PENGARUH PENAMBAHAN GLISERIN TERHADAP STABILITAS
SEDIAAN ELIKSIR DARI EKSTRAK RIMPANG
JERINGAU MERAH (Acorus sp.)
SKRIPSI
Oleh:
HERMAWAN HELMI
I 21107050
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2012
i
PENGARUH PENAMBAHAN GLISERIN TERHADAP STABILITAS
SEDIAAN ELIKSIR DARI EKSTRAK RIMPANG
JERINGAU MERAH (Acorus sp.)
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi
(S.Farm) Pada
Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Tanjungpura Pontianak
Oleh:
HERMAWAN HELMI
NIM : I 21107050
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2012
ii
PENGARUH PENAMBAHAN GLISERIN TERHADAP STABILITAS
SEDIAAN ELIKSIR DARI EKSTRAK RIMPANG
JERINGAU MERAH (Acorus sp.)
Yang diajukan oleh:
Hermawan Helmi
NIM : I 211 07 050
Telah disetujui oleh
Pembimbing Utama,
Rise Desnita, S. Farm., Apt.NIP. 198112202009122003
Pembimbing Pendamping,
Hariyanto I.H., S.Farm., Apt.NIP. 198501062009121009
iii
SKRIPSI
PENGARUH PENAMBAHAN GLISERIN TERHADAP STABILITAS SEDIAAN ELIKSIR DARI EKSTRAK RIMPANG
JERINGAU MERAH (Acorus sp.)
Oleh:HERMAWAN HELMI
NIM : I21107050
Telah dipertahankan dihadapan Panitia Penguji Skripsi Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Tanjungpura Pontianak
Tanggal : 16 Januari 2012
Disetujui,
Pembimbing Utama,
Rise Desnita, S. Farm., Apt.NIP. 198112202009122003
Pembimbing Pendamping,
Hariyanto I.H., S.Farm., Apt.NIP. 198501062009121009
Penguji I, Penguji II,
Robiyanto, S.Farm., Apt. Hj. Sri Wahdaningsih, M.Sc., Apt.NIP. 198212192008011005 NIP. 198111012008012011
MengetahuiDekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Tanjungpura
dr. Sugito Wonodirekso,M.SNIP. 19481012975011001
Lulus tanggal : 16 Januari 2012No. SK Dekan : 117/H22.9/DT/2012Tanggal : 20 Januari 2012
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Hermawan Helmi
NIM : I 211 07 050
Jurusan/Prodi : Farmasi
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri; bukan merupakan
pengambilalihan tulisan yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri.
Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil
jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Pontianak, 19 Januari 2012
Yang Membuat Pernyataan
(Hermawan Helmi)
NIM. I 211 07 050
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
ALLAH…Rabb hamba…sesungguhnya shalat hamba, ibadah hamba, hidup
hamba dan mati hamba hanyalah untukMU, maka terimalah sujud syukur
hamba………
Rasulullah sang uswatun hasanah, allaahummashalli ‘alaa Muhammad Untuk
ayahanda dan ibunda tersayang, yang pengorbanannya tak dapat
terwakilkan oleh Untaian kata terindah sekalipun, nanda hanya bisa berdoa
semoga ALLAH membalas semua pengorbanan itu dengan jannahNYA…
Wahai ALLAH…Rabb hamba, ini adalah harapan terbesar hamba, maka
kabulkanlah wahai ALLAH…
Papa, Mama, kakak, ‘n keponakan kecilku…semoga ALLAH memperkuat
langkah kita untuk melangkah menuju ridhoNYA, semoga ALLAH
senantiasa menyatukan hati kita dengan cintaNYA, dan semoga kita
disatukan di surgaNYA kelak Kak manar, syukron khairan katsiira atas
semua support dan jalinan doa yang tak pernah putus. Semoga ALLAH
membalas semua itu dengan yang Lebih baik.
Especially thanks to : Bu Rise, Pak Hari, Bu Pur, Asih, Eka, Nidia, Hadi,
Meri, Iyo, Ulis, dan semua yang telah mendukung dan membantu dalam
menyelesaikan skripsi ini,,,
Jazakumullah khoir, wallaahu ahsanul jaza’
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, atas segala Rahmat dan Karunia-Nya. karena rahmat dan karunia-Nya itu pula proposal skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Proposal skripsi ini berjudul Pengaruh Penambahan Gliserin Terhadap Stabilitas Sediaan Eliksir dari Ekstrak Rimpang Jeringau Merah (Acorus sp.). Penelitian pada proposal skripsi ini didasarkan pada uji stabilitas fisik dan kimia sediaan eliksir dari ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.) dengan variasi konsentrasi kosolven. Berdasarkan pengujian yang dilakukan diharapkan dapat diketahui konsentrasi Gliserin pada sediaan eliksir dari ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.) yang memberikan stabilitas paling baik.
Pembuatan skripsi ini dapat terlaksana dengan baik berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih kepada :1. Kedua orang tua saya, Bapak Helmi dan Ibu Sri Wini Suherni yang tak
pernah henti memberikan dukungan dan motivasi.2. Bapak Dr. Sugito Wonodirekso, MS selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Tanjungpura Pontianak.3. Bapak Prof. Dr. Sabirin Matsjeh selaku Ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tanjungpura4. Ibu Rise Desnita, S.Farm, Apt dan Bapak Hariyanto, S.Farm., Apt selaku
dosen pembimbing dalam skripsi ini, tanpa bimbingan beliau skripsi ini tidak akan ada apa-apanya.
5. Seluruh dosen Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tanjungpura Pontianak yang telah membagi ilmu-ilmu yang sangat berharga dan tak ternilai.
6. Seluruh staf Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.7. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu atas bantuan dan
dukungan yang diberikan, baik secara langsung maupun tidak langsung.Saya menyadari bahwa proposal skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, sangat diharapkan adanya kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi Almamater, mahasiswa seprofesi serta sejawat, dan siapa saja yang membacanya. Amin.
Pontianak, 19 Januari 2012
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... iHALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................ iiHALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ...................................................... iiiHALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN .......................... ivHALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... vKATA PENGANTAR.................................................................................. viDAFTAR ISI ............................................................................................... viiDAFTAR GAMBAR ................................................................................... ixDAFTAR TABEL ....................................................................................... xDAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiABSTRAK .................................................................................................. xiiABSTRACT................................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 11.1 Latar Belakang Masalah ........................................................ 11.2 Perumusan Masalah .............................................................. 31.3 Tujuan Penelitian .................................................................. 31.4 Manfaat Penelitian ................................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 52.1 Tinjauan Botani Tumbuhan Jeringau Merah (Acorus sp.) ....... 52.2 Kandungan Kimia dari Jeringau Merah (Acorus sp.) .............. 72.3 Simplisia dan Ekstrak ............................................................ 92.4 Teknologi Ekstraksi ............................................................... 142.5 Sediaan Eliksir ...................................................................... 172.6 Bahan-Bahan Dalam Formulasi Eliksir .................................. 212.7 Stabilitas Eliksir..................................................................... 232.8 Landasan Teori ...................................................................... 262.9 Hipotesis................................................................................ 27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 283.1 Alat-alat ................................................................................ 283.2 Bahan-bahan ......................................................................... 283.3 Determinasi Sampel .............................................................. 293.4 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................ 293.5 Pengambilan Sampel ............................................................. 303.6 Preparasi Sampel .................................................................. 303.7 Ekstraksi Rimpang Jeringau Merah (Acorus sp.) .................... 303.8 Pengukuran Susut Pengeringan .............................................. 303.9 Skrining Fitokimia ................................................................. 313.10 Analisis Kromatografi Lapis Tipis ........................................ 333.11 Pembuatan Eliksir Ekstrak Rimpang Jeringau Merah
(Acorus sp.) ........................................................................... 33
viii
3.12 Uji Stabilitas Fisika dan Kimia Formula................................. 34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................... 364.1 Determinasi Sampel ............................................................... 364.2 Preparasi Sampel ................................................................... 364.3 Ekstraksi Rimpang Jeringau Merah (Acorus sp.) .................... 374.4 Pengukuran Susut Pengeringan .............................................. 394.5 Skrining Fitokimia ................................................................. 404.6 Analisis Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Senyawa
Flavonoid............................................................................... 424.7 Pembuatan Eliksir Ekstrak Rimpang Jeringau Merah
(Acorus sp.) ........................................................................... 454.8 Uji Stabilitas Fisika dan Kimia Formula................................. 47
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 595.1 Kesimpulan............................................................................ 595.2 Saran ..................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 61
LAMPIRAN ................................................................................................ 64
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Bentuk Fisik Tumbuhan Jeringau Merah (Acorus sp.) ............ 5Gambar 2. Kromatogram hasil KLT dengan penampakan noda .............. 43
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Formula Eliksir dalam Penelitian.............................................. 33Tabel 2. Hasil Skrining Fitokimia terhadap Ekstrak Kering
Rimpang Jeringau Merah (Acorus sp.) ..................................... 41Tabel 3. Hasil Pengamatan Uji Organoleptis pada Sediaan Eliksir
Ekstrak Rimpang Jeringau Merah (Acorus sp.) ........................ 48Tabel 4. Hasil Penentuan Kerapatan Jenis dengan Piknometer .............. 52Tabel 5. Hasil Perhitungan Viskositas dan Standar Deviasi ................... 54Tabel 6. Nilai pH Selama Masa Penyimpanan dan Standar Deviasinya .. 56
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Determinasi Tumbuhan ................................................... 64Lampiran 2. Proses Maserasi dan Pemekatan ............................................... 65Lampiran 3. Hasil Skrining Fitokimia dari Ekstrak Rimpang Jeringau
Merah (Acorus sp.) .................................................................. 66Lampiran 4. Pembuatan Eliksir .................................................................... 68Lampiran 5. Uji Stabilitas ........................................................................... 69
xii
PENGARUH PENAMBAHAN GLISERIN TERHADAP STABILITAS SEDIAAN ELIKSIR DARI EKSTRAK RIMPANG JERINGAU
MERAH (Acorus sp.)
ABSTRAK
Jeringau merah (Acorus sp.) merupakan salah satu tanaman endemik Kalimantan Barat yang memiliki kandungan kimia yang dapat meningkatkan jumlah trombosit pada penderita demam berdarah. Bagian dari tumbuhan ini yaitu pada bagian rimpangnya memiliki kandungan yang bisa meningkatkan trombosit darah, sehingga cocok menjadi obat alternatif bagi penderita Demam Berdarah Dengue (DBD). Jenis penelitian ini menggunakan penelitian eksperimental meliputi pengumpulan dan pengolahan sampel, pembuatan ekstrak, skrining fitokimia, analisis Kromatografi Lapis Tipis (KLT), formulasi ekstrak rimpangjeringau merah (Acorus sp.) dalam bentuk eliksir, pengamatan terhadap stabilitas sediaannya, serta menentukan formula sediaan eliksir dari ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.) dengan konsentrasi gliserin mana yang stabilitasnya paling baik. Stabilitas fisika yang diamati adalah organoleptis dan viskositas, sedangkan stabilitas kimia yang diamati adalah pH. Sediaan yang memiliki stabilitas fisika paling baik adalah eliksir ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.) dengan konsentrasi gliserin 20%, sedangkan yang memiliki stabilitas kimiapaling baik adalah eliksir ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.) dengan konsentrasi gliserin 40%.
Kata kunci : Jeringau merah, gliserin, stabilitas, eliksir.
xiii
THE EFFECT OF GLYCERIN ADDITION ON STABILITY OF ELIXIRPREPARATION FROM RED JERINGAU (Acorus sp.)
RHIZOMES EXTRACT
ABSTRACT
Red jeringau (Acorus sp.) is one of the endemic plants of West Borneo, which contain chemical compounds that can increase trombocyte numbers in patients with dengue fever. Part of this plant that has a content to increase blood platelets is on the rhizome, so it is suitable to be an alternative drug for patients with Dengue Hemorrhagic Fever (DHF). This research used experimental research involving the collection and processing of samples, making extracts, phytochemical screening, analysis of Thin Layer Chromatography (TLC), the formulation of the rhizome extract of red jeringau (Acorus sp.) in the form of elixir, observations on the stability, and determination of the elixir formula from rhizome extract of red jeringau (Acorus sp.) which glycerin concentration has the best stability. The physical stability that observed are including organoleptic and viscosity checking, whereas the chemical stability that observed is pH. Preparation that has the best physical stability is the elixir of red jeringau (Acorus sp.) rhizome extract with 20% glycerin concentration, whereas preparation that has the best chemical stability is the elixir of red jeringau (Acorus sp.) rhizome extract with 40% glycerin concentration.
Keywords : Red Jeringau, glycerin, stability, elixir.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam berdarah (DB) adalah penyakit febril akut yang ditemukan di
daerah tropis, dengan penyebaran geografis yang mirip dengan malaria.
Kalimantan Barat sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia merupakan
salah satu wilayah yang rawan terhadap wabah demam berdarah, bahkan
terjadinya KLB (kejadian luar biasa) dengan banyaknya jumlah pasien rawat inap
penderita demam berdarah melebihi kapasitas rumah sakit yang ada di Kalimantan
Barat, khususnya di wilayah perkotaan. Tahun 2008 dilaporkan terdapat sejumlah
445 pasien penderita demam berdarah, yang tersebar di rumah-rumah sakit
wilayah Kota Pontianak, 8 orang di antaranya meninggal akibat kegagalan
penanganan pasien demam berdarah (Dinkes Provinsi, 2009).
Salah satu tumbuhan endemik Kalimantan Barat yang telah turun temurun
digunakan dalam pengobatan demam berdarah adalah Acorus sp (jeringau merah).
Berdasarkan pengalaman empiris masyarakat Dayak yang tinggal di pedalaman
ngabang yang jauh dari pelayanan kesehatan formal, air rebusan rimpang Acorus
sp dapat menyembuhkan demam berdarah penderita dengan menghilangkan gejala
demam dan pemulihan stamina kekondisi normal.
Jeringau merah (Acorus sp.) merupakan salah satu tanaman endemik
Kalimantan Barat yang memiliki kandungan kimia yang dapat meningkatkan
jumlah trombosit pada penderita demam berdarah. Bagian dari tumbuhan ini yaitu
2
pada bagian rimpangnya memiliki kandungan yang bisa meningkatkan trombosit
darah, sehingga cocok menjadi obat alternatif bagi penderita Demam Berdarah
Dengue (DBD). Berdasarkan penelitian terakhir yang telah dilakukan peneliti
(Pratiwi, dkk., 2010) menunjukkan adanya peningkatan jumlah trombosit yang
besar saat marmut diberikan rimpang jeringau dalam bentuk suspensi dengan
dosis 100% dari 100% dosis empiris dan dosis 50% dari 150% dosis empiris.
Sifat kelarutan dari granul rimpang jeringau merah ini yang kurang baik
dalam air (Pratiwi, dkk., 2010). Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan
pemanfaatan ekstrak dari rimpang jeringau merah (Acorus sp.) untuk membuat
sediaan eliksir, yang diambil dari kawasan hutan Sungai Purun Kecil, Kabupaten
Pontianak, Kalimantan Barat. Kemudian dilanjutkan pada tahapan uji stabilitas
fisik dan kimia dari sediaan eliksir ini.
Eliksir adalah larutan hidroalkohol yang jernih dan manis dimaksudkan
untuk penggunaan oral, dan biasanya diberi rasa untuk menambah kelezatan.
Sediaan eliksir dibagi menjadi dua, yaitu eliksir bukan obat yang digunakan
sebagai pembawa dan eliksir obat untuk efek terapi dari senyawa obat yang
dikandungnya. Dibandingkan dengan sirup, eliksir biasanya kurang manis dan
kurang kental karena mengandung kadar gula yang lebih rendah dan akibatnya
kurang efektif dibanding sirup dalam menutupi rasa senyawa obat. Walaupun
demikian, karena sifat hidroalkohol, eliksir lebih mampu mempertahankan
komponen-komponen larutan yang larut dalam air dan yang larut dalam alkohol
daripada sirup. Juga karena stabilitasnya yang khusus dan kemudahan dalam
3
pembuatannya (dengan melarutkan biasa), dari sudut pembuatan, eliksir lebih
disukai dari sirup (Ansel, 2005).
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan
rimpang jeringau merah (Acorus sp.) dengan melakukan formulasi sediaan Eliksir
dan pengujian stabilitasnya, sehingga dapat menambah informasi maupun
referensi baru mengenai pengembangan tumbuhan ini sebagai sediaan herbal.
Selain itu, diharapkan pula hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu
solusi terapi bagi penderita demam berdarah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dari penelitian
ini adalah :
a. Apakah ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.) dapat dijadikan sediaan
eliksir?
b. Bagaimanakah sifat fisik dan stabilitas sediaan eliksir dari ekstrak rimpang
jeringau merah (Acorus sp.)?
c. Berapakah konsentrasi gliserin pada sediaan eliksir dari ekstrak rimpang
jeringau merah (Acorus sp.) yang memberikan stabilitas paling baik?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Membuat formulasi sediaan eliksir dari ekstrak rimpang jeringau merah
(Acorus sp.).
4
b. Menjelaskan stabilitas fisik dan kimia sediaan eliksir dari ekstrak rimpang
jeringau merah (Acorus sp.).
c. Menentukan konsentrasi Gliserin pada sediaan eliksir dari ekstrak rimpang
jeringau merah (Acorus sp.) yang memberikan stabilitas paling baik.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :
a. Sebagai bahan referensi untuk pembuatan dan pengujian stabilitas formula
sediaan eliksir ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.).
b. Sebagai solusi untuk mengoptimalkan pemanfaatan rimpang jeringau merah
(Acorus sp.) dalam bidang kesehatan.
c. Sebagai sumber informasi maupun referensi baru mengenai pengembangan
tumbuhan ini sebagai sediaan herbal, khususnya rimpang jeringau merah
(Acorus sp.), bagi masyarakat, pemerintah, industri farmasi, maupun peneliti
lain.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Botani Tumbuhan Jeringau Merah (Acorus sp.)
Jeringau merah merupakan tumbuhan endemik yang tumbuh liar di hutan-
hutan tropis Kalimantan Barat, seperti di hutan kawasan Kabupaten Pontianak.
Jeringau merah merupakan salah satu tumbuhan dari genus Acorus, yang
berdasarkan kekerabatannya dengan A. calamus Linn. memiliki taksonomi yang
sama yaitu (Sistem Klasifikasi APG II, 2003):
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Monocotiledonae
Ordo : Arales
Famili : Acoraceae
Genus : Acorus
Spesies : Acorus sp.
Gambar 1. Bentuk fisik tumbuhan jeringau merah (Acorus sp.)
6
Jeringau (Acorus calamus) adalah tumbuhan herba tahunan, tinggi sekitar
75 cm dengan daun bebentuk pita panjang, rimpangnya berbau tajam dan terasa
agak pahit. Minyak atsiri terdapat pada daun dan rimpangnya, seperti eugenol,
asarilaldehida, asaron (alfa dan beta asaron), kalameon, kalamidiol,
isokalamendiol, akorenin, akonin, akroagermakron, akolamonin, isokolamin,
sioburin, isosiobunin, dan epi-siobunin. Selain itu, jeringau (Acarus calamus) juga
mengandung resin, amilum dan tannin, banyak dipergunakan untuk meredakan
radang (Sastroamidjojo, 2001).
Berdasarkan penelitian terakhir yang telah dilakukan peneliti (Pratiwi,
dkk., 2010) menunjukkan adanya peningkatan jumlah trombosit yang besar saat
marmut diberikan rimpang jeringau dalam bentuk suspensi dengan dosis 100%
dari 100% dosis empiris dan dosis 50% dari 150% dosis empiris.
Tetapi penggunaan rimpang ini dianjurkan untuk tidak dalam waktu lama
atau terus menerus, karena dapat menimbulkan efek samping yang tidak
diinginkan. Efek samping tanaman obat dapat digambarkan dalam Acorus
calamus yang biasa digunakan untuk mengobati stress seperti kandungan
senyawa bioaktif asaron yang struktur kimianya mirip golongan amfetamin dan
ekstasi, dapat memberikan efek relaksasi pada otot dan efek sedatif (penenang)
terhadap saraf pusat (Manikandan S, dan Devi RS., 2005). Namun, jika
digunakan dalam dosis tinggi malah memberikan efek sebaliknya, yakni
meningkatkan aktivitas mental (psikoaktif) (Fang Y, dkk, 2003). Di samping itu
asaron dari Acorus calamus juga merupakan senyawa alami yang potensial
7
sebagai pemicu timbulnya kanker, apalagi jika tanaman ini digunakan dalam
waktu lama (Abel G, 1987).
2.2 Kandungan Kimia dari Jeringau Merah (Acorus sp.)
Berdasarkan hasil skrining fitokimia yang dilakukan oleh peneliti (Pratiwi,
dkk., 2010) menunjukkan adanya flavonoid dalam rimpang jeringau, yang mampu
menaikkan trombosit darah pada hewan uji. Uji skrining fitokimia ini dilakukan
pada granul rimpang jeringau merah yang dibuat dengan metode granulasi basah.
Selain flavonoid, granul ini juga mengandung senyawa lain yaitu alkaloid,
saponin dan steroid. Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol
yang terbesar ditemukan di alam (Harborne, 2006). Senyawa-senyawa ini
merupakan zat warna merah, ungu, biru dan kuning yang banyak ditemukan
dalam tumbuhan. Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari
15 atom karbon, dimana dua cincin benzen (C6) terikat pada suatu rantai propana
(C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6 (Markham, 1988).
Flavonoid pada umumnya tidak stabil terhadap cahaya, oksidasi dan
perubahan kimia. Apabila teroksidasi strukturnya akan berubah dan fungsinya
sebagai bahan aktif akan berkurang bahkan hilang (Kitao dan Sekine, 1993).
Flavonoid merupakan senyawa polar karena mempunyai sejumlah gugus
hidroksil, sehingga akan larut dalam pelarut polar dan semi polar seperti etanol,
metanol, butanol, aseton, dimetilsulfoksida, dimetilformamida, dan air. Adanya
gula yang terikat pada flavonoid cenderung menyebabkan flavonoid lebih mudah
larut dalam air dan dengan demikian campuran pelarut di atas dengan air
8
merupakan pelarut yang lebih baik untuk glikosida. Sebaliknya, aglikon yang
kurang polar seperti isoflavon, flavanon, dan flavon serta flavonol yang
termetoksilasi cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan
kloroform (Markham, 1988). Analisa flavonoid lebih baik dengan memeriksa
aglikon yang terdapat dalam ekstrak tumbuhan yang telah dihidrolisis sebelum
memperhatikan kerumitan glikosida yang ada dalam ekstrak asal (Harborne,
2006).
Flavonoid secara umum telah diketahui memiliki aktivitas sebagai
antibakteri, antiviral, antiinflamasi, antialergi, antimutagenik, antitrombotik,
antioksidan dan aktivitas vasodilatasi (Markham, 1988). Untuk terapi penyakit
demam berdarah flavonoid bekerja dengan 2 mekanisme aksi, yang pertama
dengan cara meningkatkan zat antibodi yang berperan dalam proses peningkatan
sistem imunitas tubuh (imunomodulator), sehingga walaupun virus Dengue ini
menyerang tubuh, virus tetap tidak dapat menekan produksi trombosit pada
sumsum tulang belakang. Mekanisme kedua kedua ialah melalui penghambatan
terhadap enzim pembentuk RNA virus Dengue. Seperti telah diketahui bahwa
RNA merupakan komponen yang berperan penting dalam sintesis protein. Jika
pembentukan RNA virus terganggu, maka virus dapat mati karena tidak
mendapatkan komponen-komponen yang diperlukan untuk pertumbuhannya.
Dengan adanya penghambatan terhadap RNA maka replikasi virus juga akan
terganggu. Adanya penurunan kuantitas dan aktivitas virus dalam tubuh dapat
mengembalikan fungsi sistem tubuh lain untuk membentuk trombosit dalam
jumlah normal sehingga jumlah trombosit akan meningkat (Achmad, 2001).
9
Flavonoid dalam rimpang jeringau terdapat dalam bentuk berikatan
dengan gula glikosida. Adanya ikatan dengan gula glikosida ini dapat menjadikan
flavonoid berpotensi sebagai sumber energi dalam pembentukan trombosit. Salah
satu faktor yang mempengaruhi pembentukan trombosit adalah sumber energi.
Energi untuk reaksi trombosit berasal dari fosforilasi oksidatif dalam mitokondria
dan glikolisis anaerobik dengan memakai glikogen trombosit. Oleh sebab itu,
keberadaan gula glikosida disini akan sangat membantu dalam produksi trombosit
(Achmad, 2001).
2.3 Simplisia dan Ekstrak
2.3.1 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa
bahan lain yang telah dikeringkan (Depkes RI, 2000).
Simplisia dibedakan simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia
pelican (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh,
bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan ialah isi sel yang
secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu
dikeluarkan dari selnya, atau senyawa nabati lainnya yang dengan cara tertentu
dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia murni (Depkes
RI, 2000).
Simplisia nabati secara umum merupakan produk hasil pertanian
tumbuhan obat setelah melalui proses pasca panen dan proses preparasi sacara
10
sederhana menjadi bentuk produk kefarmasian yang siap dipakai atau siap
diproses selanjutnya (Depkes RI, 2000).
Simplisia sebagai produk hasil pertanian atau pengumpulan tumbuhan liar
(wild crop) tentu saja kandungan kimianya tidak dapat dijamin selalu ajeg
(konstan) karena disadari adanya variabel bibit, tempat tumbuh, iklim, kondisi
(umur dan cara) panen, serta proses pasca panen dan preparasi akhir. Walaupun
ada juga pendapat bahwa variabel tersebut tidak besar akibatnya pada mutu
ekstrak nantinya dan dapat dikompensasi dengan penambahan/pengurangan bahan
setelah sedikit prosedur analisis kimia dan sentuhan inovasi teknologi farmasi
lanjutan sehingga tidak bardampak banyak pada khasiat produknya. Usaha untuk
mengajegkan variable tersebut dapat dianggap sebagai usaha untuk menjaga
keajegan mutu simplisia (Depkes RI, 2000).
Variasi senyawa kandungan dalam produk hasil panen tumbuhan obat (in
vivo) disebabkan aspek seperti Genetic (bibit), Lingkungan (tempat tumbuh,
iklim), Rekayasa agronomi (fertilizer, perlakuan selama masa tumbuh), Panen
(waktu dan pasca panen) (Depkes RI, 2000).
Besarnya variasi senyawa kandungan meliputi baik jenis ataupun
kadarnya, sehingga timbul jenis (species) lain yang disebut kultivar. Namun
sebaliknya bahwa kondisi dimana variabel tersebut menghasilkan produk yang
optimal atau bahkan unggulan secara kimia maka dikenal obsesi adanya bibit
unggul dan produk unggulan serta daerah sentra agrobisnis, dimana tumbuhan
obat unggulan tersebut ditanam (Depkes RI, 2000).
11
Proses pemanenan dan preparasi simplisia merupakan proses yang dapat
menentuikan simplisia dalam berbagai artian, yaitu komposisi senyawa
kandungan, kontaminasi dan stabilitas bahan. Namun demikian simplisia sebagai
produk olahan, variasi senyawa kandungan dapat diperkecil, diatur atau diajegkan.
Hal ini karena penerapan (aplikasi) iptek pertanian pasca panen yang terstandar
(Depkes RI, 2000).
Standarisasi simplisia mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan
digunakan untuk obat sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan yang
tercantum dalam monografi terbitan resmi Departemen Kesehatan (Materia
Medika Indonesia). Sedangkan sebagai produk yang langsung dikonsumsi (serbuk
jamu dan sebagainya ) masih harus memenuhi persyaratan produk kefarmasian
sesuai dengan peraturan yang berlaku (Depkes RI, 2000).
2.3.2 Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menghunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan mssa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat
secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan
pengurangan tekanan, agar bahan sesedikit mungkin terkena panas (Depkes RI,
2000).
12
Ekstrak cair adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengandung etanol
sebagai pelarut atau sebagai pengawet. Jika tidak dinyatakan lain pada masing-
masing monografi tiap mL ekstrak mengandung senyawa aktif dari 1 gram
simplisia yang memenuhi syarat. Ekstrak cair yang cenderung membentuk
endapan dapat didiamkan dan disaring atau bagian yang bening die nap tuangkan
(dekantasi). Beningan yang diperoleh memenuhi persyaratan Farmakope. Ekstrak
cair dapat dibuat dari ekstrak yang sesuai (Depkes RI, 2000).
Ekstrak tumbuhan obat yang dibuat dari simplisia nabati dapat dipandang
sebagai bahn awal, bahan antara atau bahan produk jadi. Ekstrak sebagai bahan
awal dianalogkan dengan komoditi bahan baku obat yang dengan teknologi
fitofarmasi diproses menjadi produk jadi. Ekstrak sebagai bahan antara berarti
mash menjadi bahan yang dapat diproses lagi menjadi fraksi-fraksi, isolat
senyawa tunggal ataupun tetap sebagai campuran dengan ekstrak lain. Ekstrak
sebagai produk jadi berarti ekstrak yang berada dalam sediaan obat jadi siap
digunakan oleh penderita (Depkes RI, 2000).
Terpenuhinya standar mutu produk/bahan ekstrak tidak terlepas dari
pengendalian proses, artinya bahwa proses yang terstandar dapat menjamin
produk terstandar. Inilah hal yang sementara ini banyak dilakukan, yaitu dengan
bahan baku terstandar dan proses yang terkendali/terstandar, maka akan diperoleh
produk/bahan ekstrak terstandar tanpa penerapan pengujian atau pemeriksaan.
Namun hal ini tidak dapat dibiarkan untuk masa depan era globalisasi. Pengujian
atau pemeriksaan persyaratan parameter standar umum ekstrak mutlak harus
13
dilakukan dengan berpegang pada manajemen pengendalian mutu eksternal oleh
badan formal atau/dan badan independen (Depkes RI, 2000).
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap mutu ekstrak adalah (Depkes RI,
2000) :
2.3.2.1 Faktor Biologi
Mutu ekstrak dipengaruhi oleh bahan asal yaitu tumbuhan obatnya dan
khusus dipandang dari segi biologi, baik untuk bahan dari tumbuhan obat hasil
budidaya (kultivar) ataupun dari tumbuhan liar (wild crop) yang meliputi
beberapa hal yaitu identitas jenis (spesies), lokasi tumbuhan asal, periode
pemanenan hasil tumbuhan, penyimpanan bahan tumbuhan, Umur tumbuhan dan
bagian yang digunakan.
Selain 5 faktor tersebut, maka untuk bahan dari tumbuhan obat hasil
budidaya (kultivar) ada lagi factor GAP (Good Agriculture Practice) sedangkan
untuk bahan dari tumbuhan liar (wild crop) ada faktor kondisi proses pengeringan
yang umumnya dilakukan di lapangan.
2.3.2.2 Faktor Kimia
Mutu ekstrak dipengaruhi oleh bahan asal yaitu tumbuhan obatnya,
khususnya dipandang dari segi kandungan kimianya. Faktor kimia, baik untuk
bahan dari tumbuhan obat hasil budidaya (kultivar) ataupun dari tumbuhan liar
(wild crop),meliputi beberapa hal, yaitu faktor internal yang mencakup Jenis
senyawa aktif dalam bahan, komposisi kualitatif senyawa aktif, komposisi
kuantitatif senyawa aktif, kadar total rata-rata senyawa aktif dan faktor eksternal
14
yang mencakup metode ekstraksi, perbandingan ukuran alat ekstraksi (diameter
dan tinggi alat), ukuran, kekerasan dan kekeringan bahan, pelarut yang digunakan
dalam ekstraksi, kandungan logam berat, kandungan pestisida.
2.4 Teknologi Ekstraksi
2.4.1 Metode Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Ekstrak
adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstrak senyawa aktif dari
simplisia nabati atau simplisia hewani mengggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang
tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan
(Ditjen POM, 2000).
Ada beberapa cara metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Depkes
RI, 2000), yaitu:
1. Cara Dingin
a. Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperature ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan
prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi
kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus).
Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah
dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya. Metode maserasi
15
ini sangat menguntungkan dalam mengisolasi senyawa bahan alam karena
dengan perendaman sampel tumbuhan akan terjadi pemecahan dinding dan
membran sel akibat perbedaan konsentrasi larutan di dalam dan di luar sel
sehingga senyawa metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan
terlarut dalam pelarut organik. Metode ini juga sangat menguntungkan
untuk senyawa-senyawa yang tidak tahan terhadap pemanasan serta
tergolong murah dan sederhana. Kelemahan dari metode ini adalah waktu
ekstraksinya yang cukup lama dan membutuhkan pelarut dalam jumlah
besar.
b. Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada
temperature ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan,
tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya
(penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus sampai diperoleh ekstrak
(perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.
2. Cara Panas
a. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperature titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses
pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses
ekstraksi yang sempurna.
16
b. Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu
dengan jumlah pelarut relative konstan dengan adanya pendingin balik .
c. Digesti adalah maserasi kinetik (dengtan pengadukan kontinu) pada
temperature yang lebih tinggi dari temperature ruangan (kamar), yaitu
secara umum dilakukan pada temperature 40-50�C.
d. Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperature penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperature terukur
96-98�C) selama waktu tertentu (15-20 menit).
e. Dekok adalah infuse pada waktu yang lebih lama (≥30�C) dan temperature
sampai titik didih air.
2.4.2 Cairan Pelarut
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik
(optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan
demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa
kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa
kandungan yang diinginkan. Dalam hal ekstrak total, maka cairan pelarut dipilih
yang melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung (Depkes RI,
2000).
Faktor utama untuk pertimbangan pada pemilihan cairan penyari adalah
selektivitas, kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut, ekonomis,
ramah lingkungan, keamanan (Depkes RI, 2000).
17
Kebijakan dan peraturan pemerintah dalam hal ini juga ikut membatasi
cairan pelarut apa yang diperbolehkan dan mana yang dilarang. Pada prinsipnya
cairan pelarut harus memenuhi syarat kefarmasian atau dalam perdagangan
dikenal dengan kelompok spesifikasi pharmaceutical grade. Sampai saat ini
berlaku aturan bahwa pelarut yang diperbolehkan adalah air dan alkohol (etanol)
serta campurannya. Jenis pelarut lain seperti metanol dan lain-lain (alkohol dan
turunannya), heksana dan lain-lain (hidrokarbon alifatik), toluen dan lain-lain
(hidrokarbon aromatik), kloroform (dan segolongannya), aseton, umumnya
digunakan sebagai pelarut untuk tahap separasi dan tahap pemurnian (fraksinasi).
Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol karena dapat
melarutkan senyawa metabolit sekunder yang akan diambil dalam rimpang
jeringau merah (Acorus sp.), selain itu alasan tidak digunakannya metanol adalah
karena sifatnya yang toksik akut dan kronik, namun demikian jika dalam uji ada
sisa pelarut dalam ekstrak menunjukkan negatif, maka metanol sebenarnya pelarut
yang lebih baik dari etanol (Depkes RI, 2000).
2.5 Sediaan Eliksir
Bila dibandingkan dengan sirup, eliksir biasanya kurang manis dan kurang
kental, karena mengandung gula lebih sedikit maka kurang efektif dibandingkan
dengan sirup dalam menutupi rasa obat yang kurang menyenangkan. Karena
eliksir bersifat hidroalkohol, maka dapat menjaga stabilitas obat baik yang larut
dalam air maupun alkohol dalam larutan eliksir. Disamping itu eliksir mudah
dibuat larutan eliksir, maka itu eliksir lebih disukai dibanding sirup. Banyaknya
18
jumlah etanol yang ada di dalam eliksir berbeda sekali. Kadar etanol yang rendah
adalah 3% dan yang tertinggi dapat sampai 44%. Biasanya eliksir mengandung
antara 5-10% etanol (Anief, 2005). Pemanis yang digunakan biasanya gula atau
sirup gula, tapi kadang-kadang digunakan sorbitol, glycerinum dan saccharinum
(terbatas).
Perbandingan alkohol yang ada pada eliksir sangat berbeda karena masing-
masing komponen eliksir mempunyai sifat kelarutan dalam alkohol dan air yang
berbeda. Tiap eliksir memerlukan campuran tertentu dari alkohol dan air untuk
mempertahankan semua komponen dalam larutan. Tentu saja, untuk eliksir-eliksir
ini mengandung zat yang kelarutannya dalam air jelek, banyaknya alkohol yang
dibutuhkan lebih besar daripada eliksir yang dibuat dari komponen-komponen
yang kelarutannya dalam air. Disamping alkohol dan air, pelarut-pelarut lain
seperti gliserin dan propilen glikol, sering digunakan dalam eliksir sebagai pelarut
pembantu (Ansel, 2005).
Eliksir yang biasanya dimaniskan dengan sukrosa atau sirup sukrosa,
beberapa menggunakan sorbitol, gliserin dan/ atau pemanis buatan seperti sakarin
untuk tujuan ini. Eliksir yang mempunyai kadar alkohol yang tinggi biasanya
menggunakan pemanis buatan seperti sakarin, yang dibutuhkan hanya dalam
jumlah kecil, daripada sukrosa yang hanya sedikit larut dalam alkohol dan
membutuhkan jumlah yang lebih besar untuk kemanisan yang sama (Ansel,
2005).
Semua eliksir mengandung bahan pemberi rasa untuk menambah kelezatan
dan hampir semua eliksir mempunyai zat pewarna untuk meningkatkan
19
penampilannya. Eliksir yang mengandung alkohol lebih dari 10 – 12%, biasanya
bersifat sebagai pengawet sendiri dan tidak membutuhkan penambahan zat
antimikroba untuk pengawetannya (Ansel, 2005).
Eliksir obat diformulasi sedemikian rupa sehingga pasien menerima obat
dengan dosis lazim untuk dewasa dalam ukuran eliksir yang tepat. Untuk sebagian
terbesar eliksir, satu atau dua sendok teh penuh (5 atau 10 ml) pemberian obat
dengan dosis lazim dewasa. Satu keuntungan eliksir lebih dari obat yang dalam
bentuk pemberian padat adalah kemudahan penyesuaian dan kemudahan
pemberian dosis, terutama pada anak-anak. Orang tua dapat memberi setengah
sendok teh penuh obat, sebagai contoh, untuk anak yang memperoleh kemudahan
yang lebih besar daripada yang didapat dengan memecah tablet obat yang sama
atau memisahkan dan dibagi dalam kapsul obat. Pada keadaan dimana eliksir obat
dimaksudkan untuk anak-anak, wadah diperdagangkan sering mengandung alat
pengukur yang telah dikalibrasi, seperti tetesan atau sendok, untuk memudahkan
orang tua mengukur obat dengan tepat dengan jumlah yang dianjurkan sesuai
umur anak, berat, atau kondisinya (Ansel, 2005).
Eliksir mengandung alkohol dan biasanya juga mengandung beberapa
minyak mudah menguap yang rusak oleh adanya udara dan sinar, maka paling
baik disimpan baik disimpan dalam wadah-wadah yang tertutup rapat, tahan
cahaya untuk menjaga terhadap temperatur yang berlebihan (Ansel, 2005).
20
2.5.1 Pembuatan Eliksir
Eliksir biasanya dibuat dengan larutan sederhana dengan pengadukan dan
atau dengan pencampuran dua atau lebih bahan-bahan cair. Komponen yang larut
dalam alkohol dan air umumnya dilarutkan terpisah dalam alkohol dan air yang
dimurnikan berturut-turut. Kemudian larutan air ditambahkan ke larutan alkohol,
dan sebaliknya, untuk mempertahankan kekuatan alkohol yang setinggi mungkin
selamanya sehingga pemisahan yang minimal dari komponen yang larut dalam
alkohol terjadi. Bila dua larutan selesai dicampur, campuran dibuat sesuai volume
dengan pelarut atau pembawa tertentu. Sering campuran akhir akan tidak jernih,
tetapi keruh, terutama karena pemisahan beberapa minyak pemberi rasa dengan
menurunnya konsentrasi alkohol. Bila ini terjadi, eliksir biasanya dibolehkan
untuk dibiarkan selama beberapa jam yang ditentukan untuk menjamin
penjenuhan pelarut hidroalkohol dan untuk memungkinkan butiran minyak
bergabung sehingga dapat dihilangkan dengan lebih mudah dengan disaring
(Ansel, 2005).
Talk merupakan filter yang sering digunakan membantu dalam pembuatan
eliksir, mempunyai kemampuan mengabsorbsi kelebihan minyak-minyak dan
karena itu membantu menghilangkannya dari larutan. Keseksamaan harus
dilakukan untuk tidak menggunakan penolong saringan dalam jumlah berlebihan,
seperti kelebihan yang mungkin dihasilkan dalam membuang minyak dan
pewarna yang berlebihan dari larutan dan juga dalam peningkatan waktu
penyaringan yang dibutuhkan untuk mendapatkan kejernihan (Ansel, 2005).
21
Harus diingat bahwa kadar alkohol tiap eliksir besar kepentingannya untuk
kelarutan seterusnya dari bahan-bahan, dan karena itu selama proses penyaringan,
kertas saring harus dibasahi dengan larutan hidroalkohol yang mempunyai kadar
alkohol yang sama dengan larutan alkohol atau harus digunakan yang kering.
Adanya gliserin, sirup, sorbitol, dan propilen glikol dalam eliksir umumnya
memberi andil pada efek pelarut dari pembawa hidroalkohol, membantu kelarutan
zat terlarut, dan meningkatkan kestabilan sediaan. Akan tetapi adanya bahan-
bahan ini menambah kekentalan eliksir dan memperlambat kecepatan penyaringan
(Ansel, 2005).
2.6 Bahan-Bahan Dalam Formulasi Eliksir
2.6.1 Gliserin
Secara umum gliserin berfungsi antara lain sebagai pengawet antibakteri,
emolien, humektan (pelembab), plasticizer, pelarut, pemanis, bahan tonisitas.
Gliserin (C3H5(OH)3) atau 1,2,3-propatrienol merupakan cairan seperti sirup,
jernih, tidak berwarna, tidak berbau, manis yang diikuti rasa hangat, dan
higroskopik. Gliserin larut dalam air, etanol (95%) P, praktis tidak larut dalam
kloroform, eter, dan dalam minyak lemak. Gliserin bersifat higroskopis, gliserin
murni tidak mudah teroksidasi oleh udara dalam penyimpanan biasa tetapi
terdekomposisi oleh pemanasan, dengan perkembangan racun acrolein. Gliserin
terkristalisasi jika disimpan pada suhu rendah dapat memadat membentuk massa
hablur tidak berwarna yang tidak melebur hingga suhu mencapai lebih kurang
22
20ºC. Gliserin harus disimpan pada container yang bebas udara, pada tempat yang
dingin dan kering (Depkes RI,1979).
Aplikasi dalam formulasi sediaan atau teknologi, gliserin digunakan secara
luas dalam formulasi farmasetis mencakup oral, OTIC, Ophtalmic, topikal, dan
preparasi parenteral. Dalam formulasi farmasetis topikal dan kosmetik, gliserin
terutama digunakan sebagai humektan dan emolien. Dalam formulasi parenteral,
gliserin digunakan terutama sebagai pelarut, Dalam larutan oral, gliserin
digunakan sebagai pelarut, pemanis, pengawet antibakteri, dan penambah
viskositas. Gliserin juga digunakan sebagai plasticizer dari gelatin dalam produksi
kapsul gelatin dan suppositoria gelatin dan di dalam salut film, formulasi topikal
seperti krim dan emulsi. Gelatin digunakan sebagai bahan terapeutis dalam
berbagai aplikasi klinis, dan juga digunakan sebagai zat tambahan makanan
(Rowe, dkk, 2006).
2.6.2 Etanol
Berfungsi sebagai antibakteri, Etanol atau biasa disebut alkohol adalah
campuran etilalkohol dan air. Mengandung tidak kurang dari 94,7% v/v atau
92,0% dan tidak lebih dari 95,2% v/v atau 92,7 % C2H60. Cairan ini tidak
berwarna, jernih, mudah menguap dan mudah bergerak memiliki bau khas dan
rasa panas. Etanol juga mudah terbakar dengan memberikan nyala biru yang tidak
berasap. Etanol sangat mudah larut dalam air, kloroform dan eter (Depkes RI,
1979).
23
2.6.3 Metil Paraben
Metil paraben mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari
101,0% C8H8O3. Metil paraben merupakan serbuk hablur halus, putih, hampir
tidak berbau, tidak mempunyai rasa, kemudian agak membakar diikuti rasa tebal
Metil paraben larut dalam 500 bagian air, dalam 20 bagian air mendidih, dalam
3,5 bagian etanol 95% dan dalam 60 bagian gliserol (Depkes RI, 1979).
Fungsi metil paraben adalah sebagai pengawet antibakteri. Aplikasi dan
formulasi sediaan atau teknologi metil paraben secara luas digunakan sebagai
pengawet antimikroba dalam kosmetik, produk makanan dan formulasi sediaan.
Dapat juga digunakan secara tunggal atau dalam kombinasi dengan paraben lain
atau antimikroba lainnya. Dalam kosmetik, metil paraben merupakan pengawet
antibakteri yang sering digunakan (Rowe, dkk, 2006).
Paraben efektif dalam rentang pH yang besar dan merupakan antimikroba
spektrum luas, walaupun zat tersebut paling efektif melawan ragi dan jamur.
Aktivitas antibakterinya meningkat sebagai rantai panjang alkil moiety
ditingkatkan (Rowe, dkk, 2006).
2.7 Stabilitas Eliksir
Permasalahan tentang stabilitas sediaan obat semakin berkembang dari
waktu ke waktu. Hal ini lebih banyak disebabkan semakin berkembangnya
produksi obat modern yang sangat aktif dimana pada umumnya seringkali tidak
stabil, serta permasalahan dalam penyimpanan produk untuk menjamin
24
penyimpanan yang baik dengan memperhatikan kondisi yang berkenaan dengan
stabilitas.
Stabilitas Obat merupakan kemampuan suatu produk obat untuk
mempertahankan sifat dan karakteristiknya agar sama dengan yang dimilikinya
pada saat baru dibuat (identitas, kekuatan, kualitas, kemurnian) dalam batasan
yang ditetapkan selama periode penyimpanan (Shelf-Life). Sebelum beredar
dipasaran, suatu sediaan obat harus memiliki stabilitas fisika dan kimia yang baik
selama masa penyimpanan. Hal ini dikarenakan stabilitas ini sangat
mempengaruhi kenyamanan penggunaan, efektivitas dan tingkat keamanan
(toksisitas) dari suatu sediaan obat.
2.7.1 Stabilitas fisik
Meskipun banyak sekali laporan kepustakaan yang berhubungan dengan
pengujian stabilitas kimia zat berkhasiat dalam sediaan farmasi, sangat jarang
laporan mengenai pengujian stabilitas fisik. Dari segi farmasi maupun
pengobatan, perubahan fisik sediaan pada penyimpanan dapat separah atau
kadang-kadang lebih parah daripada ketidakstabilan kimia bahan berkhasiat.
Contoh perubahan fisik yang dapat terjadi adalah pertumbuhan hablur, perubahan
bentuk hablur, bertambah atau berkurangnya laju disolusi dan waktu disintegrasi,
pudarnya warna, pembentukan warna, dan pembentukan endapan atau kabut
dalam larutan (Lachman, 2008).
25
2.7.2 Stabilitas kimiawi
Informasi yang disajikan sampai saat ini menggambarkan kemungkinan
penggunaan prinsip kinetik kimia untuk meneliti peruraian suatu obat berkhasiat
dalam larutan secara teliti, maupun untuk menentukan mekanisme peruraiannya.
Situasi yang lebih rumit timbul bila yang ingin diteliti adalah stabilitas satu obat
atau lebih dalam bentuk sediaan farmasi cair. Karena keragaman bahan dalam
kebanyakan formulasi farmasi, ada kemungkinan terjadi interaksi, ataupun tiap
bahan mempunyai karakteristik peruraian yang berbeda. Keadaan idealnya berupa
penelitian pola peruraian tiap bahan dalam campuran secara tersendiri. Tentu saja
hal ini sulit dicapai, makan waktu, dan mahal. Untungnya tidak perlu ditentukan
mekanisme peruraian untuk maksud peramalan stabilitas. Secara umum, stabilitas
tiap komponen dalam sediaan farmasi dapat dinilai melalui penetapan suatu sifat
atau gejala peruraian sebagai fungsi waktu. Bila fungsi ini dapat dibuat linear
menurut orde reaksi kinetik kimia, ketergantungan peruraian pada temperatur
dapat diperoleh. Informasi jenis ini, yang diperoleh pada kondisi pengujian yang
dilebih-lebihkan selama jangka waktu singkat, memungkinkan penetapan
stabilitas kimia suatu bahan berkhasiat, zat pewarna, dan pengawet antimikroba
untuk penyimpanan selama jangka waktu yang lebih lama (Lachman, 2008).
pH adalah suatu ukuran keasaman suatu air (larutan). Pengertian pH dalam
aplikasinya berbeda-beda. Di dalam sistem yang sering digunakan ( NBS sistem,
NBS = National Bureau of Standards), pH digambarkan dalam persamaan pH = -
log aH, dimana aH adalah aktivitas ion hidrogen dalam suatu larutan. Laju reaksi
dalam larutan berair sangat mudah dipengaruhi oleh pH sebagai akibat adanya
26
proses katalis. Untuk mengetahui pengaruh pH, maka faktor-faktor lainnya yang
berpengaruh seperti suhu, kekuatan ionik, dan komposisi pelarut harus dibuat
tetap (Connors, dkk,1986). Pengaruh pH dapat diketahui dari bentuk profil pH
laju degradasi dari hubungan antara pH dan log K tanpa pengaruh dapar.
Dari profil tersebut dapat diketahui pH yang stabil, katalisis reaksi dan
persamaan laju reaksi hipotetiknya yang memberikan informasi praktis stabilitas
suatu obat (Connors, dkk,1986). Tiga bentuk profil pH laju degradasi yang
dikenal yaitu bentuk V, bentuk sigmoid (S), dan bentuk parabola (bell shape) atau
kombinasi dari bentuk tersebut. Bentuk profil yang dihasilkan tergantung pada
sifat-sifat zat dan reaksi yang terjadi. Profil V terjadi bila obat bersifat tak
terionkan, profil S terjadi bila obat mengalami disosiasi asam basa satu kali,
sedangkan profil bentuk parabola terjadi bila asam basa mengalami disosiasi dua
kali (Connors, dkk,1986).
2.8 Landasan Teori
Skripsi ini berlandaskan hasil penelitian yang dilakukan oleh Asih Pratiwi
dkk dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan Universitas Tanjungpura
Pontianak yang berjudul “Pengembangan Jeringau Merah (Acorus sp.) Endemik
Kalimantan Barat sebagai Herbal Terstandar untuk Meningkatkan Trombosit pada
Pasien Demam Berdarah” pada Maret - Juni 2010. Dari hasil penelitian yang
dilakukan didapatkan bahwa adanya peningkatan jumlah trombosit yang besar
saat marmut diberikan rimpang jeringau dalam bentuk suspensi dengan dosis
100% dari 100% dosis empiris dan dosis 50% dari 150% dosis empiris. Namun
27
stabilitas sediaan suspensinya kurang baik, selain itu sifat kelarutan dari granul
rimpang jeringau merah ini yang kurang baik juga dalam air. Oleh karena itu,
pada penelitian ini dilakukan pemanfaatan ekstrak dari rimpang jeringau merah
(Acorus sp.) untuk membuat sediaan eliksir.
2.9 Hipotesis
Ekstrak rimpang jeringau merah asal hutan kawasan Sungai Purun Kecil,
Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat dapat dijadikan sediaan eliksir dengan
stabilitas fisika dan kimia yang baik.
28
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian eksperimental meliputi
pengumpulan dan pengolahan sampel, pembuatan ekstrak, skrining fitokimia,
Analisis Kromatografi Lapis Tipis (KLT), formulasi ekstrak rimpang jeringau
merah (Acorus sp.) dalam bentuk eliksir, pengamatan terhadap stabilitas
sediaannya, serta menentukan formula sediaan eliksir dari ekstrak rimpang
jeringau merah (Acorus sp.) yang paling baik stabilitasnya.
3.1 Alat-alat
Alat-alat yang digunakan meliputi botol gelap, bejana ekstraksi, neraca
analitik (Tecstar), piknometer, pipet ukur (Pyrex), beaker glass (Pyrex), gelas
ukur (Pyrex), gelas crusibel, erlenmeyer (Pyrex), batang pengaduk, viscometer
Ostwald, pHmeter, rotari evaporator (Heidolph), hot plate, silika gel GF254, pipa
kapiler, penangas air, tabung reaksi (Pyrex), ball filler, gelas chamber, dan
corong.
3.2 Bahan-bahan
3.2.1 Sampel Penelitian
Sampel yang digunakan adalah rimpang jeringau merah (Acorus sp.) yang
diperoleh dari kawasan hutan Sungai Purun Kecil, Kabupaten Pontianak,
Kalimantan Barat.
29
3.2.2 Bahan Pembanding
Sediaan eliksir “BT” yang berasal dari ekstrak tanaman dan sudah beredar
dipasaran.
3.2.3 Bahan Kimia
Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk formulasi adalah bahan pelarut
organik berupa etanol p.a., bahan kosolven dan pemanis berupa gliserin, bahan
pengawet berupa metil paraben, dan bahan pelarut berupa aquadest. Sedangkan
bahan-bahan kimia untuk skrining fitokimia adalah larutan basa amonia 1%,
kloroform, HCl 2 N� larutan gelatin 1% (1:1), amil alkohol, serbuk Mg, eter,
pereaksi Lieberman-Burchard, pereaksi Mayer, dan pereaksi Dragendorf.
3.3 Determinasi Sampel
Tanaman yang digunakan pada penelitian ini diideterminasi di
Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA)
Universitas Tanjungpura Pontianak.
3.4 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan dari bulan Juli 2011 sampai Agustus
2011, bertempat di Laboratorium Teknologi Sediaan Farmasi Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Tanjungpura, Pontianak.
30
3.5. Pengambilan Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang Jeringau
Merah (Acorus sp.) yang diambil di wilayah hutan kawasan Sungai Purun Kecil,
Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Sampel yang diambil adalah yang
rimpangnya telah berwarna merah yaitu yang kira-kira sudah berusia 1 tahun.
3.6 Preparasi Sampel
Sampel rimpang jeringau merah (Acorus sp.) terlebih dahulu dibuang sisa
tanah dan akarnya, dicuci hingga bersih, kemudian dirajang tipis dan
dikeringanginkan.
3.7 Ekstraksi Rimpang Jeringau Merah (Acorus sp.)
Sebanyak 2 kg sampel jeringau merah (Acorus sp.) yang telah dihaluskan
dimaserasi dengan pelarut etanol sebanyak 5,5 liter. Maserasi dilakukan selama 3
x 24 jam pada suhu kamar dimana setiap 6 jam dilakukan pengadukan. Setiap 24
jam, ekstrak disaring dan ditampung maseratnya. Residu yang diperoleh
dimaserasi kembali dengan pelarut yang sama. Selanjutnya semua filtrat
dikumpulkan dan dipekatkan dengan rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak
kering.
3.8 Pengukuran Susut Pengeringan
Gelas crusibel kosong ditimbang, lalu panaskan gelas crusibel dalam oven
pada suhu 105ºc selama 30 menit, didinginkan 15 menit di dalam wadah kedap
31
udara dan timbang kembali berat gelas crusibelnya. Selanjutnya ekstrak ditimbang
sebanyak 1,8215 gr di dalam gelas crusibel yang telah dipanaskan dan ditara.
Tutup gelas crusibel, panaskan selama 30 menit di dalam oven pada suhu 105ºc,
didinginkan 15 menit di dalam wadah kedap udara dan timbang kembali gelas
crusibel yang telah berisi ekstrak. Perlakuan ini diduplo dan diulangi 2 kali untuk
mendapatkan bobot tetapnya.
3.9 Skrining Fitokimia
3.9.1 Pemeriksaan Alkaloid
Ekstrak ditambahkan dengan larutan basa amonia 1% dan kloroform di
dalam tabung reaksi, dikocok, kemudian lapisan kloroform (lapisan bawah)
dipipet dan ditambahkan HCl 2 N lalu dikocok. Larutan yang didapat dibagi tiga,
yaitu sebagai blangko, dan sisanya direaksikan masing-masing dengan pereaksi
Mayer dan Dragendorf. Hasil positif yaitu campuran dengan pereaksi Mayer
menimbulkan endapan putih dan campuran dengan pereaksi Dragendorf
menimbulkan kekeruhan dan endapan berwarna jingga (Soebagio, 2007).
3.9.2 Pemeriksaan Minyak Atsiri
Ekstrak diuapkan sampai kering, kemudian ditambah alkohol dan
diuapkan lagi hingga kering. Jika berbau aromatis yang spesifik dapat
disimpulkan bahwa simplisia mengandung minyak atsiri (Harborne, 2006).
32
3.9.3 Pemeriksaan Tanin
Ekstrak di dalam tabung reaksi dilarutkan dengan sedikit aquadest
kemudian dipanaskan di atas penangas air lalu diteteskan dengan larutan gelatin
1% (1:1). Hasil positifnya yaitu terbentuknya endapan putih (Soebagio, 2007).
3.8.4 Pemeriksaan Flavonoid
Ekstrak ditambahkan dengan serbuk Mg dan HCl 2N kemudian
dipanaskan di atas penangas air. Setelah itu ditambahkan dengan amil alkohol,
dikocok hingga tercampur rata. Hasil positifnya adalah tertariknya warna kuning-
merah pada lapisan alkohol (Soebagio, 2007).
3.9.5 Pemeriksaan Steroid dan Triterpenoid
Ekstrak ditambahkan dengan eter lalu dikocok. Lapisan eter diambil dan
diuapkan dengan cawan penguap di atas penangas air. Filtrat yang didapat
ditambahkan dengan pereaksi Lieberman-Burchard. Hasil positif untuk senyawa
steroid ialah timbulnya warna hijau sedangkan untuk senyawa triterpenoid hasil
positif ditandai dengan munculnya warna ungu (Soebagio, 2007).
3.9.6 Pemeriksaan Saponin
Ekstrak dilarutkan dengan aquadest lalu dipanaskan di atas penangas air.
Setelah dingin, larutan dalam tabung reaksi dikocok kuat-kuat selama ±30 detik.
Hasil positif yaitu terbentuknya busa yang konsisten selama beberapa menit
dengan penambahan 1 tetes HCl encer masih terbentuk busa (Soebagio, 2007).
33
3.10 Analisis Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Senyawa Flavonoid
Dibuat fase gerak kloroform-etil asetat (6:4) sebanyak 10 ml dimasukkan
dalam chamber, dibiarkan sampai jenuh. Ekstrak selanjutnya dipartisi dengan 150
ml etil asetat dan 150 ml air di dalam corong pisah. Hasil partisi ini kemudian
ditotolkan kira-kira 5 Äl bersama ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.)
yang telah dilarutkan dengan etanol pada plat KLT GF254, lalu dimasukkan ke
dalam chamber dan dielusi sampai tanda. Ekstrak mengandung flavonoid bebas
bila dilihat di bawah sinar UV 365 nm berfluoresensi hijau atau berwarna biru.
Untuk mempertegas bercak noda yang terbentuk, plat KLT kemudian
ditambahkan uap amoniak pekat.
3.11 Pembuatan Eliksir Ekstrak Rimpang Jeringau Merah (Acorus sp.)
Tabel 1. Formula Eliksir dalam Penelitian
Bahan F1 F2 F3
Ekstrak Kering Rimpang
Jeringau Merah
0,12 % 0,12 % 0,12 %
Etanol p.a. 5% 5% 5%Metil Paraben 0,20% 0,20% 0,20%Gliserin 20% 40% 60%Aquadest ad 100 ml 100 ml 100 ml
Cara Pembuatan : Kalibrasi botol yang akan digunakan sebagai wadah eliksir.
Kemudian timbang bahan-bahan yang akan digunakan sesuai dengan formulasi
pada tabel di atas. Selanjutnya larutkan ekstrak rimpang jeringau merah dalam
etanol p.a. Pada tempat terpisah, larutkan metil paraben dalam air panas. Lalu
campurkan kedua bahan tersebut, aduk hingga tercampur merata (homogen).
34
Setelah itu, saring campuran tersebut dan masukkan ke dalam botol. Kemudian
tambahkan gliserin ke dalam botol. Terakhir, tambahkan aquadest ke dalam botol
sampai tanda batas dan kocok botol hingga tercampur merata (homogen),
kemudian botolnya ditutup.
3.12 Uji Stabilitas Fisika dan Kimia Formula
Formula yang diamati dalam uji adalah formula dengan konsentrasi
gliserin yang memberikan stabilitas paling baik. Uji stabilitas fisika dilakukan
adalah uji organoleptis dan uji viskositas. Sedangkan uji stabilitas kimia
dilakukan dengan uji PH selama penyimpanan. Pada uji organoleptis, setiap kali
pengamatannya akan dibandingkan dengan sediaan eliksir dari ekstrak rimpang
jeringau merah (Acorus sp.) yang baru dibuat. Sedangkan pada uji viskositas,
sediaan eliksir yang dibuat akan dibandingkan dengan sediaan eliksir yang berasal
dari ekstrak tanaman dan sudah beredar dipasaran.
3.11.1 Uji Organoleptis
Uji organoleptis dilakukan dengan mengamati perubahan rasa, warna,
kejernihan dan bau dari sediaan eliksir ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus
sp.) selama waktu penyimpanan. Pengamatan dilakukan setiap 3 hari sekali
selama 2 minggu. Pengamatan dilakukan masing-masing 3 kali.
3.11.2 Uji viskositas
Uji viskositas ini diawali dengan pengukuran kerapatan jenis dari masing-
masing sampel dan air dengan piknometer. Pertama-tama timbang berat
35
piknometer kosong, setelah itu timbang berat piknometer yang telah terisi oleh 10
ml sampel. Nilai kerapatan jenis sampel didapatkan dari massanya sendiri dibagi
dengan volume piknometer, dengan satuan g/mL. Selanjutnya eliksir dimasukkan
ke dalam viscometer ostwald. Viskositas diketahui dengan mengamati waktu
turunnya sampel pada batas yang ada di dalam viscometer. Uji ini dilakukan 3 hari
sekali selama 2 minggu. Pengujian dilakukan masing-masing sebanyak 3 kali.
Nilai viskositas yang didapat setiap harinya pada masing-masing sampel
kemudian dihitung standar deviasinya dengan rumus (Gandjar, 2007) :
Dimana :
X = Nilai dari masing-masing pengukuran
= Rata-rata (mean) dari pengukuran
N = Frekuensi penetapan
N-1 = Derajat kebebasan
3.11.3 Pengukuran pH
Pengukuran pH dilakukan dengan cara mencelupkan pHmeter ke dalam
blangko dan eliksir ekstrak etanol rimpang jeringau merah (Acorus sp.).
Pengukuran dilakukan setiap 3 hari sekali untuk masing-masing sediaan selama
satu bulan. Nilai pH yang didapat setiap harinya pada masing-masing sampel
kemudian dihitung standar deviasinya.
36
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Determinasi Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang jeringau
merah (Acorus sp.) yang diperoleh dari kawasan hutan Sungai Purun Kecil,
Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Sampel ini selanjutnya dideterminasi
untuk memastikan bahwa sampel yang digunakan memang merupakan tanaman
jeringau merah (Acorus sp.). Sampel tanaman ini diidentifikasi di Laboratorium
Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas
Tanjungpura Pontianak. Dari hasil identifikasinya diketahui bahwa tanaman yang
digunakan positif jeringau merah (Acorus sp.) dengan klasifikasi seperti yang
terlampir pada lampiran 1.
4.2 Preparasi Sampel
Preparasi sampel dilakukan melalui beberapa tahap, mulai dari
pengumpulan, perajangan sampai pengeringan. Rimpang jeringau merah yang
telah dikumpulkan, selanjutnya dipisahkan dari akar, daun dan dibersihkan dari
sisa-sisa tanah kemudian dicuci sampai bersih dengan air mengalir. Sampel yang
telah dibersihkan selanjutnya dirajang tipis dan dikeringanginkan pada suhu
ruangan. Pengeringan langsung di bawah sinar matahari cenderung dihindari,
karena dapat mengakibatkan rusaknya senyawa yang tidak tahan terhadap panas
dan sinar UV. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kandungan air dari
37
sampel sehingga mikroorganisme tidak tumbuh dan berinteraksi dengan senyawa
yang terkandung dalam sampel. Sedangkan perajangan bertujuan untuk
memperluas permukaan sampel, sehingga akan memperluas kontak senyawa-
senyawa yang terdapat di dalam sampel dengan pelarut pada saat proses maserasi.
Hal ini bertujuan agar proses ekstraksi senyawa-senyawa dapat lebih maksimal
oleh pelarutnya.
4.3 Ekstraksi Rimpang Jeringau Merah (Acorus sp.)
Ekstraksi senyawa-senyawa kimia dalam rimpang jeringau merah
dilakukan dengan metode maserasi. Maserasi bertujuan untuk mengambil
komponen baik secara kualitatif (jumlah komponen) maupun secara kuantitatif
(jumlah massa masing-masing komponen) dari sampel dengan menggunakan
pelarut organik. Maserasi dilakukan dengan cara merendam sampel dalam pelarut
yang sesuai selama jangka waktu tertentu pada temperatur ruangan. Ketika proses
tersebut berlangsung, pelarut memecah dinding dan membran sel yang
mengandung senyawa kimia oleh pelarut. Senyawa kimia akan terekstrak akibat
adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel.
Larutan yang konsentrasinya tinggi (di dalam sel) akan terdesak keluar dan diganti
oleh pelarut dengan konsentrasi yang lebih rendah (terjadi proses difusi). Proses
difusi ini berlangsung terus menerus sampai terjadi keseimbangan antara
konsentrasi cairan komponen kimia di dalam sel dan di luar sel. Oleh karena
maserasi merupakan suatu teknik ekstraksi dingin, maka diharapkan dapat
38
diperoleh berbagai senyawa baik yang labil maupun yang stabil terhadap suhu
tinggi.
Sebanyak 2 kg sampel rimpang jeringau merah yang telah dihaluskan
dimaserasi menggunakan pelarut etanol 70%. Etanol merupakan pelarut organik
yang umum digunakan dalam maserasi karena ukuran molekulnya yang kecil,
sehingga memiliki kemampuan untuk menembus dan memecah dinding sel
tumbuhan dan dapat mengekstrak komponen kimia semi polar serta polar yang
terkandung dalam sel. Alasan lain penggunaan etanol sebagai pengekstraksi
adalah karena dapat melarutkan senyawa metabolit sekunder yang akan diambil
dalam rimpang jeringau merah (Acorus sp.) dan tingkat toksisitasnya yang rendah
dibandingkan dengan metanol.
Maserasi dilakukan dengan cara merendam sampel dalam etanol secara
berulang-ulang selama 3 x 24 jam dimana setiap 6 jam dilakukan pengadukan.
Setiap 24 jam, ekstrak disaring dan ditampung maseratnya. Residu yang diperoleh
dimaserasi kembali dengan pelarut yang sama. Maserasi berulang-ulang bertujuan
agar semua senyawa dapat terekstrak secara maksimal. Kondisi ini ditandai
dengan warna maserat yang semakin jernih, karena pelarut tidak memiliki
kemampuan lagi untuk mengekstrak komponen yang terdapat dalam sampel.
Semua maserat yang diperoleh selanjutnya dipekatkan menggunakan rotary
evaporator pada suhu 40ºC dan tekanan 337 atm sehingga diperoleh ekstrak
etanol kental berwarna coklat kemerahan sebanyak 154,17 gr. Cara ini dilakukan
untuk menurunkan tekanan pada permukaan sehingga akan menurunkan titik
didihnya, sehingga dapat mengurangi terjadinya penguraian senyawa yang
39
terdapat dalam ekstrak tersebut. Proses evaporasi ini dilakukan pada suhu tersebut
untuk menjaga metabolit sekunder yang terkandung tidak menjadi rusak karena
pemanasan, sedangkan penggunaan tekanan 337 atm dikarenakan tekanan ini
merupakan tekanan yang optimal untuk memisahkan etanol dari senyawa
metabolit sekunder hasil ekstraksi. Kemudian dilanjutkan dengan menangas
ekstrak tersebut untuk membuatnya menjadi ekstrak etanol kering sebanyak
111,03 gr. Proses penangasan ini bertujuan untuk mengurangi kadar etanol dan air
dalam ekstrak. Rendemen yang didapat adalah sebesar 5,55%. Proses maserasi
dan pemekatan ini ditunjukkan pada lampiran 2.
4.4 Pengukuran Susut Pengeringan
Ekstrak etanol kering tersebut kemudian diukur susut pengeringannya
untuk mengetahui kadar air dan pelarut yang masih tersisa di dalam ekstrak
sehingga dapat diketahui ekstrak ini sudah tergolong ke dalam ekstrak kering atau
belum. Selain itu, kadar air harus ditetapkan untuk menjaga kualitas ekstrak
karena menurut literatur kadar air dalam ekstrak tidak boleh lebih dari 10%
(Soetarno dan Soediro, 1997), hal ini bertujuan untuk menghindari pertumbuhan
jamur dalam ekstrak. Pengukuran susut pengeringan ini dilakukan dengan bantuan
gelas crusibel, lalu ekstrak yang digunakan sebanyak 1,8215 gr. Pada
pengerjaannya dilakukan pemanasan pada suhu 105ºC untuk menghilangkan
pelarut di dalam ekstrak, setelah itu didinginkan di dalam wadah kedap udara
untuk mendinginkan ekstrak sehingga terjadi penyusutan. Perlakuan ini diduplo
dan diulangi sebanyak 2 kali untuk mendapatkan bobot tetapnya. Jadi, dari selisih
40
hasil penimbangan berat ekstrak sebelum dan sesudah perlakuan ini dibagi berat
ekstrak awal dikali 100% diketahuilah berapa banyak kadar air dan pelarut yang
masih tersisa di dalam ekstrak. Dari hasil pengukuran didapatkan persen kadar
pelarut dan air yang tersisa sebesar 2,175%. Hasil presentase ini menunjukkan
bahwa ekstrak sudah tergolong ke dalam ekstrak kering, karena syarat untuk suatu
ekstrak dapat dikatakan sebagai ekstrak kering adalah persentase kadar air dan
pelarutnya kurang dari 5% (Voigt, 1995).
4.5 Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia ini dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa
metabolit sekunder berdasarkan perubahan warna, terbentuknya buih ataupun
terbentuknya endapan yang dihasilkan sebagai akibat penambahan reagen tertentu.
Skrining fitokimia pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adanya
senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, minyak atsiri, steroid dan
triterpenoid. Hasil skrining fitokimia ekstrak etanol kering rimpang jeringau
merah (Acorus Sp.) disajikan pada Tabel 2.
41
Tabel 2. Hasil Skrining fitokimia terhadap ekstrak kering rimpang jeringau merah (Acorus Sp.)
No. Jenis uji Pengamatan Hasil
1. Alkaloid + Endapan putih
2. Minyak Atsiri + Bau aromatis
3. Tanin + Endapan putih
4. Flavonoid + Terbentuknya warna kuning-merah pada
lapisan alcohol5. Steroid dan Triterpenoid - -
6. Saponin + Busa yang konsisten
Keterangan : (+) reaksi positif ; (-) reaksi negatif
Hasil Skrining fitokimia ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol rimpang
jeringau merah (Acorus Sp.) mengandung alkaloid, minyak atsiri, tanin, flavonoid,
dan saponin. Hasil positif dari skrining ini menunjukkan bahwa senyawa –
senyawa tersebut dapat terikat dengan etanol. Pada uji alkaloid, hasil positif hanya
didapat dari uji dengan pereaksi Mayer yang ditandai dengan terbentuknya
endapan putih, sedangkan uji dengan pereaksi Dragendorff mendapatkan hasil
negatif. Hal ini berarti senyawa alkaloid yang dapat tertarik dari ekstraksi dengan
etanol jumlahnya sedikit karena alkaloid pada umumnya merupakan suatu
senyawa basa yang bersifat non polar sedangkan etanol merupakan senyawa semi
polar. Selain itu, diduga kuat bahwa senyawa alkaloid di dalam rimpang jeringau
merah (Acorus Sp.) ini memiliki substituen yang membuat senyawa ini menjadi
semi polar sehingga ada beberapa bagian dari senyawa ini yang masih dapat
ditarik dengan etanol. Sebagaimana yang diketahui bahwa gugus utama dan
42
substituen pada suatu senyawa sangat menentukan tingkat kepolaran senyawa itu
sendiri. Berbeda dengan uji alkaloid, pada uji steroid dan triterpenoid jelas sekali
menunjukkan hasil yang negatif padahal pada penelitian sebelumnya yang
menggunakan metanol menunjukkan hasil positif. Hal ini kemungkinan akibat
ukuran partikel dari metanol yang lebih kecil dari etanol sehingga kemampuan
untuk menembus dan memecah dinding sel tumbuhan lebih kuat, hal inilah yang
membuat daya penarikan oleh metanol lebih kuat. Berdasarkan hasil skrining
fitokimia ini semakin mempertegas prinsip “like dissolve like”, dimana untuk
mengisolasi suatu senyawa harus menggunakan pelarut yang memiliki tingkat
kepolaran yang sama atau hampir sama. Gambar hasil skrining fitokimia dari
ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.) ditunjukkan pada lampiran 3.
4.6 Analisis Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Senyawa Flavonoid
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) pada penelitian ini dilakukan untuk
mempertegas ada atau tidaknya kandungan senyawa flavonoid pada ekstrak etanol
rimpang jeringau merah (Acorus Sp.). Sebelum dilakukannya KLT, harus
dilakukan fraksinasi dengan partisi terhadap ekstrak karena ekstrak etanol kering
merupakan campuran yang sangat kompleks yang mengandung berbagai
komponen senyawa yang bersifat polar, semi polar, dan non polar.
Partisi didasarkan pada kemampuan zat terlarut untuk terdistribusi antara
dua pelarut yang tidak saling campur. Distribusi zat terlarut dalam suatu pelarut
berdasarkan sifat like dissolve like, dimana senyawa yang polar akan lebih mudah
larut dalam pelarut yang polar dan sebaliknya. Partisi bertujuan untuk
43
memperoleh campuran yang lebih sederhana. Proses partisi ini dilakukan
menggunakan 2 pelarut yang berbeda tingkat kepolarannya. Pelarut untuk partisi
yang digunakan pada penelitian adalah etil asetat (semi polar) dan air (polar).
Ekstrak etanol kering dipartisi dengan 150 ml etil asetat dan 150 ml air
dalam corong pisah, sehingga terbentuk 2 lapisan. Air yang memiliki berat jenis
lebih besar akan berada di lapisan bawah, sedangkan etil asetat berada di lapisan
atas. Perbedaan kepolaran kedua pelarut menyebabkan terjadinya distribusi
senyawa-senyawa yang bersifat polar ke dalam lapisan air dan sebaliknya.
Selanjutnya kedua lapisan tersebut dipisahkan.
Hasil dari partisi tersebut kemudian ditotolkan pada plat silika gel, selain
itu ditotolkan pula ekstrak kering (telah dilarutkan dengan etanol) yang tidak
dipartisi dan telah dilarutkan dengan etanol. Fase gerak yang digunakan adalah
kloroform dan etil asetat (6 : 4), dimana kloroform merupakan suatu senyawa non
polar sedangkan etil asetat merupakan suatu senyawa semi polar.
(a)
44
(c)
Gambar 2. Kromatogram hasil KLT dengan penampakan noda : (a) di bawah sinar UV (λ = 256 nm); (b) di bawah sinar UV (λ = 366 nm); (c) dan penampakan noda dengan uap amonia pekat.
Kromatogram tersebut memberikan informasi adanya interaksi yang kuat
dan lemah antara senyawa dan fasa diam. Oleh karena fase diam bersifat polar,
maka senyawa yang lebih polar akan berinteraksi relatif lebih kuat dengan fasa
diam dan eluen tidak cukup kuat untuk mengelusi senyawa. Sebaliknya noda yang
telah terelusi menunjukkan interaksi yang lemah dengan fase diam dan akan terus
terelusi disepanjang plat. Pemilihan eluen untuk kromatografi sebaiknya sedikit di
bawah kepolaran eluen untuk KLT. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi
kemungkinan masih adanya senyawa-senyawa yang sifat kepolaranya di bawah
kepolaran eluen untuk KLT, sehingga senyawa tersebut tidak tercampur dengan
senyawa yang memiliki kepolaran diatasnya. Oleh karena itu, pemilihan eluen
sebaiknya dimulai dari pelarut yang tidak polar seperti kloroform kemudian
ditingkatkan kepolarannya dengan etil asetat atau pelarut yang lebih polar lainnya
(Harborne, 1987).
(b)
45
Berdasarkan profil kromatogram yang ditunjukkan pada Gambar 3. terlihat
kompleksitas senyawa dalam fraksi - fraksi tersebut. Terlihat bahwa pada fraksi
air dan etanol memperlihatkan noda yang dominan masih tertahan di bawah plat,
namun telah terdapat noda yang terelusi. Sedangkan pada fraksi etil asetat
memperlihatkan noda yang telah terelusi naik lebih banyak dari pada kedua fraksi
lainnya, akan tetapi masih ada yang tertahan di bawah plat. Dari hasil ini dapat
disimpulkan senyawa flavonoid dari ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus Sp.)
lebih banyak yang terikat pada fraksi etil asetat dibandingkan dengan fraksi air
dan etanol, hal ini kemungkinan besar disebabkan karena senyawa flavonoid yang
terdapat dalam rimpang jeringau merah bersifat semi polar sehingga dapat ditarik
dengan etanol.
4.7 Pembuatan Eliksir Ekstrak Rimpang Jeringau Merah (Acorus sp.)
Eliksir adalah larutan hidroalkohol yang jernih dan manis dimaksudkan
untuk penggunaan vital, dan biasanya diberi rasa untuk menambah kelezatan
(Ansel, 2005). Pada penelitian ini dibuat sediaan eliksir dari ekstrak rimpang
jeringau merah (Acorus Sp.) dengan komposisi etanol, aquadest, gliserin dan metil
paraben. Etanol dan aquadest merupakan pelarut utama pada sediaan ini, dimana
etanol digunakan untuk melarutkan ekstrak sedangkan aquadest digunakan untuk
melarutkan metil paraben dan melarutkan semua campuran dari komposisi eliksir
ini. Metil paraben digunakan sebagai bahan pengawet karena senyawa ini
merupakan antimikroba berspektrum luas. Sedangkan gliserin digunakan sebagai
kosolven dan pemanis. Gliserin merupakan salah satu faktor penting yang
46
menentukan stabilitas sediaan eliksir yang akan dibuat. Hal ini dikarenakan
gliserin dapat meningkatkan kelarutan antara fase air dan alkohol dengan
mengurangi tegangan antarmuka serta menstabilkan lapisan di antara dua fase
tersebut. Gliserin ini dapat menarik fase alkohol dan air dengan prinsip kohesi
karena kosolven ini memiliki gugus yang sama dengan kedua fase tersebut.
Pembuatan sediaan eliksir ini diawali dengan melarutkan semua
komponen penyusun eliksir dengan pelarut yang sesuai dengan kelarutannya
masing - masing. Ekstrak dilarutkan dengan etanol p.a, sedangkan metil paraben
dilarutkan dengan air panas. Etanol berfungsi untuk membentuk larutan
hidroalkohol yang akan dibuat. Etanol yang digunakan untuk formulasi ini adalah
etanol dengan tingkat kemurnian yang memenuhi standar yakni etanol p.a, selain
itu etanol merupakan suatu alkohol yang aman untuk sediaan oral seperti eliksir.
Sedangkan untuk metil paraben, pelarut yang dipilih adalah air panas dan tidak
digunakan etanol 95%. Metil paraben sebenarnya lebih mudah larut dalam etanol
95% dibandingkan air panas, akan tetapi lebih dipilih air panas karena untuk
mengurangi kadar alkohol yang digunakan pada sediaan ini, sebagaimana yang
diketahui bahwa kadar alkohol yang terlalu besar dalam suatu sediaan dapat
menimbulkan efek yang berbahaya bagi tubuh.
Tahap berikutnya adalah mencampurkan larutan metil paraben dengan
ekstrak yang telah dilarutkan tadi. Selanjutnya campuran tersebut disaring dengan
kain untuk menghilangkan pengotor sehingga sediaan eliksir yang terbentuk
nantinya memiliki tingkat kejernihan yang baik. Selanjutnya campuran tersebut
ditambahkan dengan gliserin, kemudian ditambahkan dengan aquadest hingga 100
47
ml dan masukkan ke dalam wadah botol. Untuk memudahkan pengamatan
stabilitas fisik selama masa penyimpanan, wadah yang digunakan adalah botol
bening. Sediaan eliksir yang telah dibuat ini selanjutnya disimpan pada suhu
kamar (27ºC). Sediaan eliksir yang dibuat adalah sebanyak 3 kelompok dengan
variasi penambahan jumlah gliserin yakni 20%, 40%, dan 60%, dimana pada tiap
kelompok terdiri dari 3 eliksir. Hal ini dilakukan untuk mengamati pengaruh
penambahan gliserin terhadap stabilitas sediaan ini, jadi dari sini akan diketahui
formula mana yang stabilitasnya paling baik.
4.8 Uji Stabilitas Fisika dan Kimia Formula
Penelitian ini melakukan uji stabilitas fisika dan kimia dari sediaan eliksir
yang telah dibuat untuk mengetahui seberapa stabil sediaan ini selama masa
penyimpanan. Uji stabilitas fisika yang dilakukan adalah uji organoleptis dan
viskositas, sedangkan uji stabilitas kimia yang dilakukan adalah uji pH.
4.8.1 Uji Organoleptis
Pemeriksaan Organoleptis yang dilakukan meliputi perubahan rasa, warna,
kejernihan dan bau dari sediaan eliksir ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus
sp.). Penentuan organoleptis ini termasuk salah satu parameter spesifik yang
ditentukan dengan panca indera dan bertujuan untuk pengenalan awal secara
sederhana dan subjektif. Pemeriksaan organoleptis ini dilakukan setiap 3 hari
sekali selama 2 minggu karena dalam rentang waktu ini diyakini bahwa hasilnya
sudah dapat mewakili kondisi organoleptis dari sediaan ini selama masa
48
penyimpanan. Pada tiap kali pemeriksaan dilakukan triplo dalam pengamatannya
pada masing-masing sediaan eliksir untuk memperkecil galat. Selain itu untuk
memperkecil galat dari sifat subjektivitas indera responden dan meningkatkan
objektivitasnya, pada tiap kali pengamatannya akan dibandingkan dengan sediaan
eliksir dari ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.) yang baru dibuat. Hasil
pengamatan terhadap kondisi organoleptis sediaan eliksir yang didapat
ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Pengamatan Uji Organoleptis pada Sediaan Eliksir Ekstrak
Rimpang Jeringau Merah (Acorus sp.)
No. Konsentrasi Gliserin
Kondisi Organoleptis
HasilHari I Hari II Hari III Hari IV
1. 20%
Kejernihan + + + +Rasa Manis + + + +Warna Merah Bata + + ++ +++Bau Tajam +++ +++ +++ ++
2. 40%
Kejernihan + + + +Rasa Manis ++ ++ ++ ++Warna Merah Bata + + ++ +++Bau Tajam ++ ++ ++ +
3. 60%
Kejernihan + + + +Rasa Manis +++ +++ +++ +++Warna Merah Bata + + ++ +++Bau Tajam + + + +
Keterangan : Semakin banyak tanda (+) maka hasil semakin kuat
Hasil pengamatan di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kondisi
organoleptis dari ketiga sediaan eliksir tersebut. Kejernihan dari ketiga sediaan
tersebut tetap sama selama pengamatan hari keempat. Hal ini menunjukkan bahwa
gliserin dapat menjaga kejernihan dari sediaan eliksir ini. Sedangkan untuk warna
49
dari ketiga sediaan tersebut semakin hari semakin bertambah gelap, hal ini
kemungkinan besar terjadi karena adanya interaksi dengan cahaya dan udara yang
menyebabkan oksidasi senyawa-senyawa (khususnya flavonoid) yang terdapat
pada ketiga sediaan. Untuk variabel rasa, dari hasil pengamatan dapat disimpulkan
bahwa semakin besar jumlah gliserin yang ditambahkan pada suatu sediaan maka
semakin manis pula rasa dari sediaan tersebut. Hal ini terbukti dimana sediaan
eliksir dengan konsentrasi gliserin 60% menunjukkan rasa yang paling manis
sedangkan eliksir dengan konsentrasi gliserin 20% memiliki rasa yang paling
kurang manis diantara yang lainnya. Hasil ini membuktikan bahwa gliserin juga
dapat menutupi rasa yang kurang menyenangkan dari ekstrak. Pada variabel bau
juga kemungkinan besar dipengaruhi oleh konsentrasi gliserin, dimana dari hasil
pengamatan didapatkan bahwa sediaan eliksir yang berbau paling tajam adalah
sediaan eliksir dengan konsentrasi gliserin yang paling kecil. Bau tajam ini
diduga berasal dari etanol dan senyawa aromatis yang terdapat didalam ekstrak
rimpang jeringau merah (Acorus sp.). Bau tajam pada tiap sediaan semakin hari
semakin berkurang, hal ini diduga karena etanol dan senyawa aromatis yang
terdapat dalam ekstrak tersebut menguap. Jadi selain menutupi rasa, ternyata
gliserin juga mampu untuk menutupi bau yang kurang menyenangkan dari bahan -
bahan penyusun sediaan eliksir ini.
Berdasarkan uji organoleptis ini dapat ditarik kesimpulan bahwa peran
gliserin dalam menjaga kondisi organoleptis suatu sediaan sangatlah baik karena
dapat menutupi rasa dan bau yang kurang menyenangkan untuk penggunaan oral
ini serta menjaga kejernihannya. Dari penelitian diketahui bahwa gliserin
50
merupakan senyawa corigent saporis (mampu menutupi rasa) dan corigent
odouris ( mampu menutupi bau). Selain itu, dari hasil uji organoleptis ini
membuktikan bahwa sediaan eliksir ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.)
tergolong stabil secara organoleptis.
4.8.2 Uji Viskositas
Eliksir merupakan suatu sediaan dengan ukuran molekul yang kecil
sehingga mengikuti sistem newton untuk tipe aliran dan deformasinya. Sistem
newton ini memiliki koefisien viskositas yang konstan dan tidak bergantung dari
jumlah absolut tegangan geser yang diberikan atau perbedaan geseran yang
dihasilkan, maka untuk mengukur viskositasnya cukup dilakukan pengukuran
viskositas pada kondisi tertentu dengan viskometer bola jatuh ataupun viskometer
kapiler. Pada penelitian ini alat yang dipilih untuk pengukuran viskositas adalah
viskometer kapiler ostwald. Hal ini dikarenakan pada viskometer bola jatuh,
sampel yang dibutuhkan lebih banyak dari pada viskometer kapiler. Selain itu,
viskometer kapiler ini juga lebih praktis dan efisien dari pada viskometer bola
jatuh. Parameter yang diamati pada uji viskositas ini adalah besarnya penurunan
viskositas yang terjadi selama masa penyimpanan, jadi sampel yang memiliki
perubahan nilai viskositas paling kecil merupakan sediaan yang paling stabil
viskositasnya. Gambar uji viskositas dengan viskometer ostwald ditunjukkan pada
lampiran 5.
Pemeriksaan viskositas pada penelitian ini diawali dengan penentuan
kerapatan jenis untuk tiap – tiap sampel dan pembanding. Hal ini disebabkan
51
karena untuk pengukuran viskositas dengan viskometer ostwald diperlukan nilai
kerapatan jenisnya. Pembanding yang digunakan adalah suatu zat yang sudah
diketahui nilai viskositasnya yakni air. Selain itu digunakan pula pembanding dari
sediaan eliksir yang telah beredar dipasaran yang sama – sama berasal dari bahan
alam yaitu “BT” untuk melihat perbedaan viskositasnya.
Kerapatan jenis suatu zat adalah perbandingan antara bobot zat dengan
volume zat pada suhu tertentu (biasanya 27o C). Pada penelitian ini pengukuran
kerapatan jenis dilakukan dengan metode piknometer. Prinsip metode ini
didasarkan atas penentuan massa cairan dan penentuan ruang, yang ditempati
cairan ini. Untuk ini dibutuhkan wadah untuk menimbang yang dinamakan
piknometer. Ketelitian metode piknometer akan bertambah hingga mencapai
keoptimuman tertentu dengan bertambahnya volume piknometer.
Penentuan kerapatan jenis menggunakan metode piknometer ini diawali
dengan menimbang lebih dahulu berat piknometer kosong dan piknometer berisi
zat cair yang diuji. Selisih dari penimbangan adalah massa zat cair tersebut pada
pengukuran suhu kamar (270C) dan dalam volume konstan, tertera pada
piknometer. Maka kerapatan jenis zat cair tersebut adalah massanya sendiri dibagi
dengan volume piknometer, dengan satuan g/mL. Sebelum menghitung nilai
kerapatan jenis pada masing-masing sampel, terlebih dahulu dihitung volume
piknometer yang sebenarnya dengan bantuan air. Air disini berperan untuk
mengukur berapa volume sebenarnya dari botol piknometer yang digunakan
karena walaupun volume piknometer sudah tertera keterangan pada botol, akan
tetapi nilai itu tidaklah tepat. Oleh karena itu untuk memperkecil galat dan
52
meningkatkan akurasi volume piknometer yang sebenarnya diukur melalui cara
yang sama dengan pengukuran sampel. Setelah itu didapatkanlah bobot air,
dimana dari bobot air inilah didapat volume air yang sekaligus merupakan volume
piknometer yaitu 9,73 mL dengan bantuan nilai kerapatan jenis air yang telah
diketahui yakni 0,996 g/mL (Voigt, 1994). Dari metode piknometer ini
didapatkanlah kerapatan jenis untuk masing-masing kelompok sampel yang
ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Penentuan Kerapatan Jenis dengan Piknometer
No. Sampel Kerapatan Jenis(g/mL)
1. Eliksir 20% (1) 1,022. Eliksir 20% (2) 1,033. Eliksir 20% (3) 1,034. Eliksir 40% (1) 1,105. Eliksir 40% (2) 1,126. Eliksir 40% (3) 1,147. Eliksir 60% (1) 1,158. Eliksir 60% (2) 1,159. Eliksir 60% (3) 1,1710. BT 1,09
Kerapatan jenis yang telah didapat ini kemudian digunakan sebagai salah
satu variabel untuk menghitung viskositas sampel. Viskositas dari sampel yang
merupakan cairan Newton ini ditentukan dengan mengukur waktu alir yang
dibutuhkan bagi cairan tersebut untuk melewati dua tanda batas pada tabung
kapiler vertikal viskometer Ostwald karena gravitasi. Waktu alir dari sampel
dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan bagi suatu cairan yang viskositasnya
telah diketahui yakni air untuk melewati dua tanda batas tersebut. Nilai Viskositas
air adalah 1,0019 cps (Voigt, 1994). Selanjutnya data waktu alir tersebut
digunakan dalam persamaan :
53
����
= �� . ���� . ��
Keterangan : ηu = Viskositas Sampel
ηk = Viskositas Air
du = Kerapatan Jenis Sampel
dk = Kerapatan Jenis Air
tu = Waktu Alir Sampel
tk = Waktu Alir Air
Rumus tersebut kemudian disederhanakan karena tekanan yang menekan
cairan melalui tabung sesuai dengan kenaikan gravitasi dan berbanding lurus
dengan kerapatan cairan. Rumus tersebut adalah :
ηu = ηk . �� . ���� . ��
Viskositas yang didapat membuktikan bahwa nilai viskositas berbanding
lurus dengan kerapatan jenisnya dimana semakin besar kerapatan jenis suatu
larutan maka semakin besar pula viskositasnya. Nilai viskositas yang paling besar
dimiliki oleh Eliksir dengan konsentrasi gliserin 60%, sedangkan nilai viskositas
yang paling kecil adalah pada Eliksir dengan konsentrasi gliserin 20%. Viskositas
yang telah didapat setiap harinya kemudian dihitung Standar Deviasinya. Standar
Deviasi merupakan ukuran sebaran statistik yang digunakan untuk mengukur
seberapa besar penyimpangan nilai data tersebut dari nilai rata-ratanya. Jadi dari
tiga kali replikasi sampel, setiap harinya akan dihitung nilai standar deviasinya.
Hasil Standar deviasi yang didapat menunjukkan bahwa nilai penyimpangan dari
setiap sampel selama masa pengamatan tergolong normal karena memenuhi
54
persyaratan standar deviasi yang baik yakni tidak lebih dari 5% (Gandjar, 2007).
Hasil perhitungan viskositas dan standar deviasi ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Perhitungan Viskositas dan Standar Deviasi
HariViskositas (cps)
20%Std(%) 40%
Std(%) 60%
Std(%) BT
Std(%)
H11,61
0,083,46
0,1710,84
0,232,29
0,02
1,76 3,63 10,51 2,271,75 3,79 10,95 2,25
H21,63
0,023,22
0,109,12
0,252,20
0,02
1,61 3,38 9,45 2,241,59 3,41 9,61 2,23
H31,61
0,013,10
0,188,42
0,502,17
0,03
1,60 3,39 9,19 2,161,60 3,42 9,35 2,21
H41,64
0,013,11
0,178,64
0,322,23
0,01
1,63 3,42 9,10 2,221,62 3,39 9,25 2,23
Rata-rata Perubahan Nilai
Viskositas0,08 0,33 1,78 0,04
Dari pengamatan yang dilakukan kurang lebih dua minggu ini diketahui
bahwa terjadi penurunan nilai viskositas pada setiap sampel. Penurunan nilai
viskositas ini didapatkan dari pengurangan nilai rata-rata viskositas pada hari
pertama dengan nilai rata-rata viskositas hari terakhir pengamatan. Sampel yang
mengalami penurunan nilai viskositas paling kecil adalah BT eliksir, sedangkan
sampel yang mengalami penurunan nilai viskositas paling besar adalah eliksir
dengan konsentrasi gliserin 60%. Berdasarkan pengamatan selama masa
penyimpanan yang kurang lebih dua minggu ini tidak terjadi perubahan yang
besar dari nilai viskositas pada tiap-tiap sampel. Hal ini berarti gliserin terbukti
dapat menjaga kestabilan viskositas dari eliksir ekstrak rimpang jeringau merah
55
(Acorus sp.). Eliksir dari ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.) yang
memiliki viskositas paling stabil adalah eliksir dengan konsentrasi gliserin 20%
karena memiliki penurunan viskositas yang paling kecil dan mendekati dari BT
eliksir yang merupakan sediaan eliksir yang telah beredar dipasaran. Hal ini
dikarenakan penambahan gliserin dalam jumlah besar menyebabkan semakin
kecilnya tegangan permukaan, dimana fase alkohol dan air dalam eliksir ini akan
semakin larut (menyatu) sehingga membuat sediaan eliksir semakin sulit
mempertahankan viskositasnya. Penurunan nilai viskositas ini juga dipengaruhi
oleh udara saat pengambilan sampel untuk pengujian.
4.8.3 Uji pH
Pengujian pH terhadap eliksir ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.)
dengan variasi penambahan gliserin ini dilakukan setiap tiga hari sekali selama
kurang lebih satu bulan. Pada pengujian ini akan diamati sediaan dengan
konsentrasi gliserin mana yang paling stabil yaitu yang paling kecil mengalami
perubahan pH. Oleh karena ingin mengamati perubahan pH yang terjadi,
pengujian pH dilakukan dengan bantuan alat pH meter digital. Sama seperti uji
viskositas, pada pengujian pH ini nilai pH yang yang didapatkan kemudian diukur
standar deviasinya untuk mengetahui seberapa besar penyimpangan nilai pH
tersebut dari nilai rata-ratanya. Nilai pH selama masa penyimpanan dan standar
deviasinya dapat dilihat pada Tabel 6.
56
Tabel 6. Nilai pH selama masa penyimpanan dan Standar DeviasinyaHari pH Sampel
20% Std(%) 40% Std(%) 60% Std(%)H1 6,73 0,08 6,90 0,04 7,03 0,04
6,60 6,97 7,006,60 6,97 7,07
H4 6,50 0 6,97 0,04 6,93 0,046,50 6,93 6,906,50 6,90 6,97
H7 6,50 0 6,50 0 6,50 06,50 6,50 6,506,50 6,50 6,50
H10 6,00 0,06 6,20 0,05 6,40 0,066,10 6,30 6,406,10 6,23 6,30
H13 5,70 0 5,90 0 6,00 0,065,70 5,90 6,005,70 5,90 6,10
H16 5,50 0,02 5,90 0 6,10 0,125,47 5,90 5,905,50 5,90 6,07
H19 5,50 0 5,90 0 5,97 0,045,50 5,90 5,975,50 5,90 5,90
H22 5,50 0 5,90 0 5,97 05,50 5,90 5,975,50 5,90 5,97
H25 5,50 0 5,90 0 5,97 05,50 5,90 5,975,50 5,90 5,97
H28 5,50 0 5,90 0 5,97 05,50 5,90 5,975,50 5,90 5,97
Rata-rata Perubahan Nilai pH
1,14 1,05 1,08
Hasil di atas menunjukkan bahwa selain dari zat aktif, pH suatu sangat
dipengaruhi oleh bahan-bahan penyusunnya. Dari hasil ini pula diketahui bahwa
semakin besar konsentrasi gliserin yang ditambahkan maka semakin besar pula
57
pH nya. Standar deviasi dari masing-masing sampel ini masih tergolong baik
karena memenuhi persyaratan persen standar deviasi yang masih dapat diterima.
Selama 30 hari masa penyimpanan ini terjadi perubahan pH pada tiap-tiap
sampel. Pada sediaan eliksir dengan konsentrasi eliksir 20%, penurunan pH yang
paling besar terjadi pada hari ke-4 sedangkan dari hari ke-7 sediaan ini sudah
tidak mengalami perubahan (konstan). Pada sediaan eliksir dengan konsentrasi
gliserin 40%, penurunan pH yang paling besar terjadi pada hari ke-3 sedangkan
dari hari ke- 5 sediaan ini sudah tidak mengalami perubahan (konstan). Pada
sediaan eliksir dengan konsentrasi gliserin 60%, penurunan pH yang paling besar
terjadi pada hari ke-3 sedangkan mulai dari hari ke-7 sediaan ini sudah tidak
mengalami perubahan (konstan). Dari hasil ini menunjukkan bahwa perubahan pH
oleh tiap-tiap sampel terjadi dalam waktu yang berbeda-beda karena laju reaksi
yang berbeda pada tiap-tiap konsentrasi pH, akan tetapi dapat disimpulkan pula
bahwa rata-rata dari hari ke-7 pH semua sampel sudah tidak mengalami
perubahan lagi dimana hal ini kemungkinan reaksi dalam masing-masing sampel
telah mencapai titik jenuh sehingga sudah tidak terjadi reaksi yang berarti
terhadap perubahan pH.
Sediaan yang memiliki perubahan pH paling kecil adalah sediaan eliksir
dengan konsentasi gliserin 40% karena rata-rata perubahan nilai pH-nya paling
kecil. Dengan kata lain sediaan eliksir dengan konsentasi gliserin 40% inilah yang
memiliki stabilitas pH paling baik diantara sediaan lainnya. Pada penambahan
gliserin sebanyak 20% kemungkinan tidak dapat menurunkan laju reaksi antar
senyawa dan komponen penyusun eliksir ini sehingga terjadi degradasi yang
58
membuat ketidakstabilan pH. Sedangkan pada penambahan gliserin sebanyak
60% kemungkinan memicu reaksi antar senyawa dan komponen penyusun eliksir
ini sehingga terjadi degradasi yang membuat ketidakstabilan pH. Penambahan
gliserin sebanyak 40% diduga dapat menurunkan laju reaksi karena pada
konsentrasi ini membentuk profil pH optimum dari eliksir ekstrak rimpang
jeringau merah (Acorus sp.) dimana profil pH optimum, laju reaksinya menjadi
kecil sehingga sediaan semakin stabil. Penurunan pH ini juga dipengaruhi oleh
udara saat pengambilan sampel untuk pengujian. Faktor manusia diduga juga
merupakan salah satu penyebab terjadinya perubahan pH karena mungkin terjadi
human error pada saat pengukuran pH. Selain itu, pH meter yang digunakan juga
kurang peka terhadap perubahan pH yang terjadi karena hanya mampu mengukur
dua angka dibelakang koma sehingga ada kemungkinan sebenarnya terjadi
perubahan pH tetapi pH meternya tidak bisa mengukurnya. Dari hasil ini dapat
disimpulkan bahwa penambahan konsentrasi gliserin sebanyak 40% ini
memberikan stabilitas pH yang paling baik untuk eliksir ekstrak rimpang jeringau
merah (Acorus sp.).
59
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Rimpang jeringau merah (Acorus sp.) dapat diformulasikan sebagai
sediaan eliksir.
2. Stabilitas fisika dan kimia dari sediaan eliksir ekstrak rimpang jeringau
merah (Acorus sp.) ini tergolong baik karena tidak terjadi perubahan yang
bermakna selama masa penyimpanan. Stabilitas fisika yang diamati adalah
organoleptis dan viskositas, sedangkan stabilitas kimia yang diamati
adalah pH. Kondisi organoleptisnya adalah warna merah bata, berbau
tajam, rasa manis, dan jernih. Viskositas dari eliksir ekstrak rimpang
jeringau merah (Acorus sp.) ini mendekati viskositas sediaan eliksir yang
telah beredar di pasaran. Selain itu semakin besar penambahan gliserin
maka semakin besar pula viskositas eliksir ekstrak rimpang jeringau merah
(Acorus sp.). Sedangkan pH dari sediaan ini mendekati pH netral, dimana
semakin besar penambahan gliserin maka semakin besar pula nilai pH.
3. Sediaan yang memiliki stabilitas fisika paling baik adalah eliksir ekstrak
rimpang jeringau merah (Acorus sp.) dengan konsentrasi gliserin 20%,
sedangkan yang memiliki stabilitas kimia paling baik adalah eliksir
ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.) dengan konsentrasi gliserin
40%.
60
5.2 Saran
1. Melakukan uji toksisitas terhadap sediaan eliksir ekstrak rimpang jeringau
merah (Acorus sp.)
2. Melakukan isolasi terhadap senyawa dari ekstrak rimpang jeringau merah
(Acorus sp.) yang memiliki khasiat untuk meningkatkan trombosit.
3. Mengidentifikasi struktur senyawa dari ekstrak rimpang jeringau merah
(Acorus sp.) yang memiliki khasiat untuk meningkatkan trombosit
sehingga dapat dilakukan penelitian untuk menentukan waktu kadaluarsa.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap stabilitas fisika dan kimia
sediaan eliksir dari ekstrak rimpang jeringau merah (Acorus sp.) dengan
menggunakan kosolven lain.
61
DAFTAR PUSTAKA
Abel, G. 1987. Chromosome-damaging effect of beta-asaron on human
lymphocytes. Planta Med., 53(3): 251-3.
Achmad, H.W. 2001. “Pengaruh Pemberian Ekstrak Psidium Guajava Terhadap
Jumlah Trombosit Pada Penderita Demam Berdarah Dengue di Bangsal
Rawat Inap penyakit Dalam RSUP. Dr. Syaiful Anwar Malang”, Majalah
Kedokteran Unibraw, Vol. 17 (1), 1-3.
Anief, Moh. 2005. Ilmu Meracik Obat. UGM Press : Yogyakarta.
Ansel, Howard C. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi Keempat. UI
Press : Jakarta, Halaman 341-344.
Connors, K.A., dkk. 1986. “Chemical Stability of Pharmaceutical”, John Willey
and Sons : New York, 3-26, 163-168.
Darwis, D. 2000. “Teknik Dasar Laboratorium dalam Penelitian Senyawa Bahan
Alam Hayati”, Workshop Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam
Bidang Kimia Organik Bahan Alam Hayati. FMIPA Universitas Andalas :
Padang.
Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia, Edisi Ketiga.
Departemen Kesehatan : Jakarta, Halaman 65 ; 271-272 ; 378.
Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat, Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengawasan Obat
Dan Makanan Direktorat Pengawasan Obat Tradisional : Jakarta, Halaman
3-12.
62
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat. 2009. Data Epidemik Demam
Berdarah. Dinas Kesehatan Provinsi : Pontianak.
Ditjen POM. (2000). Metode Analisis PPOM. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Fang, J.F., dkk. 2003. “A Study of The Constituents of The Heartwood of Tsuga
chinensis pritz. var. formosana (Hay.)”, J. Chin. Chem. Soc., 75-80.
Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka
Pelajar : Yogyakarta.
Harborne, J.B. 2006. Metode Fitokimia, Edisi Kedua. ITB Press : Bandung.
Kitao, S dan H. Sekine. 1993. “�-D-Glucosyl transfer to phenolic compounds by
sucrose phosporylase from leuconostoc mesentereides and production of �-
arbutin”. J BioschBiotech Biochem 58, 38-42.
Jamroni, Mahmud. 2011. Lignan Turunan (-)- Matairesinol dari Fraksi Kloroform
Rimpang Jeringau Merah (Acorus sp.), skripsi. Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tanjungpura : Pontianak.
Lachman, Leon, dkk. 2008. Teori dan Praktek Farmasi Industri, Jilid 3, Edisi
Ketiga. UI Press : Jakarta, Halaman 1567 dan 1575.
Manikandan, S dan Devi R.S. 2005. “Antioxidant property of alphaasarone
against noise-stressinduced changes in different regions of rat brain”,
Pharmacol Res, 52(6):467-74.
Markham, K.R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Penerjemah : Kosasih
Padmawinata. ITB Press : Bandung.
63
Pratiwi, Asih., dkk. 2010. Pengembangan Jeringau Merah (Acorus sp.) Endemik
Kalimantan Barat sebagai Herbal Terstandar untuk Meningkatkan
Trombosit pada Pasien Demam Berdarah. Karya Tulis Ilmiah.
Rowe, R.C., dkk. 2006. Handbook of Pharmaceutical Excipients, Fifth Edition.
Pharmaceutical Press and America Pharmacist Assosiation : Washington
DC, Halaman 111-112 ; 301-302 ; 794.
Sastroamidjojo, S. 2001. “Obat Asli Indonesia”. Dian Rakyat : Jakarta, Halaman
170.
Soebagio,Boesro., dkk. 2007. Pembuatan Gel Dengan Aqupec HV-505 dari
Ekstrak Umbi Bawang Merah (Allium cepa, L.) Sebagai Antioksidan.
Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran.
Voigt, Rudolf. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Edisi Kelima. Gadjah
Mada University Press : Yogyakarta, Halaman 609-610.
Yuliani, Sri Hartati. 2010. “Optimasi Kombinasi Campuran Sorbitol, Gliserol, dan
propilenglikol Dalam Gel Sunscreen Ekstrak Etanol Curcuma mangga”,
Majalah Farmasi Indonesia Vol.21, No.2 : 83-89.
64
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Determinasi Tumbuhan
65
Lampiran 2. Proses Maserasi dan Pemekatan
Proses Maserasi
Pengambilan Maserat
66
Pemekatan Ekstrak
Lampiran 3. Hasil skrining fitokimia dari ekstrak rimpang jeringau merah
(Acorus sp.)
Identifikasi Minyak Atsiri
67
Identifikasi Alkaloid
Identifikasi Saponin
Identifikasi Tanin
68
Identifikasi Flavonoid
Lampiran 4. Pembuatan Eliksir
Eliksir Rimpang Jeringau Merah (Acorus sp.)
69
Lampiran 5. Uji Stabilitas
Organoleptis
Viskositas
70
pH