Sejarah Pemikiran Khawarij

26
Sejarah Pemikiran Khawarij: Dari Politik ke Teologi: Oleh Dr. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag. 1 Makalah ini akan menfokuskan pembahasan pada aliran Khawarij, yang tercatat dalam sejarah memiliki pandangan- pandangan politik dan teologi yang ekstrem. Pertanyaan yang ingin penulis teliti jawabannya adalah latar belakang apa yang menyebabkan Khawarij tidak saja mempunyai pandangan-pandangan politik dan teologi yang ekstrem tapi juga berperilaku keras bahkan cenderung kejam. Mereka, kata Abu Zahra, suka menyabung nyawa dalam bahaya meskipun tidak ada pendorong untuk berbuat itu. 2 Ironisnya mereka sangat kejam dan sama sekali tidak toleran dengan perbedaan pendapat sesama Muslim, tapi sangat toleran dengan Ahlul Kitab. Tapi sebelum menganalisis masalah di atas penulis akan deskripsikan terlebih dahulu asal usul dan perkembangan Khawarij, dengan tekanan pada asal usul, untuk dapat melihat secara jelas bagaimana persoalan politk diberi legitimasi teologi di samping alasan teknis terbatasnya halaman untuk berbicara panjang lebar tentang perkembangan Khawarij masa-masa selanjutnya. Sedangkan mengenai doktrin pemikiran politik dan teologi Khawarij itu sendiri tidak penulis bicarakan secara khusus, tetapi hanya beberapa doktrin diungkapkan dalam perjalanan bahasan kesejarahan tentang perkembangan pemikiran itu sendiri. Sikap itu diambil karena makalah ini memakai pendekatan historis, bukan doktriner. Kata kunci: doktrin, teologi, pemikiran Islam, khawarij 1 Penulis adalah staf pengajar tetap Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 2 M. Abu Zahra, Sejarah Alran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah, diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Shobahussurur (Gontor : PSIA, 1991) hal 77. 1

description

Sejarah pemikiran khawarij

Transcript of Sejarah Pemikiran Khawarij

Makalah Seminar SPPI:

PAGE 11

Sejarah Pemikiran Khawarij:Dari Politik ke Teologi:

Oleh Dr. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag.

Makalah ini akan menfokuskan pembahasan pada aliran Khawarij, yang tercatat dalam sejarah memiliki pandangan-pandangan politik dan teologi yang ekstrem. Pertanyaan yang ingin penulis teliti jawabannya adalah latar belakang apa yang menyebabkan Khawarij tidak saja mempunyai pandangan-pandangan politik dan teologi yang ekstrem tapi juga berperilaku keras bahkan cenderung kejam. Mereka, kata Abu Zahra, suka menyabung nyawa dalam bahaya meskipun tidak ada pendorong untuk berbuat itu. Ironisnya mereka sangat kejam dan sama sekali tidak toleran dengan perbedaan pendapat sesama Muslim, tapi sangat toleran dengan Ahlul Kitab.

Tapi sebelum menganalisis masalah di atas penulis akan deskripsikan terlebih dahulu asal usul dan perkembangan Khawarij, dengan tekanan pada asal usul, untuk dapat melihat secara jelas bagaimana persoalan politk diberi legitimasi teologi di samping alasan teknis terbatasnya halaman untuk berbicara panjang lebar tentang perkembangan Khawarij masa-masa selanjutnya. Sedangkan mengenai doktrin pemikiran politik dan teologi Khawarij itu sendiri tidak penulis bicarakan secara khusus, tetapi hanya beberapa doktrin diungkapkan dalam perjalanan bahasan kesejarahan tentang perkembangan pemikiran itu sendiri. Sikap itu diambil karena makalah ini memakai pendekatan historis, bukan doktriner.

Kata kunci: doktrin, teologi, pemikiran Islam, khawarijthis working paper will concentrate discussion in sect of khawarij, wich recorded in history wich has policies opinions and extreme theology. The question that will be answered is what causes khawarij not even has policies opinions and extreme wich theology but also berperila hard even inclined cruel. they? ash word zahra? like to fight cocks soul in danger although there is no organizer to make that. ironically they are very cruel and bot at all tolerant with moslem fellow different idea? but very tolerant with ahlul book. ? but before analyze problem above author description beforehand genesis and development khawarij? with pressure in genesis? to can see clearly how problem politk given theology legitimization beside technical reason the limited yard to speaks detailed about development khawarij times furthermore. while hit policies thinking doctrine and theology khawarij itself not author talks peculiarly? but only several doctrines is unfolded on the way criticism kesejarahan about itself thinking development. that attitude is taken because this working paper wears to approach historic? not doktriner. ?

This working paper will focus the discussion in sect of Khawarij, which is recorded in history wich has the political view and exstreem theology. Question which wish the accurate writer of its answer is what any background causing Khawarij not only has the extreme political view and theology but also hard behaviour even tend to cruel. They, Dusty word [of] Zahra, like to risk life in danger though [there] no impeller to do that. Ironically they very cruel and lenient [is] not at all with the different idea of Moslem humanity, but very lenient by Ahlul [is] Buku.

But before analysing problem [of] above writer of deskripsikan beforehand genesis and growth Khawarij, with the pressure [of] [at] genesis, to be able to see clearly how problem politk given [by] the legitimasi theology beside technical reason the limited page;yard to converse elaborate about growth Khawarij [of] a period of/to hereinafter. While hitting political idea doctrine and theology of Khawarij of writer itself [do] not discuss peculiarly, but only some doctrine laid open on the way history discussion [of] about growth of itself idea. That attitude [is] taken [by] because this handing out hence historical approach, non doktriner.Pendahuluan

Kematian khalifah Utsman ibn Affan secara tragis melalui tangan para perusuh tahun 35 H telah menyebabkan terjadinya beberapa peristiwa yang mengguncang tubuh umat Islam. Salah satu di antaranya adalah perang Shiffien, 2 tahun setelah Ali ibn Abi Thalib dibaiat jadi khalifah menggantikan Utsman.Perang besar antara kubu Ali dengan kubu Muawiyah ibn Abi Sufyan itu, tidak hanya mengoyak umat Islam menjadi dua kubu besar secara politis, tetapi juga melahirkan dua aliran pemikiran yang secara ekstrem selalu bertentangan yaitu Al-Khawarij dan Syiah. Misalnya Khawarij mengkafirkan dan menghalalkan darah Ali setelah peristiwa , sementara Syiah belakangan mengkultuskan Ali demikian rupa sehingga seolah-olah Ali adalah manusia tanpa cacat. Sekalipun semula kedua aliran tersebut bersifat politik tapi kemudian untuk mendukung pandangan dan pendirian politik masing-masing, mereka memasuki kawasan pemikiran agama (baca: teologi)Makalah ini tidak akan membahas kedua aliran ekstrem tersebut, tapi menfokuskan pembahasan pada aliran Khawarij, yang tercatat dalam sejarah memiliki pandangan-pandangan politik dan teologi yang ekstrem. Pertanyaan yang ingin penulis teliti jawabannya adalah latar belakang apa yang menyebabkan Khawarij tidak saja mempunyai pandangan-pandangan politik dan teologi yang ekstrem tapi juga berperilaku keras bahkan cenderung kejam. Mereka, kata Abu Zahra, suka menyabung nyawa dalam bahaya meskipun tidak ada pendorong untuk berbuat itu. Ironisnya mereka sangat kejam dan sama sekali tidak toleran dengan perbedaan pendapat sesama Muslim, tapi sangat toleran dengan Ahlul Kitab.Tapi sebelum menganalisis masalah di atas penulis akan deskripsikan terlebih dahulu asal usul dan perkembangan Khawarij, dengan tekanan pada asal usul, untuk dapat melihat secara jelas bagaimana persoalan politk diberi legitimasi teologi di samping alasan teknis terbatasnya halaman untuk berbicara panjang lebar tentang perkembangan Khawarij masa-masa selanjutnya. Sedangkan mengenai doktrin pemikiran politik dan teologi Khawarij itu sendiri tidak penulis bicarakan secara khusus, tetapi hanya beberapa doktrin diungkapkan dalam perjalanan bahasan kesejarahan tentang perkembangan pemikiran itu sendiri. Sikap itu diambil karena makalah ini memakai pendekatan historis, bukan doktriner.Asal-Usul dan Perkembangan KhawarijPada tahun 37 H Muawiyah, Gubernur Syria memberontak terhadap Amir al-Muminin Ali ibn Abi Thalib. Pemberontakan itu meletus karena dalam suasana berkabung dan emosi yang meletup-letup karena pembunuhan Utsman, Ali mengeluarkan keputusan yang tidak strategis sebagai seorang kepala negara, yaitu pemecatan Muawiyah dari jabatan Gubernur Syria. Dengan pemecatan itu Muawiyah punya dua alasan untuk melawan Ali. Tidak jelas mana yang lebih dominan, apakah karena ingin menuntut balas atas kematian Ustman atau ingin mempertahankan jabatannya sebagai Gubernur.

Sebelum peperangan meletus, Ali sudah mengirim Jarir ibn Abdillah al-Bajuli untuk berunding dengan Muawiyah. Tapi perundingan tidak berhasil mencegah peperangan karena tuntutan Muawiyah yang terlalu berat untuk dipenuhi oleh Ali. Muawiyah menuntut dua hal: (1) ekstradisi dan penghukuman terhadap para pelaku pembunuhan Amir al Muminin Utsman ibn Afan; dan (2) pengunduran diri Ali dari jabatan Imam (khalifah) dan dibentuk sebuah Syura untuk memilih khalifah baru.

Berbeda dengan Muawiyah yang secara pribadi punya alasan untuk menuntut balas atas kematian Utsman, penduduk Syria yang mendukungnya memerangi Ali tidaklah dapat dikatakan juga punya motivasi yang sama. Kalau memang mereka siap mati membela darah Utsman, hal itu tentu telah mereka lakukan sejak awal-awal begitu Utsman dibunuh. Tetapi setelah Ali mencapai kemenangan dalam perang Jamal, penduduk Syria melibatkan diri dalam menentang Ali karena mereka menghawatirkan campur tangan Ali dalam urusan dalam negeri mereka sediri di Syria. Demi untuk melemahkan kedudukan Ali penduduk Syria menjadikan pembelaan terhadap Utsman sebagai lambang perjuangan menentang Ali.

Sekali lagi sebelum peperangan benar-benar meletus Ali mengirim kembali juru runding yang terdiri dari Syabats ibn Aibi al-Yarbui at-Tamimi, Ali ibn Hatim at-Thai, Yazid ibn Qais al-Arhabi, dan Ziyad ibn Khasafah at-Taimi at-Tamimi, untuk merunding dengan Muawiyah. Tapi perundingan inipun juga berakhir dengan kegagalan.

Makalah ini tidak akan menguraikan tentang perang Shiffien secara rinci, yang penting diungkap di sini dalam kaitannya dengan kelahiran aliran Khawarij adalah ide Amru ibn Ash dari pihak Muawiyah untuk memecah belah pasukan Ali dengan mengangkat lembaran mushhaf Al-Quran dengan ujung tombak sebagai isyarat mohon perdamaian dengan bertahkim kepada Kitab Suci Al-Quran. Tiga Sejarawan Muslim besar, At-Thabari, Ibnu al-Atsir dan Ibnu Katsir menyebutkan peristiwa itu dalam kitab mereka masing-masing. Menurut Amru, tawaran bertahkim kepada Al-Quran itu akan diterima oleh sebagian pengikut Ali dan akan ditolak oleh yang lain. Dengan demikian mereka pecah. Jika sekiranya mereka sepakat toh juga tidak ada ruginya bagi Muawiyah karena paling kurang sampai waktu tertentu peperangan dapat berhenti. Benar saja, segera saja sebagian pengikut Ali menyerukan untuk menerima tawaran Muawiyah. Ali sendiri menolaknya, karena menurut dia itu hanyalah bagian dari taktik perang Muawiyah. Ali megatakan; Ibdallah, teruslah berada dalam kebenaran dan keyakinan kalian. Teruslah memerangi musuh, karena Muawiyah, Amru, Ibn Abi Muith, Habib, Ibn Abi Sarah dan Dhahhak bukanlah Asshb ad-dn dan bukan pula Ashhb Al-Quran. Saya lebih mengenal mereka dibandingkan kalian. Saya telah bergaul dengan mereka sejak kecil sampai dewasa, mereka adalah anak-anak dan laki-laki dewasa yang jelek. Mereka minta bertahkim kapada kitab Allah, pada hal, demi Allah, mereka mengangkat mushhaf itu hanyalah untuk tipu muslihat belaka. Mendengar seruan Ali mereka menjawab: Mereka mengajak kita kembali kepada Kitabullah, kenapa kita tidak menerimanya? Ali kembali menjawab: Saya memerangi mereka supaya mereka tunduk kepada hukum kitab Allah; karena mereka telah menentang perintah Allah dan melupakan janji mereka dengan Allah, serta mengabaikan kitab suci itu. Kemudian Misar ibn Fadki at-Tamimi, Zaid ibn Hushain ath-Thai dan beberapa tokoh lain dari kelompok Al-Qura-- salah satu unsur koalisi pasukan Ali--mendesak, bahkan mengancam akan memperlakukan Ali seperti apa yang telah mereka lakukan terhadap Utsman.

Setelah Ali terpaksa mengikuti kehendak mereka, Al-Asyasts ibn Qais menawarkan diri untuk menemui Muawiyah dan menanyakan apa yang diinginkannya dengan mengangkat mushhaf seperti itu. Ali menyetujuinya. Muawiyah mengatakan: Mari kita kembali kepada apa yang diperintahkan Allah di dalam Al-Quran. Kalian utuslah seseorang yang kalian sukai dan kami pun akan mengutus seseorang yang kami sukai. Biarkan mereka berdua berunding berdasarkan Kitabullah, kemudian kita ikuti apa yang mereka sepakati. Dengan segera usulan Muawiyah itu disetujui sepenuhnya oleh pasukannya sendiri dan mereka sepakat mengutus Amru ibn Ash sebagai juru runding. Sementara dari pihak Ali sekali lagi kelompok yang tadi memaksa Ali menerima perundingan memaksakan kehendak mereka kepada Ali. Mereka menunjuk Abu Musa al-Aysari, sementara Ali menginginkan Abdullah ibn Abbas atau Malik al-Asytar. Sekali lagi Ali terpaksa mengalah kepada keinginan mereka.

Abu Musa adalah tokoh yang sudah terlibat dalam fase-fase pertama penaklukkan Iraq baik sebagai jenderal pasukan maupun gubernur Kufah dan Bashrah. Dia juga pernah menentang kebijakan Utsman dan dipilih oleh kelompok sebagai gubernur Kufah ketika mengusir gubernur tunjukan Utsman, Said ibn Ash. Menurut Shaban, Abu Musa punya hubungan politik yang lama tidak tergoyahkan dengan kelompok . Sebaliknya Ali meragukan loyalitas Abu Musa karena Ali pernah memecat Abu Musa dari jabatannya karena kurang aktf dan loyal kepadanya. Perlu dicatat bahwa pada waktu itu Abu Musa tidak ada dalam pasukan, karena dia memencilkan diri ke tanah Hijaz. Waktu utusan memberi tahu bahwa dia telah dipilih sepakai Hakam, Abu Musa berkomentar: Inn lillahi wa inn illaihi rjiun. Tidak jelas bagaimana menafsirkan komentar Abu Musa seperti itu. Yang jelas baik Abu Musa maupun Amru adalah dua tokoh yang sangat mengenal daerah masing-masing. Abu Musa sangat kenal daerah Iraq dan Amru sangat kenal dengan Syiria.Perundingan di Daumah al-Jandal, Azruh itu berjalan cukup lama, sekitar enam bulan, mulai Shafar sampai Ramadhan tahun 37 H. tidak banyak yang dapat diketahui tentang apa saja yang dibicarakan dalam perundingan sehingga memerlukan waktu yang lama. Kalaupun ada masalah yang alot dibicarakan juga tidak jelas masalah apa itu. Di antara yang terungkap adalah keberhasilan Amru meyakinkan Abu Musa bahwa Muawiyah sebagai wali Utsman paling berhak dibanding siapapun untuk menuntut balas atas kematian Utsman. Waktu Amru membicarakan keterlibatan Ali dalam pembunuhan Utsman, Abu Musa tidak mau melayani. Dia mengajak Amru membicarakan hal yang bisa menyatukan umat Muhammad. Kata Abu Musa : Anda tahu, penduduk Iraq sama sekali tidak menyukai Muawiyah, dan penduduk Syiria tidak menyukai Ali. Bukankah lebih baik kita copot keduanya dan kita angkat Abdullah ibn Umar?. Amru segera menyetujui pendapat Abu Musa dan mengusulkan beberapa nama, tapi Abu Musa hanya menyetujui Ibnu Umar. Karena tidak tercapai kesepakatan siapa yang akan diangkat menjadi Khaifah, akhirnya disepakati menyerahkannya kepada permusyawaratan kaum Muslim.

Beberapa sumber kemudian menyebutkan kedua juru runding itu mengumumkan hasil kesepakatan mereka. Yang duluan bicara adalah Abu Musa, baru kemudian Amru. Tapi kemudian Amru menghianati Abu Musa dengan secara sepihak mengukuhkan Muawiyah menjadi Khalifah tanpa menurunkannya terlebih dahulu seperti yang disepakati. Harun Nasution yang terkenal berpikiri kritis juga meyakini kelicikan bahkan kecurangan Amru tersebut. Tulisnya : Tradisi menyebut bahwa Abu Musa al-Asyari, sebagai yang tertua, terlebih dahulu berdiri mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, Amru ibn Ash mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali yang telah diumumkan al-Asyari, tetapi menolak penjatuhan Muawiyah.

Dalam hal ini penulis sepakat dengan Hasan Ibrahim Hasan yang meragukan kebenaran kisah tersebut. Menurut dia, mengutip Al-Masudi, kedua juru runding tersebut tidak pernah berpidato menyampaikan hasil perundingan mereka. Mereka memang sepakat mencopot Ali dan Muawiyah dan menyerahkan kepada permusyawaratan kaum Muslimin untuk memilih Khalifah baru. Bahkan Hasan menyetakan para sejarawan telah menzalimi Abu Musa dengan menuduh kalah cerdik dari Amru. Kemungkinan besar pelecehan terhadap kemampuan diplomasi Abu Musa itu, menurut Hasan, karena pendapat Abu Musa dalam perundingan itu tidak sejalan dengan pendapat Ali dan Bani Hasyim walaupun sejalan dengan pendapat sebagian besar kaum Muslimin waktu itu.

Kenapa kemudian kedudukan Muawiyah semakin kokoh di Syiria, bukan karena Amru telah membaiahnya, tapi karena memangAli tidak lagi punya kekuatan yang cukup untuk menggempur Muawiyah karena kemudian pasukan koalisinya menjadi lemah sesudah perang Shiffien, apalagi nanti setelah kelompok besar memisahkan diri yang kemudian dikenal dangan kelompok Khawarij. Sementara pendukung Muawiyah semakin solid, apalagi Muawiyah sudah mejadi Gubernur Syria semenjak zaman Umar.

Sekarang kita kembali pada kelompok Qurr. Setelah perundingan selesai mereka berbalik menentang Tahkm, padahal tadinya mereka juga mendesak Ali menerima Tahkm. Sekarang mereka kemukakan alasan-alasan yang bersifat teologis, untuk mendukung pandangan dan sikap polotik mereka. Menurut mereka, Tahkm salah karena hukum Allah tentang pertikaian mereka sudah jelas. Mereka yakin kubu Ali lah (dalam konflik dengan kubu Muawiyah) yang berada di pihak yang benar. Kubu Ali yang beriman. Tahkm berarti meragukan kebenaran masing-masing pihak. Hal itu bertentangan dengan Al-Quran. Mereka teriakkan L hukma illa lillah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah). Mereka meminta Ali mengaku salah, bahkan megakui bahwa dia telah kafir kerena menerima Tahkm. Mereka desak Ali supaya membatalkan hasil kesepakatan Tahkm. Kalau tuntutan mereka dipenuhi mereka akan kembali berperang di pihak Ali. Tentu saja Ali menolak. Kesepakatan tidak boleh dilanggar. Agama memerintahkan kita untuk menepati janji. Kalau Ali mungkir janji koalisinya akan semakin pecah. Lagipula bagaimana mungkin dia mau mengakui dirinya telah kafir, padahal dia tidak pernah berbuat musyrik semenjak beriman.

Karena tuntutan mereka tidak dipenuhi Ali, akhirnya mereka meninggalkan kamp Ali di Kufah pergi ke luar kota menuju desa Harura yang tidak seberapa jauh dari Kufah. Dari nama desa Harura inilah, maka untuk pertama kali mereka itu dikenal dengan nama golongan Al-Harriyah. Di Harura inilah mereka membentuk organisasi sediri dan memilih Abdullah ibn Wahab ar-Rasibi dari Banu Azd sebagai pemimpin mereka. Karena mereka keluar dari kubu Ali itulah kemudian mereka dikenal dengan al-Khawrij, bentuk jama dari Khriji (yang keluar).

Menurut Syahrastani, yang disebut Khrij, adalah siapa saja yang keluar dari (barisan) imam yang hak yang telah disepakati oleh jamaah, baik ia keluar pada masa sahabat di bawah pimpinan al-Aimmah ar-Rsyiddn atau pada masa tabiin atau pada masa imam mana pun di setiap masa. Secara etimologis Syahrastani benar, tapi secara terminologi apalagi secara historis nama Khawarij hanya diberikan kepada kelompok yang keluar dari kubu Ali seperti yang disebut di atas, dan disebut juga al-Harriyah karena mereka pergi memisahkan diri ke Harura. Tapi dibanding dengan nama-nama lain yang dipanggilkan kepada mereka maka nama Khawarij lah yang paling umum bisa dipakaikan untuk semua kelompok pecahan Khawarij, sebab dalam perkembangan sekanjutnya kita akan lihat kelompok ini paling mudah memisahkan diri dari kelompok awalnya karena perbedaan pendapat yang kadang-kadang tidak prinsip. Khurj sudah merupakan dustr mereka. Dalam bahasa Inggris Khawarij ditulis Kharijites dan dialihbahasakan menjadi Seceders, Rebels.

Semakin lama kelompok yang meisahkan diri ke Harura semakin membesar, hingga bulan Ramadhan atau Syawal tahun 37 H jumlah mereka sudah mencapai 12.000 orang. Dan kamp mereka kemudian pindah ke Jukha, sebuah desa yang terletak di tepi barat sungai Tigris. Ali berusaha berunding dengan mereka tapi tidak membuahkan hasil. Secara diam-diam sebagian mereka pergi meninggalkan Jukha, berencana pindah ke-Al-Madain tapi ditolak oleh Gubernur setempat. Akhirnya mereka pergi ke Nahrawan. Jumlah mereka berkumpul di Nahrawan mencapai 4000 orang di bawah pimpinan Abbdullah ibn Wahab ar-Rasibi. Semula Ali tidak menanggapi secara serius gerakan-gerakan orang Khawarij ini, sampai dia mendengar berita tentang kekejaman mereka terhadap orang-orang Islam yang tidak mendukung pendapat mereka. Di antara yang menjadi korban adalah Abdullah ibn Khabbab, salah seorang putera sahabat Nabi. Abu Zahra mengutip kisah kematian putera Khabbab dari buku Al-Kmil karya Al-Mubarrad sebagai berikut :Sekelompok Khawarij berjumpa pada suatu saat dengan seorang Muslim dan seorang Nasrani. Mereka membunuh si Muslim tetapi berpesan kepada si Nasrani agar melakukan kebaikan sambil berseru: Jagalah janji Nabi kalian! Kemudian ketika itu Abdullah ibn Khabab sedang membawa mushaf di pundaknya bersama isterinya yang sdang hamil, berjalan menjumpai mereka. Lentas mereka menegur Adullah, dengan mengatakan, Sesungguhnya apa yang kamu bawa di pundakmu itu menyuruh kami untuk membunuhmu Bagaimana menurut pendapatmu mengenai Abu Bakar dan Umar? tanya mereka. Abdullah menjawab, Aku memuji kedua beliau itu. Mereka bertanya pula, Bagaimana pendapatmu mengenai Ali sebelum Tahkm dan mengenai Utsman dalam kekhalifahannya selama enam tahun? Abdullah menjawab, Aku juga memuji kedua beliau itu Lalu mereka masih bertanya, Bagaimana pendapatmu mengenai Tahkm? Abdullah menjawab, Sesungguhnya Ali itu lebih tahu tentang Kitab Allah dari pada kalian semua, lebih taqwa dari kalian dalam beragama, dan beliau lebih mengena pandangannya daripada kalian semua. Maka mereka mengatakan, Kamu ini tidak mengikuti hidayah, tapi kamu hanya mengikuti mereka atas nama mereka. Akhirnya mereka menyeret Abdullah ketepi sungai dan menyembelihnya di sana. Setelah itu mereka tawar menawar dengan orang laki-laki Nasrani tentangn pohon kurma. Orang Nasrani itu megatakan, Ambil saja, pohon kurma itu milik kalian! Mereka menjawab, Demi Tuhan, kami tidak mau membawa kurma ini kecuali dengan harga. Orang Nasrani itu lalu berkata dengan keheranan, Ini benar-benar aneh, kalian berani membunuh orang seperti Abdullah ibn Khabab, tetapi kalian tidak mau menerima kurma kami ini kecuali dengan harga.

Ali kemudian mengirim utusan membujuk dan menyadarkan mereka. Ali menawarkan kepada mereka untuk kembali bergabung dengannya bersama-sama menuju Syria, atau pulang ke kampung masig-masing. Sebagian memenuhi anjuran Ali; ada yang bergabung kembali dan ada yang pulang kampung serta ada yang menyingkir ke daerah lain. Namun ada sekitar 1800 orang yang tetap membangkang. Mereka menyerang pasukan Ali pada tanggal 9 Shafar 38 H yang dikenal dengan pertempuran Nahrawan yang mengenaskan itu. Hampir semua mereka mati terbunuh. Hanya delapan orang saja yang selamat.

Sejak peristiwa Nahrawan itu lah kelompok Khawarij yang terpencar di beberapa daerah semakin radikal dan kejam. Ali sendiri kemudian menjadi korban dibunuh oleh Abdurrahman ibn Muljam Al-Murdi, yang anggota keluarganya terbunuh di Nahrawan. Memang karena peristiwa Nahrawan ini, walaupun dari segi fisik Ali dapat menumpas habis semua Khawarij yang berada di situ, telah mengakibatkan Ali tidak pernah bisa berangkat ke Syria. Antara tahun 39 dan 40 H berulangkali orang-orang Khawarij membuat kegaduhan yang menguras Ali untuk menghadapinya. Muawiyah pun, yang setelah Ali wafat menjabat kedudukan Amirul Muminin dan terkenal hilm (lemah lembut dan arif), selama pemerintahannya yang 20 tahun itu tidak mampu membujuk apalagi menumpas habis Khawarij.

Karena keterbatasan halaman makalah ini tidak akan medeskripsikan lebih jauh perkembangan Khawarij sampai masa-masa selanjutnya. Cuma yang perlu dicatat adalah bahwa dalam perkembangan selanjutnya Khawarij terpecah menjadi beberapa kelompok, karena, seperti sudah diungkap di atas, sudah menjadi dustr mereka kalau berbeda pendapat segera memisahkan diri membentuk kelompok sendiri. Para sejarawan berbeda pendapat tentang jumlah kelompok-kelompok pecahan Khawarij, tapi mereka sepakat jumlahnya tidak kurang dari dua puluh kelompok, sebagian ushl dan yang lain fur. Yang termasuk ushl menurut Abu Hasan Al-Asyary adalah : Al-Azariqah, al-Ibadiyah, an-Najdiyah dan ash-Shufriyah. Sementara menurut Syahrastani yang masuk ushl adalah al-Muhakkimah al-Ula, al-Azariqah, an-Najdat, al-Baihasiyah, al-Ajaridah, ats-TsaAlibah, al-Ibadhiyah dan ash-Shufriyah. Yang termasuk fur banyak sekali, tidak relevan kita sebutkan semuanya dalam makalah ini, di antaranya adalah al-Athawiyah, al-Fadikiyah dan al-Ajaridah.

Latar Belakang Ekstremitas Khawarij.

Seperti yang sudah diungkap di atas, Khawarij memiliki pemikiran dan sikap yag ekstrem, keras, radikal dan cederung kejam. Misalnya mereka menilai Ali ibn Abi Thalib salah karena menyetujui dan kesalahan itu membuat Ali menjadi kafir. Mereka memaksa Ali mengakui kesalahan dan kekufurannya untuk kemudian bertaubat. Begitu Ali menolak pandangan mereka walaupun dengan mengemukakan argumentasi, mereka menyatakkan keluar dari pasukan Ali dan kemudian melakukan pemberontakan dan kekejaman-kekejaman. Yang menjadi sasaran pengkafiran tidak hanya Ali bi Abi Thalib sendiri, tapi juga Muawiyah ibn Abi Sufyan, Amru ibn Ash, Abu Musa al-Asyari dan lain-lain yang mendukung mereka. Dalam perkembangan selanjutnya mereka perdebatkan apakah Ali hanya kafir atau musyrik.

Untuk mendukung pandangan mereka baik dalam aspek politik maupun teologi, mereka menggunakan ayat-ayat Al-Quran. Misalnya ; kelompok al-Azariqah, tidak hanya menyatakan Ali kafir, tapi juga mengatakan ayat; Wa min an-nsi man yujibuka qauluhu fi al-hayh ad-dunya wa yusyhidullah ala m fi qalbihi wa huwa aladdu al-khshm) diturunkan Allah mengenai Ali sedangkan tentang Abdurrahman ibn Muljam yang membunuh Ali Allah menurunkan ayat (wa minannsi man yasyri nafsahu ibtigha mardhtillah). Mereka gampang sekali menggunakan ayat-ayat Al Quran untuk menguatkan pendapat-pendapat mereka.Yang menarik kita teliti adalah, latar belakang apa yang menyebabkan mereka memiliki pandangan seperti itu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu melakukan analisis terhadap pengertian istilah Qurr atau Ahl al-- Qurr, sebutan mereka sebelum menjadi Khawarij. Apakakah istilah itu berarti para penghafal Al-Quran atau orang orang kampung. Kalau sekiranya yang benar adalah yang pertama maka persoalannya adalah persoalan teologis murni (persoalan intepretasi yang sempit dan picik), tapi kalau yang benar adalah yang kedua persoalannya adalah persoalan sosial politik. Penulis kira inilah kata kunci yang dapat membantu kita memahami latar belakang ekstremitas Khawarij.Melihat pemahaman Khawarij yang dangkal dan literer terhadap ayat-ayat Al-Quran yang mereka jadikan dalil membenarkan pandangan dan sikap politik mereka, maka penulis lebih cenderung mengartikan istilah Qurr bukan sebagai para penghafal Al-Quran, tetapi orang-orang desa. Nourouzzaman Shiddiqi, sejarawan Muslim dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang pernah menulis paper tenang Khawarij waktu studi di McGill University, Canada menyatakan bahwa Ahlu al-Qurr lebih tepat diartikan sebagai para penetap walaupun Ahl al-Qurr bisa juga berarti para penghafal Al-Quran.

Uraian yang panjang lebar dan agak memuaskan tentang pengertian istilah al-Qurr ditulis oleh Mahayadin Haji Yahaya dalam bukunya Sejarah Awal Perpecahan Umat Islam (11-78 H/632-698 M) yang berasal dari disertasi doktor yang bersangkutan di Exterter University, England dengan judul bahasa Inggris The Origins of The Khawarij. Menurut Yahaya para sejarawan seperti Sayf, at-Thabary dan Ibn Atsam cenderung menafsirkan al-Qurr sebagai para penghafal Al-Quran. Kekeliruan itu mungkin muncul terpegaruh dengan ucapan Saidi ibn Ash dalam sebuah khutbah di Masjid besar di Kufah yang megatakan; Ahabbukum ilayya akramukum li kitbillah.

Istilah-istilah lain yang dipakai oleh para sejarawan menunjukkan kelompok yang sama yang melakukan pemberontakan di Kufah waktu itu adalah asyrf, wujh, sufah, rijl min qur ahli al-kufah, khyar ahli al-kufah, jamaah ahli al kufah dan lain-lain yang tidak satu pun yang menunjukkan makna penghafal-penghafal Al-Quran. Tetapi yang jelas ialah bahwa al-Qurra itu ialah golongan manusia di Kufah, atau sebagian dari golongan asyrf, orang-orang kenamaan dan pemimpin-pemimpin Kufah yang tinggal atau menguasai kampung-kampung di Irak dan disifatkan sebagai orang-orang yang bodoh. Sebagian dari mereka ini telah disingkirkan dari jabatan-jabatan penting dalam masa pemerintahan Khalifah Utsman.

Sejalan dengan itu Harun Nasution menulis bahwa kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang tandus membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, mereka tetap bersikap bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang Badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Quran dan Hadits, mereka artikan menurut lafaznya dan haus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan paham mereka merupakan iman dan paham orang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit, ditambah lagi dengan sikap fanatik ini membuat mereka tidak bisa mentolelir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walau pun penyimpangan dalam bentuk kecil. Di sinilah letak penjelasannya, bagaimana mudahnya kaum Khawarij terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil serta dapat pula dimengerti tentang sikap mereka yang terus menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang ada di zaman mereka.

Khawarij tidak hanya mengkafirkan Ali bn Abi Thalib tapi juga Kalifah Utsman ibn Affan mulai tahun ketujuh pemerintahannya. Pengkafiran terhadap Utsman (masalah teologis) juga berlatar belakang politik (kepentingan), tepatnya masalah tanah-tanah Sawad yang luas di wilayah Sasaniyah yang ditinggalkan oleh para pemiliknya. Di sekitar tanah yang ditinggalkannya itu, tulis Shaban, konflik itu terpusatkan. Tanah-tanah itu tidak dibagi-bagi, tetapi dikelola oleh kelompok Qurr, dan penghasilannya dibagi-bagi antara para veteran perang penaklukan terhadap wilayah tersebut. Kelompok Qurr itu menganggap diri mereka sendiri hampir-hampir seperti pemilik sah atas kekayaan-kekayaan yang sangat besar ini. Utsman tidak berani menentang hak yang dirampas ini secara terbuka, tetapi menggunakan pendekatan secara berangsur-angsur. Antara lain Utsman menyatakan bahwa para veteran yang telah kembali ke Mekah dan Madinah tidak lantas kehilangan hak-hakya atas tanah-tanah Sawad ini. Kelompok Qurr dalam jawabannya menegaskan bahwa tanpa kehadiran mereka secara berkesinambungan di Iraq kekayaan-kekayaan ini sama sekali tidak akan pernah terkumpulkan, dengan demikian membuktikan bahwa para veteran Kufah tidak memiliki hak lebih besar atas tanah ini. Akibat dari pelaksanaan kebijaksanaan Utsman itu kelompok Qurr belakangan mengetahui bahwa landasan kekuatan ekonomi mereka sedang dihancurkan karena tanah-tanah mereka dibagi-bagi, tanpa mempertimbangkan hak-hak mereka. Sebagai manifestasi perlawanan mereka pada Utsman kelompok ini menghalang-halangi kedatangan Said ibn Ash- Gubernur yang ditunjuk oleh Utsman--memasuki Kufah. Mereka memilih Abu Musa al-Asyary sebagai Gubernur dan memaksa Utsman mengakui tindakan kekerasan ini.

Penutup

Dari uraian di atas penulis dapat megambil kesimpulan bahwa pemikiran politik dan teologi serta sikap ekstrem Khawarij lahir terutama disebabkan oleh latar belakang sosio-kultural mereka sebagai orang-orang Arab Badawi yang punya watak keras, kasar dan berani sehingga mereka tidak gentar mati walaupun untuk hal-hal yang tidak perlu. Sebutan Qurr bagi mereka sebelum dikenal dengan nama Khawarij tidaklah menunjukkan arti para penghafal Al-Quran, tapi menunjukkan arti mereka sebagai orang-orang desa.

Dari sejarah Khawarij itu kita dapat mengambil pelajaran bahwa persoalan-persoalan sosial politik kalau dibungkus dengan agama bisa mendatangkan bahaya yang lebih besar, apalagi kalau dilakukan oleh orang-orang yang pemahaman dan penguasaannya terhadap ajaran Islam sangat terbatas bahkan sangat sempit. Wawasan yang sangat sempit dan tertutup dapat melahirkan ekstremitas tidak hanya pemikiran tapi juga sikap dan tindakan.

KEPUSTAKAANAmin, Ahmad, Fajrul Islam, Cairo : Dar al-Kutub, cet. XI, 1975.

Al-Asyari, Abu Al-Hasan Ali ibn Ismail, Maqalt al-Islamiyn wa Ikhtilfu al-Mushalln, Cairo : Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah, cet. II, 1969.Abu Zahrah, M, Sejarah Aliran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah, terjemah Shobahussurur, Gontor : PSIA, cet.I, 1991.

Ghazaly, Ali Musthafa, Trkh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasyah Ilmi al-Kalm Inda al-Muslimn, Cairo, Maktabah Muhammad Ali Shabij wa Auladih, cet. III. 1958.Grunebaum, G. E. von, Clasical Islam A History 600 A.D.-1258 A.D., Chicago: Aldine Publising Company, cet. I, 1970.

Hasan, Ibrahim Hasan, Trkh al-Islm as-Siysi wa ad-diny wa ats-Tsaqafi wa al- Ijtimiy, Cairo: Maktababah an-Nahdhah al-Misriyah, cet. IV, tahun 1957.

Ibnu Al-Atsir, Al-Kmil fi at- Trkh , jilid III, Beirut: Darus Sader, 1965.

Ibnu Katsir, Al-Bidyah wan Nihyah, juz VII, Lebanon : Darul Kutub al-Ilmiyah. Tt.

Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta: Jakarta, UI Press, cet.V, 1986.

Shaban, M.A., Sejarah Islam (Penafsiran Baru) 600-750, terjemahan Machnun Husein, Jakarta: Rajawali Pers, 1993.Shiddiqi, Nouruzzaman, Syiah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah, Yogyakarta, PLP2M, cet, I, 1985.

Asy-Syahrastani, Muhammad Abdul Karim, Al-Milal wan-Nihal, Beirut: Darul Fikr, tt.

Ath-Thabari, Muhammad ibn Jarir, Trkh al-Umam wal-Mulk, juz V, Lebanon: Darul Fikr, 1979.Yahya, Mahayudi Haji, Sejarah Awal Perpecahan Umat Islam (11- 78 H/632 698 M), Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, cet. II, 1986.

Penulis adalah staf pengajar tetap Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

M. Abu Zahra, Sejarah Alran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah, diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Shobahussurur (Gontor : PSIA, 1991) hal 77.

Selanjutnya disebut Khawarij, tanpa alif lam (al)

Lebih lanjut tentang bagaimana berhadap-hadapannya pemikiran Khawarij dan Syiah baik dalam politik maupun agama, baca Nourouzzaman Shiddiqi, Syiah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah (Yogyakarta: PLP2M, 1985) terutama bagian penutup hal. 84 93.

M. Abu Zahra, Sejarah Alran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah, diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Shobahussurur (Gontor : PSIA, 1991) hal 77.

Mahayuddin Haji Yahaya, Sejarah Awal Perpecahan Umat Islam (11 78 H/632 698 M) (Kualalumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka, 1986) hal. 108.

Shiddiqi, Syiah dan Khawarij, Hal. 36.

Yahaya, Sejarah Awal, hal. 110 -111. Sementara itu Shaban menganalisis bahwa Syria menentang Ali karena tidak ingin kehilangan hak istimewa yang mereka dapatkan pada zaman Umar dan Utsman yaitu pembebasan Syria dari gelombang imigrasi sebagaimana yang melanda Iraq. Menurut Ali, Syria tidak perlu mendapatkan hak istimewa seperti itu. Memang lucu, Iraq dilanda imigrasi yang tidak terkendalikan, sementara Syria tidak dapat dimasuki. Baca M.A. Shaban, Sejarah Islam (Penafsiran Baru) 600 750, diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Machnun Husein (Jakarta : Rajawali Pers, 1993) hal 106.

Ibid, Hal. 112

Muhammad ibn Jarir Ath-Tahabari, Trkh al-Umam wa al-Muluk (Beirut : Darul Fikir : 1979), III/6: 27 ; Ibn Al-Atsr, a-Kmil fi t-Trikh (Beirut : Dar as-Shadr, 1965) III: 316; Ibn Katsir, Al-Bidyah wa an Nihyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt) VII/7: 284.

Ibn al-Katsir, Al-Kmil fi t-Trkh, hal. 316.

Ibid, hal. 317

Ibid, hal. 318

M. A. Shaban, Sejarah Islam, hal. 108.

Shiddiqi, Syiah dan Khawarij, hal. 38

Ibnu Katsir, Al-Bidyah wa an Nihyah, IV/7: 287.

Hasan Ibrahim Hasan, Trkh al-Islm, as-Siysy wa ad dny wa ats-Tsaqaiy wal-Ijtimiy (Cairo : Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah, 1957) hal. 373.

Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah,Analisa Perbandingan (Jakarta : UI Press, 1986) hal.5.

Hasan, Tarikh al-Islam, hal. 374 375.

Ibid, hal. 375

Ahmad Amin, Fajr al-Islm (Cairo : Dar al-Kutub, 1975) hal. 256.

Shiddiqi, Syiah dan Khawarij, hal. 39.

Muhammad Abd al-Karim asy-Syahrastani, Al-Milal wan Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, tt) hal. 144.

Di samping Al-Khawarij dan Al-Haruriyah, mereka juga dikenal dengan nama-nama : Asy-Syurah (karena mengatakan kami telah menjual diri untuk taat kepada Allah, tampaknya mereka ambilkan dari Q.S.2:207: Ada manusia yang menjual dirinya untuk memperoleh keridhaan Allah, Al-Mariqah (karena mereka lepas dari agama seperti lepasnya anak panah dari busurnya, tapi mereka menolak nama ini karena menurut mereka, merekalah orang-orang yang beriman, sedangkan para penentangnya lah yang kafir dan musyrik) dan Al-Muhakkimah (karena mereka bersemboyankan La hukma illa lillah). Ali Mushthafa Al-Ghazaly, Trkh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasyah Ilmi l-Kalm inda al-Muslimn (Cairo: Maktabah Muhammad Ali Shabij wa Aulduh, 1958) hal. 246 265.

Ibid, hal 265.

G.E. Von Grunebaum, Cassical Islam, A History 600 A.D.-1258 A.D., diterjemahkan dari bahasa Jerman ke bahasa Inggris oleh Katherine Watson (Chicago : Aldine Publising Compay, 1970) hal. 60.

Abu Zahra, Sejarah Aliran-aliran, hal. 78.

Baca Shiddiqi, Syiah dan Khawarij, hal. 39 41.

Shiddiqi, Syiah dan Khawarij, hal. 41.

Mushthafa Al-Ghazaly, Trkh al-Firaq, hal.266 271.

Menurut Abu al-Hasan al-Asyary Khawarij sepakat mengkafirkan Ali tapi berbeda pendapat tentang kemusyrikannya. Lihat Abu Al-Hasan Al-Asyary, Maqlat al-Islamiyn wa Ikhtilf al-Mushalln, (Cairo : Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah, 1969) I : 167.

Mushtafa Al-Ghazaly, Trikh al-Firaq, hal. 37.

Shiddiqi, Syiah dan Khawarij, hal. 37.

Yahaya, Sejarah Awa, hal. 66.

Ibid.

Ibid.

Harun Nasution, Teologi Islam, hal. 13.

Shaban, Sejarah Islam, hal. 96 -97.