SKIZO LIA
-
Upload
amalia-fatmasari -
Category
Documents
-
view
216 -
download
0
description
Transcript of SKIZO LIA
BAB I
PENDAHULUAN
Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan gangguan dasar
pada kepribadian, distorsi khas proses pikir, kadang-kadang mempunyai perasaan
bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham yang
kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, afek abnormal yang terpadu dengan situasi
nyata atau sebenarnya, dan autisme. Meskipun demikian, kesadaran yang jernih dan
kapasitas intelektual biasanya tidak terganggu. (Mansjoer, 2000). Sedangkan
gangguan skizoafektif adalah kelainan mental yang rancu yang ditandai dengan
adanya gejala kombinasi antara gejala skizofrenia dan gejala gangguan afektif
diamana keduanya sama-sama menonjol pada saat yang bersamaan, atau dalam
beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang sama
(Sadock, dkk., 2003; Maslim, 2002).
Maramis (2006) menyebutkan skizofrenia dan gangguan skizoafektif
merupakan salah satu gangguan kejiwaan berat dan menunjukkan adanya
disorganisasi (kemunduran) fungsi kepribadian, sehingga menyebabkan disability
(ketidakmampuan). Ketidakmapuan penderita skizofrenia atau dengan gangguan
skizoafektif dalam mencapai berbagai keterampilan hidup inilah yang menyebabkan
penderita menjadi beban keluarga dan masyarakat.
Ketidakmampuan bersosialisasi pada penderita skizofrenia tergantung dari
tingkat keparahan simptom psikologis yang dialami penderita, dimana semakin
dominan tingkah laku simptomatologik menguasai seluruh tingkah lakunya, semakin
buruk juga ketidakmampuan bersosialisasi yang dialami oleh penderita.
Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif memiliki
prognosis yang lebih buruk daripada pasien dengan gangguan depresif maupun
gangguan bipolar, tetapi memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan
skizofrenia (Sadock dkk., 2003).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu
gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi,
pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan
intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian (Sadock,dkk., 2003).
Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok,
yaitu gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa isi pikiran tidak wajar
(waham), gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), gangguan persepsi (halusinasi),
gangguan perasaan, perilaku aneh atau tak terkendali (disorganized). Gejala
negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau
isolasi diri dari pergaulan, ‘miskin’ kontak emosional (pendiam, sulit diajak
bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan
dorongan kehendak atau inisiatif (Maharatih, 2010).
B. Fase atau Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu.
Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi
beberapa fase yang dimulai dari prodromal, fase aktif dan keadaan residual
(Sadock, 2003; Buchanan, 2005).
Tanda dan gejala prodromal skizofrenia dapat berupa cemas, gundah
(gelisah), merasa diteror atau depresi. Penelitian retrospektif terhadap pasien
dengan skizofrenia menyatakan bahwa sebagian penderita mengeluhkan gejala
somatik, seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan otot, kelemahan dan masalah
pencernaan Perkembangan gejala prodromal yang berlangsung beberapa hari
sampai beberapa bulan (Sadock,dkk., 2003).
2
Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara
klinis, yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian
pasien skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri (tilikan) buruk
sampai tidak ada (Buchanan, 2005).
Indikator premorbid (pra-sakit) pre-skizofrenia antara lain ketidakmampuan
seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh.
Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah, kadang
menyimpang (tanjential) atau berputar-putar (sirkumstantial). Gangguan atensi:
penderita tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, atau memindahkan
atensi. Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial,
tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan
tak disiplin.
Gejala dari penyakit skizofrenia sendiri dibagi menjadi beberapa gejala, yaitu :
1. Gejala positif, disebut positif karena perilaku dan pola pikir yang
seharusnya tidak ada menjadi ada dalam diri seseorang ketika berinteraksi dengan
sekitar. Gejala ini meliputi waham dan halusinasi umumnya berupa halusinasi
penglihatan dan pendengaran. Termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran
(kognitif). Gejala-gejala ini disebut positif karena merupakan manifestasi jelas
yang dapat diamati oleh orang lain.
2. Gejala negatif yang merupakan kebalikan dari gejala positif, dimana
perilaku dan pola pikir yang seharusnya ada menjadi hilang. Gejalanya berupa
emosi yang datar, ketidakmampuan untuk berinisiatif dan mengikuti jalannya
kegiatan dan tidak punya ketertarikan dalam hidup. Gejala-gejala yang dimaksud
disebut negatif karena merupakan kehilangan dari ciri khas atau fungsi normal
seseorang. Termasuk kurang atau tidak mampu menampakkan/mengekspresikan
emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan untuk beraktivitas, tidak
dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan
bicara (alogia).
3
3. Gejala afektif juga sering menyertai penyakit skizofrenia meliputi perasaan
tertekan, cemas, kurang tidur, perasaan tidak berharga, pemikiran tentang
kematian dan bunuh diri serta perasaan bersalah.
4. Gejala kognitif, yaitu pola pikir yang tidak beraturan, sering terlihat sebagai
kebingungan dalam hal berpikir dan berbicara serta perilaku yang tidak masuk
akal.
5. Gejala agresif yaitu perilaku yang menunjukkan permusuhan dan gangguan
dalam pengendalian impuls.
Fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis
skizofrenia. Yang tinggal hanya satu atau dua gejala sisa atau gejala negatif yang
tidak terlalu nyata secara klinis, yaitu dapat berupa penarikan diri (withdrawal)
dan perilaku aneh (Buchanan, 2005).
C. Etiologi
Sampai saat ini penyebab dari gangguan skizofrenia masih belum diketahui secara
pasti. Namun, terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa
penyebab skizofrenia, antara lain :
1. Faktor Genetik
Menurut Maramis (2006) faktor keturunan juga menentukan timbulnya
skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-
keluarga penderita skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur. Angka
kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi saudara kandung 7 – 15%;
bagi anak dengan salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7 – 16%;
bila kedua orangtua menderita skizofrenia 40 – 68%; bagi kembar dua telur
(heterozigot) 2 -15%; bagi kembar satu telur (monozigot) 61 – 86%.
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang
disebut quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat
mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang
berbeda di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada
4
gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini
(dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia
semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang
memiliki penyakit ini (Durand & Barlow, 2007).
2. Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang
disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-
neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa
skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan
di bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal
terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine
yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa
neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga
memainkan peranan (Durand & Barlow, 2007).
3. Faktor Psikologis dan Sosial
Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin
lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan
orang tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga
(Wiraminaradja & Sutardjo, 2005).
Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam
keluarga mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah
schizophregenic mother kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan
tentang ibu yang memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang
diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-anaknya. Keluarga
pada masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam pembentukan
kepribadian. Orangtua terkadang bertindak terlalu banyak untuk anak dan
tidak memberi kesempatan anak untuk berkembang, ada kalanya orangtua
bertindak terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau tidak memberi
bimbingan dan anjuran yang dibutuhkannya (Durand & Barlow, 2007).
5
D. Patogenesis
1. Skizofrenia dan Dopamin
Semua jenis obat antipsikotik yang tersedia dapat mengurangi gejala
skizofrenia dengan menurunkan neurotransmiter dopaminergik. Turunnya
neurotransmiter dopaminergic mengurangi gejala dari pasien dengan
skizofrenia dan meningkatkan kemampuan persepsi mereka. Pasien yang
diterapi dengan obat-obat tersebut secara terus menerus menunjukkan
penurunan munculnya halusinasi dan waham, pasien juga lebih baik dalam
mengatur kebiasaannya.
Teori dopamin pada skizofrenia masih mempunyai beberapa kekurangan.
Pertama Blokade pada neurotransmitter dopaminergik tidak sepenuhnya
mengurangi gejala skizofrenia. Kedua, meskipun gejala positif skizofrenia
berkurang ketika neurotransmitter dopaminergic diturunkan dengan obat
antipsikotik, level metabolit dopamin dan receptor dopamin ketika diukur
sebelum dan setelah pengobatan masih dalam batas harga normal. Ketiga,
peranan dopamin bagi otak lebih komplek daripada pergantian secara sederhana
dari gejala psikotik. Selama periode psikotik akut, banyak orang yang
menderita skizofrenia nampak menunjukkan perangsangan reseptor dopamin
yang berlebihan di ganglia basalis, yang diukur dengan penggunaan ligan
radioaktif dari single-photon-emission yang tertomografi. Bagaimanapun juga,
penurunan aktivitas dopaminergik pada korteks serebral pada lobus frontal
dapat menjadi satu faktor konstribusi dalam penanganan gangguan kognitif
yang sering ditemukan pada pasien yang menderita skizofrenia. Oleh karena itu,
investigasi pada patofisiologi skizofrenia mengembangkan lebih jauh lagi
mengenai dopamin, para peniliti menggali lebih dalam mengenai pengobatan
farmakologi dari skizofrenia, yang tidak mengabaikan dopamin sebagai target,
telah memperluas bidang penyelidikan mereka termasuk neurotransmiter yang
lain.
Tidak ada lesi tunggal yang dapat menyebabkan skizofrenia. Tapi,
adanya peran dari faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhi fungsi
6
dan perkembangan dari otak hal tersebut juga yang dapat menyebabkan
skizofrenia. Penghambatan interneuron biasanya terjadi, hal ini dapat
ditunjukan dengan adanya penurunan jumlah dari mereka, pengeluaran enzim
yang mensintesis penghambat neurotransmitter γ-asam aminobutrat yang
menurun, penurunan pengeluaran dari neuropeptide seperti kolesistokinin dan
somatostatin yang dilepaskan selama neurotransmisi, dan pengurangan migrasi
neuron ke korteks dari lapisan putih otak. Sebagai tambahan pada perubahan
spesifik pada interneuron, terdapat pengurangan secara umum dari neuropil
kortikal, seperti dendrit dan akson yang mengubungkan neuron,
menggambarkan proses kerusakan pada pyramidal maupun penghambat neuron
menjadi bentuk penghubung sinapsis. Pada beberapa area dalam otak, terjadi
berkurangnya jumlah total neuron secara nyata.
2. Penemuan Neuropatologi
Pada penemuan secara neuropatologi, Magnetic Resonance Imaging
(MRI) menunjukan adanya pembesaran ventrikel dan penurunan volume dari
beberapa bagian otak, termasuk didalamnya hipokampus dan korteks
temporosuperior. Dengan menganalisis hasil dari MRI dapat dikatakan bahwa
terjadi penurunan bagian neuronal baik pada hipokampus maupun pada korteks
prefrontal, yang diindikasikan dengan level dari neuronal asam amino N-
asetilaspartat. Meskipun terjadi penurunan dari jaringan otak, pencitraan otak
secara fungsional dengan tomografi emisi-positron dan MRI fungsional
menunjukan adanya hiperaktivitas pada hipokampus dan korteks prefrontal
lateral dorsal, mungkin terus menerus dikuti dengan kehilangan penghambat
fungsi neuron.
3. Temuan genetika pada skizofrenia
Perbedaan temuan neurobiologi pada skizofrenia terbayang dengan
adanya keberagaman dari temuan genetik. Temuan genetik secara epidemiologi,
seperti adanya indeks besar yang berkaitan dengan skizofrenia antara kembar
monozigot dan kembar dizigot dan insidensi tinggi dari penyakit pada anak
yang diadopsi yang mana ibu biologisnya mengidap skizofrenia, terdapat resiko
7
sebesar 70%. Walaupun demikian, skizofrenia tidak terlihat sebagai monogen,
dan terdapat sejumlah kromosom locus yang nantinya akan bekaitan terhadap
penyakit yang telah bereplikasi. Polimorfim nukleotid tunggal berhubungan
dengan skizofrenia, yang beberapa telah menunjukan adanya penurunan fungsi
neural, telah ditemukan dalam gen dengan locus ini, termasuk regulator Protein
G pada kromosom 1, protein pada kromosom 6 yang berhubungan dengan
struktur sinaps, faktor pertumbuhan pada kromosom 8 yang berhubungan
dengan pertumbungan sinapsis, respon modulator pada kromosom 13 yang
mempengaruhi N-metil D-aspartat glutamate, sebuah reseptor pada kromosom
15 untuk asetilkolin dan enzim pada kromosom 22 yang mempengaruhi
metabolisme dopamin. Mekanisme neuronal glutamatergik, kolinergik, dan
dopaminergic dipengaruhi oleh faktor genetik ini dan dikaitkan dengan
berbagai macam aspek pada disfungsi kognitif termasuk ketidakmampuan
dalam perasaan dan pengingat.
Sebagai tambahan untuk faktor genetik, komponen lingkungan dari
patogenesis pada skizofrenia, mempunyai resiko sebanyak 30%, termasuk
kerusakan otak ketika perinatal dan masa anak-anak dan stres psikososial
selama masa kehidupan seperti terpisah dari keluarga (Freedman, 2003).
E. Pedoman Diagnostik
Kriteria Kurt Scheneider dan Bleuler untuk mendiagnosis skizofrenia, yaitu :
1. Kriteria Kurt Scheneider, First and Second Rank Symptoms
Skizofrenia berasal dari kata Schizos (pecah-belah), dan Phren (jiwa), yaitu jiwa
yang terpecah belah. Sering pula disebut sebagai “Splitting of the mind” atau retaknya
jiwa dan kepribadian. Definisi skizofrenia menurut Kurt Scheneider adalah
merupakan gangguan dengan etiologi yang tidak diketahui. Ditandai dengan adanya
gejala psikotik yang secara berarti mengganggu atau telah terjadi disharmoni dalam
proses pikir, perasaan dan perilaku.
Dari sekian banyak konsep yang disertakan pada skizofrenia, diantaranya
terhadap konsep skizofrenia menurut Kurt Scheneider (1939). Menurut Scheneider,
8
konsep skizofrenia, tersusun atas dua kelompok yaitu first rank symptoms (gejala-
gejala rangking pertama) dan second rank symptoms (gejala-gejala rangking kedua.
First rank (rangking) Symptoms terdiri dari :
A. Halusinasi pendengaran atau auditorik
B. Gangguan batas ego, meliputi :
1. Tubuh dan gerakan- gerakan penderita dipengaruhi oleh suatu kekuatan dari luar.
2. Pikirannya diambil atau disedot keluar.
3. Pikirannya dipengaruhi oleh orang lain atau pikiran itu dimasukkan ke dalamnya
oleh orang lain.
4. Pikirannya diketahui orang lain atau pikirannya disiarkan keluar secara umum.
5. Perasaannya dibuat oleh orang lain.
6. Kemauannya atau tindakannya dipengaruhi oleh orang lain.
7. Dorongannya dikuasai orang lain.
8. Persepsi yang dipengaruhi oleh waham
First rank symptoms dari Scheneider, terutama halusinasi auditorik yang “third
order” merupakan ciri khas atau patognomonik untuk skizofrenia. Halusinasi
auditorik “third order” adalah dua orang atau lebih yang membicarakan diri pasien
selaku orang ketiga, padahal sebenarnya oran-orang itu tidak ada.
Gejala-gejala urutan pertama menurut Kurt Scheneider :
1. Halusinasi pendengaran
Pada skizofrenia halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal ini
merupakan suatu gejala yang hamper tidak dijumpai pada keadaan lain. Suara tersebut
dalam bentuk suara manusia, bunyi barang-barang atau siulan.
Misalnya: Halusinasi dengar (Third order pada skizofrenia). Ada suara berdebat
antara dua orang yang memperdebatkan penderita atau mengomentari perilaku
penderita (selaku orang ketiga) padahal tidak ada orang lain.
2. Gangguan batas ego ( Ego boundary disturbances)
a. Somatic passivity
Tubuh dan gerakan-gerakan penderita dipengaruhi oleh kekuatan dari luar.
9
Contoh : seseorang merasa yakin bahwa gerakan tubuhnya dipengaruhi oleh hal- hal
yang gaib.
b. Thought withdrawal
Pikiran penderita diambil atau disedot keluar.
Contoh : pikirannya telah diambil keluar kepalanya.
c. Thought insersion
Pikirannya dipengaruhi oleh orang lain atau pikirannya itu dimasukkan ke dalam
otaknya oleh orang lain.
Contoh : seseorang merasa yakin bahwa buah pikirannya yang bukan berasal dari
dirinya sendiri dimasukkan dari luar ke dalam pikirannya.
d. Thought broadcasting
Pikirannya diketahui oleh orang lain atau pikirannya itu disiarkan keluar secara
umum. Contohnya : seseorang merasa yakin bahwa pikirannya dapat disiarkan
dari kepalanya ke dunia luar sehingga orang lai tahu atau mendengarnya. Misalnya
melalui televisi, radio, koran, dan lain-lain.
e. Made-feeling
Perasaannya dibuat oleh orang lain.
f. Made-impuls
Kemauannya atau tindakannya atau seolah-olah dipengaruhi oleh orang lain.
Second rank symptoms dari Scheneider terdiri dari :
1. Kelainan persepsi.
2. Ide delusional mendadak.
3. Kegalauan atau kebingungan (preplexity)
4. Perubahan suasana perasaan depresif dan euforik.
5. Perasaan pemiskinan emosional.
Gejala-gejala rangking kedua skizofrenia (Second rank symptoms of
schizophrenia) menurut Kurt Scheneider adalah gejala-gejala sekunder skizofrenia
yang merupakan gejala-gejala tambahan dan tidak khas untuk skizofrenia.
10
Gejala-gejala rangking kedua skizofrenia terdiri dari :
1. Kelainan persepsi
Persepsi adalah daya mengenal kualitas hubungan serta perbedaan suatu benda
melalui proses mengamati, mengetahui dan mengartikan, yaitu setelah panca
inderanya mendapat rangsangan. Keadaan ini terjadi pada keadaan sadar atau dalam
keadaan bangun.
Gangguan persepsi terdiri dari :
a. Halusinasi
b. Ilusi
c. Derealisasi
d. Depersonalisasi
2. Ide delusional mendadak
Delusi atau waham adalah keyakinan yang patologis, tidak dapat dikoreksi,
walaupun telah ditunjukkan bukti-bukti yang nyata dan di luar jangkauan sosial
budayanya. Dasar terbentuknya wahan bersebab pada kelainan atau penyimpangan
dari proses pikir.
Ide delusional mendadak atau ide waham mendadak, masuk ke dalam
kelompok waham atau delusi menurut proses terjadinya waham dalam bentuk primer.
Waham atau delusi primer disebut juga sebagai penghayatan primer (primary
delusion), berbentuk penghayatan terhadap suatu arti baru, yang tidak dapat ditelusuri
berdasarkan peristiwa psikologis yang mendahuluinya.
Waham primer ada tiga jenis :
a. Waham perasaan (delusion mood)
Merupakan suatu penghayatan baru yang muncul dan dialami oleh pasien,
tentang ada sesuatu yang terjadi si dekelilingnya oleh pasien, tentang ada sesuatu
yang terjadi di sekelilingnya serta berkaitan dengan dirinya, namun dia sendiri tidak
dapat mengetahui mengenai hal tersebut.
b. Waham pikiran (delusion ideas)
c. Waham persepsi (delusional perception)
11
Munculnya arti baru yang berasal dari suatu obyek, yang tidak dimengerti
dipandang dari sudut perasaan atau sikap pasien. Waham – waham yang muncul
secara mendadak, biasanya tidak bisa dikoreksi atau tidak logis dan tanpa tilikan
(insight).
3. Kebingungan (preplexity)
Keadaan ini merupakan suatu kondisi mental yang ditandai dengan adanya
kesadaran yang berkabut, diorientasi (meski tidak sehebat pada kebingungan organik),
dan penurunan kemampuan untuk berinteraksi. Sering disertai dengan aktivitas yang
berlebihan dan tampaknya dicetuskan oleh stress emosional. Kebingungan semacam
itu muncul dan dapat diketemukan pada skizofrenia.
4. Perubahan alam perasaan depresif dan euforik.
Dalam alam perasaan atau keadaan afektif, merupakan suatu nada perasaan,
yang menyenangkan ataupun tidak (rasa bangga, kekecewaan, kasih sayang yang
menyertai suatu pikiran). Biasanya berlangsung lama, bersifat menetap dan umumnya
tidak disertai dengan komponen fisiologis. Merupakan suatu kesinambungan yang
normal antara sedih dan gembira.
Gangguan mood (alam perasaan), ditandai dengan perasaan abnormal, dari
depresi atau euphoria dengan gambaran psikotik yang terkait dalam beberapa kasus
berat. Depresi adalah nada perasaan yang menyertai pikiran serta berlangsung lama,
disertai dengan komponen psikologis, misalnya rasa sedih, susah, putus asa, tidak ada
harapan, rasa tidak berguna, gagal dan penyesalan yang patologis. Pada umumnya
depresi disertai dengan komponen somatik, seperti anoreksia, konstipasi, kulit
lembab (dingin), tekanan darah atau nadi menurn, timbul gangguan tidur, semangat
bekerja dan nafsu seksual menurun.
Sedangkan euphoria menunjukkan rasa riang, gembira, senang, bahagia yang
berlebihan. Perubahan mood (alam perasaan) yang terjadi antara mood depresif dan
mood euforik dapat dimasukkan ke dalam tipe afek yang labil, dimana afek berubah-
ubah secara cepa tanpa pengawasan yang baik. Contohnya tiba-tiba marah-marah atau
menangis ataupun tiba-tiba tertawa. Suasana perasaan yang berubah-ubah dan tidak
12
menetap, berpindah-pindah dari satu suasana perasaan ke suasana perasaan lain sering
disebut sebagai poikilothym.
5. Perasaan pemiskinan emosional
Hal ini merupakan perasaan emosional yang minim dan seadanya. Afek yang
tidak semestinya, khas atau tipikal dan diketemukan pada gangguan skizofrenia.
Ungkapan atau penampakan emosi pasien terlihat tidak serasi (inappropriate).
Kadang-kadang perasaan emosional pasien seperti dibatasi sehingga terlihat diam
karena terpaku pada dunianya sendiri (private world). Keadaan seperti ini cenderung
menjadi atau dalam keadaan hipomanik.
Menurut PPDGJ-III
1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala
atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas atau kurang tajam) :
a. Isi Pikiran
1) ”thought eco” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda.
2) ”thought insertion or withdrawl” = isi pikiran yang asing dari luar masukke dalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya
(withdrawl)
3) ”thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum
mengetahuinya.
b. Waham
1) ”delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar
2) ”delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap
suatu kekuatan dari luar
3) ”delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar
13
4) “delusion perception” = pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna sangat
khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
c. halusinasi auditorik
1) Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien
2) Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang
berbicara)
3) Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. waham-waham menetap jenis lainnya yang menurut budaya setempat dianggap tidak
wajar dan sesuatu yang mustahil, mislanya perihal keyakinan agama atau politik
tertentu atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu
mengendalikan cuaca atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain)
2. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
a. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham
yang mengembang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang
jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan yang menetap atau apabila terjadi setiap
hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
b. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah, posisi tubuh tertentu (posturing),
atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor
c. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation) yang
berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme.
d. Gejala gejala ”negatif” seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan response
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan
diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa
semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
3. Adanya gejala gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun waktu satu
bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal)
4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, sikap larut dalam diri sendiri, tidak berbuat
sesuatu, dan penarikan diri secara sosial. (Maslim, 2002)
14
F. Klasifikasi
1. Skizofrenia Paranoid (F 20.0)
Pedoman Diagnostik
a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
b. Sebagai tambahan:
1) Halusinasi dan/atau waham harus menonjol
a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi
pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa
(laughing)
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual,
atau lain-lain perasaan tubuh. Halusinasi visual mungkin ada tetapi
jarang menonjol
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan
(delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau
passivity (delussion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar
beraneka ragam, adalah yang paling khas
2) Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif nyata/ tidak menonjol.
2. Skizofrenia Hebefrenik (F 20.1)
Pedoman Diagnostik
a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
b. Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia
remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).
c. Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang
menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan
diagnosis.
15
d. Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya diperlukan
pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan
bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan :
1) Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta
mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary),
dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan
2) Afek pasien dangkal dan tidak wajar, sering disertai oleh cekikikan
atau perasaan puas diri, senyum sendiri, atau oleh sikap, tinggi hati,
tertawa menyeringai, mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau,
keluhan hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang
3) Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu
serta inkoheren.
e. Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir
umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya
tidak menonjol. Dorongan kehendak dan yang bertujuan (determination)
hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita
memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan dan tanpa maksud.
Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap
agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang
memahami jalan pikiran pasien.
3. Skizofrenia Katatonik (F 20.2)
Pedoman Diagnostik
a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
b. Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendomaninasi gambaran
klinisnya:
1) Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan
dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara)
2) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang bertujuan, yang
tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
16
3) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh)
4) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap
semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan ke
arah berlawanan)
5) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan
upaya menggerakkan diri)
6) Flexibilitas cerea (mempertahankan anggora gerak dan tubuh dalam
posisi yang dapat dibentuk dari luar)
7) Gejala-gejala lain seperti “komen, automatism” (kepatuhan secara
otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-
kalimat
c. Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari
gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai
diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain. Penting
untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk
diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh
penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta
dapat juga terjadi pada gangguan afektif
4. Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated) (F 20.3)
Pedoman Diagnostik
a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
b. Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik,
atau katatonik
c. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skizofrenia
5. Depresi Pasca-skizofrenia (F 20.4)
Pedoman Diagnostik
a. Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau:
17
1) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum
skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini
2) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya), dan
3) Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling
sedikit kriteria untuk episode depresif dan telah ada dalam kurun waktu
paling sedikit 2 minggu
b. Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia, diagnosis
menjadi Episode Depresif. Bila gejala skizofrenia masih jelas dan
menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang
sesuai (F 20.0 – F 20.3)
6. Skizofrenia Residual ( F 20.5)
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus
dipenuhi semua:
a. Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan
psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan
ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan,
komunikasi nonverbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak
mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial
yang buruk
b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimana masa
lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnostik skizofrenia
c. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat
berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom negatif dari skizofrenia
d. Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain,
depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas
negatif tersebut.
7. Skizofrenia Simpleks (F. 20.6)
18
a. Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena
tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan
progresif dari:
1. Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului
riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik.
2. Disertai dengan perubahan perilaku pribadi yang bermakna
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat
sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial
b. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe
skizofrenia lainnya
8. Skizofrenia lainnya (F20.8) dan Skizofrenia YTT (F20.9) (Maslim, 2002)
G. Penatalaksanaan
1. Terapi Medikamentosa
Obat pertama yang efektif untuk terapi skizofrenia dikembangkan selama
tahun 1950an. Obat ini disebut sebagai antipsikotik konvensional atau generasi
pertama.
Ada berbagai obat antipsikotik ‘konvensional’, seperti haloperidol
chlorpromazine, fluphenazine, droperidol, pimozine, sulpiride, perphenazine,
flupenthixol, zuclopenthixol, dan trifluoperazine (APA, 2004). Kelebihan
utama obat ini adalah mengobati gejala positif skizofrenia (APA, 2004; Keith et
al, 2004). Namun, obat ini kurang efektif terhadap gejala negatif skizofrenia.
Obat ini tersedia dalam bentuk tablet, cairan, suntikan jangka pendek dan
jangka panjang.
Sejumlah obat baru untuk skizofrenia dengan efikasi yang lebih luas untuk
berbagai gejala skizofrenia dan dapat memperbaiki kemampuan berfungsi
pasien telah tersedia sejak 20 tahun terakhir atau lebih. Obat antipsikotik baru
ini dikenal sebagai antipsikotik atipikal atau antipsikotik generasi kedua. Obat
baru ini meliputi aripiprazole, clozapine, olanzapine, paliperidone, quetiapin,
dan risperidone (Lieberman et al, 2008). Obat ini tampaknya memiliki lingkup
19
efek yang lebih luas untuk gejala skizofrenia (Tandon et al, 2003). Obat ini
efektif untuk mengobati gejala positif seperti halusinasi dan delusi serta dapat
juga membantu dalam mengobati gejala negatif. Obat ini juga tersedia dalam
bentuk tablet, cairan dan suntikan jangka pendek dan jangka panjang (APA,
2004).
Cara pemberian obat antipsikotik adalah pemberian dimulai dengan “dosis
awal” sesuai “dosis anjuran”, kemudian dinaikkan setiap 2-3 hari sampai
mencapai “dosis efektif” (mulai timbul peredaan sindrom psikosis), dosis
dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan, “dosis optimal”
dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi), kemudian dosis diturunkan
setiap 2 minggu sampai ke “dosis maintenance”, dosis dipertahankan selama 6
buulan sampai 2 tahun (diselingi “drug holiday” 1-2 hari/minggu), selanjutnya
dilakukan tappering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu) sampai dapat
dihentikan (Maharatih, dkk., 2010).
Karena penderita Skizofrenia memakan obat dalam jangka waktu yang
lama, sangat penting untuk menghindari dan mengatur efek samping yang
timbul. Mungkin masalah terbesar dan tersering bagi penderita yang
menggunakan antipsikotik konvensional gangguan (kekakuan) pergerakan
otot-otot yang disebut juga Efek samping Ekstra Piramidal (EEP). Dalam
hal ini pergerakan menjadi lebih lambat dan kaku, sehingga agar tidak kaku
penderita harus bergerak (berjalan) setiap waktu, dan akhirnya mereka tidak
dapat beristirahat.
Efek samping lain yang dapat timbul adalah tremor pada tangan dan kaki.
Kadang-kadang dokter dapat memberikan obat antikolinergik (biasanya
benztropine) bersamaan dengan obat antipsikotik untuk mencegah atau
mengobati efek samping ini.
Efek samping lain yang dapat timbul adalah tardive dyskinesia
dimana terjadi pergerakan mulut yang tidak dapat dikontrol, protruding
tongue, dan facial grimace. Kemungkinan terjadinya efek samping ini
dapat dikurangi dengan menggunakan dosis efektif terendah dari obat
20
antipsikotik. Apabila penderita yang menggunakan antipsikotik konvensional
mengalami tardive dyskinesia, dokter biasanya akan mengganti antipsikotik
konvensional dengan antipsikotik atipikal.
Peningkatan berat badan juga sering terjadi pada penderita Sikzofrenia
yang memakan obat. Hal ini sering terjadi pada penderita yang menggunakan
antipsikotik atipikal. Diet dan olah raga dapat membantu mengatasi masalah ini
(Sadock, dkk.,2003; Maramis, 2009)
2. Terapi Psikososial
a. Terapi perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan
ketrampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan
memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal.
Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat
ditebus untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa dan pas jalan di
rumah sakit. Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau
menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat,
dan postur tubuh aneh dapat diturunkan (Sadock dkk, 2003).
b. Terapi berorientasi keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali
dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, keluarga dimana pasien
skizofrenia kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga
yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan
segera, topik penting yang dibahas didalam terapi keluarga adalah proses
pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali, anggota
keluarga, didalam cara yang jelas mendorong sanak saudaranya yang
terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat.
Rencana yang terlalu optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan
tentang sifat skizofrenia dan dari penyangkalan tentang keparahan
penyakitnya.
21
Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti
skizofrenia tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati (Sadock,dkk., 2003).
c. Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada
rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok
mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika
atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan
isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes
realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara
suportif, bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu
bagi pasien skizofrenia (Sadock dkk, 2003).
d. Psikoterapi individual
Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang
ditemukan di dalam pengobatan pasien non-psikotik. Menegakkan
hubungan seringkali sulit dilakukan; pasien skizofrenia seringkali
kesepian dan menolak terhadap keakraban dan kepercayaan dan
kemungkinan sikap curiga, cemas, bermusuhan, atau teregresi jika
seseorang mendekati. Pengamatan yang cermat dari jauh dan rahasia,
perintah sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan terhadap
kaidah sosial adalah lebih disukai daripada informalitas yang prematur
dan penggunaan nama pertama yang merendahkan diri. Kehangatan atau
profesi persahabatan yang berlebihan adalah tidak tepat dan kemungkinan
dirasakan sebagai usaha untuk suapan, manipulasi, atau eksploitasi (Sadock
dkk, 2003)
e. Perawatan di Rumah Sakit
Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan
diagnostik, menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan
bunuh diri atau membunuh, prilaku yang sangat kacau termasuk
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.
22
Tujuan utama perawatan dirumah sakit yang harus ditegakkan
adalah ikatan efektif antara pasien dan sistem pendukung masyarakat.
Rehabilitasi dan penyesuaian yang dilakukan pada perawatan rumahsakit
harus direncanakan. Dokter harus juga mengajarkan pasien dan pengasuh
serta keluarga pasien tentang skizofrenia.
Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan
membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan
rumah sakit tergantung dari keparahan penyakit pasien dan tersedianya
fasilitas pengobatan rawat jalan. Rencana pengobatan di rumah sakit
harus memiliki orientasi praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan
diri, kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan sosial. Perawatan di
rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat pasien dengan fasilitas
perawatan termasuk keluarga pasien. Pusat perawatan dan kunjungan
keluarga pasien kadang membantu pasien dalam memperbaiki kualitas
hidup. (Sadock,dkk., 2003)
H. Prognosis
Walaupun remisi penuh atau sembuh pada skizofrenia itu ada, kebanyakan
masih memiliki gejala sisa dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Sampai
saat ini belum ada metode yang dapat memprediksi siapa yang menjadi
sembuh siapa yang tidak, tetapi ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya
seperti usia tua, faktor pencetus yang jelas, onset akut, riwayat sosial yang baik,
menikah, riwayat sosial/pekerjaan pramorbid baik, gejala depresi, menikah,
riwayat keluarga gangguan mood sistem pendukung baik, dan gejala positif ini
akan memberikan prognosis yang baik.
Sedangkan onset muda, tidak ada faktor pencetus, onset tidak jelas, riwayat
sosial buruk, autistik, tidak menikah/janda/duda, riwayat keluarga skizofrenia,
system pendukung buruk, gejala negatif, riwayat trauma prenatal, sering relaps
dan riwayat agresif akan memberikan prognosis yang buruk (Maramis, 2006).
23
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, DJ., Rojas, DC., Arciniegas, DB. 2008. Is Schizoaffective disorder a distinct clinical condition?. Journal of Neuropsychiatric Disease and Treatment, 4(6) 1089–1109
APA Clinical Guidelines. American Psychiatric Association. 2004. Practice Guidelines for the treatment of patients with schizophrenia.
Brannon GE, MD. 2012. Schizoaffective Disorder. http://emedicine.medscape.com/article/294763-overview#aw2aab6b2b5aa Diakses pada tanggal 29 Oktober 2012.
Buchanan RW, Carpenter TW. 2005. Schizophrenia: Introduction and overview. Kaplan & Sadock’s comprehensive textbook of psychiatry (7th ed.). Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins, Inc.
Durland VM, and Barlow DH. 2007. Essentials of Abnormal Psychology. 3rd edition Pacific Grove, CA: Wadsworth
Freedman R. 2003. Schizophrenia. The New England Journal of Medicine. Colorado: University of Colorado Health Sciences Center
Hodgkinson CA, Goldman D, Jaeger J, et al. 2004. Disrupted in schizophrenia 1 (DISC1): association with schizophrenia, schizoaffective disorder, and bipolar disorder. Am J Hum Genet, 75:862–72.
Ishizuka K, Paek M, Kamiya A, et al. 2006. A review of Disrupted-In-Schizophrenia-1 (DISC1): neurodevelopment, cognition, and mental conditions. Biol Psychiatry, 59:1189–97.
Keith et al. 2004. Psychiatric Services. 55: 997-1005
Lieberman et al. 2003. Pharmacol Rev, 60: 358-403
Maharatih GA, Nuhriawangsa I, dan Sudiyanto A. 2010. Psikiatri Komprehensif. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
24
Mansjoer Arief, et al. (editor). 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapis.
Maramis WF. 2006. Catatan Kuliah Kedokteran Jiwa. Cetalan ketujuh. Surabaya: Penerbit Airlangga University Press.
Maslim R. (editor). 2002. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya
Sadock BJ, Kaplan HI, Grebb JA. 2003. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri Klinis Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara.
Smith MJ., Wang L., Cronenwett W., Mamah D., Barch DM., Csernansky JG. 2011. Thalamic Morphology in Schizophrenia and Schizoaffective Disorder. J Psychiatr Res. 45(3): 378–385.
Tandon et al. 2008. Psyconeuroendocrinology.; 28 (suppl 1): 9-26
Trimble MR., George MS. 2010. Biological Psychiatry 3rd edition. Wiley-Blackwell.
Wiraminaradja dan Sutardjo. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: Refika Aditama
25