SKENARIO 1 BLOK EMERGENSI

44
SKENARIO 1 PERDARAHAN PERSALINAN Seorang perempuan, berusia 18 tahun berobat ke Puskesmas dengan keluhan mau melahirkan. Pada pemeriksaan oleh dokter laki-laki, didapatkan kehamilan aterm (G1P0A0), usia kehamilan 38 minggu, his teratur, pembukaan 8. Tanda-tanda vital : tekanan darah : 90/60 mmHg; denyut nadi : 120 x/menit; suhu : 37,5C. Pasca persalinan didapatkan perdarahan post partum. Bayi langsung menangis, BB 1500 gr, PB 48 cm. Pemeriksaan terhadap bayi didapatkan denyut nadi 150 x/menit, frekuensi nafas 40 x/menit, suhu 36C. Pada usia 40 jam bayi terlihat kuning, kadar bilirubin total 15 gr/dL, sehingga dilakukan fototerapi. B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 1

Transcript of SKENARIO 1 BLOK EMERGENSI

SKENARIO 1

PERDARAHAN PERSALINAN

Seorang perempuan, berusia 18 tahun berobat ke Puskesmas dengan keluhan mau melahirkan.

Pada pemeriksaan oleh dokter laki-laki, didapatkan kehamilan aterm (G1P0A0), usia

kehamilan 38 minggu, his teratur, pembukaan 8. Tanda-tanda vital : tekanan darah : 90/60

mmHg; denyut nadi : 120 x/menit; suhu : 37,5⁰C. Pasca persalinan didapatkan perdarahan post

partum. Bayi langsung menangis, BB 1500 gr, PB 48 cm. Pemeriksaan terhadap bayi

didapatkan denyut nadi 150 x/menit, frekuensi nafas 40 x/menit, suhu 36⁰C. Pada usia 40 jam

bayi terlihat kuning, kadar bilirubin total 15 gr/dL, sehingga dilakukan fototerapi.

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 1

KATA SULIT

1. Fototerapi : Terapi sinar yang digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin serum pada

neonatus.

2. Perdarahan Post Partum : Perdarahan >500cc setelah bayi lahir.

3. Bilirubin : Hasil pecahan dari heme. Senyawa pigmen berwarna kuning yang merupakan

produk katabolisme enzimatik biliverdin oleh biliverdin reduktase.

PERTANYAAN & JAWABAN

1. Apa saja faktor resiko dari perdarahan post partum ?

• Tonus Atonia Uteri,

• Tissue Plasenta / Sisa Plasenta,

• Trauma Luka Jalan Lahir,

• Trombin Kelainan Pembekuan Darah,

• Inversio Uteri lapisan endometrium turun dan keluar lewat ostium uteri eksternum.

2. Mengapa terjadi ikterik pada bayi ?

• Karena ada peningkatan kadar bilirubin dalam darah bayi yang kadar nilainya

lebih dari normal. Nilai normal bilirubin indirek 0,3 – 1,1 mg/dL, bilirubin direk

0,1 – 0,4 mg/dL.

3. Apa hubungan umur ibu dengan perdarahan post partum ?

• Karena uterus pada ibu belum siap.

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 2

4. Kenapa kadar bilirubin indirek saja yang meningkat ?

• Karena fungsi hati bayi belum optimal.

5. Apa alasan dilakukannya fototerapi ?

• Karena bayi kelebihan bilirubin total.

6. Komplikasi apa yang kemungkinan terjadi ?

• Ibu : kematian, anemia, syok hipovolemik, infeksi, dll.

• Bayi : kernicterus, dll.

7. Terapi apa yang dilakukan ?

• Ibu : terapi cairan, transfusi darah ( Hb<8 gr/dL perdarahan aktif ), dll.

• Bayi : fototerapi, dll.

8. Apa efek samping dari fototerapi ?

• Dehidrasi,

• Kulit terbakar / warna kulit gelap, dll.

9. Mengapa bayi mengalami hipotermia ?

• Karena jaringan lemak subkutannya tipis.

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 3

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 4

HIPOTESIS

Ibu 18 tahun, Hamil 38 minggu

Anamnesis:

Kehamilan Aterm

G1P0A0

Perdarahan Post Partum

Pemeriksaan fisik:

Ibu : TD 90/60, Nadi 12 x/menit, Nafas 24 x/menit, Suhu 37,5⁰C

Bayi : BB 1500 gr, PB 48 cm, Nadi 150 x/menit, Nafas 40 x/menit, Suhu 36⁰C, Ikterik

Pemeriksaan penunjang:

Bayi : Bilirubin Total 15 gr/dL, Bilirubin Indirek 14,2 gr/dL

Diagnosis :

Ibu : Perdarahan Post Partum

Bayi : Hiperbilirubinemia dan Hipotermia

Tatalaksana :

Ibu : Terapi Cairan dan Transfusi Darah

Bayi : Fototerapi

Komplikasi :

Ibu : Kematian, Syok Hipovolemik, Anemia, Infeksi.

Bayi : Kernikterus.

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 5

Prognosis :

Bila ditangani segera dan tepat, prognosis baik.

Pencegahan :

Menjauhi faktor resiko.

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 6

SASARAN BELAJAR

1. Perdarahan Post Partum

• Definisi Perdarahan Post Partum

• Epidemiologi Perdarahan Post Partum

• Etiologi Perdarahan Post Partum

• Klasifikasi Perdarahan Post Partum

• Patofisiologi Perdarahan Post Partum

• Manifestasi Klinis dan Diagnosis Perdarahan Post Partum

• Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Perdarahan Post Partum

• Tatalaksana Perdarahan Post Partum

• Komplikasi Perdarahan Post Partum

• Prognosis Perdarahan Post Partum

• Pencegahan Perdarahan Post Partum

2. Hiperbilirubinemia pada Bayi

• Definisi Hiperbilirubinemia pada Bayi

• Epidemiologi Hiperbilirubinemia pada Bayi

• Etiologi Hiperbilirubinemia pada Bayi

• Klasifikasi Hiperbilirubinemia pada Bayi

• Patofisiologi Hiperbilirubinemia pada Bayi

• Manifestasi Klinis dan Diagnosis Hiperbilirubinemia pada Bayi

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 7

• Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Hiperbilirubinemia pada Bayi

• Diagnosis Banding Hiperbilirubinemia pada Bayi

• Tatalaksana Hiperbilirubinemia pada Bayi

• Komplikasi Hiperbilirubinemia pada Bayi

• Prognosis Hiperbilirubinemia pada Bayi

• Pencegahan Hiperbilirubinemia pada Bayi

3. Hipotermia pada Bayi

• Definisi Hipotermia pada Bayi

• Epidemiologi Hipotermia pada Bayi

• Etiologi Hipotermia pada Bayi

• Klasifikasi Hipotermia pada Bayi

• Patofisiologi Hipotermia pada Bayi

• Manifestasi Klinis dan Diagnosis Hipotermia pada Bayi

• Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Hipotermia pada Bayi

• Diagnosis Banding Hipotermia pada Bayi

• Tatalaksana Hipotermia pada Bayi

• Komplikasi Hipotermia pada Bayi

• Prognosis Hipotermia pada Bayi

• Pencegahan Hipotermia pada Bayi

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 8

4. Pandangan Islam mengenai dokter laki-laki memeriksa pasien perempuan

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 9

1. Perdarahan Post Partum

• Definisi Perdarahan Post Partum

Perdarahan Post Partum (Perdarahan Pasca Persalinan / PPP) adalah perdarahan pervaginam

melebihi 500 ml yang terjadi setelah bayi lahir sampai 24 jam kemudian.

Fase dalam persalinan dimulai dari kala I yaitu serviks membuka kurang dari 4 cm sampai

penurunan kepala dimulai, kemudian kala II dimana serviks sudah membuka lengkap sampai

10 cm atau kepala janin sudah tampak, kemudian dilanjutkan dengan kala III persalinan yang

dimulai dengan lahirnya bayi dan berakhir dengan pengeluaran plasenta. Perdarahan

postpartum terjadi setelah kala III persalinan selesai.

• Epidemiologi Perdarahan Post Partum

Kelainan obstetric yang akut ini merupakan sebab utama kematian ibu selama persalinan.

PPP yang dapat menyebabkan kematian ibu 45% terjadi pada 24 jam pertama setelah bayi

lahir, 68-73% dalam satu minggu setelah bayi lahir dan 82-88% dalam dua minggu setelah

bayi lahir.

• Etiologi Perdarahan Post Partum

1) Tonus Atonia Uteri

Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang menyebabkan

uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta

setelah bayi dan plasenta lahir.

2) Tissue Retensio Plasenta

Retensio plasenta adalah bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam

setelah anak lahir. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala tiga

bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus.

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 10

• Plasenta akreta : bila implantasi menembus desidua basalis dan Nitabuch

layer.

• Plasenta inkreta : bila plasenta sampai menembus myometrium.

• Plasenta perkreta : bila vili korialis sampai menembus perimetrium.

3) Trauma Robekan jalan lahir

Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum, trauma

forceps atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi. Robekan yang terjadi bisa

ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi, robekan perineum spontan derajat ringan

sampai rupture perinei totalis (sfingter ani terputus), robekan pada dinding vagina,

forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra dan bahkan, yang terberat

rupture uteri.

4) Trombin Perdarahan karena gangguan pembekuan darah

Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang

abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia,

terjadi hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (fibrin degradation product)

serta panjangan tes protrombin dan PTT (partial thromboplastin time).

5) Inversio Uteri

Kegawatdaruratan pada kala III yang dapat menimbulkan perdarahan adalah inversio

uteri. Inversi uterus adalah keadaan dimana lapisan dalam uterus (endometrium) turun

dan keluar lewat ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit sampai

komplit.

• Klasifikasi Perdarahan Post Partum

Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian :

a) Perdarahan post partum primer (early post partum hemorrhage)

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 11

Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama dan biasanya disebabkan atonia uteri,

berbagai robekan jalan lahir dan sisa sebagian plasenta. Dalam kasus yang jarang bisa

karena inversion uteri.

b) Perdarahan post partum sekunder (late post partum hemorrhage)

Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam persalinan, biasanya oleh karena sisa plasenta.

Faktor Resiko

Riwayat hemorraghe postpartum pada persalinan sebelumnya merupakan faktor resiko paling

besar untuk terjadinya hemorraghe postpartum sehingga segala upaya harus dilakukan untuk

menentukan keparahan dan penyebabnya. Beberapa faktor lain yang perlu kita ketahui karena

dapat menyebabkan terjadinya hemorraghe postpartum :

1) Grande multipara

2) Perpanjangan persalinan

3) Chorioamnionitis

4) Kehamilan multiple

5) Injeksi Magnesium sulfat

6) Perpanjangan pemberian oxytocin

• Patofisiologi Perdarahan Post Partum

Pada awalnya wanita hamil yang normotensi akan menunjukkan kenaikan tekanan darah

sebagai respons terhadap kehilangan darah yang terjadi dan pada wanita hamil dengan

hipertensi bisa ditemukan normotensi setelah perdarahan. Pada wanita hamil dengan

eklampsia akan sangat peka terhadap PPP, karena sebelumnya telah terjadi deficit cairan

intravascular dan ada penumpukan cairan ekstravaskular, sehingga perdarahan yang sedikit

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 12

saja akan cepat mempengaruhi hemodinamika ibu dan perlu penanganan segera sebelum

terjadinya tanda-tanda syok.

• Manifestasi Klinis dan Diagnosis Perdarahan Post Partum

Gejala yang timbul sesuai dengan banyaknya perdarahan, perhatikan tanda-tanda pre syok

atau syok.

Perubahan tanda vital :

• Kesadaran menurun

• Pucat

• Limbung

• Berkeringat dingin

• Sesak nafas

• Tekanan darah < 90 mmHg

• Nadi > 100 x/menit

Diagnosis:

Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih aktif

dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau

lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri

didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500-1.000 cc yang sudah

keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus

diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 13

• Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Perdarahan Post Partum

1) Palpasi uterus : kontraksi, tinggi fundus.

2) Periksa plasenta : jumlah kotiledon, plasenta suksenturiata.

3) Eksplorasi kavum uteri : sisa plasenta, rupture uteri.

4) Inspekulo : luka vagina, serviks, varises pecah.

5) Laboratorik : Hb, kelainan pembekuan darah.

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 14

• Tatalaksana Perdarahan Post Partum

Pada kasus perdarahan post partum, tiga pokok utama harus diperhatikan :

1) Hentikan perdarahan,

2) Cegah/atasi syok,

3) Ganti darah yang hilang.

Atonia Uteri

1) Segera lakukan massage uterus dan pemberian Ergometrin 0,152mg IV atau

Methergin 0,2mg IV (boleh diulang) dan Pitocin/Oxytocyn 5 U per drip.

2) Bila gagal, lakukan kompresi bimanual (Eastman) selama kurang lebih 15 menit.

3) Bila gagal, lakukan pemasangan tampon uterovaginal. Tindakan ini umumnya

dianggap bersifat sementara dan harus diikuti dengan histerektomi. Pemasangan

tampon saja, harus disertai dengan pengawasan teliti terhadap tanda syok dan ujung

luar tampon (bila makin basah artinya perdarahan masih terus berlangsung). Jika

berhasil, tampon diangkat 24 jam kemudian dan diberikan antibiotic (untuk

pencegahan infeks).

4) Bila semua tindakan diatas gagal, jalan terakhir ialah histerektomi.

Plasenta atau Sisa Plasenta

1) Lakukan plasenta manual, sedapat-dapatnya dalam narcosis umum dan asepsis yang

baik.

2) Bila ditemukan plasenta akreta, tindakan yang terbaik ialah histerektomi. Tetapi bila

dipikirkan akan mempertahankan uterus (primipara atau perlekatan hanya sedikit),

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 15

plasenta dikeluarkan sebanyak-banyaknya lalu disusul dengan pemasangan tampon

uterovaginal.

Luka Jalan Lahir

Dengan speculum eksplorasi kavum uteri, dicari perlukaan jalan lahir (robekan vagina, luka

episiotomy/robekan perineum, varises pecah, robekan serviks colpaporrhexis dan rupture

uteri) terutama bila persalinan sebelumnya sulit atau dilakukan tindakan.

Luka daerah vagina/serviks diatasi dengan jahitan silang yang dalam, sedang colpaporrhexis

atau rupture uteri harus diatasi dengan histerorafi/histerektomi.

Kelainan Pembekuan Darah

1) Bila terdapat dugaan kelainan pembekuan darah, lakukan clot observation test.

2) Bila ternyata terdapat hipofibrinogenemi, berikan fibrinogen (Parenogen) biasanya

diperlukan 4-6 gram, dilarutkan dalam glukosa 10% IV, perlahan-lahan.

Tiap gram fibrinogen menaikkan kadarnya dalam darah sebanyak 40 mg%.

3) Bila fibrinogen tidak ada, berikan darah segar, tiap 1000 ml. Darah segar

mengandung 2 gram fibrinogen.

Inversio Uteri

1) Memanggil bantuan anestesi dan memasang infus untuk cairan/darah pengganti dan

pemberian obat.

2) Beberapa senter memberikan tokolitik / MgSO₄ untuk melemaskan uterus yang

terbalik sebelum dilakukan reposisi manual yaitu mendorong endometrium keatas

masuk kedalam vagina dan terus melewati serviks sampai tangan masuk kedalam

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 16

uterus pada posisi normalnya. Hal itu dapat dilakukan sewaktu plasenta sudah

terlepas atau tidak.

3) Didalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil dikeluarkan dari

rahim dan sambil memberika uterotonika lewat infus atau IM tangan tetap

dipertahankan agar konfigurasi uterus kembali normal dan tangan operator baru

dilepaskan.

4) Pemberian antibiotika dan transfuse darah sesuai dengan keperluannya.

5) Intervensi bedah dilakukan bila karena jepitan serviks yang keras menyebabkan

manuver diatas tidak bisa dikerjakan, maka dilakukan laparotomi untuk reposisi dan

kalau terpaksa dilakukan histerektomi bila uterus sudah mengalami infeksi dan

nekrosis.

• Komplikasi Perdarahan Post Partum

Disamping menyebabkan kematian, perdarahan pasca persalinan memperbesar kemungkinan

infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan banyak kelak bisa

menyebabkan sindrom Sheehan sebagai akibat nekrosis pada hipofisisis pars anterior

sehingga terjadi insufisiensi pada bagian tersebut. Gejalanya adalah asthenia, hipotensi,

anemia, turunnya berat badan sampai menimbulkan kakeksia.

• Prognosis Perdarahan Post Partum

Perdarahan Post Partum (PPP) bila tidak mendapat penanganan yang semestinya akan

meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu serta proses penyembuhan kembali.

• Pencegahan Perdarahan Post Partum

Perdarahan oleh karena Atonia Uteri dapat dicegah dengan :

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 17

1) Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin

karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan pasca persalinan akibat atonia

uteri.

2) Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600 mg) segera setelah bayi lahir.

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 18

Selama kehamilan perlu dicari faktor-faktor predisposisi yang mungkin ada, seperti :

- Anemia,

- Grandemultiparitas,

- Gemelli,

- Hidramnion,

- Riwayat perdarahan post partum.

Anemia dapat diperbaiki dengan pemberian preparat besi sebanyak 600-1000 mg/hari

bersama vitamin C untuk mempermudah penyerapan. Ibu-ibu yang ternyata mempunyai

predisposisi diatas sebaiknya melahirkan ditempat dengan fasilitas lebih baik, dan

mendapatkan perhatian khusus selama persalinan.

Dalam persalinan pun kita harus tetap waspada terhadap munculnya faktor predisposisi lain

yang timbul kemudian, seperti :

- Inersia uteri (primer/sekunder),

- Plasenta previa,

- Penggunaan narcosis,

- Keadaan jiwa ibu (kegelisahan sangat tidak menguntungkan proses persalinan).

Juga penting untuk memperhatikan pimpinan persalinan, terutama pada kala II dan III

karena tindakan yang kurang tepat (anak dilahirkan terlalu cepat, uterus dipijit-pijit, bekuan

darah dalam kavum uteri, kandung kencing/rectum penuh) dapat menghalangi kontraksi

uterus sehingga menimbulkan perdarahan post partum.

Pada persalinan dengan kemungkinan perdarahan post partum perlu dilakukan hal-hal

sebagai berikut :

1) Mintalah izin operasi

2) Siapkan kamar operasi dan sediakan :

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 19

- Darah dan cairan infus,

- Ergometrin 0,152 mg/ Methergin 0,2 mg dalam semprit,

- Pitocin / Syntocinon 5-10 U.

3) Pasang infus NaCl 0,9% dan jalankan pelan-pelan.

4) Pada saat kepala lahir atau seluruh bayi lahir pada letak sungsang, berikan

Ergometrin / Methergin, 5 U per drip.

5) Lakukan plasenta manual bila ada indikasi :

- Perdarahan mencapai 200 ml sebelum plasenta lahir

- Plasenta belum lahir dalam 30 menit

- Penderita dalam narkosis

6) Jika ada perdarahan, segera jalankan infus, ganti darah yang hilang dengan darah

pula, bila tidak ada gunakan plasma expander atau NaCl 0,9%.

7) Cari etiologi perdarahan.

8) Bila tidak ada perdarahan dan persalinan lancer, awasi ibu sampai 2 jam post partum.

Pemakaian gurita yang baik akan mencegah naiknya fundus uteri sehingga bila ada

perdarahan, dapat cepat diketahui.

Sebelum meninggalkan pasien, perhatikan tujuh pokok penting :

1) Kontraksi uterus harus baik

2) Tak ada perdarahan

3) Plasenta dan selaput ketuban telah lahir lengkap

4) Kandung kencing dan rectum kosong

5) Luka perineum terawat baik dan tak da hematom

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 20

6) Bayi dalam keadaan baik

7) Ibu dalam keadaan baik

2. Hiperbilirubinemia pada Bayi

• Definisi Hiperbilirubinemia pada Bayi

Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya lebih

dari normal.

Hiperbilirubinemia (ikterus bayi baru lahir) adalah meningginya kadar bilirubin di dalam

jaringan ekstravaskuler, sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna

kuning.

Total bilirubin levels in newborns up to 7 days old

Age Premature baby Full-term babyLess than 24 hours Less than 8,0 mg/dL or less

than 137 mmol/LLess than 6,0 mg/dL or less than 103 mmol/L

Less than 48 hours Less than 12,0 mg/dL or less than 205 mmol/dL

Less than 10,0 mg/dL or less than 170 mmol/L

3 to 5 days Less than 15,0 mg/dL or less than 256 mmol/L

Less than 12,0 mg/dL or less than 205 mmol/L

7 days Less than 15,0 mg/dL or less than 256 mmol/L

Less than 10,0 mg/dL or less than 170 mmol/L

• Epidemiologi Hiperbilirubinemia pada Bayi

60% bayi akan mengalami ikterus (fisiologis dan patologis)

• Etiologi Hiperbilirubinemia pada Bayi

Ikterus fisiologis:

(1) Pembentukan bilirubin berlebihan

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 21

Volume sel darah merah/kgBB bayi lebih besar

Umur sel darah merah bayi lebih pendek pemecahan sel darah merah tinggi

Besarnya bilirubin yang kembali dari usus kepembuluh darah

(2) Gangguan perubahan bilirubin

(3) Pengeluaran bilirubin lebih rendah

Ekskresi bilirubin membaik setelah 1 minggu

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 22

Ikterus patologis :

- Ikterus neonatorus disebabkan peningkatan kadar bilirubin serum pada neonatus.

- Ikterus yang nyata: Bilirubin serum > 5 mg/ dl

Peningkatan kadar bilirubin dalam darah tersebut dapat terjadi karena keadaan sebagai berikut;

a. Polychetemia,

b. Isoimmun Hemolytic Disease,

c. Kelainan struktur dan enzim sel darah merah,

d. Keracunan obat (hemolisis kimia; salisilat, kortikosteroid, kloramfenikol),

e. Hemolisis ekstravaskuler,

f. Cephalhematoma,

g. Ecchymosis,

h. Gangguan fungsi hati; defisiensi glukoronil transferase, obstruksi empedu (atresia

biliari), infeksi, masalah metabolik galaktosemia, hipotiroid jaundice ASI,

i. Adanya komplikasi; asfiksia, hipotermi, hipoglikemi. Menurunnya ikatan

albumin; lahir prematur, asidosis.

• Klasifikasi Hiperbilirubinemia pada Bayi

Ikterus Fisiologis

a. Timbul pada hari ke dua dan ketiga.

b. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan

dan 12,5 mg% untuk neonatus lebih bulan.

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 23

c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.

d. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.

e. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik.

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 24

Ikterus Patologik

a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.

b. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi

12,5 mg% pada neonatus kurang bulan.

c. Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% perhari.

d. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.

e. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.

f. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.

• Patofisiologi Hiperbilirubinemia pada Bayi

(1)Pigmen kuning ditemukan dalam empedu yang terbentuk dari pemecahan hemoglobin oleh kerja heme oksidase, biliverdin reduktase dan agen pereduksi nonenzimatik dalam sistem retikuloendotelial.

(2)Setelah pemecahan hemoglobin, bilirubin tak terkonjugasi diambil oleh protein intraseluler “Y protein” dalam hati. Pengambilan tergantung pada alairan darah hepatik dan adanya ikatan protein.

(3)Bilirubin yang tidak terkonjugasi dalam hati dirubah (terkonjugasi) oleh enzim asam uridin disfosfoglukuronat (UDPGA; Uridin Diphospgoglucuronic Acid). Glukuronil transferase menjadi bilirubin mono dan diglukuronida yang polar larut dalam air (bereaksi direk)

(4)Bilirubin yang terkonjugasi yang larut dalam air dapat dieliminasi melalui ginjal. Dengan konjugasi, bilirubin masuk dalam empedu melalui membran kanalikular.

(5)Akhirnya dapat masuk ke sistem gastrointestinal dengan diaktifkan oleh bakteri menjadi urobilinogen dalam tinja dan urine. Beberapa bilirubin diabsorbsi kembali menjadi sirkulasi enteroheptik

(6)Warna kuning dalam kulit akibat dari akumulasi pigmen bilirubin yang larut lemak, tak terkonjugasi, non-polar (bereaksi indirek)

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 25

(7)Pada bayi hiperbilirubinemia kemungkinan merupakan hasil dari defisiensi atau tidak aktifnya glukuronil transferase. Rendahnya pengambilan dalam hepatik kemungkinan karena penurunan protein hepatik sejalan dengan penurunan aliran darah hepatik

(8) Jaundice yang terkait dengan pemberian ASI merupakan hasil dari hambatan kerja glukoronil transferase oleh pregnanediol atau asam lemak bebas yang terdapat dalam ASI. Terjadi 4 sampai 7 hari setelah lahir. Dimana terdapat kenaikan bilirubin tak terkonjugasi dengan kadar 25 sampai 30 mg/dl selama minggu ke-2 sampai minggu ke-3. Biasanya dapat mencapai usia 4 minggu dan menurun 10 minggu.

(9) Jika pemberian ASI dilanjutkan, hiperbilirubinemia akan menurun berangsur-angsur dan dapat menetap selama 3 sampai 10 minggu pada kadar yang lebih rendah.

(10) Jika pemberian ASI dihentikan, kadar bilirubin serum akan turun dengan cepat., biasanya mencapai normal dalam beberapa hari.

(11) Penghentian ASI selama 1 sampai 2 hari dan penggantian ASI dengan formula menfakibatkan penurunan bilirubin serum dengan cepat, sesudahnya pemberian ASI dapat dimulai lagi dan hiperbilirubin tidak kembali ke kadar yang tinggi seperti sebelumnya.

(12) Bilirubin yang patologis tampak ada kenaikan bilirubin dalan 24 jam pertama kelahiran. Sedangkan untuk bayi dengan ikterus fisiologis, muncul antara 3 sampai 5 hari sesudah lahir.

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 26

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 27

• Manifestasi Klinis dan Diagnosis Hiperbilirubinemia pada Bayi

Tanda dan gejala yang jelas pada anak yang menderita hiperbilirubin adalah;

(1) Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran mukosa.

(2) Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit hemolitik

pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau infeksi.

(3) Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan mencapai puncak

pada hari ke tiga sampai hari ke empat dan menurun pada hari ke lima sampai hari ke

tujuh yang biasanya merupakan jaundice fisiologis.

(4) Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang cenderung

tampak kuning terang atau orange, ikterus pada tipe obstruksi (bilirubin direk) kulit

tampak berwarna kuning kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada

ikterus yang berat.

(5) Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja pucat, seperti dempul

(6) Perut membuncit dan pembesaran pada hati

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 28

(7) Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar

(8) Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap

(9) Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental

(10) Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus,

kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot

Derajat

ikterusDaerah ikterus

Perkiraan kadar

bilirubin

I Kepala dan leher 5,0 mg%

IISampai badan atas (di atas

umbilikus)9,0 mg%

III

Sampai badan bawah (di bawah

umbilikus) hingga tungkai atas (di

atas lutut)

11,4 mg/dl

IV Sampai lengan, tungkai bawah lutut 12,4 mg/dl

V Sampai telapak tangan dan kaki 16,0 mg/dl

• Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Hiperbilirubinemia pada Bayi

(1) Laboratorium (Pemeriksan Darah)

- Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi prematur kadar billirubin lebih dari

14 mg/dl dan bayi cukup bulan kadar billirubin 10 mg/dl merupakan keadaan

yang tidak fisiologis.

- Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap.

- Protein serum total.

(2) USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 29

(3) Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk membantu membedakan hapatitis dan

atresia billiari.

• Tatalaksana Hiperbilirubinemia pada Bayi

(1) Ikterus yang timbul sebelum 24 jam pasca kelahiran adalah patologis. Tindakan

fototerapi dan mempersiapkan tindakan tranfusi tukar.

(2) Pada usia 25-48 jam pasca kelahiran, fototerapi dianjurkan bila kadar bilirubin

serum total > 12 mg/dl (170 μmol/L). Fototerapi harus dilaksanakan bila kadar

bilirubin serum total ≥ 15 mg/dl (260 μmol/L). Bila fototerapi 2 x 24 jam gagal

menurunkan kadar bilirubin serum total < 20 mg/dl (340 μmol/L), dianjurkan untuk

dilakukan tranfusi tukar. Bila kadar bilirubin serum total ≥ 20 mg/dl (> 340 μmol/L)

dilakukan fototerapi dan mempersiapkan tindakan tranfusi tukar. Bila kadar bilirubin

serum total > 15 mg/dl (> 260 μmol/L) pada 25-48 jam pasca kelahiran,

mengindikasikan perlunya pemeriksaan laboratorium ke arah penyakit hemolisis.

(3) Pada usia 49-72 jam pasca kelahiran, fototerapi dianjurkan bila kadar bilirubin

serum total > 15 mg/dl (260 μmol/L). Fototerapi harus dilaksanakan bila kadar

bilirubin serum total ≥ 18 mg/dl (310 μmol/L). Bila fototerapi 2 x 24 jam gagal

menurunkan kadar bilirubin serum total < 25 mg/dl (430 μmol/L), dianjurkan untuk

dilakukan tranfusi tukar. Bila kadar bilirubin serum total > 18 mg/dl (> 310 μmol/L)

fototerapi dilakukan sambil mempersiapkan tindakan tranfusi tukar. Bila kadar

bilirubin serum total > 25 mg/dl (> 430 μmol/L) pada 49-72 jam pasca kelahiran,

mengindikasikan perlunya pemeriksaan laboratorium ke arah penyakit hemolisis.

(4) Pada usia > 72 jam pasca kelahiran, fototerapi harus dilaksanakan bila kadar

bilirubin serum total > 17 mg/dl (290 μmol/L). Bila fototerapi 2 x 24 jam gagal

menurunkan kadar bilirubin serum total < 20 mg/dl (340 μmol/L), dianjurkan untuk

dilakukan tranfusi tukar. Bila kadar bilirubin serum total sudah mencapai > 20 mg/dl

(> 340 μmol/L) dilakukan fototerapi sambil mempersiapkan tindakan tranfusi tukar.

Bila kadar bilirubin serum total > 25 mg/dl (> 430 μmol/L) pada usia > 72 jam pasca

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 30

kelahiran, masih dianjurkan untuk pemeriksaan laboratorium ke arah penyakit

hemolisis.

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 31

Fototerapi

Fototerapi digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin serum pada neonatus dengan

hiperbilirubinemia jinak hingga moderat. Fototerapi dapat menyebabkan terjadinya isomerisasi

bilirubin indirect yang mudah larut di dalam plasma dan lebih mudah di ekskresi oleh hati ke

dalam saluran empedu. Meningkatnya foto bilirubin dalam empedu menyebabkan bertambahnya

pengeluaran cairan empedu ke dalam usus sehingga peristaltic usus meningkat dan bilirubin akan

lebih cepat meninggalkan usus.

Efek samping Fototerapi :

(1) Tanning (perubahan warna kulit) : induksi sintesis melanin dan atau disperse oleh

cahaya ultra violet.

(2) Syndrome bayi Bronze : penurunan ekskresi hepatic dari foto produk bilirubin.

(3) Diare : bilirubin menginduksi seksresi usus.

(4) Intoleransi laktosa : trauma mukosa dari epitel villi.

(5) Hemolisis : trauma fotosensitif pada eritrosist sirkulasi.

(6) Kulit terbakar : paparan berlebihan karena emisi gelombang pendek lampu

fluoresen.

(7) Dehidrasi : peningkatan kehilangan air yang tak disadari karena energy foton yang

diabsorbsi.

(8) Ruam kulit : trauma fotosensitif pada sel mast kulit dengan pelepasan histamine.

Tranfusi Tukar

Transfusi tukar adalah suatu rangkaian tindakan mengeluarkan darah pasien dan memasukkan

darah donor untuk mengurangi kadar serum bilirubin atau kadar hematokrit yang tinggi atau

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 32

mengurangi konsentrasi toksin-toksin dalam aliran darah pasien. Pada hiperbilirubinemia,

transfusi tukar dilakukan untuk menghindari terjadinya kern icterus.

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 33

• Komplikasi Hiperbilirubinemia pada Bayi

Keadaan bilirubin yang tidak teratasi akan menyebabkan memperburuk keadaan, dan

menyebabkan komplikasi :

(1)Bilirubin enchepalopathy (komplikasi serius)

(2)Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy, retardasi mental, hiperaktif,

bicara lambat, tidak ada koordinasi otot dan tangisan yang melengking.

• Prognosis Hiperbilirubinemia pada Bayi

Hiperbilirubin baru akan berpengaruh bentuk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar

otak, penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati biliaris, gejala ensefalopati

pada neonatus mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan gangguan minum, letargi

dan hipotonia, selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik dan ditemukan opistotonis.

• Pencegahan Hiperbilirubinemia pada Bayi

a) Jika bayi dapat menghisap, anjurkan ibu untuk menyusui secara dini dan ASI ekslusif

lebih sering minimal setiap 2 jam.

b) Jika bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI melalui pipa nasogastrik atau dengan

gelas dan sendok.

c) Letakkan bayi ditempat yang cukup mendapat sinar mata hari pagi selama 30 menit

selama 3-4 hari. Jaga agar bayi tetap hangat.

d) Kelola faktor risiko (asfiksia dan infeksi) karena dapat menimbulkan ensefalopati

biliaris.

e) Setiap Ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca kelahiran adalah patologis dan

membutuhkan pemeriksaan laboratorium lanjut; minimal kadar bilirubin serum total,

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 34

pemeriksaan kearah adanya penyakit hemolisis oleh karena itu selanjutnya harus

dirujuk.

f) Pada bayi dengan Ikterus kremer III atau lebih perlu dirujuk ke fasilitas yang lebih

lengkap setelah keadan bayi stabil

g) Nasehati ibunya mengenai pemberian minum dan membawa bayi ke RS jika bayi

menjadi kuning

3. Hipotermia pada Bayi

• Definisi Hipotermia pada Bayi

Hipotermia pada bayi baru lahir adalah suhu tubuh dibawah 36,5⁰C pengukuran dilakukan

pada ketiak selama 3-5 menit.

Pada bayi neonatus suhu normalnya adalah 36,5 – 37,5⁰C (suhu ketiak). Apabila suhu <

36⁰C, kedua kaki dan tangan terasa dingin kita mesti mewaspadainya karena ini merupakan

gejala awal hipotermia (hipotermi ringan). Bila suhu bayi 32 – 36⁰C ini biasa disebut

hipotermi sedang. Bila suhu < 32⁰C biasa disebut hipotermi berat, pada hipotermi berat ini

biasanya diperlukan termometer ukuran rendah yang dapat mengukur sampai 25⁰C.

• Epidemiologi Hipotermia pada Bayi

Hipotermia merupakan salah satu penyebab tersering dari kematian bayi baru lahir, terutama

dengan berat badan kurang dari 2,5 kg.

• Etiologi Hipotermia pada Bayi

(1) Ketika bayi baru lahir tidak segera dibersihkan, terlalu cepat dimandikan, tidak segera

diberi pakaian, tutup kepala, dan dibungkus, diletakkan pada ruangan yang dingin,

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 35

tidak segera didekapkan pada ibunya, dipisahkan dari ibunya, tidak segera disusui

ibunya.

(2) Bayi berat lahir rendah yaitu bayi lahir dengan berat badan kurang dari 2,5 kg atau

bayi dengaan lingkar lengan kurang dari 9,5 cm atau bayi dengan tanda-tanda otot

lembek, kulit kerput.

(3) Bayi lahir sakit seperti asfiksia, infeksi sepsis dan sakit berat.

(4) Jaringan lemak subkutan tipis.

(5) Perbandingan luas permukaan tubuh dengan berat badan besar.

(6) Cadangan glikogen dan brown fat sedikit.

(7) BBL (Bayi Baru Lahir) tidak mempunyai respon shivering (menggigil) pada reaksi

kedinginan.

(8) Kurangnya pengetahuan perawat dalam pengelolaan bayi yang beresiko tinggi

mengalami hipotermi.

• Klasifikasi Hipotermia pada Bayi

(1) Accidental hypothermia terjadi ketika suhu tubuh menurun hingga <35°C

(2) Primary accidental hypothermia merupakan hasil dari paparan langsung terhadap

udara dingin pada orang yang sebelumnya sehat.

(3) Secondary accidental hypothermia merupakan komplikasi gangguan sistemik

(seluruh tubuh) yan serius. Kebanyakan terjadinya di musim dingin (salju) dan iklim

dingin.

Berdasarkan kejadianya kejadiannya hipotermia pada bayi baru lahir dibedakan menjadi tiga

bagian yaitu:

(1) Hipotermia Akut

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 36

Terjadi bila bayi berada di lingkungan yang dingin selama 6 -12 jam. Umumnya terjadi pada bayi

yang lahir di ruang bersalin yang dingin, inkubator yang tidak cukup panas, kelaian terhadap

bayi yang akan lahir, misalnya diduga mati dalam kandungan tetapi ternyata masih hidup.

Gejalanya biasanya lemah, gelisah, pernapasan dan bunyi jantung lambat serta kedua kaki

dingin. Langkah awal yang harus dilakukan adalah dengan cara memasukkan bayi ke dalam

inkubator yang suhunya telah di atur menurut kebutuhan bayi dan dalam keadaan telanjang

supaya dapat diawasi dengan teliti.

(2) Hipotermia Sepitas

Merupakan penurunan suhu tubuh 1 -2 derajat celcius sesudah lahir. Suhu tubuh akan menjadi

normal kembali sesudah bayi berumur 4 – 8 jam, bila suhu lingkungan diatur sebaik-baiknya.

(3) Hipotermia Sekunder

Penurunan suhu tubuh yang tidak disebabkan oleh suhu lingkungan yang dingin, tetapi oleh

sebab lain seperti sepsis, sindrom gangguan pernapasan dengan hipoksia atau hipoglikemia,

perdarahan intrakranial tranfusi tukar, penyakit jantung bawaan yang berat. Pengobatan bisa

dilakukan dengan cara memberikan antibiotik, larutan glukosa, oksigen, dan sebagainya.

(4) Hipotermi Cold injury

Biasanya terjadi pada bayi yang terlalu lama dalam ruangan dingin (lebih dari 12 jam).

Gejalanya adalah lemah, tidak mau minum, badan dingin, suhu berkisar antara 29,5 – 35 derajat

celsius, tak banyak bergerak, edema, serta kemerahan pada tangan, kaki, dan muka seolah-olah

bayi dalam keadaan sehat; pengerasan jaringan subkutis. Bayi seperti ini sering mengalami

komplikasi infeksi, hipoglikemia, dan perdarahan. Pengobatan bisa dilakukan dengan

memanaskan secara perlahan-lahan, pemberian antibiotik, pemberian larutan glukosa 10 persen,

dan kartikosteroid.

• Patofisiologi Hipotermia pada Bayi

Penurunan suhu tubuh pada bayi terjadi melalui:

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 37

- Evaporasi (menguapnya cairan dari kulit bayi yang basah).

- Radiasi (memancarnya panas tubuh bayi ke lingkungan sekitar yang lebih dingin).

- Konduksi (pindahnya panas tubuh apabila kulit bayi langsung kontak dengan

permukaan yang lebih dingin)

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 38

• Manifestasi Klinis dan Diagnosis Hipotermia pada Bayi

- Kaki dan tangan bayi teraba lebih dingin dibandingkan dengan bagian dada

- Aktivitas berkurang

- Kemampuan menghisap lemah

- Tangisan lemah

- Ujung jari tangan dan kaki kebiruan

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala, hasil pemeriksaan fisik dan hasil pengukuran suhu

tubuh.

• Tatalaksana Hipotermia pada Bayi

(1) Melaksanakan metode kanguru, yaitu bayi baru lahir dipakaikan popok dan tutup

kepala diletakkan di dada ibu agar tubuh bayi menjadi hangat karena terjadi kontak

kulit langsung.Bila tubuh bayi masih teraba dingin bisa ditambahkan selimut.

(2) Bayi baru lahir mengenakan pakaian dan selimut yang disetrika atau dihangatkan

diatas tungku.

(3) Menghangatkan bayi dengan lampu pijar 40 sampai 60 watt yang diletakkan pada

jarak setengah meter diatas bayi.

(4) Ganti pakain yang dingin dan basah dengan pakain yang hangat dan kering, memakai

topi dan selimut yang hangat.

(5) Cara lain yang sangat sederhana dan mudah dikerjakan setiap orang ialah metode

dekap, yaitu bayi diletakkan telungkup dalam dekapan ibunya dan keduanya

diselimuti agar bayi senantiasa hangat.

(6) Bila tubuh bayi masih dingin, gunakan selimut atau kain hangat yang diseterika

terlebih dahulu yang digunakan untuk menutupi tubuh bayi dan ibu. Lakukan

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 39

berulangkali sampai tubuh bayi hangat. Tidak boleh memakai buli-buli panas, bahaya

luka bakar.

(7) Biasanya bayi hipotermi menderita hipoglikemia sehingga bayi harus diberi ASI

sedikit-sedikit dan sesering mungkin. Bila bayi tidak dapat menghisap beri infus

glukosa 10% sebanyak 60-80 ml/kg per hari.

(8) Periksa ulang suhu bayi 1 jam kemudian, bila suhu naik pada batas normal (36,5-

37,5o C), berarti usaha meenghangatkan berhasil.

(9) Bila suhu tetap dalam batas normal dan bayi dapat minum dengan baik serta tidak ada

masalah lain yang memerlukan pengawasan, bayi tidak perlu dirujuk.

(10)Meminta pertolongan kepada petugas kesehatan terdekat. Dirujuk ke rumah sakit.

Jika setelah menghangatkan selama 1 jam tidak ada kenaikan suhu (membaik),bila

bayi tidak dapat minum,terdapat gangguaan nafas atau kejang.Dan bila disertai salah

satu tanda tanpak mengantuk/ letargis atau ada bagian tubuh bayi yang mengeras.

• Prognosis Hipotermia pada Bayi

Bila ditangani segera dan tepat, prognosis baik.

• Pencegahan Hipotermia pada Bayi

(1) Menyiapkan tempat melahirkan yang hangat, kering, bersih, penerangan cukup.

(2) Memberi asi sedini mungkin dalam waktu 30 menit setelah melahirkan agar bayi

memperoleh kalori.

(3) Mempertahankan kehangatan pada bayi.

(4) Memberi perawatan bayi baru lahir yang memadai.

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 40

(5) Melatih semua orang yang terlibat dalam pertolongan persalinan / perawatan bayi

baru lahir.

(6) Menunda memandikan bayi baru lahir Pada bayi normal tunda memandikannya

sampai 24 jam.

(7) Pada bayi berat badan lahir rendah tunda memandikannya lebih lama lagi.

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 41

4. Pandangan Islam mengenai dokter laki-laki memeriksa pasien perempuan

Islam menentukan bahwa setiap manusia harus menghormati manusia yang lainnya, karena Allah sebagai khalik sendiri menghormati manusia, sebagai mana di jelaskan Allah dalam surat Al Isra’ :70.

Untuk pemeriksaan dokter dalam menegakkan diagnosa penyakit, maka dokter berkhalwat, melihat aurat, malah memeriksa luar dalam pasien dibolehkan hanya didasarkan pada keadaan darurat, sebagai yang dijelaskan oleh qaidah ushul fiqh yang berbunyi : yang darurat dapat membolehkan yang dilarang.

Islam memang mengenal darurat yang akan meringankan suatu hukum. Ada kaidah Idzaa dhoogal amr ittasi’ (jika kondisi sulit, maka Islam memberikan kemudahan dan kelonggaran). Bahkan Kaedah lain menyebutkan: ‘Kondisi darurat menjadikan sesuatu yang haram menjadi mubah’.

Namun darurat itu bukan sesuatu yang bersifat rutin dan gampang dilakukan. Umumnya darurat baru dijadikan pilihan manakala memang kondisinya akan menjadi kritis dan tidak ada alternatif lain. Itu pun masih diiringi dengan resiko fitnah dan sebagainya.

Akan tetapi, untuk mencegah fitnah dan godaan syaitan maka sebaiknya sewaktu dokter memeriksa pasien dihadiri orang ketiga baik dari keluarga maupun dari tenaga medis itu sendiri.

Akan lebih baik lagi jika pasien diperiksa oleh dokter sejenis, pasien perempuan diperiksa oleh dokter perempuan dan pasien laki-laki diperiksa oleh dokter laki-laki. Karena dalam dunia kedokteran sendiri banyak cerita-cerita bertebaran di seluruh dunia, di mana terjadi praktek asusila baik yang tak sejenis hetero seksual, maupun yang sejenis homoseksual antara dokter dan pasien.

Dalam pengobatan, kebolehan hanya pada bagian tubuh yang sangat diperlukan, karena itu, bagian tubuh yang lain yang tidak terkait langsung tetap berlaku ketentuan umum tidak boleh melihatnya. Namun, untuk meminimalisir batasan darurat dalam pemeriksaan oleh lawan jenis sebagai upaya sadd al-Dzari’at (menutup jalan untuk terlaksananya kejahatan), disarankan disertai mahram dan prioritas diobati oleh yang sejenis.

Pembolehan dan batasan kebolehanya dalam keadaan darurat juga banyak disampaikan oleh tokoh madzhab. Ahmad ibn Hanbal, tokoh utama mazhab hanbali menyatakan boleh bagi dokter/ tabib laki-laki melihat aurat pasien lain jenis yang bukan mahram khusus pada bagian tubuh yang menuntut untuk itu termasuk aurat vitalnya, demikian pula sebaliknya, dokter wanita boleh melihat aurat pasien laki-laki yang bukan mahramnya dengan alasan tuntutan.

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 42

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.2002.Yogyakarta:Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

2. Curren Obstretric & Gynecologic Diagnosis & Tretment, Ninth edition : Alan H. DeCherney and Lauren Nathan , 2003 by The McGraw-Hill Companies, Inc.

3. Doengoes, E Marlynn & Moerhorse, Mary Fraces. 2001. Rencana Perawatan Maternal / Bayi. EGC. Jakarta.

4. Gabbe : Obstretics – Normal and Problem Pregnancies,4th ed.,Copyright © 2002 Churchil Livingstone, Inc.

5. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call problems disease and drugs; edisi ke-5. New York : Lange Books/Mc Graw-Hill, 2004; 247-50.

6. http://www.geocities.com/yosemite/Rapids/1744/clobpt12.html

7. Ilmu Kebidanan, editor Prof.dr. Hanifa Wiknjosastro, SpOg, edisi Ketiga cetakan Kelima,Yayaan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta 1999

8. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta : IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 42-8.

9. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri Neonatal Emergensi Dasar. Jakarta : Depkes RI, 2006; 58-63.

10. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-5. Boston : Lippincott Williams & Wilkins, 2004; 185-222.

11. Ngastiah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta.

12. Prawirohadjo, Sarwono. 1997. Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

13. Prof.Dr.Rustam Mochtar, MPH, Sinopsis Obstretis, edisi 2 jilid 1, Editor Dr. Delfi Lutan, SpOG

14. Rennie MJ, Roberton NRC. A manual of neonatal intensive care; edisi ke-4. London : Arnold, 2002; 414-31.

15. Sudarti .2012.Buku Ajar Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, dan Anak Balita.Yogyakarta:Nuha Medika.

16. Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I. Fajar Inter Pratama. Jakarta.

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 43

17. Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. JNPKKR/POGI & Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

18. Williams Obstretics 21 st Ed: F.Gary Cunningham (Editor), Norman F.Grant MD,Kenneth J,.,Md Leveno, Larry C.,Iii,Md Gilstrap,John C.,Md Hauth, Katherine D.,Clark,Katherine D.Wenstrom,by McGraw-Hill Profesional (April 27,2001)

B-2 | Skenario 1 | Blok Emergency 44