Sindroma Nefrotik
-
Upload
bara-giri-wardhana -
Category
Documents
-
view
1.434 -
download
6
Transcript of Sindroma Nefrotik
1. SINDROMA NEFROTIK
Definisi
Sindroma Nefrotik adalah suatu penyakit dengan gejala klinis edema,
proteinuria, hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia. Kadang-kadang gejala disertai
dengan hematuria dan penurunan fungsi ginjal. Sindroma ini merupakan penyakit
antigen-antibodi dan ada kecenderungan untuk kambuh. (1,2)
Etiologi
Sebab yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai penyakit
autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Kebanyakan (90 %) anak
yang menderita nefrosis mempunyai beberapa bentuk sindrom nefrotik idiopatik,
penyakit lesi minimal ditemukan sekitar 85 %, proliferasi mesangium sekitar 5 % dan
sklerosis setempat sekitar 10 %. Pada anak sisanya yang menderita nefrosis (10 %) ,
sindrom nefrotik diperantarai oleh beberapa bentuk glomerulonefritis, dan yang
tersering adalah membranosa dan membranoproliperatif. ( 3)
Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi :
a. Sindroma nefrotik bawaan:
• Diturunkan sebagai resesif autosomal atau Karenreaksi fetomaternal.
• Angka kejadian jarang
• Gejalanya edema pada masa neonates
• Resisten terhadap semua pengobatan
• Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama
kehidupannya
• Pencangkokan ginjal pada masa neonatus telah dicoba tapi tidak berhasil.
b. Sindrom nefrotik sekunder:
• Karena penyakit keturunan dan metabolik
Contonya : Diabetes, Amiloidosis, Myxedenna
• Karena Penyakit Infeksi
Contonya : Hepatitis B, Schistosoma, Lepra, Sifilis
• Akibat toksin dan alergi
Contohnya : Logam berat (air raksa), Trimetadion, Penidion, Penisilamin, Sengatan
lebah, Serangga, Bisa ular
• Penyakit sistemik dan penyakit immune mediated
Contohnya: SLE, Sindrom vaskulitis, Poliarteritis, Henoch Schoenlein Purpura,
Sarcoid, Dermatitis herpetiforrms
• Penyakit Neoplasma
Contohnya : Penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal, tumor paru.
• Giomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis, thrombosis vena renalis.(4)
c.. Sindrom nefrotik idiopatik
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan
mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk. Membagi dalam 4 golongan
yatu :
• Kelainan minimal:
Dengan mikroskop biasa glomerulus tampak normal, sedangkan dengan
mikroskop eiektron tampak foot processus sel epitel berpadu. Dengan cara
imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG atau immunoglobulin beta-IC pada
dinding kapiler glomerulus.
Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak daripada orang dewasa.
Prognosis lebih baik dibandingkan golongan lain.
• Nefropati membranosa:
Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa
proliferasi sel. Jarang pada anak. Prognosis kurang baik.
• Glomerulonefritis proliperatif :
i. Glomerulonefritis proliperatif eksudatif difus
Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus.
Pembengkakan sitoplasme endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.
Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis yang timbul setelah infeksi dengan
Streptococcus yang berjalan progresif dan pada sindrom nefrotik.
Prognosis jarang baik, tetapi kadang-kadang terdapat penyembuhan setelah
pengobatan lama.
ii. Dengan penebalan batang lobular (lobular stalk thickening)
Terdapat proliferasi set mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular
iii. Dengan bulan sabit (cresent)
Didapatkan proliferasi set mesangial dan proliferasi sel epitei simpai (kapsular)
dan visceral. Prognosis buruk.
iv. Glomeruonefritis membranoproliperatif
Proliferasi set masangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membrana
basalis di mesangium. Titer globulin beta-1C atau beta lA rendah. Prognosis
tidak balk.
v. Lain-lain
Misalnya perubahan proliferasi yang tidak khas
•Glomerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini mencolok sklerosis glomerulus, sering disertai dengan atrofi
tubulus.
Prognosis buruk.
Patofisiotogi:
Kelainan patogenetik yang mendasari nefrosis adalah proteinuria, akibat dari
kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus. Mekanisme dari kenaikan
permeabilitas ini belum diketahui, tetapi mungkin terkait dengan hilangnya muatan
negatif glikoprotein dalam dinding kapiler. Pada status nefrosis, protein yang
hilang biasanya melebihi 2g/24 jam dan terutama terdiri dari albumin,
hipoproteinemia pada dasarnya adalah hipoalbuminemia. Umumnya edema
muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5g/dL (25g/ L).
Mekanisme pembentukan edema pada nefrosis tidak dimengerti
sepenuhnya. Kemungkinannya adalah bahwa edema didahului oleh timbulnya
hipoalbuminemia, akibat kehilangan protein urine. Hipoalbuminemia
menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma, yang memungkinkan
transudasi cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstisial. Penurunan volume
intravaskuler menurunkan tekanan perfusi ginjal ; mengaktifkan system renin -
angiotensin - aldosteron, yang merangsang reabsorbsi natrium di tubulus distal.
Penurunan volume intravaskuler juga merangsang pelepasan hormone
antidiuretik, yang mempertinggi reabsorbsi air dalam duktus kolektivus. Karena
tekanan onkotik plasma berkurang, natrium dan air yang telah di reabsorbsi
masuk ke ruang interstisial, memperberat edema. Adanya faktor-faktor lain yang
juga memainkan peran pada pembentukan edema dapat ditunjukan melalui
observasi bahwa beberapa penderita sindroma nefrotik mempunyai volume
intravaskuler yang normal atau meningkat, dan kadar renin serta aldosteron
plasma normal atau menurun. Penjelasan secara hipotesis meliputi defek
intrarenal dalam ekskresi natrium dan air atau adanya agen dalam sirkulasi yang
menaikkan permeabilitas dinding kapiler di seluruh tubuh, serta dalam ginjal.
Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan
lipoprotein meningkat. Sekurang-kurangnya ada dua faktor yang memberikan
sebagian penjelasan :
a.. Hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk
lipoprotein
b.. Katabolisme lemak menurun, karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma,
system enzim utama yang mengambil lemak dari plasma. Apakah lipoprotein
lipase keluar melalui urin belum jelas.(5)
Gejala klinis
Edema merupakan gejala klinis yang menonjol, kadang-kadang mencapai 40%
dari berat badan bahkan dan didapatkan sampai anasarka. Penderita sangat rentan
terhadap infeksi sekunder. Selama beberapa minggu mungkin terdapat hematuria.
Terdapat proteinuria terutarna albumin (85-95%) sebanyak 10-15 gram/hari. Ini
dapat ditentukan dengan pemeriksaan Esbach. Selama edema masih banyak,
biasanya produksi urin berkurang, berat jenis urin meninggi. Sedimen dapat normal
atau berupa torak hialin, granula, lipoid terdapat pula sel darah putih, dalam urin
mungkin dapat juga ditemukan double refractile bodies. Pada fase non-nefritis uji
fungsi ginjal seperti kecepatan filtrasi glomerulus, aliran plasma ke ginjal tetap
nonnal atau meninggi. Dengan perubahan yang progresif di glomerulus terdapat
penurunan fungsi ginjal pada fase nefritik.
Kimia darah rnenunjukkan hipoalbuminemia. Kadar globulin normal atau
meninggi sehingga terdapat perbandingan albumin-globulin yang terbalik.
Didapatkan pula hiperkolesterolemia, kadar fibrinogen meninggi, sedangkan kadar
ureum normal. Anak dapat pula menderita anemia defisiensi besi karena transferin
banyak keluar bersama urin. Kadang-kadang didapatkan protein bound iodine
rendah tanpa adanya hipotiroid. Pada 10 % kasus didapatkan defisiensi factor 1X,
Laju enap darah meninggi. Kadar kalsium dalam darah sering rendah. Ada keadaan
lanjut kadang-kadang terdapat glukosuria tanpa hiperglikemia.(3)
Penatalaksanaan
Penderita dengan kemungkinan sindroma nefrotik harus rawat inap, karena
perawatan pertama menetukan prognosa.
Penatalaksanaan rawat inap:
a. Istirahat sampai edema tinggal sedikit.
b. Diet TKTP yaitu makanan yang mengandung protein tinggi sebanyak 3-4
g/kgBB/hari, dengan garam minimal bila edema masih berat. Bila edema
berkurang dapat diberi garam sedikit.
c. International Cooperative Stuclv of Kidney Disease in Children (ISKDC)
menganjurkan pemberian kortikosteroid secara peroral pada penderita sindroma
nefrotik.
d. Diuretikum (3)
e. Mencegah infeksi karena penyakit ini merupakan penyakit immunocompromise
jadi sangat rentan terhadap infeksi(1,3)
f.Antibiotika hanya diberikan jika ada infeksi
g. Lain-lain:
Pungsi asites, pungsi hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital. Bila ada gagal
jantung, diberikan digitalis.(2,3,4)
2. KORTIKOSTEROID
Definisi
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian
korteks adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang
dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan
pada banyak system fisiologis pada tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolism
karbohidrta, pemecahan protein, kadar elektrolit daraj serta tingkah laku.6
Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis
yang menonjol darinya, yakni glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan
mengendalikan metabolisme klarbohidrat, lemak dan protein, juga bersifat anti
inflamasi dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula
menurunkan kerja eosinofil. Kelompok lain dari kortikosteroid adalah
mineralkortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit
dan air, dengan cara penahanan garam di ginjal. Beberapa kortikosteroid
menunjukkan kedua jenis aktivitas tersebut dalam beberapa derajad, dan lainnya
hanya mengeluarkan satu jenis efek.
Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar adrenal yang
terletak diatas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim golongan
sitokrom P450.
Dalam bidang farmasi, obat-obatan yang disintesis sehingga memiliki efek seperti
hormon kortikosteroid alami dan memiliki manfaat yang cukup penting.
Deksamethasone dan turunannya tergolong glukokortikoid, sedangkan prednisone
dan turunannya memiliki kerja mineralkortikoid disamping kerja glukokortikoid.
Penggunaan Klinis
Kortikosteroid merupakan obat yang sangat banyak dan luas dipakai dalam
dunia kedokteran terutama golongan glukokortikoid. Glukokortikoid sintetik
digunakan pada pengobatan nyari sendi, arthritis temporal, dermatitis, reaksi alergi,
asma, hepatitis, SLE, IBD, serta sarcoidosis. Selain sediaan oral, terdapat pula
sediaan dalam bentuk obat luar untuk penggunaan kulit, mata dan juga IBD.
Kortikosteroid juga digunakan sebagai terapi penunjang untuk mengobati mual,
dikombinasikan dengan antagonis 5-HT3 (misalnya ondansentron).7
Baik kortikosteroid alami maupun sintetik digunakan untuk diagnosis dan
pengobatan kelainan fungsi adrenal. Hormon ini juga sering digunakan dalam dosis
yang lebih besar untuk pengobatan berbagai kelainan perdangan dan imunologi.
Pemakaian glukokortikoid pada pengobatan fungsi adrenal biasanya diberikan
pada keadaan insifisiensi atau hiperfungsi dari adrenokortikal. Keadaan insufisiensi
adrenokortikal dapat berupa penyakit kronis (Addison disease) yang ditandai
dengan hiperpigmentasi, lemah, kelelahan, berat badan menurun, hipotensi dan
tidak ada kemampuan untuk memelihara kadar gula selama puasa. Untuk keadaan
hiperfungsi adrenokortikal, misalnya terjadi pada hyperplasia adrenal congenital,
sindrom chusing, atau aldosteronisme.
Glukokortikoid dapat pula digunakan untuk tujuan diagnostic dari sindrom
chusing. Dengan tes supresi deksamethasone, obat ini diberikan sejumlah 1 mg
per oral pada jam 11 malam, dan sampel plasma diiambil pada pagi hari. Pada
indivisu normal, konsentrasi kortisol biasanya kurang dari 5 mikrogram, sedangkan
pada sindrom chusing kadarnya biasanya lebih besar dari pada 10 mikrogram.
Namun hasil ini tidak dapat dipercaya pada keadaan depresi, anxietas, penyakit
dan kondisi stress yang lain.
Selain itu, maturasi paru pada janin diatur oleh skresi kortisol janin. Ibu dengan
pengobatan glukokortikoid yang dalam dosis besar akan dapat menurunkan insiden
sindrom gawat napas pada bayi yang dilahirkan secara premature.
Kortisol dan analog sintetiknya berguna dalam pengobatan berbagai kelompok
penyakit yang tidak berhubungan dengan kelainan fungsi adrenal. Kegunaan
kortikosteroid pada kelainan ini merupakan kemampuannya untuk menekan respon
peradangan dan respon imun. Pada keadaan yang respon peradangan atau respon
imunnya penting untuk mengendalikan proses patologi, terapi dengan kortikosteroid
mungkin berbahaya tetapi dibenarkan untuk mencegah timbulnya kerusakan yang
tidak dapat diperbaiki akibat respon peradangan jika digunakan bersama dengan
terapi spesifik untuk proses penyakitnya.7
Farmakodinamik Kortikosteroid
Pada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau ditranspor
menembus sel membrane dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmik
glukokortikoid heat-shock protein kompleks. Heat shock protein dilepaskan dan
kemudian kompleks hormone reseptor ditranspor kedalam inti, dimana akan
berinteraksi dengan respon unsur glukokortikoid pada berbagai gen dan protein
pengatur yang lain dan merangsang atau menghambat ekspresinya. Pada keadaan
tanpa adanya hormone, protein reseptor dihambat dari ikatannya dengan DNA; jadi
hormone ini tidak menghambat kerja reseptor pada DNA. Perbedaan kerja
glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi oleh protein spesifik
jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkan ekspresi unsure
respons glukokortikoid utama.
Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan umpan balik
yang terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin
diperantarai oleh mekanisme nontranskripsi.8
3. Metilprednisolon
Definisi
Metilprednisolon adalah glukokortioid turunan prednisolon yang mempunyai efek
kerja dan penggunaan yang sama seperti senyawa induknya. Metilprednisolon
tidak mempunyai aktivitas retensi natrium seperti glukokortikoid yang lain. Obat ini
bekerja secara intermediate yang termasuk kategori adrenokortikoid, antiinflamasi
dan imunosupresan.10
Adrenokortikoid:
Sebagai adrenokortikoid, metilprednisolon berdifusi melewati membran dan
membentuk komplek dengan reseptor sitoplasmik spesifik. Komplek tersebut
kemudian memasuki inti sel, berikatan dengan DNA, dan menstimulasi rekaman
messenger RNA (mRNA) dan selanjutnya sintesis protein dari berbagai enzim akan
bertanggung jawab pada efek sistemik adrenokortikoid. Bagaimanapun, obat ini
dapat menekan perekaman mRNA di beberapa sel (contohnya: limfosit).
Efek Glukokortikoid:
Anti-inflamasi (steroidal)
Glukokortikoid menurunkan atau mencegah respon jaringan terhadap proses
inflamasi, karena itu menurunkan gejala inflamasi tanpa dipengaruhi penyebabnya.
Glukokortikoid menghambat akumulasi sel inflamasi, termasuk makrofag dan
leukosit pada lokasi inflamasi. Metilprednisolon juga menghambat fagositosis,
pelepasan enzim lisosomal, sintesis dan atau pelepasan beberapa mediator kimia
inflamasi. Meskipun mekanisme yang pasti belum diketahui secara lengkap,
kemungkinan efeknya melalui blokade faktor penghambat makrofag (MIF),
menghambat lokalisasi makrofag: reduksi atau dilatasi permeabilitas kapiler yang
terinflamasi dan mengurangi lekatan leukosit pada endotelium kapiler, menghambat
pembentukan edema dan migrasi leukosit; dan meningkatkan sintesis
lipomodulin(macrocortin), suatu inhibitor fosfolipase A2-mediasi pelepasan asam
arakhidonat dari membran fosfolipid, dan hambatan selanjutnya terhadap sintesis
asam arakhidonat-mediator inflamasi derivat (prostaglandin, tromboksan dan
leukotrien). Kerja immunosupresan juga dapat mempengaruhi efek antiinflamasi.
Immunosupresan
Mekanisme kerja immunosupresan belum dimengerti secara lengkap tetapi
kemungkinan dengan pencegahan atau penekanan sel mediasi (hipersensitivitas
tertunda) reaksi imun seperti halnya tindakan yang lebih spesifik yang
mempengaruhi respon imun, Glukokortikoid mengurangi konsentrasi limfosit timus
(T-limfosit), monosit, dan eosinofil. Metilprednisolon juga menurunkan ikatan
immunoglobulin ke reseptor permukaan sel dan menghambat sintesis dan atau
pelepasan interleukin, sehingga T-limfosit blastogenesis menurun dan mengurangi
perluasan respon immun primer. Glukokortikoid juga dapat menurunkan lintasan
kompleks immun melalui dasar membran, konsentrasi komponen pelengkap dan
immunoglobulin.10
4. Pemberian Metilprednisolon Pada Sindroma Nefrotik
Metilprednisolon adalah glukokortioid turunan prednisolon yang mempunyai efek
kerja dan penggunaan yang sama seperti senyawa induknya. Mempunyai dua
sediaan yaitu vial dan oral, diindikasikan untuk menginduksi diuresis atau
mengurangi gejala proteinuria pada sindrom idiopatik nefrotik, terapi jangka
panjang mungkin diperlukan untuk mencegah kekambuhan10. Diberikan:
a. Diberikan peroral dengan dosis awal 60 mg/m2 /hari atau 2 mg/kgBB/hari
dengan dosis maksimum 80 mg/hari selama 4 minggu.
b. Kemudian dilanjutkan dengan peroral 2/3 dosis awa) yaitu 40 mg/m2/hari secara
intermiten yaitu setiap 3 hari dalam 1 minggu selama 4 minggu berikutnya atau
secara alternate yaitu pemberian selang sehari, dosis tunggal pada pagi hari
dengan dosis maksimum 60 mg/hari. Hal yang harus diingat pada penggunaan
kotikosteroid jangka panjang adalah harus disertai dengan pemberian
profilaksis sekunder (contohnya INH) untuk memayungi dari efek samping
kortikosteroid jangka panjang.
c. Penderita dinyatakan Sensitif Steroid (SS) bila menunjukan hasil remisi pada
pengobatan 8 minggu tersebut. Sedangkan yang tidak menunjukkan remisi
disebut Resisten Steroid (RS).
d. Untuk pasien yang resisten terhadap korticosteroid diberikan terapi
Siklofosfamid 2-3 mg/kgBB/hari selama tidak lebih dari 6 minggu sampai 8
minggu.
e. Kriteria remisi adalah edema yang menghilang dan proteinuria negatif selama 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu.
Selain itu, metilprednisolon juga dapat menjadi terapi pilihan bagi penderita
Sindroma Nefrotik resisten Steroid10 dan Sindroma Nefrotik dengan fokal
segmental glomerulosklerosis11, dengan teknik pemberian pulse therapy atau
terapi puls. Terapi puls adalah pemberian obat dosis tinggi sekaligus dengan cara
bolus intravena.9
Terdapat berbagai cara pemberian terapi puls.
a. Metilprednisolon dengan dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1500 mg) dilarutkan
dalam 50-100 ml dekstrose 5%, diberikan melalui infus selama 1 jam atau dapat
juga selama 6 jam. Selama pemberian perlu pemantauan tanda vital terutama
tekanan darah dan frekuensi jantung. Terapi puls diberikan selang sehari 3 kali
seminggu pada minggu 1 sampai 2. Pada minggu 3 sampai 10 metil-prednisolon
30 mg/kgbb diberikan satu kali seminggu, pada minggu 11 sampai 18
metilprednisolon 30 mg/kgbb diberikan setiap 2 minggu, pada minggu 19 sampai
50 metilprednisolon 30 mg/kgbb diberikan setiap 4 minggu, dan pada minggu 51
sampai 82 metilprednisolon 30 mg/kgbb diberikan setiap 8 minggu. Mulai minggu
ke tiga diberikan prednison oral dengan dosis 2 mg/kgbb/hari selang sehari dan
pada minggu ke sebelas prednison diturunkan secara perlahan-lahan sampai
minggu ke-82.
Jika dengan pengobatan ini terdapat perbaikan yang menetap, maka obat
alkilating tidak diberikan. Obat alkilating diberikan jika tetap terdapat proteinuri
nefrotik persisten setelah 10 minggu pengobatan metilprednisolon puls atau jika
pada mulanya terdapat perbaikan tetapi diikuti dengan peningkatan proteinuri
bermakna. Biasanya diberi siklo-fosfamid 2-2,5 mg/kgbb/hari atau klorambusil 0,2
mg/kgbb/ hari selama 8-12 minggu.9
b. Metilprednisolon puls 1.000 mg/1,73 m2 LPB diberikan dengan bantuan pompa
infus dalam 6 jam sebanyak 3 kali selang sehari. Setelah itu diberikan prednison
30 mg/m2 LPB setiap hari selama 1 bulan, kemudian 30 mg/ m2 LPB selang se-
hari selama 2 bulan, dan 15 mg/m2 LPB selang sehari selama 2 minggu.
Pemberian seri metilprednisolon puls ini dapat dilanjutkan sampai 8 bulan hingga 4
tahun, tergantung pada gejala klinis penyakit.9
c. Bergstein dan Andreoli (1995) memberikan metil-prednisolon puls 30
mg/kgbb/dosis (maksimum 1,5 g) secara infus intravena dalam 50 – 100 ml cairan
dekstrose 5% selama 30-60 menit, diberikan selang sehari sebanyak 6 kali diikuti
dengan prednisone 2 mg/kgbb/hari (maksimum 60 mg/hari) dosis tunggal selang
sehari selama rerata 37 bulan (12-66 bulan) atau prednison 2 mg/kgbb/hari
selama 1 bulan dan kemudian diturunkan secara perlahan-lahan. Penghentian
pengobatan bergantung pada stabilitas klinis penyakit.9
5. Efek Samping Metilprednisolon
Efek samping steroid dapat berupa hipertensi, diabetes melitus,obesitas,
hirsutisme, striae, sindrom Cushing, gagal tumbuh, akne, katarak, osteoporosis,
nekrosis avaskular, ulkus peptikum, dan meningkatnya risiko infeksi. Meskipun
demikian, terapi metilprednisolon dapat ditoleransi dengan baik oleh anak tanpa
efek samping yang bermakna, pemberian metilprednisolon dapat menyebabkan
disritmia jantung atau fibrilasi atrium. Nausea merupakan efek samping yang
sering ditemukan selama dan setelah pemberian metilprednisolon puls kemudian
metilprednisolon juga dapat menyebabkan leukopeni reversible.9