sindroma nefrotik

30
REFERAT SINDROM NEFROTIK Disusun Oleh : Rizky Fauzi 030.09.212 Pembimbing : dr. Adi Wijaya, Sp. PD KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RS DR.H.MARZOEKI MAHDI BOGOR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

Transcript of sindroma nefrotik

REFERAT

SINDROM NEFROTIK

Disusun Oleh :

Rizky Fauzi

030.09.212

Pembimbing :

dr. Adi Wijaya, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RS DR.H.MARZOEKI MAHDI BOGOR

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

2013

BAB I

LATAR BELAKANG

Sindrom nefrotik (SN) ialah keadaan klinis yang ditandai oleh proteinuria masif,

hipoproteinemia, edema, dan dapat disertai dengan hiperlipidemia. Angka kejadian SN di

Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7 per 100.000 anak berusia di bawah 18 tahun per

tahun, sedangkan di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun, dengan

perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak

FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar

pasien di Poliklinik Khusus Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak

yang dirawat antara tahun 1995-2000.

Semua penyakit yang mengubah fungsi glomerulus sehingga mengakibatkan

kebocoran protein (khususnya albumin) ke dalam ruang Bowman akan menyebabkan

terjadinya sindrom ini. Etiologi SN secara garis besar dapat dibagi 3, yaitu kongenital,

glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti pada

purpura Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sitemik. Sindrom nefrotik pada tahun

pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan

kongenital (umumnya herediter) dan mempunyai prognosis buruk. Pada makalah ini akan

dibahas sindroma nefrotik pada orang dewasa.

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Pendahuluan

Gambar 1 Anatomi Ginjal

Sindroma nefrotik Merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis ditandai

dengan edema anasarka, proteinuria masif >3,5 g/hari, hipoalbuminemia < 3,5 g/dl,

hiperkolesterolemia, dan lipiduria. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan

diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria massif merupakan tanda

khas sindroma nefrotik, tetapi pada sindroma nefrotik berat yang disertai kadar albumin

serum rendah ekskresi protein dalam urin juga berkurang. proteinuria juga berkontribusi

terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada sindroma nefrotik. Hipoalbuminemia,

hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas,

gangguan metabolism kalsium dan tulang, serta hormon trioid sering dijumpai pada sindroma

nefrotik. Umumnya pada sindroma nefrotik fungsi ginjal normal kecuali sebagian kasus yang

berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir. pada beberapa episode sindroma nefrotik

dapat sembuh sendiri dan menunjukan respon yang baik terhadap terapi steroid, tetapi

sebagian lain dapat berkembang menjadi kronik.(1)

II. Etiologi

3

Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder

akibat infkesi, keganasan, penyakit jaringan penghubung, obat atau toksin dan akibat

penyakit sistemik.

Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab sindroma nefrotik yang

paling sering. Dalam kelompok glomerulonefritis primer, glomerulonefritis lesi minimal,

glomerulonefritis fokal segmental, glomerulonefritis membranosa, dan glomerulonefritis

membranoproliferatif merupakan kelainan ginjal histopatologik yang sering ditemukan. dari

387 biopsi ginjal pasien sindroma nefrotik dewasa yang dikumpulkan di Jakarta antara 1990-

1999 dan representative untuk dilaporkan, glomerulonefritis lesi minimal didapatkan pada

44,7%, glomerulonefritis mesangioproliferatif pada 14,2 %, glomerulosklerosis fokal

segmental pada 11,6%, glomerulonefritis membranosa proliferative pada 8,0% dan

glomerulonefritis membranosa pada 6,5%.

Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya glomerulonefritis

pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat misalnya obat anti

inflamasi non steroid atau preparat emas organic, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada

lupus eritematosus sistemik dan diabetes mellitus.

III. Patologi dan Patogenesis

Glomerulonefritis (GN) lesi minimal merupakan lesi khas sindroma nefrotik pada

anak-anak (<15 tahun), berjumlah sekitar 70% hingga 80% pada kasus. Istilah lama yang

digunakan untuk penyakit ini adalah nefrosis lipoid, penyakit nil, penyakit podosit. Istilah

yang terakhir berhubungan dengan observasi penyatuan podosit sel epitel glomerulus yang

terlihat dengan mikroskop electron yang secara normal terpisah. penyebab tidak diketahui,

walaupun penyakit ini pada sekitar sepertiga kasus didahuului oleh infeksi saluran

pernapasan bagian atas. Glomerulonefritis lesi minimal adalah satu-satunya bentuk utama

glomerulonefritis dengan mekanisme patogenik imun yang tidak terlibat. Etiologi dan

pathogenesis GN lesi minimal tidak diketahu sehingga pengobatannya bersifat empiris dan

simtomatik. Respons terhadap kortikosteroid pada orang dewasa dapat membutuhkan waktu

yang lebih lama dengan hasil yang kurang menguntungkan.(2)

Glomerulosklerosis fokal (GSF) terdapat pada 10% hingga 20% dari kasus orang

dewasa. Lesi tersebut ditandai dengan sklerosis dan hialinosis pada beberapa glomerulus

4

(Oleh karena itu disebut fokal). Immunofluoresensi memperlihatkan deposit IgM dan C3.

penyebab lesi tersebut tidak diketahui.

Glomerulonefritis Membranosa (GNMN) adalah penyebab tersering sindroma

nefrotik idiopatik pada orang dewasa (30-40%). Lesi tersebut tersebar secara difus dan

menyerang semua glomerulus. perubahan histologist dominan yang terlihat dengan

mikroskop cahaya adalah penebalan membrane basalis. terlihat IgG dan C3 dalam pola

granular sepanjang membrane basalis glomerulus. Perubahan memranosa GN mengikuti

perjalanan progresif lambat dengan remisi sementara dan eksersebasi.

Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) ditandai dengan penebalan

lengkung kapiler dan hiperselularitas mesangial. GNMP terbagi dalam dua seubkelompok

utama (tipe I dan tipe II), yang memiliki perbedaan histologist. GNMP tipe 1 ditandai dengan

deposit C3 subendotelial dalam pola granular di sekitar lengkung kapiler. Pola tipe ini juga

dapat terlihat pada SLE. jarang terjadi GNMP tipe II, dengan segmen panjang penuh warna

yang tertimbun dalam membrane basalis, yang menyebabkan penebalan; nama lainnya adalah

penyakit deposit pada. Deposit padat yang terdiri dari C3 dan IgM.

Gambar 2 Histopatologis Etiologi Sindrom Nefrotik

5

Kejadian awal pada sebagian besar kasus adalah rekasi antigen antibodi pada

glomerulus ataupun adanya kompleks hasil reaksi antigen dan antibodi yang tertimbun di

glomerulus yang menyebabkan terbentuknya lesi pada glomerulus (lesi yang terjadi

menentukan jenis penyebab pada sindroma nefrotik). Lolosnya protein dikarenakan terjadi

gangguan glomerulus yang normalnya glomerulus mempunya mekanisme penghalang

pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan

listrik (charge barrier). Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non selektif berdasarkan

ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein yang

keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan non selektif apabila protein

yang keluar terdiri dari molekul besar seperti immunoglobulin. Selektivitas proteinuria

ditentukan oleh keutuhan struktur MBG. Pada SN yang disebabkan oleh GNLM ditemukan

proteinuria selektif. Berkurangnya kandungan heparin sulfat proteoglikan pada GNLM

menyebabkan muatan negative pada MBG menurun dan albumin dapat lolos kedalam urin.

Pada GSFS, peningkatan permeabilitas MBG disebabkan oleh suatu faktor yang ikut dalam

sirkulasi. faktor tersebut menyebabkan sel epitel viseralis glomerulus terlepas dari MBG

sehingga permebalitasnya meningkat. pada GNMN kerusakan struktur MBG terjadi karena

endapan kompleks imun di sub-epitel. Komplek C5b-9 yang terbentuk pada GNMN akan

meningkatkan permeabilitas MBG.

Lolosanya protein ke urin atau proteinuria menyebabkan kadar albumin dalam darah

menurun atau disebut dengan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia dengan penurunan

tekanan osmotic koloid membantu cairan transudat untuk keluar dari ruang vascular ke dalam

interstitium (teori underfill). Transudasi tersebut akan menyebabkan terjadi hipovolemia atau

berkurangnya volume darah. Hipovolemia menyebabkan penurunan aliran plasma ginal

(RPF) dan GFR. Hipoperfusi tersebut menjadi rangsangan utama sekresi renin. Pelepasan

renin mengawali rangkaian kejadian yang dimulai dengan pecahnya angiotensinogen substrat

(glikoprotein serum yang dihasilkan di hati) menjadi angiotensin I. Angiotensin I kemudian

diubah menjadi angiotensin II oleh enzim pengubah angiotensin (ACE) yang ada di paru dan

di ginjal. Begitu terbentuk, angiotensin II memiliki dua efek sistemik utama : vasokonstriksi

arteroil serta meningkatkan reabsorbsi air dan Natrium ginjal oleh tubulus distal dan duktus

pengumpul. Efek kedua diperantarai peningkatan sekresi aldosteron oleh korteks adrenal,

yang dirangsang oleh angiotensin II. Selain itu bila terjadi hipovolemia dan hipoperfusi dri

ginjal akan ada hormone yang bekerja pada tubulus ginjal yaitu anti dieuretik hormone atau

6

disingkat ADH. Pelepasan ADH akan menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap air

di duktus pengumpul. Teori lain yaitu teori overfill didasari dari retensi natrium adalah efek

utama. retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular meningkat sehingga

terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan akan

menambah retensi natrium dan edema. Dengan bertambahnya lesi pada glomerulus dan

berulangnya mekanisme mekanisme diatas seperti proteinuria menyebabkan

hipoalbuminemia terjadilah transudasi sehingga terjadi edema dan hipovolemia, teraktifasilah

sistem Renin-Angitensin-Aldosteron (RAA) dan ADH yang akan menyebabkan retensi air

dan Natrium terjadilah peningkatan cairan ekstraseluler maka lama kelamaan terjadilah

proteinuria yang massif dan muncullah oedem anasarka.

Gambar 3 Tabel Sederhana Patofisiologi Sindrom Nefrotik

7

Beberapa teori tentang terjadinya sindroma nefrotik :

1. Soluble Antigen Antibody Complex (SAAC)

Antigen yang amsuk ke sirkulasi menimbulkan antibody sehingga terjadi reaksi

antigen antiboid yang larut dalam darah SAAC ini kemudian menyebabkan sistem kompelen

tubuh bereaksi seingga komplemen C3 akan bersatu dengan SAAC membentuk deposit yang

kemudian terperangkap dibawah epitel kapsula bowman. Hal tersebutlah yang menyebabkan

permeabilitas terganggu sehingga eritrosit, protein, dan lain-lain dapat lolos sehingga dapat

dijumpai pada urin.(3)

2. Perubahan Elektrokemis

Selain perubahan struktur, maka perubahan elektrokemis dapat juga menimbulkan

proteinuria. Dari beberapa percobaan terbukti bahwa kelainan terpenting pada flomerulus

terhadap filtrasi protein yaitu hilangnya fixed negatife ion yang terdapat pada lapisan sialo-

protein glomeruli. Akibatnyahilangnya muatan listrik ini maka permeabilitas terhadap protein

molekul renda seperti albumin meningkat sehingga albumin bisa keluar ke urin.

Diduga terdapat suatu antibody yang ditujukan terhadap suatu antigen khusus yang

merupakan unsur membrane plasma mikroorganisme spesifik. Terbentuk kompleks antigen-

antiodi di dalam darah dan bersirkulasi kedalam glomerulus tempat kompleks tersebut secara

mekanis terperangkap dalam membrane basalis. Selanjutnya komplemen akan terfiksasi

mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan

trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endotel

dan membrane basalis glomerulus. Sebagai respon terhadap lesi yang terjadi, timbul

proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya sel-sel epitel.

Semakin meningkatnya kebocoran kapiler glomerulus menyebabkan protein dan sel darah

merah dapat keluar ke dalam urin yang sedang dibentuk oleh ginjal. Menimbulkan

proteinuria dan hematuria.

IV. Gejala Klinis dan Hasil laboratorium

8

Gambar 4 Gambaran Klinis Sindrom Nefrotik

Edema progresif pada ekstremitas bawah, berat bertambah dan lemas merupakan

tanda tipikal dari kemunculan awal sindroma nefrotik. Pada sindroma nefrotik yang

berkelanjutan maka akan timbul edema periorbital ataupun edema genital, Ascites, efusi

pleura ataupun efusi pericardial. Seseorang dengan gejala edema dan ascites tanpa gejala

tipikal sesak dari gagal jantung kongestif atau sirosis harus dipikirkan tentang sindroma

nefrotik. Nephrotic-Range Proteinuria biasanya lebih dari 3/3,5 g protein pada urin 24 jam,

namun tidak semua dengan hasil penemuan seperti ini dapat dikatakan sebagai sindroma

nefrotik.(5) Walaupun pada pemeriksaan urin dipstick ditemukan hasil +3 (+++) merupakan

hasil semikuantitaif yang berguna, pemeriksaan tampung urin 24 jam memberikan nilai

berarti pada pemeriksaan pengukuran kuantitatif. Kadar albumin serum yang rendah (<2,5

g/dL) dan hiperlipidemia juga merupakan salah satu kumpulan gejala dari sindroma nefrotik.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa 53 % pasien dengan sindroma nefrotik

9

mempunyai kadar kolesterol total lebih dari 300 mg/dl dan 25 % mempunyai kadar kolesterol

total melebihi dari 400 mg/dl.(6)

V. Diagnosis

Gejala tipikal dan hasil penemuan laboratorium yang menunjang sindroma nefrotik

sudah cukup untuk menunjang diagnosis dari sindroma nefrotik. Pemeriksaan diagnostic

sebenarnya befokus pada penyebab utama dari sindroma nefrotik tersebut dan melakukan

biopsi ginjal untuk menentukan jenis lesi pada sindroma nefrotik tersebut. Bagaimanapun

masih belum ada guidline atau standar baku untuk mendiagnosis pasien dengan sindroma

nefrotik.

Untuk menegakkan diagnosis sindroma nefrotik dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan laboratorium. Menegakkan diagnosis sindroma nefrotik bertujuan mencari penyebab

utama terjadinya sindroma nefrotik tersebut.

Pemeriksaan Keterangan

Riwayat Pasien Mencari apakah pasien terpajan toksin,

kelainan kelainan infeksi ataupun gejala lain

yang bisa menunjang edema

Riwayat diabetes melitus, SLE, atau kelainan

sistemik lainnya.

Urin Disptick Proteinuria +3/+4

Random urine/creatinin ratio Proteinuria kuantitatif : > 3/3,5 g/dL

Kreatinin serum Tanda dari acute kidney injury, gangguan

dari laju filtrasi glomerulus

Albumin serum Hipoalbuminemia

Profil Lipid Hiperlipidemia

Pemeriksaan imaging tidak terlalu membantu untuk mediagnosis sindroma nefrotik.

USG ginjal dapat memberikan gambaran thrombosis vena renalis apabila muncul gejala

nyeri, hematuria, ataupun acute kidney injury pada seseorang. Pemeriksaan biopsi merupakan

10

baku standard untuk menegakkan diagnosis sindroma nefrotik. Namun masih belum ada

guidline kapan bisa dilakukan biopsi ginjal pada pasien dengan sindroma nefrotik.

Jenis perbedaan GNA SN

Definisi singkat Peradangan dan kerusakan pada

glomerulus

Status klinis yang ditandai

dengan peningkatan

permabilitas membrane

glomerulus terhadap protein

Etiologi Reaksi immonologis pada ginjal

terhadap bakteri atau virus

tertentu paling sering adalah

streptokokkus

Belum jelas penyebabnya, bisa

diturunkan atau bisa kelanjutan

dari gloerulonefritis akut dan

kronik

Patogenesa/patofisiologi Reaksi antibody terhadap

antigen yang beredar di dalam

darah dan komplemen untuk

membentuk Circulating immune

complexes dan terperangkap

pada membrane basalis. Timbul

reaksi reaksi peradangan yang

akan mendatangkan Leukosit

polimorfonuklear (PMN)_dan

trrombosit timbulah fagositosis

yang akan menyebabkan

kerusakan lebaih lanjut

SAAC dan komplemen

C3 membentuk deposit

yang kemudian

terperangkap dibawah

epitel kapsula bowman

membentuk benjolan

berbentuk granuler dan

nodular.

Hilangnya fixed

negative ion sebagai

muatan listrik pada

permeabilitas

gromelurus akan

penyebabkan

permeabilitas tersebut

meningkat.

11

Klinis Hipertensi

Hematuria

Oligouria

Oedem

Azotemia

Proteinuria

Hipoalbuminemia

Albuminuria

Lipiduria

Oedem Anasarka

Hiperkolesterolemia

Pemeriksaan Lab Urin

400ml/24 jam

Warna kecokelatan (Darah, Hb, Mioglobin, porfirin)

BJ kurang dari 1,020

pH >7

Klirens kreatinin menurun

Natrium urin turun

Proteinuria minimal

Urin

Proteinuria massif

Cast hialin dan granular

Dipstick positif protein

BJ urin meningkat

Darah

Albumin serum menurun

Kolesterol serum

meningkat

Diagnosis Hematuria, Hipertensi,

Oligouria, Oedem,

Azotemia, Proteinuria

Timbul Gejala hematuria

dan edema setelah

Riwayat infeksi

streptokokkus

sebeleumnya (ISPA)

Bengkak seluruh tubuh

dimulai dari kelopak

mata, lalu dada, asites,

tungkai dan genitalia

Bengkak sudah berulang

Urin keruh

Sesak

12

C3 <50 mg

Asto meningkat >100

Urinalisis

Anemia Ringan

Hipertensi Ringan

VI. Terapi

Belum ada terapi baku pada pasien sindroma nefrotik dewasa, rekomendasi terpai

berdasarkan hasil kasus terdahulu, observasi, serta pakar yang bersangkutan.

1. Nutrisi dan Cairan

Memberikan keseimbangan negative dari natrium akan membantu berkurangnya

edema. Pasien harus mengurangi asupan natrium hingga 3 gram per hari dan harus

mengurangi asupan cairan menjadi kurang dari 1500 ml per hari.

2. Diuretik

Diuretik merupakan salah satu obat utama dalam pengobatan sindroma nefrotik, tetapi

belum ada standar baku jenis obat yang baik dan dosis yang diberikan. Berdasarkan

pakar di bidangnya, diuretic mampu memberikan target penurunan berat badan sekitar

0,5 sampai 1 kg per hari untuk mengurangi resiko kerusakan ginjal dan kelainan

elektrolit. Pemberian diuretic loop seperti furosemide dapat diberikan dengan dosis 80

sampai 120 mg per hari dan obat tersebut harus diberikan secara intra vena karena

dengan pemberian oral akan terganggu absorbsinya akibat edema saluran pencernaan.

Dengan kadar albumin yang rendah akan menganggu kinerja dari furosemide oleh

karena itu dosisnya dapat dinaikkan. Diuretic lain seperti tiazid, diuretic hemat

kalium, metolazone dapat diberikan untuk memberikan efek sinergis.(7)

3. ACE Inhibitors

Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) inhibitors terbukti dapat mengurangi

proteinuria dan mengurangi progresi kerusakan ginjal pada sindroma nefrotik. Dosis

yang direkomendasikan adalah enalapril 2,5 sampai 20 mg per hari.

4. Albumin

13

Pemberian albumin dapat membantu mengurangi edema yang terjadi namun beberapa

studi mengatakan bahwa pemberian albumin tidak terlalu efektif pada sindroma

nefrotik.

5. Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid masih menjadi controversial karena beberapa kasus tidak

memberikan keuntungan pada pemberian kortikosteroid, namun pemberian

kortikosteroid dapat diberikan dengan pasien yang tidak membaik dengan

penatalaksanaan konservatif. Pada anak anak dianjurkan pemberian kortikosteroid

dikarenakan mereka memberikan respon yang sangat baik dengan peemberian

krotikosteroid. Umumnya, pemberian kortikosteroid pada kasus lesi minimal lebih

memberikan respon baik dibangdikan dengan kelainan fokal segmental, tetapi hal ini

ditemukan pada kasus sindroma nefrotik anak. Beberapa studi mengatakan bahwa

pemberian kortikosteroid dapat memperparah proteinuria dan fungsi ginjal pada

pasien dengan lesi minimal, namun tidak pada nefritis membranoproliferatif. Studi

lain mengatakan bahwa pemberian krotikosteroid pada kerusakan kecil pada

glomerulus. Pada dewasa diberikan prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari selama 4-6

minggu. Jika sudah terdapat respon, lanjutkan steroid sampai 2 minggu, kemudian

berikan dosis maintenance 2-3 mg/kgBB dibagi dalam 4 dosis selama 4 minggu.

Di tappering-off hingga dosis nol dalam 4-6 bulan selanjutnya atau 120 mg dibagi

dalam 4 dosis dengan durasi yang sama. Respo klinis terhadap kortikosteroid dapat

dibagi menjadi :

a. Remisi lengkap

Proteinuri minimal (<200 mg/24 jam)

Albumin Serum > 3g/dl

Kolesterol serum <300 mg/dl

Diuresis lancar dan edema hilang

b. Remisi parsial

Proteinuria <3,5 g/hari

14

Albumin serum >2,5 g/dl

Kolesterol serum <350 mg /dl

Diuresis kurang lancar dan masih edema

c. Resisten

Klinis dan laboratoris tidak memperilhatkan perbaikan atau perubahan

setelah pengobatan dengan 4 bulan kortikosteroid.

6. Penurunan Profil Lipid

Pemberian obat penurun kadar profil lipid masih diteliti dari keuntungan dan

kekurangan atau efek buruknya. Pemberian obat tersebut biasanya bertujuan agar

tidak terjadi arterosklerosis sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya myocardial

infarction.

7. Antikoagulan

Tidak ada rekomendasi pemberian tromboemboli kecuali memang sudah ada riwayat

penemuan dari tromboemboli sebelumnya. Namun tetap kita harus waspada apabila

terdapat gejala berbahaya dari terjadinya tromboemboli dan apabila terdiagnosa, maka

harus dilakukan pemberian terapi secepatnya. Pasien dengan riwayat tromboemboli

sebelumnya ataupun ada kelainan koagulasi maka dapat diberika profilaksis untuk

terjadinya tromboemboli. Aspirin bisa diberikan untuk pencegahan. Dosis efektif

berkisar antara 80-320 mg per hari.

VII. Komplikasi

1. Keseimbangan nitrogen

Proteinuria massif pada SN akan menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi

negative. Penurunan massa otot sering ditemukan tetapi gejala ini tertutup oleh gejala

edema anasarka dan baru tampak setelah edema menghilang. Kehilangan massa otot

sebesar 10-20% dari massa tubuh tidak jarang dijumpai pada SN.

2. Hiperlipidemia dan Lipiduria

15

Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN, Kadar Kolesterol

umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal sampai sedikit

meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan menigkatnya Lipiprotein low

density (selanjutnya disingkat LDL), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar

trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan Very Low Density Lipoprotein

(Selanjutnya disingkat VLDL). Selain itu ditemukan pula peningkatan intermediate

density lipoprotein (selanjutnya disingkat IDL) dan lipoptoein a. sedangkan High

density lipoprotein (HDL) cenderung normal atau rendah. Mekanisme hiperlipidemia

pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan

menurunnnya katabolisme. Semula diduga hiperlipidemia merupakan hasil stimulasi

non-spesifik terhadap sintesis protein oleh hati. Karena sintesis protein tidak

berkolerasi dengan hiperlipidemia disimpulkan bahwa hiperlipidemia tidak langsung

diakibatkan oleh hipoalbuminemia. Hiperlipidemia dapat ditemukan pada SN dengan

kadar albumin mendekati normal dan sebaliknya pada pasien dengan kadar kolesterol

dapat normal.

Gambar 5 Metabolisme Lipid

16

Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan

katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL

menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Meurunnya aktivitas enzim

LPL (Lipoprotein Lipase) diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme

VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik

plasma atau viskositas yang menurun. Penurunan kadar HDL pada SN diduga akibat

berkurangnya aktivitas enzim Lecithin colestherol acyltransferase) yang berfungsi

katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari

sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktifitas enzim tersebut diduga

terkait dengan hipoalbuminemia yang sering terjadi pada SN. Lipiduria sering

ditemukan pada SN dan ditandai dengan akumulasi lipid pada debris sel dan cast

seperti badan lemak berbentuk oval (oval fat bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih

dikaitkan dengan proteinuria daripada dengan hiperlipidemia.

3. Hiperkoagulasi

Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan koagulasi

intravascular. Pada SN akibat GNMN kecenderungan terjadi thrombosis vena renalis

cukup tinggi sedangkan SN pada GNLM dan GNMP frekuensinya kecil. Emboli paru

dan thrombosis vena dalam (deep vein thrombosis) sering dijumpai pada SN. Pada

pasien dengan sindroma nefrotik mempunyai presentase 1,7 % terkena DVT

dibandingan dengan DVT tanpa sindroma nefrotik. (8,9)Kelainan tersebut disebabkan

oleh perubahan tingkat dan aktivitas berbagai faktor koagulasi intrinsik dan ekstrinsik.

Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup komplek meliputi peningkatan fibrinogen,

hiperagregrasi trombosit dan penurun fibrinolisis. Gangguan koagulasi yang terjadi

disebabkan peningkatan sintesis protein oleh hati da kehilangan protein di urin.

4. Metabolisme Kalsium dan Tulang

Vitamin D merupakan unsure penting dalam metabolisme kalsium dan tulang pada

manusia. Vitamin D yang terikat protein akan dieksresikan melalui urin sehingga

menyebabkan penurunan kadar plasma. Karena fungsi ginjal pada SN umumnya

normal maka osteomalasi atau hiperparatiroidisme yang tak terkontrol jarang

dijumpai.

17

5. Infeksi

Sebelum era antibiotik, infeksi sering merupakan penyebab kematian pada SN

terutama oleh organism berkapsul. Infeksi pada SN terjadi akibat defek immunitas

humoral, seluler, dan gangguan sistem komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan gamma

globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh karena sintesis yang menurun atau

katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin.

Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas

selular. Hal ini dikaitkan dengan keluranya trensferin dan zinc yang dibutuhkan oleh

sel T agar dapar berfungsi dengan normal.

6. Gangguan Fungsi Ginjal

Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui berbagai

mekanisme. Penurunan volume plasma dan atau sepsis sering menyebabkan

timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi

penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya edema intrarenal yang menyebabkan

kompresi pada tubulus ginjal.

Proteinuria merupakan faktor resiko penentu terhadap progresivitas SN. Peningkatan

kerusakan glomerulus, perkembangan glomerulosklerosis, dan kerusakan

tubulointerstitium dikaitkan dengan proteinuria. Hiperlipidemia juga dihubungkan

dengan mekanisme terjadinya glomerulosklerosis dan fibrosis tubuloiterstitium pada

SN, walaupun peran terhadap progresivitas penyakitnya belum diketahui dengan

pasti.

7. Komplikasi lain pada SN

Malnutrisi kalori protin dapat terjadi pada SN dewasa terutama apabila disertai

proteinuria massif, asupan oral yang kurang, dan proses katabolisme yang tinggi.

Kemungkinan efek toksik obat yang terikat protein akan meningkat karena

hipoalbuminemia menyebabka kadar obat bebas dalam plasma lebih tinggi. Hipertensi

tidak jarang ditemukan sebagai komplikasi SN terutama dikaitkan dengan retensi

natrium dan air.

VIII. Prognosis

18

Prognosisnya tergantung kepada penyebabnya, usia penderita dan jenis kerusakan

ginjal yang bias diketahui dari pemeriksaan mikroskopik pada biopsi. Gejalanya akan hilang

seluruhnya jika penyebabnya adalah penyakit yang dapat diobati atau obat-obatan. Prognosis

biasanya baik jika penyebabnya memberikan respon yang baik dari kortikosteroid. Anak yang

lahir dengan Sindrom ini jarang bertahan hidup sampai 1tahun, beberapa diantaranya bias

bertahan setelah menjalani dialisa atau pencangkokan ginjal.

Prognosis yang paling baik ditemukan pada Sindroma Nefrotik akibat

Glomerulonefritis yang ringan 90% penderita anak memberikan respon yang baik terhadap

pengobatan. Jarang yang berkembang menjadi gagal ginjal, meskipun cenderung bersifat

sering kambuh. Tetapi stelah 1tahun bebas gejala, jarang terjadi kekambuhan.

19

BAB III

KESIMPULAN

Sindrom Nefrotik adalah kumpulan gejala yang terjadi berupa Hipoalbuminemia,

Albuminuria, Oedem anasarka, Lipiduria, dan Hiperkolesterolemia. Kejadian ini diawali

dengan bocornya protein di urin. Ada 2 teori yang menjelaskan kenapa bisa terjadi kebocoran

protein di ginjal tersebut. Gejala klinis yang khas pada sindroma nefrotik adalah oedem

anasarca yang biasanya dimulai dari oedema periorbital. Pemeriksaan urinalisis mempunyai

efek yang penting dalam mendiagnosis sindrom nefrotik. Baku standard untuk menegakan

diagnosis masih berupa biopsi ginjal untuk mencari lesi di glomerulus. Diagnosis sindrom

nefrotik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratories yang

menunjang. Belum ada baku standard untuk memberikan tatalaksana pada sindrom nefrotik.

Sejauh ini hanya berdasarka laporan kasus dan para ahli di bidangnya. Pemberian

kortikosteroid pada sindrom nefrotik masih diperdebatkan. Dapat terjadi berbagai komplikasi

pada sindrom nefrotik, terutama karena hiperkolesterolemianya. Prognosis pada sindrom

nefrotik tergantung seberapa luas lesi tersebut dan seberapa lama lesi tersebut sudah terjadi

serta seberapa tingkat fungsi ginjal yang sudah terganggu.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik in Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Sibadibrata

M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam : Vol 2. 5th Edition. Jakarta:Interna

Publishing;2009. p 999-1003

2. Sindrom Nefrotik in Wilson LM. Gagal Ginjal Kronik in Price SA, Wilson LM.

Patofisologi : Konsep klinis proses – proses penyakit volume 2. 6th edition.

Jakarta:Penerbit Buku kedokteran EGC;2012. p 929-32.

3. Rodríguez-Iturbe B, Herrera-Acosta J, Johnson RJ. Interstitial inflammation, sodium

retention, and the pathogenesis of nephrotic edema: a unifying hypothesis. Kidney Int.

2002;62(4):1379–1384.

4. Leung YY, Szeto CC, Tam LS, et al. Urine protein-to-creatinine ratio in an untimed

urine collection is a reliable measure of proteinuria in lupus nephritis. Rheuma-tology

(Oxford). 2007;46(4):649–652.

5. Radhakrishnan J, Appel AS, Valeri A, Appel GB. The nephrotic syndrome, lipids, and

risk factors for cardiovascular disease. Am J Kidney Dis. 1993;22(1):135–142.

6. Kendall AG, Lohmann RC, Dossetor JB. Nephrotic syndrome. A hypercoagulable

state. Arch Intern Med. 1971;127(6):1021–1027.

7. Nephrotic Syndrome in Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL,

Jameso JL, et all. Harrison’s Manual of Medicine. 17th Edition. New York:McGraw

Hill;2009. p 803-6

8. Kayali F, Najjar R, Aswad F, Matta F, Stein PD. Venous thromboembolism in

patients hospitalized with nephrotic syndrome. Am J Med. 2008;121(3):226–230.

9. Mahmoodi BK, ten Kate MK, Waandes F, et al. High absolute risks and predictors of

venous and arterial thromboembolic events in patients with nephrotic syndrome:

results from a large retrospective cohort study. Circulation. 2008;117(2):224–230.

21