Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

58
I. Analisis Masalah 1. Mr. Y, a 40-year old, sailor, was admitted to hospital with hemoptoe. He complained that 6 hours ago he had a severe bout of coughing with fresh blood of about 2 glasses. a. Bagaimana hubungan usia, jenis kelamin, pekerjaan dengan keluhan? Mr. Y berusia produktif. Menurut penelitian, penderita TB lebih tinggi pada jenis kelamin pria dibanding wanita. Pekerjaan sebagai seorang pelaut terkait dengan bepergian ketempat baru, yang memungkinkan bertemu dan kontak dengan banyak orang. Pekerjaan sebagai pelaut juga mempunyai konotasi sering “jajan”, sehingga peluang terkena HIV lebih tinggi. b. Bagaimana makna klinis dari batuk darah sebanyak 2 gelas ? Definisi, ekspektorasi darah atau dahak mengandung darah dengan jumlah darah lebih dari 600 ml/24 jam Klasifikasi Keterangan Bercak (streaking) Volume darah < 15-20 ml/24 jam Biasanya terjadi karena bronchitis Hemoptisis Volume darah 20-60ml/24 jam Biasanya disebabkan oleh: Kanker paru,Pneumonia (necrotizing pneumonia),TB

description

fk

Transcript of Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

Page 1: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

I. Analisis Masalah

1. Mr. Y, a 40-year old, sailor, was admitted to hospital with hemoptoe. He complained

that 6 hours ago he had a severe bout of coughing with fresh blood of about 2 glasses.

a. Bagaimana hubungan usia, jenis kelamin, pekerjaan dengan keluhan?

Mr. Y berusia produktif. Menurut penelitian, penderita TB lebih tinggi pada jenis

kelamin pria dibanding wanita. Pekerjaan sebagai seorang pelaut terkait dengan

bepergian ketempat baru, yang memungkinkan bertemu dan kontak dengan banyak

orang. Pekerjaan sebagai pelaut juga mempunyai konotasi sering “jajan”, sehingga

peluang terkena HIV lebih tinggi.

b. Bagaimana makna klinis dari batuk darah sebanyak 2 gelas ?

Definisi, ekspektorasi darah atau dahak mengandung darah dengan jumlah darah lebih

dari 600 ml/24 jam

Klasifikasi Keterangan

Bercak (streaking) Volume darah < 15-20 ml/24 jam

Biasanya terjadi karena bronchitis

Hemoptisis Volume darah 20-60ml/24 jam

Biasanya disebabkan oleh: Kanker paru,Pneumonia (necrotizing

pneumonia),TB

Hemoptisis massif Kriteria Hemoptisis Masif (Busroh, 1978) sebagai berikut:

Batuk darah sedikitnya 600 mL/24 jam

Batuk darah < 600 mL/24 jam, tapi lebih dari 250 mL/24

jam, Hb < 10 g% dan masih terus berlangsung

Batuk darah < 600 mL/24 jam, tapi lebih dari 250 mL/24

jam, Hb > 10 g% dalam 48 jam tidak berhenti,

Angka kematian 75 % karena kekurangan oksigen karena terlalu

banyak darah dalam saluran pernafasan.

Biasanya disebabkan oleh: Kanker paru,Kavitas pada TB,

Page 2: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

Bronkiektasis

Pseudohemoptisis Batuk darah dari saluran napas atas (di atas laring),atau Dari

saluran cerna atas, Atau Perdarahan buatan seperti luka yang

sengaja dibuat di mulut, faring, dan ronga hidung

Hal tersebut menjelaskan bahwa pasien benar mengalami massive hemoptoe

dimana penderita dapat dikatakan massive hemoptoe dengan ketentuan batuk

darah 200-600 ml atau lebih dalam 24 jam.

c. Bagaimana mekanisme batuk berdarah pada kasus ini?

Hemoptosis pada kasus ini dapat disebabkan karena:

a. Pecahnya aneurisma yang terdapat pada dinding kavitas (rasmussen’s

aneurysm)

b. Pecahnya dinding tipis dari kavitas yang mengandung banyak pembuluh darah

kecil

c. Ulserasi dari jaringan parenkim paru atau bronkus/bronkiolus

d. Proses eksudasi dan kaseosa pada parenkim paru yang merusak pembuluh

darah kapiler paru

e. Fibrosis paru pada bekas tb paru yang mengenai pembuluh darah

f. Adanya kalsifikasi yang menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah.

2. He also said that in the previous month he had had productive cough with a lot of

phlegm, mild fever, loss of appetite, rapid loss of body weight (previous weight : 70kg),

and shortness of breath and since a week ago, he felt his symptoms were worsening.

a. Bagaimana mekanisme terjadinya batuk produktif pada kasus ini?

Peradangan pada bronkus akibat MTB -> Batuk ini diperlukan untuk membuang

produk-produk radang keluar -> Batuk kering (non produktif) -> peradangan

semakin parah-> batuk produktif (menghasilkan sputum) -> batuk darah (hemoptoe)

Page 3: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada

tuberculosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding

bronchus.

b. Bagaimana mekanisme terjadinya mild fever pada kasus ini?

Mild fever terjadi akibat adanya reaksi inflamasi akibat reaksi antigen antibodi

antara imunitas tubuh dan virus TB.

Respon inflamasi terhadap M.Tuberculosis produksi sitokin (Il-1, IL-6 dan

TNF-alfa) pembentukan asam arakhidonat pembentukan PGE 2

peningkatan set point di hipotalamus demam.

c. Bagaimana mekanisme terjadinya lost of appetite and loss of body weight pada kasus

ini?

Penurunan berat badan dalam kasus ini terjadi akibat pasien mengalami

anorexia. Pada infeksi M. Tbc, system imun akan menghasilkan TNF alpha dan

IL-2 yang pada akhirnya akan menyebabkan anorexia dan penurunan berat badan,

selain itu M. Tbc akan menghasilkan cachexin yang juga akan menekan nafsu

makan sehingga berat badan turun dan BMI jatuh di b awah normal.

Mr X memiliki badan yang kurus karena pada pasien dengan infeksi

kronis biasanya akan mengalami anoreksia. Hal ini disebabkan keberadaan

mediator sistemik yang diproduksi oleh T lymphocytes, monocytes, dan

macrophages yang teraktivasi. Mediator sistemik tersebut misalnya tumor

necrosis factor-alpha /TNFα (reaksi inflamasi), interleukin 1 (membantu regulasi

sistem imun dan inflamasi) dan interleukin 6 (B-cell stimulatory factor-2 /BSF-2)

dapat mempengaruhi nafsu makan secara negatif. Sitokin-sitokin ini bekerja

dengan menambah jumlah serotonin (5-hidroksitriptofan atau 5-HT) di

hipotalamus. Kadar serotonin yang meninggi ini pada gilirannya akan merangsang

sistem melanocortin dan bersama - sama menyebabkan anoreksia. Hal ini

membuat input nutrisi dan kalori berkurang.

Selain itu, dalam keadaan infeksi, tubuh akan membutuhkan lebih banyak

protein (berguna bagi sistem imun) sehingga turn over rate protein tubuh akan

Page 4: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

meningkat. Hal ini membuat tubuh lebih banyak memecah protein (terutama dari

otot) untuk mencukupi kebutuhan asam amino.

Tubuh juga membutuhkan lebih banyak energi (output energi meningkat) dalam

keadaan terinfeksi. Kurangnya asupan nutrisi akibat tidak nafsu makan,

peningkatan katabolisme protein dan peningkatan kebutuhan energi tubuh akan

membuat tubuh kita mengalami penurunan berat badan.

Kesimpulan :

Infeksi MTB, menyebabkan metabolisme basal tubuh meningkat,

peningkatan leptin karena TNF-alfa meningkat bahkan berlebihan, dan

peningkatan panas tubuh.

Melalui infeksi MTB yang bereaksi dengan TNF-alfa, MTB mengeluarkan

sekret berupa cachexin, yang berkaitan dengan penurunan berat badan dan

kehilangan nafsu makan yang pusatnya diatur di otak.

d. Bagaimana mekanisme terjadinya shortness of breath pada kasus ini?

Reaksi peradangan terhadap M. Tuberculosis akumulasi makrofag

alveolar di alveolus konsolidasi di alveolar pertukaran O2 dan CO2

terganggu hipoksia sel mekanisme tubuh untuk mengatasi hipoksia

peningkatan frekuensi napas sesak nafas.

Infeksi Mycobacterium tuberculosis terbentuknya kavitas terjadi

perdarahan pada kavitas yang ruptur darah yang dikeluarkan >>

hipovolemi << O2 di jaringan pengaturan pernapasan di medula

oblongata sesak nafas

3. Physical examination

General appearance : he looked severely sick and pale. Body height : 175 cm, Body

weight : 55 kg BP: 100/70 mmHg, HR : 112 x / minute, RR : 36 x / minute, temp

37.6oC.

There was a tattoo on the chest and lymphadenopathy of the right neck, and stomatitis.

Page 5: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

In chest auscultation there was an increase of vesicular sound at the right upper lung

with moderate rales.

a. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik?

Pemeriksaan Fisik Normal interpretasi

he looked severely sick

and pale

Penyakit parah

Body height: 175 cm, body

weight: 55kg

18,5 – 25,0

BP: 100/70 mmHg 120/80 Hipotensi/ masi normal

HR: 112x/min 60-100 x/min Takikardi

temp: 37.6 oC 36,5 – 37,2 oC subfebris

RR 36 x/min 36x/min Takipnue

There was a tatto on the

chest and

lymphadenopathy of the

right neck, and stomatitis

Salah satu media

masuknya virus HIV

In chest auscultation there

was an increase of

vesicular sound at the right

upper lung with moderate

rale.

b. Bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik?

Pemeriksaan Mekanisme

General appearance : looked severly sick and

pale

Terlihat sakit berat akibat penilaian terhadap

pasien yang datang dengan dalam keadaan

batuk berdarah massif dan sesak.

Pucat yang disebabkan oleh anemia yang

ditunjukkan oleh Hb yang rendah (Hipoksia)

RR: 36x/mnt Kompensasi tubuh dalam memenuhi

kebutuhan oksigen akibat perfusi kejaringan

Page 6: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

yang kurang (Hb rendah).

Mukus berlebihan dalam saluran nafas

menyebabkan obstruksi/kesulita udara dalam

mencapai paru.

Temp: 37,8 C Inflamasi pada tubuh menyebabkan suhu

tubuh naik sedikit atau subfebris

Enlargment of neck lymph node Penyebaran kuman TB melalui pembuluh

limfe (limfogen) menyebabkan kelenjar limfe

leher membesar sebagai mekanisme

pertahanan.

Stomatitis Pada pasien HIV, sistem imun menurun yang

menyebabkan pasien mudah mengalami

infeksi jamur yang khas pada penderita HIV.

Penyebaran kuman TB ke saluran pencernaan

dalam hal ini mulut melalui pembuluh

limfe/darah menyebabkan faringitis spesifik

TB

Auscultation : increase of vesicular sound at

the upper lung with moderate rales

Infiltrat pada apex paru (massa padat)

menyebabkan penghantaran suara menjadi

lebih meningkat sehingga terdengar suara

vesicular yang meningkat.

Bronkus pada paru kanan memiliki posisi

yang lebih menjorok dibanding paru kiri,

sehingga menyebabkan kuman lebih mudah

masuk ke paru kanan. Selain itu

mycobacterium tuberculosis merupakan

bakteri aerob maka bakteri ini akan menuju

apical paru sebagi tempat predileksinya,

karena bagian apical paru memiliki tekanan

oksigen yang lebih tinggi dibanding bagian

paru yang lain. Hal ini lah yang

Page 7: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

menyebabkan suara vesikuler meningkat

hanya pada lapangan atas paru kanan.

c. Apa hubungan tato di dada dengan penyakit Mr. Y ?

Proses pemasangan tato membutuhkan sebuah jarum. Alat pembuatan tato yang

digunakan bersama dan bergantian, tanpa sterilisasi yang baik dan benar, dapat menjadi

media penularan virus HIV. Salah satu kemungkinan pasien tertular HIV adalah melalui

jarum pada saat pemasangan tato.

d. Bagaimana bunyi vesicular yang meningkat?

Suara nafas vesiculer adalah suara napas utama normal dan terdengar di sebagian

paru-paru. Bunyi nafas terdengar lembut dan bernada rendah. Suara inspirasi lebih

panjang dibanding suara ekspirasi. Bunyi nafas vesikuler mungkin lebih keras dan

sedikit lebih lama jika ada ventilasi dalam cepat (misalnya pasca-latihan) atau pada anak

yang memiliki dinding dada tipis.

Vesikuler: Suara paru normal, inspirium > ekspirium serta lebih jelas

Vesikuler melemah: Pada bronchostenose, emfisema paru, pneumothorak,

eksudat, atelektase masif, infiltrat masif, tumor.

Vesikuler mengeras: Terdengar lebih keras.

Vesikuler mengeras dan memanjang: Pada radang

4. Laboratory :

Hb : 8,5 g %, WBC : 6000/uL, ESR 65 MM/HR, Diff Count : 0/3/2/75/15/5, Acid Fast

Bacilli (-), HIV test (+), CD4 120/uL,

a. Intepretasi dari pemeriksaan lab

Pemeriksaan Interpretasi Nilai normal

Hb : 8g/dl Abnormal/rendah Laki-laki : 14-18 g/dl

WBC : 7000/uL Normal 5000-10000/uL

ESR: 70 mm/hr Abnormal/meningkat ESR : 0-20 mm/hr

Diff.count : -/3/2/75/15/5 Neutrofil segmen Basofil : 0 – 1 (%)

Page 8: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

meningkat dan Limfosit

menurun.

Eosinofil : 1 – 3 (%)

Batang : 2 – 6 (%)

Segmen : 50 – 70 (%)

Limfosit : 20 – 40 (%)

Monosit : 2 – 8 (%)

BTA Negatif Normal Tidak ada BTA

HIV test (+) Abnormal HIV test (-)

CD4+ 140/uL Abnormal/menurun 500-`1500 /uL

b. Mekanisme dari pemeriksaan lab yang abnormal

Hb:8 g% anemia ringan. (normal ♂:13-18 g/dl, ♀ :12-15 g/dl)

Anemia ini dapat terjadi karena beberapa mekanisme berikut ini :

- Penekanan (supresi) eritropoiesis pada sum – sum tulang melalui mediator

inflamasi.

- Defisiensi nutrisi (terutama bila yang mengalami defisiensi adalah zat besi,

asam folat dan vitamin B12). Defisiensi asam folat dapat terjadi karena

berkurangnya nafsu makan pada pasien dengan infeksi kronis sehingga

asupan nutrisi tidak baik atau akibat peningkatan pemakaian folat sebagai

akibat aktivitas bakteri tuberkulosis. Defisiensi vitamin B12 lebih jarang

terjadi dan dapat ditemui pada penderita TB dengan tuberkulosis ileum

dimana terjadi gangguan penyerapan vitamin B12. Defisiensi asam folat dan

vitamin B12 mengakibatkan anemia makrocyter dimana ukuran sel darah

merah menjadi lebih besar akibat pematangan yang tidak sempurna.

- Mekanisme pertahanan tubuh dimana zat besi akan diretensi di sistem RES

karena zat besi merupakan salah satu faktor pertumbuhan yang penting bagi

bakteri Mycobacterium tuberculosis. Hal terjadi karena adanya pengikatan zat

besi oleh laktoferin yang dihasilkan granulosit akibat inflamasi, kemudian

terjadi sekuestrasi zat besi di limpa.

- Sitokin yang memediasi sistem imun atau respons inflamasi, seperti tumor

necrosis factor, interleukin 1 and interferon dapat mengakibatkan

pemendekan masa hidup RBC dan insensitivitas tubuh terhadap eritropoietin

Page 9: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

sehingga RBC cepat hancur dan produksinya berkurang. Ini mengakibatkan

jumlah RBC dalam darah berkurang.

ESR: 70 mm/hr meningkat (normal ♀ :0-20 mm/jam, ♂:0-10 mm/jam)

LED dapat meningkat karena :

• Jumlah eritrosit kurang dari normal sehingga proporsi plasma dan fibrinnogen

di dalam darah meningkat

• Ukuran eritrosit yang lebih besar dari ukuran normal, sehingga lebih

mudah/cepat membentuk rouleaux → LED ↑.

• Peningkatan jumlah leukosit (sel darah putih) → biasanya terjadi pada proses

infeksi akut maupun kronis

Diff count: -/3/2/75/15/5 ↑ neutrofil segmen, normalnya : (Basofil: 0-1 %,

Eosinofil: 1 – 3 %, Neutrofil batang: 2 – 6 %, Neutrofil segmen : 50 – 70 %,

Limfosit: 20 – 40 %, Monosit: 2 – 8 %)

Acid Fast Bacilli: (-) tidak ada BTA (Mycobacterium tuberculosis)

HIV test (+) adanya infeksi HIV

CD4 140/µL ↓ CD4 ( < 200/µL)

Sel CD4 adalah sel-T yang mempunyai protein CD4 pada permukaannya.

Protein itu bekerja sebagai ‘reseptor’ untuk HIV. HIV mengikat pada reseptor CD4

itu seperti kunci dengan gembok.

HIV umumnya menulari sel CD4. Kode genetik HIV menjadi bagian dari sel

itu. Waktu sel CD4 menggandakan diri (bereplikasi) untuk melawan infeksi apa pun,

sel tersebut juga membuat tiruan HIV.

Setelah kita terinfeksi HIV dan belum mulai terapi antiretroviral (ART),

jumlah sel CD4 kita semakin menurun. Ini tanda bahwa sistem kekebalan tubuh kita

semakin rusak. Semakin rendah jumlah CD4, semakin mungkin kita akan jatuh sakit.

c. Mengapa hasil pemeriksaan BTA (-)?

Hal ini disebabkan karena pada kasus ini pasien terkena HIV, yang

menyebabkan imunitas rendah. HIV membuat seseorang menjadi imunosupresif. Sel

Page 10: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

T berkurang pada pasien HIV, sehingga aktivasi makrofag berkurang. Karena

imunitas rendah, maka granuloma tidak terbentuk atau sedikit terbentuk, sehingga

tidak terjadi nekrosis pada kasus ini. Sputum dibatukkan keluar, sputum membawa

jaringan granulasi atau membawa jaringan nekrosis untuk dikeluarkan. Tes BTA

menggunakan sputum, oleh karena itu maka tes sputumnya negative.

5. Radiology:

Chest radiograph showed infiltrate at right lower lung.

a. Bagaimana interpretasi pemeriksaan radiologi?

Pemeriksaan radiologi yang menunjukkan adanya infiltrat pada paru Mr.Y

menunjukkan adanya abnormalitas pada paru Mr.Y

b. Bagaimana mekanisme abnormal dari pemerisaan radiologi?

Infiltrat pada paru kanan atas berarti adanya nekrosis kaseosa akibat tuberkel

karena infeksi Tb yang dikelilingi jaringan fibroblast dan makrofag

sehinggamembentuk kapsul dan memberikan gambaran infiltrat.

Template

1. Bagaimana cara menegakkan diagnosis pada kasus ini

Pertama, melalui anamesis. Pada anamesis akan didapati pasien dengan gejala

sebagai berikut.

Gejala respiratorik

Batuk ³ 3 minggu (kering, berdahak, berdarah)

Sesak nafas

Nyeri dada

Gejala sistemik

Keringat dan demam lama pada malam hari

Badan terasa lemah

Nafsu makan dan berat badan ¯

Kedua, pada pemeriksaan fisik, dijumpain hal-hal sebagai berikut.

Inspeksi : Sakit berat, pucat, pembesaran limfa nodul di leher kanan.

Page 11: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

Auskultasi : Ronki basah, vesikular meningkat

Ketiga, pemeriksaan lab dan pemeriksaan penunjang.

Bagan 1.1 alur diagnosis TB

2. Bagaimana DD pada kasus ini?

Indikator Kasus Tb paru Pneumonia

(typical)

Bronkietaksis Karsinoma

bronkogenik

Page 12: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

Hemoptisis + + + + +

Demam Ringan

(subfebris)

Ringan

(subfebris

)

Tinggi Tinggi, berulang Ringan

Sesak napas + + + + +

BB ¯, anoreksia + + + + +

Productive

cough

+ + + + +

Pembesaran

kelenjar limfe

+ + + - +

WBC - - + + -

Gambaran

Radiologi

Infiltrate

pada lobus

kanan atas

paru

infiltrat

biasanya

pada

apeks

paru

Konsolidasi

biasanya pada

basis paru

Kista-kista kecil

seperti

gambaran

sarang tawon,

bronchovascular

marking

Nodul soliter

sirkumskripta

atau coin

lesion

3. Apa diagnosis pada kasus ini?

TB dengan HIV

4. Bagaimana etiologi pada kasus ini?

Penyakit TB adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam

sehingga dikenal juga sebagai Basil Tahan Asam (BTA).

5. Bagaimana epidemiologi pada kasus ini?

Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah

China dan India. Pada tahun 1998 diperkirakan TB di China, India dan Indonesia

berturut-turut 1.828.000, 1.414.000, dan 591.000 kasus. Perkiraan kejadian BTA di

Page 13: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

sputum yang positif di Indonesia adalah 266.000 tahun 1998. Berdasarkan survei

kesehatan rumah tangga 1985 dan survey kesehatan nasional 2001, TB menempati

ranking nomor 3 sebagai penyebaba kematian tertinggi di Indonesia. Prevalensi

nasional terakhir TB paru diperkirakan 0,24%. Sampai sekarang angka kejadian TB

di Indonesia relative terlepas dari angka pandemi infeksi HIV, tapi hal ini mungkin

akan berubah dimasa datang melihat semakin meningkatnya laporan infeksi HIV dari

tahun ketahun. Suatu survey mengenai prevalensi TB yang dilaksanakan di 15

provinsi Indonesia tahun 1979-1982.

6. Bagaimana faktor resiko pada kasus ini?

Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah

daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi

buruk).

HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi

sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler

(cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti

tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa

mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah

pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan

meningkat pula.

7. Bagaimana patofisiologi pada kasus ini?

Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya

yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat

mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme

imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya

sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil

kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan

bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang

biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni

kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.

Page 14: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar

limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus

primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe

(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer

terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah

kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang

akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan

antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran

limfe yang meradang (limfangitis).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya

kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda

dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang

diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi

TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12

minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-

104 , yaitu dalam jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik

kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap

tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks

primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh

terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons

positif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif.

Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah

terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi baik,

begitu system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun,

sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler

telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera

dimusnahkan.

Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya

mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah

mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan

Page 15: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak

sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap

selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi

dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di

paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi

nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui

bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe

hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan

membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu.

Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan

ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak

dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial

atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada

bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering

disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi

penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar

ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran

hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh

tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai

penyakit sistemik.

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk

penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,

kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak

menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di

seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai

vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru

atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan

membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi

pertumbuhannya.

Page 16: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya

oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya

tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus

reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-

tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat

mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis,

TB tulang, dan lain-lain.

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik

generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah

besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini

dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang

disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah

terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB

yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi

karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB,

misalnya pada balita.

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread

dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini

akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran

lesi diseminata yang menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed). Secara

patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara

histologi merupakan granuloma.

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic

spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan menyebar ke saluran

vascular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam

darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan

dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.

8. Bagaimana manifestasi klinis pada kasus ini?

Gejala akibat TB paru adalah batuk produktif yang berkepanjangan (lebih dari 3

minggu), nyeri dada, dan hemoptisis. Gejala sistemik termasuk demam, menggigil,

Page 17: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

keringat malam, kelemahan, hilangnya nafsu makan, dan penurunan berat badan.

Seseorang yang dicurigai menderita TB harus dianjurkan untuk menjalani

pemeriksaan fisik, tes tuberkulin Mantoux, foto thoraks, dan oemeriksaan

bakteriologi atau histologi. Tes tuberkulin harus dilakukan pada semua orang yang

dicurigai menderita TB klinis aktif, namun nilai tes tersebut dibatasi oleh reaksi

negatif palsu, khususnya pada seorang dengan imunosupresif (misal, TB dengan

infeksi HIV). Seseorang yang diperkirakan memiliki gejala TB, khususnya batuk

produktif yang lama dan hemoptosis, harus menjalani foto thoraks, walaupun reaksi

terhadap tes tuberkulin intradermalnya negatif.

Berdasarkan CDC, kasus TB diperkuat dengan kultur bakteriologi organisme M.

Tuberculosis yang positif. Sangan penting untuk menanyakan orang yang diduga

terkena TB tentang riwayat terpajan dan infeksi TB sebelumnya. Harus

dipertimbangkan juga faktor-faktor demografi (misal, negara asal, usia, kelompok

etnis atau ras) dan kondisi kesehatan (misalnya, infeksi HIV) yang mungkin

meningkatkan resiko seseorang untuk terpajan TB.

9. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus ini?

Terapi farmakologis

Page 18: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

Tabel 9.1 Regimen Berdasarkan Kategori (WHO/Depkes RI)

Terapi non farmakologis

DOTS (Directly observed treatment short-course).

Bertujuan untuk mengatur keteraturan berobat.

Diterapkan sejak 1993 (Indonesia 1995)

Terbukti efektif di 80 negara yang telah menerapkannya

5 Komponen DOTS

1. Komitmen terhadap penanggulangan TB

2. Penemuan kasus berdasarkan BTA

3. Pengadaan obat yang cukup dan tidak terputus

4. Pengobatan jangka pendek, diawasi oleh PMO

5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku

Untuk melakuan DOTS diperlukan seorang PMO (Pengawas Menelan Obat)

Page 19: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

• Batasan PMO : Seseorang yang mengawasi penderita TB menelan OAT

secara langsung

• Sarat PMO

Bersedia menjadi PMO

Dikenal dan disegani penderita

Sebaiknya satu rumah atau berdekatan

Mau diberikan pelatihan singkat tentang penyakit TB

10. Bagamana pencegahan pada kasus ini?

Dengan sosialisasi dan edukasi ke masyarakat secara mendalam agar masyarakat

memperbaiki pola hidup dan memperbaiki taraf hidup mereka, serta dapat

mendeteksi dini TB.

Dengan deteksi dini TB, untuk melakukan penatalaksaan dengan cepat dan

meminimalisir penularan TB

11. Bagaimana prognosis dari kasus ini?

Prognosis umumnya baik jika infeksi terbatas di paru, kecuali jika infeksi

disebabkan oleh strain resisten obat atau pasien berusia lanjut dengan debilitas atau

mengalami gangguan kekebalan yang beresiko tinggi menderita tuberkulosis milier.

Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan:

50% meninggal

25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi o 25%

menjadi kasus kronis yang tetap menular

12. Bagaimana komplikasi dari kasus ini?

TB paru yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan komplikasi.

Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, poncet’s

arthropathy

Komplikasi lanjut : obstruksi jalan nafas SOFT, kerusakan parenkim berat

fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal nafas

dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.

Page 20: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut :

Hemoptisis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang mengakibatkan

kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas. Kolaps dari

lobus akibat retraksi bronkial Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan

fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada

paru. Pneumotorak (adanya udara didalam rongga pleura) spontan : kolaps

spontan karena kerusakan jaringan paru. Penyebaran infeksi ke organ lain

seperti otak, tulang, persendian. ginjal dan sebagainya. Insufisiensi Kardio

Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).

13. Bagaimana SKDI pada kasus ini?

Kemampuan 4 yaitu, mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan

fisik dan pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya:

pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter dapat memutuskan dan

mampu menangani problem itu secara mandiri hingga tuntas.

Page 21: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

II. Learning issue

a. Anatomi Fisiologi Paru

b.

Paru erupakan sebuah alat tubuh

yang sebagian besar terdiri atas

gelembung-gelembung kecil

( alveoli ). Alveolus yaitu tempat

pertukaran gas assinus terdiri dari

bronkhiolus dan respiratorius yang

terkadang memiliki kantong udara

kecil atau alveoli pada dindingnya.

Ductus alveolaris seluruhnya

dibatasi oleh alveoilis dan sakus

alveolaris terminalis merupakan akhir paru-paru, asinus atau.kadang disebut lobolus

primer memiliki tangan kira-kira 0,5 s/d 1,0 cm. Terdapat sekitar 20 kali percabangan

mulai dari trachea sampai Sakus Alveolaris. Alveolus dipisahkan oleh dinding yang

dinamakan pori-pori kohn.

Paru-paru dibagi menjadi dua bagian, yaitu paru-paru kanan yang terdiri dari 3 lobus

( lobus pulmo dekstra superior, lobus pulmo dekstra media, lobus pulmo dekstra

inferior) dan paru-paru kiri yang terdiri dari 2 lobus ( lobus sinistra superior dan lobus

sinistra inferior).

Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan yang lebih kecil yang bernama segmen. Paru-paru kiri

memiliki 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus superior dan lima lobus inferior.

Paru-paru kiri juga memiliki 10 segmen, yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, 2

buah segmen pada lobus medialis, dan 3 segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen

masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus.

Letak paru-paru di rongga dada datarnya menghadap ke tengah rongga dada / kavum

mediastinum.. Pada bagian tengah terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada

mediastinum depan terletak jantung.

Paru-paru dibungkus oleh selapus tipis yang pernama pleura . Pleura dibagi menjadi dua

yaitu pleura visceral ( selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung

Page 22: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

membungkus paru-paru dan pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada

sebelah luar. Antara kedua lapisan ini terdapat rongga kavum yang disebut kavum

pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini vakum/ hampa udara.

Suplai Darah

Setiap arteria pulmonalis, membawa darah deoksigenasi dari ventrikel kanan jantung,

memecah bersama dengan setiap bronkus menjadi cabang-cabang untuk lobus, segmen

dan lobules. Cabang-cabang terminal berakhir dalam sebuah jaringan kapiler pada

permukaan setiap alveolus. Jaringan kapiler ini mengalir ke dalam vena yang secara

progresif makin besar, yang akhirnya membentuk vena pulmonalis, dua pada setiap

sisi, yang dilalui oleh darah yang teroksigenasi ke dalam atrium kiri jantung. Artheria

bronchiale yang lebih kecil dari aorta menyuplai jaringan paru dengan darah yang

teroksigenasi.

b. HIV

HIV yang merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus adalah Virus

penyebab AIDS.

HIV terdapat di dalam cairan tubuh seseorang yang telah terinfeksi seperti di

dalam darah air mani atau cairan vagina

Sebelum HIV berubah menjadi AIDS, penderitanya akan tampak sehat dalam

waktu kira-kira 5 sampai 10 tahun.

Walaupun tampak sehat, mereka dapat menularkan HIV pada orang lain melalui

hubungan seks yang tidak aman, tranfusi darah atau pemakaian jarum suntik

secara bergantian.

HIV dapat ditularkan melalui 3 cara, yaitu :

Hubungan seks (anal, oral, vaginal) yang tidak terlindungi dengan orang yang

telah terinfeksi HIV.

Transfusi darat atau penggunaan jarum suntik secara bergantian.

Melalui Alat Suntik.

HIV tidak ditularkan melalui jabatan tangan, sentuhan, ciuman, pelukan,

menggunakan peralatan makan/minum yang sama, gigitan nyamuk, memakai

jamban yang sama atau tinggal serumah.

Page 23: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

Etiologi

Penyebab penyakit HIV/AIDS adalah Human Immunodeficiency Virus, yaitu virus yang

menyebabkan penurunan daya kekebalan tubuh. HIV termasuk genus retrovirus dan

tergolong ke dalam family lentivirus. Infeksi dari family lentivirus ini khas ditandai

dengan sifat latennya yang lama, masa inkubasi yang lama, replikasi virus yang persisten

dan keterlibatan dari susunan saraf pusat (SSP). Sedangkan ciri khas untuk jenis

retrovirus yaitu : dikelilingi oleh membran lipid, mempunyai kemampuan variasi genetik

yang tinggi, mempunyai cara yang unik untuk replikasi serta dapat menginfeksi seluruh

jenis vertebra.

Struktur HIV

Gambar 1 : Struktur HIV

Envelope berisi:

a. lipid yang berasal dari membran sel host.

Page 24: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

b. mempunyai 72 semacam paku yang dibuat dari gp 120 dan gp 41, setiap paku

disebut trimer dimana terdiri dari 3 copy dari gp 120, gp 41.

c. Protein yang sebelumnya terdapat pada membran sel yang terinfeksi.

d. gp 120 : glikoprotein yang merupakan bagian dari envelope (sampul) yang

tertutup oleh molekul gula untuk melindungi dari pengenalan antibodi, yang

berfungsi mengenali secara spesifik reseptor dari permukaan target sel dan secara

tidak langsung berhubungan dengan membran virus lewat membran glikoprotein.

e. gp 41 : transmembran glikoprotein yang berfungsi melakukan trans membran

virus, mempercepat fusion (peleburan) dari host dan membran virus dan

membawa HIV masuk ke sel host.

f. RNA dimer dibentuk dari 2 single strand dari RNA.

g. Matrix protein : garis dari bagian dalam membran virus dan bisa memfasilitasi

perjalanan dari HIV DNA masuk ke inti host.

h. Nukleocapsid : mengikat RNA genome.

i. Capsid protein : inti dari virus HIV yang berisikan 2 kopi dari RNA genom dan 3

macam enzim (reverse transcriptase, protease dan integrase).

Siklus Replikasi Virus

Virus hanya dapat bereplikasi dengan menggunakan atau memanfaatkan sel hostnya.

Siklus replikasi dari awal virus masuk ke sel tubuh sampai menyebar ke organ tubuh

yang lain melalui 7 tahapan, yaitu:

1) Sel - sel target mengenali dan mengikat HIV

HIV berfusi (melebur) dan memasuki sel target

gp 41 membran HIV merupakan mediator proses fusi

RNA virus masuk kedalam sitoplasma

Proses dimulai saat gp 120 HIV berinteraksi dengan CD4 dan ko-reseptor

2) RNA HIV mengalami transkripsi terbalik menjadi DNA dengan bantuan enzim

reverse transcriptase

3) Penetrasi HIV DNA ke dalam membran inti sel target

4) Integrasi DNA virus ke dalam genom sel target dengan bantuan enzim integrase

5) Ekspresi gen-gen virus

Page 25: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

6) Pembentukan partikel-partikel virus pada membran plasma dengan bantuan enzim

protease

7) Virus-virus yang infeksius dilepas dari sel, yang disebut virion

Transmisi HIV

HIV terdapat dalam cairan tubuh ODHA, dan dapat dikeluarkan melalui cairan

tubuh tersebut. Seseorang dapat terinfeksi HIV bila kontak dengan cairan tersebut.

Meskipun berdasarkan penelitian,virus terdapat dalam saliva, air mata, cairan

serebrospinal dan urin, tetapi cairan tersebut tidak terbukti berisiko menularkan infeksi

karena kadarnya sangat rendah dan tidak ada mekanisme yang memfasilitasi untuk masuk

ke dalam darah orang lain, kecuali kalau ada luka.

Cara penularan yang lazim adalah melalui hubungan seks yang tidak aman (tidak

menggunakan kondom) dengan mitra seksual terinfeksi HIV, kontak dengan darah yang

terinfeksi (tusukan jarum suntik, pemakaian jarum suntik secara bersama, dan produk

darah yang terkontaminasi) dan penularan dari ibu ke bayi (selama kehamilan, persalinan

dan sewaktu menyusui). Cara lain yang lebih jarang seperti, tato, transplantasi organ dan

jaringan, inseminasi buatan, tindakan medis semi invasif.

Cara penularan yang tersering di dunia adalah secara seksual melalui mukosa

genital dengan angka kejadian sampai 85%. Risiko penularan tersebut dipengaruhi oleh

banyak faktor, misalnya adanya ulkus genital atau infeksi menular seksual (IMS) dan

faktor genetik. Tidak ada risiko penularan pada hubungan sosial, kontak non-seksual

seperti, berciuman, pemakaian bersama alat makan (misalnya gelas), tubuh yang

bersentuhan, atau penggunaan toilet umum. HIV tidak disebarkan oleh nyamuk atau

serangga lainnya.

Perjalanan penyakit HIV/AIDS

Perjalanan infeksi HIV ditandai dalam tiga tahap: penyakit primer akut, penyakit kronis

asimtomatis dan penyakit kronis simtomatis.

Infeksi Primer (sindrom retroviral akut)

Page 26: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

Setelah terjadi infeksi HIV mula-mula bereplikasi dalam kelenjar limfe regional.

Hal tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah virus secara cepat di dalam

plasma, biasanya lebih dari 1 juta copy/μl. Tahap ini disertai dengan penyebaran HIV ke

organ limfoid, saluran cerna dan saluran genital. Setelah mencapai puncak viremia,

jumlah virus atau viral load menurun bersamaan dengan berkembangnya respon imunitas

seluler. Puncak viral load dan perkembangan respon imunitas seluler berhubungan

dengan kondisi penyakit yang simptomatik pada 60 hingga 90% pasien.

Penyakit ini muncul dalam kurun waktu 3 bulan setelah infeksi. Penyakit ini

menyerupai ‘glandular fever’ like illness dengan ruam, demam, nyeri kepala, malaise dan

limfadenopati luas. Sementara itu tingginya puncak viral load selama infeksi primer tidak

menggambarkan perkembangan penyakit tapi terkait dengan beratnya keluhan yang

menandakan prognosis yang jelek. Fase ini mereda secara spontan dalam 14 hari.

Infeksi HIV Asimptomatis/ dini

Dengan menurunnya penyakit primer, pada kebanyakan pasien diikuti dengan

masa asimptomatis yang lama, namun selama masa tersebut replikasi HIV terus berlanjut,

dan terjadi kerusakan sistem imun. Beberapa pasien mengalami limfadenopati

generalisata persisten sejak terjadinya serokonversi (perubahan tes antibodi HIV yang

semula negatif menjadi positif) perubahan akut (dikenal dengan limfadenopati pada dua

lokasi non-contiguous dengan sering melibatkan rangkaian kelenjar ketiak, servikal, dan

inguinal). Komplikasi kelainan kulit dapat terjadi seperti dermatitis seboroik terutama

pada garis rambut atau lipatan nasolabial, dan munculnya atau memburuknya psoriasis.

Kondisi yang berhubungan dengan aktivasi imunitas, seperti purpura trombositopeni

idiopatik, polimiositis, sindrom Guillain-Barre dan Bell’s palsy dapat juga muncul pada

stadium ini.

Infeksi Simptomatik

Komplikasi kelainan kulit, selaput lendir mulut dan gejala konstitusional lebih

sering terjadi pada tahap ini. Meskipun dalam perjalanannya jarang berat atau serius,

komplikasi ini dapat menyulitkan pasien. Penyakit kulit seperti herpes zoster, folikulitis

bakterial, folikulitis eosinofilik, moluskum kontagiosum, dermatitis seboroik, psoriasis

Page 27: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

dan ruam yang tidak diketahui sebabnya, sering dan mungkin resisten terhadap

pengobatan standar. Kutil sering muncul baik pada kulit maupun pada daerah anogenital

dan mungkin resisten terhadap terapi. Sariawan sering juga muncul pada stadium ini.

Seperti juga halnya kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, dan eritema ginggivalis

(gusi) linier. Gingivitis ulesartif nekrotik akut, merupakan komplikasi oral yang sulit

diobati.

Gejala konstitusional yang mungkin berkembang seperti demam, berkurangnya

berat badan, kelelahan, nyeri otot, nyeri sendi dan nyeri kepala. Diare berulang dapat

terjadi dan dapat menjadi masalah. Sinusitis bakterial merupakan manifestasi yang sering

terjadi. Nefropati (kelainan ginjal) HIV dapat juga terjadi pada stadium ini.

Stadium Lanjut

Penyakit stadium lanjut ditandai oleh suatu penyakit yang berhubungan dengan

penurunan imunitas yang serius. Keadaan tersebut disebut sebagai infeksi oportunistik.

Kecepatan Perkembangan Infeksi HIV

Kecepatan perkembangan penyakit bervariasi antar individu, berkisar antara 6 bulan

hingga lebih 20 tahun. Waktu yang diperlukan untuk berkembang menjadi AIDS adalah

sekitar 10 tahun, bila tanpa terapi antiretroviral. Dalam 5 tahun, sekitar 30% ODHA

dewasa akan berkembang menjadi AIDS kecuali bila diobati dengan ARV.

Pertanda perkembangan HIV

Jumlah CD4

Kecepatan penurunan CD4 (baik jumlah absolut maupun persentase CD4) telah terbukti

dapat dipakai sebagai petunjuk perkembangan penyakit AIDS. Jumlah CD4 menurun

secara bertahap selama perjalanan penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktu ke

waktu rata-rata 100 sel/tahun. Jumlah CD4 lebih menggambarkan progresifitas AIDS

dibandingkan dengan tingkat viral load, meskipun nilai prediktif dari viral load akan

meningkat seiring dengan lama infeksi.

Viral Load Plasma

Page 28: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

Kecepatan peningkatan Viral load (bukan jumlah absolut virus) dapat dipakai untuk

memperkirakan perkembangan infeksi HIV. Viral load meningkat secara bertahap dari

waktu ke waktu. Pada 3 tahun pertama setelah terjadi serokonversi, viral load berubah

seolah hanya pada pasien yang berkembang ke arah AIDS pada masa tersebut.

Setelah masa tersebut, perubahan viral load dapat dideteksi, baik akselerasinya maupun

jumlah absolutnya, baru keduanya dapat dipakai sebagai petanda progresivitas penyakit.

Testing HIV

Diagnosis infeksi HIV biasanya dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan

menunjukkan adanya antibodi spesifik. Berbeda dengan virus lain, antibodi tersebut tidak

mempunyai efek perlindungan. Pemeriksaan secara langsung juga dapat dilakukan, yaitu

antara lain dengan melakukan biakan virus, antigen virus (p24), asam nukleat virus.

Pemeriksaan adanya antibodi spesifik dapat dilakukan dengan Rapid Test, Enzime Linked

Sorbent Assay (ELISA) dan Western Blot. Sesuai dengan pedoman nasional, diagnosis

HIV dapat ditegakkan dengan 3 jenis pemeriksaan Rapid Test yang berbeda atau 2 jenis

pemeriksaan Rapid Test yang berbeda dan 1 pemeriksaan ELISA.

Setelah mendapat infeksi HIV, biasanya antibodi baru terdeteksi setelah 3 – 12 minggu,

dan masa sebelum terdeteksinya antibodi tersebut dikenal sebagai “periode jendela”. Tes

penyaring (antibodi) yang digunakan saat ini dapat mengenal infeksi HIV 6 minggu

setelah infeksi primer pada sekitar 80% kasus, dan setelah 12 minggu pada hampir 100%

kasus. Sehingga untuk mendiagnosis HIV pada periode jendela dapat dilakukan dengan

pemeriksaan antigen p24 maupun Polymerase Chain Reaction (PCR).

STADIUM KLINIS HIV/AIDS

WHO telah menetapkan Stadium Klinis HIV/AIDS untuk dewasa maupun anak yang

sedang direvisi. Untuk dewasa maupun anak, stadium klinis HIV/AIDS masing-masing

terdiri dari 4

stadium. Jika dilihat dari gejala yang terjadi pembagian stadium klinis HIV/AIDS adalah

sebagai berikut :

Page 29: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

Tabel B. 1 Stadium Klinis HIV

Stadium Klinis HIV/AIDS Untuk Dewasa Dan Remaja

Stadium Klinis HIV/AIDS Untuk Dewasa dan Remaja adalah sebagai berikut :

1. Infeksi primer HIV

a) Asimptomatik

b) Sindroma retroviral akut

2. Stadium Klinis 1

a) Asimptomatik

b) Limfadenopati meluas persisten

3. Stadium Klinis 2

a) Berat badan menurun yang sebabnya tidak dapat dijelaskan

b) Infeksi saluran napas berulang (sinusitis, tonsilitis, bronkitis, otitis media,

a) faringitis)

b) Herpes zoster

c) Cheilits angularis

d) Ulkus mulut berulang

e) Pruritic papular eruption (PPE)

f) Dermatitis seboroika

g) Infeksi jamur kuku

4. Stadium Klinis 3

a) Berat badan menurun yang tidak dapat dijelaskan sebabnya ( > 10%)

b) Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan sebabnya lebih dari 1 bulan

Page 30: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

c) Demam yang tidak diketahui sebabnya (intermiten maupun tetap selama lebih dari

1 bulan)

d) Kandidiasis oral persisten

e) Oral hairy leukoplakia

f) Tuberkulosis (TB) paru

g) Infeksi bakteri yang berat (empiema, piomiositis, infeksi tulang atau sendi,

meningitis, bakteriemi selain pneumonia)

h) Stomatitis, gingivitis atau periodontitis ulseratif nekrotikans yang akut

i) Anemia (Hb < 8 g/dL), netropeni (< 500/mm3), dan/atau trombositopeni kronis (<

50.000/mm3) yang tak dapat diterangkan sebabnya

5. Stadium Klinis 4

a) HIV wasting syndrome (berat badan berkurang >10% dari BB semula, disertai

salah satu dari diare kronik tanpa penyebab yang jelas (>1 bulan) atau kelemahan

kronik dan demam berkepanjangan tanpa penyebab yang jelas).

b) Pneumonia pneumocystis

c) Pneumonia bakteri berat yang berulang

d) Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial, anorektal atau genital lebih dari sebulan

atau viseral dimanapun)

e) Kandidiasis esofagus (atau di trakea, bronkus atau paru)

f) Tuberkulosis ekstra paru

g) Sarkoma Kaposi

h) Infeksi Cytomegalovirus (retinistis atau infeksi organ lain)

i) Toksoplasmosis susunan saraf pusat

j) Ensefalopati HIV

k) Kriptokokus ekstra paru termasuk meningitis

l) Infeksi mikobakterium non-tuberkulosis yang luas (diseminata)

m) Progressive multifocal leucoencephalopathy

n) Kriptosporidiosis kronis

o) Isosporiosis kronis

p) Mikosis diseminata (histoplasmosis, koksidioidomikosis, penisiliosis ekstra paru)

Page 31: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

q) Septikemi berulang (termasuk salmonella non-tifoid)

r) Limfoma (otak atau non-Hodgkin sel B)

s) Karsinoma serviks invasif

t) Leishmaniasis diseminata atipikal

c. TBC

Terdapat dua macam respon imun pertahanan tubuh terhadap infeksi tuberkulosis

yaitu respon imun selular  (sel T dan makrofag yang teraktivasi) bersama sejumlah

sitokin dan pertahanan secara humoral (anti bodi-mediated). Respon imun seluler lebih

banyak memegang peranan dalam pertahan tubuh terhadap infeksi tuberkulosis.

Pertahanan secara humoral tidak bersifat protektif tetapi lebih banyak digunakan untuk

membantu menegakkan diagnosis.

Untuk menimbulkan respons antibodi maka sel B dan sel T harus saling

berinteraksi. Antigen yang berada di dalam makrofag atau yang berfungsi sebagai antigen

presenting cell (APC) menyajikan antigen mikroba kepada sel Th. Aksi pengenalan itu

sel Th bersama-sama ekspresi MHC kelas II kepada sel Th, mengaktivasi sel B untuk

memproduksi antibodi spesifik terhadap antigen. Aktivasi sel T menyebabkan terjadinya

diferensiasi B menjadi sel plasma yang kemudian menghasilkan antibodi. Sel B

menerima signal dari sel T untuk berbagi dan berdiferensiasi menjadi antibodi forming

cells (APC) dan sel memori B.

Respon imun primer terjadi sewaktu antigen pertama kali masuk ke dalam tubuh,

yang ditandai dengan munculnya IgM beberapa hari setelah pemaparna. Kadar IgM

mencapai puncaknya pada hari ke-7. pada 6-7 hari setelah pemaparan, barulah bisa di

deteksi IgG pada serum, sedangkan IgM mulai berkurang sebelum kadar IgG mencapai

puncaknya yaitu 10-14 hari setelah pemaparan anti gen. Respon imun sekunder terjadi

apabila pemaparan anti gen terjadi untuk yang kedua kalinya, yang di sebut juga booster.

Puncak kadar IgM pada respon sekunder ini umumnya tidak melebihi puncaknya pada

respon primer, sebaliknya kadar IgG meningkat jauh lebih tinggi dan berlangsung lebih

lama. Perbedaan dalam respon ini di sebabkan adanya sel B dan sel T  memory akibat

pemaparan yang pertama (Kardjito, 1996).

Page 32: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

Ketika Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam paru – paru, proteksi utama

respon imun spesifik terhadap bakteri intaseluler berupa imunitas selular. Imunitas seluler

terdiri dari sel CD4+ yang mengaktifkan makrofag yang memproduksi IFN-γ dan CD8+

yang memacu pembunuhan mikroba serta lisis sel terinfeksi. Makrofag yang diaktifkan

sebagai respon terhadap mikroba intraseluler dapat pula membentuk granuloma dan

menimbulkan kerusakan jaringan. Bakteri intraseluler dimakan makrofag dan dapat hidup

dalam fagosom dan masuk dalam sitoplasma. CD4+ memberikan respon terhadap peptide

antigen MHC-II asal bakteri intravesikular, memproduksi IFN-γ yang mengaktifkan

makrofag untuk menghancurkan mikroba dalam fagosom. CD4+ naif dapat

berdeferensiasi menjadi sel Th1 yang mengaktifkan fagosit untuk membunuh mikroba

yang dimakan.

Beberapa jenis kuman, seperti kuman tuberkulosis (TB), lepra (morbus hansen),

listeria dan brusela dapat hidup terus serta melanjutkan pertumbuhannya di dalam

sitoplasma makrofag setelah mereka difagositosis. Induksi respons kekebalan spesifik

sekunder terhadap sejenis mikroba dapat merangsang tubuh untuk serentak memberikan

kekebalan nonspesifik pada mikroba lain yang mempunyai sifat pertumbuhan yang sama.

Bukti secara eksperimental menunjukkan bahwa pertahanan anti mikobakteri

adalah makrofag dan limfosit T. Sel fagosit mononuklear atau makrofag berperan sebagai

efektor utama sedangkan limfosit T sebagai pendukung proteksi atau kekebalan.

Menurut Andersen (1994) M. tuberculosis di inhalasi sehingga masuk ke paru-paru,

kemudian di telan oleh makrofag. Makrofag tersebut mempunyai 3 fungsi utama, yakni :

- Memproduksi enzim proteolitik dan metabolit lainnya yang memperlihatkan efek

mycobactericidal.

- Memproduksi sitokin sebagai respon terhadap M. tuberculosis yakni IL-1, IL-6, IL-

8, IL-10, TNF-a TGF-b. Sitokin mempunyai efek imunoregulator yang penting.

- Untuk memproses dan menyajikan anti gen terhadap limfosist T.

Sitokin yang dihasilkan makrofag mempunyai potensi untuk menekan efek

imunoregulator dan menyebabkan manifestasi klinis terhadap tuberkulosis.IL-1

merupakan pirogen endogen menyebabkan demam sebagai karakteristik tuberkulosis. IL-

6 akan meningkatkan produksi imunoglobulin oleh sel B yang teraktivasi, menyebabkan

hiperglobulinemia yang banyak dijumpai pada pasien tuberkulosis. TGF berfungsi sama

Page 33: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

dengan IFN untuk meningkatkan produksi metabolit nitrit oksida dan membunuh bakteri

serta diperlukan untuk pembentukan granuloma untuk mengatasi infeksi mikobakteri.

Selain itu TNF dapat menyebabkan efek patogenesis seperti demam, menurunnya berat

badan dan nekrosis jaringan yang merupakan ciri khas tuberkulosis.

Akibat adanya akumulasi makrofag maka terjadi penimbunan pada daerah yang

terdapat antigen dan terjagi granuloma yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan.

Lesi jaringan oleh basil TBC pada dasarnya ada dua tipe, tipe eksudatif dan tipe

produktif. Tipe eksudatif adalah suatu reaksi radang akut; terjadi udema sel leukosit

polimorfonuklear, kemudian monosit terkumpul di sekeliling basil TBC yang bersarang

di tempat itu.Lesi ini kemungkinan sembuh sempuma, nekrosis jaringan, atau

berkembang menjadi tipe produktif. Tipe produktif ditandai timbunan sel radang di

sekitar basil. Lesi ini tersusun atas banyak tuberkel yang kemudian membesar, atau

mengelompok, atau mencair dan mengalami proses kaseasi.

Pada tuberkulosis primer, perkembangan infeksi M. tuberculosis pada target

organ tergantung pada derajat aktivitas anti bakteri makrofag dari sistem imun alamiah

serta kecepatan dan kualitas perkembangan sistem imun yang di dapat. Oleh sistem imun

alamiah, basil akan di eliminasi oleh kerja sama antara alveolar makrofag dan NK sel

melalui sitokin yang dihasilkannya yakni TNF-a dan INF-g.  Mekanisme pertahanan

tubuh terhadap infeksi ini terutama dilakukan oleh sel-sel pertahanan (sel T dan makrofag

yang teraktivasi) bersama sejumlah sitokin. Pada limfonodi regional, terjadi

perkembangan respon imun adaptif, yang akan mengenali basil tuberkulosis. Tipe respon

imun ini sangat tergantung pada sitokin yang dihasilkan oleh sistem imun alamiah.

Dominasi produksi sitokin oleh makrofag yang mensekresikan IL-12 akan merangsang

respon sel Th 1, sedangkan bila IL-4 yang lebih banyak disekresikan oleh sel-T maka

akan timbul respon oleh sel Th 2. Tipe respon imun ini akan menentukan kualitas aktivasi

makrofag untuk mempresentasikan anti gen kepada sel-T khususnya melalui jalur MHC

kelas-II (Ilangumaran, 1994).

Page 34: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

Tabel C.1 Tahapan respon kekebalan terhadap Mycobacterium tuberculosis.

Selama imunitas adaptif berkembang untuk mempercepat aktivasi

makrofag/monosit, terjadilah bakteremia. Basil menggunakan makrofag sebagai sarana

untuk menyebar dan selanjutnya tumbuh dan menetap pada sel-sel fagosit di berbagai

organ tubuh. Peristiwa ini akan terjadi bila sel-T spesifik yang teraktivasi pada limfonodi

mengalami resirkulasi dan melewati lesi yang meradang yang selanjutnya akan

membentuk granuloma. Pada peristiwa ini TNF memegang peranan yang sangat vital.

Bila respon imun adaptif berkembang tidak adekuat maka akan timbul manifestasi klinis

akibat penyebaran basil yang berupa tuberkulosis milier atau tuberkulosis meningen

(Zeiss, 1984).

Page 35: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

Tabel C.2 Reaksi Granuloma

Granuloma merupakan mekanisme pertahanan utama dengan cara membatasi

replikasi bakteri pada fokus infeksi. Granuloma terutama terdiri atas makrofag dan sel-T.

Selama interaksi antara anti gen spesifik dengan sel fagosit yang terinfeksi pada berbagai

organ, sel-T spesifik memproduki IFN-g dan mengaktifkan fungsi anti mikroba

makrofag. Dalam granuloma terjadi enkapsulasi yang di picu oleh fibrosis dan kalsifikasi

serta terjadi nekrosis yang menurunkan pasokan nutrien dan oksigen, sehingga terjadi

kematian bakteri. Akan tetapi sering terjadi keadaan di mana basil tidak seluruhnya mati

tapi sebagian masih ada yang hidup dan tetap bertahan dalam bentuk dorman. Infeksi

yang terlokalisir sering tidak menimbulkan gejala klinis dan bisa bertahan dalam waktu

yang lama (Kardjito, 1996).

Pada tuberkulosis post primer, pertahanan tubuh di dominasi oleh pembentukan

elemen nekrotik yang lebih hebat dari kasus infeksi primer. Elemen-elemen nekrotik ini

akan selalu dikelurkan sehingga akhirnya akan terbentuk kavitas. Limfadenitis regional

jarang terjadi, M. tuberculosis menetap dalam makrofag dan pertumbuhannya di kontrol

dalam fokus-fokus yang terbentuk. Pembentukan dan kelangsungan hidup granuloma di

kontrol oleh sel-T, di mana komunikasi antara sel-T dan makrofag di perantarai oleh

sitokin. IL-1b, TNF-a, GM-CSF, TGF-b, IL-6, INF-g dan TNF-b merupakan sitokin yang

mengontrol kelangsungan granuloma, sebaliknya IL-4, IL-5 dan IL-10 menghambat

pembentukan dan perkembangan granuloma (Kardjito, 1996).

Proses aktivasi makrofag oleh sitokin merupakan faktor sentral dalam imunitas

Page 36: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

terhadap tuberkulosis. Pada sistem ini, INF-g telah di identifikasikan sebagai sitokin

utama untuk mengaktivasi makrofag, yang selanjutnya dapat menghambat pertumbuhan

patogen ini. Pembentukan granuloma dan kavitas di pengaruhi oleh berbagai macam

sitokin sebagai hasil interaksi antara sel-T spesifik, makrofag yang teraktivasi dan

berbagai macam komponen bakterial (Alfiano, 1998).

Peran Subset Sel T dan Sitokin

Proses fagositosis makrofag alveolar terhadap kuman TB terjadi melalui berbagai

reseptor antara lain karbohidrat non spesifik, imunologlobulin Fc, sistem komplemen

pada permukaan sel kuman dan sel fagositik. Mekanisme lain melalui peranan fibronectin

binding protein pada proses fagositosis oleh sel fagositik mononuklerar.

Dalam endosomal sel fagositik mononuklear kumam TB hidup bertahan hidup

dengan jalan sebagai berikut:

1. Netralisasi fagosomal pada pH yang rendah

2. Interferensi fusi fagolisomone

3. Resisten terhadap enzim lisosomal

4. Inhalasi dari gugusan aksigen reaktif intermediate

5. Sintesa heat shock protein (HSP)

6. Menghindari dari masuk ke dalam sitoplasma

Kuman TB mati dan diluncurkan melalui proses aktivasi makrofag oleh sitokin

sel T dan berbagai gugusan oksigen reaktif, nitrogen intermediate dan pengaturan level

zat besi intraseluler. Antigen dari protein kuman TB yang didegradasikan bersama

endosom diproses dan dipresentasikan kepada CD4+ sel T melalui MHC kelas II.

Sedangkan antigen protein kuman TB yang berada dalam sitoplasma di presentasikan

kepada CD8+ sel T melalui MHC kelas I. Limfosit T perifer memiliki reseptor sel T

(TCR) dipermukaan sel dan berikatan secara non kovalen dengan CD3 berguna untuk

transuksi signal antigenik ke sitoplasma. Didarah perifer dan organ limfoid 90% ekspresi

sel T sebagai a/b TCR ekspresi sel T sebagai a/b TCR dan 10%g/s TCR.Peranan a/b TCR

SC4+ cell adalah mengenal berbagai fragmen antigen yang berasal dari endosomal

bersama molekul MHC kelas II untuk menghasilkan berbagai sitokin pada respons imun.

Page 37: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

Pada kasus tertentu CD4+ sel T memiliki efektorlisis seperti pada CD8 + sel T,

selanjutnya a/b TCR CD8+ cell berfungsi untuk mengenal fragmen antigen kuman TB

dari sitosolik bersama MHC kelas I yang besar kemungkinan berasal dari kompartemen

endosomal untuk kemudian ditransfer ke retikulum endoplasmik. Fungsi a/b TCR adalah

mengenal antigen kuman TB melalui undertermited presenting molecules pada APC dan

menghasilkan berbagai sitokin yang mirip dengan a/b TCR cell untuk tujuan efek

sitotoksik pada sel target. Setelah proses pengenalan antigen selanjutnya T cell precursor

mensekresi IL-2. sel T CD4+ terdiri dari 2 sub populasi yaitu sel CD4 + Th 1 mensekresi

IL-2 dan IFN g serta sel CD4+ Th2 mensekresikan II-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Kedua

subpopulasi Th 1 dan Th 2 mensekresi IL-3, GM-CSF da TNF a. Sel CD4+ Th-0

memiliki kemampuan untuk berdifrensiasi menjadi sel Th-1 atau Th-2. Sel Th-1 berperan

untuk mengaktivasi makrofag melalui IFN-g dan DTH.Sel Th-2 berperan dalam hal

produksi antibodi dan inhalasi aktivasi makrofag (IL-10).

Selanjutnya IFN-g yang dihasilkan oleh sel Th-1 menghambat profilerasi sel Th-2

sementara IL-4 yang dihasilkan Th-2 menghambat peningkatan sel Th-1. Peranan TNF-a

adalah sebagai sitokin utama dalam proses pembentukan granuloma dan banyak

ditemukan pada cairan pleura penderita pleuritis TB eksudativa. Sitokin IL-12 dihasilkan

oleh makrofag dan sel B yang berperan untuk mengaktivasi Th-1. Fungsi utama CD4+

cell effector adalah untuk aktivasi sitolitik pada infeksi M. tuberkulosis. Sedangkan

CD8+ T cell berfungsi pada mekanisme a/b TCR mediatedlysis sel terinfeksi dan

mekanisme apoptosis sel target. Sehingga CD8+ T cell berperan untuk proteksi pada fase

awal infeksi. Peranan g/s TCR cell adalah untuk memperoleh efek sitolitik monosit

bersama antigen kuman TB dengan tujuan mensekresi sitokin pembentuk granuloma.

Page 38: Scenario a Blok 16 Tahun 2015 Ok

Sumber :

Anonim. Pengertian dan Cara Penularan HIV. Diakses di http://www.g-excess.com/pengertian-

dan-cara-penularan-hivaids.html pada tanggal 5 februari 2015.

Price, Sylvia A and Wilson, Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.

Jakarta : EGC, 2013

Werdhani, Retno Asti. Patofisiologi, Diagnosis, dan Klasifikasi TB. Jakarta : Departemen Ilmu

Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI.

Yuwono. 2012. Palembang : Departemen Mikrobiologi FK Unsri