Sindroma ovarium polikistik

6
 Sindroma ovarium polikistik (SOPK) adalah suatu penyakit yang memiliki spektrum luas dengan gejala klinis mulai dari yang ringan hingga berat, berupa sindrom dengan gejala hiperandrogenisme, hiperinsulinemia, anovulasi dan gangguan haid (oligomenore atau amenore).(Balen A.H, et al, 2005) Bentuk dari hiperandrogenisme yang terjadi disebabkan karena ketidakseimbangan hormonal ovarium dengan terjadinya produksi yang berlebihan dari androgen.(American Society For Reproductive Medicine) Hal ini paling sering menjadi penyebab hirsutisme dan dapat disertai dengan ovulasi yang tidak teratur atau anovulasi dan infertilitas. Patofisiologi Ovarium Polikistik Setiap keadaan yang menyebabkan anovulasi persisten dapat menyebabkan perubahan bentuk polikistik pada ovarium. Tampaknya sangat penting diketahui untuk membedakan ovarium multi-kistik. Ovarium multi-kistik ditemukan pada wanita usia pubertas normal, akibat stimulasi gonadotropin yang belum sempurna. Pada ovarium ini gambaran folikel multipel pada ovarium t idak diikuti oleh penebalan stroma dan pembesaran volume ovarium seperti pada ovarium polikistik. Pada keadaan anovulasi yang terus menerus, terjadi perubahan kadar hormon yang sebelumnya fluktuatif menjadi relatif menetap atau disebut steady state. (Speroff L, et al 2005) Kadar LH meninggi. (Vanderbilt Medical Center, 2000; Theresa L. Marx, et al 2003; Robert J Norman, et al 2004; Baillargeon J.P, et al 2007) Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu: 1. Meningkatnya sensitivitas hipotalamus terhadap stimulus GnRH. 2. Meningkatnya frekuensi sekresi GnRH akibat penurunan tonus opioid yang berfungsi menghambat sekresi GnRH akibat tidak adnya progesteron dalam waktu lama. 3. Meningkatnya kadar estron akibat pembentukk annya di jaringan perifer. Untuk FSH, kadarnya tetap rendah karena pengaruh penekanan oleh kadar estron yang tinggi. Karena kadar FSH yang rendah ini, sel -sel granulosa ovarium tidak dapat mengaromatisasi androgen menjadi esterogen, sehingga menyebabkan kadar esterogen menurun sehingga berakhir dengan anovulasi. Growth hormon (GH) dan insulinlike growth factor-1 (IGF-1) juga mempunyai pengaruh terhadap fungsi ovarium. (Mukhtar I Khan, et al 2005) Kadar LH yang meningkat menyebabkan sel teka yang aktif menghasilkan androgen dalam bentuk androstenedion dan testosteron. (Vanderbilt Medical Center, 2000; Hadisaputra W, et al 2003; Mukhtar I Khan, et al 2005; Norman RJ, et al 2007) Keadaan hiperandrogenik ini menyebabkan lingkung an internal folikel bersifat dominan androgen sehingga tidak dapat berkembang dan menjadi atresia. Atresia pada folikel terutama berhubungan dengan degenerasi sel granulosa, sementara sel teka masih dipertahankan. Proses atresia pada folikel ini ternyata juga mengalami perlambatan sehingga terbentuk kista-kista Sel teka masih terus aktif menghasilkan androgen sebagai akibat rangsangan LH. FSH juga tidak secara total disupresi. Perkembangan folikel lain masih terus berlangsung, tetapi tidak terjadi folikel dominan dan dalam perjalananny a terjadi atresia folikel yang semakin banyak. (Palomba S, et al 2006) Penelitian lain terhadap folikel pasien SOPK menunjukkan pengaruh insulin terhadap adanya respons sel granulosa yang prematur terhadap rangsangan LH

Transcript of Sindroma ovarium polikistik

Page 1: Sindroma ovarium polikistik

5/12/2018 Sindroma ovarium polikistik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/sindroma-ovarium-polikistik 1/6

 

Sindroma ovarium polikistik (SOPK) adalah suatu penyakit yang memiliki spektrum luas dengan

gejala klinis mulai dari yang ringan hingga berat, berupa sindrom dengan gejala hiperandrogenisme,

hiperinsulinemia, anovulasi dan gangguan haid (oligomenore atau amenore).(Balen A.H, et al, 2005)

Bentuk dari hiperandrogenisme yang terjadi disebabkan karena ketidakseimbangan hormonal

ovarium dengan terjadinya produksi yang berlebihan dari androgen.(American Society

For Reproductive Medicine) Hal ini paling sering menjadi penyebab hirsutisme dan dapat

disertai dengan ovulasi yang tidak teratur atau anovulasi dan infertilitas.

Patofisiologi Ovarium Polikistik

Setiap keadaan yang menyebabkan anovulasi persisten dapat menyebabkan

perubahan bentuk polikistik pada ovarium. Tampaknya sangat penting diketahui

untuk membedakan ovarium multi-kistik. Ovarium multi-kistik ditemukan pada

wanita usia pubertas normal, akibat stimulasi gonadotropin yang belum sempurna.

Pada ovarium ini gambaran folikel multipel pada ovarium tidak diikuti oleh

penebalan stroma dan pembesaran volume ovarium seperti pada ovariumpolikistik.

Pada keadaan anovulasi yang terus menerus, terjadi perubahan kadar hormon

yang sebelumnya fluktuatif menjadi relatif menetap atau disebut steady state.(Speroff L, et al 2005)

Kadar LH meninggi. (Vanderbilt Medical Center, 2000; Theresa L. Marx, et al 2003; Robert J Norman, et

al 2004; Baillargeon J.P, et al 2007) Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu:

1. Meningkatnya sensitivitas hipotalamus terhadap stimulus GnRH.

2. Meningkatnya frekuensi sekresi GnRH akibat penurunan tonus opioid

yang berfungsi menghambat sekresi GnRH akibat tidak adnyaprogesteron dalam waktu lama.

3. Meningkatnya kadar estron akibat pembentukkannya di jaringan perifer.

Untuk FSH, kadarnya tetap rendah karena pengaruh penekanan oleh kadar

estron yang tinggi. Karena kadar FSH yang rendah ini, sel-sel granulosa ovariumtidak dapat mengaromatisasi androgen menjadi esterogen, sehingga menyebabkan

kadar esterogen menurun sehingga berakhir dengan anovulasi. Growth hormon

(GH) dan insulinlike growth factor-1 (IGF-1) juga mempunyai pengaruh terhadap

fungsi ovarium. (Mukhtar I Khan, et al 2005)

Kadar LH yang meningkat menyebabkan sel teka yang aktif menghasilkan

androgen dalam bentuk androstenedion dan testosteron.(Vanderbilt Medical Center, 2000;

Hadisaputra W, et al 2003; Mukhtar I Khan, et al 2005; Norman RJ, et al 2007) Keadaan hiperandrogenik ini

menyebabkan lingkungan internal folikel bersifat dominan androgen sehingga

tidak dapat berkembang dan menjadi atresia. Atresia pada folikel terutama

berhubungan dengan degenerasi sel granulosa, sementara sel teka masih

dipertahankan. Proses atresia pada folikel ini ternyata juga mengalami

perlambatan sehingga terbentuk kista-kista

Sel teka masih terus aktif menghasilkan androgen sebagai akibat

rangsangan LH. FSH juga tidak secara total disupresi. Perkembangan folikel lain

masih terus berlangsung, tetapi tidak terjadi folikel dominan dan dalam

perjalanannya terjadi atresia folikel yang semakin banyak. (Palomba S, et al 2006)Penelitian lain terhadap folikel pasien SOPK menunjukkan pengaruh insulin

terhadap adanya respons sel granulosa yang prematur terhadap rangsangan LH

Page 2: Sindroma ovarium polikistik

5/12/2018 Sindroma ovarium polikistik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/sindroma-ovarium-polikistik 2/6

 

sehingga mempercepat penghentian pertumbuhan sel granulosa. Akhirnya

terdapat banyak folikel imatur dan folikel atretik pada korteks ovarium.

Pembentukan folikel ini disertai penebalan stroma, atau disebut sebagai gambaran

ovarium polikistik.

Gambaran ovarium polikistik ternyata ditemukan pula pada 20-30%wanita normal, tanpa disertai gangguan menstruasi maupun gangguan endokrin lain. Akan tetapi,

apabila kita melihat gambaran ovarium pada pasien dengan

gangguan hiperandrogenisme dan anovulasi kronik, sekitar 80% menunjukkan

gambaran polikistik. Oleh karena itu, dapat disebutkan bahwa gambaran ovarium

polikistik merupakan komponen yang lebih konstan dibandingkan dengan

gangguan endokrin. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah apa yang

menyebabkan timbulnya gejala dan tanda SOPK pada sebagian pasien dengan

gambaran ovarium polikistik dan mengapa tidak pada sebagian pasien yang lain?

( Robert , 1990) Beberapa hipotesis yang diajukan adalah resistensi insulin,

obesitas, disregulasi P450 c 17, polimorfisme dopamin, faktor lain yang

menyebabkan gangguan sekresi LH, dan faktor genetik.

Hubungan hiperinsulinemia-hiperandrogenemia

Hubungan antara hiperinsulinemia dengan hiperandrogenemia kini

semakin jelas. Insulin secara langsung meningkatkan produksi hormon steroid

pada ovarium yang potensinya lebih rendah dibandingkan efek steroidogenesis

FSH dan LH. Pada kadar yang tinggi, insulin akan berikatan dengan reseptor

insulin growth factor (IGF) tipe 1 yang secara struktural sama dengan reseptor

insulin. Keduanya bekerja dengan memeberikan sinyal untuk terjadinya

autofosforilasi tirosin pada reseptornya. IGF bekerja pada sel teka untuk 

meningkatkan respons terhadap LH. Rangsangan reseptor IGF oleh insulin akan

meningkatkan produksi androgen pada sel teka. (Hadisaputra W, et al 2003; Theresa L. Marx, et a l

2003) IGF endogen yang ditemukan pada sel folikel manusia adalah IGF tipe 2

(IGF-II), baik pada sel teka maupun granulosa. Penelitian mengenai aktivitas IGF tipe 1 (IGF-I)

pada jaringan ovarium manusia dapat diterangkan dengan fakta

bahwa IGF-I maupun IGF-II dapat dimediasi oleh reseptor IGF-I yang secarastruktural mirip dengan reseptor insulin.

Selain efek langsung terhadap ovarium, insulin juga menurunkan produksisex hormon-binding globulin (SHBG) di hepar. (Gag Kovacs Am, et al 1998; Berga SL, 1998;

Hadisaputra W, et al 2003) Hal ini mengakibatkan menurunnya kadar SHBG serum dan

meningkatnya androgen bebas.(Zoe E C Hopkinson, et al 1998; Baillargeon J.P, et al 2007) Pada

hepar, kadar insulin yang tinggi juga menurunkan kadar insulin-like growth factor-binding protein tipe 1 (IGF BP-I). Ini berakibat meningkatnya kadar IGF-I

bebas. Pengaruh insulin terhadap peningkatan produksi androgen di adrenal belumdapat dibuktikan.

Pada keadaan normal androgen yang dihasilkan oleh sel teka merupakan

bahan baku pembentukan esterogen melalui aromatisasi di sel granulosa. Pada

keadaan kadar androgen yang tinggi, sel granulosa akan mengubah androgen

menjadi dihidrotestosteron dengan bantuan enzim 5α-reduktase.

Dehidrotestosteron ini menghambat aromatisasi dan kerja FSH, sehingga pada

SOPK pembentukan folikel terhambat dan terjadi atresia folikel serta

mengakibatkan anovulasi kronik pada SOPK. Beberapa peneliti menetapkannisbah LH/FSH adalah 2,5 untuk menetapkan SOPK

Page 3: Sindroma ovarium polikistik

5/12/2018 Sindroma ovarium polikistik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/sindroma-ovarium-polikistik 3/6

 

Dari keseluruhan hal di atas, perlu diketahui juga bahwa SOPK tidak 

disebabkan oleh kadar insulin yang tinggi secara langsung. (Baziad A, 1993) Tetapi

SOPK terjadi melalui proses terlebih dahulu, seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya.

Keadaan hiperinsulinemia ternyata sangat berperan pada terjadinya anovulasidan penebalan stroma ovarium. Seperti telah disebutkan, penelitian in vitro pada

folikel pasien dengan SOPK menunjukkan adanya respons yang prematur

terhadap rangsangan LH dan mengakibatkan berhentinya pertumbuhan folikel.

Efek mitogenik insulin pada sel stroma ovarium menyebabkan terjadinya

hiperplasia stroma ovarium seperti yang tampak pada gambaran ultrasonografi

pasien SOPK. Penelitian membuktikan stimulasi insulin lebih poten dibandingkandengan IGF-I terhadap proliferasi sel

Gangguan produksi Gonadotropin

Jika dibandingkan dengan wanita normal, pasien anovulasi kronik 

mempunyai kadar LH rata-rata lebih tinggi, tetapi kadar FSH-nya rendah atau

normal rendah. Peningkatan kadar LH ini disebabkan oleh hal-hal berikut:

Peningkatan sensitivitas hipofisis terhadap rangsangan GnRH. Ditandai

dengan peningkatan amplitudo dan frekuensi sekresi LH, khususnya pada

amplitudonya.

Peningkatan frekuensi sekresi GnRH. Tonus opioid yang menurun akibat

penurunan progesteron pada SOPK menyebabkan hambatan produksi

GnRH juga menurun. Hal ini menyebabkan sekresi GnRH meningkat.

Kadar esterogen bebas yang meningkat. Pada SOPK, penurunan SHBG

dan pembentukan estron di jaringan perifer menyebabkan kadar total esterogen bebas menjadi

tinggi. Hal ini menyebabkan stimulasi terhadapsekresi LH dan inhibisi terhadap produksi FSH

Adanya resistensi insulin dapat dinilai dengan beberapa teknik 

pemeriksaan berikut:

a. Uji toleransi glukosa oral.

b. Uji toleransi insulin.

c. Infus glukosa secara berkesinambungan.

d. Teknik klem euglikemik yang merupakan baku emas pengukuran

sensitivitas jaringan terhadap insulin.e. Nisbah gula darah puasa/insulin puasa

Resistensi insulin ditetapkan

1. Insulin puasa > 10μ U/ml

2. Kadar akumulasi insulin (area di bawah kurva pada UTGO) > 8000

μU menit/ml

3. Luas area kurva dihitung berdasarkan (kadar insulin puasa + kadar

insulin UTGO)x0,5x120 menit), dengan kadar gula darah UTGO >

140 mg/dl dan < 200 mg/dl.4. Ratio gula darah puasa/insulin puasa < 10,1

Page 4: Sindroma ovarium polikistik

5/12/2018 Sindroma ovarium polikistik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/sindroma-ovarium-polikistik 4/6

 

 

Pengaruh Resistensi Insulin pada Sindrom Ovarium PolikistikPada penelitian Muharam dkk dari 85 kasus ovarium polikistik ternyata

48,2% kasus ovarium yang polikistik disertai dengan resistensi insulin, sedangkan

51,8% tanpa resistensi insulin yang dapat disebabkan oleh sebab lain, antara lain

kegemukan, ekspresi berlebihan pada P450c17α, dopamin polimorfis, gangguan

produksi LH, gangguan penurunan IGFBP. Tampak bahwa kasus-kasus dengan

ovarium yang polikistik sebagian didasari oleh adanya resistensi insulin. Temuan

resistensi insulin tersebut akan menjadi pegangan yang sangat berguna dalam

menangani penderita POPK dan SOPK selanjutnya.

Page 5: Sindroma ovarium polikistik

5/12/2018 Sindroma ovarium polikistik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/sindroma-ovarium-polikistik 5/6

 

Pengaruh Obesitas terhadap Resistensi Insulin

Kasus OPK-RI mempunyai rerata IMT 25,5 ± 0,67 kg/m2 (dengan

obesitas), sedangkan kasus OPK-TRI mempunyai rerata IMT 22,8 ± 0,48 kg/m2

(tanpa obesitas). Terlihat perbedaan bermakna pada rerata IMT antara kedua

kelompok tersebut. Terdapat hubungan antara IMT terhadap ovarium yang

polikistik yang cukup kuat dan sangat bermakna (r = 0,323, p = 0,01). Temuan inimemberikan arah bagi pengendalian berat badan melalui diet yang seimbang,

olahraga yang teratur guna mencegah terjadinya obesitas

Keadaan obesitas ini juga telah ditemukan oleh Dunaif dkk, yang

menyatakan bahwa resistensi insulin memang banyak terjadi pada kasus-kasus

dengan obesitas. Pada kelompok OPK-TRI ditemukan 2 dari 7 orang (28,6%)

obes (gemuk), sedangkan pada kelompok POPK-TRI ditemukan 100% nir obes.

Pada SOPK – TRI terdapat 11dari 19 orang (57,9%) yang menderita obesitas

Sedangkan pada kasus OPK-RI ditemukan 3 dari 6 orang (50%) menderita

obesitas, pada POPK tidak ada kasus dengan resistensi insulin dan pada SOPK-RI

ditemukan 24 dari 35 orang (68,6%) yang menderita obesitas. Pedro dkk 

menjumpai 57% resistensi insulin pada kelompok obes (gemuk) dan 6% pada

kelompok nir obes. Pada penelitian ini ternyata kasus resistensi insulin pada

kelompok nir obes cukup banyak sehingga perlu dilakukan pemeriksaan resistensi

insulin pada ovarium polikistik. Sedangkan menurut penelitian lain wanita SOPK

obesitas lebih sering mengalami hirsutisme dan infertilitas dibandingkan dengan

penderita SOPK yang memiliki berat badan normal. Dalam penelitian luas wanita

dengan SOPK menunjukkan angka sterilitas sekitar 40% lebih tinggi pada wanita

dengan IMT > 30 dibandingkan dengan IMT < 30. Hanya 12-22% wanita ini

memiliki siklus menstruasi yang teratur vs 28-32 % dari wanita dengan berat

badan normal. (Palomba S, et al 2006)

Pada wanita obesitas dan menderita SOPK, 35% nya mengalami toleransi

glukosa terganggu dan 10% nya dengan diabetes melitus. Toleransi glukosa

terganggu adalah didefinisikan sebagai nilai glukosa plasma 140-200 mg.dl

setelah 2 jam pemeriksaan tolerasnsi glukosa oral dengan menggunakan 75 gr

glukosa. Diabetes melitus didefinisikan sebagai kadar glukosa plasma puasa lebih

dari 126 mg/dl.(Mukhtar I khan, 2005)

Pada kelompok dengan resistensi insulin 35 dari 54 (64,8%) kasus SOPK

menderita obesitas dan 19 dari 54 (35,2%) kasus SOPK dengan nir obes dengan

resistensi insulin. Jumlah ini lebih rendah dari pada temuan Lobo yang menunjukkan bahwa 80%

dari SOPK diakibatkan resistensi insulin. Perbedaan inimungkin dipengaruhi oleh ras, pola makan yang berbeda antara orang-orang Asia

dan orang-orang Eropa yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut. (Legro R.S, et

al 1999)

Pada POPK didapatkaan 18 kasus (100%) nir obesitas tanpa resistensi

insulin. Fakta ini perlu diteliti lebih jauh dengan jumlah sampel yang lebih

banyak, karena menurut Goldseher dan Young 20-50% POPK disebabkan oleh

resistensi insulin. Bilamana kasus POPK dan SOPK digabungkan maka akan

diperoleh 35 dari 72 (48,6%) kasus menderita resistensi insulin

Hiperinsulinemia hadir pada sekitar 80% wanita obes dan 30-40% pada

wanita dengan berat badan normal dengan SOPK dan secara kuat berhubungandengan hadirnya anovulasi, dan hal ini pada akhir-akhir ini digunakan untuk 

Page 6: Sindroma ovarium polikistik

5/12/2018 Sindroma ovarium polikistik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/sindroma-ovarium-polikistik 6/6

 

mengetahui rasio kemungkinan intervensi pengobatan. (Homburg R) Menurut

kepustakaan lainnya, 44% dari wanita gemuk menderita SOPK

Penurunan berat badan pada wanita dengan obesitas akan menyebabkan

penurunan insulin dan konsentrasi androgen, dan akan meningkatkan konsentrasi

SHBG. (William N. Burns) Untuk wanita obes dengan SOPK penurunan sekitar 5-10%berat badan cukup untuk mengembalikan fungsi reproduksi pada 55-100% dalam

waktu 6 bulan pengurangan berat badan

Menurut penelitian lain oleh Pedro dkk, terdapat hubungan yang baik 

antara insulin dan BMI yang ditemukan pada wanita normal dan obes tanpa

disfungsi hormonal dan pada pasien dengan atau tanpa SOPK. Hubungan yang baik ini, meskipun

nilainya rendah, antara insulin dan testostron, dan BMI,

insulin, dan testosteron dengan trigliserida juga ditemukan pada pasien SOPK.

Pasien-pasein ini termasuk kedalam kategori yang jelas; dengan atau tanpa

resistensi insulin, dengan atau tanpa obesitas, tetapi wanita kurus dengan SOPK

mempunyai variasi insulin dan metabolik sama dengan tanpa SOPK, dan

kebanyakan pada wanita-wanita obes dengan SOPK adalah resistensi insulin, dan

lebih banyak menderita hiperandrogenemia dan hipertrigliseridemia. Pada

penelitian ini dipakai kriteria obes untuk wanita dengan BMI > 30 kg/m2.

Menurut penelitian Huber-Buchholz dkk, penurunan berat badan dan

olahraga dilakukan untuk mengatasi gangguan menstruasi dan infertilitas pada

wanita obes dengan SOPK. Penelitian ini menghubungkan antara sensitivitas

insulin dengan pola ovulasi pada 18 wanita obes SOPK dengan infertilitas

anovulatoar dengan toleransi glukosa yang normal, yang berusia antara 22-23

tahun dengan BMI 27-45 kg/m2, sebelum dan 6 bulan setelah menjalankan diet

dan program olahraga. Program ini memicu faktor gaya hidup sehat, tetapi tidak 

menimbulkan penurunan berat badan yang cepat. Faktor antropometrik,metabolisme dan endokrin dari subjek ini dibandingkan dengan usia dan berat

badan wanita SOPK dengan ovulasi yang teratur tiap bulannya (RO). Sebelum

modifikai gaya hidup, subjek yang anovulasi mempunyai obesitas sentral yang

tinggi dibandingkan subjek dengan ovulasi yang teratur, yang ditunjukkan oleh

persentase lemak sentral (NO, 45,7 +/- 0,8%; RO 42,2 +/- 1,6%; P<0,05), glukosa

tambahan yang lebih tinggi sesudah glukosa challenge (NO, 10,1 +/- 1,0 mmol/L;

RO 2,8 +/- 0,6 mikromol/kg x min/pmol/L; P<0,005), LH plasma yang lebih tinggi (NO, 8,9 +/-

0,9; RO, 4,6 +/- 0,9 IU/L; P<0005), dan SHGB plasma yang

lebih rendah (NO, 18,0 +/- 2,5; RO, 27,8 +/- 5,7 nmol/L; P,0,05). Subjek yang

anovulatoar diklasifikasikan sebagai responder (R) untuk mengintervensi jika

ovulasi mereka kembali selama penelitian. Sebagai hasil intervensi , Rmenunjukkan 11% penurunan lemak sentral, 71% perbaikan indeks sensitivitas

insulin, 33% turunnya kadar insulin dan 39% penurunan kadar LH. Tidak ada

satupun parameter yang merubah secara signifikan pada nonresponder (NR). Pada

akhir penelitian, R mempunyai kecepatan insulin yang lebih rendah (R, 13,6 +/-

1,7; NR, 23,0 +/- 3,5 mU/L) dan kadar LH (R, 5,0 +/- 1,7; NR, 7,4 +/- 1,4 IU/L),

tapi kadar androgen yang sama telah membandingkan NR. Dapat disimpulkan

bahwa modifikasi gaya hidup tanpa penurunan berat badan yang cepat memicu

pengurangan lemak sentral dan memperbaiki sensitivitas insulin, yang

mengembalikan ovulasi pada wanita infertilitas dengan SOPK yang memiliki

kelebihan berat badan. Modifikasi gaya hidup adalah penatalaksanaan yang

penting untuk wanita obes untuk memperbaiki fungsi reproduksi mereka