Sindrom Ovarium Polikistik REVISI

46
I. PENDAHULUAN Sindrom ovarium polikistik (SOPK) adalah salah satu penyebab infertilitas yang paling sering dijumpai sebab mempengaruhi 1-5% dari seluruh populasi wanita di seluruh dunia. Sindrom ini pertama kali dijelaskan oleh Stein dan Leventahl pada tahun 1935 sebagai suatu sindrom yang terdiri dari obesitas, oligomenore, hirsutisme dan ovarium polikistik. Telah banyak perkembangan terbaru yang dikemukakan sejak penyakit ini pertama kali dijelaskan sehingga defenisi menurut Stein-Leventahl sudah tidak dianut lagi. Fakta bahwa prevalensi SOPK meningkat pada wanita dengan riwayat anggota keluarga menderita penyakit yang sama mendukung hipotesis bahwa suatu komponen genetik yang pola pewarisannya masih diperdebatkan berperan mendasari sindrom ini. Namun karakteristik klinis sindrom SOPK yang sangat heterogen mengindikasikan bahwa penyakit ini boleh jadi didasari oleh interaksi faktor genetik dan lingkungan yang jauh lebih rumit. SOPK masih banyak diselubungi oleh kontroversi baik menyangkut diagnosis dan tata laksananya. Saat ini, definisi dan kriteria diagnosis yang banyak dianut secara universal adalah buah hasil pertemuan ahli-ahli SOPK dari seluruh dunia pada tahun 2003 di Rotterdam yang dikenal sebagai kriteria Rotterdam. 1,2 1

description

sop

Transcript of Sindrom Ovarium Polikistik REVISI

I. PENDAHULUAN

Sindrom ovarium polikistik (SOPK) adalah salah satu penyebab infertilitas yang paling sering dijumpai sebab mempengaruhi 1-5% dari seluruh populasi wanita di seluruh dunia. Sindrom ini pertama kali dijelaskan oleh Stein dan Leventahl pada tahun 1935 sebagai suatu sindrom yang terdiri dari obesitas, oligomenore, hirsutisme dan ovarium polikistik. Telah banyak perkembangan terbaru yang dikemukakan sejak penyakit ini pertama kali dijelaskan sehingga defenisi menurut Stein-Leventahl sudah tidak dianut lagi. Fakta bahwa prevalensi SOPK meningkat pada wanita dengan riwayat anggota keluarga menderita penyakit yang sama mendukung hipotesis bahwa suatu komponen genetik yang pola pewarisannya masih diperdebatkan berperan mendasari sindrom ini. Namun karakteristik klinis sindrom SOPK yang sangat heterogen mengindikasikan bahwa penyakit ini boleh jadi didasari oleh interaksi faktor genetik dan lingkungan yang jauh lebih rumit. SOPK masih banyak diselubungi oleh kontroversi baik menyangkut diagnosis dan tata laksananya. Saat ini, definisi dan kriteria diagnosis yang banyak dianut secara universal adalah buah hasil pertemuan ahli-ahli SOPK dari seluruh dunia pada tahun 2003 di Rotterdam yang dikenal sebagai kriteria Rotterdam. 1,2

I.1. Anatomi ovariumOvarium adalah organ hormonal wanita yang bertugas menghasilkan hormon-hormon reproduksi seperti estrogen dan progesteron. Ukurannya bermacam-macam. Pada wanita usia reproduktif ukurannya rata-rata 2,5-5 x 1,5-3 x 0,6-1,5 cm sedangkan pada wanita menopause ukurannya jauh lebih kecil. Letak ovarium berbeda-beda tetapi biasanya ditemukan di bagian atas rongga pelvis bagian lateral di antara vena iliaka interna dan vena iliaka divergen, suatu ruang yang disebut fossa ovarium dari Waldeyer. Ovarium dilekatkan pada ligamentum latum oleh mesovarium. Ligamentum uteroovarium berasal dari bagian posterior dan lateral uterus tepat di bawah insersi tuba ke dalam polus uterinus uterus dan berukuran panjang 3-4 mm. Ligamen ini ditutupi oleh otot dan jaringan ikat penunjang. Ligamentum infundibulopelvikum atau ligamentum suspensorium ovarium berasal dari bagian atas dinding pelvis. Di dalam ligamen ini melintas pembuluh darah dan saraf dari ovarium.3,4Ovarium terdiri dari dua lapisan yakni korteks dan medulla. Korteks adalah lapisan luar dari ovarium yang berbeda-beda ketebalannya pada tiap masa kehidupan wanita. Di dalam lapisan inilah terletak ovum dan folikel-folikel yang terletak di antara serabut dan sel-sel jaringan ikat berbentuk spindel. Bagian terluar dari korteks yang berwarna putih buram disebut tunika albuginea. Pada permukaan tunika albuginea terdapat selapis epitel kuboid yang disebut epitel germinal Waldeyeri.3Medula ovarium disusun oleh jaringan ikat longgar yang berkelanjutan dengan jaringan ikat mesovarium. Terdapat sejumlah besar arteri dan vena di dalam medulla serta sedikit serabut otot polos yang berkelanjutan dengan otot polos ligamentum suspensorium.4Ovarium dipersarafi baik oleh saraf simpatik maupun parasimpatik. Saraf simpatik pada ovarium utamanya berasal dari pleksus ovarium yang ada bersama-sama dengan pembuluh darah ovarium. Saraf simpatik lain berasal dari pleksus yang mengelilingi cabang ovarial dari arteri uterina. Ovarium mengandung banyak sekali serabut saraf tidak bermielin yang ada bersama-sama dengan pembuluh darah. Serabut saraf tersebut adalah serabut vaskuler semata sedangkan serabut lain terletak di sekeliling folikel yang normal maupun atretik dan bercabang-cabang hingga pada membran granulosa.4

I.2. Fisiologi Siklus MenstruasiUsia subur seorang wanita ditandai oleh perubahan-perubahan ritmis sekresi hormon wanita serta perubahan-perubahan fisik yang dipengaruhi oleh hormon pada ovarium dan organ seks lain setiap bulannya. Pola perubahan tersebut dikenal sebagai siklus menstruasi. Lama siklus rata-rata adalah 28 hari tetapi ada pula yang lebih singkat (21 hari) dan lebih panjang (35 hari). Siklus menstruasi pada wanita menyebabkan dua hal penting. Pertama, hanya ada satu ovum yang dilepas ovarium setiap bulannya sehingga normalnya, hanya satu janin yang berkembang dalam satu masa kehamilan. Kedua, endometrium uterus akan dipersiapkan sebelumnya agar dapat menerima implantasi ovum jika terjadi pembuahan.5

I.2.1. Siklus OvariumLama rata-rata siklus menstruasi seorang wanita adalah 28 hari (25-32 hari). Siklus ini dikontrol oleh interaksi aksis hipotalamus-pituitari, ovarium serta uterus. Pada setiap siklus, selalu terjadi perubahan histologis endometrium seperti siklus-siklus sebelumnya.5Terdapat sekitar 2 juta folikel primordial pada perempuan ketika baru dilahirkan. Folikel primordial tersebut terdiri dari ovum yang dikelilingi oleh selapis sel granulosa yang dipercaya menyediakan nutrisi bagi ovum dan mensekresikan faktor yang mencegah pematangan oosit sehingga ovum tetap berada dalam kondisi primordial yakni pada tahap profase pembelahan meiosis. Setelah pubertas, ketika FSH dan LH mulai dihasilkan dari hipofisis anterior dalam jumlah yang memadai, ovarium bersama dengan beberapa folikel di dalamnya akan mulai berkembang. Ovarium akan membesar dua hingga tiga kali lipat dan terjadi penambahan lapisan sel granulosa pada beberapa folikel. Pada tahap ini folikel disebut sebagai folikel primer.3,5Pada hari-hari pertama dari siklus menstruasi, terjadi sedikit peningkatan konsentrasi FSH maupun LH dimana peningkatan FSH sedikit lebih banyak daripada LH. Hormon tersebut, khususnya LH akan menyebabkan percepatan perkembangan 6 hingga12 folikel primer setiap bulannya. Efek yang pertama kali terjadi adalah pembelahan cepat sel-sel granulosa dan munculnya sel-sel spindel yang diturunkan dari interstisium ovarium di beberapa lapisan terluar sel-sel granulosa sehingga muncul massa sel kedua yang disebut teka. Teka dibagi menjadi dua yakni teka interna yang terdiri dari sel-sel epiteloid mirip sel granulosa dan mampu menghasilkan hormon. Lapisan luar yakni teka eksterna menjadi kapsul jaringan ikat yang kaya pembuluh darah. Setelah masa pembelahan seperti telah dijelaskan, massa sel granulosa akan menseksresikan cairan folikuler yang mengandung estrogen konsentrasi tinggi dimana akumulasi cairan tersebut menyebabkan munculnya sebuah ruangan (antrum) di tengah-tengah massa sel granulosa.5

Gambar 1. Tahap perkembangan folikel hingga pembentukan korpus luteum (dari Guyton Hall Textbook of Medical Physiology)

Pada tahap ini, terjadi percepatan pertumbuhan yang mengakibatkan folikel tumbuh menjadi bahkan lebih besar dan disebut folikel fesikuler. Hal ini disebabkan oleh (1) umpan balik positif estrogen yang menyebabkan bertambahnya jumlah reseptor FSH sehingga sel granulosa menjadi lebih sensitif terhadap FSH, (2) FSH dan estrgogen bekerja menimbulkan ekspresi reseptor LH pada sel granulosa sehingga LH bisa ikut menstimulasi sekresi folikel, (3) peningkatan produksi LH dan estrogen menyebabkan proliferasi sel teka dan juga peningkatan seksresinya. Ovum sendiri juga membesar tiga hingga empat kali lipat sehingga diameter folikel membesar total 10 kali lipat.5Sebelum terjadi ovulasi, salah satu folikel akan bertumbuh lebih cepat daripada folikel lainnya sedangkan folikel yang lain mengalami involusi (proses yang disebut atresia). Penyebab atresia belum diketahui tetapi mungkin akibat efek umpan balik negatif estrogen yang dihasilkan oleh folikel dominan terhadap produksi FSH oleh hipofisis sehingga folikel yang lain gagal bertumbuh. Mekanisme ini penting agar tidak lebih dari satu janin yang bertumbuh dalam kandungan pada tiap kehamilan. Folikel tunggal yang mencapai ovulasi berukuran 1-1,5 cm dan disebut folikel matur.3,5Ovulasi terjadi kira-kira 14 hari sebelum terjadi menstruasi pada siklus selanjutnya dan didahului oleh puncak sekresi LH 10-12 jam sebelumnya. Puncak sekresi LH (LH surge) tersebut sangat dibutuhkan untuk terjadinya ovulasi. Folikel tidak akan mengalami ovulasi bahkan jika terdapat hormon FSH dalam jumlah yang banyak jika tidak terdapat hormon LH. Peningkatan LH akan merangsang proses meiosis pada ovum disertai dengan pelepasan badan polar pertama. Pada saat ini, terbentuklah stigma (protrusi pada dinding folikel) yang kemudian pecah sehingga ovum yang dikelilingi oleh beberapa ribu sel granulosa (disebut korona radiata) dapat dilepaskan. Menurut penelitian yang ada saat ini, pelepasan LH akan mengakibatkan peningkatan produksi progesteron dan prostaglandin yang kemudian mengaktivasi kelompok aktivator plasminogen dan matrix maetalloprotease. Pengaktivan enzim-enzim protease tersebut kemungkinan besar memainkan peranan penting dalam penghancuran membran folikel pada saat terjadi ovulasi.3,5Setelah terjadi ovulasi, akan dimulai serangkaian proses perubahan bentuk dan kimiawi dari sisa-sisa folikel yang akan mengubahnya menjadi korpus luteum, suatu proses yang disebut luteinisasi. Membran yang memisahkan sel-sel granulosa-lutein dan sel-sel teka-lutein akan mengalami penghancuran dan pada hari kedua setelah ovulasi, pembuluh darah dan kapiler akan menginvasi lapisan sel granulosa yang sebelumnya avaskuler. Sel-sel tersebut mengalami hipertrofi dan peningkatan kapasitas produksi hormon. Pada wanita dengan siklus haid normal, korpus luteum dipertahankan oleh pelepasan pulsatil LH yang berfrekuensi rendah dan beramplitudo tinggi oleh sel gonadotrop pada hipofisis anterior.3Pola sekresi hormon oleh korpus luteum berbeda dengan pola pelepasan hormon oleh folikel. Peningkatan kapasitas sel granulosa-lutein dalam menghasilkan progesteron merupakan akibat dari peningkatan prekursor steroidogenik yakni koleterol yang diturunkan dari low density lipoprotein (LDL). Peningkatan prekursor tersebut disebabkan oleh perubahan kadar protein regulator steroidogenik akut yang mendukung penggunaan kolestrol untuk kepentingan biosintesis progesteron. Sebagai tambahan, high density lipoprotein (HDL) juga mungkin berperan dalam produksi progesteron oleh sel granulosa-lutein.5Pola sekresi estrogen lebih rumit dari pola sekresi progesteron yang telah dijelaskan. Segera setelah ovulasi, kadar estrogen akan menurun tetapi diikuti oleh peningkatan kadar kedua dimana tercapai produksi puncak 17,-estradiol sebesar 0,25 mg/hari di pertengahan fase luteal. Pada akhir fase luteal, terjadi penurunan produksi estradiol yang kedua. Produksi progesteron oleh ovarium akan memuncak sebesar 25-50 mg/hari pada fase luteal pertengahan dan jika terjadi kehamilan, korpus luteum akan melanjutkan produksi progesteron sebagai respon terhadap hormon hCG yang berperan mengikat dan mengaktivasi reseptor LH sel luteal. Peran faktor luteotropik lain pada wanita belum begitu jelas tetapi salah satu penelitian menunjukkan bahwa ternyata Prostaglandin F2 (PGF2) bersifat luteolitik pada primata maupun manusia. Luteolisis pada korpus luteum ditandai dengan pengurangan jumlah sel-sel luteal akibat peningkatan kejadian apoptosis. Efek-efek endokrin yang diamati seperti pengurangan drastis kadar progesteron dan estradiol dalam sirkulasi penting agar folikel dapat berkembang dan ovulasi dapat terjadi pada siklus ovarium berikutnya. Lebih lanjut lagi, regresi korpus luteum dan penurunan kadar steroid dalam sirkulasi merupakan sinyal bagi endometrium untuk mengawali peristiwa molekuler yang mengakibatkan terjadinya menstruasi.3,5

I.2.2. Siklus EndometriumSel epitel (glanduler), sel stroma (mesenkimal) dan pembuluh darah endometrium akan bereplikasi dengan cepat mengikuti siklus menstruasi sehingga terjadi regenerasi pada tiap-tiap siklus haid. Endometrium terkelupas dan beregenerasi sebanyak hampir 400 kali selama masa subur seorang wanita. Tidak ada jaringan lain yang mengikuti pola pengelupasan-regenerasi seperti ini pada manusia. Estradiol yang diproduksi pada fase folikuler merupakan faktor yang paling penting dalam proses pemulihan endometrium setelah menstruasi. Sekitar dua pertiga endometrium fungional terkelupas pada saat menstruasi tetapi segera terjadi reepitelisasi bahkan sebelum perdarahan menstruasi berhenti. Pada hari kelima siklus endometrium, permukaan endometrium sudah akan pulih dan mulai mengalami revaskularisasi. Pada awal fase proliferatif endometrium masih tipis, kira-kira hanya setebal 2 mm sedangkan kelenjar endometrium hanya berupa struktur berbentuk tabung sempit yang berjalan lurus dari lapisan dasar hingga permukaan rongga endometrium. Gambaran mitosis mulai tampak pada hari kelima khususnya pada epitel glanduler dan terus berlangsung hingga hari 16-17 (2 hingga 3 hari setelah ovulasi). Walaupun pada saat ini pembuluh darah sudah banyak tetapi belum terjadi ekstravasasi darah maupun infiltrasi leukosit. 3,5Jelas bahwa reepitelisasi dan angiogenesis adalah proses-proses yang sangat penting dalam penghentian perdarahan pada akhir menstruasi dimana proses-proses tersebut sangat tergantung pada hormon estrogen. Estradiol bekerja secara parakrin maupun autokrin dengan menginduksi ekspresi gen faktor pertumbuhan pada sel-sel stromal dan juga meningkatkan kadar fibroblast growth-factor 9 lokal. Estrogen juga meningkatkan produksi vascular endothelial growth factor (VEGF) sehingga terjadi angiogenesis di seluruh bagian dasar endometrium .3,5Pada akhir fase proliferatif, endometrium menebal sebagai akibat dari hiperplasia glanduler serta peningkatan substansi stroma (edema dan bahan-bahan protein). Stroma yang longgar adalah tampakan yang sangat khas, kelenjar-kelenjar pada bagian superfisial lebih jarang jika dibandingkan dengan bagian yang lebih dalam (lapisan basal) dimana kelenjar-kelenjarnya lebih banyak dan stromanya lebih padat. Pada pertengahan siklus ketika ovulasi sudah hampir terjadi, epitel glanduler menjadi lebih tinggi dan berlapis semu. Sel-sel epitel permukaan mengembangkan sejumlah mikrovili yang memperluas permukaan serta silia yang membantu pergerakan secret endometrium pada fase sekretorik. fase folikuler pada wanita normal tidak seragam. Ada yang sesingkat 5- 7 hari tetapi ada pula yang selama 21-30 hari. Berbeda dengan fase proliferatif, fase sekretorik bersifat konstan pada semua wanita (12-14 hari).3,5Setelah ovulasi, endometrium yang telah bertumbuh akibat rangsangan estrogen akan mendapat perangsangan lanjutan oleh peningkatan kadar progesteron. Pada hari 17, glikogen yang terakumulasi di bagian basal epitel glanduler akan menyebabkan terbentuknya vakuola subnukleus dan pseudostratifikasi lapisan tersebut. Ini adalah tanda histologis ovulasi yang pertama kali dapat diamati dan kemungkinan besar merupakan akibat kerja langsung progesteron pada reseptornya di sel glanduler. Pada hari 18 vakuola berpindah ke bagian apical sel sekretorik nonsilia dan pada hari 19 sel-sel tersebut melepaskan glikoprotein dan mukopolisakaridanya ke dalam lumen secara apokrin. Mitosis sel glanduler akan terhenti bersamaan dengan permulaan aktivitas sekretorik sel glanduler yakni pada hari 19 sebagai akibat peningkatan kadar progesteron yang melawan efek mitotik dari estrogen. Selain akibat lawanan progesteron, kerja estradiol juga berkurang akibat kerja enzim 17- hidroksisteroid-dehidrogenase tipe 2 yang mengubah estradiol menjadi estron yang kurang aktif.5Pada hari ke 21-24 dari siklus menstruasi, stroma endometrium menjadi udem dan pada hari 22-25 sel stroma yang mengelilingi arteriol spiralis mulai membesar dan mitosis stroma terlihat jelas. Hari 23-28 ditandai oleh adanya sel predesidual yang mengelilingi arteriol spiralis. Salah satu tanda yang khas pada hari 22-25 adalah perubahan predesidual yang mencolok pada dua pertiga atas lapisan fungsional. Kelenjar-kelenjar menjadi berkelok-kelok dan sekresi ke dalam lumen tampak jelas.3,5

Gambar 2. Siklus Ovarium, Siklus Endometrium, dan hubungannya dengan hormon kelamin (dari Williams Obstetrics, 22nd ed)

Sebagai tambahan, fase sekretorik ditandai oleh kelanjutan pertumbuhan dan perkembangan arteri spiralis. Arteri-arteri tersebut berasal dari arteri arkuata yang dipercabangkan oleh arteri uterine. Sifat morfologis arteri spiralis sangat unik dan penting dalam terjadinya perubahan aliran darah yang mendukung menstruasi atau implantasi jika seandainya terjadi pembuahan. Selama pertumbuhan endometrium, arteri spiralis juga memanjang tetapi kecepatan pemanjangannya jauh lebih besar daripada kecepatan penebalan jaringan endometrium sehingga arteri spiralis yang sebelumnya sudah berbentuk spiral menjadi semakin berkelok-kelok. Salah satu peneliti menunjukkan bahwa angiogenesis yang terjadi sangat cepat ini diatur secara parsial oleh sintesis VEGF yang diatur oleh estrogen dan progesteron. VEGF yang disekresikan oleh sel-sel di dalam stroma dan epitel ganduler tersebut akan merangsang proliferasi sel endotel dan meningkatkan permeabilitas vaskuler.3,5Saat produksi progesteron berkurang seperti pada luteolisis, menstruasi akan terjadi. Salah satu tanda histogis yang khas pada fase premenstruasi akhir adalah infiltrasi stroma oleh leukosit polimorfonuklear yang memberikan tampakan radang palsu. Infiltrasi netrofil utamanya terjadi pada hari pertama atau kedua sebelum menstruasi. Stroma dan sel epitel endometrium akan menghasilkan interleukin-8 (IL-8), suatu faktor kemotaktik netrofil yang mungkin merupakan salah satu agen yang berfungsi memanggil netrofil ke endometrium sebelum onset menstruasi. Endometrium juga mampu menghasilkan protein kemotaktik monosit yakni MCP-1. Kecepatan sintesis mediator-mediator tersebut diatur secara parsial oleh hormon seks di dalam serkulasi.3,5 Leukosit yang menginvasi endometrium akan menghasilkan enzim yang tergolong dalam anggota kelompok matriks-metalloproteinase. Metalloproteinase tersebut akan saling menguatkan dengan protease yang sebelumnya sudah dihasilkan oleh sel stroma sehingga terjadi ketidakseimbangan proteinase-inhibitor proteinase dan terjadilah permulaan degradasi matriks endometrium. Fenomena ini diusulkan oleh Dong et.al. sebagai awal dari menstruasi.3Pada saat terjadi regresi pertumbuhan endometrium, arteri spirali menjadi terlalu berkelok-kelok sehingga tahanan terhadap aliran darah pada pembuluh darah tersebut menjadi sangat tinggi dan terjadilah hipoksia endometrium. Stasis yang terjadi merupakan penyebab iskemia endometrium dan degenerasi jaringan yang mengikutiya. Vasokontriksi arteri spiralis berperan membatasi kehilangan darah berlebihan saat menstruasi. Aliran darah pada arteri spiralis tmapaknya diatur oleh pengaruh hormon seks pada system peptide vasoaktif lokal.3

II. EPIDEMIOLOGIBeberapa penelitian yang ada menunjukkan bahwa prevalensi SOPK adalah 5 sampai 10 % dari seluruh wanita usia subur. Umumnya, diagnosis SOPK sering terlewatkan sehingga angka tersebut mungkin lebih kecil dari keadaan sebenarnya. Misalnya pada wanita-wanita dengan siklus haid kurang dari 21 hari atau lebih dari 35 hari. Kelainan haid seperti ini kadang berhubungan dengan SOPK tetapi biasanya hanya ditangani dengan pil kontrasepsi untuk menutupi kelainan yang ada hingga SOPK tidak disadari sampai suatu saat ketika wanita tersebut menginginkan kehamilan dan kesulitan mendapatkannya.6

III. ETIOLOGIEtiologi SOPK telah menjadi teka-teki yang tidak terjawab selama bertahun tahun bagi ahli ginekologi dan endokrinologi di seluruh dunia. Tetapi diamati bahwa gejala-gejala SOPK yang khas akan muncul setelah adanya periode anovulasi selama beberapa waktu. Karena penyebab anovulasi ada bermacam-macam, maka penyebab SOPK juga bermacam-macam. Dengan kata lain, SOPK diakibatkan oleh kelainan fungsional dan bukan defek sentral atau lokal tertentu. Kelainan fungsional tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor keturunan, kelainan hormonal, obesitas, dan stress.7,8

IV. PATOFISIOLOGIWalaupun faktor pencetus pasti dari SOPK belum diketahui sampai saat ini tetapi terdapat beberapa kelainan endokrin yang berhubungan dengan penyakit ini yang telah diketahui. Di antaranya, diketahui bahwa kadar LH pada pasien SOPK lebih tinggi dibanding orang normal. Hal ini dapat diakibatkan oleh peningkatan produksi pulsatil GnRH maupun peningkatan sensitivitas hipofisis anterior terhadap GnRH. Peningkatan kadar LH mengakibatkan bertambahnya produksi testosteron dan androstenedion pada sel teka ovarium. Sebagian testosteron dan androstenedion yang dihasilkan akan diubah menjadi estrogen di perifer sehingga selain terjadi peningkatan androgen juga terjadi peningkatan kadar estrogen. Peningkatan kadar androgen dalam sirkulasi akan menghambat produksi sex hormone binding globuline (SHBG) di hati sehingga kadar testosteron bebas yang tidak terikat dengan SHBG akan meningkat. Berkurangnya SHBG juga mengakibatkan peningkatan kadar estradiol bebas. Hal ini mengakibatkan inhibisi pelepasan FSH dari hipofisis dan bahkan dapat meningkatkan pelepasan pulsatil GnRH. Berkurangnya produksi FSH akan mengakibatkan berkurangnya aktivitas enzim aromatase pada sel granulosa sehingga hanya sedikit androgen berlebih yang akan diubah menjadi estradiol sedangkan sisanya dilepas ke dalam sirkulasi. 9Kadar FSH yang terus-menerus rendah tetapi tidak hilang sama sekali mengakibatkan folikel-folikel baru terus terstimulasi untuk tumbuh tetapi tidak sampai matang dan mengalami ovulasi. Walau tidak berkembang hingga matang, jangka hidup folikel-folikel tersebut memanjang hingga berbulan-bulan dalam bentuk kista folikel multipel yang berukuran 2-10 mm dan dikelilingi sel-sel teka hiperplastik. Akumulasi jaringan folikuler dengan berbagai tahap perkembangan mengakibtakan adanya produksi steroid yang meningkat dan relative konstan sebagai respon terhadap stimulasi gonadotropin. Kondisi tersebut berlangsung terus-menerus. 8,9

Gambar 3. Patofisiologi SOPK (dari Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility)

Resistensi insulin yang mengakibatkan hiperinsulinemia umum dijumpai pada wanita-wanita dengan SOPK walaupun wanita-wanita tersebut masih berusia muda. Lebih lanjut lagi, hiperinsulinemia dapat berkembang menjadi hiperglikemia dan diabetes tipe 2 seiring perjalanan waktu. Sekitar satu pertiga dari seluruh pasien SOPK mengalami toleransi glukosa terganggu (TGT) dan 7,5% hingga 10% menderita diabetes mellitus tipe 2. Nilai ini bahkan juga meningkat pada wanita-wanita dengan SOPK yang non-obes (10% TGT;1,5% diabetes) jika dibandingkan dengan populasi normal di AS (7,8% TGT; 1% diabetes). Peningkatan kadar insulin kadang bermanifestasi sebagai akantosis nigrikans, suatu perubahan warna kulit menjadi cokelat keabuan pada daerah leher, ketiak dan selangkangan. Beberapa laporan-laporan terbaru ternyata menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara hiperandrogenisme dan resistensi insulin: Kinerja insulin-like growth factor 1(IGF-1 )pada reseptornya ternyata akan meningkatkan produksi androgen yang diinduksi LH. Karena adanya homologi antara insulin dan IGF-1, insulin juga akan bekerja pada reseptor IGF-1sehingga meningkatkan sintesis androgen. Selain itu, insulin juga bekerja mengurangi produksi IGF-1 binding globulin sehingga mengakibatkan peningkatan kadar IGF-1 bebas serta menghambat produksi SHBG secara langsung. Penelitian telah menujukkan bahwa kadar androgen dalam sirkulasi akan berkurang setelah pemberian obat-obat penurun gula darah seperti diazoksid (hyperstat), metformin (Glucophage) ataupun troglitazone (rezulin).8,9Obesitas yang ditemui pada 50-80% wanita-wanita dengan SOPK berperan dalam perubahan endokrin melalui beberapa cara: pertama, obesitas tipe android berperan pada terjadinya resistensi insulin yang kemudian menyebabkan peningkatan androgen bebas. kedua, obesitas juga dihubungkan dengan berkurangnya kadar SHBG serta peningkatan angka konversi androgen menjadi estron di perifer.8,9Temuan bahwa hiperandrogenemia, anovulasi dan ovarium polikistik bersifat familial menunjukkan bahwa SOPK memiliki dasar genetik. Sekelompok pasien dengan kondisi ini ditunjukkan mendapat kondisi tersebut melalui pewarisan terpaut-X dominan. Lebih lanjut lagi, Terdapat suatu pewarisan paternal yang meningkatkan insidensi hirsutisme dan oligomenore hingga 2 kali lipat tetapi dengan ekspresi fenotipe yang berbeda-beda. Di lain pihak, penelitian pada keluarga-keluarga besar menunjukkan bahwa pewarisan SOPK kemungkinan bersifat autosomal-dominan dengan fenotipe kebotakan-prematur pada anggota keluarga laki-laki. Adanya hubungan kuat antara hiperinsulinemia dan hiperandrogenisme juga menunjukkan bahwa efek stimulasi insulin pada produksi androgen oleh ovarium dipengaruhi oleh predisposisi genetik. 9

V. MANIFESTASI KLINISSecara umum, dikenal empat tanda kunci dari SOPK yakni: gangguan ovulasi dan menstruasi, hiperandrogenemia, tampakan klinis hiperandrogenisme, serta ovarium polikistik. Berikut akan dibahas mengenai tanda dan gejala SOPK yang bisa diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan fisis seperti gangguan ovulasi dan menstruasi dan tampakan klinis hiperandrogenisme 10

V.1. Gangguan Ovulasi dan MenstruasiGangguan ovulasi dapat timbul sebagai gangguan pola menstruasi yakni oligomenore atau amenore yang kebanyakan bermula pada masa menarke atau beberapa saat setelanya. Pada sebuah penelitian, didapatkan bahwa 75-85% wanita yang didiagnosis SOPK mengalami gangguan menstruasi klinis. Lebih lanjut lagi, pada sebuah penelitian prospektif yang melibatkan 400 wanita, didapatkan bahwa 60% dari pasien yang terdeteksi memiliki SOPK memiliki gangguan menstruasi yang jelas sedangkan 40% sisanya mengalami oligoovulasi tetapi siklus haidnya tampak normal.10Harus diperhatikan bahwa gangguan ovulasi juga dapat bersifat subklinis tanpa adanya perubahan pola perdarahan vagina yang khas. Seorang wanita dengan siklus menstruasi normal belum tentu memiliki siklus yang ovulatorik. Walaupun fenomena ini jarang ditemukan pada populasi umum tetapi cukup banyak pada populasi tertentu seperti wanita-wanita dengan hiperandrogenisme. Sebenarnya, 20-50% wanita hiperandrogenik dengan siklus menstruasi normal mengalami anovulasi kronik dan dapat diangap menderita SOPK. Wanita dengan SOPK dan siklus menstruasi normal yang tidak memperlihatkan gejala premenstruasi (seperti perubahan mood dan rasa penuh pada payudara) dapat dicurigai mengalami anovulasi. Dalam praktek klinis, Hal ini dapat dipastikan dengan mengukur kadar progesteron pada hari 20-24 siklus menstruasi. Jika kadar progesteron di bawah 3-4 ng/ml dalam dua siklus berturut-turut maka siklus dianggap anovulatorik.10

V.2. HiperandrogenismeTanda hiperandrogenisme yang khas pada SOPK adalah hirsutisme (75%) dan jerawat (17%). Jika terjadi perkembangan tanda-tanda hiperandrogenisme secara cepat ke arah virilisasi, yang ditandai oleh alopesia androgenik, peningkatan massa otot, suara menjadi kelaki-lakian, dan klitorimegali, maka kecurigaan harus lebih diarahkan ke tumor-tumor yang meproduksi androgen. 11Hirsutisme didefenisikan sebagai kehadiran rambut-rambut terminal pada daerah wajah dan/atau badan pada wanita dimana pertumbuhan rambut-rambut tersebut mengikuti pola pertumbuhan yang khas ditemukan pada pria. Perkembangannya tidak hanya dipengaruhi oleh kadar androgen tetapi juga oleh sensitivits genetik folikel rambut terhadap androgen. Oleh karena itu, wanita yang hiperandrogenik dan anovulatorik bisa saja bebas dari tanda-tanda hirsutisme. Metode yang paling umum digunakan untuk menilai dan mendokumentasikan hirsutisme adalah metode Ferriman dan Gallwey modifikasi yang menilai Sembilan area tubuh seperti bibir atas, dagu, dada, punggung perut bagian bawah, lengan atas, serta paha. Daerah-daerah tubuh tersebut kemudian diberi skor 0-4 berdasarkan kelebatan rambut (0= tidak ada rambut, 1=minimal hingga 4=maksimal). Kebanyakan penulis membatasi hirsutisme pada nilai skor 6-7 ke atas. Berdasarkan sistem tersebut, didapatkan bahwa 65-75% wanita dengan SOPK (dari kulit putih, hitam, dan kuning langsat) memiliki hirsutisme walaupun prevalensinya kemungkinan lebih sedikit di antara wanita-wanita asia tenggara. 11

V.3. ObesitasPasien dengan SOPK cenderung mengalami peningkatan berat badan. Obesitas diamati pada 50-65% pasien SOPK. Obesitas yang diamati sebagian besar bersifat obesitas sentral (peningkatan rasio pinggang-panggul) dan ternyata gejala-gejala SOPK lain seperti hirsutisme, infertilitas dan kelainan metabolik. Lebih berat pada pasien SOPK yang dengan obesitas. Obesitas juga menyebabkan keberhasilan terapi seperti induksi ovulasi menjadi berkurang.11

VI. DIAGNOSISSeperti telah dijelaskan sebelumnya, SOPK adalah sindrom yang bersifat heterogen dengan kombinasi tanda-tanda anovulasi (amenore, oligomenore, gangguan siklus Haid) dan tanda-tanda hiperandrogenisme (hirsutisme, jerawat, alopesia). Kelainan biokimia yang khas adalah peningkatan kadar androgen serum dan LH tetapi kadar FSH normal.12Kemajuan penggunaan ultrasonografi (USG) untuk pemeriksaan ovarium mengungkapkan bahwa SOPK dapat terjadi pada pasien-pasien dengan tanda anovulasi tetapi tanpa tanda hiperandrogenisme atau sebaliknya. Hal ini menyebabkan dilakukannya revisi kriteria diagnosis SOPK oleh para ahli dari Eropa dan Amerika Sehingga hadirlah kriteria Rotterdam yang banyak dianut saat ini.12

Kriteria diagnosis SOPK Rotterdam 2003

Didapatkan dua dari tiga tanda berikut, serta disingkirkan kelainan lain yang mungkin menyebabkan hiperandrogenisme atau anovulasi:1. oligo- atau anovulasi2. hiperandrogenisme (secara klinis) atau hiperandrogenemia (secara biokimia)3. ovarium polikistik (dari hasil USG)

Tabel 1 : Kriteria diagnosis SOPK. (dari Controversy in Clinical Endocrinology)

VII. DIAGNOSIS BANDINGDiferensial diagnosis SOPK adalah sebagai berikut: 13 Hiperplasia adrenal kongenital suatu kelainan jarang yang mengakibatkan peningkatan produksi adrenokortikotropin (ACTH) sehingga terjadi produksi berlebihan dan akumulasi prekursor kortisol. Prekursor tersebut kemudia dialihkan ke jalur biosintesis androgen sehingga pasien mengalami virilisasi. Sindrom Cushing seperti SPOK paling sering terjadi pada usia reproduksi dan wanita. Tanda-tanda pada sindrom Cushing adalah moon face, buffalo hump, stria abdominalis, distribusi lemak sentripetal serta hipertensi. Skrining dilakukan dengan menilai kortisol bebas dalam urin 24 jam (normal < 100 mg) Tumor yangmemproduksi testosteron biasanya menyebabkan virilisasi dengan onset cepat dan perkembangan penyakit sangat cepat. Yang terbanyak adalah tumor sel sertoli leydig. Kebanyakan tumor-tumor tersebut adalah jinak Penggunaan steroid seksual/ anabolik eksogen Hiperprolaktinemia Kondisi-kondisi resisten insulin berat Disfungsi tiroid

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

VIII.1. Kadar HormonHiperandrogenemia, khususnya hipertestosteronemia merupakan salah satu kriteria diagnosis mayor untuk SOPK. Sumber testosteron pada pasien SOPK paling banyak berasal dari ovarium dan biasanya tidak melampaui dua kali lipat dari nilai normal (20-80 ng/dL), berbeda dengan kadar testosteron pada hipertekosis dan tumor penghasil androgen yang bisa mencapai 200 ng/dL atau lebih. Peningkatan rasio LH:FSH dapat terjadi pada beberapa wanita dengan SOPK tetapi tidak dapat digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis14

VIII.2. Skrining Diabetes dan Resistensi InsulinTerdapat banyak pendekatan skrining dan uji yang diajukan untuk menilai hiperinsulinemia dan resistensi insulin. Salah satu yang diusulkan adalha dengan menentukan rasio glukosa: insulin. Nilai rasio kurang dari 4,5 menandakan resistensi insulin. Dengan menghitung hasil tes toleransi glukosa (TTG) 2 jam dan kadar insulin, didapatkan bahwa 10% pasien SOPK non-obes dan 40-50% pasien SOPK obes SOPK memiliki toleransi glukosa terganggu (TGT= kadar glukosa 2 jam 140-199mg/dL) atau bahkan didiagnosis diabetes mellitus tipe 2 non-obes (TTG>200 mg/dL).14

VIII.3. Pemeriksaan RadiologisSaat ini, pemeriksaan radiologis yang menjadi standar baku diagnosis SOPK adalah ultrasonografi transvaginal. Diagnosis SOPK dengan peralatan radiologis dari waktu ke waktu senantiasa berubah seiring dengan penemuan peralatan baru dan peningkatan resolusi dan sensitivitasnya. Otiomo et.al. (2000) mengusulkan bahwa diagnosis SOPK pada ultrasonografi transvaginal dapat ditegakkan jika didapatkan: (1) volume ovarium > 9 cm3, (2) jumlah folikel > 10 dan (3) peningkatan ekogenisitas stroma ovarium. Peralatan yang lebih baru seperti Ultrasonografi 3D dan Doppler sudah digunakan untuk memperlihatkan gambaran SOPK tetapi peran modalitas tersebut secara klinis belum ditentukan.15

Gambar 4. Gambaran SOPK pada ultrasonografi transvaginal memperlihatkan folikel-folikel yang tersebar di perifer. (dari The British Journal of Radiology)

Pemeriksaan LainUntuk menilai wanita yang anovulatorik dan hiperandrogenik yang dicurigai menderita SOPK, penyebab spesifik lain harus disingkirkan dengan pemeriksaan berikut ini:16 Thyroid-stimulating hormone (TSH) Prolaktin Profil lipid dan lipoprotein Skrining penyakit Cushing Mempertimbangkan biopsy endsometrium

IX. PENATALAKSANAANTujuan tata laksana wanita dengan SOPK harus bersifat individual dengan memperhatikan: kehamilan, kontrol hirsutisme, dan pencegahan hiperplasia endometrium (akibat efek estrogen berlebihan). Pasien harus diberi tahu bahwa tata laksana untuk kondisinya bersifat jangka. Walaupun terapi jangka pendek sudah dapat memberikan efek yang diinginkan pasien, terapi harus dilanjutkan untuk menangani keadaan yang mendasari. Untuk hirsutisme berat tidak ada terapi medikamentosa yang mempan sehingga pilihannya adalah terapi fisis seperti bleaching, elektrolisis, depilasi dan lain-lain. Untuk pasien yang menginginkan kehamilan, dapat diberikan klomifen sitrat yang dapat merangsang ovulasi (75%) dan kehamilan (35-40%). Metode ovulasi lain (biasanya jika gagal dengan klomifen sitrat) mencakup hMG-hCG, hormon FSH dan hCG, serta GnRH pulsatil. 16

IX.1. Perubahan Gaya HidupUsaha untuk mengurangi berat badan akan sangat bermanfaat bagi pasien SOPK dengan obesitas dan hirsutisme karena bermanfaat meningkatkan kualitas kesehatan; Mengurangi kadar insulin, SHBG dan androgen, serta bahkan dapat memulihkan fungsi ovulasi apalagi jika juga diberikan agen induksi ovulasi. Penurunan berat badan dapat meningkatkan kadar SHBG melalui perbaikan sensitivitas insulin sehingga kadar androgen bebas dapat berkurang. Pada salah satu penelitian, ditemukan bahwa sekitar 50% wanita yang berhasil mengurangi berat badannya akan mengalami perbaikan gejala hirsutisme. 16Olah raga teratur yang melibatkan kelompok-kelompok otot besar juga akan memberikan efek menguntungkan bagi wanita dengan SOPK karena dapat mengurangi resistensi insulin. Kebayakan sumber menganjurkan diet tinggi protein sebagai pilihan bagi wanita dengan SOPK. Namun hanya sedikit penelitian yang menyokong pendapat ini dan terdapat banyak kekhawatiran teoritis mengenai efek protein kadar tinggi terhadap fungsi ginjal pada populasi SOPK yang rawan diabetes, serta efek samping peningkatan komposisi lemak pada diet tinggi protein.16

IX.2. Terapi Supresi AndrogenUntuk pasien-pasien dengan tampakan hiperandrogenisme seperti hirsutisme dan jerawat serta tidak menginginkan kehamilan, dapat diberikan kontrasepsi oral untuk menghentikan hirsutisme, mengurangi kadar gonadotropin, dan mengurangi resiko hiperplasia endometrium. Kontrasepsi oral menghambat produksi steroid ovarium dengan mengurangi gonadotropin dan meningkatkan SHBG melalui efek estrogennya sehingga mengurangi kadar testosteron bebas. Kontrasepsi oral juga menginhibisi ikatan dihidrotestosteron dengan reseptor androgen dan aktivitas 5a-reduktase serta meningkatkan pembersiham steroid di hati (karena stimulasi system P-450). Kinerja kontrasepsi oral yang multipel ini akan memberikan perbaikan pada gejala hirsutisme.16Agonis GnRH dapat menekan kadar androgen ovarium secara selektif dan maksimal pada pederita SOPK. Sediaan leuprolide asetat dapat diberikan intramuskuler setiap 28 hari untuk mengurangi hirsutisme baik yang idiopatik maupun sekunder SOPK. Pemberian agonis GnRH bersama dengan kontrasepsi oral dapat mencegah efek pengeroposan tulang serta atrofi genital tanpa mengurangi efek anti-hirsutismenya.16Obat-obat lain yang memiliki Anti-androgen lain dapat dipertimbangkan antara lain: glukokortikoid, ketokonazol, spironolakton, siprosteron, flutamid, simetidin, dan finasterid.16

IX.3. Agonis Reseptor InsulinKarena hiperinsulinemia memainkan peranan penting dalam SOPK dan dihubungkan dengan anovulasi maka pemberian agonis reseptor insulin dapat memperbaiki keseimbangan endokrin sehingga dapat terjadi ovulasi dan kehamilan.17Metformin adalah biguanid oral yang dapat mengurangi glukosa darah dengan menghambat produksi glukosa di hati, meningkatkan sensitivitas insulin pada tingkat post-reseptor serta merangsang penggunaan glukosa yang dimediasi insulin. Metformin meningkatkan angka ovulasi melalui beberapa mekanisme berbeda. Dua mekanisme yang diusulkan adalah (1) induksi meiosis oosit immature, dan (2) inhibisi enzim aromatase. Hiperandrogenisme pada SOPK dapat berkurang dengan terapi metformin sehingga kadar insulin berkurang dan fungsi reproduksi membaik. Metformin (3x500 mg) meningkatkan angka ovulasi hingga 90% jika diberikan bersama klomifen sitrat pada pasien SOPK yang obes. Efek sampingnya antara lain: mual, muntah, diare, kembung dan flatulens.17,18,19

IX.4. Klomifen SitratKlomifen sitrat telah digunakan sebagai agen induksi ovulasi selama lebih dari 40 tahun. Klomifen sitrat bekerja sebagai modulator reseptor estrogen yang merangsang produksi dan pelepasan FSH endogen dengan cara meniadakan umpan balik negatif estrogen ke hipotalamus dan hipofisis. Pasien SOPK sensitif dengan induksi ovulasi oleh klomifen sitrat karana sebenarnya terdapat sejumlah folikel antral di dalam ovarium. Klomifen sirat diberikan dengan dosis awal 50 mg per hari mulai di antara 2 hingga 5 siklus haid. Dosis kemudian diturunkan menjadi 25 mg jika terjadi perkembangan folikel multipel atau ditambahkan 50 mg lagi jika tidak terjadi ovulasi. Respon ovulasi dinilai berdasarkan pola bifasik suhu tubuh basal dan pengukuran kadar progeseron pada fase luteal yakni >10nmol/L. 18Walaupun 60-85% pasien akan mengalami ovulasi setelah pemberian klomifen sitrat, hanya 50% konsepsi terjadi pada dosis 50 mg, dan bertambah 20-25% dan 10% pada dosis 100 mg dan 150 mg. Hal ini mungkin diakibatkan oleh kurang berkembangnya endometrium akibat efek antiestrogenik klomifen sitrat. Kekurangan lain klomifen sitrat adalah peningktan angka gemeli (7-9%) dan triplet (0,3%), serta efek samping seperti penglihatan kabur.18

IX.5. Terapi BedahReseksi wedge dulu sering dilakukan karena menurut laporan awal Stein-Leventahl dapat meningkatkan angka kehamilan hingga 85% dan mempertahankan siklus ovulatorik tetapi sekarang hanya diindikasikan jika terapi lain gagal atau dicurigai ada tumor ovarium dan dengan syarat Pasien tidak ingin mempertahankan keinginannya bereproduksi. Laporan terbaru menunjukkan angka kehamilan yang lebih rendah serta banyaknya insidensi perlekatan periovarium mengikuti reseksi.18Dengan perkembangan pembedahan minimal invasif, laparoscopic ovarian drilling (LOD) yang dianggap tidak terlalu destruktif terhadap jaringan ovarium sehingga kurang menimbulkan adesi sudah lebih banyak digunakan. Teknik ini dianjurkan bagi pasien SOPK yang resisten terhadap klomifen sitrat. Kurang lebih 80% pasien yang ditangani dengan LOD akan mengalami ovulasi. Angka keguguran dan kelahiran hidup setelah penggunaan LOD dan klomifen sitrat sama tetapi kehamilan multipel setelah LOD secara bermakna lebih rendah dibanding dengan pemerian klomifen sitrat.18

X. KOMPLIKASIWalaupun pasien-pasien dengan SOPK mengalami gejala-gejala kelebihan androgen, harus disadari bahwa Pasien-pasien tersebut juga mengalami peningkatan kadar estrogen akibat dua mekanisme: berkurangnya SHBG yang mengakibatkan peningkatan kadar estrogen bebas serta konversi testosteron dan androstenedion di perifer menjadi estrogen. Peningkatan estrogen secara terus-menerus akan meningkatkan resiko hiperplasia endometrium dan/atau karsinoma endometrium (tiga kali lipat) serta mungkin juga kanker payudara (3-4 kali lipat pada masa post-menopause). Biopsi endometrium adalah langkah yang bijaksana dilakukan pada pasien-pasien dengan anovulasi lama. Keputusan melakukan biopsI tidak dipengaruhi oleh umur pasien melainkan lama paparan estrogen dominan. Salah satu penulis menyarankan bahwa biopsi endometrium diperlukan jika terdapat riwayat paparan estrogen jangka panjang bahkan jika ketebalan endometrium melalui pemeriksaan USG normal (5-12 mm) atau jika ketebalan endometrium lebih dari 12 mm bahkan jika kecurigaan klinis rendah. 20Hipertensi dapat berkembang pada beberapa wanita dengan SOPK dalam masa reproduksi tetapi dapat pula terjadi di kemudian hari saat wanita tersebut sudah menopause. Berkurangnya komplians pembuluh darah dan disfungsi endotel ditemui pada kebanyakan penelitian mengenai wanita dengan SOPK. Lebih jauh lagi, derajat kerusakan pembuluh darah ternyata lebih besar daripada yang bisa dijelaskan hanya dengan obesitas. Terapi anti hipertensi ternyata dapat memperbaiki fungsi endotel pembuluh darah pada pasien-pasien SOPK sehingga sangat dianjurkan.20Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa pasien SOPK lebih rentan terhadap penyakit makrovaskuler dan trombosis seperti kalsifikasi arteri koroner. Hal ini dapat diakibatkan oleh tingginya kadar inhibitor aktivator plasminogen tipe 1 pada pasien SOPK dimana kadar tersebut bahkan lebih tingi daripada kadarnya pada pasien diabetes tipe 2. Hipertrigliseridemia, tingginya kadar VLDL dan LDL serta berkurangnya kadar HDL pada pasien dengan SOPK juga berperan mengakibatkan kerentanan pasien terhadap penyakit vaskuler. Testosteron yang meningkat pada pasien SOPK juga dapat mengurangi aktivitas lipase lipoprotein di sel-sel lemak abdominal. Abnormalitas seperti dijelaskan di atas dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit arteri koroner dan penyakit vaskuler lain pada wanita dengan SOPK.20

REFERENSI

1. Gambinery A.,et.al. Obesity and Polycystic Ovary Syndrome. International Journal of Obesity. 2002; 7:883-8962. Tarlatzis B.C., et.al. Consensus on infertility treatment related to polycystic ovary syndrome. Humrep. 2008;23:462-4773. Moore K.L., Dalley A.F. Clinically Oriented Anatomy, 5th ed. Stanford: Lippincott Williams and Wilikins. 2006; 3:428-304. Cunningham F.G.,et.al. Williams Obstetrics, 22nd ed. New York: McGraw-Hill Company. 2007; 2:345-565. Guyton A.C., Hall J.E. Textbook of Medical Physiology 11th ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders. 2006;74:1011-66. Norman R.C., Wu R., Stankiewicz M.T. Polycycstic Ovary Syndrome. MJA. 2004;180:132-77. Pernoll M.L. Benson and Pernolls Handbook of Obstetric and Gynecology, 10th ed. New York: McGraw-Hill Company. 2001; 29: 787-918. Speroff Leon; Fritz, Marc A. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility, 7th ed. Stanford: Lippincott Williams and Wilikins. 2005; 12:471-929. Strong M.S. Hirsutism.In: Curtis M.G.,et.al.(Ed.). Glass Office Gynecology, 6th ed. Stanford: Lippincott Williams and Wilkins. 2006; 9:203-1910. Azziz R. Diagnosis of Polycystic Ovary Syndrome: the Rotterdam Criteria are Premature. J Clin Endocrinol Metab. 2006; 91:781-511. Pride S.M., Cheung A.P. Polycystic Ovary Syndrome in Clinical Practice. The Canadian Journal of CME. 2001; 6:141-912. Franks S. Polycystic Ovary Syndrome in Adolescents.International Journal of Obesity.2008; 32:10354113. Legro R.S. Polycystic Ovarium Syndrome. In:Leung P.C., Adashi E.Y. The Ovary 2nd ed. San Diego: Elsevier Academic Press. 2004;29:489-9814. Huang I. Endocrine Disorders. In: Berek J.S. (Ed.). Berek and Novaks Gynecology, 14th ed. Stanford: Lippincott Williams and Wilkins. 2007; 28: 1077-8915. Lakhani K. Polycystic Ovaries. The British Jounal of Radiology. 2002;75:9-1616. Fauser B.C.J. Consensus on women s health aspects of polycystic ovary syndrome (PCOS): the Amsterdam ESHRE/ASRM-Sponsored 3rd PCOS Consensus Workshop Group. Fertil Steril. 2012; 97:28-3817. Lord J.M., Flight I.H., Norman R.J. Metformin in polycystic ovary syndrome: systematic review and meta-analysis. BMJ.2003;327:1-618. Vause T.D.R., Cheung A.P. Ovulation Induction in Polycystic Ovary Syndrome. J Obstet Gynaecol Can. 2010;32:495-50219. Jungheim E.S., Odibo A.O. Fertility treatment in women with polycystic ovary syndrome: a decision analysis of different oral ovulation induction agents20. Ehrmann D.E. Polycystic Ovary Syndrome. N Engl J Med. 2005;352:1223-36. Fertil Steril.2010;94:2659-64

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN REFERATUNIVERSITAS HASANUDDIN OKTOBER 2012SINDROM OVARIUM POLIKISTIK

Oleh :Nugraha Teguh PalinC111 07 142

PEMBIMBING :dr. Heryzal

SUPERVISOR :dr. Fatmawaty Madya, Sp.OG

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIKBAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGIFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HASANUDDIN2012LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Nugraha Teguh Palin

NIM : C111 07 142

Judul referat : Sindrom Ovarium Polikistik

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Oktober 2012

SupervisorPembimbing

(dr. Fatmawaty Madya, Sp.OG) (dr. Heryzal)

SURAT KETERANGAN PEMBACAAN REFERAT

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :Nama: Nugraha Teguh PalinNIM: C111 07 142Benar telah membacakan referat dengan judul Sindrom Ovarium Polikistik pada :Hari/Tanggal: Jumat, Tempat: Ruang Pembacaan Pinang RSWSPembimbing/Supervisor: dr. Heryzal / dr.,Sp.OGMinggu dibacakan: Nilai:

Dengan ini dibuat untuk digunakan sebaik-baiknya dan digunakan sebagaimana mestinya.

Makassar, Oktober 2012Mengetahui,Pembimbing

(dr. Heryzal)DAFTAR HADIR PEMBACAAN REFERAT

NAMA: Nugraha Teguh PalinNIM: C111 07 142HARI/TANGGAL: Jumat, Oktober 2012JUDUL: Sindrom Ovarium Polikistik TEMPAT: Ruang Pembacaan Pinang RSWS

NO.NAMANIMMINGGUTTD

Makassar, Oktober 2012

Mengetahui, Supervisor Pembimbing

dr. Fatmawaty Madya, Sp.OG dr. Heryzal

DAFTAR PUSTAKA

Halaman Judul iLEMBAR PENGESAHAN ..iiSURAT KETERANGAN PEMBACAAN REFERAT iiiDAFTAR HADIR PEMBACAAN REFERAT ivDAFTAR ISI .vI. Pendahuluan .........................................................................................1I.1. Anatomi Ovarium...1I.2. Fisiologi Siklus Haid..2II. Epidemiologi 10III. Etiologi ..10IV. Patofisiologi .10V. Manifestasi Klinis ..13 V.1.Gangguan Ovulasi dan Menstruasi.....13V.2. Hiperandrogenisme.14V.3. Obesitas.15VI. Diagnosis 15VII. Diagnosis Banding .16VIII. Pemeriksaan Penunjang..17VIII.1. Kadar Hormon...17VIII.1. Skrining Diabetes dan Resistensi Insulin...17VIII.1. Pemeriksaan Radiologis.....17IX. Penatalaksanaan .18IX.1. Perubahan gaya hidup...19IX.2. Terapi supresi androgen....19IX.3. Agonis Reseptor Insulin....20IX.4. Klomifen Sitrat...21IX.5. Terapi bedah...21X. Komplikasi .22DAFTAR PUSTAKA 24

1