Skripsi Ahmad Fadilah

159
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Reformasi politik yang pada tahun 1998 telah berhasil menumbangkan rezim yang sentralistik dan digantikan oleh pemerintahan yang desentralistik. Otonomi Daerah dimulai sejak 1 Januari 2001. Daerah- daerah otonom kabupaten dan kota diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sesuai dengan aspirasi masyarakat dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab disertai dengan kewenangan yang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri memerlukan dukungan tersedianya pendapatan daerah yang memadai. Lahirnya otonomi daerah telah memberikan kewenangan daerah untuk mengatur dan

description

skrpsi

Transcript of Skripsi Ahmad Fadilah

56

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Reformasi politik yang pada tahun 1998 telah berhasil menumbangkan rezim yang sentralistik dan digantikan oleh pemerintahan yang desentralistik. Otonomi Daerah dimulai sejak 1 Januari 2001. Daerah-daerah otonom kabupaten dan kota diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sesuai dengan aspirasi masyarakat dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab disertai dengan kewenangan yang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri memerlukan dukungan tersedianya pendapatan daerah yang memadai. Lahirnya otonomi daerah telah memberikan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus sumber-sumber penerimaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah dan sumber-sumber penerimaan lainnya.Untuk itu kebijakan keuangan daerah diarahkan pada upaya penyesuaian secara terarah dan sistematis untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerah bagi pembiayaan pembangunan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber pendapatan asli daerah. Kebijakan ini juga diarahkan pada penerapan prinsip-prinsip, norma, asas dan standar akuntansi dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) agar mampu menjadi dasar bagi kegiatan pengelolaan, pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah. Tujuan keuangan daerah adalah : (1) Menjamin tersedianya keuangan daerah guna pembiayaan pembangunan daerah; (2) Meningkatkan pengelolaan keuangan daerah yang memenuhi prinsip,norma,asas dan standar akuntansi; (3) Meningkatkan pendapatan asli secara kreatif melalui penggalian potensi, intensifikasi dan ekstensifikasi. Menurut Suparmoko (2002) Pada era sentralistik, pembangunan di daerah bersifat control oriented, akibatnya terjadi ketimpangan vertikal (pusat-daerah) dan horisontal (antardaerah), yang ditujukan dengan tingginya derajat sentralisasi fiskal, yakni ketergantungan yang tinggi dari pemerintah pusat. Dengan kata lain, kontrol ekonomi dan politik pembangunan daerah sedikit sekali dilakukan oleh pemerintah daerah. Hal ini mendorong munculnya tuntutan daerah dalam pelaksanaan kehidupan demokrasi yang semakin luas dan nyata, yang mengarah kepada ancaman terjadinya disintegrasi bangsa. Salah satu bentuk tuntutan reformasi tersebut adalah pelaksanaan otonomi daerah yang lebih luas,nyata dan bertanggung jawab. Selain itu, perimbangan keuangan yang lebih adil, proporsional dan transparan antartingkat pemerintahan menjadi salah satu tuntutan daerah dan masyarakat.Menurut Suparmoko (2002) untuk meningkatkan pendapatan daerah dewasa ini masing-masing daerah dituntut harus mampu berusaha untuk meningkatkan pendapatana, maka penggalian potensi ekonomi daerah dan penggunaan potensi yang tepat adalah jalan yang terbaik, karena tanpa memperhitungkan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah serta tanpa pengembangan pembangunan dan pendapatan daerah tidak akan mencapai hasil yang optimal atau sesuai yang diharapkan. Potensi ekonomi daerah merupakan kemampuan ekonomi yang ada di daerah yang mungkin dan layak dikembangkansehingga akan terus berkembang menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat dan juga dapat menolong perekonomian secara keseluruhan untuk berkembang dengan sendirinya dan berkelanjutan.Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal mengharapkan pemerintah daerah memiliki kemandirian yang lebih besar dalam keuangan daerah.Oleh karena itu, peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat menentukan kinerja keuangan daerah. Pengukuran kinerja keuangan daerah yang banyak dilakukan saat ini antara lain dengan melihat rasio antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pada dasarnya semakin besar kontribusi PAD terhadap APBD akan menunjukkan bahwa semakin kecil ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat, sebaliknya semakin kecil kontribusi PAD terhadap APBD akan menunjukkan bahwa semakin besar ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat. Satu hal yang perlu diingat adalah peningkatan PAD bukan berarti daerah harus mencaridan membuat pajak baru, tetapi lebih upaya memanfaatkan penerimaan pajak daerah secara optimal dan mengurangi kebocoran penerimaan pajak daerah. Dilaksanakannya otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan, maka pembangunan daerah, termasuk daerah terbelakang dapat lebih digerakkan karena ada wewenang yang berada pada pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Dengan adanya kewenangan tersebut, maka asiprasi masyarakat untuk menggali potensi daerah akan lebih tergali. Selain itu, setiap wilayah juga diberikan dalam bentuk Block Grant berupa dana perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dengan demikian diharapkan proses pembangunan daerah secara keseluruhan akan dapat ditingkatkan dan secara bersamaan ketimpangan pembangunan antar wilayah akan pula dapat dikurangi.Penegasan desentralisasi fiskal terjadi perubahan-perubahan dalam struktur keuangan terdiri dari : (1) Penerimaaan daerah dari bagi hasil sumber daya alam dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan fiskal bagi daerah yang memiliki sumber daya alam seperti minyak, gas alam, hasil pertambangan, kehutanan, perkebunan dan perikanan. (2) Penerimaan daerah bagi hasil pajak yang merupakan dana yang bersumber dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Tanah atas Bangunan (BPHTB), bagian daerah ini tergolong sebagai penerimaan daerah yang persentase pembagian tidak mengalami perubahan ; dan (3) Skema bantuan pemerintah dalam bentuk transfer yakni Dana Alokasi Umum (DAU) yang sebelum desentralisasi merupakan Subsidi Daerah Otonom (SDO).Perubahan-perubahan tersebut diatas memungkinkan adanya efek ketimpangan. Ketika pemerintah pusat mengeksplorasi sumber daya alam maka yang terjadi adalah ketimpangan fiskal vertikal (pusat dan daerah), maka untuk mengoreksi ketimpangan fiskal vertikal (pusat dan daerah) dilakukan dengan mekanisme Dana Bagi Hasil (DBH). Efek sampingnya mekanisme Dana Bagi Hasil (DBH) adalah ketimpangan fiskal horizontal (antar daerah) maka dilakukan dengan mekanisme transfer daerah yaitu Dana Alokasi Umum (DAU).Dalam era desentralisasi fiskal, pemerintah daerah dapat meresponnya dalam dua hal yaitu : (1) Lebih memusatkan perhatian pada usaha memperbesar penerimaan melalui intensifikasi dan perluasan pajak, retribusi daerah serta memanfaatkan sumber daya yang belum optimal melalui bagi hasil dan peningkatan dana transfer, dan (2) Lebih berorientasi pada efektivitas pengeluaran yaitu merencanakan, merumuskan dan melaksanakan kebijakan serta program pembangunan yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat..Dalam kebijakan otonomi daerah pemerintah harus lebih responsif terhadap kebutuhan penduduknya. Pada negara berkembang, termasuk di Indonesia, jumlah penduduk miskin masih relatif tinggi oleh karenanya diharapkan akan menciptakan kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan penduduk miskin. Isu utama masalah pembangunan regional dewasa ini adalah disparitas pembangunan yang meliputi ; (1) Disparitas antar wilayah, (2) Disparitas antar sektor ekonomi, (3) Disparitas antar golongan masyarakat dan individuPermasalahan ini disebabkan antara lain oleh perencanaan pembangunan yang sentralistik, top down, dan seragam. Konsep pembangunan ekonomi lebih menekankan pertumbuhan dibandingkan redistribusi pendapatan yang adil, sesuai dengan keadaan budaya penguasa (rezim) yang selama ini ternyata menyisakan ketimpangan. Penyebab disparitas pembangunan karena faktor alami, kondisi sosial budaya dan keputusan-keputusan kebijkan. Faktor alami meliputi kondisi, sumber daya alam, lokasi geografis, jarak pelabuhan dengan aktivitas ekonomi, wilayah potensial untuk pembangunan ekonomi.Sementara faktor sosial budaya meliputi tradisi, mobilitas ekonomi, inovasi dan kewirausahaan.Sedangkan keputusan kebijakan adalah sejauh mana kebijakan yang mendukung secara langsung atau tidak langsung terjadinya disparitas pembangunan. Disparitas antar wilayah berarti perbedaan tingkat pertumbuhan antar wilayah, disparitas antar wilayah ini dapat terletak pada perkembangan sektor-sektor pertanian, industri, perdagangan, perbankan, asuransi, transportasi, komunikasi, perkembangan infrastruktur, pendidikan, pelayanan kesehatan, fasilitas perumahan dan sebagainya. Secara lebih terperinci terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah antara lain (1) Faktor Geografis. Suatu wilayah atau daerah yang sangat luas akan terjadi variasi pada keadaan fisik alam berupa topografi, iklim, curah hujan, sumber daya mineral dan variasi spasial lainnya. Apabila faktor-faktor lainnya baik, dan ditunjang dengan kondisi geografis yang baik, maka wilayah tersebut akan berkembang dengan baik. (2) Faktor Historis. Perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah tergantung dari kegiatan atau budaya hidup yang telah dilakukan di masa lalu.Bentuk kelembagaan, budaya atau kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja. (3) Faktor Politis. Tidak stabilnya kondisi politik sangat mempengaruhi perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang ragu untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi di suatu wilayah tidak berkembang. Bahkan pelarian modal keluar wilayah untuk di investasikan ke wilayah yang lebih stabil. (4) Faktor Kebijakan Terjadinya kesenjangan antar wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah.Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor, dan lebih menekan pertumbuhan dan membangun pusat-pusat pembangunan di wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan antar daerah. (5) Faktor Administratif. Kesenjangan wilayah dapat terjadi karena kemampuan pengelola administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpelajar, terlatih dengan sistem administrasi yang efisien. (6) Faktor Sosial. Masyarakat dengan kepercayaan-kepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung dan menghambat perkembangan ekonomi.Sebaliknya masyarakat yang relatif maju pada umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang, perbedaan ini merupakan salah satu penyebab kesenjangan wilayah (7) Faktor Ekonomi. Faktor-faktor ekonomi yang menyebabkan kesenjangan wilayah adalah kemiskinan yang menyebabkan kondisi masyarakat tertinggal, standar hidup rendah, dan pengangguran yang meningkat serta ketidakmerataan pembangunan yang cenderung terkonsentrasi pada wilayah yang maju.Pemerataan hasil-hasil pembangunan biasanya dikaitkan dengan masalah kesenjangan dalam distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan terjadinya ketimpangan distribusi perndapatan semakin besar antar kelompok masyarakat akan menyebabkan adanya kemiskinan yang semakin meluas. Oleh karena itu orientasi dari pemerataan merupakan usaha untuk mengurangi kemiskinan. Anggapan bahwa jika pertumbuhan ekonomi berjalan cepat maka kemiskinan dengan sendirinya akan terkikis melalui proses trickle down effect. Ternyata kondisi tersebut tidak terjadi, karena seiring berjalannya pembangunan dan tumbuhnya perekonomian diikuti pula terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan yang dapat menyebabkan munculnya kantong-kantong kemiskinan.Oleh sebab itu muncul strategi pembangunan, dimana pemerataan distribusi pendapatan dan pengikisan kemiskinan merupakan bagian tak terpisahkan dalam pembangunan. (Rindayanti,2009).Dalam konteks pelaksanaan desentralisasi, masalah redistribusi memiliki dua dimensi, yiaut kesetaraan horizontal (antar wilayah) dan kesetaraan di dalam wilayah. Kesetaraan horizontal mengacu pada daerah memiliki kapasitas yang sama dalam penyediaan barang publik Ada dua faktor utama yang mempengaruhi ketimpangan horizontal, yaitu tax base yang sangat berbeda antara wilayah dan karakteristik wilayah, dimana kedua faktor tersebut sangat mempengaruhi penentuan biaya dan penyediaan barang publik. Hubungan positif antara ketimpangan wilayah dan desentralisasi fiskal merupakan pendapat yang mendominasi diantara peneliti. Tiebout dalam (Stiglitz,2000) menjelaskan hubungan yang positif antara desentralisasi fiskal dan ketimpangan wilayah melalui sifat mobilitas wajib pajak, dimana masyarakat (wajib pajak) memiliki kemapuan voting by feet (dapat secara bebas) dalam melilih wilayah mana yang akan ditempati melalui dua pertimbangan yaitu selera dan besarnya pajak di daerah tersebut. Sehingga wilayah yang lebih maju (wealth regions) dengan fasilitas dan pelayanan publik yang lebih baik akan lebih menarik untuk dijadikan tempat tinggal dibandingkan wilayah yang kurang maju (poor regions). Oleh sebab itu berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti tentang Analisis Peranan Dana Transfer Daerah dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Ketimpangan Kemampuan Keuangan Pada Provinsi Sulawesi Selatan1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan dengan uraian diatas, maka penulis menganalisis rumusan masalah sebagai berikut :1. Bagaimana pola sebaran Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan celah fiskalnya 2. Apakah Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh terhadap ketimpangan kemampuan keuangan di Sulawesi Selatan.

1.3 Tujuan PenelitianDalam melakukan penelitian ini tujuan yang diharapkan oleh penulis adalah :1. Untuk mengetahui pola sebaran Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan celah fiskalnya.2. Untuk mengetahui apakah Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh terhadap pemerataan kemampuan keuangan di Provinsi Sulawesi Selatan.

1.4 Manfaat PenelitianPenelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masing-masing pihak sebagai berikut1. Bagi peneliti sendiri, penelitian ini menjadi jawaban atas permasalahan yang ingin diketahui dan menjadi tambahan pengetahuan.2. Bagi pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Selatan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi tambahan dalam mengambil kebijakan menyangkut keuangan daerah serta kinerja ekonomi.3. Bagi masyarakat, mahasiswa dan peneliti lain,diharapkan penelitian ini dapat menjadi menjadi bahan informasi,tambahan pengetahuan dan sumber rujukan bagi yang berminat di keuangan daerah.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan TeoritisDalam pengelolaan keuangan negara dapat digunakan prinsip Musgrave Trilogy (Musgrave,1959) yang menjelaskan tentang fungsi-fungsi dasar keuangan negara sebagai instrumen stabilisasi, distribusi dan alokasi. Fungsi stabilitasi merujuk pada tindakan pemerintah dalam mempengaruhi keseluruhan tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi, dan harga. Dalam hal ini pemerintah menggunakan kebijakan anggaran untuk mengurangi pengangguran, kestabilan harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Fungsi distibusi adalah peran pemerintah dalam mempengaruhi distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin adanya keadilan dalam mengatur distribusi pendapatan.Fungsi alokasi adalah peran pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi agar tercipta secara efisien, yaitu peran pemerintah untuk menyediakan barang dan jasa yang tidak bisa disediakan oleh para pelaku pasar.Dalam pelaksanaan desentralisasi didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Tiebout yang dikenal sebagai The Tiebout Model yang terkenal dengan istilah Love it or leave it (Stiglitz,2000). Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyarakat lokal dan pemerintah daerahnya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang pailng tinggi antara pelayanan publik dari pemerintah daerahnya dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat.Dalam hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal (Stiglitz,2000) Model Tiebout ini menunjukkan kondisi yang diperlukan untuk mencapai efisiensi ekonomi dalam penyediaan barang publik yang bersifat lokal pada gilirannya akan menciptakan kondisi yang dikenal sebagai the market for local services would be perfectly competitive (Stiglitz,2000) Inilah arti penting desentralisasi dalam pengambilan keputusan publik yang diperdebatkan antara pemerintah lokal dengan DPRD setempat.Analisis Keynes dalam The General Theory, mengemukakan bahwa pemerintah dapat menggunakan kekuatan perpajakan dan pengeluaran mereka untuk meningkatkan pengeluaran agrerat (atau merangsang pengeluaran agregat). Kekuatan tersebut dapat dilakukan berdasarkan kondisi pemerintah ataupun tujuannya, yaitu pada masa resesi maupun depresi maupun bersifat kontraktif dan ekspansif.Myrdal dalam (Jhingan,1990) menyatakan bahwa ketimpangan regional dalam suatu negara berakar pada dasar nonekonomi. Ketimpangan berkaitan erat dengan sistem kapitalis yang dikendalikan oleh Motif laba. Motif inilah yang mendorong pembangunan terpusat di wilayah-wilayah yang memiliki harapan laba tinggi, sementara wilayah lain menjadi terlantar. Dalam teori ini dijelaskan pertumbuhan suatu wilayah akan mempengaruhi wilayah yang ada disekitarnya melalui dampak baik (Backwash Effect) dan dampak sebar (Spread Effect). Terjadi saat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.Spread effect didefinisikan sebagai suatu pengaruh yang menguntungkan (favourable effect) yang mencakup aliran kegiatan-kegiatan investasi dari pusat pertumbuhan ke wilayah sekitar. Backwash effect didefinisikan sebagai pengaruh yang merugikan (infavourable effect) yang mencakup aliran manusia dari wilayah sekitar termasuk aliran modal ke wilayah inti, sehingga mengakibatkan berkurangnya modal pembangunan bagi wilayah pinggiran yang sebenarnya diperlukan untuk dapat mengimbangi perkembangan wilayah inti. Lebih lanjut, Myrdal mengemukakan ketimpangan regional terjadi akibar besarnya pengaruh backwash effect dibandingkan dengan spread effect di negara-negara terbelakang.Perbedaan wilayah berarti tidak samanya kemampuan untuk bertumbuh sehingga yang timbul adalah terjadinya ketidakmerataan antar daerah. Sehubungan dengan hal ini muncul pendapat dan studi-studi empiris yang menempatkan pemerataan dan pertumbuhan pada satu posisi yang dikotomis.Peningkatan pendapatan per kapita memang menunjukkan tingkat kemajuan perekonomian suatu daerah. Namun meningkatnya pendapatan per kapita tidak selamanya menunjukkan bahwa distribusi pendapatan lebih merata. Sering kali di negara-negara berkembang dalam perekonomiannya lebih menekankan penggunaan model dari pada penggunaan tenaga kerja sehingga keuntungan dari perekonomian tersebut hanya dinikmati sebagian masyarakat saja.Apabila ternyata pendapatan nasional tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi ketimpangan. Simon Kuznets dalam (Todaro,2006) mengemukakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendaptan cenderung memburuk, namun pada tahap selanjutnya, distribusi pendapatan akan membaik. suatu hipotesis yang terkenal dengan sebutan Hipotesis U terbalik. Hipotesis ini dihasilkan melalui suatu kajian empiris terhadap pola pertumbuhan sejumlah negara di dunia, pada tahap awal pertumbuhan ekonomi terdapat trade-off antara pertumbuhan dan pemerataan. Pola ini disebabkan karena pertumbuhan pada tahap awal pembangunan cenderung dipusatkan pada sektor perekonomian modern perekonomian yang pada saat itu kecil dalam penyerapan tenaga kerja. Ketimpangan membesar karena kesenjangan antar sektor ekonomi modern dan sektor ekonomi tradisional meningkat. Peningkatan tersebut terjadi karena perkembangan disektor modern lebih cepat dibandingkan sektor tradisional. Akan tetapi dalam jangka panjang, pada saat kondisi ekonomi mencapai kedewasaan (maturity) dan dengan asumsi mekanisme pasar bebas serta mobilitas semua faktor-faktor produksi antar negara tanpa sedikitpun rintangan atau distorsi, maka perbedaan dalam laju pertumbuhan output antar negara akan cenderung mengecil bersamaan dengan tingkat pendapatan perkapita dan laju pertumbuhan rata-ratanya yang semakin tinggi di setiap negara yang akhirnya mengalami kesenjangan. Salah satu kajian yang menguatkan hipotesis Kuznets adalah Williamson (1956) dalam (Tambunan,2003), Williamson untuk pertama kalinya menyelidiki masalah ketimpangan antar daerah dengan membobot perhitungan coefficient of variation (CV) dengan jumlah penduduk menurut wilayah. Dalam studinya ia menemukan bahwa dalam tahap awal pembangunan ekonomi disparitas dalam distribusi pendapatan akan membesar dan terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu yang pada awalnya sedah relatif maju, misalnya dalam pembangunan industri,infrastruktur, dan SDM. Kemudian dalam tahap pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, terjadi konvergensi dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan akan mengalami penurunan. Dalam pembangunan ekonomi regional, Williamson (1965) dalam (Tambunan,2003), meneliti hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pembangunan, diparitas regional akan menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih matang, dilihat dari pertumbuhan ekonomi tampak adanya keseimbangan antar daerah dan disparitas berkurang dengan signifikan.Ketimpangan antar daerah juga disebabkan oleh mobilisasi sumber-sumber daya yang dimiliki oleh suatu daerah. Sumber-sumber daya tersebut antara lain akumulasi modal, tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki. Adanya heterogenitas dan beragam karakteristik suatu wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi suatu daerah.Melihat fakta ini dapat dikatakan bahwa disparitas regional marupakan konsekuensi dari pembangunan itu sendiri.Pembangunan yang dilakukan di suatu wilayah saat ini masih sering dilakukan tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya. Keinginan untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek seringkali menimbulkan keinginan untuk mengskploitasi sumber daya alam secara berlebihan sehingga menurunkan kualitas (degradasi) dan kuantitas (deplesi) sumber daya alam dan lingkungan hidup. Selain itu, sering pula terjadi konflik pemanfaatan ruang antar sektor.Pendapatan perkapita suatu daerah banyak digunakan tolak ukur untuk mengukur ketimpangan dalam suatu daerah. Pendapatan ini tidak terlihat dari tingginya melainkan apakah pendapatan itu terdistribusi secara merata atau tidak ke seluruh masyarakat.Dalam World Bank melaporkan menyatakan bahwa faktor-faktor geografis dan historis yang mendasari ketimpangan antar wilayah sangat kompleks dan tumpang tindih. Kemampuan mengelola sumber daya yang rendah dan jarak dari pasar yang jauh dapat menghambat proses pembangunan di kawasan-kawasan yang maju dan yang tertinggal, serta kelemahan institusional pada waktu sebelumnya.Hirschman dalam Teori Linkage Effect dan Industrial Linkage Model mengemukakan model yang secara eksplisit menjelaskan elemen spasial yang dinamis yang mempunyai tujuan yaitu polarisasi. Menurut Hirschman sekali pertumbuhan dimulai akan cenderung terkonsentrasi pada sekitar titik awal pertumbuhan yang disebabkan oleh ekonomi eksternal seperti biaya produksi yang lebih rendah, lokasi perusahaan yang berkaitan dengan ekspansi pasar. Daerah lain akan menerima efek positif dan negatif dari wilayah yang menjadi titik pertumbuhan secara geografis. Hirschman menyebut efek yang menguntungkan sebagai trickling down forces dan efek yang merugikan sebagai polarization effect. Kemajuan pada kutub pertumbuhan ke bawah ke daerah terbelakang melalui migrasi tenaga kerja yang menurunkan tekanan penduduk di daerah tersebut. Sebaliknya, semakin besar kemampuan berkompetisi diantara industri, kesempatan investasi lebih baik di kutub pertumbuhan dan mengambil sumber daya terbaik dari daerah terbelakang sehingga menyebabkan polarisasi pada titik pertumbuhan tersebut dan menghambat pertumbuhan wilayah hinterland-nya. Kesimpulan dari teori Hirschman dalam jangka panjang cenderung terjadi konvergensi pendapatan perkapita. Hal ini disebabkan oleh adanya diseconomics return to scale effect karena kemacetan industri-industri dan ketidakcukupan pasar domestik. Pada akhirnya menurut Hirschman, trickle down effect akan cenderung mendominasi polarization effect selama komplementaritas kuat antar daerah (Arsyad,1999) Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar terhadap dalam persentase terhadap PDB. Apabila terjadi peningkatan pendapatan perkapita dalam suatu perekonomian, maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum wagnerdikenal dengan The Law of Expanding State Expenditure. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari Negara-negara maju (Amerika Serikat, Jepang, Jerman). Wagner menerangkan bahwa peranan pemerintah menjadi semakin beasr disebabkan pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan mengenai hukum Wagner ini adalah tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik.Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organisasi mengenai pemerintah (organic theory of state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak dan terlepas dari anggota masyarakat lainnya.Peacock dan Wiseman menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah. Peningkatan pajak tersebut berasal dari ekstensifikasi pajak. Selain itu, peningkatan penerimaan pajak tersebut menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatknya PDB menyebabkan penerimaan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah yang semakin besar.

2.2 Kebijakan FiskalKebijakan fiskal merupakan kebijakan yang secara khusus berkaitan dengan kebijakan penerimaan dan pengeluaran Negara. Kebijakan fiskal melalui instrumennya umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu : 1) Kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atau barang dan jasa 2) Kebijakan yang menyangkut perpajakan, dan 3) Kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer (seperti kompensasi pengangguran, tunjangan keamanan sosial, dan tunjangan veteran atau pensiunan) kepada rumah tangga. Tujuan dari kebijakan fiskal yaitu 1) menganalisis pengaruh permintaan dan pengeluaran Negara bagi perbaikan kondisi perekonomian, penurunan tingkat pengangguran, dan kestabilan harga 2) Pengembangan aspek ekonomi seperti pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran dan stabilisasi ekonomi, 3) Pengembangan aspek sosial seperti pemerataan pendidikan dan kesehatan.Berdasarkan instrument kebijakan fiskalyang terdiri dari pengeluaran pemerintah, pajak dan transfer payment tersebut, maka pemerintah dapat mengubah-ubah variabel tersebut sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.Apabila pemerintah ingin menciptakan stabilitas harga, maka kebijakan fiskal yang dilakukan adalah bersifat kontraktif, yaitu dengan menurunkan pengeluaran pemerintah dan menaikkan pajak. Dengan demikian, maka permintaan agregat akan turun dan hal tersebut akan mengurangi kemungkinan terjadinya kenaikan harga-harga. Apabila pemerintah ingin meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan mengurangi pengangguran, maka dapat melakukan kebijakan fiskal ekspansif dengan menaikkan belanja pemerintah dan menurunkan pajak. Hal tersebut akan meningkatkan permintaan agregat dalam perekonomian.Instrumen kebijakan fiskal adalah pajak, pengeluaran pemerintah, dan pembayaran transfer. Artinya, dalam melaksanakan kebijakan fiskal maka variabel-variabel tersebut bisa diubah-ubah besarnya sesuai dengan tujuan. Jika pemerintah ingin menciptakan stabilitas harga,maka kebijakan fiskal diusahakan kontraktif. Hal itu ditandai dengan penurunan pengeluaran pemerintah atau peningkatan pajak. Dengan demikian permintaan agregat di dalam perekonomian akan turun dan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kenaikan harga. Sebaliknya, jika pemerintah ingin meningkatkan tingkat lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran, maka kebijakan fiskal yang di tempuh adalah bersifat ekspansif. Dimana pengeluaran pemerintah dinaikkan atau pajak diturunkan. Hal ini akan menigktakan permintaan agregat dalam perekonomian sehingga terjadi ekspansi dalam perekonomian.2.3Desentralisasi FiskalDesentralisasi fiskal merupakan salah satu implementasi dari paradigma hubungan pemerintah pusat dan daerah. Kebijakan awal yang dirumuskan dalam UU No.22 dan UU No.25 tahun 1999 antara lain ditandai dengan dialokasikannya Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan berbagai urusan pemerintahan yang telah didaerahkan, Dana Bagi Hasil (DBH) dari ekstraksi sumber daya alam yang berada di daerah yang bersangkutan, dan diberikannya otoritas pajak yang terbatas kepada pemerintah daerah. Selanjutnya, amandemen undang-undang desentralisasi yang dilakukan pada tahun 2004 menitikberatkan kepada mekanisme pemantauan oleh pemerintah pusat, dan perbaikan kepada pertanggungjawaban pengeluaran pemerintah daerah. Di sisi fiskal, UU No.33 tahun 2004 memperbesar basis bagi hasil pajak dari sumber daya alam yang dimiliki daerah, maupun dari pajak tingkat nasional lainnya, dan perluasan total dana yang menjadi sumber DAU. Perubahan kebijakan desentralisasi fiskal itu sendiri merupakan cerminan dari kebutuhan fiskal yang terus membesar di tingkat daerah, praktek soft budget constraint dari sisi pemerintah pusat yang juga disebabkan oleh lambatnya reformasi pajak daerah.Meskipun telah dilakukan berbagai macam penyempurnaan kebijakan, desentralisasi fiskal di Indonesia masih mempunya berbagai kelemahan dan kekurangan, baik dalam tataran konsep maupun implementasinya. Masih terdapat peraturan yang saling berbenturan satu dengan yang lain, masih terdapat perbedaan pendapat maupun perebutan kewenangan antar level pemerintahan dalam pengelolaan fiskal daerah, ataupun masih sering terjadi multi tafsir dalam implementasi kebijakan di daerah. Hal ini disebabkan karena tidak adanya kesamaan persepsi mengenai desentralisasi fiskal di Indonesia. Kesamaan persepsi inilah yang seharusnya diwadahi dalam suatu grand design desentralisasi fiskal.desentralisasi sebagai suatu strategi ekonomi akan berjalan jika faktor kelembagaannya diurus dengan baik. Pada Negara yang sedang melakukan proses reformasi, desentralisasi ekonomi dapat dianggap sebagai kelembagaan itu sendiri (institutional environment). Artinya, desentralisasi dimaknai sebagai rules of the game pemerintah lokal untuk menangani perekonomian daerah. Dalam perpektif ini berhasil tidaknya desentralisasi amat tergantung dari kelembagaan makro dan mikro yang dibuat.Jika tujuan makro ekonomi dari desentralisasi diarahkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja di daerah, maka pemerintah lokal harus menyusun kelembagaan ekonomi yang efisien agar investasi terjadi, misalnya dengan penciptaan regulasi perizinan yang murah dan sederhana. Sementara itu, apabila tujuan dari desentralisasi difokuskan kepada hubungan antar pelaku ekonomi, maka pemerintah lokal berkonsentrasi kepada desain kebijakan yang membatasi proses eksploitasi satu pelaku ekonomi kepada pelaku ekonomi lainnya, misalnya jaminan upah yang layak dan system bagi hasil yang setara di sektor pertanian (Yustika,2006)Bahl (2000) mengemukakan bahwa desentralisasi harus memacu adanya persaingan diantara pemerintah lokal untuk menjadi pemenang (there must be a champion for fiscal decentralization). Hal ini semakin dilihat dari semakin membaiknya pelayanan publik. Pemerintah lokal berlomba-lomba untuk memahami benar dan memberikan yang terbaik apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya, perubahan struktur ekonomi masyarakat dengan peran serta masyarakat yang semakin besar meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, partisipasi masyarakat rakyat setempat dalam pemerintahan setempat dan lain-lain. Bahl (2001) mengemukakan desentralisasi fiskal harus diikuti oleh kemampuan pemerintah dalam memungut pajak (taxing power). Secara teori adanya kemampuan pajak, maka pemerintah daerah memiliki sumber dana pembangunan yang besar. Pajak yang dikenakan oleh pemerintah ini secara teori dapat berdampak positif maupun negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Dampak positif pajak (local tax rate) dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa tax revenue akan digunakan oleh pemerintah untuk membangun berbagai macam infrastuktur dan membiayai berbagai macam pengeluaran publik. Sebaliknya, dampak negatif pajak bagi pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan karena pajak dapat menimbulkan deadweight loss of tax. Ketika pajak dikenakan oleh barang, maka pajak akan mengurangi surplus produsen dan konsumen.Menurut Oates (1972), dalam (Haryanto,2009) desentralisasi fiskal akan mampu menigkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, karena pemerintah sub nasional / pemerintah daerah akan lebih efisien dalam produksi dan penyediaan barang-barang public. Pengambilan keputusan pada level pemerintah local akan lebih didengarkan untuk menganekaragamkan pilihan lokal dan lebih berguna bagi efisiensi alokasi. Oates juga menyatakan bahwa desentralisasi fiskal meningkatkan efisiensi ekonomi yang kemudian berkaitan dengan dinamika pertumbuhan ekonomi.Perbelanjaan infrastruktur dan sektor sosial oleh pemerintah daerah lebih memacu pertumbuhan ekonomi daripada kebijakan pemerintah pusat. Menurutnya daerah memiliki kelebihan dalam membuat anggaran pembelanjaan sehingga lebih efisien dengan memuaskan kebutuhan masyarakat karena lebih mengetahui keadaannyaDesentralisasi menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam,terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan,serta pembagunan sosial dan ekonomi (Muallim,2010). Menurut Bird dan Vaillancourt (1998) menjelaskan bahwa desentralisasi merupakan proses transfer kekuasaan dalam membuat keputusan pada pemerintahan daerah. Menurut Saragih (2003) desentralisasi adalah berkurangnya atau diserahkannya sebagian atau seluruh wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah-daerah. Sehingga daerah yang menerima kewenangan bersifat otonom, yakni dapat menentukan caranya sendiri berdasarkan prakarsa sendiri secara bebas.Dalam desentralisasi dan otonomi terdapat perbedaan pengertian, dalam desentralisasi harus ada pendistribusian wewenang atau kekuasaan dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah,sedangkan otonomi berarti adanya kebebasan menjalankan atau melaksanakan sesuatu oleh suatu unit politik atau bagian wilayah / teritori dalam kaitannya dengan masyarakat politik atau negara (Saragih,2003) Menurut Oates (1972), dalam (Haryanto,2009) desentralisasi fiskal merupakan derajat kebebasan dalam membuat keputusan mengenai pembagian pelayanan publik dalam berbagai tingkat pemerintahan. Berdasarkan tingkat kebebasannya maka desentralisasi fiskal dibedakan menjadi 3 hal yaitu dekonsentrasi,delegasi, dan devolusi (Bird dan Vaillancourt,1998) Pertama, dekonsentrasi merupakan dispersi tanggung jawab antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah mengenai unit administrasi. Pemerintah pusat menggeser beberapa kewenangannya kepada pemerintah daerah, sehingga pemerintah pusat memiliki sedikit wewenang (power) dalam membuat keputusan.Kedua, delegasi merupakan situasi dimana pemerintah daerah bertindak sebagai pemerintah pusat dalam mengeksekusi fungsi-fungsi pemerintah pusat yang telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Dalam kasus ini, pemerintah daerah lebih leluasa dalam mengatur pelayanan publik, tapi mereka harus mengikuti aturan dan permintaan pemerintah pusat, dengan kata lain pemerintah daerah harus mengikuti role of the game pemerintah pusat. Ketiga, devolusi merupakan situasi dimana tidak hanya implementasi tetapi otoritas untuk menentukan apa yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah. Dalam hal ini, pemerintah daerah independen dalam membuat keputusan sehingga mereka dapat merespon preferensi dan kebutuhan atas pelayanan sektor publik masyarakat setempat.Oates (1993), menyatakan bahwa aktivitas fiskal pemerintah di dominasi oleh komponen fundamental dalam menentukan sumber daya. Oleh karena itu independensi fiskal dalam menentukan kewenangan pada pemerintah yang berbeda levelnya mungkin diukur dari kepentingan fiskal setiap level pemerintahan, seperti misalnya pelayanan publik A disediakan oleh pemerintah pusat dan daerah. Kedua level pemerintahan tersebut dapat membuat keputusan fiskal mengenai pembagian wewenang atas pelayanan publik A. kemudian bagaimana proporsi pendanaan atas pelayanan sektor publik A tersebut baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Prud`home (1990) menyederhanakan definisi desentralisasi fiskal menjadi 3 kriteria, yaitu : (1) share pajak daerah terhadap pajak pusat (2) share pengeluaran pemerintah daerah terhadap pajak pusat (3) share besarnya subsidi pemerintah pusat terhadap total sumber daya yang dimiliki pemerintah daerah.Sistem desentralisasi diekspektasikan memperoleh respon yang lebih baik atas preferensi dan kebutuhan daerah serta mendukung kompetisi antar unit daerah dalam pembagian barang publik dan pelayanan pada sektor publik. Efisiensi diperbaiki sebagai penyesuaian penawaran (supply) terhadap permintaan (demand). Oates (1993), menyatakan bagaimana sistem desentralisasi dapat meminimalkan welfare loss atas pembagian pelayanan publik daripada sistem sentralisasi. Oates dan Schwab (1991), dalam (Haryanto,2009) juga menunjukkan efisisensi pada perkembangan interjurisdiksi identik dengan outcome yang dihasilkan dari kompetisi inter jurisdiksi identik dengan outcome yang muncul jika satu menggantikan pemeritnah daerah di mana di dalamnya terdapat perusahan-perusahaan yang kompetitif, yang akan menyediakan barang publik kepada perusahaan dan rumah tangga dengan marginal cost. Dengan kata lain, desentralisasi adalah berkurangnya atau diserahkannya sebagian atau seluruh wewenang pemerintah pusat ke daerah, sehingga daerah yang menerima kewenangan yang bersifat otonom, yakni dapat menentukan caranya sendiri berdasarkan prakarsa sendiri secara bebas,sesuai dengan wewenang yang diserahkan kepada daerah. (Smoke , 2001) dalam (Haryanto,2009)Dalam sistem pemerintahan yang sentralistik berbagai kebijakan ditentukan secara nasional oleh pusat.Anggaran belanja pemerintah daerah sangat bergantung pada alokasi yang diberikan pemerintah pusat termasuk dalam pemanfaatannya. Keleluasaan dan kewenangan daerah dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan dan pembangunan sangat terbatas.Secara umum alasan yang mendukung sentralisasi adalah pemerintah pusat dapat mengalokasikan anggaran yang ada untuk menghasilkan barang dan jasa yang dapat dimanfaatkan secara nasional. Berbeda dengan sistem desentralisitik, pada sistem desentralisasi peran pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pengelolaan anggaran sangat besar. Desentralisasi fiskal adalah penyerahan kewenangandan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan desentralisasi fiskal akan diwujudkan dalam penyerahan kewenangankepada pemerintah daerah untuk melakukan pembelanjaan, memungut pajak (taxing power), dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat.Desentralisasi dalam kaitannya dengan tingkat kemandirian, pengambilan keputusan oleh daerah dapat dibagi menjadi tiga bentuk.Pertama, Dekonsentrasi (deconcentration) yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat yang berada dalam hirarki dengan pemerintah pusat di daerah. Kedua Devolusi (devolution) yaitu pelimpahan wewenang dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dari pemerintah pusat kepada tingkat pemerintahan daerah dan pihak pemerintah daerah mendapatkan diskresi yang tidak dikontrol oleh pusat. Apabila pemerintah daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya, pemerintah pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas pelaksanaan tugas tersebut. Ketiga, Pendelegasian (delegation or institutional pluralism) yaitu pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi regular yang di kontrol secara tidak langsung oleh pemerintah pusat.Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundang-undangan.Pihak yang menerima wewenang mempunyai diskresi dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak pemberi wewenang. Beberapa argumen yang mendukung desentralisasi adalah (1) pemerintah daerah menghayati kebutuhan masyarakatnya, (2) keputusan pemerintah daerah sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat sehingga mendorong pemerintah daerah untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat, (3) persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah daerah meningkatkan inovasinya.Pada dasarnya desentralisasi fiskal merupakan penyerahan wewenang fiskal kepada daerah yang meliputi, (1) Self financing atau cost recovery dalam pelayanan publik dalam bentuk retribusi daerah ; (2) Cofinancing atau coproduction yaitu pengguna jasa publik berpartisipasi dalam bentuk kontribusi kerjasama atau pembayaran jasa ; (3) Transfer dari pusat ke daerah terutama yang berasal dari sumbangan umum,sumbangan khusus,sumbangan darurat serta bagi hasil pajak dan non pajak; (4) Kebebasan daerah untuk melakukan pinjaman.

2.3.1 Teori Desentralisasi FiskalOtonomi daerah menurut UU 32/2004, diartikan sebagai hak wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.daerah otonom adalah masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan untuk mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan bagi pelayanan masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Sebagai upaya untuk mencapai tujuan itu, maka kepada daerah diberikan wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan.Kebijakan desentralisasi untuk otonomi daerah adalah salah satu bentuk implementasi dari kebijakan demokratisasi.Dalam konteks administrasi pemerintahan, demokratisasi memang bergandengan tangan dengan dengan desentralisasi. Artinya tidak ada demokratisasi pemerintahan tanpa desentralisasi. Ini terutama relevan dengan Negara yang wilayahnya luas dan berpenduduk besar, karena diasumsikan bahwa rakyat sebagai pihak yang berdaulat bukan saja harus dilayani lebih baik, tetapi juga harus diberi akses yang cukup di dalam proses pengambilan keputusan. (Rasyid,2007)Desentralisasi fiskal merupakan salah satu bentuk dan komponen utama dalam desentralisasi. Kebijakan desentralisasi fiskal banyak digunakan negara-negara sedang berkembang untuk mengurangi ketidakefektifan dan ketidakefisienan pemerintahan, ketidakstabilan ekonomi makro, dan ketidakcukupan pertumbuhan ekonomi. (Bahl dan Linn,1992).Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) termasuk surcharge of taxes, pinjaman, maupun dana perimbangan dari pemerintah pusat.Bahl (1999) mengemukakan bahwa dalam melaksanakan desentralisasi fiskal prinsip rules money should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan. Artinya, setiap pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Otonomi daerah tanpa desentralisasi fiskal kurang mendukung tercapainya efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dalam pelayanan publik (Saragih,2003) Oleh sebab itu otonomi daerah membutuhkan kebijakan desentralisasi fiskal. Kebijakan desentralisasi fiskal bertujuan untuk mencapai kemampuan keuangan daerah di dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakatnya, terutama dalam mencapai standar pelayanan minimum. Hal ini diwujudkan dalam suatu kebijakan yang disebut dengan perimbangan antara keuangan pusat dan daerah Mardiasmo (2004) dalam (Mualim,2010).Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik susuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan (Saragih:2003) . Sebagaimana juga yang diungkapkan oleh Bird dan Vaillancourt (2003) bahwa desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik,sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan.Ebel (2000) menjelaskan bahwa desentralisasi fiskal terkait dengan masalah (1) pembagian peran dan tanggung jawab antar jenjang pemerintahan; (2) transfer antar jenjang pemerintahan ; (3) penguatan sistem pendapatan daerah atau perumusan sistem pelayanan publik di daerah ; (4) swastanisasi perusahaan milik pemerintah (terkadang menyangkut tanggung jawab pemerintah daerah); dan (5) penyediaan jaring pengaman sosial.Kumorotomo (2000) dalam (Mualim,2010) menjelaskan bahwa desentralisasi fiskal harus mempertimbangkan kebijakan fiskal,khusunya utnuk mendukung kebijakan makro ekonomi antara lain yang berkaitan dengan fiscal sustainability, dan tetap memberikan ruang bagi pemerintah pusat untuk mengadakan koreksi atas ketimpangan anatar daerah, sehingga taxing power yang diberikan kepada daerah tetap tidak terlalu besar. Kendatipun perdebatan mengenai manfaat dari desentralisasi fiskal di Indonesia masih terus berlangsung, kini timbul harapan besar bahwa desentralisasi fiskal dapat memberikan manfaat seperti perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pengentasan orang miskin, manajemen ekonomi makro yang lebih baik, serta sistem tata pemerintahan (governance) yang lebih baik.

2.4 Transfer PusatHubungan keuanganantar pemerintah (intergovermental fiscal relations ) merupakan hubungan keuangan antar berbagai tignkatan pemeritnahan dalam suatu negara dalam kaitannya dengan distribusi pendapatan negara dan pola pengeluarannya (Suparmoko, 2002) Salah satu bentuk instrument yang digunakan dalam intergovernmental fiscal relations adalah grants, adamya transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah yang lebih rendah. Menurut Musgrave dan Musgrave (1980). Aspek lain dari perbedaan fiskal masing-masing daerah terceremin dari posisi fiskalnya. Beberapa pengertian yang terkait dengan konsep posisi fiskal adalah kapasitas fiskal, kebutuhan fiskal, effort, dan kinerja (perfomance). Masing-masing konsep memiliki pengertian yang berbeda tetapi kombinasi atas konsep-konsep tersebut akan membentuk suatu pengertian tentang posisi fiskal suatu negara.Dalam konteks desentralisasi fiskal, transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.Sejalan dengan desentralisasi tersebutaspek pembiayaannya juga ikut terdesentralisasi. Implikasiya daerah dituntut untuk dapat membiayai sendiri dana pembangunannya, tetapi banyak daerah di berbagai negara belum mampu membiayai seluruh pengeluaran daerah. Implikasi dari kondisi tersebut transfer dana dari pemerintah pusat (intergovernmental transfer) merupakan sumber penerimaan yang amat dominan bagi pemerintah daerah di banyak negara, terutama negara berkembang seperti Indonesia.Pada dasarnya transfer pemerintah pusat kepada pemeirntah daerah dapat dibedakan atas bagi hasil pendapatan (revenue sharing) dan bantuan (grants). Adapun tujuan dari transfer ini adalah pemerataan vertikal (vertical equalization), pemerataan horizontal (horizontal equalization), mengatasi persoalan efek pelayanan publik (correcting spatial externalities), mengarahkan prioritas (redirecting priorities), melakukan eksperimen dengan ide-ide baru, stabilisai dan kewajiban untuk menjaga tercapainya Standar Pelayanan Minimum (SPM) di setiap daerah.Vertical Equalization TransferDi banyak negara, pemerintah pusat menguasai sebagain besar sumber-sumber penerimaan (pajak) utama negara yang bersangkutan. Pemerintah daerah hanya menguasai sebagian kecil sumber penerimaan negara atau hanya berwenanguntuk memungut pajak-pajak yang basis pajaknnya bersifat lokal dan mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran penerimaanya relatif kurang signifikan. Kondisi ini akhirnya menimbulkan ketimpangan vertikal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan demikian tujuan dari vertical equalization transfer ini adalah untuk mengoreksi kesenjangan pendapatan yang diperoleh setiap tingkat pemerintahan.Penerapan vertical equalization transfer di Indonesia berlaku sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Latar belakang dilakukannya formula vertical equalization ini didasari oleh kebijakan selama Orde Baru dengan kekuasaan pemerintah pusat yang begitu dominan dalam menguasai sumber-sumber penerimaan negara. Daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam, seperti Aceh dan Papua terpaksa harus menjadi daerah miskin karena hasil dari sumber daya alam mereka disetor ke Pusat. Kondisi ini berubah setelah dikeluarkannya UU 25 Tahun 1999, yaitu daerah penghasil mendapat bagian dengan jumlah persentase tertentu, selain tiu kabupaten/kota serta provinsi yang letaknya satu administrasi dengan kabupaten/kota penghasil (letaknnya dalam provinsi yang sama) juga mendapat bagian.Horizontal Equalization TransferKeseimbangan antara kebutuhan pendapatan dan kemampuan untuk menghasilkan pendapatan juga memiliki dimensi horizontal, artinya dengan tarif pajak yang sama seharusnya juga menghasilkan penerimaan yang sama seharusnya juga menghasilkan penerimaan yang sama di antara daerah. Simanjuntak (2002) mengemukakan bahwa kemampuan daerah untuk menghasilkan pendapatan sangat bervariasi, tergantung kondisi daerah bersangkutan memiliki kekayaan sumber daya alam atau tidak, ataupun daerah dengan intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi atau rendah.Kondisi ini berimplikasi kepada besarnya basis pajak atau kapaistas fiskal di daerah-daerah bersangkutan.Disisi lain daerah-daerah juga memiliki kebutuhan belanja yang sangat bervariasi. Terdapat daerah-daerah dengan penduduk miskin, penduduk lanjut usia,anak-anak serta remaja yang tinggi proporsinya. Adapula daerah-daerah yang berbentuk kepulauan luas dengan sarana transportasi dan infrastuktur lainnya masih belum memadai. Sementara di lain pihak ada daerah-daerah dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu besar, namun memiliki infrastruktur yang lengkap. Ini mencerminkan tinggi rendahnya kebutuhan fiskal (fiscal needs) dari suatu daerah. Membandingkan kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal tersebut diatas maka dapat dihitung kesenjangan atau celah fiskal (fiscal gap) dari masing-masing daerah sebaiknya ditutup oleh transfer dari pemerintah pusat. Dengan kata lain tujuan horizontal equalization transfer adalah untuk menutup celah fiskal yang dimiliki setiap daerah.Penerapan horizontal equalization transfer di Indonesia setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 adalah dengan Dana Alokasi Umum (DAU). Secara faktual peran DAU dapat dijadikan counter atas pembagian dana bagian daerah yang didasarkan atas daerah penghasil yang cenderung menyebabkan ketimpangan antar daerah, karena daerah yang mempunyai potensi pajak dan SDA hanya terbatas pada daerah-daerah tertentu. Sebagai horizontal equalization DAU dirancang dengan sebuah formula yang digunakan untuk menghitung kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal daerah. Sehingga melalui suatu formula dapat dihitung celah fiskal yang akan ditutup dengan transfer DAU dari pemerintah pusat.Correcting Spatial ExternalitiesBeberapa jenis pelayanan publik di satu wilayah memiliki efek eksternalitas ke wilayah lain artinya pemanfaatannya tidak biasa dibatasi hanya untuk masyarakat tertentu, misalnya perguruan tinggi,pemadam kebakaran, jalan raya penghubung antar daerah, rumah sakit daerah. Apabila tanpa ada balas jasa pendapatan yang menguntungkan, umumnya daerah kurang tertarik di bidang pelayanan publik tersebut. Oleh karena itu pemerintah pusat perlu memberikan transfer ataupun menyerahkan sumber keuangan agar pelayanan publik demikian dapat dipenuhi daerah.Redirecting PrioritiesSetiap level pemerintahan memiliki prioritas masing-masing di dalam penyediaan pelayanan publik kepada masyarakatnya dan prioritas tersebut dapat berbeda, misalnya pemerintah pusat berkeinginan untuk mengutamakan pembangunan di sektor pendidikan secara murah dan terjangkau. Ini terkait dengan pemenuhan harapan para konstituen pemilih ketika pemilihan umum berlangsung, namun keinginan tersebut tidak sinkron dengan pola kebijakan pemerintah daerah yang menginginkan pembagunan di sektor kesehatan yang mendapat prioritas karena pertimbangan kondisi masyarakat setempat.Agar keinginan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat berjalan secara pararel, sebaiknya pemerintah pusat memberikan transfer kepada pemerintah daerah. Transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan membantu mengarahkan kembali prioritas daerah dan pusat dengan keinginan yang diharapkan oleh masing-masing level pemerintahan.2.4.1 Jenis-Jenis Transfer PusatPada dasarnya jenis-jenis transfer dapat dikelompkookan menjadi dua kategori, yaitu (1) transfer tanpa syarat (unconditional grants,general purpose grant,block grant), (2) transfer dengan syarat (conditional grant,categorical grant, specific purpose grant) (BPPK; Depkeu 2004)2.4.1.1 Transfer Tanpa Syarat (Unconditional Transfer)Pada umumnya transfer jenis ini ditujukan untuk menjamin adanya pemerataan dalam kemampuan fiskal antar daerah shingga setiap daerah dapa melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri pada tingkat yang layak. Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal yang memiliki sifat horizontal. Ciri utama dari transfer ini adalah pemerintah daerah memiliki diskresi penuh dalam memanfaatkan dana transfer sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan atau prioritas daerah, transfer tanpa syarat biasanya dibagikan berdasarkan suatu formula tertentu. 2.4.1.2 Transfer Dengan Syarat (Conditional Transfer)Transfer ini biasanya digunakan untuk keperluan yang dianggap penting oleh pemerintah pusat namun kurang dianggap penting oleh pemerintah daerah. Transfer ini dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu transfer pengimbang (matching grants) dan transfer bukan pengimbang (nonmatching grants). Matching grants adalah transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menutup sebagian atau seluruh kekurangan pembiayaan atas jenis urusan tertentu. Di sini pemerintah daerah telah mengalokasikan sejumlah dana pendapatan daerahnnya untuk penyelenggaraan urusan tersebut, hanya dana tersebut belum cukup untuk menjamin penyelenggaraan urusan tersebut dengan baik. Transfer dari pemerintah pusat dalam hal ini berfungsi untuk membantu mengatasi kekurangan dana tersebut. Matching grants dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu transfer pegimbang tidak terbatas (open-ended matching grants) dan transfer pengimbang terbatas (closed-ended matching grants). Open ended matching grants adalah transfer yang ditujukan untuk menutup seluruh kekurangan dana .misalnya sebuah proyek pembangunan rumah sakit membutuhkan dama Rp.100 miliar, daerah hanya mampu menyediakan dana sebesar 10 persen dari total kebutuhan dana atau Rp.10 miliar, maka kekurangan dana sebesar Rp.90 miliar ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah pusat.Dana Alokasi Khusus (DAK) termasuk jenis transfer yang masuk dalam kategori open-ended matching grants. DAK adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, yaitu kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus DAU, dan/atau kebutuhan yang merupakan komitmen dan prioritas nasional. Daerah yang mendapatkan DAK diwajibkan untuk menyediakan dana pendamping dari APBD sesuai dengan kemampuan daerah yang bersangkutan.Transfer pengimbang terbatas (closed-ended matching grants) merupakan transfer yang terdapat batasan jumlah dana maksimum yang daapt digunakan. Transfer ini sangat disukai oleh pemberi bantuan (pemerintah pusat) karena walaupun dana yang diberikan sesuai dengan besar proyek, namun setelah besarnya biaya proyek melampaui jumlah tertentu pemberi bantuan dapat mencukupkan bantuannya. Misalnya sebuah proyek membutuhkan dana sebesar Rp.50 miliar dan pemerintah daerah hanya mampu menyediakan dana sebesar Rp.5 miliar sehingga pemerintah pusat menanggung 45 miliar. Akan tetapi dalam proses pengeerjaan proyek, estimasi biaya meningkat menjadi Rp.55 miliar atau mengalami kekurangan 5 miliar. Mengingat pemerintah pusat tidak lagi mengucurkan dana maka poryek tersebut harus disesuaikan dengan jumlah anggaran semula yaitu Rp.50 miliar.Sementara itu, transfer bukan pengimbang (non-matching grants) adalah transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menambah dana penyelenggaraan suatu jenis urusan tertentu tanpa mempertimbangkan bahwa pemerintah daerah sendiri akan mengalokasikan dananya dengan jumlah besar atau kecil. Jenis transfer ini oleh pemerintah pusat untuk menjadi sarana untuk menginternalisasikan limpahan manfaat (eksternalitas) terutama kepada daerah yang menghasilkan limpahan manfaat tersebut. Jadi meskipun pemerintah daerah yang bersangkutan telah mengalokasikan pendapatan daerahnya untuk pembiayaan penyelenggaraan urusan itu, namun karena pelaksanaanya menghasilkan limpahan manfaat besar kepada daerah-daerah lain, transfer diberikan oleh pemrintah pusat untuk mendorong pemerintah daerah agar tetap bersemangat dan mau mengalokasikan pendapatan daerahnya untuk pelaksanaan fungsi tersebut.2.5 Penelitian TerdahuluUntuk mendukung penelitian yang akan dilakukan, maka ada beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian terdahulu bertujuan untuk membandingkan dan memperkuat atas hasil analisis yang dilakukan yang merujuk dari beberapa hasil studi, baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung. Dalam penelitian ini terdapat beberapa perbedaan dari penelitian terdahulu yang diambil oleh peneliti, diantaranya lokasi,kondisi keuangan daerah dan potensi daerah.Jorge Martinez-Vazquez dan Robert McNab (2001) dalam (Sasana,2009). Penelitian ini mengkaji tentang pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi. Dijelaskan bahwa hubungan desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi belum tentu memiliki dampak secara langsung. Desentralisasi akan mempunyai dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi yang tinggi apabila desentralisasi fiskal dipusatkan pada pengeluaran atau pembelanjaan publik.Jaime Bonet (2006) pernah meneliti dampak desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pendapatan wilayah dengan bukti pengalaman dari negara Kolombia. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Bonet membuktikan bahwa proses desentralisasi fiskal meningkatkan ketimpangan pendapatan regional. Akan tetapi ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Lessmann (2006) yang menganalisis mengenai Desentralisasi Fiskal dan Ketimpangan Regional : Menggunakan Pendekatan Data Panel Pada Negara-Negara OECD. Dalam penelitiannya Lessmann menemukan bahwa derajat dari desentralisasi yang tinggi menyebabkan rendahnya ketimpangan regional. Jadi, wilayah-wilayah terbelakang atau miskin tidak akan dirugikan dengan adanya desentralisasi, begitupun sebaliknya.Brodjonegoro (2001) melakukan penelitian dengan menggunakan model ekonometrik simultan untuk melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian Indonesia. Hasil studi menunjukkan bahwa dengan skema DAU, DBH, disparitas ekonomi antardaerah akan semakin meningkat ditunjukkan oleh meningkatnya angka Indeks Williamson. Sedangkan untuk pertumbuhan ekonomi daerah, dengan skema yang sama menghasilkan teingkat pertumbuhan yang berbeda-beda antar daerah, daerah yang kaya SDA dan menerima DAU tinggi menunjukkan tingkat pertumbuhan yang tinggi, demikian pula sebaliknya.Waluyo (2007), meneliti tentang dampak desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan antar daerah di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan model ekonometrika persamaan simultan dengan menggunakan data panel antar propinsi. Asumsi yang digunakan adalah tidak adanya keterkaitan antar daerah, tidak ada migrasi antar daerah, tidak ada pergerakan barang dan modal antar daerah.Hasil penelitian menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi relatif lebih tinggi di daerah pusat bisnis dan daerah kaya sumber daya alam daripada daerah bukan pusat bisnis dan miskin sumber daya alam. Daerah-daerah yang miskin sumber daya alam dan bukan pusat bisnis dan industry akan mengandalkan penerimaan daerahnya dari DAU dan DAK. Desentralisasi Fiskal akan berdampak mengurangi ketimpangan pendapatan daerah terutama antar Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), hal ini disebabkan oelh mekanisme equalizing transfer melalui dana perimbangan. Hal ini, juga ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari KTI, sedangkan di Pulau Jawa dan Bali merupakan daerah yang paling rendah pertumbuhan ekonomi dengan adanya kebijakan desentralisasi fiskal. Secara umum kebijakan desentralisasi fiskal belum mampu mengurangi kesenjangan pendapatan antardaerah.Shah (1994), meniliti tentang The Reform Of Intergovermental Fiscal Relation in Developing and Emerging Market Economies, menyatakan Filipina merupakan salah satu Negara ASEAN yang karakteristik struktur pemerintahannya hampir sama atau mirip dengan Indonesia. Filipina dalam menentukan alokasi dana transfer mempertimbangkan aspek jumlah penduduk, luas wilayah, pertimbangan etnis. Tapi dalam kesimpulannya dikatakan bahwa walaupun Filipina sudah memasukkan variabel yang dianggap cukup objektif dan rasional namun formula tersebut belum bisa mengoreksi ketimpangan fiskal horizontal, sehingga perlu dimasukkan dalam formula unsur potensi yang ada dalam daerah untuk meningkatkan pendapatan.Mahi (2001) meneliti tentang dampak desentralisasi dengan judul Fiscal decentralization : It`s Impact on Cities Growth.Menggunakan model ekonometrika simultan two stage least square model. Variabel desentralisasi fiskal diukur dengan dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Hasil penelitian disimpulakn bahwa, (1) dana alokasi umum lebih menjanjikan pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan yang lainnya walaupun desain kebijakan dana alokasi umum tidak mendukung pemerataan ekonomi antar daerah. (2) Bagi hasil pajak dan bukan pajak menurunkan pertumbuhan ekonomi. (3) Kebutuhan bagi hasil sumber daya alam berpotensi mengurangi tingkat pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesenjangan antar daerah. Hartina (2012) dalam studinya berjudul Analisis Peranan Dana Alokasi Umum Dalam Pemerataan Kemampuan Keuangan Daerah Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Barat.Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode analisis regresi, variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan PDRB perkapita Kabupaten/Kota.adalah variabel ketimpangan DAU perkapita Kabupaten/Kota, dan ketimpangan Dana Bagi Hasil (DBH) Perkapita dari Provinsi Sumatera barat ke Kabupaten/Kota. Sedangkan variabel bebas yang tidak berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan PDRB Perkapita Kabupaten/Kota adalah variabel Ketimpangan DBH perkapita Kabupaten/Kota.Hamid (2005), yang berjudul Formula Alternatif DAU dalam Upaya Mengatasi Ketimpangan Fiskal dalam Era Otonomi Daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ketimpangan fiskal vertikal dan merumuskan formula transfer Pemerintah Pusat ke Daerah khususnya Formula DAU. Kesimpulan penelitian ini disarankan menggunakan formula DAU IPM untuk perwujudan pemerataan alokasi antar daerah dan penerimaan alokasi per kapita, formula DAU IPM lebih sesuai ditetapkan di Indonesia.Dengan formula ini dari segi distribusi DAU bisa mencapai sasaran sehingga terwujud pemerataan dan keadilan antar daerah atau memperkecil ketimpangan fiskal.Formula ini memasukkan unsur variabel pembangunan manusia, dan menghasilkan pemerataan penerimaan daerah dengan semakin kecilnya koefisien variasi dan Indeks Williamson-nya. Dengan formula ini juga menunjukkan provinsi yang kaya SDA (Riau, Kalimantan Timur, dan Papua) dan empat dari lima provinsi di Jawa ( DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur) mengalami penurunan DAU-nya. Dikatakan juga transfer DAU yang diharapkan dapat memperkecil ketimpangan fiskal horizontal yang diakibatkan oleh hasil-hasil sumber daya alam yang merasa dieksploitasi tanpa kompensasi yang memadai.Menurut penelitian dari Rusydi (2010) tidak signifikannya PAD dalam mempengaruhi belanja daerah termasuk celah fiskal disebabkan karena rendahnya kontribusi PAD terhadap belanja daerah dan celah fiskal. Tingginya proporsi dana perimbangan sebagai sumber penerimaan daerah mengakibatkan PAD hanya berkontribusi kecil. Rendahnya penerimaan daerah dari PAD disebabkan oleh rendahnya upaya penggalian potensi daerah yang tercerminkan oleh fluktuatifnya tax effort di daerah. Padahal tax effort di daerah mencerminkan usaha pemerintah daerah dalam mengumpulkan pendapatannya.Siagian (2010) meneliti tentang Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah dan Ketimpangan Wilayah (Studi Kasus Provinsi Jawa Barat).Hasil dari penelitiannya adalah Ketimpangan wilayah di Provinsi Jawa Barat, dipengaruhi oleh dua faktor yaitu pertumbuhan ekonomi dan desentralisasi fiskal.Pertama, pertumbuhan ekonomi dan desentralisasi fiskal.Pertama, pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh yan g signifikan dan positif terhadap ketimpangan wilayah.Kedua, desentralisasi fiskal memiliki hubungan yang negatif dan signifikan terhadap ketimpangan wilayah.Aulia Fabia (2006) dalam penelitiannya tentang Analisis Dampak Otonomi Daerah Terhadap Kondisi Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten/Kota Di Pulau Sumatera. Hasil penelitiannya adalah Diberlakukannya kebijakan otonomi daerah memberikan dampak positif terhadap peningkatan nilai konvergensi dan menurunnya kesenjangan antar daerah.2.6 Kerangka KonsepsionalDalam pengelolaan keuangan negara dapat digunakan prinsip Musgrave Trilogy (Musgrave,1959), yang menjelaskan tentang fungsi-fungsi dasar keuangan negara sebagai instrumen stabilisasi, distribusi dan alokasi. Otonomi daerah yang mulai diterapkan pada 1 Januari 2001 membuat pemerintah melakukan desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam hal fiskal, yaitu daerah dituntut agar dapat mengelola fiskal agar dapat mencapai kemandirian fiskal dan bertujuan untuk mencapai kemampuan keuangan daerah di dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakatnya.Dana transfer daerah yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), merupakan dana perimbangan.

CELAH FISKAL (Y) :KEBUTUHAN FISKAL KAPASITAS FISKAL( KEBUTUHAN FISKAL : IKK,IPM,LUAS WILAYAH,JUMLAH PENDUDUK dan PDRB/Kapita )(KAPASITAS FISKAL : PAD + DBH)

DANA ALOKASI UMUM (DAU) (X1)DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) (X2)

KETIMPANGAN KEMAMPUAN KEUANGAN

Celah fiskal merupakan kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal. Kebutuhan fiskal diukur dengan menggunakan rumus celah fiskal dengan menggunakan rumus dana transfer daerah yang dihitung berdasarkan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk dalam suatu daerah, sedangkan mengukur kapasitas fiskal melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Celah fiskal merupakan variabel independen (Y) dan dana transfer daerah yang terdiri dari DAU (X1) DAK (X2). Ketimpangan kemampuan keuangan diukur berdasarkan celah fiskalnya sebagai proxy variabel atau variabel pendekatan. Apakah celah fiskal suatu kabupaten/kota berada di atas rata-rata atau dibawah rata-rata.

2.7 HipotesisBerdasarkan teori-teori dan pembahasan diatas maka, penulis menduga bahwa :1. Pola sebaran Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan berdasarkan pertumbuhan ekonomi bervariasi.2. Pola sebaran Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan berdasarkan celah fiskalnya adalah bervariasi.3. Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan kemampuan keuangan di Provinsi Sulawesi Selatan.

BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN

3.1 Daerah PenelitianDalam penulisan skripsi ini penulis mengadakan penelitian di wilayah Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Selatan, atau tepatnya penelitian ini dilakukan di Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Selatan untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dan di perpustakaan untuk memperoleh sumber-sumber referensi yang memadai.

3.2 Metode Pengumpulan DataUntuk mendapatkan informasi dan data yang akurat yang akan menjelaskan tentang pembahasan masalah yang akan diteliti, maka pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara berikut.Studi kepustakaan (Library Research)Yaitu suatu bentuk metode penelitian dengan cara menggunakan sarana kepustakaan dengan menelaah bahasan teoritis dari berbagai macam literatur,referensi yang berupa buku-buku, jurnal, hasil penelitian, peraturan perundang-undangan, bahan bacaan di internet yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.Penulis juga melakukan pencarian data-data dan informasi yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Selatan yang dianggap berhubungan dan mendukung penelitian skripsi ini.

3.3 Jenis dan Sumber DataJenis data yang digunakan merupakan data sekunder , yakni data yang berasal pengumpulan data-data dari literatur atau bahan bacaan yang mendukung penelitian ini. Adapun data-data yang ada berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Selatan. Data-data yang digunakan meliputi.1. Data kualitatif, berupa data yang diperoleh dari buku-buku referensi dan berbagai macam artikel,jurnal, karya ilmiah mengenai peranan DAU dan PAD terhadap pemerataan kemampuan keuangan pada Kab./Kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Dan biasanya data kualitatif hanya bersifat deskriptif.2. Data kuantitatif berupa data-data yang diperoleh penulis melalui Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Selatan yang akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode analisis model ekonometrika.

3.4 Metode Analisis DataDalam melakukan penelitian maka, dibutuhkan cara dalam menganalisis guna mendukung penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, dalam hal ini penulis menggunakan metode analisis sebagai berikut.Sebelum menghitung dengan menggunakan analisis regresi linear berganda maka harus dihitung terlebih dahulu Rumus Dana Alokasi Umum (Rumus DAU) yang terdiri dari Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Luas Wilayah, dan Jumlah Penduduk.Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)Tingkat Kemahalan Konstruksi (TKK) merupakan cerminan dari suatu nilai bangunan/konstruksi, yaitu biaya yang dibutuhkan untuk membangun satu unit bangunan persatuan ukuran luas di suatu kabupaten/kota atau provinsi.TKK diperoleh melalui pendekatan terhadap harga sejumlah bahan bangunan/konstruksi dan harga sewa alat berat yang mempunyai nilai atau andil cukup besar terhadap bangunan tersebut.Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) adalah angka indeks yang menggambarkan perbandingan TKK suatu kabupaten/kota atau provinsi terhadap TKK kabupaten/kota provinsi lain. Sesuai dengan pengertiaannya IKK dapat dikategorikan sebagai indeks spasial, yaitu indeks yang menggambarkan perbandingan harga untuk wilayah yang berbeda pada periode waktu tertentu. Berbeda dengan pengertian indeks periodical atau temporal yang selama ini kita kenal, seperti Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) atau Indeks Harga Konsumen (IHK), kedua indeks harga tersebut menggambarkan perkembangan perkembangan harga di suatu wilayah pada periode waktu tertentu terhadap harga periode tahun dasar.IKK dihitung sejak tahun 2003 dengan rata-rata nasional sebagai acuan (sama dengan 100). Tahun 2005 sampai dengan 2009, IKK disajikan dengan memperhitungkan pula perkembangan harga periode tertentu terhadap periode dasar (Februari 2004,periode harga yang digunakan dalam penghitungan IKK 2004). IKK tahun 2010 dan 2011 menggunakan Kota Samarinda dan Provinsi Kalimantan Timur sebagai acuan.IKK dihitung menurut pengelompokkan jenis bangunan yang mengacu pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang disesuaikan agar memenuhi asas komparabilitas. Seperti halnya IKK 2010, penghitungan IKK 2011 juga menggunakan 3 kelompok jenis bangunan, yaitu;a. Bangunan tempat tingal dan bukan tempat tinggalb. Jalan,jembatan dan pelabuhan;danc. Bangunan lainnyaIKK tahun 2003 dan IKK tahun 2004 disajikan menggunakan acuan rata-rata nasional sama dengan 100. IKK tahun 2005 dikalikan dengan perkembangan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) barang-barang konstruksi dari bulan Februari 2004 sampai dengan bulan Mei 2005 yang merupakan periode pencacahan serentak paket komoditi IKK dan sampai dengan rata-rata tahun 2009 disajikan dengan rata-rata nasional menggunakan inflator sebagai acuan. Seperti halnya IKK 2010. IKK menggunakan Kota Samarinda sebagai kota acuan dan Provinsi Kalimantan Timur sebagai acuan. IKK 2011 dihitung dengan menggunakan inflator 1,0357Paket Komoditas Paket Komoditas yang digunakan dalam penghitungan IKK 2011 terdiri dari 17 jenis barang, 4 sewa alat berat, dan 1 upah tenaga kerja, yaitu : pasir pasang, batu kali, aspal, kayu balok, kayu lapis, cat tembok, besi beton, seng plat, seng gelombang, kayu papan, sewa alat berat excavator, bulldozer, three wheel roller (mesin gilas), dump truck, dan upah tukang.Jenis barang dan sewa alat berat tersebut dipilih karena mempunyai nilai atau andil yang cukup besar dalam membuat masing-masing kelompok jenis bangunan serta harga barang-barang tersebut comparable atau mempunyai keterbandingan antar kabupaten/kota di seluruh IndonesiaDiagram Timbang (DT) atau bobotDT atau bobot terdiri dari DT kelompok jenis bangunan dan DT umum.DT kelompok jenis bangunan digunakan untuk menghitung tingkat kemahalan konstruksi kabupaten/kota yang disusun berdasarkan besarnya volume masing-masing jenis bahan bangunan untuk membangun satu unit bangunan per satuan ukuran luas.Sementara itu DT umum digunakan untuk menghitung IKK umum, disusun berdasarkan perkiraan persentase pengeluaran untuk pembangunan fisik yang ada di masing-masing kabupaten/kota dan dirinci menurut 3 (tiga) kelompok jenis bangunan/konstruksi.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)Konsep pembangunan masnusia adalah manusia sebagai kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Salah satu pengukuran pembangunan manusia adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau biasa juga dikenal dengan Human Development Index (HDI)Beberapa penjelasan mengenai Indeks Pembangunan Manusia ;1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator komposit yang mengukur kualitas hidup manusia. IPM dibangun melalui pendekatan 3 dimensi, yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang layak.2. IPM menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya pembangunan kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk).3. IPM digunakan sebagai salah satu ukuran kinerja daerah, khususnya dalam hal eveluasi proses pembagunan sumber daya manusianya.4. IPM menjelaskan tentang bagaimana manusia mempunyai kesempatan untuk mengkases hasil dari suatu proses pembangunan, sebagian dari haknya dalam memperoleh pendapatan,kesehatan, pendidikan dan sebagainya.5. Secara berkala, data IPM digunakan sebagai salah satu indikator dalam penyusunan DAU (Dana Alokasi Umum)6. IPM harus digunakan secara hati-hati, meskipun indeks-indeks tersebut memberikan petunjuk umum tentang kebutuhan-kebutuhan dan prioritas-prioritas pembangunan manusia. Indeks tersebut masih perlu dilengkapi dengan informasi-informasi kuatitatif dan kualitatif yang harus dimiliki oleh pemerintah daerah.Komponen IPM dan Konsep1. Angka Melek Huruf penduduk dewasa : Proporsi penduduk berusia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin atau huruf lainnya.2. Angka Harapan Hidup pada waktu lahir : perkiraan lama hidup rata-rata penduduk dengan asumsi tidak ada perubahan pola mortalitas menurut.3. Rata-rata Lama Sekolah : Rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk berusia 15 tahun ke ataas untuk menempuh semua jenis pedidikan formal yang pernah dijalani.4. Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity = PPP) : Indikator ekonomi yang digunakan untuk melakukan perbandingan antar wilayah riil antar wilayah provinsi dan antar Kabupaten/Kota. Dalam konteks PPP untuk Indonesia, satu rupiah di suatu daerah (provinsi/kabupaten) memiliki daya beli yang sama dengan satu rupiah di Jakarta. PPP dihitung berdasarkan pengeluaran riil per kapita setelah disesuaikan dengan indeks harga konsumen dan penurunan utilitas marginal yang dihitung dengan formula Atkinson5. Reduksi Shortfall : Mengukur keberhasilan pembangunan manusia dipandang dari jarak antara yang dicapai terhadap kondisi ideal (100-IPM). Nilai reduksi shortfall yang lebih besar menandakan peningkatan IPM yang lebih cepat. Pengukuran ini didasarkan asumsi, laju pertumbuhan tidak bersifat linear, tetapi laju perubahan cenderung melambat pada tingkat IPM yang lebih tinggi.PDRB (Produk Domestik Regional Bruto)PDRB merupakan penjumlahan nilai dan output bersih perekonomian yang ditimbulkan oleh seluruh kegiatan ekonomi, disuatu wilayah tertentu (provinsi dan kabupaten/kota), dan dalam suatu kurun waktu tertentu (satu tahun kalender). Kegiatan ekonomi yang dimaksud mulai kegiatan pertanian, pertambangan, industri pengolahan sampai dengan jasa-jasa.Dalam penghitungannya, untuk menghindari hitung ganda, nilai outpu bersih diberi nama secara spesifik, yaitu nilai tambah (value added). Demikian juga, harga yang digunakan dalam perhitungan ini adalah harga produsen. Penilaian pada harga konsumen akan menghilangkan PDRB subsektor perdagangan dan sebagian subsektor pengangkutan.Luas WilayahLuas wilayah adalah ukuran kondisi luas suatu daerah kabupaten/kota atau provinsi di Sulawesi Selatan.Jumlah PendudukJumlah penduduk adalah seberapa banyak penduduk yang ada dalam suatu wilayah kabupaten/kota.Untuk menghitung ketimpangan kemampuan keuangan maka dihitung berdasarkan celah fiskal. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal, Kebutuhan fiskal dihitung dengan rumus dasar dana transfer daerah seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Komponen penentuan dana transfer diukur dengan : KbF = TBD (1 IP + 2 IW + 3 IKK + 4 IPM-1 + 5 PDRB/kap.)Dimana :TBD : Total belanja rata-rata dalam APBDIP : Indeks Jumlah PendudukIW : Indeks Luas WilayahIKK : Indeks Kemahalan KonstruksiIPM-1 : Inverse Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (100-IPM)PDRB/Kapita : Indeks Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita ( 1 - Indeks PDRB / Kapita) : bobot indeks bobot indeks 1= 40 % 2 = 10 % 3= 30 % 4= 10 % 5 = 10 %Cara Menghitung Indeks,Indeks Jumlah Penduduk = Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota Rata-rata penduduk ProvinsiIndeks Luas Wilayah = Luas Wilayah Kabupaten/Kota Rata-rata luas wilayah Kabupaten/Kota dalam ProvinsiIndeks Kemahalan Konstruksi (IKK) = IKK Kabupaten/Kota IKK Provinsi3.4.3 Metode Analisis RegresiMetode analisis regresi digunakan adalah dengan metode untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan perkapita antar daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam penelitian ini menggunakan waktu selama tahun 2010 , mulai tahun 2010. Untuk menyederhanakan perhitungan dengan menggunakan variabel ekonometrika, maka variabel dependen (terikat) yang dilambangkan dengan Yt adalah celah fiskal yang dihitung dengan menggunakan formula Dana Alokasi Umum (DAU), sedangkan variabel independen (bebas) adalah Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) oleh karena itu maka dibuatlah model regresi linear berganda dengan bentuk persamaannya adalah sebagai berikut.Yt= f (X1,X2)(1)Dimana Yt adalah fungsi dari X1 dan X2 kemudian diturunkan menjadi fungsi atau secara eksplisit dapat dinyatakan dalam fungsi Cobb-Douglas :Yt = 0X11X22 t(2)Untuk memperoleh bentuk persamaan linear, maka persamaan tersebut dirubah menjadi linear dengan menggunakan Logaritma Natural (Ln), sehingga diperoleh :LnYt = 0+ 1 LnX1 + 2 LnX2 t(3)Dimana :Yt = Rumus Celah Fiskal (Kebutuhan Fiskal - Kapasitas Fiskal) ( Kebutuhan fiskal dihitung dari Indeks Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (inverse) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) (inverse) pada tahun 2010)0 = KonstantaLnX1 = Dana Alokasi Umum/(DAU) (dalam Rupiah)LnX2 = Dana Alokasi Khusus/(DAK) (dalam Rupiah)1 = Koefisien Dana Alokasi Umum2= Koefisien Dana Alokasi Khusust = standar error / variabel pengganggut = tahun ke-t (2010)

3.4 Definisi OperasionalDana Alokasi Umum (DAU) Adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antardaerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran daerahnnya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU dinyatakan dalam nominal Rupiah, dihitung pada tahun 2010Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendapatan asli daerah yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain.PAD dinyatakan dalam nominal Rupiah, dihitung pada tahun 2010.Celah Fiskal adalah Kebutuhan Fiskal dikurangi dengan Kapasitas Fiskal. Kebutuhan fiskal dapat diartikan sebagai kebutuhan daerah untuk membiayai semua pengeluaran daerah dalam rangka menjalankan fungsi/kewenangan daerah dalam penyediaan pelayanan publik. Dalam perhitungan kebutuhan fiskal dihitung melalui pendekatan rumus DAU yang ditentukan dari variabel-variabel Indeks Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (Inverse) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) (inverse) pada tahun 2010. Sedangkan Kapasitas Fiskal dihitung dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) ditambah dengan Dana Bagi Hasil (DBH)

BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi PenelitianProvinsi Sulawsi Selatan beribukota di Makassar dan sebagai pusat pengembangan dan pelayanan pembangunan di wilayah Timur Indonesia. Provinsi Sulawesi Selatan memiliki 24 Kabupaten / Kota, Provinsi Sulawesi Selatan sebelah selatan berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Teluk Bone, Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar dan Provinsi Sulawesi Barat dan di utara berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.

4.2 Gambaran Umum Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).4.2.1 Dana Alokasi Umum (DAU). DAU merupakan dana perimbangan yang memiliki tujuan utama adalah pengurangan kesenjangan fiskal antar daerah. Konsep kesenjangan fiskal untuk mengalokasikan DAU sudah dapat diadopsi di Indonesia, karena memperhitungkan dua aspek sekaligus, yaitu kebutuhan dan kemapuan fiskal pemerintah daerah. Formula DAU mungkin berbeda dengan model alokasi IRA (Internal Revenue Allotment) yang merupakan dana transfer di Filipina yang dimana alokasi transfer hanya didasarkan kebutuhan fiskal saja; yaitu menggunakan variabel luas wilayah dan jumlah penduduk. Formula DAU juga mungkin berbeda dengan alokasi transfer di Kanada yang alokasi transfernya hanya berdasarkan kemampuan pemungutan pajak daerah (sisi kapasitas fiskal daerah) saja.Kondisi saat ini, dalam UU No. 33/2004 telah dinyatakan dengan tegas bahwa DAU dibagikan dengan tegas bahwa DAU dibagikan dengan formula yang didasarkan atas alokasi dasar dan kesenjangan fiskal (fiscal gap). Alokasi dasar ditetapkan terutama berdasarkan besarnya belanja pegawai, sedangkan kesenjangan fiskal dihitung dari selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Dengan masih adanya peran belanja pegawai, mendorong pemerintah daerah untuk terus menambah jumlah pegawainya,terlepas dari pertimbangan efisiensi pegawai. Selain itu, keberadaan variabel belanja pegawai dalam formula DAU dianggap pula sebagai pencetus motivasi untuk melakukan pemekaran daerah, karena bagi daerah otonom baru sebagai hasil pemekaran, mereka akan otomatis membutuhkan pegawai yang pembiayaannya dijamin oleh alokasi DAU. Sementara itu, perhitungan kebutuhan fiskal pada saat ini belum dilakukan dengan menggunakan pendekatan kebutuhan belanja yang sesungguhnya, melainkan masih menggunakan beberapa variabel pendekatan (proxy variables), diantaranya adalah : jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Produk Domestik Bruto (PDRB). Kondisi yang diharapkan. 1) DAU harus mampu mengatasi ketimpangan horizontal yang sampai saat ini masih sangat tinggi, sebagai adanya kebijakan-kebijakan yang justru medistorsi formula DAU untuk mencapai tujuan tersebut, seperti holdharmless policy. Dan penggunaan belanja pegawai sebagai variabel. 2) Penilaian kebutuhan fiskal dalam formulasi DAU tidak lagi menggunakan proxy, namun telah menggunakan alat ukur yang mencerminkan kebutuhan riil tiap-tiap daerah. 3) Penghitungan DAU dilakukan oleh lembaga-lembaga independen yang terlepas dari berbagai macam kepentingan politik. Pembagian DAU bukan dari kepentingan politik tetapi kepentingan daerah dalam pengertian yang sebenarnya yaitu kepentingan pemenuhan pelayanan minimum.Formulasi penghitungan DAU harus diarahkan kembali untuk mengatasi ketimpangan horizontal dan tidak dibebani tujuan-tujuan lain yang bersifat non teknis atau politis. 1) Salah satu cara untuk menghindari campur tangan politik dalam penetapan DAU adalah dengan membentuk lembaga independen yang melakukan penghitungan DAU. 2) Arah ke depan, penggunaan belanja pegawai sebagai variabel untuk alokasi DAU harus ditiadakan. 3) Selain itu,untuk mewujudkan perhitungan kebutuhan fiskal yang benar-benar didasarkan atas perhitungan belanja yang dibutuhkan daerah memang tidak mudah,setidaknya harus diperoleh kejelasan tentang ASB (Analisis Standar Belanja) untuk setiap urusan yang didaerahkan, yang memperhitungkan Standar Pelayanan Minimum (SPM). Atas dasar ini, maka diperlukan suatu kebijakan yang mendorong agar pemerintah daerah menggunakan ASB dalam pengalokasian belanja daerahnya untuk mencapai target SPM di daerah.

4.2.2 Dana Alokasi Khusus (DAK)Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK ditujukan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah. DAK memiliki karakter yang paling spesifik diantara dana transfer lainnya di mana DAK hanya dapat digunakan sesuai dengan kegiatan yang ditetapkan oleh instansi teknis yang terkait dengan bidang alokasi DAK.DAK merupakan suatu bentuk transfer pusat guna mendanai kewenangan yang telah didesentralisasikan, yang juga sekaligus mengemban tugas untuk mendukung prioritas nasional. Sebagaimana terdapat di Negara lain, maka bentuk transfer yang bersifat specific grantakan mempunyai peranan yang sangat penting dalam menjaga keselarasan arah pembangunan nasional. Di samping itu, DAK di Indonesia juga mempunyai fungsi untuk menjembatani pencapaian standar pelayanan minimum secara nasional, yang berarti bahwa DAK selayaknya dialokasikan kepada daerah tertentu yang belum bias mencapai kualitas standar nasional pelayanan publik sebagaimana yang diharapkan. DAK tidak dialokasikan kepada semua daerah, namun hanya kepada daerah tertentu yang mempunyai kondisi khusus.Kondisi Saat ini, semenjak dilakukannya kebijakan desentralisasi fiskal pada tahun 2001, sangat dirasakan tidak jelasnya peran dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam membiayai otonomi daerah. Euphoria terhadap desentralisasi dan otonomi daerah pada tahun 2000 tampaknya mengakibatkan pengambil keputusan untuk lebih memberikan prioritas kepada alokasi dana transfer, seperti DAU dan DBH, yang memberikan diskresi yang luas bagi pemda untuk mengatur pengggunaanya. Sebagai akibatnya, Peran DAK yang dapat dijadikan stimulus tercapainya target pembagunan nasional dan mengedepankan eksternalitas dari pelayanan publik