Sistem Imun
-
Upload
danie-truzz -
Category
Documents
-
view
110 -
download
0
Transcript of Sistem Imun
7
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Anatomi Fisiologi Sistem Imun
Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem perlindungan
pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu
organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini akan
melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel
kanker dan zat asing lain dalam tubuh.
Jika sistemkekebalan melemah, kemampuannya melindungi tubuh
juga berkurang, sehingga menyebabkan patogen, termasuk virus yang
menyebabkan demam dan flu, dapat berkembang dalam tubuh. Sistem
kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor, dan
terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko terkena
beberapa jenis kanker.
1. Fungsi Sistem Imun
Padadasarnyafungsidari system imunterbagiatas:
a. Sumsum
Semua sel sistem kekebalan tubuh berasal dari sel-sel induk dalam
sumsum tulang. Sumsum tulang adalah tempat asal sel darah merah,
sel darah putih (termasuk limfosit dan makrofag) dan platelet. Sel-sel
dari sistem kekebalan tubuh juga terdapat di tempat lain.
b. Timus
Dalam kelenjar timus sel-sel limfoid mengalami proses pematangan
sebelum lepas ke dalam sirkulasi. Proses ini memungkinkan sel T
untuk mengembangkan atribut penting yang dikenal sebagai toleransi
diri.
7
8
c. Getah bening
Kelenjar getah bening berbentuk kacang kecil terbaring di sepanjang
perjalanan limfatik. Terkumpul dalam situs tertentu seperti leher,
axillae, selangkangan dan para-aorta daerah. Pengetahuan tentang situs
kelenjar getah bening yang penting dalam pemeriksaan fisik pasien.
d. Mukosa jaringan limfoid terkait (MALT)
Di samping jaringan limfoid berkonsentrasi dalam kelenjar getah
bening dan limpa, jaringan limfoid juga ditemukan di tempat lain,
terutama saluran pencernaan, saluran pernafasan dan saluran
urogenital.
2. Mekanisme Pertahanan
a. Sistem Imun Nonspesifik
Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam
menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, karena sitem imun
spesifik memerlukan waktu sebelum responnya. Sistem tersebut disebut
nonspesifik, karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu.
( Sudoyo,2009.Hlm 235)
b. Sistem Imun Spesifik
Berbeda dengan sistem imun nonspesifik, sistem imun spesifik
mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing
bagi dirinya. Benda asing yang pertama timbul dalam badan yang
segera dikenal sistem imun spesifik, akan mensensitasi sel-sel sistem
imun tersebut. Bila sel sistem tersebut terpajan ulang dengan benda
asing yang sama, yang akhir akan dikenal lebih cepat dan
dihancurkannya. Sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk
menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi badan, tetapi pada
umumnya terjalin kerja sama yang baik antara antibodi, komplemen,
fagosit dan antara sel T-makrofag. Komplemen turut diaktifkan dan ikut
berperan dalam menimbulkan inflamasi yang terjadi pada respons imun.
9
3. Antibodi
Antibodi atau imunoglobulin (IG) adalah golongan protein yang dibentuk
sel plasma(poliferasi sel B) setelah terjadi kontak dengan antigen. Antibodi
ditemukan dalam serum dan jaringan mengikat antigen secara spesifik. Bila
serum protein dipisahkan secara elektro poretik, IG ditemukan terbanyak
dalam peraksi globolin G meskipun ada beberapa yang ditemukan juga
dalam peraksi globulin A dan B. Smua molekul Ig mempunyai empat
pilopeptif dasar yang terdiri atas dua rantai berat(heavy chain) dan dua
rantai ringan(light chain) yang identik, dihubungkan satu dengan lainnya
oleh ikatan disulpida. Unit dasar antibodi terdiri atas dua rantai berat dan
dua rantai ringan yang identik, diikat menjadi satu oleh ikatan disulpida
yang dapat dipisah-pisah dalam berbagai prakmen.
A = rantai berat(berat molekul: 50.000-77.000)
B = rantai ringan(ringan molekul: 25.000)
C = ikatan disulpida
Ada dua jenis rantai ringan( kappa dan lambeda) yang terdiri atas 230 asam
amino serta 5 jenis rantai berat yang tergantung pada kelima jenis
imunoglobulin yaitu IgM,IgG,IgE,IgA dan IgD.
a. IgG
IgG merupakan komponen utama(terbanyak) imunoglobulin serum,
dengan berat molekul 160.000. kadarnya dalam serum yang sekitar
13mg/ml merupakan 75% dari semua Ig. IgG ditemukan juga dalam
berbagai cairan lain antaranya cairan saraf sentral(CSF) dan juga urin.
IgG dapat menembus plasenta dan masuk ke janin dan berperan dalam
imunitas bayi sampai umur 6-9 bulan. IgG dapat mengaktifkan
komplemen, meningkatkan pertahanan badan melalui opsonisasi dan
reaksi inflamasi. IgG mempunyai sifat opsonin yang efektif oleh
karena monosit dan makrofag memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari
IgG yang dapat mempererat hubungan antara fagosit degan sel sasaran.
Selanjutnya opsonisasi dibantu reseptor untuk komplemen pada
10
permukaan fagosit. IgG terdiri atas 4 subkelas yaitu Ig1, Ig2, Ig3, dan
Ig4. Ig4 dapat diikat oleh sel mast dan basofil.
b. IgA
IgA ditemukan dalam jumlah sedikit dalam serum, tetapi kadarnya
dalam cairan sekresi saluran nafas, saluran cerna, saluran kemih, air
mata, keringat, ludah dan kolostrum lebih tinggi sebagai IgA
sekretori(sIgA). Baik IgA dalam serum mupun dalam sekresi dapat
menetralisir toksin atau virus dan atau menegah kontak antara
toksin/virus dengan alat sasaran. sIgA diproduksi lebih dulu dari pada
IgA dalam serum dan tidak menembus plasenta. sIgA melindungi
tubuh dari patogen oleh karena dapat bereaksi dengan molekul adhesi
dari patogen potensial sehingga mencegahadherens dan kolonisasi
patogen tersebut dalam sel penjamu. IgA juga bekerja sebagai opsonin,
oleh karena neutrofil,monosit, dan makrofag memiliki reseptor untuk
Fca (Fca-R) sehingga dapat meningkatkan efek bakteriolitik
komplemen yang menetralisirkan toksin. IgA juga diduga berperan
pada imunitas cacing pita.
c. IgM
IgM (M berasal dari makroglobulin) mempunyai rumus bangun
pentamer dan merupakannya sebagai reseptor Antigen. IgM dibentuk
paling dahulu pada respon imun primer tetapi tidak berlangsung lama,
karena itu kadar IgM yang tinggi merupakan tanda adanya infeksi
dini. Bayi yang baru dilahirkan hanya mempunyai IgM 10% dari
kadar IgM dewasa oleh karena IgM tidak menembus plasenta. Fetus
umur 12 minggu sudah dapat membentuk IgM bila sel B nya
dirangsang oleh infeksi intrauterin seperti sifilis kongenital,rubela,
toksoplasmosis dan virus sitomegalo. Kadar IgM anak mencapai kadar
IgM dewasa pada usia satu tahun. Kebanyakan antibodi alamiah
seperti isoaglutinin, golongan darah AB, antibodi heterofil adalah
IgM. IgM dapat mencegah gerakan mikroorganisme patogen,
memudahkan fagositosis dan merupakan aglutinator kuat terhadap
11
butir antigen. IgM juga merupakan antibodi yang dapat mengikat
komplemen dengan kuat dan tidak menembus plasenta.
d. IgD
IgD ditemukan dengan kadar yang sangat rendah dalam darah (1%
dari total imunoglobin dalam serum). IgD tidak mengikat komplemen,
mempunyai aktiitas antibodi terhadap antigen berbagai makanan dan
autoantigen seperti komponen nukleus. Selanjutnya IgD ditemukan
bersama IgM pada permukaan sel B sebagai reseptor antigen pada
aktivitas sel B.
e. IgE
IgE ditemukan dalam serum dalam jumlah yang sangat sedikit. IgE
mudah diikat mastosi, basofil, eosinofil, makrofag dan trombosit yang
pada permukaanya memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgE. IgE
dibentuk juga setempat oleh sel plasma dalam selaput lendir saluran
nafas dan cerna. Kadar IgE serum yang tinggi ditemukan pada alergi,
infeksi cacing, skistosomiasis, penyakit hidatid, trikinosis. Kecuali
pada alergi, IgE diduga juga berperan pada imunitas parasit. IgE pada
alergi dikenal sebagai antibodi reagin.
B. Konsep Dasar Penyakit
1. Pengertian
SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem
kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk
melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik
merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah,
leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda
antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering
berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan
perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana,
2004)
12
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik
(LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya
diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003).
Jadi dapat kami simpulkan bahwa SLE adalah suatu penyakit radang yang
penyebabnya diduga karena perubahan sistem imun yang ditandai dengan
peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya
melawan bakteri atau virus malah berbalik merusak organ tubuh itu sendiri.
2. Klasifikasi SLE (Sistemik Lupus Erithematosus)
Ada 3 jenis penyakit Lupus yang dikenal yaitu:
a. Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu
penyakit Lupus yang
menyerang kulit.
b. Systemics Lupus, penyakit Lupus yang menyerang kebanyakan system
di dalam tubuh,
seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati, otak, dan sistem saraf.
Selanjutnya kita singkat dengan SLE (Systemics Lupus Erythematosus).
c. Drug-Induced, penyakit Lupus yang timbul setelah penggunaan obat
tertentu. Gejala-
gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan.
3. Etiologi
Sampai saat penyebab SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) belum
diketahui, Diduga ada beberapa faktor resiko yang memungkinkan
terjadinya SLE. Adapun faktor resiko tersebut adalah sebagai berikut :
a. Faktor resiko genetik. Meliputi jenis kelamin (frekuensi pada wanita
dewasa 8 kali lebih sering dari pada pria dewasa), umur (lebih sering
pada usia 20-40 tahun), ethnik, dan faktor keturunan (frekuensinya 20
kali lebih sering dalam keluarga dimana terdapat anggota dengan
penyakit tersebut).
13
b. Faktor resiko hormon. Estrogen menambah resiko LES, sedangkan
androgen mengurangi resiko ini.
c. Sinar ultra violet. Sinar ultra violet mengurangi supresi imun sehingga
terapi menjadi kurang efektif, sehingga LES kambuh dan bertambah
berat. Ini di sebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin
sehingga terjadi inflamasi ditempat tersebutmaupun secara sistemik
melalui peredaran di pembuluh darah.
d. Imunitas. Pada pasien LES terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi
terhadap sel T.
e. Obat. Obat tertentu dalam persentase kecil sekali pada pasien tertentu
dan di minum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus
obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE). Jenis obat yang
dapat menyebabkan lupus obat adalah :
1) Obat yang pasti menyebabkan lupus obat : klorpromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
2) Obat yang mungkin menyebabkan lupus obat : dilatin, penisilamin,
dan kuinidin.
3) Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis antibiotik,
dan grisefulvin.
f. Infeksi. Pasien LES cenderung mudah mendapatkan infeksi dan
kadang-kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi.
g. Stres. Stres berat dapat mencetuskan penyakit LES pada pasien yang
sudah memiliki kecenderungan akan penyakit.
4. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduksi) dan lingkungan (cahaya matahari, luka
bakar termal). Obat-obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid,
14
isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping
makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat
senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi
autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T supresor yang
abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya terjadi
serangan antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
Kerusaan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini
menimbulkan abnormalitas respons imun didalam tubuh yaitu :
a. Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
b. Pembentukan sitokin yang berlebihan
c. Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain :
1) Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun
maupun sitokin dalam tubuh
2) Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
3) Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh sebagai
antigen karena adanya mimikri molekuler.
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam
tubuh yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi-antibodi yang
tersebut membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut terdeposisi pada
jaringan/organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan
jaringan.
Obat-obatan(Hidration)
faktor hormonal
Factor lingkungan(sinar ultraviolet)
faktor genetik
Obat terakumulasidalam tubuh
Hormon proklatinGangguan kulit
Keterlibatan gen
Merangsangsystem imun
infeksiGen membawaSLE padaketurunan
selanjutnya
Obat berikatandengan kompleksanti bodi
Pembentukankompleks imun
Obat-obatantidak cocok
Faktor pemicu(mengikatkomplem
en)Imun kompleksAktivasi
komplemenStres berlebihan
Perubahan reaksi imun(reaksi Hipersensitivitas
danAutoimun)
Lupus Eritematosus Sistemik
Kulit akut KelelahanEfusi pleuraartritis
Pneumonitislupus
Sendi interfalngealproksimal
Ruam kulit berbentukkupu-kupu
Meningkatnyabeban kerja
Merangsangsystem imunKompleks imun
pada alveolus
Efusi sendieritema
Pembentukankomples antibodi
pembekakanReaksi inflamasi nyeri sesak
nyeri
15
Pathway
AnemianyeriGangguanmobilitas
Ketidakefektifan pola napas Perubahan nutrisi,
kurang dari kebutuhan tubuh
Kerusakan intergritas jaringan
PATHWAY
16
5. Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul
mendadak disertai dengan tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam
tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat
laun diikuti oleh gejala yang terkenanya sistem imun. Pada tipe menahun
terdapat remisi dan eksaserbsi. Remisinya mungkin berlangsung bertahun-
tahun.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti
kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat. Setiap serangan
biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, nafsu makan
berkurang, kelemahan, berat badan menurun, dan iritabilitasi. Yang paling
menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.
a. Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala muskuloskeletal,
berupa artritis (93%). Yang paling sering terkena ialah sendi
interfalangeal proksimal didikuti oleh lutut, pergelangan tangan,
metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain pembekakan dan
nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi. Artritis biasanya simetris, tanpa
menyebabkan deformitas, kontraktur atau ankilosis. Adakala terdapat
nodul reumatoid. Nekrosis vaskular dapat terjadi pada berbagai tempat,
dan ditemukan pada pasien yang mendapatkan pengobatan dengan
streroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah kaput
femoris.
b. Gejala Mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus
SLE. Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit
akut, subakut, diskoid, dan livido retikularis. Ruam kulit berbentuk
kupu-kupu berupa eritema yang agak edamatus pada hidung dan kedua
pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa
bekas luka. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul
ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas. Lesi ini termasuk lesi
17
kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular. Lesi diskoid
berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi.
Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup
oleh sisik keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah
berlangsung lama akan berbentuk silikatriks. Vaskulitis kulit dapat
menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar.
Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual. Livido
retikularis suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering ditemui pada
SLE.
c. Ginjal
Kelainan ginjal ditemukan pada 68% kasus SLE. Manifestasi paling
sering ialah proteinuria atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik
kegagalan ginjal jarang terjadi, hanya terdapat pada 25% kasus SLE
yang urinnya menunjukkan kelainan.
Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis lupus difus
dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus merupakan kelainan yang
paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik,
hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis
lupus membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom
nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang
mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif. Kelainan ginjal
yang lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis kronik,
tuberkulosis ginjal. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab
kematian SLE kronik.
d. Susunan Saraf Pusat
Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu
psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya
ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem lain-lainnya.
Pasien menunjukkan gejala halusinasi disamping gejala khas organik
otak seperti sukar menghitung dan tidak sanggup mengingat kembali
gambar yang pernah dilihat. Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak
18
organik yang secara klinis tak dapat dibedakan dengan psikosis lupus.
Perbedaan antara keduanya baru dapat diketahui dengan menurunkan
atau menaikkan dosis steroid yang dipakai. Psikosis lupus membaik jika
dosis steroid dinaikkan dan sebaliknya. Kejang-kejang yang timbul
biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin
ditemukan ialah afasia, hemiplegia.
e. Mata
Kelainan mata dapat berupa konjungtivitas, perdarahan subkonjungtival
dan adanya badan sitoid di retina
f. Jantung
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis,
endokarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi
sebagai akibat keadaan tersebut.
g. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi
pleura (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat
dari kejadian tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak napas.
h. Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25% kasus SLE, mungkin disertai mual
dan diare. Gejalanya menghilang dengan cepat jika gangguan
sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin
disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil
mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat
juga menimbulkan pankreatitis.
i. Hemik-Limfatik
Kelenjar getah bening yang sering terkena adalah aksila dan sevikal,
dengan karakteristik tidak nyeri tekan dan lunak. Organ limfoid lain
adalah splenomegali yang biasanya disertai oleh pembesaran hati.
Kerusakan lien berupa infark atau thrombosis berkaitan dengan adanya
lupus antikoagulan. Anemia dapat dijumpai pada periode perkembangan
penyakit LES, yang diperantai oleh proses imun dan non-imun.
19
6. Pemeriksaaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorim
Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan :
1) Hematologi, ditemukan anemia, leukopenia, trombosittopenia
2) Kelainan Imunologis, ditemuka sel LE, antibodi antinuklir,
komplemen serum menurun, anti DNA, faktor reumatitoid,
krioglobulin, dan uji lues yang positif semu.
b. Histopatologi
1) Umum : Lesi yang dianggap karakteristik untuk SLE ialah badan
hematoksilin, lesi onionskin pada pembuluh darah limpa dan
endokarditis verukosa Libman-Sacks.
2) Ginjal : 2 bentuk utama ialah glomerulus proliferatif difus dan
nefritis lupus membranosa
3) Kulit : Pemeriksaan imunofluoresensi direks menunjukkan
deposit IgG granular pada dermo-epidermal junction, baik pada
lesi kulit yang aktif (90%) maupun pada kulit yang tak terkena
(70%). Yang paling karakteristik untuk SLE ialah jika ditemukan
pada kulit yang tidak terkena dan terpanjan.
7. Penatalaksanaan Medis
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan
jenis gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah
kelainan organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit
bisa dipantau dari pemeriksaan serologis. Monotoring dan evaluasi bisa
dilakukan dengan parameter laboratorium yang dihubungkan dengan
aktivitas penyakit.
a. Pendidikan terhadap Pasien
Pasien diberikan penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya
(perjalanan penyakit, komplikasi, prognosis), sehingga dapat bersikap
positif terhadapn penanggulangan penyakit.
20
b. Beberapa Prinsip Dasar Tindakan Pencegahan pada SLE
1) Monitoring yang teratur
2) Penghematan enersi, pada kebanyakan pasien kelelahan
merupakan keluhan yang menonjol. Diperlukan waktu istirahat
yang terjadwal setiap hari dan perlu ditekankan pentingnya tidur
yang cukup.
3) Fotoproteksi, kontak dengan sinar matahari harus dikurangi atau
dihindarkan. Dapat juga digunakan lotion tertentu untuk
mengurangi kontak dengan sinar matahari langsung.
4) Mengatasi infeksi, pasien SLE rentan terhadap infeksi. Jika ada
demam yang tak jelas sebabnya, pasien harus memeriksanya.
5) Merencanakan kehamila, kehamilan harus dihindarkan jika
penyakit aktif atau jika pasien sedang mendapatkan pengobatan
dengan obat imunosupresif.
c. Pengobatan
1) Lupus diskoid, terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan
steroid topikal. Krim luocinonid 5% lebih efektif dibandingkan
krim hidrokrortison 1%. Terapi dengan hidroksiklorokuin efektif
pada 48% pasien dan acitrenin efektif terhadap 50% pasien.
2) Serositis lupus (plueritis, perikarditis), standar terapi adalah
NSAIDs (dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal),
anti-malaria dan kadang-kadang diperlukan steroid dosis rendah.
3) Arthritis lupus, untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi
adalah NSAIDs dengan pengawasan ketat terhadap gangguan
ginjal dan ati-malaria. Sedangkan untuk keluhan myalgia dan
gejala depresi diberikan serotonin reuptake inhibitor antidepresan
(amitriptilin).
4) Miositis lupus, standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi
(dimulai dengan prednison dosis 1-2 mg/kg/hari dalam dosis
terbagi, bila kadar komplemen meningkat mencapai dosis efektif
terendah. Metode lain yang digunakan untuk mencegah efek
21
samping pemberian harian adalah dengan cara pemberian
prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih
150-250 mg) metrotreksat atau azathioprine.
5) Fenomena Raynaud, standar terapinya adalah calcium channel
blockers, misalnya nifedipin dan nitrat, misalnya isosorbid
mononitrat.
6) Lupus nefritis, lupus nefritis kelas II mempunyai prognosis yang
baik dan membutuhkan terapi minimal. Peningkatan proteinuria
harus diwaspadai karna menggambarkan perubahan status
penyakit menjadi lebih parah. Lupus nefritis III memerlukan terapi
yang sama agresifnya dengan DPGN. Pada lupus nefritis IV
kombinasi kortikosteroid dengan siklofosfamid intravena.
Siklofosfamid intravena diberikan setiap bulan, setelah 10-14 hari
pemberian, diperiksa kadar leukositnya. Dosis siklofosfamid
selanjutnya akan dinaikkan atau diturunkan tergantung pada
jumlah leukositnya (normalnya 3.000- 4.0000/ml). Pada lupus
nefritis V regimen terapi yang di berikan adalah (1) monoterapi
dengan kortikosteroid. (2) terapi kombinasi kortikosteroid dengan
siklosporin A. (3) sikofosfamid, azathioprine atau klorambusil.
Pada lupus nefritis V tahap lanjut, pilihan terapinya adalah dialisis
dan transplantasi renal.
7) Gangguan hematologis, untuk trombositopeni, terapi yang
dipertimbangkan pada kelainan ini adalah kortikosteroid,
imunoglobulin intravena. Sedangkan untuk anemi hemolitik, terapi
yang dipertimangkan adalah kortikosteroid, danazol, dan
spelenektomi.
8) Pneumonitis intersititialis lupus, obat yang digunakan pada kasus
ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid intravena.
9) Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting, obat yang
digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid
intravena
22
8. Komplikasi
a. Hipertensi (41%)
b. Gangguan pertumbuhan (38%)
c. Gangguan paru-paru kronik (31%)
d. Abnormalitas mata (31%)
e. Kerusakan ginjal permanen (25%)
f. Gejala neuropsikiatri (22%)
g. Kerusakan muskuloskeleta (9%)
h. Gangguan fungsi gonad (3%)
23
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Anamnese
a. Identitas pasien
Nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, pekerjaan, pendidikan
terakhir, alamat.
b. Keluhan utama
1) Keluhan utama saat MRS :
Keluhan utama yang biasa muncul adalah demam
2) Keluhan utama saat pengkajian :
Keluhan utama yang biasa muncul saat pengkajian tidak pasti,
tergantung kapan dilakukan pengkajian tersebut. Biasanya adalah
demam, kelemahan, nafsu makan menurun dan BB menurun.
c. Riwayat kesehatan :
1). Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat dari dimulainya gejala penyakit sampai pasien atau
keluarga memutuskan untuk dibawa ke RS. Yang biasa muncul
adalah riwayat demam, kelemahan sampai intoleransi aktifitas,
penurunan nafsu makan dan penurunan BB.
2). Riwayat penyakit dahulu :
Pengkajian dilakukan untuk mengetahui apakah pernah
mengalami hipertensi, gangguan pada mata, dan adanya nyeri
sendi.
3). Riwayat penyakit keluarga :
Pengkajian dilakukan untuk mengetahui apakah dalam keluarga
ada anggota yang pernah menderita penyakit yang sama.
4). Riwayat psikososial :
Pengkajian dilakukan untuk mengetahui bagaimanakah hubungan
klien dengan keluarga dan masyarakat. Pasien dapat menunjukkan
gejala mudah marah dan fluktuasi, takut akan penolakan dari
23
24
orang lain, harga diri rendah, kekawatiran menjadi beban orang
lain. Tanda yang dapat ditunjukkan adalah ansietas, gelisah,
menarik diri, depresi, fokus pada diri sendiri.
d. Kebiasaan sehari – hari
1) Nutrisi : Makan; yang dikaji adalah frekuensi, jumlah porsi yang
habis, cara makan makanan yang disukai dan tidak disukai. Minum ;
yang dikaji adalah frekuensi, jumlah, komposisi.
2) Eliminasi : BAB dan BAK ; yang dikaji adalah frekuensi, pola
eliminasi, konsistensi, warna, bentuk.
3) Istirahat : jumlah jam tidur siang ataupun malam, adanya gangguan
tidur atau tidak.
4) Aktivitas : kegiatan yang dilakukan dari bangun tidur sampai tidur
kembali.
5) Personal hygiene : bagaimana kebiasaan dalam kebersihan diri sendiri
ataupun lingkungan.
2. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : dikaji bagaimana keadaan umum klien saat pengkajian
dilakukan.
TTV : tanda- tanda vital sangat penting untuk mengetahui
kondisi umum pasien. Tindakan yang dilakukan adalah
pengukuran tekanan darah, nadi, RR, dan suhu.
a. Integumen : kulit tampak adanya ruam, ada luka pada bibir atau mulut.
b. Thoraks : paru ; rriwayat inspeksi paru, riwayat abses paru, dapat juga
ditemukan adanya cairan dalam paru, nafas pendek saat istirahat dan
aktivitas, takipneu, distess pernapasan akut, dan penurunan buyi napas.
Jantung dan sirkulasi ; nyeri dada, tekanan nadi melebar, desiran
( menunjukkan mekanisme anemia ), warna kulir pucat, ruam, sianosis.
c. Abdomen : adanya nyeri tekan abdomen,
d. Ekstremitas : menahan sendi pada posisi yang nyaman,
25
e. Persyarafan/ neurosensori : sakit kepala, penurunan penglihatan,
keseimbangan buruk, kesemutan pada ekstremitas, kelemahan otot,
penurunan kekuatan otot, kejang.
Data dasar pengkajian pasien
a. Aktivitas
Gejala : Keletihan, kelemahan, nyeri sendi karena gerakan
Tanda : Penurunan semangat bekerja, toleransi terhadap aktivitas
rendah, penurunan rentang gerak sendi, gangguan gaya berjalan.
b. Sirkuasi
Gejala : Nyeri dada
Tanda : TD : tekanan nadi melebar, desiran (menunjukkan mekanisme
anemia), warna kulit : pucat/sianosis, membaran mukosa, kulit terdapat
ruam.
c. Integritas Ego
Gejala : Mudah marah dan fruktasi, takut akan penolakan dari orang
lain, harga diri buruk, kekuatiran mengenai menjadi beban bagi yang
mendekat
Tanda : Ansietas, gelisah, menarik diri, depresi, fokus pada diri sendiri
d. Eliminasi
Gejala : Sering berkemih, berkemih dengan jumlah besar
Tanda : Nyeri tekan pada abdomen, urine encer : terdapat darah atau
protein.
e. Makanan/Cairan
Gejala : Mual/muntah, anoreksia, haus, kesulitan menelan, adanya
penurunan BB
Tanda : turgor kulit buruk berbentuk ruam, lidah tampak merah daging,
bibir : disudut bibir terdapat luka.
f. Higiene
Gejala : kesulitan untuk mempertahankan aksi (nyeri/anemia berat),
berbagai kesulitan untuk melakukan aktivitas perawatan pribadi.
26
Tanda : cerobaoh, tak rapih, kurang bertenaga.
g. Neurosensori
Gejala : sakit kepala, berdenyut pusing, penurunan penglihatan,
bayangan pada mata, kelemahan, keseimbangan buruk, kesemutan pada
ekstremitas.
Tanda : kelemahan otot, penurunan kekuatan otot, kejang, pembekakan
sendi simetri.
h. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : nyeri hebat, berdenyut, rasa perih di berbagai lokasi, sakit
kepala berulang, tajam, sementara, nyeri tekan abdomen, nyeri dada
Tanda : menahan sendi pada posisi nyaman, sensitivitas terhadap
palpitasi pada area yang sakit.
i. Penapasan
Gejala : riwayat inspeksi paru, riwayat abses paru, napas pendek pada
istirahat dan aktivitas.
Tanda : takipnea, distres pernapasan akut, bunyi napas menurun.
i. Keamanan
Gejala : kekeringan pada mata dan membran mukosa, demam ringan
menetap, lesi kulit, gangguan penglihatan, penyembuhan luka buruk
Tanda : berkeringat, mengigil berulang, gemetar, luka pada wajah
j. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala : riwayat penyakit hipertensi, hematologi, riwayat adanya
masalah dengan penyembuhan luka/perdarahan, pertimbangan rencana
pemulangan : lama perawatan: 4-8 hari, memerlukan bantuan dalam
perawatan diri, pemeliharaan rumah.
3. Pemeriksaan diagnostik
a. Ig (Ig M dan Ig G) : peningkatan besar menunjukkan proses autoimun
sebab penyebab AR
b. Sinar x dari sendi yang sakit : menunjukkan pembekuan pada jaringan
lunak erosi sendi, memperkecil jarak sendi
27
c. Kerapuhan erirosit : menurun
d. Jumlah trombosit : menurun
e. JDL : memungkinkan berkembangannya pneumonia bacterial
f. Rontgen : menunjukkan pleuritis
g. Pemeriksaan dada dengan stetoskop menunjukkan adanya gesekan
pleura.
4. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan, ginjal, serebral, yang berhubungan dengan
keterlibatan multisistem.
b. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan keterlibatan sendi.
c. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan penurunan
energi/kelelahan dan keterlibatan pulmoner.
d. Kerusakan intergritas jaringan yang berhubungan dengan keterlibatan
sistem integumen.
e. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan anoreksia, kelelahan dan atau ketidakseimbangan elektrolit.
f. Potensi terhadap infeksi yang berhubungan dengan perubahan sistem
imun dan terapi steroid.
g. Gangguan citra tubuh yang berhubungan perubahan penampilan fisik.
5. Intervensi
a. Perubahan perfusi jaringan, ginjal, serebral, yang berhubungan dengan
keterlibatan multisistem
Intervensi :
1) Kaji status ginjal : observasi tanda edema, mual, hematuria dan
hipertensi.
a) Ukur haluaran urin jika dibutuhkan
b) Berikan pengobatan antihipertensi dan pantau keefektifan dan
efek samping
28
c) Beri diet rendah garam
d) Pantau urinalisis dan pemeriksaan fungsi ginjal
2) Kaji status neurologis : observasi terhadap perubahan dalam
oroientasi, penilaian, ketajaman mental, bicara, dan tonus otot.
3) Bantu aktivitas, makan, dan ke kamar mandii sesuai di butuhkan.
4) Observasi perubahan kepribadian : pantau tanda bunuh diri, dan
intervensi dengan tepat.
5) Anjurkan komunikasi dengan orang terdekat.
b. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan keterlibatan sendi.
Intervensi :
1) Kaji keterlibatan otot atau sendi.
2) Pantau kemampuan bergerak, observasi nyeri, pembengkakan dan
keterbatasan rentang gerak.
3) Berikan latihan rentang gerak jika dipesankan terhadap sendi-sendi
yang tidak sakit atau gunakan mesin rentang gerak pasif.
4) Gunakan kompres hangat atau dingin
5) Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan penurunan
energi/kelelahan dan keterlibatan pulmoner.
Intervensi :
1) Kaji status sistem pernapasan : observasi dispnea, sianosis,
penurunan bunyi napas, takipnea, bradipnea, rales, dan ronchi.
a) Auskultasi dada terhadap bunyi napas setiap 4 jam
b) Tinggikan kepala tempat tidur dan pertahankan tirah baring selam
fase akut untuk menyimpan oksigen
2) Beri dorongan pasien untuk berbalik, batul, dan napas dalam.
3) Berikan terapi oksigen, steroid, antiaritmia, dan bronkodilator.
4) Kaji keefektifan /efek samping
5) Pantau tanda-tanda pneumonia
6) Kutur sputum yang didapatkan.
29
c. Kerusakan intergritas jarngan yang berhubungan dengan keterlibatan
sistem integumen.
Intervensi :
1) Kaji status integumen ; observasi kulit dan membran mukosa terhadap
warna, suhu, turgor, edema, tanda-tanda infeksi dan kemerahan.
2) Berikan steroid topikal dan salep antibiotik jika diindikasikan : pantau
keefektifan atau efek samping.
3) Sarankan penggunaan pelumas, misalnya airmata buatan dan cairan
pelumas vagina jika dibutuhkan.
4) Berikan sabun dan krim nonalergik.
5) Tingkatkan penggunaan tabir surya jika pasien fotosensitif.
6) Berikan perawatan kulit.
7) Bantu pasien ubah posisi dengan ssering menggerakkan kaki dan
tungkai untuk meningkatkan aliran balik vena.
8) Anjurkan ambulasi sesegera mungkin.
d. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan anoreksia, kelelahan dan atau ketidakseimbangan elektrolit.
Intervensi :
1) Kaji status nutrisi dan pantau masukkan kalori jika diindikasikan.
2) Berikan makanan seimbang, kecil, sering, dorongan pasien untuk
memilih : berikan secara menarik.
3) Bantu makan jika dibutuhkan.
4) Berikan suasana tenang, tidak tergesa-gesa.
5) Anjurkan periode istirahat setelah makan.
6) Pantau elektrolit.
7) Tentukan penambahan berat badan yang berhubungan dengan terpai
steroid : sodium dapat dibatasi.
8) Timbang berat badan setiap hari pada waktu dan dengan pakaian serta
timbangan yang sama.
9) Berikan suplemen vitamin untuk pasien yang hamil atau diet.
30
10) Pantau distensi, nyeri, dan nyeri tekan abdomen.
e. Potensi terhadap infeksi yang berhubungan dengan perubahan sistem
imun dan terapi steroid.
Intervensi :
1) Pantau SDP dan diferensial, LED, protein C-reaktif, urinalisis, dan
kultur terhadap tanda-tanda sepsis.
2) Kultur cairan dari ruam kulit, robek, sisi injeksi, dll.
3) Pantau suhu terhadap status febris.
4) Berikan antipiretik, antibiotik jika diindikasikan, pantau keefektifan
dan efek samping.
5) Pertahankan kebersihan lingkungan dan kebersihan perseorangan
dengan baik.
6) Tentukan tindakan pencegahan isolasi jika dibutuhkan.
7) Batasi pengunjung dan staf yang terinfeksi.
8) Pertahankan istirahat dan pola tidur yang cukup.
9) Berikan nutrisi dan masukkan cairan yang optimal.
f. Gangguan citra tubuh yang berhubungan perubahan penampilan fisik.
Intervensi :
1) Anjurkan pasien untuk mengekspresikan perasan dan perhatian :
dengarkan dengan penuh perhatian.
2) Beri penguatan penjelasan dokter terhadap proses penyakit :
kronisitasnya, pengobatan, remisi, dan eksaserbasi : perjelas
kesalahan konsep.
3) Bantu dan ajarkan metode penatalaksanaan stres, pengalihan,
relaksasi.
4) Berikan lingkungan yang menunjang, hargai idea yang positif dan
pencapaian : tingkatkan keyakinan diri.
5) Identifikasi pola penanganan dan kekuatan yang telah berhasi
dilakukan pada pengalaman sebelumnya.
31
6) Bantu dan tingkatkan cara-cara untuk meningkatkan gambaran tubuh :
gunakan wig jika alopesia, berdandan, tingkatkan kebersihan.
7) Tingkatkan komunikasi dengan orang terdekat.