakta
Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di negara ini.Dikatakannya, tidak
boleh terjadi pengulangan kesalahan di Libya seperti yang terjadi di
Irak.Selain itu Davut Oglu juga memperingatkan bahwa bila terjadi
aksi intervensi NATO di Libya, maka kemungkinan besar negara ini
bakal mengalami disintegrasi. Menlu Davut Oglu menekankan
bahwa semangat para revolusioner Libya sangat tinggi dan bila
NATO bersikeras melakukan intervensi, maka sudah barang tentu
semangat mereka akan lenyap. Davut Oglu menilai masalah
terpenting di Libya adalah upaya mencegah terciptanya situasi
yang lebih buruk bagi warga Libya.Ditegaskannya, rakyat Libya
tidak boleh menjadi korban dari politik Muammar Gaddafi, diktator
Libya.
Sebagian dari ucapan Ahmad Dovud Oglu, Menteri Luar
Negeri Turki ternyata mendapat reaksi luas di kancah politik dunia
dan media internasional.Termasuk ketika Dovut Oglu menuding
Barat dan rezim Zionis Israel sebagai pihak yang bertanggung
jawab atas instabilitas yang terjadi di Timur Tengah.Dovut Oglu
mengatakan, dasar dari segala kesulitan dan masalah yang muncul
di Timteng bersumber dari Israel.Karena rezim ini telah menutup
segala jalan ke arah perdamaian.Di bagian lain dari ucapannya,
50
Dovut Oglu menjelaskan bahwa Timur Tengah dan Afrika oleh
Barat hanya dilihat sebagai kawasan yang kaya minyak
bumi.Sudah sejak puluhan tahun rakyat kawasan ini menjadi alat
guna dapat menjarah lebih banyak lagi minyak bumi mereka.Menlu
Dovut Oglu juga mengatakan bahwa rakyat turun ke jalan-jalan
karena sudah lelah menjadi alat tarik menarik soal minyak.
Urgensi ucapan Menlu Turki ini dapat dicermati dari kondisi
Libya yang sampai saat ini masih krisis dan tidak ada ide yang
mampu menyelesaikan masalah ini.Paling jauh adalah pandangan
bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia secara luas di
Libya dan untuk itu diperlukan adanya intervensi NATO.Sementara
Turki boleh dikata sebuah negara yang tetap konsekuen dengan
pandangannya untuk menyelesaikan krisis Libya lewat jalur damai.
Berbeda dengan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), partai-
partai politik lainnya di Turki justru memberikan lampu hijau bagi
campur tangan NATO di Libya dan menolak sikap pemerintah
Turki. (IRIB/SL/MF)60
b. Pemerintah Iran
Iran menyatakan keprihatinan yang mendalam atas krisis
Mesir pada Kamis dengan mengecam campur tangan Amerika
Serikat dan Israel pada urusan dalam negeri Mesir.Dalam
pernyataannya Kementerian Luar Negeri Iran mengatakan
60 Ibid.
51
perkembangan dan pembangunan yang penting di Timur Tengah
serta Afrika Utara memiliki akar pada “kebangkitan Islam”.
Pernyataan itu mengidikasikan bahwa Republik Islam Iran
sedang memantau perkembangan kawasan tersebut dan
mendukung penuh tuntutan sah rakyat Mesir, sebagaimana dikutip
dari IRNA-OANA.“Republik Islam Iran mengharapkan seluruh
rakyat dan pemerintah yang mendukung kemerdekaan di penjuru
dunia untuk menghargai tuntutan sah rakyat Mesir dan mengutuk
campur tangan Zionis serta AS pada urusan dalam negeri Mesir,”
demikian menurut pernyataan tersebut.“Segala upaya dalam
menghadapi rakyat Muslim di Mesir dan menindas hak-hak
kemanusiaan dari negara besar yang peradabannya telah
berlangsung lama tersebut akan dianggap sebagai kejahatan
terhadap kemanusiaan dan dapat menyebabkan kemarahan serta
kebencian yang mengerikan dari seluruh negara Muslim dunia,”
demikian pernyataan Kemlu Iran sebagai tanggapan atas campur
tangan AS dan Zionis dalamkonflik Mesir.Tembakan dan kekerasan
dalam melawan para pengunjuk rasa di Mesir mengakibatkan enam
orang tewas selama satu malam pada Rabu hingga Kamis dini
hari.Setidaknya 150 orang tewas akibat serangan polisi Mesir saat
unjuk rasa selama sepuluh hari. Selain itu Ketua Badan Hak Asasi
Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Navi Pillay
52
mengatakan bahwa sejauh ini lebih dari 300 orang diperkirakan
tewas.61
61
Navi Pilay, Iran Kecam Keterlibatan AS dan Zionis di Mesir, http://konspirasi.com/peristiwa/iran-kecam-keterlibatan-as-dan-zionis-di-mesir/Diakses Pada 19 Juli 2011 Pukul 12.32 Wita
53
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Dalam penulisan skripsi, penulis mengambil lokasi penelitian di 2
(dua) kota antara lain:
1. Makassar : Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin
2. Jakarta : Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia (KEMENLU-RI)
B. Jenis dan Sumber Data
Adapun sumber data ang kelak menjadi sumber informasi yang
digunakan oleh penulis dalam meyelesaikan tugas akhir ini adalah:
1) Data Primer, yakni data dan informasi diperoleh melalui media
internet dan interview, baik secara langsung maupun secara tidak
langsung melalui telepon dan e-mail.
2) Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui hasil studi
kepustaaan dan hasil dari browsing di situs-situs yang
berhubungan dengan masalah yang penulis angkat.
C. Teknik Pengumpulan Data
Penulis mengumpulkan data-data melalui penggabungan data yang
akan penulis berdasarkan metode field research (penelitian lapangan)
untuk memperoleh data primer di mana penulis dapat memperoleh data-
data melalui penelitian secara langsung di beberapa tempat lokasi
54
penelitian penulis nanti dan library research (penelitian kepustakaan)
untuk memperoleh data sekunder berupa buku-buku ilmiah, ketentuan-
ketentuan internasional seperti konvensi internasional, majalah, surat
kabar, serta bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan
penelitian ini.
D. Analisa Data
Data yang diperoleh atau dikumpulkan dalam penelitian ini baik
data primer maupun data sekunder merupakan data yang sifatnya
kualitatif maka teknik analisis data yang digunakan adalah analisis
kualitatif, dimana proses pengolahan datanya yakni setelah data tersebut
terkumpul dan dianggap telah cukup, data tersebut diolah dan dianalisis
secara deduktif yaitu dengan berlandaskan kepada dasar-dasar
pengetahuan umum kemudian meneliti persoalan yang bersifat khusus.
Dari adanya analisis inilah kemudian ditarik suatu kesimpulan.
55
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Legalitas Intervensi bersenjata NATO di Libya
1. Konsep Intervensi
J.L. Holzgrefe mengartikan intervensi sebagai penggunaan
kekuatan yang melewati wilayah negara yang dilakukan oleh suatu
negara atau kelompok negara yang memiliki tujuan untuk
mencegah atau mengakhiri meluasnya pelanggaran terhadap HAM
atas warga negara dari negara lain dan tanpa seizin negara
tersebut (di mana intervensi itu dilakukan).62 Selanjutnya, Holzgrefe
juga menyebutkan dua karakter intervensi yang membedakannya
dengan tindakan intervensi lainnya, yaitu: intervensi tanpa kekuatan
bersenjata, seperti ancaman atau pengenaan sanksi ekonomi,
diplomatik, dan lainnya; dan intervensi yang tidak bertujuan untuk
melindungi warga negara yang melakukan intervensi.63
Intervensi didefinisikan oleh The Danish Institute of
International Affairs sebagai pengerahan kekuatan militer yang
dilakukan oleh satu atau beberapa negara di suatu negara tanpa
persetujuan pemerintah negara tersebut, dengan atau tanpa
62
J.L. Holzgrefe, 2003, Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas, Cambridge University Press, Cambridge, hlm.18. 63
Ibid.
56
persetujuan dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), untuk tujuan mencegah atau menghentikan pelanggaran
berat terhadap HAM.64 Sementara itu, Peter R. Baehr mengartikan
intervensi sebagai ancaman atau penggunaan angkatan bersenjata
secara unilateral oleh suatu negara atas negara lain untuk
melindungi kehidupan atau kebebasan penduduk negara lain dari
tindakan atau kelalaian pemerintahnya sendiri.65
Menurut Starke, syarat sahnya untuk dilakukannya
intervensi ialah:66
Intervensi kolektif yang ditentukan dalam piagam PBB.
Untuk melindungi hak dan kepentingan, serta keselamatan
warga negaranya di negara lain.
Pembelaan diri. Jika intervensi dibutuhkan segera setelah
adanya sebuah serangan bersenjata (armed attack). Syarat-
syarat pembelaan diri adalah : langsung (instant), situasi
yang mendukung (overwhelming situation), tidak ada cara
lain (leaving no means), tidak ada waktu untuk menimbang
64 http://www.setkab.go.id. Artikel Mengapa Intervensi Kemanusiaan di Libya Perlu Ditolak. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2011, pukul 18.00 WITA. 65
Titon Slamet Kurnia, 2005, Reparasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.232. 66
Senandi, 2011, Doktrin Intervensi Kemanusiaan Dalam Hukum Internasional, senandikahukum.blogspot.com. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2011, pukul 22.10 WITA.
57
( no moment of deliberation). Syarat-syarat ini diadopsi dari
kasus Caroline.
Berhubungan dengan negara protektorat atas dominionnya.
Jika negara yang akan diintervensi dianggap telah
melakukan pelanggaran berat atas hukum internasional
Menurut O’Brien ada beberapa syarat yang harus dipenuhi
sehingga suatu tindakan dapat disebut sebagai suatu intervensi,
yaitu:67
Adanya ancaman terhadap HAM, khususnya yang bersifat
massif;
Intervensi harus dibatasi hanya untuk perlindungan HAM;
Tindakan tidak didasarkan atas undangan dari pemerintah
setempat;
Tindakan tidak didasarkan atas Resolusi DK PBB.
Selain pendapat dari Starke dan O’Brien, Clara Portela
berusaha merangkum dari pendapat beberapa pakar, kondisi-
kondisi yang harus dipenuhi sehingga suatu tindakan dapat
dikategorikan sebagai intervensi. Kondisi-kondisi tersebut, antara
lain:68
67
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op.Cit., hlm.260. 68 Clara Portela, 2000, Humanitarian Intervention, NATO and International Law, Berlin Informationcenter for Transatlantic Security, Berlin, hlm.15.
58
Penggunaan kekuatan bersenjata hanya boleh dilakukan
pada saat terjadi suatu pelanggaran terhadap HAM yang luar
biasa, sistematis, dan terjadi secara terus-menerus, seperti
ancaman jatuhnya korban jiwa dari pembunuhan massal,
kelaparan, atau tindakan lainnya.
Intervensi harus merupakan upaya terakhir. Upaya
diplomatik dan usaha-usaha lain yang tidak menggunakan
senjata harus telah diupayakan, dan penggunaan kekerasan
haruslah merupakan satusatunya upaya untuk mencegah
bencana kemanusiaan yang besar.
Intervensi sebaiknya dilakukan secara multilateral.
Maksudnya agar dengan terlibatnya beberapa negara akan
mengurangi kepentingankepentingan nasional yang mungkin
ada.
Penggunaan kekuatan bersenjata harus ditekan untuk
mengurangi kekerasan yang ada.
Intervensi tidak boleh bertujuan untuk mengubah suatu
keadaan secara hukum, contohnya: upaya memisahkan diri
suatu provinsi dari negaranya.
Negara peserta intervensi harus melakukan kordinasi yang
baik dengan PBB.
Berdasarkan pendapat beberapa pakar di atas, penulis
berusaha memberikan suatu pengertian mengenai intervensi, yaitu
59
tindakan yang melibatkan kekuatan militer yang dilakukan oleh satu
atau lebih negara di wilayah negara lain, dengan atau tanpa
persetujuan DK PBB untuk menghentikan pelanggaran HAM berat
yang terjadi di negara yang dituju. Tindakan ini juga harus lepas
dari segala kepentingan pihak yang melakukan intervensi. Selain
itu, intervensi juga harus merupakan tindakan terakhir yang
memungkinkan untuk dilakukan untuk mengakhiri pelanggaran
HAM berat di suatu negara.
2. Intervensi Bersenjata Di Libya
Kasus intervensi yang terbaru adalah kasus di Libya, di
mana dilakukan oleh beberapa negara yang didasarkan pada
resolusi DK PBB No.1973.69 Krisis yang terjadi di Libya merupakan
penolakan kelompok oposisi terhadap pemerintahan Presiden
Libya, Moammar Khadafy yang berlangsung sejak tanggal 15
Februari 2011.70 Melalui resolusi DK PBB No.1970 tanggal 26
Februari 2011, DK PBB mengecam pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh Khadafy kepada warga sipil, DK PBB memutuskan
untuk melakukan embargo senjata serta membekukan asset
Khadafy dan 16 keluarganya.71
Walaupun tidak memberikan hasil segera untuk
menghentikan kejahatan sistemik terhadap kemanusiaan (crimes
69
Harian Kompas tanggal 31 Maret 2011, hlm.9, artikel Skenario Khadafy. 70
Harian Kompas tanggal 11 Maret 2011, hlm.8, artikel Sedih dan Gembira di Benghazi. 71 http://www.buletininfo.com. PBB mengecam khaddafi, Diakses pada tanggal 14 oktober 2011, pukul 17.00 WITA.
60
against humanity) yang dilakukan oleh Khadafy, resolusi ini dapat
dianggap sebagai pintu bagi terlaksananya penggunaan kekuatan
militer oleh PBB. Sesuai Pasal 42 Piagam PBB72, dalam hal Libya
mengabaikan Resolusi 1970 atau sanksi atas Libya dianggap tidak
cukup, Dewan Keamanan PBB dapat menggunakan kekuatan
militer atas Libya.73 Yang mana tindakan ini telah diatur didalam
pasal 24 dan 25 Piagam PBB tentang tugas dan fungsi Dewan
Keamanan PBB, maka DK berhak memberikan rekomendasi yang
mengikat terkait adanya ancaman terhadap keamanan
internasional, atau pelanggaran perdamaian dan keamanan dan
agresi74.
Selanjutnya DK PBB mengeluarkan Resolusi No.1970 ini
disusul dengan Resolusi DK PBB No.1973 yang dikeluarkan pada
tanggal 17 Maret 2011 dan menerapkan peraturan “no fly zone” di
Libya yang melarang adanya penerbangan, kecuali demi
kepentingan kemanusiaan, di wilayah udara Libya demi
kepentingan warga sipil.
72
Pasal 42 Piagam PBB berisi: “Apabila DK menganggap bahwa tindakan-tindakan yang ditentukan dalam Pasal 41 (pemutusan seluruhnya atau sebagian hubungan-hubungan ekonomi dan alat-alat komunikasi lainnya, serta pemutusan hubungan diplomatik) tidak mencukupi atau telah terbukti tidak mencukupi, maka Dewan dapat mengambil tindakan dengan mempergunakan angkatan udara, laut atau darat yang mungkin diperlukan untuk memelihara atau memulihkan perdamaian serta keamanan internasional.” 73
http://www.setkab.go.id. Artikel Mengapa Intervensi Kemanusiaan di Libya Perlu Ditolak. Diakses pada tanggal 14 Oktober 2011, pukul 18.00 WITA.
74 http://m.kompasiana.com. Tantangan dan Prospek Intervensi Kemanusiaan saat ini. Diakses pada tanggal 14 Oktober 2011, pukul 18.00 WITA
61
Selain itu, resolusi No.1973 juga memberikan otoritas bagi
negara-negara yang telah meminta persetujuan PBB untuk
mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk melindungi
warga sipil. Ketentuan inilah yang mendasari negara-negara
anggota NATO untuk melakukan intervensi di Libya pada tanggal
27 Maret 2011.75
3. Legalitas Intervensi Bersenjata Nato di Libya
Permasalahan yang seringkali muncul dalam praktek
intervensi, tidak hanya mengenai sah tidaknya tindakan tersebut
berdasarkan hukum internasional, namun yang seringkali menjadi
isu utama adalah legitimasi tindakan tersebut dan penerimaan
masyarakat internasional yang dipengaruhi oleh permasalahan
sosial politik di dalamnya. NATO memberikan pernyataan bahwa
intervensi yang dilakukan di Libya melalui resolusi DK PBB
No.1973 didasarkan oleh dua alasan, yaitu: Penggunaan kekuatan
bersenjata didasarkan oleh resolusi DK PBB, dan bahwa intervensi
menggunakan kekuatan bersenjata diperlukan untuk mencegah
pelanggaran HAM yang semakin parah.
Pernyataan NATO tidak dapat diterima oleh semua pihak,
sehingga intervensi NATO di Libya juga menghasilkan pro dan
kontra di masyarakat, bahkan sampai saat ini. Belum banyak
75 http://www.nato.int/cps/en/natolive/topics_71652.htm? Artikel NATO and Libya – Operation Unified Protector. Diakses pada tanggal 14 Oktober 2011 pukul 18.00 WITA.
62
masyarakat yang mengerti mengenai konsep intervensi dan bahwa
tindakan intervensi terhadap suatu negara bisa saja dikategorikan
sah berdasarkan hukum internasional. Dalam intervensi NATO di
Libya, ada beberapa isu yang menarik untuk dibahas, yang
pertama yaitu, kesesuaian tindakan NATO dengan instrumen
hukum yang mengaturnya (NAT), keterlibatan PBB dalam intervensi
NATO di Libya, serta apakah NATO memiliki hak untuk melakukan
intervensi.
a. Intervensi NATO di Libya Ditinjau dari NAT
NATO adalah suatu organisasi internasional yang
didasarkan atas dasar collective self-defence seperti yang
diatur dalam pasal 51 Piagam PBB.76 Pasal 51 Piagam PBB
menyebutkan,
“Tidak ada suatu ketentuan dalam piagam ini yang boleh merugikan hak perseorangan atau bersama untuk membela diri apabila suatu serangan bersenjata terjadi terhadap suatu anggota PBB, sampai DK mengambil tindakan yang diperlukan untuk memelihara perdamaian serta keamanan internasional. Tindakan-tindakan yang diambil oleh anggota-anggota dalam melaksanakan hak membela diri ini harus segera dilaporkan kepada DK dan dengan cara bagaimanapun tidak dapat mengurangi kekuasaan dan tanggung jawab DK…”
76
Janka Oertel, 2008, United Nations and NATO, Makalah yang dipersiapkan untuk ACUNS 21st Annual Meeting, Bonn, hlm.2
63
Prinsip collective self-defence itu ditegaskan dalam
NAT yang merupakan dasar dari segala tindakan NATO,
yaitu dalam pasal 5, yang menyatakan,
“The Parties agree that an armed attack against one or ore of them in Europe or North America shall be considered an attack against them all and consequently they agree that, if such an armed attack occurs, each of them, in exercise of the right of individual or collective self-defence recognised by Article 51 of the Charter of the United Nations, will assist the Party or Parties so attacked by taking forthwith, individually and in concert with the other Parties, such action as it deems necessary, including the use of armed force, to restore and maintain the security of the North Atlantic area.”
Berdasarkan pasal tersebut, negara-negara anggota
NATO, menyatakan komitmen mereka bahwa apabila salah
satu negara anggota NATO yang berada di Eropa atau
Amerika Utara diserang, maka serangan itu dianggap
sebagai serangan terhadap seluruh anggota. Berdasarkan
pasal 51 Piagam PBB yang mengakui hak untuk collective
self-defence, maka negara anggota NATO akan melakukan
tindakan balas terhadap negara yang menyerang negara
anggota NATO.
Intervensi NATO di Libya bukanlah suatu tindakan
self-defence, sebab tidak ada negara anggota NATO yang
diserang. Oleh sebab itu, tindakan tersebut tidak didasarkan
oleh pasal 5 NAT mengenai prinsip self-defence.
64
NAT berisi 14 pasal yang mengatur mengenai tujuan
dibuatnya perjanjian tersebut, collective self-defence, dan
berlakunya perjanjian tersebut bagi negara-negara anggota
NATO. Tidak ada satu pasalpun dalam NAT ini yang
mengatur mengenai intervensi ataupun tindakan lainnya
yang dilakukan oleh NATO tanpa adanya serangan lebih
dahulu atau dengan tujuan self-defence. Oleh sebab itu,
dapat dikatakan bahwa tindakan intervensi NATO di Libya
tidak diatur dalam NAT.
b. Kapasitas NATO untuk Melakukan Intervensi di
Libya
Tujuan dasar dari dibentuknya NATO adalah untuk
menjaga kebebasan dan keamanan seluruh negara
anggotanya di Eropa dan Amerika Utara, sesuai dengan
prinsip-prinsip PBB.77 Seiring dengan berkembangnya
zaman dan fenomena geopolitik78 yang ada, negara-negara
Eropa merasa memerlukan kekuatan sendiri untuk
mempertahankan diri, terlepas dari campur tangan PBB. Hal
ini mulai menjadi isu penting bagi negara-negara Eropa sejak
77
NATO Transformed, 2004, NATO Public Diplomacy Division, Brussels, hlm.1 78
Geopolitik adalah suatu studi yang mengkaji masalah-masalah geografi, sejarah dan ilmu sosial, dengan merujuk kepada politik internasional. Geopolitik mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah geografi, yang mencakup lokasi, luas serta sumber daya alam wilayah tersebut.
65
konflik yang terjadi di Balkan79 1990-an, dan pada saat itu,
negara-negara Eropa menyadari bahwa mereka tidak dapat
melakukan apa-apa untuk menghentikan konflik yang terjadi
tanpa bantuan dari PBB.80
Ketika terjadi perang di Bosnia dan Herzegovina, UE
mengawasi bahwa kekuatan militer dan mandat politik yang
dilakukan oleh DK PBB tidak menyelesaikan konflik yang
ada. Pada akhir tahun 1990-an, NATO dan UE memiliki
insiatif bersama untuk membentuk suatu kerjasama strategis
(strategic partnership).81
Dalam konflik di Libya, NATO bukanlah salah satu
pihak dalam konflik itu, selain itu, konflik yang terjadi di Libya
juga tidak mempengaruhi NATO secara tidak langsung.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa tindakan NATO
adalah murni suatu tindakan intervensi atas mandat PBB.
Menurut Anthony D’Amato, tindakan yang dilakukan
oleh NATO tidak menentang kemerdekaan politik (”political
independence”) Libya karena tidak ada usaha untuk
mengambil alih pemerintahan di negara tersebut. Selain itu,
intervensi NATO di Libya juga tidak bertentangan dengan
79
Konflik yang terjadi di Balkan pada awal tahun 1990-an adalah serangkaian konflik yang pada akhirnya mengakibatkan pecahnya Yugoslavia. 80 NATO Transformed, Op.Cit., hlm.6. 81
Ibid., hlm.7.
66
tujuan PBB karena tindakan tersebut bertujuan untuk
mengedepankan dan meningkatkan perlindungan HAM.
Meskipun demikian, banyak aktivis HAM yang
menyambut baik tindakan yang dilakukan oleh NATO dan
menganggap bahwa tindakan itu adalah ”ultima ratio”82 untuk
menegakkan HAM dan mencegah operasi genosida yang
lebih jauh lagi.83 Menurut World Public Opinion, berdasarkan
poling yang dilakukan oleh sebuah harian di Amerika Serikat,
Los Angeles Times, 56% orang berpendapat bahwa NATO
memiliki hak untuk melakukan intervensi terhadap negara
lain yang berdaulat, sedangkan hanya 31% orang yang
berpendapat bahwa NATO tidak memiliki hak untuk
melakukan intervensi.84
NATO yang terdiri dari beberapa negara memiliki
kewajiban moral untuk memberikan bantuan kemanusiaan,
dan dalam beberapa kasus yang ekstrim, bantuan tersebut
hanya dapat bermanfaat saat melibatkan kekuatan militer
dan bantuan inilah yang akan membawa pengaruh dalam
aspek keadilan dan hukum. Salah satu konsekuensi yang
mungkin akan muncul dalam suatu intervensi, dan telah
82
“ultima ratio” berasal dari Bahasa Latin yang berarti the last resort, atau upaya terakhir yang dapat dilakukan. 83
Nowak, Op.Cit., hlm.330 84
http://www.americans-world.org/digest/global_issues/globalization/intervention.cfm. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2011 pukul 14.00 WITA. Artikel International Intervention in the Internal Affairs of States.
67
terjadi di Libya, adalah intervensi itu tidak memiliki kekuatan
hukum yang lebih kuat selain dari DK PBB menurut hukum
internasional tetapi ”legitimate” bagi masyarakat
internasional.
B. Implikasi kedaulatan Libya dalam intervensi bersenjata oleh
NATO
Intervensi sebagai suatu doktrin baru dan fenomena yang terjadi
di dunia internasional masih menjadi kontroversi, hal ini utamanya
karena tindakan intervensi bertentangan dengan dua prinsip yang
telah lebih lama dikenal dalam hukum internasional, yaitu prinsip
kedaulatan (sovereignty) dan prinsip non-intervensi (non-intervention).
1. Intervensi dan Prinsip Kedaulatan
Istilah kedaulatan pertama kali diperkenalkan oleh seorang
ahli kenegaraan berkebangsaan Perancis yang bernama Jean
Bodin (1539- 1596). Menurut Jean Bodin, kedaulatan adalah
kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Kedaulatan ini sifatnya
tunggal, asli, dan tidak dapat dibagi-bagi. Tunggal berarti hanya
ada satu kekuasaan tertinggi, sehingga kekuasaan itu tidak dapat
dibagi-bagi. Asli berarti kekuasaan itu berasal atau tidak dilahirkan
dari kekuasaan lain. Sedangkan abadi berarti kekuasaan negara itu
berlangsung terus-menerus tanpa terputus-putus. Maksudnya
68
pemerintah dapat berganti-ganti, kepala negara dapat berganti atau
meninggal dunia, tetapi negara dengan kekuasaanya berlangsung
terus tanpa terputus-putus.85
Prinsip kedaulatan negara diatur dalam Perjanjian
Westphalia.86 Dalam Perjanjian Westphalia, setiap negara memiliki
kedaulatan dan memiliki kedudukan yang sejajar dengan negara
lainnya. Selain dalam Perjanjian Westphalia, prinsip ini juga
tertuang dalam Pasal 2 (1) Piagam PBB, yaitu “The organization is
based on the principle of sovereign equality of all the members.”,
teks ini berarti Organisasi (PBB) bersendikan pada prinsip-prinsip
persamaan kedaulatan dari semua anggota. Dengan ini, jelas
bahwa hukum internasional mengakui persamaan kedaulatan
semua negara, sehingga negara lain tidak berhak untuk melakukan
intervensi.
Prinsip ini sangat penting untuk ditaati oleh setiap negara,
dalam beberapa kasus, prinsip ini ditegaskan, seperti dalam kasus
Corfu Channel.87 Dalam putusannya mengenai kasus Corfu
85
http://plato.stanford.edu/entries/bodin. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2011, pukul 16.00 WITA. 86 Perjanjian Westphalia adalah perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tahun 1648. Perjanjian ini juga merupakan salah satu peristiwa penting dalam perkembangan hukum internasional karena melalui perjanjian ini, telah mengakhiri 80 tahun konflik agama yang terjadi di Eropa, dan selanjutnya mendasari terbentuknya negara modern. 87
Kasus Corfu Channel adalah kasus antara Britania Raya dan Irlandia Utara v. Republik Albania. Britania Raya menuntut ganti rugi dari Albania dan membawa kasus ini ke ICJ pada tanggal 22 Oktober 1946. Kasus ini merupakan kasus pertama yang diadili oleh ICJ. Dalam kasus ini, kapalkapal Inggris melintasi wilayah laut Albania tanpa mengetahui adanya bahaya ranjau, sehingga kapal-kapal tersebut hancur dan mengakibatkan
69
Channel, ICJ menegaskan bahwa “Between independent states,
respect for territorial sovereignty is an essential foundation of
international relations”88, pernyataan ini berarti, antara negara yang
merdeka, saling menghormati kedaulatan wilayah negara adalah
dasar dari hubungan internasional. Melalui pernyataan ICJ ini,
dapat kita lihat bahwa selain dilarang oleh hukum internasional,
intervensi juga dapat mengganggu hubungan internasional
antarnegara.
Prinsip kedaulatan negara yang seringkali menjadi dasar
pertimbangan intervensi dianggap melanggar hukum perlu dikaji
lebih jauh. Menurut Hans Kelsen, “tujuan adanya hukum
internasional adalah untuk membatasi kedaulatan negara itu
sendiri. Sejak individu menjadi subyek hukum internasional, maka
sebenarnya kewenangannya kepada negara”89. Jadi ketika negara
telah melanggar hak-hak individu (dalam intervensi hak individu
yang dilanggar adalah HAM), maka individu tersebut dapat
meminta bantuan dari negara lain untuk memulihkan hak-hak
mereka.
hilangnya nyawa awak kapal Inggris. Menurut ICJ, Albania sebagai pihak yang mengetahui adanya bahaya ranjau memiliki kewajiban untuk mengumumkannya. Dalam keputusannya, ICJ memutuskan Albania untuk memberikan ganti rugi kepada Inggris sebesar £843,947 88
ICJ The Corfu Channel Case (Merits), pada tanggal 9 April 1949 (United Kingdom v. Albania) hlm.35, http://www.icj-cij.org/docket/files/1/1645.pdf. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2011, pukul 18.00 WITA 89
Hans Kelsen, 1949, General Theory of Law and State, Harvard University Press, Cambridge, hlm.251
70
Prinsip kedaulatan negara saat ini tidak dapat dilihat hanya
sebagai hak negara, akan tetapi harus dikaitkan dengan kewajiban
negara untuk menegakkan perlindungan HAM. Menurut J.J.
Rousseau, negara pada prinsipnya dibentuk berdasarkan kontrak,
yang salah satu tujuannya adalah kewajiban untuk melindungi
setiap manusia, baik warga negaranya ataupun warga negara
asing, dari terjadinya pelanggaran atas hak asasinya. Konsekuensi
dari pelanggaran kewajiban negara dalam perlindungan HAM
adalah berhentinya kedaulatan yang dimilikinya secara sementara
sehingga aspek eksternal dari kedaulatan tidak lagi
menempatkannya dalam posisi yang sederajat. Masyarakat
internasional memiliki tanggung jawab sisa (residual responsibility)
untuk mengambil upaya demi memulihkan pelanggaran HAM yang
terjadi dalam sebuah negara.90
Prinsip kedaulatan negara telah mengalami “pengikisan”
sebagai konsekuensi dari adanya organisasi internasional untuk
menginvestigasi, mengawasi, dan menghukum tindakan yang
melanggar HAM yang dilakukan oleh suatu negara terhadap warga
negaranya. Menurut Anne Peters, prinsip kedaulatan negara harus
dikonsep ulang. Hal ini berkaitan dengan perkembangan
masyarakat internasional yang tidak lagi menempatkan negara
90
Anne Peters, 2009, Humanity As An Alfa and Omega of Sovereignty dalam European Journal of International Law Vol.20 No.3, hlm.535
71
sebagai pusat, akan tetapi telah beralih kepada pemenuhan HAM.
91 Terlebih sejak adanya konsep R2P, posisi prinsip kedaulatan
sebagai “Letztbegründung” (prinsip utama) telah bergeser.
Dunia melalui Dewan Keamanan PBB pada bulan April 2006
akhirnya membentuk sebuah organisasi internasional bernama
Responsibility to Protection atau biasa disingkat menjadi R2P.
Organisasi ini berfungsi untuk mengatasi berbagai masalah yang
menyangkut kemanusiaan seperti genosida (genocide), kejahatan
perang (crime war), kejahatan terhadap kemanusiaan (war against
humanity) dan pembersihan suku/etnis (ethnic cleansing).
Bentuk peranan yang dilakukan oleh R2P adalah dengan
mengintervensi secara militer kepada negara-negara yang terbukti
melakukan pelanggaran terhadap kemanusiaan atau tidak berdaya
dalam menghadapi kejahatan kemanusiaan yang terjadi di
negaranya. Intervensi ini dilakukan dengan tujuan untuk
menyelamatkan manusia dari bahaya yang mengancam jiwanya di
segala bidang. Keselamatan manusia menjadi lebih utama daripada
permasalahan politik dan isu-isu strategis lainnya. R2P dapat
secara bebas masuk kedalam negara-negara yang mengalami
kejahatan kemanusiaan tanpa boleh dihalangi oleh siapapun
termasuk batas dan kedaulatan negara.. Terlebih sejak adanya
91
Anna Peters, Op.Cit., hlm.514
72
konsep R2P, posisi prinsip kedaulatan sebagai “Letztbegründung”
(prinsip utama) telah bergeser.
73
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Prinsip intervensi belum diatur dalam hukum internasional,
sekalipun demikian, intervensi telah beberapa kali dilakukan oleh
negara-negara, baik dengan persetujuan DK PBB maupun tidak.
Intervensi adalah tindakan yang melibatkan kekuatan militer yang
dilakukan oleh satu atau lebih negara di wilayah negara lain,
dengan atau tanpa persetujuan DK PBB untuk menghentikan
pelanggaran HAM berat yang terjadi di negara yang dituju.
Tindakan ini juga harus lepas dari segala kepentingan pihak yang
melakukan intervensi serta menjadi tindakan terakhir yang
memungkinkan untuk mengakhiri pelanggaran berat terhadap
HAM. Intervensi yang dilakukan NATO di Libya dilakukan
berdasarkan Resolusi DK PBB No.1970 ini disusul dengan resolusi
DK PBB No.1973 yang dikeluarkan pada tanggal 17 Maret 2011.
Intervensi yang dilakukan oleh NATO ini sesuai dengan hukum
internasional, sebab berdasarkan beberapa sumber hukum
internasional, intervensi terhadap negara lain dapat dilakukan
dengan adanya resolusi PBB. Intervensi yang dilakukan NATO di
Libya ini oleh PBB dan beberapa pakar dinilai “legitimate” karena
berhasil menghentikan pelanggaran HAM berat di Libya. Sehingga
74
dapat disimpulkan bahwa tindakan intervensi NATO di Libya Legal
& Legitimate
2. Prinsip kedaulatan negara yang seringkali menjadi dasar
pertimbangan intervensi dianggap melanggar hukum perlu dikaji
lebih jauh. Jadi ketika negara telah melanggar hak-hak individu
(dalam intervensi hak individu yang dilanggar adalah HAM), maka
individu tersebut dapat meminta bantuan dari negara lain untuk
memulihkan hak-hak mereka. Prinsip kedaulatan negara saat ini
tidak dapat dilihat hanya sebagai hak negara, akan tetapi harus
dikaitkan dengan kewajiban negara untuk menegakkan
perlindungan HAM. Konsekuensi dari pelanggaran kewajiban
negara dalam perlindungan HAM adalah berhentinya kedaulatan
yang dimilikinya secara sementara sehingga aspek eksternal dari
kedaulatan tidak lagi menempatkannya dalam posisi yang
sederajat. Masyarakat internasional memiliki tanggung jawab sisa
(residual responsibility) sehingga Prinsip kedaulatan negara telah
mengalami “pengikisan” sebagai konsekuensi dari adanya
organisasi internasional untuk menginvestigasi, mengawasi, dan
menghukum tindakan yang melanggar HAM yang dilakukan oleh
suatu negara terhadap warga negaranya terlebih sejak adanya
konsep Resposibility to Protect.
75
B. SARAN
1. Dunia internasional memerlukan konsep mengenai intervensi yang
dapat diterima secara universal. PBB perlu mengatur mengenai
intervensi dalam suatu pengaturan yang dapat menjadi sumber
hukum internasional. Hal ini dimaksudkan agar justifikasi terhadap
suatu tindakan intervensi di waktu yang akan datang dapat
dilakukan berdasarkan sumber-sumber hukum internasional. PBB
melalui DK PBB perlu lebih tanggap dalam menyikapi setiap konflik
di negara-negara yang berpotensi mengakibatkan pelanggaran
berat terhadap HAM, sehingga intervensi dapat dihindari. Tetapi
apabila intervensi harus dilakukan sebagai ”last resort” maka PBB
harus cepat mengambil tindakan.
2. Intervensi sebagai suatu doktrin baru dan fenomena yang terjadi di
dunia internasional masih menjadi kontroversi, hal ini utamanya
karena tindakan intervensi bertentangan dengan dua prinsip yang
telah lebih lama dikenal dalam hukum internasional, yaitu prinsip
kedaulatan (sovereignty) dan prinsip non-intervensi (non-
intervention) sehingga dunia internasional memerlukan konsep
mengenai pengesampingan kedaulatan demi penegakan HAM
yang dapat diterima secara universal.
76
DAFTAR PUSTAKA A. Buku
Asrudin. 2009. Refleksi dan Teori Hukum Internasional. Graha Ilmu:
Yogyakarta. Beker, Ernest. 1998. Principles of Social and Political Theory. Cornell
University: Ithaca. Bhakti, Yudha. 1999. Imunitas Kedaulatan Negara Di Forum Pengadilan
Asing. Alumni: Yogyakarta. Black, Henry Campbell. 1990. Black’s Law Dictionary. West Publishing:
Kellog. Budiarjo, Miriam. 1985. Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia: Jakarta. Clara Portela, 2000, Humanitarian Intervention, NATO and International
Law, Berlin Informationcenter for Transatlantic Security, Berlin, F, Isjwara. 1999. Pengantar Ilmu PolitiK. Pustaka Karya: Jakarta. Garner, J.W. 2003. Political Science and Government. University Press: Arkansas Harold, J. Laski. 1947. The State In The Thory And Practice. The Viking
Press: New York. Joseph S. Nye, Jr. 1993. Understanding International Conflict. Harper
Collins College Publisher: New York. Kurnia, Titon Slamet. 2005. Reparasi Terhadap Korban Pelanggaran
HAM di Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti: Bandung. Kusnadi, Moh. 2005. Ilmu Negara. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta. Kusumaatmadja, Mochtar. 2003. Konsepsi Hukum Negara Nusantara. PT.
Alumni: Bandung. Mac Iver, Robert M. 1955. Modern State. Oxford University Press: London. NATO Handbook. 1990. Defence Policy and Planning Division: Brussels.
77
Soltau, H. 1962. Education for Politics. Longman Green & Co: London. Thontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar. 2006. Hukum Internasional
Kontemporer. Refika Aditama: Bandung. Titon Slamet Kurnia, 2005, Reparasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM
di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Weber, Max. 1958. From Max Weber Essays in Sosiology. Trans. Ed. By
greth and C. Wright Mills. C.A. Galaxy Books. Oxford University Press: New York.
B. Jurnal Ilmiah
Hans Kelsen, 1949, General Theory of Law and State, Harvard University
Press, Cambridge,
Janka Oertel, 2008, United Nations and NATO, Makalah yang
dipersiapkan untuk ACUNS 21st Annual Meeting, Bonn
J.L. Holzgrefe, 2003, Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and
Political Dilemmas, Cambridge University Press, Cambridge, hlm.18
K.C, Dowdall. 1923. The World State dalam Law Quarterly Review Volume
XXXIX. yurista univ: Brussels. Peters, Anne. 2009. Humanity As An Alfa and Omega of Sovereignty
dalam European Journal of International Law. Vol.20 No.3 Shen, Jiangming. 2001. The Non-Intervention Principle and
Humanitarian Intervention Under International Law dalam International Legal Theory Vol.7 (1). Publication of the American Society of International Law.
C. Sumber Internet Abu Sayyaf. Target of Philippine-U.S.Anti-Terrorism Cooperatio.
http://www.fas.org/irp/crs/RL31265.pdf
78
Amr Hamdy. ICT in Education in Libya. http://www.educationlibya.org/country_profile.htm
Artikel Mengapa Intervensi Kemanusiaan di Libya Perlu Ditolak, http://www.setkab.go.id. Artikel NATO and Libya – Operation Unified Protector http://www.nato.int/cps/en/natolive/topics_71652.htm? Artikel International Intervention in the Internal Affairs of States.http://www.americans-world.org/digest/global_issues/globalization/intervention.cfm. Ben Cahoon. World Statement of Libya.
http://www.worldstatesmen.org/Libya.htm
Dayton Peace Agreement. http://en.wikipedia.org/wiki/Dayton_Agreement. Eka Aqimuddin. Doktrin Intervensi Kemanusiaan dalam Hukum
Internasional. http://www.senandikahukum.blogspot.com.
Gareth Evans. The Responsibility to Protect. http://www.iciss.ca. keanggotaan NATO.
http://www.nato.int/cps/en/natolive/nato_countries.htm
Mahmoud Alam. Mengapa Turki Menolak Intervensi NATO di Libya, http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&view=article&id=31090:mengapa-turki-menolak-intervensi-nato-di-libya&catid=15:lintas-warta&Itemid=58
NATO. sekertaris NATO. http://www.nato.int Navi Pilay. Iran Kecam Keterlibatan AS dan Zionis di Mesi.
http://konspirasi.com/peristiwa/iran-kecam-keterlibatan-as-dan-zionis-di-mesir/
Pakta Pertahanan Atlantik Utara.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pakta_Pertahanan_Atlantik_Utara. PBB mengecam khaddaf, http://www.buletininfo.com Perlindungan HAM dan Mitos Kedaulatan
Negara,http://www.senandikahukum.wordpress.com.
79
Rossy Leah Agles. Libyan History. http://www.bartleby.com/65/qa/Qaddafi.html
Senandi, 2011, Doktrin Intervensi Kemanusiaan Dalam Hukum Internasional, http://www.senandikahukum.blogspot.com Wikipedia. 2011 libyan civil war.
Http://en.wikipedia.org/wiki/2011_libyan_civil_war.
Wikipedia. Libya. http://en.wikipedia.org/wiki/Libya D. Koran
Harian Kompas tanggal 31 Maret 2011, hlm.9, artikel Skenario Khadafy.