Seko Lah

7
Oleh Johan Wahyudi [email protected] Beberapa waktu lalu, terjadi kasus saat beberapa siswa mengkritik guru melalui sosial media. Siswa itu mengecam jenis hukuman yang diberikan guru kepada siswa. Sontak kritikan siswa itu menimbulkan masalah. Guru dan sekolah tidak menerima kritikan itu dan akhirnya menjatuhkan sanksi kepada murid. Atas pemberian sanksi itu, orang tua siswa tidak menerimanya. Akhirnya, kasus itu ter-blow up dan membesar hingga masuk ke ranah hokum. Bagi netter, sosial media memang dapat digunakan untuk menyalurkan aspirasi. Karena kemudahan yang dimiliki, banyak siswa juga menggunakan media ini untuk beragam kepentingan. Tidak hanya untuk menyampaikan eksistensi diri, tetapi juga menyampaikan beragam masalah yang dialaminya, baik masalah di pergaulan, keluarga, bahkan di sekolah. Karena kekurangpahaman penggunaan sosial media, banyak siswa langsung menyampaikan kritikan kepada semua orang yang dianggapnya sebagai penghalang kebebasan. Di sinilah diperlukan kearifan guru. Sebagai pendidik, guru perlu mengenalkan penggunaan sosial media kepada para siswa. Ada tiga etika yang perlu diketahui para siswa, yaitu kesantunan bahasa, pemilihan media, dan kesahihan informasi. Pertama, kesantunan bahasa. Guru perlu menyampaikan masalah kesantunan ini kepada para siswa. Mereka harus dididik bahwa cara yang salah akan berakibat hasil yang salah pula. Sebuah kritikan tentu bertujuan baik. Namun, kritikan akan berubah menjadi masalah krusial jika kritikan itu tidak disampaikan secara santun. Terlebih, kritikan itu disampaikan melalui sosial media yang semua orang tanpa batas dapat membacanya. Oleh karena itu, kritikan melalui sosial media sebaiknya disampaikan dengan sindiran, analogi, atau berbentuk kisah fiksi. Kedua, pemilihan media. Kritikan dapat disampaikan secara langsung dan tidak langsung. Kritikan langsung berarti kritikan itu disampaikan secara tatap muka sedangkan kritikan tidak langsung berarti kritikan itu disampaikan dengan media tertentu, seperti surat, sosial media, atau gambar. Jika disampaikan secara langsung, hendaknya kritikan itu disampaikan secara tertutup alias tidak di tempat umum. Kritikan di tempat umum dapat menjatuhkan harga diri meskipun isi kritikan belum tentu benar. Siswa dapat diarahkan agar kritikan itu disampaikan di ruang atau tempat tertentu. Bahkan, kritikan itu dapat disampaikan sambil bercanda. Jika disampaikan secara tidak langsung, siswa perlu dilatih agar memiliki kemampuan menyampaikan

description

hehehehe

Transcript of Seko Lah

Page 1: Seko Lah

Oleh Johan Wahyudi [email protected] Beberapa waktu lalu, terjadi kasus saat beberapa siswa mengkritik guru melalui sosial  media. Siswa itu mengecam jenis hukuman yang diberikan guru kepada siswa. Sontak kritikan siswa itu menimbulkan masalah. Guru dan sekolah tidak menerima kritikan itu dan akhirnya menjatuhkan sanksi kepada murid. Atas pemberian sanksi itu, orang tua siswa tidak menerimanya. Akhirnya, kasus itu ter-blow up dan membesar hingga masuk ke ranah hokum. Bagi netter, sosial media memang dapat digunakan untuk menyalurkan aspirasi. Karena kemudahan yang dimiliki, banyak siswa juga menggunakan media ini untuk beragam kepentingan. Tidak hanya untuk menyampaikan eksistensi diri, tetapi juga menyampaikan beragam masalah yang dialaminya, baik masalah di pergaulan, keluarga, bahkan di sekolah. Karena kekurangpahaman penggunaan sosial  media, banyak siswa langsung menyampaikan kritikan kepada semua orang yang dianggapnya sebagai penghalang kebebasan. Di sinilah diperlukan kearifan guru. Sebagai pendidik, guru perlu mengenalkan penggunaan sosial media kepada para siswa. Ada tiga etika yang perlu diketahui para siswa, yaitu kesantunan bahasa, pemilihan media, dan kesahihan informasi. Pertama, kesantunan bahasa. Guru perlu menyampaikan masalah kesantunan ini kepada para siswa. Mereka harus dididik bahwa cara yang salah akan berakibat hasil yang salah pula. Sebuah kritikan tentu bertujuan baik. Namun, kritikan akan berubah menjadi masalah krusial jika kritikan itu tidak disampaikan secara santun. Terlebih, kritikan itu disampaikan melalui sosial  media yang semua orang tanpa batas dapat membacanya. Oleh karena itu, kritikan melalui sosial  media sebaiknya disampaikan dengan sindiran, analogi, atau berbentuk kisah fiksi. Kedua, pemilihan media. Kritikan dapat disampaikan secara langsung dan tidak langsung. Kritikan langsung berarti kritikan itu disampaikan secara tatap muka sedangkan kritikan tidak langsung berarti kritikan itu disampaikan dengan media tertentu, seperti surat, sosial  media, atau gambar. Jika disampaikan secara langsung, hendaknya kritikan itu disampaikan secara tertutup alias tidak di tempat umum. Kritikan di tempat umum dapat menjatuhkan harga diri meskipun isi kritikan belum tentu benar. Siswa dapat diarahkan agar kritikan itu disampaikan di ruang atau tempat tertentu. Bahkan, kritikan itu dapat disampaikan sambil bercanda. Jika disampaikan secara tidak langsung, siswa perlu dilatih agar memiliki kemampuan menyampaikan kritikan melalui tulisan. Kritikan itu dapat berbentuk surat dan dikirimkan melalui kotak saran di sekolah atau langsung kepada gurunya. Ketiga, kesahihan informasi. Sering siswa menerima segala informasi secara mentah-mentah. Informasi yang didapat dari teman-temannya langsung direspon sebagai wujud solidaritas yang salah. Sikap itu harus dicegah. Guru perlu memberitahukan sanksi hokum yang akan ditanggung jika menyebarkan informasi yang salah, terlebih kritikan itu disampaikan melalui media. Guru perlu memberikan pemahaman yang benar tentang arti pentingnya kesahihan informasi. Jika informasi itu diperoleh dari orang lain, kebenaran informasi itu harus dikonfirmasikan kepada sumbernya. Jika informasi itu dialami korban, hendaknya kritikan itu disampaikan secara berimbang dan transparan. Informasi itu

Page 2: Seko Lah

harus disampaikan secara utuh sehingga perlu dijelaskan secara kronologis agar masyarakat mengetahui permasalahannya secara detail. Jika ketiganya sudah dipahami kedua pihak, siswa tak lagi mengkritik guru seenaknya. 

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/johanmenulisbuku/bolehkah-siswa-mengkritik-guru_552a5cd46ea834132d552cf8

Sekolah adalah tempat didikan bagi anak anak. tujuan dari sekolah adalah mengajar tentang mengajarkan anak untuk menjadi anak yang mampu memajukan bangsa . Sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran siswa /murid di bawah pengawasan guru.[1]

Sebagian besar negara memiliki sistem pendidikan formal, yang umumnya wajib. Dalam sistem ini, siswa kemajuan melalui serangkaian sekolah. Nama-nama untuk sekolah-sekolah ini bervariasi menurut negara (dibahas pada bagian Daerah di bawah), tetapi umumnya termasuk sekolah dasar untuk anak-anak muda dan sekolah menengah untuk remaja yang telah menyelesaikan pendidikan dasar.[2]

Selain sekolah-sekolah inti, siswa di negara tertentu juga mungkin memiliki akses dan mengikuti sekolah-sekolah baik sebelum dan sesudah pendidikan dasar dan menengah. TK atau pra-sekolah menyediakan sekolah beberapa anak-anak yang sangat muda (biasanya umur 3-5 tahun). Universitas, sekolah kejuruan, perguruan tinggi atau seminari mungkin tersedia setelah sekolah menengah. Sebuah sekolah mungkin juga didedikasikan untuk satu bidang tertentu, seperti sekolahekonomi atau sekolah tari. Alternatif sekolah dapat menyediakan kurikulum dan metode non-tradisional.[3]

Ada juga sekolah non-pemerintah, yang disebut sekolah swasta. Sekolah swasta mungkin untuk anak-anak dengankebutuhan khusus ketika pemerintah tidak bisa memberi sekolah khusus bagi mereka; keagamaan, seperti sekolah Islam, sekolah Kristen, hawzas, yeshivas dan lain-lain, atau sekolah yang memiliki standar pendidikan yang lebih tinggi atau berusaha untuk mengembangkan prestasi pribadi lainnya. Sekolah untuk orang dewasa meliputi lembaga-lembaga pelatihan perusahaan dan pendidikan dan pelatihan militer.

Kata sekolah berasal dari Bahasa Latin: skhole, scola, scolae atau skhola yang memiliki arti: waktu luang atau waktu senggang, di mana ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak di tengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja. Kegiatan dalam waktu luang itu adalah mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan estetika (seni). Untuk mendampingi dalam kegiatan scolaanak-anak didampingi oleh orang ahli dan mengerti tentang psikologi anak, sehingga memberikan kesempatan yang

Page 3: Seko Lah

sebesar-besarnya kepada anak untuk menciptakan sendiridunianya melalui berbagai pelajaran di atas.

Saat ini, kata sekolah berubah arti menjadi: merupakan bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran.Sekolah dipimpin oleh seorang Kepala Sekolah. Kepala sekolah dibantu oleh wakil kepala sekolah.Jumlah wakil kepala sekolah di setiap sekolah berbeda, tergantung dengan kebutuhannya. Bangunan sekolah disusun meninggi untuk memanfaatkan tanah yang tersedia dan dapat diisi dengan fasilitas yang lain. Ketersediaan sarana dalam suatu sekolah mempunyai peran penting dalam terlaksananya proses pendidikan.

PendidikanDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Rangkaian dari

Sains

Sains formal [tampilkan]

Sains fisik [tampilkan]

Sains kehidupan [tampilkan]

Ilmu sosial [tampilkan]

Ilmu terapan [tampilkan]

Antardisiplin [tampilkan]

Portal

Kategori

L

Page 4: Seko Lah

B

S

Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak.[1] Setiap pengalaman yang memiliki efek formatif pada cara orang berpikir, merasa, atau tindakan dapat dianggap pendidikan. Pendidikan umumnya dibagi menjadi tahap seperti prasekolah, sekolah dasar, sekolah menengah dan kemudian perguruan tinggi, universitas atau magang.

Sebuah hak atas pendidikan telah diakui oleh beberapa pemerintah. Pada tingkat global, Pasal 13 PBB 1966 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mengakui hak setiap orang atas pendidikan.[2] Meskipun pendidikan adalah wajib di sebagian besar tempat sampai usia tertentu, bentuk pendidikan dengan hadir di sekolah sering tidak dilakukan, dan sebagian kecil orang tua memilih untuk pendidikan home-schooling, e-learning atau yang serupa untuk anak-anak mereka.

Daftar isi  [sembunyikan] 

1 Filosofi pendidikan 2 Fungsi pendidikan 3 Ekonomi 4 Referensi 5 Lihat pula 6 Pranala luar

Filosofi pendidikan[sunting | sunting sumber]

Pendidikan biasanya berawal saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia bisa mengajar bayi mereka sebelum kelahiran.

Bagi sebagian orang, pengalaman kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada pendidikan formal. Seperti kata Mark Twain, "Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya."[butuh rujukan]

Anggota keluarga mempunyai peran pengajaran yang amat mendalam, sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka, walaupun pengajaran anggota keluarga berjalan secara tidak resmi.

Fungsi pendidikan[sunting | sunting sumber]

Menurut Horton dan Hunt, lembaga pendidikan berkaitan dengan fungsi yang nyata (manifes) berikut:

Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah. Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan

masyarakat.

Page 5: Seko Lah

Melestarikan kebudayaan. Menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi.

Fungsi lain dari lembaga pendidikan adalah sebagai berikut.

Mengurangi pengendalian orang tua. Melalui pendidikan, sekolah orang tua melimpahkan tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada sekolah.

Menyediakan sarana untuk pembangkangan. Sekolah memiliki potensi untuk menanamkan nilai pembangkangan di masyarakat. Hal ini tercermin dengan adanya perbedaan pandangan antara sekolah dan masyarakat tentang sesuatu hal, misalnya pendidikan seks dan sikap terbuka.

Mempertahankan sistem kelas sosial. Pendidikan sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan kepada para anak didiknya untuk menerima perbedaan prestise, privilese, dan status yang ada dalam masyarakat. Sekolah juga diharapkan menjadi saluran mobilitas siswa ke status sosial yang lebih tinggi atau paling tidak sesuai dengan status orang tuanya.

Memperpanjang masa remaja. Pendidikan sekolah dapat pula memperlambat masa dewasa seseorang karena siswa masih tergantung secara ekonomi pada orang tuanya.

Menurut David Popenoe, ada empat macam fungsi pendidikan yakni sebagai berikut:

Transmisi (pemindahan) kebudayaan. Memilih dan mengajarkan peranan sosial. Menjamin integrasi sosial. Sekolah mengajarkan corak kepribadian. Sumber inovasi sosial.

Ekonomi[sunting | sunting sumber]

Telah dikemukakan bahwa tingkat pendidikan yang tinggi sangat penting bagi negara-negara untuk dapat mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.[3] Analisis empiris cenderung mendukung prediksi teoritis bahwa negara-negara miskin harus tumbuh lebih cepat dari negara-negara kaya karena mereka dapat mengadopsi teknologi yang sudah dicoba dan diuji oleh negara-negara kaya. Namun, transfer teknologi memerlukan manajer berpengetahuan dan insinyur yang mampu mengoperasikan mesin-mesin baru atau praktek produksi yang dipinjam dari pemimpin dalam rangka untuk menutup kesenjangan melalui peniruan. Oleh karena itu, kemampuan suatu negara untuk belajar dari pemimpin adalah fungsi dari efek "human capital". Studi terbaru dari faktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi agregat telah menekankan pentingnya lembaga ekonomi fundamental[4] dan peran keterampilan kognitif.[5]

Pada tingkat individu, ada banyak literatur, umumnya terkait dengan karya Jacob Mincer,[6] tentang bagaimana laba berkaitan dengan pendidikan dan modal manusia lainnya. Karya ini telah memotivasi sejumlah besar studi, tetapi juga kontroversial. Kontroversi utama berkisar bagaimana menafsirkan dampak sekolah.[7][8] Beberapa siswa yang telah menunjukkan potensi yang tinggi untuk belajar, dengan menguji dengan intelligence quotient yang tinggi, mungkin tidak mencapai potensi penuh akademis mereka, karena kesulitan keuangan.[reason-actually some students at the low end get better treatment than those in

the middle with grants, etc. needs RS]

Ekonom Samuel Bowles dan Herbert Gintis berpendapat pada tahun 1976 bahwa ada konflik mendasar dalam pendidikan Amerika antara tujuan egaliter partisipasi demokratis dan ketidaksetaraan tersirat oleh profitabilitas terus dari produksi kapitalis di sisi lain.[9]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Page 6: Seko Lah

1. ̂  Dewey, John (1916/1944). Democracy and Education. The Free Press. pp. 1–4.ISBN 0-684-83631-9.

2. ̂  ICESCR, Article 13.13. ̂  Eric A. Hanushek (2005). Economic outcomes and school quality. International Institute for

Educational Planning. ISBN 978-92-803-1279-9. Diakses tanggal 21 October2011.4. ̂  Daron Acemoglu, Simon Johnson, and James A. Robinson (2001). "The Colonial Origins of

Comparative Development: An Empirical Investigation". American Economic Review 91 (5): 1369–1401. doi:10.2139/ssrn.244582. JSTOR 2677930.

5. ̂  Eric A. Hanushek and Ludger Woessmann (2008). "The role of cognitive skills in economic development" (PDF). Journal of Economic Literature 46 (3): 607–608.doi:10.1257/jel.46.3.607.

6. ̂  Jacob Mincer (1970). "The distribution of labor incomes: a survey with special reference to the human capital approach". Journal of Economic Literature 8 (1): 1–26.JSTOR 2720384.

7. ̂  David Card, "Causal effect of education on earnings," in Handbook of labor economics, Orley Ashenfelter and David Card (Eds). Amsterdam: North-Holland, 1999: pp. 1801–1863

8. ̂  James J. Heckman, Lance J. Lochner, and Petra E. Todd., "Earnings functions, rates of return and treatment effects: The Mincer equation and beyond," in Handbook of the Economics of Education, Eric A. Hanushek and Finis Welch (Eds). Amsterdam: North Holland, 2006: pp. 307–458.

9. ̂  Samuel Bowles; Herbert Gintis (18 October 2011). Schooling In Capitalist America: Educational Reform and the Contradictions of Economic Life. Haymarket Books.ISBN 978-1-60846-131-8. Diakses tanggal 21 October 2011.