Scenario b Blok 22 Tahun 2013

99
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya laporan Tutorial ini dapat terselesaikan dengan baik. Adapun laporan ini bertujuan untuk memenuhi rasa ingin tahu akan penyelesaian dari skenario yang diberikan, sekaligus sebagai tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Tim Penyusun tak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan laporan ini. Tak ada gading yang tak retak. Tim Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik pembaca akan sangat bermanfaat bagi revisi yang senantiasa akan penyusun lakukan. Tim Penyusun 28 Desember 13 1

description

reges

Transcript of Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Page 1: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya laporan Tutorial

ini dapat terselesaikan dengan baik.

Adapun laporan ini bertujuan untuk memenuhi rasa ingin tahu akan penyelesaian

dari skenario yang diberikan, sekaligus sebagai tugas tutorial yang merupakan bagian dari

sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Tim Penyusun tak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat

dalam pembuatan laporan ini.

Tak ada gading yang tak retak. Tim Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan

laporan ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik

pembaca akan sangat bermanfaat bagi revisi yang senantiasa akan penyusun lakukan.

Tim Penyusun

28 Desember 13

1

Page 2: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... 1

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ 2

I. Skenario A Blok 22 ..................................................................................... 3

II. Klarifikasi Istilah ....................................................................................... 3

III. Identifikasi Masalah .................................................................................... 4

IV. Analisis Masalah ......................................................................................... 5

V. Hipotesis .................................................................................................... 34

VI. Sintesis ...................................................................................................... 34

VII. Kerangka Konsep ......................................................................................

VIII. Kesimpulan ...............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ….......................................................................................................

2

Page 3: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Skenario B Blok 22 Tahun 2013

Nn. A, 20 tahun , pasien rawat inap di bangsal penyakit dalam RSMH tiba tiba mengeluh

pusing, keringat dingin, sessak nafas lalu tidak sadar setelah beberapa menit sebelumnya

dilakukan tes kulit terhadap obat ceftriaxone, dimana obat tadi direncanakan akan disuntikkan

ke pasien tersebut. Riwayat pernah makan kaplet amoxicillin 7 bulan yang lalu yang

diresepkan dokter karena infeksi tenggorokan yang dialaminya namun tidak ada keluhan

selama makan obat tersebut. Menurut penuturan kakaknya, adiknya tersebut bila makan ikan

laut atau udang keluar bentol - bentol merah dan gatal. Kakak perempuannya mempunyai

riwayat asma. Ibunya sering berobat ke dokter karena penyakit eczema yang dideritanya.

Pemeriksaan fisik :

Keadaan umum : kesadaran sopor ; suhu 36,8; tekanan darah 60mmHg, palpasi; frekuensi

nafas 36x/menit; frekuensi nadi 120x/menit, regular. Saturasi oksigen 60%

Keadaan spesifik: auskultasi paru terdengar wheezing, frekuensi denyut jantung 120x/menit,

regular.

Pemeriksaan laboratorium

Hb 12,5gr%, leukosit 11.000/mm3, diff. Count: 0/4/7/70/18/1, LED : 10 mm/jam

KLARIFIKASI ISTILAH

Obat Ceftriaxone :

kelompok obat yang disebut cephalosporin antibiotic yang bekerja mematikan bakteri

dalam tubuh

Amoxicillin :

antibiotic turunan penisilin semi sintetik yang stabil dalam suasana asam lambung

Eczema :

kondisi kulit yang kering dan gatal

Asma :

sebuah gangguan umum berupa peradangan kronis pada bronkus membuat mereka

membengkak saluran udara menyempit

Gatal :

sebuah sensasi tidak nyaman pada kulit yang seolah olah ada sesuatu yang merayap di

kulit

Infeksi Tenggorokan :

3

Page 4: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

invasi dan pembiakan organisme pada tenggorokan terutama yang menyebabkan

cedera seluler local akibat kompetisi metabolism, toksin, replikasi intraseluler, respon

antigen antibodi

Wheezing :

suara yang bernada tinggi yang terjadi akibat aliran udara yang melalui saluran nafas

yang sempit dan terdengar diakhir ekspirasi secara klinis

Sopor :

adalah keadaan mengantuk yang dalam bisa dibangunkan dengan rangsang kuat tapi

pasien tidak dapat memberikan jawaban verbal dengan baik dan tidak bangun

sempurna, GCS : 9

Saturasi Oksigen :

ukuran seberapa banyak persentase oksigen yang mampu dibawa oleh hemoglobin

IDENTIFIKASI MASALAH

1. Nn.A, 20 tahun , pasien rawat inap di bangsal penyakit dalam rsmh tiba tiba mengeluh

pusing, keringat dingin, sessak nafas lalu tidak sadar setelah beberapa menit sebelumnya

dilakukan tes kulit terhadap obat ceftriaxone, dimana obat tadi direncanakan akan

disuntikkan ke pasien tersebut

2. Riwayat pernah makan kaplet amoxicillin 7 bulan yang lalu yang diresepkan dokter

karena infeksi tenggorokan yang dialaminya namun tidak ada keluhan selama makan

obat tersebut

3. Menurut penuturan kakaknya, adiknya tersebut bila makan ikan laut atau udang keluar

bentol bentol merah dan gatal

4. Kakak perempuannya mempunyai riwayat asma. Ibunya sering berobat ke dokter karena

penyakit eczema yang dideritanya

5. Pemeriksaan fisik dan Lab

ANALISIS MASALAH

4

Page 5: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

1. Nn. A, 20 tahun, pasien rawat inap di bangsal penyakit dalam rsmh tiba tiba

mengeluh pusing, keringat dingin, sesak nafas lalu tidak sadar setelah beberapa

menit sebelumnya dilakukan tes kulit terhadap obat ceftriaxone, dimana obat tadi

direncanakan akan disuntikkan ke pasien tersebut

a. Bagaimana mekanisme kerja obat Ceftriaxone?

Jawab :

Ceftriaxone merupakan cephalosporin spektrum luas semisintetik yang diberikan

secara IV atau IM. Kadar plasma rata-rata cetriaxone setelah pemberian secara

tunggal infus intravena 0,5;1 atau 2 gr dalam waktu 30 menit dan IM sebesar 0,5

atau 1 g pada orang dewasa sehat. Ceftriaxone juga serupa dengan seftizoksim dan

sefotaksim, mempunyai waktu paruh yang sangat panjang sehingga diberikan

sekali/ dua kali sehari.

FARMAKOKINETIK 

Ceftriaxone diabsorpsi lengkap setelah pemberian IM dengan kadar plasma

maksimum rata-rata antara 2-3 jam setelah pemberian. Dosis multipel IV atau IM

dengan interval waktu 12-24 jam, dengan dosis 0,5-2g menghasilkan akumulasi

sebesar 15-36 % diatas nilai dosis tunggal. Sebanyak 33-67 % ceftriaxone yang

diberikan, akan diekskresikan dalam urin dalam bentuk yang tidak diubah dan

sisanya diekskresikan dalam empedu dan sebagian kecil dalam feses sebagai

bentuk inaktif.

Ikatan protein ceftriaxone bersifat reversibel dan besarnya adalah 85-95 %.

Ceftriaxone menembus selaput otak yang mengalami peradangan pada bayi dan

anak-anak dan kadarnya dalam cairan otak setelah pemberian dosis 50 mg/kg dan

75 mg/kg IV, berkisar antara 1,3-18,5 ug/ml dan 1,3-44 ug/ml. Dibanding pada

orang dewasa sehat, farmakokinetik ceftriaxone hanya sedikit sekali terganggu

pada usia lanjut dan juga pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal/hati, karena

itu tidak diperlukan penyesuaian dosis.

FARMAKODINAMIK 

Efek bakterisida ceftriaxone dihasilkan akibat penghambatan sintesis dinding

kuman. Ceftriaxone mempunyai stabilitas yang tinggi terhadap beta-laktanase,

baik terhadap penisilinase maupun sefalosporinase yang dihasilkan oleh kuman

gram-negatif, gram- positif

5

Page 6: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

b. Bagaimana indikasi, kontraindikasi, efek samping dan interaksi obat

ceftriaxone?

Jawab :

Indikasi :

Infeksi saluran napas bawah

Infeksi kulit dan jaringan lunak

Gonoroe tanpa komplikasi

Penyakit radang rongga panggul

Septicemia bacterial

Infeksi tulang dan sendi

Infeksi intraabdominal

Meningitis

Profilaksis operasi

Kontraindikasi :

Pasien dengan riwayat alergi terhadap golongan cephalosporin

Neonatus Hyperbilirubinemic , terutama prematur , tidak seharusnya

diperlakukan dengan Ceftriaxone. Dalam studi vitro telah menunjukkan bahwa

ceftriaxone dapat menggantikan bilirubin dari ikatannya dengan albumin

serum yang mengarah ke kemungkinan resiko bilirubin ensefalopati pada

pasien ini.

Efek samping :

Reaksi lokal :

Sakit, indurasi atau nyeri tekan pada tempat suntikan dan phlebitis setelah

pemberian IV

Hipersensitivitas :

Ruam kulit dan kadang pruritus, demam, dan menggigil

Hematologic :

Eosinofilia, trombositosis, leucopenia, anemia, neutropenia, limfopenia,

trombositopenia, dan pemanjangan waktu protrombin

Saluran cerna :

Diare, mual, dan muntah

6

Page 7: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Hati :

Peningkatan SGOT atau SGPT dan kadang-kadang peningkatan alkali

fosfatase dan bilirubin

Ginjal :

Peningkatan BUN dan kadang-kadang peningkatan kreatinin serta ditemukan

silinder dalam urin

SSP :

Kadang timbul sakit kepala atau pusing

Urogenital :

Monitiasis atau vaginitis

Interaksi Obat:

Beberapa Obat yang mempunyai interaksi dengan ceftriaxone:

Kalsium yang mengandung obat-obatan IV (misalnya, nutrisi parenteral,

larutan Ringer) karena masalah paru-paru dan ginjal yang parah dan kadang-

kadang fatal dapat terjadi, terutama pada bayi baru lahir

Aminoglikosida (misalnya, gentamisin), antikoagulan (misalnya, warfarin),

siklosporin, atau heparin karena risiko efek samping mereka dapat

ditingkatkan dengan ceftriaxone.

Vaksin hidup tertentu (BCG, tifoid lisan) karena ceftriaxone dapat

menurunkan efektivitas mereka.

c. Bagaimana mekanisme keluhan pada kasus ini?

Jawab:

Nona A mengalami keluhan-keluhan disebabkan suatu reaksi anafilaksis yang

bersifat akut dan sistemik disebabkan pelepasan mediator dari sel mast dan

basofil. Hal yang menyebabkan induksi adalah antibiotik ceftriaxone. Tes kulit

yang dilakukan Nn. A menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang memicu

pelepasan mediator-mediator anafilaksis antara lain histamin, sitokin-sitokin, dan

prostaglandin serta leukotrien juga berbagai mediator lainnya. Pada waktu 7 bulan

yang lalu, Nn. A telah mengonsumsi obat amoxicilin yang merupakan golongan

beta laktam. Hal tersebut memicu reaksi imun spesifik tipe 2 dimana TH2

menyebabkan sel limfosit b menjadi sel plasma dan menghasilkan Ig E. Ig E

7

Page 8: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

ditangkap oleh reseptor di membran permukaan sel mast. Pajanan awal ini

menimbulkan sensitisasi pembentukan IgE spesifik.

Kemudian saat dia melakukan tes kulit dengan ceftriaxon yang memiliki

kesamaan struktur rantai beta laktam dengan amoxicilin sehingga terjadi respon

dari IgE. Obat berikatan dengan protein carier membentuk hapten. Hapten

berperan sebagai antigen yang berikatan dengan Ig E yang telah ada yang

menstimulasi pelepasan mediator oleh sel mast. Manifestasinya pada

kardiovaskular berupa penurunan tonus vaskular dan pecahnya pembuluh darah

kapiler, hipotensi, aritmia jantung yang menimbulkan penurunan volume

intravaskular, vasodilatasi dan disfungsi miokardial. Terjadi peningkatan

permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan 35% volume vaskular pindah

ke ekstravaskular dalam 10 menit.

Kondisi-kondisi tersebut menimbulkan pusing akibat oksigenasi ke otak menurun

dan sesak nafas sebagai usaha untuk mengambil lebih banyak oksigen. Selain itu

terjadi dorongan terhadap saraf simpatik yang merupakan bagian dari sistem saraf

otonom sehingga terjadi peningkatan sekresi dari kelenjar keringat dan

menyebabkan nona A mengeluarkan keringat dingin.

d. Bagaimana cara pemeriksaan tes alergi pada kulit?

Jawab :

Untuk mengetahui seseorang apakah menderita penyakit alergi dapat kita periksa

kadar Ig E dalam darah, maka nilainya lebih besar dari nilai normal atau ambang

batas tinggi. Lalu pasien tersebut harus melakukan tes alergi untuk mengetahui

bahan/zat apa yang menyebabkan penyakit alergi (alergen).

Ada beberapa macam tes alergi, yaitu :

1. Skin Prick Test (Tes tusuk kulit).

Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan.

8

Page 9: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Alergen Hirup yaitu debu, tungau debu, serpih kulit manusia, serpih kulit

ayam, serpih kulit anjing, serpih kulit kucing, serpih kulit kuda, tepung sari

rumput, tepung sari padi, tepung sari jagung, spora jamur, kecoa.

Alergen Makanan yaitu udang, kepiting, bandeng, kakap, kuning telur, putih

telur, coklat, kacang mete, kacang tanah, kedele, tomat, wortel, kerang, nanas,

kopi, susu sapi, teh, ayam negeri, tongkol, cumi-cumi, gandum.

Cara Pemeriksaan :

Tes ini dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang diuji

ditusukkan pada kulit dengan menggunakan jarum khusus (panjang mata

jarum 2 mm), jadi tidak menimbulkan luka, berdarah di kulit. Hasilnya dapat

segera diketahui dalam waktu 30 menit Bila positif alergi terhadap alergen

tertentu akan timbul bentol merah gatal.

Syarat tes ini :

1) Pasien harus dalam keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung

antihistamin (obat anti alergi) selama 3 – 7 hari, tergantung jenis obatnya.

2) Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun.

2. Patch Tes (Tes Tempel).

Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit

dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru

dapat dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia tertentu, akan

timbul bercak kemerahan dan melenting pada kulit.

Syarat tes ini :

1) Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat,

mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan.

9

Page 10: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

2) 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid atau

anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau salep.

3. RAST (Radio Allergo Sorbent Test) IgE Spesifik.

Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan. Tes ini

memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah tersebut

diproses dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat diketahui setelah

4 jam. Kelebihan tes ini : dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak

dipengaruhi oleh obat-obatan.

4. Skin Test (Tes kulit).

Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan.

Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di

tes di lapisan bawah kulit. Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila

positif akan timbul bentol, merah, gatal.

5. Tes Provokasi.

Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum,

makanan, dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi

untuk alergen hirup dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan

untuk penyakit asma dan pilek alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan

sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko tinggi

terjadinya serangan asma dan syok. tes provokasi bronkial dan tes provokasi

makanan sudah digantikan oleh Skin Prick Test dan IgE spesifik metode

RAST.

Untuk tes provokasi obat, menggunakan metode DBPC (Double Blind Placebo

Control) atau uji samar ganda. caranya pasien minum obat dengan dosis

dinaikkan secara bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval 15 – 30

menit.

Dalam satu hari hanya boleh satu macam obat yang dites, untuk tes terhadap

bahan/zat lainnya harus menunggu 48 jam kemudian. Tujuannya untuk

mengetahui reaksi alergi tipe lambat.

10

Page 11: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Ada sedikit macam obat yang sudah dapat dites dengan metode RAST.

Semua tes alergi memiliki keakuratan 100 %, dengan syarat persiapan tes

harus benar, dan cara melakukan tes harus tepat dan benar.

2. Riwayat pernah makan kaplet amoxicillin 7 bulan yang lalu yang diresepkan dokter

karena infeksi tenggorokan yang dialaminya namun tidak ada keluhan selama makan

obat tersebut

a. Bagaimana mekanisme kerja obat amoxicillin?

Jawab :

Amoxicillin adalah antibiotika yang termasuk ke dalam golongan penisilin. Obat

lain yang termasuk ke dalam golongan ini antara lain Ampicillin, Piperacillin,

Ticarcillin, dan lain lain. Karena berada dalam satu golongan maka semua obat

tersebut mempunyai mekanisme kerja yang mirip. Obat ini tidak membunuh

bakteri secara langsung tetapi dengan cara mencegah bakteri membentuk

semacam lapisan yang melekat disekujur tubuhnya. Lapisan ini bagi bakteri

berfungsi sangat vital yaitu untuk melindungi bakteri dari perubahan lingkungan

dan menjaga agar tubuh bakteri tidak tercerai berai. Bakteri tidak akan mampu

bertahan hidup tanpa adanya lapisan ini. Amoxicillin sangat efektif untuk

beberapa bakteri seperti H. influenzae, N. gonorrhoea, E. coli, Pneumococci,

Streptococci, dan beberapa strain dari Staphylococci.

FARMAKODINAMIK

Amoxicillin (alpha-amino-p-hydoxy-benzyl-penicillin) adalah derivat dari 6

aminopenicillonic acid, merupakan antibiotika berspektrum luas yang mempunyai

daya kerja bakterisida. Amoxicillin, aktif terhadap bakteri gram positif maupun

bakteri gram negatif.Bakteri gram positif: Streptococcus pyogenes, Streptococcus

viridan, Streptococcus faecalis, Diplococcus pnemoniae, Corynebacterium sp,

Staphylococcus aureus, Clostridium sp, Bacillus anthracis. Bakteri gram negatif:

Neisseira gonorrhoeae, Neisseriameningitidis, Haemophillus influenzae,

Bordetella pertussis, Escherichia coli, Salmonella sp, Proteus mirabillis, Brucella

sp.

FARMAKOKINETIK

11

Page 12: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Amoxicillin diserap secara baik sekali oleh saluran pencernaan.Kadar bermakna

didalam serum darah dicapai 1 jam setelah pemberian per-oral. Kadar puncak

didalam serum darah 5,3 mg/ml dicapai 1,5-2 jam setelah pemberian per-oral.

Kurang lebih 60% pemberian per-oral akan diekskresikan melalui urin dalam 6

jam

b. Bagaimana indikasi, kontraindikasi, efek samping dan interaksi obat

amoxicillin?

Jawab :

Indikasi:

Amoxicillin harus digunakan hanya untuk mengobati infeksi yang terbukti atau

diduga kuat disebabkan oleh bakteri, hal ini dilakukan untuk mencegah timbulnya

risiko bakteri menjadi resisten terhadap obat tersebut. Amokxicillin digunakan

untuk mengobati infeksi tertentu yang disebabkan oleh bakteri, seperti

pneumonia, bronkitis, gonore, dan infeksi pada telinga, hidung, tenggorokan,

saluran kemih, dan kulit. Hal ini juga digunakan dalam kombinasi dengan obat

lain untuk menghilangkan H. pylori, bakteri yang menyebabkan bisul.

Amoksisilin berada dalam kelas obat yang disebut antibiotik penisilin seperti. Ia

bekerja dengan menghentikan pertumbuhan bakteri. Antibiotik tidak akan bekerja

untuk pilek, flu, dan infeksi virus lainnya.

Kontraindikasi:

Amoxicilin dikontraindikasikan untuk pasien yang mempunyai riwayat alergi

terhadap obat-obatan golongan beta laktam.

Efek Samping:

Amoksisilin dapat menyebabkan efek samping.

Sakit perut

Muntah

Diare

Ruam kulit yang parah

Gatal-gatal

Kejang

Menguningnya kulit atau mata

12

Page 13: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Perdarahan yang tidak biasa atau memar

Kulit pucat

Reaksi Hipersensitivitas

Interaksi obat :

Probenesid

Probenesid menurunkan sekresi tubular ginjal amoksisilin. Penggunaan

amoksisilin dan probenesid secara dapat menyebabkan peningkatan kadar

dalam darah dan berkepanjangan amoksisilin.

Antikoagulan Oral

Abnormal perpanjangan waktu protrombin telah dilaporkan pada pasien yang

menerima amoksisilin dan antikoagulan oral. Pemantauan yang tepat harus

dilakukan ketika antikoagulan yang diresepkan secara bersamaan.

Penyesuaian dosis antikoagulan oral mungkin diperlukan untuk

mempertahankan tingkat yang diinginkan antikoagulasi.

Allopurinol

Pemberian bersamaan allopurinol dan amoksisilin meningkatkan terjadinya

ruam pada pasien yang menerima kedua obat dibandingkan dengan pasien

yang menerima amoksisilin saja. Hal ini tidak diketahui apakah potensiasi ini

ruam amoksisilin adalah karena allopurinol atau hyperuricemia hadir pada

pasien ini.

Kontrasepsi Oral

Amoxil dapat mempengaruhi flora usus, menyebabkan menurunkan

reabsorpsi estrogen dan mengurangi efektivitas kontrasepsi oral kombinasi

estrogen / progesteron.

Antibakteri lain

Kloramfenikol, makrolida, sulfonamid, tetrasiklin dan dapat mengganggu

efek bakterisidal penisilin. Hal ini telah dibuktikan secara in vitro, namun,

signifikansi klinis interaksi ini tidak didokumentasikan dengan baik.

c. Apa makna klinis dari tidak ada keluhan selama mengkonsumsi amoxicillin?

Jawab :

13

Page 14: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Makna klinis dari tidak adanya keluhan selama mengonsumsi amoxicilin adalah

bahwa Nona A tidak menunjukkan gejala klinis terhadap penggunaan antibiotik

amoxcilin. Karena saat itu baru terjadi pajanan awal untuk mensensitisasi

pembentukan Ig E. Hal ini penting untuk diketahui karena pasien yang

mengalami alergi obat sampai terjadi reaksi anafilaksis selalu diawali sensitisasi

awal.

3. Menurut penuturan kakaknya, adiknya tersebut bila makan ikan laut atau udang

keluar bentol bentol merah dan gatal

a. Bagaimana mekanisme alergi bentol bentol merah dan gatal?

Jawab :

Bentol bentol merah dan gatal menunjukkan gejala urtikaria akibat alergi makanan

terutama pada ikan laut atau udang.

Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat,

sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan local.

Sehingga secara klinis tampak edema local disertai eritem. Vasodilatasi dan

peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator

misalnya histamine, kinin, serotonin, slow reacting substance of anafilacsis

(SRSA) dan prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil. Patogenesis angidema

sama dengan urtikaria.

Urtikaria merupakan salah satu manifestasi klinis yang terjadi pada kulit akibat

alergi pada makanan. Secara imunologis, antigen protein utuh pada makanan

masuk ke dalam sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh. Untuk mencegah

respon imun terhadap semua makanan yang dicerna, diperlukan respon yang

ditekan secara selektif yang disebut toleransi atau hiposensitisasi.

Kegagalan untuk melakukan toleransi oral ini memicu produksi berlebihan IgE y

ang spesifik terhadap epitop yang terletak pada alergen makanan. Antibodi

tersebut berikatan kuat dengan reseptor IgE pada basofil dan sel mast, juga

berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada monosit, makrofag, limfosit,

eosinofil, dan trombosit.

Ketika makanan melalui sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang dengan

antibodi tersebut, akan memicu IgE yang telah berikatan dengan sel mast.

Kemudian sel mast akan melepas beberapa mediator yang akan menyebabkan

vasodilatasi, sekresi mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel inflamasi lain

14

Page 15: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

sebagai bagian reaksi hipersensitivitas cepat. Sel mast yang teraktivasi tersebut

juga mengeluarkan sitokin lain yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat.

b. Mengapa hanya saat pada ikan laut dan udang timbul gatal dan bentol?

Jawab :

Alergi makanan adalah respon abnormal tubuh terhadap suatu makanan yang

dicetuskan oleh reaksi spesifik pada sistem imun dengan gejala yang spesifik pula.

Alergen yang terdapat pada makanan adalah komponen utama terjadinya alergi

makanan. Alergen ini berupa protein yang tidak rusak pada saat proses memasak,

dan tidak rusak pada saat berada di keasaman lambung. Akibatnya alergen dapat

melenggang mulus di dalam tubuh masuk ke peredaran darah mencapai organ

yang menjadi targetnya guna menimbulkan reaksi alergi. Mekanisme terjadinya

alergi makanan melibatkan sistem imun dan herediter/keturunan.

Alergi makanan merupakan reaksi hipersensitif yang artinya sebelum reaksi alergi

terhadap alergen pada makanan muncul, seseorang harus pernah terkena alergen

yang sama sebelumnya. Pada saat pertama kali terkena, alergen akan merangsang

limfosit (bagian dari sel darah putih) untuk memproduksi antibodi (IgE) terhadap

alergen tersebut. Antibodi ini akan melekat pada sel Mast jaringan tubuh manusia.

Jika kelak orang tersebut memakan makanan yang sama maka antibodi ini akan

menyuruh sel Mast untuk melepaskan histamin. Histamin inilah yang kemudian

bekerja menyebabkan berbagai reaksi tubuh seperti gatal, bentol, bengkak, sesak

nafas (pada penderita asma), batuk, dll., bahkan sampai pada reaksi yang terberat

yaitu hilangnya kesadaran yang disebut syok anafilaksis. Syok anafilaksis terjadi

karena histamin yang dilepaskan sedemikian banyak sehingga menyebabkan

terjadinya pelebaran pembuluh darah (vasodilatasi), sehingga terjadi penurunan

tekanan darah yang drastis dan menyebabkan pingsan/syok.

Kompleksnya proses pencernaan makanan akan mempengaruhi waktu, lokasi dan

gejala alergi makanan. Gejala dapat muncul beberapa menit setelah makan atau

berjam jam kemudian. Gejala awal dari alergi makanan dapat berupa rasa gatal

pada mulut, kesulitan menelan dan bernafas. Saat makanan sudah mencapai

lambung dan usus halus, gejala yang timbul berupa rasa mual, muntah, diare, dan

nyeri perut. Gejala inilah yang sering membingungkan dan mengacaukan dengan

gejala intoleransi makanan.

15

Page 16: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Seperti disebutkan diatas, alergen akan menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran

darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya eksim.

Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya

asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok.

Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan

bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian.

c. Hubungan alergi dengan kondisi yang sekarang

Jawab :

Kondisi yang sekarang ini juga merupakan reaksi alergi yang sama yaitu suatu

hipersensitivitas tipe I, tetapi sangat berlebihan sehingga ketika Nn.A diberikan

tes kulit, dia mengalami syok anafilaktik yang diantaranya ditandai oleh

penurunan kesadaran dan tekanan darah. Hal ini disebabkan karena adanya suatu

reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitive

masuk ke sirkulasi

4. Kakak perempuannya mempunyai riwayat asma. Ibunya sering berobat ke dokter

karena penyakit eczema yang dideritanya

a. Hubungan riwayat keluarga dengan keluhan yang sekarang

Jawab :

Adanya riwayat keluarga yang alergi ataupun asma maka akan mendukung nona

A memiliki juga resiko mengalami penyakit atopi. Karena para penderita atopi

juga berhubungan dengan genetik yang herediter dari generasi sebelumnya.Hal ini

mempengaruhi kadar Ig E dan sel mast yang lebih banyak pada pasien dengan

riwayat atopi.

5. Pemeriksaan fisik dan Lab

a. Interpretasi dan mekanisme abnormal pemeriksaan fisik

Jawab :

Keadaan Umum:

16

Page 17: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Keadaan Spesifik:

Kesadaran sopor

Kesadaran menurun terjadi akibat kurangnya pasokan oksigen ke otak akibat

rendahnya tekanan darah

Tekanan darah 60 mmhg, palpasi

Anafilaksis vasodilatasi pembuluhdarah maldistribusi volume sirkulasi

aliran darah balik menurun tekanan darah menurun

17

Parameter Normal Data Pada Kasus Interpretasi

Kesadaran Kompos Mentis Sopor Abnormal

Temperatur 36,5 – 37,2 °C 36,8 °C Normal

BP 120/80 mmHg 60 mmHg

RR 16-24x/minute 36x/minute Takipneu

HR 60-100x/minute 120xminure

reguler

Takikardi

Saturasi Oksigen 60%

Parameter

Normal

Data Pada Kasus Interpretasi

Auskultas

i Paru

Wheezing

Frekuensi

denyut

Jantung

120x/menit,

regular120x/menit,

regular

Page 18: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Frekuensi nafas 36x/menit

Pada pasien anafilaksis ternjadi bronkospasme dan terjadinya hipoksia jaringan

akibat tekanan darah yang terlalu rendah akibatnya pasien kesulitan bernapas dan

berkompensasi untuk memenuhi oksigen di tubuh dengan meningkatkan frekuensi

pernapasan.

Saturasi oksigen 60%

Anafilaksis vasodilatasi pembuluhdarah maldistribusi volume sirkulasi

aliran darah balik menurun tekanan darah menurun hipoksia jaringan

Keadaan spesifik: auskultasi paru terdengar wheezing

Mediator yang dilepas oleh sel mast akan menyebabkan konstriksi bronkus

sehingga pada auskultasi terdengar wheezing. Mengi biasanya disebabkan oleh

spasme pada otot saluran napas bawah (otot bronkus).

b. Interpretasi dan mekanisme abnormal pemeriksaan lab

Jawab :

Nilai normal Nilai kasus Interpretasi dan mekanisme

Hemoglobin 12-16 gr/dL 12,5 gr% NormalLeukosit 5000-10.000/mm3 11.000/mm3 Meningkat

Basophil 0-1% 0% NormalEosinophil 1-3% 4% Sedikit meningkat

.

Neutrophil batang 2-6% 7% MeningkatNeutrophil segmen 50-70% 70% Normal dalam

batas tinggiLimfosit 20-40% 18% NormalMonosit 2-8% 1% Sedikit menurun

LED Wintrobe:wanita 0-20 mm/jam

pria 0-10 mm/jamWestergren:

wanita 0-15 mm/jampria 0-10 mm/jam

10 mm/jam Normal

18

Page 19: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

HB (HEMOGLOBIN)

Hemoglobin adalah molekul di dalam eritrosit (sel darah merah) dan bertugas

untuk mengangkut oksigen. Kualitas darah dan warna merah pada darah

ditentukan oleh  kadar Hemoglobin.Nilai normal Hb :

Wanita 12-16 gr/dL

Pria 14-18 gr/dL

Anak 10-16 gr/dL

Bayi baru lahir 12-24gr/dL

LEUKOSIT (SEL DARAH PUTIH)

Leukosit adalah sel darah putih yang diproduksi oleh jaringan hemopoetik yang

berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit infeksi sebagai

bagian dari sistem kekebalan tubuh.Nilai normal :

Bayi baru

lahir

9000 -30.000

/mm3

Bayi/anak9000 –

12.000/mm3

Dewasa 4000-10.000/

19

Page 20: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

mm3

Hitung Jenis Leukosit (Diferential Count)

Hitung jenis leukosit adalah penghitungan jenis leukosit  yang ada dalam darah

berdasarkan proporsi (%) tiap jenis leukosit dari seluruh jumlah leukosit.

EOSINOFIL

Eosinofil merupakan salah satu jenis leukosit yang terlibat dalam alergi dan

infeksi (terutama parasit) dalam tubuh, dan jumlahnya 1 – 2% dari seluruh jumlah

leukosit. Nilai  normal dalam tubuh: 1 – 4%

Peningkatan eosinofil terdapat pada kejadian alergi, infeksi parasit, kankertulang,

otak, testis, dan ovarium.  Penurunan eosinofil terdapat pada kejadian shock, 

stres, dan luka bakar.

BASOFIL

Basofil adalah salah satu jenis leukosit yang jumlahnya 0,5 -1% dari seluruh

jumlah leukosit, dan terlibat dalam reaksi alergi jangka panjang seperti asma,

alergi kulit, dan lain-lain.Nilai normal dalam tubuh: o -1%

Peningkatan basofil terdapat pada proses inflamasi(radang), leukemia, dan fase

penyembuhan infeksi.

Penurunan basofil terjadi pada penderita stres, reaksi hipersensitivitas (alergi),

dan kehamilan

LIMPOSIT

Salah satu leukosit yang berperan dalam proses kekebalan dan pembentukan

antibodi. Nilai normal: 20 – 35% dari seluruh leukosit.

Peningkatan limposit terdapat pada leukemia limpositik, infeksi virus, infeksi

kronik, dan Iain-Iain. Penurunan limposit terjadi pada penderita kanker, anemia

aplastik, gagal ginjal, dan Iain-Iain.

MONOSIT

Monosit merupakan salah satu leukosit yang berinti besar dengan ukuran 2x lebih

20

Page 21: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

besar dari eritrosit sel darah merah), terbesar dalam sirkulasi darah dan diproduksi

di jaringan limpatik. Nilai normal dalam tubuh: 2 – 8% dari jumlah seluruh

leukosit.

Peningkatan monosit terdapat pada infeksi virus,parasit (misalnya cacing),

kanker, dan Iain-Iain. Penurunan monosit terdapat pada leukemia limposit dan

anemia aplastik.

6. Bagaimana penegekan diagnosis dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan

pada kasus ini?

Jawab :

Penegakkan Diagnosis

Kriteria 1.

Onset yang terjadi secara akut (dalam beberapa menit hingga jam) dengan adanya

keikutsertaan kulit, mukosa atau keduanya (contoh: pruritus atau flushing, bengkak

pada bibir, lidah, uvula).

Minimal satu dibawah ini :

1. Gangguan pernafasan (dyspnea, wheeze-bronchospasm, stridor, reduced peak

expiratory function [PEF], hypoxemia)

2. Penurunan tekanan darah atau berhubungan dengan disfungsi organ

(hypotonia [collapse], syncope, incontinence).

Dan pasien memiliki riwayat alergi dan kemungkinan terpaparnya alergen.

Kriteria 2.

2 atau lebih gejala yang terjadi secara cepat setelah terpapar alergen (menit hingga

jam).

1. Keikutsertaan jaringan mukosa dan kulit (generalized hives, itch-flush,

swollen lips/tongue/uvula)

2. Gangguan Pernafasan (dyspnea, wheeze-bronchospasm, stridor, reduced

PEF, hypoxemia)

3. Penurunan tekanan darah dan gejalanya (hypotonia [collapse], syncope,

incontinence)

4. Gejala GI persisten (cramping abdominal pain, vomiting).

Kriteria 3

Mengidentifikasi kasus yang jarang terjari, pasien yang mengalami episode hipotensi

akut setelah terpapar alergen tertentu.

21

Page 22: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Kriteria 3.Penurunan tekanan daran karena alergen yang telah diketahui (menit hingga

jam).

1. Infants dan anak-anak: penurunan tekanan darah sistolik (tergantung usia) atau

lebih dari 30% tekanan sistolik.

2. Dewasa : sistolik BP lebih dari 90 mmHg atau lebih besar 30% dari diastolik

pasien tersebut.

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, IgE total juga sering

menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi

kemungkinan alergi pada bayi atau anak dari suatu keluarga dengan riwayat

alergi yang tinggi. Pemeriksaan yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik

dengan RAST (radioimmunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked

Immunosorbent Assay test).

b. Pemeriksaan secara in vivo dengan uji kulit

untuk mencari allergen penyebab yaitu dengan uji cukit (prick test), uji gores

(scratch test), uji intrakutan atau intadermal yang tunggal atau berseri (skin

end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan dan

dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji SET

akan lebih ideal.

c. Pemeriksaan lain seperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes

fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap, EKG, rontgen toraks, dll.

7. Apa WD dan DD pada kasus ini?

Jawab :

Working Diagnosis

Nona A mengalami syok anafilaksis akibat alergi obat ceftriaxon.

Diagnosis Banding

Angioedema

Malignant Carcinoid Syndrome

Mastocytosis, Systemic

Pheochromocytoma

Thyroid, Medullary Carcinoma

22

Page 23: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

8. Etiologi dan faktor resiko

Jawab :

Etiologi dan Faktor Resiko

Reaksi anafilaksis terjadi ketika sistem imun tubuh berekasi dengan antigen

yang dianggap sebagai penyerang atau benda asing oleh tubuh. Sel darah  putih

kemudian memproduksi antibodi dalm hal ini adalah IgE yang bersirkulasi  pada

peredaran darah dan bereaksi dengan benda asing yang masuk. Perlekatan antigen-

antobodi ini merangsang pelepasan mediator-mediator seperti histamin dan

menyebabkan berbagai reaksi dan gejala pada berbagai organ dan jaringan.

Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah

makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan

kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang

biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang  bisa menyebabkan

anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan

otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras

intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga  bisa menyebabkan

anafilaksis.

 Table 1 : Penyebab reaksi anafilaksis dan anafilaktoid

23

Page 24: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

 Sedangkan faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis antara

lain:

1. Atopi

Pada studi berbasis populasi di Olmsted County, 53% dari pasien anafilaksis

memiliki riwayat penyakit atopi. Penelitian lain menunjukkan  bahwa atopi

merupakan faktor risiko untukreaksi anfilaksis terhadap makanan, reaksi

anafilaksis yang diinduksi olehlatihan fisik, anafilaksis idiopatik, reaksi terhadap

radiokontras, dan reaksi terhadap latex. Sementara, hal ini tidak didapati pada

reaksi terhadap penisilin dan gigitan serangga.

2. Cara dan waktu pemberian

Berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis. Pemberian secara oral lebih

sedikit kemungkinannya menimbulkan reaksi dan kalaupun ada  biasanya tidak

berat, meskipun reaksi fatal dapat terjadi pada seseorang yang memang alergi

setelahmenelan makanan. Selain itu, semakin lama interval pajanan pertama dan

kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan muncul kembali. Hal

ini berhubungan dengan katabolisme dan penurunan sintesis dari IgE spesifik

seiring waktu.

3. Asma

Merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90% kematian

karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma.

9. Epidemiologi

Jawab :

Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka

kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat

penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60

menit penggunaan obat. Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan

mortalitas sebesar 1-3/1 juta penduduk.Sementara di Indonesia, khususnya di Bali,

angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien

anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006

sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.

24

Page 25: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan

bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa

muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali

lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering

pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis

jarang terjadi

10. Patogenesis

Jawab :

Secara patofisiologis yang memegang peranan penting dalam shock

anafilaktik adalah antigen, sel-T, sel plasma dan produksi IgE, resting sel-B,

prostaglandin, leukotrin, dan asam arakidonat. Anafilaksis dikelompokkan dalam

hipersensitivitas tipe 1 atau reaksi tipe segera (immediate type reaction) oleh Coomb

dan Gell (1963), timbul segera setelah tubuh terpajan dengan allergen. Anafilaksis

diperantarai melalui ikatan antigen kepada antibodi IgE pada sel mast jaringan ikat di

seluruh tubuh individu dengan predisposisi genetik, yang menyebabkan terjadinya

pelepasan mediator inflamasi. Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:

1) Fase sensitasi

yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya dengan

reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil. Alergen yang masuk

lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran pencernaan ditangkap oleh

makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada

limfosit T yang akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-3) yang menginduksi

limfosit B berfloriferasi menjadi sel plasma (plasmosit). Plasmosit akan

memproduksi IgE spesifik untuk antigen tersebut. IgE ini kemudian terikat

padareseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan Basofil.

2) Fase aktivasi

yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang sama

dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.

3) Fase efektor

yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek

mediator-mediator yang dilepas selmast.

Sensitisasi yang diikuti oleh reaksi dapat merupakan reaksi sendiri atau

kombinasi dengan hapten, sintesis IgE atau dapat pula terikat pada permukaan sel

25

Page 26: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

mast atau bisofil. Pada re-exposure antigen terikat IgE, dipermukaan sel dapat terjadi

degranulasi sel mast sehingga dibebaskan histamin, slow-reacting substance of

anaphylaxis (SRS-A), eosinophilic chemotactic factor anaphylaxis (ECF-A)

Tekanan arteri ditentukan oleh sfingter arteriol. Bila sfingter ini berelaksasi

secara sistemik maka terjadilah shock distributif. Ada empat hal yang menyebabkan

relaksasi dari sfingter ini yakni karena faktor neural, adanya mediator dalam sirkulasi,

defek pada autoregulasi dan karena mediator lokal.

Secara neural, reseptor stimulasi adrenergik alfa menyebabkan vasokontriksi

akan tetapi stimulasi adrenergik beta vasodilatasi. Adanya zat mediator di dalam

sirkulasi seperti katekolamin, angoitensin dan mediator inflamasi menyebabkan tonus

vaskuler sistemik menurun. Sementara hormon glukokortikoid menambah sensitivitas

terhadap katekolamin. Autoregulasi terutama terdapat sebagai mekanisme pembuluh

darah ginjal dan otak untuk mempertahankan pengaliran darah ke kedua organ ini bila

terjadi penurunan tekanan darah sistemik. Mediator lokal mungkin sebagai pertahanan

terakhir pembuluh darah. Zat-zat seperti kalium, hidrogen, adenosin, karbon dioksida

dan asam laktat yang dihasilkan oleh sel dapat menyebabkan vasodilatasi. Bila terjadi

pengurangan resistensi vaskuler secara sistemik ( SVR ) menyebabkan tekanan darah

meningkat.

Antigen merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan bantuan sel Th2. IgE

diikat oleh sel mast dan basofil melalui reseptor Fc. Sel mast banyak ditemukan pada

jaringan ikat di bawah permukaan epitel, termasuk pada jaringan submukosa traktus

gastrointestinal, traktus respiratorius, dan pada lapisan dermis kulit. Apabila tubuh

terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tesebut akan diikat oleh IgE

yang sudah ada pada permukaan sel mast/basofil. Akibat ikatan antigen IgE, sel

mast/basofil mengalami degranulasi dan melepas mediator antara lain histamin,

leukotrien, dan prostaglandin.(3)Respon fisiologis terhadap mediator tersebut antara

lain spasme otot polos pada traktus respiratorius dan gastrointestinal, vasodilatasi,

peningkatan permeabilitas vaskular, dan stimulasi ujung saraf sensorik. Hal tersebut

menyebabkan timbulnya gejala klasik anafilaksis seperti flushing (kemerahan),

urtikaria, pruritus, spasme otot bronkus, dan kram pada abdomen dengan nausea,

vomitus, dan diare. Hipotensi dan syok dapat tejadi sebagai akibat dari kehilangan

volume intravaskular, vasodilatasi, dan disfungsi miokard. Peningkatan permeabilitas

vaskuler dapat menyebabkan pergeseran 50 % volume vaskuler ke ruang

extravaskuler dalam 10 menit.

26

Page 27: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Histamin memperantarai efek tersebut di atas melalui aktivasi resptor histamin

1 (H1) dan histamin 2 (H2). Vasodilatasi diperantarai oleh baik reseptor H1 maupun

H2. reseptor H2 membeikan efek langsung pada otot polos sementara reseptor H1

menstimulasi sel endotel untuk memproduki NO. Efek pada jantung sebagian besar

diperantarai oleh reseptor H2. Resptor H1 secara primer bertanggungjawab untuk

kontraksi otot polos extravaskular (misalnya otot bronkus dan otot gasrointestinal).

Reaksi sistemik akut umumnya mulai timbul beberapa menit setelah

pemaparan alergen; keterlambatan yang lebih lama dari 1 jam sangat jarang terjadi.

Pada kepekaan yang ekstrim, penyuntikan alegen dapat segera menyebabkan keatian

atau reaksi subletal dan umumnya reaksi-reaksi yang paling berat terjadi paling cepat.

Para peneliti secara khusus membedakan anafilaksis dengan reaksi

anafilaktoid. Dimana keduanya memiliki gejala, penatalaksanaan, dan resiko

kematian yang sama, tetapi pada anafilaksis degranulasi sel mast atau basofil selalu

diperantarai oleh IgE, sedangkan pada reaksi anafilaktoid degranulasi sel mast atau

basofil tidak diperantarai oleh IgE.

11. Manifestasi klinis

Jawab :

27

Page 28: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Penelitan melaporkan terjadi dyspnea 59%, syncope atau perasaan melayang

sebanyak 33%, dan diare atau keram perut sebanyak 29%. Gejala klinis pada reaksi

anafilaksis ataupun anafilaktoid bervariasi dari yang ringan berupa utrikaria dan

pruritus sampai kepada gagal nafas atau syok anafilaktik yang mematikan. Biasanya

pasien akan mengalami perburukan mendadak disertai pruritus dan flushing. Hal ini

terjadi secara cepat dan terjadi gangguan pada beberapa organ:

Cutaneous/ocular - Flushing, urticaria, angioedema, cutaneous dan/atau

conjunctival pruritus, panas dan bengkak

Respiratory – kongesti nasal, rhinorrhea, perasaan tenggorokan tercekik,

wheezing, sesak nafas, batuk, dan nafas tersengal

Cardiovascular –perasaan berputar, kelemahan, syncope, nyeri dada,

palpitations

Gastrointestinal - Dysphagia, nausea, vomiting, diarrhea, kembung, nyeri

abdomen

Neurologic - pusing, perasaan berputar, penglihatan kabur, dan kejang (sangat

jarang dan sering berhubungan dengan hipotensi)

Lainnya - Metallic taste, merasa seperti akan meninggal.

Gejala muncul setelah 5-30 menit setelah tersensitasi antigen dalam bentuk injeksi.

Kemudian gejala dapat terjadi dalam hitungan menit sampai 2 jam. Pada kasus yang

jarang terjadi, gejala terjadi lebih lambat yaitu setelah beberapa jam. Hal ini juga

berkaitan dengan berat ringannya reaksi anafilaksis. Semakin cepat reaksi terjadi

setelah terpapar antigen maka semakin berat kemungkinan reaksi yang terjadi.

12. Tatalaksana

Jawab :

TINDAKAN

Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral

maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah : 

Mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga

menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang

keras.

Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik

vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.

28

Page 29: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari

tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup

dasar. 

o Airway, penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak

ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan

leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu

dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik

mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas

total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea,

krikotirotomi, atau trakeotomi. 

o Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada

tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke

hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan

terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami

sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus

diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter /menit. 

o Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. Karotis

atau a. Femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.

OBAT-OBATAN

Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk

mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan

darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan

aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan

histamin dan mediator lain yang poten. 

Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan camp dalam sel mast dan

basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine

dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan

memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan otot

polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi

pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga

menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.

29

Page 30: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun

sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada

penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah

pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi

intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan

0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB

untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai

tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan.

Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan

tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama

anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi

dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin

mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5 ml

dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100

mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak

dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi

adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama beberapa menit.

Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2-4

ug/menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok

anafilaksis perlu membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu

diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada

kasus kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin tersebut.

(Pamela, adrenalin, draholik)

Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat

yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan

bronkodilator. Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses

vasodilatasi dan peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang

diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat

reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin.

Tergantung beratnya penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral.

Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk

AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan

20 ml nacl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila penderita

mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai

30

Page 31: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

gantinya dipakai ranitidin. Anti histamin yang juga dapat diberikan adalah

dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6

jam selama 48 jam.

Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid

tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan

pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau

mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru diharapkan

menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena

dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya tercapai

setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan

dengan 5 mg/kgbb setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.

Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7

mg/Kg BB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam,

atau aminofilin 5-6 mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau

nacl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain

adalah bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau

agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml nacl 0,99% diberikan

melalui nebulisasi.

Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan

vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam

250 ml dextrosa (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit

atau 15-60 mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis

dapat dinaikan sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV

pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan

kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus dengan

dextrosa 5%.

TERAPI CAIRAN

Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk

koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai

tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan

meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.

Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan

mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada

31

Page 32: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali

dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat

diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma.

Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang

sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.

Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa

melepaskan histamin. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid

merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk

mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan

plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik

intravaskuler.

OBSERVASI

Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik

dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau

terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian harus

seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi

penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam

posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.

Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi

harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam

sampai keadaan fungsi membaik.

Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum,

kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi,

dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest.

Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria

dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan

gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin

lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit

13. Pencegahan

32

Page 33: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Jawab :

Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik

terutama yang disebabkan oleh obat-obatan.

a) Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat

membantu menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang

mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi

terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan

terjadinya syok anafilaktik.

b) Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes

kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat

tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi

anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif

mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan

kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.

c) Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian

dengan jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan

observasi selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang

kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik.

Catat obat penderita pada status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada

penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal

yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi

reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi

alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.

d) Pemberian antihistamin dan kortikosteroid. Sebagai pencegahan sebelum

penyuntikan obat, juga merupakan tindakan yang aman, selain itu hasilnyapun

dapat diandalkan

14. Komplikasi

Jawab :

Kematian karena edema laring, gagal napas, syok dan cardiac arrest

Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan kardiovaskuler

Urtikaria dan angioedema menetap sampai beberapa bulan

Miocard infark, aborsi, dan gagal ginjal pernah dilaporkan

33

Page 34: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

15. Prognosis

Jawab :

Dubia et bonam, tergantung pada kecepatan tatalaksana pada nona A untuk

mencegah komplikasi.

16. SKDI

Jawab :

Reaksi anafilaktik 4A

Mampu memberikan diagnosis dan melakukan tatalaksana sampai tuntas

HIPOTESIS :

Nn. A, 20 tahun mengalami keluhan diatas (syok anafilaktik) dikarenakan reaksi

hipersensitivitas tipe I

LEARNING ISSUE

1. Syok anafilaktik

DEFINISI

Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang

berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi

(prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi

(anti-phylaxis atau anaphylaxis).

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh

Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan

tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-

antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi.

Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan

syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak

pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan

terjadinya kematian. Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit

untuk menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat

34

Page 35: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi

saluran napas.

EPIDEMIOLOGI

Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka

kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat

penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit

penggunaan obat. Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan

mortalitas sebesar 1-3/1 juta penduduk.Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka

kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada

tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4

kasus/10.000 total pasien anafilaksis.

Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa

anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda

dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih

tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak

dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.

FAKTOR PREDISPOSISI DAN ETIOLOGI

Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen,

jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan

alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan,

sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian,

buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi

anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya

penisilin, obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam

folat, dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca

dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.

PATOFISIOLOGI

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I

(Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi

dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E

sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan

35

Page 36: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang

sama sampai timbulnya gejala.

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap

oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T,

dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B

berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik

untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan

basofil.

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi

pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh.

Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi

segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan

beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed

mediators.

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang

akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu

setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu

terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas

mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin

memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya

menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan

permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet

activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler,

agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan

neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena

maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah

balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah.

Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun

anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.

Gambar 2.1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksis

36

Page 37: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Gambar 2.2. Patofisiologi Syok Anafilaksis

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi

anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar

dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan

37

Page 38: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.

Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang

langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan,

sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi

hangat, rasa sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung,

pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala

dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua

gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan

dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering

terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan

yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah

disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring,

dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah,

diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat

disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible.

Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu

atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata,

susunan saaraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang

sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata

dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit

perut.

Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan. Pada

rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior

yang menjadi gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung bagian luar di bidang alergi ada

beberapa tanda, misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengan menggunakan telapak

tangan menggosok ujung hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal dan

melonggarkan sumbatan; allergic crease, garis melintang akibat lipatan kulit ujung

hidung; kemudian allergic facies, terdiri dari pernapasan mulut, allergic shiners, dan

kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah,

dan bentuk sekret, edema, polip hidung, dan deviasi septum. Pada kulit terdapat eritema,

edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.

38

Page 39: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan saturasi

oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume tidal.

Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat sehingga

terjadi stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika edema terus

memburuk. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling

sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu

karena bronkospasme atau edema mukosa. Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung

tersumbat, serta bersin-bersin.

Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma

merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi

hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina),

kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia.

Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan

pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya

mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan

kreatinin disertai dengan perubahan kandungan elektrolit pada urine.

Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral,

peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem

gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos,

berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang kadang dijumpai perdarahan

rektal yang terjadi akibat iskemia atau infark usus.

Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi

trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada

sistem neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin,

disfungsi tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan

metabolisme dari aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan

piruvat. Secara histologis terjadi keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi

mitokondria, serta kebocoran sel.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

39

Page 40: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan diagnosis,

memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil

pengbatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal

atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal.

Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil

dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih

bermakna yaitu IgE spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA

(Enzym Linked Immunosorbent Assay test), namun memerlukan biaya yang mahal.

Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu dengan

uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang

tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah

dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji

intradermal (SET) akan lebih ideal. Pemeriksaan lain sperti analisa gas darah, elektrolit,

dan gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen

thorak, dan lain-lain.

DIAGNOSIS

Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih

setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka

American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria.

Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapa

jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik

kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula),

dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor,

wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang

berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).

Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah

terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa

jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada

seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory

compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF,

40

Page 41: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia,

sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri

abdominal, kram, muntah).

Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang

diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-

anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik

lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90

mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.

DIAGNOSA BANDING

Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak

spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit

lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi

seluruh sistem organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam

mediator dari sel mast dan basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki

afinitas yang berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang

menyerupai reaksi anafilaksis dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark

miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris, Carsinoid syndrome, Chinese

restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis alergika.

Reaksi vasovagal, sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak

pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada

reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya

turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti

anafilaktik.Sementara infark miokard akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada,

dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak

tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.

Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain.

Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-

kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan

pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi histeris,

tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-

41

Page 42: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

kadang pingsan meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada

reaksi anafilaksis.

Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare,

serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai

beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah

mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan

asma. Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata

dengan mereka yang diberi makanan tanpa MSG.

Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara

napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu,

aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika,

penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang

hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus seperti debu, terutama

di udara dingin.

PENATALAKSANAAN

Tindakan

Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral maupun

parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah mengidentifikasi

dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis.

Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala

untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan

menaikkan tekanan darah.

Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari tahapan

resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar. Airway,

penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada sumbatan sama

sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak

jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver

yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan

42

Page 43: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi

endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. Breathing support, segera memberikan

bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke

mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat

mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang

mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus

diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter /menit. Circulation support, yaitu bila

tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a. femoralis), segera lakukan kompresi

jantung luar.

Obat-obatan

Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok

anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan

pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung.

Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin dan mediator lain yang poten.

Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil

sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator

lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot

jantung, tonus pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan

dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan

kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam

waktu pendek.

Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi

pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok

anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada

pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada

pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan

0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit,

sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan.

Tabel 2.1. Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak-anak

43

Page 44: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan tertentu saja

misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesia. Pada saat pasien

tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler

yang benar-benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat

dengan dosis 500 mcg (5 ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan

dengan kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada

anak-anak dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi

adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Beberapa

penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2-4 ug/menit. Individu yang

mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaksis perlu membawa adrenalin

setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada

kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan

adrenalin tersebut. (Pamela, adrenalin, draholik)

Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat yang sering

dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator. Pemberian

antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan peningkatan peningkatan

permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara

menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat

pengganti adrenalin. Tergantung beratnya penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau

parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk

AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml

NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi

teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Anti

histamin yang juga dapat diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-

pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48 jam.

44

Page 45: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid tidak

banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi

sedang hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis

berulang. Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam

pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi

pasien stabil (yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10

mg/Kg BB, dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg

BB.

Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/Kg

BB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-

6 mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan

perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol

(terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc-

0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi.

Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan vasopresor

melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml dextrosa

(konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit

(dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum

10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8

mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg

BB/jam secara infus dengan dextrosa 5%.

Terapi Cairan

Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi

hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama

dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah

dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan

kristaloid dan koloid tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas

atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka

diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada

syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume

45

Page 46: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang

sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.

Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa

melepaskan histamin. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan

pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume

intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma

berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.

Observasi

Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke

rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka

penanganan penderita di tempat kejadian harus seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas

yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa

harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok

sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu

selama selama 24 jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik.

Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum, kesadaran, vital

sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan komplikasi karena

edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen karena

syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa

bulan, infark miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang

telah mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.

Gambar 2.3. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis

46

Page 47: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Pencegahan

Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik

terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi

penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risiko

anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai

riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap

kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.

Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes kulit

negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi

tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes

47

Page 48: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi

sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit

positif.

Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan jalur

subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama pemberian.

Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat

yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang

menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat

yang menyebabkan alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat

penawar untuk mengantisipasi reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi

kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka

panjang.

Prognosis

Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi

anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat

kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu

dilakukan observasi setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi

kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang akan

menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi,

penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa

dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti β-blocker dan ACE Inhibitor, serta

interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis

dengan injeksi adrenalin.

KESIMPULAN

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Ig E yang

ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok anafilaktik

memang jarang dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas yang sangat tinggi.

Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan,

48

Page 49: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

obat-obatan, dan bisa atau racun serangga. Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko

terjadinya anafilaksis, yaitu sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan

kesinambungan paparan alergen. Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe

I, terdiri dari fase sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada vasodilatasi pembuluh

darah yang mendadak, keaadaan ini disebut syok anafilaktik.

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala

prodormal kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang dapat

terjadi pada satu atau lebih organ target. Pemeriksaan laboratorium diperlukan dan sangat

membantu menentukan diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan

digunakan untuk memonitor hasil pengobatan dan mendeteksi komplikasi lanjut.

Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang baik akan membantu seorang dokter

dalam mendiagnosis suatu syok anafilaktik.

Penatalaksanaan syok anfilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan allergen yang

menyebabkan reaksi anafilaksis; baringkan penderita dengan kaki diangkat lebih tinggi

dari kepala; penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru; pemberian adrenalin

dan obat-obat yang lain sesuai dosis; monitoring keadaan hemodinamik penderita bila

perlu berikan terapi cairan secara intravena, observasi keadaan penderita bila perlu rujuk

ke rumah sakit.

Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan syok anafilaktik

terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Apabila ditangani secara cepat dan tepat

sesuai dengan kaidah kegawat daruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan

kematian.

2. Reaksi hipersensitivitas

Jawab :

Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular

tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan

mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi

hipersensitivitas.

Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe,

yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung

antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif

49

Page 50: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut

sentivitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity.

Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk

mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya

seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan

mengaktifkan mekanisme yang lainnya.

Reaksi Hipersensitivitas tipe I

Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100

tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada

saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru

diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe

cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat

peradangan lainnya.

Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi

anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular

yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan

dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.

Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada

permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-

protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang

menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin

atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.

Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran

IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau

akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab

mengenai komplemen).

Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui

faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of

anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang

sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF =

neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit

asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.

50

Page 51: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan

fase lambat.

Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat

biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat

bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa

refrakter sel mast dan basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi

resintesis mediator farmakologik reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif

lagi terhadap alergen.

Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya reaksi

hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel mast

masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi

alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel mast dapat

membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik sel radang ke tempat

terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan

permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang.

Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat

dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing factor dan

sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator dari sel mast dan

sel lain.

Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP)

afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor

kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam

peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan setelah

reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan menyebabkan

kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama eosinofil.

Mediators:

Histamin

Slow-reacting substance of anaphylaxis (SRS-A)

Bradykinin.

Serotonin (5-hydroxytryptamine)

Eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis (ECF-A).

Platelet activating factor (PAF).

Prostaglandins hasil produksi metabolisme cyclooxygenase dari arachidonic

acid. Prostaglandin E1 (PGE1) dan PGE2 adalah bronchodilators dan

51

Page 52: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

vasodilators kuat. PGI2 atau prostacyclin adalah suatu disaggregates

platelets.

Genetic factors: Hay fever, asthma, and food allergies, show familial tendency.

Manifestasi Klinis

Anaphylaxis

Atopy immediate hypersensitivity response

Terapi

Avoidance, Hyposensitization, pemberian modified allergens atau ”allergoids”.

Obat Diphenhydramine, Corticosteroids, Epinephrine. Sodium cromolyn,

Theophylline

Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I) Seperti telah diuraikan di atas

bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE spesifik yang

terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu

mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed mediator) dan mediator

yang terbentuk kemudian (newly formed mediator). Menurut asalnya mediator ini juga

dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator

primer), dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator

sekunder).

Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic

factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF).

1. Histamin

Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin

dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik

serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam

plasma adalah kurang dari 1 ng/μL akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/μL setelah

uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam

beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos,

serta peningkatan permeabilitas vaskular.

Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa

gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat

menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala

52

Page 53: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah

hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil

pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat mencegah sebagian gejala alergi pada

mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.

Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik

berat (anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah

kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat,

histamin membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi

imunoglobulin dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada

keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui

kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi

tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek

modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.

2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)

Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat

reaksi radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah

terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu

degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).

Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4

yang terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada

penyakit alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil

karena ECF-A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.

3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)

NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen

paru manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam

beberapa menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen

atau setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena

mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan mediator primer.

Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat

yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga

bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.

Mediator yang terbentuk kemudian

53

Page 54: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat,

faktor aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri

dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan

mengeluarkan produk yang berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi.

1. Produk siklooksigenase

Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi

pembentukan satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2,

PGF2) serta tromboksan A2 (TxA2).

Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya

membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga

dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di

mukosa bronkus selama reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).

Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat

bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat

menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas

vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator

sekunder yang mungkin menunjang terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan

yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum diketahui.

2. Produk lipoksigenase

Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat

yang membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4

merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4

adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk

lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari

jaringan paru yang tersensitisasi.

‘Slow reacting substance of anaphylaxis’

Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih

lama dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan

antara kedua jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang

lebih penting dari histamin dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek

bronkokonstriksi 1000 kali dari histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan

permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri

dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat, yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4.

54

Page 55: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Faktor aktivasi trombosit (PAF = ‘Platelet activating factor’)

Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia.

PAF dapat menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari

trombosit. Selain itu PAF juga menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta

peningkatan permeabilitas vaskular. Aktivasi trombosit pada manusia terjadi pada reaksi

yang diperan oleh IgE.

Serotonin

Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran

cerna. Serotonin ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast manusia.

Dalam reaksi alergi pada manusia, serotonin merupakan mediator sekunder yang

dilepaskan oleh trombosit melalui aktivasi produk sel mast yaitu PAF dan TxA2.

Serotonin dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.

Sitokin dalam Regulasi Reaksi Alergi

Selain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber

beberapa sitokin yang mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi.

Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen

menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE (lihat Gambar 12-4). Individu normal

tidak mempunyai respons Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen asing. Ketika

beberapa individu terpapar antigen seperti protein pada serbuk sari (pollen), makanan

tertentu, racun pada serangga, kutu binatang, atau obat tertentu misalnya penisilin,

respons sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopik dapat

alergi terhadap satu atau lebih antigen di atas. Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai

akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespons terhadap antigen protein atau zat kimia yang

terikat pada protein. Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat

(reaksi alergik) sering disebut sebagai alergen.

Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2,

akan menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi

menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang

atopik akan memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respons terhadap antigen yang

tidak akan menimbulkan respons IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini

mempunyai dasar genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan.

55

Page 56: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu

Th2. Limfosit ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNFα, serta GM-CSF tetapi tidak

memproduksi IL-2 atau INF (diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh makrofag

(APC) yang mensintesis IL-1. Zat ini merangsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang

kemudian memproduksi IL-2 yang merangsang sel T4 untuk memproduksi interleukin

lainnya. Ternyata sitokin yang sama juga diproduksi oleh sel mast sehingga dapat diduga

bahwa sel mast juga mempunyai peran sentral yang sama dalam reaksi alergi. Produksi

interleukin diperkirakan dapat langsung dari sel mast atau dari sel lain akibat

stimulasi oleh mediator sel mast. Interleukin-4 tampaknya merupakan stimulus utama

dalam aktivasi sintesis IgE oleh sel limfosit B. Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan

ekspresi reseptor Fcε (FcRII) pada sel limfosit B. Interleukin-4 ini pertama kali disebut

faktor stimulasi sel B (BSF = B cell stimulating factor). Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat

oleh IL-5, IL-6, dan TNFα, tetapi dihambat oleh IFNα, IFNγ, TGFβ, PGE2, dan IL-I0.

Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat

menginduksi atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen pada

sel basofil manusia (lihat Gambar 12-6). Sitokin lain yang mempunyai aktivitas sama

pada sel mast ialah MCAF (monocyte chemotactic and activating factor) dan RANTES

(regulated upon activation normal T expressed and presumably secreted). Demikian juga

SCF (stem cell factor) yaitu suatu sitokin yang melekat pada reseptor di sel mast yang

disebut C-kit, dapat menginduksi pembebebasan histamin dari sel mast baik dengan atau

tanpa melalui stimulasi antigen.

Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan

mengaktivasi eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata

dibandingkan dengan komplemen C5a, LTB4 dan PAF.

Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi

peradangan pada alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF (nerve

growth factor) serta SCF berperan dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan hidup dan

diferensiasi limfosit, eosinofil, basofil, sel mast, makrofag atau monosit. Pada saat

aktivasi, sel-sel ini ditarik ke arah jaringan yang mengalami peradangan dalam reaksi

antigen-antibodi yang ditingkatkan oleh IL-2, IL-5, GM-CSF, dan EAF (eosinophil

activating factor). Keadaan ini lebih terlihat pada biakan eosinofil manusia dengan GM-

CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini eosinofil menjadi hipodens dan dapat

membebaskan lebih banyak LTC4 bila diaktivasi oleh stimulus seperti fMLP (formil

metionil leukosil fenilalanin).

56

Page 57: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Penyakit Oleh Antibodi dan Kompleks Antigen-Antibodi

(REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II DAN III)

Antibodi, selain IgE, mungkin menyebabkan penyakit dengan berikatan pada target

antigennya yang ada pada permukaan sel atau jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe II)

atau dengan membentuk kompleks imun yang mengendap di pembuluh darah (reaksi

hipersensitivitas tipe III).

Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-mediated)

merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia. Antibodi

terhadap sel atau permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai jaringan yang

sesuai dengan target antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi ini biasanya

spesifik untuk jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya mengendap di pembuluh darah

pada tempat turbulansi (cabang dari pembuluh darah) atau tekanan tinggi (glomerulus

ginjal dan sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun cenderung merupakan

suatu penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis, artritis dan nefritis.

Sindrom klinik dan pengobatan

Beberapa kelainan hipersensivitas kronik pada manusia disebabkan atau

berhubungan dengan autoantibodi terhadap antigen jaringan kompleks imun. Tatalaksana

dan pengobatan ditujukan terutama untuk mengurangi atau menghambat proses inflamasi

dan kerusakan jaringan yang diakibatkannya dengan menggunakan kortikosteroid. Pada

kasus yang berat, digunakan plasmapheresis untuk mengurangi kadar autoantibodi atau

kompleks imun yang beredar dalam darah.

Point of interest

Antibodi terhadap antigen sel dan jaringan dapat menyebabkan kerusakan jaringan

dan penyakit (reaksi hipersensitivitas tipe II). Antibodi IgG dan IgM yang berikatan pada

antigen sel atau jarinagn menstimulasi fagositosis sel-sel tersebut, menyebabkan reaksi

inflamasi, aktivasi komplemen menyebabkan sel lisis dan fragmen komplemen dapat

menarik sel inflamasi ke tempat terjadinya reaksi, juga dapat mempengaruhi fungsi organ

dengan berikatan pada reseptor sel organ tersebut.

57

Page 58: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Antibodi dapat berikatan dengan antigen yang bersirkulasi dan membentuk

kompleks imun, yang kemudian mengendap pada pembuluh darah dan menyebabkan

kerusakan jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe III). Kerusakan jaringan terutama

disebabkan oleh pengumpulan lekosit dan reaksi inflamasi.

Penyakit Oleh Limfosit T (Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV)

Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin

dikenal dan diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada

saat ini lebih ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel

limfosit T.

Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme

autoimun. Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen pada sel yang

distribusinya terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T cell

mediated cenderung terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat

sistemis. Kerusakan organ juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T terhadap reaksi

mikroba, misalnya pada tuberculosis, terdapat reaksi T cell-mediated terhadap M.

tuberculosis, dan reaksi tersebut menjadi kronik oleh karena infeksinya sulit dieradikasi.

Inflamasi granulomatous yang terjadi mengakibatkan kerusakan jaringan pada tempat

infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak terlalu merusak jaringan,

tetapi sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap hepatosit yang terinfeksi

menyebabkan kerusakan jaringan hepar.

Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated), kerusakan jaringan

dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh sel T

CD4+ atau sel lisis oleh CD8+ CTLs.

Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh

sel T untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi

terhadap antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi

inflamasi dan mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi

sitokin dari makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+ dapat menghancurkan

sel yang berikatan dengan antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang

diperantarai oleh sel T, terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen

diri, dan keduanya berperan pada kerusakan jaringan.

Sindrom klinik dan pengobatan

58

Page 59: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Banyak penyakit autoimun yang organ spesifik pada manusia didasari oleh reaksi

yang diperantarai oleh sel T

3. Reaksi tipe I dan penyakitnya

Jawab :

Hipersensitivitas tipe 1 merupakan suatu respons jaringan yang terjadi secara cepat

(secara khusus hanya dalam bilangan menit) stelah terjadi interaksi antaraalergen

dengan antibody IgE yang sebelumnya berikatan pada permukaan sel mast dan basofil

pada pejamu yang tersensitisasi. Bergantung pada jalan masuknya, hipersensitivitas

tipe 1 dapat terjadi sebagai reaksi local yang benar-benar mengganggu (misalnya

rhinitis alergi) atau sangat melemahkan (asma) atau dapat berpuncak pada suatu

gangguan sistemik yang fatal (anafilaksis).

Urutan kejadian reaksi hipersensitivitas tipe 1 adalah sebagai berikut:

1. Fase sensitasi

Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE samapi diikatnya oleh

reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast dan basofil

2. Fase aktivasi

Yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang

spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan

reaksi.

3. Fase efektor

Yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek

mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik

Banyak reaksi tipe 1 yang terlokalisasi mempunyai dua tahap yang dapat ditentukan

secara jelas:

Respon awal, diatandai dengan vasodilatasi, kebocoran vascular, dan spesme otot

polos, yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5 hingga 30 menit stelah terpajan

oleh allergen dan menghilang setelah 60 menit.

Reaksi fase lambat, yang muncul 2 hingga 8 jam kemudian dan berlangsung selama

beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel

59

Page 60: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

radang akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai

dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.

Mediator Primer

Setelah pemicuan IgE,  mediator primer (praformasi) di dalam granula sel mast

dilepaskan untuk memulai tahapan awal reaksi hipersensitivitas tipe 1. Histamin, yang

merupakan mediator praformasi terpenting, menyebabkan meningkatnya

permeabilitas vascular, vasodilatasi, bronkokonstriksi, dan meningkatnya sekresi

mukus. Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi adenosine (menyebabkan

bronkokonstriksi dan menghambat agregasi trombosit) serta factor kemotaksis untuk

neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan dalam matriks granula dan meliputi

heparin serta protease netral (misalnya triptase). Protease menghasilkan kinin dan

memecah komponen komplemen untuk menghasilkan factor kemotaksis dan inflamasi

tambahan (misalnya), C3a).

Mediator Sekunder

Mediator ini mencakup dua kelompok senyawa : mediator lipid dan sitokin. Mediator

lipid dihasilkan melalui aktivasi fosfolipase A2, yang memecah fosolipid membrane sel

mast untuk menghasilkan asam arakhidonat. Selanjutnya, asam arakhidonat merupakan

senyawa induk untuk menyintesis leukotrien dan prostaglandin.

Leukotrien berasal dari hasil kerja 5-lipooksigenase pada precursor asam arakhidonat

dan sangat penting dalam pathogenesis hipersensitivitas tipe 1. Leukotrien tipe C4 dan

D4merupakan vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling poten; pada dasar molar,

agen ini ada beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam meningkatkan

permeabilitas vaskular dan dalam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus.

Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil dan monosit.

Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur

siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta

meningkatkan sekresi mucus.

Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan

agregasi trombosit, pelepasan histamin, dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat

kemotaktik untuk neutrofil dan eosinofil. Meskipun produksinya diawali oleh aktivasi

fosfolipase A2, mediator ini bukan produk metabolism asam arakhidonat.

60

Page 61: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5, dan IL-6) dan kemokin

berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe 1 melalui kemampuannya merekrut

dan mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat

poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor

pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.

Manifestasi Klinis

Reaksi tipe 1 dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi local. Seringkali

hal ini ditentukan oleh rute pajanan antigen. Emberian antigen protein atau obat

(misalnya bias lebah atau penisilin) secara sistemik (parenteral) menimbulkan

anafilaksis. Dalam beberapa menit stelah pajanan pada pejamu yang tersensitisasi akan

muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritema kulit, diikuti

kesulitan bernapas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat

dengan hipersekresi mucus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan

menyebabkan obstruksi saluran pernapasan bagian atas. Salian itu, otot semua saluran

pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut dan diare. Tanpa

intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaksis), dan penderita

dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kemtian dalam beberapa menit.

Reaksi local biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai

dengan jalur pemajannya, seperti kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus

gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan

bronkokonstriksi).

Kerentanan terhadap reaksi tipe 1 yang terlokalisasi dikendalikan secara genetic, dan

istilah atopi digunakan untuk menunjukkan kecenderungan familial terhadap reaksi

terlokalisasi tersebut. Pasien yang menderita alergi nasobronkial (seperti asma)

seringkali mempunyai riwayat keluarga yang menderita kondisi serupa. Dasar genetic

atopi belum dimengerti secara jelas; namun studi menganggap adanya suatu hubungan

dengan gen sitokin pada kromosom 5q yang mengatur pengeluaran IgE dalam sirkulasi.

61

Page 62: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

KERANGKA KONSEP

62Timbul gejala gejala

reaksi anafilaktik

Berikatan dengan IgE

Terbentuk hapten

Terlepasnya mediator” inflamasi

Cheftriaxon berikatan dengan protein

Pasien diberikan ceftriaxon

Ny. A mengonsumsi amoxicillin 7 bulan yang lalu

Terbentuk IgE

Page 63: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

KESIMPULAN

Nn A. 20 tahun, mengeluh pusing, keringat dingin, sessak nafas dan penurunan kesadaran

karena mengalami syok anafilaktik (reaksi hipersensitivitas tipe I)

63

Page 64: Scenario b Blok 22 Tahun 2013

DAFTAR PUSTAKA

Kumar. Cotran. Robbins. Buku ajar patologi. Ed 7. Jakarta: EGC. 2007

Baratawidjaja KG. imunologi dasar. Ed 6. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2004

Sundoyo, Aru.,dkk.2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta: InternaPubishing

Susalit, Endang. 2007. Transplantasi Ginjal dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi,

Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit

Dalam FKUI

Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.

Jakarta: EGC

http://emedicine.medscape.com/article/135065-overview#a0104

64