sejarah perpajakan

13
Nama : Adib El Khilla NPM : 143010004432 Kelas : 2C D3 Kebendaharaan Negara Pajak, Sejarahnya di Dunia dan Indonesia (resume artikel ‘Pajak dalam Perspektif Sejarah’ dari Onghokham) A. Pendahuluan Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang penting bagi suatu negara. Semua negara di dunia memungut pajak dari rakyatnya, yang kemudian digunakan untuk membiayai pengeluarannya dalam rangka mencapai tujuannya. Kemajuan suatu negara dipengaruhi oleh pembangunan yang dijalankan oleh negara tersebut, dan suatu pembangunan membutuhkan biaya. Penerimaan pajak merupakan salah satu sumber dana utama yang dimiliki negara untuk membiayai pembangunannya. Semakin tinggi pajak yang dikumpulkan, semakin banyak kegiatan pembangunan yang dapat dijalankan. Kekuasaan negara sangat berkaitan dengan keuangan negara. Keuangan negara ini sangat dipengaruhi oleh besarnya pajak yang diperoleh. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh negara untuk menghimpun pendapatan tersebut adalah melalui pemungutan pajak. Suatu fenomena yang terus berlanjut dari zaman dahulu hingga saat ini adalah fenomena dimana suatu negara dalam menghimpun pendapatan yang akan digunakan untuk membiayai pengeluarannya dalam rangka mencapai tujuannya selalu menghadapi berbagai masalah.. Permasalahan mengenai pemungutan pajak merupakan suatu persoalan yang dinamis dalam sejarah perkembangan masyarakat di berbagai negara.

description

sejarah perpajakan secara umum dan Indonesia

Transcript of sejarah perpajakan

Nama : Adib El KhillaNPM : 143010004432Kelas : 2C D3 Kebendaharaan NegaraPajak, Sejarahnya di Dunia dan Indonesia(resume artikel Pajak dalam Perspektif Sejarah dari Onghokham)

A. PendahuluanPajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang penting bagi suatu negara. Semua negara di dunia memungut pajak dari rakyatnya, yang kemudian digunakan untuk membiayai pengeluarannya dalam rangka mencapai tujuannya. Kemajuan suatu negara dipengaruhi oleh pembangunan yang dijalankan oleh negara tersebut, dan suatu pembangunan membutuhkan biaya. Penerimaan pajak merupakan salah satu sumber dana utama yang dimiliki negara untuk membiayai pembangunannya. Semakin tinggi pajak yang dikumpulkan, semakin banyak kegiatan pembangunan yang dapat dijalankan.Kekuasaan negara sangat berkaitan dengan keuangan negara. Keuangan negara ini sangat dipengaruhi oleh besarnya pajak yang diperoleh. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh negara untuk menghimpun pendapatan tersebut adalah melalui pemungutan pajak. Suatu fenomena yang terus berlanjut dari zaman dahulu hingga saat ini adalah fenomena dimana suatu negara dalam menghimpun pendapatan yang akan digunakan untuk membiayai pengeluarannya dalam rangka mencapai tujuannya selalu menghadapi berbagai masalah.. Permasalahan mengenai pemungutan pajak merupakan suatu persoalan yang dinamis dalam sejarah perkembangan masyarakat di berbagai negara. Permasalahan ini mengiringi berkembangnya sejarah perpajakan di dunia, termasuk di Indonesia.A. 1 Sejarah Perpajakan di DuniaSejarah perkembangan pajak di dunia telah mengalami banyak perkembangan. Pajak memang telah dikenal sejak zaman dahulu kala (walau dengan istilah-istilah lain seperti upeti). Pajak yang diserahkan tidak hanya berbentuk uang, namun juga dalam bentuk natura. Penerapan pemungutan pajak pertama kali diterapkan saat pembentukan kekaisaran Cina 3000 tahun yang lalu. Kekuatan militer yang dimiliki kekaisaran saat itu sangat kuat, sehingga mampu memaksa rakyatnya untuk membayar pajak. Hal ini menjadi cikal bakal lahirnya birokrasi dalam pemungutan dan pengadministrasian perpajakan di dunia. Lalu di zaman mesir kuno, pungutan pajak juga telah dikenal. Pungutan yang diambil oleh raja-raja Mesir ini cenderung memaksa dan menghalalkan segala cara. Bahkan penggunaan minyak goreng pun dikenakan pajak pada saat itu, yang dikenal dengan nama Scribe. Selanjutnya pada masa-masa peperangan antar kerajaan, di Yunani (tepatnya di kerajaan Athena) telah diterapkan pemungutan pajak yang dikenal dengan nama Eisphora. Eisphora merupakan iuran yang dipungut untuk membiayai perang, namun ketika perang tersbut selesai, hasil pungutan yang masih tersisa dikembalikan ke rakyat. Selain Eisphora, kerajaan Athena juga memungut pajak dari para pendatang setiap bulannya. Di kerajaan Romawi, pada masa kepemimpinan Julius Cesar, telah menerapkan pajak penjualan sebesar 1%. Pada masa kepemimpinan Augustinus, dilakukan pemungutan pajak atas warisan untuk membiayai dana pensiun bagi para anggota militernya.Dimana saja, khususnya dalam kerajaan-kerajaan tradisional, pajak merupakan suatu hal yang paling sulit untuk dilaksanakan. Banyaknya kendala yang terjadi seperi sulitnya melakukan penilaian atas kekayaan seseorang, penghasilannya, dan nilai pribadi. Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk memungut pajak seringkali lebih besar dari hasil pajak yang diperoleh. Walaupun terdapat banyak kendala, pajak tetap merupakan unsur terpenting dalam kehidupan politik, sehingga negara terus mengupayakan agar penerimaan pajak dapat dimaksimalkan, meskipun dengan cara kekerasan sekalipun, sehingga pada saat itu muncul suatu persepsi bahwa tugas negara hanyalah untuk memungut pajak dari rakyatnya.Pada saat itu, tidak hanya negara saja yang berhak untuk memungut pajak, dari kaum pemuka agama pun juga memiliki hak untuk memungut pajak dari warganya, yang dikenal dengan istilah Tithe. Dasar legal yang dimiliki oleh negara dan pemuka agama tersebut sering memicu ketegangan dengan para warganya, karena pihak pemungut (negara & pemuka agama) sering menggunakan paksaan dalam memungut pajak. Selain itu, pajak yang telah dikumpulkan sering disalahgunakan. Tujuan utama dari pengumpulan pajak pada intinya adalah kesejahteraan rakyat, namun pajak yang dikumpulkan saat itu digunakan bukan untuk mencapai tujuan utama tersebut. hal ini menimbulkan sikap anti dari warga sendiri terhadap para pemungut pajak. Sikap anti ini terus berkembang menjadi bentuk-bentuk perlawanan langsung, mulai dari gerakan-gerakan protes hingga revolusi dan reformasi agama. Ketidakadilan pemungutan pajak pada zaman kerajaan tradisional yang berlanjut hingga periode kolonial, menyebabkan sikap anti rakyat terhadap pemerintah semakin besar. Para petani dan golongan rakyat bawah dikenai pajak yang tinggi, sedangkan kaum bangsawan dan gereja tidak dikenai pajak. Alasan tradisional yang mendasari hal tersebut adalah karena para bangsawan dan gereja pada masa lampau telah membantu negara dalam dinas militer. Bantuan tersebut berupa dana yang digunakan oleh negara untuk membayai kebutuhan perang. Sedangkan kaum gereja teah membantu negara dalam bidang rohani dan sosial seperti membiayai sekolah, rumah yatim piatu, memelihara yang sakit & miskin. Alasan lainnya adalah karena kedua golongan ini memiliki kedudukan politis yang kuat dan merupakan sekutu raja yang paling utama. Saat ini penerapan kebijakan tersebut masih dilakukan dengan alasan bahwa dengan ditiadakannya kewajiban membayar pajak, swasta dapat menggiatkan perekonomian, yang akan berdampak positif bagi penerimaan negara meupun perekonomian masyarakat. Pembebanan pajak secara tidak adil ini akan menimbulkan gejolak-gejolak politik. Bila keadaan ini terus berlanjut, akan membawa negara ke arah revolusi pemerintahan, seperti Revolusi Perancis yang terjadi pada tahun 1789. Sebagai akibat dari desakan-desakan yang muncul dari sistem pemungutan pajak yang menimbulkan ketidakadilan tersebut , maka dilakukanlah reformasi dalam sistem pemungutan pajak. Hal ini mulai berkembang di seluruh dunia.Sistem perpajakan terus berkembang dari waktu ke waktu. Prinsip pemungutan pajak yang memiliki sifat memaksa tetap dipertahankan, namun unsur keadilan terus ditingkatkan. Di negara modern, pajak dapat digunakan sebagai alat pemerataan, dimana berlaku pajak Progresif. Penerapan pajak progresif ini mulai muncul ketika terjadinya perang dingin. Hal ini merupakan sesuatu yang baru, karena kedudukan kekuasaan politik dengan kedudukan ekonomis yang sejajar karena diberlakukannya pajak progresif ini justru dapat membebaskan orang dari pembayaran pajak. Kebijakan mengenai pajak sebagai alat pemerataan merupakan salah satu senjata blok Barat untuk menanamkan ideologinya ke negara-negara lain.Hingga saat ini, sistem pemungutan pajak masih terus dikembangkan demi terciptanya keadilan dalam pemungutan pajak. Paham demokrasi mulai banyak diterapkan setelah berakhirnya Perang Dingin. Di negara-negara demokrasi, rakyat ikut serta dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak. Hal ini penting untuk dilakukan, karena tujuan pemungutan pajak adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat itu sendiri. Saat ini, pajak dianggap sebagai suatu kewajiban warga terhadap negaranya dan juga kewajiban negara terhadap rakyatnya. Konsep timbal baik ini menerangkan bahwa pajak yang telah dipungut oleh negara harus digunakan untuk kepentingan rakyat secara umum, menjamin kemakmuran bersama. Di negara yang menganut prinsip welfare state, negara berkewajiban untuk melindungi dan menjamin secara layak kehidupan seluruh warga negaranya, termasuk mereka yang tidak bekerja sekalipun. Di negara-negara ini, golongan-golongan yang tidak bekerja ini dikhawatirkan akan menimbulkan masalah-masalah yang dapat mengganggu ketentraman dan kesejahteraan seluruh masyarakat. Oleh karena itu, untuk menghindari dampak negatif tersebut, warga negara yang bekerja sadar untuk membayar pajak bagi negara, sehingga dana-dana yang telah dikumpulkan dari pajak tesebut dapat digunakan untuk menghindari dampak negatif yang timbul dari adanya pengangguran. Kesadaran atas pembayaran pajak kepada negara tersebut memberikan mereka kesempatan untuk ikut mengawasi dan mengontrol penggunaan dana yang telah diserahkan kepada negara dalam bentuk pajak tadi. Mereka dapat memprotes bila negara mempergunakan dana pajak untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang tidak berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Hal ini merupakan bentuk supremasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di negara demokrasi.A. 2 Sejarah Perpajakan di IndonesiaSejarah perpajakan di Indonesia mengalami banyak sekali perubahan dan perkembangan, yang dapat dikelompokkan menurut periode tertentu. Periodisasi sejarah perpajakan di indonesia dibagi menjadi 3 periode yaitu :1. Periode kerajaan tradisional2. Periode kolonial3. Periode pasca kemerdekaanDalam masing-masing periode, terdapat dinamika sepanjang penerapannya. Pengaruh dari budaya asli, kedatangan bangsa penjajah, serta masalah-masalah lain mempengaruhi perkembangan sejarah perpajakan di Indonesia.A.2.1 Periode kerajaan tradisionalPada periode ini, terdapat 2 jenis kerajaan yang mendominasi, yaitu kerajaan agrariadan kerajaan maritim. Dua jenis kerajaan ini menerapkan bentuk perpajakan yang berbeda. Pada kerajaan agraris, keterikatan pada kekuasaan sangat kuat. Mereka sangat tergantung kepada penguasanya. Hal ini dikarenakan sumber penghasilan yang dimiliki oleh penduduk di kerajaan agraris hanya bersumber dari tanah. Tanah merupakan sesuatu yang tidak dapat hilang dan dapat disembunyikan, sehingga masyarakat tidak dapat menghindar dari pengenaan pajak. Sedangkan di kerajaan maritim, rakyat tidak dikenakan pajak, baik dalam bentuk uang atau barang, maupun dalam bentuk kerja paksa. Berbeda dengan kerajaan agraris yang hanya mengandalkan tanah sebagai sumber penghidupannya, kerajaan maritim mempunyai berbagai sumber penerimaan. Uang, emas, dan barang-barang dagangan merupakan sumber penghidupan masyarakat kerajaan maritim yang sifatnya dapat disembunyikan, sehingga mereka dapat menghindar dari kewajiban membayar pajak. Sumber pendanaan negara yang dapat dioptimalkan adalah penerimaan dari pajak yang dipungut dari transaksi perdagangan atas kapal-kapal melintasi wilayah kerajaannya, baik itu pajak impor maupun ekspor. Dalam hal ini pajak yang dipungut dalam kerajaan maritim merupakan pajak tidak langsung. Perbadaan antara jenis pajak yang dipungut oleh kerajaan agraris dan kerajaan maritim akan berpengaruh pada pemungutan pajak yang diterapkan pada masa kolonial.Pajak yang diambil oleh pemerintah pusat tidak sebanding dengan beban pajak yang ditanggung oleh rakyat. Ini dikarenakan para pejabat pemungut pajak yang merupakan pihak yang berdiri otonom secara finanasial. Mereka mencari dan sendiri untuk membiayai kehidupannya, karena mereka tidak digaji oleh pemerintah pusat. Salah satu cara untuk mendapatkan pengahasilan adalah dengan memungut pajak yang tinggi dari rakyat, kemidian memberikan bagian pemerintah pusat. Namun dalam penerapannya, pejabat pemungut tetap dibatasi dalam hal nominal pajak yang dipungut.Selain dari pajak yang dipungut dari rakyat, raja masih memiliki tanah-tanah atau petani sendiri yang secara langsung membayar upeti kepdanya, yitu para penggarap tanah kerajaan.Terdapat beberapa kedudukan pejabat pemungut pajak yang dikenal pada masa itu, antara lain demang, lungguh, dan bekel. Jabatan-jabatan tersebut dapat dijual, yang kemudian sering disebut dengan venality of office. Hanya golongan-golongan tertentu saja yang dapat membeli jabatan ini. Penjualan jabatan dengan harga tinggi membuat pihak yang membeli jabatan akan meningkatkan beban pajak yang harus ditanggung oleh rakyat untuk mengembalikan modal yang telah mreka keluarkan. Hal ini akan memicu pemberontakan dari kalangan rakyat terhadap pihak pemungut pajak.Walaupun dinyatakan bahwa pada kerajaan-kerajaan tradisional peungutan pajak dilaksanakan dengan giat, namun harus disadari bahwa tidak semua kegiatan dapat memberikan dana yang besar bagi negara. Hal ini terjadi karena belum sempurnanya sistem pemungutan pajak. Selain itu biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan dana sering tidak sebanding.A.2.2 Periode kolonialPada masa kolonial, sistem perpajakan menekankan fungsinya pada segi pemasukan keuangan untuk keperluan penjajahan di negeri Belanda. Karena pajak ditarik dari rakyat untuk kepentingan pembangunan di Negri Belanda maka sistem pemungutan pajak yang dianut pada masa itu adalah sistem yang meletakkan dasar kekuatan administrasi perpajakan. Sistem ini menekankan bahwa jumlah pajak terutang, sepenuhnya ditentukan oleh aparat pajak. Kelemahan sistem ini adalah wajib pajak tidak diberikan kepercayaan sama sekali dalam penghitungan utang pajaknya. Aparat perpajakan memiliki wewenang yang sangat luas, sehingga sangat merugikan wajib pajak. VOC sebagai pemegang kendali perdagangan di hindia belanda hanya memungut pajak pada penduduk di daerah-daerah yang dikuasai secara langsung. Para penduduk baik pribumi, cina ,barat, swasta, dan pedagang dari golongan lain, dikenakan pajak. Selain itu, VOC juga memiliki monopoli atas penjualan candu, garam, pemetikan sarang burung, yang dimana hak monopoli tersebut dapat dijual pada pacht-pacht yang biasanya dipegang oleh kapiten cina yang kaya. Venality of office masih diterapkan pada masa itu.Kebangkrutan VOC pada tahun 1799 dan adanya pergantian pemegang pemerintahan yang beralih ke tangan inggris pada tahun 1811 merubah sistem perpajakan di indonesia, terutama di daerah Jawa. Thomas Stanford Raffles mencanangkan sistem perpajakan bagi jawa, dan juga sekaligus meletakkan dasar-dasar finansial bagi negara kolonial modern di Jawa. Sistem pajak tersebut dikenal dengan nama landrent, Zaman pajak tanah model Raffles ini akhirnya digantikan dengan tanam paksa Hindia Belanda pada tahun 1830.sistem tanam paksa ini memiliki 3 unsur yaitu sistem lungguh, pajak tanah, dan kontrak-kontrak penyerahan hasil bumi antara VOC dan bupati jawa pesisir. Dalam sistem tanam paksa para petani dibebaskan dari pajak-pajak tanah, namun mereka tidak mendapatkan upah untuk pekerjaan mereka di perkebunan ataupun untuk penyerahan tanah mereka guna perkebunan, juga tidak menerima ganti rugi atau uang sewa. Semuanya merupakan penganti pajak tanah . kerja rodi maupun penyerahan tanah tetap disebut pajak tanah yang tidak dikumpulkan. Penduduk pribumi merupakan penyumbang terbesar pajak tanah. Sekitar 60% dari total penerimaan pajak berasala dari pendudukpribumi. Walapun tiap tahunnya menurun, namun presentasenya merupakan penghasilan terbesar dari keseluruhan penerimaan yang diperoleh Hindia. Pajak tanah merupakan sebagian besar penghasilan pemerintah kolonial. Namun hal ini menimbulkan banyak sekali implikasi sosial politik berupa munculnya pemberontakan-pemberontakan oleh para petani.Ada sisi menarik yang perlu diperhatikan dalam hal pembangkangan dan pemberontakan pajak pada masa tersebut, yaitu bahwa sering pembangkangan itu tidak hanya dilakukan oleh para golongan masyarakat bawah (para petani), namun juga dilakukan oleh golongan orang-orang kaya. Pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang yang tergolong kaya, sebagai pihak yang dapat membayar pajak lebih banyak dari jumlah yang mereka bayarkan, sering dilakukan dengan cara meminta pemerintah untuk melakukan reformasi di bidang perpajakan. Orang-orang ini biasanya sadar bahwa mereka tidak akan menerima bahwa uang pajak yang telah dibayarnya dihamburkan oleh negara tanpa dia menerima jasa yang setimpal.A. 2. 3 Periode pasca kemerdekaanTerdapat berbagai UU yang mengatur mengenai pembayaran pajak yang dibuat pada masa kolonial Belanda, diantaranya adalah : a) Ordonansi Rumah Tangga (Stbl 1908 No. 13)b) Aturan Bea Materai (Stbl 1921 No. 498)c) Ordonansi Bea Balik Nama (Stbl 1924 No. 291)d) Ordonansi Pajak Kekayaan (Stbl. 1932 No. 405)e) Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor (Stbl 1934 No. 718)f) Ordonansi Pajak Upah (Stbl 1934 No. 611)g) Ordonansi Pajak Potong (Stbl. 1936 No. 671)h) Ordonansi Pajak Pendapatan (Stbl. 1944 no. 17)UU tersebut masih diterapkan pada awal kemerdekaan. Sejalan dengan perkembangan negara dan kebutuhan yang semakin mendesak, diundangkan lagi beberapa UU yang berkaitan dengan Administrasi Perpajakan. Akan tetapi, penerapan pemungutan pajak dengan berdasarkan pada banyak UU dinilai tidak efektif. Penerimaan pajak tidak optimal, selain itu penerapan pemungutan dinilai masih belum memenuhi ras keadilan. Oleh karena itu, pemerintah pada tahun 1983 menyederhanakan peraturan-peraturan mengenai ketentuan Perpajakan dengan membuat 1 paket UU yang sifatnya lebih mudah dipelajari dan lebih memenuhi unsur keadilan. UU yang dimaksud adalah :a) UU no. 6 th. 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakanb) UU no. 7 th. 1983 tentang Pajak Penghasilanc) UU no. 8 th. 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewahd) UU no. 12 th. 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunane) UU no. 13 th. 1985 tentang Bea MateraiPemberlakuan UU ini juga diiringi dengan penggantian sistem pemungutan pajak di Indonesia, yang semula menerapkan sistem Official Assessment System, yang berubah menjadi Self Assesment System. Perubahan sistem ini bertujuan untuk meningkatkan keadilan dalam pemungutan pajak di Indonesia. Perubahan dalam UU dan sistem perpajakan pada tahun 1983 ini dikenal dengan PSPN (Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional)Sejak diadakannya PSPN dalam administrasi perpajakan di Indonesia, perkembangan penerimaan perpajakan di Indonesia cenderung meningkat. Peraturan yang lebih mudah diterapkan serta keadilan yang semakin diutamakan dalam pemungutan pajak yang membuat masyarakat Indonesia mulai tergerak untuk membayar pajak. Meskipun pembayaran pajak mengalami peningkatan semenjak diberlakukannya PSPN, namun pada kenyataannya belum optimal. Masih banyak potensi-potensi yang dapat dioptimalkan untuk memaksimalkan penerimaan pajak. Kebutuhan negara yang setiap tahunnya semakin meningkat membuat pemerintah senantiasa mengupayakan optimalisasi pemungutan pajak. Revisi dan penambahan UU dilaukan demi tercapainya pemungutan pajak yang optimal. Hingga saat ini, perubahan atas UU dalam PSPN telah beberapa kali diadakan. UU tentang perpajakan yang saat ini berlaku adalah :a) UU nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilanb) UU nomor 42 tahun 2009 tentang PPN dan PPnBMc) UU nomor 28 tahun 2007 tentang KUPd) UU nomor 12 tahun 1985 tentang PBBe) UU nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Materaif) UU nomor 39 tahun 2007 tentang Cukaig) UU nomor 17 tahun 2006 tentang kepabeananPenerimaan perpajakan terus diupayakan untuk memenuhi pembayaran pengeluaran negara. Saat ini, penerimaan perpajakan digunakan untuk membiayai lebih dari 60% pengeluaran negara. Penerimaan pajak yang meningkat akan memberikan ruang fiskal begi negara untuk melakukan pengeluaran yang sesuai dengan tujuan pembangunan nasional, demi terciptanya tujuan negara Indonesia1. 3 SimpulanSejarah perpajakan di dunia, termasuk di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan. Perkembangan sistem yang berubah disebabkan karena tuntutan penerimaan negara yang harus dicapai, mengingat penerimaan pajak merupakan sumber penerimaan utama bagi negara untuk membiayai pengeluaran negara dalam membangun negara tersebut. Semakin tinggi pajak yang diperoleh, pembangunan negara akan semakin optimalDari zaman kerajaan tradisional hingga negara modern, pemungutan pajak telah dilakukan. Berbagai masalah muncul dalam penerapannya, dan atas dasar itulah sistem pemungutan pajak mengalami berbagai perubahan. Banyaknya kritik atas ketidakadilan pemungutan pajak pada zaman kerajaan tradisional dan kolonialisme mulai dihilangkan pada zaman modern saat ini. Terutama di negara demokrasi. Keikutsertaan rakyat dalam membahas dan menentukan UU yang diterapkan dalam sistem pemungutan pajak di negara tersebut menunjukkan bahwa unsur keadilan saat ini dalam pemungutan pajak semakin tinggi.Perkembangan perpajakan di dunia juga mempengaruhi sistem perpajakan di Indonesia. Bangsa Indonesia yang dijajah oleh beberapa negara pernah mengalami berbagai perubahan dalam sistem perpajakan, dan yang paling berpengaruh adalah sistem yang diterapkan oleh bangsa Belanda. Hingga tahun 1983, UU yang mengatur tentang perpajakan masih dominan buatan pemerintahan kolonial belanda. Karena tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, reformasi dalam pemungutan pajak dilakukan pada tahun 1983, dengan ddiundangkannya 1 paket perundang-undangan yang mengatur tentang perpajakan. Pemberlakuan ini juga merubah sistem pemungutan pajak yang semula menganut Official Assesment System, kemudian berubah menjadi Self Assesment System.Sistem pemungutan pajak terus berkembang, disesuaikan dengan perkembangan zaman. Tuntutan akan pengeluaran negara yang semakin meningkat serta tuntuan akan keadilan dalam pemungutan pajak menjadi alasan bagi pemerintah untuk melakukan beberapa langkah penyesuaian dalam pemungutan pajak. Diharapkan dengan penyesuaian-penyesuaian yang dilakuakanoleh pemerintah ini akan lebih meningkatkan penerimaan pajak bagi Indonesia, sehingga pembangunan Negara dapat dioptimalkan. Pembanguna yang optimal akan memudahkan negara dalam mencapai tujuannya. DAFTAR PUSTAKA

1. Artikel Pajak dalam Perspektif Negara dari Onghokham2. B. Ilyas, Wirawan dan Richard Burton, Hukum Pajak, Edisi 3, Salemba Empat, Jakarta, 2007\3. Buku Dasar-dasar Praktek Penyusunan APBN di Indonesia, diterbitkan oleh Direktorat Penyusunan APBN, Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan, Tahun 20144. http://ariyanti-ariyanti.blogspot.com/2010/12/reformasi-sistem-perpajakan.html, diakses pada hari Senin, 4 Mei 2015 pukul 17.005.