Skenario c Blok 16[1]

88
I. SKENARIO C BLOK 16 TAHUN 2013 Didi, bayi laki-laki usia 9 bulan, dibawa ibunya ke dokter dengan keluhan  batuk dan sukar bernafas disertai demam, sejak dua hari yang lalu dan hari ini keluhannya bertambah berat. Pemeriksaan Fisis: Keadaan umum: Tampak sakit berat, kesadaran: kompos mentis, RR: 68 x/menit, Nadi: 132 x/menit, regular, Suhu: 38,6 ºC Panjang badan: 72 cm, Berat badan: 8,5 kg Keadaan spesifik: Kepala: nafas cuping hidung (+) Toraks: Paru: Inspeksi: simetris, retraksi intercostals, supraclavicula, Palpasi: stem fremitus kiri=kanan, Perkusi: redup pada basal kedua lapangan paru, Auskultasi: peningkatan suara nafas vesikuler, ronki basah halus nyaring, tidak terdengar wheezing . Pemeriksaan lain dalam batas normal. Informasi tambahan: Tidak ada riwayat atopi dalam keluarga. Pemeriksaan Laboratorium: Hb: 11,9 gr/dl, Ht: 34 vol%, Leukosit: 15.000/mm3, LED: 18 mm/jam, Trombosit: 220.000/mm3, Hitung jenis: 0/2/1/75/20/2, CRP: (-) Pemeriksaan Radiologi: Thoraks AP: infiltrate di parahilar kedua paru. 1

Transcript of Skenario c Blok 16[1]

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 1/88

I. SKENARIO C BLOK 16 TAHUN 2013

Didi, bayi laki-laki usia 9 bulan, dibawa ibunya ke dokter dengan keluhan

 batuk dan sukar bernafas disertai demam, sejak dua hari yang lalu dan hari ini

keluhannya bertambah berat.

Pemeriksaan Fisis:

Keadaan umum: Tampak sakit berat, kesadaran: kompos mentis,

RR: 68 x/menit, Nadi: 132 x/menit, regular, Suhu: 38,6 ºC

Panjang badan: 72 cm, Berat badan: 8,5 kg

Keadaan spesifik:

Kepala: nafas cuping hidung (+)

Toraks: Paru: Inspeksi: simetris, retraksi intercostals, supraclavicula,

Palpasi: stem fremitus kiri=kanan,

Perkusi: redup pada basal kedua lapangan paru,

Auskultasi: peningkatan suara nafas vesikuler, ronki basah halus

nyaring, tidak terdengar wheezing .

Pemeriksaan lain dalam batas normal.

Informasi tambahan: Tidak ada riwayat atopi dalam keluarga.

Pemeriksaan Laboratorium:

Hb: 11,9 gr/dl, Ht: 34 vol%, Leukosit: 15.000/mm3, LED: 18 mm/jam, Trombosit:

220.000/mm3, Hitung jenis: 0/2/1/75/20/2, CRP: (-)

Pemeriksaan Radiologi:

Thoraks AP: infiltrate di parahilar kedua paru.

1

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 2/88

II. KLARIFIKASI ISTILAH

1. Batuk: Ekspulsi udara dari dalam paru yang tiba-tiba sambil mengeluarkan

suara bisik.

2. Demam: Peningkatan suhu tubuh diatas normal (37ºC).

3. Nafas cuping hidung: Cuping hidung yang ikut bergerak saat inspirasi.

4. Retraksi intercostal: Tertariknya otot-otot intercostal, subcostal, suprasternal

akibat meningkatnya pemakaian otot-otot leher dan dada sebagai usaha untuk 

 bernapas.

5. Stem fremitus: Pemeriksaan palpasi yang digunakan untuk mengetahui

adanya getaran yang timbul di daerah dada kanan dan kiri dengan

mengucapkan tujuh-tujuh.

6. Atopi: Predisposisi genetik menuju perkembangan reaksi hipersensitivitas

cepat terhadap antigen lingkungan umum (alergi atopi), paling sering

 bermanifestasi sebagai rhinitis alergika tetapi juga sebagai asma bronkiale,

dermatitis atopic, atau alergi makanan.

7. Parahilar: Di daerah disekitar hilus paru.

8. Infiltrat: Substansi yang secara normal tidak terdapat pada sel atau jaringan

atau jumlah yang melebihi normal dalam sel atau jaringan tersebut.

9. Suara napas vesikuler: Suara yang terdengar akibat terjadinya pulsaran udara

di dalam alveolus.

10. Ronki basah: Suara yang berisik dan terputus akibat aliran udara yangmelewati cairan pada bronkiolus berupa infiltrat.

11. Wheezing : Suara bersuit yang dibuat dalam bernapas.

2

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 3/88

12. CRP: Protein yang dihasilkan oleh hati dan levelnya akan meningkat ketika

terjadi inflamasi.

III. IDENTIFIKASI MASALAH

1. Didi, usia 9 bulan, mengeluh batuk dan sukar bernapas disertai demam sejak 

dua hari dan hari ini keluhannya bertambah berat.

2. Pemeriksaan Fisik 

3. Pemeriksaan Laboratorium

4. Pemeriksaan Radiologi

IV. ANALISIS MASALAH

1. Didi, usia 9 bulan, mengeluh batuk dan sukar bernapas disertai demam sejak 

dua hari dan hari ini keluhannya bertambah berat.

a) Bagaimana anatomi saluran pernapasan?

Jawaban:

1. Dinding dada

Dinding dada pada bayi dan anak masih lunak disertai insersi tulang iga yang

kurang kokoh, letak iga lebih horizontal dan pertumbuhan otot interkostalis

yang belum sempurna menyebabkan pergerakan dinding dada terbatas.

2. Saluran nafas

Pada bayi dan anak relatif lebih besar dibandingkan dewasa. Besar trakea

neonatus sekitar 1/3 dewasa dan diameter bronkiolus ½ dewasa. Akan tetapi

3

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 4/88

 bila terjadi sumbatan atau pembengkakan 1 mm saja, pada bayi akan

menurunkan luas saluran pernafasan sekitar 75%.

3. Alveoli

Jaringan elastis pada septum alveoli merupakan “elastic recoil” untuk 

mempertahankan alveoli tetap terbuka. Pada anak, alveoli agak relatif lebih

 besar dan mudah kolaps. Dengan makin besarnya usia bayi dan anak, jumlah

alveoli bertambah sehingga menambah “elastic recoil”.

 b) Bagaimana histologi saluran pernapasan?

Jawaban: Di sintesis masalah.

c) Bagaimana fisiologi saluran pernapasan?

Jawaban: Di sintesis masalah.

d) Apa saja etiologi umum dari batuk, sukar bernapas dan demam?

Jawaban:

1. Etiologi umum dari batuk:

Ada beberapa macam penyebab batuk :

1. Umumnya disebabkan oleh infeksi di saluran pernapasan bagian atas

yang merupakan gejala flu.

2. Infeksi saluran pernapasan bagian atas (ISPA).

3. Alergi

4. Asma

5. Tuberculosis

4

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 5/88

6. Benda asing yang masuk kedalam saluran napas

7. Tersedak akibat minum susu

8. Menghirup asap rokok dari orang sekitar 

9. Batuk Psikogenik . Batuk ini banyak diakibatkan karena

masalah emosi dan psikologis.

Penyebab batuk berdasarkan penyakit yang ditimbulkan:

TBC (Tuberkolosis / TB)

Penyakit ini menyerang paru-paru dan menular. Merupakan penyakit yang

mematikan bila tidak segera diobati atau tidak rutin mengobatinya. Penderitanya akan

mengalami batuk yang cukup sering baik pada waktu siang maupun malam. Ciri lain

adalah tubuh penderita yang semakin kurus. TB tidak hanya menyerang orangdewasa, karena banyak ditemukan anak-anak yang terjangkit penyakit ini

Pertusis

Pertusis dikenal juga sebagai batuk rejan. Batuk ini disebabkan bakteri jahat

yang menyebabkan infeksi paru-paru. Ciri pada batuk terus menerus selama beberapa

kali dan diakhiri dengan nafas terengah-engah. Batuk ini berbahaya bila menimpa

anak kecil atau bayi, karena batuk yang terus menerus dan panjang dapat

menyebabkan mereka kekurangan oksigen. Batuk yang dikenal juga dengan batuk 

rejan atau batuk 100 hari ini menular ketika percikan cairan hidung atau mulut orang

yang terinfeksi penyakit ini mengenai orang lain yang selanjutnya dapat terinfeksi

 pula.

Asma

Asma merupakan penyakit karena adanya penyempitan pada saluran

 pernapasan. Pemicunya bisa bermacam-macam dan berbeda antara satu orang dengan

orang lainnya. Beberapa pemicu asma adalah debu, udara dingin, dan asap. Kenali

 pemicunya agar sebisa mungkin bisa dicegah serangan asma pada penderita. Gejala

yang biasa timbul adalah batuk atau sesak nafas akan meningkat pada malam hari.

5

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 6/88

Penyakit ini merupakan penyakit kambuhan, maka untuk penderita asma sebaiknya

selalu disiapkan pelega pernafasan mirip inhaler yang dapat dihisap setiap saat.

Pneumonia

Bagian yang diserang pada penyakit ini adalah paru-paru. Biasa dikenal

dengan istilah paru-paru basah, karena bila terserang penyakit ini, paru-paru menjadi

radang dan terinfeksi dan mengakibatkan pada paru-paru terdapat air atau lendir.

Selain batuk-batuk, gejala lainnya adalah demam tinggi dan menggigil. Segera

konsultasikan ke dokter atau rumah sakit agar segera ditangani.

Bronkitis

Penyakit ini disebabkan karena adanya infeksi virus pada saluran udara kecil

 paru-paru. Bila terkena penyakit ini, penderita akan batuk disertai suara seperti

 bersiul saat bernafas.

2. Etiologi umum dari sukar bernapas:

• Gangguan sistem pernafasan:

Penyakit saluran nafas: Asma bronkial, PPOK.

Penyumbatan jalan nafas

Penyakit parenkim paru: Pneumonia, Acute RespiratoryDistress Syndrome, penyakit interstisial paru

Penyakit vaskular paru: emboli paru

Penyakit pleura: Pneumotoraks, efusi pleura

• Gangguan sistem kardiovaskular 

Gagal jantung kiri

Penurunan curah jantung

Anemia• Ankiektasis/psikosomatik 

• Gangguan pada sisitem neuromuskuloskeletal:

Polimiositis

Miastemia gravis

6

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 7/88

Sindrom Guilian Barre

Kifoskoliosis

3. Etiologi umum dari demam:

•  Infeksi

Infeksi oleh bakteri, virus, jamur, maupun parasit dapat menyebabkan

terjadinya demam.

•  Non infeksi

Penyakit autoimun dan adanya keganasan juga bisa menyebabkan

terjadinya demam.

•  Fisiologis

Seperti adanya dehidrasi, suhu yang terlalu tinggi, dan pasca imunisasi

 juga bisa menyebabkan demam.

e) Bagaimana mekanisme dari batuk, sukar bernapas, dan demam?

Jawaban:

1. Mekanisme batuk 

Ada 4 fase mekanisme batuk, yaitu fase iritasi, fase inspirasi dalam, fase

kompresi dan fase ekspulsi/ekspirasi. Selama fase kompresi, glotis menutup, otot-otot

interkostal dan abdominal berkontraksi kuat sehingga tekanan intratoraks dan

intraabdomen meningkat. Bila tekanan intratoraks mencapai tingkat yang sangat

tinggi, glotis membuka sedikit secara tiba-tiba. Keadaan ini menyebabkan tekanan

intrapulmoner turun. Menurunnya tekanan intrapulmoner menyebabkan turunnya

tekanan intraabdomen yang tinggi akibat kontraksi otot-otot abdomen.

7

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 8/88

Keadaan ini menyebabkan diafragma akan menaik secara tajam. Naiknya

diafragma akan menimbulkan pengeluaran udara yang kuat dari paru. Aliran udara ini

akan mendorong benda asing di saluran napas ke dalam mulut sehingga bisa

dikeluarkan. Bunyi batuk terutama disebabkan oleh getaran pita suara dan kadang-

kadang oleh getaran sekret.

2. Mekanisme sukar bernapas:

Infeksi mikroorganisme:

Mikroorganisme masuk ke saluran pernapasan bawah setelah menembus

 pertahanan imunitas pada saluran nafas atas, memicu respon imun dan menyebabkan

 peradangan. Infeksi atau peradangan akan semakin serius jika bakteri yang masuk 

 banyak atau imunitas tubuh melemah.

Respon imun pada paru:

A. Pada paru non imun, pembersihan mikroorganisme bergantung pada (1)

kemampuan selimut mukosa menangkap dan mengeluarkan mikroba melalui elevator 

mukosilia, (2) fagositosis oleh makrofag alveolus yang dapat mematikan dan

menguraikan mikroorganisme serta mengeluarkannya dari rongga udara dengan

 bermigrasi ke elevator mukosilia, atau (3) fagositosis dan pembasmian oleh neutrosil

yang direkrut oleh faktor-faktor makrofag. 4, Komplemen serum dapat masuk kealveolus dan diaktifkan oleh jalur alternatif untuk menghasilkan opsosnin C3b yang

meningkatkan fagositosis. 5, Organisme, termasuk yang dimakan oleh fagosit, dapat

mencapai kelenjar getah bening drainase untuk memicu respons imun.

B. Mekanisme tambahan yang bekerja pada paru imun. 1, IgA yang

disekresikan dapat menghambat perlekatan mikroorganisme ke epitel di daluran

napas atas. 2, Di saluran napas bawah, antibodi serum (IgM, IgG) terdapat dalam

cairan yang melapisi alveolus. Keduanya mengaktifkan komplemen secara lebihefisien melalui jalur klasik, menghasilkan C3b. Selain itu, IgG bersifat opsonik. 3,

Akumulasi sel T imun sangat penting untuk mengendalikan infeksi oleh virus dan

mikroorganisme intrasel lainnya.

8

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 9/88

Pelepasan sitokin-sitokin inflamasi akibat aktivasi makrofag akan

menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan aktivasi dan kemotaksis

netrofil. Sitokin-sitokin ini akan menimbulkan reaksi inflamasi di alveolus. Hal ini

akan menyebabkan masuknya eksudat serosa dari pembuluh darah yang berdilatasi

dan bocor. Sel-sel PMN , sel darah merah, fibrin dan eksudat ini akan mengisi

alveolus dan mengalami konsolidasi. Terjadi hipersekresi mucus. Pada bagian paru

yang mengalami konsolidasi akan menyebabkan pirau darah sehingga proses difusi

gas terganggu dan paru-paru sulit mengembang. Hal inilah yang menyebabkan

hipoksemia dan mekanisme kompensasi berupa peningkatan otot-otot bantu

 pernapasan. Sehingga timbullah sukar bernapas atau sesak napas.

Peradangan yang terjadi pada parenkim paru melalui cara penyebaran

langsung melalui saluran pernapasan atau hematogen sampai ke bronkus. Terjadi

respon inflamasi pada bronkus, khususnya bronkiolus terminalis, dan peningkatan

sekresi mukus. Bronkiolus terminalis yang tersumbat oleh eksudat, kemudian

menjadi bagian yang terkonsolidasi. Terjadi penyempitan saluran napas.

0-12 bulan nafas normal: 30-50 per menit; nafas cepat >60 per menit.

2-12 bulan nafas normal: 25-40 per menit; nafas cepat >50 per menit.

1-5 tahun nafas normal: 20-30 per menit; nafas cepat: >40 per menit.

3. Mekanisme demam:

Mikroorganisme masuk kedalam tubuh mengeluarkan pirogen eksogen, tubuh

 juga memiliki pirogen endogen yang dihasilkan dari makrofag seperti limfosit,

 basofil dan neutrofil. Tujuannya adalah untuk memfagosit dan melisis

mikroorganisme dan toksin yang masuk kedalam tubuh.

Saat fagositosis ada reaksi kimia yang terjadi, yang akan memicu messenger 

untuk mengaktifkan sel-sel lain pada system imun kita. Messenger yang bereaksi

adalah Interleukin (IL), dan interferon. Yang paling banyak adalah IL-1.

9

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 10/88

IL-1 memicu hipotalamus untuk meningkatkan suhu dan memicu keluarnya

fosfolipase yang akan mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat yang akan

memicu keluarnya Prostaglandin (PG).

Efek keluarnya prostaglandin akan mempengaruhi kerja thermostat di

hipotalamus. Hal ini akan menyebabkan kerja thermostat naik yang menyebabkan

kenaikan suhu. Disinilah terjadinya demam.

Demam dimaksudkan agar mikroorganisme atau virus tidak bisa bereplikasi.

f) Mengapa keluhannya bertambah berat?

Jawaban:

Penyakit yang diderita Didi tergolong penyakit akut, salah satu penyakit akut

 pada pernafasan yang sering terjadi pada anak-anak adalah pneumonia. Pada kasus

 pneumonia, kemungkinan kondisi pada Didi telah memasuki tahapan perkembangan

 pneumonia yang kedua, yaitu hepatisasi merah (48 jam berikutnya), dengan kondisi,

 paru tampak merah dan bergranula, karena sel-sel darah merah, leukosit PMN dan

fibrin yag mengisi alveoli. Semakin hari semakin bertambah sesak, karena alveoli

tidak dapat mengerjakan tugasnya secara normal (tempat pertukaran gas).

g) Apa saja factor yang memperberat keluhan?

Jawaban:

Pada kasus ini yang terjadi adalah penyakit tipe akut. Seperti yang kita ketahui progresivitas penyakit akut akan sangat cepat dalam hitungan hari. Selain itu, karena

timbul mendadak tubuh belum siap untuk beradaptasi, sehingga keluhan cepat

 bertambah berat (hanya dalam waktu 2 hari saja).

Faktor:

10

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 11/88

Host : Keadaan imunitas tubuh (vaksinasi), kebutuhan nutrisi.

Agent : Patogenitas bakteri .

Lingkungan : Hygienitas, jika kondisi lingkungan yang kurang bersih.

h) Bagaimana mekanisme pertahanan Didi terhadap keluhan?

Jawaban:

Mekanisme pertahanan paru sangat penting dalam menjelaskan terjadinya

infeksi saluran napas. paru mempunyai mekanisme pertahanan untuk mencegah

 bakteri agar tidak masuk kedalam paru. mekanisme pembersihan tersebut adalah:

1. Mekanisme pembersihan di saluran napas penghantar, meliputi:

• Reepitelisasi saluran napas

• Aliran lendir pada permukaan epitel

• Bakteri alamiah atau "ephitelial cell binding site analog"

• Faktor humoral lokal (IgG dan IgA)

• Komponen mikroba setempat

• Sistem transpor mukosilier  

• Reflek bersin dan batuk  

Saluran napas atas (nasofaring dan orofaring) merupakan mekanisme

 pertahanan melalui barier anatomi dan mekanisme terhadap masuknya

mikroorganisme yang patogen. Silia dan mukus mendorong mikroorganisme keluar 

dengan cara dibatukkan atau ditelan. Pada kasus ini, Didi yang baru berusia 9 bulan

 belum memiliki sistem imunitas yang berkembang dengan sempurna,faktor humoral

(Ig G dan Ig A) belum begitu berkembang sehingga lebih mudah terkena infeksi.

11

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 12/88

2. Mekanisme pembersihan di "Respiratory exchange airway", meliputi :

• Cairan yang melapisi alveolar termasuk surfaktan

• Sistem kekebalan humoral lokal (IgG)

• Makrofag alveolar dan mediator inflamasi

• Penarikan netrofil

Sistem kekebalan humoral sangat berperan dalam mekanisme pertahanan paru

(saluran napas atas). IgA merupakan salah satu bagian dari sekret hidung (10 % dari

total protein sekret hidung). Penderita defisiensi IgA memiliki resiko untuk terjadi

infeksi saluran napas atas yan berulang. Defisiensi dan kerusakan setiap komponen

 pertahan saluran napas atas menyebabkan kolonisasi bakteri patogen sebagai fasiliti

terjadinya infeksi saluran napas bawah.Pada kasus ini,didi yang berusia 9 bulan

memiliki komponen tersebut dalam jumlah yang belum cukup,sehingga mekanisme

 pembersihan belum sempurna sehingga bakteri lebih mudah terinvasi dan

menginfeksi.

3. Mekanisme pembersihan di saluran udara subglotik 

Mekanisme pertahanan saluran napas subglotis terdiri dari anatomik,

mekanik, humoral dan komponen seluler. Mekanisme penutupan dan refleks batuk 

dari glotis merupakan pertahanan utama terhadap aspirat dari orofaring..

4. Mekanisme pembersihan di "respiratory gas exchange airway"

Bronkiolus dan alveoli mempunyai mekanisme pertahanan sebagai berikut:

Cairan yang melapisi alveoli :

a. Surfaktan(dihasilkan oleh pneumosit 2)

12

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 13/88

Suatu Glikoprotein yang kaya lemak, terdiri dari beberapa komponen SP-A,

SP-B, SP-C, SP-D yang berfungsi memperkuat fagositosis dan killing terhadap

 bakteri oleh makrofag.

 b. Aktifitas anti bakteri (non spesifik) : FFA, lisozim, iron binding protein.(di

hasilkan oleh pneumosit 2).

• IgG (IgG1 dan IgG2 subset yang berfungsi sebagai opsonin).

• Makrofag Alveolar yang berperan sebagai mekanisme pertahanan

 pertama.Berfungsi untuk menarik PMN leukosit ke alveolus.

• Mediator biologi

Kemampuan untuk menarik PMN ke saluran napas termasuk C5a, produksi

dari makrofag alveolar, sitokin, leukotrien.Pada kasus ini didi yang berusia 9 bulan

 belum memiliki jumlah Ig g dan Makrofag yang adekuat sehingga lebih mudah

terinfeksi oleh bakteri-bakteri.

Faktor usia yang masih muda ( < 5 tahun) khususnya neonatus sangat rentan

terkena pneumonia karena sistem imunitas yang belum mencapai keadaan optimal

sehingga lebih sering terinfeksi daripada anak usia diatas lima tahun. Sebaiknya

sebelum mencapai umur satu tahun, bayi sudah diberi vaksin khususnya vaksin HiB

dan pneumokokus.

Sistem imun pada anak sebenarnya sudah sempurna, untuk pertahanan tubuh

lokal dari sistem pernafasan memiliki antara lain:

1. Kelenjar seromukosa pada lapisan submukosa

2. Sel goblet yang menghasilkan mukus

3. Faktor humoral IgA

4. Bulu-bulu halus hidung untuk menyaring

13

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 14/88

5. Sistem transport mukosilier 

6. Refleks bersin dan batuk 

7. Konka dan mukosa yang berisi banyak pembuluh darah untuk turbinasi

dan menghangatkan udara yang masuk 

8. Surfaktan yang melapisi alveolus

9. Sistem kekebalan humoral lokal IgG

10. Makrofag alveolar dan mediator inflamasi

11. Kemotaktik sel-sel poimorfonuklear yang siap membantu apabila

makrofag alveolar tidak mampu mengisolir benda asing yang masuk 

Dan untuk pertahanan tubuh sistemik atau spesifik tubuh bayi telah memiliki:

1. Sel B

2. Sel T termasuk dalam:

a. Sel T sitotoksik (CD8)

 b. Sel T helper (CD4+)

3. Sel memori

Sedangkan beberapa hal yang membuat pertahanan paru bayi dan sistem imun

lebih rendah pada anak adalah sebagai berikut:

1. Belum terbentuknya flora normal di saluran pernafasan yang sebenarnya

merupakan salah satu pertahanan tubuh lokal sistem saluran nafas.

2. Belum terpajannya sel memori untuk membuat antibodi spesifik erhadap

 bateri atau virus yang bersifat infeksius.

14

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 15/88

3. Keadaan stataus gizi, malnutrisi dapat mempengaruhi integritas dan

mempermudah penempelan bakteri dinding mukosa.

Batuk, mekanisme tubuh untuk mengeluarkan benda asing/mikro organisme

yang masuk ke saluran napas. Saat batuk terjadi, aliran udara dengan tekanan tinggi

dari paru akan mendorong benda asing di saluran napas ke dalam mulut sehingga bisa

dikeluarkan. Bunyi batuk terutama disebabkan oleh getaran pita suara dan kadang-

kadang oleh getaran sekret.

Demam, banyak reaksi fisiologi berlangsung, di antaranya konsumsi oksigen

meningkat sebagai respon terhadap metabolisme sel meningkat, peningkatan denyut

 jantung, peningkatan cardiac output, jumlah leukosit meningkat, dan peningkatan

level C-reactive protein.

Sesak napas, Sensasi dispnea berawal dari aktivasi sistem sensorik yang

terlibat dalam sistem respirasi. Informasi sensorik sampai pada pusat pernapasan di

otak dan memproses respiratory - related signals dan menghasilkan pengaruh

kognitif, kontekstual dan perilaku sehingga terjadi sensasi dispnea

i) Mengapa keluhannya baru muncul dua hari yang lalu?

Jawaban:

Keluhan baru muncul 2 hari yang lalu karena pada pneumonia, infeksi yang

terjadi adalah infeksi saluran nafas atas terlebih dahulu, setelah itu bakteri akan turun

ke saluran nafas bawah dan menginfeksi alveolus, barulah gejala pneumonia mulai

muncul.

2. Pemeriksaan Fisik 

a) Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal?

15

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 16/88

Jawaban:

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan InterpretasiUMUM

Tampilan Sakit berat Sehat Sakit / tidak normalKesadaran Compos

mentis

Compos

mentis

 Normal

RR 68x/menit 30-40x/menit Takipneu Nadi 132x/menit 115x/menit TakikardiaSuhu 38,6oC 36,5 -37,2 oC Febris

Panjang

 badan

72 cm 70,5 cm Normal

Berat badan 8,5 kg 8,9 kg NormalSPESIFIK 

Kepala Nafas cuping

hidung

 Normal Kesulitan bernapas

Toraks

1. Inspeksi

2. Palpasi

3. Perkusi

4.

Auskultasi

- Simetris

- Retraksi

intercostal,

supraclavicula

Stem fremitus

kanan = kiri

Redup pada

 basal paru

- suara

vesikuler 

meningkat

- ronki basah

- Simetris

- Tidak ada

retraksi

Stem

fremitus

normal, tidak 

ada

 peningkatan,

kiri dan

kanan sama

Sonor 

- suara

vesikuler 

normal

- ronki (-)

- Normal

- Tidak normal

Penyebaran eksudat/infiltrat di

kedua lobus paru kanan dan kiri

Infiltrasi eksudat pada parenkim

Bisa karena terdapat kavitas atau

 pada obstruksi jalan napas

16

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 17/88

halus nyaring

- wheezing (-) - wheezing (-)

Mekanisme:

1. Repiration Rate:

Infeksi Bakteri imunitas spesifik (ig A) dan non spesifik (refluks batuk, sekret

mukosa, dan pergerakan silia) gagal mengeluarkan bakteri dari tubuh karena bakteri

memiliki faktor virulen streptococcus pneumonia yang tinggi bakteri masuk ke

alveoli bertahan dan melakukan multiplikasi  peradangan pada

 bronkus/bronkiolus terjadi eksudat alveoli alveoli penuh cairan

kompensasi  peningkatan RR

2. Nadi:

Infeksi Bakteri imunitas spesifik (ig A) dan non spesifik (refluks batuk, sekret

mukosa, dan pergerakan silia) gagal mengeluarkan bakteri dari tubuh karena bakteri

memiliki faktor virulen streptococcus pneumonia yang tinggi bakteri masuk ke

alveoli bertahan dan melakukan multiplikasi peradangan pada

 bronkus/bronkiolus terjadi eksudat alveoli alveoli penuh cairan kebutuhan

O2 ke jaringan terganggu   peningkatan HR

3. Suhu:

Sudah terjawab pada jawaban soal 1e.

4. Nafas cuping hidung

Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya distress

 pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara abnormal (contohnya

 pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior 

dan menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga

17

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 18/88

menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama

inspirasi.

5. Toraks: Retraksi intercostal, supraclavicula

Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah retraksi

dinding dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung; orthopnea;

dan pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan intrapleura yang bertambah

negatif selama inspirasi melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi

 bagian-bagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter 

dan sub kostal, dan fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang

interkostal yang melenting dapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin

 positif. Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat

interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang lebih tua.

Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan

fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat dipercaya

akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat “head

 bobbing”, yang dapat diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala

disangga tegal lurus dengan area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada “head bobbing”, adanya kerusakan sistem saraf pusat

dapat dicurigai.

6. Stem fremitus paru kiri=kanan:

Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran

fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru

(kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang. Stem fremitus

sama kiri dan kanan karena infeksi terjadi di kedua lobus paru. Stem fremitus

meningkat pada sisi yang sakit.

7. Redup pada basal paru:

18

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 19/88

Bagian basal paru menjadi redup karena mengandung eksudat dari hasil reaksi

imunologis yang turun dari bronkiolus ke alveoli karena adanya gaya gravitasi.

8. Peningkatan suara nafas vesikuler, ronki basah halus nyaring, tidak ada

wheezing:

Suara napas vesikuler meningkat terdapat pada bertambahnya ventilasi dan

 bertambah baiknya konduksi suara.

Ronki basah halus nyaring terdengar karena suara disalurkan melalui benda

 padat (yakni infiltrate atau konsolidasi) ke stetoskop.

9. Informasi tambahan : Tidak ada riwayat atopi dalam keluarga

Tidak adanya riwayat atopi menyingkirkan kemungkinan pasien mengalami

alergi. Karena atopi merupakan predisposisi genetic menuju perkembangan reaksi

hipersensitivitas cepat terhadap antigen lingkungan umum (alergi atopik).

 b) Apa saja klasifikasi keadaan umum?

Jawaban:

Karnofsky dan Lansky membagi status keadaan umum pasien menjadi 3

kategori yaitu:

1. Skor 0 – 40: Kategori buruk 

2. Skor 50 – 70: Kategori sedang

3. Skor 80 – 100: Kategori baik 

19

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 20/88

Penilaian skor tersebut berupa:

100 = Normal, tidak ada keluhan, tidak ada penyakit.

90 = Mampu aktivitas normal, tanda-tanda minimal penyakit.

80 = aktivitas normal dengan sedikit kesukaran, beberapa tanda penyakit.

70 = Mampu menjalankan keperluan sendiri, tidak mampu menjalankan pekerjaan.

60 = Mampu menjalankan sebagian besar keperluan sendiri, selalu memerlukan

 bantuan.

50 = Memerlukan bantuan cukup banyak, juga pertolongan medis.

40 = Tidak mampu merawat diri sendiri, tidak dapat bekerja lagi.

30 = Sakit berat, indikasi perawatan di rumah sakit.

20 = Sakit sangat berat.

20

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 21/88

10 = Sekarat.

0 = Mati.

c) Bagaimana hubungan riwayat tidak ada atopi dalam keluarga terhadap kasus?

Jawaban: Sudah terjawab pada informasi tambahan.

d) Mengapa stem fremitus sama antara kiri dan kanan (sama-sama normal,

meningkat atau menurun)?

Jawaban:

Stem fremitus akan meningkat jika ada konsolidasi. Jika konsolidasi terjadi

dikedua lapangan paru maka tidak ada paru yang sehat atau bagian paru sebagai

 pembanding untuk menentukan strem fremitus meningkat atau tidak. Jadi karena

konsolidasi sudah di kedua lapangan paru maka stem fremitus di kanan sama dengan

di kiri.

3. Pemeriksaan Laboratorium

a) Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal?

Jawaban:

Hasil

Pemeriksaan

 Nilai normal Interpretasi

Hb: 11,9 gr/dl 10-13 gr/dl Normal

Ht: 34 vol% 33-38 vol% Normal

Leukosit:

15.000/mm3

6.000-

17.000/mm3

Relative Leukositosis

21

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 22/88

LED 18

mm/jam

Westergreen:

0-20 mm/jam

Wintrobe: 0-

13 mm/jam

Westergreen: normal

Wintrobe: meningkat

Trombosit:

220.000/mm3

200.000-

475.000/mm3

 Normal

Hitung jenis:

0/2/1/75/20/2

0-1/0-3/5-

11/15-35/45-

76/3-6

 Normal/normal/rendah/meningkat/menurun/menurun

CRP: (-) Tidak ada NormalLeukosit: Relative Leukositosis (leukositosis ringan)

Proses leukositosis dimulai dari adanya infeksi yang akan memicu respon

imun. Respon imun akan menghasilkan sitokin-sitokin dari makrofag. Makrofag akan

mengaktifkan netrofil dan leukosit leukosit yang lain untuk ikut serta memfagositosis

dan melisiskan bakteri.

LED: Westergreen normal, Wintrobe meningkat

Infeksi saluran nafas atas mekanisme pertahanan tubuh tidak mampu

mengatasi ke saluran nafas bawah eksudat reaksi inflamasi (PMN, fibrin)

viskositas darah meningkat darah mudah mengendapLED meningkat.

Hitung Jenis: Netrofil batang menurun, netrofil segmen meningkat, limfosit

menurun, monosit menurun.

 Neutrofil adalah yang paling banyak dalam SDP dan berespon lebih cepatterhadap inflamasi dan sisi cedera jaringan daripada jenis SDP yang lainnya. Pada

kasus ini dari hitung jenis, neutrofil meningkat yang menandakan infeksi akut (shift

to the left).

22

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 23/88

 Neutrofil batang adalah neutrofil yang immatur yang dapat bermultiplikasi

dengan cepat selama infeksi akut sehingga pada kasus ini, neutrofil batang meningkat

karena bronkopneumonia merupakan infeksi akut.

 Neutrofil segmen adalah neutrofil yang matur. Neutrofil segmen yang

meningkat pada kasus ini menandakan terjadinya infeksi akut.

Monosit dan limfosit berperanan pada infeksi kronis. Monosit berespon

lambat selama fase infeksi akut dan proses inflamasi sehingga pada kasus ini monosit

tidak meningkat.

 b) Apa saja indikasi pemeriksaan CRP?

Jawaban:

CRP merupakan protein fase akut, predominan dihasilkan oleh hepatosit. CRP

memiliki respon yang baik terhadap beban inflamasi sistemik yang ada dan memiliki

waktu paruh yang cukup panjang sehingga tidak mudah untuk berubah.

Hingga saat ini, biomarker belum memiliki definisi yang universal. Akantetapi, biomarker dipahami sebagai suatu biomolekul yang timbul akibat suatu proses

fisiologik maupun patologik. Biomarker yang ideal adalah suatu biomarker yang

tidak dapat dideteksi atau yang nilainya sangat rendah dalam keadaan non inflamasi

dan akan meningkat dalam keadaan inflamasi yang selanjutnya akan mengalami

 penurunan saat proses inflamasi mereda.

Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan

faktor infeksi dan non-infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakterisuperfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan

 bakteri superfisialis daripada bakteri profunda. Selain itu, CRP dapat digunakan

untuk evaluasi respon antibiotik.

23

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 24/88

C-Reactive Protein disintesis terutama oleh hepatosit melalui rangsangan

sitokin, khususnya interleukin-6 (IL-6), IL-1β dan Tumor Necrosis  Factor-α (TNF-α).

Rangsangan CRP dalam hepatosit utamanya diregulasi oleh  IL-6 . Adanya  IL-β akan

meningkatkan efek  IL-6 , namun IL-β saja tidak akan mengubah produksi CRP .

Infeksi bakteri dan endotoksin memicu sitokin proinflamasi yang berasal dari

monosit atau PMN.

c) Mengapa CRP nya negatif pada kasus ini?

Jawaban:

Semakin muda usia bayi, semakin kecil kemungkinan untuk merubah set

 point dan memproduksi panas. Bayi kecil sering terkena infeksi berat tanpa disertai

dengan gejala demam. Hal ini menyatakan bahwa produksi sitokin-sitokin pro

inflamasi, khususnya IL-6, rendah. Sehingga, produksi IL-6 yang rendah ini tidak 

akan menstimulasi hepatosit untuk memproduksi CRP yang merupakan protein fase

akut (Ismoedijanto. 2000. Demam pada Anak. Sari Pediatri, Vol.2, No.2, Agustus

2000: 103-108).

Infeksi atau inflamasi dapat menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan besi dalam tubuh. Pada infeksi diduga hal ini merupakan bagian dari mekanisme

 pertahanan tubuh untuk mencegah penggunaan besi oleh mikroorganisme patogen.

Pada saat infeksi akan dilepaskan sitokin-sitokin proinflamasi seperti interleukin-1

(IL-1), interleukin 6 (IL-6) dan tumor necrotizing factor – α (TNF- α). Diduga

sitokin-sitokin ini menyebabkan terjadinya perubahan homeostasis besi dalam tubuh.

Mekanisme yang jelas dari perubahan ini masih belum diketahui dengan pasti (Walter 

dkk, 1997; Weiss dan Goodnough, 2005). Pada anak dengan severe pneumonia, level

CRP didapatkan berhubungan negatif dengan kadar besi serum.

(I Gede Oka Novi Purnawan. 2011. Tesis Program Studi Ilmu Kedokteran Klinik 

Minat Utama Ilmu Kedokteran Anak: Korelasi Kadar Besi Serum pada Anak dengan

Peumonia Berat. Yogyakarta: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada)

24

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 25/88

C-reactive protein merupakan salah satu protein fase akut non-spesifik yang

dihasilkan hati, kadar dalam darah meningkat pada inflamasi sebagai akibat respons

imun non-spesifik. Pada infeksi bakteri kadar CRP umumnya meningkat. Hal ini

terjadi karena bakteri pada umumnya menyebabkan penyakit yang lebih berat akibat

inflamasi yang lebih luas sehingga lebih banyak melepaskan sitokin IL-6 yang

merupakan sitokin penginduksi sintesis CRP. Pada penelitian, tidak didapatkan

hubungan antara pneumonia bakteri dengan kadar CRP. Hasil tersebut sesuai dengan

systematic review yang melaporkan bahwa CRP tidak cukup sensitif dan tidak cukup

spesifik dalam menentukan bakteri sebagai penyebab infeksi respiratorik bawah.

Adnet16 melaporkan bahwa pengukuran awal CRP berguna untuk mendiagnosis

adanya infeksi bakteri aerob pada pneumonia aspirasi dengan rerata CRP 169,8 (SB106,4) mg/L pada biakan bakteri positif dibanding 42,9 (SB 40,1) mg/L pada biakan

 bakteri negatif, sedangkan peneliti lainnya melaporkan kadar CRP >80 mg/L lebih

 banyak pada pneumonia bakteri (72%) dibanding pneumonia virus (34%). 

Perbedaan tersebut kemungkinan karena pada satu penelitian dilakukan juga

 biakan selain biakan bakteri, sedangkan pada penelitian ini biakan tersebut tidak 

dilakukan (termasuk biakan untuk kuman anaerob) sehingga adanya infeksi campuran

 pada kedua kelompok tidak dapat disingkirkan. Pada penelitian lainnya mungkinkarena penyakit dasarnya adalah pneumonia aspirasi sehingga inflamasi telah terjadi

sebelum terinfeksi oleh bakteri (Ida Bagus Subanada, Ni Putu Siadi Purniti. Faktor-

Faktor yang Berhubungan dengan Pneumonia Bakteri pada Anak. Sari Pediatri 2010;

12(3): 184-9).

4. Pemeriksaan Radiologi

a) Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal (disertai gambar)?

Jawaban:

25

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 26/88

 

Gambaran radiologis pada bronkopneumonia, biasanya ditandai dengan gambaran difus merata pada

kedua paru, berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai

dengan peningkatan corakan peribronkial.

Pada kasus ini hasil pemeriksaan radiologis menunjukkan adanya infiltrat

 parahilar pada kedua paru, gambaran ini mengarah pada bronkopneumonia.

Gambaran infiltrat pada rontgen thoraks terjadi karena adanya eksudat pada

 bronkus, bronkiolus, dan alveolus disekitarnya. Cairan (eksudat) lebih padat dari

udara, sehingga ketika dirontgen daerah paru yang terisi eksudat terlihat lebih radio

opaque daripada daerah disekitarnya yang hanya terisi udara).Mekanismenya:

Infeksi mikroorganisme :

di alveolus aktivasi makrofag pelepasan sitokin-stitokin

 peningkatan permeabilitas vaskular & aktivasi dan kemotaksis netrofil

reaksi inflamasi di alveolus eksudat di aveolus gambaran infiltrat

 pada rontgen.

 juga menginvasi saluran nafas (bronkiolus)

respon inflamasi di bronkiolus eksudat di bronkiolus gambaran infiltrat pada rontgen.

Tidak normal,dijumpai infiltrat,infiltrat ini terbentuk dari respon alveoli

terhadap pneumokokus,infiltrat tersusun atas eksudat serosa,sel-sel-darah

merah,fibrin,leukosit polimorfonuklear mengisi alveoli.

26

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 27/88

 b) Pada keadaan apa saja terbentuk infiltrat?

Jawaban:

- Bronkiolitis

- Aspirasi pneumonia

- TB paru primer 

- Gagal jantung

- Aspirasi benda asing

- Ateletaksis

- Abses paru

5. Bagaimana cara penegakan diagnosis pada kasus ini (beserta pemeriksaan

 penunjang)?

Jawaban:

a) Anamnesis

- Apa keluhan yang dialami?

- Sejak kapan terjadi sesak napas?

- Sesak napas muncul hilang timbul atau terus-menerus?

- Sesak napas diperberat/dihilangkan dengan cara?

- Keluhan lain? (nafas cuping hidung, anak rewel, diare, demam)

- Sejak kapan terjadi gejala-gejala lain?

- Sudah pernah minum obat?

27

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 28/88

- Ada kontak dengan penderita?

- Riwayat sosial ekonomi keluarga?

- Lingkungan tempat tinggal?

 b) Pemeriksaan Fisik 

- Keadaan umum : sehat, sakit ringan, sakit sedang, sakit berat, kesadaran

- Respiratory rate

- Denyut nadi

- Suhu

- Nafas cuping hidung

- Inspeksi thoraks : retraksi otot-otot interkostal

- Palpasi thoraks: stem fremitus meningkat, bandingkan sisi kanan dan kiri

- Perkusi thoraks: redup pada basal (seharusnya sonor)

- Auskultasi thoraks: suara vesikular meningkat (ada kavitas, infiltrat), ada

ronki basah, tidak ada wheezing (menghilangkan diagnosis asma anak)

- Rontgen thoraks: memastikan adanya ilfiltrat di parenkim paru

c) Pemeriksaan Laboratorium

- Biasanya pemeriksaan Hb normal atau sedikit menurun

- Hematokrit normal (bayi 1-3 tahun = 29-40%)

- Peningkatan leukosit (leukositosis)

- Laju endap darah meningkat (ada inflamasi)

- Diff count: neutrofil segmen meningkat (adanya infeksi akut)

28

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 29/88

- CRP: negatif atau <1,0 mg/L

d) Pemeriksaan Penunjang

- Analisa Gas Darah

- Kultur darah/sputum/bilasan lambung

- Pewarnaan gram

- Tes fungsi paru

- Tes tuberkulin

- Spirometri statik 

Pneumonia anak berdasarkan kriteria WHO:

1. Takipnea

Umur Frekuensi napas per menit

< 2 bulan 60

2-12 bulan 50

1-5 tahun 40

2. Chest indrawing (retraksi interkostal, subkostal dan supraklavikula)

Tabel Klasifikasi Pneumonia berdasarkan kriteria WHO

Klasifikasi Pneumonia Tanda/gejala

Pneumonia berat Takipnea (+)

29

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 30/88

Chest Indrawing (+)

Pneumonia Takipnea (+)

Chest Indrawing (-)Bukan Pneumonia Takipnea (-)

Chest Indrawing (-)

6. Apa saja DD pada kasus ini?

Jawaban:

Didi, ♂9bln Bronkopneumonia Bronkitis Akut Bronkiolitis

Akut

Takipneu + + +

Takikardi + + +

Demam Demam Tinggi Demam ringan Demam

ringan/normal

 Nafas cuping + Mengi Mengi/normal

Retraksi intercostal + +/jarang +

Redup + Hipersonor Hipersonor  

Vesikuler ↑ Normal/↓ ↓

Ronki Basah + + -

Wheezing - + +

7. Apa diagnosis kerja pada kasus ini?

Jawaban: Bronkopneumonia.

30

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 31/88

8. Apa etiologi dari diagnosis kerja pada kasus ini?

Jawaban:

Bronkopneumonia lebih sering menyerang bayi dan anak kecil. Hal ini

dikarenakan respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik. Tercatat

 bakteri sebagai penyebab tersering bronkopneumonia pada bayi dan anak adalah

Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae.8 

4 bulan – 5 tahun Bakteri Bakteri

Clamydia pneumoniae Haemophillus influenza tipe B

 Mycoplasma pneumonia Moraxella catharalis

Streptococcus pneumonia Staphylococcus aureus

Virus  Neisseria meningitides

 Adenovirus Virus

 Rinovirus Varisela Zoster 

 Influenza

 Parainfluenza

9. Apa epidemiologi pada kasus ini?

Jawaban:

Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi

saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia.

Kesulitan – kesulitan tersebut menyebabkan angka mortalitas anak – anak 

dengan bronchopneumonia di Indonesia tetap tinggi. Angka mortalitas

 bronchopneumonia secara keseluruhan mencapai 7 – 28,6 % ( Sutedjo et al., 1961;

31

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 32/88

Hanafiah et al., 1968 ; Nugroho et al., 1971 ; Soemantri et al., 1970 ), sementara pada

 bayi mencapai 36,1 % ( Nugroho et al., 1971 ; Mimica et al., 1971 ; Lydia, 1968 ).

Pada Bagian Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Jakarta, tercatat 922 pasien dari kelompok umur 0 – 14 tahun menderita penyakit

 brochopulmoner pada tahun 1974. Selanjutnya pada tahun 1975 tercatat 812 pasien

dan 936 pasien pada tahun 1976, dengan rata – rata mortalitas 25 %, 28 % dan 26 % (

Rahmat Sadeli et al., 1978 ).

10. Apa faktor risiko pada kasus ini?

Jawaban:

1. Umur 

ISPA merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak di negara

sedang berkembang. ISPA ini menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan kematian

 pada anak berusia di bawah 5 tahun setiap tahunnya, sebanyak dua pertiga kematian

tersebut adalah bayi (khususnya bayi muda).

2. Jenis Kelamin

Menurut penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan

desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan jenis kelamin berhubungan

secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,001) dan diperoleh

nilai OR=1,524 (CI 95%=1,495-4,261), maka balita yang mengalami pneumonia

kemungkinan 1,524 kali lebih besar pada perempuan dibandingkan laki-laki.

3. Status gizi

Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA

dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang.

Penyakit infeksi akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan

32

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 33/88

mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah

terserang “ISPA berat” bahkan serangannya lebih lama.

4. Status Imunisasi

Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan

menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan status

imunisasi berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita

(p=0,009), dan diperoleh nilai OR=1,758 (CI 95%=1,375-2,883), maka balita yang

mengalami pneumonia kemungkinan 1,76 kali lebih besar mempunyai status

imunisasi yang tidak lengkap dibandingkan yang lengkap.

5. Faktor pekerjaan orang tua

Tingkat penghasilan keluarga yang rendah membuat orang tua sulit

menyediakan fasilitas perumahan yang layak, gizi yang cukup, perawatan kesehatan

yang baik. Hal ini menyebabkan daya tahan tubuh anak berkurang dan mudah terkena

 penyakit infeksi termasuk penyakit pneumonia.

6. Faktor pendidikan orang tua

Tingkat pendidikan orang tua yang rendah juga merupakan faktor risiko yang

dapat meningkatkan angka kematian ISPA terutama pneumonia. Tingkat pendidikan

ibu akan berpengaruh terhadap tindakan perawatan oleh ibu kepada anak yang

menderita ISPA.

7. Polusi udara dalam ruangan

Rumah kecil yang tidak memiliki sirkulasi udara memadai yang penuh asap

yang berasal dari asap anti nyamuk bakar, asap rokok, dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak akan mendukung penyebaran virus atau bakteri, dengan

konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan

memudahkan timbulnya ISPA.

8. Kepadatan hunian

33

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 34/88

Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan dengan

menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan kepadatan

hunian berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita umur 

9-59 bulan (OR=3,247; p=0,0005), dapat dikatakan bahwa balita yang mengalami

 pneumonia kemungkinan 3,25 kali lebih besar tinggal di rumah yang memiliki

kepadatan hunian tidak memenuhi syarat dibandingkan yang memenuhi syarat.Salah

satu kaitan kepadatan hunian dan kesehatan adalah karena rumah yang sempit dan

 banyak penghuninya, maka penghuni mudah terserang penyakit dan orang yang sakit

dapat menularkan penyakit pada anggota keluarga lainnya.

11. Bagaimana patofisiologi pada kasus ini?

Jawaban:

Bronkopneumonia dimulai dengan masuknya kuman melalui inhalasi,

aspirasi, hematogen dari fokus infeksi atau penyebaran langsung. Sehingga terjadi

infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami peradangan dan berlubang-lubang

sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari darah

masuk ke dalam alveoli. Dengan demikian alveoli yang terinfeksi secara progresif 

menjadi terisi dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh perpindahan

 bakteri dari alveolus ke alveolus. Kadang-kadang seluruh lobus bahkan seluruh paru

menjadi padat (consolidated) yang berarti bahwa paru terisi cairan dan sisa-sisa sel.

34

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 35/88

Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasopharing dan bersifat

asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya infeksi virus akan

memudahkan Streptococcus pneumoniae berikatan dengan reseptor sel epitel

 pernafasan. Jika Streptococcus pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi sel

 pneumatosit tipe II. Selanjutnya Streptococcus pneumoniae akan mengadakan

multiplikasi dan menyebabkan invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus

 pneumoniae akan menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori dari Kohn. Bakteri

yang masuk kedalam alveolus menyebabkan reaksi radang berupa edema dari seluruh

alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN.

Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :

1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang

 berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan

aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat

 pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel

imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan

 prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.

Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang

interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.

Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus

ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah

 paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen

hemoglobin.

2. Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,

eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi

 peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan

35

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 36/88

leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan

seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga

anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48

 jam.

Gambar 1. tampak alveolus terisi sel darah merah dan sel sel inflamasi (netrofil)

3. Stadium III (3 – 8 hari)

Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih

mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi

di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini

eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin danleukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti.

Gambar 2. tampak alveolus terisi dengan eksudat dan netrofil

4. Stadium IV (7 – 11 hari)

36

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 37/88

Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan

 peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag

sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau

 penyebaran langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan

akibat sekunder dari bakterimia atau viremia atau penyebaran dari infeksi intra

abdomen. Dalam keadaan normal mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah

steril. Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru.

Keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi

ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka

mikroorganisme dapat masuk, berkembang biak dan menimbulkan penyakit.

Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme :

• Filtrasi partikel di hidung

• Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis

• Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk 

• Pembersihan kearah kranial oleh mukosiliar 

• Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar 

37

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 38/88

•  Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal

• Drainase melalui sistem limfatik.

12. Bagaimana pathogenesis pada kasus ini?

Jawaban:

Sama seperti no. 12.

13. Apa saja manifestasi klinis pada kasus ini?

Jawaban:

Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas

selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C dan

mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnue,

 pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di

sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit, anak 

akan mendapat batuk setelah beberapa hari, pada awalnya berupa batuk kering

kemudian menjadi produktif.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan :

Inspeksi : perlu diperhatikan adanya tahipnue, dispnue, sianosis sekitar hidung

dan mulut, pernapasan cuping hidung, distensi abdomen, retraksi sela iga, batuk 

semula nonproduktif menjadi produktif, serta nyeri dada pada waktu menarik napas.

Palpasi : suara redup pada sisi yang sakit, hati mungkin membesar, fremitus

raba mungkin meningkat pada sisi yang sakit, dan nadi mungkin mengalami

 peningkatan (tachicardia).

Perkusi : suara redup pada sisi yang sakit.

38

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 39/88

Auskultasi : auskultasi sederhana dapat dilakukan dengan cara mendekatkan

telinga ke hidung/mulut bayi. Pada anak yang bronkopneumonia akan terdengar 

stridor.

Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya

daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan. Pada

auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang.

Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi

terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar 

mengeras.

14. Bagaimana tatalaksana dari kasus ini?

Jawaban:

Pengobatan bertujuan untuk mengeradikasi infeksi, menurunkan morbiditas

dan mencegah komplikasi.

Pada bronkopneumonia, karena termasuk dalam gejala pneumonia berat maka

merupakan indikasi untuk dirawat di rumah sakit.

Pengobatan bronkopneumonia adalah sebagai berikut :

1. Pemberian antibiotika polifragmasi selama 10 - 15 hari, meliputi :

a. Ampicillin 100 mg/kgBB/hari dalam 3-4 dosis ditambah klorampenikol

dengan dosis :

• Umur < 6 bulan : 25-50 mg/KgBB/hari

• Umur > 6 bulan : 50-75 mg/KgBB/hari

Dosis dibagi dalam 3-4 dosis

39

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 40/88

 b. Atau ampicillin 100 mg/kgBB/hari dalam 3-4 dosis ditambah gentamisin

dengan dosis 3-5 mg/KgBB/hari diberikan dalam 2 dosis

c. Pada penderita yang dicurigai resisten dengan obat tersebut berdasarkan

riwayat pemakaian obat sebelumnya, atau pneumonia berat dengan tanda bahaya,

atau tidak tampak perbaikan klinis dalam 3 hari, maka obat diganti dengan

cephalosporin generasi ke-3 (dosis tergantung jenis obat) atau penderita yang

tadinya mendapat kloramfenikol diganti dengan gentamisin dengan dosis 3-5

mg/kgBB/hr diberikan dalam 2 dosis.

2. Terapi cairan

Cairan IV desktrose 5 % ditambah NaCl 15 %

3. Tindak lanjut

a. Pengamatan rutin :

Frekuensi nafas, denyut nadi, tekanan vena, hepatomegali, tanda asidosis, dan

tanda komplikasi.

 b. Indikasi pulang :

Bila tidak sesak dan intake adekuat.

15. Apa komplikasi dari kasus ini?

Jawaban:

Bila pneumonia tidak ditangani dengan baik, proses peradangan akan terus berlanjut dan menimbulkan berbagai komplikasi seperti, selaput paru terisi cairan

atau nanah (efusi pleura atau empiema), jaringan paru bernanah (abses paru), jaringan

 paru kempis (pneumotoraks) dan lain-lain. Bahkan bila terus berlanjut dapat terjadi

40

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 41/88

 penyebaran infeksi melalui darah (sepsis) ke seluruh tubuh sehingga dapat

menyebabkan kematian.

Komplikasi dari Bronchopneumoni adalah :

1. Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps

 paru yang merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau reflek batuk hilang.

2. Empyema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga

 pleura yang terdapat disatu tempat atau seluruh rongga pleura.

3. Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.

4. Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.

5. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak. (Whaley Wong,2000)

16. Bagaimana prognosis kasus ini?

Jawaban:

Dengan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat

diturunkan sampai kurang dari 1%. Anak yang berada dalam keadaan malnutrisi dan

 penanganan yang terlambat menunjukkan angka mortalitas yang lebih tinggi.

Quo ad vitam = dubia ad bonam

Quo ad functional = dubia ad bonam

17. Bagaimana pencegahan dari kasus ini?

Jawaban:

41

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 42/88

Hindari pencetus bahan polusi (asap rokok); Hidup bersih (mencuci tangan

dan tidak jajan sembarangan); Menjaga kebersihan lingkungan; Memberikan ASI

selama 6 bulan pertama; Menjaga keseimbangan nutrisi anak; Pemberian vaksin

(Vaksinasi  Pneumokokus,vaksinasi  H. influenza, vaksinasi Varisela yang dianjurkan

 pada anak dengan daya tahan tubuh rendah); Menjaga daya tahan tubuh anak (cukup

istirahat dan olahraga); Mengusahakan tempat tinggal dengan ventilasi baik.

18. Apa KDU pada kasus ini?

Jawaban:

III B (Mampu membuat diagnosis klinik berdasar pemeriksaan fisik dan

 pemeriksaan tambahan. Mampu berikan terapi pendahuluan dan merujuk pada

spesialis yang relevan. KASUS GAWAT DARURAT).

V. HIPOTESIS

Didi, bayi usia 9 bulan, mengalami batuk, sukar bernapas, dan disertai demamsejak dua hari yang lalu et causa bronkopneumonia.

VI. KERANGKA KONSEP

42

Didi, bayi 9 bulan mengalami Infeksi Faktor Resiko

ISPA

Menyebar ke

saluran nafas

bawah

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 43/88

VII. KESIMPULAN

Didi, bayi usia 9 bulan, menderita bronkopneumonia.

43

Infeksi pada parenkim Batuk

Respon

Inflamasi

Vasodilatas

i &Permeabilit

as ka iler

DemamLED

Leukositos Diff.cou

nt

bergese

 

 Terbentuk Edema

Ventilasi

Sukar nafas•Retraksi Intercostal

Supraclavicula

•Cuping Hidung

•Vesikuler Sound

RRHR

•Perkusi

Reduppadabasal paru

•Ronki

BasahHalusNyaring

•Gambaran

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 44/88

VIII. SINTESIS MASALAH

1. Anatomi, Histologi, Fisiologi Saluran Pernapasan

A. ANATOMI SISTEM RESPIRASI

Anatomi saluran pernafasan atas terdiri dari nasal, faring, laring, trachea, bronkus,

dan bronkiolus.

Hidung

Rambut, zat mukus serta silia yang bergerak ke arah faring berperan sebagai sistem

 pembersih hidung. Fungsi pembersih udara ini juga ditunjang oleh konka nasalis yang

menimbulkan turbulensi aliran udara sehingga dapat mengendapkan partikel-pertikel

dari udara yang seterusnya akan diikat oleh zat mukus. Sistem turbulensi udara ini

dapat mengendapkan partikel-partikel yang berukuran lebih dari 4 .ɥ

Zat mukus yang disekresi hidung mengandung enzim lisozim yang dapat membunuh

 bakteri. Struktur konka nasalis yang unik memperluas permukaan mukosa hidung dan

 pleksus vena yang berdinding tipis di bawah mukosa, meningkatkan efektifitas fungsi

 pelembaban serta fungsi penghangatan udara oleh hidung. Disamping perannya pada

 pproses ventilasi, hidung juga berperan pada fungsi pembauan. Pada bagian langit-langit dari rongga hidung terdapat mukosa olfaktoria yang merupakan lokasi dari

reseptor hidung.

Faring

Merupakan bagian kedua dan terakhir dari saluran pernafasan bagian atas. Faring

terbagi menjadi tiga bagian yaitu nasofaring, orofaring, serta laringofaring.

Laring

Terletak pada garis tengah bagian depan leher, sebelah dalam kulit, glandula tyroidea,

dan beberapa otot kecila, dan didepan laringofaring dan bagian atas esopagus.

Laring merupakan struktur yang lengkap terdiri atas:

44

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 45/88

1. Cartilago yaitu cartilago thyroidea, epiglottis, cartilago cricoidea, dan 2

cartilago arytenoidea

2. Membarana yaitu menghubungkan cartilago satu sama lain dan dengan os.

Hyoideum, membrana mukosa, plika vokalis, dan otot yang bekerja pada plica

vokalis

Cartilago tyroidea berbentuk V, dengan V menonjol kedepan leher sebagai jakun.

Ujung batas posterior diatas adalah cornu superior, penonjolan tempat melekatnya

ligamen thyrohyoideum, dan dibawah adalah cornu yang lebih kecil tempat

 beratikulasi dengan bagian luar cartilago cricoidea. Membrana Tyroide

mengubungkan batas atas dan cornu superior ke os hyoideum.

Membrana cricothyroideum menghubungkan batas bawah dengan cartilago cricoidea.

• Epiglottis

Cartilago yang berbentuk daun dan menonjol keatas dibelakang dasar lidah.

Epiglottis ini melekat pada bagian belakang V cartilago thyroideum.

Plica aryepiglottica, berjalan kebelakang dari bagian samping epiglottis

menuju cartilago arytenoidea, membentuk batas jalan masuk laring

• Cartilago cricoidea

Cartilago berbentuk cincin signet dengan bagian yang besar dibelakang.

Terletak dibawah cartilago tyroidea, dihubungkan dengan cartilago tersebut

oleh membrane cricotyroidea. Cornu inferior cartilago thyroidea berartikulasi

dengan cartilago tyroidea pada setiap sisi. Membrana cricottracheale

menghubungkan batas bawahnya dengan cincin trachea I

• Cartilago arytenoidea

Dua cartilago kecil berbentuk piramid yang terletak pada basis cartilago

cricoidea. Plica vokalis pada tiap sisi melekat dibagian posterio sudut piramid

yang menonjol kedepan

45

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 46/88

• Membrana mukosa

Laring sebagian besar dilapisi oleh epitel respiratorius, terdiri dari sel-sel

silinder yang bersilia. Plica vocalis dilapisi oleh epitel skuamosa.

• Plica vokalis

Plica vocalis adalah dua lembar membrana mukosa tipis yang terletak di atas

ligamenturn vocale, dua pita fibrosa yang teregang di antara bagian dalam

cartilago thyroidea di bagian depan dan cartilago arytenoidea di bagian

 belakang.

Plica vocalis palsu adalah dua lipatan. membrana mukosa tepat di atas plicavocalis sejati. Bagian ini tidak terlibat dalarn produksi suara.

• Otot

Otot-otot kecil yang melekat pada cartilago arytenoidea, cricoidea, dan

thyroidea, yang dengan kontraksi dan relaksasi dapat mendekatkan dan

memisahkan plica vocalis. Otot-otot tersebut diinervasi oleh nervus cranialis

X (vagus).

• Respirasi

Selama respirasi tenang, plica vocalis ditahan agak berjauhan sehingga udara

dapat keluar-masuk. Selama respirasi kuat, plica vocalis terpisah lebar.

• Fonasi

Suara dihasilkan olch vibrasi plica vocalis selama ekspirasi. Suara yang

dihasilkan dimodifikasi oleh gerakan palaturn molle, pipi, lidah, dan bibir, dan

resonansi tertentu oleh sinus udara cranialis.

46

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 47/88

Trachea

Tabung yang dapat bergerak dengan panjang 13cm dan diameternya 2,5cm. Trachea

mempunyai dinding fibroelastis yang tertanam di dalam balok cartilago hyalin yang

 berbentuk huruf U yang mempertahankan lumen trachea tetap terbuka. Ujung

 posterior cartilago yang bebas dihubungkan oleh otot trachealis (otot polos). Trachea

 berpangkal di leher, di bawah cartilago cricoidea larynx setinggi corpus vertebrae

cervicalis VI. Ujung bawah trachea terdapat di dalam thorax setinggi angulus sterni

membelah menjadi bronchus principalis dexter dan sinister. Bifurcatio trachea ini

disebut carina. Pada inspirasi dalam carina turun sampai setinggi vertebra thoracica

VI. Persarafan trachea adalah cabang-cabang nervus vagus, nervus laryngeus

recurrens, dan truncus symphaticus. Saraf ini mengurus otot trachea dan membranmukosa.

Bronchi Principalis

Bronchus principalis dexter lebih lebar, pendek, dan vertikal dibandingkan sinister 

dengan panjang 2,5cm. Sebelum masuk ke hiluim pulmonis dexter, bronchus

 principalis dexter mempercabangkan bronchus lobaris superior dexter. Saat masuk ke

hilum, bronchus principalis dexter membelah menjadi bronchus lobaris medius dan

 bronchus lobaris inferior dextra. Bronchus principalis sinister lebih sempit, panjang,

dan horizontal dibandingkan dexter dengan panjang 5cm. Bronchus ini berjalan ke

kiri di bawah arcus aorta dan di depan oesophagus. Pada waktu masuk ke hilum

 pulmonis sinistra, bercabang menjadi bronchus lobaris superior sinister dan bronchus

lobaris inferior sinister.

Paru (Pulmo)

Paru berbentuk seperti spons dan sangat elastis. Jika rongga thorax dibuka volume

 paru segera mengecil sampai sepertiga/kurang. Pada anak-anak, paru berwarna merah

muda tetapi dengan bertambahnya usia paru menjadi gelap dan berbintik-bintik akibatinhalasi partikel debu yang terperangkap di dalam fagosit paru. Paru berbentuk 

kerucut dan diliputi oleh pleura visceralis dan teradapat bebas di dalam cavitas

 pleuralis masing-masing hanya dilekatkan pada mediastinum oleh radix pulmonis.

47

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 48/88

Masing-masing paru mempunyai apex pulmonis yang tumpul, yang menonjol ke atas

ke dalam leher sekitar 2,5cm di atas klavikula, basis pulmonis yang konkaf tempat

terdapat diaphragma, facies costalis yang konveks yang disebabkan oleh dinding

thorax yang konkaf, facies mediastinalis yang konkaf yang merupakan cetakan

 perikardium dan struktur mediastinum lainnya. Sekitar pertengahan facies

mediastinalis ini terdapat hilum pulmonis yaitu suatu cekungan tempat bronchus,

 pembuluh darah dan saraf yang membentuk radix pulmonis masuk dan keluar dari

 paru.

Margo anterior paru tipis dan meliputi jantung, pada margo anterior pulmo sinister 

terdapat incisura cardiaca pulmonis sinister. Pinggir posterior tebal dan terletak di

samping columna vertebra.Pulmo dexter

Pulmo dexter sedikit lebih besar dari sinister dan dibagi oleh fissura obliqua dan

fissura horizontalis pulmonis dexter menjadi 3 lobus, lobus superior, medius dan

inferior. Fissura obliqua berjalan dari pinggir inferior ke atas dan ke belakang

menyilang permukaan medial dan costalis sampai memotong pinggir posterior sekitar 

6,25cm di bawah apex pulmonis. Fissura horizontalis berjalan horizontal menyilang

 permukaan costalis setinggi cartilago costalis IV dan bertemu dengan fissura obliqua

 pada linea axillaris media. Lobus medius merupakan lobus kecil berbentuk segitiga

yang dibatasi oleh fissura horizontalis dan obliqua.

 Pulmo sinister 

Pulmo sinister dibagi oleh fissura obliqua dengan cara yang sama menjadi 2 lobus,

superior dan inferior. Pulmo sinister tidak terdapat fissura horizontalis

Pendarahan paru

Bronchi, jaringan ikat paru, dan pleura visceralis menerima darah dari arteri

 bronchiales yang merupakan cabang arteri descendens. Venae bronchiales yang berhubungan dengan vena pulmonales mengalirkan darahnya ke vena azygos dan

vena hemiazygos.

Alveoli menerima darah terdeoksigenasi dari cabang terminal arteri pulmonales.

Darah yang teroksigenasi meninggalkan kapiler alveoli masuk ke vena pulmonales

48

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 49/88

yang mengikuti jaringan ikat septa intersegmentalis ke radix pulmonis. 2 vena

 pulmonales meninggalkan setiap radix pulmonis untuk bermuara ke dalam atrium

sinistrum cor.

Aliran limfe paru

Pembuluh limfe berasal dari plexus superficialis dan plexus profundus, dan tidak 

terdapat pada dinding alveoli. Plexus superficialis (subpleural) terletak di bawah

 pleura visceralis dan mengalirkan cairannya melalui permukaan paru ke arah hilum

 pulmonis, dan bermuara ke nodi bronchopulmonales. Plexus profundus berjalan

sepanjang bronchi dan arteri, vena pulmonalis menuju ke hilum pulmonis dan

mengalirkan limfe ke nodi intrapulmonales yang terletak di dalam substansi paru.

Kemudian masuk ke dalam nodi bronchopulmonales di dalam hilum pulmonis.Semua cairan limfe paru meninggalkan hilum mengalir ke nodi tracheobronchiales

dan masuk ke dalam truncus lymphaticus bronchomediastinalis.

Persarafan paru

Pada radix setiap paru terdapat plexus pulmonalis yang terdiri atas serabut eferen dan

aferen saraf otonom. Plexus dibentuk dari cabang truncus symphaticus dan menerima

serabut parasimpatis dari nervus vagus.  Serabut eferen simpatis mengakibatkan

 bronchodilatasi dan vasokontriksi. Serabut eferen parasimpati smengakibatkan

 bronkokontriksi, vasodilatasi dan peningkatan sekresi kelenjar. Impuls aferen yang

 berasal dari mukosa bronchus dan dari receptor regang pada dinding alveoli berjalan

ke susunan saraf pusat dalam saraf simpatis dan parasimpatis.

B. FISOLOGI SISTEM RESPIRASI

Sistem respirasi berfungsi:

• Pertukaran gas menyuplai O2 dan membuang CO2

• Mengatur pH darah

• Produksi suara

• Membuang kelebihan panas dan air 

49

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 50/88

• Mengandung reseptor bau (olfaction)

Sistem respirasi bekerja melalui 3 tahapan yaitu :

1. Ventilasi

2. Difusi

3. Transportasi

Ventilasi

Ventilasi merupakan proses pertukaran udara antara atmosfer dengan alveoli. Proses

ini terdiri dari inspirasi (masuknya udara ke paru-paru) dan ekspirasi (keluarnya udara

dari paru-paru). Ventilasi terjadi karena adanya perubahan tekanan intra pulmonal,

 pada saat inspirasi tekanan intra pulmonal lebih rendah dari tekanan atmosfer 

sehingga udara dari atmosfer akan terhisap ke dalam paru-paru. Sebaliknya pada saat

ekspirasi tekanan intrapulmonal menjadi lebih tinggi dari atmosfer sehingga udara

akan tertiup keluar dari paru-paru.

Perubahan tekanan intrapulmonal tersebut disebabkan karena perubahan volume

thorax akibat kerja dari otot-otot pernafasan dan diafragma. Pada saat inspirasi terjadi

kontraksi dari otot-otot insiprasi (muskulus interkostalis eksternus dan

diafragma)sehingga terjadi elevasi dari tulang-tulang kostae dan menyebabkan

 peningkatan volume cavum thorax (rongga dada), secara bersamaan paru-paru juga

akan ikut mengembang sehingga tekanan intra pulmonal menurun dan udara terhirup

ke dalam paru-paru.

50

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 51/88

Setelah inspirasi normal biasanya kita masih bisa menghirup udara dalam-dalam

(menarik nafas dalam), hal ini dimungkinkan karena kerja dari otot-otot tambahan

inspirasi yaitu muskulus sternokleidomastoideus dan muskulus skalenus.

Ekspirasi merupakan proses yang pasif dimana setelah terjadi pengembangan cavum

thorax akibat kerja otot-otot inspirasi maka setelah otot-otot tersebut relaksasi maka

terjadilah ekspirasi. Tetapi setelah ekspirasi normal, kitapun masih bisa

menghembuskan nafas dalam-dalam karena adanya kerja dari otot-otot ekspirasi yaitu

muskulus interkostalis internus dan muskulus abdominis.

Kerja dari otot-otot pernafasan disebabkan karena adanya perintah dari pusat

 pernafasan (medula oblongata) pada otak. Medula oblongata terdiri dari sekelompok 

neuron inspirasi dan ekspirasi. Eksitasi neuron-neuron inspirasi akan dilanjutkan

dengan eksitasi pada neuron-neuron ekspirasi serta inhibisi terhadap neuron-neuron

inspirasi sehingga terjadilah peristiwa inspirasi yang diikuti dengan peristiwa

ekspirasi. Area inspirasi dan area ekspirasi ini terdapat pada daerah berirama medula

(medulla rithmicity) yang menyebabkan irama pernafasan berjalan teratur dengan

 perbandingan 2 : 3 (inspirasi : ekspirasi).

Ventilasi dipengaruhi oleh :

1. Kadar oksigen pada atmosfer 

2. Kebersihan jalan nafas

51

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 52/88

3. Daya recoil & complience (kembang kempis) dari paru-paru

4. Pusat pernafasan

Fleksibilitas paru sangat penting dalam proses ventilasi. Fleksibilitas paru dijaga oleh

surfaktan. Surfaktan merupakan campuran lipoprotein yang dikeluarkan sel sekretori

alveoli pada bagian epitel alveolus dan berfungsi menurunkan tegangan permukaan

alveolus yang disebabkan karena daya tarik menarik molekul air & mencegah kolaps

alveoli dengan cara membentuk lapisan monomolekuler antara lapisan cairan dan

udara.

Energi yang diperlukan untuk ventilasi adalah 2 – 3% energi total yang dibentuk oleh

tubuh. Kebutuhan energi ini akan meningkat saat olah raga berat, bisa mencapai 25

kali lipat.

Saat terjadi ventilasi maka volume udara yang keluar masuk antara atmosfer dan

 paru-paru dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Volume tidal adalah volume udara yang diinspirasi dan diekspirasi dalam pernafasan

normal. IRV (volume cadangan inspirasi) adalah volume udara yang masih bisa

dihirup paru-paru setelah inspirasi normal. ERV (volume cadangan ekspirasi) adalah

52

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 53/88

volume udara yang masih bisa diekshalasi setelah ekspirasi normal. Sedangkan RV

(volume sisa) adalah volume udara yang masih tersisa dalam paru-paru setelah

ekspirasi kuat.

Difusi

Difusi dalam respirasi merupakan proses pertukaran gas antara alveoli dengan darah

 pada kapiler paru. Proses difusi terjadi karena perbedaan tekanan, gas berdifusi dari

tekanan tinggi ke tekanan rendah. Salah satu ukuran difusi adalah tekanan parsial.

Difusi terjadi melalui membran respirasi yang merupakan dinding alveolus yang

sangat tipis dengan ketebalan rata-rata 0,5 mikron. Di dalamnya terdapat jalinan

kapiler yang sangat banyak dengan diameter 8 angstrom. Dalam paru2 terdapat

sekitar 300 juta alveoli dan bila dibentangkan dindingnya maka luasnya mencapai 70

m2 pada orang dewasa normal.

Saat difusi terjadi pertukaran gas antara oksigen dan karbondioksida secara simultan.

Saat inspirasi maka oksigen akan masuk ke dalam kapiler paru dan saat ekspirasikarbondioksida akan dilepaskan kapiler paru ke alveoli untuk dibuang ke atmosfer.

Proses pertukaran gas tersebut terjadi karena perbedaan tekanan parsial oksigen dan

karbondioksida antara alveoli dan kapiler paru.

53

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 54/88

 

Volume gas yang berdifusi melalui membran respirasi per menit untuk setiap

 perbedaan tekanan sebesar 1 mmHg disebut dengan kapasitas difusi. Kapasitas difusi

oksigen dalam keadaan istirahat sekitar 230 ml/menit. Saat aktivitas meningkat maka

kapasitas difusi ini juga meningkat karena jumlah kapiler aktif meningkat disertai

dilatasi kapiler yang menyebabkan luas permukaan membran difusi meningkat.

Kapasitas difusi karbondioksida saat istirahat adalah 400-450 ml/menit. Saat bekerja

meningkat menjadi 1200-1500 ml/menit.

Difusi dipengaruhi oleh :

1. Ketebalan membran respirasi

54

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 55/88

2. Koefisien difusi

3. Luas permukaan membran respirasi*

4. Perbedaan tekanan parsial

Transportasi

Setelah difusi maka selanjutnya terjadi proses transportasi oksigen ke sel-sel yang

membutuhkan melalui darah dan pengangkutan karbondioksida sebagai sisa

metabolisme ke kapiler paru. Sekitar 97 - 98,5% Oksigen ditransportasikan dengan

cara berikatan dengan Hb (HbO2/oksihaemoglobin,) sisanya larut dalam plasma.

Sekitar 5- 7 % karbondioksida larut dalam plasma, 23 – 30% berikatan dengan Hb

(HbCO2/karbaminahaemoglobin) dan 65 – 70% dalam bentuk HCO3 (ion

 bikarbonat).

Saat istirahat, 5 ml oksigen ditransportasikan oleh 100 ml darah setiap menit. Jika

curah jantung 5000 ml/menit maka jumlah oksigen yang diberikan ke jaringan sekitar 

250 ml/menit. Saat olah raga berat dapat meningkat 15 – 20 kali lipat.

Transportasi gas dipengaruhi oleh :

1. Cardiac Output

2. Jumlah eritrosit

3. Aktivitas

4. Hematokrit darah

Setelah transportasi maka terjadilah difusi gas pada sel/jaringan. Difusi gas pada

sel/jaringan terjadi karena tekanan parsial oksigen (PO2) intrasel selalu lebih rendahdari PO2 kapiler karena O2 dalam sel selalu digunakan oleh sel. Sebaliknya tekanan

 parsial karbondioksida (PCO2) intrasel selalu lebih tinggi karena CO2 selalu

diproduksi oleh sel sebagai sisa metabolisme.

55

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 56/88

 

Regulasi

Kebutuhan oksigen tubuh bersifat dinamis, berubah-ubah dipengaruhi oleh berbagai

faktor diantaranya adalah aktivitas. Saat aktivitas meningkat maka kebutuhan oksigen

akan meningkat sehingga kerja sistem respirasi juga meningkat. Mekanisme adaptasi

sistem respirasi terhadap perubahan kebutuhan oksigen tubuh sangat penting untuk 

menjaga homeostastis dengan mekanisme sebagai berikut :

Sistem respirasi diatur oleh pusat pernafasan pada otak yaitu medula oblongata. Pusat

nafas terdiri dari daerah berirama medulla (medulla rithmicity) dan pons. Daerah

 berirama medula terdiri dari area inspirasi dan ekspirasi. Sedangkan pons terdiri dari

 pneumotaxic area dan apneustic area. Pneumotaxic area menginhibisi sirkuit inspirasi

dan meningkatkan irama respirasi. Sedangkan apneustic area mengeksitasi sirkuit

inspirasi.

Daerah berirama medula mempertahankan irama nafas I : E = 2” : 3”. Stimulasi

neuron inspirasi menyebabkan osilasi pada sirkuit inspirasi selama 2” dan inhibisi

 pada neuron ekspirasi kemudian terjadi kelelahan sehingga berhenti. Setelah inhibisi

hilang kemudian sirkuit ekspirasi berosilasi selama 3” dan terjadi inhibisi pada sirkuit

56

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 57/88

inspirasi. Setelah itu terjadi kelelahan dan berhenti dan terus menerus terjadi sehingga

tercipta pernafasan yang ritmis.

Pengaturan respirasi dipengaruhi oleh :

1. Korteks serebri yang dapat mempengaruhi pola respirasi.

2. Zat-zat kimiawi : dalam tubuh terdapat kemoresptor yang sensitif terhadap

 perubahan konsentrasi O2, CO2 dan H+ di aorta, arkus aorta dan arteri karotis.

3. Gerakan : perubahan gerakan diterima oleh proprioseptor.

4. Refleks Heuring Breur : menjaga pengembangan dan pengempisan paru agar 

optimal.

5. Faktor lain : tekanan darah, emosi, suhu, nyeri, aktivitas spinkter ani dan iritasi

saluran nafas.

C. HISTOLOGI SISTEM RESPIRASI

Sistem pernapasan merupakan sistem yang berfungsi untuk mengabsorbsi oksigen

dan mengeluarkan karbondioksida dalam tubuh yang bertujuan untuk 

mempertahankan homeostasis. Fungsi ini disebut sebagai respirasi. Sistem

57

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 58/88

 pernapasan dimulai dari rongga hidung/mulut hingga ke alveolus, di mana pada

alveolus terjadi pertukaran oksigen dan karbondioksida dengan pembuluh darah.

Sistem pernapasan biasanya dibagi menjadi 2 daerah utama:

1. Bagian konduksi, meliputi rongga hidung, nasofaring, laring, trakea, bronkus,

 bronkiolus dan bronkiolus terminalis

2. Bagian respirasi, meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan

alveolus.

Saluran pernapasan, secara umum dibagi menjadi pars konduksi dan pars respirasi

Sebagian besar bagian konduksi dilapisi epitel respirasi, yaitu epitel bertingkat

silindris bersilia dengan sel goblet. Dengan menggunakan mikroskop elektron dapat

dilihat ada 5 macam sel epitel respirasi yaitu sel silindris bersilia, sel goblet mukosa,

sel sikat (brush cells), sel basal, dan sel granul kecil.

58

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 59/88

epitel respiratorik, berupa epitel bertingkat silindris bersilia dengan sel goblet 

Rongga hidung

Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada vestibulum di sekitar 

nares terdapat kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu hidung). Epitel di dalam vestibulum

merupakan epitel respirasi sebelum memasuki fosa nasalis. Pada fosa nasalis (cavum

nasi) yang dibagi dua oleh septum nasi pada garis medial, terdapat konka (superior,

media, inferior) pada masing-masing dinding lateralnya. Konka media dan inferior 

ditutupi oleh epitel respirasi, sedangkan konka superior ditutupi oleh epitel

olfaktorius yang khusus untuk fungsi menghidu/membaui. Epitel olfaktorius tersebut

terdiri atas sel penyokong/sel sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar dengan

dendrit yang melebar di permukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai

reseptor dan memiliki akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak), sel

basal (berbentuk piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria. Kelenjar 

Bowman menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga

memudahkan akses neuron untuk membaui zat-zat. Adanya vibrisa, konka dan

vaskularisasi yang khas pada rongga hidung membuat setiap udara yang masuk 

mengalami pembersihan, pelembapan dan penghangatan sebelum masuk lebih jauh.

59

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 60/88

epitel olfaktori, khas pada konka superior 

Sinus paranasalis

Terdiri atas sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus ethmoidales dan sinus sphenoid,

semuanya berhubungan langsung dengan rongga hidung. Sinus-sinus tersebut dilapisi

oleh epitel respirasi yang lebih tipis dan mengandung sel goblet yang lebih sedikit

serta lamina propria yang mengandung sedikit kelenjar kecil penghasil mukus yang

menyatu dengan periosteum. Aktivitas silia mendorong mukus ke rongga hidung.

Faring

 Nasofaring dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian yang berkontak dengan palatum

mole, sedangkan orofaring dilapisi epitel tipe skuamosa/gepeng.

Laring

Laring merupakan bagian yang menghubungkan faring dengan trakea. Pada lamina

propria laring terdapat tulang rawan hialin dan elastin yang berfungsi sebagai

katup yang mencegah masuknya makanan dan sebagai alat penghasil suara pada

fungsi fonasi. Epiglotis merupakan juluran dari tepian laring, meluas ke faring dan

memiliki permukaan lingual dan laringeal. Bagian lingual dan apikal epiglotis

ditutupi oleh epitel gepeng berlapis, sedangkan permukaan laringeal ditutupi oleh

60

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 61/88

epitel respirasi bertingkat bersilindris bersilia. Di bawah epitel terdapat kelenjar 

campuran mukosa dan serosa.

Di bawah epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang meluas ke dalam lumenlaring: pasangan lipatan atas membentuk pita suara palsu (plika vestibularis) yang

terdiri dari epitel respirasi dan kelenjar serosa, serta di lipatan bawah membentuk pita

suara sejati yang terdiri dari epitel berlapis gepeng, ligamentum vokalis (serat

elastin) dan muskulus vokalis (otot rangka). Otot muskulus vokalis akan membantu

terbentuknya suara dengan frekuensi yang berbeda-beda.

epitel epiglotis, pada pars lingual berupa epitel gepeng berlapis dan para pars laringeal 

berupa epitel respiratori

Trakea

Permukaan trakea dilapisi oleh epitel respirasi. Terdapat kelenjar serosa pada

lamina propria dan tulang rawan hialin berbentuk C (tapal kuda), yang mana

ujung bebasnya berada di bagian posterior trakea. Cairan mukosa yang dihasilkan

oleh sel goblet dan sel kelenjar membentuk lapisan yang memungkinkan pergerakan

silia untuk mendorong partikel asing. Sedangkan tulang rawan hialin berfungsi untuk 

menjaga lumen trakea tetap terbuka. Pada ujung terbuka (ujung bebas) tulang rawan

hialin yang berbentuk tapal kuda tersebut terdapat ligamentum fibroelastis dan

berkas otot polos yang memungkinkan pengaturan lumen dan mencegah distensi

 berlebihan.

61

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 62/88

 

epitel trakea dipotong memanjang  epitel trakea, khas berupa adanya tulang rawan

hialin yang berbentuk tapal kuda ("c-shaped")

Bronkus

Mukosa bronkus secara struktural mirip dengan mukosa trakea, dengan lamina

 propria yang mengandung kelenjar serosa , serat elastin, limfosit dan sel otot

polos. Tulang rawan pada bronkus lebih tidak teratur dibandingkan pada trakea;

 pada bagian bronkus yang lebih besar, cincin tulang rawan mengelilingi seluruh

lumen, dan sejalan dengan mengecilnya garis tengah bronkus, cincin tulang rawan

digantikan oleh pulau-pulau tulang rawan hialin.

62

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 63/88

epitel bronkus

Bronkiolus

Bronkiolus tidak memiliki tulang rawan dan kelenjar pada mukosanya . Lamina

 propria mengandung otot polos dan serat elastin. Pada segmen awal hanya terdapat

sebaran sel goblet dalam epitel. Pada bronkiolus yang lebih besar, epitelnya adalah

epitel bertingkat silindris bersilia, yang makin memendek dan makin sederhana

sampai menjadi epitel selapis silindris bersilia atau selapis kuboid pada

bronkiolus terminalis yang lebih kecil. Terdapat sel Clara pada epitel bronkiolus

terminalis, yaitu sel tidak bersilia yang memiliki granul sekretori dan mensekresikan

 protein yang bersifat protektif. Terdapat juga badan neuroepitel yang kemungkinan

 berfungsi sebagai kemoreseptor.

63

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 64/88

epitel bronkiolus terminalis, tidak ditemukan adanya tulang rawan dan kelenjar campur 

 pada lamina propria

Bronkiolus respiratorius

Mukosa bronkiolus respiratorius secara struktural identik dengan mukosa

bronkiolus terminalis, kecuali dindingnya yang diselingi dengan banyak alveolus.

Bagian bronkiolus respiratorius dilapisi oleh epitel kuboid bersilia dan sel Clara,

tetapi pada tepi muara alveolus, epitel bronkiolus menyatu dengan sel alveolus tipe 1.

Semakin ke distal alveolusnya semakin bertambah banyak dan silia semakin

 jarang/tidak dijumpai. Terdapat otot polos dan jaringan ikat elastis di bawah

epitel bronkiolus respiratorius.

Duktus alveolaris

Semakin ke distal dari bronkiolus respiratorius maka semakin banyak terdapat muara

alveolus, hingga seluruhnya berupa muara alveolus yang disebut sebagai duktus

alveolaris. Terdapat anyaman sel otot polos pada lamina proprianya, yang semakin

sedikit pada segmen distal duktus alveolaris dan digantikan oleh serat elastin dan

kolagen. Duktus alveolaris bermuara ke atrium yang berhubungan dengan sakus

alveolaris. Adanya serat elastin dan retikulin yang mengelilingi muara atrium,

sakus alveolaris dan alveoli memungkinkan alveolus mengembang sewaktu inspirasi,

64

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 65/88

 berkontraksi secara pasif pada waktu ekspirasi secara normal, mencegah terjadinya

 pengembangan secara berlebihan dan pengrusakan pada kapiler-kapiler halus dan

septa alveolar yang tipis.

bronkiolus terminalis, bronkiolus respiratorik, duktus alveolaris dan alveoli

Alveolus

Alveolus merupakan struktur berongga tempat pertukaran gas oksigen dan

karbondioksida antara udara dan darah. Septum interalveolar memisahkan dua

alveolus yang berdekatan, septum tersebut terdiri atas 2 lapis epitel gepeng tipis

dengan kapiler, fibroblas, serat elastin, retikulin, matriks dan sel jaringan ikat.

Terdapat sel alveolus tipe 1 yang melapisi 97% permukaan alveolus, fungsinya untuk 

membentuk sawar dengan ketebalan yang dapat dilalui gas dengan mudah.

Sitoplasmanya mengandung banyak vesikel pinositotik yang berperan dalam

 penggantian surfaktan (yang dihasilkan oleh sel alveolus tipe 2) dan pembuangan

 partikel kontaminan kecil. Antara sel alveolus tipe 1 dihubungkan oleh desmosom

dan taut kedap yang mencegah perembesan cairan dari jaringan ke ruang udara.

Sel alveolus tipe 2 tersebar di antara sel alveolus tipe 1, keduanya saling melekat

melalui taut kedap dan desmosom. Sel tipe 2 tersebut berada di atas membran basal,

 berbentuk kuboid dan dapat bermitosis untuk mengganti dirinya sendiri dan sel tipe 1.

Sel tipe 2 ini memiliki ciri mengandung badan lamela yang berfungsi menghasilkan

surfaktan paru yang menurunkan tegangan alveolus paru.

65

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 66/88

Septum interalveolar mengandung pori-pori yang menghubungkan alveoli yang

 bersebelahan, fungsinya untuk menyeimbangkan tekanan udara dalam alveoli dan

memudahkan sirkulasi kolateral udara bila sebuah bronkiolus tersumbat.

alveolus

Sawar darah udara dibentuk dari lapisan permukaan dan sitoplasma sel alveolus,

lamina basalis, dan sitoplasma sel endothel.

 sawar udara-kapiler 

2. Pneumonia Pada Anak 

A. Definisi Pneumonia

66

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 67/88

Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli).

Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan terjadinya proses

infeksi akut pada bronkus yang disebut bronchopneumonia.Gejala penyakit

 pneumonia ini berupa nafas cepat dan nafas sesak, karena paru meradang secara

mendadak. Batas nafas cepat adalah frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali per menit

atau lebih pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1 tahun, dan 40 kali per menit

atau lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun.

B. Definisi ISPA

ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut yang nama

istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris  Acute Respiratory Infections

( ARI ). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut,

dengan pengertian sebagai berikut:

• Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia

dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

• Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta

organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA

secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan

 bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran

 pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran

 pernafasan.

• Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14

hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit

yang dapat digolongkan dalam ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14

hari.

Secara anatomis ISPA digolongkan kedalam dua golongan yaitu Infeksi Saluran

Pernafasan atas Akut (ISPaA) dan Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA).

Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut adalah infeksi akut yang menyerang saluran

67

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 68/88

 pernafasan atas yaitu batuk, pilek, sinusitis, otitis media (infeksi pada telinga tengah),

dan faringitis (infeksi pada tenggorokan). Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut biasa

disebut ISPA ringan atau bukan pneumonia.

Sedangkan Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut adalah infeksi yang

menyerang saluran pernafasan bawah yang biasa dalam bentuk pneumonia. ISPbA

dibagi dalam tiga kelompok yaitu Pneumonia sangat berat, Pneumonia berat, dan

Pneumonia.

1. Pneumonia sangat berat : kesulitan bernafas dengan  stridor  (ngorok), kejang,

adanya nafas cepat dan penarikan dinding dada ke dalam, anak mengalami mengi,

dan sulit menelan makanan atau minuman.

2. Pneumonia berat : kesulitan bernafas tanpa stridor (ngorok), ada penarikan dinding

dada ke dalam, nafas cepat, mengi, dapat menelan makanan atau minuman.

3. Pneumonia : nafas cepat tanpa penarikan dinding dada ke dalam dan dalam

keadaan mengi (mengeluarkan bunyi saat menarik nafas).

C. Epidemilologi Pneumonia

Distribusi Pneumonia

a. Distribusi Pneumonia Berdasarkan Orang ( Person)

Data SKRT tahun 1995 menunjukkan bahwa 20,9% kematian bayi disebabkan

oleh pneumonia dan merupakan penyebab kematian nomor dua pada bayi. Sedangkan

 pada anak balita 21,9% kematiannya disebabkan oleh pneumonia dan merupakan

 penyebab kematian nomor satu dari semua penyebab kematian pada anak balita.

Hasil SDKI tahun 1997 menyebutkan bahwa prevalensi pneumonia menurut

 jenis kelamin lebih tinggi terjadi pada anak laki-laki 9,4%, sedangkan pada anak 

 perempuan 8,5%.

Hasil SDKI pada tahun 2001 menunjukkan bahwa prevalensi pneumonia

 paling tinggi terjadi pada anak usia 1-4 tahun yaitu 33,76% dan prevalensi pada anak 

68

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 69/88

usia < 1 tahun yaitu sebesar 31%. Menurut WHO tahun 2005 proporsi kematian balita

dan bayi karena pneumonia di dunia adalah sebesar 19% dan 26%.

b. Distribusi Pneumonia Berdasarkan Tempat ( Place)

Angka kematian balita tahun 1995 di Indonesia masih tinggi mencapai 31%

dari seluruh kematian penduduk Indonesia, dengan perincian 22,4% di Jawa dan Bali

dan 43,5% sampai 55,1% di kawasan Timur Indonesia.

Menurut SKRT tahun 1995 di daerah Jawa dan Bali angka kematian akibat

sistem pernafasan sebesar 32,1% pada bayi dan 38,8% pada balita. Sedangkan di luar 

Jawa dan Bali kematian akibat sistem pernafasan sebesar 28% pada bayi dan 33,3%

 pada balita.

Data SDKI tahun1997 di daerah Jawa dan Bali angka prevalensu pneumonia

 pada balita sebesar 8 per 100 balita. Sedangkan di luar Jawa dan Bali prevalensi

 pneumonia pada balita sebesar 10 per 100 balita.

Hasil SDKI pada tahun 1997 menunjukkan bahwa prevalensi pneumonia di

daerah perkotaan dan daerah pedesaan sedikit mengalami penurunan yaitu daerah

 perkotaan sebesar 8 per 100 balita dan daerah pedesaan sebesar 9 per 100 balita.

 Namun pada hasil SDKI pada tahun 2001 menunjukkan bahwa prevalensi

 pneumonia di daerah pedesaan sedikit mengalami kenaikan yaitu sebesar 11 per 100

 balita dan di daerah perkotaan sebesar 8 per 100 balita.

c. Distribusi Pneumonia Berdasarkan Waktu (Time)

Dari data SDKI tahun 1991, 1994, dan 1997 dapat diketahui bahwa prevalensi

 pneumonia pada balita telah mengalami sedikit penurunan yaitu dengan prevalensi

10% pada tahun 1991, 10% untuk tahun 1994, dan 9% untuk tahun 1997.

Determinan Pneumonia

a. Faktor Host

1. Umur

69

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 70/88

Tingginya kejadian pneumonia terutama menyerang kelompok usia bayi dan

 balita.  Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko kematian pada balita yang

sedang menderita pneumonia. Semakin tua usia balita yang sedang menderita

 pneumonia maka akan semakin kecil risiko meninggal akibat pneumonia

dibandingkan balita yang berusia muda.

2. Jenis Kelamin

Menurut Pedoman Program Pemberantasan Penyakit ISPA untuk 

Penanggulangan Pneumonia pada Balita (2002), anak laki-laki memiliki risiko lebih

 besar untuk terkena ISPA dibandingkan dengan anak perempuan.

3. Status Gizi

Kelompok umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit kekurangan gizi

adalah kelompok bayi dan anak balita.   Penyebab langsung timbulnya gizi kurang

 pada anak adalah makanan tidak seimbang dan penyakit infeksi. Kedua penyebab

tersebut saling berpengaruh.

Timbulnya Kekurangan Energi Protein (KEP) tidak hanya karena kurang

makan tetapi juga karena penyakit, terutama diare dan ISPA. Anak yang tidak 

memperoleh makanan cukup dan seimbang, daya tahan tubuhnya (imunitas) dapatmelemah. Dalam keadaan demikian, anak mudah diserang penyakit infeksi.

Salah satu factor yang mempengaruhi timbulnya penyakit pneumonia pada

anak antara lain adanya kekurangan energi protein. Anak dengan daya tahan tubuh

yang terganggu akan menderita pneumonia berulang-ulang atau tidak mampu

mengatasi penyakit pneumonia dengan sempurna.

Status gizi pada balita berdasarkan hasil pengukuran anthropometri dengan

melihat kriteria yaitu: Berat Badan per Umur (BB/U), Tinggi Badan per Umur (TB/U), Berat Badan per Tinggi Badan (BB/TB).

4. Status Imunisasi

70

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 71/88

Imunisasi merupakan salah satu cara menurunkan angka kesakitan dan angka

kematian pada bayi dan anak. Dari seluruh kematian balita, sekitar 38% dapat

dicegah dengan pemberian imunisasi secara efektif.  Imunisasi yang tidak lengkap

merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan insidens ISPA terutama

 pneumonia.

Penyakit pneumonia lebih mudah menyerang anak yang belum mendapat

imunisasi campak dan DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) oleh karena itu untuk 

menekan tingginya angka kematian karena pneumonia, dapat dilakukan dengan

memberikan imunisasi seperti imunisasi DPT dan campak.

Imunisasi yang dianjurkan sesuai dengan pemberian imunisasi nasional yaitu

BCG (pada usia 0-11 bulan), DPT I-III (pada usia 2-11 bulan), Polio I-IV (pada usia

2-11 bulan), Hepatitis B I-III (pada usia 0-9 bulan), dan Campak (pada usia 9-11

 bulan).

b. Faktor Agent

Pneumonia umumnya disebabkan oleh bakteri seperti Streptococcus

 pneumoniae, Hemophilus influenzae dan Staphylococcus aureus. Penyebab

 pneumonia lainnya adalah virus golongan Metamyxovirus, Adenovirus, Coronavirus,

 Picornavirus, Othomyxovirus, dan Herpesvirus.

c. Faktor Lingkungan Sosial

1. Pekerjaan Orang Tua

Penghasilan keluarga adalah pendapatan keluarga dari hasil pekerjaan utama

maupun tambahan. Tingkat penghasilan yang rendah menyebabkan orang tua sulit

menyediakan fasilitas perumahan yang baik, perawatan kesehatan dan gizi anak yang

memadai. Rendahnya kualitas gizi anak menyebabkan daya tahan tubuh berkurangdan mudah terkena penyakit infeksi termasuk penyakit pneumonia.

2. Pendidikan Ibu

71

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 72/88

Tingkat pendidikan ibu yang rendah juga merupakan faktor risiko yang dapat

meningkatkan angka kematian ISPA terutama Pneumonia. Tingkat pendidikan ibu

akan berpengaruh terhadap tindakan perawatan oleh ibu kepada anak-yang menderita

ISPA. Jika pengetahuan ibu untuk mengatasi pneumonia tidak tepat ketika bayi atau

 balita menderita pneumonia, akan mempunyai risiko meninggal karena pneumonia

sebesar 4,9 kali jika dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan yang

tepat.

d. Faktor Lingkungan Fisik 

1. Polusi udara dalam ruangan/rumah

Rumah atau tempat tinggal yang buruk (kurang baik) dapat mendukung

terjadinya penularan penyakit dan gangguan kesehatan, diantaranya adalah infeksi

saluran nafas.  Rumah kecil yang penuh asap, baik yang berasal dari kompor gas,

 pemakaian kayu sebagai bahan bakar maupun dari asap kendaraan bermotor, dan

tidak memiliki sirkulasi udara yang memadai akan mendukung penyebaran virus atau

 bakteri yang mengakibatkan penyakit infeksi saluran pernafasan yang berat.

Insiden pneumonia pada anak kelompok umur kurang dari lima tahun

mempunyai hubungan bermakna dengan kedua orang tuanya yang mempunyai

kebiasaan merokok. Anak dari perokok aktif yang merokok dalam rumah akan

menderita sakit infeksi pernafasan lebih sering dibandingkan dengan anak dari

keluarga bukan perokok.

2. Kepadatan Hunian

Di daerah perkotaan, kepadatan merupakan salah satu masalah yang dialami

 penduduk kota. Hal ini disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan penduduk kota dan

mahalnya harga tanah di perkotaan. Salah satu kaitan kepadatan hunian dan kesehatan

adalah karena rumah yang sempit dan banyak penghuninya, maka penghuni mudah

terserang penyakit dan orang yang sakit dapat menularkan penyakit pada anggota

keluarga lainnya.

72

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 73/88

Perumahan yang sempit dan padat akan menyebabkan anak sering terinfeksi

oleh kuman yang berasal dari tempat kotor dan akhirnya terkena berbagai penyakit

menular.

D. Klasifikasi Pneumonia

a. Klasifikasi Pneumonia untuk golongan umur < 2 bulan

i. Pneumonia berat, adanya nafas cepat yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 

60 kali per menit atau lebih.

ii. Bukan Pneumonia, batuk pilek biasa.

b. Klasifikasi Pneumonia untuk golongan umur 2 bulan – < 5 tahun

i. Pneumonia berat, adanya nafas sesak atau tarikan dinding dada bagian

 bawah.

ii. Pneumonia, bila disertai nafas cepat, usia 2 bulan – <1 tahun 50 kali per 

menit, untuk usia 1 tahun - <5 tahun 40 kali per menit.

iii. Bukan pneumonia, batuk pilek biasa tidak ada tarikan dinding dada bagian

 bawah ke dalam dan tidak ada nafas cepat.

E. Patofisiologi Pneumonia

Paru memiliki beberapa mekanisme pertahanan yang efektif yang diperlukan

karena sistem respiratori selalu terpajan dengan udara lingkungan yang seringkali

terpolusi serta mengandung iritan, patogen, dan alergen. Sistem pertahanan organ

respiratorik terdiri dari tiga unsur, yaitu refleks batuk yang bergantung pada integritas

saluran respiratori, otot-otot pernapasan, dan pusat kontrol pernapasan di sistem

saraf pusat. Pneumonia terjadi jika mekanisme pertahanan paru mengalami gangguan

sehingga kuman patogen dapat mencapai saluran napas bagian bawah. Agen-agenmikroba yang menyebabkan pneumonia memiliki tiga bentuk transmisi primer: (1)

aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi

 padaorofaring, (2) infeksi aerosol yang infeksius, dan (3) penyebaran hematogen

dari bagian ekstrapulmonal. Aspirasi dan inhalasi agen-agen infeksius adalah dua cara

73

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 74/88

tersering yang menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran secara hematogen

lebih jarang terjadi. Setelah mencapai alveoli, maka mikroorganisme patogen akan

menimbulkan respon khas yang terdiri dari empat tahap berurutan:

1. Stadium Kongesti (4±12 jam pertama) : kapiler melebar dan kongesti serta di

dalam alveolus terdapat eksudat jernih , bakteri dalam jumlah banyak,

 beberapa neutrofil dan makrofag. Eksudat serosa masuk ke dalam alveoli

melalui pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor.

2. Stadium Hepatisasi merah (48jam berikutnya) : lobus dan lobulus yang

terkena menjadi padat dan tidak menggandung udara, warna mernjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar. Paru tampak merah dan bergranula karena

sel-sel darah merah, fibrin, dan leukosit PMN mengisi alveoli. Stadium ini

 berlangsung sangat pendek.

3. Stadium Hepatisasi kelabu (3 sampai 8 hari) : lobus masih tetap padat dan

warna merah menjadi kelabu karena leukosit dan fibrin mengalami

konsolidasi di dalam alveoli yang terserang. Kapiler tidak lagi kongesif.

4. Stadium Resolusi (7 sampai 11 hari) : eksudat berkurang. Dalam alveolus

makrofag bertambah dan leukosit mengalami nekrosis dan degenerasi lemak.

Fibrin direabsorbsi dan menghilang. Jaringan kembali pada strukturnya

semula.

Secara patologi anatomis bronkopneumonia berbeda dari pneumonia lobaris

dalam hal lokalisasi sebagai bercak-bercak dengan distribusi yang tidak teratur.

Dengan pengobatan antibiotika urutan stadium khas ini tidak terlihat

F. Diagnosa Pneumonia

Dalam pelaksanaan program P2 ISPA, penentuan klasifikasi pneumonia beratdan pneumonia adalah sekaligus merupakan penegakan diagnosis, sedangkan

 penentuan klasifikasi bukan pneumonia tidak dianggap sebagai penegakan diagnosis.

Jika keadaan penyakit seorang balita termasuk dalam klasifikasi bukan pneumonia

74

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 75/88

maka diagnosis penyakitnya kemungkinan adalah batuk pilek biasa,  faringitis,

tonsillitis, otitis atau penyakit ISPA non-pneumonia lainnya.

a. Pemeriksaan Fisik 

Dalam pola tatalaksana penderita pneumonia yang digunakan oleh program P2

ISPA, diagnosis pneumonia pada balita didasarkan pada adanya batuk atau

kesukaran bernafas disertai peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) sesuai

umur. Adanya nafas cepat ini ditentukan dengan cara menghitung frekuensi

 pernafasan. Batas nafas cepat adalah frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali per 

menit atau lebih pada anak usia 2 bulan - <1 tahun dan 40 kali per menit atau

lebih pada anak usia 1- <5 tahun. Diagnosis pneumonia berat didasarkan pada

adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai nafas sesak atau penarikan dinding

dada sebelah bawah ke dalam pada anak usia 2 bulan - <5 tahun. Untuk kelompok 

umur < 2 bulan diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat,

yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit, atau adanya penarikan

yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam.

b. Laboratorium

Pemeriksaan kultur darah seringkali positif terutama pada pneumonia

 pneumococcus dan merupakan cara yang lebih pasti untuk mengidentifikasi

organisme dibandingkan dengan kultur yang potensial terkontaminasi.

c. Radiologis

Gambaran radiologis pada foto toraks PA yang khas ialah terdapat konsolidasi

 pada lobus, lobulus atau segmen dari satu atau lebih lobus paru. Terlihat  patchy

infiltrate  para parenkim paru dengan gambaran infiltrasi kasar pada beberapa

tempat di paru sehingga menyerupai bronchopneumonia. Pada foto toraks

mungkin disertai gambaran yang menunjukkan ada cairan di pleura atau fisura

interlober.

Pneumonia biasanya menyebabkan suatu daerah perselubungan yang berbatas

tegas yang di dalamnya terdapat daerah yang masih terisi udara dan/atau bronchi

75

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 76/88

yang berisi udara (air bronchogram). Biasanya pneumonia menyebabkan adanya

opasitas yang tidak jelas dan tersebar pada beberapa bagian paru.

Hilangnya sebagian volume pada lobus yang sakit (seperti yang ditunjukkan oleh

letak fisura, diafragma dan hilus) dan adanya air-bronchogram merupakan

 petunjuk adanya obstruksi bronkhus proksimal dari konsolidasi (oleh tumor atau

 benda asing).

G. Lama Rawatan

Penentuan lama rawatan pada pasien rawat inap, termasuk bagi penderita

 pneumonia sangat bervariasi. Hal ini tergantung dari jenis penyakit, tindakan medis

rumah sakit dan sebagainya.

Menurut penelitian Ester (2004) di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan

tahun 2002-2003 lama rawatan penderita penderita pneumonia pada bayi yang

dirawat inap adalah ≤ 12 hari sebesar 95,7% dan > 12 hari sebesar 4,3%.Menurut

 penelitian Hasibuan (2006) di Rumah Sakit Umum Daerah Sipirok Kabupaten

Tapanuli Selatan Tahun 2001-2005 lama rawatan rata-rata penderita pneumonia pada

 balita adalah 7,27 hari.

H. Pencegahan Pneumonia

Pencegahan Primer

Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap

kejadian pneumonia. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:

a. Memberikan imunisasi campak pada usia 9 bulan dan imunisasi DPT (Diphteri,

Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada usia 2, 3, dan 4 bulan.

 b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberikan ASI pada bayi

neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita.Di

samping itu, zat-zat gizi yang dikonsumsi bayi dan anak-anak juga perlu

mendapat perhatian.

76

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 77/88

c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi di

luar ruangan.

d. Mengurangi kepadatan hunian rumah.

Pencegahan Sekunder

Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah

orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit, menghindari

komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi

diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya

 penyakit dan terjadinya komplikasi. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:

a. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik  parenteral dan penambahan oksigen.

 b. Pneumonia : diberikan antibiotik kotrimoksasol oral, ampisilin atau amoksilin.

c. Bukan pneumonia : perawatan di rumah saja. Tidak diberikan terapi antibiotik.

Bila demam tinggi diberikan parasetamol. Bersihkan hidung pada anak yang

mengalami pilek dengan menggunakan lintingan kapas yang diolesi air garam.

Jika anak mengalami nyeri tenggorokan, beri penisilin dan dipantau selama 10

hari ke depan.

Pencegahan Tertier

Tujuan utama dari pencegahan tertier adalah mencegah agar tidak munculnya

 penyakit lain atau kondisi lain yang akan memperburuk kondisi balita, mengurangi

kematian serta usaha rehabilitasinya. Pada pencegahan tingkat ini dilakukan upaya

untuk mencegah proses penyakit lebih lanjut seperti perawatan dan pengobatan.

Upaya yang dilakukan dapat berupa:

a. Melakukan perawatan yang ekstra pada balita di rumah, beri antibiotik selama

5 hari, anjurkan ibu untuk tetap kontrol bila keadaan anak memburuk.

 b. Bila anak bertambah parah, maka segera bawa ke sarana kesehatan terdekat

agar penyakit tidak bertambah berat dan tidak menimbulkan kematian.

77

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 78/88

3. Bronkopneumonia Pada Anak Dan Sistem Imunitas

PENDAHULUAN

Bronchopneumonia merupakan salah satu penyakit gangguan pernafasan yang

 parah dan umum ditemukan pada bayi dan anak – anak. Seperti kebanyakan penyakit

 paru – paru lainnya, bronchopneumonia juga akan menyebabkan perubahan pada

cabang – cabang trakeobronkial dan juga alveoli akibat proses inflamasi; hal ini akan

mengakibatkan terjadinya kolaps pada alveoli, penimbunan sekret serta distribusi

ventilasi yang tidak merata, sehingga akan terbentuk shunt intrapulmoner. Shunt ini

akan menyebabkan terjadinya hipoksemia pada arteri, sehingga sebagai

kompensasinya maka sistem ventilasi akan bekerja lebih giat lagi untuk menurunkan

tekanan CO2 pada arteri. Saat oksigen tidak tersedia lagi di jaringan, maka

metabolisme akan tetap berlanjut melalui jalur metabolik lain yang dikenal dengan

 jalur anaerobik. Produk metabolisme melalui jalur ini adalah asam laktat, yang

kemudian akan memasuki vena sehingga menyebabkan pH menjadi bertambah asam,

dan terjadilah asidosis laktat.

Bronchopneumonia juga tetap merupakan penyebab tingginya angka

mortalitas dan morbiditas anak, terutama pada negara – negara yang sedang

 berkembang termasuk Indonesia. Sampai tahun 1972, infeksi saluran pernafasan akut

menunjukan morbiditas utama pada pasien rawat jalan di Bagian Kesehatan Anak,

Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Tes identifikasi dan sensintifitas bakteri

sangat sulit dilakukan pada pasien anak – anak. Sementara torakosentesis dan pungsi

 paru yang dilakukan sebagai prosedur diagnostik dalam mendiagnosis

 bronchopneumonia pada anak – anak sering kali membahayakan dan sulit dilakukan.

Selain itu kultur usap tenggorok yang biasanya dilakukan untuk mengetahui adanya

infeksi pada saluran nafas atas, agaknya kurang mengena bila dilakukan pada

kejadian infeksi pada saluran pernafasan bawah.

78

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 79/88

EPIDEMIOLOGI

Kesulitan – kesulitan tersebut menyebabkan angka mortalitas anak – anak 

dengan bronchopneumonia di Indonesia tetap tinggi. Angka mortalitas

 bronchopneumonia secara keseluruhan mencapai 7 – 28,6 % ( Sutedjo et al., 1961;

Hanafiah et al., 1968 ; Nugroho et al., 1971 ; Soemantri et al., 1970 ), sementara pada

 bayi mencapai 36,1 % ( Nugroho et al., 1971 ; Mimica et al., 1971 ; Lydia, 1968 ).3

Pada Bagian Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Jakarta, tercatat 922 pasien dari kelompok umur 0 – 14 tahun menderita penyakit

 brochopulmoner pada tahun 1974. Selanjutnya pada tahun 1975 tercatat 812 pasien

dan 936 pasien pada tahun 1976, dengan rata – rata mortalitas 25 %, 28 % dan 26 % (

Rahmat Sadeli et al., 1978 ).Di luar negeri, Simpson dan Flenley ( 1976 ) mencatat bahwa diantara 1100

anak dibawah usia 3 tahun yang dirawat di Royal Hospital, Edinburg, antara tahun

1960 sampai tahun 1966 dengan infeksi saluran pernafasan bawah akut, terdapat

angka mortalitas sebanyak 4,6 %.

DEFINISI

Bronchopneumonia atau pneumonia lobularis merupakan bagian dari

 pneumonia, yang merupakan suatu infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang

mengenai parenkim paru, yang dapat disebabkan baik oleh bakteri, virus, jamur 

maupun benda asing lainnya. Bronchopneumonia biasanya didahului oleh gejala – 

gejala peradangan saluran nafas bagian atas seperti batu pilek selama beberapa hari

yang kemudian diikuti dengan kenaikan suhu yang tiba – tiba. Batuk yang terjadi

mula – mula bersifat kering, lama kelamaan batuk menjadi produktif. Hal tersebut

umumnya membuat anak menjadi gelisah, dispneu, pernafasan menjadi lebih cepat

dan dangkal disertai dengan pernafasan cuping hidung. Bila hal ini terus berlanjut

maka akan terdapat sianosis disekitar mulut dan hidung.Sebenarnya saluran pernafasan bagian bawah mempunyai mekanisme daya

tahan tersendiri yang sangat efisien untuk mencegah infeksi. Mekanisme daya tahan

tersebut antara lain :

1. Susunan anatomis rongga hidung.

79

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 80/88

2. Jaringan limfoit di naso – oro – faring.

3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel saluran pernafasan dan sekret

liat yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.

4. Refleks batuk.

5. Refleks epiglottis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.

6. Drainase sistem limfatik dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.

7. Fagositosis, aksi enzimatik dan respon imuno – humoral terutama dari imuno

globulin A ( Ig A ).

Anak dengan daya tahan yang terganggu akan dapat menderita pneumonia

 berulang sehingga anak tersebut tidak mampu mengatasi penyakit ini dengan

sempurna. Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya pneumonia ialah daya tahan badan yang menurun, misalnya akibat malnutrisi energi protein ( MEP ), penyakit

menahun, faktor iatrogenik seperti trauma pada paru, anesthesia, aspirasi serta

 pengobatan dengan antibiotik yang tidak sempurna.

ETIOLOGI

Pada umumnya pneumonia disebabkan oleh bakteri, yaitu Streptococcus

 pneumoniae dan Haemophillus influenzae. Pada bayi dan anak kecil dapat ditemukan

Staphylococcus aureus sebagai penyebab pneumonia yang berat, serius dan sangat

 progresif dengan mortalitas yang tinggi. Pada neonatus penyebab bronchopneumonia

tersering adalah Strptococcus grup B, batang gram negatif dan Chlamidia. Namun

selain bakteri, bronchopneumonia atau pneumonia lobaris yang paling sering

dijumpai pada anak usia kurang dari 2 tahun, biasanya juga disebabkan oleh virus,

antara lain adenovirus, virus parainfluenza virus influenza, dan enterovirus.

Penelitian mengenai etiologi bronchopneumonia pada anak yang dilakukan

 pungsi paru ( Nugroho et al., 1971 ), menemukan bahwa terdapat kumanstaphylococcus sebanyak 63,6 % dan diplococcus tidak ditemukan. Menurut suction

Auger ( Auger, 1939; Lydia, 1968 ) menunjukan terdapat infeksi staphylococcus 17

% dan diplococcus sebanyak 13 %. Sementara Crofton ( 1966 ) pada penelitiannya

menemukan infeksi staphylococcus sebanyak 1 % dan diplococcus 30,9 % sebagai

80

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 81/88

etiologi bronchopneumonia. Penelitian ini menunjukan bahwa infeksi staphylococcus

 pada bayi lebih tinggi ( 13 kasus atau 36,1 % ) dibandingkan dengan anak – anak 

yang berusia di atas 1 tahun ( 1 kasus atau 4,8 % ) seperti yang terlihat pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil tes sensitivitas dan kultur pada 57 anak penderita bronchopneumonia.

Anak usia < 1 tahun Anak usia > 1 tahun

Jumlah

kasus

% Gagal Jumlah

kasus

% Gagal

Streptococcus

anhemolyticus

14 38,9 3 8 38,1 2

Staphylococcus :- S. aureus

- S. albus

6

1

16,6 -

-

-

-

-

-

-

-Streptococcus +

Stahpylococcus

- 2,8 - - - -

S. anhemolyticus +

S. aureus

4 11,1 - - - -

S anhemolyticus +

S. albus

1 2,1 - 1 4,8 -

S. anhemolyticus +

S. pyogenes

1 2,8 1 - - -

Diplococcus pneumoniae - - - 2 9,5 -D. pneumoniae + S

anhemolyticus

3 8,3 1 1 4,8 -

Miscellaneous :

- B. alkaligenes

- B. lactoaurogens

- B. paracoli

1

1

-

2,8

2,8

-

1

1

-

1

2

1

4,8

9,5

4,8

-

-

- Negatif 4 11,1 - 5 23,7 -Total 36 100 7 21 100 2

Kebanyakan kasus yang diselidiki oleh Mimica et al ( 1971 ) dan Nugroho et

al ( 1971 ) merupakan tingkatan menengah dan parah dari keluarga sosial ekonomi

lemah.

81

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 82/88

KLASIFIKASI

Pembagian pneumonia sampai saat ini belum ada yang dapat memuaskan

semua pihak. Pada umumnya klasifikasi ditetapkan berdasarkan klasifikasi anatomi

dan etiologi. Pembagian berdasarkan anatomi adalah sebagai berikut :

1. Pneumonia lobaris

2. Pneumonia lobularis atau bronchopneumonia

3. Pneumonia interstitial atau bronkiolitis

Sementara pembagian berdasarkan etiologi dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini :

Tabel 2. Klasifikasi pneumonia pada anak menurut etiologi

Jenis MikroorganismeBakteri Pneumococcus, Streptococcus,

Staphylococcus, Haemophillus influenzae,

Pseudomonas aeruginosa.Virus atau kemungkinan virus Respiratory syncitial virus, adenovirus,

sitomegalovirus, virus influenzaPneumonitis interstitial dan

 bronkiolitis

Pneumocystis carinii pneumonia, Q fever,

Mycoplasma pneumoniae pneumonia,

Klamidia, dll

Infeksi lain :

- Jamur  

- Aspirasi

- Sindrom Loeffler 

- Pneumonia hipostatik 

- Pneumonia oleh obat / radiasi

- Pneumonia hipersensitivitas

Aspergilus,Koksidioidomikosis, Histoplasma

Cairan amnion, makanan, cairan lambung,

 benda asing

PATOGENESIS

Biasanya organisme penyebab bronchopneumonia masuk ke dalam paru – 

 paru dengan cara terinhalasi oleh pasien, kemudian organisme tersebut melalui

82

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 83/88

saluran nafas masuk ke paru – paru perifer. Pada saluran nafas, organisme penyebab

dapat mengakibatkan terjadinya reaksi jaringan yang berupa edema, hal ini akan

mempermudah terjadinya proliferasi dan penyebaran organisme penyebab.

Selanjutnya bagian paru – paru yang terkena akan mengalami konsolidasi, yaitu

terjadinya serbukan sel PMN ( polimorfonuklear ), fibrin, eritrosit, cairan edema, dan

kuman di alveoli.

Selanjutnya proses peradangan yang terjadi pada paru – paru mengikuti empat

stadium berikut ini:

1. Stadium kongesti dimana mulai terjadi pelebaran dan kongesti kapiler, serta

mulai terdapatnya eksudat jernih, bakteri dalm jumlah yang banyak, beberapa

neutrofil dan makrofag di dalam alveolus.2. Stadium hepatisasi merah dimana lobus dan lobulus yang terkena mengalami

konsolidasi, menjadi padat dan tidak mengandung udara, warnanya berubah

menjadi merah, dan pada perabaan menjadi seperti perabaan hepar. Selain itu

di dalam alveolus banyak di dapatkan fibrin, leukosit, neutrofil, eksudat dan

 banyak sekali eritrosit dan kuman, stadium ini berlangsung singkat.

3. Stadium hepatisasi kelabu dimana lobus paru masih tetap padat namun warna

merah berubah menjadi pucat kelabu, permukaan pleura menjadi suram

karena diliputi oleh fibrin, alveolus terisi fibrin dan leukosit, kapiler sudah

tidak lagi mengalami kongestif.

4. Stadium resolusi, merupakan stadium dimana eksudat mulai berkurang,

namun dalam alveolus makrofag bertambah, sementara leukosit mengalami

nekrosis dan degenerasi lemak, fibrin diabsorbsi dan menghilang.

Proses patologis tersebut selanjutnya akan menimbulkan gangguan pada

 pertukaran gas normal di dalam paru – paru. Perfusi ventilasi yang tidak sepadan

mengakibatkan terjadinya hipoksemia, yang terutama terjadi pada awal perjalanan penyakit. Retensi karbon dioksida ( yaitu hiperkapnea ) biasanya tidak terjadi kecuali

 pada penderita yang parah. Makin tinggi frekuensi pernafasan maka makin rendah

tekanan oksigen pada arteri. Hiperkapnea biasanya tidak terjadi sampai pernafasan

83

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 84/88

melebihi 60 kali permenit; selanjutnya proporsi hiperkapnea ini bertambah menjadi

takipneu.

MANIFESTASI KLINIS

Sebagian besar bayi yang terkena mempunyai riwayat terpajan pada anak 

yang lebih tua atau orang dewasa yang menderita penyakit pernapasan ringan pada

minggu sebelum mulainya penyakit. Bayi mula - mula menderita infeksi ringan pada

saluran pernapasan atas disertai dengan ingus yang serous dan bersin. Gejala – gejala

ini biasanya berakhir beberapa hari dan dapat disertai dengan penurunan nafsu makan

dan demam 38,5 –39 o C ( 101 –102 o F), walaupun demikian suhu dapat berkisar dari

subnormal sampai meningkat dengan jelas. Perkembangan kegawatan pernafasan

secara bertahap ditandai dengan batuk mengi paroksismal, dispneu, dan iritabilitas.Menyusu – ibu atau – botol dapat sangat sulit, karena frekuensi pernafasan yang cepat

tersebut tidak memberikan kesempatan untuk menghisap dan menelan. Pada kasus

ringan, gejala – gejala menghilang dalam 1 – 3 hari. Pada penderita yang terkena

lebih berat, gejala – gejala dapat berkembang dalm beberapa jam dan perjalanan

 penyakit berlarut – larut. Manifestasi sistemik lainnya, seperti muntah dan diare

 biasanya ada.

Suatu pemeriksaan mengungkapkan bahwa bayi takipneu sering dalam

keadaan sangat distress. Pernafasan berkisar dari 60 – 80 kali permenit; haus udara

 berat dan sianosis dapat terjadi. Cuping hidung melebar, dan penggunaan otot – otot

asesoris pernafasan menimbulkan retraksi interkostal dan subkostal yang dangkal.

Pada bronchopneumonia, hasil pemeriksaan fisis tergantung daripada luas

daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak ditemukan kelainan. Pada

auskultasi mungkin hanya terdengar ronkhi basah nyaring halus atau sedang. Bila

sarang bronchopneumonia menjadi satu ( konfluens ) mungkin pada perkusi akan

terdengar keredupan dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras. Padastadium resolusi, ronkhi terdengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya penyembuhan

dapat terjadi sesudah 2 – 3 minggu.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

 PEMERIKSAAN LABORATORIUM 

84

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 85/88

Umumnya pada pneumonia didapatkan leukositosis yaitu berkisar antara

15.000 – 40.000 / mm3 dengan pergeseran kekiri pada hitung jenis, yang di dominasi

oleh sel polimorfonuklear. Laju endap darah dapat meningkat sampai 100 mm / jam,

dan bila menetap maka harus dipertimbangkan adanya penyakit dasar seperti

myelomatosis atau penyakit kolagen. Kadang – kadang ditemukan anemia ringan atau

sedang, cairan pleura menunjukan eksudat dengan sel polimorfonuklear berkisar 

antara 300 – 100.000 / mm3, protein diatas 2,5 g / dL dan glukosa relatif lebih rendah

dari glukosa darah. Pada infeksi Streptococcus didapatkan titer anti streptolisin serum

meningkat, dan hal ini dapat menyokong diagnosis. Urin biasanya berwarna lebih tua,

mungkin karena ditemukan albuminuria ringan karena suhu yang naik dan sedikit

torak hialin.Pemeriksaan mikrobiologik spesimen dapat berasal dari usap tenggorok,

sekret nasofaring, bilasan bronkus atau sputum, darah, aspirasi trakea, cairan efusi

 pleura, dimana untuk mendapatkan bahan biakan tersebut dapat dengan pengisapan

lewat trakea, bronkoskopi, ataupun torakosentesis, semua tergantung indikasi.

 PEMERIKSAAN RADIOLOGI 

Dapat dibuat foto thorax posisi postero – anterior dan lateral untuk 

menentukan lokasi lobus yang terkena. Pada bronchopneumonia didapatkan

gambaran bercak – bercak infiltrat pada satu atau beberapa lobus. Dengan

 pemeriksaan radiologi juga dapat diketahui adanya komplikasi yang lebih lanjut.

DIAGNOSIS

Diagnosis pneumonia ditegakkan berdasarkan anamnesa riwayat penyakit,

 pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya terutama pemeriksaan darah,

 pemeriksaan radiologis, serta pemeriksaan cairan pleura dan mikrobiologi jika

memungkinkan. WHO mengembangkan pedoman klinik diagnosis dan tata laksana

 pneumonia pada anak yang meliputi penilaian demam, status nutrisi, letargi, sianosis,frekuensi nafas, dan observasi dinding dada untuk mendeteksi adanya retraksi serta

auskultasi untuk mendeteksi stridor ronkhi dan wheezing ( mengi ).

Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk tahun 1993 adalah

ditemukannya paling sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini:

85

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 86/88

1. Sesak nafas yang disertai pernafasan cuping hidung / retraksi epigastrik.

2. Ronkhi basah sedang nyaring pada bronchopneumonia atau suara pernafasan

 bronchial pada daerah yang dengan perkusi bernada tumpul atau dull ( pada

 pneumonia lobaris ).

3. Panas akut.

4. Pada foto thoraks tampak infiltrasi yang berupa bercak – bercak atau difus

merata pada 1 atau beberapa lobus.

5. Leukositosis.

DIAGNOSIS BANDING

Keadaan yang menyerupai pneumonia adalah bronkiolitis, gagal jantung,

aspirasi benda asing, atelektasis, abses paru dan tuberkulosis.PENATALAKSANAAN

Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi, tetapi

 berhubung hal tersebut tidak dapat selalu dikerjakan dan akan memakan waktu yang

lama, maka dalam praktek biasanya diberikan pengobatan dengan polifarmasi.

Penisilin diberikan 50.000 U / kg. BB / hari dan ditambah dengan kloramfenikol 50 – 

75 mg / kg BB / hari atau diberikan antibiotika yang mempunyai spektrum luas

seperti ampisilin. Pengobatan diteruskan sampai anak bebas panas selama 4 – 5 hari.

Anak yang sangat sesak nafasnya memerlukan pemberian cairan intravena dan

oksigen. Jenis cairan yang digunakan ialah campuran glukosa 5 % dan NaCl 0,9 %

dalam perbandingan 3 : 1 ditambah larutan KCl 10 mEq / 500 ml botol infus.

Banyaknya cairan yang diperlukan sebaiknya dihitung dengan menggunakan rumus

Darrow.

Karena ternyata sebagian besar penderita jatuh kedalam asidosis metabolik 

akibat kurang makan dan hipoksia, dapat diberikan koreksi dengan perhitungan

kekurangan basa sebanyak – 5 mEq. Pneumonia yang tidak berat selayaknya tidak  perlu dirawat dirumah sakit.

KOMPLIKASI

Dengan penggunaan antibiotika, komplikasi pneumonia hampir tidak pernah

dijumpai. Komplikasi yang dapat dijumpai antara lain empiema danotitis media akut.

86

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 87/88

Sementara komplikasi lainnya seperti meningitis, perikarditis, osteomielitis, dan

 peritonitis lebih jarang terjadi.

PROGNOSIS

Dengan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat

diturunkan sampai kurang dari 1 %. Anak yang berada dalam keadaan malnutrisi

energi protein dan yang datang terlambat menunjukan mortalitas yang lebih tinggi.4

DAFTAR PUSTAKA

1. Staf pengajar IKA FK UI. 2005. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika.

2. Suyono, Slamet ,dkk. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai penerbit FKUI.

3. Sari Pediatri, Vol. 12, No. 3, Oktober 2010

4. Guyton, Arthur C, Hall, John E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedoteran Edisi 11. Jakarta : EGC

5. Rahajoe, Nastini.N.2008.Buku Ajar Respirologi,Edisi 1.Jakarta : IDAI.

6. Anonim. Diakses dari (http://www.tbmcalcaneus.org/34/). 16 April 2013.

7. Anonim. Diakses dari (http://readyonline.wordpress.com/tag/mekanisme-terjadinya-batuk/).

16 April 2013.

8. Anonim. Diakses dari (http://labkesehatan.blogspot.com/2009/11/protein-c-reaktif.html). 16

April 2013.

9. Mardjanis Said I, Boediman, Nastiti N. Raharjoe, Nunung Rahajoe. : Acid – Base Balance

and Blood – Gas Analysis in Bronchopneumonia in Infancy and Childhood. Paediatricia

Indonesiana 20 : 68 – 76. March – April 1980.

10. The management of Community-Acquired Pneumonia in Infants and Children Older Than 3

Months of Age: Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and

the Infectious Diseases Society of America. John S. Bradley,1,a Carrie L. Byington,2,a Samir 

S. Shah,3,a Brian Alverson,4 Edward R. Carter,5 Christopher Harrison,6 Sheldon L. Kaplan,7

Sharon E. Mace,8 George H. McCracken Jr,9 Matthew R. Moore,10 Shawn D. St Peter,11

Jana A. Stockwell,12 and Jack T. Swanson13. Clinical Infectious Diseases Advance Access

 published August 30, 2011.11. Guidelines for the management of community acquired pneumonia. British Thoracic Society

Standards of Care Committee. Thorax 2002;57(Suppl I):1-24. http://www.brit-

thoracic.org.uk/Portals/0/Clinical%20Information/Pneumonia/Guidelines/paediatriccap.pdf 

87

7/30/2019 Skenario c Blok 16[1]

http://slidepdf.com/reader/full/skenario-c-blok-161 88/88

12. Craig JC, Williams GJ, Jones M et al. The accuracy of clinical symptoms and signs for the

diagnosis of serious bacterial infection in young febrile children: prospective cohort study of 

15781 febrile illnesses. BMJ 2010;340:c1594.

13. WHO. The management of acute respiratory infections in children. Practical guidelines for 

outpatient care. World Health Organization 1995;Geneva:14-35.

14. Margolis P, Gadomski A. Does this infant have pneumonia? JAMA 1998; 279(4):308-13.

15. Grant CC, Scragg R, Tan D, Pati A, Aickin R, Yee RL. Hospitalisation for pneumonia in

children in Auckland, New Zealand. J Paediatr Child Health 1998;34(4):355-9.

16. Kabra SK, Lodha R, Pandey RM. Antibiotics for community-acquired pneumonia in children.

Cochrane Database Syst Rev. 2010;3:CD004874.

17. McCracken GH Jr. Etiology and treatment of pneumonia. Pediatr Infect Dis J.

2000;19(4):373-7.

18. Hale KA, Isaacs D. Antibiotics in childhood pneumonia. Paediatr Respir Rev. 2006;7(2):145-

51.

19. Tan TQ, Mason EO Jr, Wald ER et al. Clinical characteristics of children with complicated

 pneumonia caused by Streptococcus pneumoniae . Pediatrics 2002;110:1-6.

20. Junqueira LC, Carneiro J. Histologi Dasar Teks & Atlas. 10th ed. Jakarta: EGC; 2007. p.

335-54.

21. Kuehnel. Color Atlas of Cytology, Histology, and Microscopic Anatomy. 4th ed Stuttgart:

Thieme; 2003. P

22. Dorland, W. A. Newman.. 2002. Kamus Kedokteran Dorland edisi 29. Jakarta: EGC.

23. Kliegman, Robert.2007. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th ed. Philadelphia: Saunders,Elsevier.

24. Price, Sylvia A dan larraine M Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.

25. Robbins, Kumar, Ramzi S.Cotran. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta: EGC.

26. Snell, S.Richard.2006.Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta: EGC.