Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1....

95
Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penulis Bambang Subiyakto Editor Ersis Warmansyah Abbas Syaharuddin Mutiani

Transcript of Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1....

Page 1: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an

Penulis

Bambang Subiyakto

Editor

Ersis Warmansyah Abbas

Syaharuddin

Mutiani

Page 2: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Satu keistimewaan yang berhasil dicapai pertama kali dalam taraf

kebudayaan yang tinggi adalah kemampuan manusia menyelenggarakan

kegiatan di bidang transportasi air. Dengan demikian, kemampuan ini dikatakan

sebagai bentuk hasil peradaban tertua yang dicapai manusia, semenjak puluhan

abad yang lampau. Di masa itu, manusia mampu mengarungi sungai-sungai,

telaga, dan bahkan lautan dengan menggunakan sarana transportasi air untuk

mencapai tempat tertentu. Meskipun berlangsungnya sudah sejak lama, namun

bidang transportasi air termasuk peradaban tertua yang masih diselenggarakan

oleh manusia hingga jaman sekarang ini. Indonesia yang merupakan Negara

lautan yang bertabur pulau sudah dengan jelas kegiatan di bidang transportasi

air ini berlangsung di kalangan masyarakatnya.1

Masalah transportasi erat ikatannya dengan perhubungan yang

pengertiannya lebih luas dari sekedar transportasi. Sehubungan dengan hal

perhubungan, masyarakat di Indonesia mengenalnya dalam tiga bagian yaitu

bidang perhubungan darat, perhubungan laut, dan perhubungan udara.

Munculnya pembagian ini secara sederhana dapat dimengerti karena dibedakan

berdasarkan adanya unsur alam berupa tanah (darat), air (perairan, laut), dan

udara.

1 Barangkali pada masa Pos Plestosin (Holosin) atau jaman glacial berakhir, kira-kira 10.000

tahun sebelum Masehi, telah dilakukan kegiatan transportasi air. Pada masa itu Indonesia

diperkirakan memiliki iklim yang serupa masa sekarang, dan sekitar 6.000 tahun sebelum Masehi

di daerah tropis seperti Indonesia, terdapat petunjuk bahwa manusia telah melakukan

perdagangan antar pulau. Pada masa berburu dan mengumpul makanan tingkat lanjut, terdapat

petunjuk lebih konkrit tentang kegiatan transportasi air di Indonesia, kira-kira di masa 6.000 tahun

sebelum Masehi itu. Keterangan selengkapnya periksa Sartono Kartodirdjo, et al., ed., Sejarah

Nasional Indonesia, jilid I (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), hlm. 2, 24,

113-114, dan 149.

Page 3: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Dilihat dari sudut pembedaan fisik tempat berlangsungnya transportasi di

Indonesia dibedakan berdasarkan transportasi darat yang terdiri dari

transportasi jalan raya, transportasi di atas jalan baja (kereta api), dan

transportasi perairan daratan; transportasi air (laut); dan transportasi udara.2

Keadaan ini menimbulkan konsekuensi yaitu terdapatnya pembedaan dalam

bentuk dan persyaratan teknis dari sarana dan prasarana masing-masing jenis

angkutan serta membawa pula perbedaan dalam sifat dan kemampuan jenis

sarana transportasi. Keseluruhan jenis transportasi tadi memerlukan pula

penggolongan dalam pengaturannya dan perbedaan dalam pembinaannya, yang

dalam hal ini pelaksanaannya ditangani oleh instansi khusus yang diberi

wewenang untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan.3

Transportasi air pada hakekatnya melaksanakan pengangkutan dengan

unsur perairan sebagai tempat penyelenggaraannya, dalam hal ini pengangkutan

dengan kendaraan yang dilaksanakan pada segala bentuk wilayah perairan.4

Berdasarkan Territoriale Zee en Maritieme Kringen 1939 (staadsblad No. 39-

442/1939), wilayah perairan Indonesia meliputi wilayah laut dan perairan

pedalaman. Melalui ordonansi 1939 ini, pengertian tentang perairan –untuk

transportasi- di Indonesia terus berkembang, terutama tentang pengertian

perairan (laut) pedalaman. Perkembangan itu misalnya dengan dikeluarkannya

UU No. 4/Prp/1960 (Lembaran Negara No. 22/1960) yang kemudian melalui

PP No. 8 tahun 1962 (Lembaran Negara No. 36/1962), lebih di pertegas lagi

dan dibedakan antara laut pedalaman (internal sea), perairan pedalaman

(internal waters) yang ada sebelumnya dengan perairan daratan (coatal waters).5

Penggunaan istilah dan pengertian perairan daratan tertuang pada Penjelasan

2 Periksa Wiwoho Soedjono, Pengangkutan Laut Dalam Hubungannya Dengan Wawasan

Nusantara (Jakarta: Bina Aksara, 1983), hlm. 54. 3 Ibid., hlm. 55. 4 Tentang bentuk-bentuk perairan dan pengertian selanjutnya periksa ibid., hlm. 12-24, dan

61; lihat juga S. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara dengan Perkembangannya (Yogyakarta:

Liberty, 1984), hlm. 2-9.

5 Ibid., hlm. 14-15; Wiwoho Soedjono, op.cit., hlm. 18-24; Periksa tentang penjelasan dari UU

No. 4/Prp/1960 pasal 1 ayat 3, dan PP No. 8/1962 pasal 1.

Page 4: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

PP. No. 8/1962 atau Tambahan Lembaran Negara Nomor 2466 meliputi bentuk

perairan sungai, danau, terusan, pantai atau selat (penyeberangan) sebagai

tempat berlangsungnya kegiatan transportasi. Batasan perairan daratan di dalam

skripsi ini untuk selanjutnya hanya menggunakan kata perairan yaitu perairan

di Kalimantan Selatan.

Perlu diketahui bahwa masalah yang menyangkut transportasi air (perairan)

di Indonesia penanganannya telah dilimpahkan kepada Direktorat Jenderal

Perhubungan Laut, namun dari segi lain, dalam prakteknya masalah yang

menyangkut transportasi perairan daratan sepenuhnya telah menjadi bidang dari

Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, yang secara khusus pembinaan dan

pengawasannya dilaksanakan oleh Dinas Lalu Lintas Angkutan Sungai, Danau,

dan Penyeberangan sebagai bawahannya, disingkat DLLASDP.6 Di sini pula

letak kerumitan dan uniknya kedudukan masalah pangangkutan yang

memanfaatkan wilayah perairan sebagai jalur-jalurnya. Munculnya semacam

dualism di bidang transportasi perairan dari segi penanganannya oleh

pemerintah menyebabkan timbul ketidakpastian, berkenaan tanggung jawab,

kebijaksanaan yang tumpang tindih, kesimpangsiuran dalam soal pengaturan

dan lain sebagainya. Awal kekacauan ini dimulai semenjak tahun 1950 yang

bertambah lagi karena banyak badan pemerintah yang turut mengurusi masalah

transportasi perairan, sedangkan hasilnya tidak dapat dipertanggung jawabkan

dengan baik.7

Direktorat Jenderal Perhubungan Darat dalam masalah transportasi

menangani dua bidang, yaitu masalah lalu lintas angkutan jalan raya

dilaksanakan oleh Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya, disingkat DLLAJR

6 Bandingkan, Wiwoho Soedjono, op. cit., hlm. 55; Bahan Expose: Permasalahan dan

Pemecahan Masalah LLAJR dan LLASDP di Kalimantan Selatan (Banjarmasin: Kantor Wilayah XI

Propinsi Kalimantan Selatan/ Tengah, 1983), tanpa halaman. 7 Periksa E. E. Shields, An Analysis of Vessel Utilization Problems Existent Within the Field of

Sea Communications of the Republic of Indonesia. (Djakarta: United States Operations Mission to

Indonesia Industry and Transportation Division, 1960), hlm. 3 dan 12-15; Shamsher Ali, “Inter-

Island Shipping”, Bulletin of Indonesia Economic Studies, no. 3 (1969), hlm. 45.

Page 5: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

dan masalah lalu lintas angkutan sungai, danau dan penyeberangan oleh

DLLASDP. Di lihat dari sudut tempat berlangsungnya pengangkutan di darat

masih ditambah lagi dengan pengangkutan yang dilaksanakan di atas jalan baja

(kereta api).

Masalah transportasi perairan menjadi sangat rumit terutama dari segi

hukum dan peraturan. Selama ini masalahnya tergantung pada undang-undang

yang menyangkut masalah pelayaran secara umum, dan peraturan-peraturan

yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.8 Keadaan

semacam ini mengakibatkan penanganan dan pengaturan masalah transportasi

perairan bagian LLASDP sukar dipertanggungjawabkan. Sampai saat ini (1983)

belum pernah dibuat dan dikeluarkan undang-undang yang secara khusus untuk

mengatur segala masalah yang berkaitan dengan bidang dari LLASDP itu.9

Di Indonesia sejarah maritime atau pelayaran laut sudah mendapat perhatian

dari para ilmuan sosial, khususnya sejarawan, namun dari segi yang lebih

sempit lagi yaitu transportasi perairan daratan sepanjang pengetahuan penulis

masih belum mendapat perhatian, atau hampir dapat dikatakan belum ada yang

memulai menggarapnya. Berbeda dari soal pelayaran maritime, pada konteks

ini kegiatan transportasi meliputi daerah operasi di perairan yang lebih sempit

dengan menggunakan sarana-sarana angkutan relatif kecil, murah, dan

sederhana bahkan tradisional, bila dibandingkan dengan sarana transportasi di

laut. Kegiatannya spesifik kedaerahan tidak melampaui batas laut, seperti pada

perhubungan inter-insuler.10

Melihat kenyataan itu maka kegiatan di bidang transportasi perairan daratan

dengan sendirinya akan bersifat lokal, yaitu terbatas penyelenggaraannya pada

suatu daerah dan masyarakat tertentu. Suatu masyarakat dapat

menyelenggarakan bidang ini bila keadaan alam di daerahnya memungkinkan

8 Periksa Bahan Expose (1983). 9 Masalah kerumitan ini tercermin dan menjadi persoalan pokok yang diungkapkan oleh

Badan Expose (1983), begitu pula tentang belum adanya undang-undang khusus tentang LLASDP. 10 Bandingkan dengan Wiwoho Soedjono, op. cit., hlm. 61.

Page 6: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

dan memberikan fasilitas utama berupa sungai, danau, terusan, atau pantai dan

penyeberangan. Di Indonesia tidak setiap daerahnya mempunyai fasilitas alam

semacam itu yang memungkinkan masyarakatnya mampu mewujudkannya

bidang transportasi perairan daratan. Kecuali itu terdapat daerah-daerah yang

hanya mempunyai sebagian-sebagian saja dari bentuk perairan daratan.

Keadaan ini memungkinkan setiap daerah yang menyelenggarakan bidang

transportasi perairan daratan mempunyai pertumbuhannya dan kekhasannya

sendiri.

Pada hakekatnya kegiatan transportasi perairan daratan sangat tergantung

pada faktor geografi dan kondisi alam dari suatu daerah. Dilihat dari kedua segi

itu dan penjelasan mengenai benltuk perairan, maka daerah Kalimantan Selatan

dapat dikatakan sepenuhnya memiliki persyaratan bagi terselenggaranya

transportasi perairan daratan, karena itu pula dapat dikatakan bahwa daerah ini

merupakan contoh yang paling baik dan lengkap untuk masalah transportasi

perairan daratan.

B. Lingkup Penulisan dan Permasalahan

Batasan special penulisan ini meliputi daerah Propinsi Kalimantan Selatan,

yang formatnya sama dengan daerah Kalimantan Selatan sesudah tahun 1957.

Sebelum tahun itu propinsi Kalimantan Selatan meliputi wilayah seluas 205.321

kilometer persegi. Propinsi ini kemudian dipecah dengan keluarnya Undang-

undang Darurat No. 10 tahun 1957 yang selanjutnya ditetapkan sebagai

Undang-undang dengan Undang-undang No. 21 tahun 1958 menjadi propinsi

Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Luas propinsi disebut terakhir

menjadi 36.984 kilometer persegi, terletak di antara 1140 19’ 2” sampai 1160

33’ 28” Bujur Timur dan 10 21’ 49” sampai 40 10’ 14” Lintang Selatan.11

11 Buku petunjuk Territorial untuk Daerah Kalimantan Selatan (Banjarmasin: Ass-Terr Laksus

Kopkamtib Daerah Kalimantan Selatan, 1971), hlm. 1-2 dan 48; A. Muhid Mukift, “Perkembangan

Otonomi Daerah Propinsi Kalimantan Selatan” dalam Beberapa Aspek Pemerintahan di Daerah

(Banjarmasin: Panitia Penyelenggara Kursus Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum

Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan, 1983), hlm. 4-11; Tjilik Riwut, Kalimantan memanggil

Page 7: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Propinsi Kalimantan Selatan terdiri dari daerah Kotamadya Banjarmasin,

Kota Administratif Banjarbaru, dan sembilan daerah kabupaten. Kesembilan

daerah kabupaten ini beserta ibukotanya masing-masing dan Banjarmasin,

merupakan tempat mengalirnya sungai-sungai besar beserta anak cabangnya

kecuali Banjarbaru. Ibukota-ibukota kabupaten itu adalah Martapura

(Kabupaten Banjar), Rantau (Kabupaten Tapin), Kandangan (Kabupaten Hulu

Sungai Selatan), Barabai (Kabupaten Hulu Sungai Tengah), Amuntai

(Kabupaten Hulu Sungai Utara), Tanjung (Kabupaten Tabalong), Marabahan

(Kabupaten Barito Kuala), Pleihari (Kabupaten Tanah Laut), dan Kota Baru

(Kabupaten Pulau Laut).

Sungai-sungai di Kalimantan Selatan umumnya berarus tenang, karena

keadaan tanahnya yang relative datar dan menerima pengaruh pasang surut air

laut. Keadaan demikian praktis menyebabkan penduduk dapat memanfaatkan

aliran-aliran sungai dan perairan yang lainnya untuk kegiatan transportasi di

samping untuk keperluan lain. Di Kalimantan Selatan tidak hanya terdapat

banyak sungai, tetapi juga danau dan terusan, di samping itu sebagian

wilayahnya dikelilingi oleh pantai. Terdapat beberapa pulau kecil di daerah

Kabupaten Pulau Laut. Kepualauan yang terdapat di kabupaten ini misalnya

pulau Laut dan Sabuku, terletak saling sejajar sehingga selat-selatnya berfungsi

untuk penyeberangan. Keadaan wilayah Kalimantan Selatan dengan perairan

sedemikian itu memungkinkan tempat terselenggaranya kegiatan transportasi

perairan daratan yang benar-benar lengkap.

Berbicara masalah transportasi perairan di sini sangat erat hubungannya

dengan masalah lingkungan hidup, singkatnya lingkungan. Sulit dibantah untuk

tidak mengatakan demikian itu, karena pada dasarnya pengaruh faktor

lingkungan, dalam hal ini terutama perairan, sangat besar terhadap masyarakat

di daerah Kalimantan Selatan.12 Kolerasi antara faktor lingkungan dengan

(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum Adat dan Adat Istiadat

Kalimantan Barat (Jakarta: Bumi Restu, 1975), hlm. 258-262. 12 Tentang pengertian lingkungan hidup atau lingkungan periksa Otto Soemarwoto, Ekologi

Lingkungan Hidup dan Pembangunan (Jakarta: Djambatan, 1983), hlm. 1 dan 42-45.

Page 8: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

masyarakat mengakibatkan tumbuhnya satu unsur di dalam kehidupan berupa

kegiatan di bidang transportasi perairan.13 Selain perairan yang termasuk pula

sebagai lingkungan masyarakat ialah hutan. Di dalam ilmu lingkungan hidup

atau ekologi yang dipersoalkan ialah hubungan timbal balik antara masyarakat

dengan lingkungannya, misalnya di sini perairan dan hutan.14 Masyarakat yang

tinggal di daerah Kalimanatan Selatan -terutama orang Banjar- membutuhkan

perairan dan hutan, yang keduanya telah tersedia, untuk dapat

menyelenggarakan kegiatan bidang transportasi, sebaliknya perairan dan hutan

membutuhkan perhatian masyarakat untuk kelestariannya. Daerah perairan di

Kalimantan Selatan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai jalur-jalur

transportasi, sehingga memudahkan soal pengangkutan penumpang dan barang

atau menghubungkan satu tempat dengan tempat lainnya. Hutan-hutannya

menyediakan berbagai jenis kayu untuk digunakan bahan utama bangunan

sarana-sarana (kendaraan) transportasi perairan oleh masyarakat.

Kegiatan di bidang transportasi perairan di Kalimantan Selatan sebagai

bagian kehidupan tentu juga merupakan bagian dari kebudayaan

masyarakatnya. Kegiatan transportasi perairan di sini telah tumbuh menjadi

salah satu ciri kebudayaan masyarakat di Kalimantan Selatan yang terwujud

dari kaitannya dengan faktor lingkungan geografi dan alam setempat. Beberapa

pendapat secara singkat telah mengemukakan mengenai eratnya hubungan

antara masyarakat dan kebudayaannya dengan faktor geografi dan alam sebagai

lingkungannya. Pendapat-pendapat yang kiranya cukup relevan dalam

mengungkapkan masalah ini misalnya Fischer seorang antropolog

menyebutkan bahwa salah satu dari tiga unsur pokok yang mempengaruhi

terbentuknya suatu kebudayaan adalah faktor geografi. Pendapat lain datang

dari mazhab geografi dan lingkungan, menyatakan bahwa suatu masyarakat

hanya mungkin timbul dan berkembang bersama kebudayaannya, bila ada

13 Bandingkan dengan H,. T, Fischer, Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia, diktat terj.

S. Poedjosoebroto, t.t., hlm. 22; Soejono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Universitas

Indonesia Press, 1981), hlm. 46. 14 Tentang ekologi periksa Otto Soemarwoto, op. cit., hlm. 14-16.

Page 9: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

tempat berpijak dan hidup bagi masyarakat itu. Huntington salah seorang tokoh

mazhab ini menyatakan bahwa kolerasi antara tempat tinggal dengan

masyarakat mempengaruhi karakteristik kehidupan dan pembentukan

kebudayaan pada masyarakat itu sendiri.15

Perlu diketahui bahwa mazhab geografi dan lingkungan sudah lama tumbuh

tidak saja di bidang sosiologi dan antropologi, tetapi juga di kalangan disiplin

sejarah, karena itu setiap penulisan sejarah soal lingkungan selalu turut

dibicarakan. Berbagai teori telah mengupas tentang kecenderungan manusia

untuk menempati daerah-daerah sepanjang aliran sungai dan pantai. Di daerah-

daerah semacam ini mereka membentuk pemukiman dan kota sebagai suatu

komunitas, kemudian mengisi kehidupan di situ dengan berbagai aktivitas.

Berkaitan dengan hal transportasi dan tempat tinggal, Sartono Kartodirdjo

menyebutkan bahwa kebanyakan kota terletak pada persilangan jalan angkutan,

seperti pengangkutan darat dan sungai. Dikatakan selanjutnya bahwa

perkembangan kota (maritime) yang tumbuh menjadi kota-kota raksasa,

terutama yang terletak di tepi muara sungai besar.16

Dilihat dari segi geografi dan keadaan alam, maka daerah-daerah

pemukiman serta kota di Kalimantan Selatan mempunyai kriterium seperti

dugaan itu, meskipun bukan berarti tumbuhnya kota-kota besar. Terutama

Banjarmasin sebagai ibukota propinsi (sejak Propinsi Kalimantan), selain

dilalui sungai Martapura yang banyak anak cabangnya, juga terletak dekat

muara sungai Barito, menghadap ke laut Jawa. Begitu juga Marabahan

merupakan kota terdapatnya banyak anak sungai mengalir dan terletak di tepi

sungai Barito di utara Banjarmasin. Beberapa ahli bahkan mengatakan bahwa

daerah Banjarmasin dan Marabahan terbentuk sebagai sebuah kawasan delta

yang sangat luas. Di kedua kota itu banyak anak sungai yang saling bersilangan,

permukaan tanah yang selalu atasu secara periodik tergenang air. Keduanya

15 H.T. Fischer, loc. cit.; Soerjono Soekanto, loc. cit.; lihat juga Sartono Kartodirdjo (ed.),

Masyarakat Kuno dan Kelompok-kelompok Sosial (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1977), hlm. 3. 16 Ibid., hlm.2

Page 10: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

dapat dikatakan sebagai kota perairan yang sesungguhnya, kota perairan lembah

sungai barito.17 Kota lainnya, yaitu Kota Baru merupakan kota pantai terletak

di daerah ujung utara Pulau Laut, di samping dilalui pula oleh sungai.

Lebih dari sekedar perairan alami berupa sungai, danau, dan pantai, masih

terdapat bentuk perairan berupa terusan yang sengaja dibuat oleh masyarakat di

daerah Kalimantan Selatan, di samping sebuah waduk. Penduduk asli daerah ini

(orang Banjar) telah lama berhasil memikirkan dan meluaskan adanya pengaruh

pasang surut dengan membuat terusan-terusan untuk kepentingan pertanian dan

pengangkutan.18 Membuka terusan-terusan yang menghubungkan antara satu

sungai dengan sungai lainnya, atau dari sungai ke daerah daratan, menyebabkan

kondisi wilayah Kalimantan Selatan menjadi terdiri dari bagian-bagian daratan

yang tersekat-sekat oleh jalur perairan.19 Sebagian dari gambaran keadaan

daerah Kalimantan Selatan semacam ini secara jelas lihat misalnya pada

lampiran A2 dan A3.

Batasan temporal masalah transportasi perairan di Kalimantan Selatan yang

dibicarakan adalah tahun 1950-1970-an. Batasan semacam ini pertama kali

didasarkan pada pertimbangan subyektif yaitu dengan perkiraan bahwa selama

waktu itu terdapat pengaruh-pengaruh dominan terhadap pertumbuhan bidang

transportasi perairan di Kalimantan Selatan antara tahun 1950-1970-an.

Pembicaraan di sini misalnya akan melihat gejala-gejala yang ada di dalam

17 M. Idwar Saleh, Sedjarah Bandjarmasin (Bandung: KPPK Balai Pendidikan Guru, t. t.) hlm. 25

dan 41-42; Soemartkotjo Soediro, “Ajo Bung, ke Kalimantan Babat Alas Mertani”, harian Kompas,

1-4 Oktober 1969; Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun (Jakarta: PT. Jayakarta Agung Offset,

1979), hlm. 17. 18 Ibid.; William L. Collier, “Lima-puluh Tahun Transmigrasi Spontan dan Transmigrasi

Pemerintah di Tanah Berawa Kalimantan”, majalah Prisma, no. 5 (Jakarta: LP3ES, 1980), hlm. 27;

H. J. Schophuys, “Polder, Pembukaan Sawah Pasang Surut Gaja Lama dan Gaja Baru” harian

Kompas, 7 Nopember 1969; Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan (Banjarmasin:

Fadjar, 1953), hlm. 97.

19 Orang Banjar menyebut anjir umumnya untuk terusan yang menghubungkan antar sungai

dan lebih besar dari yang disebut handil (andil) bagi terusan yang dibuat menuju ke daerah

daratan. Di samping itu ada istilah saka suatu bentuk terusan terkecil, dan tatah pengertian umum

terusan (antasan) tetapi sering yang dimaksudkan untuk mengatakan terusan berupa handil dan

saka.

Page 11: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

bidang transportasi perairan itu sendiri sebagai masalah intern, serta gejala-

gejala yang ada di luar bidang tersebut sebagai masalah ekstern namun secara

dominan keadaannya membawa pengaruh terhadap pertumbuhan bidang

transportasi perairan di daerah Kalimantan Selatan.

Subyektivitas yang mendasari pemilihan waktu sedemikian itu karena

penulis pernah tinggal di daerah Kalimantan Selatan, sehingga dapat merasakan

dan mengetahui secara langsung terutama tahun 1960 ke atas mengenai

kehidupan dan keadaan yang berkenan dengan transportasi perairan. Dasar ini

kemudian dikembangkan dengan dukungan berbagai data terutama dari

sumbre-sumber tercetak untuk melihat keadaan yang sesungguhnya tentang

transportasi perairan di daerah Kalimantan Selatan tahun 1950-1970-an.

Beberapa indikator yang ada untuk membicarakan masalah transportasi

perairan di Kalimantan Selatan, misalnya tentang masuknya mesin-mesin tahun

1950-an ke daerah itu.20 Mesin-mesin itu berupa diesel berukuran antara 10-100

PK (Paardekracht/ tenaga kuda), digunakan untuk jenis-jenis sarana transportasi

perairan buatan rakyat setempat. Penetrasi hasil teknologi modern ini

mempunyai pengaruh bagi pertumbuhan kegiatan transportasi perairan di

Kalimantan Selatan. Lebih terasa lagi ketika motorisasi sarana-sarana

transportasi rakyat ini semakin menonjol menjelang tahun 1970-an.

Gejala lain yang penting turut mempengaruhi proses dan pertumbuhan

sektor transportasi perairan adalah perkembangan pesat yang dicapai oleh

sektor transportasi darat atau jalan raya. Pengaruh yang besar artinya dari sektor

ini ialah pembuatan jalan dan pengerasannya yang sudah mampu menerobos

sampai ke kampung-kampung dan desa-desa, dibukanya jalan-jalan darat baru

hubungan antar kota di kawasan Kalimantan Selatan, serta pertambahan jumlah

kendaraan dan jenisnya yang sangat tinggi, dan bangunan-bangunan jembatan.

Perkembangan di sektor in sudah mulai terasa sejak tahun 1960 ke atas dan lebih

meningkat lagi setelah dijalankannya roda pemerintahan di Indonesia oleh

20 Tjilik Riwut (1979), op. cit., hlm. 27.

Page 12: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

“Orde Baru” dan dilaksanakannya Pelita I sejak tahun 1969 dan Pelita-pelita

selanjutnya.

Sarana-sarana transportasi perairan di daerah Kalimantan Selatan

mempunyai banyak jenis, bentuk, fungsi, serta penyebutannya. Keempat hal ini

saling bertalian untuk menunjukkan tentang kendaraan perairan di daerah ini.

Pada umumnya suatu jenis, bentuk dan fungsi mempunyai sebutan yang tertentu

bagi sarana (kendaraan) tersebut. Begitupun misalnya suatu jenis, bentuk dan

sebutan menunjukkan penggunaannya dari kendaraan perairan itu, begitu

seterusnya.

Keterangan di atas bukan berarti usaha klasifikasi secara khusus terhadap

sarana transportasi perairan di daerah Kalimantan Selatan. Keterangan itu

sekedar menunjukkan bahwa terdapat banyak ragam kendaraan perairan di

daerah itu. Keanekaragaman ini muncul tentu disesuaikan dengan adanya

tuntutan dan kebutuhan yang ada di dalam kehidupan masyarakat. Dari berbagai

ragam itu kelak beberapa diantaranya tidak Nampak lagi hilir mudik, bahkan

akhirnya lenyap karena tidak diminati lagi oleh masyarakat. Hal ini merupakan

persoalan yang harus dihadapi oleh jenis-jenis sarana transportasi perairan di

Kalimantan Selatan.

Sungai Tabalong, Batang Pitap, Amandit, Batang Alai, Labuan Amas,

Tapin, Martapura, Tabanio, Negara, dan sebagian Barito merupakan sungai-

sungai utama tempat konsentrasi populasi di daerah Kalimantan Selatan.

Seluruh kehidupan masyarakat di daerah ini terutama orang Banjar, hampir 80%

sampai ke udik ditandai oleh suatu budaya khas, yang disebut kebudayaan

sungai.21 Salah satu yang menonjol sebagai cirinya adalah kehidupan di bidang

transportasi perairan. Bidang ini telah tumbuh di dalam kehidupan masyarakat

di Kalimantan Selatan sebagai sebuah aktivitas yang meliputi masalah

21 Adat Istiadat Daerah Kalimantan Selatan (Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1982), hlm. 8-11. Tentang Kebudayaan sungai telah dikemukakan pula oleh M. Idwar

Saleh dengan mengatakan bahwa orang Banjar merupakan masyarakat “river culture” dalam

wawancara tanggal 31 Juli 1983.

Page 13: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

pengangkutan (lalu lintas) di jalur-jalur perairan dan masalah sarana-sarana

angkutan. Singkatnya bidang yang meliputi masalah prasarana dan sarana

transportasi perairan di Kalimantan Selatan.

C. Sistematika Pembahasan

Sekalipun tulisan ini dibahasa secara tematis, tetapi selalu mengindahkan

arti dan tujuan sebagai sebuah penulisan sejarah. Pembahasan secara tematis

seperti tercermin pada sistematika berikut ini diharapkan mampu memberi

gambaran tentang keadaan atau suasana transportasi perairan di Kalimantan

Selatan selama 1950-1970-an.

Bab I Pendahuluan secara umum membahas berkenaan; masalah

permasalahan pokok, tujuan, lingkup penulisan, sistematika pembahasan, serta

cara dan sumber penulisan, Bab Kedua akan dibicarakan pengertian mengenai

transportasi perairan yang dikaitkan hubungannya dengan faktor alam seperti

perairan, hutan, keadaan geografi termasuk iklim, serta kepentingan

masyarakat. Bab Ketiga pada garis besarnya membicarakan masalah yang

berkaitan langsung tentang transportasi perairan berupa sarana dan prasarana,

serta dari keduanya ini bagi kehidupan masyarakat di Kalimantan Selatan.

Prasarana maksudnya berupa jalur-jalur perairan, sedangkan sarana ialah alat-

alat angkutan yang digunakan. Peran prasarana dan sarana secara bersama yang

dalam hal ini adalah transportasi perairan bagi masyarakat ialah menyangkut

soal hubungan antar tempat serta soal pengangkutan penumpang dan barang

pada umumnya. Bab Keempat membicarakan masalah dinamika sektor

transportasi perairan. Masalah yang dibahas meliputi soal modernisasi dan

motorisasi, serta dampaknya terutama terhadap sarana-sarana transportasi

perairan masyarakat. Masih pada bab ini, dibicarakan pula tentang gelaja

kemerosotan yang dialami sektor transportasi perairan. Pembahasan dikaitkan

dengan melihat beberapa faktor yang memungkinkan kemerosotan itu, misalnya

tentang kemajuan pesat dari sektor transportasi darat atau jalan raya. Terakhir,

Bab Kelima merupakan Bab Kesimpulan.

Page 14: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

D. Cara dan Sumber Penulisan

Sangat disadari bahwa usaha melukiskan secara lengkap transportasi

perairan di Kalimantan Selatan 1950-1970-an cukup sulit, karena itu jauh dari

harapan dapat terpenuhi. Usaha penulisan ini akhirnya dengan hati-hati hanya

membatasi diri pada permasalahan seperti tercermin di dalam Sistematika

Pembahasan. Melalui permasalahan yang tematis itu diharapkan dapat diwakili,

setidaknya untuk mengisi skripsi ini sebagai sebuah karya penulisan sejarah.

Sebagaimana lajimnya, maka usaha yang dilakukan hanya berkeinginan

menerapkan metode-metode dari disiplin sejarah, sekaligus mencoba

menuangkan segala kemampuan pengetahuan yang bisa didapat selama studi di

bidang sejarah.

Langkah yang dilakukan ialah mengumpulkan sumber semaksimal

mungkin, terutama berupa bahan tercetak, secara teknis diteliti dan dipelajari.22

Melalui pengetahuan non-teknis, maksudnya sedikit ada bekal mengetahui dan

mengamati secara informal di lokasi yang menjadi pokok penulisan ini. Sumber

tercetak seperti arsip dan dokumen resmi terutama berasal dari instansi-instansi

pemerintah setempat, buku dan karangan, serta media lain berupa brosur,

majalah dan surat khabar. Mengetahui dan mengamati melalui ingatan didapat

karena penulis pernah tinggal di daerah yang diteliti, sehingga sedikitnya

penulis mengetahui tentang keadaan dan merasakan langsung perjalanan-

perjalanan dan keakraban dengan transportasi perairan di daerah Kalimantan

Selatan. Selain itu ketika akan mengangkat masalah transportasi perairan ini ke

dalam bentuk penulisan ilmiah telah pula penulis melakukan beberapa

perjalanan melalui jalur perairan, mengadakan wawancara informal dengan

masyarakat, mengunjungi beberapa pameran pembangunan baik tingkat

kabupaten maupun propinsi terutama stand Perhubungan Darat (LLAJR dan

LLASDP), Perhubungan Laut, dan Industri Rakyat, semua ini dilakukan di

22 Periksa Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta:

Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1975), hlm. 18-34; Sartono Kartodirdjo, “Metode

Penggunaan Bahan Dokumen”, dalam Koentjaraningrat, (ed.), Metode-metode Penelitian

Masyarakat (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), hlm. 61-88.

Page 15: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

dalam bulan Juni hingga Oktober 1983 di Kalimantan Selatan. Selama waktu

itu sebenarnya penulis telah pula mendapat bantuan terutama berupa keterangan

dari M. Idwar Saleh (sejarawan) sekaligus sebagai key-informan.23

BAB II

HUBUNGAN TRANSPORTASI PERAIRAN DENGAN

FAKTOR ALAM DAN ARTI PENTINGNYA BAGI MASYARAKAT

Dalam bab, dibicarakan masalah transportasi perairan di Kalimantan Selatan

dari segi geografi, alam, dan masyarakatnya. Diharapkan melalui tema ini

kesukaran mengembangkan pembicaraan dan memahami lebih jauh masalah

transportasi perairan di Kalimantan Selatan dapat dihindari. Daerah Kalimantan

Selatan secara geografi menempati posisi sentra1 dan dibatasi oleh sungai Barito,

Laut Jawa, Selat Makassar, dan Pegunungan Meratus. Daerah ini merupakan

warisan pusat kerajan Banjar di abad ke-17 yang meliputi daerah sungai-sungai

besar Barito, Martapura, dan Negara.24 Di daerah yang keadaannya semacam ini

tumbuh suatu masyarakat yang menyelenggarakan transportasi perairan.

Hampir separo wilayah Kalimantan Selatan merupakan wilayah perairan, yaitu

seluas 17.610 kilometer persegi atau sekitar 47,62% meliputi perairan sungai, danau

dan tanah genangan, pantai, termasuk terusan dan waduk Aranio di Riam Kanan.

Keadaan tanahnya stabil, relatif berupa dataran dan menerima pengaruh pasang

surut air laut.25 Keadaan tinggi tanah dari permukaan laut rata-rata adalah 0,439 –

5 meter yaitu untuk daerah Banjarmasin, Barito Kuala dan sebagian Banjar : 5 – 20

meter untuk daerah-daerah Banjar umumnya, Tanah Laut dan Pulau Laut : 10 – 20

meter lebih bagi Kabupaten-kabupaten di daerah Hulu Sungai : dan rata-rata

23 Tentang wawancara dan key-informan baik mengenai pengertian dan kegunaannya

bagi penulisan silahkan periksa Kuntowijoyo, Kegunaan Sejarah Lisan dalam Penulisan Sejarah

Nasional (Seminar Sejarah Nasional ke III, 1981), hlm. 3-6; Koentjaraningrat, “Metode

Wawancara”, dalam Metode-metode Penelitian Masyarakat (1981), hlm. 163-194. 24 Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (Banjarmasin: Ass-Terr Laksus

Kopkamtib Daerah Kalimantan Selatan, 1971), hlm. 1 – 2; M. Idwar Saleh, Sedjarah Bandjarmasin

(Bandung: KPPK Balai Pendidikan Guru, t.t), hal. 25. 25 Tentang pengertian pasang surut periksa, Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun (Jakarta:

PT. Jayakarta Agung Offset, 1979), hlm. 17; Soedjono Kramadibrata, Perencanaan Pelabuhan

(Bandung: Geneca Exact. 1985), hlm. 113 – 126.

Page 16: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

tertinggi 800 – 2.000 meter di daerah pegunungan Meratus Babaris.26 Keadaan

tinggi rendah permukaan tanah dan pengaruh pasang surut di Kalimantan Selatan

menyebabkan perairan umumnya tidak memiliki arus deras, karena itu

memudahkan bagi terselenggaranya transportasi perairan daratan.

Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, seperti juga daerah lainnya di Indonesia,

termasuk daerah tropis dengan suhu tertinggi 340 celcius dan terendah 190 celcius,

sedangkan suhu rata-rata adalah 260 celcius. Daerahnya beriklim tropis dengan dua

musim, yaitu musim kemarau berlangsung antara bulan Juli – September dan

musim penghujan antara Nopember – April. Disamping kedua musim itu masih ada

yang disebut musim pancaroba, terjadi di bulan Oktober yaitu musim peralihan dari

kemarau ke penghujan (kantering), dan sekitar Mei atau April sebagai musim

peralihan dari penghujan ke kemarau. Selebihnya di daerah Kalimantan Selatan

mengenal musim yang terjadi setiap empat tahun sekali disebut musim kemarau

panjang.

Angin yang bertiup di daerah ini terjadi antara Nopember – April adalah angin

timur, sifatnya banyak mengandung titik air. Sebaliknya antara bulan Mei –

Oktober bertiup angin barat yang kering sifatnya sehingga musim ketika itu adalah

kemarau.27

Kalimantan Selatan pada dasarnya sebagai daerah penerima hujan yang cukup.

Hasil pengamatan antara tahun 1930 – 1960 misalnya untuk daerah Kabupaten

Banjar dan sekitarnya, tidak ada yang disebut bulan kering, yaitu yang curah

hujannya kurang dari 60 milimeter per bulan.28 Rata-rata curah hujan tahunan untuk

daerah Kalimantan Selatan umumnya lebih dari 2.000 milimeter dengan di atas 100

26 Data-data diambil dan disimpulkan dari Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan

Selatan (1971), Op.cit, hlm. 2- 4 dan 160: Tjilik Riwut (1979), Op. Cit., hlm. 69: Monografi

Kabupaten Daerah Tingkat II Banjar (Martapura: Bappeda Kabupaten Dati II Banjar, 1982). Hlm. 3 –

7). 27 Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971), Loc.cit. 28 Monografi Kabupaten Daerah Tingkat II Banjar (1982), Op. Cit., hlm. 6.

Page 17: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

hari hujan.29 Mengenai curah hujan di Kalimantan Selatan dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 1

Daftar Curah Hujan Daerah Kalimantan Selatan, 1966 – 1970

Tahun 1966 1967 1968 1969 1970

Milimeter 2.488 1.894 2.601 1.799 2.226

Hari 110 100 116 98 115

Sumber: diambil dan dihimpun dari Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah

Kalimantan Selatan (Banjarmasin: Ass-Terr Lakaus Kopkamtib Daerah

Kalimantan Selatan, 1971), hlm. 151 – 161.

Melalui musim dan daftar curah hujan itu bisa diketahui bagaimana

pengaruh musim dan banyaknya curah hujan bagi kelancaran lalu lintas transportasi

perairan di daerah Kalimantan Selatan. Selain hujan, di daerah Kalimantan Selatan

pada umumnya selalu diliputi oleh kabut-kabut tebal yang lembab sifatnya,

terutama pada malam dan pagi hari. Di daerah ini terutama Banjarmasin dan Barito

Kuala, waktu sepanjang malam hingga pagi selalu diliputi oleh kabut Stratus yang

ketika siang berubah menjadi awan cumulus dan cumulunimbus. Kabut di daerah

ini selain kurang bagi bagi kesehatan masyarakat juga tidak jarang menimbulkan

masalah yang cukup serius bagi lalu lintas umumnya. Kabut stratus di malam hari

kerap kali terlalu tebal menyelimuti permukaan bumi sehingga sukar ditembus oleh

sinar lampu-lampu kendaraan, akibatnya menghalangi penglihatan para

pengendara. Keadaan kabut di musim hujan bahkan lebih tebal lagi seringkali

menutupi permukaan sungai dan perairan umunya di waktu malam dan pagi hari,

serta baru mulai menghilang sekitar pukul 08.00. Kabut seperti ini tidak jarang

menimbulkan kecelakaan lalu lintas perairan di malam hari. Baik kabut stratus

maupun cumulus pada siang hari sering pula mengganggu kelancaran

penerbangan.30

A. Keadaan Perairan Yang Memungkinkan Penyelenggaraan Transportasi

29 Ibid. 30 Ibid., hlm. 4.

Page 18: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Wilayah perairan seluas 17.610 kilometer persegi atau 47,62% dari luas

wilayah Kalimantan Selatan seluruhnya merupakan perairan yang meliputi

semua sungai dengan ana cabangnya, danau dan tanah genangan, pantai-pantai

yang mengelilingi sebagian daratan Kalimantan Selatan dan kepulauan di

kabupaten Pulau Laut, segala macam terusan, dan waduk Aranio. Perairan

seluas ini bagi masyarakat tidak semata-mata berfungsi untuk pertanian

ataupun perikanan, melainkan sama pentingnya adalah untuk transportasi.

Sebagian dari perairan itu digunakan sebagai jalur-jalur transportasi oleh

penduduk di Kalimantan selatan.

Iklim musim yang member cukup curah hujan, permukaan tanah rencah

dan relatif datar, dan pasang sumur air laut yang kuat mengakibatkan keadaan

perairan di Kalimantan Selatan cukup tenang. Sungai, danau, atau terusan,

misalnya, sampai pada jangkauan yang cukup jauh ke pedalaman keadaan

arusnya masih cukup tenang sehingga memudahkan penyelenggaraan

teransportasi di atasnya. Lalu lintas pengangkutan di perairan Kalimantan

Selatan dengan menggunakan perahu dan kapal tidak begitu mendapat

kesulitan karena arus air. Sarana-sarana transportasi perairan yang dikayuh

atau pakai mesin dengan mudah menghilir atuapun memudiki jalur-jalur

perairan jauh sampai ke daerah-daerah pedalaman.

1. Bentuk-bentuk Perairan

Bentuk-bentuk perairan di Kalimantan Selatan yang dimanfaatkan

oleh masyarakat untuk kegiatan transportasi dapat dikatakan yang paling

sempurna dan lengkap dibandingkan dengan beberapa daerah lainnya di

Indonesia. Kenyataan ini dapat dilihat pada bentuk-bentuk perairan yang

ada di daerah ini dikategorikan sebagai perairan daratan untuk tempat

berlangsungnya kegiatan transportasi masyarakat setempat.

Sungai disebut batang atau batang banyu oleh masyarakat Kalimantan

Selatan dalam bahasa Banjar. Jumlah sungai di daerah ini barangkali

mendekati ratusan, dari yang lebarnya ratusan meter sampai cabang-cabang

anak sungai selebar beberapa meter; dari yang panjangnya ratusan kilometer

Page 19: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

sampai yang beberapa kilometer atau kurang dari kilometer. Semua itu

adalah sungai alam yang dapat dimanfaatkan untuk jalur-jalur transportasi

rakyat. Sungai-sungai besar dan kecil terhampar berkelok-kelok dan tidak

jarang yang saling berpotongan, ditambah sejumlah terusan member kesan

bagaikan hamparan jarring laba-laba raksnaa pada suatu kawasan yang luas.

Pada bagian-bagian di dalam jarring itu terdapat banyak anak sungai dengan

cabang-cabangnya, dan di situ terbentuklah pusat-pusat permukiman yang

lalu berkembang dan berubah menjadi perkampungan besar atau kota. Pada

daerah yang keadaannya seperti di Kalimantan Selatan itu semua

perkampungan dan kta penting dibangun pada persilangan sungai atau

dimuaranya untuk menghindari isolasi alam.31 Gambaran mengenai kota-

kota dan pusat-pusat permukiman ini bisa dilihat pada lampiran Al-A6.

Perairan di daerah Kalimantan Selatan merupakan karunia alam yang

memungkinkan kehidupan bermula, berlangsung, dan berkembang.

Melaksanakan transportasi perairan berarti aspek kehidupan yang dijangkau

semakin luas dan komplek, menyangkut berbagai segi didalam kehidupan

masyarakat.32 Seperti pada fungsi dan posisi jalan di suatu daerah atau kota,

demikian pula gambaran sungai-sungai yang terdapat di Kalimantan

Selatan. Sungai-sungai berfungsi sebaga jalan raya, setiap hari terlihat

penduduk yang sibuk hilir mudik menembus dari satu sungai ke sungai kecil

lainnya kemudian ke luar lagi menuju ke sungai lebih besar. Pemandangan

di atas sungai sekitar tahun 1950-an Nampak dari masyarakat yang

melakukan kegiatan untuk berdagang, berburu, mencari ikan, ke kantor, ke

sekolah, ke pasar, rekreasi, bertani dan rupa-rupa kegiatan sehari-hari

merupakan keistimewaan lalu lintas di daerah ini.33 Gambar-gambar

31 M. Idwar Saleh, Sejarah Bandjarmasin (Bandung: KPPK Balai Pendidikan Guru, t.t.). hlm. 26

dan 41; Bandingkan juga pada Sartono Kardodirdjo, (ed.), Masyarakat Kuno dan Kelompok-

kelompok Sosial (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1977), hlm. 2 – 4. 32 Adat Istiadat Daerah Kalimantan Selatan (Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1982), hlm. 8 – 10 ; M. Idwar Saleh, “Sekelumit Mengenai Rumah-rumah Tradisional

Banjar”, dalam Majalah Tak Berkala Bandarmasih, no. 2 (Banjarbaru : Museum Negeri Lambung

Mangkurat, 1982), hlm. 6 – 7. 33 Tjilik Riwut, Kalimantan Memanggil (Djakarta: Endang, 1958), hlm. 159; Amir Kiai Bondan,

Suluh Sedjarah Kalimantan (Banjarmasin: Fadjar, 1953), hlm. 97-105 dan 195.

Page 20: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

padalampiran B dan C misalnya sebagai perbandingan mengenai bagaimana

kesibukan masyarakat sehari-hari dengan transportasinya di daerah

Kalimantan Selatan. Sungai-sungai utama seperti Barito, Martapura, dan

Negara menjadi penghubung antar muara dengan pedalaman, kota atau

daerah pada jarak-jarak yang jauh. Anak-anak sungai dan cabang-

cabangnya bertugas melanjutkan kegiatan masuk sampai ke desa-desa atau

kampung di dalam suatu daerah atau kota. Peran anak-anak sungai kecil

sangat vital merupakan tulang punggung lalu lintas di perairan. Anak-anak

sungai kecil itu menyerupai jalan-jalan tembus dan gang atau lorong

panjang yang menjangkau sampai ke jarak paling dekat dengan tempat

tujuan, mendekati lokasi atau tempat tinggal yang harus dicapai serang

penumpang.

Gambaran tentang sungai pada masa lampau dapat diketahui dari hasil

laporan perjalanan sungai antara bulan Mei-Juni 1987.34 Laporan ini

menyebutkan bahwa sekitar 49 anak sungai ditelusuri dengan perahu dan

terdapat sekitar 184 kampung terletak ditepi kiri kanan sepanjang sungai-

sungai yang dilalui. Perjalanan bermula di Marabahan melalui sungai Lirik

ke sungai Babahan dan sungai-sungai berikutnya hingga di sungai Balangi

dan berakhir pada sungai Mahar di Bahan. Digambarkan tentang keadaan

sungai-sungai nya yang berkelok-kelok dan tembus menembus satu dengan

lainnya, di samping gambaran keadaan kampung-kampung disepanjang

pinggiran sungai dan masyarakat yang sedang bertani atau mencari ikan.

Perkiraan sekitar jalur-jalur sungai yang dilalui ini periksa pada lampiran

A3.

Gambaran dari contoh diatas tidak jauh berbeda tentang keadaan

sungai dan kehidupan lewat 110 tahun kemudian. Tepatnya di bulan Juli

1957 presiden Soekarno beserta beberapa menteri, wartawan dalam dan luar

negeri, serta tamu lainnya terpaksa melakukan perjalanan sungai serupa

diatas. Bedanya perjalanan kali ini dilakukan dengan kapal melalui sungai

34 Arsip Nasional, “Borneo zuid En Oostkust”, bundel no. 122.

Page 21: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Martapura, Barito, Serapat dan Kelampan (anjir), Kapuas, dan Kahayan dari

Banjarmasin sampai di Pahandut (Palangkaraya), Kalimantan Tengah.

Begitupun sekembalinya perjalanan ini dilakukan karena hanya ada jalur

perairan yang menghubungkan antar kedua daerah, Kalimantan Selatan

dengan Kalimantan Tengah pada waktu itu.35 Melalui jalur perairan ini

pulalah yang mengeratkan hubungan masyarakat antar kedua daerah sejak

dahulu hingga sekarang ini.

Danau merupakan bentuk perairan di daerah Kalimantan Selatan yang

lebih tepat dikatakan sebagai suatu kawasan tanah rendah yang digenangi

air. Tanah genangan ini ada yang permanen dan ada yang tidak, tergantung

pada banyaknya curah hujan yang diterima dan pengaruh pasang surut air

laut. Pada umumnya tanah genangan berada di sepanjang kedua sisi sungai

yang tanahnya rendah, karena itu umumnya danau disini selalu ditemui

bersatu dengan sungai. Danai-danau yang ada akibatnya mempunyai

permukaan perairan yang sangat luas dengan tepi-tepinya yang tidak begitu

dalam yaitu antara 1-3 meter. Berbeda dengan itu waduk Aranio merupakan

danau buatan yang kedalaman airnya mencapai rata-rata 62 meter dengan

luas permukaan sekitar 92 kilometer persegi.36

Luas perairan danau di Kalimantan Selatan seluruhnya sekitar 3.950

kilometer persegi. Di antara perairan danau itu adalah Bangkau, Bitin,

Alalak Padang, Bati-bati, Babirik, Maninjau, Sebuluh, Hampangan, Aluh-

aluh, dan Cintapuri di samping waduk Aranio. Danau di sini umumnya

merupakan daerah perikanan darat dan berfungsi untuk pengairan daerah

pertanian yang berada di sekitarnya. Danau sangat penting sebagai

prasarana transportasi terutama dalam hubungannya dengan segala urusan

yang menyangkut perikanan dan pertanian. Berbeda dari danau, bagi waduk

35 Tjilik Riwut (1958), op. cit., hlm. 129 ; Gambaran tentang keadaan sungai dan

masyarakatnya pada waktu selama perjalanan presiden Soekarno itu disampaikan dan dimuat pula

secara berturut-turut pada harian Pemuda dari tanggal 30 Juli 4 Agustus 1957 oleh Notosutardjo,

wartawan dari harian ini yang ikut di dalam perjalanan tersebut. 36 Pokok-pokok Hasil Survey Resettlement Penduduk di Riam Kanan Atas (Martapura:

1976), hlm. 4.

Page 22: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Aranio memiliki kegiatan transportasi yang terisolir dari jalur-jalur perairan

umum di Kalimantan Selatan. Kegiatan transportasinya terbatas

menghubungkan kampung-kampung yang ada disekitar waduk itu.

Terusan merupakan perpanjangan dari sungai atau menghubungkan

antara sungai satu dengan lainnya yang dengan sengaja dibuat oleh manusia.

Orang Banjar sejak nenek moyangnya membuat terusan untuk system

pertanian dan prasarana transportasi yang mereka kenal dalam tiga macam.

1) Anjir, yaitu saluran primer dan umumnya menghubungkan antar sungai

dengan fungsi dititik beratkan untuk urusan transportasi dan pertanian. 2)

Handil, yaitu saluran sekunder dengan ukuran umumnya sedikit lebih kecil

dari anjir dan merupakan saluran yang dibuat untuk tujuan irigasi pertanian,

perkebunan, dan transportasi. 3) Saka, merupakan saluran tersier berfungsi

secara langsung untuk masalah pertanian, di samping transportasi.

Umumnya terusan yang dibuat selalu berkaitan dengan keperluan

pengangkutan sekalipun hanya berupa saka yang terkecil, misalnya selebar

kurang dari 2 meter. Terusan semacam ini, termasuk handil, hubungannya

dengan transportasi terbatas baik jenis sarana transportasinya maupun

tujuan. Sarana yang digunakan pada jalur terbatas ini biasanya perahu kecil

dan bertujuan untuk keperluan kegiatan pertanian dan kebun, atau

perikanan. Terusan berupa saka tidak jarang yang bersifat pribadi,

maksudnya sebagai jalur pengangkutan hanya digunakan oleh pemilik.37

Saka banyak dibuat dan dimiliki oleh keluarga-keluarga Banjar bermuara

pada sebuah sungai, anjir, atau perairan umumnya menuju ke tanah-tanah

pertanian dan kebun mereka dengan lebar rata-rata 2-4 meter, kedalaman air

antara 0,5-2 meter, dan panjang 100-2.000 meter. Istilah lainnya untuk

37 Keluarga pemilik saka biasanya bertempat tidak jauh dari saka atau tanah

pertaniannya. Umumnya rumah pemilik didirikan di muara saka, ditepi sungai. Kalau ada, disekitar

pinggiran saka didirikan juga rumah lainnya masih dari keluarga yang sama. Contoh seperti ini

misalnya pada keluarga Syamsi di Banua Anyar-kabupaten Banjar, dan H. Gani di Pangambangan-

Banjarmasin. Keterangan tambahan mengenai saka dan handil didapat juga dari M. Idwar Saleh,

dalam wawancara tanggal 4 Agustus 1983 Periksa dan bandingkan pula dengan William L. Collier,

Lima puluh Tahun Transmigrasi Spontan dan Transmigrasi Pemerintah Di Tanah Berawa

Kalimantan”, majalah Prisma, n. 5 (Jakarta : LP3ES, 1980), hlm. 21, dan 27-29.

Page 23: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

menyebut terusan adalah tatah, biasa diucapkan oleh masyarakat dengan

mengandung pengertian terusan secara umum, namun lebih lajim pengertian

yang dimaksudkan untuk menyebutkan terusan yang berupa handil atau

saka. Sedangkan yang berupa anjir biasa pula disebut antasan.

Keberhasilan dan kebiasaan orang Banjar meluaskan pengaruh pasang

surut dengan membuat terusan merupakan keistimewaan dan membuktikan

tingkat peradaban mereka yang telah maju. Mereka mampu membuat

terusan yang panjangnya mencapai puluhan kilometer hanya dengan tangan

selama bertahun-tahun.38 Terusan yang digali menggunakan alat sangat

sederhana yang disebut sundak bertumpu sepenuhnya pada kekuatan

tangan. Sejak kapan orang Banjar berhasil mulai membuat terusan tidak

dapat diketahui dengan pasti, yang jelas mereka telah lama berhasil

memikirkan dan memanfaatkan adanya gerak pasang surut di daerah mereka

serta meluaskan pengaruh itu ke daerah daratan, atau menghubungkan antar

sungai.39 Pembuatan terusan dengan “cara” orang Banjar ini yang dalam

prakteknya kemudian juga dilaksanakan leh pemerintah baik pada masa

Belanda maupun oleh pemerintah baik pada masa Belanda maupun oleh

pemerintah Republik Indonesia. Cara ini yang juga kemudian dikerjakan leh

P. M. Noor ketika menjabat menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga (PUT)

dan oleh Prof. Soenarjo dalam usaha mengambangkan system pertanian

pasang surut, sekitar tahun 1960 dan 1970-an di Kalimantan Selatan, oleh

H.J. Schoophuys dan para ahli disebut dengan pembuatan terusan system

Banjar.40

Berita pertama yang dapat diketahui mengenai pembuatan terusan

yaitu pada masa pemerintahan W. Broers, penguasa tertinggi Belanda

38 Ibid.: H. J. Schophuys, “Polder, Pembukaan Sawah Pasang Surut Gaja Lama dan Gaja

Baru,” harian Kompas, 7 Nopember 1969 ; Sundak merupakan alat dari bahan besi atau kayu ulin

bermata besi, pipih bentuknya digunakan untuk mengerat tanah sehingga berbentuk prisma tegak

dengan alas bujur sangkar. 39 William L. Collier (1980), loc, cit, ; H.J. Schphuys, loc, cit, ; Tjilik Riwut (1979), oop,cit.,

hlm. 17. 40 H.H. Schophuys, loc,cit; Soemarkotj Soedirjo, “Tiga Djagoan : Schophuys, P. Noor,

Soenarjo,” harian Kompas, 3 Oktber 1969.

Page 24: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

diwilayah Kalimantan Selatan antara tahun 1880-1890. Terusan pertama

yang dibuat atas prakarsa Belanda dengan tenaga kerja orang Banjar yaitu

anjir Serapat yang menghubungkan antara sungai Barito dengan sungai

Kapuas. Rencana pembuatan sebenarnya sudah dicetuskan oleh J. J. Myer,

namun masa jabatannya tahun 1880 berakhir dan digantikan oleh W. Brers

yang segera melaksanakan rencana itu. Anjir yang dibuat dengan ukuran

rata-rata lebar 30 meter, panjang 28 kilometer, dan kedalaman air 3 meter

berhasil diselesaikan pada tahun 1980. Perbaikan dan pembersihan terhadap

anjir Serapat pernah dilaksanakan pada tahun 1935 oleh Morggenstorm

pengusaha ketika itu. Sekitar tiga tahun kemudian Morggenstorm merasa

perlu untuk membuat sebuah anjir lagi dan dilaksanakannya pada tahun

1938 terletak di sebelah selatan anjir Serapat dengan sungai-sungai yang

sama, maka terbentuklah anjir baru sepanjang 32 kilometer yaitu anjir

Tamban.

Kedua anjir di atas begitu besar pengaruhnya untuk pembukaan

daerah baru. Antara tahun 1940 hingga 1950-an telah puluhan saluran baru

dari kedua anjir itu berupa handil dan kemudian saka dibuat oleh

masyarakat sendiri.41 Kedua anjir di atas juga semakin mendekatkan

hubungan antara masyarakat Kalimantan Tengah, terutama Kapuas, dengan

masyarakat Banjarmasin dan Marabahan di Kalimantan Selatan.

Pembuat anjir masih terus berlangsung pada jaman kedaulatan

Indonesia. Dua buah anjir dibuat bersamaan pada tahun 1950 yaitu anjir

Basarang dan Kelampan pada masa gubernur Moerdjani menjabat sebagai

gubernur pertama daerah propinsi Kalimantan Selatan. Pada tahun 1947 dan

1952, Schophyus bersama gubernur Moerdjani membuat terusan di daerah

kabupaten Barito Kuala yang dikerjakan sepenuhnya oleh masyarakat

masing-masing sepanjang lebih kurang 5 dan 25 kilometer. Hubungan

antara Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah juga bertambah ramai

dengan dibukanya kemudian anjir Talaran/Marabahan sepanjang lebih

41 Periksa dan Bandingkan dengan William L. Collier (1980), op.cit., hlm. 21.

Page 25: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

kurang 20 kilometer oleh gubernur Sjarkawi pada tahun 1958. Mengenai

anjir-anjir ini silahkan periksa lampiran A3.

Bentuk perairan yang ada di Kalimantan Selatan meliputi pula

perairan pantai-pantainya. Panjang pantai keseluruhannya sekitar 850

kilometer meliputi panjang pantai daratan Kalimantan Selatan 510

kilometer, pantai pulau Laut 240 kilometer, dan pantai pulai Sabuku 80

kilometer. Pantai di Kalimantan Selatan dapat dibedakan dalam empat

macam. Pertama, pantai agak curam yaitu bagian pucuk ujung Petang

sepanjang 9 kilometer, dari tanjung Pamukan sampai tanjung Sepada ; dari

tanjung Saratakan sampai tanjung Pamancingan (pulau Laut) sepanjang 17

kilometer ; dan sebelah timur pulau Sabuku sepanjang 31 kilometer ; dan

sebelah timur pulau Sabuku sepanjang 31 kilometer. Kedua, pantai landai

dan bertanah agak keras yaitu dari Tanjung sampai Tanjung Petang

sepanjang 200 kilometer; dan pantai dari tanjung Kiwi sampai tanjung

Alang-alang sepanjang 120 kilometer. Ketiga, pantai landai berbatu

(karang) yaitu pantai dari Sebau sampai tanjung Salamantakan sepanjang 34

kilometer dan pantai dari Sepada Kecil sampai Sanipah sepanjang 15

kilometer. Keempat, pantai berlumpur (rawa) yaitu dari Kuala Lupak

sampai Takisung sepanjang 67 kilometer ; dari selat laut sampai ke tanjung

Sebau sepanjang 120 kilometer ; dan dari tanjung Alang-alang sampai

ditanjung Seratakan (pulau Laut) sepanjang 50 kilometer.42

Pantai-pantai tersebut pada dasarnya dapat ditelusuri oleh perahu-

perahu kecil maupun sedang dari timur sampai ke muara Barito di bagian

barat. Pantai Kalimantan Selatan merupakan tempat puluhan sungai

bermuara, dari sungai-sungai di kabupaten Pulau Laut sampai sungai-sungai

di Kabupaten Tanah Laut. Sepanjang pantai-pantainya dapat pula ditelusuri

di perairan pantai ramai leh perahu-perahu nelayan, mereka dapat pula

dengan mudah keluar-masuk antara pantai dengan sungai. Selebihnya

adalah lalu lintas penyeberangan antara daratan Kalimantan Selatan dengan

42 Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971), op.cit., hlm. 5.

Page 26: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

pulau Laut dan Sabuku melalui selat Laut. Sarana-sarana yang digunakan

untuk penyeberangan ini biasanya berupa perahu motor dan speed boat.43

2. Masalah Perairan dan Kelancaran Lalu Lintas

Kemarau panjang merupakan masalah yang dihadapi setiap empat

tahun sekali oleh perairan dan transportasinya di Kalimantan Selatan. Setiap

tiba kemarau panjang banyak perairan yang biasa digunakan sebagai jalur-

jalur transportasi masyarakat tidak berfungsi karena kekeringan. Menurut

data dari Dinas Meteorolgi Landasan Ulin (sekarang Syamsuddin Noor)

peristiwa seperti ini terjadi tahun 1969, ketika sebagian besar perairan di

daerah Kalimantan Selatan mengalami kekeringan.44 Diceritakan oleh

seorang penduduk Sungai Batang (kabupaten Banjar) bahwa tahun 1969 itu

di kampungnya anak-anak sungai Martapura, handil dan saka semuanya

kering. Perahu-perahu yang biasa dioperasikan untuk segala macam soal

pengangkutan ditelungkupkan di pekarangan-pekarangan rakyat selama

beberapa bulan, sebagian diperbaiki sambil menunggu sampai saat kemarau

berlalu. Begitupun hal serupa diceritakan oleh seorang penduduk desa

Pamangkih-kabupaten Hulu Sungai Tengah, dan seorang penduduk desa

Muara Uya-kabupaten Tabalong. Di kedua desa ini ikan darat melimpah

karena mudah didapat dan kebanyakan kemudian dioleh menjadi ikan

kering. Hasil ini tidak bisa diangkut ke pasar karena perahu-perahu tidak

bisa digunakan akibat keringanya anak-anak sungai dan saluran perairan

lainnya dari sungai Labuan Amas dan Tabalong yang ada di kedua desa.

Harga ikan (kering) sangat rendah dibeli leh para tengkulak yang dating ke

desa tersebut dan mengangkutnya dengan sarana berupa sepeda.45

Gambaran diatas merupakan sebagian dari keadaan yang dihadapi

oleh masyarakat dalam soal pengangkutan, khususnya di perairan daratan.

43 Ibid., hlm. 181. 44 Monografi Kabupaten Daerah Tingkat II Banjar (1982), op.cit., hlm. 6; dan Buku Petunjuk

Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971), op.cit., hlm. 156-157. 45 Keterangan dari wawancara dengan Padli di Sungai Batang, tanggal 22 Agustus 1983;

dengan Masdar di Barabai, tanggal 6 Agustus 1983; dan Hamsani di Tanjung, tanggal 7 Agustus

1983.

Page 27: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Kemarau panjang biasanya berlangsung selama enam bulan yaitu antara

bulan Juni hingga Nopember. Kemarau seperti ini dengan akibat serupa juga

terjadi pada tahun 1961 dan 1965.46 Mengenai keadaan kemarau ini periksa

kembali pada tabel 1 tentang banyaknya curah hujan pada tahun 1969.

Seiring dengan perkembangan sector transportasi darat semenjak

tahun 1960 ke atas kelak bisa dimengerti bahwa peristiwa kemarau panjang

merupakan yang mempercepat tidak berfungsinya sungai-sungai kecil dan

handil penghubung secara berkelanjutan. Pengaruhnya cukup besar baik

terhadap pertumbuhan sector transportasinya perairan maupun terhadap

tanah pertanian dan penduduk.

Masalah berikutnya adalah pencemaran terhadap perairan yang

ditimbulkan oleh limbah domestic dan gulma air.47 Kedua hal ini tidak

jarang menyebabkan ketidaklancaran, kemacetan dan kecelakaan lalu lintas

di perairan. Keadaan perairan yang tenang dan dangkal menyebabkan gulma

air mudah tumbuh dan cepat berkembang biak sehingga dapat dengan segera

menutupi permukaan-permukaan sungai, terusan dan danau.

Tumbuhan air seperti purun tikus, ilung (Eichornia crasipes Soms),

berbagai jenis bakung (Crinum asiaticum L), serta nipah (Nypa fruticans

Wurmb) merupakan gulma air yang banyak tumbuh menutupi permukaan-

permukaan perairan di daerah Kalimantan Selatan.48 Gulma air, terutama

ilung, kerapkali pada fase pertumbuhannya yang sangat cepat tidak lagi

dapat dikendalikan oleh masyarakat dan pemerintah. Ilung dalam jumlahnya

yang sangat besar tumbuh terapung misalnya di permukaan-permukaan

sungai dan terusan yang mengakibatkan terhambatnya kelancaran lalu lintas

di perairan itu. gambaran ini tidak saja menyangkut lalu lintas perairan

daratan umumnya, tetapi juga bagi para petani yang akan menuju ke tanah-

tanah pertanian mereka, dan bagi perairan tanah-tanah pertanian itu. Contoh

46 Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971), op.cit., hlm. 4. 47 Pengertian limbah domestic dan gulma air silahkan periksa lebih jauh pada Otto

Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan (Jakarta: Djambatan, 1983) hlm. 232. 48 Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971), op,cit., hlm. 178;

“Jadwal Pelayaran Terganggu Enceng Gondok,” harian Kompas, 21 Februari 1983.

Page 28: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

gulma air berupa ilung yang menghambat arus lalu lintas transportasi

periksa pada lampiran C1.

Seiring dengan masalah gulma air ialah limbah domestic terhadap

perairan, terutama sungai dan terusan. Limbah domestic ditimbulkan oleh

penduduk sendiri, terutama oleh penduduk yang tinggal pada

perkampungan di sepanjang pinggiran sungai dan terusan. Limbah domestic

umumnya berupa sampah dari rumah tangga yang dengan mudah dibuang

ke sungai dan terusan di sekitar mereka. Sampah yang dibuang oleh

penduduk sebagian besar mengapung dan menjadi satu ke satuan dalam

jumlah yang makin lama bertambah besar. Limbah domestic ini bersama-

sama dengan gulma air seperti ilung dan jenis bakung menjadi satu

membentuk hampangan, menurut istilah masyarakat dalam bahasa Banjar.

Hampangan yang terapung di sungai dan di terusan ikut hilir mudik seirama

dengan arus perairan pasang surut. Hampangan dapat berhenti pada perairan

danau dan terbentuk semakin luas bersama-sama sebagai tempat

bertumbuhnya gulma air. Hampangan-hampangan yang mencapai muara

untuk selanjutnya ke luar mengotori perairan pantai-pantai di Kalimantan

Selatan. Hampangan pada dasarnya merupakan masalah yang secara

langsung dan terus menerus dihadapi oleh sector transportasi perairan di

daerah ini, terutama dari segi kelancaran lalu lintas di perairan.49

Selain limbah domestic ada pula limbah usaha terutama dari usaha-

usaha penggergajian (wantilan) dan produksi sarana-sarana transportasi

perairan milik masyarakat. Limbah usaha ini berupa serbuk-serbuk

gergajian dan potongan-potongan papan atau kayu. Hampir semua usaha

wantilan dan produksi sarana transportasi perairan rakyat di Kalimantan

Selatan berada di sepanjang pinggiran sungai dan sudah berlangsung sejak

lama, akibatnya serbuk-serbuk gergajian dan potongan-potongan papan

yang memang dibuang ke sungai semakin besar jumlahnya. Limbah usaha

49 Ibid.; Bahan Expose : Permasalahan dan Pemecahan Masalah LLAJR dan LLASDP di

Propinsi Kalimantan Selatan (Banjarmasin: Kantor Wilayah XI Propinsi Kalimantan Selatan/Tengah,

1983), tanpa halaman ; “Musibah Di Sungai Kapuas,” harian Banjarmasin Post, 7 Mei 1983.

Page 29: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

ini bersama dengan limbah domestic dan gulma air merupakan unsur-unsur

utama pembentuk hampangan.

Pencemaran perairan semakin besar akibat banyak pula bangkai kapal

dan perahu yang dibiarkan berada di perairan, terutama sungai. Akibat yang

ditimbulkannya ialah terbentuknya gosong-gosong dan mempercepat proses

pendangkalan perairan.50 Gosong-gosong yang terdapat di peraran

Kalimantan Selatan merupakan masalah yang serupa dengan hampangan

bagi kelancaran lalu lintas transportasi di peairan. Gosong-gosong seperti

juga hampangan kerapkali dapat menimbulkan kecelakaan lalu lintas

perairan.

Sekitar tahun 1960-an keadaan yang ditimbulkan oleh masalah-

masalah seperti diatas terhadap perairan sudah semakin parah.

Gangguannya terhadap perairan hampir merata kesemua daerah kabupaten

di Kalimantan Selatan. Keadaan ini sangat menghambat kelancaran arus lalu

lintas transportasi perairan yang sangat diandalkan masyarakat baik untuk

hubungan daerah maupun soal pengangkutan barang dan penumpang.

Kegiatan seperti pertanian, perikanan dan lainnya yang selalu berkaitan

dengan transportasi perairan akibatnya turut pula mengalami hambatan.

Menyadari pentingnya peran perairan bagi masalah transportasi

khususnya, maka pemerintah daerah dibawah pimpinan gubernur Borthami

pada tahun 1963 melaksanakan pengerukan dan pembersihan besar-besaran

terhadap perairan di Kalimantan Selatan. Perairan yang dikerukan

dibersihkan seluruhnya seluas 547, 5 kiloemter persegi dengan perincian

seperti terlihat pada tabel 2 berikut ini:

Tabel 2 Usaha Pengerukan dan Pembersihan

Perairan Kalimantan Selatan 1963

No. Kabupaten Luas dalam Meter

1 Banjar 238.500

50 Ibid, ; Bahan Expose (1983) ; “74 Ekor Hewan Korban Untuk Banjarmasin Tenggelam di

Muara Sungai Barito,” harian Banjarmasin post, 16 September 1983; Buku Petunjuk Territorial

Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971), op.cit., hlm. 326 dan 329.

Page 30: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

2 Hulu Sungai Selatan 78.000

3 Hulu Sungai Tengah 47.000

4 Hulu Sungai Utara 148.000

5 Barito Kuala 16.000

6 Pulau Laut 20.000

Jumlah 547.500

Usaha serupa kemudian dilaksanakan oleh gubernur H. Abrani

Sulaiman pada tahun 1967 untuk perairan di kabupaten Banjar dan Barito

Kuala. Perairan yang dikeruk dan dibersihkan adalah perairan Cintapuri,

Alalak Padang, Galam Rabah, dan Jajangkit.51

Pada dasarnya pencemaran besar terhadap perairan daratan di

Kalimantan Selatan akibat yang saling berkaitan dari penyebab-penyebab

pencemaran itu. Limbah domestic, limbah usaha, gulma air, hampangan,

gosong-gosong, dan pendangkalan merupakan penyebab-penyebab

pencemaran besar yang satu sama lain saling berkaitan.

Hampangan, gosong-gosong, dan pendangkalan, di samping masalah

kabut dan kemarau panjang, merupakan masalah-masalah yang selalu

dihadapi oleh transportasi perairan daratan di Kalimantan Selatan.

Kesemuanya merupakan masalah yang dapat menimbulkan

ketidaklancaran, kemacetan, dan kecelakaan lalu lintas di perairan daratan.

Ketiga hal yang pertama di atas pada dasarnya ditimbulkan oleh manusia,

sebaliknya membawa akibat bagi manusia itu sendiri, dalam hal ini oleh dan

bagi masyarakat Kalimantan Selatan.

B. Peran Hutan Bagi Kebutuhan Bahan Utama Bangunan Sarana

Transportasi Perairan

Setelah perairan, hutan merupakan factor penting berikutnya bagi bidang

transportasi perairan daratan masyarakat di Kalimantan Selatan. Pada sekitar

awal abad ke 20 Dr. Schinpfer menggolongkan jenis hutan di Kalimantan

51 Ibid., hlm. 180.

Page 31: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Selatan sebagai hutan tropika. Hutan tropika ini kemudian diklasifikasikan

menjadi hutan rimba (primer), hutan belukar (sekunder), hutan payau, dan

hutan alang-alang.52 Meskipun diklasifikasikan, secara umum hutan di

Kalimantan Selatan dikatakan sebagai hutan tropis yang heterogen.

Hutan-hutan di Kalimantan Selatan memiliki berbagai jenis tumbuhan

sehingga besar potensinya untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, di

antaranya untuk membuat sarana-sarana transportasi perairan. Tumbuhan

berupa berbagai jenis kayuan besar banyak terdapat di hutan Kalimantan

Selatan. Jenis kayu-kayuan besar ini merupakan salah satu potensi hutan yang

dapat dimanfaatkan masyarakat dijadikan bangunan sarana-sarana transportasi

perairan, khususnya perairan daratan.53

Tidak bisa diketahui persisnya sejak kapan masyarakat di Kalimantan

Selatan memanfaatkan berbagai jenis kayu hutan dan berhasil mengolahnya

menjadi bangunan-bangunan sarana transportasi perairan. Di jaman kerajaan

Banjar (berdiri di sekitar abad ke-16) ribuan jumlah sarana transportasi

perairan telah dibuat oleh rakyat dengan berbagai bentuk yang terbuat dari

bahan kayu hutan.54 Periksa juga lampiran N.

Jenis-jenis kayu hutan yang biasanya digunakan untuk bangunan sarana

transportasi perairan oleh masyarakat Kalimantan Selatan misalnya bangkirai

(Shrea Laevifolia Endert), ulin (Eusiderexyln zwageri T et B)¸ dan bungur

(Lagerstroe mia spec. pers).55 Jenis-jenis kayu ini termasuk jenis-jenis kayu

dan penggunaannya di Kalimantan Selatan yang telah didaftar oleh pemerintah

pada tahun 1941, ketika J.J. Haga sebagai penguasa tertinggi untuk daerah ini.56

52 Ibid., hlm. 6-7; Tjilik Riwut (1958), op.cit., hlm. 41-42. 53 M. Idwar Saleh, Sedjarah Bandjarmasin, op,cit., hlm. 25: Tjilik Riwut (1958), op,cit., hlm.

159. 54 M. Idwar Saleh, Sedjarah Banjarmasin, op, cit., hlm. 61. 55 Tentang daftar jenis kayu dan istilah botaninya periksa Peraturan Konstruksi Kayu

Indonesia NI-5 PKKI 1961 (Bandung: Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan, 1979),

hlm. 35-37. 56 Tentang daftar jenis kayu hutan di Kalimantan Selatan dan yang dapat diolah untuk

bangunan sarana-sarana transportasi perairan tertera pada lampiran I dari Verzameling Residentie

Verordeningen, Zuider en Osterafdeeling van Borneo (Bandjarmasin: Boemi Poetram 1941).

Page 32: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Tentang daftar jenis-jenis kayu hutan penggunaannya di daerah Kalimantan

Selatan ini periksa pada lampiran O.

Daerah yang hutannya banyak menyimpan berbagai jenis kayu untuk

kebutuhan bahan bangunan sarana-sarana transportasi perairan adalah

kabupaten Tanah Laut, Pulau Laut, Banjar, dan daerah-daerah Hulu Sungai.

Dari daerah-daerah ini peran hutan sudah lama sangat penting bagi daerah

Kalimantan Selatan dalam kaitannya dengan bidang transportasi perairan.

Menurut J.M. Castelein, permusuhan turun menurun dari abad ke-17 hingga

ke-19 antara orang Banjar dengan orang Bugis Makassar, diantaranya

disebabkan oleh soal “pencurian” kayu hutan guna pembuatan perahu dan

kapal di Wilayah kerajaan Banjar oleh orang-orang Bugis Makassar.57 Kasus

ini merupakan contoh historis tentang pentingnya hutan Kalimantan Selatan

dengan kayunya untuk keperluan bidang transportasi perairan.

Berdasarkan data Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan luas areal hutan

di daerah ini seluruhnya adalah 20.136 kilometer persegi atau sekitar 54% dari

luas wilayah.58 Dari areal hutan ini beberapa jenis kayu dipilih dan ditebang

lalu dihilirkan dalam bentuk batangan atau rakit menuju ke tempat

penggergajian dan pusat-pusat pengolahan sarana transportasi rakyat.

Kebebasan memanfaatkan potensi hutan berupa kayu masih dapat dilakukan

oleh rakyat sampai tahun 1970-an. Keadaan bebas ini tidak lagi dapat

dilakukan ketika Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan berdiri dan

melaksanakan tugasnya sebagai pengawas dan pengelola seluruh hutan di

Kalimantan Selatan yang mempunyai hak dan wewenang sepenuhnya

semenjak tahun 1973. Rakyat tidak dapat lagi bebas memanfaatkan potensi

hutan akibat perlunya izin dan segala urusan harus melalui Dinas Kehutanan

yang tidak terjadi di waktu-waktu sebelumnya.

57 M. Idwar Saleh, Sedjarah Bandjarmasin, op.cit., hlm. 8, dan 70-71. 58 Pekan Kontak Tani-Nelayan TV di Barabai (Martapura: Kantor Departemen Penerangan

Kabupaten Banjar, 1981), hlm. 65.

Page 33: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Berdasarkan Peraturan Konsturksi Kayu Indonesia dapat diketahui kayu-

kayu hutan yang dipilih dan ditebang oleh rakyat Kalimantan Selatan adalah

jenis-jenis kayu yang tergolong ke dalam klas huat I dan II, serta klas awet I

dan II. Kayu yang termasuk klas-klas ini berkualitas baik dan cocok untuk

badan-badan sarana transportasi perairan. Adapun yang dimaksud klas kuat

adalah didasarkan pada kuat lentur, kuat tekan, dan berat jenis kayu. Ketentuan

klas kuat dari Lembaga Pusat Penyelidikan Kehutanan (LPPK) dan Lembaga

Penelitian Hasil Hutan (LPHH) dapat dilihat pada tabel 3 berikut:

Tabel 3. Ketentuan Klas Kuat Kayu

Klas kuat Berta jenis Kekuatan Lentur Absolut,

kg/cm2

Kekuatan Tekan

Absolut, kg/cm2

I 0,90 1.100 650

II 0,90 – 0,60 1.100 – 725 650 – 425

Sumber; Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia NI-5 PKKI 1961 (Bandung:

Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan, 1979), hlm. 64. Di Indonesia

klas kuat kayu dikategorikan sampai klas kuat V. klas kuat III-V tidak

dicantumkan di sini.

Mengenai klas awet kayu yang ditentukan oleh LPKK dan LPHH, yaitu

didasarkan pada daya tahan kayu terhadap pengaruh oleh reyap, serangga, dan

binatang-binatang kecil lainnya, dan daya tahan terhadap pengaruh alami

seperti panas matahari, air, dan sebagainya. Penggolongan dalam klas awet

kayu berdasarkan jumlah tahun ketahunan kayu, berapa lama masih tetap baik.

Ketentuannya adalah klas awet I lebih dari 20 tahun dan klas awet II 5 sampai

20 tahun.59 Selanjutnya dapat disimpulkan mengenai jenis-jenis kayu hutan

yang biasa dipakai oleh masyarakat di Kalimantan Selatan untuk membuat

59 Mengenai kas awet sama seperti klas kuat terdiri sampai klas awet V. agar lebih jelas

silahkan periksa Peraturan Konsturksi Kayu Indonesia NI-5 PKKI 1961, op. cit., Yogyakarta: Fakultas

Teknik UGM, 1976), hlm. 32.

Page 34: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

bangunan sarana-sarana transportasi perairan sebagaimana dapat dilihat pada

tabel 4 dibawah ini.

Tabel 4 Daftar Jenis Kayu Untuk Bangunan Sarana-sarana Transportasi Perairan

Di Kalimantan Selatan

No. Nama Setempat Nama Botani Klas Kuat Klas Awet

1 Ulin Eusiderexlon

zwageri T et B

I I

2 Rasak Vatica spec II II

3 Bungur Lagerstroemia

spec. pres

II II

4 Klepek Hope spec . div I I

5 Madang Rawali Cinnamomum par

thenoxylon neison

II -

6 Gansiung - - -

7 Bangkirai Shorea laevi folia

Endert

I I

Sumber; Dihimpun dari berbagai sumber di antaranya konsturksi Kayu oleh

Suwarno Wiryomartono; Konstuksi Kayu Indonesia NI-5 PKKI 1961; Tjilik

Riwut, Kalimantan Membangun; dan Verzameling Residentie Vordeningen zuider

en Oostrafdeeling.

Di samping kayu, komponen lain yang juga penting untuk pembuatan

sarana transportasi perairan adalah perekat yang disebut dampul atau dammar

oleh masyarakat setempat.60 Dampul merupakan perekat yang juga diolah dari

bahan jenis kayu hutan, berguna untuk menutup antara sambungan konstruksi

dan lubang pada badan sarana transportasi perairan. Dampul diolah dalam

bentuk tepung banyak dijual di pasar umum dan warung hamper semua tempat

di Kalimantan Selatan. Dalam usaha pembuatan sarana-sarana transportasi

perairan sambungan-sambungan konstruksi juga umumnya berupa pasak

terbuat dari kayu. Jenis-jenis kayu yang biasa digunakan untuk pasak misalnya

laban (Vitex pubescens Vahl.), rasak, dan bungur.61

60 Dampul dibuat dari beberapa jenis kayu hutan dari family Dipterocarpacae, perekat jenis

ini dalam istilah formalnya (pabrik) seperti Resorcinol Resin dan Phenolic Resin, periksa Peraturan

Konstruksi Kayu Indonesia NI-5 PKKI 1961, op. cit., hlm. 41-42 61 Ibid., hlm. 43-44 ; periksa juga H.W. Dick, “Prahu Shipping in Eastern Indonesia”, part I,

Bulletin Of Indonesia Economic Studies, no. 2 (1975), hlm. 1975), hlm. 86 ; Kapal Indonesia

Page 35: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Dapat disimpulkan bahwa hutan dengan potensinya menyediakan

berbagai jenis kayu yang dibutuhkan oleh masyarakat Kalimantan Selatan.

Beberapa jenis kayu yang dibutuhkan di dapat dengan mudah kemudian

melalui perairan yang ada dibawa menuju ke tempat-tempat pengolahan

sarana-sarana transportasi perairan daratan di Kalimantan Selatan.

C. Kepentingan Masyarakat Berkenaan Tarnsportasi yang Sesuai dengan

Keadaan Wilayah Tempat Tinggal

Kalimantan Selatan adalah daerah yang khas perairan seperti daerah

lainnya di pulau Kalimantan. Ke-khususan ini ditandai oleh perairan yang

mendasari seluruh peri kehidupan sehari-hari seperti bahasan, transportasi,

ekonomi, pertanian, tempat tinggal dan sebagainya.62 Daearah perairan

Kalimantan Selatan secara berkesinambungan membentang dari daerahnya di

utara mulai pada kabupaten Tabalong dalam bentuk perairan sungai, danau, dan

terusan ke selatan hingga muara sungai Barito yang dilanjutkan dengan bentuk

perairan pantai di tanjung Selatan daerah Kabupaten Tanah Laut. Dari tanjung

Selatan ke timur masih dalam bentuk perairan pantai dengan sungai-sungainya

yang bermuara di situ hingga dengan penyebrangan di daerah kabupten Pulau

Laut. Semua jalur perairan yang membentang dari utara ke selatan dan timur ini

merupakan daerah tempat konsentrasi populasi Kalimantan Selatan. Semua desa

atau kampong sebagai tempat konsentrasi penduduki, mulai di desa pedalaman

di kabupaten Tabalong sampai desa pantai di Kabupaten Pulau Laut, semuanya

terletak di sepanjang jalur perairan tersebut. Perhatikan peta daerah perairan

Kalimantan Selatan pada skripsi ini dan lampiran A.

Jalur-jalur perairan di Kalimantan Selatan merupakan jalan penting untuk

mengembangkan ekonomi dan perdagangan, hasil hutan, agama, pertanian, dan

transportasi umumnya.63 Pada tahun 1950 sudah terdapat banyak kampong

(Djakarta : Direktoral Djendral Produksi dan Djasa Maritim Departemen Perhubungan, 1969), hlm.

153. 62 M. Idwar Saleh, Bandarmasih, no. 2 (1983), op.cit. hlm. 6.

63 Ibid.

Page 36: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

permukiman di sepanjang jalur perairan ini yang ditempati oleh hamper 80%

dari jumlah penduduk di Kalimantan Selatan seluruhnya. Pada tahun 1961

diperkirakan ada 1.178.524 jiwa yang tinggal di daerah-daerah semacam itu,

selanjutnya sekitar 294.631 jiwa tinggal di daerah-daerah seperti Banjarbaru,

Binuang dan di sekitar perbukitan Meratus-Babaris.64

Menurut catatan Kantor Statistik Propinsi Kalimantan Selatan lebih dari

70% penduduk di Kalimnatan Selatan adalah petani.65 Jika cirri kehidupan tani

ini dijadikan indicator kualifikasi masyarakat, maka tahun 1961, ada sekitar

1.031.209 jiwa sebagai petani. Para petani ini umumnya menempati daerah

sepanjang jalur-jalur perairan di Kalimantan Selatan. Rumah mereka merupakan

kampong-kampung yang padat dan panjang berderat di sepanjang jalur perairan

dalam susunan rumah terdiri dari satu sampai tiga lapis. Di belakang dari

kelompok rumah itu atau kampong terletak sawah-sawah pertanian mereka yang

luas, agar di darat.66

Untuk memudahkan segala urusan pertanian para petani membuat

terusan-terusan berupa handil atau saka bermuara terutama pada sungai, anjir

atau danau. Handil dan saka, karena sifat keadaan alam, selain untuk irigasi

sekaligus berfungsi pula sebagai prasarana transportasi dengan menggunakan

perahu-perahu yang dikayuh atau dengan mesin. Lahan-lahan pertanian

penduduk di Kalimantan Selatan, selain sebagai sawah yang ditanami padi, tidak

jarak yang diseling sebagai kebun. Kebun itu hasilnya untuk pasar, seperti buah-

buahan dan sayuran. Buah-buahan yang biasanya diusahakan adalah sawo,

rambutan, jeruk, ketapi, kedondong, ramania, dan banjai, di samping ada juga

berupa kelapa. Adapun yang berupa sayuran misalnya kacang-kacang, bayam,

katu, waluh, dan timun. Semua hasil dari lahan pertanian ini diangkut dengan

sarana-sarana transportasi perairan melalui saka dan handil sampai di rumah.

64 Ibid., adat Istiadat Daerah Kalimantan Selatan (1982), op.cit., hlm. 8-11. 65 Abdul djebar Hapip, et al., Struktur Bahasa Banjar Kuala (Jakarta: Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981), hlm. 11. 66 M. Idwar Saleh, Bandarmasih, no. 2 (1983), loc. Cit., M. Odwar Saleh, Sejdarah Bandjarmasin,

op. cit, hlm. 41-42.

Page 37: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Hasil-hasil pertanian dari rumah kembali melalui transportasi perairan

diteruskan ke pasar-pasar yang ada atau dijajakan dengan perahu dari rumah ke

rumah di sepanjang perairan yang dapat dilalui.67

Gambaran di atas merupakan indicator yang menunjukkan bahwa

sebagian terbesar masyarakat di daerah Kalimantan Selatan dalam aktivitas

kehidupannya selalu terkait dengan soal transportasi perairan. Aktivitas

kehidupan di bidang transportasi ini akibat keadaan dan yang disesuaikan alam

lingkungan tempat tinggal mereka. Akibat kehidupan dan keadaan alam

lingkungan itu turut pula membentuk tubuh manusianya, di samping

karakteristik kehidupan atau kebudayaannya.

Sampai sekitar awal abad ke 20 di Kalimantan Selatan, terutama

hubungan antar kampung atau desa, hampir tidak ada melalui jalan darat. Jalan-

jalan darat ketika itu tidak begitu ada yang bisa ditemui, kecuali beripa jalan-

jalan setapak melalui semak belukar dan hutan, juga yang terdapat di pinggir

sungai. Hubungan antar temat di sepanjang jalur perairan, terutama sungai selalu

memakai perahu atau jalan-jalan hanya berupa titian yang tidak begitu bebas.

Keadaan demikian ini mengakibatkan anggota tubuh bebas. Keadaan demikian

ini mengakibatkan anggota tubuh terutama kaki lebih banyak untuk duduk di

rumah, lanting, atau perahu, serta tidak banyak terdapat jalan darat untuk

bergerak menyebabkan anggota tubuh bagian bawah tidak berkembang dengan

baik, sehingga nampak kecil dan lemah. Sebaliknya anggota tubuh bagian atas,

dada dan tangan, nampak kekar dan kuat karena selalu berkayuh sepanjang hari,

atau pekerjaan menggali terusan. Gambaran tentang fisik manusia Kalimantan

Selatan ini merupakan laporan Beeckman sekitar dua abad yang lampau.68

Meskipun demikian menurut M. Idwar Saleh keadaannya masih Nampak pada

sebagian masyarakat di daerah Banjarmasin dan Barito Kuala tahun 1950-1960.

67 Periksa juga Amir hasan Kiai Bondan, op. cit., hlm. 97; bandingkan dengan William L. Colleir,

op. cit., hlm. 27-32. 68 M. Idwar Saleh, Bandarmasih, no. 2 (1983), op.cit., hlm. 7; tentang laporan Beeckman

silahkan periksa M. Idwar Saleh, Sedjarah Bandjarmasin, op. cit., hlm. 48-49, 117-118, dan 125.

Page 38: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Jalan darat pada waktu itu masih tidak begitu baik dan terbatas, sehingga pada

batas daerah tertentu keadaannya tetap serupa dengan sekian abad yang lalu.69

Kehidupan masyarakat di Kalimantan Selatan antara tahun 1950-1970

masih ditandai dengan kesibukan penduduk yang hilir mudik bersama perahu-

perahu mereka dalam berbagai bentuk dan ukuran, yang sudah menggunakan

mesin atau masih dikayuh; perahu-perahu penjaja sayuran, buah-buahan kapur-

sirih, dan ikan; ada juga rombong (perahu penjual makanan dan minuman

beserta kue-kuenya); perahu-perahu nelayan pencari ikan darat dan laut; serta

sekali waktu Nampak rakit bambu dan kayu berusaha menghilir mengikuti arus

air yang sedang menyurut, semuanya kesibukan sehari-hari di perairan dengan

sarana-sarana transportasinya.

Keadaan di perairan pantai memang tak seramai di perairan sungai,

danau dan terusan yang lebih terpusat. Kesibukan di perairan pantai terlihat dari

perahu-perahu nelayan, ada perahu-perahu yang membawa ikan laut segar

melewati muara menuju ke desa-pedalaman untuk dipasarkan, sebaliknya dari

desa pedalaman pedagang kelontong misalnya dengan perahu mereka mencapai

desa-pantai. Pada tahun 1970 daerah perairan pantai Kalimantan Selatan

disibukkan oleh sekitar 3.355 buah perahu nelayan yang kebanyakannya

digerakkan dengan layat, dan sekitar 150 buah perahu bermotor.70 Pendek kata

perairan pantai, sungai, danau, dan terusan merupakan satu kesatuan jalur untuk

kegiatan lalu lintas transportasi perairan oleh masyarakat.

BAB III

UNSUR-UNSUR POKOK YANG BERKAITAN LANGSUNG

DENGAN HAL TRANSPORTASI PERAIRAN

69 Wawancara dengan M. Idwar Saleh, tanggal 31 Agustus 1983. 70 Buku Petunjuk territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971), op. cit., hlm. 182.

Page 39: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

A. Tata Lingkungan Perairan Sebagai Jaringan Lalu Lintas Transportasi

Tata lingkungan perairan di Kalimantan Selatan sangat memungkinkan

perannya sebagai jaringan lalu lintas transportasi masyarakat di daerah.

Melalui jalur-jalur perairan kesulitan komunikasi dan transportasi masyarakat

maupun bagi pemerintah dapat teratasi. Pemerintah setempat menganggap

bahwa jalur-jalur perairan yang ada mampu memecahkan segala masalah

pengangkutan masyarakat di daerah Kalimantan Selatan semenjak tahun 1950

sampai 1970-an.71

Sungai Barito merupakan sungai terpanjang dan terluas, dan tempat

bermuaranya beberapa sungai utama di Kalimantan Selatan. Sungai-sungai

yang bermuara pada sungai Barito itu ialah sungai Martapura, Tabalong,

Batang Alai, Balangan, Amandit, dan Tapin. Sungai-sungai ini merupakan

jaringan prasarana perhubungan dan pengangkutan yang sangat penting karena

masing-masing melalui ibukota-ibukota kabupaten yang ada di Kalimantan

Selatan. Kota-kota seperti Martapura dilalui oleh sungai Martapura; Rantau

dilalui oleh sungai Tapin; Kandangan dilalui oleh sungai Amandit; Barabai

dilalui oleh Batang Alai; Amuntai dilalui oleh sungai Tabalong, Balangan dan

Negara; Tanjung dilalui oleh sungai Tabalong.72

Hulu sungai Barito terletak di pegunungan Schwaner, membujur dari

daerah Kalimantan Tengah di utara hingga bermuara ke laut Jawa sepanjang

kira-kira 1.000 kilometer dengan luas permukaan (lebar) rata-rata 800 meter.

Bagian terpanjang dari sungai ini terletak di daerah Kalimantan Tengah,

sebagian lagi sisanya di Kalimantan Selatan. Muara sungainya seluas hamper

dua kilometer dengan beberapa pulau kecil terdapat didalamnya merupakan

bagian dari wilayah Kalimantan Selatan. Kondisi dan keadaan sungai ini

menyebabkan pengaruh pasang surut air laut tetap terasa kuat jauh sampai

71 Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (Banjarmasin: Ass-Terr Laksus

Kopkamtib Daerah Kalimantan Selatan, (1971), hlm. 321 : Tjilik Riwut, Kalimantan Memanggil

(Djakarta : Endang, 1958), hlm. 159-162: Amir Fadjar, 1953), hlm. 195. 72 Fudiat Suryadikara, et al., Geografi Dialek Bahasa Banjar Hulu (Jakarta : Pusat pembinaan

dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981), hlm. 7.

Page 40: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

didaerah-daerah pedalaman kabupaten Tabalong. Kabupaten ini di Kalimantan

Selatan terletak di daerah bagian utara, berjarak antara 300-400 kilometer dari

ibukota Banjarmasin atau muara Barito. Mengenai daerah sungai Barito ini

periksa pada lampiran A2-A3.

Pengaruh sungai Barito sangat besar terhadap tata lingkungan perairan

lainnya, mulai dari Banjarmasin di selatan hingga daerah Tabalong diutara.

Pengaruh itu berupa kemampuannya memberi keseimbangan terhadap gerak

arus pasang surut pada perairan sungai lainnya, terusan serta danau, dengan

demikian arus air pada tiap perairan yang ada itu tetap terjaga kestabilannya.

Daerah-daerah seperti ini yang kemudian menjadi pusat-pusat permukiman

utama bagi daerah Kalimantan Selatan, dan dibagian lain dilanjutkan dengan

pusat-pusat permukiman didaerah sepanjang pantai.73

Dari Banjarmasin memutar ke kanan melalui sungai Barito sampai di

Marabahan ibukta Barito Kuala, ke kanan lagi bertemu dan menyusuri sungai

Negara, kemudian melewati daerah-daerah kabupaten Tapin, Hulu Sungai

Selatan, Hulu Sungai Tengah, dan Hulu Sungai Utara, selanjutnya berbelok ke

kiri memasuki sungai Tabalong hingga akhirnya sampai di Tanjung ibukota

kabupaten Tabalong. Kebalikan dari tute ini bermula dari Banjarmasin

memutar ke kiri melalui Aluh-aluh daerah kabupaten Banjar, ke muara sungai

Barito (muara Mantuil), segera perairan berganti melalui dan menyusuri pantai

melewati tanjung Selatan di kabupaten Tanah Laut, berbelok ke kiri arah ke

timur sampai di Pegatan dan Batu Licin, dari sini kemudian menyeberang

sampai di Tanjung Seloka-pulau Laut, kemudian berakhir di pulau Sabuku,

kabupaten Pulau Laut.74 Semuanya ini merupakan jaringan lalu lintas

transportasi perairan daratan, melalui pusat-pusat permukiman

menghubungkan semua daerah kabupaten di Kalimantan Selatan, membujur

dari utara hingga ke selatan dan berakhir dibagian timur. Dari daerah-daerah

73 Periksa Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971), op cit, hlm.

181-183. 74 Ibid., hlm. 183.

Page 41: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

aliran sungai, danau, dan terusan dipedalaman hingga perairan pantai dan selat-

selat kepulauan di kabupaten Pulau Laut, adalah jaringan lalu lintas transprtasi

perairan itu. Gambaran untuk lebih memperjelas lagi periksa pada peta perairan

Kalimantan Selatan dan lampiran Al-A4.

Mengambil keseluruhan jalur tersebut tadi dengan menggunakan perahu

motor (semacam bis air sekarang ini) misalnya, tidaklah cukup waktu satu atau

dua minggu untuk menempuh jarak ribuan kilometer itu. Kalau memperhatikan

dari lapran hasil perjalanan sepanjang sungai Barito tahun 1947, serta laporan

perjalanan dari Banjarmasin ke Pagatan dan Batu Licin selama bulan

Nopember 1846,75 nampaknya tidak jauh berbeda dengan yang tepat ditempuh

melalui jalur perairan daratan Kalimantan Selatan sampai tahun 1950-an.

Pada uraian terdahulu disebutkan bahwa perairan di Kalimantan Selatan

sangat besar artinya bagi kehidupan penduduk terutama di bidang komunikasi,

khususnya transportasi. Sungai-sungai utama seperti Barito, Negara,

Martapura, dan Tabalong, kemudian anjir Serapat, Talaran, dan Tamban, serta

perairan pantai dari muara Mantuil sampai selat Laut di kabupaten Pulau Laut,

sejak 1950-1970-an masih terasa penting perannya sebagai jalur lalu lintas

pengangkutan penumpang dan barang. Melalui data pada tabel 5 dapat

diketahui adanya hubungan antara Banjarmasin dengan beberapa daerah

melalui jalur-jalur perairan dan tentang besarnya biaya sekali pengangkutan

untuk penumpang dan barang pada waktu itu.

Tabel 5 Tarif Angkutan Barang dan Penumpang dari Banjarmasin

ke Daerah, 1970

75 Arsip Nasional, Borneo Zuid en Oostkust, tentang Laporan Mengenai Hasil Perjalanan Sepanjang

Sungai Barito 1847, bundel no. 122 ; dan laporan Perjalanan Dari Banjarmasin ke Pagatan 1846,

bundel no. 127.

Page 42: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

No. Trayek Ke

Ongkos

Barang Per

Pikul

Ongkos

Penumpang Per

Orang

Keterangan

1 Negara Rp. 75.00 Rp. 100,00 Angkutan

menggunakan

kapal motor

berukuran 1-10

ton.

2 Amuntai Rp. 200,00 Rp. 300,00

3 Tanjung Rp. 300,00 Rp. 400,00

4 Marabahan Rp. 50,00 Rp. 100,00

5 Bati-Bati Rp. 100,00 Rp. 200,00

6 Aluh-Aluh Rp. 75,00 Rp. 100,00

7 Palingkau Rp. 200,00 Rp. 200,00

Sumber; Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan

(Banjarmasin: Ass-Terr Laksus Kopkamtib Daerah Kalimantan Selatan, 1971),

hlm. 322.

Ditinjau dari segi perdagangan di sekitar tahun 1960-an perairan di

Kalimantan Selatan merupakan jalur pengangkutan penumpang dan barang ke

pusat-pusat perdagangan seperti ibukota-ibukota kabupaten, dan Banjarmasin.

Begitupun sebaliknya, perairan itu juga merupakan jalur pengedaran barang-

barang import misalnya dari Banjarmasin, atau dari Bandar-bandar pantai

seperti Kota Baru, Pegatan dan Batu Licin ke daerah pedalaman.

Hasil-hasil hutan, pertanian, perkebunan, dan perikanan, serta barang

kerajinan selalu diangkut melalui jalur perairan daratan, dengan berbagai jenis

dan ukuran sarana angkutan, dari daerah pedalaman ke pusat-pusat keramaian

atau kota Banjarmasin khususnya untuk dipasarkan keluar daerah dan

memenuhi konsumen umumnya. Sarana-sarana angkutan perairan berukuran

antara 10-50 ton, atau lebih besar lagi yang berdaya angkut sampai 200 ton,

dapat mengikuti arus pelayanan didaerah-daerah perairan. Menghilir atau

memudikinya, dan menyusuri pantai atau menyeberangi selat pada dasarnya

dapat dilaksanakan dengan lancar didaerah perairan Kalimantan Selatan.76

76 Laporan Tahunan Inspeksi LLASDP 1975 (Banjarmasin : Kantor Inspeksi II LLASDP Propinsi

Kalimantan Selatan, 1975), hlm. 327-331 ; periksa juga, The Ports Of Makassar, Bandjarmasin And

Page 43: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Hasil-hasil bumi merupakan barang dagangan pokok dari daerah

pedalaman, di samping barang kerajinan tangan (home industry) seperti tikar

purun dan rotan, kajang, serta macam-macam peralatan rumah tangga dari

bahan bakaran tanah maupun logam, yang diangkut dengan sarana-sarana

transportasi perairan masyarakat. Hasil-hasil dari daerah pedalaman ini

terutama diangkut ke Banjarmasin dengan menempuh perjalanan bervariasi

lama waktu tempuhnya. Sebagai gambaran mengenai hasil-hasil daerah

pedalaman yang diangkut ke Banjarmasin melalui jalur perairan selama empat

tahun (1963-1966) dan tahun 1968-1969 sebagaimana terlihat pada tabel 6 dan

7.

Tabel 6

Banjarmasin – Tentang Barang-barang Perdagangan, 1963-1966

Jenis Barang Jumlah Barang dalam Tahun (ton)

1963 1964 1965 1966

Kayu 4.040 1.400 39.070 5.970

Rotan 46.330 179.870 160.000 28.270

Lain-lain (terutama karet) 525.030 273.730 260.000 475.670

Jumlah 576.400 455.000 459.070 509.910

Sumber: The Ports of Makassar, Bandjarmasin and Palembang Republic of

Indonesia (Report by The Port Survey Team Of The United Nations Economic

Commission For Asia And The Far East, 1968), hlm. 36.

Tabel 7

Banjarmasin – Tentang Barang-barang Perdagangan, 1963-1966

No. Jenis Barang Jumlah Barang dalam Tahun

1968 1969

1. Karet 46.546 ton 57.254 ton

2. Kopra 291 ton -

3. Lada Hitam 18 ton -

4. Rotan 4.038 ton 4.417 ton

5. Damar 30 ton 20 ton

6. Tikar Rotan 1.455 kodi -

7. Kulit Reptil 23.405 lembar 26.466 lembar

8. Tikar Purun 10.405 lembar -

Palembang Republik Of Indonesia, (Report by The Port Survey Team Of The United Nations

Economic Commission For Asia And The Far East, 1968), hlm. 34-38.

Page 44: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

9. Kayu Hutan 4.436 m3 29.281 m3

Sumber: Seperti Tabel 5, hlm. 99-100

Hasil-hasil daerah pedalaman seperti di atas pada dasarnya merupakan

komoditi eksport, yang setibanya di Banjarmasin segera disalurkan ke luar

daerah, terutama ke Jawa melalui pelabuhan Banjarmasin di sungai Martapura

dan Trisakti di sungai Barito dengan menggunakan sarana-sarana transportasi

laut.77

Serupa dengan soal pengangkutan hasil bumi, bidang perikanan juga

Nampak hubungannya dengan soal transportasi perairan daratan. Dari daerah

kabupaten Banjar hasil perkanan darat berupa ikan basah dan ikan kering

(asin), diangkut ke Banjarmasin melalui sungai Martapura dari Karang Intan,

Astambul, Sungai Tuan, Sungai Batang, dan Sungai Tabuk. Sedangkan dari

Alalak Padang, Jajangkit, dan Aluh-aluh diangkut melalui muara Barito berupa

ikan darat dan ikan laut. Areal perikanan yang digarap oleh penduduk Banjar,

meliputi perairan seluas 94,26 kilometer persegi, dengan hasil rata-rata 5.000-

10.000 ton per tahun.78

Dari daerah kabupaten Pulau Laut terutama yang dihasilkan adalah ikan

laut. Kabupaten ini merupakan daerah penghasil ikan laut terbesar bagi daerah

Kalimantan Selatan, yaitu rata-rata 25.00 ton per tahun, dan menghasilkan

udang ekspor antara 700-800 ton per tahun. Hasil ikan laut di daerah ini

diangkut ke Pagatan, Batu Licin, dan Kota Baru untuk kemudian di teruskan

ke Banjarmasin melalui Selat Laut dan perairan pantai dengan menggunakan

kapal dan perahu layar.79

Tabel 8 Produksi Ikan Basah, 1966-1969

No. Jenis Perairan Luas Areal

(km2)

Hasil Produksi (ton)

1966 1967 1968 1969

77 Ibid., hlm. 34, 35-38, dan 40 ; Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971),

op cit., hlm. 326-328. 78 Monografi Kabupaten Daerah Tingkat II Banjar (Martapura : Bappeda Kabupaten Dati II Banjar

1982), hlm. 24 79 “Produksi Ikan Kabupaten Pulau Laut Untuk Tahun 1983 Akan Mengalami Kemerosotan”, harian

Banjarmasin Post, 14 Juli 1983.

Page 45: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

1 Rawa 5.560 29.500 23.846 28.448 22.195

2 Danau 1.950 22.000 27.423 24.979 27.420

3 Sungai 2.600 14.500 20.938 13.950 21.470

4 Pantai 5.500 5.000 4.178 3.854 3.960

5 Genangan 2.000 10.271 7.059 5.885 4.955

Jumlah 17.610 81.271 81.441 77.086 80.000

Sumber; Seperti Tabel 5, hlm. 178.

Tabel 9 Produksi Ikan Kering-Asin, 1956-1967

No. Tahun Jumlah dalam kilogram Keterangan

1 1965 1.006.344 Hanya jumlah hasil produksi

yang diantar pulaukan 2 1966 3.459.449

3 1967 3.811.787

Sumber; Seperti Tabel 5, hlm 180

Kesibukan lalu lintas transportasi perairan di daerah Kalimantan Selatan

yang paling menonjol adalah Banjarmasin, baik kesibukan didalam kta,

maupun kesibukan antar Banjarmasin dengan daerah lainnya. Kesibukan lalu

lintas transportasi perairan antar Banjarmasin dengan daerah pedalaman dapat

diketahui dari rata-rata jumlah barang yang diangkut per bulan melalui jalur

sungai Barito dan anjir Tamban sampai tahun 1970. Daftar pengangkutan

barang rata-rata per bulan melalui ke dua jalur itu dapat dilihat melalui tabel 10

dan 11 sebagaimana berikut.

Tabel 10 Pengangkutan Barang Melalui Sungai Barito, 1970

Banjarmasin ke Pedalaman Pedalaman ke Banjarmasin

Materi Jumlah dalam

ton/bulan Materi/hasil

Jumlah dalam

ton/bulan

Sandang Pangan 2.655 Hutan 7.780

Bahan Bakar 1.024 Perkebunan 3.890

Bangunan 1.324 Pertanian 3.890

Kelontong 265

Sumber; Seperti Tabel 5, hlm 321

Tabel 11 Pengangkutan Barang Melalui Anjir Tamban, 1970

Banjarmasin ke daerah Tamban Daerah Tamban ke Banjarmasin

Materi Jumlah dalam

ton/bulan Materi/hasil

Jumlah dalam

ton/bulan

Sandang Pangan 2.500 Hutan 900

Page 46: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Bahan Bakar 90 Perkebunan 1.350

Bangunan 300 Pertanian 4.500

Kelontong 450 Perikanan 2.250

Sumber; Seperti Tabel 5, hlm 321-322

Selain kesibukan lalu lintas pengangkutan barang di jalur sungai Barito

dan Anjir Tamban, dapat pula diketahui kepadatan lalu lintas jumlah sarana

transportasi, penumpang dan barang rata-rata perbulan melalui jalur sungai

Martapura dan anjir Serapat pada tahun 1970. Jumlah kepadatan lalu lintas

pada kedua jalur tersebut tercatat sarana transportasi sebanyak 3.358 buah per

bulan, penumpang yang diangkut sebanyak 20.651 orang per bulan, serta

barang yang diangkut sebanyak 5.490 ton dan 3.206 meter kubik perbulan.80

B. Sarana Transportasi Perairan

1. Tentang Jenis, Bentuk, dan Fungsi Sarana Transportasi Perairan

Di daerah Kalimantan Selatan terdapat bermacam-macam sarana

transportasi perairan yang dipergunakan oleh masyarakat untuk keperluan

sehari-hari. Menurut J.J. Ras, jenis perahu lambu yang terkenal dari daerah ini

adalah sering digunakan oleh masyarakat Kalimantan Selatan untuk

mengarungi lautan. Perahu pilang dan gurap, disamping galiung, galiut,

pergata, gali, pilau dan kapal merupakan jenis-jenis sarana angkutan perairan

yang terdapat pula di perairan Kalimantan Selatan.81 Bermacam jenis dan

istilah yang ada ini merupakan sarana-sarana transportasi perairan yang banyak

digunakan disekitar abad ke 17, perahu-perahu tersebut sudah tidak dikenal

lagi oleh masyarakat di Kalimantan Selatan sejak kemerdekaan, atau awal ke

20, sebab tidak ada lagi berita menyebutkan jenis-jenis perahu tadi, begitupun

didalam realitanya sekarang ini.82

80 Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971), op cit., hlm. 323-324 81 J.J. Ras, Hikajat Bandjar, A. Study in Malay Historiography (Den Haag : The Hague, Martinus

Nijhoff, 1968) hlm. 228, 252, dan 292 ; Sarton Kartodirdjo, et al. (ed.), Sejarah Nasional, jilid III

(Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), hlm. 23. 82 Bandingkan dengan Amir Hasan Kiai Bondan, op cit., hlm. 100.

Page 47: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Pada masa itu atau sekitar tahun 1940 an, jenis perahu yang masih dikenal

adalah pangkuh, bagawis, pancalang, perahan, dan tambangan. Menurut

catatan Amir Hasan Kiai Bondan, pada tahun 1940 harga sebuah tambangan

sekitar 150 gulden dan perahu parahan ukuran sedang 250 gulden, sedangkan

yang lebih besar lagi seharga 500 gulden per buah.83 Berita lebih muda lagi

adalah dari Tjilik Riwut sekitar tahun 1950-1960 an, menyebutkan beberapa

jenis sarana transportasi di daerah Kalimantan Selatan yaitu, rangkan, patai,

gondola, penes, sudur, dan tambangan. Disebutkan pula bahwa pada masa

perkembangannya kemudian perahu-perahu masyarakat didaerah ini

dimodifikasi karena mulai adanya pemasangan mesin (motor) untuk

menjalankan perahu.84 Diantara perahu-perahu ini yang kemudian dikenal oleh

masyarakat dengan sebutan stempel, kapal, speed, dan klotok.

Melihat bentuk, ukuran, dan fungsinya maka jenis sarana pengangkutan

perairan yang lajim disebut jukung oleh masyarakat di daerah Kalimantan

Selatan adalah yang paling banyak macamnya. Beberapa macam jukung yang

terpenting adalah tambangan, merupakan perahu yang oleh pemiliknya

digunakan untuk mencari nafkah kehidupan dengan memberi jasa angkutan

bagi penumpang. Cara kerjanya serupa mobil taxi atau penarik beca.

Tambangan merupakan sarana transportasi dalam kota atau antar kampung

khusus untuk penumpang.85

Sebuah tambangan yang dioperasikan biasanya dijalankan (dikayuh) oleh

dua orang, seorang diburitan merangkap kemudian seorang lainnya di haluan.

Jukung yang digunakan untuk tambangan mempunyai ukuran rata-rata panjang

4 meter, lebar dan tinggi badan hamper satu meter, berkapasitas sekitar 8 orang

penumpang. Agar penumpang tidak kepanasan dan kehujanan dibuatkan atas

sepanjang yang merupakan tempat para penumpang atau jukung. Badan

tambangan umumnya terbuat dari kayu ulin beratap kajang, sedangkan

83 Ibid. 84 Tjilik Riwut, Kalimantan Memanggil (1958), op cit., hlm. 159-160.

85 Lihat juga Artum Artha, Beberapa Masalah Kebudayaan Banjar (Surabaya: PT Bina Ilmu,

1974), hlm. 107.

Page 48: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

lantainya terbuat dari susunan bilah bambau atau papan yang kemudian dilapisi

dengan tikar purun. Contoh dari sedikit tambangan yang masih bisa terlihat

saat ini periksa pada lampiran B2.

Selain tambangan, menurut catatan Tjilik Riwut di sekitar tahun 1950 an,

masyarakat menggunakan jenis jukung yang disebut gondol untuk keperluan

berdagang. Bentuk dan ukuran gondol serupa tambangan, tetapi lebih besar,

beratap dan berkamar yang diisi dengan berbagai barang dagangan, terutama

barang kelontong. Pemilik gondola ketika itu termasuk golongan pedagang

menengah di kalangan masyarakat.86 Pedagang kecil yang biasa disebut

penjaja, cukup menggunakan jukung seukuran tambangan, tanpa atap

pelindung atau hanya sedikit di bagian buritan. Mengenai jukung penjaja ini

periksa misalnya pada lampiran B3, C3, dan C7.

Rangkan, salah satu jenis jukung yang digunakan di daerah riam, pehuluan

sungai. Bentuk dan ukurannya sebagai sarana pengangkutan perairan paling

sederhana, ramping, dan kecil dibandingkan dengan rata-rata jenis jukung

lainnya. Rangkan dijalankan dengan menggunakan galah, berkapasitas muatan

sekitar empat orang. Jenis ini biasa digunakan untuk berburu, mencari emas,

mencari hasil hutan seperti rotan, getah jelatung, dammar dan sebagainya.87

Hampir serupa rangkan adalah sudur, ukuran panjangnya sekitar tiga meter,

dijalankan dengan menggunakan pengayuh. Sudur merupakan sarana

transportasi yang digunakan oleh masyarakat untuk didaerah rawa (danau),

mencari ikan, urusan tani, dan berkebun.

Jenis jukung yang mempunyai tujuan serupa tambangan sebagai sarana

jasa angkutan adalah getek. Ukuran getek tidak sepanjang tambangan, agak

tambun, berfungsi mengantarkan penumpang untuk menyeberangi sungai.

Getek banyak terdapat di daerah sungai-sungai yang cukup lebar, didalam kota

86 Tjilik Riwut, Kalimantan Memanggil (1958), loc.cit. 87 “Bagarit Minajangan Tradisional”, majalah tak berkala Bandarmasih, no. 2 (Banjarbaru:

Museum Negeri Lambung Mengkurat, 1983), hlm. 56; Tjilik Riwut, Kalimantan Memanggil (1958),

loc.cit.

Page 49: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

atau kampung-kampung di luar kota sepanjang tepian sungai. Sekitar 15-20

tahun yang lalu getek masih sangat penting bagi masyarakat untuk menghemat

tenaga dan waktu, daripada harus berjalan kaki atau bersepeda berkeliling

melalui jembatan. Sekitar tahun 1970 ke atas, getek bersama tambangan

mengalami stagnasi sebagai jenis sarana transportasi perairan untuk jasa

angkutan umum akibat semakin meningkatnya pembangunan dan

perkembangan disektor transportasi darat.

Jukung tiung, singkatnya disebut tiung, merupakan jenis sarana

transportasi perairan yang bentuknya serupa jukung biasa, tetapi ukurannya

relative besar. Tiung umumnya mempunyai panjang 10-15 meter, tinggi serta

lebar lambung kira-kira tiga meter, berkapasitas muatan sekitar 20 ton atau 100

meter kubik barang. Tiung berfungsi sebagai sarana transportasi masyarakat

terutama untuk angkutan bahan bangunan (material) seperti tanah, pasir, krikil,

bata, papan, kajang, batu, dan sirap; hasil hutan seperti kayu, rotan, dan karet.

Tiung dijalankan bervariasi antara dengan galah dan pengayuh. Bentuk

badannya yang besar menyebabkan galah yang dipakai sebagai alat penggerak

cukup panjang terbuat dari bamboo sepanjang kira-kira tujuh meter, demikian

pula pengayuh panjangnya sekitar tiga meter yang diikat bagian tengahnya

pada bibir lambung. Dalam keadaan kosong, atau tidak banyak muatan, sebuah

tiung sedikitnya dijalankan oleh tiga orang, dan bila dalam keadaan sarat

muatan dijalankan oleh sekitar lima orang. Contoh jukung tiung ini silahkan

periksa pada lampiran B3.

Sekali waktu dalam keadaan tertentu, misalnya ketika arus air agak kuat,

tampak pemandangan satu sampai dua buah tiung digerakan oleh sebuah kapal

dengan cara menggandengkannya. Terkadang gandengan ini diikuti pula oleh

beberapa buah jukung, membentuk sebuah rangkaian panjang yang bergerak

secara perlahan berusaha memudiki sungai.88 Mengenai sarana-sarana

88 Bandingkan juga tentang kebiasaan masyarakat didaerah Kalimantan Selatan dalam soal

menggandeng-gendengkan perahunya dengan perahu bermotor pada Artum Artha (1974), loc. cit.

; “Berenteng”, harian Banjarmasin Post, 3 Agustus 1983.

Page 50: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

transportasi yang saling menggandeng ini silahkan periksa misalnya pada

lampiran B4, C7 dan C8.

Alat angkutan perairan lainnya yang sering pula terlihat di jalur-jalur

perairan Kalimantan Selatan adalah tongkang. Jenis sarana angkutan ini

mempunyai fungsi serupa tiung, namun ukuran dan kapasitas muatan lebih

besar. Berbeda dari tiung, tongkang seperti juga yang ada di daerah lainnya di

Indonesia, sangat umum hanya dapat dijalankan diatas perairan dengan kapal

sebagai penarik atau penggeraknya.

Umumnya sarana-sarana transportasi perairan tersebut terdahulu

merupakan jenis-jenis yang sudah ada dan digunakan oleh masyarakat sejak

sebelum tahun 1950. Beberapa jenis sarana transportasi perairan di Kalimantan

Selatan yang muncul antara tahun 1950-1970, misalnya klotok. Klotok

diperkirakan mulai muncul pada tahun 1960-an, merupakan jenis sarana

transportasi perairan yang serba guna, karena itu klotok sangat popular bagi

masyarakat di Kalimantan Selatan, menggantikan popularitas tambangan pada

tempo sebelumnya. Jenis ini mempunyai aneka fungsi, sesuai kebutuhan dan

kegiatan yang dikehendaki oleh pemiliknya. Artinya, ada klotok khusus untuk

jasa angkutan penumpang, klotok untuk barang, berdagang, nelayan dan

sebagainya.

Pada awal perkembangannya klotok hamper tidak ada bedanya dengan

bentuk jukung biasa, hanya saja untuk menjalankannya telah menggunakan

motor (diesel) berkekuatan antara 2-10 PK. Jadi kl tok waktu itu hanya

semacam jukung yang ditambah dengan motor untuk menjalankannya.89

Dalam tempo cukup singkat pada perkembangan selanjutnya klotok tidak lagi

dari semacam jukung dengan tambahan papa pada kedua sisi lambungnya dan

menggunakan motor. Hanya dalam beberapa tahun klotok kemudian dibuat

dari sebuah kerangka yang terdiri dari sebatang lunas, linggi, dan beberapa

89 Bandingkan Tjilik Riwut (1958), op.cit., hlm. 162 ; Wawancara dengan A. Kaderi di Barabai,

tanggal 3 September 1983 ; wawancara dengan Imuk di Kandangan, 3 September 2983 ;

Wawancara dengan M. Anang di Banjarmasin, 10 Agustus 1983

Page 51: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

gading, lalu ditutup dengan papan. Klotok pada perkembangan ini sudah

semacam bentuk perahu papan, berbeda dari jukung yang merupakan perahu

lesung.90 Melalui cara ini klotok telah mengalami perubahan (modifikasi) dari

bentuk asal jukung.

Klotok yang masih mempertahankan bentuk lama biasanya digunakan atau

masih terlihat seperti untuk menjajakan minyak tanah, minyak kelapa, beras

dan ikan. Klotok yang digunakan untuk keperluan ini tanpa menggunakan atap,

kecuali sedikit dibagian buritan. Keadaannya masih tidak berubah dan tanpa

badan yang dicat warna warni seperti pada klotok bentuk perahu papan. Jenis

klotok berupa perahu papan yang semakin berkembang menjalang tahun 1970

an ini beratap penuh dan berdinding, dicat dengan aneka warna, dan lajimnya

untuk sarana jasa angkutan penumpang. Gambar-gambar tentang jenis klotok

dapat dilihat misalnya pada lampiran B5, B6, B8 dan C9.

Jenis klotok, terutama yang tersebut terakhir, segera dapat menggantikan

kedudukan jenis sarana transportasi pendahulunya, yaitu yang dinamakan

stempel. Berbeda dari klotok, jenis stempel bentuknya lebih ramping dengan

haluan runcing, dan kedudukan lunasnya membentuk sudut kemiringan sekitar

45 derajat. Stempel menggunakan motor-motor berdaya antara 25-50 PK,

biasanya dari merk Johnson, Yanmar, dan Kubota. Stempel merupakan jenis

sarana transportasi untuk penumpang yang sejak tahun 1950-an sudah dikenal

dan dipergunakan disamping pada jalur perairan sungai, terusan, dan melintasi

danau juga digunakan di daerah perairan pantai terutama di sekitar Pegatan,

Batu Licin dan Kota Baru.

Setiap motor yang digunakan untuk stempel mempunyai stang kemudi,

keadaan ini berbeda dari klotok yang menghubungkan kemudi dengan sebilah

kayu atau bamboo ditempatkan pada sisi sebeleh kanan lambung. Stempel

beratap penuh dan berdinding, dibagian dalam untuk penumpang diberi lantai

dari papan yang tertutup tikar. Sampai tahun 1960-an jenis ini sempat sangat

90 Lihat SArtono Kartiodirdjo, et al., (ed.) , op.cit., hlm. 11.

Page 52: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

dominan untuk urusan pengangkutan penumpang terutama untuk jarak antar

kota,91 Meskipun masih mampu bertahan keadaannya saat ini sudah semakin

terdesak, di samping oleh karena kehadiran klotok. Contoh bentuk stempel

yang masih bisa terlihat sekarang ini periksa pada lampiran B8.

Sebenarnya jenis motor dengan stang seperti pada stempel adalah

dirancang untuk jenis speed boat. Masyarakat di daerah Kalimantan Selatan

rupanya telah menggunakan kesempatan adanya motor-motor semacam itu

untuk tujuan komersial dengan membuat jenis lain yang kemudian dikenal

sebagai stempel. Speed boat merupakan salah satu jenis sarana transportasi

perairan yang oleh masyarakat setempat secara singkat disebut speed. Sejak

tahun 1950 sudah terdapat jenis ini diperairan Kalimantan Selatan, namun

ketika itu speed lebih bersifat rekreatif milik dari orang-orang kaya dan

perusahaan, di samping milik instansi-instansi pemerintah maupun swasta

untuk kepentingan dinas. Speed untuk tujuan komersial justeru baru

berkembang sesudah 1970.

Sebelumnya motor-motor speed yang didatangkan ke Banjarmasin.

Misalnya oleh NV Waspada agen motor-motor sarana transportasi air tahun

1950-an di Banjarmasin digunakan oleh masyarakat setempat untuk stempel.

Baru seteleh motor-motor untuk speed model terabru seperti dari merk

Mencury dan Yamaha didatangkan, masyarakat mulai mengembangkan

pembuatan badan-badan speed. Jika speed diawal perkembangannya dan

stempel menggunakan motor ber stang sehingga dapat dikemudikan cukup

oleh satu orang, maka tidak demikian lagi untuk speed jenis baru dan

komersial. Kemudi yang ada serupa pada kemudi mobil dan berada di bagian

depan, itu sebabnya speed yang telah dikembangkan untuk tujuan komersial

ini minimum mempunyai dua awak. Seorang sebagai motoris berada di

buritan, seorang lagi sebagai pengemudi. Motor-motor yang digunakan

bertenaga lebih besar antara 85-125 PK. Speed bentuknya agak melebar

dengan panjang badan sekitar lima meter, dan lebarnya dua meter, Speed ini

91 Tjilik Riwut (1958), op.cit., hlm. 59

Page 53: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

berkapasitas muatan penumpang sama dengan klotok yaitu maksimum untuk

16 orang, lebih kecil dibandingkan muatan stempel yaitu sekitar 20-25 orang.

Selain jenis-jenis itu sebelumnya masyarakat di Kalimantan Selatan

mengenal pula jenis sarana transportasi perairan menggunakan motor yang

disebut kapal atau kapal banyu. Dilihat dari segi bentuk, ukuran dan motor

yang digunakan pada jenis yang disebut kapal oleh masyarakat setempat adalah

relative lebih besar dibandingkan misalnya dengan klotok dan stempel. Kapal

yang banyak dioperasikan sebagai sarana transportasi perairan daratan oleh

masyarakat, berukuran umumnya panjang badan minimal 20 meter, lebar

sekitar 4 meter, dan tinggi badan (lambung) sekitar 3 meter.

Kapasitas muatan untuk penumpang bisa lebih dari 100 orang, atau

mengangkut barang antara 20-25 ton. Mesin yang biasa digunakan sejak tahun

1950 berupa diesel, berkekuatan antara 85-150 PK dengan merk seperti

Yanmar, Deuzt, dan Carterpillar. Kapal merupakan sarana transportasi antar

kota dan daerah di Kalimantan Selatan serta sampai ke daerah Kalimantan

Tengah. Kegiatan kapal ada yang khusus mengangkut penumpang, barang atau

keduanya, serta nelayan pantai. Contoh jenis kapal silahkan periksa misalnya

pada lampiran B1, C1 dan C3.

Melengkapi masalah kegiatan dan sarana transportasi perairan yang

terdapat di daerah Kalimantan Selatan adalah jenis rakit. Jenis rakit sampai

tahun 1970 masih sering terlihat menyibukan diri dalam arus lalu lintas

diperairan Kalimantan Selatan. Jenis rakit di daerah ini ada dua macam.

Pertama, terbuat dari batang-batang bambu, terutama berasal dari desa-desa

terpencil dihulu sungai. Sebuah rakit berukuran sedang panjang sekitar 15

meter dan lebar 3-4 meter, mampu mengangkut 5-10 pikul barang. Rakit

bambu biasanya untuk membawa barang-barang berupa hasil hutan seperti

rotan dan damar, perkebunan berupa buah-buahan, serta kerajinan tangan dari

bambu, rotan, dan tanah.

Page 54: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Rakit dating dari daerah-daerah hulu sungai dengan tanpa menggunakan

alat penggerak, kecuali sangat bergantung untuk mengikuti arus air menghilir

menuju ke daerah-daerah pusat keramaian seperti Banjarmasin dan ibukota-

ibukota kabupaten. Setibanya ditempat tujuan rakit beserta barang bawaan

semua dijual. Perjalanan sebuah rakit misalnya dari desa Loksado ke

Kandangan ibukota kabupaten Hulu Sungai Selatan yang berjarak sekitar 30

kilometer ditempuh selama dua hari.92 Contoh rakit bambu sangat sederhana

dapat dilihat pada lampiran C1.

Jenis kedua dalah rakit dari kayu gelondongan, berasal dari daerah

pedalaman Hulu Sungai dan Kalimantan Tengah. Rakit kayu pada dasarnya

mengutamakan tujuan menjual kayu gelondongan yang dijadikan rakit itu.

Kayu-kayu yang dijual untuk memenuhi kebutuhan wantilan, industri sarana

transportasi perairan, dan lanting (rumah terapung). Tidak jarang rakit juga

memuat barang-barang untuk kebutuhan pasar seperti yang dilakukan pada

rakit bambu. Rakit kayu tersusun melebar 3-4 batang kayu yang masing-

masing berdiameter minimal satu meter, panjang 5-10 meter. Sebuah rakit bisa

terdiri dari 10 batang kayu.

2. Tentang Industri Sarana Transportasi Perairan yang Tradisional

Sejak tahun 1951 diselenggarakan pekerjaan industry sarana transportasi

secara modern di Indonesia, terutama oleh perusahaan-perusahaan Belanda.

Pada tahun 1957 seluruh perusahaan Belanda dinasionalisir, demikian juga

semua industry sarana transportasi kemudian sepenuhnya dikuasai dan

dikelola oleh bangsa Indonesia sendiri.93 Di Indonesia sejak jaman bahari

sebenarnya sudah terdapat industry sarana transportasi perairan, dan masih

berlangsung hingga sekarang yang kemudian dikenal sebagai pertukangan

perahu rakyat atau industry sarana transportasi perairan tradisional. Jadi sejak

tahun 1950-an itu hingga saat ini di Indonesia terdapat dualism tentang

92 Bandingkan dengan “Tukang Rakit Jual Jasa Jual Sarana,” harian Kompas, 13 Mei 1983. 93Kapal Indonesia (Djakarta : Direktorat Djenderal Produksi dan Djasa Maritim Departemen

Perhubungan, 1969), hlm. 10-12.

Page 55: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

industry sarana transportasi perairan, yaitu yang menyangkut industry sarana

transportasi perairan tradisional dan industry sarana transportasi perairan

modern.94

Sejalan dengan pengertian diatas maka yang dimaksud industry sarana

transprtasi perairan disini adalah usaha-usaha produksi yang diselenggarakan

oleh masyarakat di Kalimantan Selatan, khususnya untuk memenuhi

kebutuhan transportasi perairan. Jadi dalam hubungan ini adalah industry

masyarakat yang menghasilkan berbagai jenis sarana transportasi perairan dan

dikerjakan secara teknologi tradisional.95 Industri sarana transportasi perairan

oleh masyarakat di Kalimantan Selatan ini umumnya bukan merupakan suatu

perusahaan yang berbentuk badan hukum. Biasanya hanya bentuk usaha yang

terdiri atas kelompok-kelompok kepala tukang yang memproduksi sarana-

sarana transportasi perairan, disuatu tempat seperti ditepi-tepi dan muara-

muara sungai.96 Industri rakyat ini pada hakekatnya bergerak di bidang

pembuatan badan-badan sarana transportasi perairan secara tradisional, turun

temurun kurang pada perubahan. Sampai tahun 1970, berbagai jenis sarana

transportasi perairan masih dibuat dari kayu sebagai bahan utamanya serta

ukuran kapasitas muata umumnya relative kecil dibandingkan sarana-sarana

transportasi laut (antar-pula).

Pada tahun 1969 di Kalimantan Selatan terdapat sekitar 200 buah usaha

penggergajian kayu ulin dan ratusan lagi usaha penggergajian beraneka jenis

kayu.97 Meskipun wantilan, sebutan masyarakat setempat untuk usaha

penggergajian kayu, sebagian besar hasilnya untuk memenuhi kebutuhan

material bangunan seperti gedung-gedung dan rumah-rumah, namun sebagian

lagi dapat dipastikan untuk memenuhi kebutuhan pembuatan sarana-sarana

94 Ibid., hlm. 11 95 Bandingkan H.W. Dick, “Prahu Shipping In Eastern Indonesia”, part I, Bulletin of

Indonesia Economic Studies, no. 2 (1975), hlm. 86 Tentang industry sarana transportasi perairan

disini belum dapat menggambarkannya secara kuantitatif, akibat sampai sejauh ini belum berhasil

mendapatkan data yang memungkinkan untuk itu. 96 Bandingkan dengan Kapal Indonesia (1969), op cit., hlm. 13 dan 153. 97 Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971), op.cit, hlm. 196.

Page 56: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

transportasi perairan. Sebabnya ialah sebagian besar jenis sarana transportasi

perairan, kecuali jukung dibuat oleh masyarakat (pengusaha) dalam bentuk

perahu papan. Usaha-usaha pembuatan perahu papan biasanya sukup

menerima bahan yang sudah berujud papan dari usaha-usaha wantilan. Dalam

hubungan ini karena tidak sembarang papan yang digunakan untuk

pembuatan sarana-sarana transportasi perairan maka tentunya jenis kayu

menjadi patokan. Singkatnya ratusan usaha wantilan yang ada didaerah ini

merupakan penunjang bagi industry sarana-sarana transportasi perairan

masyarakat.98

Melalui data yang bisa diketahui, sampai tahun 1969 di Kalimantan Selatan

terdapat 9 buah usaha (industry) rakyat yang memproduksi sarana-sarana

transportasi perairan berupa kapal. Seluruhnya berkapasitas rata-rata per

tahun yang bisa dihasilkan 32 buah kapal. Tidak tercatat disini berapa jumlah

usaha pembuatan jenis seperti jukung, tiung, klotok, stempel, atau speed. Pada

tahun yang sama hanya diketahui di Kalimantan Selatan terdapat 9 buah usaha

perbengkelan sarana transportasi perairan daratan untuk jenis kapal dan

tongkang.99

Industri rakyat yang bergerak di bidang produksi sarana transportasi

perairan di Kalimantan Selatan pada dasarnya tidak lepas dari adanya ikatan

kekerabatan seperti klan. Sebagai satu kesatuan kelompok biasanya

memegang dalam suatu pertukangan serta pemasaran hasil produksinya.100

Sebagaimana usaha-usaha pencari intan dan pengolahan batu-batu permata

merupakan usaha-usaha kelompok keluarga yang kemudian berkembang pada

suatu masyarakat dari daerah Martapura. Usaha-usaha pengolahan kulit dan

98 Lihat juga H.W. Dick, Bulletin Of Indonesia Economic Studies, no. 2 (1975), op.cit., hlm.

39 99 Mengenai data ini periksa Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan

(1971), op.cit., hlm. 198. Dalam jangka waktu sekitar 10 tahun kemudian terdapat kapal pada

tahun 1979. Data ini silahkan periksa Pekan Kontak Tani Nelayan IV di Barabai (Martapura : Kantor

Departemen Penerangan Kabupaten Banjar, 1978), hlm. 58. 100 Bandingkan Sartono Kartodirdj, (ed.), Masyarakat Kuno dan Kelompok-kelompok Sosial

(Jakarta : Bharatara Karya Aksara, 1977), hlm.2.

Page 57: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

pertukangan sepatu yang dikuasai oleh keluarga-keluarga masyarakat dari

daerah Amuntai, maka begitu pula dengan usaha pembuatan sarana-sarana

transportasi perairan daratan di daerah Kalimantan Selatan.

Beberapa penulis tentang daerah Kalimantan Selatan seperti Amir Hasan

Kiai Bondan, Idwar Saleh, Tjilik Riwut, dan Artum Artha selalu menyebutkan

tentang kelompok-kelompok keluarga berasal dari masyarakat daerah Negara

adalah yang ahli dan menguasai usaha-usaha pembuatan sarana-sarana

transportasi perairan di daerah Kalimantan Selatan. Sebuah usaha pembuatan

sarana-sarana transposrtasi perairan biasanya milik suatu keluarga atau

seorang kepala tukang bekerja sama dengan beberapa tukang lainnya berasal

dari kaum kerabatnya sendiri. Mereka yang bekerja sama dalam suatu usaha

ini kebiasaannya relative sebagai ahli pertukangan yang mampu membuat

sarana transportasi perairan.101 Keahlian pertukangan di bidang ini selalu

diwariskan turun temurun, oleh karena itu hanya dimiliki dan dikuasai oleh

keluarga-keluarga tertentu saja, bahkan berkembang dalam suatu masyarakat

dan daerah tertentu. Diantara daerah dan masyarakatnya terkenal dalam usaha

industry sarana transportasi perairan adalah Negara, Kuwin, Maragasai,

Basirih, dan Alalak. Kecuali Alalak, usaha-usaha pada daerah-daerah tersebut

terdahulu kebanyakan berasal dari keluarga-keluarga masyarakat Negara.

Keluarga-keluarga pada masyarakat di Kuwin dan Besirih kebanyakan

yang diproduksi adalah jenis badan-badan speed menjelang tahun 1970-an.

Beberapa waktu sebelumnya di Kuwin terdapat keluarga-keluarga yang

bergerak memproduksi bangunan-bangunan kapal, bahkan untuk kapal laut.

Sebaliknya di Besirih di sekitar tahun 1970-an itu tumbuh industry rakyat

yang membuat kapal, hal ini lebih dimungkinkan oleh keadaan lokasinya yang

terbuka antara pertemuan sungai Martapura dan muara Barito, sedangkan di

Kuwin populasi semakin padat, serta tidak lagi merupakan daerah pinggiran

101 LIhat dan bandingkan dengan H.W. Dick, Bulletin Of Indonesia Economic Studies, no. 2

(1975), op. cit., hlm. 86 ; Kapal Indonesia (1969), op.cit., hlm. 153.

Page 58: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

kota Banjarmasin seperti pada waktu-waktu sebelumnya. Selain itu di Besirih

juga terdapat usaha yang memproduksi jenis tongkang, dan stempel.

Daerah tang banyak memproduksi sarana-sarana transportasi perairan yang

tradisional adalah Negara dan Margasari. Kedua daerah ini merupakan

produsen utama yang menghasilkan berbagai jenis jukung, untuk kawasan

Kalimantan Selatan, di samping jenis klotok. Daerah lain yang terdapat

keluarga-keluarga pembuat jukung adalah Alalak, terutama dalam usaha

memproduksi jenis tiung daerah ini sebagai penghasil utama. Pembuatan jenis

jukung untuk nelayan terdapat pula usaha-usaha pembuatannya di daerah

Jorong, Tabanio, Pegatan dan Batu Licin, terutama dibuat dari bahan kayu

ulin. Kebanyakan hasil sarana transportasi perairan yang dibuat dari daerah

dipasarkan ke Banjarmasin dan Marabahan, sebagian lagi untuk daerah-

daerah ibukota kabupaten.

Melihat sarana-sarana transportasi perairan yang dihasilkan oleh industry

rakyat di Kalimantan Selatan maka dapat dibedakan: 1) Industri yang

menghasilkan bentuk-bentuk berupa perahu lesung, dan 2) industry yang

menghasilkan bentuk-bentuk perahu papan.102 Yang pertama menghasilkan

sarana-sarana transportasi perairan terbuat dari sekatang kayu yang dikeruk

bagian dalamnya seperti lesung dalam bentuk memanjang. Industry rakyat

yang membuat adalah yang menghasilkan berbagai jenis jukung, merupakan

industry yang semata-mata bersandar pada modal sumber daya alam berupa

hutan, serta tenaga. Usaha pembuatan jukung oleh masyarakat di Kalimantan

Selatan tersebar di berbagai tempat di kabupaten-kabupaten.

Pembuatan berupa perahu papan berasal dari sebuah kerangka yang terdiri

dari lunas, linggi, dan gading-gading yang kemudian ditutup dengan papan.103

Industri rakyat yang menghasilkan perahu papan mempunyai berbagai variasi

102 Lihat dan bandingkan Sartono Kartodirdjo, et al., (ed.), Sejarah Nasional, jilid III (1975),

op, cit., hlm. 23; Tjilik Riwut (1958), op.cit., hlm. 159. 103 Periksa juga Asetya Jaka Munantha, “Membuat Sampan Kayu,” majalah Mutiara, no. 334,

Nopember-Desember 1984

Page 59: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

berupa kapal, klotok, stempel, dan speed. Usaha pengolahan sarana-sarana

transportasi perairan untuk membuat ukuran dengan kapasitas muatan yang

lebih besar tidaklah terbatas, seperti pada perahu lesung. Kerangka perahu

papan biasanya dibuat dari sebatang lunas kayu yang kemudian dihubungkan

dengan sebatang linggi haluan berkedudukan mencuat ke atas membentuk

sudut antara 45-60 derajat, demikian pula untuk linggi buritan, yang demikian

ini umumnya untuk membuat tiung. Sedangkan untuk membuat jenis kapal,

klotok, stempel maupun speed, dibagian buritan biasanya dihubungkan

dengan dua buah linggi, atau hanya berupa kelanjutan dari gading-gading

bagian terakhir yang ditutup dengan papan.

Baik perahu lesung maupun perahu papan yang diproduksi oleh industry-

industri masyarakat daerah Kalimantan Selatan, dikerjakan secara tradisional,

artinya dibuat pada dasarnya tanpa ukuran dan gambar-gambar rencana yang

pasti.104 Hasil-hasilnya telah dikerjakan secara sangat sederhana dengan

menggunakan peralatan yang sederhana pula, tidak ada perubahan dari yang

digunakan sejak sebelum tahun 1950, yaitu berupa palu, pahat, gergaji,

cangkul kayu, bor tangan, dan ketam. Perubahan peralatan inipun kebanyak

merupakan hasil produksi dari masyarakat di daerah Negara.105 Meskipun

nampaknya dikerjakan secara naluriah, namun hasilnya sebagai sarana

transportasi untuk daerah perairan di Kalimantan Selatan terbukti sangat

bermanfaat bagi masyarakat. Sarana-sarana transportasi yang dihasilkan

mampu dioperasikan dan untuk mengangkut barang, penumpang, dan

berbagai kegiatan lainnya.

Kecuali tiung, bentuk perahu papan lainnya antara tahun 1950-1970,

merupakan sarana transportasi perairan dengan menggunakan motor sebagai

tenaga penggeraknya. Pemasangan motor pada sarana-sarana transportasi

yang dihasilkan oleh masyarakat itu bukan halangan dan hal yang sukar,

104 Bandingkan dengan Kapal Indonesia (1969), op.cit., hlm. 10-12 dan 153; H.W. Dick,

Bulletin Of Indonesia Economic Studies, no. 2 (1975), loc.cit. 105 Amir Hasan Kiai Bondan (1953), op. cit., hlm. 99-105; Tjilik Riwut (1958), op. cit., hlm. 60

Page 60: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

meskipun pembuatannya berteknologi tradisional. Kenyataan ini terbukti

dengan telah banyaknya sarana-sarana transportasi perairan yang telah dibuat

dan dioperasikan hilir mudik di perairan-perairan Kalimantan Selatan dengan

menggunakan motor.

Melihat kenyataan bahwa antara tahun 1950-1970 sudah digunakan motor,

maka sebenarnya kurang tepat untuk mengatakan hasil-hasil produksi rakyat

itu sebagai sarana transportasi perairan tradisional semata-mata. Istilah

tradisional dikenakan karena pembuatan seperti tanpa mempergunakan

peralatan mekanik, dan bahan-bahan sarana transportasi perairan itu dari

bahan kayu.106

Membuat sarana transportasi berupa jukung rata-rata dapat diselesaikan

selama setengah bulan perbuah, dikerjakan sedikitnya oleh tiga orang tukang.

Jenis sarana transportasi seperti tiung, klotok, stempel, dan speed dibutuhkan

lama waktu pembuatannya sekitar satu bulan, dikerjakan oleh sekitar lima

orang tukang. Pada prinsipnya cara pembuatan masing-masing jenis ini tidak

jauh berbeda, hanya saja untuk bentuk klotok, stempel, dan speed perlu

ditambahkan mesin yang kedudukannya ditempatkan dibagian buritan.

Pembuatan sebuah kapal sampai waktu menurunkan ke air memerlukan

waktu sekitar empat bulan, dikerjakan oleh sekitar sepuluh tukang. Sebuah

kapal berukuran sedang dengan panjang 40 meter, lebar 4 meter serta tinggi

lambung 3 meter, membutuhkan sekitar 200 meter kubik kayu untuk

membuatnya.107 Di samping kapal, jenis perahu papan lainnya pada dasarnya

tidak dapat dibuat secara massa produksi lalu dijual ke pasaran, sebab industry

sarana transportasi perairan yang menghasilkan jenis ini biasanya atas dasar

pesanan (requirement) karena itu mempunyai sifat berbeda dari usaha

produksi lainnya.108 Mengenai sebagian daerah penghasil sarana transportasi

106 Kapal Indonesia (1969), op.cit., hlm. 153 ; H.W. Dick, loc. cit. 107 “Tiga Orang Petugas LLASDP Kapuas Dimintai Keterangannya Sebagai Saksi Ahli”, harian

Banjarmasin Post, 1 September 1983; “Pembuatan Perahu Merusak Kelestarian Hutan Setempat”,

harian Kompas, 1 Maret 1983. 108 Kapal Indonesia (1969), op.cit., hlm. 10

Page 61: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

perairan rakyat di Kalimantan Selatan ini periksa pada lampiran A3, B3, B5

dan B7.

C. Efektivitas dan Efisiensi Transportasi Perairan Bagi Kehidupan

Masyarakat

Faktor alam sangat besar pengaruhnya terhadap masalah transportasi

perairan di Kalimantan Selatan. Perairan di daerah ini mengakibatkan daratan

menjadi tersekat-sekat, tetapi disisi lain perairan justeru sangat efektif dalam

menghubungkan satu tempat dengan tempat lainnya dengan menggunakan

sarana-sarana transportasi perairan. Kebanyakan kampung, desa, dan kota

terletak di sepanjang jalur-jalur perairan. Sarana-sarana transportasinya dengan

berbagai jenis dan fungsinya dibuat sendiri oleh masyarakat, maka tidak ada

lagi tempat-tempat yang terisolir di daerah Kalimantan Selatan. Sekitar tahun

1958, Tjilik Riwut mengemukakan bahwa perairan di daerah ini merupakan

karunia alam yang besar artinya dan telah tersedia, dimaksudkan nya lebih

jauh, bahwa dengan telah tersedianya jalur-jalur perairan seperti di Kalimantan

Selatan, maka masalah perhubungan dan pengangkutan telah terpenuhi.

Pemanfaatan jalur-jalur perairan lebih efisien daripada membangun jalur-jalur

darat. Banyak jembatan harus dibangun, yang tidak mudah melaksanakannya

dengan keadaan daerah seperti Kalimantan Selatan. Demikian pula akibatnya

mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.109

Sarana-sarana transportasi untuk perairan dapat dibuat sendiri dari kayu-

kayu hutan yang tersedia lebih dari cukup, demikian juga jalur-jalur perairan.

Disamping yang alami dibuat pula jalur-jalur yang berupa terusan, semuanya

untuk menunjang kehidupan masyarakat sehari-hari. Menurut Amir Hasan Kiai

Bondan bahwa antara tahun 1924-1927 telah dibuat ratusan handil (terusan)

oleh masyarakat yang panjangnya masing-masing sampai puluhan kilometer

seperti di daerah Kalayan, Pamurus, dan Aluh-aluh. Mengenai keadaan

109 Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun (Jakarta: PT Jayakarta Agung Offset, 1979), hlm. 26-30

; Periksa juga Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971), op. cit., hlm. 321.

Page 62: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

beberapa sungai dan anjir utama di Kalimantan Selatan dapat diketahui melalui

tabel 12 dan 13 berikut ini.

Tabel 12 Keadaan Sungai Di Kalimantan Selatan (1980)

Sungai

Panjang (km) Lebar

(m)

Kedalaman

(m) Seluruhnya Dapat

dilayari

Barito 950 780 650 8

Martapura 80 45 150 4

Negara 127 125 150 5

Kusan 80 40 40 4

Batu Licin 70 45 90 3

Satui 49 35 50 4

Tabalong 60 42 45 3

Balangan 50 40 40 3

1.416 1.147

Catatan; Seluruh angka diperhitungkan rata-rata/dibulatkan

Sumber; Data Kalimantan Selatan: Pelita I s/d III (Banjarmasin: Bappeda

Propinsi Daerah Tingkat I Kal-Sel, 1982), hlm. 328

Tabel 13 Keadaan Anjir di Kalimantan Selatan (1980)

Anjir Panjang

(km)

Lebar

(m)

Kedalaman

(m)

Tahun

Pembuatan

Serapat 28 35 3 1890

Tamban 35 25 3 1935

Talaran 20 20 2 1958

83

Catatan; Seluruh angka diperhitungkan rata-rata/dibulatkan

Sumber; Seperti tabel 12, hlm. 330

Sekitar tahun 1950 jalur-jalur darat-darat belum begitu banyak terdapat di

daerah Kalimantan Selatan. Kalaupun ada sampai tahun 1960 ke atas

keadaannya masih sangat terbatas dan buruk, akibatnya sarana-sarana

transportasi perairan tetap terasa sangat efektif dan efisien untuk mengatasi

masalah pengangkutan baik penumpang maupun barang. Sarana transportasi

seperti klotok dan jukung cukup banyak jumlahnya, dan memegang peranan

Page 63: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

penting untuk menghubungkan antar kampung maupun untuk mengatasi

kesibukan pengangkutan didalam kota.110

Sebagai contoh desa-desa yang masyarakatnya menggunakan dan memiliki

sarana transportasi berupa jukung dan klotok cukup banyak yaitu desa-desa

yang terdapat didaerah Riam Kanan Atas, tempat terdapatnya waduk Riam

Kanan (Aranio) yang dibangun tahun 1961. Daerah ini terletak sekitar 90

Kilometer di sebelah timur Banjarmasin. Di daerah Riam Kanan Atas ini

terdapat beberapa desa dan sedikitnya dilalui oleh tujuh buah sungai yang

kesemuanya bermuara dan membentuk waduk seluas lebih kurang 92 kilometer

persegi. Pada tahun 1961 daerah ini keseluruhannya berpenduduk 4.109 jiwa

atau 1.137 kepala keluarga.

Tahun 1976 desa-desa yang terletak di sekitar waduk Aranio ini seluruhnya

berpenduduk 5.548 jiwa, atau 1.280 kepala keluarga. Kehidupan mereka disini

sehari-hari ditunjang oleh sekitar 617 buah sarana transportasi perairan.

Diantaranya terdapat 10 buah klotok milik pemerintah, 56 buah klotok milik

rakyat, dan ada 551 buah jukung. Dibandingkan dengan jumlah kepala

keluarga, maka terdapat gambaran sekitar 47,42% keluarga yang memiliki

jukung atau klotok. Di daerah Riam Kanan Atas ini terdapat sebelas desa, dari

jumlah ini hanya terdapat dua desa yang memiliki jalan darat, karena itu

masalah transportasi mereka sangat tergantung pada jalur dan sarana

transportasi perairan. Untuk memasarkan hasil perkebunan, terutama berupa

buah-buahan, semuanya diangkut dengan jukung atau klotok ke pasar

Tiwingan di Aranio dan Tuhin di desa Bunglai. Karena perairan di daerah ini

terisolir dari jalur perairan umum, maka dari kedua pasar itulah hasil

perkebunan rakyat ini diangkut melalui jalan darat ke Martapura dan

Banjarbaru. Dari Martapura hasil-hasil tersebut sebagian lagi diangkut ke

110 Bandingkan dengan “Pengusaha Taksi dan Penumpang Sama-sama Mengeluh”, harian

Kompas, 24 September 1984.

Page 64: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Banjarmasin melalui jalur darat atau jalur sungai Martapura.111 Tentang

gambaran waduk Riam Kanan Periksa juga lampiran A6.

Contoh lain yaitu di sekitar tahun 1975 adalah desa Samuda Kecil, terletak

sekitar 80 kilometer di sebelah barat Banjarmasin. Didesa ini seluruhnya

terdapat sekitar 356 keluarga, memiliki 32 buah klotok dan 150 buah jukung,

dengan demikian terdapat sekitar 51% keluarga yang memiliki sarana

transportasi perairan berupa jukung atau klotok.112 Didalam kedua conth tadi

itu kebutuhan terhadap sarana transportasi perairan sangat vital, sebab-

terutama di Riam Kanan Atas-Jalur darat dapat dikatakan hampir tidak ada

yang dapat dilalui oleh kendaraan darat untuk menghubungkan satu desa

dengan desa lainnya. Satu-satunya jalan yang paling efektif dan efisien bagi

masyarakat di desa-desa tersebut adalah transportasi perairan.

Karena wilayah Kalimantan Selatan memiliki cukup luas daerah perairan

dan rawa, maka untuk membuka dan membangun jalur-jalur darat adalah

pekerjaan sangat berat dan memerlukan biaya besar. Kenyataan ini dibuktikan

oleh keadaan jalur-jalur darat yang berusaha digalakan pembangunannya sejak

tahun 1960-an. Sejak itu sampai 1970-an di Kalimantan Selatan telah terdapat

panjang jalan seluruhnya sekitar 1-719 kilometer. Jarak sepanjang ini ternyata

sekitar 1.234 kilometer keadaanna hanya dapat ditempuh oleh kendaraan

dengan kecepatan antara 5-15 kilometer perjam, atau sekitar 72,32%

keadaannya rusak dan tidak layak untuk lalu lintas pengangkutan.113 Melihat

kenyataan ini tentu pembangunan daerah pada umumnya sangat terhambat,

oleh karena itu sarana transportasi perairan memang yang paling menunjang

waktu itu.

111 Silahkan periksa Pokok-pokok Hasil Survey Resettlement Penduduk Di Riam Kanan Atas

Kabupaten Dati II Banjar (Martapura : Team Pelaksana Proyek Resettlement Penduduk Dati I

Kalimantan Selatan, 1976), hlm. 5-13 ; Monografi Kabupaten Daerah Tingkat II Banjar (1982),

op.cit., hlm. 15. 112 William L. Collier, “Lima puluh Tahun Transmigrasi Spontan dan Transmigrasi Pemerintah DI

Tanah Berawa Kalimantan”, majalah Prisma, no. 5 (Jakarta : LP3ES, 1980). Hlm. 26-27. 113 Silahkan periksa Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971), op.cit., hlm.

303-307

Page 65: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Bukti lain yang menunjukkan bahwa jalur perairan masih tetap efisien ialah

pengalaman pemerintah daerah Hulu Sungai Selatan. Pada tahun 1960

pemerintah daerah ini telah membuka jalur darat sepanjang 18 kilometer untuk

menghubungkan Kandangan dengan Negara. Sebelumnya masalah transportasi

antar keduanya ditunjang oleh sebuah anjir yang disebut Tatah Bahalayung.

Sejak jalur darat dibuka dan berfungsi, Tatah Bahalayung berangsur-angsur

tidak lagi dimanfaatkan sebagai jalur transportasi oleh masyarakat, akibatnya

terjadi proses pendangkalan dan perairanpun kemudian tertutup oleh berbagai

gulma air. Sementara itu jalur darat dalam tempo relative singkat mengalami

kerusakan yang selanjutnya semakin parah, karena kondisi tanah yang kurang

memadai sebagai fondasi jalan. Sekitar tahun 1970, antar kedua kota itu

mengalami kesukaran masalah transportasi, baik penumpang, barang, maupun

hubungan biasa sehari-hari, akibat kedua jalur tidak berfungsi sempurna.

Menyadari bahwa jalur darat yang mempunyai kondisi tanah kurang baik

seperti di Kalimantan umumnya, memerlukan perawatan dan dana yang besar

sepanjang tahun, maka pemerintah daerah Hulu Sungai Selatan kini sedang

berusaha menghidupkan kembali Tatah Bahalyung sebagai jalur transportasi

perairan.114 Demikian pula hal serupa yang terjadi di daerah kabupaten Barito

Kuala antara pembukaan jalur darat dengan tetap pentingnya peran anjir

Talaran untuk urusan transportasi.

Dari segi lain efektivitas dan efisiensi transportasi perairan dapat dilihat

dari keadaan sarana-sarana transportasinya. Keuntungan yang besar memang

tidaklah dapat diharapkan dari industri sarana transportasi perairan sebab pada

umumnya bukan bersifat produksi massa. Sementara itu sarana-sarana

transportasi yang berupa jukung tidak sedikit masyarakat yang mampu

membuatnya sendiri untuk keperluan sehari-hari. Di samping itu sarana

transportasi perairan tidak cepat rusak dan dapat dipakai terus-menerus antara

5-20 tahun lebih namun masih tetap baik untuk dipergunakan. Jadi sebenarnya

114 Bandingkan, “Perbaikan Jalan Kandangan-Negara Tambal Sulam dan Terus Tertunda”, harian

Kompas, 2 Januari 1985 ; juga bandingkan, “Anjir Talaran Tidak Jadi DIkeruk Akibatnya Para Petani

Pergi”, harian Kompas, 23 Maret 1985.

Page 66: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

pemilikan terhadap sarana transportasi perairan lebih menguntungkan, karena

dapat digunakan untuk berbagai kegiatan seperti jasa angkutan, berdagang,

tani, nelayan dan sebagainya yang produktif di samping konsumtif.

Bagi masyarakat di Kalimantan Selatan, sarana transportasi dan jalur-jalur

(prasarana) transportasi perairan sudah terwujud. Efisiensinya merupakan

penghematan tenaga dan biaya dengan kapasitas angkut besar, sarana cukup

tahan lama, bahan untuk membuat sarana tersedia cukup, barang-barang mudah

diangkut baik dari atau ke pedalaman dan kota, dan demikian pula dengan

penumpang, karena pusat permukiman selalu terkonsentrasi pada tepi-tepi jalur

perairan. Sementara jalan-jalan darat dan sarana-sarana angkutan masih belum

memadai dan sangat terbatas, sehingga bagi masyarakat selama tahun 1950-

1970 sarana-sarana transportasi perairan yang dapat diandalkan untuk

menunjang kehidupan sehari-hari, atau lebih lunas lagi menunjang

pembangunan daerah.

Kegiatan yang termasuk utama ini dalam kehidupan masyarakat di

Kalimantan Selatan, tergambar pula dari jumlah kepadatan sarana transportasi

perairan pada tahun 1970, yaitu mencapai rata-rata 3,298 buah per bulan atau

110 buah per harinya. Demikianpun misalnya tentang arus lalu lintas

penumpang dan barang, cukup memberikan gambaran adanya kegiatan

transportasi perairan di Kalimantan Selatan. Tabel 14 berikut ini menunjukkan

jumlah kepadatan arus lalu lintas sarana transportasi, penumpang, dan barang

diperairan Kalimantan Selatan sekitar tahun 1970.

Tabel 14 Kepadatan Arus Lalu Lintas Transportasi

Perairan Di Kalimantan Selatan, 1970

a. Sarana Transportasi

Jenis Sarana Kapal Stempel Tongkang Tiung Jumlah

Page 67: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Per bulan 2,249 275 117 657 3,298

Per hari 75 9 4 22 110

b. Penumpang dan Barang

Rata-rata Penumpang/orang Barang (ton Barang (m3)

Per bulan 20.651 5.489,889 3.205,803

Per hari 888 128,996 106,860

Catatan : Hanya merupakan data yang tercatat pada Kantor Wilayah I

LLASDP Banjarmasin, Stasiun II LLASDP Ujung Panti, dan

Stasiun II LASDP Anjir Muara Kota.

Sumber; Seperti tabel 5, hlm. 323-324.

Data kepadatan lalu lintas perairan di atas merupakan gambaran kasar yang

didalam realitanya dapat lebih besar lagi, mengingat belum termasuk data

tentang jenis sarana lain terutama jukung yang banyak sekali jumlahnya.

BAB IV

BEBERAPA HAL YANG BERKAITAN DENGAN

DINAMIKA TRANSPORTASI PERAIRAN

A. Modernisasi Dan Motorisasi Di Bidang Transportasi Perairan

Untuk menjelaskan sifat dan proses modernisasi lajimnya orang membuat

suatu pembagian dalam dua bagian (dichotomy) yang tegas yaitu antara pengertian

tradisional dengan modern. Yang pertama diartikan sebagai terkebelakang, statis

Page 68: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

dan serba terbatas sedangkan yang modern sebagai sesuatu yang terus bergerak,

terbuka dan selalu berubah. Dalam kenyataannya antara tradisional dan modern ini

berlangsung di dalam masyarakat secara kontinyu, sambung-menyambung dan

tidak ada perbedaan yang tajam, berjalan bersama secara terpadu. Bahkan menurut

Sartono Kartodirdjo bahwa modernisasi itu sendiri merupakan sintese antara yang

lama dengan yang baru. Jadi sesungguhnya tidak ada hal yang dipertentangkan

antara tradisional dan modern sebab tidak ada hal yang sungguh-sungguh baru

karena semua tumbuh dari suatu kontinuitas dalam pembaruan itu.115

Mengingat hal di atas maka demikian pula yang terjadi sebenarnya di sektor

transportasi perairan di Kalimantan Selatan. Meskipun dilihat dari segi hasil yang

berupa sarana-sarana transportasi perairan dan cara pengolahannya dikatakan

tradisional, namun di sini tidaklah berarti terdapat dua hal yang saling bertentangan,

yaitu antara yang dimaksud tradisional dengan modernisasi. Di sektor transportasi

perairan di Kalimantan Selatan masyarakat mengolah dan mewujudkan sarana-

sarana transportasinya secara tradisional, secara tetap tanpa perubahan yang

berarti,116 sekalipun motor sudah digunakan untuk menjalankan sarana-sarana

transportasi itu. Di sini berarti sudah ada usaha masyarakat mengadoptir produk

dari industry modern.

Motorisasi terhadap sarana transportasi perairan sangat terasa di daerah

Kalimantan Selatan sejak tahun 1950-an.117 Menurut sumber lain motorisasi terjadi

lebih awal, sebab menurut H. W. Dick usaha motorisasi terhadap perahu-perahu

rakyat secara regional telah dirintis oleh Belanda pada tahun 1930-an, meskipun

baru mencapai jumlah sangat terbatas sampai tahun 1942.118 Motorisasi oleh

115 Lebih jauh silahkan periksa Sartono Kartodirdjo, “Modernisasi dalam Perspektif Sejarah”,

Bacaan Sejarah, no. 1 (Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fak. Sastra dan Kebudayaan UGM, 1978), hlm.

1-9; Nasikoen, Modernisasi Versus Tradisionalme (Yogyakarta: Fak. Sosial dan Politik UGM. 1979),

hlm. 1-9.

116 Bandingkan ibid., hlm. 4 117 Periksa Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun (Jakarta: PT. Jayakarta Agung Offset, 1979),

hlm. 27; Kapal Indonesia (Djakarta: Direktorat Produksi dan Djasa Maritim Departemen

Perhubungan, 1969), hlm. 10-14. 118 H. W. Dick, “Perahu Shipping in Eastern Indonesia”, part II, Bulletin of Indonesia Economic

Studies, no. 3 (1975), hlm. 94-96.

Page 69: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Belanda ini semula ditujukan untuk perahu-perahu layar berukuran maksimum 35

ton dengan motor bertenaga 35 PK. Di dalam prakteknya usaha motorisasi

berukuran kecil ini tidak ekonomis untuk pelayaran di perairan laut.119 Pada fase

perkembangan selanjutnya terjadi perubahan arah yang dilakukan oleh masyarakat

setempat, yaitu memanfaatkan kesempatan motorisasi itu dengan mengalihkannya

untuk perahu-perahu yang dapat dioperasikan di daerah perairan Kalimantan

Selatan. Dari sini muncul kemudian berbagai macam sarana transportasi perairan

dengan motor yang terus berkembang dan justru Nampak lebih berhasil dari tujuan

motorisasi perairan laut semula.120

Melihat kenyataan di atas jelaslah bahwa ada hubungan positif antara unsur

modern dengan unsur tradisional di sektor transportasi perairan daerah Kalimantan

Selatan. Bagi pembangunan di sektor ini terjadi perpaduan (harmoni) antara unsur

tradisional dengan unsur modern bukanlah hal yang tidak dapat dilakukan.

Modernisasi dapat dilaksanakan tanpa harus meninggalkan unsur tradisional yang

ada di sektor transportasi perairan masyarakat daerah Kalimantan Selatan.121

Mengenai usaha modernisasi ini periksa juga lampiran E.

Bagi masyarakat setempat motorisasi diartikan sebagai memperlengkapi sarana

transportasi perairan yang tradisional dengan motor sebagai sumber tenaga

utamanya.122 Hal ini berlaku terhadap sarana-sarana transportasi perairan

masyarakat di Kalimantan Selatan dan sudah berlangsung di sekitar tahun 1950-an.

Motorisasi terhadap sarana-sarana transportasi perairan di daerah ini berarti

memperlancar lalu lintas pengangkutan dan perhubungan, pembangunan, dan

meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.

Pemanfaatan hasil teknologi modern dapat dilihat dari berbagai jenis sarana

transportasi perairan seperti kapal, stempel, klotok, dan speed, yang telah dihasilkan

119 Ibid.

120 Bandingkan ibid., hlm. 94-100. 121 Bahan Expose: Permasalahan dan Pemecahan Masalah LLAJR dan LLASDP di Propinsi

Kalimantan Selatan (Banjarmasin: Kantor Wilayah XI Propinsi Kalimantan Selatan/ Tengah, 1983),

tanpa halaman. 122 Periksa dan bandingkan H. W. Dick, op. cit., hlm. 95.

Page 70: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

dan menggunakan motor. Dapat pula diketahui bahwa sampai tahun 1968 terdapat

banyak sarana transportasi perairan dari jenis itu menggunakan motor dari berbagai

merk seperti Deutz, Yanmar, Johnson, Carterpillar, dan Kubota.123 Sesudah waktu

itu mulai pula masuk motor-motor merk Yamaha dan Mercury, terutama untuk

memenuhi kebutuhan tenaga penggerak jenis speed. Motor-motor bertenaga besar

yang digunakan oleh speed (85-125 PK), menyebabkan jenis ini mampu meluncur

dengan kecepatan tinggi di atas air. Gerak yang cepat ini memperlancar dan

mempercepat hubungan transportasi dari satu daerah ke daerah lain, terutama

daerah yang sangat mengandalkan jalur-jalur perairan untuk hubungannya, seperti

Banjarmasin-Marabahan dan Batu Licin-Pegatan-Kota Baru.

Meskipun antara tahun 1950-1970-an sudah digunakan motor sehingga

mempermudah dan mempercepat perjalanan, namun aktivitas transportasi perairan

di Kalimantan Selatan selama waktu itu pada dasarnya belum sampai pada

kemajuan optimal. Lebih tepat kalau dikatakan sektor ini tumbuh dengan

sendirinya, tanpa banyak campur tangan atau perhatian pihak pemerintah.124 Sejak

tahun 1860 daerah Kalimantan Selatan sepenuhnya menjadi daerah di bawah

kekuasaan pemerintah Belanda. Selama masa pemerintahan Belanda itu pada

dasarnya transportasi perairan rakyat di daerah ini telah diisolir dari kemajuan dunia

teknik, sekalipun sekitar tahun 1930-an Belanda melakukan motorisasi di sektor

transportasi perairan. Usaha Belanda ini tidak berhasil sepenuhnya, karena semua

yang dilaksanakan semata-mata demi kepentingan dan tujuan dari penjajah.

Keadaan semacam ini tidak berbeda di masa kekuasaan Jepang di Kalimantan

Selatan. Meskipun pada waktu itu rakyat setempat dipaksa untuk membuat kapal-

kapal kayu dan lebih diperkenalkan lagi dengan teknologi modern, berupa mesin-

mesin untuk dipergunakan, tetapi semuanya ini hanya untuk kepentingan perang

Jepang belaka.125 Lalu apakah setelah Indonesia mencapai kemerdekaan aktivitas

transportasi perairan rakyat di daerah Kalimantan Selatan mencapai kemajuan?

123 Lihat Kapal Indonesia (1969), op. cit., hlm. 94-131. 124 Bandingkan H. W. Dick, “Prabu Shipping In Eastern Indonesia”, part I, Bulletin of

Indonesia Economic Studies, no. 2, hlm. 86. 125 Kapal Indonesia (1969), op. cit., hlm. 10-14.

Page 71: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Sejak kemerdekaan tahun 1945-1965 keadaan Negara ditandai oleh berbagai

gejolak politik dan pergolakan, baik secara nasional maupun daerah, akibatnya

dapat dikatakan selama waktu itu bangsa Indonesia masih belum memperoleh

kesempatan melaksanakan pembangunan, termasuk di sektor transportasi perairan

dengan sesungguhnya.126 Waktu sejak tahun 1950-an terdapat industri kapal

modern di Indonesia, namun tidak jelas hasilnya bagi kemajuan transportasi

perairan seperti di daerah Kalimantan Selatan. Begitupun sampai tahun 1970,

tidaklah dapat diperhitungkan kemajuan yang dicapai melalui Pelita I yang baru

dimulai tahun 1969, yang merupakan langkah real dari pembangunan nasional dan

Orde Baru. Dilihat dari keadaan demi keadaan tadi, bisa difahami gerak

pertumbuhan transportasi perairan di daerah Kalimantan Selatan. Sudah tentu tidak

dapat diramalkan apakah tanpa factor tersebut, aktivitas transportasi perairan di

daerah ini akan lebih maju dari kenyataan yang sudah ada pada waktu itu.

Tindakan praktis untuk membuat bahan-bahan materiil atau kecakapan

membuat barang-barang khususnya sarana-sarana transportasi perairan oleh

masyarakat di Kalimantan Selatan, merupakan kemampuan teknik yang sudah

mencapai tingkat cukup tinggi dari dahulu.127 Perkembangan selanjutnya dari

peradaban mereka adalah kemampuan memanfaatkan motor untuk keperluan

pengangkutan di atas air. Usaha mereka memadukan unsur tradisional dengan

modern melalui motorisasi dapat mewujudkan sarana-sarana transportasi perairan

yang representatif sesuai dengan kemajuan jaman.128

B. Dampak Modernisasi Dan Motorisasi Terhadap Transportasi Perairan

Teori dialektika mengatakan bahwa penyelesaian persoalan menimbulkan bibit

persoalan baru. Setiap perkembangan atau kemajuan di dalamnya senantiasa

terkandung unsur-unsur yang dapat menimbulkan kemunduran atau kerugian

126 H. W. Dick, part II (1975), op. cit., hlm. 81-82; Ali Murtopo, Era Pembangunan 25 Tahun

(Bandung: CV. Sumadjaja, 1973, hlm. 4-13; B. N. Marbun, Proses Pembangunan Desa,

menyongsong Tahun 200 (Jakarta: Erlangga, 1980), hlm. 20-23.

127 Bandingkan Basit Wahit, Efek Positif dan Negatif dari Pembangunan Teknologi Modern.

(Yogyakarta: UII, 1976), hlm. 3-5. 128 Bahan Expose (1983); bandingkan Nasikoen, loc. cit.

Page 72: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

baru.129 Demikian juga halnya di bidang transportasi perairan dengan dunia modern

yang sebagian besar dibentuk oleh teknologi. Modernisasi di bidang transportasi

bagi masyarakat di Kalimantan Selatan ini, semenjak tahun 1950 kiranya terbatas

hanya pada motorisasi, artinya hanya terbatas pada kesempatan untuk

memanfaatkan motor-motor sebagai sumber tenaga sarana-sarana transportasi

perairan mereka.130 Motorisasi atau proses pemotoran sarana-sarana transportasi

perairan sangat sederhana dan cepat. Hanya dengan sedikit modifikasi pada bagian

buritan untuk mendudukan motor, muncul bentuk-bentuk baru seperti stempel,

klotok, dan speed, begitupun kapal. Proses penerimaan yang cepat dan perubahan

terhadap sarana-sarana, menyebabkan begitu banyak jenis dan istilah bagi sarana

transportasi perairan di daerah Kalimantan Selatan, hilang jenis tertentu kemudian

muncul jenis baru.131 Sebagai tambahan perlu diketahui bahwa pada tahun 1970 ke

atas mulai populer jenis baru sarana transportasi masyarakat Kalimantan Selatan,

di samping speed jenis baru (komersial/ jasa angkutan), dikenal pula jenis yang

disebut dengan bis air dan truk air.132

Motorisasi bertujuan untuk mencapai kemajuan di bidang transportasi

perairan, praktis, serba cepat dan penghematan tenaga manusia. Tingkat efisiensi

yang dicapai memang cukup menonjol akibat otomatisasi sarana-sarana

transportasi masyarakat yang ditimbulkan oleh motor. Dampak negatif yang mula-

mula dapat dirasakan adalah hilangnya beberapa jenis sarana transportasi perairan

seperti pangkuh, bagawis dan sebagainya, begitupun berikutnya getek, tambangan,

rakit, dan tiung sudah semakin terdesak kedudukannya menjelang tahun 1970-an.

Keadaan ini jelas akibat telah diterimanya sarana-sarana transportasi dengan motor

(otomatisasi) oleh masyarakat. Sebegitu jauh pemotoran memang lebih efektif dari

129 Periksa juga E. F. Schumacher, Small is Beautiful: a Study of Economics as if People

Mattered (London: Sphere Books, 1975), hlm. 122-123. 130 Periksa Bahan Expose (1983).

131 Silahkan periksa mengenai jenis-jenis dan istilah sarana-sarana transportasi perairan

jaman dahulu pada J. J. Ras, Hikayat Bandjar, a Study in Malay Historiography (Den Haag: The

Hague, Martinus Nijhoff, 1968), hlm. 228-252; juga Sartono Kartodirdjo, et al., (ed.), Sejarah

Nasional Indonesia, jilid III (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), hlm. 22-24. 132 Periksa Bahan Expose (1983)

Page 73: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

berbagai segi dibandingkan dari beberapa jenis sarana sebelumnya tanpa motor.

Otomatisasi terhadap sarana-sarana transportasi perairan telah memberi jaminan

yang serba praktis, mudah dan cepat, tidak saja semata-mata untuk urusan

komunikasi dan transportasi, tetapi juga dapat sebagai dasar bagi segi-segi

kehidupan yang lain untuk berkembang.133

Sebenarnya perkembangan yang terjadi di sektor transportasi perairan diterima

oleh masyarakat daerah Kalimantan Selatan dengan sangat bersahaja. Hal ini

disebabkan adanya ketidakmampuan untuk menyadari bahwa hasil teknologi

modern dapat juga menimbulkan kemunduran dan kerugian, di samping

keuntungan yang sudah pasti hasilnya. Masyarakat di daerah ini rupanya terpaku

hanya pada soal pemanfaatan hasil teknologi modern berupa motor secara langsung,

tanpa mampu melihat kemungkinan lain yang dapat ditimbulkannya kemudian.

Keadaan ini dapat dimengerti, karena semenjak mulai digunakannya motor pada

tahun 1950-an sampai beberapa waktu kemudian, tidak menimbulkan ketegangan

secara mendadak bagi kehidupan masyarakat. Lebih penting lagi karena tidak ada

perhatian pemerintah dan para ilmuan di sektor transportasi perairan ini.

Selanjutnya dapat dilihat, terutama tahun 1970 ke atas sudah semakin nampak

bahwa jenis-jenis jukung semakin kurang diminati masyarakat. Untuk

menggunakan jukung orang harus berkayuh selama berjam-jam atau sampai

seharia, misalnya untuk mengangkut hasil panen dari sawah ke rumah. Pekerjaan

seperti ini tidak mesti dapat sekali selesai memakan tenaga dan waktu, sehingga

bagi mereka adalah lebih baik memanfaatkan jasa klotok yang jauh lebih besar

kapasitas muatnya, dan waktu tempuh yang lebih singkat-cepat. Kebiasaan lama

akhirnya mulai ditinggalkan para petani, terutama petani yang tinggalnya di kota.

Masyarakat umumnya sudah tidak suka lagi terhadap jukung sebagai sarana

pengangkutan dan menggantinya dengan klotok atau mengandalkan jasa angkutan

para pemilik klotok.

133 Bandingkan dengan Basit Wahit, op. cit., hlm. 2-3.

Page 74: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Berubahnya kebiasaan dengan berkurangnya minat terhadap pemilikan

jukung, membawa akibat lanjutan terhadap industri rakyat yang memproduksi jenis

ini. Industri jukung berangsur-angsur terdesak dan mulai ditinggalkan, karena tidak

dapat berproduksi lagi akibat tidak ada pemesan atau pembelinya. Keadaan seperti

ini dapat terjadi ketika klotok semakin berkenan di masyarakat dan diproduksi

secara meluas menjelang tahun 1970, demikianpun harganya relatif murah sehingga

dapat terjangkau oleh masyarakat luas.

Otomatisasi terhadap sarana-sarana transportasi perairan telah memperbaiki

pekerjaan dan menghemat tenaga manusia, dengan demikian anak-anak punya

kesempatan bersekolah dengan baik, para wanita (isteri) dapat mencari pekerjaan

di bidang lain, atau berkonsentrasi sebagai ibu rumah tangga. Mereka ini tidak perlu

lagi harus membantu para bapak/ suami untuk mengayuh perahu sebagaimana

kebiasaan sebelumnya, karena dengan otomatisasi tidak diperlukan lagi banyak

tenaga manusia.134

Dampak lain dari motorisasi adalah tuntutan terhadap tingkat dan ketrampilan

tertentu yang lebih baik. Sedikit berbeda dari klotok, ialah jenis kapal, stempel dan

speed. Pada ketiga jenis terakhir, sedikitnya diperlukan dua orang untuk

mengoperasikan, di samping pengemudi (nakhoda) diperlukan pula ahli mesin

(motoris). Bagi mereka ini perlu tuntutan kursus untuk memperoleh sertifikat atau

penghargaan berupa surat keterangan yang memperkenankan mereka melakukan

pekerjaannya. Mereka ini baru sah melaksanakan pekerjaannya bila mendapatkan

Surat Tanda Kecakapan (STK) nakhoda, motoris, atau sekaligus STK nakhoda dan

motoris.135 Tentang STK ini periksa juga pada lampiran H1 dan H2.

Masih banyak lagi dampak yang dapat ditimbulkan akibat adanya motorisasi

terhadap sarana-sarana transportasi perairan menjelang tahun 1970 sudah mulai

134 Bandingkan ibid., juga dengan Iskandar Alisjahbana, “Teknologi”, majalah Prisma, no. 1

(Jakarta: LP3ES, 1979), hlm. 49.

135 Laporan Pengeluaran: Surat Tanda Kecakapan Tahun 1983 (Banjarmasin: Kantor Wilayah

XI Bidang LLASDP Propinsi Kalimantan Selatan/ Tengah, 1996); juga bandingkan H. W. Dick, part II

(1975), op.cit. hlm. 98; Bahan Expose (1983)

Page 75: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

terasa gejala perpindahan penduduk tepi sungai dari rumah-rumah terapung

(lanting), di sepanjang tepi sungai Martapura, dan anak-anak sungainya di kawasan

Banjarmasin dan Martapura, daerah Marabahan, Negara, dan lain-lainnya ke daerah

permukiman baru terutama di tepi-tepi jalur darat/ jalan raya. Posisi penduduk

dengan lanting-lantingnya di sepanjang jalur-jalur transportasi perairan sudah tidak

begitu aman lagi akibat gerak air yang ditimbulkan oleh sarana-sarana transportasi

dengan motor, yang seolah-olah tanpa henti. Di samping itu tidak jarang lanting

mengalami kecelakaan lalu lintas perairan akibat benturan keras tertabrak speed

atau kapal yang lepas kendali.136.

Gerak air yang ditimbulkan tidak saja mengancam kehidupan dan ketenangan

para penghuni lanting, tetapi juga tidak jarang menyebabkan karamnya sarana-

sarana transportasi jenis jukung beserta muatannya. Di samping itu menyebabkan

tepi-tepi sungai dan anjir terus-menerus mengalami erosi (rumbih) cukup berat.

Untuk mengatasi tanah rumbih pemerintah dan masyarakat setempat terpaksa

mengeluarkan biaya dan tenaga yang tidak sedikit, yaitu dengan membuat siring di

sepanjang tepi jalur-jalur perairan itu. Pekerjaan semacam ini bukan saja tidak

mudah dilakukan, tetapi juga siring umumnya tidak dapat bertahan lama, sehingga

benar-benar merupakan beban berat yang harus ditanggung oleh masyarakat.137

Dampak berikutnya dari motorisasi yang juga harus diterima ialah timbulnya

pencemaran atau polusi terhadap perairan akibat proses pembakaran motor dan

sisa-sisa bahan bakar yang terbuang ke dalam air. Sudah tentu dampak negatif dari

sistem modern melalui motorisasi tidak diinginkan, tetapi akibat kurang

perhitungan maka resiko dengan sendirinya dialami, baik berupa pencemaran

136 Periksa juga “Berakit-berakit di dalam Rumah”, majalah Tempo, 5 September 1981, hlm.

77-79; “Akibat Gelombang Speed, 10 Pelajar SD Tercebur ke Sungai”, harian Banjarmasin Post, 26

Agustus 1983.

137 Ibid,; Periksa juga “Enam Orang di Bawah Umur 7 Tahun Nyaris Lemas di Sungai Barito”,

harian Banjarmasin Post, 28 Agustus 1983. “Siring adalah alat/ benda penahan agar tanah tidak

rumbih (tanah longsor, runtuh), lebih jelasnya silahkan periksa Pekan Kontak Tani-Nelayan IV di

Barabai (Martapura: Kantor Departemen Penerangan Kabupaten Banjar, 1981), hlm. 78.

Page 76: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

terhadap perairan dan lingkungan maupun kerugian-kerugian yang harus

ditanggung oleh masyarakat.

C. Gejala Kemerosotan Aktivitas Transportasi Perairan

Teknologi lahir dari akal manusia untuk menguasai dan memanfaatkan

lingkungannya. Di samping membawa kemajuan, ia juga menciptakan gangguan,

kadang-kadang kerusakan yang dapat diartikan sebagai kemunduran. Sebagian

kemerosotan aktivitas transportasi perairan di daerah Kalimantan Selatan, baik

dilihat dari segi frekuensi lalu lintas maupun kuantitas, disebabkan oleh motorisasi

sebagai hasil teknologi modern itu sendiri. Secara kuantitatif dapat dikatakan sektor

transportasi perairan di daerah ini mengalami kemerosotan yang ditandai dengan

menghilangnya beberapa jenis jukung, semakin terdesaknya jenis tiung, tongkang,

dan bahkan stempel. Beberapa jenis jukung seperti sudur, getek, dan tambangan,

termasuk rakit yang sudah biasa dipergunakan oleh masyarakat keadaannya sudah

semakin jarang terlihat di jalur-jalur perairan daerah Kalimantan Selatan menjelang

dan terutama sesudah tahun 1970. Secara keseluruhan dapat dikatakan sebagai

menandai merosotnya minat masyarakat terhadap sektor transportasi perairan.

Sekitar tahun 1970 frekuensi lalu lintas sarana transportasi perairan melalui

jumlah rata-ratanya per bulan adalah 3.297 buah kendaraan. Sepuluh tahun

kemudian (1980) jumlah angka kepadatan sarana transportasi perairan ini per

bulannya adalah sekitar 2.666 buah138 dan tahun berikutnya (1981) sekitar 2.310

buah.139 Perbandingan ini secara umum menunjukkan menurunnya frekuensi lalu

lintas sarana transportasi perairan di Kalimantan Selatan. Mengenai data lengkap

kepadatan lalu lintas pada tahun 1980 dan 1981 ini periksa pada lampiran K1-K3.

Banyak faktor yang menyebabkan timbulnya gejala kurang menggembirakan

bagi perkembangan transportasi perairan. Meski begitu sebenarnya tidak dapat

dikatan dengan mutlak sektor transportasi perairan mengalami kemerosotan,

138 Kalimantan Selatan Dalam Angka 1980 (Banjarmasin: Kantor Statistik Propinsi Kalimantan

Selatan, 1980), hlm. 283. 139 Kalimantan Selatan Dalam Angka 1981 (Banjarmasin: Kantor Statistik Propinsi Kalimantan

Selatan, 1981), hlm. 384.

Page 77: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

kecuali oleh karena kurangnya pembinaan dan pengarahan dari pihak pemerintah

daerah ketika itu. Gejala kemerosotan transportasi perairan terlukis dari

perkembangan yang tidak seimbang, terutama akibat kemajuan yang cepat dicapai

oleh sektor transportasi darat. Perkembangan itu baik berupa sarana, prasarana

maupun unsur ikutannya dari sektor transportasi darat, perpindahan penduduk dari

daerah tepi-tepi sungai, tumbuh dan dibukanya daerah pemukiman-pemukiman

baru di dataran jauh dair sungai adalah faktor-faktor ekstern yang merupakan gejala

bagi kemerosotan transportasi perairan, di samping faktor intern akibat motorisasi.

Pertumbuhan sektor transportasi darat dan unsur-unsur ikutannya,

menimbulkan persaingan secara regional terhadap sektor transportasi perairan di

Kalimantan Selatan. Sejak tahun 1969 pertambahan jumlah sarana transportasi

darat rata-rata 21% setahun, jauh lebih tinggi dibanding di sektor transportasi

perairan yang hanya kurang dari 10%. Tahun 1969/1970 frekuensi lalu lintas

transportasi darat tercatat rata-rata 1.414 buah per hari. Jumlah kendaraan/ sarana

transportasi darat yang ada pada tahun itu sekitar 2.790 bua. Tahun 1972 jumlah

kendaraan darat tercatat 4.083 buah, sedangkan jumlah kendaraan perairan tercatat

sekitar 1.812 buah.140 Sebagai gambaran perbandingan tingkat pertumbuhan antara

sektor transportasi perairan dengan jalan raya periksa lampiran L1 dan L2.

Sedangkan perincian jumlah kendaraan dari masing-masing sektor pada tahun 1972

dapat dilihat perbandingannya pada tabel 15 di bawah ini.

Tabel 15: Perincian Jumlah Sarana Transportasi

Kalimantan Selatan, 1972

Kendaraan Perairan Jumlah Kendaraan Darat Jumlah

Kapal

Speed

Klotok

Stempel

Tongkang

50

20

1.042

650

50

Mobil Penumpang

Mobil Beban/ Truk

Bis

2.522

1.464

97

1.812 4.083

140 Data Kalimantan Selatan Pelita I s/d III (Banjarmasin: Bappeda Propinsi Kalimantan Selatan,

1982), hlm. 301-302 dan 316-326.

Page 78: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Sumber; Data Kalimantan Selatan Pelita I sampai dengan III (Banjarmasin:

Bappeda Propinsi Kalimantan Selatan, 1982), hlm. 301-302 dan 316-317.

Di samping faktor persaingan dari segi jumlah sarana, pertumbuhan

transportasi darat diikuti pula oleh pembukaan jalur-jalurnya. Usaha terus-menerus

membuka dan membangun jalur darat terutama sejak tahun 1960-an, baik berupa

jalan-jalan antar kota dan daerah merupakan faktor yang mempengaruhi

perkembangan transportasi perairan di daerah Kalimantan Selatan. Tahun 1959-

1962 di bangun jalan-jalan di dalam kota Banjarmasin seperti Jalan Kalimantan,

Kuwin, Pangambangan, dan lain-lain.141 Kemudian berturut-turut tahun 1963

dibuka jalan Kintap-Pleihari (65 kilometer); tahun 1965 jalan Tanjung-Kuaro (124

kilometer); dan tahun 1968-1970 dibuka lagi seperti jalan Barabai-Batu Licin (153

kilometer), Marabahan Binuang (50 kilometer), serta Banjarmasin Marabahan (61

kilometer), semuanya merupakan jalan-jalan darat antar kota yang lebih dahulu satu

sama lain dihubungkan oleh jalur-jalur perairan. Pada tanggal 20 Nopember 1967,

dikeluarkan oleh Gubernur surat keputusan, bernomor BE 53/11-26-1967 mengenai

trayek jalur darat dari Banjarmasin ke Martapura, Rantau, Kandangan, Barabai,

Tanjung, dan Pleihari. Hal ini berarti ada enam jalur darat antar Banjarmasin dengan

ibukota-ibukota kabupaten di Kalimantan Selatan ketika itu,142 di samping jalur-

jalur perairan yang sudah ada sebelumnya.

Perkembangan jalur darat di Kalimantan Selatan berupa jalan padat-keras,

berarti harus diiringi pula oleh pembangunan banyak jembatan. Jumlah jembatan di

Kalimantan Selatan pada tahun 1970-an adalah 2.515 buah, terdiri dari 140 buah

jembatan Negara; 392 buah jembatan propinsi; dan 1.983 buah jembatan kabupaten,

yang kalau disatukan keseluruhan panjangnya hampir 10 kilometer.143 Sampai

tahun 1950 baru ada sebuah jembatan utama bernama jembatan Coen yang

melintasi sungai Martapura di tengah kota Banjarmasin. Pada sungai yang sama

kurang dari satu kilometer dari jembatan Coen, di sebelah utara di bangun jembatan

141 Artum Artha, Sedjarah Kota Bandjarmasin (Banjarmasin: Museum Banjar Lambung

Mangkurat, 1970), hlm. 17-23. 142 Periksa Bahan Expose (1983). 143 Laporan Tahunan Inspeksi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, 1978 (Banjarmasin: Kantor

Inspeksi LLAJR Prop. Kalimantan Selatan, 1978), hlm. 63.

Page 79: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Sembilan Nopember pada tahun 1960, dan di sebelah selatan dibangun jembatan

Sudimampir tahun 1965. Bersama jembatan Sudimampir dibangun pula jembatan

Belitung dan Sungai Bilu, masing-masing melintasi anak sungai Kuwin dan sungai

Bilu di Banjarmasin.144

Banyak jembatan di bangun datar melintasi sungai-sungai dan terusan-terusan

sangat mempersulit sarana-sarana transportasi perairan untuk melintasi kolong-

kolong jembatan, apalagi bila perairan sedang pasang. Kebanyakan jembatan yang

dibangun itu justru terletak pada sungai-sungai kecil dan terusan-terusan yang

menuju ke kampung-kampung yang ada di dalam maupun di luar kota. Tidak sedikit

jalur perairan tidak berfungsi untuk seterusnya setelah dibangun jembatan-jembatan

semacam itu.

Setiap peristiwa kemarau panjang misalnya seja tahun 1961, 1965, dan 1969

yang diikuti dengan dibukanya terus jalur darat-padat, mengakibatkan banyak jalur-

jalur sungai dan handil yang untuk seterusnya tidak berfungsi. Tidak berfungsinya

lagi beberapa sungai kecil dan handil mengakibatkan banyak jalur perairan yang

kemudian disebut sungai mati oleh masyarakat di Kalimantan Selatan. Matinya

jalur sungai dan handil mengakibatkan matinya juga saka yang berlanjut bagi petani

untuk meninggalkan tanah pertaniannya. Mereka mencari daerah baru atau tinggal

di daerah-daerah yang sudah dilalui oleh jalur-jalur darat, jalan raya.

Tidak berfungsinya lagi sebagian jalur-jalur perairan di daerah Kalimantan

Selatan merupakan indikator kemerosotan, dan berkurangnya pendukung di sektor

transportasi perairan. Tentu masih ada gejala lainnya yang tidak teramati, namun

apa yang telah dikemukakan di sini merupakan inti yang melandasi masalah-

masalah yang menyangkut bidang transportasi perairan di daerah Kalimantan

Selatan.

144 Artum Artha (1970), op. cit., hlm. 16.

Page 80: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

BAB V

SIMPULAN

Tulisan ini merupakan studi pendahuluan mengenai masalah transportasi

perairan, khususnya di wilayah Kalimantan Selatan. Maksud dari penulisan ini

tidak lain mencoba melukiskan suasana transportasi perairan di Kalimantan Selatan

selama waktu 1950-1970-an. Sektor transportasi perairan tetap dirasakan dan diakui

pentingnya oleh masyarakat dan pemerintah di daerah Kalimantan Selatan. Jalur-

jalur perairan dimulai di hulu sungai Tabalong, dan berlanjut melalui selat Laut

sampai pantai Salaman nantinya perbatasan dengan daerah Kalimantan Timur,

merupakan jalur lalu lintas transportasi perairan yang berkesinambungan di daerah

Kalimantan Selatan. Di jalur-jalur itu diselenggarakan oleh masyarakat setempat

berupa kegiatan transportasi. Ribuan jumlah sarana transportasi yang digunakan

untuk melayari dan mengisi jalur-jalur perairan yang sedikitnya meliputi panjang

2.060 kilometer. Jalur sepanjang ini membentang dari utara ke selatan dan timur

dalam bentuk perairan sungai, terusan, dan pantai, yang merupakan wadah kegiatan

transportasi perairan rakyat. Perairan ini masih ditambah lagi dengan danau, maka

lengkaplah perairan Kalimantan Selatan yang dalam hubungannya sebagai wadah

kegiatan transportasi dikatagorikan dalam satu kesatuan bidang yang pengawasan

dan pembinaannya di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Darat melalui

DLLASDP daerah Kalimantan Selatan.

Alangkah sangat wajar bila pemerintah dan para ilmuwan mengamati dan

meneliti lebih jauh tentang bidang transportasi perairan seperti yang ada di daerah

Kalimantan Selatan ini. Contoh yang ada merupakan bahan masukan dan

perbandingan supaya dapat menyempurnakan pengertian perairan lebih jauh dalam

hubungannya dengan transportasi. Misalnya, untuk menyempurnakan pembedaan

dan pengertian bentuk-bentuk perairan yang menjadi tempat terselenggaranya

kegiatan transportasi. Pada prinsipnya bidang transportasi yang diselenggarakan di

Page 81: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

atas perairan meliputi dua bagian. 1) Transportasi yang diselenggarakan di perairan

laut, dalam hal ini pengawasan dan pembinaannya ditangani oleh Direktorat

Jenderal Perhubungan Laut. 2) Transportasi yang diselenggarakan di perairan yang

meliputi perairan sungai, terusan, danau, pantai dan penyeberangan yang dalam hal

ini ditangani oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat.

Bidang Transportasi perairan seperti pada hal yang kedua di daerah

Kalimantan Selatan mempunyai jangkauan yang luas terhadap kehidupan

masyarakat sehari-hari. Sekitar dua juta penduduk di Kalimantan Selatan secara

langsung atau tidak langsung melibatkan diri dengan kehidupan di bidang

transportasi perairan setempat. Keadaan semacam ini tentu terdapat pula pada

daerah lain di Indonesia. Dalam hal ini di Indonesia ada daerah yang hanya

memiliki sungai saja untuk jalur transportasi perairan, atau hanya penyeberangan

seperti dari Ketapang ke Gilimanuk datau dari Merak ke Bakauhuni, dan kegiatan

transportasi lainnya yang diselenggarakan di perairan danau atau pantai. Dari hal

ini berarti di Indonesia terdapat cukup banyak manusia yang merasakan keterlibatan

dengan bidang transportasi perairan semacam di Kalimantan Selatan, karena itu

perlu menjadi perhatian semua pihak. Sekarang sudah saatnya untuk mulai

mencurahkan perhatian ke bidang transportasi perairan semacam ini, yaitu bidang

yang di Indonesia ini sudah berlangsung sejak puluhan abad yang lampau dan

melibatkan jutaan manusia. Sebagaimana bidang-bidang seperti pertanian, maritim,

pedesaan, transmigrasi dan sebagainya yang sudah mendapat perhatian para

ilmuwan, khususnya sejarawan, maka bidang transportasi perairan seperti ini belum

mendapat perhatian sepenuhnya. Kurangnya perhatian di bidang ini sangat kita

rasakan, meskipun sebenarnya bidang ini cukup penting di dalam kehidupan

masyarakat dan realitanya masih terus berlangsung hingga saat ini.

Page 82: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU DAN KARANGAN

Abdul Djebar Hapip, et al. Struktur Bahasa Banjar Kuala. Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan

Kebudayaab, 1981.

Adat Istiadat Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1982.

Ali Murtopo, Era Pembangunan 25 Tahun. Bandung; CV. Sumadja, 1973.

Alderson, P. M. Sea Transport, Operation and Economics. London: Thomas Reed

Publications Ltd., 1973.

Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan. Bandjarmasin: Fadjar,

1953.

Amral Muslimin, Ikhtisar Perkembangan Otonomi Daerah 1903-1958, Djakarta:

Djambatan, 1960.

A. Muhit Mukift, Beberapa Aspek Pemerintahan di Daerah, Banjarmasin: Panitia

Penyelenggara Kursus Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum

Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan, 1983.

Artum Artha, Beberapa Masalah Kebudayaan Banjar, Surabaya: PT. Bina Ilmu,

1973.

. Sedjarah Kota Bandjarmasin, Bandjarmasin: Museum Bandjar

Lambung Mangkurat, 1970.

Babler, Ales, Pantulan Djaman Bahari, Djakarta: Djambatan, 1963.

Baharuddin Lopa, Hukum Laut, Pelayaran dan Perniagaan, Bandung: Alumni,

1982.

Page 83: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Basit Wahid, Efek Positif dan Negatif dari Pembangunan Teknologi Modern,

Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1976.

B. N. Marbun, Proses Pembangunan Desa, Menyongsong Tahun 2000. Jakarta:

Erlangga, 1980.

Bowood, Richard, The Story of Ship, terj. H. Nazar. Loughborough: Ladybird

Books Ltd., t.t.

Buku Proyek Kanalisasi, 3 jilid, Djakarta: Kementrian Pekerjaan Umum, 1965.

Canse, A. A, De Kroniek van Bandjarmasin, Proefschrift MCMXXVIII, Uitgeverij,

C. A. Mess, Sanpoort (NH): 1928.

Casparis, J. G., de, Perkembangan Pengetahuan Sedjarah Indonesia Lama,

Bandung: Terate, 1961.

Dove, Michael, R. Masalah Ekologi-Mikro dan Pembangunan-Makro: Suatu Kasus

di Kalimantan Selatan, Yogyakarta: Tim Riset UGM, 1980.

Edwar Depari dan Colin Mac Andrew, eds, Peran Komunikasi Massa dalam

Pembangunan: suatu Kumpulan Karangan, Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 1978.

Filipovitch, C.N, Sedjarah Hubungan Internasional, terj. Sjaukat Djajadiningrat,

Djakarta: PT. Pustaka Rakyat, 1955.

Fischer, H.T., Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia, terj. Santoso

Poedjosoebroto, t.t.

Fudiat Suryadikara, et al. Geografi Dialek Bahasa Banjar Hulu. Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1981.

Goldstein, Sidney, Sirkulasi dalam Konteks Mobilitas Total di Asia Tenggara,

Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah

Mada, 1980.

Gottschalk, Louis, ed, Genralization In The Writing Of History, Chicago: The

University Of Chicago Press, 1980.

. Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, Jakarta: Yayasan

Penerbit Universitas Indonesia, 1975.

Hassan Bassry, Kisah Gerila Kalimantan, Bandjarmasin: Jajasan Lejtur Lambung

Mangkurat, 1961.

Irwin, Graham, Nienteenth-Century Borneo, Study is Diplomatic Rivaly, Singapore:

Donald More Books, 1967.

Jansen, Clifford, Beberapa Aspek Sosiologis dari Migrasi, Yogyakarta: Pusat

Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada, 1980.

J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, Jakarta:

Bumi Restu, 1975.

Kapal Indonesia, Djakarta: Direktorat Djenderal Produksi dan Djasa Maritim

Departemen Perhubungan, 1969.

Koentjaraningrat, ed, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT.

Gramedia, 1981.

Kuntowijoyo, Kegunaan Sejarah Lisan dalam penulisan Sejarah Nasional,

Seminar Sejarah Indonesia ke III, 1981.

La Side, Peranan Kerajaan Gowa Sebagai Negara Maritim Abad 16 dan 17,

Seminar Seharah Indonesia ke II, 1970.

Page 84: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Lawalata, Herman, A. C. Masalah Pokok Eksploitasi Pelayaran Niaga, Jakarta:

Pustaka Maritim Indonesia, 1980.

Mayur, Gt. Perang Banjar, Banjarmasin: CV. Rapi, 1974.

M. Idwar Saleh, Sedjarah Bandjarmasin, Bandung: KPPK Balai Pendidikan Guru,

t.t.

Moh. Ali, R. Peran Bangsa Indonesia dalam Sedjarah Asia Tenggara, Djakarta:

Bhratara, 1963.

M. Pardi, Pelajaran Stabilitet, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1965.

Muchtar Luffti, et al., eds, Sejarah Riau, Pekanbaru: Riau, 1977.

Nasikoen, Modernisasi Versus Tradisionalisme, Yogyakarta: Fakultas Sosial dan

Politik UGM, 1979.

Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta:

Djambatan, 1983.

Pekan Kontak Tani-Nelayan IV di Barabai, Martapura: Kantor Departemen

Penerangan Kabupaten Banjar, 1981.

Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia NI-5 PKKI 1961, Bandung: Yayasan

Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan, 1979.

Radiks Purba, Angkutan Laut, jilid II, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1981.

. Carter Kapal, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1981.

Ras, J. J. Hikajat Bandjar: A Study In Malay Historiography, Deen Haag: The

Hague, Martinus Nijhoff, 1968.

Sartono Kartodirdjo, ed, Masyarakat Kuno dan Kelompok-kelompok Sosial,

Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1977.

. et al., ed. Sejarah Nasional Indonesia, jilid I dan II, Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975.

. Kedudukan dan Peranan Sistem Gotong Royong dalam

Perkembangan Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Lembaga Studi

Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, 1978.

Sartono Kartodirdjo, “Modernisasi Dalam Perspektif Sejarah”, Bacaan Sejarah, no.

1. Yogyakarta: Fakultas Sastra dan Kebudayaan, UGM, 1978.

. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu

Alternatif, Jakarta: PT. Gramedia, 1982.

. Sejarah Perlawanan-perlawanan Terhadap Kolonialisme, Jakarta:

Departemen Hankam Pusat Sejarah ABRI, 1973.

Schumacher, E. F. Small is Beautiful: A Study of Economics As if People Mattered.

London: Sphere Books, 1975.

Shields, E.E. An Analysis of Vessel Utilization Problems Exsistent Within The Gield

of Sea Communications of The Republic of Indonesia, Djakarta: United State

Operations Missions To Indonesia Industry And Transportation Division,

1960.

Slamet Mulyono, Runtuhnya Kerajaan Hindu Djawa dan Timbulnya Negara-

negara Islam di Nusantara, Djakarta: Bhratara, 1968.

Soedjono Kramadibrata, Perencanaan Pelabuhan, Bandung: Ganesa Exact, 1985.

Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Universitas Indonesia

Press, 1982.

Page 85: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

S. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara Dengan Perkembangannya, Yogyakarta:

Liberty, 1984.

Suwarno Wiryomartono, Konstruksi Kayu, jilid I, Yogyakarta: Fakultas Teknik

UGM, 1976.

Taufik Abdullah, Beberapa Aspek Penelitian Sejarah Lokal, Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek

Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983.

. ed. Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 1979.

T. Ibrahim Alfian, “Teori Dalam Sejarah”, Bacaan Sejarah, no. 10, Yogyakarta:

Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM, 1980.

Tjilik Riwut, Kalimantan Memanggil, Djakarta: Endang, 1958.

. Kalimantan Membangun. Jakarta: PT. Jayakarta Agung Offset,

1979.

Vetter, C. Richard, ed. Oceanography, the Last Frontier, Washington, DC: United

State Information Agency, 1974.

Vredenbregt, J. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT. Gramedia,

1981.

Wiwoho Soedjono, Pengangkutan Laut Dalam Hubungannya Dengan Wawasan

Nusantara, Jakarta: Bina Aksara, 1983.

II. ARSIP DAN DOKUMENTASI

Arsip Nasional, Borneo Zuid En Oostkust, bundel no. 122 tentang “Laporan

Mengenai Hasil Perjalanan Sepanjang Sungai Barito, 1847”.

Arsip Nasional, Borneo Zuid En Oostkust, bundel no. 122 tentang “Laporan

Perjalanan Dari Banjarmasin ke Pegatan, 1846”.

Bahan Expose: Permasalahan dan Pemecahan Masalah LLAJR dan LLASDP di

Propinsi Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Kantor Wilayah XI Direktorat

Jenderal Perhubungan Darat Propinsi Kalimantan Selatan/ Tengah, 1983.

Berita Resmi Propinsi Kalimantan, Lembaran Propinsi Kalimantan, no. 2 (10

Februari 1955), no. 3 (10 Maret 1955), no. 8 (20 Juni 1955), no. 9 (30 Juni

1955), nso. 10 (10 Juli 1955) dan no. 11 (20 Juli 1955), Banjarmasin: Kantor

Propinsi Kalimantan Selatan, 1955.

Biro Klasifikasi Indonesia: Buku Pengantar, Djakarta: Departemen Perhubungan

Laut, 1965.

Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan, Banjarmasin: Ass-

Terr Laksus Kopkamtib Daerah Kalimantan Selatan, 1971.

Data Kalimantan Selatan Pelita I s/d III, Banjarmasin: Kantor Statistik Propinsi

Kalimantan Selatan, 1982.

Kalimantan Selatan Dalam Angka 1980, Banjarmasin: Kantor Statistik Propinsi

Kalimantan Selatan, 1982.

Kalimantan Selatan Dalam Angka 1981, Banjarmasin: Kantor Statistik Propinsi

Kalimantan Selatan, 1982.

Laporan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan Pada Upacara

Penerimaan Proyek-proyek Pembangunan di Kalimantan Selatan,

Page 86: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Banjarmasin: Kantor Penerangan Propinsi Kalimantan Selatan, 27 April

1977.

Laporan Pengeluaran: Surat Tanda Kecakapan Tahun 1983, Banjarmasin: Kantor

Wilayah XI Bidang LLASDP Propinsi Kalimantan Selatan/ Tengah, 1983.

Laporan Tahunan Inspeksi LLAJR 1978, Banjarmasin: Kantor Inspeksi LLAJR

Propinsi Dati I Kalimantan Selatan, 1978.

Laporan Tahunan Inspeksi LLASDP 1975-1981, Banjarmasin: Kantor Inspeksi II

LLASDP Propinsi Kalimantan Selatan, 1981.

Laporan tahunan Inspeksi LLAJR 1975-1981, Banjarmasin: Kantor Inspeksi

LLAJR Propinsi Kalimantan Selatan, 1981.

Monografi Kabupaten Daerah Tingkat II Banjar, Martapura: Bappeda Kabupaten

Dati II Banjar, 1982.

Pelayaran Nasional dan Pengaturan Wilayah, Jakarta: Direktorat Publikasi

Departemen Perhubungan RI, 1974.

Pendapatan Regional Propinsi Kalimantan Selatan 1975-1981, 2 jilid.

Banjarmasin: Kantor Statistik dan Bappeda Propinsi Kalimantan Selatan,

1983.

Peratoeran Karana Orang-orang Militair Menoempang Kapal-kapal Asap Hindia.

Kompani Kapal Asap Tambangan Keradjaan, 1891.

Peraturan Tentang Klasifikasi dan Konstruksi Kapal Laut, Djakarta: Biro

Klasifikasi Indonesia, 1968.

Petunjuk Pelaksanaan Tarif Jasa-jasa Pelabuhan di Lingkungan Direktorat

Jenderal Perhubungan Laut Sebagai Pelaksanaan Keputusan Menteri

Perhubungan Nomor: KM. 49/PR-302/PHB-83 Tanggal 19 Januari 1983.

Jakarta: Departemen Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut,

26 Januari 1983.

Pokok-pokok Hasil Survey Resettlement Penduduk di Riam Kanan Atas. Martapura:

Team Pelaksana Proyek Resettlement Penduduk Dati I Kalimantan Selatan,

1976.

Prasarana Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan, Banjarmasin: Seminar

Pelita III Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan, 16-20 Oktober 1978.

Salinan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan

Nomor: 13/ IX-2-2-1975. Menetapkan Peraturan Daerah Tanggal 9 Januari

1974 No. 1 Tahun 1974 Tentang Perusahaan Daerah Pelayaran Nusantara

“PD. Pustaka” Banjarmasin. Banjarbaru, 22 Februari 1975.

The Port Of Makassar, Banjarmasin And Palembang Republic Of Indonesia,

Report By The Port Survey Team Of The United State Nations Economis

Communication For Asia And The Far East, 1968.

Verzameling Residentie Verordeningen, Zuider En Oosterafdeeling Van Borneo,

Banjarmasin: Boemi Poetra, 1941.

III. MAJALAH DAN SURAT KHABAR

a. Majalah

A. Baiquni, “Masalah Pengendalian Efek Samping Teknologi”, Prisma, no. 6,

Jakarta: LP3ES, Juni 1979, hlm. 49-52.

Page 87: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Alfian Muthalib, “Masalah Penggelaran SBBN-Trident di Samudera Hindia”,

terbitan berkala Analisa, no. 12, Jakarta: CSIS, 1982, hlm. 1118-1127.

A. R. Sutopo, “Suatu Pendekatan Barat Terhadap Samudera Hindia”, terbitan

berkala Analisa, no. 8, Jakarta: CSIS, 1980, hlm. 399-415.

Asetya Jaka Munantha, “Membuat Perahu Kayu”, Mutiara, no. 334. Nopember-

Desember 1984.

Asnani Usman, “Masalah Penetapan Batas Zona Ekonomi Ekslusif 200 Mil

Indonesia”, Analisa, no. 8. Jakarta: CSIS, 1981, hlm 712-731.

“Bagarit Minjangan Tradisional”, majalah tak berkala Bandarmasih, no. 2.

Banjarbaru: Museum Negeri Lambung Mangkurat, 1983, hlm. 54-72.

“Berakit-rakit di Dalam Rumah”, Tempo, 5 September 1981, hlm. 77-79.

B. Wiroguno, “Samudera Hindia Fokus Konfrontasi Super Power”, Analisa, no. 5,

Jakarta: CSIS, 1980, hlm. 391-398.

Dick, H. W. “Prabu Shipping In Eastern Indonesia”, part I, Bulletin Of Indonesia

Economic Studies, no. 2 (1975), hlm. 69-106.

. “Prabu Shipping In Eastern Indonesia”, part II, Bulletin Of

Indonesia Economic Studies, no. 3 (1975), hlm. 81-103.

Endi Rukmo, “Rezim Baru Dalam Hukum Laut dan Implikasinya Terhadap

Kekuatan Laut di Asia Tenggara”, Analisa, no. 8. Jakarta: CSIS, 1981, hlm.

733-741.

Iskandar Alisjahbana, “Teknologi”, Prisma, no. 1, Jakarta: LP3ES, 1980, hlm. 48-

50.

M. Idwar Saleh, “Bandarmasih”, Bandarmasih, no. 1. Banjarbaru: Museum Negeri

Lambung Mangkurat, 1983, hlm. 4-7.

. “Sekelimut Mengenai Rumah-rumah Tradisional Banjar”,

Bandarmasih, no. 2. Banjarbaru: Museum Negeri Lambung Mangkurat,

1983, hlm. 1-32.

Ronald Nangoi, “Arti Samudera Hindia Bagi Australia”, Analisa, no. Jakarta: CSIS,

1980, hlm. 134-147.

Sartono Kartodirdjo, “Masyarakat Pedesaan Dalam Pembangunan:

Mengembangkan Teknologi Berwajah Manusiawi”, Prisma, no. 6. Jakarta:

LP3ES, 1979, hlm. 3-11.

Shamsher Ali, “Inter-Island Shipping”, Bulletin Of Indonesia Economic Studies,

no. 3 (1969). hlm. 27-49.

William, L. Collier, “Lima-puluh Tahun Transmigrasi Spontan Dan Transmigrasi

Pemerintah di Tanah Berawa Kalimantan”, Prisma, no. 5. Jakarta: LP3ES,

1980, hlm. 12-35.

b. Surat Khabar

“Akibat Di hantam Gelombang, Sebuah Klotok Tenggelam dan Dua

Penumpangnya Hilang”, Banjarmasin Post, 22 September 1983.

“Akibat Gelombang Speed, 10 Pelajar SD Tercebur ke Sungai” Banjarmasin Post,

26 Agustus 1983.

“Akibat Membawa Penumpang Melebihi Ketentuan: Pengusaha KM Nurlita Akan

Diproses Menurut Hukum Yang Berlaku”, Banjarmasin Post, 4 Oktober

1983.

Page 88: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

“Anjir Talaran Tak Jadi Dikeruk Akhirnya Para Petani Pergi”, Kompas, 23 Maret

1985.

Berantakan, Dermaga Bis Air di Banjarmasin”, Kompas, 20 Mei 1983.

“Berenteng”, Banjarmasin Post, 3 Agustus 1983.

“Bis Air Sarat Penumpang Tenggelam di S. Kapuas: 32 Tewas, 115 Selamat,

Jumlah Penumpang Belum Diketahui”, Kompas, 6 Mei 1983.

“Bus Air Karya Express Tenggelam di Tumbang Nusa”, Banjarmasin Post, 6

Oktober 1983.

“Bus Air KM Setia Budi Tenggelam di Sungai Kapuas: Empat Anak Meninggal,

30 Orang Lainnya Terkurung”, Pelita, 6 Mei 1983.

“Citra ‘Kota Air’ Banjarmasin Akan Dihidupakan Lagi”, Kompas, 14 Juni 1985.

“Delapan Buah Rakit Kayu Bulat Ditahan Petugas di Jenamas Karena Kubikasinya

Tidak sesuai Dengan Dokumen”, Banjarmasin Post, 23 September 1983.

“Diduga Korban Kecelakaan PLM Sumber Maju: 26 Mayat Ditemukan Terapung

di Perairan Tanjung Selatan Kal-Sel”, Banjarmasin Post, 21 Agustus 1983.

Enceng Gondok Di Sungai Negara: Jadwal Pelayaran Terganggu Enceng Gondok”,

Kompas, 21 Februari 1983.

Iskandar Alisjahbana, “Indonesia Dan Revolusi Industri II”, Kompas, 25 September

1982.

. “Revolusi Industri Kedua: Benarkah Dampaknya Mulai Terasa”,

bag. I, Kompas, 23 Agustus 1982.

. “Revolusi Industri Kedua: Benarkah Dampaknya Mulai Terasa”,

bag. II, Kompas, 24 Agustus 1982.

“Ka Kanwil Hubda Kalsel: Tenggelamnya KM Setia Budi Karena Kesalahan

Nahkoda”, Sinar Harapan, 9 Mei 1983.

“Kapal Alat Transportasi Yang Tepat Untuk Kalteng”, Banjarmasin Post, 26

September 1983.

“Kapal-kapal TNI AL Bantu Selamatkan Penumpang Dan ABK KM Krakatau dan

Sumber Maju”, Banjarmasin Post, 10 Agustus 1983.

“Kapal Layar Bermotor Jaya Murni Bawa penumpang Selundupan”, Banjarmasin

Post, 1 Agustus 1983.

“Karena Jukung Terbalik Ditabrak Tugboat: Enam Orang di Bawah umur 7 Tahun

Nyaris Lemas Di Sungai Barito”, Banjarmasin Post, 28 Agustus 1983.

“Kasus Tabrakan KM Sinar Harapan Denagan KM Belatuk Disidangkan”,

Banjarmasin Post, 12 September 1983.

“Kasus Tenggelamnya KM Setia Budi Disidangkan”, Banjarmasin Post, 22 Juli

1983.

“Kasus Tenggelamnya KM Setia Budi Mulai Diperiksa Pengadilan”, Banjarmasin

Post, 28 Juli 1983.

“Kasus Tenggelamnya ‘Setia Budi’: Kapal Tampung Penumpang Tiga Bisa Air

Lainnya”, Kompas, 9 Mei 1983.

“Kisah Dibalik Tenggelamnya PLM Sumber Maju: Hampir Sebagian Penumpang

Kena Tupu”, Banjarmasin Post, 8 Agustus 1983.

“KM Budi Setia Tenggelam, 4 Anak Tewas, 30 Masih Dalam Pencarian”,

Banjarmasin Post, 6 Mei 1983.

Page 89: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

“KM Nurlita 7 Yang Bocor di P. Sambit Akibat Kelebihan Penumpang”,

Banjarmasin Post, 3 Oktober 1983.

“Korban Bis Air Bertambah Seorang: Masih Banyak Mayat Terkurung Dalam

Kapal”, Kompas, 7 Mei 1983.

“Korban Yang Tewas Bertambah Menjadi 33 Orang: KM Setia Budi Yang

Tenggelam Tidak Memiliki Surat Ijin Berlayar”, Sinar Tenggelam, 7 Mei

1983.

“Lanjutan Sidang Kasus Bus Air KM Setia Budi: Penumpang Bertambah Sesak

Setelah Singgah di Pulang Pisau”, Banjarmasin Post, 3 Agustus 1983.

“Lanjutan Sidang Tenggelamnya Bus Air KM setia Budi: Juragan Dan Pembantu

Juragan KM Setia Budi Di tuntut Hukuman 9 Tahun Penjagra”,

Banjarmasin Post, 1 Oktober 1983.

“53 Mayat Korban PLM Sumber Maju Dimakamkan Di Batakan”, Banjarmasin

Post, 1 September 1983.

“L. C. M. Jackyline Milik PT. Sarpatim Tenggelam Di Ambang Barito”,

Banjarmasin Post, 24 September 1983.

Loekman Soetrisno, “Sosiologi Industrialisasi Di Negara Sedang Berkembang”,

Kompas, 4 Oktober 1982.

Maruli Tobing dan Ibrahimsyah Rahman, “Proses Sosial-Ekonomi Nelayan di

Kaltim: ‘Ponggawa’ Simpul Kemelaratan Nelayan”, Kompas, 15 Nopember

1982.

“Musibah Di Sungai Kapuas”, Banjarmasin Post, 7 Mei 1983.

Noor Satega Ali, “Dahulu Kendari Perkampungan Sekelompok Kecil Nelayan”,

Kompas, 24 Nopember 1982.

Notosutardjo, “Mengikuti Perjalanan Bung Karno Ke Kalimantan Tanggal 14-20

Juli 1957”, Pemuda, 30 Juli-4 Agustus 1957.

Pande Radja Silalahi, Industrialisasi Di Indonesia Dan Revolusi Industri Kedua”,

Kompas, 3 September 1982.

“Pembuatan Perahu Merusak Kelestarian Hutan Setempat”, Kompas, 1 Maret 1983.

“Pengangkutan Barang Ekspor Ke Surabaya Terganggu Karena KM Bengawan

Bocor”, Banjarmasin Post, 19 Juli 1983.

“Pengusaha Taksi dan Penumpanga Sama-sama Mengeluh”, Kompas, 24

September 1984.

“Perahu Jenis Lampi Akan Diproduksi Galangan Kapal Koperasi”, Kompas, 19

Februari 1983.

“Perbaikan Jalan Kandangan-Negara Tambal Sulam dan Terus Tertunda”, Kompas,

2 Januari 1985.

“Perlu Ditinjau Kembali SK Menhub Tentang Biaya Penyeberangan: Tidak Ada

Kebijaksanaan Di Penyeberangan LLASDP Samarinda”, Banjarmasin Post,

23 Agustus 1983.

“Photo Udara Untuk Pengaliran Sungai Negara”, Banjarmasin Post, 28 September

1983.

“PLM Sumber Wangi Yang Berpenumpang 200 orang Lebih Tenggelam Di

Tanjung Selatan”, Banjarmasin Post, 6 Agustus 1983.

Page 90: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

“Pos Liar Jasa Raharja Di Muara Sungai Antasari Kuwin”, Banjarmasin Post, 15

Juli 1983.

“Produksi Ikan Kabupatenn Pulau Laut Untuk Tahun 1983 Akan Mengalami

Kemerosotan”, Banjarmasin Post, 28 Juli 1983.

Schophuys, H. J. “Polder, Pembukaan Persawahan Pasang Surut Gaja Lama dan

Gaja Baru”, Kompas, 7 Nopember 1969.

“Sekitar Tenggelamnya KM Setia Budi: Korban Meningkat Jadi 36 Orang,

Pencaharisan Terus Dilakukan, Banjarmasin Post, 8 Mei 1983.

“Sekitar Tenggelamnya KM Setia Budi: 119 Penumpang Selamat, 32 Ditemukan

Jadi Mayat, Diperkirakan Masih Banyak Mayat Terkurung Dalam Kapal”,

Banjarmasin Post, 6 Mei 1983.

“Sidang Lanjutan KM Setia Budi: Menurut Saksi Yang Memerintahkan Juragan

Jalan Marabahan Adalah Cincu”, Banjarmasin Post, 10 September 1983.

Soemarkotjo Soediro, “Ajo Bung, Ke Kalimantan Babat Alas Mertani: ‘Angkatan

Mertani’ Dan Masalahnya”, Kompas, 1 Oktober 1969.

. “Issue Dan Mesiu Sepanjang Andjir”, Kompas, 4 Oktober

1969.

. “Mungkinkah Mertani Gotong Royong”, Kompas, 2 Oktober

1969.

. “Tiga ‘Djagoan’: Schophuys, P. Noor Soenarjo”, Kompas, 3

Oktober 1969.

“Sudah 30 Korban Tewas Ditemukan Di Perairan Barito: KM Setia Budi Yang

Tenggelam Diduga Memuat Penumpang Lebih”, Sinar Harapan, 6 Mei

1983.

Terus Jadi Masalah Angkutan Kayu Dengan Tongkang”, Kompas, 1 Maret 1983.

“Tiga Orang Petugas LLASDP Kapuas Dimintai Keterangan Sebagai Saksi Ahli”

Banjarmasin Post, 1 September 1983.

“Tukang Rakit Jual Jasa Sarana”, Kompas, 15 Mei 1983.

“74 Ekor Hewan Korban Untuk Banjarmasin Tenggelam Di Muara Sungai Barito”,

Banjarmasin Post, 16 September 1983.

“Usaha Penyelundupan Barang-barang Ex Luar Negeri Melalui Pelabuhan Trisakti

Dapat Digagalkan”, Banjarmasin Post, 23 Agustus 1983.

IV. NARA SUMBER

1. Abdurrakhman, 70 tahun, Takisung-Tanah Laut

2. Kaderi, 69 Tahun, Barabai

3. Syamsi, 72 tahun, Banua Anyar-Banjar

4. Asyari, 45 tahun, Banjarmasin

5. Basuki, 50 tahun, Kandangan

6. Hamsani, 56 tahun, Tanjung

7. Hapsyah, 56 tahun, Martapura

8. H. Darmawi, 60 tahun, Banjarmasin

9. H. Gani, 62 tahun, Pangambangan-Banjarmasin

Page 91: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

10. Imuk, 60 tahun, Kandangan

11. Masdar, 59 tahun, Barabai

12. M. Idwar Saleh, 55 tahun, Banjarmasin

13. Mugeni, 71 tahun, Kuwin-Banjarmasin

14. Murah, 66 tahun, Aluh-aluh-Banjar

15. M. Anang, 61 tahun, Banjarmasin

16. Padli, 68 tahun, Sungai Batang-Banjar

17. Padliansyah, 57 tahun, Plehari

18. Rodiyah, 68 tahun, Martapura

DAFTAR SINGKATAN

Ass-Terr : Assisten-Territorial

Bappeda : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

cm2 : centimeter persegi

cm3 : centimeter kubik

Dit. Jen : Direktorat Jenderal

DLLAJR : Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya

DLLASDP : Dinas Lalu Lintas Angkutan Sungai, Danau dan

Penyeberangan

ed. : editor

et al. : et alibi

Page 92: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

hlm. : halaman

I bid. : I bidem

Kal-Sel/ Teng : Kalimantan Selatan/ Tengah

kg : kilogram

km. : kilometer

Kopkamtib : Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban

KPLP : Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai

Laksus : Pelaksana Khusus

LLAJR : Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya

LLASDP : Lalu Lintas Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan

loc. cit. : loco citato

LPHH : Lembaga Penelitian Hasil Hutan

LPPK : Lembaga Pusat Penyelidikan Kehutanan

LP3ES : Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi

dan Sosial

m : meter

No., no. : Nomor, nomor

op. cit : opera citato

Pelita : Pembangunan Lima Tahun

Perhubda : Perhubungan Darat

PK : Paardekracht

PP : Peraturan Pemerintah

PUT : Pekerjaan Umum dan Tenaga

Satpolair : Satuan Tugas Polisi Perairan

s/d : sampai dengan

STK : Surat Tanda Kecakapan

terj. : terjemahan

t.t : tanpa tahun

UU : undang-undang

Page 93: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Profil Penulis

Bambang Subiyakto, lahir di Ciamis pada 09 Februari 1956,

Menyelesaikan jenjang pendidikan S1 dan S2 pada jurusan Ilmu

Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada. Jenjang S3

pada jurusan Pendidikan IPS (Social Studies Education) SPs

Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Pernah duduk sebagai

Kepala Perpustakaan Univ. Lambung Mangkurat 2007-2009 dan

sebagai Dewan Redaksi Jurnal Kebudayaan “Kandil”. Sampai saat ini

sebagai Ketua Badan Pembina Yayasan Pendidikan Islam Pangeran

Antasari Martapura. Pernah aktif pada berbagai organisasi porfesi

maupun kemasyarakatan seperti Masyarakat Sejarawan Indonesia

Kalsel (Ketua), SOKSI Kab. Banjar (Sekretaris), PPM Kab. Banjar

(Sekretaris), FKPPI Kab. Banjar (Wakil Ketua), dan AMPI Kab. Banjar (Wakil Ketua). Pendidikan

SD sampai dengan SMA di diselesaikan Banjarmasin. Kontributor tulisan untuk beberapa buku di

antaranya “Infrastruktur Pelayaran Sungai: Kota Banjarmasin Tahun 1900-1970” dalam Freek

Colombijn dkk (eds.), Kota Lama Kota Baru Sejarah Kota-Kota Di Indonesia (2005); “Anjir,

Bubuhan dan Kayuh Baimbai, Sumber Daya Budaya Masyarakat Banjar” dalam Heddy Shri

Ahimsa-Putra (ed.), Arkeologi Dan Sumber Daya Budaya Di Kalimantan, Masalah dan Apresiasi

(2011); Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari: Upaya dan Ajaran Nilai-Nilai Karakter Dalam

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (Disertasi, 2015). “Strategi Guru Dalam Menanamkan

Nasionalisme Kepada Peserta Didik” dalam Developing Education: Based On Nationalism Values

(2016); dan “Nasionalisme Indonesia (Analisis Teoritik Fenomena Historis Pergerakan Nasional

Indonesia” dalam Pendidikan Sejarah, Patriotisme & Karakter Bangsa Malaysia – Indonesia (2017).

Adapun beberapa karya terbaru sebagai berikut; 1) The Government Reform on Healthcare Facilities

From The Standpoint of Service Quality Performance, International Journal of Economics and Finance

Studies, Volume 12, Nomor 1, Tahun 2019; 2) Social Capital In Social Studies Through Zoning School

System, International Journal Pedagogy of Social Studies, Volume 4, Nomor 2, Tahun 2019; 3) Loksado

Page 94: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Tourism as the Development of the People's Economy in Historical Perspective (Proceedings of the 5th

International Conference on Advances in Education and Social Sciences, 2019); dan 4) Pangeran

Hidayatullah: Perjuangan Mangkubumi Kesultanan Banjarmasin, Buku Referensi, terbitan Arti Bumi

Antaran dan Balitbangda Provinsi Kalimantan Selatan, 2020. Email: [email protected]; Telepon:

0853-1574-8169.

Profil Editor

Ersis Warmansyah Abbas, lahir di Solok, pada 07 Juni 1956.

Pendidikan S1 diselesaikan pada Program Studi Pendidikan

Sejarah IKIP Yogyakarta pada tahun 1981. Pendidikan S2

diselesaikan pada Program Studi Pengembangan Kurikulum

IKIP Bandung pada tahun 1995. Pendidikan S3 diselesaikan

pada Program Studi Pendidikan IPS Universitas Pendidikan

Indonesia Bandung pada tahun 2013. Merupakan guru besar

pada bidang pendidikan IPS dan sebagai koordinator Program

Studi S1 Pendidikan IPS, FKIP Universitas Lambung

Mangkurat. Untuk mendukung dan mengembangkan

keprofesionalannya, juga aktif sebagai Presiden Lembaga

Pengkajian Kebudayaan dan Pembangunan Kalimantan dan

Ketua Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia DPW ADI

Kalimantan Selatan. Tulisannya banyak dimuat pada beberapa

jurnal nasional maupun internasional diantaranya The

Prospective Innovator In Public University by Scrutinizing Particular Personality Traits (2019),

The Impact of Selected Quality Management Attributes on The Profitability of Top Hotels in the

Visegrad Group countries (2019). Menulis Ala Ersis Writing Theory (2018), Penguatan Pendidikan

IPS Di Tengah Isu-Isu Global (2018), Prophetic Education of Guru Sekumpul for Social Studies

Education (2017), A New Creative Model Of Da'wah As A Medium Of Economic Development In

Indonesia (2017). Kecintaannya terhadap kegiatan menulis dan memotivasi berbagai kalangan untuk

menulis maka dituangkan ke dalam karya berupa buku tentang “menulis”, diantaranya Suer, Menulis

Itu Mudah, Menulis Membangun Mindset, Menulis Menyenangkan, Indonesia Menulis (Perjalanan

Spritual), Menulis Enjoy-Enjoy Sajalah, Menulis Membangun Peradaban, Menulis Mudah

Memudahkan Menulis, Menulis Menyenangkan, Indonesia Menulis, Menulis Gembira, Menulis

Berbunga-Bunga. Email: [email protected]; Telepon: 0878-1608-5545.

Page 95: Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an Penuliseprints.ulm.ac.id/9596/1/4.1. Transportasi Perairan...(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum

Syaharuddin, Lahir di Santan Ilir (Kutai Kartanegara), 1 Maret

1974. Menempuh pendidikan SD hingga SLTA di Kota Bontang.

S1 Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat

(lulus 2008), S2 Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Gajah Mada, dan menyelesaikan jenjang S3 pada jurusan

Pendidikan IPS (Social Studies Education) SPs Universitas

Pendidikan Indonesia Bandung. Adapun beberapa karya tulis

yang dipublikasi antara lain; “Transformasi Nilai-Nilai

Kejuangan Masyarakat Banjar pada Periode Revolusi Fisik

(1945-1950): Studi Etnopedagogi dalam Pengembangan

Kurikulum Pendidikan IPS”, (Disertasi, 2015), “Orang Banjar

Menjadi Indonesia:Dinamika Organisasi Islam Di Borneo

Selatan 1912-1942 (2009), Pemetaan Sarana dan Prasarana

Pendidikan Kab. Banjar (Tim Penulis, 2010), Metodologi

Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial: Konsep dan Implementasi (Tim

Editor, 2013), Ethnopedagogy: The Proceeding of International Seminar on Ethnopedagogy (Tim

Editor, 2015), Strategi Pembelajaran IPS; Konsep dan Aplikasi (Penulis buku, 2020), aktif menulis

artikel nasional dan internasional, serta pertemuan ilmiah lainnya. Email: [email protected];

Telepon: 0878-5684-3446.

Mutiani, lahir di Banjarmasin 07 September 1989 merupakan

dosen pada Program Studi Pendidikan IPS FKIP Universitas

Lambung Mangkurat. Pada jenjang pendidikan Strata 1

diselesaikan pada Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP

Universitas Lambung Mangkurat tahun 2012. Jenjang Strata 2

diselesaikan pada Program Studi Pendidikan IPS Sekolah

Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2015.

Selain rutinitas aktivitas akademik, penulis aktif berpartisipasi

menulis dalam beberapa seminar nasional, internasional, dan

jurnal-jurnal. Adapun beberapa karya tulis yang telah

dipublikasikan; “Pemanfaatan Puisi Sebagai Sumber Belajar

IPS untuk Menumbuhkan Kesadaran Lingkungan Peserta

Didik Di SMP Negeri 6 Banjarmasin” (Tesis, 2015), “IPS dan

Pendidikan Lingkungan: Urgensi Pengembangan Sikap

Kesadaran Lingkungan Peserta Didik” (Jurnal, 2017),

“Education and Multiculturalism: The Road Ahead Harmony In Globalization” (Prosiding

Internasional, 2017), “Literasi Budaya Lokal Sebagai Wahana Edukasi Di Era Milenial (Prosiding

Nasional, 2018)”, “SOCIAL CAPITAL DAN TANTANGAN ABAD 21: Kontribusi Pendidikan IPS

dan Eksplorasi Nilai Sosial melalui Biografi KH Zainal Ilmi (Jurnal, 2019)”, Strategi Pembelajaran

IPS; Konsep dan Aplikasi (Penulis buku, 2020), serta beberapa artikel ilmiah lainnya. Email:

[email protected]; Telepon: 0812-5181-7222.