Setiap Ibu Di Indonesia Sudah Seharusnya Sadar Bahwa Masalah Gizi Buruk Tidak Hanya Terjadi Di...

24
Setiap ibu di Indonesia sudah seharusnya sadar bahwa masalah gizi buruk tidak hanya terjadi di daerah-daerah terpencil dan disebabkan faktor kemiskinan saja. Bahkan di sebuah rumah sakit swasta di jantung metropolitan dengan mayoritas pengunjungnya ekonomi menengah atas, kadang masih bisa dijumpai kasus gizi buruk. Tentu saja penyebab utama kasus gizi buruk di metropolitan bukan karena masalah ekonomi saja, melainkan yang terpenting juga adalah kurangnya pengetahuan mengenai gizi keluarga, terutama di kalangan ibu. Kasus gizi buruk di kota besar ini umumnya berupa malnutrisi sekunder. Malnutrisi sekunder adalah gangguan peningkatan berat badan atau gagal tumbuh (failure to thrive) disebabkan adanya gangguan di sistem tubuh anak. Agak berbeda dengan penyebab gizi buruk di pedesaan atau daerah miskin, yang sering disebut malnutrisi primer karena masalah ekonomi dan rendahnya pengetahuan. MALNUTRISI PRIMER Gejala klinis malnutrisi primer bervariasi tergantung derajat dan lamanya kekurangan energi dan protein, umur penderita dan gejala kekurangan vitamin dan mineral lainnya. Kasus tersebut sering ditemui pada balita, terutama usia 9 bulan hingga 5 tahun, meskipun dapat ditemui juga pada anak lebih besar. Pertumbuhan terganggu ini dapat dilihat dari kenaikkan berat badan terhenti atau menurun, ukuran lengan atas berkurang, pertumbuhan tulang (maturasi) terlambat, rasio berat terhadap tinggi menurun. Gejala dan tanda klinis yang tampak adalah anemia ringan, aktivitas berkurang, tak jarang diikuti gangguan kulit dan rambut. Kasus marasmik atau malnutrisi berat karena kurang karbohidrat disertai tangan dan kaki bengkak, perut buncit, rambut rontok dan patah, gangguan kulit. Pada umumnya anak tampak sangat lemah, harus sering digendong, rewel dan banyak menangis. Pada stadium lanjut anak tampak apatis atau kesadaran yang menurun.

Transcript of Setiap Ibu Di Indonesia Sudah Seharusnya Sadar Bahwa Masalah Gizi Buruk Tidak Hanya Terjadi Di...

Page 1: Setiap Ibu Di Indonesia Sudah Seharusnya Sadar Bahwa Masalah Gizi Buruk Tidak Hanya Terjadi Di Daerah

Setiap ibu di Indonesia sudah seharusnya sadar bahwa masalah gizi buruk tidak hanya terjadi di daerah-daerah terpencil dan disebabkan faktor kemiskinan saja. Bahkan di sebuah rumah sakit swasta di jantung metropolitan dengan mayoritas pengunjungnya ekonomi menengah atas, kadang masih bisa dijumpai kasus gizi buruk. Tentu saja penyebab utama kasus gizi buruk di metropolitan bukan karena masalah ekonomi saja, melainkan yang terpenting juga adalah kurangnya pengetahuan mengenai gizi keluarga, terutama di kalangan ibu.

Kasus gizi buruk di kota besar ini umumnya berupa malnutrisi sekunder. Malnutrisi sekunder adalah gangguan peningkatan berat badan atau gagal tumbuh (failure to thrive) disebabkan adanya gangguan di sistem tubuh anak. Agak berbeda dengan penyebab gizi buruk di pedesaan atau daerah miskin, yang sering disebut malnutrisi primer karena masalah ekonomi dan rendahnya pengetahuan.

MALNUTRISI PRIMER

Gejala klinis malnutrisi primer bervariasi tergantung derajat dan lamanya kekurangan energi dan protein, umur penderita dan gejala kekurangan vitamin dan mineral lainnya. Kasus tersebut sering ditemui pada balita, terutama usia 9 bulan hingga 5 tahun, meskipun dapat ditemui juga pada anak lebih besar.

Pertumbuhan terganggu ini dapat dilihat dari kenaikkan berat badan terhenti atau menurun, ukuran lengan atas berkurang, pertumbuhan tulang (maturasi) terlambat, rasio berat terhadap tinggi menurun. Gejala dan tanda klinis yang tampak adalah anemia ringan, aktivitas berkurang, tak jarang diikuti gangguan kulit dan rambut. Kasus marasmik atau malnutrisi berat karena kurang karbohidrat disertai tangan dan kaki bengkak, perut buncit, rambut rontok dan patah, gangguan kulit. Pada umumnya anak tampak sangat lemah, harus sering digendong, rewel dan banyak menangis. Pada stadium lanjut anak tampak apatis atau kesadaran yang menurun.

Marasmik adalah bentuk malnutrisi primer karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah berwarna kemerahan dan terjadi pembesaran hati. Anak sering rewel, cengeng dan banyak menangis. Pada stadium lanjut yang lebih berat anak tampak apatis atau kesadaran yang menurun.

Pada penderita malnutrisi primer dapat mempengaruhi metabolisme di otak, sehingga mengganggu pembentukan DNA di susunan saraf, Pertumbuhan sel-sel otak baru dan mielinasi sel otak juga terganggu, pada gilirannya ini berpengaruh terhadap perkembangan mental dan kecerdasan anak. Mortalitas atau kejadian kematian dapat terjadi pada penderita malnutri primer yang berat. Kematian mendadak dapat terjadi karena gangguan otot jantung.

MALNUTRISI SEKUNDER

Malnutrisi sekunder adalah gangguan pencapaian kenaikan berat badan yang bukan

Page 2: Setiap Ibu Di Indonesia Sudah Seharusnya Sadar Bahwa Masalah Gizi Buruk Tidak Hanya Terjadi Di Daerah

disebabkan penyimpangan pemberian asupan gizi pada anak. Tetapi karena gangguan fungsi dan sistem tubuh yang mengakibatkan gagal tumbuh. Gangguan sejak lahir yang terjadi pada sistem saluran cerna, gangguan metabolisme, gangguan kromosom atau kelainan bawaan jantung, ginjal dan lain-lain.

Data penderita gagal tumbuh di Indonesia belum ada, tetapi di negara maju rata-rata terjadi 1-5%. Artinya bila di Indonesia terdapat 30 juta anak, maka diduga 300.000 – 500.000 anak menderita kurang gizi bukan karena masalah ekonomi. Bila di Jakarta terdapat 1 juta anak maka sekitar 10.000 – 50.000 anak mengalami kurang gizi bukan karena masalah ekonomi. Kasus tersebut bila tidak ditangani dengan baik akan jatuh juga dalam kategori gizi buruk.

Gambaran yang sering terjadi pada gangguan ini adalah adanya kesulitan makan atau gangguan penyerapan makanan yang berlangsung lama. Gejala klinis gangguan saluran cerna yang harus dicermati adalah gangguan Buang Air Besar (sulit atau sering BAB), BAB berwarna hitam atau hijau tua, sering nyeri perut, sering muntah, mulut berbau, lidah sering putih atau kotor. Gejala lain yang menyertai adalah gigi berwarna kuning, hitam dan rusak disertai kulit kering dan sangat sensitif. Berbeda pada malnutrisi primer, pada malnutrisi sekunder anak tampak sangat lincah, tidak bisa diam atau sangat aktif bergerak. Gejala berbeda lainnya, penderita malnutrisi sekunder justru tampak lebih cerdas, tidak ada gangguan pertumbuhan rambut dan wajah atau kulit muka tampak segar.

CARA PENANGANAN

Secara medis, penanganan kasus malnutrisi sekunder lebih kompleks dan rumit karena harus melibatkan beberapa disiplin ilmu kedokteran anak seperti gastroenterologi, endokrin, metabolik, alergi-imunologi, tumbuh kembang dan lainnya. Masukan data yang didapat harus cermat dan lengkap untuk menentukan apakah malnutrisi primer atau sekunder. Data yang ada harus didukung status medis, status ekonomi, pendidikan dan sosial yang akurat. Contohnya, pada keluarga tukang ojek ditemukan satu anak gizi buruk, tapi di rumah yang sama, adiknya memiliki status gizi baik, karena itu jangan langsung divonis kurang gizi akibat kemiskinan.

Gizi buruk memang merupakan masalah klasik bangsa ini sejak dulu. Tanpa data dan informasi yang cermat dan lengkap sebaiknya jangan terlalu cepat menyimpulkan bahwa adanya gizi buruk identik dengan kemiskinan, karena, gizi buruk bukan saja disebabkan karena masalah ekonomi, melainkan juga karena kurangnya pengetahuan dan pendidikan. Tuga kita sebagai ibu untuk mempelajari dan memberi gizi terbaik bagi putra-putri kita.

Page 3: Setiap Ibu Di Indonesia Sudah Seharusnya Sadar Bahwa Masalah Gizi Buruk Tidak Hanya Terjadi Di Daerah

Perlu Perhatian, Malnutrisi pada Anak Usia Sekolah24 Jan 2011

Pelita Ragam

Jakarta, Pelita

Gizi seimbang yang harus dikonsumsi oleh anak usia sekolah sama pentingnya dengan yang dikonsumsi oleh ibu hamil, bayi, dan balita. Sebab kejadian malnutrisi di usia sekolah kemungkinan merupakan dampak dari proses panjang malnutrisi yang terjadi saat usia balita (di bawah lima tahun).

Angka prevalensi kurus secara nasional pada anak usia sekolah (6 hingga 14 tahun) laki-laki adalah 13,3 persen, sedangkan pada anak perempuan 10,9 persen. Angka ini menunjukkan adanya permasalahan malnutrisi kronis pada anak usia sekolah.

"Gizi sehat seimbang sangat erat kaitannya dengan kondisi anak sekolah yang sehat, bugar, dan cerdas. Jadi terkait dengan peran sektor pendidikan, bagaimana sekolah menjadikan kekuatan arus gizi sehat seimbang," kata Ketua Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi Dr Tirta Prawita Sari, MSc, dalam Round Table Discussion terkait Hari Gizi Nasional 2011 di Jakarta, Sabtu (22/1).

Tirta mengatakan, terjadinya kasus malnutrisi pada anak sekolah merupakan masalah besar bagi bangsa di masa depan, teru-ma di dalam upaya mencetak dan membina "generasi emas". "Melihat kondisi ini menjadi salah satu prioritas yang perlu mendapatkan perhatian dalam kurikulum belajar mengajamya," ujarnya.

Saat ini, fokus pembangunan kesehatan Indonesia lebih ditujukan pada ibu hamil, bayi dan balita, namun masalah malnutri-si pada anak usia sekolah tidak kalah pentingnya.

Malnutrisi yang terjadi pada usia sekolah mempengaruhi kesehatan, kebugaran dan daya tangkap anak pada saat sekolah. Apabila hal ini dibiarkan, kata Tirta, akan berkontribusi pada menurunnya prestasi belajar anak. Salah satu penyebab malnutrisi pada anak sekolah adalah kurangnya asupan energi dan protein.

Sebagai contoh, angka kecukupan gizi anak usia 7-9 tahun untuk kebutuhan energi sebesar 1800 Kkai dan kebutuhan protein sebesar 45 g. Namun berdasarkan data yang dilaporkan oleh Saptawan Bardososno, ahli gizi dari Universitas Indonesia, 94,5 persen dari 220 anak yang diteliti di 5 SD di wilayah DKI Jakarta mengkonsumsi kalori di bawah l$00 kkai.

Page 4: Setiap Ibu Di Indonesia Sudah Seharusnya Sadar Bahwa Masalah Gizi Buruk Tidak Hanya Terjadi Di Daerah

Laporan ini menunjukkan kurangnya asupan energi dan protein pada anak sekolah Hal ini tidak semata-mata disebabkan oleh keterbatasan ekonomi, namun juga pola asuh yang kurang baik sehingga anak terbiasa mengkonsumsi makanan yang tidsc sehat dengan gizi tidak seimbang dalamjangka waktu lama f

DewarJ Pendiri Vayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi Dr Zaenal Abidin mengatakan, lahimya "generasi emas* di suatu negara yang bermartabat harus didukung oleh lima pilar utama. Kelima pilar tersebut adalah pendidikan, kesehatan, politik, birokrasi, dan kemauan pasar

Dari lima pilar tersebut, sektor pendidikan dan sektor kesehat-an merupakan pilar yang paling menentukan karena merupakan pondasi utama dalam pembangunan sumber daya manusia.* kata Zaenal

Salah satu kekuatan yang merupakan arus utama dalam sektor kesehatan ialah status gizi "Status gizi merupakan, performance indicator terjadinya keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran rat gizi oleh tubuh, yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup," ujarnya

Hasil diskusi. Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi menghimbau agar pemerintah menjamin ketersediaan pangan yang memadai di tingkat rumah tangga dan tercipta pola asuh yang baik pada lingkat rumah tangga dan sekolah, serta menyediakan akses seluas-luasnya kepada pelayanan dan konsultan kesehatan yang berkualitas.

Selain Ku, terselenggara program advokasi dan sosialisasi kepada pihak terkait mengenai gizi sehat seimbang sebagai upaya penanggulangan masalah mal-nutrisi pada anak usia sekolah. Pemerintah diminta memasukkan pendidikan gizi ke dalam kurikulum di tingkat sekolah dasar.

Pihak sekolah diimbau untuk memfasiltasi dan mendampingi muridnya agar membentuk kelompok teman sebaya di sekolah maupun di luar sehingga dapat saling bertukar informasi dan perilaku positif dalam membudayakan pola hidup sehat dengan nutrisi sehat seimbang Sekolah juga diminta menyediakan jajanan sehat dan aman di sekolah dan pemerintah, (dew)

Entitas terkaitAngka | Apabila | Gizi | Indonesia | Kelima | Kkai | Laporan | Malnutrisi | Pelita | Pemerintah | Saptawan | SD | Sebab | Sekolah | Status | Tirta | Universitas | Zaenal | DKI Jakarta | Anak Usia Sekolah | Hari Gizi Nasional | Round Table Discussion | Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi | Ketua Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi Dr Tirta Prawita | J Pendiri Vayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi Dr Zaenal Abidin | Ringkasan Artikel IniLaporan ini menunjukkan kurangnya asupan energi dan protein pada anak sekolah Hal ini tidak semata-mata disebabkan oleh keterbatasan ekonomi, namun juga pola asuh yang kurang baik sehingga anak terbiasa mengkonsumsi makanan yang tidsc sehat dengan gizi tidak seimbang dalamjangka waktu lama f DewarJ Pendiri Vayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi Dr Zaenal Abidin mengatakan, lahimya

Page 5: Setiap Ibu Di Indonesia Sudah Seharusnya Sadar Bahwa Masalah Gizi Buruk Tidak Hanya Terjadi Di Daerah

"generasi emas* di suatu negara yang bermartabat harus didukung oleh lima pilar utama. Pihak sekolah diimbau untuk memfasiltasi dan mendampingi muridnya agar membentuk kelompok teman sebaya di sekolah maupun di luar sehingga dapat saling bertukar informasi dan perilaku positif dalam membudayakan pola hidup sehat dengan nutrisi sehat seimbang Sekolah juga diminta menyediakan jajanan sehat dan aman di sekolah dan pemerintah, (dew)

Terus bermunculannya kasus-kasus gizi buruk yang endemik di berbagai wilayah di Indonesia sebenarnya bukan fenomena mengherankan untuk sebuah bangsa yang belum menganggap pembangunan sumber daya manusia—termasuk kesehatan dan pendidikan—sebagai investasi terpenting bagi kesinambungan pertumbuhan ekonomi.

Malnutrisi, Keteledoran Sebuah Bangsa

 Di tingkat nasional, alokasi anggaran investasi sosial, seperti kesehatan dan pendidikan, sering menjadi hal yang pertama dikorbankan dalam kondisi ekonomi sedang sulit. Sementara di tingkat rumah tangga, kesehatan dan pendidikan juga belum menjadi isu penting dan masih dikalahkan oleh pengeluaran untuk konsumsi rokok.

Lonjakan jumlah anak balita penderita gizi buruk dari 1,8 juta (tahun 2005) menjadi 2,3 juta (2006), seperti diungkapkan Unicef pekan lalu, tentu membuat kita bertanya-tanya. Mengapa kasus gizi buruk terus meningkat, padahal kemiskinan menurut pemerintah mengalami penurunan dan kesejahteraan masyarakat juga mengalami peningkatan sebagaimana tergambar dari peningkatan pendapatan per kapita masyarakat.

Di luar 2,3 juta anak balita gizi buruk ini, masih ada 5 juta lebih yang juga mengalami gizi kurang. Jumlah bayi berstatus gizi buruk dan gizi kurang ini sekitar 28 persen dari total bayi di seluruh Indonesia.

Page 6: Setiap Ibu Di Indonesia Sudah Seharusnya Sadar Bahwa Masalah Gizi Buruk Tidak Hanya Terjadi Di Daerah

Dari total bayi berstatus gizi buruk dan gizi kurang ini, sekitar 10 persen berakhir dengan kematian. Dari angka kematian bayi yang 37 per 1.000 kelahiran, separuhnya adalah akibat kurang gizi. Dengan kenyataan seperti ini, kita semestinya tidak bisa lagi menutup mata.

Dilihat dari sebaran wilayahnya, dari 343 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Laporan Survei Departemen Kesehatan-Unicef tahun 2005, hanya delapan kabupaten yang memiliki prevalensi balita gizi buruk atau gizi kurang yang rendah (kurang dari 10 persen). Sebanyak 257 kabupaten/kota lainnya tergolong prevalensi tinggi dan 169 kabupaten/kota sangat tinggi.

Dari data Depkes juga terungkap masalah gizi di Indonesia ternyata jauh lebih serius dari yang kita bayangkan selama ini. Gizi buruk atau anemia gizi tidak hanya menghinggapi bayi atau anak balita, tetapi semua kelompok umur. Perempuan adalah kelompok paling rentan, di samping anak-anak.

Dari sekitar 4 juta ibu hamil, separuhnya mengalami anemia gizi dan satu juta lainnya kekurangan energi kronis (KEK). Dari ibu hamil dalam kondisi seperti itu, rata-rata setiap tahun lahir 350.000 bayi yang lahir dalam kondisi berat badan rendah.

Untuk anak usia sekolah, dari 31 juta anak, 11 juta di antaranya bertubuh pendek akibat gizi kurang dan 10 juta mengalami anemia gizi. Untuk kelompok usia remaja, dari 10 juta remaja putri (15-19 tahun), sebanyak 3,5 juta mengalami anemia gizi.

Untuk wanita usia subur (WUS), dari 118 juta WUS, sebanyak 11,5 juta di antaranya juga mengalami anemia gizi. Kurang energi kronis juga dialami 30 juta orang dari kelompok usia produktif. Kurang gizi juga dialami lansia, dengan jumlah penderita anemia gizi sekitar 5 juta orang.

Angka-angka di atas menunjukkan, Indonesia masih belum merdeka dari kelaparan dan juga kemiskinan sebagai akar penyebab utama malnutrisi.

Tingginya prevalensi anemia gizi pada wanita dan anak-anak ini akhirnya menciptakan lingkaran setan. Wanita penderita gizi kurang akan melahirkan anak- anak dengan berat badan rendah yang rentan terkena infeksi dan kematian. Jika bertahan hidup, mereka tak akan mampu tumbuh dan berkembang secara optimal.

Mereka juga mengalami gangguan kecerdasan, dan mengakibatkan potensi putus sekolah juga menjadi tinggi. Pada usia dewasa, dia tidak produktif sehingga akhirnya hanya akan menjadi beban bagi keluarganya dan juga perekonomian.

"Maraknya kasus gisi buruk juga membuktikan ketahanan pangan masyarakat sebenarnya belum terwujud"

Karena kemiskinan dan gangguan kecerdasan akibat kurang gizi, lebih dari 50 persen anak perempuan di perkotaan dan lebih dari 80 persen anak perempuan di pedesaan tidak lagi bersekolah dan menikah muda.

Akibatnya, usia subur juga lebih lama dan jumlah anak yang dilahirkan lebih banyak. Ini mengakibatkan beban hidup mereka juga lebih berat dan semakin sulit bagi mereka untuk keluar dari perangkap kemiskinan.

Pemberdayaan masyarakat

Fenomena kurang gizi sendiri disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor, yakni kemiskinan, kondisi lingkungan, buruknya pelayanan kesehatan, dan kurangnya pemahaman mengenai gizi. Namun, penyebab

Page 7: Setiap Ibu Di Indonesia Sudah Seharusnya Sadar Bahwa Masalah Gizi Buruk Tidak Hanya Terjadi Di Daerah

paling utama adalah kemiskinan. Kemiskinan membuat ketersediaan pangan yang cukup dan berkualitas di tingkat rumah tangga juga rendah.

Sekitar 17,7 persen atau 39 juta penduduk Indonesia masih miskin. Jika ukuran garis kemiskinan 2 dollar AS yang dipakai, lebih dari 110 juta orang atau 53 persen dari total penduduk masih di bawah garis kemiskinan.

Oleh karena itu, tidak mungkin mengatasi masalah gizi buruk di masyarakat tanpa adanya upaya peningkatan ekonomi di tingkat rumah tangga. Ini menjadi persoalan besar dengan keterbatasan kemampuan perekonomian untuk menciptakan lapangan kerja sekarang ini.

Indonesia sebenarnya sudah banyak membuat kemajuan dalam menekan angka gizi buruk dan gizi kurang pada anak balita menjadi : 37,5 persen (1989), 35,5 persen (1992), 31,6 persen (1995), 29,5 persen (1998), 26,4 persen (1999), 24,6 persen (2000).

Akan tetapi, sejak tahun 2000 angka gizi buruk dan gizi kurang kembali meningkat, menjadi : 26,1 persen (2001), 27,3 persen (2002), 27,5 persen (2003), 29 persen (2005).

Depkes mengakui, problem penanganan masalah gizi menghadapi tantangan lebih besar lagi pada era otonomi daerah. Pemerintah daerah yang diharapkan lebih berperan dalam upaya peningkatan gizi dan kesehatan masyarakat, dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu.

Di masa lalu, intervensi gizi oleh pemerintah juga bisa lebih cepat dilakukan dalam kasus ditemukan anak balita kurang gizi atau gizi buruk, antara lain karena masih berfungsinya pos pelayanan terpadu (posyandu) dan tenaga-tenaga medis wajib praktik yang menjangkau hingga daerah-daerah terpelosok. Sekarang, dari 250.000-an posyandu, tinggal 40 persen yang aktif sehingga hanya sekitar 43 persen anak balita yang terpantau. Tanpa kader-kader di lapangan, Depkes sendiri, seperti diakui Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes, Sri Astuti S Suparmanto, tak akan bisa berbuat banyak.

Tertinggal

Dari sini, kita mestinya tak perlu heran mengapa indeks pembangunan manusia (IPM) semakin tertinggal, dan kita terus menjadi bangsa pesakitan yang tak bisa bersaing dengan negara lain. Kita juga tak kunjung keluar dari lingkaran setan kemiskinan dan terbebas dari penyakit sosial seperti kelaparan.

Dibandingkan dengan negara- negara tetangga, angka kematian bayi dan ibu di Indonesia termasuk tinggi. Angka kematian bayi di Indonesia tahun 2004 adalah 37 per 1.000 kelahiran hidup. Sebagai perbandingan, Thailand 20 dan Malaysia hanya 6 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup. Angka harapan hidup di Indonesia juga lebih rendah daripada negara-negara tersebut.

Ironisnya, pada saat bersamaan, Indonesia semakin kewalahan menghadapi epidemi masalah kelebihan gizi (gizi lebih) dalam bentuk obesitas dan penyakit-penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung, hipertensi, stroke, dan diabetes.

Prof dr Hamam Hadi MS Sc D pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada tahun 2005 menyebutkan, Indonesia kehilangan nilai ekonomi Rp 22,6 triliun

Page 8: Setiap Ibu Di Indonesia Sudah Seharusnya Sadar Bahwa Masalah Gizi Buruk Tidak Hanya Terjadi Di Daerah

atau 1,43 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2003 akibat prevalensi kurang gizi yang masih relatif tinggi.

Jika hingga tahun 2010 prevalensi dan tiga masalah utama gizi (gangguan akibat kekurangan yodium/GAKY, kekurangan energi kronis/KEP, dan anemia pada orang dewasa) belum diatasi, bangsa Indonesia akan kehilangan nilai ekonomis Rp 186,1 triliun. Sebaliknya, jika tiga masalah gizi utama bisa diatasi melalui intervensi gizi, akan dihasilkan nilai ekonomi Rp 55,8 triliun hingga tahun 2010.

Hamam sendiri melihat kebijakan pemerintah selama ini cenderung lebih menekankan pada upaya-upaya promotif dan preventif ketimbang upaya-upaya yang sifatnya promotif-preventif. Alokasi anggaran untuk upaya promotif-preventif tidak sampai 10 persen dari total anggaran bidang kesehatan, sementara untuk upaya kuratif mendapat alokasi 60-80 persen.

Tingginya kejadian luar biasa (KLB), termasuk gizi buruk sekarang ini, menurut Hamdi, adalah juga akibat kebijakan pembangunan kesehatan yang hanya responsif dan kagetan, atau simptomatif dan populis, bukan kausatif dan antisipatif terhadap masalah-masalah kesehatan yang dirumuskan secara lebih sistematis berdasarkan fakta di lapangan.

Untuk pemerintah daerah, Hamam melihat komitmen mereka terhadap pembangunan bidang kesehatan masih kurang. Padahal, pada era otonomi daerah, peran mereka sangat menentukan keberhasilan pembangunan bidang kesehatan dibandingkan dengan pemerintah pusat.

Beberapa kalangan lain melihat, alokasi anggaran untuk kesehatan yang hanya 3 persen dari PDB juga menunjukkan tidak cukup kuatnya komitmen pemerintah untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat. Sebagai perbandingan, Malaysia, Thailand, dan Filipina sendiri sekarang ini mengalokasikan 6-7 kali lipat anggaran lebih besar dibandingkan dengan Indonesia untuk pendidikan dan kesehatan.

Sri Astuti sendiri mengatakan, bukan saatnya saling menyalahkan. Menurut dia, Depkes sudah berusaha keras.

"Tugas dan tanggung jawab Depkes adalah regulator, fasilitator, dan membuat standar. Itu sudah kita kerjakan. Namun, hal tersebut tidak akan berjalan baik kalau pemerintah daerah sendiri tidak melihat strategi itu sebagai strategi mereka yang akan dioperasionalkan. Kebijakan kita adalah kebijakan Indonesia, tetapi harus diterjemahkan di pemerintah daerah. Kalau sekarang, dengan keadaan seperti itu, hanya Depkes yang dinilai, fair enggak?" ujarnya.

Menurut Sri Astuti, anggaran besar juga tidak menjamin program berjalan, tanpa adanya pemberdayaan masyarakat sendiri. "Sebetulnya, kalau kita efisien, jalan tuh. Dulu kan anggarannya enggak sampai segini, bisa jalan. Karena masyarakat di bawah itu melihat bahwa program ini milik mereka," ujarnya. Menurut Sri Astuti, masalah kesehatan tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah atau Depkes.

Maraknya kasus gizi buruk juga membuktikan ketahanan pangan masyarakat sebenarnya masih belum terwujud. Ketahanan pangan yang di masa lalu dilumpuhkan oleh kebijakan swasembada beras dengan sistem monokulturnya, mestinya menjadi tantangan buat Departemen Pertanian kini dalam penyediaan pangan bagi rakyat.

Demikian pula, ini juga tantangan buat Depnaker dan departemen-departemen teknis lain di pemerintahan. Sebab, masalah gizi buruk ini muaranya akhirnya juga tergantung pada tingkat ekonomi penduduk dan ketersediaan lapangan kerja serta pangan yang bisa dijangkau, selain juga pemahaman mengenai gizi, yang lagi-lagi kalau dicari akarnya akhirnya tak jauh-jauh dari tingkat pendidikan masyarakat yang umumnya memang masih rendah.

Depkes sendiri berpandangan, sama saja omong kosong mengurangi kemiskinan tanpa memperbaiki masalah gizi masyarakat. "Gizi bukan hanya isu kesejahteraan, isu hak asasi manusia, serta masalah pangan dan konsumsi, tetapi juga isu investasi. Meningkatkan gizi penduduk akan meningkatkan pertumbuhan

Page 9: Setiap Ibu Di Indonesia Sudah Seharusnya Sadar Bahwa Masalah Gizi Buruk Tidak Hanya Terjadi Di Daerah

ekonomi," ujar Direktur Gizi Masyarakat Depkes Ina Hernawati.

Tanpa itu, jangan berharap terlahir sumber daya manusia yang tangguh dan mampu bersaing atau perekonomian yang kuat. Tanpa itu, fenomena generasi yang hilang (lost generation), seperti dicemaskan Unicef, juga akan terus menghantui Indonesia.

Ditulis Oleh : Sri Hartati Samhadi Sumber Kompas

Rencana pembangunan bidang kesehatan untuk menurunkan prevalensi gizi buruk menjadi maksimallima persen dan gizi kurang menjadi maksimal 20 persen harus menempuh jalan yang panjang. Anak balita yang mengalami gizi buruk dan gizi kurang dalam terminologi kesehatan digolongkan menjadi anak balita kurang gizi.

Program-program Kesehatan Presiden RI Soeharto (1993-1998)

"Upaya untuk mengatasi masalah kesehatan harus menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat" (16 Februari 1995).

Kebijakan Bidang Kesehatan:

• Sistem jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat • Penggunaan kartu sehat • Penyuluhan tentang kebiasaan hidup sehat • Gerakan Jumat Bersih • Pembentukan Badan Pertimbangan Kesehatan • Program penanggulangan kanker nasional • Pas Pelayanan Terpadu (Posyandu)

Program-program Kesehatan Presiden RI BJ Habibie (1998-1999)

"Pembangunan kesehatan perlu lebih menekankan pada upaya-upave preventif-promotif. tanpa mengabaikan penduduk yang sakit. Pengobatan penyakit itu merupakan upaya peningkatan kesehatan, yang bersama upava pencegahan akan mempercepat kembalinya seseorang menjadi sehat dan produktif" (1 Maret 1999).

Kebijakan Bidang Kesehatan: • Program jaring perlindungan sosial bidang kesehatan dengan sasaran utama para keluarga miskin. ibu hamil, dan nifas, serta anak di bawah usia dua tahun • Gerakan pembangunan berwawasan kesehatan sebagai strategi pembangunan nasional untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2010 • Gerakan nasional penanggulangan masalah pangan dan gizi (Inpres No 8 Tahun 1999)

Page 10: Setiap Ibu Di Indonesia Sudah Seharusnya Sadar Bahwa Masalah Gizi Buruk Tidak Hanya Terjadi Di Daerah

Program-program Kesehatan Presiden RI Abdurrahman Wahid (1999-2001)

"Bidang kedokteran di Indonesia sampai sekarang masih tertinggal dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Untuk itu, bidang kedokteran harus dapat meningkatkan profesionalisme agar di masa datang Indonesia bisa sejajar dengan negara lain di ASEAN" (24 Oktober 2000).

Kebijakan Bidang Kesehatan:

• Pekan sanitasi nasional di seluruh Indonesia, baik di perkotaan maupun pedesaan • Peningkatan pelayanan kebidanan oleh tenaga kesehatan dengan menempatkan 54.000 bidan terlatih ke desa-desa • Program making pregnancy safer • Program keluarga berkualitas 2015 • Program revitalisasi posyandu • Pemberantasan penyakit menular • Program jaring pengaman sosial bidang kesehatan

Program-program Kesehatan Presiden RI Megawati Soekarno Putri (2001-2004)

"Setiap orang berkewajiban menjaga kesehatannya. Ekonomi rumah tangga menuju keluarga selahtera didukung oleh kesehatan anggota keluarga."

Kebijakan Bidang Kesehatan:

• Sistem jaminan kesehatan bagi penduduk miskin dengan pembayaran melalui PT Askes • Peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya tenaga medis melalui perekrutan tenaga medis untuk puskesmas dan RS di daerah tertinggal • Meningkatkan pelayanan kesehatan dasar lewat satu tindakan, yaitu penanganan secara tepat terhadap wabah penvakit, gizi buruk, dan berbagai masalah kesehatan lain. • Program dokter keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga.

Program-program Kesehatan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009)

"Untuk mengatasi masalah polio, busung lapar, dan gizi buruk yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia akhir-akhir ini, program-program dari pemerintahan masa lalu yang terabaikan selama tuiuh tahun masa reformasi ini dihidupkan kembali, seperti pendidikan kesejahteraan keluarga, posyandu, Pekan Imunisasi Nasional, dan apotek hidup" (9 Juni 2005)."

Kebijakan Bidang Kesehatan:

• Gerakan nasional pemberantasan sarang nyamuk • Program pramosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat • Program lingkungan sehat • Program sumber daya kesehatan • Program pencegahan dan pemberantasan penyakit

Page 11: Setiap Ibu Di Indonesia Sudah Seharusnya Sadar Bahwa Masalah Gizi Buruk Tidak Hanya Terjadi Di Daerah

• Program perbaikan gizi masyarakat • Program obat dan pembekalan kesehatan • Program pengembangan obat alami Indonesia • Program pengawasan obat dan makanan • Program penelitian dan pengembangan kesehatan • Program kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan

Sumber : Kompas, Sabtu 7 Oktober 2006

===============================================================

Tanda-tanda Busung lapar ("Honger Oedem"/HO)

Jenis Kwashiorkor :

• Bengkak pada seluruh tubuh, terutama pada punggung dan kaki, bila ditekan akan mellinggalkan bekas seperti lubang. • Otot mengecil dan menyebabkan lengan atas kurus. • Timbul ruam berwarna merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas. • Tidak nafsu makan. • Rambut menipis, berwarna merah seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa menimbulkan rasa sa kit. • Wajah anak membulat dan sembab (moon face). • Cengeng, rewel, dan apatis.• Sering disertai infeksi, anemia, dan diare.

Jenis Marasmus :

Page 12: Setiap Ibu Di Indonesia Sudah Seharusnya Sadar Bahwa Masalah Gizi Buruk Tidak Hanya Terjadi Di Daerah

• Anak sangat kurus tampak tulang terbungkus kulit • Tulang rusukmenonjol • Wajah seperti orang tua • Kulit keriput (jaringan lemak sangat sedikit sampai tidak ada) • Cengeng/ rewel • Perut cekung, disertai diare kronik dan susah buang air kecil

Jenis Kwashiorkor Marasmus :

• Campuran dari beberapa tanda, kwashiorkor dan marasmus • Pembengkakan tidak meneolok

(Sumber : Departemen Kesetahan)

Sumber: Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 1994, 1997, 2002

Sumber : Kompas, Sabtu 7 Oktober 2006

==================================================

Daerah, Lautan Gizi Buruk

Page 13: Setiap Ibu Di Indonesia Sudah Seharusnya Sadar Bahwa Masalah Gizi Buruk Tidak Hanya Terjadi Di Daerah

Wika Taek (9 bulan), penderita gizi buruk berat, dalam pangkuan ibunya, Goni Kolo, Warga kelurahan Bansone, Timor Tengah Utara, berat normal

hanya 6,3 kg dari berat normat 8,6 kg untuk anak seusianya.

Sawah tadah hujan di Dusun Candimas, Desa Rajawali, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, hanya bisa panen padi sekali setahun. Sebagian besar warga desa bekerja sebagai buruh bordir yang dibayar Rp 15.000 per satu potong baju.

Jad Sudrajad (35), warga Dusun Candimas, menuturkan, penghasilannya hanya cukup untuk membeli 1 kilogram beras dan lauk seadanya. "Saya sama seperti warga lainnya, tidak mampu membeli makanan yang bergizi, yang penting kenyang," katanya.

Alhasil, pemandangan seperti anak-anak yang berbobot badan tidak sesuai umur dengan mudah dijumpai di desa tersebut. Yuli (5), keponakan Ajad, pada usianya yang kelima hanya berbobot tak kurang dari 10 kilogram dan tinggi badan hanya 75 sentimeter, jauh dari standar kesehatan.

Kondisi yang sama dengan mudah ditemukan di Desa Krisnowidodo, Kecamatan Tegineneng, Lampung Selatan. Dengan sawah tadah hujan, warga desa memilih menjadi buruh tani. Untuk memperpanjang umur 1 kilogram beras, warga memasak gaplek dan oyek sebagai pengenyang. Mereka lupa memerhatikan gizi anak balita.

Jamiah (45) bahkan hanya memberi cucu balitanya makanan seadanya. "Adanya oyek, ya oyek. Kalau ada sayur, ya dikasih sayur," tuturnya.

Herdi Mansyah, Ketua Eksekutif Koalisi untuk Lampung Sehat, mengatakan, contoh riil di lapangan menggambarkan betapa kemiskinan sangat berpengaruh terhadap kualitas kesehatan masyarakat Lampung. Ia merujuk pasien anak balita gizi buruk di Rumah Sakit Abdul Moeloek (RSAM) Bandar Lampung.

"Pasien anak balita yang keluar masuk Bangsal Alamanda pasti pasien balita berstatus gizi buruk dengan atau tanpa penyakit penyerta," ungkapnya.

Di bangsal anak kelas tiga RSAM dengan mudah ditemukan pasien seperti Dani Roberto (2 bulan) yang hanya berbobot 2,3 kilogram. Atau Muamar Putra Ramadhani (20 bulan), anak balita penderita gizi buruk dengan berat badan hanya 6 kilogram dan sudah dirawat satu bulan di sana. Semuanya datang dari keluarga dengan penghasilan pas-pasan dan beranak lebih dari tiga.

Berdasarkan catatan RSAM, pada tahun 2005 terdapat 40 pasien balita dan bayi gizi buruk yang berhasil ditangani. Sedangkan pada Januari-September 2006, bayi atau anak balita gizi buruk yang ditangani sudah 46 pasien.

Page 14: Setiap Ibu Di Indonesia Sudah Seharusnya Sadar Bahwa Masalah Gizi Buruk Tidak Hanya Terjadi Di Daerah

Kepala Subdinas Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Lampung Muyanti menyebutkan, data yang tercatat di RSAM itu hanyalah gambaran kecil saja dari kondisi sebenarnya.

Sepanjang tahun 2005, bayi atau anak balita bergizi buruk di Lampung yang bisa dicatat baru 453 kasus. Adapun sepanjang Januari-Agustus 2006, yang tercatat baru 388 kasus. Padahal, catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung per 31 Mei 2006 menggambarkan, dari 1.707.646 keluarga di Lampung, 45,9 persen di antaranya terkategorikan keluarga miskin yang tinggal di 765 desa miskin.

Gaplek di Trenggalek

Sudarman (62), Kepala Desa Sidomulyo, Kecamatan Pule, Trenggalek, Jawa Timur, tidak harus merasa malu menyebutkan 98 persen warganya mengonsumsi gaplek. Menurut dia, warga makan gaplek karena kebiasaan. Sebanyak 1.700 keluarga dengan anggota rata-rata empat orang di desa itu hanya mengonsumsi beras 10 kilogram per bulan. "Bukan berarti warga di sini makannya sedikit, nasi biasa dicampur gaplek agar banyak," tuturnya.

Di desa ini setiap keluarga rata-rata berpenghasilan Rp 250.000 per bulan. Harga beras termurah Rp 4.000 per kilogram. Jika tidak dicampur gaplek, setiap keluarga rata-rata membutuhkan beras 50 kilogram per bulan atau mengeluarkan dana Rp 200.000 per bulan untuk membeli beras.

Sebaliknya, warga tidak perlu membeli gaplek untuk konsumsi. Mereka cukup menanam, dan setelah panen, mengeringkan ketela pohon. Lahan penanaman tersedia luas di sekitar desa dan ketela pohon mudah tumbuh di mana saja. Warga harus membeli beras karena desa itu tidak mempunyai sawah sejengkal pun.

Kepala Desa Ngrandu, Kecamatan Suruh, Murjoko (50), berseloroh, pola konsumsi warganya lebih baik daripada warga Desa Sidomulyo. Warganya biasa mengonsumsi nasi campur tiwul. Disebut lebih baik karena tiwul diolah dari tepung yang dibuat dari gaplek. "Kurang tepat jika disebut nasi campur tiwul. Lebih tepat tiwul lauk nasi. Soalnya, warga hanya mengonsumsi sedikit nasi," tuturnya.

Murjoko mengungkapkan, 85 persen keluarga desa itu memenuhi hampir seluruh dari 14 kriteria yang ditetapkan BPS untuk disebut keluarga miskin. Dengan kata lain, 600 dari 699 keluarga di desa itu masuk kategori miskin.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Trenggalek Imam Suprapto memaparkan, kemiskinan dan rendahnya infrastruktur merupakan salah satu persoalan pokok di wilayah itu. Di kabupaten itu terdapat 221.236 warga miskin dengan sebaran terbanyak di Kecamatan Dongko, yakni 35.078 warga. Sedangkan dari 859 kilometer jalan di sana, hanya 457 kilometer dalam kondisi bagus.

Air putih di NTT

Saat ditemui di kediamannya, Maria, penduduk Dusun Kelapa Tinggi, Kupang, sibuk membereskan semua barang yang berserakan di depan dan di dalam rumah yang berukuran 3 meter x 4 meter itu. Dusun itu terletak 12 kilometer dari Kota Kupang.

Cucian yang masih sisa dibiarkan berserakan di halaman rumah. Beberapa potong pakaian yang dikenakan Frisalen, bayinya yang berusia 11 bulan, telah dipajang untuk dijemur, tetapi tampak masih ada kotoran Frisalen melekat di kain itu.

Perempuan berusia 32 tahun itu kemudian berlari masuk ke dalam kamar menggendong Frisalen yang tengah tidur. Keringat mengucur di seluruh tubuh Frisalen karena demam, mencret, dan menderita gizi buruk.

Berat badan Frisalen cuma 5,3 kg sedangkan usianya 11 bulan. Sesuai ketentuan dalam Kartu Menuju

Page 15: Setiap Ibu Di Indonesia Sudah Seharusnya Sadar Bahwa Masalah Gizi Buruk Tidak Hanya Terjadi Di Daerah

Sehat yang dikeluarkan Departemen Kesehatan, yang disebarkan di setiap posyandu di Tanah Air, Frisalen harus memiliki berat badan 8-9 kg.

Berat badan Frisalen saat lahir 3,1 kg, tetapi sampai usia 11 bulan, tidak mengalami pertumbuhan secara wajar. Akibat kesulitan ekonomi, orangtua Frisalen tidak memberi makan sesuai kebutuhan. Sejak lahir hingga usia delapan bulan makanannya tidak tentu. Kadang diberi nasi kalau ada, kadang singkong atau cuma minum air putih. Air susu Maria tidak keluar sejak melahirkan Frisalen meski dipaksa terus. Setelah lembaga swadaya masyarakat masuk di dusun itu, Frisalen mulai mendapat perhatian.

Selain sebagai penggarap lahan sawah milik pejabat dari Kota Kupang, ayah Frisalen juga bekerja sebagai penyadap pohon aren. Tetapi, hanya dua pohon tuak yang disadap dengan hasil sekitar 3-4 gelas per hari.

Staf dari Yayasan Perkumpulan Masyarakat Penanggulangan Bencana (PMPB) NTT Yan Pieter Windi, yang bekerja untuk masyarakat Kelapa Tinggi mengatakan, PMPB telah membawa Frisalen ke RSUD Prof Dr WZ Yohannes di Kota Kupang karena kondisi berat badan terus menurun. Tetapi, orangtua tidak betah membiarkan anaknya tinggal di rumah sakit. Akhirnya, malam itu juga Frisalen dibawa pulang ke Kelapa Tinggi.

Ketua Posyandu Kelapa Tinggi Ny Ita Adoe akhirnya membantu mengatasi kondisi kesehatan Frisalen dengan memberikan susu "skim" bantuan dari Program Pangan Dunia (WFP) yang baru masuk beberapa pekan di daerah itu. Ada dua LSM yang membantu menangani masyarakat setempat, yakni PMPB dan WFP. (KOR/HLN/RAZ/DOE)

Setiap ibu di Indonesia sudah seharusnya sadar bahwa masalah gizi buruk tidak hanya terjadi di daerah-daerah terpencil dan disebabkan faktor kemiskinan saja. Bahkan di sebuah rumah sakit swasta di jantung metropolitan dengan mayoritas pengunjungnya ekonomi menengah atas, kadang masih bisa dijumpai kasus gizi buruk. Tentu saja penyebab utama kasus gizi buruk di metropolitan bukan karena masalah ekonomi saja, melainkan yang terpenting juga adalah kurangnya pengetahuan mengenai gizi keluarga, terutama di kalangan ibu.

Kasus gizi buruk di kota besar ini umumnya berupa malnutrisi sekunder. Malnutrisi sekunder adalah gangguan peningkatan berat badan atau gagal tumbuh (failure to thrive) disebabkan adanya gangguan di sistem tubuh anak. Agak berbeda dengan penyebab gizi

Page 16: Setiap Ibu Di Indonesia Sudah Seharusnya Sadar Bahwa Masalah Gizi Buruk Tidak Hanya Terjadi Di Daerah

buruk di pedesaan atau daerah miskin, yang sering disebut malnutrisi primer karena masalah ekonomi dan rendahnya pengetahuan.

 

MALNUTRISI PRIMER

Gejala klinis malnutrisi primer bervariasi tergantung derajat dan lamanya kekurangan energi dan protein, umur penderita dan gejala kekurangan vitamin dan mineral lainnya. Kasus tersebut sering ditemui pada balita, terutama usia 9 bulan hingga 5 tahun, meskipun dapat ditemui juga pada anak lebih besar.

Pertumbuhan terganggu ini dapat dilihat dari kenaikkan berat badan terhenti atau menurun, ukuran lengan atas berkurang, pertumbuhan tulang (maturasi) terlambat, rasio berat terhadap tinggi menurun. Gejala dan tanda klinis yang tampak adalah anemia ringan, aktivitas berkurang, tak jarang diikuti gangguan kulit dan rambut. Kasus marasmik atau malnutrisi berat karena kurang karbohidrat disertai tangan dan kaki bengkak, perut buncit, rambut rontok dan patah, gangguan kulit. Pada umumnya anak tampak sangat lemah, harus sering digendong, rewel dan banyak menangis. Pada stadium lanjut anak tampak apatis atau kesadaran yang menurun.

Marasmik adalah bentuk malnutrisi primer karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah berwarna kemerahan dan terjadi pembesaran hati. Anak sering rewel, cengeng dan banyak menangis. Pada stadium lanjut yang lebih berat anak tampak apatis atau kesadaran yang menurun.

Pada penderita malnutrisi primer dapat mempengaruhi metabolisme di otak, sehingga mengganggu pembentukan DNA di susunan saraf, Pertumbuhan sel-sel otak baru dan mielinasi sel otak juga terganggu, pada gilirannya ini berpengaruh terhadap perkembangan mental dan kecerdasan anak. Mortalitas atau kejadian kematian dapat terjadi pada penderita malnutri primer yang berat. Kematian mendadak dapat terjadi karena gangguan otot jantung.

 

MALNUTRISI SEKUNDER

Malnutrisi sekunder adalah gangguan pencapaian kenaikan berat badan yang bukan disebabkan penyimpangan pemberian asupan gizi pada anak. Tetapi karena gangguan fungsi dan sistem tubuh yang mengakibatkan gagal tumbuh. Gangguan sejak lahir yang terjadi pada sistem saluran cerna, gangguan metabolisme, gangguan kromosom atau kelainan bawaan jantung, ginjal dan lain-lain.

Data penderita gagal tumbuh di Indonesia belum ada, tetapi di negara maju rata-rata terjadi 1-5%. Artinya bila di Indonesia terdapat 30 juta anak, maka diduga 300.000 –

Page 17: Setiap Ibu Di Indonesia Sudah Seharusnya Sadar Bahwa Masalah Gizi Buruk Tidak Hanya Terjadi Di Daerah

500.000 anak menderita kurang gizi bukan karena masalah ekonomi. Bila di Jakarta terdapat 1 juta anak maka sekitar 10.000 – 50.000 anak mengalami kurang gizi bukan karena masalah ekonomi. Kasus tersebut bila tidak ditangani dengan baik akan jatuh juga dalam kategori gizi buruk.

Gambaran yang sering terjadi pada gangguan ini adalah adanya kesulitan makan atau gangguan penyerapan makanan yang berlangsung lama. Gejala klinis gangguan saluran cerna yang harus dicermati adalah gangguan Buang Air Besar (sulit atau sering BAB), BAB berwarna hitam atau hijau tua, sering nyeri perut, sering muntah, mulut berbau, lidah sering putih atau kotor. Gejala lain yang menyertai adalah gigi berwarna kuning, hitam dan rusak disertai kulit kering dan sangat sensitif. Berbeda pada malnutrisi primer, pada malnutrisi sekunder anak tampak sangat lincah, tidak bisa diam atau sangat aktif bergerak. Gejala berbeda lainnya, penderita malnutrisi sekunder justru tampak lebih cerdas, tidak ada gangguan pertumbuhan rambut dan wajah atau kulit muka tampak segar.

 

CARA PENANGANAN

Secara medis, penanganan kasus malnutrisi sekunder lebih kompleks dan rumit karena harus melibatkan beberapa disiplin ilmu kedokteran anak seperti gastroenterologi, endokrin, metabolik, alergi-imunologi, tumbuh kembang dan lainnya. Masukan data yang didapat harus cermat dan lengkap untuk menentukan apakah malnutrisi primer atau sekunder. Data yang ada harus didukung status medis, status ekonomi, pendidikan dan sosial yang akurat. Contohnya, pada keluarga tukang ojek ditemukan satu anak gizi buruk, tapi di rumah yang sama, adiknya memiliki status gizi baik, karena itu jangan langsung divonis kurang gizi akibat kemiskinan.

Gizi buruk memang merupakan masalah klasik bangsa ini sejak dulu. Tanpa data dan informasi yang cermat dan lengkap sebaiknya jangan terlalu cepat menyimpulkan bahwa adanya gizi buruk identik dengan kemiskinan, karena, gizi buruk bukan saja disebabkan karena masalah ekonomi, melainkan juga karena kurangnya pengetahuan dan pendidikan. Tuga kita sebagai ibu untuk mempelajari dan memberi gizi terbaik bagi putra-putri kita.