Sejarah Transportasi Jakarta
Transcript of Sejarah Transportasi Jakarta
Perkembangan Sistem Transportasi Jakarta Dan Mencari Solusi Alternatif Permasalahan
Jakarta kota metropolitan terbesar dan terpadat di Asia Tenggara. Kota yang
dihuni oleh sekitar 8 juta jiwa penduduknya dengan segala permasalahan dan
kesemerawutannya. Kota dengan sejarah masa lalu yang kompleks dan kondisi sosial
budaya yang sangat beragam tentu dengan sederet permasalahannya. Salah satu masalah
yang cukup krusial dan penting adalah masalah transportasi kota. Selama ini Jakarta
dikenal sebagai metropolitan terburuk dalam mengatur transportasi warganya yang
mencapai 8 juta jiwa. Kemacetan selalu terjadi dimana-mana. Bahkan menurut situs
ensiklopedia terkenal, Wikipedia, Jakarta memiliki lebih dari 100 titik rawan kemacetan
yang tersebar merata diseluruh wilayah kota.
Fasilitas dan Infrastrukur transportasi yang kurang menjadi salah satu penyebab
utama terjadinya kemacetan tersebut. Jakarta belum mempunyai sistem serta infrasturktur
transportasi massal yang terpadu. Transportasi yang bisa melayani kebutuhan
perpindahan warganya dengan cepat, aman, murah, nyaman dan massal. Disamping itu
keberadaan kantong-kantong penduduk di kota-kota satelit Jakarta yang setiap harinya
melakukan perjalanan menuju Jakarta ikut memperparah keruwetan transportasi di kota
Jakarta. Komuter yang berasal dari Depok, Tanggerang, Bogor serta Bekasi tersebut
semakin menambah arus kendaraan di dalam kota Jakarta yang sudah sedemikian padat.
Sebagai akibatnya, kemacetan yang parah tak terhindarkan di jalan-jalan utama menuju
kota-kota tersebut.
Masalah transportasi Jakarta selanjutnya adalah tata ruangan Jakarta yang
sedemikan rumit dan kompleks. Tata ruangan yang tidak mengindahkan tata guna lahan
menyebakan semakin banyaknya transportasi atau perpindahan yang harus dilakukan
warga ibu kota. Padahal,s eperti kita ketahui bersama, pada dasarnya kebutuhan akan
transportasi adalah kebutuhan sekunder manusia untuk memenuhi kebutuhan yang
sebenarnya. Baik itu berupa barang maupun orang. Tata ruang yang buruk juga bisa
menjadi titik pangkal kemacetan . Seperti misalnya tempat keluar parkir dari sebuah
pusat perbelanjaan terkenal yang membuat macet jalanan atau kawasan disekitarnya.
Selain itu masalah transportasi yang sangat krusial adalah pertumbuhan kendaraan
pribadi yang mencapai 11% per tahun. Angka yang cukup fantastis bagi Jakarta yang
hanya mempunyai 5000 km jalan raya (sudah termasuk jalan-jalan kecil dan jalan tol).
Bahkan jika semua kendaraan yang ada di kota Jakarta keluar pada saat yang bersamaan
maka bisa dipastikan seluruh jalan yang ada di Jakarta akan ditutupi oleh kendaraan
tersebut.
Mengapa kompleksitas masalah ini terjadi dan bagaimana solusinya? Untuk
mencari solusi atas masalah transportasi Jakarta yang ada, disamping pendekatan
kekinian dan kedisinian juga diperlukan pendekatan sejarah transportasi kota. Mengapa
hal ini penting? Kita harus menyadari bahwa kondisi transportasi Jakata yang terjadi
sekarang adalah akumulasi dari kebijakan-kebijakan transportasi di masa lampau.
Bagaimana kota ini pertama kali mengatur transportasi penduduk dan barangnya?
Dengan menggunakan moda apa mayoritas masyarakat melakukan perpindahan?
Bagaimana sebenarnya blue print rancangan transportasi ibu kota? Apa yang telah
dilakuakan pendahulu kita untuk memabangun trasnsportai yang ideal di kota pelabuhan
ini? Selain itu, penting pula untuk diketahui sejarah Jakarta sejak kota ini pertama kali
berdiri.
Sejarah transportasi kota Jakarta bermula dari sebuah pelabuhan yang bernama
Sunda Kelapa. Pelabuhan ini merupakan pelabuhan dari kerajaan Pajajaran. Sebelumnya
merupakan milik kerajaan Tarumanegara yang dipakai untuk transportasi barang-barang
dagangan dengan pedagang-pedagang dari India dan Cina. Sejak dulu Sunda Kelapa
merupakan pelabuhan yang cukup strategis dan ramai. Maka tidak heran sejak dulu arus
transportasi sudah sedemikian padat di pelabuhan ini. Sekitar tahun 1859, Sunda Kalapa
sudah tidak seramai masa-masa sebelumnya. Akibat pendangkalan, kapal-kapal tidak lagi
dapat bersandar di dekat pelabuhan sehingga barang-barang dari tengah laut harus
diangkut dengan perahu-perahu. Oleh karena itu dibangunlah pelabuhan baru di daerah
tanjung priok sekitar 15 km kearah timur dari pelabuhan sunda kalapa. Untuk
memperlancar arus barang maka dibangun juga jalan kereta api pertama (1873) antara
Batavia – Buitenzorg (Bogor). Empat tahun sebelumnya muncul trem berkuda yang
ditarik empat ekor kuda, yang diberi besi di bagian mulutnya. Dari sejarah diatas bisa
diambil kesimpulan bahwa sejak dulu kota Jakarta merupakan kota dengan arus
perpindahan barang maupun orang yang cukup padat. Infrastruktur dasar perkotaannya
pun merupakan infrastrukur transportasi seperti pelabuhan dan jalur kereta api
Perkembangan tranportasi kota Jakarta pun memasuki babak baru ketika daerah-
daerah pemukiman muncul didaerah sekitar pelabuhan. Mulailah muncul jalan-jalan
penghubung di daerah sekitar pelabuhan. Hingga zaman sebelum kemerdekaan , Jakarta
sudah berubah menjadi sebuah kota yang modern yang kala itu bernama Batavia. Pada
saat itu, tahun 1943 sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, ada
angkutan massal yang disebut Zidosha Sokyoku (ZS). Jangan membayangkan bentuk
kendaraan yang bermesin, angkutan tersebut berupa sebuah gerobak yang ditarik seekor
sapi, bahkan ketika keadaan serba sulit karena perang sapi penariknya justru disembelih
untuk dimakan. Selain itu sejak tahun 1910, Jakarta sudah mempunyai jaringan trem.
Trem adalah kereta dalam kota yang digerakkan oleh mesin uap. Trem merupakan
angkutan massal pertama yang ada di Jakarta. Ketika itu Jaringan trem di Jakarta sudah
melayani arus perpindahan dari pelabuhan hingga kampung melayu. Sampai saat ini
peninggalan jejak trem di Jakarta masih bis kita lihat diantaranya di museum fatahillah
serta di Jembatan bekas trem yang milintas sungai Ciliwung di daerah Raden Saleh atau
Dipo trem yang sekarang ditempati PPD sebagai dipo di daerah Salemba. Dapat
disimpulaan ketika itu transportasi massal menjadi pilihan utama masyarakat untuk
berpergian di dalam kota
Kebijakan mulai beralih kepada penggunaan kendaraan pribadi sejak taun 1960an
ketika presiden Sukarno memerintahkan penghapuisan trem dari Jakarta dengan alasan
bahwa trem sudah tidak cocok lagi untuk kota sebesar jakarta. Sayangnya ketika trem
dihapus, sebelumnya tidak diimbangi dengan jumlah bus. Ketika itu politik kita yang
‘progresif revolusioner’ berpihak ke Blok Timur yang sedang berkonfrontasi dengan
Blok Barat yang dijuluki Nekolim (neokolonialisme, kolonialisme, dan imperialisme).
Tidak heran bus-bus yang beroperasi di jakarta berasal dari Eropa Timur, seperti merek
Robur dan Ikarus. Akan tetapi, karena jumlahnya tidak banyak, opletlah yang
mendominasi angkutan diJ Jakarta . Sampai-sampai beroperasi ke jalan-jalan protokol, di
samping becak untuk jarak dekat. Waktu itu oplet (dari kata autolet) bodinya terbuat dari
kayu yang dirakit di dalam negeri. Sedangkan mesinya dari mobil tahun 1940-an dan
1950-an, seperti merek Austin dan Moris Minor (Inggris) serta Fiat (Italia). Di Jakarta
juga disebut ostin, mengacu nama Austin, yang sisa-sisanya kini dapat dihitung dengan
jari.
Kemudian pada tahun 1970an terjadi peningkatan jumlah kendaraaan secara
signifikan di Jakarta. Terjadilah revolusi transportasi yang melanda Jakarta. Masyarakat
berlomba-lomba untuk memiliki kendaraaan pribadi. Seakan-akan belum menjadi orang
kaya jika belum mempunyai mobil pribadi. Ditunjang oleh sistem pengkreditan yang luar
biasa mudah, membuat ,aysrakat berlomba-lomba memiliki mobil pribadi. Pemerintah
pun seakan mendukung program ‘pembelian kendaraan pribadi’ ini. Jalan-jalan utama
diperlebar, jalur-jalur ditambah, dan kebijakan-kebijakan lain yang semakin memanjakan
penggunaan mobil pribadi. Akmumulasi akibat dari kebijakan ini adalah keadaan Jakarta
seperti sekarang. Dimana kapasitas jalan sudah tidak mampu lagi menampung arus
kendaraan yang melintas diatasnya smentra pertumbuhan pemilikan kendaraan tetap saja
tinggi.
Sebenarnya kebijakan transportasi Jakarta, dalam satu dasawarsa terakhir, sudah
memasuki tahapan baru. Pemerintah mulai menyadari bahwa untuk kota seperti Jakarta,
penggunaan transportasi yang bersifat massal lebih menguntungkan dibandingkan
transportasi yang berbasis kendaraan pribadi. Hal ini bisa kita lihat pada kebijakan-
kebijakan transportasi Jakarta dalam satu dasawarsa terakhir ini uyang mulai
menunjukkan tren untuk mengurangi jumlah kendaran pribadi dan memperbaiki sistem
angkutan umum di kota Jakarta.
Di masa Gubernur Surjadi Soedirdja, Kepala DLLAJ DKI Jakarta J. P. Sepang
diperintahkan untuk memberlakukan Sistem Satu Arah (SSA) pada sejumlah ruas jalan.
Langkah ini meniru sistem di Singapura. Pemda DKI Jakarta di masa itu juga membuat
jalur khusus bagi bus kota dengan cat warna kuning, termasuk membangun sejumlah
halte bus dengan sarana telepon umum (Halte 2000). Lagi-lagi sayang, hal tersebut
akhirnya juga diiringi dengan antrean kendaraan yang makin memanjang di jalan-jalan
raya dan bus kota yang tidak juga tertib dalam menaik-turunkan penumpang. Kemudian,
Pemprov DKI Jakarta saat itu juga mempraktekkan sistem pengaturan lampu lalu-lintas
kawasan (Area Traffic Control System-ATSC) pada 110 persimpangan yang bisa
disaksikan setiap sore melalui tayangan Metro TV. Tapi sistem adopsi Jerman itu tidak
efektif untuk mengatasi persoalan transportasi di Jakarta, kalah oleh hujan lebat yang
turun dan berhasil mematikan lampu lalu lintas secara tiba-tiba.
Terakhir, di akhir masa kepemimpinan Sutiyoso, wajah Ibukota dihiasi dengan
bus TransJakarta yang menjadi tulang punggung konsep sistem transportasi
makro/massal (baca: busway). Dengan 7 koridor efektif dan 329 armada bus, busway
justru menjadi masalah baru. Beberapa catatan yang menyebabkan masalah dapat dengan
mudah diidentifikasi, seperti pembangunan koridor di bahu jalan umum tanpa
penambahan luas-panjang dan jaringan jalan, serta jumlah armada yang hanya mampu
menyerap 210.000 penumpang per hari (berbanding 8,96 juta penduduk) dengan tingkat
kepadatan yang tinggi (berdesakan), apalagi dengan kebijakan Fauzi Bowo yang
memperbolehkan kendaraan lain melintasi jalur busway. Busway yang diklaim sebagai
sarana transportasi massal-cepat itupun semakin minim sanjungan. Terbukti, hasil riset
tim Japan International Cooperation Agency (JICA) menyatakan bahwa perpindahan
pengguna kendaraan pribadi menjadi pengguna busway hanya mencapai 14%. Di sisi
lain, Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) menargetkan mampu
menjual sekiar 420 ribu unit kendaraan setahunnya. Ini berarti masyarakat Ibukota tidak
memiliki apresiasi yang baik terhadap busway sebagai tawaran para pengurus Ibukota
(baca: Pemprov DKI Jakarta).
Melihat dari sejarahnya pun, pola transportasi yang paling tepat untuk diterapkan
di kota seperti Jakarta adalah transportasi yang bersiafat massal, yang mampu
mengmindahkan banyak orang sekaligus dalam waktu yang relatif singkat, cepat, dan
aman. Namun sayangnya hal ini tidak disadari oleh pengambil kebijakan ibukota di masa
lampau. Bertuntungnya, pemerintah saat ini muali kembali ke arah kebjikan yang sesuai.
Tren yang berkembang akhir-akhir adalah pengembangan sistem transportasi massal
yang terpadu di DKI Jakarta. Hal ini sudah dimulai sejak diluncurkannya program
Busway oleh gubernur Sutiyoso beberapa tahun yang lalu.
Seajatinya pembangunan infrasturktur transportasi tidak dapat dilakukan dalam
setahun dua tahun. Perlu kebijakan yang berkesinambungan agar masalah ini dapat
diselesaikan dengan baik. Pembangunan mass rapid transit(MRT) beserta sistem yang
mendukungnya adalah solusi jangka yang harus terus diupayakan. Jakarta dalam hal ini
sudah memiliki master plan untuk mengintegrasikan sistem busway, monorel, shelter
bus, serta kereta listrik, sebagai MRT andalannya dimasa datang. Dengan berbagai
kekurangannya, program busway dan kereta listrik bagaimanapun telah menjadi prioneer
MRT yang harus terus didukung dan diperjuangkan.
Disamping itu, dalam tanggung-jawabnya melayani kebutuhan publik Ibukota
Negara. Dalam keseriusan membangun sistem transportasi massal-cepat, pengelola
transportasi Ibukota (juga Indonesia) pun harus menguasai teknologi transportasi.
Konsekuensinya adalah pengembangan industri transportasi yang mandiri. Untuk
pengembangan sistem transportasi jangka panjang, hal ini akan lebih efisien daripada
terus menerus melakukan ’impor’ teknologi dan pemeliharaannya yang sangat mahal.
Namun, tersedianya sarana transportasi massal-cepat tidak bisa berdiri sendiri dalam
menjamin efek yang diharapkan. Dibutuhkan strategi untuk ’mengarahkan’ pilihan
masyarakat menggunakan sarana transportasi massal. Strategi ini akan berusaha
melepaskan masyarakat dari penggunaan kendaraan pribadi, sehingga sistem transportasi
massal-cepat dapat berjalan efektif. Secara garis besar, aplikasi kebijakan insentif-
disinsentifikasi pajak kendaraan dan kuota kepemilikan adalah strategi yang tegas bagi
para pengguna kendaraan pribadi. Selain dapat memaksimalkan penggunaan sarana
transportasi massal-cepat oleh sebanyak-banyaknya penduduk, dana yang terkumpul dari
strategi ini juga dapat dialokasikan untuk terus membangun sistem transportasi massal-
cepat yang telah diproyeksikan.
Berikut ini adalah beberapa aplikasi diatas: “Congestion Charging” atau pajak
kemacetan adalah pengenaan pajak pada kendaraan yang melewati wilayah-wilayah
tertentu di dalam sebuah kota, dengan klasifikasi jenis kendaraan tertentu dan pada waktu
tertentu. London, Trondheim, Durham dan beberapa kota lainnya di Eropa menggunakan
strategi ini. Pembayaran pajak dapat dilakukan melalui account khusus atau tempat
lainnya. Kendaraan yang melewati zona tersebut dimonitor oleh kamera khusus yang
merekam plat mobil yang lewat. Semua uang yang terkumpul dari congestion charging
diinvestasikan untuk membangun fasilitas sistem transportasi kota.
Kemudian juga ada strategi penerapan peraturan pembatasan usia kendaraan dan
kelaikan operasional kendaraan bermotor. Dengan begitu, pertumbuhan jumlah
kendaraan dalam kurun waktu tertentu dapat dikontrol. Cara ini juga bisa diparalelkan
dengan pengenaan pajak tinggi kepada para pemilik kendaraan lebih dari satu.
Strategi selanjutnya adalah sistem kuota (Vehicles Quota System-VQS). Dengan
sistem kuota maka tingkat pertumbuhan kendaraan dapat ditekan sekecil mungkin. Di
Singapura, cara ini mampu menekan pertumbuhan kendaraan sebesar 3% per tahun.
Selain itu dapat diberlakukan pola Mobil Liburan (Weekend Car-WEC). Mobil-
mobil ini dibatasi penggunaannya hanya pada akhir pekan atau di luar jam sibuk (peak
hours). Kompensasinya, setiap pemilik kendaraan WEC akan memperoleh potongan
biaya tambahan pendaftaran kendaraan atau potongan biaya pajak.
Sedikit paparan diatas adalah pilihan bagi pengelola Ibukota untuk mengatasi
masalah transportasi. Di samping itu, dalam mengambil keputusan kebbijkan transportasi,
analisis yang tidak boleh dilupakan adalah analisi permintaan terhadap transportasi itu
sendiri. Bisa saja Jakarta sudah mempunyai MRT dan sistem transportasi yang terpadu.
Busway, momorel, Kereta Listrik serta sistem shelter yang memadai, akan tetapi
permintaan akan transportasi tetap saja besar. MRT tetap saja penuh dan tidak nyaman,
Jakarta tetap macet karena masih banyak kendaraan-kenadraan pribadi yang tidak mampu
diakomodir oleh sistem MRT. Masyarakat masih tetap saja mengeluh bahwa persoalan
transportasi belum selesai sehingga pengurangan permintaan transportasi adalah sesuatu
yang harus kita upayakan.
Solusi Alternatif Permasalahannya
Salah satu caranya adalah dengan memeratakan pertumbuhan ekonomi di
Jakarta ke daerah sekitarnya. Sehingga orang tidak perlu berbondong-bondong
mendatangi Jakarta hanya untuk mencari sesuap nasi. Alternatif lainnya dalah dengan
membuat kawasan-kawasan terpadu di Jakarta. Dimana, tempat-tempat seperti pasar,
tempat rekreasi, rumah sakit di satukan dalam satu kawasan yang dekat dengan warga
sehingga untuk mencapai tampat itu masyarakat tidak perlu melakukan perjalanan jauh.
Sebagai penutup, masalah transportasi adalah masalah yang tidak bisa
diselesaikan hanya dengan usaha pemerintah saja. Jika sekarang kita berandai kekuatan
Pemprov DKI Jakarta mampu merealisir pembangunan sistem transportasi massal-cepat
yang efisien, accessible, dan ‘hijau’ untuk seluruh penghuni wilayah, Jakarta tempo
doeloe yang dilukiskan dengan bangunan tua, pepohonan, trem, dan sepeda rasanya dapat
menjelma menjadi Jakarta masa depan yang dihiasi dengan senyum penduduk Ibukota
disepanjang jalan yang lancar dan teratur. Semoga. Tentu saja dengan peran aktif kita
semua, warga masyarakat DKI Jakarta.