Skripsi Fix

84
PENGARUH PENAMBAHAN GLISERIN TERHADAP STABILITAS SEDIAAN ELIKSIR DARI EKSTRAK RIMPANG JERINGAU MERAH (Acorus sp.) SKRIPSI Oleh: HERMAWAN HELMI I 21107050 PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2012

description

fdgdg

Transcript of Skripsi Fix

Page 1: Skripsi Fix

PENGARUH PENAMBAHAN GLISERIN TERHADAP STABILITAS

SEDIAAN ELIKSIR DARI EKSTRAK RIMPANG

JERINGAU MERAH (Acorus sp.)

SKRIPSI

Oleh:

HERMAWAN HELMI

I 21107050

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2012

Page 2: Skripsi Fix

i

PENGARUH PENAMBAHAN GLISERIN TERHADAP STABILITAS

SEDIAAN ELIKSIR DARI EKSTRAK RIMPANG

JERINGAU MERAH (Acorus sp.)

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi

(S.Farm) Pada

Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Tanjungpura Pontianak

Oleh:

HERMAWAN HELMI

NIM : I 21107050

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2012

Page 3: Skripsi Fix

ii

PENGARUH PENAMBAHAN GLISERIN TERHADAP STABILITAS

SEDIAAN ELIKSIR DARI EKSTRAK RIMPANG

JERINGAU MERAH (Acorus sp.)

Yang diajukan oleh:

Hermawan Helmi

NIM : I 211 07 050

Telah disetujui oleh

Pembimbing Utama,

Rise Desnita, S. Farm., Apt.NIP. 198112202009122003

Pembimbing Pendamping,

Hariyanto I.H., S.Farm., Apt.NIP. 198501062009121009

Page 4: Skripsi Fix

iii

SKRIPSI

PENGARUH PENAMBAHAN GLISERIN TERHADAP STABILITAS SEDIAAN ELIKSIR DARI EKSTRAK RIMPANG

JERINGAU MERAH (Acorus sp.)

Oleh:HERMAWAN HELMI

NIM : I21107050

Telah dipertahankan dihadapan Panitia Penguji Skripsi Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Tanjungpura Pontianak

Tanggal : 16 Januari 2012

Disetujui,

Pembimbing Utama,

Rise Desnita, S. Farm., Apt.NIP. 198112202009122003

Pembimbing Pendamping,

Hariyanto I.H., S.Farm., Apt.NIP. 198501062009121009

Penguji I, Penguji II,

Robiyanto, S.Farm., Apt. Hj. Sri Wahdaningsih, M.Sc., Apt.NIP. 198212192008011005 NIP. 198111012008012011

MengetahuiDekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Tanjungpura

dr. Sugito Wonodirekso,M.SNIP. 19481012975011001

Lulus tanggal : 16 Januari 2012No. SK Dekan : 117/H22.9/DT/2012Tanggal : 20 Januari 2012

Page 5: Skripsi Fix

iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Hermawan Helmi

NIM : I 211 07 050

Jurusan/Prodi : Farmasi

Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri; bukan merupakan

pengambilalihan tulisan yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri.

Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil

jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Pontianak, 19 Januari 2012

Yang Membuat Pernyataan

(Hermawan Helmi)

NIM. I 211 07 050

Page 6: Skripsi Fix

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

ALLAH…Rabb hamba…sesungguhnya shalat hamba, ibadah hamba, hidup

hamba dan mati hamba hanyalah untukMU, maka terimalah sujud syukur

hamba………

Rasulullah sang uswatun hasanah, allaahummashalli ‘alaa Muhammad Untuk

ayahanda dan ibunda tersayang, yang pengorbanannya tak dapat

terwakilkan oleh Untaian kata terindah sekalipun, nanda hanya bisa berdoa

semoga ALLAH membalas semua pengorbanan itu dengan jannahNYA…

Wahai ALLAH…Rabb hamba, ini adalah harapan terbesar hamba, maka

kabulkanlah wahai ALLAH…

Papa, Mama, kakak, ‘n keponakan kecilku…semoga ALLAH memperkuat

langkah kita untuk melangkah menuju ridhoNYA, semoga ALLAH

senantiasa menyatukan hati kita dengan cintaNYA, dan semoga kita

disatukan di surgaNYA kelak Kak manar, syukron khairan katsiira atas

semua support dan jalinan doa yang tak pernah putus. Semoga ALLAH

membalas semua itu dengan yang Lebih baik.

Especially thanks to : Bu Rise, Pak Hari, Bu Pur, Asih, Eka, Nidia, Hadi,

Meri, Iyo, Ulis, dan semua yang telah mendukung dan membantu dalam

menyelesaikan skripsi ini,,,

Jazakumullah khoir, wallaahu ahsanul jaza’

Page 7: Skripsi Fix

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, atas segala Rahmat dan Karunia-Nya. karena rahmat dan karunia-Nya itu pula proposal skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Proposal skripsi ini berjudul Pengaruh Penambahan Gliserin Terhadap Stabilitas Sediaan Eliksir dari Ekstrak Rimpang Jeringau Merah (Acorus sp.). Penelitian pada proposal skripsi ini didasarkan pada uji stabilitas fisik dan kimia sediaan eliksir dari ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.) dengan variasi konsentrasi kosolven. Berdasarkan pengujian yang dilakukan diharapkan dapat diketahui konsentrasi Gliserin pada sediaan eliksir dari ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.) yang memberikan stabilitas paling baik.

Pembuatan skripsi ini dapat terlaksana dengan baik berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih kepada :1. Kedua orang tua saya, Bapak Helmi dan Ibu Sri Wini Suherni yang tak

pernah henti memberikan dukungan dan motivasi.2. Bapak Dr. Sugito Wonodirekso, MS selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan Universitas Tanjungpura Pontianak.3. Bapak Prof. Dr. Sabirin Matsjeh selaku Ketua Program Studi Farmasi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tanjungpura4. Ibu Rise Desnita, S.Farm, Apt dan Bapak Hariyanto, S.Farm., Apt selaku

dosen pembimbing dalam skripsi ini, tanpa bimbingan beliau skripsi ini tidak akan ada apa-apanya.

5. Seluruh dosen Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tanjungpura Pontianak yang telah membagi ilmu-ilmu yang sangat berharga dan tak ternilai.

6. Seluruh staf Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.7. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu atas bantuan dan

dukungan yang diberikan, baik secara langsung maupun tidak langsung.Saya menyadari bahwa proposal skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Oleh karena itu, sangat diharapkan adanya kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi Almamater, mahasiswa seprofesi serta sejawat, dan siapa saja yang membacanya. Amin.

Pontianak, 19 Januari 2012

Penulis

Page 8: Skripsi Fix

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... iHALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................ iiHALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ...................................................... iiiHALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN .......................... ivHALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... vKATA PENGANTAR.................................................................................. viDAFTAR ISI ............................................................................................... viiDAFTAR GAMBAR ................................................................................... ixDAFTAR TABEL ....................................................................................... xDAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiABSTRAK .................................................................................................. xiiABSTRACT................................................................................................. xiii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 11.1 Latar Belakang Masalah ........................................................ 11.2 Perumusan Masalah .............................................................. 31.3 Tujuan Penelitian .................................................................. 31.4 Manfaat Penelitian ................................................................ 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 52.1 Tinjauan Botani Tumbuhan Jeringau Merah (Acorus sp.) ....... 52.2 Kandungan Kimia dari Jeringau Merah (Acorus sp.) .............. 72.3 Simplisia dan Ekstrak ............................................................ 92.4 Teknologi Ekstraksi ............................................................... 142.5 Sediaan Eliksir ...................................................................... 172.6 Bahan-Bahan Dalam Formulasi Eliksir .................................. 212.7 Stabilitas Eliksir..................................................................... 232.8 Landasan Teori ...................................................................... 262.9 Hipotesis................................................................................ 27

BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 283.1 Alat-alat ................................................................................ 283.2 Bahan-bahan ......................................................................... 283.3 Determinasi Sampel .............................................................. 293.4 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................ 293.5 Pengambilan Sampel ............................................................. 303.6 Preparasi Sampel .................................................................. 303.7 Ekstraksi Rimpang Jeringau Merah (Acorus sp.) .................... 303.8 Pengukuran Susut Pengeringan .............................................. 303.9 Skrining Fitokimia ................................................................. 313.10 Analisis Kromatografi Lapis Tipis ........................................ 333.11 Pembuatan Eliksir Ekstrak Rimpang Jeringau Merah

(Acorus sp.) ........................................................................... 33

Page 9: Skripsi Fix

viii

3.12 Uji Stabilitas Fisika dan Kimia Formula................................. 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................... 364.1 Determinasi Sampel ............................................................... 364.2 Preparasi Sampel ................................................................... 364.3 Ekstraksi Rimpang Jeringau Merah (Acorus sp.) .................... 374.4 Pengukuran Susut Pengeringan .............................................. 394.5 Skrining Fitokimia ................................................................. 404.6 Analisis Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Senyawa

Flavonoid............................................................................... 424.7 Pembuatan Eliksir Ekstrak Rimpang Jeringau Merah

(Acorus sp.) ........................................................................... 454.8 Uji Stabilitas Fisika dan Kimia Formula................................. 47

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 595.1 Kesimpulan............................................................................ 595.2 Saran ..................................................................................... 60

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 61

LAMPIRAN ................................................................................................ 64

Page 10: Skripsi Fix

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bentuk Fisik Tumbuhan Jeringau Merah (Acorus sp.) ............ 5Gambar 2. Kromatogram hasil KLT dengan penampakan noda .............. 43

Page 11: Skripsi Fix

x

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Formula Eliksir dalam Penelitian.............................................. 33Tabel 2. Hasil Skrining Fitokimia terhadap Ekstrak Kering

Rimpang Jeringau Merah (Acorus sp.) ..................................... 41Tabel 3. Hasil Pengamatan Uji Organoleptis pada Sediaan Eliksir

Ekstrak Rimpang Jeringau Merah (Acorus sp.) ........................ 48Tabel 4. Hasil Penentuan Kerapatan Jenis dengan Piknometer .............. 52Tabel 5. Hasil Perhitungan Viskositas dan Standar Deviasi ................... 54Tabel 6. Nilai pH Selama Masa Penyimpanan dan Standar Deviasinya .. 56

Page 12: Skripsi Fix

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Determinasi Tumbuhan ................................................... 64Lampiran 2. Proses Maserasi dan Pemekatan ............................................... 65Lampiran 3. Hasil Skrining Fitokimia dari Ekstrak Rimpang Jeringau

Merah (Acorus sp.) .................................................................. 66Lampiran 4. Pembuatan Eliksir .................................................................... 68Lampiran 5. Uji Stabilitas ........................................................................... 69

Page 13: Skripsi Fix

xii

PENGARUH PENAMBAHAN GLISERIN TERHADAP STABILITAS SEDIAAN ELIKSIR DARI EKSTRAK RIMPANG JERINGAU

MERAH (Acorus sp.)

ABSTRAK

Jeringau merah (Acorus sp.) merupakan salah satu tanaman endemik Kalimantan Barat yang memiliki kandungan kimia yang dapat meningkatkan jumlah trombosit pada penderita demam berdarah. Bagian dari tumbuhan ini yaitu pada bagian rimpangnya memiliki kandungan yang bisa meningkatkan trombosit darah, sehingga cocok menjadi obat alternatif bagi penderita Demam Berdarah Dengue (DBD). Jenis penelitian ini menggunakan penelitian eksperimental meliputi pengumpulan dan pengolahan sampel, pembuatan ekstrak, skrining fitokimia, analisis Kromatografi Lapis Tipis (KLT), formulasi ekstrak rimpangjeringau merah (Acorus sp.) dalam bentuk eliksir, pengamatan terhadap stabilitas sediaannya, serta menentukan formula sediaan eliksir dari ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.) dengan konsentrasi gliserin mana yang stabilitasnya paling baik. Stabilitas fisika yang diamati adalah organoleptis dan viskositas, sedangkan stabilitas kimia yang diamati adalah pH. Sediaan yang memiliki stabilitas fisika paling baik adalah eliksir ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.) dengan konsentrasi gliserin 20%, sedangkan yang memiliki stabilitas kimiapaling baik adalah eliksir ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.) dengan konsentrasi gliserin 40%.

Kata kunci : Jeringau merah, gliserin, stabilitas, eliksir.

Page 14: Skripsi Fix

xiii

THE EFFECT OF GLYCERIN ADDITION ON STABILITY OF ELIXIRPREPARATION FROM RED JERINGAU (Acorus sp.)

RHIZOMES EXTRACT

ABSTRACT

Red jeringau (Acorus sp.) is one of the endemic plants of West Borneo, which contain chemical compounds that can increase trombocyte numbers in patients with dengue fever. Part of this plant that has a content to increase blood platelets is on the rhizome, so it is suitable to be an alternative drug for patients with Dengue Hemorrhagic Fever (DHF). This research used experimental research involving the collection and processing of samples, making extracts, phytochemical screening, analysis of Thin Layer Chromatography (TLC), the formulation of the rhizome extract of red jeringau (Acorus sp.) in the form of elixir, observations on the stability, and determination of the elixir formula from rhizome extract of red jeringau (Acorus sp.) which glycerin concentration has the best stability. The physical stability that observed are including organoleptic and viscosity checking, whereas the chemical stability that observed is pH. Preparation that has the best physical stability is the elixir of red jeringau (Acorus sp.) rhizome extract with 20% glycerin concentration, whereas preparation that has the best chemical stability is the elixir of red jeringau (Acorus sp.) rhizome extract with 40% glycerin concentration.

Keywords : Red Jeringau, glycerin, stability, elixir.

Page 15: Skripsi Fix

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam berdarah (DB) adalah penyakit febril akut yang ditemukan di

daerah tropis, dengan penyebaran geografis yang mirip dengan malaria.

Kalimantan Barat sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia merupakan

salah satu wilayah yang rawan terhadap wabah demam berdarah, bahkan

terjadinya KLB (kejadian luar biasa) dengan banyaknya jumlah pasien rawat inap

penderita demam berdarah melebihi kapasitas rumah sakit yang ada di Kalimantan

Barat, khususnya di wilayah perkotaan. Tahun 2008 dilaporkan terdapat sejumlah

445 pasien penderita demam berdarah, yang tersebar di rumah-rumah sakit

wilayah Kota Pontianak, 8 orang di antaranya meninggal akibat kegagalan

penanganan pasien demam berdarah (Dinkes Provinsi, 2009).

Salah satu tumbuhan endemik Kalimantan Barat yang telah turun temurun

digunakan dalam pengobatan demam berdarah adalah Acorus sp (jeringau merah).

Berdasarkan pengalaman empiris masyarakat Dayak yang tinggal di pedalaman

ngabang yang jauh dari pelayanan kesehatan formal, air rebusan rimpang Acorus

sp dapat menyembuhkan demam berdarah penderita dengan menghilangkan gejala

demam dan pemulihan stamina kekondisi normal.

Jeringau merah (Acorus sp.) merupakan salah satu tanaman endemik

Kalimantan Barat yang memiliki kandungan kimia yang dapat meningkatkan

jumlah trombosit pada penderita demam berdarah. Bagian dari tumbuhan ini yaitu

Page 16: Skripsi Fix

2

pada bagian rimpangnya memiliki kandungan yang bisa meningkatkan trombosit

darah, sehingga cocok menjadi obat alternatif bagi penderita Demam Berdarah

Dengue (DBD). Berdasarkan penelitian terakhir yang telah dilakukan peneliti

(Pratiwi, dkk., 2010) menunjukkan adanya peningkatan jumlah trombosit yang

besar saat marmut diberikan rimpang jeringau dalam bentuk suspensi dengan

dosis 100% dari 100% dosis empiris dan dosis 50% dari 150% dosis empiris.

Sifat kelarutan dari granul rimpang jeringau merah ini yang kurang baik

dalam air (Pratiwi, dkk., 2010). Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan

pemanfaatan ekstrak dari rimpang jeringau merah (Acorus sp.) untuk membuat

sediaan eliksir, yang diambil dari kawasan hutan Sungai Purun Kecil, Kabupaten

Pontianak, Kalimantan Barat. Kemudian dilanjutkan pada tahapan uji stabilitas

fisik dan kimia dari sediaan eliksir ini.

Eliksir adalah larutan hidroalkohol yang jernih dan manis dimaksudkan

untuk penggunaan oral, dan biasanya diberi rasa untuk menambah kelezatan.

Sediaan eliksir dibagi menjadi dua, yaitu eliksir bukan obat yang digunakan

sebagai pembawa dan eliksir obat untuk efek terapi dari senyawa obat yang

dikandungnya. Dibandingkan dengan sirup, eliksir biasanya kurang manis dan

kurang kental karena mengandung kadar gula yang lebih rendah dan akibatnya

kurang efektif dibanding sirup dalam menutupi rasa senyawa obat. Walaupun

demikian, karena sifat hidroalkohol, eliksir lebih mampu mempertahankan

komponen-komponen larutan yang larut dalam air dan yang larut dalam alkohol

daripada sirup. Juga karena stabilitasnya yang khusus dan kemudahan dalam

Page 17: Skripsi Fix

3

pembuatannya (dengan melarutkan biasa), dari sudut pembuatan, eliksir lebih

disukai dari sirup (Ansel, 2005).

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan

rimpang jeringau merah (Acorus sp.) dengan melakukan formulasi sediaan Eliksir

dan pengujian stabilitasnya, sehingga dapat menambah informasi maupun

referensi baru mengenai pengembangan tumbuhan ini sebagai sediaan herbal.

Selain itu, diharapkan pula hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu

solusi terapi bagi penderita demam berdarah.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dari penelitian

ini adalah :

a. Apakah ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.) dapat dijadikan sediaan

eliksir?

b. Bagaimanakah sifat fisik dan stabilitas sediaan eliksir dari ekstrak rimpang

jeringau merah (Acorus sp.)?

c. Berapakah konsentrasi gliserin pada sediaan eliksir dari ekstrak rimpang

jeringau merah (Acorus sp.) yang memberikan stabilitas paling baik?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Membuat formulasi sediaan eliksir dari ekstrak rimpang jeringau merah

(Acorus sp.).

Page 18: Skripsi Fix

4

b. Menjelaskan stabilitas fisik dan kimia sediaan eliksir dari ekstrak rimpang

jeringau merah (Acorus sp.).

c. Menentukan konsentrasi Gliserin pada sediaan eliksir dari ekstrak rimpang

jeringau merah (Acorus sp.) yang memberikan stabilitas paling baik.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :

a. Sebagai bahan referensi untuk pembuatan dan pengujian stabilitas formula

sediaan eliksir ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.).

b. Sebagai solusi untuk mengoptimalkan pemanfaatan rimpang jeringau merah

(Acorus sp.) dalam bidang kesehatan.

c. Sebagai sumber informasi maupun referensi baru mengenai pengembangan

tumbuhan ini sebagai sediaan herbal, khususnya rimpang jeringau merah

(Acorus sp.), bagi masyarakat, pemerintah, industri farmasi, maupun peneliti

lain.

Page 19: Skripsi Fix

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Botani Tumbuhan Jeringau Merah (Acorus sp.)

Jeringau merah merupakan tumbuhan endemik yang tumbuh liar di hutan-

hutan tropis Kalimantan Barat, seperti di hutan kawasan Kabupaten Pontianak.

Jeringau merah merupakan salah satu tumbuhan dari genus Acorus, yang

berdasarkan kekerabatannya dengan A. calamus Linn. memiliki taksonomi yang

sama yaitu (Sistem Klasifikasi APG II, 2003):

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Monocotiledonae

Ordo : Arales

Famili : Acoraceae

Genus : Acorus

Spesies : Acorus sp.

Gambar 1. Bentuk fisik tumbuhan jeringau merah (Acorus sp.)

Page 20: Skripsi Fix

6

Jeringau (Acorus calamus) adalah tumbuhan herba tahunan, tinggi sekitar

75 cm dengan daun bebentuk pita panjang, rimpangnya berbau tajam dan terasa

agak pahit. Minyak atsiri terdapat pada daun dan rimpangnya, seperti eugenol,

asarilaldehida, asaron (alfa dan beta asaron), kalameon, kalamidiol,

isokalamendiol, akorenin, akonin, akroagermakron, akolamonin, isokolamin,

sioburin, isosiobunin, dan epi-siobunin. Selain itu, jeringau (Acarus calamus) juga

mengandung resin, amilum dan tannin, banyak dipergunakan untuk meredakan

radang (Sastroamidjojo, 2001).

Berdasarkan penelitian terakhir yang telah dilakukan peneliti (Pratiwi,

dkk., 2010) menunjukkan adanya peningkatan jumlah trombosit yang besar saat

marmut diberikan rimpang jeringau dalam bentuk suspensi dengan dosis 100%

dari 100% dosis empiris dan dosis 50% dari 150% dosis empiris.

Tetapi penggunaan rimpang ini dianjurkan untuk tidak dalam waktu lama

atau terus menerus, karena dapat menimbulkan efek samping yang tidak

diinginkan. Efek samping tanaman obat dapat digambarkan dalam Acorus

calamus yang biasa digunakan untuk mengobati stress seperti kandungan

senyawa bioaktif asaron yang struktur kimianya mirip golongan amfetamin dan

ekstasi, dapat memberikan efek relaksasi pada otot dan efek sedatif (penenang)

terhadap saraf pusat (Manikandan S, dan Devi RS., 2005). Namun, jika

digunakan dalam dosis tinggi malah memberikan efek sebaliknya, yakni

meningkatkan aktivitas mental (psikoaktif) (Fang Y, dkk, 2003). Di samping itu

asaron dari Acorus calamus juga merupakan senyawa alami yang potensial

Page 21: Skripsi Fix

7

sebagai pemicu timbulnya kanker, apalagi jika tanaman ini digunakan dalam

waktu lama (Abel G, 1987).

2.2 Kandungan Kimia dari Jeringau Merah (Acorus sp.)

Berdasarkan hasil skrining fitokimia yang dilakukan oleh peneliti (Pratiwi,

dkk., 2010) menunjukkan adanya flavonoid dalam rimpang jeringau, yang mampu

menaikkan trombosit darah pada hewan uji. Uji skrining fitokimia ini dilakukan

pada granul rimpang jeringau merah yang dibuat dengan metode granulasi basah.

Selain flavonoid, granul ini juga mengandung senyawa lain yaitu alkaloid,

saponin dan steroid. Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol

yang terbesar ditemukan di alam (Harborne, 2006). Senyawa-senyawa ini

merupakan zat warna merah, ungu, biru dan kuning yang banyak ditemukan

dalam tumbuhan. Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari

15 atom karbon, dimana dua cincin benzen (C6) terikat pada suatu rantai propana

(C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6 (Markham, 1988).

Flavonoid pada umumnya tidak stabil terhadap cahaya, oksidasi dan

perubahan kimia. Apabila teroksidasi strukturnya akan berubah dan fungsinya

sebagai bahan aktif akan berkurang bahkan hilang (Kitao dan Sekine, 1993).

Flavonoid merupakan senyawa polar karena mempunyai sejumlah gugus

hidroksil, sehingga akan larut dalam pelarut polar dan semi polar seperti etanol,

metanol, butanol, aseton, dimetilsulfoksida, dimetilformamida, dan air. Adanya

gula yang terikat pada flavonoid cenderung menyebabkan flavonoid lebih mudah

larut dalam air dan dengan demikian campuran pelarut di atas dengan air

Page 22: Skripsi Fix

8

merupakan pelarut yang lebih baik untuk glikosida. Sebaliknya, aglikon yang

kurang polar seperti isoflavon, flavanon, dan flavon serta flavonol yang

termetoksilasi cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan

kloroform (Markham, 1988). Analisa flavonoid lebih baik dengan memeriksa

aglikon yang terdapat dalam ekstrak tumbuhan yang telah dihidrolisis sebelum

memperhatikan kerumitan glikosida yang ada dalam ekstrak asal (Harborne,

2006).

Flavonoid secara umum telah diketahui memiliki aktivitas sebagai

antibakteri, antiviral, antiinflamasi, antialergi, antimutagenik, antitrombotik,

antioksidan dan aktivitas vasodilatasi (Markham, 1988). Untuk terapi penyakit

demam berdarah flavonoid bekerja dengan 2 mekanisme aksi, yang pertama

dengan cara meningkatkan zat antibodi yang berperan dalam proses peningkatan

sistem imunitas tubuh (imunomodulator), sehingga walaupun virus Dengue ini

menyerang tubuh, virus tetap tidak dapat menekan produksi trombosit pada

sumsum tulang belakang. Mekanisme kedua kedua ialah melalui penghambatan

terhadap enzim pembentuk RNA virus Dengue. Seperti telah diketahui bahwa

RNA merupakan komponen yang berperan penting dalam sintesis protein. Jika

pembentukan RNA virus terganggu, maka virus dapat mati karena tidak

mendapatkan komponen-komponen yang diperlukan untuk pertumbuhannya.

Dengan adanya penghambatan terhadap RNA maka replikasi virus juga akan

terganggu. Adanya penurunan kuantitas dan aktivitas virus dalam tubuh dapat

mengembalikan fungsi sistem tubuh lain untuk membentuk trombosit dalam

jumlah normal sehingga jumlah trombosit akan meningkat (Achmad, 2001).

Page 23: Skripsi Fix

9

Flavonoid dalam rimpang jeringau terdapat dalam bentuk berikatan

dengan gula glikosida. Adanya ikatan dengan gula glikosida ini dapat menjadikan

flavonoid berpotensi sebagai sumber energi dalam pembentukan trombosit. Salah

satu faktor yang mempengaruhi pembentukan trombosit adalah sumber energi.

Energi untuk reaksi trombosit berasal dari fosforilasi oksidatif dalam mitokondria

dan glikolisis anaerobik dengan memakai glikogen trombosit. Oleh sebab itu,

keberadaan gula glikosida disini akan sangat membantu dalam produksi trombosit

(Achmad, 2001).

2.3 Simplisia dan Ekstrak

2.3.1 Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang

belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa

bahan lain yang telah dikeringkan (Depkes RI, 2000).

Simplisia dibedakan simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia

pelican (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh,

bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan ialah isi sel yang

secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu

dikeluarkan dari selnya, atau senyawa nabati lainnya yang dengan cara tertentu

dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia murni (Depkes

RI, 2000).

Simplisia nabati secara umum merupakan produk hasil pertanian

tumbuhan obat setelah melalui proses pasca panen dan proses preparasi sacara

Page 24: Skripsi Fix

10

sederhana menjadi bentuk produk kefarmasian yang siap dipakai atau siap

diproses selanjutnya (Depkes RI, 2000).

Simplisia sebagai produk hasil pertanian atau pengumpulan tumbuhan liar

(wild crop) tentu saja kandungan kimianya tidak dapat dijamin selalu ajeg

(konstan) karena disadari adanya variabel bibit, tempat tumbuh, iklim, kondisi

(umur dan cara) panen, serta proses pasca panen dan preparasi akhir. Walaupun

ada juga pendapat bahwa variabel tersebut tidak besar akibatnya pada mutu

ekstrak nantinya dan dapat dikompensasi dengan penambahan/pengurangan bahan

setelah sedikit prosedur analisis kimia dan sentuhan inovasi teknologi farmasi

lanjutan sehingga tidak bardampak banyak pada khasiat produknya. Usaha untuk

mengajegkan variable tersebut dapat dianggap sebagai usaha untuk menjaga

keajegan mutu simplisia (Depkes RI, 2000).

Variasi senyawa kandungan dalam produk hasil panen tumbuhan obat (in

vivo) disebabkan aspek seperti Genetic (bibit), Lingkungan (tempat tumbuh,

iklim), Rekayasa agronomi (fertilizer, perlakuan selama masa tumbuh), Panen

(waktu dan pasca panen) (Depkes RI, 2000).

Besarnya variasi senyawa kandungan meliputi baik jenis ataupun

kadarnya, sehingga timbul jenis (species) lain yang disebut kultivar. Namun

sebaliknya bahwa kondisi dimana variabel tersebut menghasilkan produk yang

optimal atau bahkan unggulan secara kimia maka dikenal obsesi adanya bibit

unggul dan produk unggulan serta daerah sentra agrobisnis, dimana tumbuhan

obat unggulan tersebut ditanam (Depkes RI, 2000).

Page 25: Skripsi Fix

11

Proses pemanenan dan preparasi simplisia merupakan proses yang dapat

menentuikan simplisia dalam berbagai artian, yaitu komposisi senyawa

kandungan, kontaminasi dan stabilitas bahan. Namun demikian simplisia sebagai

produk olahan, variasi senyawa kandungan dapat diperkecil, diatur atau diajegkan.

Hal ini karena penerapan (aplikasi) iptek pertanian pasca panen yang terstandar

(Depkes RI, 2000).

Standarisasi simplisia mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan

digunakan untuk obat sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan yang

tercantum dalam monografi terbitan resmi Departemen Kesehatan (Materia

Medika Indonesia). Sedangkan sebagai produk yang langsung dikonsumsi (serbuk

jamu dan sebagainya ) masih harus memenuhi persyaratan produk kefarmasian

sesuai dengan peraturan yang berlaku (Depkes RI, 2000).

2.3.2 Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi

senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menghunakan pelarut

yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan mssa atau

serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah

ditetapkan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat

secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan

pengurangan tekanan, agar bahan sesedikit mungkin terkena panas (Depkes RI,

2000).

Page 26: Skripsi Fix

12

Ekstrak cair adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengandung etanol

sebagai pelarut atau sebagai pengawet. Jika tidak dinyatakan lain pada masing-

masing monografi tiap mL ekstrak mengandung senyawa aktif dari 1 gram

simplisia yang memenuhi syarat. Ekstrak cair yang cenderung membentuk

endapan dapat didiamkan dan disaring atau bagian yang bening die nap tuangkan

(dekantasi). Beningan yang diperoleh memenuhi persyaratan Farmakope. Ekstrak

cair dapat dibuat dari ekstrak yang sesuai (Depkes RI, 2000).

Ekstrak tumbuhan obat yang dibuat dari simplisia nabati dapat dipandang

sebagai bahn awal, bahan antara atau bahan produk jadi. Ekstrak sebagai bahan

awal dianalogkan dengan komoditi bahan baku obat yang dengan teknologi

fitofarmasi diproses menjadi produk jadi. Ekstrak sebagai bahan antara berarti

mash menjadi bahan yang dapat diproses lagi menjadi fraksi-fraksi, isolat

senyawa tunggal ataupun tetap sebagai campuran dengan ekstrak lain. Ekstrak

sebagai produk jadi berarti ekstrak yang berada dalam sediaan obat jadi siap

digunakan oleh penderita (Depkes RI, 2000).

Terpenuhinya standar mutu produk/bahan ekstrak tidak terlepas dari

pengendalian proses, artinya bahwa proses yang terstandar dapat menjamin

produk terstandar. Inilah hal yang sementara ini banyak dilakukan, yaitu dengan

bahan baku terstandar dan proses yang terkendali/terstandar, maka akan diperoleh

produk/bahan ekstrak terstandar tanpa penerapan pengujian atau pemeriksaan.

Namun hal ini tidak dapat dibiarkan untuk masa depan era globalisasi. Pengujian

atau pemeriksaan persyaratan parameter standar umum ekstrak mutlak harus

Page 27: Skripsi Fix

13

dilakukan dengan berpegang pada manajemen pengendalian mutu eksternal oleh

badan formal atau/dan badan independen (Depkes RI, 2000).

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap mutu ekstrak adalah (Depkes RI,

2000) :

2.3.2.1 Faktor Biologi

Mutu ekstrak dipengaruhi oleh bahan asal yaitu tumbuhan obatnya dan

khusus dipandang dari segi biologi, baik untuk bahan dari tumbuhan obat hasil

budidaya (kultivar) ataupun dari tumbuhan liar (wild crop) yang meliputi

beberapa hal yaitu identitas jenis (spesies), lokasi tumbuhan asal, periode

pemanenan hasil tumbuhan, penyimpanan bahan tumbuhan, Umur tumbuhan dan

bagian yang digunakan.

Selain 5 faktor tersebut, maka untuk bahan dari tumbuhan obat hasil

budidaya (kultivar) ada lagi factor GAP (Good Agriculture Practice) sedangkan

untuk bahan dari tumbuhan liar (wild crop) ada faktor kondisi proses pengeringan

yang umumnya dilakukan di lapangan.

2.3.2.2 Faktor Kimia

Mutu ekstrak dipengaruhi oleh bahan asal yaitu tumbuhan obatnya,

khususnya dipandang dari segi kandungan kimianya. Faktor kimia, baik untuk

bahan dari tumbuhan obat hasil budidaya (kultivar) ataupun dari tumbuhan liar

(wild crop),meliputi beberapa hal, yaitu faktor internal yang mencakup Jenis

senyawa aktif dalam bahan, komposisi kualitatif senyawa aktif, komposisi

kuantitatif senyawa aktif, kadar total rata-rata senyawa aktif dan faktor eksternal

Page 28: Skripsi Fix

14

yang mencakup metode ekstraksi, perbandingan ukuran alat ekstraksi (diameter

dan tinggi alat), ukuran, kekerasan dan kekeringan bahan, pelarut yang digunakan

dalam ekstraksi, kandungan logam berat, kandungan pestisida.

2.4 Teknologi Ekstraksi

2.4.1 Metode Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Ekstrak

adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstrak senyawa aktif dari

simplisia nabati atau simplisia hewani mengggunakan pelarut yang sesuai,

kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang

tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan

(Ditjen POM, 2000).

Ada beberapa cara metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Depkes

RI, 2000), yaitu:

1. Cara Dingin

a. Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada

temperature ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan

prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi

kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus).

Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah

dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya. Metode maserasi

Page 29: Skripsi Fix

15

ini sangat menguntungkan dalam mengisolasi senyawa bahan alam karena

dengan perendaman sampel tumbuhan akan terjadi pemecahan dinding dan

membran sel akibat perbedaan konsentrasi larutan di dalam dan di luar sel

sehingga senyawa metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan

terlarut dalam pelarut organik. Metode ini juga sangat menguntungkan

untuk senyawa-senyawa yang tidak tahan terhadap pemanasan serta

tergolong murah dan sederhana. Kelemahan dari metode ini adalah waktu

ekstraksinya yang cukup lama dan membutuhkan pelarut dalam jumlah

besar.

b. Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada

temperature ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan,

tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya

(penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus sampai diperoleh ekstrak

(perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

2. Cara Panas

a. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperature titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan

dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses

pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses

ekstraksi yang sempurna.

Page 30: Skripsi Fix

16

b. Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu

dengan jumlah pelarut relative konstan dengan adanya pendingin balik .

c. Digesti adalah maserasi kinetik (dengtan pengadukan kontinu) pada

temperature yang lebih tinggi dari temperature ruangan (kamar), yaitu

secara umum dilakukan pada temperature 40-50�C.

d. Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperature penangas air

(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperature terukur

96-98�C) selama waktu tertentu (15-20 menit).

e. Dekok adalah infuse pada waktu yang lebih lama (≥30�C) dan temperature

sampai titik didih air.

2.4.2 Cairan Pelarut

Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik

(optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan

demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa

kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa

kandungan yang diinginkan. Dalam hal ekstrak total, maka cairan pelarut dipilih

yang melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung (Depkes RI,

2000).

Faktor utama untuk pertimbangan pada pemilihan cairan penyari adalah

selektivitas, kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut, ekonomis,

ramah lingkungan, keamanan (Depkes RI, 2000).

Page 31: Skripsi Fix

17

Kebijakan dan peraturan pemerintah dalam hal ini juga ikut membatasi

cairan pelarut apa yang diperbolehkan dan mana yang dilarang. Pada prinsipnya

cairan pelarut harus memenuhi syarat kefarmasian atau dalam perdagangan

dikenal dengan kelompok spesifikasi pharmaceutical grade. Sampai saat ini

berlaku aturan bahwa pelarut yang diperbolehkan adalah air dan alkohol (etanol)

serta campurannya. Jenis pelarut lain seperti metanol dan lain-lain (alkohol dan

turunannya), heksana dan lain-lain (hidrokarbon alifatik), toluen dan lain-lain

(hidrokarbon aromatik), kloroform (dan segolongannya), aseton, umumnya

digunakan sebagai pelarut untuk tahap separasi dan tahap pemurnian (fraksinasi).

Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol karena dapat

melarutkan senyawa metabolit sekunder yang akan diambil dalam rimpang

jeringau merah (Acorus sp.), selain itu alasan tidak digunakannya metanol adalah

karena sifatnya yang toksik akut dan kronik, namun demikian jika dalam uji ada

sisa pelarut dalam ekstrak menunjukkan negatif, maka metanol sebenarnya pelarut

yang lebih baik dari etanol (Depkes RI, 2000).

2.5 Sediaan Eliksir

Bila dibandingkan dengan sirup, eliksir biasanya kurang manis dan kurang

kental, karena mengandung gula lebih sedikit maka kurang efektif dibandingkan

dengan sirup dalam menutupi rasa obat yang kurang menyenangkan. Karena

eliksir bersifat hidroalkohol, maka dapat menjaga stabilitas obat baik yang larut

dalam air maupun alkohol dalam larutan eliksir. Disamping itu eliksir mudah

dibuat larutan eliksir, maka itu eliksir lebih disukai dibanding sirup. Banyaknya

Page 32: Skripsi Fix

18

jumlah etanol yang ada di dalam eliksir berbeda sekali. Kadar etanol yang rendah

adalah 3% dan yang tertinggi dapat sampai 44%. Biasanya eliksir mengandung

antara 5-10% etanol (Anief, 2005). Pemanis yang digunakan biasanya gula atau

sirup gula, tapi kadang-kadang digunakan sorbitol, glycerinum dan saccharinum

(terbatas).

Perbandingan alkohol yang ada pada eliksir sangat berbeda karena masing-

masing komponen eliksir mempunyai sifat kelarutan dalam alkohol dan air yang

berbeda. Tiap eliksir memerlukan campuran tertentu dari alkohol dan air untuk

mempertahankan semua komponen dalam larutan. Tentu saja, untuk eliksir-eliksir

ini mengandung zat yang kelarutannya dalam air jelek, banyaknya alkohol yang

dibutuhkan lebih besar daripada eliksir yang dibuat dari komponen-komponen

yang kelarutannya dalam air. Disamping alkohol dan air, pelarut-pelarut lain

seperti gliserin dan propilen glikol, sering digunakan dalam eliksir sebagai pelarut

pembantu (Ansel, 2005).

Eliksir yang biasanya dimaniskan dengan sukrosa atau sirup sukrosa,

beberapa menggunakan sorbitol, gliserin dan/ atau pemanis buatan seperti sakarin

untuk tujuan ini. Eliksir yang mempunyai kadar alkohol yang tinggi biasanya

menggunakan pemanis buatan seperti sakarin, yang dibutuhkan hanya dalam

jumlah kecil, daripada sukrosa yang hanya sedikit larut dalam alkohol dan

membutuhkan jumlah yang lebih besar untuk kemanisan yang sama (Ansel,

2005).

Semua eliksir mengandung bahan pemberi rasa untuk menambah kelezatan

dan hampir semua eliksir mempunyai zat pewarna untuk meningkatkan

Page 33: Skripsi Fix

19

penampilannya. Eliksir yang mengandung alkohol lebih dari 10 – 12%, biasanya

bersifat sebagai pengawet sendiri dan tidak membutuhkan penambahan zat

antimikroba untuk pengawetannya (Ansel, 2005).

Eliksir obat diformulasi sedemikian rupa sehingga pasien menerima obat

dengan dosis lazim untuk dewasa dalam ukuran eliksir yang tepat. Untuk sebagian

terbesar eliksir, satu atau dua sendok teh penuh (5 atau 10 ml) pemberian obat

dengan dosis lazim dewasa. Satu keuntungan eliksir lebih dari obat yang dalam

bentuk pemberian padat adalah kemudahan penyesuaian dan kemudahan

pemberian dosis, terutama pada anak-anak. Orang tua dapat memberi setengah

sendok teh penuh obat, sebagai contoh, untuk anak yang memperoleh kemudahan

yang lebih besar daripada yang didapat dengan memecah tablet obat yang sama

atau memisahkan dan dibagi dalam kapsul obat. Pada keadaan dimana eliksir obat

dimaksudkan untuk anak-anak, wadah diperdagangkan sering mengandung alat

pengukur yang telah dikalibrasi, seperti tetesan atau sendok, untuk memudahkan

orang tua mengukur obat dengan tepat dengan jumlah yang dianjurkan sesuai

umur anak, berat, atau kondisinya (Ansel, 2005).

Eliksir mengandung alkohol dan biasanya juga mengandung beberapa

minyak mudah menguap yang rusak oleh adanya udara dan sinar, maka paling

baik disimpan baik disimpan dalam wadah-wadah yang tertutup rapat, tahan

cahaya untuk menjaga terhadap temperatur yang berlebihan (Ansel, 2005).

Page 34: Skripsi Fix

20

2.5.1 Pembuatan Eliksir

Eliksir biasanya dibuat dengan larutan sederhana dengan pengadukan dan

atau dengan pencampuran dua atau lebih bahan-bahan cair. Komponen yang larut

dalam alkohol dan air umumnya dilarutkan terpisah dalam alkohol dan air yang

dimurnikan berturut-turut. Kemudian larutan air ditambahkan ke larutan alkohol,

dan sebaliknya, untuk mempertahankan kekuatan alkohol yang setinggi mungkin

selamanya sehingga pemisahan yang minimal dari komponen yang larut dalam

alkohol terjadi. Bila dua larutan selesai dicampur, campuran dibuat sesuai volume

dengan pelarut atau pembawa tertentu. Sering campuran akhir akan tidak jernih,

tetapi keruh, terutama karena pemisahan beberapa minyak pemberi rasa dengan

menurunnya konsentrasi alkohol. Bila ini terjadi, eliksir biasanya dibolehkan

untuk dibiarkan selama beberapa jam yang ditentukan untuk menjamin

penjenuhan pelarut hidroalkohol dan untuk memungkinkan butiran minyak

bergabung sehingga dapat dihilangkan dengan lebih mudah dengan disaring

(Ansel, 2005).

Talk merupakan filter yang sering digunakan membantu dalam pembuatan

eliksir, mempunyai kemampuan mengabsorbsi kelebihan minyak-minyak dan

karena itu membantu menghilangkannya dari larutan. Keseksamaan harus

dilakukan untuk tidak menggunakan penolong saringan dalam jumlah berlebihan,

seperti kelebihan yang mungkin dihasilkan dalam membuang minyak dan

pewarna yang berlebihan dari larutan dan juga dalam peningkatan waktu

penyaringan yang dibutuhkan untuk mendapatkan kejernihan (Ansel, 2005).

Page 35: Skripsi Fix

21

Harus diingat bahwa kadar alkohol tiap eliksir besar kepentingannya untuk

kelarutan seterusnya dari bahan-bahan, dan karena itu selama proses penyaringan,

kertas saring harus dibasahi dengan larutan hidroalkohol yang mempunyai kadar

alkohol yang sama dengan larutan alkohol atau harus digunakan yang kering.

Adanya gliserin, sirup, sorbitol, dan propilen glikol dalam eliksir umumnya

memberi andil pada efek pelarut dari pembawa hidroalkohol, membantu kelarutan

zat terlarut, dan meningkatkan kestabilan sediaan. Akan tetapi adanya bahan-

bahan ini menambah kekentalan eliksir dan memperlambat kecepatan penyaringan

(Ansel, 2005).

2.6 Bahan-Bahan Dalam Formulasi Eliksir

2.6.1 Gliserin

Secara umum gliserin berfungsi antara lain sebagai pengawet antibakteri,

emolien, humektan (pelembab), plasticizer, pelarut, pemanis, bahan tonisitas.

Gliserin (C3H5(OH)3) atau 1,2,3-propatrienol merupakan cairan seperti sirup,

jernih, tidak berwarna, tidak berbau, manis yang diikuti rasa hangat, dan

higroskopik. Gliserin larut dalam air, etanol (95%) P, praktis tidak larut dalam

kloroform, eter, dan dalam minyak lemak. Gliserin bersifat higroskopis, gliserin

murni tidak mudah teroksidasi oleh udara dalam penyimpanan biasa tetapi

terdekomposisi oleh pemanasan, dengan perkembangan racun acrolein. Gliserin

terkristalisasi jika disimpan pada suhu rendah dapat memadat membentuk massa

hablur tidak berwarna yang tidak melebur hingga suhu mencapai lebih kurang

Page 36: Skripsi Fix

22

20ºC. Gliserin harus disimpan pada container yang bebas udara, pada tempat yang

dingin dan kering (Depkes RI,1979).

Aplikasi dalam formulasi sediaan atau teknologi, gliserin digunakan secara

luas dalam formulasi farmasetis mencakup oral, OTIC, Ophtalmic, topikal, dan

preparasi parenteral. Dalam formulasi farmasetis topikal dan kosmetik, gliserin

terutama digunakan sebagai humektan dan emolien. Dalam formulasi parenteral,

gliserin digunakan terutama sebagai pelarut, Dalam larutan oral, gliserin

digunakan sebagai pelarut, pemanis, pengawet antibakteri, dan penambah

viskositas. Gliserin juga digunakan sebagai plasticizer dari gelatin dalam produksi

kapsul gelatin dan suppositoria gelatin dan di dalam salut film, formulasi topikal

seperti krim dan emulsi. Gelatin digunakan sebagai bahan terapeutis dalam

berbagai aplikasi klinis, dan juga digunakan sebagai zat tambahan makanan

(Rowe, dkk, 2006).

2.6.2 Etanol

Berfungsi sebagai antibakteri, Etanol atau biasa disebut alkohol adalah

campuran etilalkohol dan air. Mengandung tidak kurang dari 94,7% v/v atau

92,0% dan tidak lebih dari 95,2% v/v atau 92,7 % C2H60. Cairan ini tidak

berwarna, jernih, mudah menguap dan mudah bergerak memiliki bau khas dan

rasa panas. Etanol juga mudah terbakar dengan memberikan nyala biru yang tidak

berasap. Etanol sangat mudah larut dalam air, kloroform dan eter (Depkes RI,

1979).

Page 37: Skripsi Fix

23

2.6.3 Metil Paraben

Metil paraben mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari

101,0% C8H8O3. Metil paraben merupakan serbuk hablur halus, putih, hampir

tidak berbau, tidak mempunyai rasa, kemudian agak membakar diikuti rasa tebal

Metil paraben larut dalam 500 bagian air, dalam 20 bagian air mendidih, dalam

3,5 bagian etanol 95% dan dalam 60 bagian gliserol (Depkes RI, 1979).

Fungsi metil paraben adalah sebagai pengawet antibakteri. Aplikasi dan

formulasi sediaan atau teknologi metil paraben secara luas digunakan sebagai

pengawet antimikroba dalam kosmetik, produk makanan dan formulasi sediaan.

Dapat juga digunakan secara tunggal atau dalam kombinasi dengan paraben lain

atau antimikroba lainnya. Dalam kosmetik, metil paraben merupakan pengawet

antibakteri yang sering digunakan (Rowe, dkk, 2006).

Paraben efektif dalam rentang pH yang besar dan merupakan antimikroba

spektrum luas, walaupun zat tersebut paling efektif melawan ragi dan jamur.

Aktivitas antibakterinya meningkat sebagai rantai panjang alkil moiety

ditingkatkan (Rowe, dkk, 2006).

2.7 Stabilitas Eliksir

Permasalahan tentang stabilitas sediaan obat semakin berkembang dari

waktu ke waktu. Hal ini lebih banyak disebabkan semakin berkembangnya

produksi obat modern yang sangat aktif dimana pada umumnya seringkali tidak

stabil, serta permasalahan dalam penyimpanan produk untuk menjamin

Page 38: Skripsi Fix

24

penyimpanan yang baik dengan memperhatikan kondisi yang berkenaan dengan

stabilitas.

Stabilitas Obat merupakan kemampuan suatu produk obat untuk

mempertahankan sifat dan karakteristiknya agar sama dengan yang dimilikinya

pada saat baru dibuat (identitas, kekuatan, kualitas, kemurnian) dalam batasan

yang ditetapkan selama periode penyimpanan (Shelf-Life). Sebelum beredar

dipasaran, suatu sediaan obat harus memiliki stabilitas fisika dan kimia yang baik

selama masa penyimpanan. Hal ini dikarenakan stabilitas ini sangat

mempengaruhi kenyamanan penggunaan, efektivitas dan tingkat keamanan

(toksisitas) dari suatu sediaan obat.

2.7.1 Stabilitas fisik

Meskipun banyak sekali laporan kepustakaan yang berhubungan dengan

pengujian stabilitas kimia zat berkhasiat dalam sediaan farmasi, sangat jarang

laporan mengenai pengujian stabilitas fisik. Dari segi farmasi maupun

pengobatan, perubahan fisik sediaan pada penyimpanan dapat separah atau

kadang-kadang lebih parah daripada ketidakstabilan kimia bahan berkhasiat.

Contoh perubahan fisik yang dapat terjadi adalah pertumbuhan hablur, perubahan

bentuk hablur, bertambah atau berkurangnya laju disolusi dan waktu disintegrasi,

pudarnya warna, pembentukan warna, dan pembentukan endapan atau kabut

dalam larutan (Lachman, 2008).

Page 39: Skripsi Fix

25

2.7.2 Stabilitas kimiawi

Informasi yang disajikan sampai saat ini menggambarkan kemungkinan

penggunaan prinsip kinetik kimia untuk meneliti peruraian suatu obat berkhasiat

dalam larutan secara teliti, maupun untuk menentukan mekanisme peruraiannya.

Situasi yang lebih rumit timbul bila yang ingin diteliti adalah stabilitas satu obat

atau lebih dalam bentuk sediaan farmasi cair. Karena keragaman bahan dalam

kebanyakan formulasi farmasi, ada kemungkinan terjadi interaksi, ataupun tiap

bahan mempunyai karakteristik peruraian yang berbeda. Keadaan idealnya berupa

penelitian pola peruraian tiap bahan dalam campuran secara tersendiri. Tentu saja

hal ini sulit dicapai, makan waktu, dan mahal. Untungnya tidak perlu ditentukan

mekanisme peruraian untuk maksud peramalan stabilitas. Secara umum, stabilitas

tiap komponen dalam sediaan farmasi dapat dinilai melalui penetapan suatu sifat

atau gejala peruraian sebagai fungsi waktu. Bila fungsi ini dapat dibuat linear

menurut orde reaksi kinetik kimia, ketergantungan peruraian pada temperatur

dapat diperoleh. Informasi jenis ini, yang diperoleh pada kondisi pengujian yang

dilebih-lebihkan selama jangka waktu singkat, memungkinkan penetapan

stabilitas kimia suatu bahan berkhasiat, zat pewarna, dan pengawet antimikroba

untuk penyimpanan selama jangka waktu yang lebih lama (Lachman, 2008).

pH adalah suatu ukuran keasaman suatu air (larutan). Pengertian pH dalam

aplikasinya berbeda-beda. Di dalam sistem yang sering digunakan ( NBS sistem,

NBS = National Bureau of Standards), pH digambarkan dalam persamaan pH = -

log aH, dimana aH adalah aktivitas ion hidrogen dalam suatu larutan. Laju reaksi

dalam larutan berair sangat mudah dipengaruhi oleh pH sebagai akibat adanya

Page 40: Skripsi Fix

26

proses katalis. Untuk mengetahui pengaruh pH, maka faktor-faktor lainnya yang

berpengaruh seperti suhu, kekuatan ionik, dan komposisi pelarut harus dibuat

tetap (Connors, dkk,1986). Pengaruh pH dapat diketahui dari bentuk profil pH

laju degradasi dari hubungan antara pH dan log K tanpa pengaruh dapar.

Dari profil tersebut dapat diketahui pH yang stabil, katalisis reaksi dan

persamaan laju reaksi hipotetiknya yang memberikan informasi praktis stabilitas

suatu obat (Connors, dkk,1986). Tiga bentuk profil pH laju degradasi yang

dikenal yaitu bentuk V, bentuk sigmoid (S), dan bentuk parabola (bell shape) atau

kombinasi dari bentuk tersebut. Bentuk profil yang dihasilkan tergantung pada

sifat-sifat zat dan reaksi yang terjadi. Profil V terjadi bila obat bersifat tak

terionkan, profil S terjadi bila obat mengalami disosiasi asam basa satu kali,

sedangkan profil bentuk parabola terjadi bila asam basa mengalami disosiasi dua

kali (Connors, dkk,1986).

2.8 Landasan Teori

Skripsi ini berlandaskan hasil penelitian yang dilakukan oleh Asih Pratiwi

dkk dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan Universitas Tanjungpura

Pontianak yang berjudul “Pengembangan Jeringau Merah (Acorus sp.) Endemik

Kalimantan Barat sebagai Herbal Terstandar untuk Meningkatkan Trombosit pada

Pasien Demam Berdarah” pada Maret - Juni 2010. Dari hasil penelitian yang

dilakukan didapatkan bahwa adanya peningkatan jumlah trombosit yang besar

saat marmut diberikan rimpang jeringau dalam bentuk suspensi dengan dosis

100% dari 100% dosis empiris dan dosis 50% dari 150% dosis empiris. Namun

Page 41: Skripsi Fix

27

stabilitas sediaan suspensinya kurang baik, selain itu sifat kelarutan dari granul

rimpang jeringau merah ini yang kurang baik juga dalam air. Oleh karena itu,

pada penelitian ini dilakukan pemanfaatan ekstrak dari rimpang jeringau merah

(Acorus sp.) untuk membuat sediaan eliksir.

2.9 Hipotesis

Ekstrak rimpang jeringau merah asal hutan kawasan Sungai Purun Kecil,

Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat dapat dijadikan sediaan eliksir dengan

stabilitas fisika dan kimia yang baik.

Page 42: Skripsi Fix

28

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian eksperimental meliputi

pengumpulan dan pengolahan sampel, pembuatan ekstrak, skrining fitokimia,

Analisis Kromatografi Lapis Tipis (KLT), formulasi ekstrak rimpang jeringau

merah (Acorus sp.) dalam bentuk eliksir, pengamatan terhadap stabilitas

sediaannya, serta menentukan formula sediaan eliksir dari ekstrak rimpang

jeringau merah (Acorus sp.) yang paling baik stabilitasnya.

3.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan meliputi botol gelap, bejana ekstraksi, neraca

analitik (Tecstar), piknometer, pipet ukur (Pyrex), beaker glass (Pyrex), gelas

ukur (Pyrex), gelas crusibel, erlenmeyer (Pyrex), batang pengaduk, viscometer

Ostwald, pHmeter, rotari evaporator (Heidolph), hot plate, silika gel GF254, pipa

kapiler, penangas air, tabung reaksi (Pyrex), ball filler, gelas chamber, dan

corong.

3.2 Bahan-bahan

3.2.1 Sampel Penelitian

Sampel yang digunakan adalah rimpang jeringau merah (Acorus sp.) yang

diperoleh dari kawasan hutan Sungai Purun Kecil, Kabupaten Pontianak,

Kalimantan Barat.

Page 43: Skripsi Fix

29

3.2.2 Bahan Pembanding

Sediaan eliksir “BT” yang berasal dari ekstrak tanaman dan sudah beredar

dipasaran.

3.2.3 Bahan Kimia

Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk formulasi adalah bahan pelarut

organik berupa etanol p.a., bahan kosolven dan pemanis berupa gliserin, bahan

pengawet berupa metil paraben, dan bahan pelarut berupa aquadest. Sedangkan

bahan-bahan kimia untuk skrining fitokimia adalah larutan basa amonia 1%,

kloroform, HCl 2 N� larutan gelatin 1% (1:1), amil alkohol, serbuk Mg, eter,

pereaksi Lieberman-Burchard, pereaksi Mayer, dan pereaksi Dragendorf.

3.3 Determinasi Sampel

Tanaman yang digunakan pada penelitian ini diideterminasi di

Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA)

Universitas Tanjungpura Pontianak.

3.4 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan dari bulan Juli 2011 sampai Agustus

2011, bertempat di Laboratorium Teknologi Sediaan Farmasi Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan Universitas Tanjungpura, Pontianak.

Page 44: Skripsi Fix

30

3.5. Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang Jeringau

Merah (Acorus sp.) yang diambil di wilayah hutan kawasan Sungai Purun Kecil,

Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Sampel yang diambil adalah yang

rimpangnya telah berwarna merah yaitu yang kira-kira sudah berusia 1 tahun.

3.6 Preparasi Sampel

Sampel rimpang jeringau merah (Acorus sp.) terlebih dahulu dibuang sisa

tanah dan akarnya, dicuci hingga bersih, kemudian dirajang tipis dan

dikeringanginkan.

3.7 Ekstraksi Rimpang Jeringau Merah (Acorus sp.)

Sebanyak 2 kg sampel jeringau merah (Acorus sp.) yang telah dihaluskan

dimaserasi dengan pelarut etanol sebanyak 5,5 liter. Maserasi dilakukan selama 3

x 24 jam pada suhu kamar dimana setiap 6 jam dilakukan pengadukan. Setiap 24

jam, ekstrak disaring dan ditampung maseratnya. Residu yang diperoleh

dimaserasi kembali dengan pelarut yang sama. Selanjutnya semua filtrat

dikumpulkan dan dipekatkan dengan rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak

kering.

3.8 Pengukuran Susut Pengeringan

Gelas crusibel kosong ditimbang, lalu panaskan gelas crusibel dalam oven

pada suhu 105ºc selama 30 menit, didinginkan 15 menit di dalam wadah kedap

Page 45: Skripsi Fix

31

udara dan timbang kembali berat gelas crusibelnya. Selanjutnya ekstrak ditimbang

sebanyak 1,8215 gr di dalam gelas crusibel yang telah dipanaskan dan ditara.

Tutup gelas crusibel, panaskan selama 30 menit di dalam oven pada suhu 105ºc,

didinginkan 15 menit di dalam wadah kedap udara dan timbang kembali gelas

crusibel yang telah berisi ekstrak. Perlakuan ini diduplo dan diulangi 2 kali untuk

mendapatkan bobot tetapnya.

3.9 Skrining Fitokimia

3.9.1 Pemeriksaan Alkaloid

Ekstrak ditambahkan dengan larutan basa amonia 1% dan kloroform di

dalam tabung reaksi, dikocok, kemudian lapisan kloroform (lapisan bawah)

dipipet dan ditambahkan HCl 2 N lalu dikocok. Larutan yang didapat dibagi tiga,

yaitu sebagai blangko, dan sisanya direaksikan masing-masing dengan pereaksi

Mayer dan Dragendorf. Hasil positif yaitu campuran dengan pereaksi Mayer

menimbulkan endapan putih dan campuran dengan pereaksi Dragendorf

menimbulkan kekeruhan dan endapan berwarna jingga (Soebagio, 2007).

3.9.2 Pemeriksaan Minyak Atsiri

Ekstrak diuapkan sampai kering, kemudian ditambah alkohol dan

diuapkan lagi hingga kering. Jika berbau aromatis yang spesifik dapat

disimpulkan bahwa simplisia mengandung minyak atsiri (Harborne, 2006).

Page 46: Skripsi Fix

32

3.9.3 Pemeriksaan Tanin

Ekstrak di dalam tabung reaksi dilarutkan dengan sedikit aquadest

kemudian dipanaskan di atas penangas air lalu diteteskan dengan larutan gelatin

1% (1:1). Hasil positifnya yaitu terbentuknya endapan putih (Soebagio, 2007).

3.8.4 Pemeriksaan Flavonoid

Ekstrak ditambahkan dengan serbuk Mg dan HCl 2N kemudian

dipanaskan di atas penangas air. Setelah itu ditambahkan dengan amil alkohol,

dikocok hingga tercampur rata. Hasil positifnya adalah tertariknya warna kuning-

merah pada lapisan alkohol (Soebagio, 2007).

3.9.5 Pemeriksaan Steroid dan Triterpenoid

Ekstrak ditambahkan dengan eter lalu dikocok. Lapisan eter diambil dan

diuapkan dengan cawan penguap di atas penangas air. Filtrat yang didapat

ditambahkan dengan pereaksi Lieberman-Burchard. Hasil positif untuk senyawa

steroid ialah timbulnya warna hijau sedangkan untuk senyawa triterpenoid hasil

positif ditandai dengan munculnya warna ungu (Soebagio, 2007).

3.9.6 Pemeriksaan Saponin

Ekstrak dilarutkan dengan aquadest lalu dipanaskan di atas penangas air.

Setelah dingin, larutan dalam tabung reaksi dikocok kuat-kuat selama ±30 detik.

Hasil positif yaitu terbentuknya busa yang konsisten selama beberapa menit

dengan penambahan 1 tetes HCl encer masih terbentuk busa (Soebagio, 2007).

Page 47: Skripsi Fix

33

3.10 Analisis Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Senyawa Flavonoid

Dibuat fase gerak kloroform-etil asetat (6:4) sebanyak 10 ml dimasukkan

dalam chamber, dibiarkan sampai jenuh. Ekstrak selanjutnya dipartisi dengan 150

ml etil asetat dan 150 ml air di dalam corong pisah. Hasil partisi ini kemudian

ditotolkan kira-kira 5 Äl bersama ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.)

yang telah dilarutkan dengan etanol pada plat KLT GF254, lalu dimasukkan ke

dalam chamber dan dielusi sampai tanda. Ekstrak mengandung flavonoid bebas

bila dilihat di bawah sinar UV 365 nm berfluoresensi hijau atau berwarna biru.

Untuk mempertegas bercak noda yang terbentuk, plat KLT kemudian

ditambahkan uap amoniak pekat.

3.11 Pembuatan Eliksir Ekstrak Rimpang Jeringau Merah (Acorus sp.)

Tabel 1. Formula Eliksir dalam Penelitian

Bahan F1 F2 F3

Ekstrak Kering Rimpang

Jeringau Merah

0,12 % 0,12 % 0,12 %

Etanol p.a. 5% 5% 5%Metil Paraben 0,20% 0,20% 0,20%Gliserin 20% 40% 60%Aquadest ad 100 ml 100 ml 100 ml

Cara Pembuatan : Kalibrasi botol yang akan digunakan sebagai wadah eliksir.

Kemudian timbang bahan-bahan yang akan digunakan sesuai dengan formulasi

pada tabel di atas. Selanjutnya larutkan ekstrak rimpang jeringau merah dalam

etanol p.a. Pada tempat terpisah, larutkan metil paraben dalam air panas. Lalu

campurkan kedua bahan tersebut, aduk hingga tercampur merata (homogen).

Page 48: Skripsi Fix

34

Setelah itu, saring campuran tersebut dan masukkan ke dalam botol. Kemudian

tambahkan gliserin ke dalam botol. Terakhir, tambahkan aquadest ke dalam botol

sampai tanda batas dan kocok botol hingga tercampur merata (homogen),

kemudian botolnya ditutup.

3.12 Uji Stabilitas Fisika dan Kimia Formula

Formula yang diamati dalam uji adalah formula dengan konsentrasi

gliserin yang memberikan stabilitas paling baik. Uji stabilitas fisika dilakukan

adalah uji organoleptis dan uji viskositas. Sedangkan uji stabilitas kimia

dilakukan dengan uji PH selama penyimpanan. Pada uji organoleptis, setiap kali

pengamatannya akan dibandingkan dengan sediaan eliksir dari ekstrak rimpang

jeringau merah (Acorus sp.) yang baru dibuat. Sedangkan pada uji viskositas,

sediaan eliksir yang dibuat akan dibandingkan dengan sediaan eliksir yang berasal

dari ekstrak tanaman dan sudah beredar dipasaran.

3.11.1 Uji Organoleptis

Uji organoleptis dilakukan dengan mengamati perubahan rasa, warna,

kejernihan dan bau dari sediaan eliksir ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus

sp.) selama waktu penyimpanan. Pengamatan dilakukan setiap 3 hari sekali

selama 2 minggu. Pengamatan dilakukan masing-masing 3 kali.

3.11.2 Uji viskositas

Uji viskositas ini diawali dengan pengukuran kerapatan jenis dari masing-

masing sampel dan air dengan piknometer. Pertama-tama timbang berat

Page 49: Skripsi Fix

35

piknometer kosong, setelah itu timbang berat piknometer yang telah terisi oleh 10

ml sampel. Nilai kerapatan jenis sampel didapatkan dari massanya sendiri dibagi

dengan volume piknometer, dengan satuan g/mL. Selanjutnya eliksir dimasukkan

ke dalam viscometer ostwald. Viskositas diketahui dengan mengamati waktu

turunnya sampel pada batas yang ada di dalam viscometer. Uji ini dilakukan 3 hari

sekali selama 2 minggu. Pengujian dilakukan masing-masing sebanyak 3 kali.

Nilai viskositas yang didapat setiap harinya pada masing-masing sampel

kemudian dihitung standar deviasinya dengan rumus (Gandjar, 2007) :

Dimana :

X = Nilai dari masing-masing pengukuran

= Rata-rata (mean) dari pengukuran

N = Frekuensi penetapan

N-1 = Derajat kebebasan

3.11.3 Pengukuran pH

Pengukuran pH dilakukan dengan cara mencelupkan pHmeter ke dalam

blangko dan eliksir ekstrak etanol rimpang jeringau merah (Acorus sp.).

Pengukuran dilakukan setiap 3 hari sekali untuk masing-masing sediaan selama

satu bulan. Nilai pH yang didapat setiap harinya pada masing-masing sampel

kemudian dihitung standar deviasinya.

Page 50: Skripsi Fix

36

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Determinasi Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang jeringau

merah (Acorus sp.) yang diperoleh dari kawasan hutan Sungai Purun Kecil,

Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Sampel ini selanjutnya dideterminasi

untuk memastikan bahwa sampel yang digunakan memang merupakan tanaman

jeringau merah (Acorus sp.). Sampel tanaman ini diidentifikasi di Laboratorium

Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas

Tanjungpura Pontianak. Dari hasil identifikasinya diketahui bahwa tanaman yang

digunakan positif jeringau merah (Acorus sp.) dengan klasifikasi seperti yang

terlampir pada lampiran 1.

4.2 Preparasi Sampel

Preparasi sampel dilakukan melalui beberapa tahap, mulai dari

pengumpulan, perajangan sampai pengeringan. Rimpang jeringau merah yang

telah dikumpulkan, selanjutnya dipisahkan dari akar, daun dan dibersihkan dari

sisa-sisa tanah kemudian dicuci sampai bersih dengan air mengalir. Sampel yang

telah dibersihkan selanjutnya dirajang tipis dan dikeringanginkan pada suhu

ruangan. Pengeringan langsung di bawah sinar matahari cenderung dihindari,

karena dapat mengakibatkan rusaknya senyawa yang tidak tahan terhadap panas

dan sinar UV. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kandungan air dari

Page 51: Skripsi Fix

37

sampel sehingga mikroorganisme tidak tumbuh dan berinteraksi dengan senyawa

yang terkandung dalam sampel. Sedangkan perajangan bertujuan untuk

memperluas permukaan sampel, sehingga akan memperluas kontak senyawa-

senyawa yang terdapat di dalam sampel dengan pelarut pada saat proses maserasi.

Hal ini bertujuan agar proses ekstraksi senyawa-senyawa dapat lebih maksimal

oleh pelarutnya.

4.3 Ekstraksi Rimpang Jeringau Merah (Acorus sp.)

Ekstraksi senyawa-senyawa kimia dalam rimpang jeringau merah

dilakukan dengan metode maserasi. Maserasi bertujuan untuk mengambil

komponen baik secara kualitatif (jumlah komponen) maupun secara kuantitatif

(jumlah massa masing-masing komponen) dari sampel dengan menggunakan

pelarut organik. Maserasi dilakukan dengan cara merendam sampel dalam pelarut

yang sesuai selama jangka waktu tertentu pada temperatur ruangan. Ketika proses

tersebut berlangsung, pelarut memecah dinding dan membran sel yang

mengandung senyawa kimia oleh pelarut. Senyawa kimia akan terekstrak akibat

adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel.

Larutan yang konsentrasinya tinggi (di dalam sel) akan terdesak keluar dan diganti

oleh pelarut dengan konsentrasi yang lebih rendah (terjadi proses difusi). Proses

difusi ini berlangsung terus menerus sampai terjadi keseimbangan antara

konsentrasi cairan komponen kimia di dalam sel dan di luar sel. Oleh karena

maserasi merupakan suatu teknik ekstraksi dingin, maka diharapkan dapat

Page 52: Skripsi Fix

38

diperoleh berbagai senyawa baik yang labil maupun yang stabil terhadap suhu

tinggi.

Sebanyak 2 kg sampel rimpang jeringau merah yang telah dihaluskan

dimaserasi menggunakan pelarut etanol 70%. Etanol merupakan pelarut organik

yang umum digunakan dalam maserasi karena ukuran molekulnya yang kecil,

sehingga memiliki kemampuan untuk menembus dan memecah dinding sel

tumbuhan dan dapat mengekstrak komponen kimia semi polar serta polar yang

terkandung dalam sel. Alasan lain penggunaan etanol sebagai pengekstraksi

adalah karena dapat melarutkan senyawa metabolit sekunder yang akan diambil

dalam rimpang jeringau merah (Acorus sp.) dan tingkat toksisitasnya yang rendah

dibandingkan dengan metanol.

Maserasi dilakukan dengan cara merendam sampel dalam etanol secara

berulang-ulang selama 3 x 24 jam dimana setiap 6 jam dilakukan pengadukan.

Setiap 24 jam, ekstrak disaring dan ditampung maseratnya. Residu yang diperoleh

dimaserasi kembali dengan pelarut yang sama. Maserasi berulang-ulang bertujuan

agar semua senyawa dapat terekstrak secara maksimal. Kondisi ini ditandai

dengan warna maserat yang semakin jernih, karena pelarut tidak memiliki

kemampuan lagi untuk mengekstrak komponen yang terdapat dalam sampel.

Semua maserat yang diperoleh selanjutnya dipekatkan menggunakan rotary

evaporator pada suhu 40ºC dan tekanan 337 atm sehingga diperoleh ekstrak

etanol kental berwarna coklat kemerahan sebanyak 154,17 gr. Cara ini dilakukan

untuk menurunkan tekanan pada permukaan sehingga akan menurunkan titik

didihnya, sehingga dapat mengurangi terjadinya penguraian senyawa yang

Page 53: Skripsi Fix

39

terdapat dalam ekstrak tersebut. Proses evaporasi ini dilakukan pada suhu tersebut

untuk menjaga metabolit sekunder yang terkandung tidak menjadi rusak karena

pemanasan, sedangkan penggunaan tekanan 337 atm dikarenakan tekanan ini

merupakan tekanan yang optimal untuk memisahkan etanol dari senyawa

metabolit sekunder hasil ekstraksi. Kemudian dilanjutkan dengan menangas

ekstrak tersebut untuk membuatnya menjadi ekstrak etanol kering sebanyak

111,03 gr. Proses penangasan ini bertujuan untuk mengurangi kadar etanol dan air

dalam ekstrak. Rendemen yang didapat adalah sebesar 5,55%. Proses maserasi

dan pemekatan ini ditunjukkan pada lampiran 2.

4.4 Pengukuran Susut Pengeringan

Ekstrak etanol kering tersebut kemudian diukur susut pengeringannya

untuk mengetahui kadar air dan pelarut yang masih tersisa di dalam ekstrak

sehingga dapat diketahui ekstrak ini sudah tergolong ke dalam ekstrak kering atau

belum. Selain itu, kadar air harus ditetapkan untuk menjaga kualitas ekstrak

karena menurut literatur kadar air dalam ekstrak tidak boleh lebih dari 10%

(Soetarno dan Soediro, 1997), hal ini bertujuan untuk menghindari pertumbuhan

jamur dalam ekstrak. Pengukuran susut pengeringan ini dilakukan dengan bantuan

gelas crusibel, lalu ekstrak yang digunakan sebanyak 1,8215 gr. Pada

pengerjaannya dilakukan pemanasan pada suhu 105ºC untuk menghilangkan

pelarut di dalam ekstrak, setelah itu didinginkan di dalam wadah kedap udara

untuk mendinginkan ekstrak sehingga terjadi penyusutan. Perlakuan ini diduplo

dan diulangi sebanyak 2 kali untuk mendapatkan bobot tetapnya. Jadi, dari selisih

Page 54: Skripsi Fix

40

hasil penimbangan berat ekstrak sebelum dan sesudah perlakuan ini dibagi berat

ekstrak awal dikali 100% diketahuilah berapa banyak kadar air dan pelarut yang

masih tersisa di dalam ekstrak. Dari hasil pengukuran didapatkan persen kadar

pelarut dan air yang tersisa sebesar 2,175%. Hasil presentase ini menunjukkan

bahwa ekstrak sudah tergolong ke dalam ekstrak kering, karena syarat untuk suatu

ekstrak dapat dikatakan sebagai ekstrak kering adalah persentase kadar air dan

pelarutnya kurang dari 5% (Voigt, 1995).

4.5 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia ini dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa

metabolit sekunder berdasarkan perubahan warna, terbentuknya buih ataupun

terbentuknya endapan yang dihasilkan sebagai akibat penambahan reagen tertentu.

Skrining fitokimia pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adanya

senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, minyak atsiri, steroid dan

triterpenoid. Hasil skrining fitokimia ekstrak etanol kering rimpang jeringau

merah (Acorus Sp.) disajikan pada Tabel 2.

Page 55: Skripsi Fix

41

Tabel 2. Hasil Skrining fitokimia terhadap ekstrak kering rimpang jeringau merah (Acorus Sp.)

No. Jenis uji Pengamatan Hasil

1. Alkaloid + Endapan putih

2. Minyak Atsiri + Bau aromatis

3. Tanin + Endapan putih

4. Flavonoid + Terbentuknya warna kuning-merah pada

lapisan alcohol5. Steroid dan Triterpenoid - -

6. Saponin + Busa yang konsisten

Keterangan : (+) reaksi positif ; (-) reaksi negatif

Hasil Skrining fitokimia ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol rimpang

jeringau merah (Acorus Sp.) mengandung alkaloid, minyak atsiri, tanin, flavonoid,

dan saponin. Hasil positif dari skrining ini menunjukkan bahwa senyawa –

senyawa tersebut dapat terikat dengan etanol. Pada uji alkaloid, hasil positif hanya

didapat dari uji dengan pereaksi Mayer yang ditandai dengan terbentuknya

endapan putih, sedangkan uji dengan pereaksi Dragendorff mendapatkan hasil

negatif. Hal ini berarti senyawa alkaloid yang dapat tertarik dari ekstraksi dengan

etanol jumlahnya sedikit karena alkaloid pada umumnya merupakan suatu

senyawa basa yang bersifat non polar sedangkan etanol merupakan senyawa semi

polar. Selain itu, diduga kuat bahwa senyawa alkaloid di dalam rimpang jeringau

merah (Acorus Sp.) ini memiliki substituen yang membuat senyawa ini menjadi

semi polar sehingga ada beberapa bagian dari senyawa ini yang masih dapat

ditarik dengan etanol. Sebagaimana yang diketahui bahwa gugus utama dan

Page 56: Skripsi Fix

42

substituen pada suatu senyawa sangat menentukan tingkat kepolaran senyawa itu

sendiri. Berbeda dengan uji alkaloid, pada uji steroid dan triterpenoid jelas sekali

menunjukkan hasil yang negatif padahal pada penelitian sebelumnya yang

menggunakan metanol menunjukkan hasil positif. Hal ini kemungkinan akibat

ukuran partikel dari metanol yang lebih kecil dari etanol sehingga kemampuan

untuk menembus dan memecah dinding sel tumbuhan lebih kuat, hal inilah yang

membuat daya penarikan oleh metanol lebih kuat. Berdasarkan hasil skrining

fitokimia ini semakin mempertegas prinsip “like dissolve like”, dimana untuk

mengisolasi suatu senyawa harus menggunakan pelarut yang memiliki tingkat

kepolaran yang sama atau hampir sama. Gambar hasil skrining fitokimia dari

ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.) ditunjukkan pada lampiran 3.

4.6 Analisis Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Senyawa Flavonoid

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) pada penelitian ini dilakukan untuk

mempertegas ada atau tidaknya kandungan senyawa flavonoid pada ekstrak etanol

rimpang jeringau merah (Acorus Sp.). Sebelum dilakukannya KLT, harus

dilakukan fraksinasi dengan partisi terhadap ekstrak karena ekstrak etanol kering

merupakan campuran yang sangat kompleks yang mengandung berbagai

komponen senyawa yang bersifat polar, semi polar, dan non polar.

Partisi didasarkan pada kemampuan zat terlarut untuk terdistribusi antara

dua pelarut yang tidak saling campur. Distribusi zat terlarut dalam suatu pelarut

berdasarkan sifat like dissolve like, dimana senyawa yang polar akan lebih mudah

larut dalam pelarut yang polar dan sebaliknya. Partisi bertujuan untuk

Page 57: Skripsi Fix

43

memperoleh campuran yang lebih sederhana. Proses partisi ini dilakukan

menggunakan 2 pelarut yang berbeda tingkat kepolarannya. Pelarut untuk partisi

yang digunakan pada penelitian adalah etil asetat (semi polar) dan air (polar).

Ekstrak etanol kering dipartisi dengan 150 ml etil asetat dan 150 ml air

dalam corong pisah, sehingga terbentuk 2 lapisan. Air yang memiliki berat jenis

lebih besar akan berada di lapisan bawah, sedangkan etil asetat berada di lapisan

atas. Perbedaan kepolaran kedua pelarut menyebabkan terjadinya distribusi

senyawa-senyawa yang bersifat polar ke dalam lapisan air dan sebaliknya.

Selanjutnya kedua lapisan tersebut dipisahkan.

Hasil dari partisi tersebut kemudian ditotolkan pada plat silika gel, selain

itu ditotolkan pula ekstrak kering (telah dilarutkan dengan etanol) yang tidak

dipartisi dan telah dilarutkan dengan etanol. Fase gerak yang digunakan adalah

kloroform dan etil asetat (6 : 4), dimana kloroform merupakan suatu senyawa non

polar sedangkan etil asetat merupakan suatu senyawa semi polar.

(a)

Page 58: Skripsi Fix

44

(c)

Gambar 2. Kromatogram hasil KLT dengan penampakan noda : (a) di bawah sinar UV (λ = 256 nm); (b) di bawah sinar UV (λ = 366 nm); (c) dan penampakan noda dengan uap amonia pekat.

Kromatogram tersebut memberikan informasi adanya interaksi yang kuat

dan lemah antara senyawa dan fasa diam. Oleh karena fase diam bersifat polar,

maka senyawa yang lebih polar akan berinteraksi relatif lebih kuat dengan fasa

diam dan eluen tidak cukup kuat untuk mengelusi senyawa. Sebaliknya noda yang

telah terelusi menunjukkan interaksi yang lemah dengan fase diam dan akan terus

terelusi disepanjang plat. Pemilihan eluen untuk kromatografi sebaiknya sedikit di

bawah kepolaran eluen untuk KLT. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi

kemungkinan masih adanya senyawa-senyawa yang sifat kepolaranya di bawah

kepolaran eluen untuk KLT, sehingga senyawa tersebut tidak tercampur dengan

senyawa yang memiliki kepolaran diatasnya. Oleh karena itu, pemilihan eluen

sebaiknya dimulai dari pelarut yang tidak polar seperti kloroform kemudian

ditingkatkan kepolarannya dengan etil asetat atau pelarut yang lebih polar lainnya

(Harborne, 1987).

(b)

Page 59: Skripsi Fix

45

Berdasarkan profil kromatogram yang ditunjukkan pada Gambar 3. terlihat

kompleksitas senyawa dalam fraksi - fraksi tersebut. Terlihat bahwa pada fraksi

air dan etanol memperlihatkan noda yang dominan masih tertahan di bawah plat,

namun telah terdapat noda yang terelusi. Sedangkan pada fraksi etil asetat

memperlihatkan noda yang telah terelusi naik lebih banyak dari pada kedua fraksi

lainnya, akan tetapi masih ada yang tertahan di bawah plat. Dari hasil ini dapat

disimpulkan senyawa flavonoid dari ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus Sp.)

lebih banyak yang terikat pada fraksi etil asetat dibandingkan dengan fraksi air

dan etanol, hal ini kemungkinan besar disebabkan karena senyawa flavonoid yang

terdapat dalam rimpang jeringau merah bersifat semi polar sehingga dapat ditarik

dengan etanol.

4.7 Pembuatan Eliksir Ekstrak Rimpang Jeringau Merah (Acorus sp.)

Eliksir adalah larutan hidroalkohol yang jernih dan manis dimaksudkan

untuk penggunaan vital, dan biasanya diberi rasa untuk menambah kelezatan

(Ansel, 2005). Pada penelitian ini dibuat sediaan eliksir dari ekstrak rimpang

jeringau merah (Acorus Sp.) dengan komposisi etanol, aquadest, gliserin dan metil

paraben. Etanol dan aquadest merupakan pelarut utama pada sediaan ini, dimana

etanol digunakan untuk melarutkan ekstrak sedangkan aquadest digunakan untuk

melarutkan metil paraben dan melarutkan semua campuran dari komposisi eliksir

ini. Metil paraben digunakan sebagai bahan pengawet karena senyawa ini

merupakan antimikroba berspektrum luas. Sedangkan gliserin digunakan sebagai

kosolven dan pemanis. Gliserin merupakan salah satu faktor penting yang

Page 60: Skripsi Fix

46

menentukan stabilitas sediaan eliksir yang akan dibuat. Hal ini dikarenakan

gliserin dapat meningkatkan kelarutan antara fase air dan alkohol dengan

mengurangi tegangan antarmuka serta menstabilkan lapisan di antara dua fase

tersebut. Gliserin ini dapat menarik fase alkohol dan air dengan prinsip kohesi

karena kosolven ini memiliki gugus yang sama dengan kedua fase tersebut.

Pembuatan sediaan eliksir ini diawali dengan melarutkan semua

komponen penyusun eliksir dengan pelarut yang sesuai dengan kelarutannya

masing - masing. Ekstrak dilarutkan dengan etanol p.a, sedangkan metil paraben

dilarutkan dengan air panas. Etanol berfungsi untuk membentuk larutan

hidroalkohol yang akan dibuat. Etanol yang digunakan untuk formulasi ini adalah

etanol dengan tingkat kemurnian yang memenuhi standar yakni etanol p.a, selain

itu etanol merupakan suatu alkohol yang aman untuk sediaan oral seperti eliksir.

Sedangkan untuk metil paraben, pelarut yang dipilih adalah air panas dan tidak

digunakan etanol 95%. Metil paraben sebenarnya lebih mudah larut dalam etanol

95% dibandingkan air panas, akan tetapi lebih dipilih air panas karena untuk

mengurangi kadar alkohol yang digunakan pada sediaan ini, sebagaimana yang

diketahui bahwa kadar alkohol yang terlalu besar dalam suatu sediaan dapat

menimbulkan efek yang berbahaya bagi tubuh.

Tahap berikutnya adalah mencampurkan larutan metil paraben dengan

ekstrak yang telah dilarutkan tadi. Selanjutnya campuran tersebut disaring dengan

kain untuk menghilangkan pengotor sehingga sediaan eliksir yang terbentuk

nantinya memiliki tingkat kejernihan yang baik. Selanjutnya campuran tersebut

ditambahkan dengan gliserin, kemudian ditambahkan dengan aquadest hingga 100

Page 61: Skripsi Fix

47

ml dan masukkan ke dalam wadah botol. Untuk memudahkan pengamatan

stabilitas fisik selama masa penyimpanan, wadah yang digunakan adalah botol

bening. Sediaan eliksir yang telah dibuat ini selanjutnya disimpan pada suhu

kamar (27ºC). Sediaan eliksir yang dibuat adalah sebanyak 3 kelompok dengan

variasi penambahan jumlah gliserin yakni 20%, 40%, dan 60%, dimana pada tiap

kelompok terdiri dari 3 eliksir. Hal ini dilakukan untuk mengamati pengaruh

penambahan gliserin terhadap stabilitas sediaan ini, jadi dari sini akan diketahui

formula mana yang stabilitasnya paling baik.

4.8 Uji Stabilitas Fisika dan Kimia Formula

Penelitian ini melakukan uji stabilitas fisika dan kimia dari sediaan eliksir

yang telah dibuat untuk mengetahui seberapa stabil sediaan ini selama masa

penyimpanan. Uji stabilitas fisika yang dilakukan adalah uji organoleptis dan

viskositas, sedangkan uji stabilitas kimia yang dilakukan adalah uji pH.

4.8.1 Uji Organoleptis

Pemeriksaan Organoleptis yang dilakukan meliputi perubahan rasa, warna,

kejernihan dan bau dari sediaan eliksir ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus

sp.). Penentuan organoleptis ini termasuk salah satu parameter spesifik yang

ditentukan dengan panca indera dan bertujuan untuk pengenalan awal secara

sederhana dan subjektif. Pemeriksaan organoleptis ini dilakukan setiap 3 hari

sekali selama 2 minggu karena dalam rentang waktu ini diyakini bahwa hasilnya

sudah dapat mewakili kondisi organoleptis dari sediaan ini selama masa

Page 62: Skripsi Fix

48

penyimpanan. Pada tiap kali pemeriksaan dilakukan triplo dalam pengamatannya

pada masing-masing sediaan eliksir untuk memperkecil galat. Selain itu untuk

memperkecil galat dari sifat subjektivitas indera responden dan meningkatkan

objektivitasnya, pada tiap kali pengamatannya akan dibandingkan dengan sediaan

eliksir dari ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.) yang baru dibuat. Hasil

pengamatan terhadap kondisi organoleptis sediaan eliksir yang didapat

ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Pengamatan Uji Organoleptis pada Sediaan Eliksir Ekstrak

Rimpang Jeringau Merah (Acorus sp.)

No. Konsentrasi Gliserin

Kondisi Organoleptis

HasilHari I Hari II Hari III Hari IV

1. 20%

Kejernihan + + + +Rasa Manis + + + +Warna Merah Bata + + ++ +++Bau Tajam +++ +++ +++ ++

2. 40%

Kejernihan + + + +Rasa Manis ++ ++ ++ ++Warna Merah Bata + + ++ +++Bau Tajam ++ ++ ++ +

3. 60%

Kejernihan + + + +Rasa Manis +++ +++ +++ +++Warna Merah Bata + + ++ +++Bau Tajam + + + +

Keterangan : Semakin banyak tanda (+) maka hasil semakin kuat

Hasil pengamatan di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kondisi

organoleptis dari ketiga sediaan eliksir tersebut. Kejernihan dari ketiga sediaan

tersebut tetap sama selama pengamatan hari keempat. Hal ini menunjukkan bahwa

gliserin dapat menjaga kejernihan dari sediaan eliksir ini. Sedangkan untuk warna

Page 63: Skripsi Fix

49

dari ketiga sediaan tersebut semakin hari semakin bertambah gelap, hal ini

kemungkinan besar terjadi karena adanya interaksi dengan cahaya dan udara yang

menyebabkan oksidasi senyawa-senyawa (khususnya flavonoid) yang terdapat

pada ketiga sediaan. Untuk variabel rasa, dari hasil pengamatan dapat disimpulkan

bahwa semakin besar jumlah gliserin yang ditambahkan pada suatu sediaan maka

semakin manis pula rasa dari sediaan tersebut. Hal ini terbukti dimana sediaan

eliksir dengan konsentrasi gliserin 60% menunjukkan rasa yang paling manis

sedangkan eliksir dengan konsentrasi gliserin 20% memiliki rasa yang paling

kurang manis diantara yang lainnya. Hasil ini membuktikan bahwa gliserin juga

dapat menutupi rasa yang kurang menyenangkan dari ekstrak. Pada variabel bau

juga kemungkinan besar dipengaruhi oleh konsentrasi gliserin, dimana dari hasil

pengamatan didapatkan bahwa sediaan eliksir yang berbau paling tajam adalah

sediaan eliksir dengan konsentrasi gliserin yang paling kecil. Bau tajam ini

diduga berasal dari etanol dan senyawa aromatis yang terdapat didalam ekstrak

rimpang jeringau merah (Acorus sp.). Bau tajam pada tiap sediaan semakin hari

semakin berkurang, hal ini diduga karena etanol dan senyawa aromatis yang

terdapat dalam ekstrak tersebut menguap. Jadi selain menutupi rasa, ternyata

gliserin juga mampu untuk menutupi bau yang kurang menyenangkan dari bahan -

bahan penyusun sediaan eliksir ini.

Berdasarkan uji organoleptis ini dapat ditarik kesimpulan bahwa peran

gliserin dalam menjaga kondisi organoleptis suatu sediaan sangatlah baik karena

dapat menutupi rasa dan bau yang kurang menyenangkan untuk penggunaan oral

ini serta menjaga kejernihannya. Dari penelitian diketahui bahwa gliserin

Page 64: Skripsi Fix

50

merupakan senyawa corigent saporis (mampu menutupi rasa) dan corigent

odouris ( mampu menutupi bau). Selain itu, dari hasil uji organoleptis ini

membuktikan bahwa sediaan eliksir ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.)

tergolong stabil secara organoleptis.

4.8.2 Uji Viskositas

Eliksir merupakan suatu sediaan dengan ukuran molekul yang kecil

sehingga mengikuti sistem newton untuk tipe aliran dan deformasinya. Sistem

newton ini memiliki koefisien viskositas yang konstan dan tidak bergantung dari

jumlah absolut tegangan geser yang diberikan atau perbedaan geseran yang

dihasilkan, maka untuk mengukur viskositasnya cukup dilakukan pengukuran

viskositas pada kondisi tertentu dengan viskometer bola jatuh ataupun viskometer

kapiler. Pada penelitian ini alat yang dipilih untuk pengukuran viskositas adalah

viskometer kapiler ostwald. Hal ini dikarenakan pada viskometer bola jatuh,

sampel yang dibutuhkan lebih banyak dari pada viskometer kapiler. Selain itu,

viskometer kapiler ini juga lebih praktis dan efisien dari pada viskometer bola

jatuh. Parameter yang diamati pada uji viskositas ini adalah besarnya penurunan

viskositas yang terjadi selama masa penyimpanan, jadi sampel yang memiliki

perubahan nilai viskositas paling kecil merupakan sediaan yang paling stabil

viskositasnya. Gambar uji viskositas dengan viskometer ostwald ditunjukkan pada

lampiran 5.

Pemeriksaan viskositas pada penelitian ini diawali dengan penentuan

kerapatan jenis untuk tiap – tiap sampel dan pembanding. Hal ini disebabkan

Page 65: Skripsi Fix

51

karena untuk pengukuran viskositas dengan viskometer ostwald diperlukan nilai

kerapatan jenisnya. Pembanding yang digunakan adalah suatu zat yang sudah

diketahui nilai viskositasnya yakni air. Selain itu digunakan pula pembanding dari

sediaan eliksir yang telah beredar dipasaran yang sama – sama berasal dari bahan

alam yaitu “BT” untuk melihat perbedaan viskositasnya.

Kerapatan jenis suatu zat adalah perbandingan antara bobot zat dengan

volume zat pada suhu tertentu (biasanya 27o C). Pada penelitian ini pengukuran

kerapatan jenis dilakukan dengan metode piknometer. Prinsip metode ini

didasarkan atas penentuan massa cairan dan penentuan ruang, yang ditempati

cairan ini. Untuk ini dibutuhkan wadah untuk menimbang yang dinamakan

piknometer. Ketelitian metode piknometer akan bertambah hingga mencapai

keoptimuman tertentu dengan bertambahnya volume piknometer.

Penentuan kerapatan jenis menggunakan metode piknometer ini diawali

dengan menimbang lebih dahulu berat piknometer kosong dan piknometer berisi

zat cair yang diuji. Selisih dari penimbangan adalah massa zat cair tersebut pada

pengukuran suhu kamar (270C) dan dalam volume konstan, tertera pada

piknometer. Maka kerapatan jenis zat cair tersebut adalah massanya sendiri dibagi

dengan volume piknometer, dengan satuan g/mL. Sebelum menghitung nilai

kerapatan jenis pada masing-masing sampel, terlebih dahulu dihitung volume

piknometer yang sebenarnya dengan bantuan air. Air disini berperan untuk

mengukur berapa volume sebenarnya dari botol piknometer yang digunakan

karena walaupun volume piknometer sudah tertera keterangan pada botol, akan

tetapi nilai itu tidaklah tepat. Oleh karena itu untuk memperkecil galat dan

Page 66: Skripsi Fix

52

meningkatkan akurasi volume piknometer yang sebenarnya diukur melalui cara

yang sama dengan pengukuran sampel. Setelah itu didapatkanlah bobot air,

dimana dari bobot air inilah didapat volume air yang sekaligus merupakan volume

piknometer yaitu 9,73 mL dengan bantuan nilai kerapatan jenis air yang telah

diketahui yakni 0,996 g/mL (Voigt, 1994). Dari metode piknometer ini

didapatkanlah kerapatan jenis untuk masing-masing kelompok sampel yang

ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Penentuan Kerapatan Jenis dengan Piknometer

No. Sampel Kerapatan Jenis(g/mL)

1. Eliksir 20% (1) 1,022. Eliksir 20% (2) 1,033. Eliksir 20% (3) 1,034. Eliksir 40% (1) 1,105. Eliksir 40% (2) 1,126. Eliksir 40% (3) 1,147. Eliksir 60% (1) 1,158. Eliksir 60% (2) 1,159. Eliksir 60% (3) 1,1710. BT 1,09

Kerapatan jenis yang telah didapat ini kemudian digunakan sebagai salah

satu variabel untuk menghitung viskositas sampel. Viskositas dari sampel yang

merupakan cairan Newton ini ditentukan dengan mengukur waktu alir yang

dibutuhkan bagi cairan tersebut untuk melewati dua tanda batas pada tabung

kapiler vertikal viskometer Ostwald karena gravitasi. Waktu alir dari sampel

dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan bagi suatu cairan yang viskositasnya

telah diketahui yakni air untuk melewati dua tanda batas tersebut. Nilai Viskositas

air adalah 1,0019 cps (Voigt, 1994). Selanjutnya data waktu alir tersebut

digunakan dalam persamaan :

Page 67: Skripsi Fix

53

����

= �� . ���� . ��

Keterangan : ηu = Viskositas Sampel

ηk = Viskositas Air

du = Kerapatan Jenis Sampel

dk = Kerapatan Jenis Air

tu = Waktu Alir Sampel

tk = Waktu Alir Air

Rumus tersebut kemudian disederhanakan karena tekanan yang menekan

cairan melalui tabung sesuai dengan kenaikan gravitasi dan berbanding lurus

dengan kerapatan cairan. Rumus tersebut adalah :

ηu = ηk . �� . ���� . ��

Viskositas yang didapat membuktikan bahwa nilai viskositas berbanding

lurus dengan kerapatan jenisnya dimana semakin besar kerapatan jenis suatu

larutan maka semakin besar pula viskositasnya. Nilai viskositas yang paling besar

dimiliki oleh Eliksir dengan konsentrasi gliserin 60%, sedangkan nilai viskositas

yang paling kecil adalah pada Eliksir dengan konsentrasi gliserin 20%. Viskositas

yang telah didapat setiap harinya kemudian dihitung Standar Deviasinya. Standar

Deviasi merupakan ukuran sebaran statistik yang digunakan untuk mengukur

seberapa besar penyimpangan nilai data tersebut dari nilai rata-ratanya. Jadi dari

tiga kali replikasi sampel, setiap harinya akan dihitung nilai standar deviasinya.

Hasil Standar deviasi yang didapat menunjukkan bahwa nilai penyimpangan dari

setiap sampel selama masa pengamatan tergolong normal karena memenuhi

Page 68: Skripsi Fix

54

persyaratan standar deviasi yang baik yakni tidak lebih dari 5% (Gandjar, 2007).

Hasil perhitungan viskositas dan standar deviasi ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Perhitungan Viskositas dan Standar Deviasi

HariViskositas (cps)

20%Std(%) 40%

Std(%) 60%

Std(%) BT

Std(%)

H11,61

0,083,46

0,1710,84

0,232,29

0,02

1,76 3,63 10,51 2,271,75 3,79 10,95 2,25

H21,63

0,023,22

0,109,12

0,252,20

0,02

1,61 3,38 9,45 2,241,59 3,41 9,61 2,23

H31,61

0,013,10

0,188,42

0,502,17

0,03

1,60 3,39 9,19 2,161,60 3,42 9,35 2,21

H41,64

0,013,11

0,178,64

0,322,23

0,01

1,63 3,42 9,10 2,221,62 3,39 9,25 2,23

Rata-rata Perubahan Nilai

Viskositas0,08 0,33 1,78 0,04

Dari pengamatan yang dilakukan kurang lebih dua minggu ini diketahui

bahwa terjadi penurunan nilai viskositas pada setiap sampel. Penurunan nilai

viskositas ini didapatkan dari pengurangan nilai rata-rata viskositas pada hari

pertama dengan nilai rata-rata viskositas hari terakhir pengamatan. Sampel yang

mengalami penurunan nilai viskositas paling kecil adalah BT eliksir, sedangkan

sampel yang mengalami penurunan nilai viskositas paling besar adalah eliksir

dengan konsentrasi gliserin 60%. Berdasarkan pengamatan selama masa

penyimpanan yang kurang lebih dua minggu ini tidak terjadi perubahan yang

besar dari nilai viskositas pada tiap-tiap sampel. Hal ini berarti gliserin terbukti

dapat menjaga kestabilan viskositas dari eliksir ekstrak rimpang jeringau merah

Page 69: Skripsi Fix

55

(Acorus sp.). Eliksir dari ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.) yang

memiliki viskositas paling stabil adalah eliksir dengan konsentrasi gliserin 20%

karena memiliki penurunan viskositas yang paling kecil dan mendekati dari BT

eliksir yang merupakan sediaan eliksir yang telah beredar dipasaran. Hal ini

dikarenakan penambahan gliserin dalam jumlah besar menyebabkan semakin

kecilnya tegangan permukaan, dimana fase alkohol dan air dalam eliksir ini akan

semakin larut (menyatu) sehingga membuat sediaan eliksir semakin sulit

mempertahankan viskositasnya. Penurunan nilai viskositas ini juga dipengaruhi

oleh udara saat pengambilan sampel untuk pengujian.

4.8.3 Uji pH

Pengujian pH terhadap eliksir ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.)

dengan variasi penambahan gliserin ini dilakukan setiap tiga hari sekali selama

kurang lebih satu bulan. Pada pengujian ini akan diamati sediaan dengan

konsentrasi gliserin mana yang paling stabil yaitu yang paling kecil mengalami

perubahan pH. Oleh karena ingin mengamati perubahan pH yang terjadi,

pengujian pH dilakukan dengan bantuan alat pH meter digital. Sama seperti uji

viskositas, pada pengujian pH ini nilai pH yang yang didapatkan kemudian diukur

standar deviasinya untuk mengetahui seberapa besar penyimpangan nilai pH

tersebut dari nilai rata-ratanya. Nilai pH selama masa penyimpanan dan standar

deviasinya dapat dilihat pada Tabel 6.

Page 70: Skripsi Fix

56

Tabel 6. Nilai pH selama masa penyimpanan dan Standar DeviasinyaHari pH Sampel

20% Std(%) 40% Std(%) 60% Std(%)H1 6,73 0,08 6,90 0,04 7,03 0,04

6,60 6,97 7,006,60 6,97 7,07

H4 6,50 0 6,97 0,04 6,93 0,046,50 6,93 6,906,50 6,90 6,97

H7 6,50 0 6,50 0 6,50 06,50 6,50 6,506,50 6,50 6,50

H10 6,00 0,06 6,20 0,05 6,40 0,066,10 6,30 6,406,10 6,23 6,30

H13 5,70 0 5,90 0 6,00 0,065,70 5,90 6,005,70 5,90 6,10

H16 5,50 0,02 5,90 0 6,10 0,125,47 5,90 5,905,50 5,90 6,07

H19 5,50 0 5,90 0 5,97 0,045,50 5,90 5,975,50 5,90 5,90

H22 5,50 0 5,90 0 5,97 05,50 5,90 5,975,50 5,90 5,97

H25 5,50 0 5,90 0 5,97 05,50 5,90 5,975,50 5,90 5,97

H28 5,50 0 5,90 0 5,97 05,50 5,90 5,975,50 5,90 5,97

Rata-rata Perubahan Nilai pH

1,14 1,05 1,08

Hasil di atas menunjukkan bahwa selain dari zat aktif, pH suatu sangat

dipengaruhi oleh bahan-bahan penyusunnya. Dari hasil ini pula diketahui bahwa

semakin besar konsentrasi gliserin yang ditambahkan maka semakin besar pula

Page 71: Skripsi Fix

57

pH nya. Standar deviasi dari masing-masing sampel ini masih tergolong baik

karena memenuhi persyaratan persen standar deviasi yang masih dapat diterima.

Selama 30 hari masa penyimpanan ini terjadi perubahan pH pada tiap-tiap

sampel. Pada sediaan eliksir dengan konsentrasi eliksir 20%, penurunan pH yang

paling besar terjadi pada hari ke-4 sedangkan dari hari ke-7 sediaan ini sudah

tidak mengalami perubahan (konstan). Pada sediaan eliksir dengan konsentrasi

gliserin 40%, penurunan pH yang paling besar terjadi pada hari ke-3 sedangkan

dari hari ke- 5 sediaan ini sudah tidak mengalami perubahan (konstan). Pada

sediaan eliksir dengan konsentrasi gliserin 60%, penurunan pH yang paling besar

terjadi pada hari ke-3 sedangkan mulai dari hari ke-7 sediaan ini sudah tidak

mengalami perubahan (konstan). Dari hasil ini menunjukkan bahwa perubahan pH

oleh tiap-tiap sampel terjadi dalam waktu yang berbeda-beda karena laju reaksi

yang berbeda pada tiap-tiap konsentrasi pH, akan tetapi dapat disimpulkan pula

bahwa rata-rata dari hari ke-7 pH semua sampel sudah tidak mengalami

perubahan lagi dimana hal ini kemungkinan reaksi dalam masing-masing sampel

telah mencapai titik jenuh sehingga sudah tidak terjadi reaksi yang berarti

terhadap perubahan pH.

Sediaan yang memiliki perubahan pH paling kecil adalah sediaan eliksir

dengan konsentasi gliserin 40% karena rata-rata perubahan nilai pH-nya paling

kecil. Dengan kata lain sediaan eliksir dengan konsentasi gliserin 40% inilah yang

memiliki stabilitas pH paling baik diantara sediaan lainnya. Pada penambahan

gliserin sebanyak 20% kemungkinan tidak dapat menurunkan laju reaksi antar

senyawa dan komponen penyusun eliksir ini sehingga terjadi degradasi yang

Page 72: Skripsi Fix

58

membuat ketidakstabilan pH. Sedangkan pada penambahan gliserin sebanyak

60% kemungkinan memicu reaksi antar senyawa dan komponen penyusun eliksir

ini sehingga terjadi degradasi yang membuat ketidakstabilan pH. Penambahan

gliserin sebanyak 40% diduga dapat menurunkan laju reaksi karena pada

konsentrasi ini membentuk profil pH optimum dari eliksir ekstrak rimpang

jeringau merah (Acorus sp.) dimana profil pH optimum, laju reaksinya menjadi

kecil sehingga sediaan semakin stabil. Penurunan pH ini juga dipengaruhi oleh

udara saat pengambilan sampel untuk pengujian. Faktor manusia diduga juga

merupakan salah satu penyebab terjadinya perubahan pH karena mungkin terjadi

human error pada saat pengukuran pH. Selain itu, pH meter yang digunakan juga

kurang peka terhadap perubahan pH yang terjadi karena hanya mampu mengukur

dua angka dibelakang koma sehingga ada kemungkinan sebenarnya terjadi

perubahan pH tetapi pH meternya tidak bisa mengukurnya. Dari hasil ini dapat

disimpulkan bahwa penambahan konsentrasi gliserin sebanyak 40% ini

memberikan stabilitas pH yang paling baik untuk eliksir ekstrak rimpang jeringau

merah (Acorus sp.).

Page 73: Skripsi Fix

59

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

1. Rimpang jeringau merah (Acorus sp.) dapat diformulasikan sebagai

sediaan eliksir.

2. Stabilitas fisika dan kimia dari sediaan eliksir ekstrak rimpang jeringau

merah (Acorus sp.) ini tergolong baik karena tidak terjadi perubahan yang

bermakna selama masa penyimpanan. Stabilitas fisika yang diamati adalah

organoleptis dan viskositas, sedangkan stabilitas kimia yang diamati

adalah pH. Kondisi organoleptisnya adalah warna merah bata, berbau

tajam, rasa manis, dan jernih. Viskositas dari eliksir ekstrak rimpang

jeringau merah (Acorus sp.) ini mendekati viskositas sediaan eliksir yang

telah beredar di pasaran. Selain itu semakin besar penambahan gliserin

maka semakin besar pula viskositas eliksir ekstrak rimpang jeringau merah

(Acorus sp.). Sedangkan pH dari sediaan ini mendekati pH netral, dimana

semakin besar penambahan gliserin maka semakin besar pula nilai pH.

3. Sediaan yang memiliki stabilitas fisika paling baik adalah eliksir ekstrak

rimpang jeringau merah (Acorus sp.) dengan konsentrasi gliserin 20%,

sedangkan yang memiliki stabilitas kimia paling baik adalah eliksir

ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.) dengan konsentrasi gliserin

40%.

Page 74: Skripsi Fix

60

5.2 Saran

1. Melakukan uji toksisitas terhadap sediaan eliksir ekstrak rimpang jeringau

merah (Acorus sp.)

2. Melakukan isolasi terhadap senyawa dari ekstrak rimpang jeringau merah

(Acorus sp.) yang memiliki khasiat untuk meningkatkan trombosit.

3. Mengidentifikasi struktur senyawa dari ekstrak rimpang jeringau merah

(Acorus sp.) yang memiliki khasiat untuk meningkatkan trombosit

sehingga dapat dilakukan penelitian untuk menentukan waktu kadaluarsa.

4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap stabilitas fisika dan kimia

sediaan eliksir dari ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.) dengan

menggunakan kosolven lain.

Page 75: Skripsi Fix

61

DAFTAR PUSTAKA

Abel, G. 1987. Chromosome-damaging effect of beta-asaron on human

lymphocytes. Planta Med., 53(3): 251-3.

Achmad, H.W. 2001. “Pengaruh Pemberian Ekstrak Psidium Guajava Terhadap

Jumlah Trombosit Pada Penderita Demam Berdarah Dengue di Bangsal

Rawat Inap penyakit Dalam RSUP. Dr. Syaiful Anwar Malang”, Majalah

Kedokteran Unibraw, Vol. 17 (1), 1-3.

Anief, Moh. 2005. Ilmu Meracik Obat. UGM Press : Yogyakarta.

Ansel, Howard C. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi Keempat. UI

Press : Jakarta, Halaman 341-344.

Connors, K.A., dkk. 1986. “Chemical Stability of Pharmaceutical”, John Willey

and Sons : New York, 3-26, 163-168.

Darwis, D. 2000. “Teknik Dasar Laboratorium dalam Penelitian Senyawa Bahan

Alam Hayati”, Workshop Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam

Bidang Kimia Organik Bahan Alam Hayati. FMIPA Universitas Andalas :

Padang.

Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia, Edisi Ketiga.

Departemen Kesehatan : Jakarta, Halaman 65 ; 271-272 ; 378.

Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan

Obat, Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengawasan Obat

Dan Makanan Direktorat Pengawasan Obat Tradisional : Jakarta, Halaman

3-12.

Page 76: Skripsi Fix

62

Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat. 2009. Data Epidemik Demam

Berdarah. Dinas Kesehatan Provinsi : Pontianak.

Ditjen POM. (2000). Metode Analisis PPOM. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Fang, J.F., dkk. 2003. “A Study of The Constituents of The Heartwood of Tsuga

chinensis pritz. var. formosana (Hay.)”, J. Chin. Chem. Soc., 75-80.

Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka

Pelajar : Yogyakarta.

Harborne, J.B. 2006. Metode Fitokimia, Edisi Kedua. ITB Press : Bandung.

Kitao, S dan H. Sekine. 1993. “�-D-Glucosyl transfer to phenolic compounds by

sucrose phosporylase from leuconostoc mesentereides and production of �-

arbutin”. J BioschBiotech Biochem 58, 38-42.

Jamroni, Mahmud. 2011. Lignan Turunan (-)- Matairesinol dari Fraksi Kloroform

Rimpang Jeringau Merah (Acorus sp.), skripsi. Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tanjungpura : Pontianak.

Lachman, Leon, dkk. 2008. Teori dan Praktek Farmasi Industri, Jilid 3, Edisi

Ketiga. UI Press : Jakarta, Halaman 1567 dan 1575.

Manikandan, S dan Devi R.S. 2005. “Antioxidant property of alphaasarone

against noise-stressinduced changes in different regions of rat brain”,

Pharmacol Res, 52(6):467-74.

Markham, K.R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Penerjemah : Kosasih

Padmawinata. ITB Press : Bandung.

Page 77: Skripsi Fix

63

Pratiwi, Asih., dkk. 2010. Pengembangan Jeringau Merah (Acorus sp.) Endemik

Kalimantan Barat sebagai Herbal Terstandar untuk Meningkatkan

Trombosit pada Pasien Demam Berdarah. Karya Tulis Ilmiah.

Rowe, R.C., dkk. 2006. Handbook of Pharmaceutical Excipients, Fifth Edition.

Pharmaceutical Press and America Pharmacist Assosiation : Washington

DC, Halaman 111-112 ; 301-302 ; 794.

Sastroamidjojo, S. 2001. “Obat Asli Indonesia”. Dian Rakyat : Jakarta, Halaman

170.

Soebagio,Boesro., dkk. 2007. Pembuatan Gel Dengan Aqupec HV-505 dari

Ekstrak Umbi Bawang Merah (Allium cepa, L.) Sebagai Antioksidan.

Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran.

Voigt, Rudolf. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Edisi Kelima. Gadjah

Mada University Press : Yogyakarta, Halaman 609-610.

Yuliani, Sri Hartati. 2010. “Optimasi Kombinasi Campuran Sorbitol, Gliserol, dan

propilenglikol Dalam Gel Sunscreen Ekstrak Etanol Curcuma mangga”,

Majalah Farmasi Indonesia Vol.21, No.2 : 83-89.

Page 78: Skripsi Fix

64

LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Determinasi Tumbuhan

Page 79: Skripsi Fix

65

Lampiran 2. Proses Maserasi dan Pemekatan

Proses Maserasi

Pengambilan Maserat

Page 80: Skripsi Fix

66

Pemekatan Ekstrak

Lampiran 3. Hasil skrining fitokimia dari ekstrak rimpang jeringau merah

(Acorus sp.)

Identifikasi Minyak Atsiri

Page 81: Skripsi Fix

67

Identifikasi Alkaloid

Identifikasi Saponin

Identifikasi Tanin

Page 82: Skripsi Fix

68

Identifikasi Flavonoid

Lampiran 4. Pembuatan Eliksir

Eliksir Rimpang Jeringau Merah (Acorus sp.)

Page 83: Skripsi Fix

69

Lampiran 5. Uji Stabilitas

Organoleptis

Viskositas

Page 84: Skripsi Fix

70

pH