(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 april 2015-20 mei 2015

236
DAFTAR ISI KEPERMISIFAN TERHADAP PERBUATAN ZINA Faisal Ismail 4 SALAH MEMAHAMI HUKUM Moh Mahfud MD 7 HAKIM MULUT UNDANG-UNDANG? Romli Atmasasmita 10 PERAN EKSTERNAL DALAM KONFLIK INTERNAL PARTAI Firman Noor 13 TIDAK KAPOK KENA OTT Marwan Mas 15 PARTAI, KONFLIK, FIGUR Anas Urbaningrum 18 MENGENANG KAA 1955 Dinna Wisnu 22 MEWASPADAI FRUSTRASI SOSIAL Achmad M Akung 26 HAK KONSTITUSIONAL KOMJEN POL BG MENJADI PIMPINAN POLRI Bambang Usadi 30 ARBITRASE & KEPASTIAN HUKUM Erman Rajagukguk 33 TRIMEDIA KHOMEINI DAN SARUMPAET MADARI Moh Mahfud MD 38 TARIKAN POLITIK PILKADA SERENTAK Anna Luthfie 41 KAPOLRI BARU, HARAPAN BARU Edi Saputra Hasibuan 44 1

Transcript of (sindonews.com) Opini hukum-politik 10 april 2015-20 mei 2015

DAFTAR ISI

KEPERMISIFAN TERHADAP PERBUATAN ZINAFaisal Ismail 4

SALAH MEMAHAMI HUKUMMoh Mahfud MD 7

HAKIM MULUT UNDANG-UNDANG?Romli Atmasasmita 10

PERAN EKSTERNAL DALAM KONFLIK INTERNAL PARTAIFirman Noor 13

TIDAK KAPOK KENA OTTMarwan Mas 15

PARTAI, KONFLIK, FIGURAnas Urbaningrum 18

MENGENANG KAA 1955Dinna Wisnu 22

MEWASPADAI FRUSTRASI SOSIALAchmad M Akung 26

HAK KONSTITUSIONAL KOMJEN POL BG MENJADI PIMPINAN POLRIBambang Usadi 30

ARBITRASE & KEPASTIAN HUKUMErman Rajagukguk 33

TRIMEDIA KHOMEINI DAN SARUMPAET MADARIMoh Mahfud MD 38

TARIKAN POLITIK PILKADA SERENTAKAnna Luthfie 41

KAPOLRI BARU, HARAPAN BARUEdi Saputra Hasibuan 44

LONCENG MUNIR DARI DEN HAAGAli Nur Sahid 47

SIBUK BERPOLITIK, GAGAL BINA SIPIR LAPASBambang Soesatyo 49

1

SEMANGAT BANDUNGDinna Wisnu 52

DARURAT PENGESAHAN RUU ADVOKAT YANG BARUFrans H Winarta 55

SEMANGAT PERSAUDARAAN & KEBANGKITANAnna Luthfie 58

MAHALNYA MEMAKNAI PROSES HUKUMMarwan Mas 62

HUKUM YANG BERKEADILANJanedjri M Gaffar 65

PETUGAS PARTAIAnas Urbaningrum 68

(KRISIS) NEGARAWAN DAN (FILM) GURU BANGSAMuhammad Rifai Darus 71

PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE SERING MENGADA-ADAFrans H Winarta 74

PERJALANAN DEMOKRASI KITADinna Wisnu 77

MENYIKAPI PERANG (SEKTARIAN) YAMANHasibullah Satrawi 80

PERTOBATAN DAN REKONSILIASI NASIONALFreddy Numberi 84

RESHUFFLE KABINET REPUBLIK KOMEDIBambang Soesatyo 87

JANGAN KHAWATIR, DOKTERMoh Mahfud MD 91

EFEK PUTUSAN HAKIM SARPIN DAN DAMPAK PUTUSAN MKRomli Atmasasmita 94

WASPADA TERHADAP POSKRIMINALITASSudjito 97

POLRI MENGALAH, KISRUH POLRI-KPK REDABambang Soesatyo 100

NORMALISASI AS-KUBADinna Wisnu 103

2

MELAWAN GERONTOKRASIRaja J Antoni 106

KONSOLIDASI KEBANGSAAN DAN KEUMATAN PANAndi Taufan Tiro 109

POLISI DAN AMANAT KONSTITUSITjatur Sapto Edy 112

SERIAL KISRUH KPK-POLRIMoh Mahfud MD 115

POLRI KERJA KERAS, MASYARAKAT TETAP WASWASReza Indragiri Amriel 118

MASA DEPAN DEMOKRATGun Gun Heryanto 121

KUNCI KEMENANGAN DAVID CAMERONVishnu Juwono 124

STRATEGI DIPLOMASI PASCA-DEATH PENALTYTantowi Yahya 127

BUKAN KETOPRAK MATARAMAnas Urbaningrum 130

PRINSIP ARBITRASE DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA PERLU DISELARASKAN DENGAN KAIDAH INTERNASIONAL

Frans H Winarta 133

VERSI LAIN POROS MARITIMDinna Wisnu 137

PRAPERADILAN DI INDONESIARomli Atmasasmita 140

INTEGRITAS DALAM PENEGAK HUKUMSudjito 143

TNI AL SEBAGAI PENGAWAL POROS MARITIM DUNIAConnie Rahakundini Bakrie 146

INGIN MENANG BESAR, KPU DIINTERVENSIBambang Soesatyo 150

PEJAMBON 6 DAN PALESTINAMuhammad Takdir 153

RINDU NEGARAWANAnna Luthfie 156

3

Kepermisifan terhadap Perbuatan Zina

Koran SINDO

10 April 2015 

Perbuatan zina (hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan di luar nikah) bisa terjadi antara pria dan wanita yang belum menikah dan bisa terjadi pula di kalangan pasangan yang sudah menikah. Bisa terjadi di kalangan remaja dan bisa terjadi pula di kalangan orang dewasa.

Dalam adat istiadat dan budaya masyarakat yang berbasis agama, perbuatan zina merupakan perbuatan sangat tercela dan terlarang. Lebih-lebih kalau perbuatan zina itu dilakukan oleh seorang suami atau istri yang sudah terikat dalam ikatan pernikahan. Sampai-sampai terjadi seorang suami membacok istrinya yang berzina dengan laki-laki lain. Begitu pula, ada seorang istri yang membakar suaminya karena berzina dengan perempuan lain. Tragis sekali.

Tak kalah tragisnya, kehamilan dan kelahiran anak akibat ”kecelakaan” perbuatan zina ini sangat disesalkan kemudian oleh perempuan yang berzina tadi. Ada perempuan yang melakukan aborsi. Ada perempuan yang menanggung malu karena mempunyai anak jadah atau anak haram. Anaknya juga menanggung malu dalam pergaulan masyarakat karena ayah biologisnya tidak jelas. 

Di negara-negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika, agama, budaya, hukum, dan tata susila seperti di Indonesia, perbuatan zina dipandang sebagai pelanggaran hukum yang bisa dikenakan hukuman pidana bagi si pezina kalau perempuan yang dizinai melaporkan ke polisi. Pelakunya bisa dipidana selama beberapa bulan atau beberapa tahun akibat perbuatan zina yang ia lakukan. Di negara-negara yang secara ketat menerapkan hukum Islam, si pezina dicambuk 100 kali atau di-stoning (dilempari batu) seperti di Iran.

Poin yang hendak ditekankan di sini adalah perselingkuhan dan perzinahan merupakan perbuatan yang sangat tercela karena melanggar ajaran agama, tata susila, dan aturan hukum pidana. Bagi pasangan yang sudah menikah, perzinahan merupakan ”pengkhianatan” besar terhadap pasangannya, pengkhianatan terhadap ikrar setia pernikahan, dan pengkhianatan terhadap kesucian pernikahan.

***

Berita sangat kontroversial dan mengejutkan datang dari Korea Selatan (Korsel). Mahkamah Konstitusi (MK) Korsel belum lama ini secara resmi membatalkan Undang-Undang (UU) Larangan Berzina (KORAN SINDO, 28/2/15). Sebelum dibatalkan, UU Larangan Berzina ini sudah berlaku secara efektif di Korsel selama 60 tahun. Kepada pasangan pria-wanita yang

4

terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan zina, pengadilan menjatuhi hukuman penjara selama dua tahun. Ide, maksud, dan tujuan utama pemberlakuan UU Larangan Perzinaan ini adalah melindungi nilai-nilai luhur tradisi dan tata susila keluarga.

Dengan pembatalan UU Larangan Perzinaan ini, terjadilah titik balik seratus delapan puluh derajat. Negara Korsel secara resmi membolehkan dan melegalkan perselingkuhan bagi warga negaranya. Hukuman penjara selama dua tahun tidak berlaku lagi bagi pasangan pria-wanita yang berzina.

Ada sembilan anggota hakim MK Korsel yang mencermati UU Larangan Berzina sebelum UU itu dibatalkan. Dari sembilan anggota hakim MK Korsel, tujuh anggota menyetujui pembatalan UU Larangan Perzinaan itu. Ketua MK Korsel, Park Han-Chul, mantap berucap: ”Negara tidak boleh mencampuri masalah kehidupan pribadi warganya dengan menghukum pezina sebagai orang telah melakukan perbuatan yang tidak bermoral.” Pernyataan hakim ketua MK Korsel ini secara luas dilansir di Channel News Asia baru-baru ini.

Apa efek dari pembatalan UU Larangan Perzinaan ini di Korsel? Harga saham perusahaan kondom terbesar di Korsel, Unidus Corp, langsung melonjak sebesar 15% pada perdagangan saham lokal.

Dalam kolomnya di majalah Tempo pada 1980-an, kolumnis kondang Mahbub Djunaidi (almarhum) mencari padanan kata ‘condom’ (bahas Inggris) dalam bahasa Indonesia. Dia tidak menemukannya. Sebagai ganti kata ‘condom’ ini, Mahbub mengusulkan kata ”sarman” alias sarung mani karena sulitnya mencari padanan kata Indonesianya. Tetapi, yang berlaku dalam bahasa Indonesia sekarang adalah huruf ‘c’ diubah menjadi ‘k’, jadilah ”kondom”. 

Sebelum mengeluarkan keputusan pencabutan UU Larangan Perzinaan ini, Korsel adalah satu dari beberapa negara non-muslim yang menyatakan perselingkuhan sebagai tindak pidana. Setelah melalui lima kali sidang yang diwarnai dengan serangkaian perdebatan yang cukup alot, MK Korsel menyepakati pembatalan UU Larangan Perzinaan tersebut. 

Selama enam tahun terakhir, hampir 5.500 warga Korsel didakwa melakukan zina dan mereka menghadapi tuntutan hukum atas perselingkuhan yang mereka perbuat. Data ini termasuk kasus perzinaan yang terjadi pada 2014. 

Kantor Kejaksaan Negeri Korsel mencatat, belakangan ini kasus pasangan yang berselingkuh menurun dan semakin jarang berakhir dengan hukuman penjara. Pada 2004 sedikitnya 216 orang Korsel yang dipenjara atas dakwaan berzina. Data ini menurun menjadi 42 kasus perzinaan pada 2008 dan setelah itu hanya terjadi 22 kasus perzinaan yang berakhir dengan hukuman penjara. 

Berdasarkan UU Larangan Perzinaan Korsel (sebelum dibatalkan), pelaku zina hanya dapat dituntut bila pihak yang dizinai (dirugikan) mengajukan pengaduan atau gugatan. Kasus hukumnya akan dihentikan jika pihak penggugat menarik atau membatalkan tuduhan atau

5

gugatannya. Tidak tertutup kemungkinan, kasus perzinaan yang berujung di pengadilan dapat diselesaikan secara kekeluargaan dengan cara memberikan ganti uang rugi kepada pihak yang diselingkuhi (dirugikan).

Di jajaran anggota hakim MK Korsel, Ahn Chang-Ho adalah hakim yang tidak setuju dengan pembatalan UU Larangan Perzinaan itu. Dia bersikukuh dengan pendapatnya bahwa UU Larangan Perzinaan yang disahkan pada 1953 itu sangat penting untuk melindungi harkat, harga diri, dan martabat keluarga. Dengan nada keras, dia memperingatkan bahwa pencabutan UU Larangan Perzinaan itu akan memicu terjadi penyelewengan seksual secara luas dalam masyarakat Korsel. 

Namun, desakan Ahn Chang-Ho (dan satu temannya) yang ingin tetap mempertahankan UU Larangan Perzinaan di Korsel itu tidak terwujud karena dia kalah suara dari mayoritas anggota hakim MK Korsel. Tujuh anggota hakim MK Korsel sepakat membatalkan UU Larangan Perzinaan tersebut, sedangkan dua anggota hakim lainnya tidak setuju.

***

Legalisasi seks bebas (free sex) seperti yang terjadi di Korsel sekarang ini sebenarnya sudah lama terjadi di negara-negara Barat yang menganut sekularisme. Ciri utama moral sekuler dalam kaitannya dengan moral seksual adalah ”permissiveness” (keserbabolehan). Dalam kultur permisif seperti di negara-negara sekuler Barat, hubungan seks di luar nikah (perzinaan) terutama di kalangan remaja sudah biasa dilakukan.

Indonesia, yang dikenal sebagai negara Pancasila (sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa), tidak mungkin, tidak boleh, dan tidak dapat melegalisasi perbuatan zina. Semua umat beragama di negeri ini tidak membenarkan (mengharamkan) perzinaan. Alquran memperingatkan umat Islam untuk tidak mendekati perbuatan zina. Mendekati saja dilarang, apalagi melakukannya. 

Dalam perspektif Alquran, zina (hubungan seks di luar nikah) adalah perbuatan kotor yang bisa menjadi salah satu penyebab penyakit HIV/AIDS. Lima belas abad yang silam Alquran telah memperingatkan bahaya penyakit yang mengerikan dan mematikan ini.

FAISAL ISMAILGuru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

6

Salah Memahami Hukum

Koran SINDO

11 April 2015

Ketika beberapa waktu lalu terjadi pro dan kontra tentang rencana pengkajian ulang untuk meninjau kebijakan hukum tentang pemberian remisi (pengurangan hukuman) kepada terpidana korupsi, ada seorang pejabat penting di negeri ini yang tidak tepat dalam memahami dan menjelaskan istilah hukum. 

Sang pejabat mengatakan, semua narapidana harus diperlakukan sama di depan hukum, dan sesuai konstitusi tidak boleh diperlakukan diskriminatif. Sebab itu, terpidana korupsi juga harus diberi hak untuk mendapat remisi seperti narapidana lain. ”Tak boleh ada diskriminasi atau perlakuan hukum yang berbeda kepada setiap narapidana,” katanya dengan penuh semangat. 

Tentu, pemahaman dan penjelasan seperti itu salah adanya. Terlepas dari soal kita setuju atau tidak setuju atas gagasan pemberian remisi yang sama bagi terpidana korupsi dengan terpidana lain, pemahaman dan penjelasan sang pejabat itu salah. Dia melihat persamaan di depan hukum dan keharusan non-diskriminasi itu mencakup perlakukan sama terhadap semua orang dalam semua hal. 

Dalam hal ”tak boleh ada diskriminasi” misalnya, sang pejabat mengatakan pencuri ayam, pembunuh, dan koruptor harus diperlakukan sama-sama mempunyai hak-hak remisi. Padahal istilah ‘diskriminasi’ di dalam hukum bukan dalam pengertian pembedaan pemberian hak atau pembedaan hukuman yang seperti itu. 

Secara hukum, istilah ‘diskriminasi’ selalu dikaitkan pembedaan perlakukan karena perbedaan agama, ras, suku, etnik, kelompok, golongan, status sosial, ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan sejenisnya. Ini jelas diatur di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 

Ketentuan di dalam UU HAM tersebut diadopsi dan dikembangkan dari Konvensi Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965 (International Convention on the Elimination of All Reforms of Racial Discrimination 1965). Konvensi itu menyebut diskriminasi mencakup pembedaan perlakukan yang didasarkan pada perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan asal usul sosial. Konvensi PBB tersebut kemudian diratifikasi juga oleh Indonesia melalui UU No. 29/1999. 

Dengan demikian, kalau ada kebijakan yang membedakan untuk memberi remisi kepada

7

narapidana umum dan tidak memberi remisi kepada narapidana korupsi, bukanlah suatu kebijakan diskriminatif. Penentuan kebijakan negara untuk tidak memberi remisi kepada terpidana korupsi itu sama sekali bukan diskriminasi karena kebijakan itu berlaku bagi semua orang yang melakukan korupsi, beragama apa pun, berjenis kelamin apa pun, dari ras atau suku apa pun. Jadi, kalau membedakan hukuman atau pemberlakuan hak karena jenis kejahatan dan akibat-akibatnya, bukanlah diskriminasi asal jelas pengaturannya di dalam UU. 

Penentuan kebijakan negara untuk memberi remisi pada narapidana umum dengan syarat-syarat tertentu dan tidak memberi remisi kepada terpidana karena tindak pidana khusus juga bukan diskriminasi karena kebijakan itu berlaku bagi siapa saja, tidak hanya berlaku bagi orang yang beragama Islam, bukan hanya belaku bagi suku Jawa, atau bukan hanya berlaku bagi asal-usul sosial tertentu. Itulah maksud ‘memperlakukan sama di depan hukum’ dan ‘tidak boleh ada diskriminasi’.

***

Kesalahan memahami dan menjelaskan masalah konseptual di dalam hukum memang kerapkali terjadi. Istilah asas ”praduga tak bersalah” misalnya sering disalahartikan oleh banyak sarjana hukum sekali pun. 

Atas dasar asas praduga tak bersalah, sering orang menyalahkan orang yang menganalisis fakta sosial atau menduga tentang indikasi kuat keterlibatan seseorang dalam tindak pidana korupsi. Alasannya, masih dalam proses hukum dan belum ada vonis pengadilan. Padahal, setiap tindak pidana yang kemudian dihukum oleh pengadilan itu selalu dimulai dari dugaan atau ”praduga” bersalah. 

Pada saat seseorang diduga melakukan tindak pidana dilakukan penyelidikan atasnya karena dugaan. Setelah ada alat bukti yang cukup kepada yang bersangkutan dilakukan penyidikan karena sangkaan. Semua itu dilakukan karena dugaan dan sangkaan, belum terbukti. Itu bukan hanya boleh, tetapi niscaya. 

Dengan demikian, boleh saja orang menduga, menyorot, mendiskusikan, menganalisis, bahkan menyimpulkan secara sosial bahwa seseorang telah melakukan korupsi meski belum divonis oleh pengadilan. Masak, menduga, menganalisis, dan menyimpulkan secara logis saja tidak boleh. Masak, begitu saja mau dianggap melanggar asas praduga tak bersalah. 

Orang dijatuhi hukuman itu karena didahului oleh dugaan yang dilanjutkan dengan sangkaan, dakwaan, dan seterusnya sampai vonis. Yang dimaksud asas praduga tak bersalah adalah asas yang menentukan bahwa jika orang belum dijatuhi hukuman dengan hukuman yang sudah berkekuatan hukum tetap, dia tak boleh diperlakukan sebagai terhukum. Misalnya, tak boleh disebut sebagai narapidana, hartanya boleh disita, tapi belum boleh dilelang, boleh ditahan, tapi belum dimasukkan ke dalam penjara yang permanen. 

8

Alhasil, kalau kita melempar analisis atas fakta dan percaya bahwa seseorang yang masih diadili adalah koruptor, itu bukan pelanggaran atas asas praduga tak bersalah. Secara hukum asas praduga tak bersalah itu mempunyai arti yang khas. 

MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi

9

Hakim Mulut Undang-Undang?

Koran SINDO

14 April 2015

 

Judul tulisan di atas pernah terlontarkan secara sinis terhadap fungsi dan peranan hakim abad ke-18 karena hakim dipandang hanya membaca dan melaksanakan undang-undang pidana (hukum materiil). 

Hakim dinilai tidak mendasarkan putusannya pada keyakinan mengenai fakta atas suatu peristiwa dan keadaan-keadaan yang terjadi yang mendorong terjadi peristiwa konkret. Intinya hakim pada abad ke-18 tidak berbeda dengan hakim perdata yang hanya menemukan kebenaran formal mengenai penerapan ketentuan UU pada peristiwa konkret. Hakim saat itu tidak membedakan siapa pelaku kejahatan dan keadaan kejiwaan pelakunya serta ihwal yang meringankan dan memberatkan dan alasan pemaaf dan alasan pembenar.

Perubahan zaman kehidupan dan peradaban masyarakat abad ke-18 telah berkembang dan kini mengalami perubahan signifikan mengenai nilai-nilai kehidupan bagi umat manusia. Perubahan terpenting dan signifikan daripadanya adalah bahwa kini setiap manusia memiliki hak yang paling asasi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa sejak ia dilahirkan. 

Dalam perkembangannya hak asasi yang melekat bahkan sejak lahir diklasifikasikan pada dua jenis: hak asasi yang dapat dikesampingkan (derogable rights) seperti hak ekonomi, hak sosial, dan hak politik; dan hak yang tidak dapat dikesampingkan (non-derogable rights) seperti hak hidup. Hak asasi tersebut melekat pada setiap manusia tidak terbatas pada tempat maupun waktu dan abadi sepanjang manusia hidup bersama dalam lingkungan masyarakatnya. 

***

Tempat setiap orang hidup dalam masyarakatnya tentu berbeda-beda. Perbedaan disebabkan beberapa aspek seperti aspek geografis, aspek sosial dan budaya, serta aspek hukum, termasuk kesadaran hukum masyarakat dan penegak hukumnya.

Dahulu dalam HIR khusus hukum acara pidana tidak dikenal/diakui fungsi dan peranan hakim sebagai penggali nilai-nilai keadilan masyarakat—vide Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman dan ketentuan Pasal 10 ayat (1). Di sana diatur bahwa pengadilan tidak boleh menolak perkara hanya karena tidak ada undang-undang yang mengaturnya. Sedangkan kedua ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman tersebut mencerminkan bahwa hakim wajib berperan proaktif (tidak pasif) dan juga tidak menjadi ”mulut undang-undang” terhadap

10

setiap orang yang memperjuangkan keadilan bagi dirinya terhadap penyalahgunaan wewenang/kekuasaan. 

***

Perjuangan menuntut keadilan adalah perjuangan sepanjang hidup dan sepanjang waktu. Karena itulah, putusan Mahkamah Konstitusi bahwa peninjauan kembali (PK) untuk tujuan menemukan keadilan dapat dilakukan berkali-kali; bukan hanya sekali atau tidak boleh lebih dari satu kali. 

Perjuangan manusia sejak Deklarasi HAM Universal sampai saat ini (abad ke-20 dan ke-21) adalah perjuangan untuk melindungi hak asasi bagi setiap orang dalam setiap kepentingan apa pun sebagaimana telah dicantumkan di dalam UUD 1945 (BAB XA). Ketentuan Pasal 28 J bahkan memberikan kewenangan kepada negara untuk membatasi HAM setiap orang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Perhatikan dan pahami ketentuan ini khusus kalimat, mengapa dan untuk tujuan apa negara harus membatasi HAM setiap orang dan harus dengan cara bagaimana pembatasan tersebut dilakukan.

Doktrin dan ketentuan hukum pidana yang berpegang teguh pada asas legalitas sebagaimana bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP dengan tafsir bahwa penemuan hukum hanya dapat dilakukan pada hukum pidana materiil tidak sesuai dan relevan lagi dengan perkembangan HAM dalam masyarakat demokratis. Pola itu hanya cocok pada rezim totaliter dan oligarki di mana posisi kekuasaan membuat UU dan kekuasaan eksekutif terhadap warganya tidak lagi neben, melainkan untergeordnet.

Pandangan sedemikian itu juga berseberangan dengan arus masyarakat sipil yang demokratis. Mengapa? Ini disebabkan hukum pidana formal atau hukum acara pidana selain merupakan tata cara bagi pengadilan bagaimana menerapkan hukum pada peristiwa konkret adalah juga bagaimana pengadilan (inklusif hakim) bekerja tidak berpihak (imparsial) dan mandiri untuk menemukan kebenaran materiil—sesungguh dan sebenar-benarnya—sesuai dengan nilai keadilan HAM setiap pencari keadilan. Bagaimana mungkin dalam suatu masyarakat demokratis, setiap warganya tidak dapat atau terhambat untuk mencari dan memperoleh keadilan hanya karena fakta suatu peristiwa tidak ada pengaturannya di dalam UU?

Selain alasan tersebut, fakta perkembangan hukum (baca UU) tidak selalu sejalan atau sesuai dengan perkembangan nilai keadilan dalam masyarakat bukanlah pemikiran baru karena sejak semester I (Pengantar Ilmu Hukum) telah diajarkan di Fakultas Hukum. 

Beranjak dari pemikiran sosiologi hukum dan teori hukum pembangunan dan teori hukum progresif bahkan teori hukum integratif, sejatinya nilai-nilai yang terdapat di balik putusan hakim Sarpin dalam Praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan haruslah diakui objektif dan

11

memperoleh justifikasi filosofis yuridis dan sosiologis. Harusnya putusan tersebut dipandang sebagai pintu masuk bagi setiap orang untuk memperjuangkan hak asasinya yang telah ditetapkan sebagai tersangka, ditahan, dan dituntut tidak berdasarkan hukum. 

Atau juga karena tindakan kekuasaan yang telah melampaui batas kewenangan atau tindakan mencampur adukkan wewenang atau tindakan sewenang-wenang penyelenggara negara atau aparat penegak hukum (Pasal 17 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan).

ROMLI ATMASASMITA Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran

12

Peran Eksternal dalam Konflik Internal Partai

Koran SINDO

14 April 2015

 Peran mediasi pihak eksternal dalam penyelesaian konflik kerap dibutuhkan dalam rangka segera menghentikan konflik baik yang bersifat sementara ataupun permanen. 

Dalam beberapa kasus politik peran pihak eksternal itu terbukti mampu dapat menghentikan atau menyelesaikan konflik-konflik yang sulit bahkan telah dianggap tidak mungkin dihentikan. Sebut saja misalnya konflik antara etnis Tutsi dan Hutu ataupun antara Pemerintah RI dan GAM. 

Meski mampu dengan baik menyelesaikan sejumlah persoalan pelik terutama pada kasus-kasus yang berskala internasional, peran eksternal atau pihak ketiga dalam kasus konflik internal partai, terutama dalam kasus Indonesia tidaklah berakhir dengan manis. Peran pihak eksternal dalam banyak kasus justru makin mengacaukan dan memperumit situasi. 

Dari PSII hingga Golkar 

Pada masa Orde Baru peran pihak eksternal dalam hal ini intervensi pemerintah dalam konflik-konflik internal partai demikian terasakan. Dalam konflik itu, pemerintah mengondisikan situasi yang pada akhirnya memaksa satu di antara kedua kelompok yang bertikai ”meminta petunjuk” atau saran dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik internal yang ada. 

Situasi ini dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai pintu masuk bagi ”pembenahan” partai, yang pada intinya mengamankan pihak-pihak yang dianggap ”ramah rezim”, yakni mereka yang mudah diajak kerja sama untuk memuluskan agenda dan kepentingan pemerintah agar dapat menguasai partai. Pada 1970-an situasi ini terjadi misalnya, pada kasus yang menimpa PSII. Kala itu ada pertikaian antara kelompok PSII yang dipimpin oleh MCH Ibrahim versus kelompok TM Gobel. 

Kelompok yang pertama dipersepsikan sebagai anti-rezim karena dituduh tidak sepakat dengan ide Fusi Partai yang dicanangkan Orde Baru. Persepsi anti-rezim ini dimanfaatkan oleh kelompok Gobel untuk meminta dukungan pemerintah agar mendukung eksistensi kelompok mereka dan membenarkan berbagai manuver untuk mendongkel keberadaan kelompok Ibrahim yang jelas-jelas terpilih secara sah dan demokratis pada Kongres Nasional Ke-33 pada 1971. 

Perebutan Kantor DPP PSII oleh kelompok Gobel didiamkan, bahkan juga sebenarnya

13

direstui, oleh pemerintah, yang bahkan tidak lama setelahnya justru mengundang kelompok Gobel di bawah pimpinan Anwar Cokroaminoto untuk bersama-sama pimpinan partai-partai Islam yang lain menandatangani kesepakatan fusi ke dalam PPP pada 1973. Undangan ini bentuk pengakuan sepihak kepada kelompok Gobel, pihak yang dianggap lebih sah oleh pemerintah. 

Valina Singka memersepsikan situasi ini sebagai bentuk intervensi pihak eksternal yakni pemerintah yang berujung pada terjadi sebuah kudeta yang disusul dengan pemakzulan kelompok yang sah di tubuh PSII (Singka, 2014).

Situasi yang kurang lebih sama terjadi lagi pada konflik PPP dan PDI, tentu saja dengan aksentuasi yang berbeda. Pada kasus PPP, konflik antara kelompok NU dan Parmusi, berujung pada banyak kekecewaan terutama bagi kalangan NU.

Kasus-kasus di atas mengindikasikan bahwa sejauh kepentingan yang tidak tulus, baik dalam rangka mempertahankan rezim atau membela kelompok yang pro-pemerintah menjadi acuannya, maupun ambiguitas keputusan hadir, peran eksternal dalam konflik internal partai justru kontraproduktif bagi upaya penyelesaian konflik. 

Untuk itu, kepentingan sedemikian harus disingkirkan oleh siapa saja yang peduli terhadap upaya penyelesaian konflik internal partai, termasuk pemerintah. Meski akar persoalan konflik tetap berasal dari internal partai, peran eksternal jelas tidak dapat disepelekan. Berlarut-larutnya penyelesaian konflik partai jelas merugikan karena partai akhirnya lebih disibukkan pada pembenahan internal ketimbang berkiprah di tengah masyarakat. 

Pun intervensi yang kebablasan dan tanpa solusi yang objektif dari pihak ketiga hanya akan membawa preseden bagi pembenaran perilaku buruk rezim terhadap partai, yang ujungnya jelas mematikan upaya pendewasaan partai itu sendiri. 

DR FIRMAN NOOR, MA Pengajar pada Program Studi Ilmu Politik Universitas Indonesia; Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI

14

Tidak Kapok Kena OTT

Koran SINDO

15 April 2015

   

Operasi tangkap tangan (OTT) terhadap koruptor yang sedang bertransaksi suap kembali dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Lagi-lagi yang menjadi sasaran anggota DPR, dan kali ini menimpa Adriansyah dari Komisi IV Fraksi PDI Perjuangan saat pelaksanaan kongres di Bali (9/4/2015). Realitas ini menjadi bukti sahih bahwa anggota DPR tidak ada kapoknya kena jeratan OTT dari KPK. Padahal, mereka berpredikat wakil rakyat yang selalu dihormati, tetapi tidak dipelihara dengan perilaku yang bisa dijadikan panutan. 

Sudah begitu banyak anggota parlemen ditangkap dan dijebloskan ke penjara karena terbukti melakukan korupsi atau mengantongi uang suap. Tetapi kenapa tidak menimbulkan rasa takut bagi legislator yang lain agar tidak melakukan hal yang sama. Mereka belum benar-benar kebal terhadap godaan korupsi, padahal gaji dan tunjangan mereka begitu besar diberikan oleh negara. 

Hal yang cukup memprihatinkan karena Adriansyah sebelum menjadi anggota DPR adalah bupati dua periode di Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Kabarnya dia juga berencana akan mengikuti pemilihan gubernur pada Desember 2015. Apakah ada kaitannya dengan pilkada serentak yang memang butuh dana besar, sehingga harus menyebar jejaring untuk menjala sebanyak mungkin dana besar untuk biaya kampanye?

Meskipun KPK, sesuai pemberitaan, belum menemukan dugaan mengumpulkan dana untuk kepentingan pilkada, tetapi KPK tidak boleh mengabaikan dugaan itu. Indikasi itu harus dipertajam dan diseriusi, sebab orang yang memberikan suap dan yang kena OTT adalah pengusaha di bidang pertambangan. Ini selalu menjadi motif dalam setiap transaksi suap oleh calon kepala daerah menjelang pilkada. Selalu ada oknum pengusaha hitam yang ikut bermain dengan memanfaatkan kebutuhan dana besar untuk biaya pilkada. 

Sumpah Jabatan 

Sebelum seorang anggota DPR memangku jabatan dia harus mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama dengan anggota lain dalam rapat paripurna DPR. Sumpah/janji anggota DPR tertera dalam Pasal 78 UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. 

Ada tiga substansi dalam sumpah/janji anggota DPR. Pertama, akan memenuhi kewajiban sebagai anggota DPR dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Setiap anggota DPR dalam

15

melaksanakan tugas dan kewajiban harus sesuai peraturan perundang-undangan, berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945. Tidak akan melakukan korupsi, tidak menerima suap karena hal itu dilarang dalam UU Nomor 31/1999 yang diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Kedua, dalam menjalankan kewajiban, setiap anggota DPR akan bekerja dengan sungguh-sungguh untuk menegakkan kehidupan demokrasi, mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan. Ketiga, memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tetapi godaan korupsi karena merasa gaji dan tunjangan tidak cukup bukan lagi persoalan sumpah jabatan, melainkan integritas moral dan kewibawaan sebagai wakil rakyat yang terhormat. Tetapi godaan korupsi tidak mengenal kedudukan, pangkat, dan gelar akademik. Siapa pun bisa terjerat korupsi, dari penegak hukum, anggota legislatif, termasuk profesor sekalipun. Realitasnya, selama ini nyaris tidak ada lembaga negara di negeri ini yang mampu mengklaim diri sebagai institusi yang kebal dari godaan korupsi. 

Berbagai modus korupsi, permainan transaksi uang suap dan gratifikasi sebagai bentuk lain korupsi sudah diketahui, tetapi nyaris tidak mampu ditepis oleh mereka yang memiliki kesempatan. Niat untuk korupsi tersebar dalam hati para pemegang kekuasaan, mereka tinggal menunggu ”kesempatan” untuk mewujudkannya. Tidak sedikit anggota DPR secara sadar melakukan korupsi sebagai kejahatan luar biasa karena ada kewenangan besar yang dimilikinya. 

Kasus Adriansyah yang terjerat OTT perlu dijadikan sinyal pengingat bahwa anggota DPR tidak kapok digiring ke ruang tahanan KPK dengan memakai rompi warna oranye. Mereka tidak merasa malu tampil di layar televisi, bahkan ada yang melambaikan tangan sambil tersenyum seolah tidak punya beban, meskipun senyumnya terlihat kecut. Kasus Adriansyah juga mengingatkan bahwa sumpah jabatan tidak berfungsi menjadi instrumen penyadaran bagi sebagian anggota DPR dalam melaksanakan amanah rakyat.

Jeratan Izin Proyek 

Ternyata pemberian izin untuk proyek-proyek fisik sudah menjadi motif suap dan gratifikasi. Ia menjadi ladang subur untuk mendapatkan dana dalam jumlah besar secara tidak halal. Keuntungan finansial yang diperoleh dari transaksi ilegal itu dilakukan dengan menyalahgunakan wewenang. Pengusaha hitam yang sering menggunakan cara curang untuk mendapatkan proyek yang dibiayai dari uang negara, juga begitu lihai merayu pejabat negara untuk ikut berbuat curang. 

Jeratan izin proyek yang membawa oknum pejabat negara ke balik terali besi itu karena kewenangan besar yang dimiliki pejabat memberi peluang untuk menyalahgunakan wewenang. Ini sangat relevan dengan kekuasaan DPR dalam menjalankan fungsi anggaran

16

yang membuka peluang besar untuk disalahgunakan. Maka, semakin benarlah sinyalemen Lord Acton, seorang pemikir Inggris yang sangat terkemuka bahwa ”power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” atau kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang absolut (mutlak) korupsinya juga besar. 

Kekuasaan besar itu bisa dilihat saat perwira tinggi kepolisian diusulkan Presiden menjadi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, menjadi hakim agung, atau pimpinan KPK harus menjalani uji kelayakan dan kepatutan oleh anggota DPR. Tanpa persetujuan DPR, tidak bisa calon bersangkutan menduduki jabatan itu. Begitu pula dalam pembahasan anggaran negara di DPR.

Sebetulnya putusan Mahkamah Konstitusi sudah membatasi kewenangan anggota DPR. Namun, masih saja ada oknum anggota DPR yang berani mencari peruntungan dengan janji utak-atik pembahasan proyek.

Berbagai peraturan perundang-undangan mencegah penyelenggara negara untuk melakukan korupsi. KPK juga diberi tugas melakukan tindakan-tindakan pencegahan korupsi, melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara (Pasal 6 UU KPK). Anggota DPR pun diwajibkan untuk melaporkan harta kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat. Sayangnya semua upaya pencegahan itu hanya eksis di atas kertas, tetapi lemah implementasinya. 

Ternyata, ketentuan pencegahan itu tidak lebih dari upaya formalitas, sekadar menunjukkan kepada publik telah dilakukan pencegahan, tetapi kesannya hanya membangun citra. Wajar jika kemudian OTT perlu terus diintensifkan KPK, terutama pada transaksi suap yang sangat sulit ditelusuri dengan cara konvensional.

Transaksi suap hanya efektif ditangkap tangan jika ada kewenangan menyadap telepon para pelaku tentang di mana transaksi itu dilakukan. Realitas selama ini, pemberi dan penerima suap tidak pernah membuat kuitansi penerimaan uang suap yang bisa dijadikan alat bukti. Semoga kasus Adriansyah yang terjerat OTT bisa menjadi efek rasa takut bagi penyelenggara negara lain untuk tidak melakukan hal yang sama.

MARWAN MAS Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar

17

Partai, Konflik, Figur

Koran SINDO

15 April 2015

Salah satu berkah Reformasi adalah kesempatan warga negara untuk mendirikan partai politik.

Pada masa sebelumnya hak itu diberangus oleh Orde Baru. Alih-alih memberi hak, rezim malah menyederhanakan partai melalui fusi alias ”kawin paksa” di awal 1970-an dengan alasan stabilitas. Eksperimen mendirikan Partai Rakyat Demokratik pada pertengahan 1990-an sempat harus dibayar mahal oleh para eksponennya.

Namun, setelah empat kali pemilu pascareformasi, isu tentang partai politik belum banyak berubah. Selain partai peserta pemilu baru yang datang dan pergi setiap pemilu, belum ada kemajuan berarti dalam pengelolaan partai politik secara modern dan demokratis. Berita tentang partai kerap diwarnai konflik internal. Publik pun mengkritik partai sebagai jelmaan oligarki kekuasaan. 

Setiap habis pemilu, konsolidasi partai politik kerap diwarnai perebutan kekuasaan antara faksi yang mendukung penguasa dan faksi yang ingin beroposisi. Tentu ini tidak terjadi pada partai pemenang pemilu. Pada partai pemenang pemilu yang biasanya terjadi adalah friksi dalam memperbesar portofolio kekuasaan kelompok di dalam tubuh partai dan pemerintahan. 

Konflik Internal 

Selepas Pemilu 2004 kita menyaksikan langkah Jusuf Kalla mengambil alih kepemimpinan Golkar dan menjadikan partai beringin itu sebagai salah satu jangkar politik pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK). Padahal JK bukanlah calon resmi Golkar dalam pemilihan presiden, karena konvensi Golkar menetapkan Wiranto sebagai pemenang. 

Langkah JK berhasil, namun dengan ongkos yang tidak murah. Wiranto yang kecewa akhirnya mendirikan Partai Hanura pada 2006. Tidak lama kemudian, Prabowo yang juga peserta konvensi Golkar mendirikan Partai Gerindra. Kedua partai ”anak konvensi” ini menjadi kontestan Pemilu 2009 dan berhasil ke Senayan. Belakangan, Golkar malah turun suaranya di pemilihan anggota legislatif dan gagal di Pilpres 2009. JK yang kalah pada Pilpres 2009 dianggap ”berdosa”, hal yang lazim dalam politik.

Munas Golkar di Pekanbaru 2009 menghadirkan kompetisi yang ketat dan sengit antara Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Kemenangan Bakrie kemudian diikuti menyempalnya

18

Surya Paloh dan lahirnya organisasi kemasyarakatan (ormas) Nasional Demokrat (Nasdem) yang bermetamorfosis menjadi Partai Nasdem di kemudian hari. Sementara Aburizal makin merapat ke pemerintahan SBY dan diganjar sebagai ketua harian Setgab Koalisi.

Sejumlah pengamat mengatakan apa yang terjadi di Golkar sekarang merupakan pengulangan sejarah–mirip ungkapan Prancis, l’histoire se répète. Selama ini Golkar adalah partai yang selalu berada di dalam kekuasaan. Yang terjadi kini sejatinya adalah tarik-menarik antara tradisi lama yang selalu berada di dalam kekuasaan dengan alur politik yang ingin membangun tradisi baru di luar kekuasaan sebagai oposisi. Tarik-menarik kedua arus ini sangat keras dan diduga melibatkan pihak di luar partai.

Cerita berbeda dialami oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang relatif berhasil mengelola dinamika internal organisasinya pasca-konflik 2008 dan kemerosotan perolehan suara pada Pemilu 2009. Meskipun sisa-sisa konflik masih belum hilang sepenuhnya, tetapi kondisi internal yang relatif tenang dan ”arus balik” sebagian suara pada Pemilu 2014 telah mengobati luka-luka yang terjadi pada episode sebelumnya. Terpilihnya kembali Muhaimin Iskandar secara aklamasi dalam Muktamar PKB di Surabaya menjadi penanda yang cukup kuat.

Wajah berbeda bisa kita temukan pada Partai Amanat Nasional (PAN). Partai ini tenang dan nyaman bersama pemerintahan SBY. Pada Pemilu 2014 lalu juga berhasil mendongkrak perolehan suara, salah satunya karena menjual sosok Hatta Rajasa dalam pilpres.

Ketidakberhasilan Hatta di dalam pilpres telah menjadikan kongres PAN sangat kompetitif. ”Koalisi” Amien Rais dan Soetrisno Bachir berhasil mengalahkan Hatta dan menempatkan Zulkifli Hasan sebagai nakhoda baru. Partai matahari biru ini berhasil mengelola kompetisi demokratik dan isu regenerasi dengan cukup manis. Meskipun menyisakan riak-riak, seperti rencana hadirnya ormas Harapan Rakyat (HR), PAN relatif bisa menampilkan tradisi demokrasi dalam alih kepemimpinan. 

Tantangan Figur Sentral 

Tantangan yang berbeda dihadapi oleh partai dengan figur sentral yang kuat. Sebut saja Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Hanya PKS yang figur sentralnya tidak mengambil posisi sebagai pejabat eksekutif partai. Megawati Soekarnoputri menjabat ketua umum, SBY adalah ketua umum dan ketua Majelis Tinggi, Prabowo ketua umum dan ketua Dewan Pembina, sementara Hilmi Aminuddin diposisikan sebagai ketua Majelis Syura yang punya otoritas moral-politik.

Kondisi yang menantang dan agak khas terjadi di PDIP dan Partai Demokrat. Megawati Soekarnoputri dan SBY sedang menghadapi pertanyaan politik yang kurang lebih sama, yakni tentang isu regenerasi, meritokrasi dan modernisasi partai. Pertanyaan kepada SBY lebih keras karena selama ini dia berusaha mengampanyekan Demokrat sebagai partai

19

modern, terbuka, dan demokratis; meskipun keduanya (Megawati dan SBY) sama-sama memegang kuasa veto di partainya masing-masing.

Forum Rapat Kerja Nasional PDIP di Semarang pada September 2014 merekomendasikan agar Megawati kembali menjadi ketua umum periode 2015-2020. Atas rekomendasi itu, Megawati yang sudah memimpin PDIP sejak 1999 menyatakan setuju. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (waktu itu) Tjahjo Kumolo menjelaskan bahwa selama partai ini masih hidup, jangan dilepaskan dari trah Soekarno. ”Selain trah Soekarno mentok jadi sekjen,” demikian Tjahjo dikutip media waktu itu.

Kongres PDIP yang baru selesai di Bali mengukuhkan kembali Megawati sebagai ketua umum untuk lima tahun ke depan. Kabinet baru juga tidak banyak perubahan, kecuali masuknya Prananda Prabowo dan hilangnya Maruarar Sirait dan Effendi Simbolon. Desas-desus akan adanya posisi wakil ketua umum sebagai simbol regenerasi yang serius tidak terkonfirmasi dari struktur kabinet baru. Megawati menganggap kerangka kabinetnya yang lama sebagai ”the winning team” yang layak diharapkan untuk periode baru. Kongres Bali adalah penegasan sentralnya peran Megawati di partai banteng yang kini menjadi partai pemerintah.

Demokrat yang akan berkongres di Surabaya ditandai adanya mobilisasi politik untuk aklamasi. Posisi sentral SBY ingin dikukuhkan dengan gerakan arus bawah agar terpilih aklamasi. Ada alasan internal, pertimbangan figur SBY yang dinilai layak menjadi ketua umum, meski harus menjilat ludahnya sendiri, maupun pertimbangan eksternal agar partai terkonsolidasi dan tidak terancam perpecahan. Bahkan sempat ada istilah agar Demokrat jangan sampai ”di- Golkar-kan”.

Meskipun berbeda dengan PDIP, Partai Demokrat menghadapi tantangan eksistensial pasca-SBY. Proses institusionalisasi belum berjalan baik dan cenderung tersedot arus balik personalisasi karena sentralnya posisi dan peran SBY. Kongres Demokrat akan menjadi arena di persimpangan jalan, antara ”jalan idealis” membangun partai modern yang terlembaga, atau ”jalan pragmatis” yang semakin mengukuhkan dependensi politik kepada figur SBY. Untuk kepentingan partai sebagai institusi, apalagi yang bersifat jangka panjang dan berorientasi ke depan, pilihan pada ”jalan pragmatis” tidak menguntungkan. 

Ujian Sejarah 

Setiap partai akan diuntungkan oleh hadirnya tokoh utama atau figur besar. Bukan semata-mata berfaedah sebagai pilar stabilitas internal, tetapi juga berperan penting sebagai magnet elektoral. Namun, pada saat yang sama partai yang dilekati kehadiran figur besar yang sentral posisi dan perannya akan menghadapi tantangan berat dalam pelembagaan internal menjadi partai modern yang mapan. 

Akhirnya, perjalanan masa juga yang akan menjawab sejumlah pertanyaan eksistensial itu. Waktu akan menjadi ujian sejarah bagi Megawati dan SBY, apakah sanggup menjadi

20

jembatan regenerasi dan pelopor modernisasi partai? Juga menjawab pertanyaan, apakah variabel trah dan famili bisa disenyawakan dengan prinsip meritokrasi dan asas prestasi politik? 

Pertanyaan-pertanyaan ini sederhana saja, tetapi punya tautan yang kuat dengan masa depan PDIP dan Partai Demokrat, juga partai-partai lain. Pada jawaban atas pertanyaan itulah terletak masa depan demokrasi kita. Demokrasi yang berfaedah nyata bagi Indonesia dan rakyatnya. 

ANAS URBANINGRUM Pengamat Politik

21

Mengenang KAA 1955

Koran SINDO

15 April 2015

   

Indonesia akan menyelenggarakan peringatan 60 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 sekitar satu minggu lagi. 

Yang lahir setelah tahun 1955 hanya dapat mengetahui apa yang terjadi waktu itu melalui buku, laman internet, atau media sosial. Sayangnya referensi tersebut kurang membawa kita pada aura kebatinan yang menyelimuti peserta dan para pengamat masa itu.

Richard Wright, seorang novelis, warga negara Amerika Serikat (AS) berkulit hitam, mantan anggota Partai Komunis di Amerika, adalah salah seorang yang datang dan mengamati langsung jalannya KAA 1955. Ia menggambarkan bagaimana terkejutnya masyarakat di belahan dunia Barat bahwa bangsa-bangsa yang baru merdeka, setengah merdeka, dan belum merdeka sepakat berkumpul membicarakan perdamaian dunia, kebebasan dari rasa takut dan mengecam imperialisme dengan berbagai bentuknya. 

Beberapa yang berpandangan negatif mengatakan bahwa konferensi itu sangat rasialis dan diskriminatif karena hanya mengundang peserta kulit berwarna, yaitu Asia dan Afrika. Hal ini seperti yang ditulis harian The Launcenston Examiner of Tasmania (30/12/1954). Ada pula seorang campuran Asia dan Eropa yang meyakini bahwa bangsa Asia tidak perlu bicara soal demokrasi karena tidak cocok. Asia lebih cocok menggunakan sistem otoriter karena rakyatnya susah diatur. 

Beberapa ungkapan positif berasal dari warga Barat yang aktivis demokrasi. Mereka kagum dan heran bahwa bangsa-bangsa bekas jajahan yang dianggap rendah berhasil membuat sebuah pertemuan internasional terbesar pasca-Perang Dunia II. Namun, kekaguman mereka juga diwarnai pemikiran eropasentris yang menyebut pertemuan itu adalah akibat perlakuan yang tidak baik dari negara-negara Barat terhadap jajahannya. Dengan kata lain, mereka berkata apabila Barat bersikap humanis, bangsa Asia-Afrika tidak akan memberontak.

***

Komentar-komentar tersebut, terutama yang negatif, sebetulnya dipicu oleh kekhawatiran akan terjalinnya aliansi antara negara Asia-Afrika dengan Komunis Cina. Pada masa itu suasana Perang Dingin. Blok kapitalis yang dipimpin oleh AS dan blok sosialis pimpinan Uni Soviet berlomba memperluas pengaruh. Fakta itu menimbulkan rasa khawatir bahwa KAA akan mendukung perluasan komunisme di Asia-Afrika, apalagi hina termasuk tamu undangan KAA.

22

Perlu atau tidaknya Cina diundang ke KAA sempat menjadi pertanyaan besar bagi lima negara pengusul konferensi ini (Indonesia, India, Pakistan, Burma yang sekarang Myanmar dan Sri Lanka). Dalam kesaksiannya di buku Bandung Connection, Roeslan Abdul Gani menyampaikan bahwa dalam Konferensi Panca Perdana Menteri di Istana Bogor tahun 1954 usulan India untuk mengundang Cina sempat ditentang oleh Pakistan dan Sri Lanka. Selain alasan bahaya subversif (atau bahaya laten dalam istilah di Indonesia), mereka juga khawatir negara-negara yang telah bergabung dengan blok Barat seperti Thailand, Filipina dan negara-negara Arab akan menolak untuk datang. Pada masa itu, Cina disinyalir mendanai kegiatan subversif dan ilegal di sejumlah negara, termasuk penyusupan ideologi komunisme di kawasan Asia dan Afrika.

Kekhawatiran tersebut disanggah oleh Perdana Menteri (PM) India Jawaharlal Nehru dan PM Burma U Nu. Mereka berpandangan bahwa partai komunis di Asia memiliki corak berbeda dengan komunis internasional di Barat. Partai Komunis di Cina dan negara-negara lain lebih dekat kebatinan budaya Asianya ketimbang Partai Komunis di Barat.

Secara khusus PM Nehru menegaskan bahwa undangan KAA kepada Cina justru akan memperluas pergaulan dan cakrawala Cina sehingga Cina dapat lebih berjarak dengan Rusia. Waktu itu Rusia dipandang agresif dan terang-terangan memusuhi negara-negara yang menolak kerja sama dengan Rusia. Itu sebabnya Rusia tidak diundang ke KAA. 

Tampak bahwa secara tidak langsung Nehru menularkan keyakinan bahwa negara-negara Asia dan Afrika berkemampuan menekan Cina dalam KAA agar menghormati janjinya sendiri dalam menjaga hidup berdampingan secara damai (peaceful co-existence), menghindari agresi, menghindari campur tangan dalam urusan dalam negeri negara-negara lain dan menghormati integritas teritorial negara lain. 

Perdebatan soal undangan kepada Cina itu akhirnya selesai karena nada keras dan sedikit mengancam dari PM Burma yang menyatakan akan mengundurkan diri dari KAA apabila Cina tidak diundang. Cina menurutnya adalah kunci untuk perdamaian di Asia karena geopolitik dan kekuatannya. Pernyataan yang berbau ancaman itu akhirnya meluluhkan sikap keras dari Pakistan dan Sri Lanka sehingga akhirnya setuju mengundang Cina.

***

Namun, kekhawatiran tidak selesai di sana. Indonesia masih perlu meyakinkan dunia Barat bahwa KAA tersebut bukan panggung bagi blok komunis. Salah satu trik yang digunakan adalah dengan menyelipkan puisi tentang Paul Revere dalam pidato pembukaan Presiden Soekarno. Ide ini berasal dari Roeslan Abdulgani yang menjabat sekretaris jenderal di Kementerian Luar Negeri dan koordinator pelaksana teknis KAA. 

Paul Revere adalah patriot muda Amerika yang melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Inggris di Amerika. Sebagai tokoh, Paul dikenang karena ia memberi peringatan kepada pasukan-pasukan milisi di AS untuk bersiap menghadapi pasukan kolonial

23

Inggris. Yang heroik, dia mengumumkan dengan cara menunggang kuda selama kurang lebih 14 jam sejak pukul 10 malam dari Boston hingga Lexington. 

Yang fantastis, hari pengumuman oleh Paul Revere itu terjadi tepat 180 tahun pada hari pembukaan KAA, yakni 18 April. Pidato Presiden Soekarno yang menyelipkan potongan puisi tentang tokoh yang dikagumi oleh masyarakat Amerika tersebut telah mencairkan ketegangan dan mengurangi kekhawatiran bahwa konferensi ini akan digunakan oleh salah satu blok. 

Kekhawatiran juga hilang ketika Chou En Lai, PM Republik Komunis Cina, mengatakan dalam pidatonya bahwa ia dapat saja menggunakan kesempatan yang diberikan untuk menggugat keterlibatan Amerika di Taiwan atau keanggotaannya di PBB. Namun dia mengesampingkan hal tersebut karena delegasi RRC datang untuk mencari persatuan dan bukan perbedaan. Cina menyatakan sepenuhnya setuju dengan dasar dan tujuan KAA dan tidak mengusung agenda lain. 

Konferensi itu kemudian menghasilkan sepuluh prinsip yang dikenal sebagai Dasa Sila Bandung yang intinya menekankan lingkungan politik luar negeri regional yang damai bagi seluruh negara terlepas dari ideologinya. Konferensi ini juga menjadi landasan dan rujukan bagi berdirinya Gerakan Negara-Negara Non-Blok yang menambah posisi tawar terhadap blok kapitalis dan blok komunis. 

Keberhasilan KAA adalah bukti kemampuan Indonesia mengurangi ketegangan dan kekhawatiran bahwa konferensi itu akan dijadikan alat propaganda untuk salah satu blok. Empat negara lain yang menjadi pengusul konferensi juga berkontribusi penting. Namun, keterlibatan mereka tak akan ada apabila Indonesia tidak memiliki kemampuan diplomasi untuk meyakinkan mereka bahwa konferensi itu penting dan harus dilaksanakan segera. India pada awalnya ragu untuk mengambil bagian dalam KAA hingga PM Ali Sastroamidjojo datang sendiri ke Calcutta dan meyakinkan PM Nehru.

Kemampuan untuk mengumpulkan 29 bangsa Asia-Afrika yang berbeda dalam ideologi, agama, budaya, kepentingan politiknya dan sejarah konflik yang tajam antara satu negara dengan negara lain adalah kemampuan diplomasi yang sangat langka. Blok kapitalis dan blok komunis pada saat itu juga mampu mengorganisir konferensi dunia dan dihadiri oleh negara-negara lain, tetapi dengan disertai imbalan perlindungan militer dan bantuan ekonomi. KAA tidak melakukan hal tersebut. Bekal Indonesia adalah kematangan berdiplomasi, membangun kepercayaan dari undangan, dan harapan akan kebersamaan yang lebih cerah setelah KAA. 

Pertanyaan bagi Indonesia adalah, apakah kita masih memiliki keunggulan dalam diplomasi itu? Mari kita berharap KAA di Bandung pekan depan akan memberikan jawab yang bagus untuk pertanyaan tersebut. 

24

DINNA WISNU, PhD Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu

25

Mewaspadai Frustrasi Sosial

Koran SINDO

16 April 2015

 

Lelah. Barangkali kata itulah yang paling tepat menggambarkan kondisi psikologis yang tengah dirasakan sebagian besar masyarakat Indonesia menghadapi situasi sosial-politik yang gaduh di negeri ini. Kecuali mungkin, orang-orang yang mengisolasi diri dari gempita informasi yang saban hari membombardir kita.

Tapi, normalnya, siapa sih yang tidak lelah menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara yang selalu karut-marut untuk problem yang bahkan remeh-temeh sekalipun. Sementara tugas besar memajukan kehidupan masyarakat yang menjadi raison d’etre eksistensi negeri ini seakan terlupakan, tersandera oleh kegenitan politik yang banal. 

Padahal, beberapa bulan yang lalu, begitu gegap gempita rakyat mendapatkan pemimpin yang baru. Sejuta harap pun tersemat di pundak pemerintah terpilih, yang mengemban citra jujur, merakyat, dan hebat. Begitu tinggi ekspektasi itu bersemi bahwa pemerintah mampu menyejahterakan rakyat, menggapai bonum publicum, sebagaimana mimpi para pendiri negeri. 

Hingga kini sebagian masyarakat masih menyimpan optimisme akan kehadiran kehidupan yang lebih baik. Sayangnya, sebagian masyarakat, pula mahasiswa, telah kadung ”ilfill” dengan pencitraan dan janji-janji. Meski baru seumur jagung berkuasa, pemerintah dinilai telah menyia-siakan, bahkan mengkhianati dukungan rakyat yang meruyak saat pilpres lalu.

Jika kita berkenan jujur menilai, trust (kepercayaan) rakyat kepada pemerintah memang mulai menunjukkan grafik penurunan. Lihatlah, betapa suara-suara sumbang tentang pemerintah telah mulai bermunculan dalam obrolan keseharian. Banyak pendukung fanatik Presiden yang merasa tidak lagi bisa memahami langkah dan kebijakan presiden pilihannya. Di dunia maya, masyarakat yang ketika pemilu terpolarisasi pun kembali ”bertempur”. The Lover, di satu sisi, mengangkat kebaikan dan kehebatan kebijakan pemerintah. Sementara di sisi yang lain, The H(e)aters seakan selalu mendapatkan amunisi baru untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang seringkali kontroversial dan tidak populis itu.

Celakanya, trust yang turun itu berseiring sejalan dengan turunnya wibawa pemerintah di mata rakyat. Lihatlah di dunia maya dan media sosial. Betapa artikel, plesetan lagu, komik, meme yang mengolok-olok, menyindir, dan membercandai Presiden dan kebijakan yang diambil pemerintah bertebaran. Ini jelas tidak sehat untuk sebuah negara karena berpotensi menjadi bola salju yang kian membesar mengingat mudahnya informasi diakses publik.

26

Tentu ini terjadi bukan tanpa sebab. Kekecewaan terhadap kinerja pemerintah salah satu alasannya. Bagi masyarakat, indikator utamanya tentu sederhana saja. Apakah rakyat telah merasakan kesejahteraan, penegakan hukum, kekompakan dalam kabinet, serta ada-tidak praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam tubuh pemerintahan. Selama ini muncul persepsi bahwa rakyat justru banyak disuguhi kebijakan kontroversial yang mengundang kegaduhan yang melelahkan. Bukan kebijakan dan langkah taktis yang efektif solutif. 

Meski baru seumur jagung berkuasa, tampaknya pemerintahan ini telah berhasil membuat banyak rekor terpecahkan. Mulai dari ranah hukum, politik, hubungan internasional, hingga perihal ekonomi dan investasi. Zaman kleptolitikum (Akung, 2010), kleptomania politik dan hukum, tampaknya kian terasa ruh realitasnya di hari-hari belakangan ini. Kegaduhan dan silang-sengkarut akibat kegemaran merobek-robek hukum, membuat kita lupa tugas memberantas korupsi, kolusi, nepotisme, dan politik balas budi yang kian meraja di negeri ini. Kita pun alpa untuk menempatkan stabilitas negara dan kepentingan bangsa pada aras utama setiap kebijakan.

Banyak pihak mensinyalir bahwa negeri pancasilais ini lamban namun pasti tengah dibawa menjadi negeri kapitalis-liberalis. Satu per satu subsidi dipereteli, dicabut, entah untuk kepentingan siapa. Dialihkan, tidak tahu entah ke mana. Harga minyak dilepas bebas, liberal mengikut harga pasar dunia, nyaris tanpa subsidi.

Tentu tidak perlu terlalu pandai untuk menakar multiplier effect kebijakan ganjil ini. Sewaktu-waktu harga minyak bisa naik kapan saja, membuat situasi ketidakpastian (uncertainity) kian menjadi-jadi, harga barang tak terkendali. Apalagi ketika rupiah mulai tumbang, hilang keperkasaannya.

Jangan Undang Amarah 

Jika kondisi tidak populis ini dibiarkan berlarut-larut tanpa solusi, tentu yang akan menyandang duka terdalam adalah wong cilik (rakyat kecil), yang sebagian besar adalah pendukung fanatik presiden terpilih. 

Mereka memiliki ekspektasi (harapan) perubahan nasib yang sangat tinggi ketika ”Satria Piningit” pujaan hati terpilih menjadi pemimpi negeri. Sayangnya, semakin tinggi ekspektasi, semakin tinggi pula tingkat kekecewaan apabila ekspektasi tersebut tidak terpenuhi.

Dalam telaah buku-buku klasik psikologi sosial, kekecewaan demi kekecewaan berpotensi besar melahirkan apa yang disebut sebagai frustrasi. Solberg (2002) menunjukkan bahwa frustrasi muncul dari kesenjangan antara harapan dan pencapaian. Frustrasi (frustration) adalah sebuah kondisi psikologis tidak nyaman yang diakibatkan karena ada penghalang untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki individu. Bila situasi kekecewaan serupa ini menjangkiti sebagian besar rakyat, dirasakan secara bersama-sama oleh sebagian besar individu dalam konteks masyarakat, frustrasi ini akan berarak menuju frustrasi sosial. Jika kondisi ini berlangsung dalam durasi waktu yang cukup lama, akumulasi kekecewaan yang

27

semakin banyak, kuldesak penghidupan yang semakin akut, serta persepsi tidak ada harapan perbaikan keadaan, efeknya bisa meluas.

Salah satu yang sangat ditakutkan tersebab frustrasi adalah munculnya agresi sebagaimana hipotesis frustrasi-agresi Dollard-Miller. Rasa frustrasi yang terakumulasi berpotensi melahirkan agresi yang sangat berbahaya dalam konteks individu. Terlebih dalam konteks negara, kondisi frustrasi ini jelas akan jauh lebih berbahaya karena melibatkan lebih banyak pihak yang dapat memicu instabilitas.

Orang-orang yang kecewa, sakit hati, bahkan frustrasi juga bisa saja mengambil respons lain seperti melakukan penarikan diri (withdrawal), cuek, dan abai terhadap apa yang terjadi. Tak jarang mereka memendam dalam diam segenap ketidaknyamanan. Bila perasaan kekecewaan dan ketidaknyamanan ini terakumulasi dengan beban kehidupan yang semakin bertambah, bukan mustahil akan terpantik ledakan kemarahan yang memicu agresi sosial. Apalagi, ketika muncul rasa diperdaya dan dikhianati. Represi, pembungkaman, dan justru hanya akan memperbesar rasa amarah untuk mempercepat ledakan itu karena akan dimaknai sebagai serangan atas eksistensi dan harga diri. 

Guyon parikena orang Jawa menyebutkan, ketika dikecewakan atau disakiti, awalnya orang akan memilih untuk ngalah (mengalah), ngalih (berpindah agar tidak mendapat masalah). Namun, bila pun mereka masih saja diusik, terlebih menyangkut soal ngeleh (lapar), sangat mungkin mereka akan ngamuk (mengamuk). Amuk (run amook) berpotensi berkecamuk, manakala kekecewaan dan frustrasi telah terakumulasi melampaui ambang toleransinya. 

Segeralah Berbenah

Negara ini ada sesungguhnya dicita untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kesejahteraan umum (bonum publicum) yang berkeadilan. Siapa pun saja yang didaulat sejarah menjadi pemerintah negeri ini, wajib hukumnya berjuang sepenuh hati, jiwa, dan raga untuk mewujudkannya. 

Komitmen inilah yang semestinya dijaga, dirawat, diimplementasikan, dan dibuktikan kepada rakyat sehingga mereka yang tengah gundah itu merasa dibersamai dan dibela oleh pemerintah yang dipilihnya. Bukan sebaliknya, pemerintah memeras dan memanipulasi rakyat untuk kepentingan diri dan relawan pendukungnya. 

Komunikasi politik yang adekuat juga mutlak dibutuhkan, baik di level internal pemerintahan maupun komunikasi untuk publik. Sangatlah tidak elok ketika para petinggi negara berkomentar centang-perenang, bahkan saling menyalahkan, hingga terekspos di media massa. Ini indikasi koordinasi yang tidak terjalin rapi. Ingatlah bahwa trust rakyat sewaktu-waktu bisa saja jatuh ke titik nadir, tersebab kekonyolan komunikasi penyelenggaraan negara. 

28

Menghadapi para pengkritik kebijakan, pemerintah tidak selayaknya melakukan aksi represi maupun pemblokiran sepihak. Anggaplah kritik sebagai tanda cinta dari rakyat. Kata kuncinya adalah apresiasi aspirasinya, panggil dan ajak berdiskusi untuk dimintai masukan yang positif-konstruktif. Pun, mahasiswa yang sudah mulai gerah, semestinya juga digandeng, dirangkul untuk bersama memperbaiki keadaan. Bukan sebaliknya, dibungkam.

Sebagai catatan penutup, sangatlah tidak mungkin pemerintahan sebuah negara bisa tetap bertahan manakala mereka menyelisihi titah kuasa rakyatnya. Kecuali, jika pemerintahan tersebut memang mendesain untuk menjelma diri menjadi tirani. Tapi, itu pun hanya sementara. Tirani, represi, kekerasan, dan pembungkaman sesungguhnya hanya akan melahirkan bara api dendam dan kebencian yang sewaktu-waktu bisa membakar siapa saja. 

Senyampang masih ada waktu, segenap anak bangsa harus berbenah, membisik bangun kebersamaan. Kita tentu tidak ingin tragedi bangsa masa lalu kembali berarak kelam di langit Ibu Pertiwi, menurunkan hujan duka di Tanah Persada. Mari bersama kita jaga Indonesia kita. Wallahualam. 

ACHMAD M AKUNGDosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang

29

Hak Konstitusional Komjen Pol BG Menjadi Pimpinan Polri

Koran SINDO

17 April 2015 

 

Kebutuhan pengisian kepemimpinan di institusi Polri mendesak dilakukan setelah suksesi kepemimpinan Polri terhambat dengan persoalan politisasi hukum pasca-kepala Polri sebelumnya non-aktif. Ini mengingat Polri saat ini sedang membutuhkan kehadiran pemimpin yang memiliki kewenangan dan kekuasaan penuh untuk mengelola segala aktivitas dan keputusan Polri dalam menjawab berbagai dinamika tantangan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum serta kepentingan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat. 

Persoalan suksesi kepemimpinan puncak Polri sempat memanas terkait isu hukum yang mengemuka ketika Komjen Pol BG yang diajukan menjadi calon kepala Polri ditetapkan tersangka oleh KPK, kemudian ketika proses hukum berjalan melalui sidang praperadilan, Komjen Pol BG dinyatakan tidak tepat ditetapkan sebagai tersangka oleh lembaga anti-rasuah tersebut. Atau, dengan bahasa yang mudah dicerna, Komjen Pol BG telah nyata dizalimi oleh KPK mengingat penetapan tersangka tersebut sampai menyebabkan hak Komjen Pol BG untuk menduduki jabatan kepala Polri menjadi terampas.

Gelombang penolakan pencalonan Komjen Pol BG belum berhenti mengingat pengangkatan Komjen Pol BG tidak dapat dilepaskan dari dua faktor utama yakni ketidakterimaan atau ketidaknyamanan aktivis dan pemerhati anti-korupsi serta peran berbagai kepentingan dan isu politik secara keseluruhan terhadap eksistensi pemerintahan saat ini. 

Isu tersebut sempat mereda ketika Presiden memutuskan mengajukan Komjen Badrodin Haiti sebagai calon kepala Polri baru dan segera menjalani fit and proper test di Dewan Perwakilan Rakyat . Namun, gelombang penolakan kembali terjadi ketika Komjen Pol BG dikabarkan mendapatkan posisi sebagai calon wakil kepala Polri mendampingi Komjen Pol Badrodin Haiti, mengingat kelompok-kelompok kepentingan tersebut menilai aspirasi penolakan mereka menjadi sia-sia dan tidak mendapatkan tempat selayaknya. 

Terlihat sekali kesan penolakan Komjen Pol BG sebagai calon wakil kepala Polri sudah melampaui proporsionalitas dan rasionalitas hak konstitusional Komjen Pol BG sebagai anggota Polri untuk dicalonkan dan dipromosikan pada jabatan tertentu di lingkungan internal Polri, mengingat sudah tidak ada lagi permasalahan hukum dengan Komjen Pol BG. 

Padahal, hak setiap anggota Polri untuk dipromosikan dijamin berdasarkan ketentuan yang

30

berlaku sehingga memenuhi aspek kepastian hukum dan keadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Perkap No. 16 Tahun 2012 tentang Mutasi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan: “Setiap Anggota mempunyai kesempatan dan hak yang sama dalam Mutasi anggota baik TOD (tour of duty) atau TOA (tour of area) dengan memperhatikan persyaratan yang ditetapkan“, dan Pasal 3 Perkap No. 16 Tahun 2012 tentang Mutasi Anggota Polri menegaskan bahwa proses mutasi anggota Polri mengikuti prinsip legalitas, akuntabel, keadilan, transparan, objektif, dan anti-korupsi, kolusi, dan nepotisme. 

***

Sebelumnya tidak pernah terjadi, wacana penunjukan calon wakil kepala Polri sampai diwacanakan dan menjadi bagian dari aspirasi anggota Dewan menjelang fit and proper test calon kepala Polri. Tetapi, pencalonan Komjen Pol BG sebagai wakil kepala Polri sampai menjadi arus aspirasi utama sebagian besar bahkan dapat dikatakan seluruh anggota Dewan memiliki harapan serupa meski anggota Dewan memahami bahwa pengangkatan wakil kepala Polri murni wewenang internal Polri yang ditentukan melalui sidang Wanjakti. 

Ini semestinya disadari bahwa sesungguhnya eksistensi Komjen Pol BG secara pribadi disukai banyak kalangan, termasuk juga di kalangan internal anggota Polri. Modal ini sangat esensial dalam membangun pola hubungan kerja sama yang konstruktif antarlembaga dan di dalam lembaga internal kepolisian sehingga kinerja kepolisian ke depan seiring, sejalan, dan responsif terhadap dinamisasi tantangan lokal, regional, dan global yang tidak ringan yang membutuhkan kompetensi dan kecakapan kepemimpinan yang memadai.

Patut dicatat dan diketahui bahwa Komjen Pol BG merupakan figur atau sosok perwira tinggi Polri terbaik saat ini. Pada saat menempuh pendidikan di pendidikan kepolisian dan Lemhannas, Komjen Pol BG merupakan salah satu siswa yang berprestasi. Pada masa pemerintahan Presiden SBY saja, Komjen Pol BG mendapatkan dua kali promosi kenaikan pangkat/bintang dari sebelumnya Brigjen Pol sampai mencapai pangkat Komjen Pol. 

Performance Komjen Pol BG pada saat menghadapi fit and proper test sebagai calon kepala Polri di DPR juga secara konsisten membuktikan hal tersebut. Belum lagi, pencapaian berbagai prestasi yang diukir Komjen Pol BG, baik secara internal maupun eksternal selama bertugas dan menjadi abdi negara di institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia. 

Penting untuk ditekankan bahwa pembangunan dan penggiringan opini yang tidak proporsional sampai merampas hak-hak konstitusional seseorang dalam sebuah jabatan publik sesungguhnya merupakan bentuk tindakan yang berlebihan yang tidak boleh dibiarkan. Aksi tersebut mengabaikan prinsip keadilan dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum ketatanegaraan dalam bingkai dan cita-cita sebagai negara hukum, terutama dalam konteks suksesi kepemimpinan lembaga-lembaga negara, lembaga kementerian, termasuk lembaga negara setingkat kementerian seperti TNI, Polri, dan kejaksaan. 

31

Mengingat, Plato (429-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) sebagai penggagas pertama konsep negara hukum menekankan pentingnya pengelolaan negara berpijak pada aturan dan ketentuan hukum yang berlaku untuk menjaga negara dikelola secara baik dan menghindari ketidakpastian. 

BRIGJEN POL DR BAMBANG USADI MM Kepala Biro Analisis Akademik Lemdikpol

32

Arbitrase & Kepastian Hukum

Koran SINDO

17 April 2015

    

Arbitrase institusi di Indonesia sering ditunjuk oleh para pihak dalam perjanjian mereka untuk penyelesaian sengketa yang mungkin timbul di antara mereka. 

Para pihak dapat memilih arbitrer yang mereka kehendaki sehingga dua arbitrer ditunjuk oleh para pihak dan arbitrer ketiga ditunjuk dua arbitrer yang sudah ada. Jika dua arbitrer tersebut gagal menunjuk arbitrer ketiga, arbitrer ketiga ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri. Demikian ditentukan oleh Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sehubungan dengan penyelesaian sengketa yang diselesaikan oleh arbitrase dalam negeri. 

Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 34 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, penyelesaian sengketa arbitrase yang dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional sesuai dengan kesepakatan para pihak, hukum acara penyelesaian sengketanya dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali ditentukan lain oleh para pihak. 

Di samping itu, dalam rangka menarik modal asing, Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York Tahun 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri. Para pihak di Indonesia adakalanya menyelesaikan sengketa yang timbul di antara mereka melalui arbitrase di luar Indonesia. 

Pembatalan Putusan Arbitrase 

Pasal 70 undang-undang tersebut di atas menyatakan, terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. 

Selanjutnya Pasal 71 menyatakan, permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Kemudian Pasal 72 menyatakan : (1) Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada ketua pengadilan negeri. (2) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

33

dikabulkan, ketua pengadilan negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase. (3) Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima. (4) Terhadap putusan pengadilan negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. (5) Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 15/PUU-XII/2014 tanggal 23 Oktober 2014 telah membatalkan penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya antara lain menyatakan pasal tersebut sudah cukup jelas (expresis verbis) sehingga tidak perlu ditafsirkan. Yang justru menimbulkan multitafsir adalah penjelasan pasal tersebut. Paling tidak multitafsirnya adalah (i) bahwa penjelasan tersebut dapat ditafsirkan apakah alasan pengajuan permohonan harus dibuktikan oleh pengadilan terlebih dahulu sebagai syarat pengajuan permohonan pembatalan, atau (ii) bahwa alasan pembatalan tersebut dibuktikan dalam sidang pengadilan mengenai permohonan pembatalan. 

Dengan perkataan lain, apakah sebelum mengajukan permohonan pembatalan, pemohon harus mengajukan salah satu alasan tersebut ke pengadilan untuk memperoleh putusan dan dengan alasan yang telah diputuskan pengadilan tersebut menjadikan syarat untuk pengajuan pembatalan. Atau, syarat alasan yang masih menjadi dugaan pemohon tersebut harus dibuktikannya dalam proses pembuktian permohonan di pengadilan tempat diajukannya permohonan pembatalan. 

Dua tafsir terhadap penjelasan tersebut jelas berimplikasi terjadi ketidakpastian hukum sehingga menimbulkan ketidakadilan. Selain itu, manakala tafsir yang pertama yang dipergunakan, berarti pemohon dalam mengajukan permohonan pembatalan tersebut akan berhadapan dengan proses pengadilan. Apabila harus menempuh dua proses pengadilan, tidak mungkin jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut dipenuhi. 

Menurut Mahkamah Konstitusi RI Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 telah mengakibatkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Maka itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan Penjelasan Pasal 70 undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

Menurut pendapat hukum saya tentang hak para pihak untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut di atas dapat dikesampingkan berdasarkan kesepakatan bersama para pihak. Dasarnya adalah Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 

Pasal 70 itu sendiri menyebutkan: Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan

34

permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur beberapa unsur. Kata “dapat” artinya para pihak tidak wajib mengajukan permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase yang telah dijatuhkan. Kata “dapat” mengandung makna tidak memaksa (imperatif). 

Dengan demikian, hak para pihak untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 dapat dikesampingkan berdasarkan kesepakatan para pihak, yang misalnya dituangkan dalam perjanjian arbitrase yang disepakati dan telah ditandatangani oleh para pihak. Apabila hak tersebut sudah disepakati untuk dikesampingkan, para pihak sudah tidak memiliki hak lagi (legal standing) untuk mengajukan permohonan pembatalan. 

Mengenai keabsahan suatu tanda tangan, terlebih lagi tanda tangan dalam suatu perjanjian yang dilegalisir oleh notaris; tidak dapat diingkari oleh para pihak di kemudian hari karena notaris sebelum melegalisasi perjanjian tersebut memeriksa terlebih dahulu kartu tanda penduduk (KTP) para pihak untuk mengetahui apakah tanda tangan dalam perjanjian tersebut sama dengan tanda tangan di KTP para pihak. 

Alasan Pembatalan Putusan Arbitrase Limitatif

Salah satu pihak tidak dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase berdasarkan sebab-sebab lain karena syarat-syarat dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah limitatif. Salah satu pihak tidak dapat mengajukan permohonan pembatalan berdasarkan penjelasan umum dari undang-undang tersebut karena ketentuan yang disebutkan dalam suatu pasal (batang tubuh) lebih kuat dari penjelasan umum. 

Dasarnya adalah butir 178 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan, penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini Penjelasan Umum dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang menyebutkan : “Bab VII mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase. Ini dimungkinkan karena beberapa hal antara lain (cetak tebal dari saya): a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.”

Kata “antara lain” itu dapat diartikan menambah alasan-alasan yang baru selain a. b. dan c. Menurut pendapat hukum saya, kata-kata “antara lain” telah mengubah secara terselubung ketentuan yang diatur oleh Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Karena itu, menurut pendapat hukum saya, tetap yang berlaku adalah Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang merupakan batang tubuh undang-undang tersebut dan bukan penjelasan umum. 

35

Jika terdapat suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang materinya mengenai terbuktinya alasan-alasan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yaitu putusan tersebut tentang terbuktinya dokumen palsu, dokumen yang disembunyikan, dan tipu muslihat; putusan pengadilan tersebut dapat dijadikan alasan untuk pembatalan putusan arbitrase dimaksud. 

Tetapi, apabila putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap itu materinya bertentangan dengan putusan arbitrase dan bukan tentang terbuktinya alasan-alasan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999, putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap itu tidak dapat menjadi alasan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase. 

‘Bertentangan dengan ketertiban umum’ tidak dapat menjadi alasan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase dalam negeri karena alasan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase dalam negeri sudah limitatif diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. 

Sebelumnya Mahkamah Agung RI juga berpendapat sama, seperti dapat diikuti dalam perkara PT Padjadjaran Indah Prima vs PT Pembangunan Perumahan No. 729 K/Pdt.Sus/2008, Mahkamah Agung RI dalam pertimbangannya menyatakan, antara lain berpendapat : “Bahwa Judex Facti yang membatalkan Putusan BANI a quo tanpa memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 telah salah menerapkan hukum sebab alasan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut telah dirinci secara limitatif sebagai berikut : a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Bahwa alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam Pasal 70 tersebut harus dibuktikan dengan putusan pengadilan (dalam perkara pidana) dan di luar alasan tersebut, permohonan pembatalan harus dinyatakan tidak dapat diterima.” . 

Mahkamah Agung RI kemudian memutuskan: Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Sumedang No. 10/Pdt.G/2008/PN.SMD tanggal 12 Juni 2008 dan menguatkan Putusan BANI No. 03/2007/BANI/Bandung tanggal 17 Maret 2008 baik dalam konpensi maupun rekonpensi. 

Akhirnya, saya berpendapat bahwa dalam proses arbitrase, apabila ada dua pihak yang mengaku bertindak sebagai termohon misalnya ada dua pihak yang mengaku sebagai pengurus dari suatu perseroan terbatas yang sama, hal tersebut diserahkan kepada majelis arbitrase yang dibentuk untuk menyelesaikan sengketa itu menentukan termohon sebenarnya. Ini wewenang penuh dari majelis arbitrase yang memeriksa dan memutus perkara arbitrase tersebut.

36

Kesimpulan 

Menurut pendapat hukum saya, alasan ‘bertentangan dengan ketertiban umum’ tersebut hanya untuk menolak pelaksanaan (eksekuatur) putusan arbitrase luar negeri dan dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (2) dan Pasal 66 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 sehingga alasan ‘bertentangan dengan ketertiban umum’ tidak dapat menjadi alasan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase karena sudah diatur secara limitatif dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

ERMAN RAJAGUKGUK Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia

37

Trimedia Khomeini dan Sarumpaet Madari

Koran SINDO

18 April 2015

Ada segmen menarik pada acara Indonesia Lawyers Club (ILC), Selasa (14-4-15) pekan ini, yakni segmen ketika terjadi debat saling sambar antara tokoh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Trimedia Panjaitan (Trimed) dan Ratna Sarumpaet terkait praksis demokrasi pada live di TV One yang membedah isu ”Petugas Partai” tersebut. 

Ketika diberi kesempatan berbicara, Sarumpaet mengkritik, antara lain, kepemimpinan Megawati yang sudah sangat lama dan masih terpilih lagi di Kongres PDIP pekan lalu. Kata Sarumpaet, seharusnya Megawati menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada kader yang lebih muda. Megawati, tambah Sarumpaet, sudah lebih dari 15 tahun memimpin PDIP. 

Trimed menjelaskan, ”Megawati terpilih dalam kongres secara sangat demokratis”. Megawati dipilih berdasar usul berjenjang dari pengurus tingkat bawah sampai tingkat pusat, yang kemudian didukung secara aklamasi oleh kongres. Bukan Megawati yang meminta dipilih, tapi warga PDIP sendirilah yang memintanya. Kata Trimed, Megawati terpilih sebagai produk demokrasi, bukan hasil rekayasa. 

Sarumpaet yang adalah seniwati dan aktivis pejuang penegakan HAM menyambar lagi dengan pernyataan, seharusnya Megawati meminta para kadernya untuk memilih kader lain yang lebih muda. Megawati seharusnya mendorong warga PDIP untuk tidak selalu memilih dirinya.

Trimed pun menyambar lagi bahwa semua warga PDIP ikhlas memilih Megawati. Masak mau dilarang? Demokrasi itu kan memberi kebebasan pada anggota untuk menentukan pilihannya? Kalau melarang anggota untuk menentukan pilihannya sendiri, berarti tidak demokratis. Demikian Trimedia.

***

Materi perdebatan tersebut sangat menarik dalam konteks ambiguitas dan paradoks demokrasi. Saat mengikuti debat Trimed-Sarumpaet itu, saya jadi teringat pada sebuah tulisan yang pernah saya baca di majalah Prisma pada 1990-an. Saya sudah lupa nomor edisi dan nama penulisnya karena sudah lama sekali, lebih dari 15 tahun lalu. Tetapi saya ingat penulis itu bercerita tentang perdebatan antara Ayatullah Khomeini dan Shariat Madari, dua tokoh revolusi Iran yang mengguncangkan dunia pada 1979 itu.

38

Seperti diketahui, setelah berjuang selama puluhan tahun, bahkan sempat diasingkan di Paris selama 22 tahun, Ayatullah Khomeini akhirnya berhasil memimpin revolusi di Iran, menjatuhkan rezim Syah Iran yang korup dan bertangan besi. Setelah revolusi yang gemilang itu, Iran memasuki babak baru, membangun sistem politik yang demokratis atau, tepatnya, sistem teodemokrasi. Ketika itu Khomeini yang saleh, suci, dan sederhana sangat dihormati, dikagumi, dan didukung oleh rakyat Iran untuk memimpin dan mengatur Iran sehingga kekuasaannya menjadi besar luar biasa. 

Pelan-pelan kekuasaan Khomeini membesar dan membesar sehingga semua kekuasaan terpusat di tangannya. Khomeini menjadi penentu kekuasaan legislatif karena melalui kedudukannya sebagai Waly al Faqieh, dia adalah penentu undang-undang yang bisa ditetapkan oleh parlemen. Khomeini adalah penentu pejabat-pejabat puncak eksekutif sebelum maupun sesudah pemilu. Khomeini juga mengambil fungsi yudikatif ketika, misalnya, menjatuhkan vonis hukuman mati kepada penulis buku Satanic Verses Salman Rushdi dan kepada PM Sadeq Godzadeh. Namun, rakyat senang dan selalu mendukung Khomeini karena kejujuran dan kesederhanaannya.

Dalam keadaan seperti itulah, Shariat Madari datang kepada Khomeini untuk memberi semacam teguran. Dia mengingatkan Khomeini bahwa kekuasaannya yang begitu besar (merambah ke legislatif, eksekutif, yudikatif) itu bertentangan dengan ide demokrasi yang diperjuangkan Khomeini sendiri.

”Mengapa engkau berkata begitu, sahabatku?” tanya Khomeini. ”Karena engkau telah mengangkangi semua kekuasaan, itu bukan demokrasi yang kita perjuangkan,” jawab Madari. 

”Apa arti demokrasi itu menurutmu?” tanya balik Khomeini. ”Kekuasaan dan pemerintahan yang diperoleh atas kehendak dan untuk rakyat,” jawab Madari. ”Kalau begitu saya sudah bertindak demokratis, sebab kekuasaan saya yang besar ini diminta oleh dan untuk rakyat,” jawab Khomeini lagi. 

”Kalau begitu bilang pada rakyat agar tidak memberi kekuasaan yang terlalu besar kepadamu. Engkau didengar oleh rakyat. Jika engkau bilang agar rakyat tidak menumpuk kekuasaan di tanganmu maka rakyat akan mematuhinya,” debat Madari. Khomeini pun menukas, ”Lo, kalau saya melarang rakyat untuk memberikan kekuasaan kepadaku sesuai pilihannya sendiri, berarti saya menentang demokrasi. Rakyat maunya begitu, bagaimana lagi.” Jadi, perdebatan antara Trimedia dan Sarumpaet itu hampir sama persis dengan perdebatan antara Khomeini dan Madari. 

Persoalannya terletak pada ambiguitas dan paradoks demokrasi itu sendiri. Dalam sejarah pemikiran politik sejak zaman Yunani kuno (2500 tahun yang silam), demokrasi memang dinilai ambigu dan bukanlah sistem yang ideal. Plato, misalnya, menyebut adanya unsur jelek demokrasi karena menyerahkan penentuan keputusan penting negara kepada rakyat yang umumnya sangat awam dan berpotensi menimbulkan massa liar. 

39

Sementara itu, Aristoteles mengatakan bahwa di dalam demokrasi itu banyak demagog, politisi yang ahli orasi dan agitasi dengan berbagai janji, tetapi sesudah menang dalam pemilihan mereka tidak memenuhi janji-janjinya. Meskipun begitu, demokrasi merupakan sistem terbaik jika dibandingkan dengan sistem-sistem lain sebab di dalam demokrasi ada prinsip penghormatan terhadap rakyat dan hak-haknya. 

Di dalam sistem apa pun, negara akan baik jika pemimpinnya jujur, bersih, dan berintegritas. Kualitas demokrasi akan semakin membaik jika didahului dengan semakin membaiknya kesejahteraan dan tingkat pendidikan rakyatnya.

MOH MAHFUD MDGuru Besar Hukum Konstitusi 

40

Tarikan Politik Pilkada Serentak

Koran SINDO

18 April 2015

Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) yang dilakukan secara serentak akan menjadi agenda politik babak kedua setelah digelarnya Pemilihan Umum 2014. Tarik-menarik soal penyelenggaraan dan konflik kepengurusan di internal partai politik menjadi faktor yang turut mewarnai bagaimana potret pilkada ini nanti digelar.

Dasar hukum pelaksanaan pilkada sebenarnya sudah digodok dalam rapat paripurna DPR, kemudian mereka mengesahkan dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) menjadi undang-undang. Sebanyak 442 anggota Dewan menyatakan setuju bahwa Perppu Nomor 1/2014 tentang perubahan atas UU Nomor 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, serta Perppu Nomor 2/2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, dapat disahkan menjadi undang-undang (20/12/2014).

Namun, sejumlah anggota DPR melihat masih ada yang perlu perbaikan yang perlu dilakukan terkait permasalahan dalam Perppu Nomor 1 dan 2 Tahun 2014. Pasalnya, diperlukan pemenuhan kebutuhan landasan yuridis yang komprehensif dan lebih baik dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, terutama tahun 2015 yang sudah memasuki tahapan persiapan.

Dinamika di DPR kemudian terjadi terkait waktu pelaksanaan. Pada awal Februari lalu fraksi-fraksi di Komisi II DPR menyepakati pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota serentak yang semula dijadwalkan 15 Desember 2015 diundur menjadi Februari 2016. Pilkada berikutnya akan dilakukan pada 2017 dan 2018. Pengunduran dilakukan untuk persiapan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2015 bersama dengan berakhirnya masa jabatan pada awal 2016, penyelenggaraan pilkada dijadikan satu pada Februari 2016. Untuk 2017 pilkada serentak dilakukan untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada paruh kedua 2016 dan 2017. Untuk kepala daerah yang berganti masa jabatan pada 2019, pilkada digelar pada 2018 bersama kepala daerah yang habis masa jabatan pada 2018.

Perubahan jadwal ini sebenarnya menindaklanjuti usulan KPU agar DPR memundurkan jadwal pilkada serentak menjadi pertengahan 2016. Namun, langkah DPR ini terlihat kurang disepakati oleh pemerintah. Presiden Joko Widodo meminta pilkada serentak tetap berlangsung pada September 2015. Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Tjahjo

41

Kumolo beralasan, jika pilkada langsung tetap digelar September 2015, sebagian besar jadwal pilkada yang berjumlah 204 dapat dilaksanakan pada tahun ini juga. Hanya tersisa 10 pilkada di kabupaten/kota yang akan dipindah pada pelaksanaan pilkada serentak tahun berikutnya. Hal ini diupayakan tidak akan mengganggu proses penganggaran dan pembangunan di daerah serta laporan pertanggungjawaban.

Meskipun kemudian DPR dan pemerintah menyepakati pilkada tetap digelar pada Desember 2015 dengan beberapa gelombang, harus diakui soal pembahasan waktu ini menjadi tarikan politik pertama pelaksanaan pilkada serentak. 

Konflik Partai 

Tarikan politik kedua adalah konflik kepengurusan partai politik. Publik tentu masih ingat, sejak pemerintahan baru Jokowi-Jusuf Kalla dilantik, dua konflik partai politik lahir. Pertama kasus dualisme kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) antara Muktamar Surabaya dan Muktamar Jakarta. Kementrian Hukum dan HAM telah memutuskan PPP versi Muktamar Surabaya yang diketuai Romahurmuziy sebagai kepengurusan PPP yang sah. Kubu PPP versi Muktamar Jakarta yang memilih Djan Faridz, juga didukung mantan ketua umum Suryadharma Ali, mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hasilnya, kubu PPP pimpinan Djan Faridz dinyatakan sebagai DPP PPP yang sah.

Menariknya, pemerintah melalui Kemenkum HAM mengajukan banding, termasuk kubu Romahurmuziy. Padahal, jamak dipandang pemerintah semestinya bertindak netral, siapa pun pengurus sebuah partai politik, pemerintah tidak memiliki kepentingan apa pun. Ketika pemerintah mengajukan banding, tentu tuduhan bahwa pemerintah memiliki kepentingan politik wajar terjadi. Apalagi saat pengesahan PPP kubu Romahurmuziy, tidak lama dari menteri Hukum dan HAM dilantik menjadi menteri. 

Kedua adalah konflik Partai Golkar. Perseteruan Golkar versi Munas Bali yang dikomandani Aburizal Bakrie dengan Golkar versi Munas Jakarta yang dipimpin Agung Laksono seakan mengulang langkah Kemenkum HAM dalam memperlakukan PPP. Menteri Hukum dan HAM telah mengesahkan Golkar versi Agung Laksono berdasarkan putusan Mahkamah Partai Golkar. Padahal, menurut versi kubu Munas Bali, tidak ada putusan Mahkamah Partai yang memenangkan salah satu pihak.

Golkar kubu Munas Bali pun mengajukan gugatan ke PTUN. Putusan sela majelis hakim PTUN memerintahkan Kemenkum HAM menunda putusannya terkait kepengurusan Golkar. Akibat putusan sela ini, Golkar status quo dan kubu Munas Bali menyebut kepengurusan kembali ke hasil Munas Riau 2009 di mana ketua umum dijabat Aburizal Bakrie dan posisi sekretaris jenderal oleh Idrus Marham. 

Konflik kedua partai ini diakui menjadi tarikan politik, mengingat menjelang dihelatnya pilkada serentak, tentu partai politik butuh konsolidasi dan kohesivitas politik. Bagaimana pun, pilkada menjadi momentum bagi partai melakukan pemanasan awal sekaligus menguji

42

jaringan politik. Seperti diketahui, Koalisi Merah Putih berniat akan membangun koalisi ini sampai ke daerah-daerah. Tentu, dengan konflik yang terjadi di internal PPP dan Partai Golkar akan banyak memengaruhi bangunan koalisi politik yang dimiliki oleh KMP. 

Perbaikan Pilkada 

Sejumlah perbaikan terhadap pelaksanaan pilkada telah dilakukan dalam perubahan perundang-undangan. Tarikan politik ketiga adalah terkait perubahan aturan dalam penyelenggaraan pilkada tersebut. Dalam revisi UU Nomor 1/2015 tentang Pilkada disebutkan ada tiga perubahan, yakni pembatasan politik kekerabatan atau politik dinasti, syarat pengajuan pasangan calon harus memiliki dukungan 20 persen kursi DPRD atau minimal 25 persen suara dalam pemilu, serta syarat kemenangan pemilu yang hanya berlaku satu putaran. Jadi pasangan calon kepala daerah yang meraih suara terbanyak langsung ditetapkan sebagai pemenang pilkada.

Salah satu yang menjadi polemik dan tarik-menarik adalah terkait syarat pencalonan, terutama yang berhubungan dengan pembatasan politik kekerabatan. Syarat ini melarang calon yang maju di pilkada memiliki hubungan darah dengan petahana. Hal ini tidak lepas dari gejala politik kekerabatan di daerah yang terjadi begitu masif sejak era reformasi. Kekuasaan keluarga di daerah akan mengganggu sirkulasi politik di daerah.

Namun, sejumlah pihak yang lain menilai larangan ini dianggap tidak sesuai UUD 1945 yang memberikan kepada semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih dan memilih sejauh hak politiknya tidak dicabut oleh pengadilan. Sejumlah pihak saat ini sedang mengajukan uji materi terkait aturan larangan politik kekerabatan tersebut dalam syarat pencalonan di pilkada. Setidaknya ada enam perkara yang mempersoalkan syarat pencalonan itu, antara lain larangan konflik kepentingan, larangan calon yang pernah dijatuhi pidana lima tahun atau lebih untuk mengikuti kontestasi, serta larangan pegawai negeri sipil maju sebagai pasangan calon di pilkada.

Dalam pertimbangan para pengaju uji materi, rakyat memiliki kedaulatan penuh untuk memilih langsung pemimpinnya. Dengan pembatasan yang terjadi pada syarat pencalonan di atas, seakan-akan pembuat undang-undang menghukum seseorang tanpa batas waktu dan selamanya tidak berhak menjadi kepala daerah. Polemik aturan hukum inilah yang dipandang oleh penulis sebagai tarikan politik ketiga yang akan menjadi ganjalan pada pelaksanaan pilkada langsung serentak yang pertama kali digelar tersebut.

Dalam konteks demokrasi, tentu tarikan-tarikan politik ini menjadi ujian tersendiri, terutama bagi partai politik untuk melakukan komunikasi dan konsolidasi politik. Bagaimana pun, partai politik adalah ujung tombak dari sebuah kontestasi politik.

ANNA LUTHFIEKetua DPP Partai Perindo

43

Kapolri Baru, Harapan Baru

Koran SINDO

18 April 2015

Komjen Pol Badrodin Haiti sudah dilantik sebagai Kapolri. Sebagaimana kapolri baru, harapan masyarakat tentu tertumpu kepadanya agar segera membenahi Polri. Masyarakat berharap Polri sungguh-sungguh dapat menjadi pelindung, pengayom, pelayan, dan penegak hukum agar ketertiban dan keamanan masyarakat terwujud.

Memang harapan masyarakat sangat berat dapat diwujudkan Badrodin Haiti mengingat masa baktinya tinggal satu tahun empat bulan. Waktu sesingkat itu tentu tidak realistis bila kepada kapolri baru diminta dapat menuntaskan semua persoalan internal dan eksternal Polri. Karena itu, dari banyaknya harapan masyarakat, persoalan internal terutama reserse dan polantas, kiranya mendesak menjadi prioritas kapolri baru untuk dibenahi. 

Persoalan Internal 

Salah satu persoalan internal berkaitan dengan masalah SDM Polri yang dinilai banyak pihak masih perlu pembenahan, termasuk di dalam rekrutmen calon polisi dan pembinaan karier. Hal yang sama juga ditemui dalam rekrutmen calon polisi. Dua hal ini dengan sendirinya memberi kontribusi terhadap rendahnya kinerja Polri sebagai suatu institusi. 

Polri selama ini juga masih dianggap sebagai lembaga yang tertutup, khususnya saat menentukan jabatan-jabatan strategis. Akibatnya, banyak kinerja petinggi Polri yang di tempatkan dalam posisi strategis tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Hasil kerja yang standar dari petinggi Polri juga memberi kontribusi terhadap buruknya citra Polri di mata masyarakat yang berimbas pada semakin melorotnya wibawa Polri. 

Selain itu, Polri kerap masih diragukan dalam penanganan kasus-kasus korupsi. Ada sinyalemen bila kasus-kasus korupsi yang ditangani Polri mengarah ke legislatif, kasus tersebut kerap tidak dilanjutkan. Ada kesan aparat Polri kurang punya nyali bila berhadapan dengan oknum-oknum di legislatif. 

Pengawasan di internal Polri juga hingga saat ini masih terkesan tertutup. Internal Polri hanya diawasi melalui Irwasum sehingga keterlibatan masyarakat kalaupun ada masih sangat minimal. Tanpa melibatkan eksternal, pengawasan di tubuh Polri akan sulit berjalan optimal, sehingga untuk menciptakan aparat Polri yang bersih akan sulit diwujudkan. 

Reserse dan Polantas 

44

Kinerja reserse dan polantas termasuk yang banyak mendapat sorotan dari masyarakat. Dua unit kerja ini dinilai lemah dalam melayani masyarakat. Bahkan pada 2014, Kompolnas mendapat 1.038 pengaduan dari masyarakat. Dari jumlah tersebut, 95% berkaitan dengan persoalan reserse.

Besarnya pengaduan terkait kinerja reserse di satu sisi memang mengecewakan. Namun di sisi lain, bila dikaitkan dengan alokasi anggaran untuk reserse, unit kerja ini sesungguhnya sangat memprihatinkan, sebab, anggaran penyelidik hanya 30% yang ditanggung negara. Kondisi ini membuka celah terjadi banyak penyimpangan, seperti ada kasus yang dibiayai pelapor atau terlapor agar kasusnya di-SP3. 

Akibat ketiadaan anggaran, reserse dalam penanganan kasus juga kerap kesulitan untuk menghadirkan saksi ahli. Dalam kondisi demikian, banyak pelapor dan terlapor yang bersedia menyediakan dana untuk menghadirkan saksi ahli yang sangat dibutuhkan dalam proses hukum. Akibatnya tidak sedikit saksi ahli yang memberikan keterangan sesuai keinginan pelapor atau terlapor.

Kasus mencari pelaku tindak pidana juga kerap menghadapi kendala karena terbatasnya anggaran. Misalnya kasus terjadi di Jakarta, namun tersangka diduga ada di Kalimantan Timur atau Papua atau di luar negeri. Lagi-lagi, kalau terlapor “rela” membiayai perjalanan polisi, tentu terbuka ruang untuk menghentikan kasus.

Hal yang sama juga terjadi di unit Polantas. Polisi di tahun 2014, patroli polantas menggunakan motor hanya mendapat jatah 2 liter BBM per hari, sementara patroli mobil dijatah 5 liter. Namun tahun 2015 ini, penyediaan pengadaan BBM untuk patroli sudah lebih baik, dalam arti jumlah jatah BBM telah ditambah. Namun di bagian lain, masalah proses penanganan kasus kecelakaan lalu lintas di kepolisian anggarannya masih sangat minim. Yang dibayar oleh negara hanya berkisar 30-50 persen yang berakibat penyidik Polri belum bisa sepenuhnya bekerja secara profesional. 

Dalam kondisi demikian, memang sulit bagi polantas untuk melaksanakan tugasnya, khususnya dalam melayani pengguna jalan raya. Bahkan dalam kondisi demikian, sangat terbuka bagi polantas untuk mencari uang guna menutupi kekurangan jatah BBM. Akibatnya, pengguna jalan raya berpeluang besar menjadi salah satu korban dalam upayanya mencari uang tambahan untuk mengisi kekurangan BBM agar patroli tetap terlaksana. 

Tambahan Anggaran 

Terbatasnya biaya operasional kiranya menjadi satu sebab rendahnya kinerja reserse dan polantas. Persoalan semacam ini tidak terjadi pada polisi Singapura dan Australia. Di dua negara ini, semua pelaksanaan tugas dan fungsi polisi sepenuhnya ditanggung negara, mulai dari BBM untuk transpor, tol, hotel, pesawat, hingga kendaraan. Semua bukti pengeluaran dapat ditukarkan melalui bendahara satuan polisinya. 

45

Kebutuhan operasional polisi Indonesia seharusnya juga dapat dipenuhi negara, sebab anggaran Polri tahun 2014 sebesar Rp43,6 triliun, dan tahun 2015 naik menjadi Rp51 triliun. Dari total anggaran ini, 28% untuk operasional atau naik 6% dari tahun 2014. Dengan naiknya alokasi anggaran operasional, seharusnya kapolri baru dapat memenuhi semua biaya operasional reserse dan polantas. Dengan biaya operasional yang cukup, kapolri dapat meminta unit reserse dan polantas untuk meningkatkan kinerjanya, selain menindak tegas bila menyalahi tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum.

Kiranya pembenahan terhadap reserse dan polantas dengan memenuhi biaya operasionalnya cukup realistis dibebankan kepada kapolri baru yang masa tugasnya hanya satu tahun empat bulan. Kalau hal itu dapat dibenahi, kiranya kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri dapat ditingkatkan. Setidaknya keluhan masyarakat terhadap reserse dan polantas dapat dikurangi.

EDI SAPUTRA HASIBUAN Anggota Komisi Polisi Nasional (Kompolnas)

46

Lonceng Munir dari Den Haag

Koran SINDO

18 April 2015

Kita patut berbangga, seorang pejuang HAM Indonesia dijadikan nama jalan di sudut Kota Den Haag, Belanda, bersebelahan dengan Jalan Martin Luther King. 

“Munirpad: Munir Said Thalib 1965-2004, Indonesische voorvechter van de bescherming de rechten van de mens” (Jalan Munir: Munir Said Thalib 1965-2004, Advokat Pejuang HAM). Sebuah penanda solidaritas kemanusiaan, sekaligus dukungan atas penuntasan kasus pembunuhan Munir 11 tahun silam. Di sisi lain, janji Presiden Jokowi untuk menuntaskan impunitas tak kunjung terwujud. 

Suciwati, istri almarhum Munir, dalam pidatonya di depan wali kota Den Haag (14/4/15), terharu sekaligus berharap ada yang terang di negerinya. “Saya yakin apresiasi ini pasti tidak sembarangan. Nama Munir ada di sini karena apa yang dia lakukan. Sayangnya, ini bukan di tanah airnya sendiri, bukan di negeri tempat ia lahir dan dibesarkan bersama orang-orang lain yang mengaku sebangsa. Dan bukan diberikan oleh Ibu Pertiwi yang kepadanya ia bersumpah setia sepanjang hidupnya”.

Tidak dengan tiba-tiba jalan Munir ini tertancap menghubungkan dengan kawasan di jalan-jalan yang dinamai para aktivis HAM dunia. Awalnya, Wali Kota Den Haag, Jozias van Aartsen, yang sebelumnya menjabat menteri luar negeri Belanda, ragu membuat Munirpad karena alasan politis diplomatik. Tapi karena ada desakan dari sejumlah pegiat HAM (Amnesti Internasional) dan dukungan publik, akhirnya pada 2011 Munirpad ini dicanangkan.

Ada empati sekaligus tuntutan di sudut jalan Munirpad. Tertanam ingatan dan selalu dikenang oleh setiap orang yang melewatinya; tentang Munir dan perjuangannya.

Jika di negeri orang dedikasi Munir diabadikan, di tempat kelahirannya penuntasan kasusnya terseok-seok, bahkan diabaikan. Langkah pencarian kebenarannya mentok di pelaku lapangan Pollycarpus yang sekarang bahkan sudah menghirup udara bebas. Padahal, tidak adanya penuntasan juga menjadi momok bagi para pegiat kemanusiaan: kejadian serupa bisa menimpa siapa saja dan di mana saja. Dan kelam itu kita semua tak ingin terjadi. Meski kasusnya sudah sebelas tahun berlalu, perjuangan atas kasus pelanggaran hak asasi manusia tak pernah sirna. Ada yang universal dan nilai-nilai kemanusiaan dihargai bersama. Bahwa pembunuhan, apalagi pada pegiat HAM, adalah ancaman bagi demokrasi dan kebebasan.

47

Dari surat yang dibuat The Right Livelihood Awards (nobel alternatif), lembaga yang memberikan penghargaan bagi para penganjur perdamaian dan keadilan, sebanyak 158 tokoh penerima award dari 65 negara menyerukan Presiden Jokowi berani menuntaskan kasus Munir. Dorongan yang sama dilakukan Amnesty International, ribuan orang dari 86 negara berharap keadilan serupa. Solidaritas kemanusiaan yang terus mengalir dari belahan dunia ini juga mengingatkan pemerintah Indonesia agar tidak tersesat pada wacana belaka. Banyak tokoh dunia mendukung, tak perlu ragu melangkah. Tengok saja ada Asma Jahangir (Pakistan), Sima Samar (Afghanistan), Asghar Ali Engineer (India), Carmel Budiardjo (UK), dan Johan Galtung (Norway). 

Surat resmi mereka akan disampaikan pada Presiden Jokowi pertengahan April 2015 ini. “Munir telah membuat upaya yang luar biasa untuk memperbaiki situasi hak asasi manusia di Indonesia,” ungkap Eduard Nazarski, direktur Amnesty International Belanda.

Lonceng dari Den Haag ini patut jadi pemicu agar kasus Munir dituntaskan. Dukungan dari berbagai masyarakat belahan penjuru dunia hendaknya bisa mendorong pemerintah saat untuk membuat penanda konkret tentang penyelesaian kasus Munir. Dengan membuka kembali laporan Tim Pencari Fakta (TPF) 2005, dan mengevaluasi jaksa agung atas proses hukum yang tak menyeret otak pembunuh Munir. Tentunya, membentuk penyelidikan baru dapat dilakukan agar lapisan pelakunya terungkap.

Pembelaan Munir pada kemanusiaan memang perlu dicatat. Pemberian nama jalan di Belanda hendaknya tak hanya berhenti pada pemaknaan simbolik, tapi juga laku politik dan hukum di Indonesia. 

Praktiknya ditentukan oleh komitmen Jokowi-JK selama periode kepemimpinannya. Masih hangat dalam ingatan, pada Desember 2014 lalu, Presiden mengoordinasikan tiga lembaga setingkat menteri untuk membicarakan kasus Munir. Di dalamnya melibatkan Kejaksaan Agung, Menteri Hukum dan HAM, dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Masukan sejumlah pegiat HAM dan Komnas HAM pun sudah di tangan. Publik menunggu langkah nyata berikutnya. 

Barangkali Munir tidak berharap namanya dikenang menjadi jalan. Semasa hidupnya dia tak mabuk sanjungan, meski beberapa kali diganjar penghargaan internasional. Cita-cita Munir sederhana: negeri yang dicintainya, yang telah merampas nyawanya dengan semena-mena, menghargai hak asasi manusia, mewujudkan keadilan untuk kaum papa yang dibelanya. Dan semoga Nawacita bisa mewujudkannya.

ALI NUR SAHIDPeneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina

48

Sibuk Berpolitik, Gagal Bina Sipir Lapas

Koran SINDO

20 April 2015

Kementerian Hukum dan HAM gagal total membina dan menyiapkan para sipir lembaga pemasyarakatan (lapas) untuk memerangi narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba). 

Dari modusnya, tidak ada cerita baru pada kasus bandar narkoba, Freddy Budiman, dan kasus sipir Lapas Narkotika Cipinang berinisial IT, 52. Ulah Freddy dan IT adalah pengulangan dari begitu banyak kasus serupa yang melibatkan bandar narkoba dan sipir lapas lainnya pada tahun-tahun terdahulu. Modusnya klasik dan mudah dipahami. 

Kalau si bandar besar sudah mendekam di balik sel penjara, dia tetap bisa menjalankan roda bisnis haramnya kalau sang bandar mendapatkan akses berkomunikasi dengan dunia di luar lapas. Namanya bandar besar, dia pasti punya jaringan luas. Apalagi kalau bisnisnya berskala internasional. Orang awam pun paham soal ini.

Para pejabat negara yang bertugas mengelola lapas jangan pura-pura tidak paham soal ini. Untuk bisa berkomunikasi dengan dunia di luar penjara, sang bandar butuh alat komunikasi. Alat ini sekarang mudah diperoleh dan diselundupkan ke sel-sel penjara. Siapa yang bisa menyelundupkan telepon genggam (seluler) ke sel penjara? Siapa lagi kalau bukan sipir penjara. 

Atas jasanya membantu sang bandar besar itu, si oknum sipir diberi upah. Ketika sang bandar mulai percaya pada oknum sipir itu, penugasannya pun ditingkatkan menjadi perantara antara sang bandar dan anggota jaringan hingga menjadi kurir pembawa barang haram itu. Tentu saja upah untuk oknum sipir diperbesar.

Selain penugasan, si oknum sipir pun bersedia menjadi pelayan sang bandar. Semua permintaan dan kebutuhannya sebisa mungkin dipenuhi. Jangan heran jika di Lapas Nusakambangan yang pengamanannya ekstraketat, Freddy tak hanya leluasa menggunakan telepon seluler, tetapi juga mendapatkan ruang tahanan dengan fasilitas kamar hotel. 

Modus seperti itulah yang melibatkan begitu banyak sipir lapas dalam kasus narkoba sejak awal 2000-an. Pada 2006/2007 tak kurang dari 170 sipir pada 531 rumah tahanan negara (rutan) dan lapas se-Indonesia terlibat kasus narkoba.

Kasus yang menyita perhatian publik adalah keterlibatan Kepala Lapas Narkotika Nusakambangan Marwan Adli. Pada Maret 2011 Marwan Adli bersama Kepala Pengamanan Lapas Iwan Syaefuddin dan Kepala Seksi Bina Pendidikan Lapas Fob Budhiyono diringkus

49

Satgas BNN karena terlibat jaringan pengedar narkoba kelas atas. Kepada pemeriksa, Marwan Adli mengaku menerima uang dari bandar narkoba. Dana narkoba itu diterima melalui rekening anak dan cucunya. 

Freddy Budiman dan oknum sipir IT mengulang modus yang sama. Freddy, terpidana mati, masih bisa mengendalikan bisnis narkotika dari penjara Nusakambangan karena para oknum sipir lapas memberinya akses berkomunikasi. Berkat akses komunikasi itulah Freddy bisa melakukan transaksi impor 50.000 butir ekstasi dari Belanda, 800 gram sabu dari Pakistan, dan 122 lembar narkotika jenis DOC dari Belgia. Polisi sudah menduga oknum sipir IT sebagai anggota jaringan narkoba Freddy Budiman.

Seperti kasus yang melibatkan Marwan Adli sebagai kepala Lapas Nusakambangan, sudah bisa dipastikan bahwa IT pun tidak sendirian. Dia pasti dibantu oknum sipir lainnya. IT sipir di Lapas Narkotika Cipinang, sementara terpidana mati Freddy sudah mendekam di Nusakambangan.

Syukurlah, karena polisi mencurigai keterlibatan dua sipir di Lapas Nusakambangan ikut membantu Freddy menjalankan bisnis haramnya itu. Tiga oknum sipir itu menyediakan alat komunikasi untuk Freddy serta mengeluarkan barang haram itu dari lapas. Seperti diketahui, Pengadilan Negeri Jakarta Barat memvonis mati Freddy Budiman karena terbukti memiliki satu peti kemas yang memuat 1,4 juta pil ekstasi yang diimpor dari China. 

Efek Jera 

Pertanyaannya, mengapa penyimpangan perilaku oknum sipir dalam kasus dengan modus yang sama bisa berulang-ulang selama lebih dari 10 tahun terakhir ini? Kalau jajaran Kemenkumham juga bersepakat bahwa peredaran narkoba di dalam negeri sudah berstatus kejahatan luar biasa yang mengancam ketahanan nasional, harus ada upaya maksimal dan sungguh-sungguh dari semua jajaran Kemenkumham untuk mencegah kejahatan serupa terulang di lingkungan lapas maupun rutan. 

Sudah lama dan berulangkali diingatkan bahwa petugas lapas berpotensi menjadi salah satu titik lemah dalam perang melawan sindikat atau mafia narkoba internasional. Kemenkumham pun diimbau segera memperbaiki titik lemah itu. Namun, kalau kecenderungannya tidak juga berubah, itu menjadi bukti bahwa Kemenkumham tidak ingin bersungguh-sungguh memperbaiki kelemahan itu. 

Pada kasus Freddy dan IT, publik bisa melihat bahwa Kemenkumham belum melakukan peningkatan standar pengamanan terhadap para terpidana narkoba. Juga belum menerapkan sanksi maksimal terhadap oknum sipir yang pernah terlibat kasus serupa. Akibatnya, tidak segera tumbuh efek jera di kalangan sipir lapas. Karena itu, tidak mengherankan jika oknum sipir IT dan rekan-rekannya masih berani menjalin kerja sama dengan bandar narkoba sekaliber Freddy Budiman.

50

Jelas bahwa Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly tidak mau belajar dari rangkaian kasus terdahulu. Padahal, Yasonna yakin bahwa peredaran narkoba di dalam lapas melibatkan oknum sipir. Kalau sudah yakin seperti itu, Yasonna dan jajaran Kemenkumham seharusnya sudah merancang tindakan preventif agar kasus serupa tidak berulang. Bukan sekadar berkomentar ketika peristiwa penyimpangan perilaku oknum sipir sudah terjadi. 

Beberapa sipir lapas di sejumlah daerah pernah mengaku bahwa penyimpangan perilaku itu bukan hanya berorientasi pada uang suap dari bandar narkoba, melainkan perasaan takut karena diancam anggota jaringan mafia narkoba yang berada di luar penjara. Konon, ancamannya tidak main-main. Mafia narkoba akan membunuh keluarga sipir lapas jika mereka tidak mau bekerja sama.

Kemenkumham tentu perlu menyelidiki perihal ancaman ini. Kalau benar ancaman itu ada, tentu harus direspons dengan taktis. Jangan biarkan para sipir lapas bekerja di bawah ancaman. Tapi, perilaku para sipir lapas tetap harus dikoreksi. Ancaman itu bisa ada karena para sipir memberi akses kepada terpidana narkoba untuk berkomunikasi dengan anggota jaringannya. Kalau akses komunikasi para terpidana narkoba ditutup rapat-rapat, mereka dan anggota jaringannya tidak akan mampu menebar ancaman itu.

Memang, mengurung para terpidana sekaliber bandar narkoba, dibutuhkan ketaatan mutlak pada disiplin pengamanan dan soliditas korps. Asumsikan saja bahwa yang dikurung itu bos mafia. Kalau disiplin dilanggar dan para sipir lapas tidak kompak, kemungkinan ancaman itu selalu saja ada. 

Untuk memperkecil terulangnya kejahatan serupa, pemenjaraan atau pengurungan para bandar narkoba harus mencapai skala maksimum dan ekstraketat. Kemungkinan bagi terpidana narkoba mengenal, bersinggungan, atau berkomunikasi langsung dengan para sipir harus benar-benar dibatasi. 

Para sipir yang membina, mengawasi, dan melayani mereka hendaknya punya integritas dan moral yang teruji. Jangan lupa bahwa terpidana narkoba itu punya uang sangat banyak dan punya anggota jaringan. Sekali si terpidana bisa berkomunikasi dengan anggota jaringannya, bobolnya sistem pengamanan lapas hanya soal waktu. 

Selain pengurungan berskala maksimum, para bandar narkoba yang sudah berstatus terpidana mati hendaknya segera dieksekusi. Rentang waktu menunggu eksekusi yang terlalu lama sudah terbukti bisa melahirkan ekses seperti yang diperlihatkan Freddy Budiman. Masih ada 66 terpidana mati dalam kasus narkoba. Kalau semua masih bisa menjalankan bisnisnya seperti Freddy, Indonesia bisa kebanjiran barang haram itu.

BAMBANG SOESATYOSekretaris Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi III DPR RI

51

Semangat Bandung

Koran SINDO

22 April 2015 

Sebagian besar dari kita mungkin bertanya-tanya tentang apa manfaat peringatan Konferensi Asia-Afrika (KAA) tahun ini untuk kita.

Beberapa pendapat memandang konferensi ini hanya sekadar rutinitas dan seremonial. Hampir seluruh negara yang tergabung dari benua Asia-Afrika telah berubah jauh kondisi politik dan ekonominya. Hampir semua sudah merdeka, mereka tidak lagi terjebak untuk memilih bersekutu dengan blok komunis atau blok kapitalis. Meskipun ada yang hidup relatif berkecukupan, masih ada negara-negara yang hidup di bawah garis kemiskinan. 

Apabila situasinya telah berubah, apa yang kemudian mendasari negara-negara Asia-Afrika untuk bertemu dan memperingati KAA? Pandangan yang optimistis justru menyimpulkan sebaliknya. Berangkat dari keprihatinan yang sama di mana masih ada negara-negara di Asia-Afrika yang saat ini masih hidup di bawah garis kemiskinan dan bahkan belum memperoleh kemerdekaan seperti Palestina, maka negara-negara Asia-Afrika perlu bertemu untuk membicarakan kesenjangan dan perbedaan yang ada di antara mereka. 

Namun demikian, pertanyaannya tetap sama, dasar pijakan apa yang membuat negara-negara ini dapat menyatukan cara pandang? Pertanyaan tersebut bukanlah pertanyaan yang baru. Menjelang sepuluh tahun KAA, artinya tahun 1965, Roeslan Abdul Gani harus membuat buku tentang konferensi tersebut karena dia gusar dengan pendapat-pendapat yang mengatakan bahwa KAA sudah tidak ada kaitannya dengan kondisi ekonomi-politik terkini. 

Negara-negara Asia-Afrika sudah mencari selamatnya sendiri dengan cara mendekat dengan poros-poros kekuatan ekonomi dunia. Dia memberikan contoh serangan dari Ghana yang melakukan pengorganisasian negara-negara Afrika tengah untuk menolak hasil referendum soal Irian Barat (sekarang Papua) dalam Sidang Umum PBB tanggal 19 November 1969. Duta Besar Akwei dari Ghana didukung oleh 30 negara, khususnya dari selatan Sahara. Mereka usul perdebatan itu ditunda dan rakyat Papua dimintai lagi pendapatnya enam tahun lagi (1975). Ghana menuding Indonesia tak ubahnya seperti kekuatan kolonial yang sedang berupaya menundukkan Irian Barat.

Penolakan itu tentu membuat gusar diplomat Indonesia namun yang cukup mengejutkan adalah pidato Duta Besar Aljazair Yazid yang menyerang balik wakil Ghana. Dia mengatakan bahwa Indonesia dalam masalah Papua berbeda dengan penguasa kolonial rasialis di Afrika Selatan ataupun Portugal. Indonesia adalah salah satu negara yang melindungi pergerakan kemerdekaan negara-negara Asia-Afrika. Indonesia bahkan

52

mengundang Ghana, yang pada saat itu belum sepenuhnya merdeka dan masih menggunakan nama kolonial The Gold Coast untuk hadir dalam konferensi. 

Pidato Yazid kemudian diikuti pidato dukungan dari negara-negara lain seperti yang terlibat di KAA 1955, sehingga negara-negara yang mendukung Ghana mulai mundur teratur.

Pengalaman atau cerita-cerita tersebut setidaknya mewakili gambaran tentang apa yang disebut ”Semangat Bandung” (Bandung Spirit). Semangat Bandung sebetulnya adalah semangat dari negara-negara bekas jajahan untuk mendorong angin perubahan dalam politik internasional yang terancam oleh potensi pecahnya Perang Dingin menjadi Perang Dunia ke-3 apabila dunia tidak mencoba berbuat sesuatu.

Emosi dari Semangat Bandung ini memang tentu tidak dapat seratus persen persis sama dengan emosi semangat para pemimpin bangsa yang hadir di tahun 1955. Para pemimpin yang hadir pada saat itu menurut Richard Wright dapat disebut sebagai pahlawan bagi rakyatnya. 

Dalam bab pembukanya, Richard dengan sangat kagum menyatakan bahwa KAA ini adalah konferensinya para pemimpin bangsa-bangsa yang sebagian besar adalah mantan tahanan politik, orang-orang yang hidup dalam kesendirian di pembuangan, orang-orang yang menjalani kehidupan yang rahasia setiap hari, orang-orang yang pengorbanan dan penderitaan adalah temannya sehari-hari. Dan mereka semua adalah pribadi-pribadi yang sangat religius, disiplin, berbakat sebagai penghimpun dukungan. Richard merujuk pada Ali Sastroamidjojo, Jawaharlal Nehru, Kwame Nkrumah, dan Chou En-Lai. Semakin berkurangnya emosi atau rasa memiliki dari konferensi ini adalah tantangan yang harus dijawab oleh negara-negara anggota. 

Tahun 2005, memperingati 50 tahun KAA, Konferensi telah memelopori deklarasi New Asian-African Strategic Partnership (NAASP). Tujuan dari NAASP ini adalah melembagakan gagasan awal kerja sama yang sudah diletakkan oleh pendiri KAA untuk lebih terukur dan mencapai hasil. NAASP ini adalah sebuah pengejawantahan bangunan penghubung intra-regional antara negara-negara Asia dan Afrika. 

NAASP ini berdiri di tiga pilar utama yaitu solidaritas politik, kerja sama ekonomi, dan hubungan sosial budaya. Dalam NAASP, Indonesia telah memainkan perannya yang penting. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi termasuk yang berupaya mendorong NAASP untuk menjadi lebih sentral dalam kegiatan bersama antarnegara di Asia-Afrika.

Banyak program kerja sama yang diawasi dan dipelopori oleh Indonesia dan juga negara-negara lain. Program itu mulai dari pemberdayaan perempuan, penanggulangan bencana alam, anti-terorisme, hingga perubahan iklim dunia. Melalui kegiatan bersama tersebut, negara Asia dan Afrika dapat terus-menerus melakukan dialog dan aktivitas bersama sehingga menumbuhkan rasa percaya dan mengurangi potensi ketegangan yang ada.

53

Namun demikian, kelanjutan dari NAASP ini sendiri masih menunggu realisasi dari para anggotanya. Di satu sisi idealisme kerangka kerja NAASP memang menarik, tetapi apakah rohnya dihayati para pelakunya?

Dalam deklarasi NAASP 2005, yakni ketika terjadi peringatan 50 tahun KAA, 88 kepala negara/pemerintahan atau wakilnya menyepakati bahwa mekanisme pertemuan NAASP ke depan adalah berupa KTT kepala negara/pemerintahan tiap empat tahun, temu menteri luar negeri tiap dua tahun, pertemuan kementerian teknis lain bila diperlukan. KTT untuk pebisnis akan diselenggarakan bersamaan dengan KTT kepala negara/pemerintahan. Kenyataannya NAASP ini belum dipakai untuk membuka jalur kerja sama ekonomi, politik, atau sosial budaya. Maklum, salah satu faktornya adalah karena intensitas kunjungan, pertemanan, juga berita dari dalam negeri negara-negara anggota tersebut yang relatif jarang dilakukan atau diketahui sesama publik di negara anggota NAASP. 

Media kita belum menguak informasi macam ini. Artinya bila Semangat Bandung ini ingin lebih banyak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat umum, ada pekerjaan rumah yang cukup serius, termasuk di antaranya untuk membuka kesadaran publik tentang siapa saja mitra-mitra kerja sama yang potensial dari benua Asia dan Afrika. 

Kita harus lebih terbiasa untuk mencari tahu perkembangan, misalnya, Afrika Selatan, Bostwana, Kamboja, Malawi, Madagaskar, dan seterusnya. Pada era di mana informasi dapat relatif lebih mudah dicari, selayaknya kita sebagai publik juga membuka rasa ingin tahu kita tentang negara-negara yang sudah meluangkan waktu untuk ikut mensyukuri KAA 1955 yang dicetuskan oleh Indonesia.

DINNA WISNU, PhD Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu

54

Darurat Pengesahan RUU Advokat yang Baru

Koran SINDO

23 April 2015 

Saat ini negara kita bisa dibilang sedang dalam keadaan darurat, di mana profesi advokat sedang disorot akibat banyak kejadian yang cukup mencoreng dunia profesi advokat. 

Beberapa waktu terakhir, banyak advokat yang tertangkap tangan melakukan suap dan turut serta dalam korupsi yudisial. Tentunya perbuatan yang dilakukan oleh segelintir oknum ini sangat merugikan dunia profesi advokat pada umumnya. Padahal budaya suatu bangsa tecermin dari perilaku para advokatnya. 

Generasi advokat saat ini sangatlah berbeda dengan generasi awal advokat Indonesia yang memegang teguh kode etik profesi dan kepentingan klien. Terlihat dengan jelas bahwa generasi advokat saat ini belum memahami dengan jelas kode etik profesi yang digelutinya. Padahal fungsi, tugas, dan status advokat telah diatur dengan tegas dan jelas, namun belum dapat dilaksanakan dengan baik. 

Profesi advokat memiliki idealisme di mana ada nilai keadilan dan kebenaran yang diperjuangkan, jadi bukan semata-mata mencari nafkah saja seperti yang terjadi saat ini dalam dunia profesi advokat. Di sinilah kehadiran organisasi advokat sangat dibutuhkan untuk menjaga mutu dan kualitas dari seorang advokat. 

Pada awalnya, ide wadah tunggal organisasi advokat dicetuskan agar organisasi advokat bersatu, solid, dan berwibawa, dan tidak ada campur tangan dari pihak mana pun termasuk pemerintah terhadap organisasi advokat karena profesi advokat adalah profesi yang bebas dan mandiri. 

Namun semakin lama, ide wadah tunggal profesi advokat menjadi disalahgunakan dalam misi dan visinya. Sudah merupakan rahasia umum bahwa monopoli organisasi advokat dalam wadah tunggal belum dapat mencetak advokat tangguh dan profesional serta jujur dan bersih seperti advokat era jaman dulu. Di mana yang dikejar adalah kepentingan materi dan memenangkan kasus dengan berbagai cara yang melanggar etika dan hukum.

Persaingan sehat antar advokat adalah yang dibutuhkan di era sekarang, di mana idealnya semua dapat diwujudkan dalam sistem wadah jamak atau biasa disebut dengan sistem multi-bar association. Dalam sistem multi-bar association, persaingan bebas yang sehat antar organisasi advokat dapat lebih dijaga karena sifat masyarakat Indonesia yang pluralis. Mengingat banyaknya organisasi advokat saat ini dengan berbagai karakteristik advokat di dalamnya, maka advokat-advokat Indonesia tidak dapat dipaksakan berada di bawah naungan

55

satu organisasi advokat wadah tunggal yang pada faktanya saat ini juga sudah terpecah belah. 

Persaingan bebas yang sehat antar organisasi advokat diharapkan dapat mencetak advokat yang berkualitas, independen, dan profesional. Ke depannya diharapkan semakin banyak advokat yang berkualitas, jujur, berintegritas tinggi, dan bermutu dalam rangka memberikan jasa hukum kepada masyarakat.

Apalagi saat ini negara-negara sedang memasuki era pasar bebas dan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), di mana sumber daya manusia dituntut untuk bersaing dengan sumber daya manusia internasional. Diharapkan advokat Indonesia mampu bersaing secara fair pula dalam dunia internasional. 

Hal-Hal Penting 

Di dalam RUU Advokat yang baru, ada beberapa hal penting yang patut diperhatikan dalam rangka perbaikan mutu advokat ke depan, antara lain pendidikan khusus profesi advokat yang dapat diselenggarakan sendiri oleh organisasi advokat, namun standar pendidikan khusus profesi advokat ditetapkan oleh Dewan Advokat Nasional. 

Hal ini tentunya merupakan hal baik. Karena untuk dapat menghasilkan advokat yang mandiri, terampil, profesional, tangguh, dan memenuhi kebutuhan akan pemberian jasa hukum yang berkualitas bagi masyarakat, khususnya para pencari keadilan (justitiabelen) di dalam era globalisasi yang sarat dengan persaingan, dapat dilakukan melalui pendidikan advokat dan ujian advokat yang terarah dan bermutu yang diselenggarakan secara non-komersial melalui kurikulum yang disusun oleh organisasi advokat bekerja sama dengan negara c.q Menteri Hukum dan HAM RI dan Mahkamah Agung RI serta universitas-universitas negeri atau yang disetarakan dengan itu. 

Pendidikan dan pelatihan advokat yang diselenggarakan tersebut sebaiknya juga diarahkan kepada kebutuhan praktik dan era globalisasi. Hal ini didukung dengan penentuan standar pendidikan khusus oleh Dewan Advokat Nasional yang terdiri dari unsur praktisi hukum, akademisi, dan anggota masyarakat. 

Selain itu, organisasi advokat juga harus berbadan hukum, dan memiliki kepengurusan 100% dari jumlah provinsi, paling sedikit 30% dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan. Jika ditilik secara kritis, harus dipertimbangkan lagi apa maksud dan tujuan dari pasal ini. Apalagi organisasi advokat bukanlah organisasi masyarakat yang bersifat massal, di mana harus memiliki anggota yang ditentukan dari kuantitas, bukan kualitas. Organisasi advokat tidak bertujuan untuk menarik simpati dan suara dari konstituen sebanyak mungkin (vote getters).

Lebih lanjut, dalam RUU Advokat ditegaskan dengan jelas bahwa anggaran pendapatan dan belanja organisasi advokat bersumber dari iuran anggota dan sumbangan yang sah dan tidak

56

mengikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ini penting, karena sudah seharusnya suatu organisasi advokat tidak mengomersialisasikan organisasinya dalam bentuk apa pun. Sehingga tujuan organisasi advokat untuk dapat menghasilkan advokat yang berkualitas, independen, mandiri, terampil, profesional, tangguh, jujur, dan memberikan jasa hukum yang berkualitas bagi masyarakat, bisa terwujud. 

Yang terpenting adalah ketentuan konsep wadah tunggal yang telah dihilangkan di dalam RUU Advokat, sehingga kekuasaan tunggal yang dihasilkan dari wadah tunggal yang berakibat untuk tujuan komersialisasi tersebut juga akan lenyap dalam UU Advokat yang baru nanti. Apalagi konsep wadah tunggal ini juga tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin hak masyarakat (dalam hal ini termasuk advokat) untuk mendapat perlakuan yang sama (persamaan di hadapan hukum) serta kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul dan mengemukakan pendapat. 

Pengembangan Mutu Advokat 

Pro dan kontra mengenai pengesahan RUU Advokat yang berada di DPR saat ini terus berlanjut di kalangan advokat Indonesia. Namun yang perlu diperhatikan demi kepentingan profesi advokat adalah bagaimana mengembangkan mutu advokat Indonesia ke depan. Bukan lagi masalah kepentingan pribadi atau golongan demi komersialisasi organisasi advokat. 

Untuk itu, harus ada revolusi moral. Ke depannya organisasi advokat harus menjalankan prinsip ”good governance” dan bersaing secara sehat dalam sistem multi-bar association. Pendidikan berkelanjutan atau continuous legal education harus diimplementasikan dengan baik dalam pengembangan mutu advokat Indonesia. Pelatihan dan training juga harus terus dilaksanakan agar advokat mendapatkan ilmu terbaik di bidangnya. Seminar atau workshop mengenai kode etik juga penting. Terlebih lagi kode etik profesi advokat harus ditegakkan dan pengaduan pelanggaran kode etik harus diperiksa dan diputus.

Kesemuanya itu saat ini tergantung pada pengesahan RUU Advokat di DPR. Oleh karena itu, DPR harus cepat mengesahkan RUU Advokat dengan sistem multi-bar association karena dengan persaingan bebas nantinya yang diuntungkan adalah pencari keadilan (justitiabelen) dan masyarakat karena akan memperoleh pelayanan hukum secara profesional, jujur, bersih, mengedepankan kepentingan klien, ahli dan memahami hukum dan fungsinya sebagai advokat dengan baik dan luas.

FRANS H WINARTAKetua Umum PERADIN dan Anggota Dewan Penyantun YLBHI

57

Semangat Persaudaraan & Kebangkitan

Koran SINDO

25 April 2015

 

Indonesia adalah negara yang berdaulat dan memiliki landasan-landasan kedaulatan dan kemerdekaan. Dalam konteks politik luar negeri, Indonesia memosisikan dirinya sebagai negara yang bebas tanpa intervensi dari negara mana pun, namun tetap mengambil peran aktif dalam rangka menciptakan perdamaian dunia. Maka itu, arena Konferensi Asia-Afrika (KAA) tahun ini menjadi momentum untuk mengukuhkan kedudukan politik tersebut.

Peran kebangsaan dan politik luar negeri ini tercantum dalam konstitusi yang berisikan dasar dan tujuan politik luar negeri Indonesia. Dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa Indonesia berperan serta ”ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Ujungnya adalah politik luar negeri bebas aktif yang didasarkan pada kepentingan nasional.

AdalahMohamad Hatta yang memulai menawarkan langkah politik bebas aktif pada 1948. Ini seiring dengan politik jalan tengah yang ditempuh Indonesia ketika berusaha tidak terjebak antara ideologi kiri komunis yang dibawa oleh Uni Soviet dan pengaruh liberalis-kapitalis yang dibawa Amerika Serikat. 

Dalam bukunya, Sekitar Konferensi Asia-Afrika dan Maknanya bagi Politik Luar Negeri Indonesia (1985), Roeslan Abdulgani menyebut bahwa politik luar negeri bebas aktif tidak mungkin dijalankan secara mutlak. Ini tidak lepas dari fakta dan bergantung pada situasi dan kondisi nasional serta internasional yang terjadi saat itu dan turut memengaruhi sikap dan tindakan politik yang diperankan oleh negara. 

Kelahiran KAA 

Sejarah kelahiran KAA dapat menjadi contoh bagaimana situasi politik nasional dan internasional memberi pengaruh yang cukup kuat akan lahirnya ide dan gagasan untuk menggelar momentum sejarah tersebut. Kondisi dunia pasca-Perang Dunia II menjadikan Barat dan Timur bersitegang dan konflik. Ini tidak lepas dari ketegangan dan perbedaan ideologi politik, blok Barat menganut demokrasi-liberal, sedangkan blok Timur komunisme- otoriter. 

Parahnya, dua blok ini berupaya membangun pengaruh ke negara-negara lain di belahan dunia. Mereka saling berkompetisi dan tentu saja bersitegang secara politik. Negara-negara Asia dan Afrika saat itu terkesan sebagai objek yang dicoba dipengaruhi oleh dua blok besar tersebut. Maka itu, KAA seakan menjadi jalan politik bagi negara-negara Asia dan Afrika

58

untuk ”melawan” ketegangan antara dua blok tersebut. 

KAA merintis kelahiran dunia ketiga dan Gerakan Non-Blok untuk mematahkan dominasi dua negara adikuasa di atas. Roeslan Abdulgani mencatat langkah ini sebagai upaya untuk meredam Perang Dingin yang berkecamuk saat itu. Presiden Soekarno dalam pidatonya di KAA Bandung 1955 menyebut KAA adalah sebuah konferensi persaudaraan, yang tidak bermaksud menentang. Konferensi merupakan badan yang luas dan toleran, di mana semua orang dan semua negeri berhak memiliki tempat sendiri di dunia ini. KAA sekaligus dimaknai sebagai perwujudan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Indonesia memiliki kebebasan menentukan sikapnya tanpa dipengaruhi oleh negara mana pun, serta aktif dalam menciptakan perdamaian abadi.

Tidak heran jika kemudian dalam konferensi tersebut Soekarno menyampaikan bahwa konferensi harus menanamkan jiwa toleran yang mencakup prinsip untuk hidup berdampingan secara damai, saling menghargai terhadap integritas dan kedaulatan negara lain, tidak turut campur tangan atas masalah domestik yang dihadapi negara lain, serta saling bekerja sama yang timbal balik. 

Pidato Jokowi 

Sejalan dengan posisi dan kedudukan dari sebuah konferensi yang dicanangkan Soekarno, pidato Presiden Jokowi dalam pembukaan pertemuan puncak peringatan 60 Tahun KAA cukup baik dalam konteks menumbuhkan kembali kesadaran bahwa negara-negara Asia dan Afrika memiliki kekuatan tersendiri. Jokowi dalam pidatonya mengingatkan kembali peran Perserikatan Bangsa-Banga yang cenderung melemah dan tidak berdaya dalam mencegah konflik bersenjata di sejumlah negara. 

Jokowi juga mendesak reformasi di lembaga internasional tersebut agar dapat berperan maksimal sebagai organisasi yang memperjuangkan perdamaian dunia. Bagaimana pun di mata Indonesia, reformasi PBB menjadi sebuah keharusan ketika kenyataan politik di dunia betapa kekerasan terjadi tanpa ”kehadiran” dari PBB.

Kekerasan dan konflik politik di sejumlah negara menjadi isu yang relatif strategis dibawa oleh Presiden Jokowi di forum internasional KAA ini. Bagaimana pun ketidakadilan dunia saat ini terasa menyesakkan karena masih ada negara yang terjajah. Dalam pidatonya, Jokowi menyatakan bahwa fakta politik tersebut menjadi utang bagi bangsa-bangsa Asia-Afrika selama enam dekade terakhir.

Menariknya, Palestina menjadi negara yang disebut oleh Presiden Jokowi. Palestina menjadi isu penting dalam konteks perdamaian dunia. Penulis memandang pidato Presiden Jokowi memiliki pesan bermakna bahwa Indonesia mendukung sepenuhnya upaya-upaya perdamaian dunia, termasuk kemerdekaan Palestina. Sayangnya, dunia saat ini cenderung tidak bisa membantu rakyat Palestina lepas dari penderitaan, hidup dalam ketakutan, ketidakadilan, dan pendudukan selama bertahun-tahun. 

59

Ajakan Jokowi kepada negara negara-negara Asia-Afrika tak berpangku tangan dan melanjutkan perjuangan mendukung kemerdekaan rakyat Palestina adalah wujud komitmen Indonesia untuk Palestina. Komitmen ini sebenarnya pernah menjadi janji politik Jokowi dalam kampanye pemilihan presiden tahun lalu. Dalam sesi debat calon presiden, Jokowi menyebutkan dukungannya terhadap kemerdekaan Palestina.

Tentu isu terkait Palestina tidak lepas dari kedudukan Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Indonesia sekaligus berpeluang untuk berperan lebih dalam mendorong penyelesaian secara damai konflik di negara-negara Islam. 

Apalagi ini juga diakui sejumlah kepala negara dan menteri luar negeri dari negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Harapan mereka disampaikan dalam pertemuan Presiden Jokowi di sela-sela pertemuan KAA. Dukungan Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina adalah energi sekaligus modal bagi bangsa ini untuk berperan secara aktif dalam mewujudkan perdamaian dunia. 

Isu Ekonomi 

Selain isu politik tentang perdamaian dunia dengan dukungan kepada Palestina, isu ekonomi juga tidak kalah penting untuk diambil oleh Indonesia di tengah pemerataan ekonomi masih menjadi problem besar negeri ini. Dominasi negara-negara kaya atas negara-negara miskin juga menjadi persoalan besar dalam upaya mewujudkan kesejahteraan ekonomi dunia.

Menariknya, dalam pidatonya, Jokowi menyindir kedudukan lembaga-lembaga donor seperti Dana Moneter Internasional, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Dunia. Di mata Presiden, pendapat yang menyatakan bahwa ketidakadilan global hanya bisa diselesaikan oleh tiga lembaga tersebut adalah pandangan yang sudah usang. 

Penulis melihat pidato di atas relatif cukup tegas dan keras jika dikontekskan dalam hubungan Indonesia dengan lembaga-lembaga donor tersebut. Publik boleh jadi menunggu bagaimana realisasi dan di lapangan ketika negeri ini berjalan tanpa peran lembaga-lembaga donor tersebut. Apalagi, isu kemandirian masih sebatas isu yang belum cukup kuat difaktakan oleh negara dan bangsa ini. 

Kemandirian ekonomi, kemandirian politik, dan kemandirian budaya (Trisakti) yang menjadi isu, termasuk ketika Presiden Jokowi bertarung dalam pemilihan presiden tahun lalu, layak ditunggu realisasinya. Komitmen Jokowi dalam pidatonya di KAA adalah potret masih terjaganya janji dan komitmen pemerintah terkait isu kemandirian tersebut. 

Namun, di atas semua, KAA tahun ini semestinya meneguhkan kembali pesan yang dibangun ketika konferensi ini digelar pada 1955. Isu kesejahteraan, solidaritas antarbangsa, serta mewujudkan stabilitas keamanan internal dan eksternal adalah pesan yang harus tetap dijaga dan diamalkan. Seperti yang disampaikan Soekarno dalam KAA 1955, Konferensi Asia-Afrika adalah sebuah upaya membangun persaudaraan dan kebangkitan, bukan pertentangan.

60

ANNA LUTHFIEKetua DPP Partai Perindo

61

Mahalnya Memaknai Proses Hukum

Koran SINDO

27 April 2015

Ada dua proses hukum yang patut ditelisik yang terjadi pada minggu ketiga April 2015. Pertama, saat terdakwa Sutan Bhatoegana dalam nota keberatan (eksepsi) yang ditulis sendiri berjudul ”Mahalnya Arti Sebuah Kejujuran” dalam sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta (20/4/2015). Kedua, saat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non-aktif Bambang Widjojanto (BW) yang jadi tersangka dugaan mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu dalam sidang sengketa pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi pada 2010. 

Saat BW diperiksa penyidik Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri (23/4/2015), heboh diberitakan di media online bahwa ia akan ditahan. Tapi setelah diperiksa selama 4 jam, Bareskrim Polri memutuskan tidak menahan BW. Alasannya karena BW dinilai kooperatif dalam menjalani pemeriksaan.

Pembatalan penahanan menimbulkan pertanyaan, sebab sebelumnya sudah ada tanda-tanda bahwa BW akan ditahan (KORAN SINDO, 24/4/2015). Dugaan adanya intervensi dari luar sehingga BW tidak ditahan mencuat ke ruang publik. Boleh jadi karena ada kekhawatiran akan timbul riak politik dan kecaman publik, terutama dari para aktivis dan pengamat anti-korupsi.

Meskipun dibantah, pimpinan KPK juga menggelar konferensi pers atas kabar penahanan yang simpang-siur. Menurut Plt. Ketua KPK Taufiqurachman Ruki, plt. pimpinan KPK lainnya Johan Budi sudah menelepon langsung Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti menanyakan perihal penahanan itu (Kompas, 24/4/ 2015). Kapolri menyebut tidak ada penahanan terhadap BW karena selain belum ada hal yang urgen dan perlu berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung soal kelengkapan berkas penyidikan, juga yang bersangkutan koperatif. Namun BW diharapkan oleh petinggi penegak hukum berbaju cokelat itu tidak memprovokasi penyidik dengan menyebut dirinya dikriminalisasi dan tetap bersikap kooperatif. 

Substansi Kejujuran 

Pada peristiwa pertama yang patut ditelisik, Sutan menyebut dirinya menjadi korban jargon KPK mengenai adagium yang selalu digaungkan ”berani jujur itu hebat”. Sutan mengaku ”ketika dirinya jujur, kok malah dijerat”.

62

Penulis buku Ngeri-Ngeri Sedap Menggoyang Senayan yang cukup perspektif itu sepertinya mengeluarkan semua unek-uneknya di depan pengadilan. Sutan menyebut dirinya selalu menerapkan nilai-nilai kejujuran dalam hidupnya sehingga banyak mendapat tawaran menjadi narasumber. Sebagai simbol politisi yang bersih, Sutan menyebut mendapat apresiasi dari mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan memberikan kata sambutan pada bukunya. 

Sutan juga tidak memasalahkan dakwaan jaksa, hanya mengeluhkan apa yang dirasakan selama diproses KPK. Tentu Sutan mengkritik KPK atas dugaan penerimaan suap dan gratifikasi (hadiah) atau janji dari Sekjen Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Waryono Karyo saat menjabat sebagai ketua Komisi VII DPR periode 2009- 2014.

Ia merasa selalu jujur dalam kehidupannya sesuai dengan keinginan KPK tentang kehebatan jika berani jujur, baik dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat maupun dalaman mengelola kekuasaan. Tapi eksepsi Sutan dijawab Jaksa Penuntut Umum dari KPK, Dody Sukmono, dalam sidang Pengadilan Tipikor (23/4/2015) bahwa eksepsi Sutan hanya curahan hati (curhat) atas kasus yang sedang membelitnya. 

Memaknai substansi sebuah kejujuran, bisa saja dikaji dari sisi penggunaan justice collaborator (JC). JC merupakan salah satu cara yang diberikan dalam proses hukum dengan syarat secara sukarela bekerja sama dengan penyidik atau penuntut umum membongkar siapa saja yang terlibat dalam perkara pidana itu. JC bisa diberikan sesuai dengan Surat Edaran MA Nomor 4/2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator yang diperkuat dengan Surat Keputusan Bersama antara LPSK, Kejaksaan Agung, kepolisian, KPK, dan MA.

Ada beberapa syarat penerapan JC dalam SE-MA tersebut. Pertama, hanya berlaku pada tindak pidana tertentu, serius dan/atau terorganisasi. Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang serius, terorganisasi, bahkan kejahatan luar biasa lantaran melanggar hak-hak sosial dan ekonomi rakyat. Kedua, pelakunya bukan pelaku utama dan mengakui perbuatannya. Ketiga, bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan untuk membongkar semua yang terlibat. Keempat, mengembalikan semua aset hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada dirinya. 

Apakah Sutan akan bekerja sama mengungkap siapa pelaku yang lain, sebab yang terbaca dalam eksepsinya bukan mengakui apa yang didakwakan? Tanpa bermaksud mendikte perkara itu karena ”asas praduga tak bersalah” harus dikedepankan, sikap jujur yang didengungkan itu tidak akan berarti apa-apa dari aspek pembuktian. Sebab informasi dari pelaku JC akan dijadikan bukti permulaan yang cukup untuk mengungkap sindikat kejahatan itu. Namun hal itu berguna bagi pelaku JC. Kesaksian dan informasinya akan meringankan hukumannya, bahkan dapat dibebaskan dari hukuman. 

Pertimbangan Penahanan 

63

Pada peristiwa kedua soal pertimbangan atau alasan tersangka atau terdakwa dikenakan penahanan, perlu menyimak ketentuan KUHAP yang saya kira sudah sering didengar publik. Penahanan dikenakan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan. 

Dalam Pasal 21 KUHAP diatur tentang syarat formal penahanan, yaitu harus ada surat perintah penahanan dan ditembuskan kepada keluarga yang ditahan sesaat setelah penahanan. Ada juga syarat materiil yang dibagi atas dua penilaian. Pertama, penilaian objektif, yaitu ada dugaan keras bahwa tersangka/terdakwa telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. 

Begitu pula tindak pidana yang dilakukan–termasuk percobaan dan pembantuan–diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih (Pasal 21 ayat 4 huruf a KUHAP). Atau melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya kurang dari 5 (lima) tahun penjara seperti diatur dalam Pasal 21 Ayat (4) huruf b KUHAP. Misalnya melanggar Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 372, atau Pasal 378 KUH Pidana.

Kedua, penilai subjektif yang digunakan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim yang akan melakukan penahanan. Yang dinilai secara subjektif adalah (a) ada kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa akan merusak atau menghilangkan barang bukti, (b) ada kekhawatiran tersangka/terdakwa akan melarikan diri, dan (c) ada kekhawatiran tersangka/terdakwa akan mengulangi tindak pidana yang dilakukannya. 

Timbul pertanyaan publik, apakah tersangka yang berbicara di ruang publik atau disebut memprovokasi kalau dirinya ditetapkan tersangka karena diduga kriminalisasi, bisa dijadikan dasar dan alasan penahanan? Ini tidak dijelaskan dalam KUHAP, kecuali dinilai lagi secara subjektif memengaruhi penyidikan. 

Tapi kebiasaan selama ini di KPK, tersangka ditahan–kecuali tertangkap tangan–apabila berkas perkara penyidikan atau pemeriksaan (BAP) sudah mendekati rampung dan siap dilimpahkan ke penuntutan. Boleh jadi KPK beralasan karena saat BAP dinyatakan lengkap oleh jaksa pemeriksa, semua barang bukti dan tersangka harus diserahkan. 

Apakah seperti itu yang terjadi pada BW sehingga sempat beredar berita akan ditahan meski BAP belum dilimpahkan ke kejaksaan? Kalau memang penilaian subjektif penahan terpenuhi, itu kewenangan penyidik. 

Mengenai klaim dugaan kriminalisasi, tentu harus dibuktikan dalam proses hukum, mulai dari penyidikan sampai pembuktian di depan sidang pengadilan, apakah dakwaan terbukti atau tidak. Ternyata begitu mahal memaknai proses hukum di negeri ini. 

MARWAN MAS Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar

64

Hukum yang Berkeadilan

Koran SINDO

28 April 2015

Keadilan masyarakat terusik dengan putusan Pengadilan Negeri Situbondo yang menyatakan bersalah Nenek Asyani, 63, atas dakwaan pencurian kayu. 

Pengadilan menjatuhkan hukuman satu tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider satu hari kurungan dengan masa percobaan 15 bulan. Walau hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman percobaan, tetap saja putusan ini mengundang kritik. Kasus ini menambah daftar putusan yang menguatkan opini masyarakat bahwa penegakan hukum di Indonesia ”tajam ke atas, tumpul ke bawah” serta telah kehilangan ruh keadilan. 

Bagi sebagian ahli hukum, apalagi yang berpandangan positivistik, putusan itu dinilai sebagai produk peradilan yang harus diterima karena dihasilkan oleh institusi yang memiliki kewenangan. Ketentuan undang-undang memang harus ditegakkan oleh hakim sehingga siapa pun yang memenuhi unsur pidana harus diputus bersalah. Persoalan keadilan bersifat subjektif sehingga tidak dapat dijadikan ukuran. Apalagi dalam kasus Nenek Asyani, hakim telah memutus dengan hukuman percobaan yang menunjukkan rasa keadilan. 

Hukum yang Berkeadilan 

Tema hubungan antara hukum dan keadilan sudah sejak lama menjadi pembahasan mulai dari kajian yang bersifat filosofis hingga praktis. Tema ini pula yang melahirkan berbagai aliran pemikiran hukum yang berbeda-beda. Sesungguhnya tidak ada satu aliran pun yang menolak bahwa hukum tak terpisahkan dengan keadilan. Perbedaannya hanya kapan dan apa ukuran keadilan. 

Pandangan positivistik tidak menolak bahwa hukum salah satu instrumen sosial. Dengan sendirinya diakui bahwa hukum adalah alat atau media untuk mencapai dan mewujudkan sesuatu. Yang hendak dicapai adalah keadilan sebagai dasar untuk mewujudkan ketertiban sosial berdasarkan nilai-nilai tertentu yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. 

Keadilan menjadi dasar ketertiban sosial karena di dalam keadilan terdapat perlindungan terhadap kepentingan individu dan masyarakat sekaligus. Namun, kaum positivis berpandangan bahwa persoalan hukum dan keadilan sudah selesai ketika hukum dalam arti peraturan perundang-undangan atau putusan hakim telah selesai dibuat. Keadilan bukan bagian dari persoalan hukum, melainkan persoalan pembuatan hukum. 

Seorang juris, termasuk aparat hukum, harus percaya bahwa hukum yang ada telah dibuat

65

dengan niatan baik untuk menegakkan keadilan. Hukum adalah bentuk objektif dari keadilan yang semula bersifat subjektif. Karena itu, hukum positif sudah pasti adil. Dengan menegakkan hukum positif berarti menegakkan keadilan yang objektif. Keadilan di luar hukum positif dan putusan pengadilan adalah keadilan subjektif yang bertentangan dengan karakter keilmuan hukum. 

Keadilan Masyarakat 

Di mana ada masyarakat di situ ada hukum, ”ubi societas ibi ius”. Pernyataan ini tidak hanya bermakna bahwa keberadaan hukum bersamaan dengan keberadaan masyarakat, tetapi juga menunjukkan bahwa hukum ada sebagai instrumen untuk membentuk kehidupan bermasyarakat.

Karena itu, orientasi dari hukum adalah masyarakat itu sendiri. Keadilan yang hendak dicapai dan diwujudkan adalah keadilan masyarakat. Karena hukum adalah instrumen sosial, hukum tidak dibuat untuk hukum itu sendiri. Ini mengandung konsekuensi bahwa penegakan hukum tidak semata-mata ditujukan agar aturan hukum terlaksana. Dalil ini telah dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo sebagai salah satu karakter hukum progresif. 

Pernyataan ini juga berarti bahwa hukum tidak dibuat untuk para yuris dan aparat penegak hukum, melainkan untuk manusia dan masyarakat. Karena itu, yang semestinya menjadi ukuran keadilan dalam penegakan hukum juga bukan aturan hukum tertulis dan pendapat ahli hukum, melainkan kesesuaiannya dengan nilai kemanusiaan dan pendapat umum masyarakat. 

Pandangan bahwa keadilan yang objektif ada di dalam aturan hukum tertulis mengandung tiga kelemahan mendasar. Pertama, pembentukan aturan hukum tertulis tidak selalu berada pada ruang dan waktu ideal yang memungkinkan keadilan menjadi pertimbangan utama dalam perumusan norma. Apalagi jika hukum dipahami sebagai produk politik, artinya produk dari kontestasi berbagai kepentingan masyarakat di mana kelompok yang memiliki kekuatan lebih memiliki potensi yang lebih besar untuk memengaruhi hukum demi melindungi kepentingannya.

Kedua, aturan hukum tertulis memiliki keterbatasan dalam menjangkau berbagai variasi kasus. Keterbatasan ini lahir karena keterbatasan pembentuk hukum dalam memperkirakan peristiwa-peristiwa yang akan diatur dengan hukum yang dibuat. Keterbatasan juga melekat pada aturan hukum tertulis karena keharusan rumusannya yang umum dan abstrak. Substansi keadilan yang dipercaya bersifat objektif dalam aturan hukum tertulis belum tentu relevan dengan perkembangan peristiwa yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh pembentuk hukum. 

Ketiga, keadilan bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Pemikiran, apalagi ”rasa” keadilan, juga mengalami perkembangan dan bahkan pergeseran seiring perkembangan nilai dan peri-kehidupan masyarakat. Ini sesungguhnya juga diakui oleh kaum positivis dengan menyatakan bahwa keadilan bersifat subjektif. 

66

Subjektivitas dalam hal ini tidak berarti berbeda-beda antara satu manusia dan manusia yang lain, melainkan berkembang sesuai zamannya. Keadilan objektif masyarakat tetap ada sama halnya dengan adanya nilai bersama (common value) yang dapat ditangkap oleh nurani dan akal pikiran manusia.

Dalam penegakan hukum, ketiga kelemahan tersebut mengakibatkan hukum berjarak dengan masyarakatnya. Objektivitas keadilan hukum bisa jadi berseberangan dengan objektivitas keadilan masyarakat. Karena itu, dalam penegakannya hukum harus dinilai dengan keadilan masyarakat.

Ini tidak berarti keberadaan aturan hukum tertulis tidak diperlukan lagi. Hukum tertulis tetap diperlukan sebagai pedoman perilaku masyarakat dan pedoman para penegak hukum. Namun, hukum tertulis tidak boleh dimutlakkan bahkan ketika berseberangan dengan keadilan masyarakat. Pada saat hukum ditegakkan dengan menabrak keadilan masyarakat, saat itu hukum telah kehilangan hakikatnya sebagai instrumen keberadaan masyarakat. Hukum justru merusak keadilan dan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.

JANEDJRI M GAFFAR Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang

67

Petugas Partai

Koran SINDO

28 April 2015  

Istilah ”petugas partai” kembali diperdebatkan setelah Kongres PDI Perjuangan di Bali beberapa waktu silam, khususnya menyangkut posisi Presiden Jokowi. 

Sebelumnya, menjelang Pilpres 2014, istilah “petugas partai” digunakan Megawati ketika mendeklarasikan Jokowi sebagai capres PDIP dan beberapa partai koalisi yang akhirnya mengusung pasangan Jokowi-JK. Pada penutupan Kongres PDIP, Megawati bahkan menegaskan bahwa kader PDIP yang tidak mau diposisikan sebagai petugas partai dipersilakan untuk keluar. 

Ada yang tidak setuju dengan istilah tersebut, bahkan memprotes pemosisian Jokowi sebagai petugas partai. Argumentasinya, Presiden Jokowi dipilih rakyat, bukan oleh partai. Pemosisian sebagai petugas partai dianggap mengganggu ”independensi” politik Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Malah ada yang menilai pemosisian sebagai petugas partai adalah tanda tak hormat dan merendahkan harkat-martabat Presiden. 

Jika dinalar secara dingin dan jernih, sesungguhnya istilah “petugas partai” tidaklah keliru. Setiap kader partai, apa pun posisi dan perannya, adalah para petugas partai. Para kader partai adalah pelaksana visi, misi, dan cita-cita perjuangan partai. Siapa pun kader partai—baik yang bertugas sebagai pengelola pengurus partai, pejabat eksekutif, pejabat legislatif, maupun yang memilih tugas di sektor sosial-ekonomi—semuanya adalah petugas dan pelaksana yang harus memperjuangkan ideologi dan platform partai. 

Karena itu, wajar jika kader partai yang tengah menjalankan amanah di lembaga eksekutif (presiden, gubernur, bupati, wali kota, atau wakilnya) dan lembaga legislatif (DPR, DPD, DPRD provinsi, dan kabupaten/kota) dikategorikan sebagai petugas partai. Apalagi mekanisme untuk menjadi presiden misalnya haruslah lewat partai. Hanya partai atau gabungan partai yang berwenang mengajukan pasangan capres-cawapres. Demikian juga dengan anggota DPR dan DPRD yang dicalonkan oleh partai meski sistem pemilu memungkinkan bagi pemilih untuk memilih pribadi calon. Maknanya adalah terdapat jejak partai yang tak mungkin dihapuskan.

Lantas, apakah petugas partai berlawanan dengan pelayan rakyat? Bagi penganut ”mazhab kontradiksi”, petugas partai bertentangan dan berhadapan dengan konsep pelayan rakyat. Sebaliknya, bagi ”mazhab demokrasi”, tidak ada pertentangan di antara keduanya. Antara petugas partai dan pelayan rakyat memang dua hal yang berbeda, tapi perbedaan keduanya sama sekali bukan alasan kuat untuk diperhadapkan.

68

Kader yang ditugaskan partai dan kemudian mendapatkan amanah sebagai pejabat publik, apakah di lembaga eksekutif atau legislatif, pada dasarnya adalah pelayan rakyat. Tugasnya melayani hajat dan kepentingan rakyat. Pejabat publik yang memproduksi kebijakan-kebijakan pro-rakyat sejatinya tengah melayani aspirasi dan kepentingan rakyat. Itulah cita-cita partai yang ditunaikan oleh kader-kader partai yang berposisi sebagai pejabat publik.

Tidak tersedia argumentasi untuk menjadikan pejabat publik yang dipilih oleh rakyat untuk bercerai dengan partai. Tidak ada rumus politik bahwa untuk bisa menjadi pelayan rakyat harus berjarak dan berpisah dengan partai pengusungnya. Pelayan rakyat yang baik tidaklah harus bukan petugas partai. Pejabat publik sebagai pelayan rakyat tidak musti gagal berperan sebagai petugas partai. Sebaliknya, petugas partai yang berhasil adalah pejabat publik yang mampu melayani rakyatnya dan oleh karenanya meningkatkan kinerja dan citra partainya. 

Tantangan yang sehat adalah bagaimana mengawinkan keduanya meski sejatinya ”berdekatan”. Jika perkawinan itu sukses yakni mampu menjadi petugas partai yang sekaligus pelayan rakyat, pada saat itulah partai sedang menjalankan fungsi kodratinya. Partai sehat ketika kadernya yang menjadi pejabat publik setia pada pekerjaannya untuk melayani kepentingan rakyat. Demokrasi yang sehat adalah ketika para pejabat publik yang dipilih, termasuk dari kader-kader partai, loyal pada rel pengabdian untuk mengurus hajat dan kebutuhan rakyat banyak.

Sebaliknya, jika pejabat publik terbelah kepribadiannya antara petugas partai dan pelayan rakyat, itu tanda belum sehatnya demokrasi dan belum berfungsinya partai pada kodrat kehadirannya. Adalah tanda partai belum sehat jika kehadiran dan kerja-kerjanya berjarak dengan rakyat. Demokrasi yang belum sehat salah satu tandanya adalah ketika kepentingan rakyat disingkirkan oleh hajat-hajat oligarkis para pengelola partai. 

Bukan Jongos 

Hal yang sama ketika berkembang kecurigaan yang berlebihan kepada partai dan petugas partai. Partai-partai lantas tidak dipercaya hadir dan bekerja untuk rakyat. Partai dinilai hadir untuk dirinya sendiri, hidup di ruang tertutup, dan menjalankan logika kerja berbeda dengan kepentingan rakyat. Logika partai dianggap hanya kekuasaan untuk kekuasaan, bukan kekuasaan untuk kebaikan bersama.

Pada saat itu petugas partai diidentikkan sebagai jongos elite partai yang menguasai dan menikmati sumber daya nasional atau lokal. Petugas partai lalu tidak berbeda dengan hama yang mengganggu fungsi pelayanan kepada rakyat banyak. 

Jadi, tantangan untuk menyatukan peran petugas partai dengan fungsi pelayan rakyat ada pada beranda partai, ruang kerja para pejabat publik, para pengkritik partai, dan rakyat sendiri. Mendikotomikan dan mengontradiksikan keduanya tidak bermanfaat bagi kemajuan demokrasi dan peningkatan pelayanan rakyat. ”Deparpolisasi” sama bahayanya dengan terlalu dominannya oligarki partai di dalam pemerintahan. 

69

Saatnya untuk berpikir jernih dan waras. Partai-partai musti berusaha keras untuk menjadi kekuatan demokrasi, di mana kader-kadernya berkomitmen atas panggilan tugas dan berkecakapan untuk bekerja melayani rakyat. Alat ukurnya adalah keberanian memproduksi kebijakan-kebijakan pro-rakyat dan menjadi solusi atas masalah-masalah yang dihadapi rakyat. Komitmen minus kecakapan bukan solusi, sedangkan kecakapan minus komitmen bisa mendatangkan kerumitan.

Bukan masanya lagi partai-partai dimusuhi dan dibenci. Kekurangan di tubuh partai justru harus dibantu untuk diperbaiki, dengan kritik yang keras sekalipun. Dalam sistem demokrasi, jelas partai tidak bisa dikubur, selemah apa pun partai-partai itu. 

Langkah realistis dan benar adalah memaksa partai untuk memperbaiki diri dan kader-kadernya sehingga ada sambungan yang cocok antara peran petugas partai dan fungsi pelayan rakyat. Patut diyakini bahwa petugas partai bisa menjadi pelayan rakyat. Sebaliknya, pelayan rakyat bisa sekaligus sebagai petugas partai. 

Mengapa bisa? Karena petugas partai jelas berbeda dengan jongos elite partai. Petugas partai berorientasi pada ideologi dan kepentingan organisasi, jongos elite partai mengabdi pada selera perorangan.

ANAS URBANINGRUM Ketua Presidium Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)

70

(Krisis) Negarawan dan (Film) Guru Bangsa

Koran SINDO

28 April 2015 

Satu dekade lebih pertumbuhan politisi di Indonesia semakin pesat. Liberalisasi politik membuka peluang bagi siapa pun menjadi orang nomor satu di negeri ini. 

Sejalan dengan itu agak sulit ditemui sosok negarawan yang mampu melampaui kepentingan politik pribadinya. Di tengah kegaduhan politik, kehadiran film Guru Bangsa serasa menguatkan rindu hadirnya negarawan.

Ketua Tim 9—tim bentukan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) untuk memberi rekomendasi terkait konflik KPK-Polri–– Buya Syafii Maarif sempat mengatakan, ”Kita ini ‘booming politisi’ , tapi negarawan sedikit. Mosok KPK dan polisi tarung jadi pertunjukkan orang pinggiran, saling membumihanguskan yang terjadi. Keadaan ini melelahkan.” Buya berharap Jokowi dapat menjadi seorang negarawan dalam memutuskan sengkarut hukum yang mendera petinggi KPK-Polri. 

Dari beragam literatur, istilah ‘’negarawan” umumnya merujuk pada seorang politisi atau tokoh yang atas dedikasi, pengorbanan, pikiran, dan tenaganya berdampak positif terhadap keberlangsungan negara dan atau dunia, kemakmuran, serta perdamaian. Tak peduli karya, kerja, dan jasanya dikenang, dicatat dalam sejarah. Misi dan kerja seorang negarawan menembus risiko politik-keamanan pribadi untuk menjaga (memperjuangkan) kesinambungan, keberimbangan, keberagaman dalam spektrum kedaulatan, kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan bersama. 

Kualifikasinya berjalan jauh meninggalkan deskripsi kepemimpinan, sedangkan visinya seperti berlari melintasi generasi yang tumbuh bersamanya. Kekhasan seorang negarawan memiliki kerelaan melepas berbagai atribut politik, sosial, budaya, dan mampu menempatkan tujuan (substansial) perjuangan sekaligus konstruksi yang fundamental. 

Negarawan memang tidak muncul dadakan melalui proses yang instan. Ia ditempa dengan beragam corak persoalan hingga membentuk moral, watak, perilaku, serta kesadaran mengambil tindakan dari serangkaian permenungan tentang apa, mengapa, dan siapa yang harus diperjuangkan. 

Erosi Kepemimpinan Politik 

Partai dan elite politik merupakan penerima berkah reformasi sekaligus pangkal masalah yang membuat publik antipati. Kegagalan partai politik menghadirkan perubahan di tengah

71

ekspektasi publik begitu besar tidak hanya memantik apatisme, lebih jauh lagi sinisme politik (Diamond & Gunther, 2000). 

Pasca-Pilpres 2014, fragmentasi kepentingan politik terbelah menjadi dua kutub yaitu Koalisi Merah Putih (KMP) yang meneguhkan diri sebagai oposan atau mitra kritis pemerintah dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Sayangnya, dua kubu juga terbelit prahara internal yang berdampak pada soliditas koalisi, kinerja parlemen dus akselerasi kebijakan duet Jokowi- Jusuf Kalla. Semisal, konflik dualisme kepemimpinan di internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Golkar.

Sementara kubu KIH belum menemukan format ideal guna merealisasikan visi-misi program pembangunan duet Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Sekadar catatan, visi Jokowi-JK pada Pilpres 2014 adalah ”Mewujudkan Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-Royong” (KPU, 2014). Walau paparannya dinilai agak lengkap, bangunan koalisi partai pendukung Jokowi-JK sepertinya belum berjalan seirama menerjemahkan visi besar tersebut. Dari berbagai keputusan/kebijakan yang diproduksi kabinet kerja tidak hampa dari protes sosial.

Celakanya, polarisasi dua kutub ini sepi dari visi kebangsaan, kenegaraan, dan kerakyatan. Nuansa kepentingan segelintir elite dan partai lebih dominan mengisi ruang publik. Konflik politik-hukum pimpinan Polri dan KPK, penguasaan paksa ruang Fraksi Golkar DPR RI oleh kubu Golkar Agung Laksono adalah contoh kasus yang berdampak pada turbulensi politik dengan turunan persoalan begitu kompleks. 

Publik berharap, baik KIH maupun KMP menjadi medan pertempuran gagasan, ruang mengartikulasikan mandat rakyat, sekaligus media menyiapkan regenerasi kepemimpinan politik yang punya nalar negarawan. Tidak sekadar kumpulan politisi yang bisa bersatu atau dipisahkan oleh dan hanya untuk kepentingan pragmatis. 

(Film) Guru Bangsa 

Di tengah kejenuhan publik mengamati panggung politik, kehadiran film berjudul Guru Bangsa seperti oase di tengah gurun. Film dengan genre historical-biopic itu menempatkan Raden Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto sebagai sentrum dan seorang bangsawan yang rela mengubur status sosial untuk merasakan dan memperjuangkan derita kaum jelata dari perbudakan kolonial. Sineas-budayawan Garin Nugroho berhasil menarik perhatian publik kala musim dahaga sosok negarawan nyaris punah dari perbincangan.

Feodalisme dan kolonialisme jadi latar apik yang disuguhkan Garin dalam film tersebut. Bila ingin merasakan faedah seorang priyayi, Tjokroaminoto akan mengikuti rekam ayahnya, RM Tjokro Amiseno, sebagai wedana Kleco dan kakeknya, RM Adipati Tjokronegoro, yang pernah menjabat bupati Ponorogo. 

Kesadaran kelas Tjokroaminoto tumbuh bersamaan dengan masa transisi kebijakan Hindia

72

Belanda dari tanam paksa ke politik etis pada abad 18-19. Kelas menengah berikut priyayi dan warga jelata begitu senjang dan timpang. Sisi lain, koalisi Hindia Belanda dan sebagian kaum priyayi justru menguatkan praktik hegemoni. Keresahan batin berkecamuk dalam diri Tjokro saat hadir di berbagai ruang kehidupan rakyat kecil. 

Sekitar 1907, Tjokro memutuskan ”hijrah”dan keluar dari zona nyaman menjadi pegawai administratif Bumiputera di Ngawi. Bersama istrinya, Suharsikin, Tjokro pergi ke Surabaya dan membangun indekos di Jalan Peneleh Gang 7 No. 29-31 yang kelak menjadi pondok gagasan sejumlah tokoh bangsa sekaligus embrio pergerakan nasional. 

Di tempat itulah, Soekarno, Semaun, Alimin, Darsono, Tan Malaka, Musso, hingga Kartosoewirjo acap berdiskusi dengan Tjokro perihal masa depan Indonesia dan model perjuangan merebut kedaulatan. Walau berbeda pandangan di antara putra didik indekosnya itu, Tjokro menekankan perjuangan daulat politik, berdikari di kebudayaan, kesetaraan akses pendidikan maupun ekonomi ditempuh dengan cara yang humanis.

Ikhtiar politik Tjokro membuahkan hasil ketika bergabung dengan Sarikat Dagang Islam (SDI) atas undangan pendirinya, H. Samanhudi, sebelum akhirnya menjadi Sarikat Islam (SI). Awalnya, perjuangan SDI terkonsentrasi di sektor perniagaan. Tjokro mengubah orientasi SDI sekaligus memperluas resonansi organisasi. 

Profesor John Ingleson mencatat, eksistensi SI diakui sebagai organisasi politik modern satu-satunya pada masa itu (Abdul Azis, 1985). Lebih jauh dari sekadar penambahan jumlah anggota, SI pada masa Tjokro dianggap sebagai kanal yang mampu mengobarkan semangat anti-penindasan. 

Pada 1920 Tjokro dijebloskan ke penjara selama tujuh bulan dengan tudingan menyiapkan pemberontakan. Lepas dari jeruji besi, Tjokro menolak tawaran (kooperatif) Hindia Belanda di kursi Volksraad (Dewan Rakyat). Sikap tegas seorang Guru Bangsa menolak iming-iming penguasa sepertinya masih sukar ditemui saat ini. 

Kualifikasi Tjokro melampaui tulisan maupun orasi politiknya yang mewakili perasaan, pikiran, dan kehendak rakyat. Retoriknya sejalan dengan pengorbanan, sikap, perilaku, dan tindakannya. 

Mari belajar bersama menggali helai sejarah agar teladan Tjokro dan tokoh pendiri bangsa tetap selaras dengan tujuan asali kemerdekaan yang telah disarikan melalui Pancasila.

MUHAMMAD RIFAI DARUS Ketua Umum DPP KNPI 2015-2018

73

Pembatalan Putusan Arbitrase Sering Mengada-Ada

Koran SINDO

29 April 2015

Saat ini perkembangan bisnis dan perdagangan antarnegara tidak dapat dibatasi oleh siapa pun. Para pelaku bisnis bebas untuk menjalankan transaksi bisnis secara nasional dan internasional. 

Transaksi bisnis yang tidak terbatas tersebut menimbulkan persaingan usaha baik antarpelaku bisnis domestik maupun antara pelaku bisnis domestik dan pelaku bisnis asing. Aktivitas transaksi bisnis yang terjadi ini sangat rentan menimbulkan sengketa bisnis di mana masing-masing pelaku bisnis memiliki kepentingan yang dilindungi berdasarkan bisnis yang mereka jalankan. Di sini arbitrase perdagangan menjadi salah satu mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat digunakan pelaku bisnis karena sifatnya yang rahasia (non-publication), win-win solution, serta putusan yang final dan mengikat para pihak.

Namun, di lain sisi, Indonesia telah lama dianggap sebagai unfriendly state against commercial arbitration atau negara yang tidak ramah terhadap arbitrase perdagangan. Ini karena terus terjadi pengabaian yurisdiksi arbitrase atas sengketa-sengketa bisnis yang mempunyai klausul arbitrase dalam sebuah perjanjian kerja sama antara pihak yang bersengketa (arbitration clause) dan alasan yang mengada-ada. 

Pengabaian yurisdiksi arbitrase ini mengakibatkan ketidakpastian hukum di Indonesia yang mana hal tersebut akhirnya dapat menyulitkan iklim investasi di Indonesia. Apalagi pada era di mana banyak pelaku bisnis yang memasukkan klausul arbitrase dalam perjanjian kerja sama dalam menjalankan bisnisnya. 

Pembatalan Putusan Arbitrase 

Dalam proses arbitrase banyak ihwal yang dilakukan para pihak dalam suatu perkara arbitrase untuk menghambat terjadi proses arbitrase yang sedang berjalan. 

Pertama, pihak yang tidak kenal dengan proses arbitrase akan mengajukan keberatan atas yurisdiksi (jurisdictional challenge) yang dimiliki oleh majelis arbitrase (tribunal) dengan membawa perkara ke pengadilan negeri dan mereka akan mengajukan gugatan baru di pengadilan negeri, untuk mencari pembenaran bahwa pengadilan negerilah yang mempunyai yurisdiksi atas perkara tersebut, dan bukan majelis arbitrase (tribunal) yang sebenarnya telah dipilih oleh para pihak dalam klausul arbitrase (party autonomy). 

74

Setelah gagal pada tahap yurisdiksi, upaya untuk menghambat berjalan proses arbitrase tidak berhenti di sini. Dalam proses pemeriksaan, para pihak yang tidak paham akan proses arbitrase akan mencari kesalahan arbitrer yang sedang menjalankan tugasnya untuk dijadikan dasar pengajuan hak ingkar (challenge). Ini bertujuan menghambat dan membatalkan proses arbitrase. 

Setelah yurisdiksi dan hak ingkar gagal, pihak lawan akan menunggu putusan dari majelis. Apabila putusan dari majelis merugikan, mereka akan mengajukan permohonan pembatalan putusan dengan dasar yang mengada-ada antara lain bahwa majelis arbitrase (tribunal) tidak mempunyai wewenang memeriksa perkara tersebut dan arbitrer telah bertindak tidak adil sehingga putusannya merugikan hak mereka.

Padahal, permohonan pembatalan putusan arbitrase (award) dibatasi oleh UU Arbitrase dalam tiga hal yang telah diatur secara limitatif di dalam Pasal 70 UU Arbitrase. Terkait dengan permohonan pembatalan putusan arbitrase, Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase (UU Arbitrase) telah mengatur secara limitatif perihal permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan para pihak dalam sebuah sengketa bisnis. 

Di dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur yaitu: Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. 

Tiga unsur yang terdapat dalam Pasal 70 UU Arbitrase inilah yang seharusnya secara tegas dijadikan alasan oleh para pihak yang bersengketa untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase. Namun, akhir-akhir ini yang terjadi, banyak permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan oleh pihak yang tidak paham atau anti-arbitrase perdagangan dengan menggunakan alasan di luar Pasal 70 UU Arbitrase. Misalnya alasan benturan kepentingan (conflict of interests) arbitrer atau alasan putusan arbitrase melawan ketertiban umum (public policy) yang dengan jelas tidak terdapat dalam alasan pembatalan putusan arbitrase dalam Pasal 70 UU Arbitrase. 

Terkait dengan hal tersebut, putusan-putusan pengadilan yang dijatuhkan untuk membatalkan putusan arbitrase namun tidak sesuai dengan alasan pembatalan putusan arbitrase dalam Pasal 70 UU Arbitrase dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi para pihak yang bersengketa. Padahal, berdasarkan party autonomy para pihak sudah sepakat menyelesaikan sengketa mereka melalui arbitrase (Pasal 1 ayat (3) UU Arbitrase).

Alasan melawan ketertiban umum (public policy) seharusnya merupakan alasan yang digunakan untuk menghambat atau menunda exequatur (perintah untuk melaksanakan putusan arbitrase oleh pengadilan). Sedangkan alasan benturan kepentingan (conflict of

75

interests) arbitrer dengan para pihak seharusnya diselesaikan dengan mengganti arbitrer yang bersangkutan (recuse) sehingga tidak tepat jika dijadikan dasar alasan pembatalan (derail) putusan arbitrase karena tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase. 

Pun seringkali, alasan pembatalan putusan dalam Pasal 70 UU Arbitrase dijadikan dasar bagi pihak yang kurang paham mekanisme arbitrase untuk membatalkan putusan arbitrase internasional. Padahal, untuk putusan arbitrase internasional, yaitu putusan yang dijatuhkan di wilayah negara lain, berlaku hukum arbitrase negara yang bersangkutan (lex arbitri) sehingga tidak dapat dibatalkan menurut hukum Indonesia (UU Arbitrase). 

Apalagi sifat dari putusan arbitrase adalah final dan mengikat. Dengan begitu, seharusnya putusan arbitrase tersebut merupakan satu-satunya putusan yang menyelesaikan sengketa para pihak karena sudah dipilih para pihak (party autonomy) melalui klausul arbitrase.

Forum Pilihan Pelaku Bisnis 

Adalah kecenderungan di seluruh dunia saat ini bahwa arbitrase telah menjadi pilihan favorit para pelaku bisnis yang bersengketa. Hal ini disebabkan para pelaku bisnis ingin menyelesaikan sengketa bisnis mereka secara cepat dan tuntas dalam waktu singkat. 

Banyaknya insiden pembatalan putusan arbitrase di Indonesia telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang menambah keraguan para pelaku bisnis, khususnya investor asing, untuk menjalankan bisnisnya di Indonesia. Untuk itu, harus ada jaminan penegakan hukum di Indonesia sehingga para pelaku bisnis tidak berpaling ke negara-negara tujuan investasi lain yang lebih menawarkan kepastian hukum. 

Pelaku bisnis cenderung akan ragu menanamkan modalnya di suatu negara apabila risiko investasi tinggi. Yang pertama ditanya investor adalah pangsa pasar, daya beli, bahan baku, dan tenaga kerja. Tetapi rule of law, penegakan hukum, dan kepastian hukum akan menentukan apakah minat mereka berinvestasi akan diwujudkan. Rendahnya persentase perwujudan investasi di Indonesia menandakan lemahnya penegakan hukum. 

Yang paling penting, jangan sampai Indonesia tetap dikategorikan sebagai unfriendly state against commercial arbitration, karena tentunya hal tersebut akan merugikan perekonomian di Indonesia ke depan, khususnya iklim investasi akan terganggu. Minat investasi yang besar dari investor asing tidak diimbangi dengan pelaksanaannya.

FRANS H WINARTA Arbitrer ICC, SIAC, BANI, dan KLRC serta Dosen Arbitrase Perdagangan Fakultas Hukum UPH 

76

Perjalanan Diplomasi Kita

Koran SINDO

29 April 2015 

Seorang pegawai yang sekaligus anggota Serikat Pekerja Perusahaan Listrik Negara mengeluh kepada saya dalam sebuah kesempatan lokakarya, tentang rendahnya penghargaan dan penghormatan masyarakat terhadap peran pekerja dalam menyalurkan listrik ke rumah tangga. 

Masyarakat tidak tahu bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh para pegawai tersebut tidak hanya teknis, tetapi juga bernilai pengabdian tinggi karena sesungguhnya tenaga yang mereka curahkan lebih besar dari penghargaan yang diterima, baik dari sisi ekonomi maupun sosial. Misalnya pada saat terjadi mati listrik, sebenarnya ada banyak hal yang telah diupayakan untuk dilakukan di tengah segala keterbatasan fasilitas pendukung di perusahaan, antara lain suku cadang yang sudah tidak diproduksi, manual generator yang berbahasa Mandarin, kualitas bahan bakar yang di bawah syarat. 

Pengalaman para pekerja itu merangsang kita untuk mengkaji kembali dan membandingkan konsep diplomasi “A Thousand Friend, Zero Enemy” yang menjadi garis kebijakan politik luar negeri pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan kebijakan politik luar negeri Presiden Joko Widodo. 

Beberapa orang yang merasa letih dan jenuh dengan kejadian dan insiden-insiden hubungan luar negeri belakangan ini tiba-tiba merindukan suasana yang tenang, nyaman, dan senang dengan pendekatan yang dilakukan oleh pemerintahan SBY. Mungkin kurang tegas, tetapi tidak menimbulkan keresahan yang bertubi-tubi. Namun, pandangan lain mengatakan bahwa bentuk diplomasi seperti saat inilah yang dibutuhkan Indonesia. Alasannya agar Indonesia dapat menunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah bangsa yang berdaulat dan kuat. Pandangan ini tampaknya lebih dominan karena disuarakan mulai dari lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Saya belum membaca satu pun pendapat yang berbeda dari para pejabat negara atau tokoh politik yang melawan arus kebijakan dominan saat ini. 

Memang, selama 10 tahun pemerintahan SBY, belum pernah ada ketegangan antarnegara yang sumber utama keluhannya adalah pilihan politik kepala negara Indonesia. Hal inilah yang justru kini sedang dihadapi Indonesia terkait keputusan Presiden Joko Widodo untuk tidak memberikan grasi ataupun pengampunan terhadap para terpidana narkoba. 

Masalah yang selama ini paling sering dihadapi adalah dengan negara tetangga kita seperti Malaysia, Singapura, dan Australia. Mulai urusan tenaga kerja Indonesia, masalah asap, illegal fishing, pengungsi, hingga pengaturan wilayah batas udara. Meskipun menyulut

77

emosi, hal-hal tersebut dianggap relatif wajar karena secara geografis kita berdekatan dengan negara-negara tersebut, sehingga interaksi yang cukup intens berpotensi menimbulkan gesekan yang mengganggu. 

Bila dibandingkan dengan protes keras sejumlah negara terkait keputusan Presiden Joko Widodo untuk tidak sedikit pun menggunakan wewenang pemberian grasi atau pengampunan pada para terpidana mati, efek emosinya menyulut bahkan penduduk di negara-negara yang jauh. Warga negara Filipina, Prancis, Australia, bahkan pemimpin Perserikatan Bangsa-Bangsa pun mengirimkan pesan keprihatinan, kecaman, bahkan ancaman. Aksi protes diplomatik pun sudah dilayangkan, seperti penolakan duta besar Indonesia untuk Brasil dan kini rencana penarikan duta besar Prancis dari Indonesia. Kenyataan tersebut cukup mengagetkan banyak pihak, baik diplomat, analis, akademisi, aktivis; tidak hanya yang bermukim di Indonesia, tetapi juga yang di luar negeri.

Hubungan Indonesia dengan negara-negara tersebut dan juga dengan PBB selama ini selalu diwarnai suasana bersahabat. Tidak terbetik firasat hubungan yang memburuk. Namun tiba-tiba dalam enam bulan terakhir, kita dihadapkan dengan status relasi diplomatik terburuk dengan mereka semua. PBB bahkan memberikan nilai terendah (E) karena pemerintah abai akan peringatan sebelumnya untuk segera melakukan moratorium hukuman mati bagi terpidana narkoba sebagai wujud komitmennya pada Kovenan Internasional tentang Perlindungan Hak Sipil dan Politik. 

Kita masih ingat bahkan dengan tetangga kita Malaysia dan Singapura, yang relatif sering “ramai” tidak pernah terjadi sikap saling ancam yang berujung pada penarikan duta besar. Frekuensi pertengkaran kita dengan mereka relatif lebih sering dibandingkan antara Indonesia dan Prancis atau Brasil, sesering munculnya musim kemarau yang menyulut kebakaran di Pulau Sumatera, tetapi mengapa justru Prancis dan Brasil rela untuk mengambil opsi terburuk dalam relasi diplomatik? 

Kita juga masih ingat bahwa ketika terjadi ketegangan dengan Australia menyusul berita penyadapan pada presiden dan ibu negara, kondisi hubungan bilateral Indonesia-Australia sempat memburuk. Sempat terjadi pemanggilan duta besar, namun dalam waktu relatif singkat komunikasi diplomatik kembali terhubung yang kemudian melahirkan nota kesepahaman seputar kerja sama pertukaran informasi. Tak sedikit pun kerja sama di bidang lain terancam putus.

Hubungan Indonesia dengan PBB juga dapat dikatakan produktif. Indonesia terbilang aktif dalam hampir segala kegiatan PBB, namun dikenal juga kritis. Kita rutin mengirimkan tentara perdamaian ke berbagai negara, aktif di ILO, WHO, dan lembaga-lembaga kemanusiaan lainnya, termasuk dalam mendorong gerakan anti-perubahan iklim. Namun, Indonesia tetap kritis untuk mendorong reformasi PBB sejak 2000. Contohnya adalah pidato Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda pada 27 September 2008 yang menyerukan reformasi hak veto lima negara agar PBB lebih demokratis. 

78

Ia menyatakan bahwa lima negara pemegang hak veto (Prancis, Inggris, Rusia, Amerika Serikat, dan China) telah menyalahgunakan hak veto yang dapat membahayakan eksistensi Dewan Keamanan PBB yang awalnya justru ditujukan untuk menjaga perdamaian dunia. Dalam Sidang Majelis Umum PBB itu, Menteri Wirajuda mengatakan bahwa demokratisasi Dewan Keamanan PBB juga berarti distribusi hak keanggotaan yang lebih adil—tidak hanya dalam hal perwakilan geografis yang saat ini pun terbilang belum adil, tetapi juga dalam hal jumlah penduduk (constituencies). 

Melalui Menteri Wirajuda, Indonesia pernah menyatakan wakil-wakil peradaban besar di dunia harus secara proporsional terwakili keanggotaannya dalam Dewan Keamanan PBB. Artinya bahwa komunitas 1,1 miliar umat muslim perlu terwakili juga di sana supaya lembaga itu lebih demokratis. 

Saya tidak ingin menyimpulkan lebih lanjut tentang kondisi politik luar negeri Indonesia saat ini. Namun, kita perlu mengingat hal-hal baik apa saja yang pernah kita kontribusikan pada dunia.

Seperti pekerja PLN yang saya sebutkan di awal, pencapaian kita saat ini sebenarnya dilakukan melalui kerja dan pengorbanan dalam waktu dan jumlah yang besar, yang mungkin tidak diketahui atau disadari oleh banyak orang. Mudah-mudahan modal tersebut tidak kita sia-siakan demi menjaga kepentingan bangsa dalam jangka yang lebih panjang. 

DINNA WISNU, PhD Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu   

79

Menyikapi Perang (Sektarian) Yaman

Koran SINDO

30 April 2015

Kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Yaman menjadi korban serangan yang dilakukan oleh koalisi Arab Saudi terhadap gudang persenjataan kelompok Houthi di Sanaa kemarin (20/04). Setidaknya ada dua staf kedutaan kita yang menjadi korban serangan yang disinyalir tidak diarahkan langsung ke kantor KBRI tersebut.

Perkembangan ini menunjukkan bahwa konflik Yaman semakin tidak terkendali. Pemerintah harus mengambil keputusan cepat dan akurat untuk memastikan ada perlindungan terhadap warga negara kita di sana, termasuk simbol negara seperti kantor kedutaan ataupun staf kedutaan. Tentu dibutuhkan ada kajian yang mendalam dan intensif terhadap konflik yang terjadi di Yaman saat ini sebagai basis kebijakan yang dibutuhkan. 

Menjadi Sektarian 

Pada tahap tertentu, perang yang terjadi di Yaman saat ini dapat disebut sebagai perang sektarian, setidak-tidaknya perang mengatasnamakan sekte. Dikatakan demikian karena sentimen sektarian inilah yang membuat kelompok minoritas seperti Houthi dibuat mampu menaklukkan Ibu Kota Yaman, bahkan menjadikan presiden dan perdana menteri Yaman sebagai tahanan rumah (21 Januari) sebelum akhirnya menyatakan memundurkan diri (23 Januari) dan meneguhkan diri kembali sebagai presiden yang sah. Karena alasan kurang lebih sama, Arab Saudi beserta negara-negara koalisinya pun menyerang Yaman sejak 26 Maret lalu.

Awalnya konflik di Yaman merupakan konflik politik yang jamak terjadi di negara-negara lain, khususnya saat negara tersebut baru terbebas dari rezim otoriter yang berkuasa selama puluhan tahun. Sebagaimana dimaklumi, setelah Ali Abdullah Saleh berhasil dilengserkan paksa (oleh rakyat dan negara-negara pendukungnya) pada 2012, Yaman kerap dilanda pelbagai macam konflik. Baik konflik yang bersifat kesukuan, golongan, politik, maupun yang lainnya. Sentimen sektarian telah membuat konflik-konflik yang terjadi di Yaman pascalengsernya Ali Badullah Saleh secara cepat menjalar, bahkan menjadi pemicu peperangan antarnegara seperti sekarang. 

Dalam konteks politik, sentimen sektarian tentu tidak menyebar dengan sendirinya, melainkan ada pihak-pihak yang secara sengaja memainkan sentimen sektarian tersebut. Di Timur Tengah, isu sektarian jauh lebih provokatif, bahkan dibanding isu konflik antaragama sekalipun. 

80

Perlawanan Houthi dan Ali Abdullah Saleh 

Sejak akhir 2014 hingga awal tahun ini, pergerakan kelompok Houthi di Yaman acap mengejutkan banyak pihak. Betapa tidak, kelompok yang awalnya tidak terlalu besar ini (untuk tidak mengatakan kecil) tiba-tiba diberitakan berhasil menguasai Ibu Kota Yaman pada 21 September 2014.

Aksi spektakuler kelompok ini terus berlanjut hingga mampu menyandera presiden dan perdana menteri Yaman pada 21 Januari 2015 di istananya. Puncaknya kelompok Houthi melakukan Deklarasi Konstitusi (Al-Ilan Ad-Dustury) pada 6 Februari lalu sekaligus mengakhiri konstitusi lama yang berlaku di Yaman. 

Sebagaimana dimaklumi, kelompok Houthi merupakan bagian dari aliran Syiah (Zaidiyah) yang bersifat minoritas di Yaman (mayoritas dari kalangan Sunni). Meski demikian, kelompok yang sejak terjadi Arab Spring (Musim Semi Arab) kerap menyebut diri dengan nama Ansharullah ini pernah berkuasa di Yaman, khususnya di Yaman Utara sebelum Yaman berbentuk republik pada 1962. 

Pertanyaan, mengapa kelompok Houthi tampak begitu mudah menguasai Ibu Kota Yaman pada 21 September lalu yang kemudian dengan mudah mereka juga menyandera presiden di istananya? Apakah ini disebabkan oleh dahsyatnya kekuatan kelompok Houthi atau karena ada kekuatan lain yang secara sengaja mendorong Houthi untuk melakukan ”penaklukan-penaklukan” sebagaimana di atas? 

Tentu jawabannya adalah yang terakhir. Dengan kata lain, ada pihak lain di belakang Houthi yang terus memberikan dukungan dalam aksi-aksi militernya mutakhir. Pihak lain dimaksud tak lain adalah mantan Presiden Ali Abdullah Saleh (beserta para loyalisnya) yang sengaja ”dilengserkan” oleh negara-negara pendukungnya (Amerika Serikat dan negara-negara Arab Teluk) untuk menjawab revolusi rakyat Yaman pada 2012. 

Untuk menggantikan Saleh, diangkatlah Abd-Rabbu Mansour Hadi yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh yang loyal terhadap Abdullah Saleh. Karena itu, apa yang terjadi di Yaman belakangan ini dapat disebut sebagai aksi perlawanan dari kelompok Houthi dan Abdullah Saleh sekaligus. Kelompok Houthi hendak melawan kelompok Sunni yang selama ini menguasai Yaman. 

Untuk mencapai tujuannya tersebut, Houthi rela bekerja sama dengan para loyalis Ali Abdullah Saleh yang pada waktu-waktu sebelumnya justru kerap menghancurkan mereka. Sebaliknya, dengan memanfaatkan kelompok Houthi, Ali Abdullah Saleh hendak melawan negara-negara pendukungnya (seperti Amerika Serikat dan negara-negara Arab Teluk) yang selama ini tidak merestui Saleh untuk kembali ke puncak pemerintahan Yaman kembali. 

Sebagaimana dimaklumi, pada masa pemerintahannya, Ali Abdullah Saleh menjadi mitra strategis bagi Amerika Serikat dan Arab Saudi untuk kepentingan yang berbeda. Kepentingan

81

Arab Saudi adalah agar Ali Abdullah Saleh bisa mengendalikan kelompok Houthi yang berpusat di Yaman dan terdapat di Arab Saudi. Sedangkan kepentingan Amerika Serikat adalah melawan kelompok Al-Qaeda di Yaman (AQAP). 

Fase Sektarianisasi 

Kondisi politik seperti inilah yang membuat perang di Yaman saat ini dapat disebut sebagai perang sektarian. Seandainya bukan Houthi yang melakukan kudeta politik di Yaman mutakhir (katakan seperti kelompok Ikhwan Muslimin atau kelompok politik lainnya), kemungkinan besar Arab Saudi dan negara-negara koalisinya tidak akan melakukan intervensi militer secara langsung seperti sekarang yang mengakibatkan ribuan rakyat tak berdosa harus menjadi korban, baik korban luka-luka atau bahkan korban jiwa. 

Tentu perang sektarian di Yaman saat ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sosial- politik di Timur Tengah yang belakangan mengalami fase ”sektarianisasi”. Fase ini berawal dari krisis politik di Suriah yang acap berkembang menjadi konflik sektarian antara rezim Bashar al-Assad yang dikenal dari golongan Syiah dan para kelompok revolusi beserta segenap pendukungnya dari kelompok Sunni (termasuk Arab Saudi).

Dalam konteks Suriah, sektarianisasi konflik di sana bahkan telah menarik minat para jihadis internasional untuk bergabung dan kemudian membentuk kelompok sendiri dikenal dengan nama ISIS. Sektarianisasi konflik politik kini terjadi di Yaman. Dibanding yang terjadi di Suriah, sektarianisasi konflik politik terjadi di Yaman berlangsung secara lebih vulgar, bahkan menjadi perang antarnegara seperti sekarang. 

Semua pihak harus mewaspadai perang ini agar tidak berkembang menjadi panggilan terbuka bagi kaum jihadis internasional untuk terlibat dalam perang ini. Bila ini sampai terjadi, eksodus kaum jihadis internasional dari pelbagai macam negara akan semakin masif terjadi ke wilayah-wilayah konflik di Timur Tengah, termasuk dari Indonesia. 

Sikap Indonesia 

Ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh Indonesia dalam menyikapi perang yang terjadi di Yaman, khususnya pasca-KBRI kita terkena serangan juga. Pertama, memberikan protes keras terhadap negara-negara yang terlibat dalam perang di Yaman terkait penyerangan KBRI kita, termasuk dengan memanggil para duta besar dari negara-negara tersebut. Ini sangat penting dilakukan untuk menegakkan kehormatan dan kedaulatan bangsa kita.

Kedua, memberikan perlindungan maksimal terhadap warga negara Indonesia yang ada di Yaman, mulai dari para mahasiswa, buruh migran, atau bahkan para staf kedutaan. Upaya evakuasi yang dilakukan pemerintah harus berjalan secara lebih cepat dan mampu meyakinkan para warga negara Indonesia di sana untuk segera meninggalkan Yaman.

82

Ketiga, melakukan upaya pencegahan menyeluruh agar tidak ada warga negara Indonesia yang melibatkan diri dalam perang ini. Hal demikian sangat penting dilakukan, mengingat perang ini bernuansa sektarian, sebagaimana telah disampaikan di atas. 

Tanpa pencegahan dini, bukan tidak mungkin perbatasan Yaman justru dianggap sebagai pintu-pintu menuju surga, khususnya bagi mereka yang terpesona oleh semangat sektarianisme.

HASIBULLAH SATRAWIPengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam; Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Jakarta

83

Pertobatan dan Rekonsiliasi Nasional

Koran SINDO

30 April 2015

Sudah 52 tahun (sejak 1 Mei 1963), Papua ada dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, hingga kini, seperti yang terjadi di Paniai, Desember tahun lalu, betapa masih saja terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua.

Bart Spruit dalam bukunya, Leviathan (2000), mengatakan: ”Zonden uit het verleden geven geestelijke machten een bruggenhoofd om in het heden hun doeleinden af te dwingen. Pas wanneer verzoening is gedaan over de zonden uit het verleden krijgt God de kans het verleden te doen medewerken ten goede”. Artinya, dosa-dosa masa lalu memberikan penguasa-penguasa rohani suatu kekuatan untuk memaksakan kehendak mereka. Bilamana pengampunan terjadi terhadap dosa-dosa di masa lalu, barulah Tuhan mendapat kesempatan membuat masa silam itu bekerja sama dan bermakna bagi kebaikan masa kini. 

Dalam tulisan tersebut, Spruit mengisahkan tentang pembunuhan yang terjadi di Banda (Maluku) antara rakyat Banda melawan Belanda yang dimulai pada 1609, kemudian pada 1621 di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen memancung 40 orang Banda yang disebut sebagai ”orang kaya” oleh prajurit Jepang yang disewa Belanda. 

Dendam yang terus membara ini, menurut Spruit, perlu ada pertobatan melalui doa demi penyembuhan bersama sehingga Tuhan dapat membantu pihak-pihak yang bersengketa membangun masa depannya. Itu pula yang hakikatnya terjadi di Papua hingga kini. Maka itu, merefleksikan kembali sejarah bagaimana proses integrasi Papua ke NKRI menjadi penting. 

Proses dekolonisasi yang berlarut-larut mencapai puncaknya saat penandatanganan pengakuan kemerdekaan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 27 Desember 1949. Saat itu masalah Papua ditunda satu tahun. Artinya, status Papua akan dibahas lagi pada 27 Desember 1950.

Setelah perjanjian 27 Desember 1949, Belanda mulai serius memperhatikan Nederlands Nieuw Guinea. Sebelum Perang Dunia II, Pemerintah Belanda hanya menggunakan daerah Nederlands Nieuw Guinea di Digul (Merauke) sebagai tempat pembuangan bagi para komunis dan nasionalis Indonesia yang melawan Belanda. Namun, daerah itu hanya menjadi anak tiri yang dilupakan, dikenal sebagai daerah buangan bagi mereka yang dianggap membangkang terhadap Pemerintah Belanda. 

Baru kemudian setelah Belanda mengakui Indonesia sebagai negara merdeka, masalah Papua yang pembahasannya ditunda satu tahun menjadi isu sensitif antara Belanda dan Indonesia.

84

Puncaknya terjadi pada Agustus 1960 sebelum John F. Kennedy terpilih sebagai presiden Amerika Serikat (AS) yang ke-35, Presiden Soekarno memutuskan hubungan diplomatik Indonesia dengan Belanda. 

Sikap tegas Soekarno itu tentu saja mengundang kekhawatiran Amerika Serikat. Negara adidaya itu khawatir Indonesia menjadi negara komunis karena pengaruh Uni Soviet dan Cina waktu itu. Karena itulah, AS akhirnya menekan Belanda untuk segera menyerahkan Papua kepada Indonesia. 

Ironisnya, proses awal internasionalisasi masalah Papua oleh Belanda, Indonesia dan Amerika Serikat melalui PBB tidak melibatkan rakyat Papua. Saat itu, berdasarkan New York Agreement pada 15 Mei 1962, Belanda menyerahkan Papua kepada PBB melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) pada 1 Oktober 1962. Selanjutnya, 1 Mei 1963, PBB melalui UNTEA secara resmi menyerahkan Papua kepada Indonesia.

Namun, peristiwa bergabungnya (integrasi) Papua ke pangkuan Indonesia tak dimeriahkan secara besar-besaran. Sebaliknya, atas nama kedaulatan negara, untuk mengatasi konflik yang ada digelar operasi militer secara besar-besaran. Operasi itu antara lain Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Barathayuda (1967-1969), dan Operasi Wibawa (1969). Operasi ini digelar dalam rangka menghadapi rencana Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969. Yang jelas, ekses kekerasan akibat operasi-operasi militer itu tak dapat diceritakan secara bebas, dibungkam oleh sistem pemerintahan yang otoriter serta ”mati rasio” karena moncong senjata. 

Preseden buruk masa lalu itu menjadi ingatan kolektif rakyat Papua yang mendalam sehingga perlu penyembuhan. Itu berlangsung setelah Reformasi 1998.

Indonesia memasuki suatu pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan demokratis sejatinya didukung oleh suatu ”civilian supremacy” yang kuat dan solid. Di antaranya dapat mengontrol institusi yang dipercayai untuk memegang senjata agar tidak disalahgunakan terhadap rakyatnya sendiri sehingga tak berakhir pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM). 

Pertobatan Nasional 

Sejarah masa lalu harus menjadi pedoman (kompas) dalam membuat peta jalan (roadmap) bagi solusi Papua secara tuntas, berkeadilan, dan bermartabat. Rasa curiga terhadap rakyat Papua harus dihilangkan. Program-program pemerintah yang diturunkan harus melibatkan mereka serta mendengar suara mereka tentang apa yang mereka butuhkan. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Natal Nasional di Jayapura, 27 Desember 2014: ”Rakyat Papua juga butuh didengarkan, diajak bicara. Kita ingin akhiri konflik. Jangan ada lagi kekerasan.”

Indonesia jangan mengulang pengalaman masa lalu (Hindia Belanda), di mana Papua sebagai bagian dari NKRI hanya menjadi anak tiri yang dilupakan. Selain itu, Papua juga jangan

85

hanya digunakan untuk memperkaya kelompok tertentu dalam rezim pemerintahan yang terus berganti. Kekayaan alam Papua justru harus digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran orang Papua sebagai warga negara Indonesia yang terhormat dalam rangka memenangkan hati dan pikiran rakyat Papua serta menyembuhkan (healing) luka-luka masa lalu. 

Tanggal 1 Mei 1963 merupakan suatu momen sejarah yang patut diperingati secara nasional, sebagai Hari Integrasi Nasional (HIN). HIN harus kita maknai sebagai momentum untuk pertobatan nasional karena perjalanan waktu yang begitu panjang dan telah banyak menelan korban.

Kita selalu berbeda pendapat dan tidak saling percaya. Ini berlaku tidak hanya untuk Papua, tetapi juga seluruh Indonesia, terutama korban akibat pelanggaran hak asasi manusia (Tragedi Trisakti-12 Mei 1998, Theys Eluay-10 November 2001, Munir-7 September 2004, Kelly Kwalik-16 Desember 2009). Kita perlu pertobatan dan rekonsiliasi nasional agar bangsa Indonesia terhindar dari konflik internal yang terus berlanjut dan entah kapan berakhirnya.

Maka itu, peringatan 1 Mei sebagai HIN harus diisi dengan doa bersama untuk pemulihan bangsa dan dengan ”civic mission” prajurit TNI dan Polri secara besar-besaran di Papua, baik itu bakti kesehatan, bakti sosial (perbaikan sekolah, gereja), maupun lainnya. Hal ini tidak lain untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah.

FREDDY NUMBERITokoh Masyarakat Papua   

86

Reshuffle Kabinet Republik Komedi

Koran SINDO

30 April 2015 

Ketidakpuasan publik pada kinerja pemerintah di bidang ekonomi dan hukum, ditambah akumulasi tekanan politik yang arusnya demikian kuat, memaksa Presiden Joko Widodo untuk mempertimbangkan reshuffle kabinet. 

Perombakan kabinet ibarat harga yang harus dibayar Presiden kepada partai pengusung karena membatalkan pelantikan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan sebagai kepala Polri. Artinya, reshuffle kabinet tak lain dari kompromi politik sekaligus sarana untuk memfasilitasi kepentingan koalisi partai pendukung pemerintah yang sangat kecewa dengan keputusan Presiden Joko Widodo membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai kepala Polri. 

Dengan demikian, reshuffle kabinet akan ditentukan oleh dinamika internal PDIP dalam kurun waktu satu-dua bulan ke depan. Jika situasi internal partai itu makin panas, bisa ditarik kesimpulan bahwa Jokowi dan PDIP gagal bersepakat. Tapi, jika PDIP kembali menyokong Jokowi, berarti reshuffle kabinet akan terwujud. 

Pertanyaan berikutnya, kapan reshuffle kabinet akan dilaksanakan? Waktu masih menjadi perdebatan di internal Istana. Ada pihak yang mendesak dilakukan dalam waktu dekat, sekitar Juni atau Juli 2014. Sementara pihak yang lain berharap Presiden memberikan kesempatan kepada para menteri untuk memperbaiki kinerjanya. Pihak yang terakhir ini menyarankan agar kalau dianggap perlu dan mendesak, reshuffle hendaknya dilakukan ketika Kabinet Kerja genap berumur setahun yakni Oktober 2015.

Sinyal reshuffle kabinet itu sebenarnya datang dari dalam lingkaran Presiden yakni partai politik pendukung. Namun, untuk sampai pada isu reshuffle kabinet, prosesnya cukup rumit. Diawali dengan kemarahan beberapa kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang terang-terangan dan langsung dialamatkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kemarahan itu menjadi penanda menurunnya soliditas dukungan PDIP kepada Presiden Jokowi. 

Usut punya usut, kemarahan itu lebih disebabkan minimnya jumlah kader PDIP yang menjadi menteri di Kabinet Kerja. ”Kami (kader PDIP) harus menahan dahaga di samping sumur yang airnya berlimpah,” begitu ungkapan canda seorang kader. Sampai di sini Budi Gunawan belum menjadi faktor pendorong reshuffle kabinet.

87

Kemarahan itu makin menjadi-jadi karena upaya sejumlah kader PDIP berkomunikasi dengan Presiden menjadi sangat sulit alias terhambat. Dari kemarahan ini, lahir sebutan Trio Macan Istana. Sebutan ini untuk mengidentifikasi Menteri Sekretaris Kabinet (Mensekab) Andi Widjajanto, Menteri BUMN Rini Sumarno, dan Kepala Staf Kepresidenan Luhut Pandjaitan. Tiga pejabat tinggi negara tersebut dinilai sebagai penghambat komunikasi Jokowi dengan kader PDIP. Kader PDIP Effendi Simbolon bahkan sempat menyebut Andi sebagai pengkhianat.

Tidak berhenti sampai di situ, PDIP melanjutkan kemarahannya dengan mewacanakan penggunaan Hak Angket DPR ketika Presiden membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai kepala Polri. Perilaku politik PDIP seperti ini dinilai aneh oleh banyak kalangan. PDIP justru menjadi oposisi yang jauh lebih galak dibanding partai-partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR. 

Momentum kekecewaan terhadap Presiden dan kabinet pun mencapai puncaknya ketika harga kebutuhan pokok merangkak naik akibat kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak pada November 2014. Masyarakat juga merasa tidak nyaman karena harga BBM yang berubah-ubah sering mengacaukan tarif jasa angkutan.

Ekspresi kekecewaan terhadap pemerintahan Presiden Jokowi-Wakil Presiden Jusuf Kalla itu akhirnya terefleksikan pada hasil survei yang mengukur kepuasan publik. Survei dilaksanakan ketika pemerintahan sekarang ini genap berjalan enam bulan. 

Perkuat Tim Ekonomi 

Survei Poltracking yang dilaksanakan pada 23-31 Maret 2015 menyebutkan 48,5% publik menyatakan tidak puas pada kinerja pemerintahan. Di bidang ekonomi, publik tidak puas karena melambungnya harga bahan pokok, gas, listrik, serta naik-turun harga bahan bakar minyak (BBM). Sekitar 52,2% publik kurang puas dan 14,4% publik sangat tidak puas. 

Ketidakpuasan di bidang hukum disebabkan oleh praktik korupsi yang masih marak dan disharmoni antara KPK dan Polri. Tingginya ketidakpuasan di bidang keamanan disebabkan maraknya aksi begal dan perampokan akhir-akhir ini.

Ketika kepada responden ditanyakan tentang urgensi perombakan kabinet, survei Poltracking mendapat  jawaban yang cukup mengejutkan. Sebesar 41,8% publik setuju dilakukan reshuffle kabinet. Gayung pun bersambut. Menggunakan hasil survei itu sebagai pijakan, Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Bidang Pemerintahan Ahmad Basarah menegaskan bahwa reshuffle kabinet perlu dilakukan dan sulit dihindari ketika tingkat kepuasan publik pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla rendah. Tercukupilah alasan untuk menggoreng isu reshuffle kabinet. 

Apalagi, PDIP sudah membahas reshuffle kabinet itu dalam Kongres PDIP di Bali baru-baru ini. Alasan utamanya adalah soliditas pemerintahan yang masih mengkhawatirkan. Ada

88

menteri atau pejabat setingkat menteri yang ditengarai menjalankan agenda tersembunyi. Beberapa nama menteri sudah diidentifikasi kinerjanya oleh PDIP. 

Pada saatnya PDIP sebagai partai pengusung akan memberi masukan kepada Presiden soal figur menteri yang patut di-reshuffle. Masa depan karier Budi Gunawan mulai dimasukkan sebagai faktor pendorong reshuffle kabinet.

Sebenarnya, kubu KMP sudah menangkap sinyal reshuffle kabinet itu sejak Januari 2015. Bukan dari siapa-siapa, melainkan langsung dari Presiden Jokowi. Dalam pertemuan dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Anis Matta di Istana Negara maupun Istana Bogor, Presiden Jokowi sudah menawarkan kursi menteri. Dengan mengajukan tawaran itu, Presiden memang sudah merencanakan reshuffle kabinet. Kalau tak ada rencana reshuffle, Presiden tak mungkin mengajukan tawaran itu. Namun, tawaran itu ditolak tiga ketua umum partai itu untuk menjaga eksistensi KMP di DPR.

Memang, ada urgensi bagi Presiden untuk melakukan reshuffle kabinet. Presiden harus ekstra hati-hati dalam menyikapi aspirasi publik tentang harga kebutuhan pokok. Tinggi-rendahnya popularitas pemimpin pemerintahan sedikit-banyak ditentukan oleh faktor yang satu ini. Karena itu, Presiden sebaiknya membentuk tim ekonomi yang kuat. Selain fokus pada proyek-proyek besar di bidang infrastruktur, tim ekonomi itu juga secara konsisten harus peduli pada isu kebutuhan pokok.

Presiden Jokowi telah mengubah kebijakan subsidi energi. Perubahan mendasar yang dampaknya langsung dirasakan rakyat adalah membiarkan harga eceran bahan bakar minyak (BBM) dibentuk seturut mekanisme pasar. Harga BBM turun-naik tanpa disosialisasikan. Dampaknya sangat luas dan strategis karena menyentuh harga kebutuhan pokok dan tarif jasa angkutan. Harga dan tarif bisa turun-naik kapan saja. 

Dalam situasi seperti itu, pemerintah tidak boleh diam saja. Pemerintah sebagai regulator harus hadir di pasar untuk menstimulus harga dan pasokan agar segala sesuatunya terkendali dan terjangkau oleh rakyat kebanyakan. Itulah pekerjaan besar yang harus selalu diantisipasi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah di semua provinsi. Konsekuensinya, harus ada koordinasi berkesinambungan antara tim ekonomi di Kabinet Kerja dan semua pemerintahan provinsi.

Dalam agenda reshuffle kabinet, Presiden Jokowi hendaknya mempertimbangkan pentingnya sebuah tim ekonomi yang mampu mengamankan kebutuhan pokok rakyat. Mengelola persoalan yang satu ini makin rumit. Rakyat hanya minta agar pemerintah sebagai regulator harus responsif. Pemerintah harus lebih sensitif terhadap ketidaknyamanan rakyat akibat lonjakan harga kebutuhan pokok. 

Kita tidak ingin pemerintahan Jokowi ini hanya melahirkan republik komedi dengan kebijakan lucu-lucuan dan sembrono. Serta, Presiden yang kewenangan sudah terdiskon habis

89

karena stigma petugas partai menjadi hanya setengah presiden.

BAMBANG SOESATYOSekretaris Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi III DPR RI/Presidium Nasional KAHMI dan Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

90

Jangan Khawatir, Dokter

Koran SINDO

2 Mei 2015

Ketika 20 April 2015 yang lalu Mahkamah Konstitusi (MK) memutus bahwa dokter bisa diajukan ke pengadilan pidana tanpa harus menunggu pemeriksaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), beberapa dokter mempersoalkan dan menyatakan kekhawatirannya. 

Kata mereka, dokter wajib menolong setiap orang sakit dan dalam memberi pertolongan itu bisa saja terjadi akibat yang tidak diinginkan, yaitu gagal menolong. Misalnya, ada pasien yang meninggal atau lumpuh seumur hidup. Putusan MK itu, menurut mereka, bisa menghadapkan dokter pada situasi dilematis. Pada satu sisi dokter harus melakukan tindakan sebisanya secara cepat, tapi pada sisi lain dokter takut dihukum karena gagal menolong. 

Dokter bercuit panjang ke akun Twitter saya, menyatakan kekhawatiran dan menanyakan duduk soalnya. Mengapa dokter bisa langsung diadili karena melaksanakan tugasnya? Bukankah lebih tepat diperiksa dulu oleh MKDKI agar bisa diketahui benar atau tidaknya sang dokter melakukan pelanggaran dan bersalah? Bagaimana jika hakim yang bukan dokter salah memahami dan menilai? 

Apakah profesi lain bisa dipidanakan tanpa pemeriksaan dan keputusan lebih dulu dari dewan kehormatan profesinya? Apakah hakim atau penegak hukumnya lainnya bisa diadili juga karena kesalahannya dalam menangani perkara?

Tanggal 26 April 2015 lalu saya bertemu dengan Dokter Yadi, ahli bedah kanker payudara, di Hotel Pullman, Surabaya yang sedang menghadiri kongres organisasi profesinya. Dokter muda ini pun mengemukakan kegundahannya. “Bayangkan Prof, orang seperti saya ini setiap hari menangani sekitar 50 pasien. Saya pasti selalu berhati-hati, tetapi karena lelah bisa saja terjadi sesuatu pada pasien tanpa disengaja. Apakah kami ini harus diadili?” tanyanya. 

Kepada Dokter Pukovisa dan Dokter Yadi itu dijelaskan hal yang sama. Proses hukum, termasuk peradilan pidana, merupakan proses yang terpisah dari proses “peradilan” etika atau profesi. Keduanya bisa berjalan sendiri-sendiri, yang satu boleh lebih cepat atau lebih belakangan daripada yang lain. Bisa juga dilakukan secara bersamaan (simultan) tetapi tetap tidak berkaitan. 

Sanksinya pun, jika terbukti bersalah, adalah berbeda. Sanksi pada peradilan pidana adalah sanksi pidana seperti pemenjaraan, denda dan/atau pencabutan hak-hak tertentu. Sedangkan pada peradilan profesi jika terbukti seorang dokter melakukan pelanggaran atas etika

91

profesinya adalah teguran, skors, larangan berpraktik, dan sebagainya. 

Berjalannya dua proses, peradilan pidana dan pemeriksaan oleh dewan etik atau kehormatan, berlaku untuk semua profesi. Ada pegawai negeri sipil (PNS) yang dijatuhi sanksi oleh Majelis Pertimbangan Pegawai bersamaan dengan pengajuannya ke pengadilan pidana. Ada wartawan yang dipecat dari profesinya sekaligus diadili. Ada juga yang hanya dipecat oleh dewan kehormatan, tapi tidak diadili secara pidana.

Tak perlulah ditanya, bagi penegak hukum berlaku hal yang sama. Ada hakim MK yang sudah dijadikan tersangka pidana korupsi oleh KPK tetapi pada saat yang sama proses pemeriksaan etika profesinya berjalan di Majelis Kehormatan. Yang bersangkutan diberhentikan berdasar keputusan Majelis Kehormatan sebelum pengadilan pidana menjatuhkan vonis. Tapi ada juga yang dijatuhi sanksi profesi setelah ada putusan pidana dengan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Lihat juga kasus pegawai Ditjen Pajak Gayus Tambunan yang spektakuler itu. Selain Gayus sendiri yang dihukum pidana dan dipecat sebagai PNS, para penegak hukum yaitu Hakim Ibrahim, Jaksa Cirus Sinaga, dua polisi, dan seorang pengacara yang pernah memainkan kasus Gayus, semua dijatuhi hukuman pidana dan dipecat dari profesinya.

Jadi, peradilan pidana dan “peradilan profesi” itu berjalan sendiri-sendiri, terpisah, meski kadang kala materi pemeriksaannya berhimpitan, bahkan sama. Kedua jalur itu juga tak saling membatalkan sehingga kalau tidak bersalah secara pidana bukan berati secara otomatis tidak bersalah secara profesi dan sebaliknya. Koreksi sanksi karena ada bukti baru dan penilaian lain juga harus melalui prosedurnya sendiri-sendiri. 

Pemisahan jalur dan prosedur peradilan antara hukum dan profesi ini penting agar setiap ada kesalahan segera bisa ditangani. Tak boleh ada pekerja profesi menolak diadili di pengadilan pidana dengan alasan belum diperiksa oleh dewan kehormatan profesinya; sebaliknya tak boleh ada juga pelaku profesi yang menolak diadili dan dijatuhi sanksi oleh dewan etik profesinya dengan alasan proses pidananya masih berlangsung. Peraturan itu berlaku di mana-mana.

Ketakutan para dokter untuk dipidanakan sering diajukan dengan pernyataan kekhawatiran bahwa mereka tidak bersalah melainkan hanya gagal menolong. Kepada Dokter Yadi dan Dokter Pukovisa, saya katakan dengan serius agar tidak takut kalau memang tak bersalah. Pengadilan pidana hanya akan menjatuhkan hukuman kepada terdakwa yang terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan. Salah satu dalil pokok yang selalu dipedomani dalam hukum peradilan pidana adalah “tidak ada hukuman tanpa kesalahan”. Seumpama salah pun hukum masih membedakan kesalahan atas kesengajaan dan kelalaian yang hukumannya juga berbeda. 

Jadi selama berhati-hati dan tidak sengaja berbuat salah, para dokter tak perlu takut untuk terus mengabdi bagi kemanusiaan. Dedikasikan bakti Anda pada negara, bangsa, dan rakyat

92

Indonesia. Indonesia berbangga memiliki putra-putri seperti Anda. 

MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi  

93

Efek Putusan Hakim Sarpin dan Dampak Putusan MK

Koran SINDO

4 Mei 2015

Belakangan ini telah terjadi kejutan signifikan dalam lapangan hukum pidana di Indonesia. Pertama, putusan hakim Sarpin dalam perkara praperadilan Budi Gunawan (BG) yang telah mengabulkan permohonan dan menetapkan KPK tidak berwenang memeriksa BG. Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 Oktober 2014 yang telah menetapkan bahwa penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk objek praperadilan.

Putusan MK tersebut telah membuktikan bahwa pertimbangan hakim Sarpin dalam memutus perkara praperadilan BG adalah benar adanya. Bahkan putusan tersebut dikuatkan dengan pertimbangan yang sama yaitu demi menjaga dan memelihara marwah Bab XA UUD 1945 bagi setiap orang di dalam wilayah hukum RI.

Saya sependapat sejak awal dengan hakim Sarpin. Alasannya karena pertimbangan praktik peradilan pidana sejak proses penyidikan sampai pada proses pemeriksaan di sidang peradilan sering terjadi ekses penyalahgunaan kekuasaan/wewenang di balik tafsir subjektif penyidik. Sehingga, hak dan martabat seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dirampas begitu saja tanpa ada pertimbangan kemanusiaan sedikit pun, hanya dengan dalih telah dipenuhinya unsur dua alat bukti permulaan yang cukup.

Pada kondisi tersebut tak ada kesempatan untuk menguji tafsir subjektif penyidik sejak awal sehingga seorang tersangka dalam praktik sering telah mengalami ”kematian perdata” tanpa daya dan upaya untuk memulihkannya. Bahkan telah terjadi stigmatisasi dan labelisasi sebagai koruptor yang tidak memiliki hak sosial dan ekonomi lagi di hadapan masyarakat. Tak tanggung-tanggung salah satu pimpinan KPK pernah menyatakan bahwa tersangka koruptor adalah sampah masyarakat dan ada tokoh masyarakat/intelektual yang mengklaim mayat seorang koruptor tidak perlu disembahyangkan. Audzubillahi Minzalik!

*** 

Putusan MK yang bersifat final dan mengikat harus dihormati karena ia lembaga di dalam konstitusi sekaligus menentukan arah politik perundang-undangan yang telah diuji dan diselaraskan dengan Konstitusi UUD 1945. 

Putusan MK tersebut melengkapi putusan hakim Sarpin yang mengembalikan marwah

94

pembentukan UU KUHAP Nomor 8 Tahun 1981 yang mengedepankan prinsip ”due process of law”, bukan ”the law of oppression” dengan tujuan menjaga dan memelihara hak asasi setiap tersangka/terdakwa dan terpidana dari kekuasaan yang represif yang dapat terjadi karena kekuasaan yang eksesif atau melampaui batas wewenang atau mencampuradukkan wewenang atau bertindak sewenang-wenang (Pasal 17 UU AP 2014). 

Ketika warga negara berhadapan dengan kekuasaan (negara) maka yang harus dikedepankan bukan hanya kepentingan negara an sich, melainkan keseimbangan dan kesetaraan yang berdasarkan prinsip proporsionalitas dan subsidiaritas dalam memperlakukan setiap perkara pidana tanpa dilatarbelakangi oleh status sosial, etnis, agama, dan politik golongan. 

Efek putusan hakim Sarpin dan putusan MK dalam proses beracara perkara pidana adalah setiap langkah penyidik harus sangat ekstrahati-hati dalam menetapkan perubahan status setiap orang menjadi tersangka, dalam melaksanakan penggeledahan dan penyitaan, dan juga keempat alasan sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 77 KUHAP. 

Di negara modern termasuk di negara penganut sistem hukum common law, hak asasi tersangka sangat dilindungi terlepas dari keluhan penyidik yang selalu beranggapan sebagai hambatan penegakan hukum. Bahkan sanksi pelanggaran kode etik dan pemecatan menanti terhadap penyidik yang telah melanggar hak-hak asasi setiap warga dalam proses penegakan hukum.

***

Putusan MK tak pelak mengundang berbagai ragam pendapat dan termasuk dari KPK yang menyatakan menghormati putusan tersebut. Ada juga beberapa ahli hukum di media sosial yang mengkritik putusan tersebut dan tidak puas dengan alasan dapat menghambat proses penegakan hukum dan ”menguntungkan koruptor”(?). 

Apa pun keluhan, kritik, dan ketidakpuasan terhadap putusan MK tersebut, kenyataan putusan bersifat final dan mengikat dan terlepas dari alasan tersebut harus dilaksanakan dan ditaati oleh setiap hakim praperadilan.

Putusan MK tersebut mengakhiri perdebatan dan kritik terhadap putusan hakim Sarpin yang dinilai bodoh dan sesat oleh beberapa kalangan ahli hukum. Tentunya dengan tujuh hakim, termasuk satu hakim konkuren dan dua hakim MK dissenting, semakin terbukti bahwa telah delapan hakim (termasuk hakim Sarpin) yang membenarkan dan menguatkan putusan praperadilan dalam perkara BG. Lalu pertanyaannya, di mana letak kebodohan dan penyesatan putusan hakim Sarpin?

*** 

Kehidupan hukum di suatu negara selalu mengikuti perkembangan sosial dan ekonomi, bahkan teknologi sehingga teramat naif jika kalangan ahli hukum selalu apriori dan

95

memegang teguh ajaran legalisme abad ke-18 yang disebut sinis oleh John Henry Merryman (2007) sebagai aliran fundamentalisme hukum pidana. 

Sejak awal mempelajari pengantar ilmu hukum telah diajarkan bahwa hukum selalu tertinggal dari perkembangan masyarakatnya sehingga nilai keadilan di balik hukum juga mengalami perkembangan. Jika pada abad ke-18 nilai keadilan hukum pidana terletak pada asas Talionis yang bersumber pada pandangan felific-calculus Bentham, pasca-Deklarasi PBB tentang HAM Universal (1948) dan perubahan keempat UUD 1945 d Indonesia, nilai keadilan seharusnya berdasarkan nilai HAM itu bukan yang abad ke-18 sana. 

Nilai keadilan hukum dalam sistem hukum di dalam sistem hukum di mana pun terletak pada pundak hakim; diakui dalam sistem kekuasaan kehakiman yang independen dan imparsial vide Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman. 

Jika para intelektual hukum mengikuti perkembangan zaman dan memahami mengapa dan untuk tujuan apa terjadinya perkembangan pergeseran nilai di balik perkembangan hukum pidana, tentunya putusan hakim Sarpin yang dikuatkan oleh putusan MK merupakan satu-satunya jawaban atas pengelolaan kekuasaan (negara) di lapangan hukum pidana terhadap ekses penyalahgunaan kekuasaan negara di masa yang akan datang. Semua orang akan semakin terlindungi dari penyalahgunaan wewenang oleh kekuasaan.

ROMLI ATMASASMITAGuru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

96

Waspada terhadap Poskriminalitas

Koran SINDO

5 Mei 2015

   

Berita-berita tentang kriminalisasi komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non-aktif, terus menghiasi media, baik koran maupun televisi. Kita lihat kabar tentang Ketua non-aktif KPK, Abraham Samad, urung ditahan oleh Polda Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar), setelah menjalani pemeriksaan pada Selasa (28/04). Ada juga penyidik KPK Novel Baswedan yang sempat ditahan polisi. Kita paham, pada hari yang sama, eksekusi hukuman mati kasus narkoba dilaksanakan di Nusakambangan. Kedua kasus tersebut potensial memunculkan kegaduhan sosial, tingkat nasional sampai internasional.

Beberapa waktu berselang, pelantikan Wakapolri Komjen Pol Budi Gunawan, vonis nenek Asyani, dan pelimpahan kasus komisioner KPK non-aktif Bambang Widjojanto ke Kejagung berlangsung dalam waktu berdekatan. Semula ada kabar, BW mau ditahan, walaupun akhirnya diurungkan. 

Demi waktu, dipertanyakan apakah benar penanganan kasus-kasus tersebut secara kebetulan saja berlangsung pada saat berdekatan, ataukah ada rekayasa demikian? Sulit menemukan dasar pembenaran ataupun penyangkalannya. Demi waktu, ada pengalaman di era Orde Baru, para aktivis paham benar ketika jadwal ujian semester tiba, justru pada saat demikian ada kebijakan non-populis, misal kenaikan harga BBM. Layak diyakini bahwa hal demikian dengan perhitungan, para aktivis tidak punya waktu, tenaga, apalagi pikiran untuk mengkritisi kebijakan tersebut melalui demo-demo di tempat umum, jalan-jalan utama dan kantor-kantor pemerintah.

Berdasarkan pengalaman, kasus-kasus yang diduga berdampak sosial tinggi bagi stabilitas politik dan keamanan, umumnya ada rekayasa waktu. Bagi rezim penguasa, rekayasa waktu itu penting, agar ”biaya sosial” (kegaduhan, demo-demo, protes) dapat ditekan serendah mungkin. 

Demi waktu, ada informasi bahwa beberapa media, telah ”dibeli” atau ”ditekan” oleh rezim penguasa sehingga hanya memberitakan hal-hal yang sesuai dengan kepentingan penguasa. Informasi dan opini yang mendiskreditkan penguasa wajib ditolak, setidaknya perlu ”dipelintir”. Penguasa dimaksud, dapat pemerintah, bos-bos pengusaha, ataupun institusi keamanan. 

Sungguh amat disayangkan apabila kabar ini benar adanya. Sangat disadari bahwa peran dan kekuatan media dalam membangun bangsa sangat besar dan strategis. Akan tetapi, sama

97

besar dan strategisnya pula, media dapat menjadi predator, mesin perusak bangsa, bila telah kehilangan komitmen kebangsaan, dan hanya berkiblat demi keuntungan finansial.

Demi waktu, berbagai rangkaian peristiwa bergayut satu dengan lainnya, masing-masing memiliki keunikan. Mestinya, semua itu menjadi pelajaran berharga, agar perjalanan hidup dan kehidupan suatu bangsa tidak jatuh untuk kedua kali, sebaliknya justru menjadikan kita semakin arif dan bijak.

Disadari atau tidak, kita telah masuk dan terjebak ke dalam era postmodern. Pada era ini, marak bermunculan poskriminalitas. Apa itu? 

Maraknya kejahatan dalam bentuk simulasi, pura-pura, imitasi, yang sengaja direkayasa oleh oknum penguasa, dengan mendayagunakan media, uang, teknologi, kekuatan, dan kekuasaan, sehingga publik terkecoh, dikiranya kriminalitas yang ditayangkan secara masif dan sistemis itu sebagai kejahatan yang otentik dan utuh, padahal hanya manipulasi dan reduksi belaka.

Begitu masif dan intensnya manipulasi dan reduksi pemberitaan, maka kejahatan lain yang justru lebih parah dan lebih besar, menjadi tersingkirkan dari ingatan publik. Dalam bahasa awam, ada rekayasa pengalihan perhatian dan sekaligus pembodohan publik. 

***

Sebagaimana terjadi di banyak negara, Indonesia pun mempunyai periode kelam perihal poskriminalitas. Jika Amerika punya American Civil War (1861-1865), Jerman punya holocaust, maka Indonesia punya peristiwa Mei 1998, Petrus, Malari, Tanjung Priok, kasus Cicak versus buaya, dan lain-lain.

Entah kebetulan ataukah merupakan penanda utama bahwa oknum-oknum penguasa pada negara-negara tersebut berusaha mengelola waktu dalam rangka menghapus rekam jejak kejahatannya di era masing-masing. Upaya-upaya dilakukan, mulai dari menyewa public relations profesional, mengubah isi buku sejarah, hingga membungkam para aktivis hak asasi manusia (HAM), memberangus media. Semua dilakukan demi menyembunyikan kejahatan dan melanggengkan kekuasaan.

Bila dicermati seksama, di era Orde Reformasi ini, dengan dalih demokrasi dan penegakan HAM, ada kecenderungan poskriminalitas semakin subur, berkembang, merebak, menari-nari, dan mendapatkan pembenaran melalui pencitraan penguasa. 

Pencermatan terhadap poskriminalitas tersebut sulit dilakukan manakala mindset bangsa masih linier, polos, positivistis, bahwa penguasa itu pasti pemimpin, pasti pengayom, pasti adil, pasti berbuat untuk rakyat. Kalau mindset bangsa demikian, maka ujungnya dipastikan kecele, berlanjut kecewa, dan akhirnya depresi. Maka, jangan terkecoh pernyataan politis, maupun pidato-pidato penguasa ”palsu”. Jauh panggang dari api, antara ucapan, tingkah laku dan kebenaran.

98

Ingat, dalam perspektif teologis, waktu berasal dari kata “waqt” (bahasa Arab), artinya batas akhir dari masa yang seharusnya digunakan untuk beraktivitas. Waktu, adalah modal utama, kesempatan pertama, anugerah Tuhan untuk mengisi hidup dan kehidupan. Dengan demikian, waktu, mestinya digunakan untuk beraktivitas, bekerja, beramal, secara sungguh-sungguh, dengan mendayagunakan kalbu, akal, dan keterampilannya, sehingga berbuah kebajikan. Itulah amal saleh. Pada orang-orang yang mampu menggunakan waktu dengan efektif akan terhindar dari kerugian, kesesatan, dan kesalahan.

Benar bahwa poskriminalitas tidak sepenuhnya fiksi. Dalam banyak kasus, di dalamnya ada pula fakta-fakta hukum atau bukti kejahatan, misal: kesalahan administrasi, potensi kerugian keuangan negara, pemalsuan dokumen, dan sebagainya, akan tetapi fakta-fakta hukum itu dikemas sedemikian rupa sehingga tidak merepresentasikan secara otentik dan utuh kesalahan atau kebenarannya. Fakta-fakta diolah, dipilah-pilah, dan dipilih yang cocok untuk mengamini kehendak penguasa. 

Silakan dicermati fakta-fakta hukum kasus ketua KPK non-aktif AS, kasus komisioner non-aktif BW, kasus nenek Asyani, dan kasus-kasus penggiat anti-korupsi. Benarkah, otentikkah, dan utuhkah? Ataukah merupakan bagian dari ”bungkus” kejahatan untuk menangkal reaksi publik atas kejahatan oknum penguasa? Wallahualam. 

PROF DR SUDJITO SH MSi Guru Besar Ilmu Hukum UGM

99

Polri Mengalah, Kisruh Polri-KPK Reda

Koran SINDO

6 Mei 2015

 

Menangguhkan penahanan sambil terus melakukan proses hukum atas kasus yang dituduhkan kepada Novel Baswedan, sekali lagi, menjadi jalan tengah atau opsi terbaik bagi Polri dan pemerintah. 

Berkat kemauan Polri menahan diri alias mengalah, republik ini diharapkan makin kondusif. Entah seperti apa jadinya suasana di negara ini seandainya Bareskrim Mabes Polri tetap pada pendiriannya, menahan Novel Baswedan, penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu. Suasana pasti akan sangat bising karena munculnya pro-kontra atas langkah Polri menahan Novel kendati sesuai dengan prosedur hukum. Publik akan frustrasi karena harus menyaksikan lagi kisruh Polri versus KPK. Kepercayaan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Wapres Jusuf Kalla (JK) bisa ambruk ke titik terendah karena publik akan menilai dua pemimpin tidak mampu mengontrol dan mengendalikan dua institusi itu.

Kisruh Polri versus KPK sebelumnya masih segar dalam ingatan publik. Apalagi, beberapa hari sebelum penangkapan Novel, publik juga menyimak berita tentang Ketua KPK (non-aktif) Abraham Samad yang sempat juga akan ditahan kepolisian di Sulawesi. Kalau pada kasus Novel tidak diambil jalan tengah, persepsi sebagian publik di negara ini terhadap pemerintah pasti akan memburuk.

Kredibilitas pemerintah praktis tertolong setelah Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti sepakat menangguhkan penahanan Novel Baswedan, dengan jaminan lima pemimpin KPK. Namun, juga disepakati bahwa proses hukum kasus Novel akan berlanjut hingga dituntaskan di pengadilan. “Kesepakatannya diproses sampai ke pengadilan,” kata Badrodin saat jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta, Sabtu (2/5).

Jalan tengah ini tantangan yang menarik, baik bagi Bareskrim Mabes Polri maupun bagi Novel Baswedan. Bagi Polri, tantangannya tak lain adalah membuktikan apa yang dituduhkan kepada Novel memang mengandung kebenaran, yang sudah barang tentu harus didukung dengan bukti-bukti yang memadai. Tentu saja Polri juga harus bisa menghadirkan saksi pelapor dan saksi-saksi lain yang diperlukan.

Sebaliknya, Novel Baswedan sudah menegaskan kesiapannya menjalani proses hukum agar kasusnya tuntas. “Pada dasarnya, saya ingin semua ini diselesaikan dengan tuntas. Apa pun langkah yang akan ditempuh, saya siap menghadapi,” tegas Novel pada konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (2/5). 

100

Novel merupakan tersangka kasus dugaan penganiayaan terhadap pelaku pencurian sarang burung walet. Perkara ini terjadi pada 18 Februari 2004 di Pantai Panjang Ujung Kota Bengkulu. Dalam peristiwa itu, polisi menangkap enam pencuri sarang burung walet. Setelah diinterogasi, terjadi penembakan yang menyebabkan satu orang tewas. Novel saat itu berpangkat inspektur satu (iptu) dan menjabat Kasat Reskrim Polres Bengkulu. Dia dinilai bertanggung jawab atas penembakan itu. Kasus ini dilaporkan oleh Yogi Hariyanto.

Pada Oktober 2012, Direskrimum Polda Bengkulu Kombes Dedi Irianto bersama sejumlah petugas dari Polda Bengkulu dan Polda Metro Jaya pernah mendatangi KPK untuk menangkap Novel. Upaya itu gagal berkat imbauan Presiden SBY. Belakangan kasus itu harus diproses lagi agar tidak kedaluwarsa dan dapat dibuktikan secara hukum.

Sebelum ditangkap, Novel dua kali mangkir dari panggilan pemeriksaan. Karena dinilai tidak kooperatif itulah, penyidik Bareskrim Mabes Polri menciduk Novel di rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat (1/5) dini hari. Dia kemudian ditahan di Mako Brimob Depok. Surat penangkapan Novel bernomor SP.Kap/19/IV/2015/ Dittipidum yang memuat perintah Bareskrim untuk membawa Novel Baswedan ke kantor polisi untuk segera dilakukan pemeriksaan karena Novel diduga keras bertanggung jawab atas penganiayaan yang mengakibatkan luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 ayat (2) KUHP dan atau Pasal 422 KUHP jo Pasal 52 KUHP.

Momentum Harmonisasi 

Baik kesepakatan penangguhan penahanan Novel maupun kesepakatan melanjutkan proses hukum kasus yang dituduhkan itu hingga ke pengadilan merupakan jalan tengah yang harus dipilih Polri. Pilihan ini respons Polri atas permintaan (untuk tidak mengatakan intervensi) Presiden Jokowi agar institusi negara tidak lagi membuat langkah-langkah yang kontroversial karena kontroversi seringkali menimbulkan ketidakpastian. Saat ini, ketika perekonomian nasional sedang mengalami pelambatan, dibutuhkan suasana kondusif agar pemulihan bisa terwujud.

Selain itu, dua kesepakatan tersebut juga memungkinkan penuntasan kasus dimaksud berjalan lebih fair. Kesan siapa kalah dan siapa menang hilang dengan sendirinya. Mekanisme pengadilanlah yang akan memastikan siapa yang salah dan siapa yang benar. Karena itulah, dua kesepakatan itu patut diterima sebagai tantangan yang cukup menarik bagi masing-masing pihak.

Posisi Polri memang cukup dilematis. Kalau kasus Novel tidak segera ditindaklanjuti hingga berstatus kedaluwarsa, Polri akan dipersalahkan oleh korban atau pihak lain yang merasa dirugikan dalam kasus itu. Polri bahkan bisa dituntut oleh para korban atau keluarga mereka. 

Sebaliknya, jika dalam situasi sekarang ini Polri maju terus menangani kasus tersebut sesuai standar prosedur operasi, persepsi publik bisa negatif. Apalagi, usia kasus itu sudah sangat lama. Polri bisa dinilai tidak mendukung upaya pemerintah memperbarui sinergi penegakan

101

hukum antarinstitusi penegak hukum yang sempat menimbulkan keragu-raguan publik akibat kisruh Polri dengan KPK belum lama ini. 

Karena itu, penangguhan penahanan Novel bisa dimaknai sebagai niat baik dan kesungguhan Polri mendukung pemerintah. Sikap sebagian publik yang semula sempat gusar bisa berbalik menjadi simpati kepada Polri. Apalagi, jika Polri bisa tampil menjadi pemenang di pengadilan kasus Novel nanti.

Dua kesepakatan itu juga bisa menjadi momentum pemulihan hubungan dan kerja sama Polri dengan KPK. Syaratnya sederhana saja, Polri dan Novel bersama KPK harus kooperatif menyelesaikan kasus ini. Selain itu, proses hukumnya juga harus dibuat transparan agar publik bisa memahami persoalan secara jernih. Transparansi akan menghilangkan prasangka buruk serta menghilangkan kesan ada tebang pilih dalam penegakan hukum. Kalau ihwal ini bisa terlaksana, publik akan memberi apresiasi kepada Polri, KPK, maupun pemerintah. 

Aspek lain yang menarik disimak dari kasus yang terakhir ini adalah gambaran belum tuntasnya konsolidasi pemerintahan Presiden Jokowi-Wapres JK. Nyaris berulangnya kisruh Polri dengan KPK itu menimbulkan pertanyaan seputar kapabilitas dua pemimpin mengendalikan institusi negara. Muncul kesan bahwa dua pemimpin tampaknya masih harus bersusah payah untuk sekadar mewujudkan harmoni antara Polri dan KPK. 

Kemudian, Presiden dan Wapres juga nyaris memperkuat kesan itu. Banyak orang harus dan terpaksa mengernyitkan dahi ketika Presiden Jokowi dan Wapres JK berbeda dalam menyikapi kasus penangkapan dan penahanan Novel Baswedan oleh Polri. Presiden minta agar Novel tak harus ditahan, Wapres justru membuat pernyataan bernuansa bisa memaklumi langkah Polri. 

Sudah barang tentu perbedaan sikap ini tak hanya menyedot perhatian publik, tapi juga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang sangat spekulatif. Kalau perbedaan seperti ini terjadi berulang-ulang, Presiden dan Wapres justru menjadi sumber ketidakpastian itu sendiri.

Semoga, insiden seperti itu tidak terjadi lagi. Karena itu, sangat penting bagi Presiden dan Wapres merampungkan konsolidasi pemerintahan sekarang ini. 

BAMBANG SOESATYO Sekretaris Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi III DPR RI

102

Normalisasi AS-Kuba

Koran SINDO

6 Mei 2015

 

Diplomasi medis adalah salah satu pendekatan yang dilancarkan Pemerintah Kuba terhadap dunia. 

Dunia telah mengenal para dokter dan tenaga kesehatan Kuba sebagai pasukan medis yang dapat diandalkan dalam menangani masalah yang terkait dengan bencana. Dalam tsunami di Aceh 2004, Kuba mengirimkan 25 dokter, kemudian saat gempa di Yogyakarta 2006 dikirimkannya ratusan tenaga kesehatan. Kuba juga mengirimkan 165 dokter ke Sierra Leone dan 296 dokter ke Liberia dan Guinea saat kasus ebola meledak.

Kuba adalah negara yang paling banyak mengirimkan dokter dan paling cepat dari siapa pun di dunia ini. Total tenaga medis yang dikirim lebih dari 50.000 orang di 66 negara. Pendekatan soft-diplomacy ini yang mampu membuat citra Kuba tetap bersinar bersih di panggung politik internasional walaupun telah diisolasi selama lebih dari 50 tahun oleh politik Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Diplomasi itu yang membedakannya dengan pendekatan negara sosialis lain seperti Korea Utara yang lebih mengedepankan pendekatan diplomasi keras dan konfrontatif terhadap negara-negara Barat.

***

Hasil langsung yang diterima dari pendekatan diplomasi yang tak kenal lelah ini adalah normalisasi hubungan AS dengan Kuba yang dilakukan pada 17 Desember 2014, yakni antara Presiden Barack Obama dan Presiden Raul Castro. Barack Obama dalam Konferensi Tingkat Tinggi Negara-Negara Amerika Latin yang baru pertama kali diikuti Kuba setelah absen 20 tahun mengatakan bahwa AS tidak akan dipenjarakan oleh masa lalu. AS mencari masa depan. Dengan nada sedikit bercanda, Presiden Obama mengatakan bahwa dirinya tidak tertarik untuk terlibat dalam pertarungan yang dimulai bahkan sebelum ia lahir. 

Pendapatnya itu merujuk pada kebijakan embargo yang dilancarkan kepada Kuba mulai tahun 1960 oleh AS dan diikuti sekutu mereka di Eropa. Sejak tahun itu, kebijakan embargo tidak pernah kendur, bahkan terus-menerus diperketat setiap tahunnya melalui Cuba Democracy Act 1992 dan Helm-Burton Act 1996. Helm-Burton Act menandai embargo ekonomi atas Kuba. Sementara Cuba Democracy Act memuat tiga larangan penting, yaitu pelarangan perusahaan-perusahaan Amerika melakukan transaksi dagang dengan Kuba, pelarangan warga negara AS untuk berkunjung ke Kuba, dan pelarangan untuk mengirimkan remitansi ke Kuba.

103

Undang-undang itu dan peraturan lain adalah pekerjaan rumah yang harus dihadapi Barack Obama ketika membuka normalisasi hubungan dengan Kuba. Sebab saat ini kongres didominasi kekuatan Partai Republik. Normalisasi hubungan AS dan Kuba mensyaratkan amendemen beberapa peraturan yang dianggap terlalu ketat dan tidak mencerminkan semangat normalisasi tersebut.

Partai Republik sudah jauh-jauh hari mengatakan akan siap menghadang kebijakan luar negeri Obama tersebut. Senator Marco Rubio mengatakan perubahan (normalisasi) akan melegitimasi pemerintahan yang tanpa rasa malu telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan tidak membantu mereka yang hak asasinya telah dilanggar. Serangan serupa mungkin akan dialami seperti halnya kesepahaman pembicaraan dengan Iran mengenai nuklir.

Di Kuba, normalisasi juga mengandung implikasi reformasi politik dan ekonomi. Salah satu langkah untuk menunjukkan niat baik itu adalah dengan melepaskan Alan Gross yang telah ditahan selama lima tahun oleh Pemerintah Kuba atas tuduhan melakukan kegiatan mata-mata pada bulan Desember tahun lalu.

Sementara Obama pada bulan April telah mengusulkan ke Kongres agar Kuba dihapus dari daftar negara pendukung terorisme. Kuba masuk dalam daftar itu sejak 1982 karena dianggap memberikan pelatihan kepada pemberontak. Langkah lain adalah melonggarkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang menghambat akumulasi modal dan membuat kebijakan anti-korupsi untuk meyakinkan investor agar datang ke Kuba. Hal ini adalah pekerjaan yang juga sulit karena Pemerintah Kuba perlu mempertimbangkan sektor-sektor mana yang perlu diliberalisasi dan mana yang masih perlu diproteksi. 

Masalah HAM dan demokrasi mungkin adalah reformasi yang belum bisa dibayangkan. Sistem politik Kuba yang menganut sistem satu partai seperti halnya Cina diramalkan akan mengalami reformasi secara perlahan-lahan ketimbang radikal. Reformasi ini bukan sesuatu yang dapat dihindarkan karena Raul Castro telah berumur 83 tahun. Oleh sebab itu dia telah mengumumkan untuk mengakhiri kekuasaannya pada 2018. 

Namun mengharapkan Kuba mengubah sistem politiknya saat ini adalah sesuatu yang jauh dalam bayangan mereka. Castro mengatakan dia dipilih sebagai presiden bukan untuk meletakkan sistem kapitalisme ke Kuba, tetapi untuk mempertahankan, menjaga, dan melanjutkan sistem sosialisme serta tidak untuk menghancurkannya. Pernyataan yang tegas itu sekaligus menjadi koridor tentang hal-hal apa saja yang dapat dilakukan dan tidak bisa dilakukan dalam proses normalisasi hubungan Kuba dengan dunia Barat.

***

Apa yang menarik dari normalisasi hubungan ini adalah kecenderungan negara-negara besar yang umumnya mengedepankan pendekatan keras telah berubah menjadi pendekatan yang lebih lunak. Di kawasan Amerika Latin dan Asia, perubahan tersebut lebih terasa ketimbang

104

di Timur Tengah. Faktor yang mendorong perubahan itu tidak semata-mata kesadaran subjektif politik, tetapi juga pertimbangan objektif ekonomis, yaitu AS dan Eropa perlu mencari lahan-lahan pasar baru yang selama ini mereka tinggalkan karena perbedaan politik peninggalan perang dingin. Lahan-lahan itu selama ini lebih banyak ”digarap” negara-negara yang tidak segaris politik dengan mereka seperti di kawasan Amerika Latin sendiri ataupun Cina. 

Kuba juga perlu membuka diri karena perekonomian mereka tidak cukup kuat ketika hanya menggantungkan diri kepada sekutu tradisional yang memiliki aliran politik sosialis seperti Venezuela atau Bolivia. Kuba merasa bahwa ketidakstabilan politik di Venezuela juga akan berdampak langsung pada perekonomian mereka. Karena itu, sejak 2014 Kuba telah mendiversifikasi hubungan ekonominya dengan Brasil, Rusia, Cina, dan Afrika Selatan. Diversifikasi itu pun belum cukup karena Rusia dan Brasil juga mengalami ketidakstabilan ekonomi di dalam negeri sehingga mendorong Kuba untuk melebarkan sayap lebih lebar lagi ke negara-negara lain.

Bagi kita di Indonesia, alasan-alasan yang melatarbelakangi normalisasi hubungan antara AS dan Kuba menjadi pelajaran yang berharga dalam mengelola hubungan diplomasi dengan negara-negara di kawasan. AS dan Kuba sama-sama mempelajari bahwa ketergantungan dengan satu kawasan apalagi dengan satu negara sangat rentan seiring dengan pasar ekonomi yang bergerak cepat turun dan naik. Satu negara dapat kuat di satu waktu, tetapi dapat juga jatuh dengan cepat di waktu yang lain. 

Untuk mengantisipasi hal itu, tugas diplomasi kita harus semakin hebat dalam arti tetap merawat hubungan baik dengan banyak negara tanpa mengorbankan kedaulatan atau kepentingan masyarakat banyak. 

DINNA WISNU, PhD Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu

105

Melawan Gerontokrasi

Koran SINDO

6 Mei 2015       

Dunia politik kita didominasi oleh para politisi sepuh yang kian enggan lengser keprabon. Mereka enggan memberikan kesempatan regenerasi politik. 

Kita terjangkit penyakit politik bernama gerontokrasi yang dulu pernah menyerang Prancis pada abad ke-19. Secara sederhana gerontokrasi (Inggris: gerontocracy; Prancis: gerontrocatie) dapat diartikan sebagai kekuasaan politik yang didominasi dan dikontrol oleh orang-orang lanjut usia.

“Gerontokrasi” baru muncul sebagai kosakata dalam ilmu sosial-politik setelah Jean-Jacques Fazy menerbitkan artikel pada sebuah pamflet politik pada 1828. Tulisan Fazy yang terbit di Paris tersebut berjudul “On Gerontocracy, or the Abuse of the Wisdom of Old Men in French Government”.

Artikel Fazy secara spesifik mengkritisi dinamika politik Prancis yang memicu “Revolusi Juli” pada 1830. Ketika itu, demi stabilitas politik, orang tua mengontrol pemerintahan secara legal dengan menerapkan ambang usia untuk menjadi pejabat publik. Misalkan, seorang yang akan menjadi deputy minimal harus berusia 40 tahun. Bahkan, hak pilih hanya dimiliki secara eksklusif bagi “orang dewasa” berusia di atas 30 tahun. Walhasil, kekuasaan politik dikangkangi oleh para manula yang pada gilirannya, menurut Fazy, menjadi sumber segala kesusahan dan komplikasi kehidupan di Prancis.

Meski kosakata “gerontokrasi” baru muncul pada abad ke-19, jauh-jauh hari Plato (427-347 SM) telah mengamati gejala penuaan dalam proses perpolitikan di zamannya. Sparta diatur oleh sebuah institusi politik yang disebut gerusia. Anggotanya adalah para manula yang telah menginjak usia 60 tahun dengan masa jabatan seumur hidup. Plato kemudian datang dengan gagasan peremajaan usia anggota gerusia serta pembatasan masa jabat untuk mencegah keterpurukan yang lebih dalam di negeri Sparta.

Politisi Manula 

Gerontokrasi yang tinggal menjadi sejarah bagi Prancis dan Yunani Kuno justru sekarang menjadi fenomena (relatif) baru di Tanah Air. Lihatlah usia tokoh-tokoh partai politik paling penting. Wiranto (68 tahun) secara aklamasi terpilih menjadi ketua umum Hanura untuk kesekian kalinya. Megawati Soekarnoputri (68 tahun) baru saja terpilih menjadi ketua umum PDIP untuk keempat kalinya. Aburizal Bakrie (69 tahun) terpilih kembali menjadi ketua

106

umum Partai Golkar. Begitu pula, Prabowo Soebianto (64 tahun) yang dulu “hanya” menjadi ketua Dewan Pembina sekarang merangkap menjadi ketua umum Partai Gerindra. Surya Paloh (64 tahun) hampir dapat dipastikan kembali memimpin Partai NasDem. Susilo Bambang Yudhoyono (66 tahun) yang pernah menjadi orang nomor satu di republik ini telah menyatakan kesediaan dirinya didapuk menjadi ketua umum Partai Demokrat. 

Artinya, empat tahun lagi, pada Pemilu 2019, hitam-putih politik kita akan sangat ditentukan oleh politisi gaek yang berusia sekitar 70 tahun. Ini tentu saja berbeda dengan “generasi perdana” Indonesia. Dulu, Indonesia pernah dipimpin oleh anak-anak muda—meminjam istilah Buya Syafii Maarif--yang penuh dedikasi dan mencintai Indonesia dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki. Tanpa para pemuda belia tersebut, hampir mustahil rasanya Indonesia merdeka.

Soekarno dan Hatta masing-masing masih berusia 44 dan 43 tahun ketika menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia. Jauh hari sebelum kemerdekaan, Soekarno menjadi ketua Partai Nasional Indonesia ketika berusia 26 tahun. Mohammad Hatta menjadi ketua Perhimpunan Indonesia ketika berusia 24 tahun. Begitu pula Sutan Sjahrir berusia 36 tahun ketika diangkat menjadi perdana menteri. Mohammad Natsir menduduki posisi perdana menteri ketika berusia 42 tahun, setelah sebelumnya menjadi menteri penerangan pada usia 38 tahun.

Soeharto bahkan mulai berkuasa di negeri ini ketika ia masih berusia 46 tahun. Sejak saat itulah regenerasi politik mulai stagnan. Apa yang dikhawatirkan Lord Acton (1834-1902) “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely” benar-benar terjadi. Celakanya, pada era Reformasi ini, kebiasaan buruk mengawetkan kekuasaan politik masih saja dicontoh dan dipraktikkan oleh para politisi sepuh yang masih memiliki syahwat berkelindan dengan kekuasaan.

Kebalikan dari Indonesia, pemimpin negara-negara sahabat cenderung memberikan ruang kepada generasi yang lebih muda. Partai Buruh di Inggris yang dipimpin oleh Gordon Brown (49) ditumbangkan Partai Konservatif yang diketuai oleh David Cameron (44). Pada 2008, Barrack Obama (47) dari Partai Demokrat mengalahkan John McCain (72), politisi senior Partai Republik. Empat tahun kemudian Obama mengungguli Mitt Romney yang berusia 15 tahun lebih tua.

Beberapa tahun lalu Partai Liberal Australia yang dipimpin John Howard (70) terjungkal oleh pemimpin Partai Buruh Kevin Rudd (50), sebelum akhirnya Tony Abbott (50) menggantikan posisi Kevin Rudd hingga saat ini. 

Pembeliaan Politik 

Pembeliaan usia dalam dunia politik memang tidak serta-merta menjamin kualitas kepemimpinan politik yang lebih baik. Namun, dalam konteks transisi demokrasi, usia dapat berarti demarkasi antara “yang lama” atau “yang baru”.

107

Acap masalah interpersonal antarpolitisi tua pada masa lalu memengaruhi kepentingan khalayak banyak saat sekarang ini. Apalagi terlihat jelas akhir-akhir ini bahwa politik gerontokrasi berkelindan dengan pola oligarki di mana hanya segelintir elite di pucuk pimpinan partai yang mengambil keputusan penting bagi rakyat. 

Partai politik juga tidak lebih dari sebuah perusahaan terbatas. Pemegang saham mayoritas menjadi komisaris utama yang menentukan arah tujuan dan keputusan partai. Tak ayal, anak, keponakan, dan keluarga besar mendapat jatah sesuai dengan kepemilikan saham di partai.

Pembeliaan politik Indonesia bukan sekadar mengganti yang tua dengan yang muda. Pembeliaan juga mensyaratkan lahirnya gagasan dan terobosan baru dalam tatanan politik kita. Di mata publik, saat ini politik telah telanjur menjadi profesi yang menjengkelkan untuk tidak mengatakan menjijikkan. Otto von Bismarck mungkin benar bahwa politik merupakan the art of possibilities, namun bukan berarti segala tipu daya yang merugikan kepentingan publik absah dilakukan guna meraih target-target politik jangka pendek.

Benar pula bahwa tujuan utama politik adalah kekuasaan (power), tapi politisi muda patut terus mempertanyakan kekuasaan tersebut untuk apa dan siapa? Benarkah kebijakan dan keputusan politik yang ditelurkan untuk kepentingan rakyat?

Sejatinya politik adalah profesi yang mulia. Partai politik, seperti yang diungkapkan Lipset (1996), merupakan institusi inti (core institution) dalam demokrasi. Lebih jauh Robertson (1970) mengatakan, tidak ada pembicaraan tentang demokrasi saat ini kecuali berbicara tentang (kompetisi) partai politik. Dalam demokrasi modern, melalui partai politiklah aspirasi rakyat diagregasikan, ditawarkan di pemilu, serta diperjuangkan untuk diimplementasikan baik di eksekutif maupun legislatif. Di ruang-ruang rapat partai politiklah kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak (public policy) diputuskan.

Di sinilah pembeliaan politik mesti dimaknai sebagai rekonstruksi moral politik baru yaitu kemampuan partai politik menyerap aspirasi rakyat, mengagregasikan, serta merumuskannya menjadi kebijakan publik yang memihak kepentingan orang banyak.

RAJA J ANTONI Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII); Meraih Doktor dari School of Political Science and International Studies, the University of Queensland, Australia @AntoniRaja

108

Konsolidasi Kebangsaan dan Keumatan PAN

Koran SINDO7 Mei 2015

Sederhana saja yang ingin dicapai dalam pelantikan dan rapat kerja nasional Partai Amanat Nasional di bawah kepemimpinan Zulkifli Hasan yang dilaksanakan kemarin.

”Ada Saatnya Kita Berkompetisi dan Ada Saatnya Kita Bersama-sama Membangun Negeri Ini”. Begitu bunyi tema kegiatannya, simpel dan mudah dicerna. Tidak butuh kerumitan semiotik dalam menafsir apa maksud tema ini, jelas adalah suatu silaturahmi seluruh elemen bangsa tak terkecuali bagi PAN secara internal tentunya.

Hiruk-pikuk politik di pentas nasional sejak menjelang pemilihan presiden tahun lalu, pertarungan di gedung legislatif hingga kongres partai-partai nasional semakin memanaskan situasi. Tak pelak banyak hubungan persahabatan, pertemanan, bahkan persaudaraan yang retak atau remuk redam akibat seteru ambisi kekuasaan.

Sebagai politisi, dinamika politik adalah sebuah kepiawaian seni dengan tetap mengedepankan martabat dan etika. Bila kita bersepakat bahwa politik adalah seni, lakon yang kita pertunjukkan adalah lakon yang indah, bukan pertunjukan norak yang memuakkan rakyat. Atau malah jadi bahan cemoohan karena perilaku kekanak-kanakan dari ambisiusnya politisi.

Sebagai bagian dari partai modern dan terbuka, PAN akan melewati keniscayaan dari hiruk-pikuk tersebut, PAN pastinya tak dapat menghindari dinamika tersebut. Kader PAN bahkan harus mau menghadapi peristiwa politik sedramatis apa pun itu sebab begitulah kader akan belajar dan tumbuh baik sebagai pribadi maupun sebagai politisi yang semakin matang.

PAN pada mulanya, di tangan Amien Rais didirikan sebagai partai reformis, sebagai bagian identik dari peristiwa sejarah bangsa ini dengan lahirnya Reformasi, tentu tidak bisa mengalami kejumudan dari praktik-praktik politik yang klasik dan berwatak feodal. Atmosfer reformis dan modern inilah yang membuat Zulkifli Hasan punya peluang besar memimpin partai berlambang matahari bersinar ini, suatu partai yang tak boleh padam memberi harapan. Hal terpenting yang ingin dicapai ketua umum adalah membangun partai dalam kepemimpinannya ini dengan berlandaskan pada reunifikasi, revitalisasi, dan regenerasi.

Reunifikasi, Revitalisasi, dan Regenerasi

Salah satu titik poin dalam pencalonan Zulkifli Hasan saat kongres lalu di Denpasar adalah keinginannya untuk melakukan reunifikasi, sebuah upaya konsolidasi partai guna

109

menguatkan partai setelah berupaya melewatkan beberapa cobaan yang mau tidak mau sempat meregangkan fondasi partai.

Deklarator Pendiri PAN Amien Rais bahkan sangat setuju gagasan reunifikasi. Apalagi bila itu benar-benar mampu mengumpulkan mereka yang pernah besar di PAN, bahkan yang pernah berdarah-darah membangun partai ini, tak terkecuali mantan-mantan ketua umum. Penulis melihat gagasan ini sebagai upaya kerendahan hati sang ketua umum untuk melihat keutuhan partai di atas segala-galanya dengan tidak menafikan peran seluruh kader dari masa ke masa.

Upaya reunifikasi tidak bisa ditunda-tunda lagi dan menjadi titik tolak untuk merevitalisasi partai. PAN perlu menyegarkan kembali fokus visi keorganisasian, membenahi kerja-kerja, dan bersiap dengan gagasan serta strategi gerakan nasional menghadapi momentum pilkada di beberapa daerah tahun ini.

Momentum pelantikan dan rapat kerja nasional menjadi penting mewujudkan revitalisasi partai, bukan hanya bersiap menghadapi pilkada, melainkan juga pandangan partai secara umum terhadap perkembangan politik nasional dan internasional perlu disegarkan kembali. Sebagai partai reformis, pastinya PAN akan selalu melek pada perubahan arus dan dinamika kebangsaan yang terjadi. Seperti situasi politik di Indonesia saat ini, juga melihat ulang bagaimana kita memandang posisi PAN dalam konteks politik nasional yang harapannya mampu menjadi penyeimbang yang bernas.

Pertumbuhan suatu partai akan sangat ditentukan dengan adanya proses regenerasi yang terjadi dalam dirinya. Sesuatu yang tidak pernah mandek dilakukan selama ini oleh PAN, baik dalam struktural maupun dalam fungsi-fungsi setiap kader. Pandangan kebaruan bisa tercapai bila PAN senantiasa digerakkan oleh potensi-potensi kader yang mumpuni, tentunya dengan memberi ruang kepada mereka. Proses regenerasi menjadi keniscayaan dalam PAN sebab partai ini mengidentikkan diri sebagai partai reformis dan menyadari perkembangan dinamika di sekitarnya.

Sebagai partai tengah, PAN akan senantiasa menjaga posisinya tersebut untuk tidak jatuh pada kondisi jumud dan atau malah ortodoks. Lebih menarik lagi, Zulkifli Hasan pagi-pagi sekali melihat gagasan ini perlu diupayakan di tubuh PAN untuk menjadi perhatian. Penulis kira itu bukan sekadar cara untuk bisa menggapai kursi ketua umum pada kongres lalu, namun sebagai sebuah upaya untuk menjaga agar partai tidak jatuh pada ketergantungan figur.

Sikap Kenegarawanan

Menilik gagasan reunifikasi, revitalisasi, dan regenerasi yang dijalankan Zulkifli Hasan dalam membangun PAN, ada beberapa hal menarik di sana. Pertama, ada upaya menjaga partai dari suhu panas pertikaian politik pascapemilihan presiden lalu. Dinamika kepartaian di Indonesia begitu riuh, apalagi episode Koalisi Merah Putih versus Koalisi Indonesia Hebat

110

menjadi tak habis-habisnya. Tentu saja dinamika itu bisa dipandang positif mengingat fungsi partai tidak saja selalu mengamini kebijakan penguasa, fungsi kontrol menjadi tugas partai mana pun tanpa mengorbankan objektifikasi dan landasan kepentingan rakyat tentunya.

Kedua, sikap yang ditampilkan Zulkifli Hasan menjadi terkesan luwes. Ia mengajukan tiga gagasan yang sederhana, tapi menjadi penting dan mewakili identitas partai sendiri. Prasyarat partai modern membuat PAN harus menerapkan gagasan tersebut yakni memperkuat internal partai, merevitalisasi pandangan dan kinerja kader dan partai, serta meletakkan kepentingan partai di atas kepentingan personal. Ini menjadi semacam sinyal awal untuk menegaskan diri sebagai partai tengah, reformis, dan terbuka bagi kelompok dengan latar belakang apa pun. Juga guna mencegah terjadi ketergantungan pada patron elite.

Akhirnya kita semua hanya akan menunggu kinerja pengurus PAN yang baru di bawah kepemimpinan Zulkifli Hasan, ada banyak hal yang menjadi tumpuan untuk berjalan dari periode kepemimpinan sebelumnya, juga banyak harapan yang akan terus diraih partai ini dengan memulai kerja lebih awal.Keinginan Zulkifli Hasan memimpin partai boleh saja kemarin menimbulkan riak, tetapi menjadi penting untuk mengembalikan keutuhan partai dan mengonsolidasikan seluruh potensi kader sebagai bagian meletakkan kepentingan partai di atas kepentingan pribadi dan kelompok yakni untuk umat dan bangsa.

Di titik itu seluruh kader akan bertemu, beruntungnya baik Hatta Rajasa maupun Zulkifli Hasan adalah kader-kader emas PAN yang selalu meletakkan kepentingan besar bersama di atas kepentingan personal masing-masing. Mereka sama-sama menginginkan PAN menjadi partai modern yang masih berkarakter reformis. Bila gagasan-gagasan itu diterima bersama lalu dijalankan, bukankah itu menjadi sikap seorang negarawan. Seperti statement David Llyod George, politisi reformis dan negarawan Inggris sebagai tokoh kunci di Konferensi Perdamaian Paris 1919 yang mengatur kembali Eropa setelah kekalahan Jerman dalam Perang Besar, menyatakan, ”Politikus adalah orang yang dengannya kita tak bersetuju. Tatkala kita bersetuju, dia adalah negarawan”.

H ANDI TAUFAN TIRO Anggota DPR RI Fraksi Partai Amanat Nasional

111

Polisi dan Amanat Konstitusi

Koran SINDO8 Mei 2015

    

Penangkapan terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, seolah mengingatkan kembali aksi saling berhadapan antara Polri dan KPK.

Betapa pun peristiwa tersebut terasa mendidih dalam wacana publik, namun yang seyogianya tak terabaikan bahkan jauh lebih krusial adalah terkait seluk-beluk penggunaan kekerasan oleh kepolisian dalam menangani kejahatan. Berkelindan dengan peristiwa tersebut adalah aksi pembunuhan, yang berlanjut dengan bunuh diri, oleh sesama personel Polri di Sumatera Utara beberapa hari lalu.

Inti perdebatan tentang kekerasan oleh personel polisi selalu berkutat pada pertanyaan: apakah kekerasan telah melampaui batas (eksesif) sehingga dapat dikategorikan sebagai perilaku brutal, ataukah kekerasan masih dalam standar operasi kerja personel polisi?

Pertanyaan itu muncul sebagai konsekuensi demokratisasi, di mana terjadi pelipatgandaan kepekaan publik terhadap segala hal yang berasosiasi dengan keamanan dan keselamatan masyarakat. Apabila tidak dikelola dengan baik, isu kekerasan di lingkungan kepolisian dipastikan akan mengancam legitimasi lembaga kepolisian di mata publik. Semakin berat jika dikaitkan dengan beban finansial yang dikeluarkan untuk mengobati sasaran maupun personel yang cedera dalam situasi penembakan, termasuk kemungkinan kompensasi yang harus dikeluarkan ketika terbukti bahwa penembakan oleh personel merupakan tindakan yang salah.

Hingga kini kajian ilmiah dan pembahasan di parlemen tentang kekerasan oleh institusi kepolisian di Indonesia belum memadai. Ironisnya, gambaran situasinya memang ”tidak menguntungkan” pihak kepolisian karena berbagai literatur telanjur menganggap perilaku brutal sebagai satu dari dua subkultur menyimpang di sangat banyak organisasi kepolisian, di samping perilaku koruptif.

Terlebih ketika personel polisi menggunakan kekerasan dengan senjata api, pertanyaan ”brutal atau standar” semestinya akan dapat dijawab secara lebih terukur. Ini sekaligus menunjukkan pertanggungjawaban anggaran lembaga kepolisian kepada masyarakat. Polri harus mampu menjelaskan antara lain jumlah butir peluru yang digunakan, jumlah personel yang menggunakan senjata api, situasi yang melatarbelakangi penggunaan senjata api, ragam dan jumlah sasaran yang terkena tembakan, akibat penembakan pada sasaran dan personel, hingga simpulan mengenai sifat penggunaan senjata api (sesuai standar ataupun

112

penyalahgunaan). Dari simpulan itu, Polri kemudian perlu memaparkan bentuk-bentuk penindakan terhadap personel yang menggunakan senjata apinya di luar ketentuan.

Kesungguhan Polri dalam menyajikan informasi mengenai ihwal di atas sudah sepantasnya menjadi unsur penting dalam penilaian kinerja korps Tribrata. Dengan asumsi bahwa persepsi pada gilirannya akan memengaruhi perilaku aktual personel, semakin sering personel polisi menggunakan senjata apinya, semakin patut pula dipertanyakan apa sesungguhnya persepsi para personel tentang situasi maupun orang yang mereka hadapi.

Pada aspek framing itulah, rujukan informasi menjadi sesuatu yang krusial membentuk perilaku penggunaan senjata api oleh personel. Apabila personel polisi memperoleh referensi bahwa ada relasi negatif antara mereka dan masyarakat yang mereka layani, baik referensi yang bersumber dari internal maupun eksternal organisasi kepolisian, dikhawatirkan personel akan lebih tersugesti untuk meletupkan senjata mereka. Selanjutnya, manakala masyarakat sudah kadung mencap polisi terlalu ringan tangan, masyarakat pun akan terdorong menampilkan kekerasan sebagai antisipasi terhadap kehadiran polisi.

Tentu saja, ketika oknum personel polisi menyalahgunakan senjata api mereka, pembenahan semestinya tidak dilakukan sebatas terhadap individu-individu yang bersangkutan. Ini selaras dengan teori-teori modern bahwa pembenahan organisasi kepolisian harus menyasar aspek individu serta aspek organisasi secara menyeluruh dan terintegrasi. Atas dasar itu, sebagai sebuah sistem, divisi-divisi terkait di lembaga kepolisian juga patut merespons fenomena kekerasan tersebut, utamanya divisi yang berurusan dengan sumber daya manusia serta pendidikan dan pelatihan personel.

Intinya, semakin intens upaya yang seluruh lini institusi kepolisian lakukan untuk menyisir tendensi kekerasan dari para personelnya, semakin realistis untuk berharap bahwa akan berkurang pula aksi-aksi penembakan seperti yang Polri nyatakan telah dilakukan anak buah Novel.

Kembali pada Amanat Konstitusi

Sangat menarik plus menggelitik apabila potret tentang penggunaan senjata api oleh personel Polri dihadapkan dengan Konstitusi UUD 1945 dan UU Kepolisian Republik Indonesia. Kedua peranti perundang-undangan tersebut secara ”ajaib” menguraikan fungsi kerja Polri ke dalam urutan-urutan yang berbeda satu sama lain.

Dalam UUD 1945 Pasal 30 ayat 4 disebutkan bahwa ”Kepolisian Negara RI sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”. Kata ”serta” dalam ayat ini— mengacu pada KBBI—menunjukkan bahwa frase di depan kata tersebut lebih utama daripada frase di belakangnya. Dus, dalam ayat ini harus dimaknai bahwa dalam menjalankan fungsinya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, kepolisian seharusnya bertugas

113

lebih mengedepankan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat walaupun harus tetap menjalankan penegakan hukum.

Sangat berbeda dengan yang termaktub dalam Konstitusi, UU RI No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara RI Pasal 5 dan Pasal 13 justru menempatkan tugas menegakkan hukum baru kemudian melindungi, mengayomi, melayani masyarakat. Sangat bisa dipahami bahwa dalam menjalankan tugas, doktrin kepolisian lebih berpegang kepada UU No. 2/2002 sebagai pijakan operasional. Dengan begitu, wajah kepolisian lebih maskulin yang penuh kekerasan daripada feminin yang penuh kelembutan sebagaimana amanat konstitusi.

Ke depan seraya menunggu pembahasan UU Kepolisian yang baru penulis berharap kepolisian kembali ke amanat konstitusi. Kepolisian harus meningkatkan profesionalitas dengan berperan sebagai ”ibu” bagi masyarakat yang mengedepankan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Baru kemudian kepolisian melakukan penegakan hukum kepada anggota masyarakat yang melawan tugas kepolisian yang utama tersebut.

TJATUR SAPTO EDY Anggota Komisi III DPR

114

Serial Kisruh KPK-Polri

Koran SINDO9 Mei 2015

Ketika Rabu, 18 Februari 2015, Presiden Jokowi memutuskan untuk mengajukan Badrodin Haiti sebagai calon kepala Kepolisian Republik Indonesia (kapolri) dan mengumumkan akan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pelaksana Tugas Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masyarakat menyambutnya dengan lega.

Keputusan itu dipandang sebagai jalan tengah yang tepat dan bijak karena membatalkan pencalonan Budi Gunawan sebagai kapolri, tetapi juga memberhentikan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang kemudian menggantikannya dengan pelaksana tugas pimpinan KPK. Aspirasi dari pendukung Budi Gunawan dan pendukung Abraham-Bambang sama-sama diperhatikan.

Meski sudah pasti tak bisa memuaskan semua orang, keputusan Presiden tersebut telah menjadi jalan untuk mengakhiri kegaduhan yang menguntungkan para koruptor. Kebijakan itu seharusnya mengakhiri ”perang” berseri antara KPK dan Polri sebagai fakta yang tak bisa disembunyikan. Para pencinta negara menyambut baik keputusan Presiden itu sebagai titik tolak untuk mengatur langkah baru yang lebih sinergis memerangi korupsi.

Namun harapan akan berakhirnya kisruh berseri dalam lakon ”cicak-buaya” itu tak berlanjut. Pasalnya Polri terus melakukan proses hukum atas Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang kemudian diteruskan dengan penersangkaan penyidik terbaik KPK Novel Baswedan karena kasus penembakan pencuri sarang burung walet yang terjadi 11 tahun yang lalu di Bengkulu. Masyarakat pun banyak yang kemudian menganggap Polri telah melakukan balas dendam melalui kriminalisasi.

Istilah “kriminalisasi” itu sendiri mungkin kurang tepat karena kriminalisasi berarti menjadikan seseorang masuk dalam proses hukum pidana, padahal tidak ada tindak pidana yang dilakukannya. Faktanya, polisi mempunyai kasus yang nyata ada terkait dengan Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Novel Baswedan yang benar atau tidaknya bisa diuji di peradilan pidana. Dengan fakta dan keyakinan Polri itu, tentu tidak bisa dikatakan terjadi kriminalisasi. Polri sudah melakukan tugasnya sesuai dengan hukum.

Meski demikian, jika kasus untuk ketiga orang KPK itu dipandang secara jernih dan dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa yang mendahului dan mengiringinya, tidaklah terlalu salah juga kalau ada yang mengatakan Polri melakukan balas dendam politik yang kemudian ada yang menyebut melakukan kriminalisasi. Pasalnya kasus-kasus yang disangkakan kepada

115

Abraham, Bambang, dan Novel adalah kasus lama yang tiba-tiba dimunculkan kembali. Kasusnya pun, sepertinya, dulu tak pernah dipersoalkan atau sudah pernah ditangani dan dianggap selesai. Tapi kasus-kasus itu dimunculkan kembali setelah terjadi kisruh antara Polri dan KPK setelah Budi Gunawan dijadikan tersangka dalam tindak pidana korupsi oleh KPK.

***

Dua hari lalu (7 Mei 2015), saat memberi kuliah umum di UIN Malang, saya diminta oleh seorang mahasiswa untuk membela KPK dari ancaman penghancuran. Ya, istilahnya memang bikin bergidik: penghancuran. Saya katakan selama ini saya sudah membela KPK. Bahkan sampai belasan kali saya membela KPK ketika diserang melalui judicial review UU KPK di Mahkamah Konstitusi dan membela melalui cara-cara lain.

Tapi untuk kasus yang terakhir saya sulit menyusun logika dan menabrak nurani untuk membela KPK. Sebab penersangkaan terhadap Budi Gunawan yang menjadi sumbu seri keempat kisruh ini tidak dilakukan secara profesional. Menurut pemberitaan yang tak pernah dibantah, dokumen penersangkaannya tidak lengkap, tak jelas kapan dan siapa yang diperiksa, siapa penyidik yang menandatangani pemeriksaan. Momentum dan nuansa penersangkaannya pun terasa politis.

Kalau itu benar, sungguh hal itu telah melukai proses penegakan hukum dan merusak reputasi KPK yang selama ini kita bela mati-matian. Ini telah mengempaskan prestasi KPK yang selama ini kita banggakan. Perang melawan korupsi mengalami kemunduran, para koruptor pun bertepuk riang.

Yang perlu dilakukan sekarang adalah membangun kembali KPK dan memberi dukungan kepada Taufiequrachman Ruki dkk. untuk melakukan pembenahan. Mulai sekarang harus dibangun hubungan tata kerja yang sinergis dan saling mendukung, bukan saling menyerang, antara KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung (Kejagung), untuk bersama-sama memerangi korupsi. Kita perlu kembali ke latar belakang bahwa dulu KPK dibentuk karena Polri dan kejaksaan tidak optimal dalam memerangi korupsi. Artinya kalau Polri dan Kejagung sudah bisa mengoptimalkan fungsi dan perannya, KPK tak perlu dibebani tugas-tugas berat dan dijadikan lembaga yang super body.

Polri dan Kejagung harus menjadikan situasi seperti sekarang ini sebagai pelajaran dan momentum untuk mengoptimalkan fungsi dan perannya melawan korupsi dengan melakukan peran yang dulu dilakukan KPK sehingga didukung dan disenangi rakyat. Polri harus galak dan tegas terhadap para koruptor tanpa kolusi.

Kita meyakini kejaksaan dan kepolisian bisa galak seperti KPK. Buktinya pada Selasa (5/5) yang lalu Polri bisa bertindak tegas ketika menjadikan DH mantan pejabat tinggi di Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) sebagai tersangka kasus korupsi. DH disangka mengorupsi uang negara sebesar sekitar Rp2 triliun. Bareskrim Polri

116

juga dengan gagah berani menggeledah Kantor SKK Migas dan meneliti dokumen sampai pukul 22.00 malam.

Dulu KPK disenangi rakyat karena sering melakukan langkah-langkah seperti itu. Inilah momentum bagi kejaksaan dan Polri untuk melakukan hal-hal demikian sebanyak mungkin karena masalah seperti itu masih banyak. Kalau kejaksaan dan Polri bisa mengambil peran itu, fanatisme kepada KPK bisa dihentikan. Hanya penegakan keadilan dan perang total terhadap korupsi yang bisa menyelamatkan negara dan bangsa kita.

MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi

117

Polri Kerja Keras, Masyarakat Tetap Waswas

Koran SINDO9 Mei 2015  

Aksi-aksi yang didemonstrasikan Reskrim Polri belakangan ini, di mata saya, tergolong menjanjikan. Penilaian itu didasarkan pada empat alasan.

Pertama, kerja Polri diarahkan pada upaya pemberantasan korupsi. Setelah berulang kali dianggap kurang cekatan dalam penanganan kasus-kasus korupsi, sehingga kalah pamor dengan KPK, Polri kini merespons dugaan korupsi pengadaan UPS di sekolah-sekolah dengan memeriksa anggota DPRD dan dalam waktu dekat gubernur DKI beserta jajarannya. Beberapa hari lalu Polri mendatangi kantor SKK Migas, juga dalam rangka menelisik dugaan korupsi.

Kedua, kerja Polri terarah ke dirinya sendiri, yakni penangkapan terhadap seorang perwira yang dinyatakan telah menerima uang suap miliaran rupiah dari bandar narkoba. Penindakan ke dalam dengan sasaran perwira, bukan sebatas level prajurit, memperlihatkan upaya Polri mendobrak tradisi tirai biru (blue curtain code) yang ditandai kecenderungan untuk menutup-nutupi kesalahan yang diperbuat sesama anggota korps.

Ketiga, Polri merespons tekanan publik untuk membasmi kebiasaan menyimpang berupa perilaku kekerasan eksesif oleh anggota kepolisian. Yaitu dengan menangkap Novel Baswedan dalam kasus penganiayaan oleh anak buahnya terhadap tersangka pelaku kejahatan.

Keempat, operasi-operasi di atas ditampilkan secara high profile, sehingga masyarakat luas bisa menyaksikan sekaligus menjadikannya sebagai bahan perdebatan.

Kerja Polri seperti dicontohkan di atas kiranya sudah memenuhi dua E, yaitu efektif dan efisien. Tinggal satu E lagi, yakni ekuitas (equity), yang masih perlu Polri yakinkan kepada publik. Ekuitas menunjuk pada seberapa jauh kerja organisasi (dalam hal ini Polri) telah sebangun dengan nilai-nilai etis, semisal fairness. Nilai ini akan terpenuhi manakala Polri bekerja semata-mata di atas fondasi hukum, non-diskriminatif, serta bukan dilatarbelakangi oleh motif-motif ekstralegal misalnya menyelamatkan harga diri, memenangkan persaingan antarlembaga penegakan hukum, dan menjegal langkah hukum yang tengah dilakukan institusi mitra.

Andai Reskrim Polri mampu mempertahankan performanya dalam bidang penegakan hukum tanpa menihilkan unsur equity, pantas untuk diramal bahwa statistik kejahatan akan

118

menunjukkan tren membaik. Tren statistik yang membaik, dalam anggapan publik maupun polisi sendiri, ditandai oleh menurunnya statistik kejahatan antarjangka waktu tertentu.

Di negara semacam Amerika Serikat, menjadikan statistik kejahatan sebagai indikator kinerja lembaga kepolisian telah dipraktikkan sejak tahun 1930-an. Dalam perkembangannya, terjadi penyusunan cetak biru yang baru terhadap organisasi kepolisian mereka. Tolok ukur positif negatifnya kinerja kepolisian pun direvisi besar-besaran, termasuk dengan tidak lagi menjadikan statistik kejahatan sebagai salah satu kriteria penilaian.

Di Indonesia sendiri, statistik kejahatan masih tetap dipandang sebagai elemen penting untuk mengukur kerja Polri. Statistik dimaksud lebih pada naik-turunnya angka kejahatan dari waktu ke waktu. Itu tidak salah, walau memang tidak lengkap. Idealnya, statistik kejahatan mencakup pula data tentang jumlah pelaku yang diperiksa atau ditahan oleh polisi, jumlah kasus yang berhasil dibawa ke pengadilan, serta kecepatan penanganan kasus.

Jebakan Statistik

Ketika yang ditonjolkan hanya pada naik-turunnya angka kejahatan, data yang disajikan Polri dari tahun ke tahun memang memperlihatkan statistik yang terus menurun. Namun janggalnya adalah, merujuk The Intelligence Unit, hasil survei justru mengategorikan Jakarta sebagai salah satu kota paling tidak aman di dunia. Di situlah kritik terbesar terhadap penggunaan statistik sebagai bahan takar terhadap kinerja kepolisian.

Membingungkan; kendati statistik kejahatan secara ”objektif” menurun, mengapa khalayak luas tetap merasa tidak aman? Seberapa mantap sebenarnya angka statistik kriminalitas benar-benar menunjukkan jumlah kejadian kriminalitas di masyarakat? Karena statistik kejahatan disusun berdasarkan antara lain laporan masyarakat, bisa jika disimpulkan bahwa statistik yang rendah menunjukkan kejadian kejahatan yang rendah pula. Simpulan sedemikian rupa dapat melenakan masyarakat dan utamanya polisi.

Juga, tidak akurat apabila statistik kejahatan yang tinggi serta-merta dianggap sebagai kacaunya keamanan lingkungan. Anggapan seperti itu berisiko membuat moral panic menjadi epidemi, yang diikuti maraknya aksi vigilantisme sebagai ”bahasa hukum” yang masyarakat artikulasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Alih-alih, lebih tepat jika ditafsirkan bahwa rendahnya statistik kriminalitas dihasilkan oleh menurunnya laporan masyarakat. Penurunan laporan masyarakat bukan pula diakibatkan oleh kian sedikitnya anggota masyarakat yang menjadi korban kejahatan. Penurunan itu, apalagi dikaitkan dengan kualitas relasi polisi dan masyarakat, sangat mungkin disebabkan oleh apatisme masyarakat untuk melaporkan peristiwa kejahatan yang telah mereka alami maupun saksikan.

Apatisme tersebut dibentuk oleh tererosinya kepercayaan publik terhadap lembaga kepolisian. Publik, terutama mereka yang pernah menjadi korban kejahatan, memersepsi

119

polisi bukan sebagai pemecah problem, melainkan justru sebagai pihak yang memperumit problem.

Dengan demikian, kembali ke inti persoalan, manakala terjadi penurunan jumlah kejahatan sebagaimana yang institusi kepolisian umumkan ke masyarakat, penurunan tersebut pantas ditanggapi dengan kegalauan. Kepolisian patut mencari tahu sebab-musabab masyarakat enggan melapor. Tambahan lagi, merujuk pada penalaran di atas, penyajian data statistik ke publik justru pada gilirannya dapat kontraproduktif bagi Polri, yaitu menularkan ”kemalasan” dari satu warga ke warga lainnya untuk melaporkan peristiwa viktimisasi yang mereka derita.

Sisi lain menurunnya angka kriminalitas adalah berkaitan dengan kinerja personel kepolisian. Statistik kriminalitas yang menurun boleh jadi diakibatkan oleh menurunnya respons personel terhadap kejadian kejahatan. Kejahatan sesungguhnya telah berlangsung, namun reaksi petugas kepolisian rendah bahkan tidak ada. Akibatnya, peristiwa kejahatan tidak tercatat.

Apabila itu yang terjadi, statistik kriminalitas sekarang dapat dimaknakan sebagai indikasi taraf demoralisasi dan demotivasi personel kepolisian. Mereka seolah kehilangan daya respons meskipun masyarakat telah menekan tombol panik.

Sembari Polri terus merapikan basis data statistik kejahatannya, lebih mendasar lagi bagi para pemangku kepentingan untuk memastikan parameter guna menakar kinerja organisasi Tribrata. Satu hal yang pasti, karena kerja penegakan hukum hanya mencakup tiga puluh persen dari total kerja kepolisian, maka sudah sewajarnya unsur perlindungan, pengayoman, dan pelayanan mendapat porsi jauh lebih besar dalam pengukuran itu. Allahu alam.

REZA INDRAGIRI AMRIEL Psikolog Forensik; Peserta Community Policing Development Program di Jepang Optimasi

120

Masa Depan Demokrat

Koran SINDO11 Mei 2015

Sebagian partai politik telah menggelar mekanisme internal konsolidasi kepengurusan. Ada yang berujung pengokohan figur sentral mereka lewat cara aklamasi seperti terjadi di Hanura, Gerindra, PDIP, PKPI, dan Golkar kubu munas Bali, ada pula yang menempuh jalur kompetisi terbuka seperti PAN dan PBB.

Kini, giliran Partai Demokrat yang menggelar Kongres IV pada 11-13 Mei di Surabaya. Inilah momentum politik yang menjadi ujian daya tahan Demokrat setelah tak lagi menjadi partai berkuasa.

Meminjam perspektif teori Evolusi Sosiokultural dari Darwin, ada prinsip survival of the fittest, yakni yang dapat bertahan adalah yang paling mampu menyesuaikan diri. Mungkinkah Demokrat mampu menyesuaikan diri di tengah tantangan eksistensi diri mereka sebagai partai di luar kekuasaan?

Faktor SBY

Tak dapat dinafikan, keberadaan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Demokrat masih sangat dominan. SBY merupakan figur sentral karena selain sebagai pelopor, ikon partai, nilai jual, dia juga masih memiliki peran signifikan sebagai perekat atau solidarity maker dalam kohesi politik antarfaksi yang ada di Demokrat.

Kongres Demokrat kali ini sepertinya tak akan menghasilkan sesuatu yang mengejutkan seperti kongres ketiga di Bandung tahun 2010 yang memilih Anas Urbaningrum sebagai ketua umum mengalahkan kandidat yang diberi dukungan kubu Cikeas (SBY). Titik kulminasi politik Demokrat terjadi saat SBY “turun gunung” memimpin langsung gerakan penataan, pembersihan dan penertiban partai serta mempersilakan Anas untuk fokus menghadapi masalah hukumnya. Anas pun secara resmi digantikan SBY lewat Kongres Luar Biasa. Itulah babak baru Demokrat di mana SBY yang saat itu masih menjabat sebagai presiden harus berjibaku dengan urusan partai.

SBY memang pernah berjanji, bahwa dirinya hanya akan menghantar Demokrat hingga 2015. Jika ditelaah dalam konteks saat itu, orang berpikir SBY hanya akan mengawal proses transisi dan terlibat mengurusi Demokrat sebagai bagian dari manajemen krisis saat Anas ditetapkan sebagai tersangka KPK dan harus mengikuti serangkaian proses pengadilan yang panjang serta menyita perhatian publik. Kini, SBY sepertinya belum berniat “pensiun” dari posisinya sebagai ketua umum Demokrat.

121

Paling tidak ada tiga faktor yang relevan menjadi bahan analisis mengapa SBY masih tetap akan melaju menjadi nakhoda Demokrat. Pertama, soal kepastian dan kenyamanan posisi politik Demokrat di tengah fragmentasi kekuatan politik yang ada saat ini. Alasan ini, terkait dengan titik keseimbangan politik Demokrat sebagai partai penyeimbang di luar kekuasaan.

Demokrat saat ini adalah Demokrat yang rawan konflik. Tak disangkal bahwa faksi-faksi yang bertarung di Demokrat nyata adanya, terlebih saat faksi Anas dipinggirkan dari arus utama pengelolaan basis struktur partai. Faksi-faksi yang sudah lama bertarung ini, diam-diam bisa saja menunggu dan akan memanfaatkan momentum politik sebagai bentuk ekspresi perlawanan simbolik maupun politisnya.

Tekanan juga sesungguhnya datang dari kekuatan di luar partai. Misalnya dari kelompok berkuasa maupun kelompok lain yang memiliki kepentingan atas sikap dan orientasi politik Demokrat saat ini dan di masa mendatang.

Sejumlah parpol mengalami perpecahan, misalnya PPP dan Partai Golkar. Demokrat tentu tak ingin partainya mengalami hal yang sama, sehingga sangat mungkin lebih memprioritaskan strategi tak berisiko dengan mengukuhkan ulang SBY sebagai ketua umum Demokrat melalui aklamasi atau jika pun ada kompetisi hanya dengan kandidat bayangan (shadow candidate).

Kedua, Demokrat belum percaya diri melaju tanpa sosok SBY di tengah mepetnya persiapan jelang momentum pilkada serentak pada 9 Desember 2015. Bulan Juli tahapan pencalonan kandidat yang akan bertarung di 268 daerah sudah dimulai. Jika SBY kembali menjadi calon, arus utama elite Demokrat yang ada saat ini tentu lebih mudah mengondisikan basis struktur partai karena tak akan ada perubahan masif dan eksesif. Lain halnya jika sosok yang menang itu adalah orang dari faksi berbeda, tentu akan terjadi sirkulasi elite yang signifikan. SBY juga sepertinya masih akan diposisikan sebagai magnet jualan politik di sejumlah pilkada yang akan digelar.

Ketiga, SBY sebagai sosok dengan karakter sangat hati-hati, sepertinya masih membutuhkan tunggangan politik yang bisa dikendalikannya langsung. Setelah lengser dari jabatannya sebagai presiden, bukan berarti dia tak lagi mendapat tekanan. Dialektika relasional SBY dengan pemerintahan Jokowi dan partai-partai lain yang ada saat ini, memosisikan SBY memiliki kebutuhan memegang kendali Demokrat.

Personalisasi Politik

Meskipun masih adanya kebutuhan sangat kuat pada sosok SBY, seharusnya Demokrat tidak mengorbankan modernisasi politik di tubuh partai. Ciri partai modern dan demokratis adalah kesempatan yang sama bagi seluruh kader partai untuk berkompetisi secara sehat. Jangan fobia dengan sejumlah sosok yang secara terbuka menyatakan kesiapannya untuk menjadi kandidat.

122

Tak ada yang perlu dikhawatirkan berlebihan, karena siapa pun yang bertarung dengan SBY dalam perebutan ketum Demokrat, SBY masih menang. Oleh karena itulah hal utama yang harus dipastikan SBY dalam kongres Demokrat kali ini adalah memberi teladan dan legacy yang baik dalam pelembagaan politik di partainya.

SBY wajib memastikan masa depan Demokrat ada pada kuatnya sistem bukan karena ketergantungan pada sosok. Ini artinya, SBY harus sudah mentransformasi kekuatan dirinya menjadi kekuatan sistem.

Tak keliru jika sebuah organisasi memiliki figur kuat, tetapi sistem harus ditata dan siapa pun yang berada dalam sistem harus tunduk patuh pada aturan main yang ditetapkan sistem. Bukan sebaliknya, sistem menjadi subordinat dari figur, sehingga terjadi feodalisasi, bahkan oligarki partai politik. Ketergantungan sangat kuat pada sosok SBY akan membuat terjadinya personalisasi politik di tubuh Demokrat. SBY adalah Demokrat dan seluruh kekuatan sistem tanpa SBY akan lumpuh tanpa kuasa.

Masa depan Demokrat akan ditentukan dua hal. Pertama, hadirnya Demokrat di masyarakat. Jika Demokrat ingin reborn ke posisinya sebagai partai pemenang pemilu, mereka harus menunjukkan niat baik dan niat politik dalam mengoptimalkan fungsi-fungsi partai di tengah dinamika kehidupan masyarakat dalam kesehariannya.

Kedua, konsistensi Demokrat dalam posisi politiknya saat ini yakni sebagai kekuatan penyeimbang di luar kekuasaan. Menjadi partai di luar kekuasaan harusnya menjadi momentum untuk memperbaiki eksistensi diri Demokrat sebagai partai modern.

DR GUN GUN HERYANTO Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

123

Kunci Kemenangan David Cameron

Koran SINDO12 Mei 2015

Pada saat malam sebelum para pemilih Inggris menentukan pilihannya, berbagai macam survei memprediksi hasil pemilihan anggota parlemen Inggris (House of Common) akan berupa hung parliament (tidak ada pemenang mayoritas). Rata-rata survei memprediksi Partai Konservatif pimpinan Perdana Menteri David Cameron dan Partai Buruh pimpinan Ed Milliband akan memperoleh jumlah sama kuat, masing-masing 35%.

Namun di luar dugaan prediksi dari para pengamat politik Inggris dan berbagai survei, Partai Konservatif pimpinan David Cameron memperoleh suara mayoritas dengan jumlah kursi di House of Common dengan memperoleh 331 kursi dari 650 kursi atau meningkat 24 kursi. Adapun perolehan Partai Buruh menurun hingga hanya mendapatkan suara 232 kursi. Nasib lebih tragis menimpa Partai Liberal Demokrat di bawah pimpinan Deputi Perdana Menteri Nick Clegg. Partainya kehilangan kursi secara signifikan hingga tinggal 8 kursi. Kejutan besar diperoleh Partai Nasionalis Skotlandia (SNP) dengan sukses memperoleh 56 kursi.

Hal apa yang membuat hasil pemilu di luar dugaan para pengamat politik Inggris serta media massa besar Inggris itu?

Citra Kebijakan Ekonomi

Dalam lima tahun memimpin pemerintahannya David Cameron berhasil memisahkan antara citra dirinya dengan Partai Konservatif saat melakukan pengetatan anggaran dan pengeluaran pemerintah yang mengakibatkan pemerintah tidak populis pada 2011-2014. Namun terlepas dari ketidakpopulisan partainya saat pemotongan anggaran, David Cameron selalu mengungguli Ed Milliband sebagai pimpinan politik yang paling dipercaya untuk memimpin pemerintahan.

Pada akhir Maret 2015 menurut survei Yougov, selisih antara yang percaya dan tidak percaya Ed Milliband mencapai minus 29% dibandingkan David Cameron yang hanya minus 2%. Akibatnya begitu mendekati hari pemilihan, popularitas personal Cameron bisa membawa peningkatan kepercayaan Partai Konservatif.

Sebaliknya Ed Milliband dengan ketidakpopulerannya menjadi bulan-bulanan terutama bagi media mainstream yang merupakan simpatisan dari Partai Konservatif. Misalnya koran The Sun milik konglomerat media Rupert Murdoch dengan sekitar 2 juta pembaca bahkan mengolok-olok Ed Milliband dengan menampilkan foto utama ekspresi aneh Ed Milliband saat makan roti lapis di halaman muka.

124

Selain itu pimpinan oposisi Ed Milliband dan Menteri Keuangan Bayangan Ed Balls yang kehilangan kursinya pada Pemilu 2015 ini dianggap tidak mempunyai program ekonomi yang cukup kredibel sebagai alternatif dari kebijakan pengetatan anggaran Partai Konservatif. Partai Konservatif pun secara efektif berhasil mengingatkan calon pemilih bahwa krisis ekonomi yang menimpa Inggris di tahun 2008-2009 adalah buah dari kebijakan Partai Buruh pada waktu dipimpin Gordon Brown dengan Ed Milliband sebagai salah satu anggota kabinetnya.

Fenomena Kelompok Nasionalis Skotlandia

Efek dari referendum Skotlandia pada bulan September 2014 di mana 55,3% menolak untuk merdeka ternyata membawa implikasi besar terhadap pemilihan Inggris 2015. Selepas kekalahan dalam referendum, Partai Nasionalis Skotlandia (SNP) di bawah pimpinannya yang baru, seorang wanita energik Nicola Sturgeon yang juga Menteri Pertama Skotlandia, melakukan konsolidasi besar-besaran. Mereka berhasil meyakinkan pemilih bahwa kepentingan dari Skotlandia untuk memperoleh otonomi lebih besar dari Pemerintah Inggris Raya hanya bisa disalurkan melalui SNP. Nicola sendiri dengan cerdik mampu mentransformasi citranya dari masa mudanya yang maskulin menjadi lebih terlihat feminin agar dapat memperoleh dukungan lebih besar.

Sebaliknya Partai Buruh lengah. Skotlandia yang melahirkan tokoh-tokoh besar dari Partai Buruh seperti mantan Perdana Menteri Gordon Brown dan mantan Menteri Keuangan Alistar Darling tidak terlalu digarap secara serius. Mereka lebih fokus mengejar suara di konstituen yang ketat di mana kemungkinan merebut suara dari Partai Konservatif besar.

Ternyata strategi tersebut merupakan blunder besar bagi Partai Buruh. Partai SNP secara fenomenal memenangi pemilu di56 konstituen, meningkat pesat dari hanya 6 kursi di Pemilu 2010. Adapun Partai Buruh di Skotlandia menurun drastis jumlah suaranya, dari 41 kursi menjadi hanya 1 kursi.

Yang fenomenal adalah kandidat Partai SNP, mahasiswi berusia 20 tahun Mhairi Black, mengalahkan petahana dari Partai Buruh yang merupakan menteri luar negeri bayangan Douglas Alexander. Pimpinan Partai Buruh Skotlandia Jim Murphy yang telah menjadi anggota parlemen selama 20 tahun juga kehilangan kursinya.

Gembosnya Partai Liberal Demokrat

Pimpinan Partai Liberal Demokrat Nick Clegg dianggap berhasil membawa partainya menjadi bagian dari pemerintah dengan 57 kursi parlemen dengan menjadi partner koalisi Partai Konservatif untuk memperoleh kursi mayoritas parlemen pada 2010. Namun ideologi partai yang begitu berbeda menyulitkan Partai Liberal Demokrat. Partai ini cenderung ke kiri, sementara Partai Konservatif ke kanan. Alhasil Partai Liberal Demokrat harus melakukan berbagai kompromi selama pemerintahan David Cameron menggerus popularitas partai ini.

125

Dosa politik yang paling dikenal oleh publik adalah saat Nick Clegg mengingkari janjinya untuk tidak menaikkan uang pangkal sekolah dengan alasan kondisi ekonomi. Padahal saat baru terpilih pada 2010 ia ikut menandatangani ikrar dari himpunan mahasiswa Inggris untuk tidak menaikkan uang pangkal selama di pemerintahan. Selain itu, selama di pemerintahan, Partai Liberal Demokrat lebih banyak memfokuskan masalah perbedaannya dengan Partai Konservatif dalam berbagai agenda kebijakan pemerintah dibandingkan persamaannya. Akibatnya Partai Konservatif dapat mengambil kredit dari kebijakan ekonomi pemerintah yang dianggap lebih meyakinkan dibandingkan Partai Buruh.

Dengan dua blunder tersebut, pada pemilu kemarin Partai Liberal Demokrat dihukum secara brutal oleh pemilih Inggris. Akibatnya suara partai pimpinan Nick Clegg ini turun signifikan hingga hanya tinggal 8 kursi parlemen. Para menteri asal Partai Libdem seperti Menteri Bisnis Vince Cable serta pejabat keuangan Danny Alexander harus kehilangan kursinya.

Pelajaran dari Pemilu Inggris

Kemenangan partai tidak terlepas dari peranan sentral David Cameron yang selama kampanye terlihat begitu berenergi dan efektif. Baik di acara debat publik maupun interviu yang kritis, David Cameron tampil meyakinkan dan dianggap publik berdasarkan survei sebagai pemenang.

Walaupun Cameron sering diserang karena latar belakangnya dari keluarga kaya dan berpendidikan sekolah elite seperti di Eton, dalam kampanye dia berhasil menunjukkan dapat berinteraksi dengan masyarakat biasa dengan mudah dan terlihat natural sehingga sukses meraih simpati pemilih yang lebih luas. Tidak mengherankan, dia menjadi perdana menteri kedua di zaman modern setelah Margaret Thatcher yang berhasil meningkatkan jumlah kursi parlemen pada saat ia masih berkuasa dalam pemilihan umum berikutnya.

Pelajaran lain yang cukup penting bagi kita adalah tindakan dari Ed Milliband dan Nick Clegg yang langsung mengundurkan diri dari jabatan ketua partai kurang dari 12 jam karena rasa tanggung jawabnya saat hasil pemilu menunjukkan hasil buruk dari partai mereka. Sikap kesatria ini tentu menjadi referensi berharga bagi para pimpinan partai politik Indonesia yang kebanyakan tidak menerima hasil, bahkan mencoba terus bertahan di tampuk kekuasaan saat hasil suara partai yang dipimpinnya menunjukkan kekalahan baik di pemilu nasional maupun pilkada.

VISHNU JUWONOKandidat Doktor di London School of Economics & Political Science dan Dosen Administrasi Publik di Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Indonesia

126

Strategi Diplomasi Pasca-Death Penalty

Koran SINDO12 Mei 2015

Indonesia menjadi sorotan dunia atas eksekusi hukuman mati terhadap sejumlah terpidana kasus narkoba belum lama ini. Meskipun berbagai kecaman dan tekanan datang dari masyarakat internasional, Pemerintah Indonesia mengirim sinyal tak akan menghentikan eksekusi berikutnya.

Sejauh ini opini di masyarakat terbelah antara mendukung dan menentang eksekusi mati. Pihak yang mendukung menyandarkan argumennya pada ”kedaulatan hukum” Indonesia, sementara yang menentang mempersoalkan kelayakan hukuman mati dilihat dari kacamata hak asasi manusia (HAM).

Penulis sendiri memahami kekecewaan masyarakat dunia terhadap hukuman mati. Namun, sebagai bangsa, kita memiliki kedaulatan, termasuk kedaulatan dalam bidang hukum. Oleh karena itu kita harus mendukung kebijakan yang sudah diambil oleh negara, dalam hal ini Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Meski demikian, karena interaksi antarnegara berjalan dinamis, dibutuhkan strategi yang tepat untuk mengelola isu death penalty sehingga tidak mengganggu agenda politik luar negeri kita. Justru kita harus bisa mengubah krisis tersebut menjadi peluang (from crisis to opportunity).

Kementerian Luar Negeri (Kemlu) sebagai pihak yang berada di depan dalam diplomasi internasional menghadapi berbagai tantangan selepas hukuman mati tersebut. Tantangan dimaksud di antaranya kelanjutan kerja sama Selatan-Selatan yang didorong Indonesia setelah peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) beberapa waktu lalu. Presiden Jokowi secara lugas mengatakan tidak percaya lagi dengan World Bank, Asian Development Bank (ADB) maupun International Monetary Fund (IMF). Atau dalam bahasa Jokowi, ”menghilangkan dominasi negara ke negara lainnya”. Hal itu akan direalisasi dengan penguatan kapasitas ekonomi negara-negara Selatan agar tidak lagi tergantung pada tiga lembaga tersebut (baca: Utara atau negara maju).

Meskipun sejumlah data yang dikutip Jokowi tentang utang Indonesia ke IMF dibantah oleh Menkeu Bambang Brodjonegoro, kita anggap itulah sikap Presiden Jokowi terhadap World Bank, ADB, dan IMF.

Pentingnya Dukungan Negara Sahabat

127

Pada titik ini, dengan adanya hukuman mati, ambisi Indonesia untuk menjadi ”poros” ekonomi di antara negara-negara Selatan dipastikan tak akan mudah. Paling tidak ada tiga alasan yang dikhawatirkan penulis akan menjadi penghalang.

Pertama, reaksi keras yang ditunjukkan Brasil (salah satu anggota BRICS, yang cukup pesat kemajuan ekonominya) setelah hukuman mati kepada dua warganya. Selain Brasil, beberapa warga negara Afrika juga menjalani eksekusi mati dan ini mengakibatkan diplomasi Indonesia di Afrika juga tak akan ringan. Terlebih saat ini muncul protokol di Afrika untuk penghapusan hukuman mati sebagai bagian dari penghargaan HAM di Afrika.

Kedua, hukuman mati akan mengganggu hubungan Indonesia dengan negara-negara Utara. Sebagian besar negara-negara di Amerika utara, Eropa, dan Australia sudah meratifikasi pelarangan hukuman mati. Sebagaimana kita ketahui, negara-negara tersebut memberikan reaksi keras sebelum dan setelah eksekusi dilakukan di Indonesia. Dalam kaitan dengan diplomasi, reaksi keras mereka dapat dipahami.

Negara-negara di atas selama 10 tahun terakhir kerap mendukung Indonesia, baik saat menghadapi krisis maupun dalam panggung diplomasi. Saat bencana tsunami di Aceh, 2004, negara-negara Utara banyak terlibat dalam rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh. Di panggung politik internasional, negara-negara tersebut juga secara sungguh-sungguh telah memberikan dukungan kepada Indonesia seperti pada saat pencabutan embargo militer AS kepada TNI, pembukaan kembali rute penerbangan langsung Jakarta ke Amsterdam dan London, serta penguatan kerja sama bidang pendidikan, budaya dan pariwisata dengan Australia.

Di forum PBB, Indonesia yang sejak 1998 seolah ”terlempar dari panggung dunia”, karena berbagai kasus pelanggaran HAM, sejak 2006 secara bertahap mendapatkan kembali kepercayaan dari negara-negara Barat. Indikator naiknya posisi Indonesia di panggung internasional dapat juga dilihat dari terpilihnya Indonesia di sembilan badan PBB dan organisasi internasional lainnya. Pada badan-badan tersebut, Indonesia terpilih dengan rata-rata angka dukungan yang cukup tinggi, sekitar 165 dari 192 anggota PBB.

Bahkan Indonesia juga dipercaya masuk ke dalam Dewan HAM PBB dan Dewan Keamanan (DK), sesuatu yang di masa lalu sangat mustahil mengingat track record kita yang dianggap sebagai negara pelanggar HAM. Bahkan, pada November 2007, Indonesia akan menjadi ketua sidang DK PBB, menggantikan Prancis. Atas sejumlah capaian itu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan Indonesia saat ini merupakan negara paling dinamis dan penting di Asia-Pasifik.

Dalam konteks politik luar negeri Presiden Jokowi, menjadi agenda penting bagi pemerintah untuk mempertahankan dan meningkatkan semua capaian tersebut melalui serangkaian ”jurus-jurus” diplomasi yang mumpuni. Namun harapan tersebut seakan membentur tembok selepas hukuman mati dilaksanakan. Di sinilah penulis melihat perlunya Kemlu dan jajarannya membuktikan diri mampu mengubah krisis menjadi peluang.

128

Ketiga, perlindungan terhadap TKI yang terancam hukuman mati di berbagai negara. Data BNP2TKI menunjukkan, saat ini setidaknya ada 279 TKI yang menghadapi hukuman mati di seluruh dunia. Jumlah ini tentu bukan sekadar angka, melainkan jiwa manusia yang harus diupayakan semaksimal mungkin untuk diselamatkan.

Jujur kita katakan, belum ada upaya maksimal dari pemerintahan Jokowi untuk bisa menyelamatkan TKI kita di luar negeri. Harapan akan nyawa TKI yang bisa diselamatkan tampaknya makin tipis seiring pelaksanaan hukuman mati oleh Pemerintah Indonesia. Negara-negara lain akan melihat apa yang kita lakukan dan menjalankan hukuman yang sama kepada warga kita. Tiga titik krusial itulah yang harus dijawab Presiden Jokowi dalam waktu dekat.

”Diplomat Super”

Dalam upaya ke sana, meskipun berat, selalu ada jalan untuk mencari solusi. Selalu ada kemungkinan, sekecil apa pun peluangnya. Maka dari itu diperlukan strategi ekstra dari pemerintah, khususnya Kemlu sebagai garda terdepan politik luar negeri (polugri) bangsa.

Salah satu cara yang harus dilakukan adalah memperkuat barisan diplomat dengan diplomat yang memiliki kapasitas, jam terbang, dan pengalaman mumpuni, khususnya mereka yang akan bertugas di negara-negara yang memiliki masalah dengan Indonesia selepas hukuman mati. Diplomat jenis ini harus memiliki kemampuan lobi, keuletan dalam negosiasi, kecakapan dalam debat, dan kemampuan sebagai seorang marketer. Tanpa itu efek hukuman mati hanya akan menjadi bencana yang sulit disembuhkan.

Di tengah harapan akan munculnya ”diplomat-diplomat super” tersebut, saat ini kita samar-samar terdengar isu banyaknya orang non-Kemlu yang masuk sebagai calon dubes untuk mengisi beberapa pos penting di luar negeri. Penulis menilai akomodasi merupakan hal yang wajar dalam politik bila takarannya tepat, tidak berlebihan. Tapi untuk sektor-sektor krusial seperti Kemlu, seharusnya politik akomodasi tersebut tidak dilakukan, paling tidak untuk masa sekarang. Sebab yang kita hadapi bukan sekadar mengurus perusahaan, melainkan menyangkut nyawa 279 TKI yang terancam hukuman mati di luar negeri, citra Indonesia sebagai negara demokratis, dan pertumbuhan ekonomi kita.

Penulis mengharapkan agar Kemlu dengan diplomat-diplomat profesional dan kompeten benar-benar menjadi garda terdepan diplomasi di tengah situasi krisis saat ini.

TANTOWI YAHYAWakil Ketua Komisi I DPR RI

129

Bukan Ketoprak Mataram

Koran SINDO13 Mei 2015

Keraton Yogyakarta memanas menyusul keluarnya Sabda Raja Sri Sultan Hamengku Buwono X pada 30 April 2015 yang intinya: perubahan penyebutan Buwono menjadi Bawono, dihilangkannya khalifatullah dalam gelar sultan, penyebutan Kaping Sedasa diganti Kaping Sepuluh. Disebut juga ada perubahan perjanjian antara Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan, serta menyempurnakan nama keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dan Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun.

Keraton makin bergolak setelah Ngarso Dalem kembali mengeluarkan Dawuh Raja pada 5 Mei 2015, yang substansinya mengangkat puteri sulungnya, GKR Pembayun, sebagai calon penerus takhta dengan gelar GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Gelar ini semacam penegasan bahwa Sultan sudah mengangkat puteri mahkota. Bahkan, gelar tersebut menyiratkan gelar seorang raja atau ratu.

Bukan hanya internal keraton yang memanas dan bergolak. Masyarakat Yogyakarta pun memberikan reaksi. Protes terutama hilangnya khalifatullah dalam gelar dianggap sebagai penghapusan sisi pemimpin agama pada diri Sultan. Tentu hal demikian dinilai ”melukai” sejarah Mataram Islam. Sebagian publik di Yogyakarta khawatir Kesultanan akan kehilangan orientasi karena menghilangkan sebagian karakternya yang sudah terpatri ratusan tahun.

Sejarah Konflik

Konflik sejatinya bukan hal yang baru bagi Kesultanan Yogyakarta. Bahkan, sejarah kelahiran kesultanan ini merupakan produk konflik internal kerajaan Mataram baru atau Mataram Islam. Perjanjian Giyanti pada 1755 memecah kerajaan menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Perjanjian berlangsung antara Pakubuwono III, Pangeran Mangkubumi, dan pihak Belanda. Pangeran Mangkubumi (adik Pakubuwono II) lantas menjadi Hamengku Buwono I yang bertakhta di Ngayogyakarta Hadiningrat.

Realitas sejarah lebih lanjut adalah lahirnya Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta sebelah utara yang menjadi wilayah berdaulat di bawah kendali Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) yang bergelar Mangkunegara I. Ini hasil Perjanjian Salatiga 1757 antara Pangeran Sambernyawa dan Kasunanan Surakarta. Sejarah bergerak terus, pada 1790 terjadi perjanjian segitiga antara Kasunanan, Mangkunegaran, dan Kesultanan bahwa ketiganya mempunyai kedudukan dan kedaulatan yang setara dan tidak akan saling serang.

130

Di Yogyakarta sendiri, penjajah Inggris sukses membelah kesultanan. Pasca-Kapitulasi Tuntang 1811 di Semarang, yakni perjanjian Belanda menyerahkan Hindia Belanda kepada Inggris, pada 1812 Raffles segera mengangkat Pangeran Notokusumo, putera Hamengku Buwono I, menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I, seorang pangeran merdeka di dalam Kesultanan Yogya. Pakualaman mengambil sebagian wilayah Kesultanan Yogyakarta, yakni Kulonprogo.

Ketegangan antara keduanya baru reda ketika setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII kompak mendukung Republik. Sampai sekarang hal tersebut diabadikan ke dalam bagian keistimewaan Yogyakarta sebagai gubernur dan wakil gubernur.

Artinya, kerajaan Islam terbesar di Jawa yang berjaya sejak zaman Sultan Agung itu kemudian terbelah-belah menjadi makin mini oleh adanya perselisihan internal di keraton yang bertemu dengan politik pecah-belah yang dimainkan oleh penjajah.

Dalam catatan sejarah Perang Jawa 1825-1830, Pangeran Diponegoro disebut memberontak terhadap kekuasaan Belanda dan Keraton. Perlawanan Diponegoro didukung diam-diam oleh Pakubuwono VI dari Kasunanan Surakarta. Setelah ditangkap, akhirnya Diponegoro dibuang ke Manado dan kemudian ke Makassar, sementara Pakubuwono VI diasingkan ke Ambon. Tercatat dalam Babad Diponegoro, Sang Pangeran kecewa saat dilantik sebagai salah satu wali dari Hamengku Buwono V yang masih balita, kemudian menolak menunaikan tugas perwalian itu dan lebih suka dipanggil dengan nama Islamnya, Ngabdulkamid.

Di era terkini, sepeninggal Pakubuwono XII pada 2004 terjadi raja kembar di Kasunanan Surakarta. Konflik kakak-adik Pangeran Hangabehi dan Pangeran Tedjowulan beserta saudara-saudaranya sampai saat ini belum sepenuhnya tuntas meski berbagai mediasi telah dilakukan.

Konflik juga terjadi di Pakualaman. Kanjeng Pangeran Haryo Anglingkusumo dinilai membelot dari tatanan Pura Pakualaman dengan pengukuhan dirinya sebagai Paku Alam IX ”tandingan” di Kulonprogo pada April 2012. Pengukuhan Anglingkusumo di Kulon Progo dinilai melawan paugeran (peraturan) Pakualaman.

Politik Keistimewaan

Perselisihan internal di Keraton Yogyakarta ini bisa berpotensi serius. Materi konfliknya bukan hanya semata-mata terkait dengan sejarah dan budaya. Jika konflik di keraton Surakarta lebih bersifat kultural, gejolak di Keraton Yogyakarta tidak bisa dihindarkan dari kaitan politik.

Dalam UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta, Keraton mempunyai kedudukan politik yang khusus. Inilah yang dulu dalam proses pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta terkait dengan pertarungan antara ide Penetapan dan Pemilihan.

131

Akhirnya, aspirasi Penetapan yang diadopsi di dalam undang-undang, yakni Sultan Yogyakarta dan Paku Alam, otomatis diamanahkan sebagai gubernur dan wakil gubernur.

Terkait dengan Sabda Raja dan Dawuh Raja, sebelumnya Sultan Hamengku Buwono X sudah menyampaikan Sabdatama pada 6 Maret 2015. Sabdatama ini intinya Sultan melarang pihak lain mencampuri tata pemerintahan Keraton, termasuk dalam berkomentar tentang siapa pewaris tahtanya. Sultan juga menegaskan, kalaupun diperlukan revisi undang-undang keistimewaan, Sabdatama akan menjadi rujukan utamanya.

Kita ingat saat itu di DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta sedang terjadi perdebatan yang dipicu oleh adanya pasal dalam rancangan peraturan daerah tentang pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur yang mensyaratkan gubernur dan wakilnya harus seorang lelaki. Sementara itu, lima anak Sultan semuanya perempuan. Jelas bahwa rangkaian itu menunjukkan antisipasi Hamengku Buwono X terhadap proses suksesi di internal keraton yang sekaligus terkait dengan posisi istimewa di dalam proses pengisian jabatan gubernur DIY.

Jadi, konflik yang muncul saat ini bukan semata-mata soal perdebatan apakah boleh ada raja perempuan di keraton Yogyakarta. Bukan pula hanya soal bagaimana nasib kelanjutan silsilah Hamengku Buwono setelah ditetapkannya GKR Pembayun dengan bergelar Mangkubumi. Peristiwa ini sama sekali tidak bisa dilepaskan dari konteks politik modern di tingkat lokal tentang siapa gubernur Yogyakarta yang akan datang.

Karena menyangkut dimensi politik, sejatinya perselisihan ini jauh lebih dalam ketimbang sekadar perang simbolik antara adik-adik Sultan yang berziarah ke Imogiri untuk minta maaf kepada leluhur karena menilai Sultan sudah khilaf dan menabrak paugeran Keraton. Bukan juga hanya jawaban simbolik dari Sultan bahwa semua itu adalah perintah Gusti Allah lewat bapak dan leluhurnya, setelah Sultan menjalani laku rohani. Juga tidak akan selesai dengan penegasan bahwa untuk memahami hal ini harus menggunakan rasa, bukan pikiran.

Ini terlalu kompleks untuk disederhanakan. Ini adalah masalah serius dan bukanlah ketoprak Mataram. Jika di Surakarta yang lebih simpel dimensinya masih sulit diselesaikan sampai saat ini, tentu konflik internal Keraton Yogyakarta ini tidak boleh diremehkan. Amat jelas bahwa konteks konflik di Keraton Yogyakarta terkait dengan dimensi yang lebih kompleks, termasuk urusan politik dan bahkan ekonomi.

Peristiwa ini adalah ujian sejarah atas apa yang telah diwariskan Hamengku Buwono IX dalam terminologi yang sangat terkenal: ”Takhta Untuk Rakyat”. Pada titik inilah ”rasa” dan ”pikiran” rakyat perlu dipertimbangkan. Solusi terbaik patut diikhtiarkan. Semoga.

ANAS URBANINGRUMPengamat Politik

132

Prinsip Arbitrase pada Sistem Hukum Indonesia Perlu Diselaraskan dengan Kaidah Internasional

Koran SINDO13 Mei 2015

Dalam setiap transaksi bisnis internasional, para pelaku usaha sering dihadapkan pada suatu benturan yang sering mengakibatkan timbulnya sengketa bisnis. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan sistem hukum, kebiasaan, dan budaya dari setiap pelaku usaha.

Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan suatu metode alternatif penyelesaian sengketa yang dapat memberikan solusi kepada mereka. Selain litigasi di dalam pengadilan yang konvensional, sekarang dikenal alternatif penyelesaian sengketa berupa arbitrase perdagangan (commercial arbitration).

Pada saat ini, arbitrase telah berkembang menjadi salah satu metode alternatif penyelesaian sengketa yang diminati oleh para pelaku usaha. Hal ini disebabkan karakteristik arbitrase yang dinilai dapat memenuhi kebutuhan dari pelaku usaha.

Pertama, putusan arbitrase bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak (final and binding), ini berarti bahwa putusan arbitrase tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali, sebagaimana pada putusan pengadilan negeri, yang mana akan lebih menghemat waktu (time efficient).

Kedua, fleksibilitas dari proses arbitrase. Dalam proses beracara di arbitrase dikenal adanya prinsip kebebasan para pihak dalam menentukan proses arbitrase (party autonomy). Berdasarkan prinsip ini, para pihak dapat dengan bebas menentukan prosedur acara arbitrase yang mereka kehendaki, seperti bahasa yang digunakan, jumlah arbitrer, penunjukan arbitrer, atau hukum yang berlaku.

Ketiga, kerahasiaan. Sidang arbitrase selalu dilakukan dalam ruang tertutup (close door session), ini berarti sidang arbitrase tidak diperuntukkan untuk umum, tetapi hanya bagi para pihak yang bersengketa atau kuasanya.

Arbitrase dapat diartikan sebagai cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum, yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak. Sengketa tersebut diselesaikan oleh hakim partikelir yang disebut dengan arbitrer. Arbitrer yang ditunjuk dapat berupa arbitrer tunggal maupun berupa majelis arbitrase yang terdiri dari tiga orang arbitrer.

133

Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) mengatur bahwa kesepakatan tersebut harus dibuat dalam bentuk tertulis. Kemudian, perjanjian arbitrase yang sah mengakibatkan para pihak tidak dapat lagi mengajukan penyelesaian sengketa ke pengadilan negeri. Ini berarti bahwa para pihak telah memberikan kewenangan hanya kepada arbitrer untuk memeriksa dan memutus perkara.

***

Setelah memahami arbitrase sebagai metode alternatif penyelesaian sengketa, sekarang yang menjadi pertanyaan apakah UU Arbitrase sudah sesuai dengan kebutuhan para pelaku usaha? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan penerapan prinsip-prinsip dalam arbitrase internasional yang berlaku pada UU Arbitrase.

Diawali dengan prinsip yang menjadi dasar dari arbitrase, yaitu prinsip party autonomy. Prinsip party autonomy merupakan prinsip dasar yang sangat penting dalam arbitrase, di mana para pihak bebas menentukan proses acara arbitrase yang mereka kehendaki bersama. Namun, seperti halnya dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, kebebasan dalam prinsip party autonomy sering dijadikan dasar bagi para pihak untuk menghambat proses arbitrase itu sendiri.

Prinsip party autonomy tecermin dalam Pasal 31 ayat (1) UU Arbitrase, yang pada intinya mengatur secara tegas bahwa para pihak bebas menentukan proses acara arbitrase yang mereka kehendaki, dengan catatan bahwa kesepakatan mereka tidak bertentangan dengan UU Arbitrase itu sendiri. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa UU Arbitrase telah mengadopsi prinsip party autonomy dan telah sejalan dengan kaidah hukum arbitrase internasional.

Kemudian Prinsip Pemisahan atau Separability Principle. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu klausul arbitrase berdiri sendiri dan memiliki nyawa yang terpisah dengan perjanjian pokok. Oleh karena itu, berdasarkan separability principle, batalnya suatu perjanjian pokok tidak memengaruhi keabsahan perjanjian arbitrase. UU Arbitrase Nasional telah menganut separability principle, yang mana hal tersebut telah dituangkan dalam Pasal 10, yang menyatakan bahwa perjanjian arbitrase tidak akan menjadi batal dengan berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

Prinsip arbitrase yang berikutnya yaitu competence-competence principle. Prinsip ini dapat diartikan sebagai prinsip yang memberikan kewenangan kepada majelis arbitrase untuk menentukan kompetensinya sendiri. Oleh karena itu, keberatan dari salah satu pihak atas yurisdiksi dari majelis arbitrase diajukan kepada majelis dan majelis sendirilah yang menentukan.

134

Namun, UU Arbitrase tidak mengatur secara khusus mengenai kewenangan yang dimiliki oleh majelis arbitrase untuk menentukan yurisdiksinya sendiri, sehingga banyak pihak mengajukan keberatan atas kompetensi dari majelis arbitrase ke pengadilan. Hal tersebut sering kali menghambat proses pemeriksaan arbitrase itu sendiri.

Di samping mengenai permasalahan di atas, dalam praktiknya terdapat juga permasalahan mengenai pembatalan putusan arbitrase yang mana alasannya sering mengada-ada. Pembatalan putusan arbitrase dapat dibatalkan dengan alasan-alasan limitatif yang terkandung di dalam Pasal 70 UU Arbitrase, yaitu adanya: (i) dokumen palsu; (ii) bukti yang disembunyikan; atau (iii) tipu muslihat. Namun sangat disayangkan, dalam praktiknya banyak putusan arbitrase yang dibatalkan dengan alasan benturan kepentingan (conflict of interests) arbiter atau alasan putusan arbitrase melawan ketertiban umum (public policy) yang jelas-jelas tidak terdapat dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan dapat menghambat proses arbitrase itu sendiri. Padahal seharusnya alasan melawan ketertiban umum (public policy) merupakan alasan yang digunakan untuk menghambat atau menunda exequatur (perintah untuk melaksanakan putusan arbitrase oleh pengadilan) sesuai dengan Pasal 66 UU Arbitrase.

Sedangkan alasan benturan kepentingan (conflict of interests) arbitrer dengan para pihak seharusnya diselesaikan dengan mengganti arbitrer yang bersangkutan (recuse) dengan mengajukan tuntutan hak ingkar (challenge) sesuai Pasal 22 UU Arbitrase yang mengatur bahwa hak ingkar dapat diajukan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan, keuangan, atau pekerjaan dengan salah satu pihak, sehingga tidak tepat jika hal-hal di atas dijadikan alasan pembatalan putusan arbitrase. Hal ini disebabkan oleh ketidakpahaman dan ketidakpercayaan mereka terhadap arbitrase. Selain itu, mereka merasa lebih nyaman dan terbiasa dengan proses litigasi konvensional di pengadilan.

***

UU Arbitrase dihadapkan pada tantangan zaman, yaitu kepastian hukum dan kecepatan dalam alternatif penyelesaian sengketa. Oleh karena itu, perlu dilakukan amendemen terhadap UU Arbitrase yang mengatur kewenangan kepada majelis arbitrase untuk menentukan sendiri yurisdiksi yang dimilikinya terhadap perlawanan yurisdiksi arbitrase.

Kemudian, apabila Indonesia mampu menjadi negara yang lebih bersahabat terhadap arbitrase (arbitration friendly) ini akan mendorong iklim investasi di Indonesia yang lebih kondusif, hal ini dikarenakan, pada saat ini arbitrase telah menjadi pilihan utama bagi para pelaku usaha baik asing maupun domestik untuk menyelesaikan sengketa mereka.

Selain daripada itu, UU Arbitrase pun perlu juga diselaraskan dengan peraturan dan praktik dari institusi-institusi arbitrase internasional seperti ICC dan UNCITRAL, antara lain peraturan mengenai arbitrer darurat atau emergency arbitrator provisions yang dapat memberi solusi cepat dalam keadaan darurat untuk melindungi hak dan aset dari pihak yang beperkara.

135

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan UU Arbitrase dan perubahan sikap terhadap arbitrase sangat diperlukan. Apabila Indonesia mengabaikan hal tersebut, negara tidak dapat memenuhi tuntutan akan kepastian hukum bagi para pelaku usaha di kemudian hari.

FRANS H WINARTA Ketua ICC Indonesia Bidang Arbitrase dan Hukum Bisnis; Anggota Arbitrer di International Court of Arbitration of ICC, Paris

136

Versi Lain Poros Maritim

Koran SINDO13 Mei 2015

Dua hari lalu digelar seminar bertajuk ”Poros Maritim dan Politik Luar Negeri Indonesia” di Kementerian Luar Negeri RI. Sedianya Menteri Luar Negeri Retno Marsudi akan memberikan pidato kunci. Kontan, para duta besar negara sahabat berbondong-bondong hadir, begitu juga para pengamat, praktisi dan mahasiswa, tak kurang dari 500 orang jumlahnya.

Maklum, sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan dalam pidato pelantikannya 20 Oktober 2014 tentang keinginannya mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai negara maritim, praktis belum ada penjabaran resmi tentang apa yang direncanakan pemerintah untuk mencapai cita-cita tersebut. Memang Presiden sempat berpidato tentang hal ini di KTT Asia Timur; tercatat ada 5 pilar dari prinsip Indonesia sebagai poros maritim (yang diterjemahkan sebagai maritime fulcrum alias titik tumpu maritim dunia).

Diskusi ini menarik karena menghadirkan generasi pemikiran maritim yang berbeda dari sisi pengalaman dan pemahaman. Kalangan yang masih samar-samar tentang ide poros maritim pemerintah merasa menjadi kaya akan diskusi yang berlangsung karena menampilkan versi yang berbeda dari yang selama ini kita dengar. Versi itu terutama berasal dari pokok paparan pakar hukum laut internasional Hasjim Djalal dan Direktur Jenderal serta Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan di Kementerian Luar Negeri Darmansjah Djumala. Saya mencoba membagikan informasi tentang poin-poin yang diangkat dalam diskusi hari itu.

***

Pokok pertama pembahasan adalah kata ”poros maritim”. Kata ”poros” dijelaskan Presiden ketika berbicara dalam KTT Asia Timur pada November 2014. Ia berkata, ”Indonesia berharap untuk menjadi poros maritim dunia yang menghubungkan dua samudra dan ingin muncul sebagai negara maritim makmur yang disegani untuk itu Indonesia akan membangun kembali budaya kemaritiman.”

Dalam diskusi, konteks kata “poros” dapat dimengerti sebagai posisi geostrategis Indonesia yang menuntut Indonesia untuk berperan lebih baik dalam mengelola lautnya. Maklum tercatat 2/3 wilayah Indonesia adalah laut. Indonesia berbatasan laut dengan 10 negara. Perairan Indonesia pun tergolong padat oleh lalu lintas kapal-kapal dalam dan luar negeri untuk berbagai tujuan, mulai dari berdagang, memanfaatkan hasil laut, menjalankan tugas pertahanan hingga membawa sampah nuklir.

137

Poin Presiden tentang perlunya kembali memberikan perhatian dan memandang ke laut tidak disanggah, tetapi yang menarik adalah bobot perhatian dan cara memandangnya yang tidak sama antara pemerintah dan beberapa ahli. Salah satunya diungkapkan Hasjim Djalal, profesor hukum laut internasional yang sangat disegani, bahkan di tingkat internasional. Dia dulu pernah berperan sebagai ketua sekaligus presiden dari International Seabed Authority (organisasi internasional independen yang dibentuk menyusul Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982/UNCLOS dan kesepakatan implementasi hukum tersebut pada 1994).

Dalam pernyataannya, Hasjim mengatakan prinsip yang tergambar dalam uraian pemerintah tentang laut dan poros maritim adalah prinsip connectivity (sebagai penghubung). Namun dia mengingatkan bahwa status Indonesia yang sudah dikenal dan tercatat secara legal di tingkat internasional adalah sebagai negara kepulauan (archipelagic state). Status itu menyandang makna dan logikanya yang sesungguhnya lebih dalam daripada sekadar sebagai penghubung. Hasjim menyebut konsep negara maritim (maritime state).

Untuk menjadi negara maritim, Indonesia harus paham memanfaatkan ruang maritim untuk kepentingan ekonomi, pertahanan, politik, dan sebagainya. Hasjim mengutip contoh negara seperti Belanda dan Singapura. Kedua negara ini sesungguhnya bukan terdaftar sebagai negara kepulauan, tetapi ternyata lebih dapat memaksimalkan wilayah lautnya yang terbilang sangat terbatas dibandingkan Indonesia. Mereka gigih dan ngotot memanfaatkan laut, baik yang dekat maupun jauh, sehingga mereka dikenal sebagai negara maritim.

Apabila Indonesia ingin sejajar dengan negara-negara maritim lain, Hasjim mencatat perlunya Indonesia memenuhi syarat-syarat berikut ini: 1. Mampu dan telah menggunakan hak-hak atas laut internal sebagaimana ditetapkan dalam UNCLOS. 2. Menetapkan perairan kepulauan dan mendaftarkannya ke PBB. 3. Mengakui wilayah laut teritorial (12 mil dari karang terluar) termasuk menetapkan perbatasan yang jelas dengan negara-negara tetangga. 4. Menetapkan zona tambahan (contiguous zone) untuk dimanfaatkan dalam menambah biaya bea, imigrasi, termasuk dalam hal standar-standar tertentu dan mendaftarkan wilayah (baru) ini kepada PBB. 5. Menetapkan zona ekonomi untuk mengklaim hak pengelolaan perikanan.

6 Menetapkan hak pengelolaan dasar laut di luar zona 200 mil dan ini sama sekali belum dimanfaatkan oleh Indonesia. 7. Menetapkan hak atas samudera, baik lautnya maupun dasar lautnya (bayangkan bahwa negara seperti Cina dan Korea Selatan sudah punya hak ini di Samudera Hindia, padahal mereka tidak berbatasan laut dengan wilayah itu). 8. Mengakui hak negara-negara lain atas laut di Indonesia.

9 Mampu menjaga zona maritim Indonesia, baik dari segi keamanan maupun pertahanan, termasuk pemanfaatan sumber daya yang ada di sana. 10. Mampu melindungi lingkungan hidup di laut, termasuk menghindarkan dari polusi dan kerusakan lingkungan.

Poin-poin dari Hasjim Djalal menunjukkan bahwa menjadi penghubung saja adalah penerjemahan yang kurang lengkap dari konsep poros maritim. Secara tidak langsung, Wakil Menteri Luar Negeri juga mengakui kelemahan konsep tersebut karena penerjemahan konsep

138

poros maritim masih berkembang mengingat Indonesia masih kekurangan dari segi infrastruktur dan sumber daya manusia.

Yang menarik adalah kata ”kedaulatan” berkali-kali muncul dalam penerjemahan konsep poros maritim. Kedaulatan diartikan sebagai kemampuan memfasilitasi kegiatan maritim, mengelola sumber daya, menjaga pertahanan dan keamanan, serta menegakkan aturan (di dalam wilayah kita). Poin itu memancing komentar bahwa cara pandang Indonesia terlalu terbatas pada urusan dalam negeri semata. Dan menyajikan poin seperti itu dalam forum yang dihadiri perwakilan negara asing justru menunjukkan bahwa Indonesia terlalu naif mengharapkan negara lain mau mendukung agenda nasional.

***

Dari diskusi tersebut terlihat bahwa ada dua asumsi yang sangat berbeda tentang cara mencapai visi poros maritim. Asumsi pertama dengan menunjukkan kemampuan Indonesia dalam mengelola, menjaga, dan merawat wilayah laut, baik yang di dalam negeri, yang dilewati kapal-kapal negara lain maupun yang berdekatan dan jauh posisinya dari perairan internal. Jika kemampuan itu ditunjukkan, otomatis respek akan diperoleh dan negara-negara lain akan bertumpu pada kompetensi Indonesia tersebut.

Asumsi kedua dengan menjadi fasilitator bagi negara-negara lain yang punya kompetensi untuk mengelola wilayah laut internal. Syarat dalam asumsi kedua ini adalah suatu harapan bahwa negara-negara lain yang mengelola wilayah Indonesia akan berbagi kesejahteraan dan turut merawat lingkungan.

Silakan kita renungkan mana asumsi yang paling jitu memberi hasil bagi Indonesia dengan risiko politik dan pertahanan yang seminim mungkin.

DINNA WISNU, PhD Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu

139

Praperadilan di Indonesia

Koran SINDO18 Mei 2015

Persoalan serius dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia pascaputusan praperadilan perkara BG dan IAS adalah ketentuan mengenai praperadilan, tidak lagi ketentuan mengenai hukum pembuktian semata-mata karena putusan praperadilan dapat mencegah ketidakadilan pencari keadilan dari tindakan sewenang-wenang penyidik. Putusan praperadilan, sekalipun bukan forum pembuktian atas kesalahan terdakwa, memiliki nilai HAM tertinggi dibandingkan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Ketentuan praperadilan dimasukkan dalam KUHAP Tahun 1981 sejatinya merupakan upaya para ahli hukum yang diinisiasi antara lain oleh, Adnan Buyung Nasution, pengacara terkemuka ketika itu; petinggi Polri seperti Awaludin Djamin dan Purwoto Gandasubrata (almarhum); serta Ketua MA dan Kejaksaan. Mereka berkomitmen untuk mengakhiri proses beracara HIR peninggalan masa Hindia Belanda dengan alasan banyak ketentuan acara masih mencerminkan peradaban kolonialisme sehingga diperlukan praperadilan.

Praperadilan atau preliminary hearing (sistem Common Law, Amerika Serikat dan Inggris) adalah a criminal hearing to determine whether there is sufficient evidence to prosecute an accused person (Blacks Law Dictionary). Penekanan sufficient evidence atau bukti yang cukup dan sah baik dalam praperadilan di AS dan Inggris maupun sistem hukum kekuasaan kehakiman Indonesia diakui merupakan benchmark perlindungan HAM in concreto. Logis dan dapat diterima secara hukum jika hakim praperadilan mempertanyakan (1) kecukupan alat bukti (sufficient evidence) vide Pasal 184 jo 183 KUHAP, dan (2) keabsahan perolehannya dalam proses penyidikan.

Tidak dapat dimungkiri tugas hakim praperadilan di negara dengan sistem common law, adalah memverifikasi alat bukti (yang cukup), bahwa telah lengkap dua alat bukti minimal dan perolehannya secara sah dalam penetapan tersangka dan kelima objek praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP.

***

Untuk menemukan keadilan dan tidak terjadi “perampasan” hak asasi tersangka, hakim praperadilan dapat memperluas tafsir hukum (ekstentif) terhadap pengertian istilah “praperadilan” sesuai dengan perkembangan keadilan masyarakat kekinian.

Fungsi dan peranan lembaga praperadilan (preliminary hearing atau pretrial) dalam sistem peradilan di kedua sistem hukum yang diakui universal, sangat strategis. Hakim praperadilan

140

ditugasi untuk mempersoalkan lingkup dan batas-batas tindakan hukum penyidik yang diperbolehkan sesuai standar perlindungan HAM universal yang telah diakui berdasarkan ratifikasi ICCPR dengan UU RI No. 12 Tahun 2005.

Ketentuan praperadilan di dalam dua sistem hukum yang diakui universal ini, jelas untuk membuktikan bahwa peradaban manusia abad pasca pembentukan PBB dan Deklarasi HAM Universal (1948) telah berubah. Bahkan sistem itu berbeda secara mendasar dari masa perbudakan abad ke-15 sampai dengan awal abad pertengahan kepada masa pencerahan dan kemanusiaan masa kini.

Ronny Nitibaskara mengatakan bahwa tindakan hukum sewenang-wenang menetapkan status tersangka, menangkap dan menahan termasuk tindak hukum lainnya yang tidak sah; mencerminkan “penjajahan” abad modern dan hukum telah dipergunakan untuk melakukan kejahatan (law as a tool of crime).

Di lapangan hukum administratif, tindakan pejabat publik atau penyelenggara negara/pemerintahan yang merupakan penyalahgunaan wewenang telah diatur di dalam Pasal 17 UU RI No. 30 Tahun 2014 tentang Sistem Administrasi Pemerintahan. Karena itu, sejak pemberlakuannya, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat dimaksud pertama-tama dan diutamakan harus ditafsirkan sebagai atau termasuk tindakan administratif tidak serta-merta dianggap perbuatan yang memuat unsur pidana dan merupakan objek peradilan tata usaha negara, bukan peradilan pidana. Menurut penulis, proses peradilan TUN terhadap subjek penyelenggara negara analog dengan praperadilan terhadap tindakan aparatur penegak hukum (penyidik) dan keduanya harus dapat dibedakan satu sama lain.

Ketentuan praperadilan menurut KUHAP telah diubah di dalam Rancangan KUHAP (2012)-RUU KUHAP 2012, yang dipelopori Andi Hamzah, tercantum dalam Pasal 111 dengan 10 (sepuluh) objek “praperadilan” yang disebut dengan “ pemeriksaan pendahuluan”. RUU KUHAP (2012) bahkan menyentuh pokok perkara seperti bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri; bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah (h) dan layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan (i).

***

Menurut penulis, setiap fakta yang ditemukan sepanjang proses beracara pidana yang diduga telah melanggar hak asasi seharusnya dapat dipersoalkan oleh tersangka/terdakwa. Masalah itu harus dipertimbangkan oleh majelis hakim dalam pemeriksaan pokok perkara karena perjuangan hak asasi tidak dapat dibatasi waktu dan tempat.

Lingkup praperadilan atau pemeriksaan pendahuluan sebaiknya diperluas termasuk hak ekonomi, hak sosial dan hak politik setiap orang berdasarkan Bab XA UUD 1945 tentang HAM. Dalam hal ini tentunya harus dirinci perbuatan-perbuatan yang termasuk pelanggaran

141

hak-hak dimaksud agar dapat di-praperadilan-kan atau dijadikan objek pemeriksaan pendahuluan.

Negara tidak memiliki hak untuk membatasi hak setiap orang memperjuangkan keadilan bagi yang bersangkutan terkait dugaan perampasan hak asasinya. Bahkan negara wajib melindungi dan memelihara serta memfasilitasi dan menjunjung tinggi hak asasi setiap orang sesuai dengan amanat UUD 1945.

Keberhasilan praperadilan BG dan IAS seharusnya dipandang dari kacamata (optik) penegakan HAM di Indonesia, bukan hanya semata-mata pandangan (optik) sempit normatif. Dalam penegakan hukum diakui secara universal bahwa prosedur (means) memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan tujuan (goals) sehingga para ahli filsafat hukum modern selalu menyatakan law as a means to an end, not an ends in itself. Dalam kalimat penganut aliran hukum modern (Pound dan Mochtar K), law as a tool of social engineering atau law as a tool of social and bureaucratic engineering (RAS).

Dalam mencermati dan mengkritisi ketentuan UU, menurut saya, yang perlu dipahami adalah nilai-nilai (values) di balik setiap norma yang diatur di dalamnya. Oleh karena itu, undang-undang dengan sejumlah pasalnya merupakan sistem nilai (system of values) teori hukum integratif bukan system of norms and logics per se.

ROMLI ATMASASMITA Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran dan Universitas Pasundan

142

Integritas dalam Penegak Hukum

Koran SINDO18 Mei 2015

Negara hukum Indonesia hampir berusia 70 tahun. Sudahkan bangsa ini semakin dewasa, matang, dan arif dalam berhukum?

Sejujurnya, masih jauh dari harapan. Lebih elegan menyatakan, ada indikasi perjalanan bangsa ini salah kiblat, keluar dari rel perjuangan, dan menyimpang dari cita-cita bernegara hukum. Bahkan ada benarnya pula untuk menyatakan bahwa praktik penegakan hukum di negeri ini cenderung mengikuti paham (machtsstaat) negara berdasar atas kekuasaan dan kekuatan.

Indikasi dimaksud antara lain terjadinya arah tak menentu dalam penegakan hukum. Formalitasnya untuk mewujudkan keadilan, tetapi fakta di lapangan untuk mendapatkan kemenangan. KORAN SINDO dalam Tajuk berjudul ”Arah Penegakan Hukum” (11/5/ 15) seakan menjadi penyambung aspirasi publik. Dengan kritis dan lugas menyorot permasalahan penegakan hukum.

Dinyatakan: ”Betapa bahayanya jika hukum dilaksanakan sesuai dengan kepentingan politik jangka pendek oleh elite yang berkuasa. Hukum adalah wilayah independen, tidak bisa diintervensi siapa pun baik kalangan eksekutif, legislatif maupun individu-individu di lembaga yudikatif itu sendiri. Bahkan, opini publik pun semestinya tidak boleh memengaruhi objektivitas para penegak hukum. Namun hukum juga bukan hal yang bebas nilai. Hukum tidak akan berfungsi apa-apa jika berada di ruang hampa. Hukum pun seharusnya memiliki roh baik yang diembuskan para pemimpin yang baik dan berintegritas tinggi.”

Integritas pemimpin oleh KORAN SINDO dipandang sebagai faktor penting dalam penegakan hukum. Mengapa penting dan apa maknanya?

Dalam berbagai kesempatan, saya diminta menjadi narasumber pertemuan kerja beberapa kementerian dengan materi tentang integritas. Ada yang dikaitkan dengan wawasan kebangsaan, ada pula yang dikaitkan dengan upaya mewujudkan wilayah bebas dari korupsi dan sebagainya. Saya pandang relevan, kali ini membicarakan perihal integritas dalam penegakan hukum.

Berdasarkan penelusuran berbagai sumber, baik pendapat para ahli ataupun literatur, dapat dikemukakan bahwa integritas (bahasa Inggris: integrity) senantiasa berbicara tentang ”jati diri” seseorang, mencakup kebeningan kalbu, kecerdasan akal, dan keterampilan perbuatan

143

sehingga dalam setiap saat terlihat konsistensinya antara pemikiran, sikap, ucapan dan perilaku.

Sosok penegak hukum berintegritas, oleh karenanya, dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut: (1) berakhlak mulia, (2) amanah dalam jabatan, (3) arif-bijaksana dalam menghadapi realitas plural, (4) konsisten antara ucapan dan perbuatan, (5) taat pada nilai dan norma kehidupan (baik tertulis maupun tak tertulis), (6) berorientasi pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kualitas negara hukum Indonesia amat ditentukan oleh integritas penegak hukum dan pencari keadilan. Pengejawantahan integritas dapat disimak kembali melalui sejarah perjuangan bangsa ketika membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Penjajahan itu bertentangan dengan perikeadilan, oleh karenanya wajib diperangi.

Pada saat itu, integritas manusia Indonesia dapat dibanggakan. Mereka senantiasa tampil di depan dengan semangat tinggi, berjuang tanpa kenal lelah. Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Soepomo, Ahmad Soebardjo, dan kawan-kawannya ketika itu masih berumur di bawah 30-an tahun.

Semangat perjuangan para pendahulu mestinya menginspirasi penegak hukum generasi sekarang. Semangat perjuangannya sepadan dengan semangat pemuda, terus membara dan berkobar-kobar. Itulah integritas yang kita perlukan. Kata Bung Karno: ”Kalau pemuda sudah berumur 21, 22, sama sekali tidak berjuang, tak bercita-cita, tak giat untuk Tanah Air dan bangsa... Pemuda yang begini baiknya digunduli saja kepalanya....” Dinyatakan pula: ”Berikan aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Gunung Semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Pernyataan itu secara tersirat memberikan dorongan, semangat, dan motivasi agar negara hukum ini mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, maka penegak hukum dan pencari keadilan mesti memiliki integritas tinggi.

Sinergi dan kebersatuan antara penegak hukum dan pencari keadilan amat diperlukan. Dalam perspektif Philosophischegrondslag, memosisikan Pancasila sebagai dasar membangun integritas, hemat saya, relevan untuk saat ini dan masa depan.

Dari amanat Bung Karno di depan Kongres Rakyat Jawa Timur, 24 September 1955 di Surabaya, dapat disimak bahwa Pancasila sebagai lima mutiara cemerlang terbenam di dalam bumi Indonesia karena penjajahan bangsa asing selama 350 tahun. Pancasila sebagai way of life sudah ada sebelum ada Bung Karno, sebelum ada Republik Indonesia. Dari dahulu, bangsa Indonesia telah mengenal Tuhan dan hidup di alam Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari dahulu, bangsa Indonesia telah cinta kepada Tanah Air dan bangsa. Dari dahulu, kita sudah mengenal rasa kebangsaan dan rasa kemanusiaan. Demikian pula rasa kedaulatan rakyat dan cita-cita keadilan sosial.

144

Integritas dalam penegakan hukum akan mampu dibangun bila nilai-nilai Pancasila sebagai Philosophischegrondslag mampu ditanamkan ke dalam hati-sanubari setiap penegak hukum dan pencari keadilan sehingga daripadanya muncul pemikiran, sikap, dan perilaku yang senantiasa berkiblat pada keadilan sosial dan berkontribusi demi tercapainya tujuan bernegara.

Mengapa penegakan hukum di negara berdasarkan Pancasila miskin integritas? Karena penerimaan Pancasila sebatas formalitas, bahkan ada pihak yang tega mengomoditaskan Pancasila. Jadilah sistem penegakan hukum di negeri ini tidak berdasarkan Pancasila.

Dengan mengimpor sistem penegakan hukum dari negara asing, dibiarkan ”lubang integritas” menganga sehingga penegak hukum yang dulunya tergolong jujur pun tersungkur di dalam ”lubang” sistem yang korup. Isme-isme asing, utamanya modernisme, kapitalisme, dan positivisme, mengajarkan tentang arti pentingnya materi duniawi. Kekuasaan, harta benda, dan uang didewa-dewakan.

Akar korupsi adalah nafsu cinta dunia. Nafsu cinta dunia yang tak terkendali mendorong penegak hukum serakah terhadap hak-hak orang lain. Menjadi paradoksal bila jabatan, harta benda, dan sejenisnya diperoleh tanpa hirau terhadap integritas. Tanpa integritas, penegakan hukum berada dalam kubangan kotor.

Nabi Muhammad SAW bersabda: Yang kotor tidak bisa membersihkan yang kotor. Alangkah indah dan elegan bila pemerintahan sekarang mampu melakukan pembenahan, pembersihan sistem dan aparat penegak hukum sebagai langkah mewujudkan integritas. Wallahu alam.

PROF DR SUDJITO SH MSi Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada

145

TNI AL sebagai Pengawal Poros Maritim Dunia

Koran SINDO18 Mei 2015

Dalam sejarah negeri ini yang cukup panjang sejak kemerdekaannya 70 tahun yang lalu, bangsa ini hanya pernah memiliki dua presiden yang berorientasi sekaligus berani menempatkan Indonesia sebagai negara “pemain” daripada sekadar negara “penonton” dalam konstelasi pergerakan politik dan pertahanan keamanan kawasan dan dunia. Kedua presiden ini adalah Soekarno dan Joko Widodo (Jokowi).

Pembangunan maritim tidak bisa dilakukan secara serbainstan. Untuk mengoptimalkan pembangunan maritim di tingkat nasional, regional dan global, dan khususnya dalam mencapai Poros Maritim Dunia dibutuhkan arah, orientasi, strategi dan antisipasi pembangunan yang efektif. Diperlukan segenap daya, upaya, keunggulan sumber daya, posisi strategis dan geopolitik yang perlu diarahkan untuk menjawab tantangan demi mewujudkan keunggulan Indonesia.

Implikasi dari sebuah negara yang berkehendak menjadi “pemain” kelas kawasan, terlebih kelas dunia, adalah harus terwujudnya pembangunan kekuatan militer yang bersifat outward looking, yaitu militer yang dipersiapkan untuk menghadang dan menghampiri ancaman serta lawan jauh melampaui batas terluar negara tersebut.

Itu karenanya, pada era Soekarno Indonesia dikenal sebagai negara terkuat di bumi bagian selatan serta memiliki efek deterrence yang kuat dari sisi politik. Dengan anggaran pertahanan mencapai 29% dari PDB, kekuatan militer kita memungkinkan kebijakan politik Soekarno terkait akan harga diri, kehormatan martabat, pertahanan dan keamanan bangsa, mampu didukung oleh kekuatan tentara yang sangat mumpuni.

Kedua presiden ini (Soekarno dan Jokowi) sangatlah sadar bahwa salah satu cara pasti agar negara mampu mengamankan jalur laut dan sumber daya laut adalah memiliki kekuatan Angkatan Laut yang mampu menempati 12 lautan yang dimiliki negeri ini, menguasai titik-titik strategis penting pulau-pulau, choke points Malaka dan 39 selat lainnya yang baik langsung ataupun tidak merupakan jalur utama pendukung kepentingan perdagangan, pergerakan sumber daya energi dan makanan (sea lanes of trade/SLOT) serta merupakan jalur suprastrategis militer (sea lanes of communications/SLOC).

Hampir setiap negara normal akan sadar betul tentang pentingnya urat nadi lautan ini dan akan berusaha keras untuk memiliki AL besar sekaligus modern untuk mengantisipasi titik-

146

titik strategis tersebut. Karenanya, dalam sejarah militer dunia, kita dapat menemukan bahwa masalah “teritorial” baik darat, laut maupun udara menjadi penyebab konflik paling sering di antara bangsa-bangsa.

Dalam sistem negara modern, faktor munculnya sengketa teritorial dipercaya akan muncul justru dari negara tetangga. Sengketa Laut Cina Selatan hanya berbicara tentang 9 titik krusial keamanan maritim kawasan. Banyak di antara kita yang tidak menyadari bahwa justru terdapat sekitar 51 titik yang berpotensi menimbulkan clash di antara negara kawasan dan patut dicatat, sebagian besar dari 51 titik itu berada di garis batas laut Indonesia dengan negara tetangganya.

Kompetisi yang terjadi di Asia memiliki potensi besar untuk meningkat menjadi perang sesungguhnya, yang sebagian besar disebabkan oleh kompetisi segitiga pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada peningkatan kebutuhan akan energi di mana kebutuhan akan energi otomatis mendorong terjadinya penguatan angkatan bersenjata dan belanja militer.

Belanja militer akan meningkat dikaitkan pada pertumbuhan ekonomi yang selalu harus dipastikan terjaga aman. Pada Forum Keamanan Dunia 2014 di Munchen, Kissinger mengatakan bahwa situasi Asia saat ini menyerupai Eropa pada abad ke-19. Robert Kaplan, penasihat beberapa Presiden AS, malah menganggap bahwa era Mare Pacificum (Pasifik yang damai) telah berakhir dan kemungkinan pecahnya perang di Asia sangatlah besar.

Hal ini dapat juga dilihat dari pengeluaran militer Australia, Cina, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Selandia Baru pada 2013 yang mencapai dua kali lebih besar dari pengeluaran mereka di 2003. Pertumbuhan anggaran pertahanan negara-negara Asia di dekade pertama abad 21 juga terbukti 3 kali lebih cepat, dibandingkan dengan negara anggota NATO.

Panglima TNI dan Paradigma Poros Maritim Dunia

Paradigma Poros Maritim Dunia jelas akan berdampak signifikan pada aspek pertahanan dan membawa pada pertanyaan mendasar untuk apa dan ke mana kekuatan militer kita akan dibangun dan dibawa. Patut disadari oleh pemangku kepentingan bahwa selain terbesar dari segi biofisik, ke-12 lautan Indonesia juga sangat strategis secara geopolitik.

Implikasi luas pencurian masif sumber daya alam lautan kita memberikan konsekuensi kerugian ekonomi, ekologis, dan sosial yang sangat besar. Praktik perikanan ilegal yang begitu masif, degradasi ekosistem pesisir, tantangan dan implikasi perubahan iklim global, pencemaran dan tumpahan minyak menjadi tantangan nyata bagi negeri ini.

Untuk itu, Kementerian Pertahanan misalnya, perlu meninjau kembali doktrin dan strategi pertahanannya. Sebagai doktrin, Poros Maritim Dunia mutlak perlu di-back up oleh TNI AL laut hijau (green water navy) yang mampu digelar secara aktif dan berkala di 200 nm batas ZEE, dan TNI AL laut biru (blue water navy), yaitu angkatan laut yang armada lautnya

147

mampu mengarungi ganasnya tiga samudra utama dunia: Samudra Pasifik, Atlantik, dan Hindia.

Jelaslah, kebijakan Presiden Jokowi ini berdampak magnitudial pada rencana penggantian Panglima TNI beberapa waktu mendatang yang seyogianya jatuh pada giliran Panglima berasal dari TNI AU, maka kali ini seharusnya “direlakan” untuk dirotasikan kembali terlebih dahulu pada Panglima yang berasal dari TNI AL.

Mengapa? Membangun Poros Maritim Dunia bukan sekadar membangun TNI AL yang mampu menenggelamkan kapal pencuri ikan. Kerancuan inilah yang mendorong perlunya pemerintah segera menyusun cetak biru grand strategy pertahanan dalam pembangunan Poros Maritim Dunia di mana suka atau tidak suka harus didorong oleh pandangan dan pengetahuan seorang panglima berasal dari Angkatan Laut.

Hal ini dikarenakan terkait dua aspek. Pertama: terkait aspek pertahanan dan keamanan maritim di mana bertitik berat pada arah pengembangan sumber daya, sistem, dan implementasi pengawasan, pemantauan dan pengendalian keamanan dan pertahanan maritim Indonesia yang maju dan efektif. Menciptakan SLOC dan SLOT yang aman dan terawasi dengan baik, di samping mengoptimalkan sistem pertahanan dan keamanan maritim nasional, juga berkontribusi menyediakan sistem pemantauan dan pengendalian perlindungan pemanfaatan sumber daya kelautan di tingkat regional dan internasional.

TNI AL yang kuat adalah jaminan bagi meningkatnya posisi tawar Indonesia selaku hegemoni kawasan utamanya dalam Political Security Pillar of ASEAN. Bukan hanya Filipina dan Vietnam akan hormat, tapi Amerika Serikat dan Cina, juga Australia dan India pun akan segan. Pada level inilah Indonesia bisa menjadi negara pemain: kita bisa menjadi pemain di perairan kita sendiri dan kawasan, sekaligus pemetik keuntungan dari posisi Indonesia yang pada abad Asia ini sesungguhnya menjadi jantung pergerakan maritim dunia.

Kedua, terkait aspek sistem logistik. Poros logistik yang tepat dapat menjadikan Indonesia sebagai salah satu penyedia fasilitas sistem logistik kemaritiman terbaik sehingga selain bisa mendukung pergerakan militer yang outward looking, juga bisa menjadi alternatif utama bagi berbagai lalu lintas barang, jasa, dan berbagai kegiatan kemaritiman dunia. Komponen logistik ini berpotensi memberikan manfaat ekonomi signifikan bagi Indonesia, karena selain mendorong penyerapan tenaga kerja terampil, penyerapan teknologi kemaritiman terkini mampu mereposisikan Indonesia sebagai negara maritim terpenting dunia. Dalam lingkup nasional dan lokal, komponen ini akan mengurangi kesenjangan antara berbagai wilayah.

Secara doktrinal, konsep Poros Maritim Dunia bisa kita sebut sebagai The Golden Maritime Spices Road untuk mengingat kembali kedigdayaan nenek moyang kita yang dapat menggelar pasukan lautnya dari Tidore hingga ke Madagaskar, Venice dan Genoa. Doktrin Presiden Jokowi sesungguhnya dapat disetarakan dengan doktrin nasional British Rules the Waves (Inggris), Cooperative Strategy (Amerika Serikat), dan Chain of Pearl (Cina).

148

Dengan kata lain, Poros Maritim Dunia adalah sebuah gagasan besar, untuk menjadikan Indonesia kembali menjadi bangsa besar. Bangsa yang berjaya di lautan dan selatnya sendiri dan juga samudra-samudra serta choke points dunia.

Pada abad XVI, Sir Walter Raleigh berkata, “Whoever commands the sea, commands the world.” Inilah “mantra” yang telah “menyihir” bangsa Inggris menjadi bangsa maju dan dihormati, mendorong AS dan Cina tampil sebagai kekuatan adidaya. Kini, tibalah saatnya Indonesia membuktikan bahwa kita mampu dan bisa!

CONNIE RAHAKUNDINI BAKRIE Direktur Eksekutif Indonesia Maritime Studies; Dosen Senior Hubungan Internasional President University

149

Ingin Menang Besar, KPU Diintervensi

Koran SINDO18 Mei 2015

Ada benih kartel politik yang ingin melanggengkan konflik internal partai politik (parpol). Kartel itu menargetkan kemenangan besar pada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2015.

Itu sebabnya, menjelang diundangkannya seluruh peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang menjadi landasan dan acuan teknis penyelenggaraan pilkada tahun ini, intervensi penguasa terhadap KPU semakin intens. Langkah intervensi terbaru dari penguasa ditandai oleh desakan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto. Ketika menyambangi kantor KPU baru-baru ini, Hasto mendesak KPU agar tetap berpegang pada Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) untuk parpol peserta pilkada yang sedang dilanda konflik internal.

Dalam hitungan hari setelah desakan Hasto itu, KPU mengumumkan bahwa seluruh PKPU untuk penyelenggaraan Pilkada 2015 telah selesai diundangkan Kemenkumham. Semua PKPU itu otomatis menjadi pedoman atau acuan bagi penyelenggara maupun calon peserta pilkada di daerah. Empat PKPU baru diundangkan 12 Mei 2015, meliputi PKPU 8/2015 tentang Dana Kampanye, PKPU 9/2015 tentang Pencalonan, PKPU 10/2015 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara, serta PKPU 11/2015 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Penetapan Calon Terpilih.

Sampai di situ, terlihat bahwa KPU sama sekali tidak akomodatif sehingga muncul kesan penyelesaian semua PKPU itu dipercepat tanpa memperhitungkan kondisi perpolitikan dalam negeri. Seperti diketahui, saat ini terjadi dualisme kepengurusan di Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Faktor ini seharusnya juga diperhitungkan KPU, utamanya karena kedua partai memiliki basis massa yang besar dan tersebar merata di seluruh penjuru Tanah Air. Kalau semua PKPU itu dinilai merugikan Golkar dan PPP, patut dikhawatirkan munculnya perlawanan dari basis massa kedua partai.

Sayangnya, KPU menyederhanakan potensi masalah itu. “Jika ada pihak yang keberatan dengan PKPU, dan menilai PKPU bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi, ada ruang untuk meminta akuntabilitas melalui uji materi ke MA (Mahkamah Agung). Jika itu terjadi, KPU berkewajiban memberikan penjelasan alasan PKPU itu keluar,” kata Anggota KPU Ida Budhiati, Kamis (14/5).

Intervensi Hasto ke KPU menunjukkan keberpihakan partai pemerintah terhadap salah satu dari para pihak yang tengah berkonflik di internal Partai Golkar dan PPP. Dalam konteks

150

Partai Golkar, Hasto jelas-jelas ingin memaksa KPU mengakui Partai Golkar kubu Munas Ancol pimpinan Agung Laksono. Sebab, Menkumham telah menerbitkan SK tentang pengakuan pemerintah terhadap kepengurusan Partai Golkar produk Munas Ancol.

Hasto pura-pura lupa bahwa SK Menkumham tentang kepengurusan Partai Golkar itu bermasalah. Pemberlakuan SK Menkumham itu sudah ditunda oleh putusan sela pengadilan. Karena bermasalah itulah persoalannya pun harus dibawa ke pengadilan negeri. Kalau faktanya seperti itu, desakan Hasto jelas sangat kental bernuansa intervensi. Mereka yang melakukan intervensi memang sering kali bertindak ceroboh.

Legalitas Partai Golkar kubu Munas Ancol tentunya harus dipersoalkan karena kasus mandat palsu sudah naik ke tingkat penyidikan di Bareskrim Mabes Polri. Sudah ada tersangka, alat bukti, dan ada peristiwanya. Tak lama lagi, berkasnya bakal berstatus P-21. Bahkan, pekan lalu, Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri menetapkan dua tersangka baru kasus pemalsuan mandat itu. Dengan tambahan dua tersangka baru ini, berarti total ada empat tersangka. Dua tersangka baru itu, berinisial MJ dan S, dikenakan Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Dokumen, dan diperiksa pertama kali pada Jumat (15/5) lalu.

Apa jadinya Pilkada 2015 kalau KPU menuruti tekanan Hasto mengakui kubu Munas Ancol untuk menjadi peserta? Pilkada 2015 tidak hanya tercoreng, tetapi juga cacat hukum karena ada peserta yang tidak punya legalitas untuk menjadi konstetan di pesta demokrasi rakyat itu.

Target Kemenangan

Situasi perpolitikan dalam negeri terkini jauh dari sehat. Tangan-tangan kotor kekuasaan terus bekerja memecah-belah kekuatan-kekuatan politik. Prosesnya seperti mengarah pada terbentuknya kartel politik yang berambisi mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara yang sama sekali tidak fair.

Pada kasus Partai Golkar dan PPP, penguasa memperlihatkan kecenderungan ingin melanggengkan konflik internal atau dualisme kepengurusan. Penyelesaian konflik internal Partai Golkar dan PPP benar-benar sarat ketidakpastian karena adanya intervensi dan keberpihakan penguasa. Konflik internal Partai Golkar dan PPP harus diselesaikan melalui proses hukum.

Untuk mencapai keputusan berstatus inkrah, kedua partai diperkirakan akan butuh waktu relatif lama karena harus melalui proses hukum berjenjang (banding). Seperti apa pun putusan pengadilan dalam kasus Partai Golkar, pihak yang merasa dirugikan hampir bisa dipastikan bakal mengajukan banding. Dalam kasus PPP, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta membatalkan SK Menkumham yang mengakui kepengurusan PPP pimpinan Romahurmuziy. Namun, proses itu belum tuntas karena Menkumham dan Romahurmuziy dkk. mengajukan banding.

151

Kalau intervensi penguasa berkelanjutan dan proses hukum menjadi berlarut-larut, kedua partai sama sekali tidak diuntungkan dalam konteks pelaksanaan pilkada serentak tahun ini. Golkar dan PPP akan dihadang PKPU 9/2015 tentang Pencalonan. Pasal 36 PKPU itu menetapkan, jika kepengurusan parpol tingkat pusat masih proses sengketa di pengadilan dan terdapat penetapan pengadilan mengenai penundaan pemberlakuan keputusan menteri, KPU daerah tak dapat menerima pendaftaran pasangan calon sampai adanya putusan berkekuatan hukum tetap, dan ditindaklanjuti penerbitan keputusan menteri tentang penetapan kepengurusan parpol.

Masih menurut PKPU 9/2015 Pasal 36, jika penyelesaian sengketa belum ada putusan berkekuatan hukum tetap, tetapi kepengurusan partai yang bersengketa sepakat berdamai untuk membentuk satu kepengurusan partai, KPU daerah dapat menerima pendaftaran pasangan calon berdasarkan keputusan menteri tentang penetapan kepengurusan partai hasil kesepakatan perdamaian.

Artinya, menurut ketetapan PKPU 9/2015 Pasal 36 itu, jika parpol yang bersengketa gagal islah atau tidak menggenggam keputusan hukum berkekuatan tetap hingga masa pendaftaran calon peserta pada 26-28 Juli 205, parpol bersangkutan tidak bisa mengusung calonnya di Pilkada 2015.

Kalau Partai Golkar dan PPP harus menghadapi kenyataan seperti itu, siapa yang paling diuntungkan dari pelaksanaan pilkada serentak tahun ini? Sudah barang tentu parpol yang paling solid dan matang persiapannya. PDIP pasti ingin mengeskalasi penguasaannya lewat pilkada tahun ini dengan cara mencatat kemenangan di banyak provinsi.

Rekan-rekan PDIP dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH), yang infrastrukturnya belum selengkap PDIP, sudah pasti akan berkonsolidasi untuk bisa menjadi pendamping calon-calon dari PDIP. Bahkan, untuk memperkuat penguasaannya, bukan tidak mungkin PDIP juga akan menggoda parpol lain anggota Koalisi Merah Putih (KMP) untuk berkoalisi memenangi pilkada di provinsi-provinsi tertentu. Inilah yang menjadi target antara partai penguasa melanggengkan konflik internal di tubuh Golkar dan PPP.

Namun partai politik lain tidak akan tinggal diam. Mayoritas fraksi di DPR sudah menandatangani kesepakatan untuk melakukan revisi terbatas UU Pilkada. Revisi penting demi terwujudnya pilkada yang damai. Karena itu, pilkada serentak tahun ini tak boleh cacat hukum dan juga tidak boleh cacat politik.

Maka, semua aturan main, payung hukum, dan institusi penyelenggara harus disiapkan dengan baik dan benar. Itulah urgensi dari revisi terbatas terhadap UU Nomor 2/2015 tentang Pilkada.

BAMBANG SOESATYO Sekretaris Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi III DPR RI

152

Pejambon 6 dan Palestina

Koran SINDO19 Mei 2015

Ketika mendengar nama Langley, Virginia, pikiran akan tertuju pada headquarter CIA di McLean, Virginia. Begitu pula ketika mendengar nama daerah Foggy Bottom di Washington, bayangan yang muncul adalah US Department of State (DoS). DoS adalah institusi federal terpenting dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang berlokasi di 2201 C Street NW, beberapa blok dari Gedung Putih. Lebih populer lagi nama jalan 1600 Pennsylvania Avenue yang pasti segera diasosiasikan dengan White House.

Publik dan media AS sangat mudah mengidentifikasi institusi-institusi yang berlokasi di seluruh alamat dimaksud. Itu seolah-olah menunjukkan bahwa hanya CIA, DoS, atau Gedung Putih yang berdiri di sepanjang jalan tersebut.

Berbeda dengan AS, Pejambon 6 adalah jalan yang relatif sangat pendek, tetapi publik baru kini secara perlahan mulai terbiasa untuk mengasosiasikannya dengan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Sangat wajar karena Pejambon 6 punya banyak tautan sejarah RI yang tidak dapat dilepaskan dari peran Kemenlu sejak berdirinya republik ini.

Pejambon 6 adalah salah satu institusi triumvirat di Indonesia yang paling banyak mewarnai haru birunya perjalanan sejarah RI. Efek Perjanjian Linggarjati 1946, Renville 1948, Konferensi Meja Bundar 1949, pengakuan Irian Barat, penerimaan prinsip-prinsip negara kepulauan dalam UNCLOS, pembentukan ASEAN, EAS, GNB, Konferensi Asia-Afrika, APEC, G15, D-8, G-20, dan Tsunami Summit 2004 adalah catatan-catatan penting diplomasi Indonesia yang dibangun dari kontrol dan exercise Pejambon 6 bersama Medan Merdeka Utara.

Dengan figur-figur puncak Pejambon 6 yang sangat historik, wajar bila publik selalu menaruh harapan tinggi pada diplomat-diplomat Indonesia, termasuk dalam masalah Palestina. Presiden Joko Widodo menjadi pemimpin RI yang kesekian menyinggung masa depan Palestina dalam sebuah hajat politik besar di Indonesia, komemorasi 60 KAA 2015.

Sejak pertama kali dibicarakan terbuka, isu Palestina bagi Pejambon 6 adalah pertaruhan. Replikasi perjuangan kemerdekaan dan pergumulan kedaulatan di masa-masa awal Indonesia berdiri tercermin baik dalam kompleksitas isu Palestina. Isu ini seolah-olah telah mendarah daging dalam DNA diplomasi Indonesia sehingga menjadi salah satu takaran reputasi Pejambon 6.

153

Beyond Tradition

Tak ada yang dapat menyangkal jejak Pejambon 6 dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina melalui diplomasi. Forum yang paling sering dimanfaatkan Pejambon 6 untuk menginjeksi kristalisasi isu itu adalah MU-PBB, DK-PBB, dan Dewan HAM PBB. Model Palestina yang diproyeksikan pun tidak tanggung-tanggung, Palestina yang merdeka, demokratik, dan viable.

Terobosan paling monumental yang telah dilakukan Pejambon 6 adalah ketika Indonesia bertindak sebagai co-sponsor rancangan resolusi MU-PBB tentang status Palestina menjadi non-member observer states di PBB. Retas diplomasi pada 2012 itu membuahkan dukungan 138 negara di tengah sembilan yang menolak dan 41 abstain. Namun, penerimaan mayoritas terhadap resolusi tersebut membuat Palestina kini duduk sebagai observer state di badan dunia PBB.

Bagi Pejambon 6, peningkatan status Palestina bisa menjadi tiket untuk memperoleh “full UN membership”. Keberhasilan tersebut tentu dibayangkan akan memberikan tekanan kepada Tel Aviv untuk memperlakukan Palestina sebagai entitas. Setidaknya, dengan pengakuan itu, jalan menuju “two state solution” terlihat di horizon. Secara hipotetis, hanya kerangka itu yang mampu menyudahi konflik berkepanjangan Palestina-Israel secara bermartabat.

Masalahnya, seberapa lama konstruksi internasional mampu memberikan political pressure terhadap Israel? Itu menjadi tanda tanya yang meragukan setelah PBB dan Kelompok Kuartet gagal memaksakan agenda penyelesaiannya.

Delapan bulan setelah gencatan senjata berlaku antara Hamas dan Israel, kehidupan pendudukan di Gaza masih tidak berubah. Kian hari semakin menyedihkan, keadaan di tanah pendudukan telah berubah menjadi living hell. Laporan United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs in the Occupied Palestinian Territory (UN-OCHA oPT) menyebutkan keterpurukan situasi kemanusiaan menjadi yang terburuk di wilayah Palestina sejak 1967. Berdasarkan laporan berjudul “Fragmented Lives: Humanitarian Overview 2014”, diduga 4 juta warga Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza harus menghadapi perlakuan pahit pendudukan militer Israel.

Penindasan atau penjajahan Israel di Palestina tidak menyisakan sedikit pun makna penghormatan zionis terhadap kemanusiaan dari sisi life, liberty, dan security di Palestina.

Bagi Pejambon 6, mungkin saatnya penanganan Palestina dinaikkan ke gear 5, menjadi mediator. Banyak publik yang tidak yakin bahwa Indonesia dapat melakukannya. Mereka mesti belajar dari kesuksesan Norwegia ketika memfasilitasi brokering kesepakatan Oslo Accords 1993.

Perjanjian itu murni keberhasilan pertama negosiasi bilateral tanpa keterlibatan international players, termasuk AS atau Quartet dan PBB. Meski penandatanganan Oslo 1993 secara resmi

154

dilakukan di Gedung Putih, itu tidak berarti kredit buat Washington karena sejak awal AS menganggapnya bukan serious track. Faktor AS dalam Oslo 1993 lebih bersifat simbolik.

Pelajaran penting yang dipetik dari Oslo adalah kemampuan Norwegia mendorong dua pihak terlibat dalam dialog yang bersifat straight forward dan meaningful. Serupa dengan Indonesia, Norwegia tidak pernah mencoba menjadi dominant player atau dilatari personal agenda tertentu. Prinsip ini sangat inheren dengan cara kerja Pejambon 6 yang selalu ingin memerankan fungsi convergent dalam semua proses diplomasi yang menyertakan Indonesia.

Pejambon 6 memiliki seluruh credential yang dibutuhkan untuk menjadi honest broker seperti telah didemonstrasikan di Kamboja, Filipina Selatan, atau ASEAN led-mechanism di Myanmar yang diilhami oleh kontribusi figur utama Pejambon 6, mantan Menlu Ali Alatas dan Hassan Wirajuda.

Satu-satunya critical step yang harus diperhitungkan Pejambon 6 adalah bagaimana mengolah faktor Israel sebagai devil in-details-nya. Faktor ini jelas memerlukan eksaminasi ultra cautious mengingat sentimen domestik yang sangat sensitif. Bukan rahasia umum jika publik di Indonesia tidak bisa menerima apa pun langkah yang bersifat leaning ataupun acceptance terhadap Tel Aviv.

Untuk keluar dari traditional attitude penanganan konflik Palestina-Israel selama empat dekade, Pejambon 6 membutuhkan keduanya. Pada tataran ideal dan realistis, menjembatani perundingan kedua pihak tentunya mesti memperhatikan adagium it takes two tangos. Indonesia tidak dapat melakukan sendiri hanya dengan mengedepankan kepentingan Palestina.

Berdasarkan perspektif 3Cs yang dikenal dalam skenario kebijakan sebagai consequence, circumstances dan capacity, faktor Israel akan selalu berputar sebagai episentrum dalam seluruh proses yang bergulir. Karena itu, elemen C pertama akan terbentuk dari penolakan di tingkat domestik maupun negara-negara Islam tradisional. Lalu, elemen C kedua akan memunculkan kemungkinan proses negosiasi yang agak intricate. Pejambon 6 harus ikut memperhitungkan formula perundingan yang sudah lebih dahulu muncul seperti Quartet maupun sponsored forums lainnya yang tidak mudah digantikan.

Elemen C ketiga akan mendeskripsikan kemampuan memerankan mediasi atau good offices sebagai langkah yang sangat krusial dalam mencari breakthrough penyelesaian konflik Palestina-Israel. Unsur capacity secara institusional dimiliki Pejambon 6, tetapi deadlock dan delay telah lama menjadi warna buram penyelesaian konflik tersebut. Hanya apa pun kesulitannya, sepertinya opsi ini patut dicoba.

MUHAMMAD TAKDIRPolicy Scenario Analyst; Tinggal di Swiss @emteaedhir  

155

Rindu Negarawan

Koran SINDO20 Mei 2015

Negarawan menjadi kata yang selama ini disematkan kepada orang-orang yang lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negaranya, dibandingkan kepentingan diri maupun kelompoknya. Sosok ini menjadi harapan ideal bagi siapa pun yang merindukan hadirnya pemimpin.

Sejarah politik di negeri ini sebenarnya telah memiliki modal sosial yang besar untuk melahirkan tokoh-tokoh negarawan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “negarawan” dimaknai sebagai pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan. Dalam bahasa politik yang lebih populer, negarawaran dimaknai juga sebagai sosok yang mengorbankan segalanya untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.

Langkah Presiden Joko Widodo mensyaratkan para menterinya untuk tidak rangkap jabatan pada saat awal pembentukan Kabinet Kerja pada Oktober tahun lalu memberikan sinyal presiden ketujuh ini paham bahwa untuk membentuk sosok negarawan harus mulai dari sebuah sistem. Tentu kita masih ingat dengan ungkapan yang cukup terkenal dan relevan sampai saat ini. Adalah ungkapan Manuel L Quezon, presiden pertama Filipina persemakmuran (sebelum menjadi Republik Filipina), ”My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins.” Sebuah loyalitas pada partai politik berakhir ketika loyalitas kepada negara dimulai. Hal yang sama juga diungkap Presiden AS ke-35, 20 Januari 1961, John F Kennedy ketika dilantik menjadi presiden negara adikuasa tersebut.

Langkah Jokowi yang tidak memperkenankan anggota kabinetnya merangkap jabatan dengan memimpin parpol, sedikit banyak memberi sentimen positif terkait keseriusan sang menteri untuk bekerja demi rakyat, meskipun hal ini berdampak pada tergusurnya sejumlah nama yang potensial masuk kabinet, gagal menjadi menteri.

Dengan kata lain, penulis memandang langkah ini merupakan tradisi baru bagi proses pembangunan politik di negeri ini. Melahirkan sosok negarawan juga bisa melalui sistem seperti apa yang dilakukan Jokowi tersebut.

Wisdom Politik

Negarawan dalam konteks politik sebenarnya juga tidak lepas dari apa yang dikonsepkan oleh Aristoteles. Filsuf Yunani inilah yang pertama kali mengungkapkan soal konsepsi manusia itu makhluk politik atau zoon politicon.

156

Aristoteles menyebutkan politik selalu identik dan berkorelasi dengan apa yang disebut di Yunani kuno sebagai polis. Polis inilah yang dimaknai sebagai negara (state). Kata ini juga berkaitan dengan policy atau kebijakan. Jamak diketahui kebijakan selalu inheren dengan politik. Namun, secara umum kebijakan tidak sekadar bernuansa politis, namun juga mengandung makna wisdom atau kebijaksanaan. Wisdom politik inilah yang akhir-akhir ini langka dan terlupakan dalam praktek politik di negeri ini.

Bagaimanapun, unsur politik selalu tidak  lepas dari kepentingan dan wisdom. Keduanya menjadi nilai yang inheren dalam praktik politik ideal. Jika keduanya tidak disatukan atau hanya satu saja yang dimainkan, yakni kepentingan, tentu praktik politik akan berjalan dengan kacamata kuda. Hasilnya, yang terjadi adalah munculnya adagium ”Tidak ada kawan atau lawan yang abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan.” Inilah musuh dan virus dari politik yang membuat para pelaku di dalamnya menjadi tumpul, kering, dan tidak memiliki roh seperti yang diperjuangkan dalam politik.

Dalam khazanah politik modern, hal ini kerap disebut sebagai politik partisan, pragmatisme, dan tentu saja sebuah politik yang hipokrit. Fenomena ini adalah lawan dari politik kenegaraan dan kebangsaan. Maka, politik mestinya dikembalikan pada hulunya, yakni wisdom, kebijaksanaan dan kebijakan yang bijak.

Bagaimana kita menemukan praktik politik yang bijak ketika politik era modern saat ini sudah dikepung oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek, ekonomi, dan kapitalisme? Politik saat ini sudah telanjur menjadi lumpur kekotoran. Politik hari ini bagaikan sekadar permainan dan ajang kontestasi.

Parahnya, di ajang kontestasi itulah kemudian sikap kenegarawanan mengalami reduksi dan terpinggirkan oleh praktik-praktik politik yang cenderung menghalalkan segala cara. Hukum diperdaya, uang memainkan segalanya, dan kepentingan kekuasaan menjadi berhala.

Namun, tentu kita sebagai bangsa tidak harus kemudian larut, pesimis, dan diam terhadap kondisi ini. Partai politik sebagai ujung tombak demokrasi dalam melakukan praktek politik, harus tetap dikontrol, diawasi, dan tentu saja dimasuki agar orang-orang yang kering dari jeritan rakyat, orang-orang yang mencari kehidupan dalam politik, menjadi terpinggirkan. Mereka akan tergusur oleh orang-orang yang memang dilahirkan menjadi sosok-sosok politisi negarawan yang ditempa melalui jaringan pengalaman organisasi dan kepemimpinan.

Modal Sosial

Untuk itu, kita perlu membangkitkan kembali khitah bangsa yang sudah pernah lahir dan membesarkan bangsa ini. Kebangkitan Nasional yang menjadi titik awal perumusan kebangsaan dan kenegaraan di negeri ini adalah modal sosial besar bagi bangsa ini untuk bangkit kembali. Apalagi jika kita telusuri titik-titik berikutnya muncul banyak tokoh yang memberikan inspirasi bagi dinamika sejarah politik di sini. Sebut saja Soekarno, Hatta, Sjahrir, Mohammad Natsir, Tan Malaka, dan sebagainya.

157

Generasi politik baru mestinya meneruskan idealisme yang dibangun mereka. Upaya sejumlah sineas film, misalnya, dengan mengangkat sejumlah tokoh sejarah seperti film Soekarno; Sang Pencerah yang menceritakan sosok KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah; Sang Kiai yang menceritakan sosok KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama; kemudian film Soegija yang menceritakan perjuangan seorang pastor Katolik untuk perjuangan bangsa, adalah contoh bagaimana melalui film kita dikenalkan oleh sosok-sosok panutan yang lebih mengedepankan kepentingan bangsa dan negaranya dibandingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Film menjadi salah satu media yang cukup positif untuk membangkitkan kembali modal sosial kita yang akhir-akhir ini jarang kita pakai.

Sejarah memang masa lalu, tapi sejarah adalah penentu bagi masa depan bangsa ini. Soekarno pernah menyatakan bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai jasa-jasa para pahlawannya. Inilah pesan politik yang semestinya menjadi renungan bagi semua anak bangsa, terutama yang berniat masuk dalam gelanggang politik sebagai jalan untuk menuju kepemimpinan bangsa ini.

Partai politik sebagai entitas demokrasi mau tidak mau harus melihat hal ini sebagai jawaban agar partai juga mampu memaksimalkan fungsinya untuk menyiapkan politisi-politisi yang tangguh, bersih, dan tentu saja punya wisdom. Kaderisasi politik menjadi tantangan bagi sebuah partai agar tidak bertumpu pada persoalan pemilihan umum, apalagi sekadar berkutat pada pengisian jabatan politik semata.

Ada fungsi yang jauh lebih mulia bagi partai politik yakni pendidikan dan kaderisasi politik agar partai tidak sekadar menjadi konsumen bagi ajang pemilu dan pilkada sebagai kontestasi politik. Partai politik semestinya menjadi produsen yang melahirkan kader-kadernya sebagai pemimpin-pemimpin politik yang dibutuhkan oleh negeri ini.

Pemimpin politik seperti apa yang dibutuhkan oleh bangsa ini? Pemimpin-pemimpin politik yang negarawan. Pemimpin politik yang sepi terhadap popularitas, namun ramai dengan pengabdiannya kepada rakyat. Pemimpin politik yang mengedepankan kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya dibandingkan kemakmuran pribadi dan golongannya. Pemimpin yang selalu terpanggil dengan jeritan rakyatnya dibandingkan perintah partainya.

Itulah kerinduan kita pada sosok negarawan, politisi kebangsaan, yang akhir-akhir ini hampir jarang kita jumpai. Semoga kita masih memiliki harapan untuk menjumpainya.

ANNA LUTHFIE Ketua DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo) 

158