SESAK
description
Transcript of SESAK
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Sesak adalah masalah umum yang mempengaruhi hingga setengah pasien
yang dirawat di rumah sakit. Penelitian berdasarkan populasi menunjukkan
prevalensi 9-13% dari gejala sesak ringan sampai sedang pada komunitas orang
dewasa, 15-18% pada komunitas orang dewasa berusia 40 tahun atau lebih dan
25-37% pada orang dewasa berusia 70 tahun dan lebih tua. Di Amerika Serikat,
“sesak nafas” dan “usaha keras atau sulit bernafas (dipsnea)” terhitung pada
keadaan gawat darurat 3 sampai 4 juta kunjungan per tahun. Dispnea juga erat
terkait dengan mortalitas jantung pada angina
telah ada pertumbuhan besar dalam pengetahuan tentang neurofisiologi sesak
nafas. Selain itu, telah berkembang minat dalam penggunaan potensi dispnea
sebagai dilaporkan pasien hasil dalam uji klinis farmakologis dan
nonfarmakologis intervensi pada pasien dengan penyakit kardiopulmoner.
Tujuan penulisan referat adalah untuk mengidentifikasi mekanisme yang
mendasari dispnea, instrumen yang digunakan untuk mengukur sesak nafas,
pendekatan klinis terhadap pasien yang mengeluh sesak nafas, dan pengobatan
gejala sesak nafas.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dipsnea adalah persepsi subyektif atas ketidaknyamanan pernapasan yang
meliputi sensasi dengan intensitas yang berbeda, sebagai hasil interaksi dari
faktor psikologi, faktor sosial dan faktor lingkungan, menurut American
Thoracic Society, 2012.
2.2 Mekanisme dipsnea
Aktifitas bernapas dimulai dari neuron di medulla spinalis. Serat eferent dari
medula spinalis merangsang mekano reseptor pada saluran napas, paru, dinding
dada, dalam mengatur pola napas. Selanjutnya serat eferent dari medula
spinalis juga merangsang perubahan pada PCO2 dan PO2 yang diatur oleh
kemoreseptor sentral pada medulla spinalis dan kemoresptor tepi pada arteri
carotis dan aortic body. Sinyal dari kemoreseptor ini ditransmisikan kembali ke
pusat batang otak yang mengatur pernapasan untuk menjaga keseimbangan gas
darah dan keseimbangan asam-basa. Signal efferen dari mekanoreseptor dan
kemoreseptor akan dilanjutkan kembali ke pusat napas di cortex cerebri.
Gambar 1. Mekanisme dipsnea
2
Reseptor Pernapasan
1. Reseptor Tepi
a. Reseptor Mekanik ( Mechanoreceptor )
Reseptor saluran napas atas
Reseptor dinding dada
b. Reseptor Kimia ( Chemoreceptor )
c. Reseptor Vagal ( Vagoreceptor )
SAR ( Slowly Adapting Stretch Receptors )
RAR ( Rapidly Adapting Stretch Receptors )
Reseptor Serat-C
2 Reseptor Pusat ( cortex )
Reseptor saluran napas atas
Pengamatan klinis menunjukkan bahwa reseptor saluran napas atas dan
reseptor wajah memodifikasi sensasi dispnea. Secara khusus, serabut aferen dari
otot interkostal memproyeksikan ke korteks serebri dan berkontribusi pada
proprioception dan kinesthesia. Pasien kadang-kadang melaporkan terjadinya
penurunan intensitas dispnea ketika duduk didepan jendela terbuka / kipas
angin. Sebaliknya, beberapa pasien melaporkan memburuknya dispnea saat
bernapas melalui mouth piece pada pemeriksaan / tes faal paru . Studi yang
melibatkan induksi dispnea pada subjek normal menunjukkan bahwa reseptor
pada saraf trigeminal mempengaruhi intensitas sesak napas. Proprioception
adalah persepsi mekanik dan gerakan tidak sadar yang timbul dari rangsangan
dalam tubuh. Kinethesia mengacu pada kemampuan otot untuk merasakan
kualitas gerakan dan membangun kembali memori untuk sensasi gerakan.
Reseptor dinding dada
Otak menerima proyeksi dari berbagai reseptor pada sendi, tendon, dan otot
dinding dada yang mempengaruhi ventilasi dan mempengaruhi sensasi sesak
napas. Rangsangan mekanik berupa getaran, mengaktifkan reseptor dan
mempengaruhi sensasi sesak napas. Getaran saat inspirasi dari parasternal otot
3
interkostal mengurangi sesak napas pada subyek normal yang diinduksi sesak
napas (Manning dkk). Studi telah menunjukkan bahwa vibrasi pada dinding
dada, mengurangi dyspnea pada pasien dengan PPOK. Spindel dan tendon dari
otot bantu napas. Aksinya berupa regangan dan kontraksi otot bantu napas
Diinervasi lewat Anterion Horn Cell dari spinal motor neuron Di proyeksikan
ke somatosensori pada cortex Diafgragma juga merupakan otot bantu napas
diinervasi oleh n. phrenicus ( n.VII ). Afferen pada paru di salurkan lewat n.
vagus yang selanjutkan menuju cortex. Sinyal aferen dari mekanoreseptor di
sendi, tendon, dan otot dada berlanjut ke otak dan dapat menyebabkan dispnea:
Sinyal aferen nervus C1-C2 pd m. sternocleidomast
Sinyal aferen nervus C3-C5 pada m. diafragmaticus
Sinyal aferen nervus C5-C7 pada m. scalenus
Sinyal aferen nervus C7 – Th12 pada m. interkostal.
Gambar 2. Skema reseptor pernafasan (mekanoreseptor)
4
Reseptor Vagal
Informasi sensori timbul dari paru di transmisikan n. Vagus à ke batang
otak . N. Vagus, terdiri dari: serat bermielin dan serat tidak bermielin. N. Vagus
memegang peranan > 75% dari jaras afferent. Reseptor sensori pada n. Vagus,
meliputi:
* RAR ( Rapidly Adapting Stretch Rec )
* SAR ( Slowly Adapting Stretch Rec )
* Reseptor Serat-C
Masukan vagal penting dalam membentuk pola pernapasan. Beberapa
bukti bahwa pengaruh vagal, independen dari efek apapun dalam meningkatkan
dan mengatur pola pernapasan, juga dapat memberikan kontribusi pada sensasi
dyspnea. Pasien dengan transeksi saraf tulang belakang daerah leher, dimana
umpan balik dari reseptor dinding dada diblokir, dapat mendeteksi perubahan
volume tidal yang disampaikan oleh ventilator mekanik, dan merasakan adanya
sensasi kekurangan udara saat mereka kekurangan volume inspirasiHal ini
menunjukkan bahwa vagal reseptor dapat menyebabkan sensasi yang tidak
menyenangkan, terjadi ketika ekspansi toraks terbatas.
Blokade vagal memperbaiki dyspnea selama latihan dan meredakan
sensasi tidak menyenangkan. Dispnea terkait dengan bronkokonstriksi sebagian
dimediasi oleh serabut aferen vagal.
SAR ( Slowly Adapting Stretch Receptors )
SAR dapat ditemui di otot polos dari saluran napas besar. Reseptor ini
berlanjut ke serat aferen bermyelin di vagus. Uji pada SAR yaitu, Inhalasi
karbondioksida, anestetik volatil, dan furosemid dinilai mampu mempengaruhi
kerja reseptor , dimana stimulasi reseptor ini dapat menurunkan sensasi dispnea.
Inhalasi karbondioksida menghambat aktivitas mereka dengan kerja
langsung ke kanal K+ yang sensitif terhadap 4-aminopiridin àmeningkatkan
sensasi dispnea.
Anestetik tertentu dapat menginhibisi atau menstimulasi reseptor
tergantung konsentrasi dan tipe reseptor SAR-nya.
5
Furosemid bekerja secara tidak langsung dalam menstimuli reseptor sensorik di
epitel saluran napas, à menurunkan sensasi dispnea.
RAR ( Rapidly Adapting Stretch Receptors )
RAR dikenal sebagai receptor terminal tak bermielin yang terhubung
dengan serat aferen nervs vagus bermyelin. Reseptor ini beradaptasi cepat untuk
mempertahankan inflasi dan deflasi paru.
Uji pada RAR yaitu, RAR dapat diaktifkan oleh berbagai iritan seperti
ammonia, uap eter, asap rokok, serta oleh mediator imunologik dan perubahan
patologik sal. napas s/d paru. Pneumotoraks juga dapat menstimulasi RAR,
sehingga RAR dianggap berkontribusi terhadap kejadian dispnea. Inhalasi
furosemid mampu menurunkan aktivitas RAR, sehingga inhalasi bahan kimia ini
mampu memperingan dispnea.
Reseptor Serat-C
Serat C (unmyelinated ujung saraf) terdapat 2 kelompok reseptor ,serat-
C yang memiliki hubungan langsung ke sirkulasi bronkial atau pulmonal.
Reseptor ini dikenal dengan nama reseptor kapiler jukstapulmoner, atau reseptor
J. Lokalisasi reseptor ini terletak dekat kapiler alveolar dan merespon
peningkatan cairan interstisial diluar kapiler/respon edema interstisial paru.
Reseptor Serat-C Pulmoner berasal dari parenkim paru (injeksi obat ke
arteri pulmoner dapat berpengaruh pada reseptor ini).
Reseptor Serat-C Bronkial menginervasi mukosa saluran napas (injeksi
obat ke arteri bronkial , berpengaruh pada reseptor ini).
Reseptor pulmoner tidak sensitif terhadap autakoid seperti bradikinin,
histamin, serotonin, dan prostaglandin, hal yang sebaliknya terjadi pada
Reseptor bronkhial.
Uji pada reseptor vagal :
Kongesti paru adalah stimulan yang kuat untuk reseptor ini, namun hal ini
tidak memiliki efek yang kuat terhadap terjadinya sesak napas kecuali
disertai aktivitas berat.
Stimulan lainnya adalah capsaicin, memberi efek sensasi ringan di dada.
6
Dengan kata lain, adanya induksi langsung ke reseptor ini tidak sontak
menyebabkan gejala sesak napas, harus ada mekanisme penyerta lain atau
aktivitas dari reseptor lain.
Kemoreseptor
Kemoreseptor mengenali signal dari PCO2, pH, dan/atau PO2. Adanya
signal dari bahan-bahan kimia ini membantu pusat pernapasan untuk bekerja.
Kemoreseptor perifer: terdiri atas glomus karotikum pada percabangan a.
karotis komunis kiri-kanan serta glomus aortikum pada arkus aorta. Reseptor ini
peka terhadap peningkatan PCO2 dan penurunan PO2/PH darah.
Rangsang pada glomus karotikum diteruskan ke pusat respirasi melalui
cabang n. glosofaringeus. Rangsangan pada glomus aortikum disalurkan melalui
cabang asendens n.vagus. Stimuli pada reseptor ini akan meningkatkan
ventilasi.
Kemoreseptor pusat terdapat pada medula oblongata. Kemoreseptor ini
peka terhadap peningkatan kadar ion H+ (penurunan PH) dalam cairan otak.
CO2 dapat dengan mudah menembus BBB, sedangkan ion H+ dan ion
HCO3- sulit menembus BBB. CO2 yang masuk dalam cairan otak akan
meningkatkan konsentrasi H+ sesuai dengan persamaan: CO2 + H2O ↔ H2CO3
↔ H+ + HCO3-. Peningkatan konsentrasi H+ dalam ECF/ cairan otak
menstimulasi kemoreseptor pusat sehingga ventilasi meningkat.
SISTEM LIMBIK DAN HIPOTALAMUS
menyalurkan impuls aferen menuju pusat pernapasan, maka
rangsang nyeri dan emosi mempengaruhi pola pernapasan.
PROPRIOSEPTOR OTOT, TENDO & SENDI
mengirimkan impuls melalui serat aferen menuju ke medula
oblongata untuk menggiatkan pernapasan sewaktu melakukan
olah raga
7
BARORESEPTOR
Lokasi: di sinus karotikus, arkus aorta, atrium, ventrikel, dan pembuluh darah
besar. Memberikan rangsangan ke pusat vasomotor dan kardio inhibitor, juga
menyalurkan impulsnya melalui serat aferen menuju ke pusat respirasi.
Peningkatan tekanan darah, secara refleks terjadi penurunan frekuensi denyut
jantung dan penurunan ventilasi, serta vasodilatasi pembuluh darah
TERMORESEPTOR
Menggiatkan pernapasan pada demam atau sewaktu berolahraga,
Pada keadaan diatas suhu tubuh melampaui pengeluaran panas , maka
suhu tubuh meningkat. Pada keadaan ini, ventilasi meningkat sebagai
salah satu upaya untuk mengeluarkan panas tubuh yang berlebihan.
HORMORESEPTOR
Sebagai respons terhadap peningkatan rangsang simpatis juga akan
merangsang pusat respirasi, sehingga peningkatan ventilasi.
IRITASI PD MUKOSA SALURAN PERNAPASAN
Rangsangan bermacam-macam reseptor, menimbulkan refleks bersin,
batuk, menelan, muntah, menguap, dan sebagainya.
Pada Keadaan – keadaan tersebut, terjadi perubahan pola pernapasan
HERING-BREUER REFLEKS
REFLEKS INFLASI : untuk menghambat overekspansi paru-paru saat
pernapasan kuat. Reseptor refleks ini terletak pada jaringan otot polos di
sekeliling bronkiolus dan distimulasi oleh ekspansi paru-paru.
REFLEKS DEFLASI : untuk menghambat pusat ekspirasi dan menstimulasi
pusat inspirasi saat pau-paru mengalami deflasi.Reseptor refleks ini terletak di
dinding alveolar. Refleks ini berfungsi secara normal hanya ketika ekshalasi
maksimal, ketika pusat inspirasi dan ekspirasi aktif.
8
Konsep Sesak Nafas
KONSEP LENGTH – TENSION INAPPROPRIATENESS mengatakan
bahwa sesak napas timbul dari gangguan hubungan antara kekuatan otot
pernapasan, perubahan panjang otot dan volume paru.
KONSEP AFFERENT MITCMATCH , mengatakan bahwa ketidak sepadanan /
disosiasi antara perintah yang keluar dari otak dan informasi aferen yang datang
dari reseptor ( jalan napas, paru dan dinding dada )
2.3 Pengukuran derajad sesak
Skala klinis. Ada beberapa skala klinis yang digunakan dalam usaha
menderajatkan dispnea yaitu:
1. Visual analogue scale (VAS= sklala analog visual)
2. Skala Borg yang dimodifikasi
3. Skala sesak Medical Research council (MRC)
4. Baseline dyspnea index (BDI)
5. Transitional dyspnea index (TDI)
1. Visual analogue scale (VAS= sklala analog visual)
Digunakan untuk menilai dispnea selama uji latih. Subjek diminta
memberikan penilaian tentang sesaknya dengan cara menandai garis vertical
atau horizontal yang panjangnya 10 cm sesuai dengan intensitas sesaknya.
Derajat 0 untuk tidak sesak sama sekali sampai derajat 10 untuk sesak berat.
Skala ini paling sering digunakan karena pemakaiannya lebih sederhana dan
reproduksibel.
2. Skala Borg yang dimodifikasi
skala ini berupa garis vertical yang diberi nilai 0 sampai 10 dan tiap nilai
mempunyai deskripsi verbal untuk membantu penderita menderajatkan
intensitas sesak dari derajat ringan sampai berat. Nilai tiap deskripsi verbal
tersebut dibuat skor sehingga tingkat aktivitas dan derajat sesak dapat
dibandingkan antar individu. Skala ini memiliki reproduksibilitas yang baik
9
pada individu sehat dan dapat diterapkan untuk menentukan dispnea pada
penderita penyakit kardiopulmoner serta untuk parameter statistik.
3. Skala sesak ATS
Skala ini menggunakan deskripsi verbal untuk menderajatkan intensitas gejala
dan telah dikunakan secara luas.
DESKRIPSI DERAJAT
Tidak sesak kecuali aktivitas latihan berat 1
Sesak saat menaiki tangga secara tergesa-gesa
atau saat mendaki bukit kecil 2
Jalan lebih lambat dibanding kebanyakan orang 3
Berhenti untuk bernapas setelah berjalan 100
yard 4
Terlalu sesak untuk keluar rumah atau sesak saat
menggunakan atau melepas pakaian 5
Tabel 1. Skala sesak nafas American Thoracic Society
4. Baseline dyspnea index (BDI)
BDI adalah indeks klinis yang membedakan derajat berat dispnea pada satu
waktu tertentu
5. Transitional dyspnea index (TDI)
Indeks sesak ini dibuat untuk menilai perubahan setelah beberapa intervensi
dalam waktu tertentu
2.4 Kategori penyakit penyebab dispnea
10
Dispnea merupakan keluhan utama setiap gangguan atau penyakit yang
melibatkan sistem pernapasan. Diagnosis banding dispnea meliputi penyakit
paru, jantung, dinding dada, neuromuskuler, ginjal, reumatologi, hematologi dan
penyakit psikiatri. Penyakit paru sendiri yang menyebabkan dispnea meliputi
penyakit utama paru, dinding dada, pleura, diafragma dan saluran napas.
Penyakit utama paru diantaranya emfisema, bronchitis, asma, PPOK, penyakit
paru interstisial, fibrosis paru, hipertensi paru primer, dll.
Berikut ini kelompok penyakit yang bisa menyebabkan dispnea:
1. Gangguan mekanik ventilasi
a. Obstruksi aliran udara (sentral atau perifer)
Asma, emfisema, bronchitis
Tumor endobronkial
Stenosis trakea atau laring
b. Resistensi terhadap pengembangan paru:
Fibrosis interstisial karena berbagai sebab
Gagal ventrikel kiri
Tumor limfa
c. Resistensi terhadap pengembangan dinding dada atau diafragma
Penebalan pleura (karena empiema)
Kiposkoliosis
Kegemukan
Massa dalam abdomen (tumor, kehamilan)
2. Kelemahan pompa napas
a. Absolute
Riwayat polio
Penyakit neuromuskuler (sindroma Guillain-Bare, distrofdi muscular,
SLE, hipertiroidisme)
b. Relative
Hiperinflasi (asma, emfisema)
Efusi pleura
Pneumotoraks
11
3. Peningkatan kendali napas
a. Hipoksemia karena berbagai sebab
b. Asidosis metabolik
Penyakit pada ginjal (asidosis tubuler atau gagal tubuler)
Penurunan hemoglobin efektif (anemia, hemoglobinopati)
Penurunan curah jantung
c. Stimulasi reseptor intrapulmoner
Penyakit paru infiltrative
Hipertensi pulmoner
Edema paru
4. Ventilasi rugi
a. Destruksi kapiler: Emfisema, penyakit paru interstisial
b. Obstruksi pembuluh darah besar: emboli pulmoner, vaskulitis pulmoner
5. Disfungsi psikologik
a. Somatisasi, depresi, kecemasan (sindroma hiperventilasi)
2.5 Penanganan dispnea
Penanganan dispnea pada dasarnya mencakup tatalaksana yang tepat terhadap
penyakit yang mendasarinya. Bila kondisi pasien memburuk sehingga mungkin
terjadi gagal napas akut maka perhatian lebih baik ditujukan pada keadaan
daruratnya dulu sebelum dicari penyebab yang melatarbelakanginya.
Disebut gagal napas akut bila pada pemeriksaan analisis gas darah didapatkan
PaO2 <50 mmHg atau PaCO2 >50 mmHg dengan pH di bawah normal. Periksa
orofaring untuk memastikan saluran napas tidak tersumbat karena
pembengkakan atau suatu benda asing. Intubasi endotrakeal dilakukan apabila
pasien mengalami henti napas atau mengarah ke gagal napas progresif.
Oksigen harus diberikan kecuali ada bukti bahwa retensi CO2 akan memburuk
karena tingginya fraksi oksigen (FIO2) yang diberikan. Sisten ventury mask
delivery dengan FIO2 sebesar 24 atau 28% biasanya aman. Tujuan terapi oksigen
12
adalah mempertahankan PaO2 sebesar 60-70 mmHg dengan kenaikan
CO2 minimal.
Tujuan penatalaksanaan dispnea
1. Mengurangi sensasi usaha dan meningkatkan fungsi otot pernapasan
a. Penghematan energy
b. Strategi bernapas (purse lip breathing)
c. Posisi (misalnya bersandar)
d. Koreksi obesitas atau malnutrisi
e. Latihan otot pernapasan
f. Mengistirahatkan otot inspirasi (nasal ventilation, oksigen transtrakeal)
g. Obat (misalnya teofilin)
2. Menurunkan respiratory drive
a. Oksigen
b. Exercise conditioning
c. Vagal nerve section
d. Reseksi bodi carotid
3. Mengubah fungsi sistem saraf pusat
a. Edukasi
b. Intervensi psikologik
c. Istirahat dan sedative
4. Latihan sendiri atau dengan rehabilitasi paru
a. Meningkatkan kemampuan mengurus diri sendiri
b. Memperbaiki efisiensi gerakan
c. Desensitisasi dispnea
13
2.6 Algoritma
1. Dispnea Akut
2. Dispnea Kronik
14
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pernafasan atau respirasi adalah suatu proses mulai dari pengambilan
oksigen,pengeluaran karbohidrat hingga penggunaan energi di dalam tubuh.
Sistem pernafasan tersusun atas saluran pernafasan dan paru-paru sebagai tempat
perrtukaraan udara pernafasan. Pernafasan merupakan proses untuk memenuhi
kebutuhan oksigen yang diperlukan untuk mengubah sumber energi menjadi
energi dan membuang CO2 sebagai sisa metabolisme. Alat-alat pernapasan
merupakan organ-organ tubuh yang sangat penting. Jika ini terganggu karena
penyakit atau kelainan maka proses pernapasan akan terganggu, bahkan dapat
menyebabkan kematian.
Dispnea merupakan suatu istilah yang menggambarkan suatu persepsi
subjektif mengenai ketidaknyamanan bernapas yang terdiri dari berbagai sensasi
yang berbeda intensitasnya. Selain itu juga merupakan hasil interaksi dari
berbagai faktor fisiologi, psikologi, sosial dan lingkungan dan dapat
menginduksi respons fisiologis dan perilaku sekunder.
Dispnea dapat disebabkan oleh gangguan organ dan sistem organ antara
lain; sistem kardiovaskulaar, sistem respirasi, sistem neuromuskular, sistem
endokrin, sistem hematologi, sistem metabolik, dan psikogenik. Penatalaksaan
dispnea yang terutama adalah mengobati penyakit dasar dan komplikasinya.
Selebihnya merupakan penatalaksaan simptomatis.
16
DAFTAR PUSTAKA
Mark B. Parshall, Richard M. Schwartzstein. An Official American Thoracic
Society Statement: Update on the Mechanisms, Assessment, and Management of
Dyspnea American Journal Of Respiratory And Critical Care Medicine vol .185
2012; 435-446.
Patofisiologi sesak nafas. Diunduh dari; http://www.medicinesia.com/kedokteran-
dasar/respirasi/patofisiologi-sesak-nafas/. 8 september 2014
Subagyo Ahmad. 2013. Penanganan Dipsnea. Diunduh dari
http://www.klikparu.com/2013/11/penanganan-dispnea.html
17