SANKSI BAGI SUAMI YANG TIDAK MEMBERIKAN NAFKAH...
Transcript of SANKSI BAGI SUAMI YANG TIDAK MEMBERIKAN NAFKAH...
SANKSI BAGI SUAMI YANG TIDAK MEMBERIKAN
NAFKAH KELUARGA
(Studi Komparatif Perundang-Undangan Hukum Keluarga
Indonesia dan Tunisia)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
PENULIS:
JULHIJAH
NIM. 1112044200007
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2016 M
ABSTRAK
Julhijah, NIM 1112044200007, SANKSI BAGI SUAMI YANG TIDAK
MEMBERIKAN NAFKAH KELUARGA (Studi Komparatif Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 dan Perundang-undangan Hukum Keluarga Tunisia). Konsentrasi
Administrasi Keperdataan Islam. Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal As-
Syakhsiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2016 M.
Sebuah pernikahan tidak luput dengan keharusan masing-masing pasangan
untuk menjalani kewajiban dan hak dalam berumah tangga. Salah satu dari
kewajiban itu adalah masalah nafkah yang harus dipenuhi oleh seoarng suami
kepada isterinya. Dalam undang-undang perkawinan di Indonesia maupun Tunisia
telah mengatur kewajiban nafkah tersebut. Tetapi dalam peraturan terdapat
perbedaan antara ketentuan perundangan di Indonesia maupun Tunisia soal nafkah
tersebut.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui ketentuan hukum tentang
kewajiban nafkah bagi suami dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan
hukum keluarga di Tunisia, dan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan
ketentuan hukum persoalan kewajiban suami dalam memberi nafkah keluarga di
Tunisia dan Indonesia. Jenis penelitian ini yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penelitian kualitatif, penulis melakukan penelitian dengan cara teknik
pengumpulan data dengan studi dokumentasi naskah (studi pustaka) lalu setelah
memperoleh data-data dari berbagai sumber, penulis melakukan teknik
pengolahan data dengan metode deskriptif dan komparatif lalu kemudian penulis
anilisis dengan melakukan metode analisis kualitatif.
Kesimpulan dari hasil penelitian yang penulis lakukan adalah pada
dasarnya nafkah keluarga yang dibebankan kepada suami di Indonesia maupun
Tunisia sama-sama diatur. Tetapi dalam peraturan hukum keluarganya Tunisia
selangkah lebih maju dibanding peraturan di Negara Indonesia. Di Negara Tunisia
telah mengatur secara tegas persoalan nafkah tersebut dengan memberikan
ketentuan dan sanksi secara tegas sedangkan pada Negara Indonesia belum begitu
tegas ketentuan dan penetapan tentang persoalan nafkah tersebut. Dalam
ketentuan hukum soal kewajiban suami dalam memberikan nafkah di Tunisia
maupun Indonesia pun mempunyai pesamaan dan perbedaan, salah satu alasan
yang mencolok peraturan hukum keluarga Tunisia lebih maju dibandingkan
dengan Indonesia yaitu adanya pengaruh mazhab dan prinsip-prinsip hukum
perancis yang lebih progresif dalam pembentukan peraturan hukum keluarganya.
Kata kunci, Sanksi, Hak, Kewajiban, Nafkah.
Dosen Pembimbing : Prof. Dr. H. Abdul Wahab Abd Muhaimin, MA.
Daftar Pustaka : 1972-2015
vi
بسم ا للة ا لر حمن الر حيم
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah
mencurahkan nikmat jasmani dan rohani kepada kita semua. Salawat serta salam
semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, suri tauladan bagi
umat manusia. Sungguh, penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan
moril dan materil dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis
menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. dan Arip Purqon, M.Ag., Ketua dan Sekretaris
Program Studi Hukum Keluarga yang senantiasa mengarahkan, membimbing
serta membina para mahasiswa/i dengan semangat juang yang tinggi.
3. Prof. Dr. H. Abdul Wahab Abd Muhaimin, M.A., Dosen Pembimbing Skripsi
yang telah banyak memberi arahan, serta petunjuk dalam menyelesaikan
skripsi ini.
4. Dr. H. A. Djuaini Syukri, Lc., MA dan Mara Sutan Rambe, S.HI, MH , Dosen
Penguji I dan Penguji II yang senantiasa menyemangati penulis serta
memberikan arahan, bimbingan, dan konsultasi bagi penulis untuk
menghasilkan karya yang lebih baik.
vii
5. Pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum yang telah memberikan fasilitas yang memadai, sehingga penulis
dapat melalukan studi kepustakaan dengan baik.
6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
banyak ilmu dan wawasan yang akan menjadi bekal bagi penulis untuk
melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi serta terjun langsung ke
masyakarat.
7. Ayahanda dan Ibunda tercinta yaitu H. Chubaidi dan ibunda Hj, Casanah
yang telah memberikan amanah dan kepercayaan kepada penulis untuk
menempuh pendidikan di Program Studi Hukum Keluarga UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Keduanya tidak pernah patah semangat untuk selalu
berusaha memberikan pendidikan yang lebih baik bagi putra putrinya, serta
tidak putus-putusnya memanjatkan doa demi kesuksesan penulis dan saudara-
saudaranya. Tidak lupa, penulis juga ucapkan rasa terimakasih kepada kakak-
kakak penulis Erna, Nurhayati, Iklimah, Iis, Ghofur, Hairudin, Aziz, Vicka
dan adik serta ponakan yang paling penulis sayangi Zilly dan Labib yang
selalu memberikan doa, dukungan, semangat dengan penuh keikhlasan dan
kesabaran yang tiada tara.
8. Kepada sahabat yang terbaik Clara, Witri, Dwi, Dea, Mita, Lina, Jenny, Putri,
Habibah, Nurul, Alfian, Reynaldi, Naufal, Fathi, Munawir, Ahmed, Ican dan
Hasan. Yang senantiasa meluangkan waktunya untuk menjadi teman diskusi
penulis serta mengarahkan dan memotivasi penulis untuk menghasilkan karya
yang lebih baik.
viii
9. Seluruh rekan mahasiswa/i angkatan 2012. Terkhusus kawan-kawan
mahasiswa/i Kelas Islamic Family Law 2012, penulis ucapkan terimakasih
karena telah menemani dan mengiringi penulis dalam suka dan duka selama
empat tahun menempuh studi di Program Studi Hukum Keluarga.
10. Teman-teman KKN Kebangsaan “INI KKN” 2015.
11. Seluruh pihak yang terkait dengan penyusunan skripsi ini yang penulis tidak
bisa sebutkan satu persatu. Semoga Allah senantiasa meridhoi setiap langkah
kita.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan banyak
yang perlu diperbaiki lebih dalam. Oleh karena itu, saran dan kritik penulis
harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan setiap pembaca dan umumnya serta
menjadi amal baik di sisi Allah SWT. Hanya ucapan terimakasih dan doa yang
dapat penulis berikan, semoga setiap banyuan, do’a, motivasi yang telah diberikan
kepada penulis mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah SWT dan menjadi
catatan kebaikan di akhirat kelak.
Jakarta: 15 Agustus 2016 M
11 Dzulqo’dah 1438 H
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... .... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEBIMBING ............................................... .... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...................................................... ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ .... iv
ABSTRAK ................................................................................................... .... v
KATA PENGANTAR ................................................................................. .... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ .... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................. .... 1
B. Permasalahan................................................................... .... 8
1. Identifikasi Masalah................................................... .... 8
2. Pembatasan Masalah .................................................. .... 9
3. Perumusan Masalah ................................................... .... 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................... .... 10
D. Tinjauan (Riview) Kajian Terdahulu ............................... .... 11
E. Metode Penelitian........................................................... .... 13
F. Sistematika Penulisan ..................................................... .... 16
BAB II HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM HUKUM
ISLAM
A. Pengertian Hak dan Kewajiban Suami Isteri .................. .... 18
B. Dasar Hukum Hak dan Kewajiban Suami Isteri ............. .... 21
C. Bentuk Hak dan Kewajiban suami Isteri ......................... .... 26
BAB III KETENTUAN NAFKAH DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA DAN TUNUSIA
A. Nafkah dalam Perspektif Hukum Islam .......................... .... 41
B. Nafkah Suami terhadap Isteri di Indonesia ..................... .... 45
1. Sekilas Gambaran Umum Hukum Islam Indonesia ... .... 45
2. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia ...................... .... 47
3. Nafkah Menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 ................................................................ .... 50
x
4. Nafkah Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004.. 52
C. Nafkah Suami terhadap Isteri di Tunisia ......................... .... 53
1. Sekilas tentang Negara Tunisia ................................. .... 53
2. Sistem Politik dan Pemerintahan di Tunisia .............. .... 55
3. Sejarah Hukum Keluarga di Tunisia.......................... .... 57
4. Nafkah Menurut Majallah al-Ahwal al-Syakhshiyah .... 61
BAB IV KOMPARASI PERUNDANG-UNDANGAN HUKUM
KELUARGA DI INDONESIA DAN TUNISIA
A. Ketentuan Nafkah dalam Hukum Keluarga di Indonesia dan
Tunisia ........................................................................... .... 66
B. Persamaan Peraturan Perundangan Tentang nafkah di
Indonesia dan Tunisia ..................................................... .... 67
C. Perbedaan Peraturan Perundangan Tentang Nafkah di
Indonesia dan Tunisia ..................................................... .... 71
D. Analisa Perbandingan Nafkah Wajib di Indonesia dan
Tunisia ............................................................................ .... 74
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................... .... 81
B. Saran ............................................................................... .... 83
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. .... 85
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sebuah pernikahan, ada beberapa hal yang harus dijalani oleh
pasangan yang menjalani pernikahan itu, diantaranya adalah keharusan
masing-masing pasangan untuk menjalani kewajiban dan hak mereka dalam
rumah tangga.1 Salah satu dari kewajiban itu adalah masalah nafkah yang
harus dipenuhi oleh seorang suami kepada isterinya.2
Kata nafkah berasal dari kata anfaqa, al infaq, yang artinya
mengeluarkan. Jadi, nafkah artinya memenuhi semua kebutuhan dan
keperluan hidup meliputi: makanan, pakaian, termpat tinggal, serta biaya
rumah tangga dan pengobatan bagi isteri sesuai dengan keadaan, termasuk
juga biaya pendidikan anak.3 Dari pengertian nafkah tersebut dengan beberapa
karakterisitiknya, maka nafkah dapat dirumuskan dalam pengertian kewajiban
seseorang yang timbul sebagai akibat perbuatannya yang mengandung beban
tanggung jawab, berupa pembayaran sejumlah biaya guna memenuhi
kebutuhan baik pokok ataupun sekunder terhadap sesuatu yang berada dalam
tanggungannya itu.4
1 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.I, (Jakarta: Prenada
Media, 2006), h. 159. 2 Zubair Ahmad, Relasi Suami Isteri dalam Islam (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN
Syahid Jakarta,2000), h. 61. 3 Slamet Abidin, Fiqh Munakahat (Bandung: Pustaka Setia,1999), h. 171.
4 Khoirudin Nasution, Islam tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I)
dilengkapi perbandingan undang-undang Negara muslim, (Yogyakarta: Tazzafa Academia,
2004), h. 181.
2
Legitimasi Nash tentang Hukum Nafkah tercantum dalam beberapa
ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar legitimasi hukum nafkah secara umum,
khususnya dalam kewajiban-kewajiban yang timbul sebagai akibat terjadinya
hubungan perkawinan. Dasar hukum memberi nafkah dalam keluarga wajib
atas suami, telah diatur berdasarkan nash-nash Al-Qur’an, Hadist Nabi, dan
Ijma’ Ulama.5 Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah:233:
233) / 2: ) البقرة
Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan
pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang
tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih
(sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka
tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang
kamu kerjakan”. (QS.Al-Baqarah: 233)
Ayat ini menjelaskan bahwa suami mempunyai kewajiban dan isteri
mempunyai hak atas suami yang diberikan sesuai dengan kemampuan suami.
5 Muhammad Thalib, Ketentuan Nafkah Isteri dan Anak, cet I., (Bandung: Irsyad
Baitus Salam, 2000), h.19.
3
Dengan kata lain, tidak adanya batas minimal terhadap ketentuan besarnya
nafkah untuk isteri yang diberikan suami.
Sedangkan mengenai kewajiban nafkah suami menurut para fuqaha
yaitu keempat Imam Madzhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali) sepakat
bahwa memberikan nafkah itu hukumnya wajib setelah adanya ikatan sebuah
perkawinan. Akan tetapi keempat imam madzhab memiliki perbedaan
mengenai waktu memberi nafkah. Imam Malik berpendapat bahwa nafkah itu
menjadi wajib apabila suami telah menggauli atau mengajak bergaul dan isteri
termasuk orang yang dapat digauli dan suami telah dewasa. Imam Abu
Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa suami yang belum dewasa wajib
memberi nafkah apabila isteri telah dewasa, sedang apabila isteri belum
dewasa, dalam hal ini menurut Imam Syafi’i terdapat dua pendapat: Pertama,
sama dengan pendapat Imam Malik. Pendapat kedua, bahwa isteri berhak
memperoleh nafkah dan hak suami atas isteri adalah mendapatkan pemenuhan
kebutuhan seksual, dimana masing-masing dari keduanya memiliki hak dan
kewajiban.6
Salah satu fenomena abad ke 20 di dunia Muslim adalah adanya usaha
pembaruan hukum keluarga (perkawinan, perceraian dan warisan).7 Hasil
usaha pembaruan hukum keluarga diantaranya adalah adanya pembatasan
6 Abu Abdullah Muhammad bin Idris Al Syafi’I, “Al Mukhtasar Kitab Al Umm Fii Al
Fi: Ringkasan Kitab Al Umm”, Penerjemah: Imam Rosadi (Jakarta: Pustaka Azzam,2004), h.
433. 7 M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, ed., Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, (Jakarta:
Ciputat Press, 2003), h.10.
4
praktek poligami, pembatasan hak talak sepihak suami, keharusan pencatatan
perkawinan, jaminan hak isteri, jaminan hak anak yang orang tuanya bercerai.8
Negara-negara muslim di dunia ini dalam hubungannya dengan
reformasi hukum keluarga dapat dikategorikan menjadi (1) Negara muslim
yang sama sekali tidak mau melakukan pembaruan dan masih tetap
memberlakukan hukum keluarga sebagaimana yang tertuang dalam kitab-
kitab fiqh dari mazhab yang dianut. Saudi Arabia merupakan contoh dari
Negara muslim yang termasuk kategori ini, (2) Negara muslim yang sama
sekali telah meninggalkan hukum keluarga Islam (fiqh) dan sebagai gantinya
mengambil hukum sipil Eropa. Turki adalah contoh Negara yang termasuk
kelompok ini, (3) Negara-negara muslim yang berusaha memberlakukan
hukum keluarga Islam setelah mengadakan pembaruan. Diantara Negara yang
termasuk kelompok ini adalah Mesir, Tunisia, Pakistan dan Indonesia.
Pembaruan dalam bidang hukum keluarga di dunia muslim ditandai
tidak saja oleh penggantian hukum keluarga Islam (fiqh) dengan hukum-
hukum Barat, tetapi juga oleh perubahan-perubahan dalam hukum Islam itu
sendiri yang didasarkan atas reinterpretasi (penafsiran kembali) terhadap
hukum Islam sesuai dengan perkembangan penalaran dan pengamalannya.
Dengan cara inilah hukum keluarga di dunia muslim mengalami perubahan.
Tujuan utama pembaruan hukum keluarga tersebut adalah meningkatkan
status atau kedudukan kaum wanita dan memperkuat hak-hak anggota
keluarga.
8 M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, ed., Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, (Jakarta:
Ciputat Press, 2003), h.11.
5
Di samping itu, ada juga pembahasan persoalan gender dan
dampaknya terhadap perkembangan hukum Islam yang memfokuskan pada
permasalahan bahwa pembaruan hukum keluarga di dunia muslim bertujuan
untuk melindungi dan meningkatkan derajat kaum wanita.9
Salah satu trend reformasi hukum keluarga di Dunia Islam modern
adalah diberlakukannya sanksi hukum (kriminalisasi). Keberanjakan dari
hukum klasik cenderung tidak memiliki sanksi hukum, misalnya beralih
kepada aturan-aturan dan hukum produk negara yang tidak saja membatasi
dan mempersulit, namun bahkan melarang dan mengkategorikan suatu
masalah seputar hukum keluarga sebagai perbuatan kriminal. Menarik jika
persoalan nafkah wajib suami terhadap isteri ini dapat ditelaah lebih dekat dan
melihat bagaimana sebagian negara Muslim lain memberlakukannya,
kemudian dikomparasikan satu sama lain dalam konteks doktrin Hukum Islam
konvensional, antar negara, dan posisinya sebagai salah satu citra dinamisasi
dalam hukum Islam, khususnya hukum keluarga Negara Muslim modern.10
Salah satu Negara yang memberlakukan ketentuan tegas tentang hal
nafkah wajib untuk isteri yaitu Negara Tunisia. Negara Tunisia merupakan
Negara berpenduduk mayoritas agama Islam mutlak memberlakukan
ketentuan hal nafkah istri dengan menggunakan prinsip-prinsip mazhab
Maliki. Undang-undang hukum Keluarga yang pertama kali berlaku di
9 Yusdani, “Pembaruan Hukum Keluarga di Dunia Muslim: Sejarah, Gerakan dan
Perbandingan”, artikel diakses pada 10 Februari 2016 dari
http://vantovich.blogspot.co.id/2009/02/pembaruan-hukum-keluarga-di-dunia-muslim.html. 10
Zaki Saleh, Kriminalisasi Trend Reformasi Hukum Islam. Artikel di akses pada 22
Januari 2016, dari http://publik–syariah.blogspot.com/2011/04/Kriminalisasi-trend-
reformasi.html.
6
Tunisia, yang mayoritasnya pengikut Mazhab Maliki, adalah Code Of
Personal Status (Majallat al-ahwal AL-syakhsiyah) yang dideklarasikan pada
tahun 1956, diamandemen pada 4 Juli 1958 dengan Undang-undang Nomor
70 tahun 1958, 19 Juni 1959 dengan Undang-undang Nomor 77 tahun 1959,
21 april 1964 dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1964, 3 Juni 1966
dengan Undang-undang Nomor 49 tahun 1966, 18 february 1981 dengan
Undang-undang Nomor 7 tahun 1981, dan Undang-undang Tunisia terakhir
kali di amandemen yaitu pada tahun 1993 melalui Undang-undang Nomor 74
Tahun 1993. “Law No. 74/1993 of 12 July 1993 amending certain provisions
of the code of personal status”.11
Dalam Undang-Undang Hukum Keluarga di Tunisia dalam hal nafkah
ini bahwa suami yang menghindar dari kewajiban memberi nafkah atau
kompensasi selama 1 bulan dapat dikenakan hukuman penjara 3 hingga 12
bulan dan denda antara 100 hingga 1000 dinar berdasarkan pasal 53 A Code
Of Personal Status 1956-1981. 12
Any person ordered to pay maintenance or compensation under
article 31 or 32 of this Code who deliberately avoids to pay it for one
month shall be liable to punishment with imprisonment between three
to twelve months and fine between one hundred to one thousand
dinars.
Adapun besarnya jumlah nafkah, tergantung pada kemampuan suami
dan status istri, serta biaya hidup yang wajar (pasal 52). Lebih menariknya,
11
Lynn Welchman, Woman and Muslim Family Laws in Arab States: A
Comparative Overview of Textual Development and Advocacy, (Amsterdam: Amsterdam
University Press, 2007),h. 160 12
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, First Edition (India: Times
Press, 1987), h. 169.
7
pada pasal 39 dijelaskan bahwa suami miskin tidak wajib memberikan nafkah,
2 bulan tenggang waktunya. Jika ia (suami) tidak dapat memberi nafkah pada
masa yang telah ditentukan tersebut, maka hakim menceraikan pernikahan
mereka13
.
Akan halnya dengan Indonesia, persoalan nafkah suami untuk isteri
diatur secara tuntas dalam UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia dalam
suatu bab yaitu Bab VI yang materinya secara esensial telah sejalan dengan
apa yang digariskan dengan dalam kitab-kitab fiqh14
dan diatur pula dalam
Kompilasi Hukum Islam Bab XII Pasal 77 sampai Pasal 84 tentang hak dan
kewajiban suami isteri. Pada pasal 80 dari Kompilasi Hukum Islam tersebut
menjelaskan bahwa prinsipnya kewajiban suami adalah melindungi isterinya
dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampuannya. Lalu pada pasal 80 ayat 4 dijelaskan bahwa sesuai
dengan penghasilannya suami menanggung:
a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri
dan anak;
c. Biaya pendidikan bagi anak.
Meskipun demikian dalam peraturan yang diatur tidak mencantumkan
sanksi hukum terhadap pihak yang melakukan pelanggaran, hanya
menjelaskan jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing
13
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, First Edition (India: Times
Press, 1987), h. 156. 14
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, Edisi Pertama (Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2006),
h.159.
8
dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama sesuai pasal 77
Kompilasi Hukum Islam tentang hak dan kewajiban suami isteri. 15
Walaupun sudah diatur dalam berbagai peraturan, nampaknya
masyarakat Indonesia belum mematuhi peraturan ini sebagaimana meskinya.
Namun kenyataannya dilapangan, masih banyak orang Islam yang melalaikan
tugas kewajibannya baik isteri maupun suami dengan berbagai alasan
kepentingan.16
Inilah yang menarik dari Negara Tunisia dan Indonesia. Negara
Tunisia telah mengatur tegas persoalan nafkah tersebut dengan memberikan
ketentuan dan sanksi secara tegas sedangkan pada Negara Indonesia belum
begitu tegas ketentuan dan penetapannya tentang persoalan nafkah tersebut.
Apa yang melatarbelakangi perbedaan ketentuan penetapan hukum antara
negara Tunisia dengan Indonesia tersebut, untuk itu penulis tertarik dengan
masalah tersebut diatas maka penulis akan menuangkan dalam bentuk karya
ilmiah dengan judul: “Sanksi Bagi Suami Yang Tidak Memberikan Nafkah
Keluarga (Studi Komparatif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan
Perundang-undangan Hukum Keluarga Tunisia).”
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang di atas maka dapat di identifikasikan
masalah-masalah tersebut sebagai berikut:
15
Kompilasi Hukum Islam, cetakan Februari 2013, (Bandung: Fokusindo Mandiri) 16
Yayan Sopyan, Islam Negara (Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional), cet.II, (Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia), h. 166.
9
a. Bagaimana sejarah perkembangan hukum keluarga di dunia Islam
b. Apa saja komponen yang dibahas pada hukum keluarga di dunia Islam
c. Apa Hak dan kewajiban dalam konteks hukum Islam
d. Apa dasar hukum hak dan kewajiban suami isteri dalam hukum Islam
e. Bagaimana sejarah perkembangan hukum keluarga di Indonesia dan
Tunisia
f. Bagaimana bentuk pengaturan mengenai hak dan kewajiban nafkah
suami untuk isteri di Indonesia dan Tunisia
g. Apa dasar hukum hak dan kewajiban nafkah suami untuk isteri di
Indonesia dan Tunisia
h. Bagaimana sanksi bagi suami yang tidak memberikan nafkah keluarga
i. Apa persamaan dan perbedaan ketentuan hukum persoalan kewajiban
suami dalam memberikan nafkah keluarga di Indonesia dan Tunisia.
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini,
penulis membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya
lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Disini
penulis hanya akan membahas tentang nafkah wajib dan beberapa pasal
aturan tentang nafkah yang bermasalah dan menarik dalam undang-undang
hukum keluarga antara Negara Indonesia dengan Tunisia, diantaranya
pada UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 30 sampai pasal 34
dan Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyah (1956-1981) pasal 37-53, serta
10
sanksi bagi suami yang tidak memberi nafkah dan persamaan serta
perbedaan ketentuan khusus persoalan tersebut diatas.
3. Perumusan Masalah
Perumusan tersebut di atas dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut:
a. Bagaimanakah ketentuan hukum kewajiban nafkah bagi suami dalam
Perundang-Undangan hukum keluarga di Indonesia dan Tunisia?
b. Apa persamaan dan perbedaan ketentuan-ketentuan hukum persoalan
kewajiban suami dalam memberikan nafkah keluarga di Indonesia dan
Tunisia?
C. Tujuan daan Manfaat Penelitan
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui ketentuan hukum tentang kewajiban nafkah bagi suami
dalam Perundang-Undangan hukum keluarga di Indonesia dan Tunisia.
2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan ketentuan hukum persoalan
kewajiban suami dalam memberi nafkah keluarga di Tunisia dan Indonesia
Dan adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Bagi penulis sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar strata satu (S1)
dan dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam bidang ini.
2. Bagi para akademisi, agar penelitian ini bermanfaat dan mampu
mengembangkan ilmu pengetahuan, serta sebagai bahan tambahan
khazanah khususnya ilmu Hukum Keluarga dan ilmu pengetahuan
umumnya.
11
3. Kajian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi positif dalam
perbaikan penyempurnaan perundang-undangan hukum perkawinan di
Indonesia
D. Tinjauan (Rivew) Kajian Terdahulu
NO Nama penulis/ Judul
skripsi, Jurnal/ Tahun
Substansi Perbedaan dengan
Penulis
1. Masnun Tahir/Hak-
hak perempuan
dalam hukum
keluarga Syiria dan
Tunisia/Artikel Al-
Mawarid Edisi XVIII
Tahun 2008
Artikel Al-Mawarid
Edisi XVIII ini
menjelaskan secara
rinci tentang bagaimana
kedudukan wanita
beserta hak-haknya
dalam hukum keluarga
yang diatur dalam
Negara Tunisia. Tidak
hanya itu didalam
artikel ini juga
dipaparkan secara jelas
tentang substansi-
substansi aturan
Nafkah, Poligami dan
Perceraian pada Hukum
Persamaannya dengan
penulis yaitu sama-
sama membahas
tentang hak
perempuan di Negara
Tunisia. Perbedaannya
dengan skrispsi ini
yaitu didalam skripsi
ini tidak hanya
menjelaskan tentang
nafkah tetapi
membandingkan
ketentuan yang
mengatur dan
substansi-substansi
aturan nafkah
12
Keluarga Tunisia. ketentuan hukum
keluarga di Tunisia
dengan hukum
keluarga di Indonesia
tentang nafkah dan
hak-hak isteri didalam
keluarga.
2. Dwi
Rahmanta/Konsekue
nsi yuridis harta
bersama terhadap
kewajiban suami
member nafkah
dalam KHI dan UU
No.1 tahun
1974/Skripsi
Fakultas Syariah-
Universitas Islam
Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta,
2009
Skripsi ini menjelaskan
tentang ketentuan dan
konsekuensi yuridis
terhadap pelaksanaan
kewajiban suami
memberi nafkah dalam
KHI dan UU No.1
Tahun 1974.
Persamaannya dengan
penulisan ini sama-
sama membahas
tentang kewajiban
suami memberi nafkah
dalam perundang-
undangan di
Indonesia, sedangkan
perbedaannya dengan
skrispsi ini yaitu
penulis meneliti
tentang sanksi
terhadap suami yang
tidak memberikan
nafkah keluarga
dengan melakukan
13
studi perbandingan
dan mengkaji Undang-
undang hukum
keluarga di Negara
Indonesia dan Tunisia.
E. Metodologi Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, ada beberapa aspek-aspek metode
penelitian yang akan digunakan yaitu:
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif , artinya permasalahan yang ada diteliti berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang ada dan literature-literatur yang ada
kaitannya.17
Dengan pendekatan ini dilakukan pengkajian peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian
ini.18
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif yakni proses penelitian yang difokuskan untuk
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
17
Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jarimetri (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1990), h.11. 18
Johnmy Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Jakarta:
Bayumedia, 2008), h.295 dan 302.
14
orang-orang yang dijadikan sumber informasi dan perilaku yang dapat
diamati19
, untuk penganalisaan data secara non-statistik.
3. Sumber dan Kriteria Data Penelitian
a. Sumber Data
Sumber data pada penelitian yuridis normative terbagi menjadi 3
(tiga) macam, yakni sumber primer, sekunder, dan tersier. Dimana sumber
primer merupakan bahan hukum yang diurut berdasar hierarki perundang-
undangan, sumber sekunder adalah bahan dan data yang didapatkan dari
buku-buku, jurnal-jurnal, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum,
yurisprudensi, dan hasil symposium mutakhir yang berkaitan dengan topik
penelitian. Adapun sumber tersier merupakan bahan hukum yang memberi
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan juga
sekunder.20
b. Jenis Data
1) Data Primer: yaitu data yang berasal dari al-Qur’an, kitab hadist, dan
buku-buku yang membahas masalah hak dan kewajiban suami isteri
dan aturan hukum mengenai nafkah wajib suami untuk isteri.
2) Data Sekunder: yaitu data berupa dokumen-dokumen yang terdapat
dalam majalah, surat kabar, jurnal ilmiah, dan artikel yang relevan
dengan tema dalam skripsi ini.
19
Nurul Zuhriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan:Teori-Aplikasi
(Jakarta: PT.Bumi Aksara, 2007), h.92. 20
Johnmy Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Jakarta:
Bayumedia, 2008), h.295-296.
15
3) Data Tersier: bahan hukum tersier untuk penelitian ini meliputi
Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah studi
dokumentasi naskah (studi pustaka), yaitu dengan mengumpulkan data
terhadap berbagai sumber bacaan yang membahas tentang nafkah wajib
suami untuk isteri dan aturan hukumnya, serta sanksi hukum bagi suami
yang tidak memberikan nafkah keluarga di Negara Indonesia dan Tunisia.
5. Teknik Pengolahan Data
Setelah memperoleh data-data dari berbagai sumber, maka penulis
akan mengolah data dengan metode deskriptif dan komparatif. Dan
kemudian dalam penyajian tersebut akan memaparkan data yang diperoleh
tersebut kemudian dikomparatifkan antara data yang tertera pada teori
yang diambil dari studi pustaka lalu penulis analisa.
6. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini, metode analisis yang digunakan adalah
analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah analisi yang dilakukan terhadap
data yang diolah dengan menggunakan uraian-uraian untuk memberi
gambaran (deskriptif). Analisis kualitatif ini dapat juga disebut sebagai
analisis non-statistik yang berisi analisis deskriptif, infrensial dan analitik.21
21
Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas
Atma Jaya,2007), h.91.
16
F. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mempermudah penambahan dan penulisan pada skripsi
ini, maka penulis mengklasifikasikan permasalahan dalam beberapa bab
dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I Berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, metologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Penulis membahas tentang hak dan kewajiban suami isteri dalam
hukum Islam. Bab ini menguraikan tentang pengertian hak dan kewajiban
suami isteri dalam hukum Islam, dasar hukum hak dan kewajiban suami isteri
dalam hukum Islam, dan apa saja bentuk hak dan kewajiban suami isteri
Bab III Merupakan pembahasan mengenai ketentuan nafkah dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia dan Tunisia. Hal ini mencakup
dalam sejarah hukum keluarga di Indonesia maupun Tunisia, dan penjelasan
tentang nafkah menurut perundang-undangan di Indonesia yaitu Kompilasi
Hukum Islam dan nafkah menurut perundang-undangan hukum keluarga di
Tunisia yaitu Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyah (1956-1981.
Bab IV Dalam bab ini merupakan komparasi perundang-undangan
hukum keluarga di Indonesia dan Tunisia terhadap sanksi bagi suami yang
tidak memberikan nafkah keluarga. Diantaranya meliputi persamaan dan
perbedaan tentang nafkah di Indonesia dan Tunisia.
17
Bab V Merupakan tahap akhir dari penulisan skripsi yang berupa
penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran dari beberapa persoalan
yang dibahas.
18
BAB II
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Perkawinan adalah perbuatan hukum yang mengikat antara seorang pria
dengan seorang wanita (suami dan istri) yang mengandung nilai ibadah kepada
Allah di satu pihak dan pihak lainnya mengandung aspek keperdataan yang
menimbulkan hak dan kewajiban antara suami istri. Oleh karena itu, antara hak
dan kewajiban merupakan hubungan timbal balik antara suami dengan istrinya.1
Hak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai
kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu.2 Sedangkan
kewajiban diartikan dengan sesuatu yang harus dilaksanakan; keharusan.3 Hak-
hak suami terhadap istrinya yang diwajibkan oleh Islam memungkinkan
perempuan melaksanakan tanggung jawabnya yang pokok dalam rumah dan
masyarakat. Memberi kemampuan bagi laki-laki untuk membangun rumahnya
dan keluarganya.4
1 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
h.51. 2
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa
Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 1994) h. 474. 3
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa
Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 1994) h. 1553. 4 Ali Yusuf, Fiqh Keluarga (Pedoman Berkeluarga dalam Islam, (Jakarta: Amzah,
2010), h.144.
19
Sebagai suatu hubungan hukum, perkawinan menimbulkan hak dan
kewajiban bagi suami istri. Yang dimaksud “hak” ialah suatu yang merupakan
milik atau dapat dimiliki oleh suami atau istri yang timbul karena perkawinannya.
Sedangkan “kewajiban” ialah sesuatu yang harus dilakukan atau diadakan oleh
suami atau istri untuk memenuhi hak dan dari pihak yang lain. Hak dan kewajiban
dalam hukum keluarga dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (a) Hak dan
kewajiban suami istri; (b) Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anaknya;
(c) Hak dan kewajiban antara anak dengan orang tuanya manakala orang tuanya
telah mengalami proses penuaan. Hak dan kewajiban suami istri adalah hak dan
kewajiban yang timbul karena adanya perkawinan.5
Suami-istri sebenarnya mempunyai tanggung jawab moril maupun
materiil. Masing-masing suami-istri harus mengetahui kewajibannya di samping
haknya. Sebab, banyak manusia yang hanya tahu haknya saja, tetapi mengabaikan
kewajibannya.6
Adanya hak dan kewajiban antara suami istri dalam kehidupan rumah
tangga itu dapat dilihat dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan beberapa hadis Nabi.
Contoh dalam Al-Qur’an, umpamanya pada surah Al-Baqarah ayat 228:
228) / 2:) البقرة
5 Eko Setiawan, “Dinamika Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia” artikel
diakses pada hari Minggu tanggal 20 Maret tahun 2016 dari website
http://ejournal.uinmalang.ac.id/index.php/syariah/article/download/3207/5040. 6 M. Ali Hasan, Pedoman HIdup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Prenada
Media, 2003), h.151.
20
Artinya : “Bagi istri itu ada hak-hak berimbang dengan kewajiban-
kewajibannya secara makruf dan bagi suami setingkat lebih
dari istri.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Ayat ini menjelaskan bahwa istri mempunyai hak dan istri juga
mempunyai kewajiban, kewajiban istri merupakan hak bagi suami. Hak istri
semisal hak suami yang dikatakan dalam ayat ini mengandung hak dan
kedudukan istri semisal atau setara atau seimbang dengan hak dan kedudukan
suami. Meskipun demikian, suami mempunyai kedudukan setingkat lebih tinggi,
yaitu sebagai kepala keluarga, sebagaimana diisyaratkan oleh ujung ayat tersebut
diatas.7
Di antara hak-hak istri yang wajib ditunaikan suami adalah:
1. Hak-hak yang berkaitan dengan materi, yaitu mahar dan nafkah.
2. Hak-hak yang tidak berkaitan dengan materi, seperti berlaku adil di antara
istri-istri jika suami menikahi lebih dari satu istri, dan tidak melakukan
tindakan yang berdampak buruk terhadap istri8
Dapat disimpulkan dari pengertian hak dan kewajiban diatas, bahwa hak
adalah sesuatu yang harus diterima sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang
harus dilaksanakan dengan baik. Begitulah kehidupan antara suami istri dalam
setiap rumah tangga, apabila dua hal itu tidak seimbang niscaya akan timbul
percekcokkan dan perselisihan dalam rumah tangga. Sebaliknya, jika antara hak
7 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.I, (Jakarta: Prenada
Media, 2006), h. 159. 8
As-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah:Khairul Amru Harahap, Aisyah
Syaefuddin dan Masrukhin, , cet.III., (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012), h. 408.
21
dan kewajiban itu seimbang atau sejalan, terwujudlah keserasian dan
keharmonisan dalam rumah tangga, rasa kebahagiaan semakin terasa dan kasih
sayang akan terjalin dengan baik. Anak menghormati orang tuanya, orang tua
sayang kepada anaknya, suami menghargai isterinya dan isteri pun menghormati
suami dan setererusnya.9
B. Dasar Hukum Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Perkawinan sebagai perbuatan hukum antara suami dan istri, bukan saja
bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada-Nya, tetapi sekaligus
menimbulkan akibat hukum keperdataan di antara keduanya. Namun demikian,
karena tujuan perkawinan yang begitu mulia, yaitu membina keluarga yang
bahagia, kekal, abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perlu diatur
hak dan kewajiban suami dan istri masing-masing. Apabila hak dan kewajiban
masing-masing suami dan istri terpenuhi, maka dambaan suami istri dalam
bahtera rumah tangganya akan dapat terwujud, didasari rasa cinta dan kasih
sayang.10
Allah menegaskan dalam Al-Quran surat al-Rūm ayat 21:
21) / 30: روم) ال
9 Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya,
1993), h.37. 10
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003)
Ed.1. cet.6 h.181
22
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS Al-Rūm: 21)
Konsep hak pada dasarnya sama, bahwa pria dan wanita sama dalam
segala sesuatu. Wanita mempunyai hak seperti yang dimiliki pria, dan wanita
mempunyai kewajiban seperti kewajiban pria. Kemudian, bahwa laki-laki dilebihi
dengan satu derajat, yaitu sebagai pemimpin yang telah ditetapkan dengan
fitrahnya. Dalam hal ini bukan berarti keluar dari konsep persamaan yang telah
disamakan dalam hak dan kewajiban, sebab setiap tambahan hak diimbangi
dengan tambahan serupa dalam kewajiban.11
Sebagaimana dalam Al-Qur’an juga
telah menentukan hak istri dari suaminya, yaitu persamaan dalam hak dan
kewajiban, sesuai dengan surat Al-Baqarah:
.... 233) / 2:) البقرة
Artinya : “... Dan para wanita mempunyai hak yang berimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para
suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada
istrinya.” (QS Al-Baqarah: 228).
Ayat diatas menyebutkan bahwa hak yang dimiliki istri seimbang dengan
kewajiban yang harus di tunaikan istri; dan kewajiban yang harus ditunaikan oleh
istri itu adalah hak suami. Dengan demikian, kalimat
11
Muhammad Albar, Wanita dalam Timbangan Islam I, cet.1, (Jakarta: Daar Al-
Muslim, Beirut), h.18.
23
sebenarnya ingin menunjukkan bahwa hak yang dimiliki istri itu seimbang
dengan hak yan dimiliki suami. Kemudian, dengan adanya kalimat
لثكلیف yang oleh para mufasir dipahami dengan kelebihan وللرجالعلیھندرجت
(tanggung-jawab/kewajiban) bukan kelebihan تشرئف (kemuliaan), menunjukkan
ada satu kewajiban yang dibebankan kepada suami tetapi tidak dibebankan
kepada istri. Karena dalam logika keadilan “Di mana ada kewajiban, disitu ada
hak”, maka secara otomatis suami memiliki satu kelebihan hak yang tidak
dimiliki oleh istri12
Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan, “Allah Swt. Kemudian
menjelaskan, keutamaan laki-laki dibandingkan perempuan dalam hal warisan
karena laki-laki wajib membayar mahar dan memberi nafkah kepada keluarga,
selain karena keutamaan laki-laki itu pada akhirnya juga akan memberi
keuntungan bagi perempuan. Dikatakan bahwa laki-laki memiliki akal dan daya
nalar yang lebih kuat, karena itu mereka berhak memegang kendali atas
kehidupan perempuan. Dikatan pula laki-laki memiliki jiwa dan karakter yang
lebih kuat ketimbang perempuan. Karakter laki-laki didominasi oleh hawa panas
dan kering yang membuatnya menjadi keras dan kuat, sedangkan karakter
perempuan didominasi hawa dingin dan lembap yang membuatnya lembut dan
12
Mesraini, Membangun Keluarga Sakinah, cet.I., (Jakarta: Makmur Abadi Press (MA
Press), 2010), h.71.
24
lemah. Karena itu semua firman Allah, mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian hartanya, laki-laki lalu memiliki hak kepemimpinan atas perempuan.”13
Islam telah menetapkan keutamaan usaha yang disyukuri ini dan
menjadikannya sebab-sebab tanggung jawab laki-laki atas perempuan. Allah
berfirman dalam QS An- Nisā’ ayat 34
34) / 4: نساء) ال
Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki)
atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-
laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab
itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah
lagi memelihara diri, ketika suaminya tidak ada, oleh karena
Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS An-
Nisā’: 34).
Penjelasan dari ayat tersebut adalah, laki-laki menanggung keperluannya
berupa ketetapan untuk melaksanakan kewajiban dan menguatkannya dengan
menanggung beban. Ia memenuhi dirinya dengan kerelaan dan tanggungan. Ia
13
Abd al-Qadri Manshur, Buku Pintar Fiqh Wanita, cet.1., (Jakarta: Penerbitzaman,
2009), h.306.
25
pula menyiapkan dengan mengharap pahala Allah Swt. dan kebaikan-Nya.14
Jadi
jelas, kewajiban nafkah hanya diberikan kepada yang berhak, yaitu dengan
memberikan sesuai dengan kebutuhan bukan menentukan jumlah nafkah yang
harus diberikan karena dikhawatirkan terjadinya keborosan penggunaan dalam
keadaan tertentu. Maksudnya, pemberian belanja secukupnya dalam arti sesuai
dengan besarnya kebutuhan hidup yang wajar bagi istri. Demikianlah maksud dari
sabda Rasulullah “Dengan cara yang baik” bukan sebaliknya, seperti boros atau
kikir. Apabila suami tidak memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya, maka
istrinya boleh mengambil apa yang dapat mencukupi dirinya jika ia seorang
dewasa dan berakal sehat, bukan seorang pemboros atau orang yang gemar
mubazir. Sebab, orang-orang seperti ini tidak boleh diserahi harta benda,15
sebagaimana firman Allah Swt dalam QS Al-Nisa ayat 5:
5) / 4: نساء) ال
Artinya : “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang
belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok
kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil
harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang
baik. (QS Al-Nisa: 5).
14
Ali Yusuf, Fiqh Keluarga, cet.1., ( Jakarta: AMZAH, 2010), h.186. 15
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat; Kajian Fikih Nikah Lengkap, cet.III,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h.166.
26
Dengan demikian, dapat pula diartikan bahwa suami memiliki kewajiban
kepada istri berupa nafkah sedangkan tugas istri terhadap suami yaitu diantaranya
memelihara serta patuh kepada suami dalam batas-batas yang ditentukan oleh
norma agama dan menjaga kehormatan serta melindungi harta beda keluarga
dengan baik demi mewujdukan kesejahteraan keluarga.
C. Bentuk Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Dalam hubungan suami isteri dalam rumah tangga suami mempunyai hak
dan begitu pula istri mempunyai hak. Dibalik itu suami mempunyai beberapa
kewajiban dan begitu pula istri mempunyai beberapa kewajiban.16
Demikian pula
kaum wanita mempunyai hak atas suami mereka, dan tidak akan berlanjut
kehidupan suami istri di atas keadilan yang diperintahkan oleh Allah, kecuali jika
suami dan istri memenuhi hak-hak diantara mereka.17
Jika suami dan istri sama-
sama menjalankan tanggung jawabnya masing-masing, maka akan terwujudlah
ketentraman dan ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagiaan hidup
berumah tangga. Dengan demikian, tujuan hidup berkeluarga akan terwujud
16
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media,
2007), h.160. 17
Abu Musa Abdurrahim, Kitab Cinta Berjalan, cet.I, (Jakarta: Gema Insani 2011),
h.233.
27
sesuai dengan tuntutan agama, yaitu sakinah, mawaddah wa rahmah.18
Adapun
bentuk hak dan kewajiban suami istri adalah sebagai berikut:
A. Hak dan Kewajian Suami Istri
1. Hak Bersama Suami Istri
Dengan adanya akad nikah, maka antara suami dan istri
mempunyai hak dan tanggung jawab secara bersama, yaitu sebagai
berikut:
a. Suami istri dihalalkan mengadakan hubungan seksual. Perbuatan ini
merupakan kebutuhan suami istri yang dihalalkan secara timbal balik.
Suami istri halal melakukan apa saja terhadap istrinya, demikian pula
bagi istri terhadap suaminya. Mengadakan kenikmatan hubungan
merupakan hak bagi suami istri yang dilakukan secara bersamaan.
b. Haram melakukan pernikahan, artinya baik suami maupun istri tidak
boleh melakukan pernikahan dengan saudaranya masing-masing.
c. Dengan adanya ikatan pernikahan, kedua belah pihak saling mewarisi
apabila salah seorang dari keduanya telah meninggal meskipun belum
bersetubuh.
d. Anak mempunyai nasab yang jelas.
18
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.
131.
28
e. Kedua belah pihak wajib bertingkah laku dengan baik sehingga dapat
melahirkan kemesraan dalam kedamaian hidup. 19
Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Nisa ayat 19:
... ... 19) / 4: نساء) ال
Artinya: “… Dan bergaullah dengan mereka (istri) secara patut…” (QS Al-
Nisa: 19)
2. Kewajiban Suami Istri
Dalam kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa, kewajiban suami istri,
secara rinci, adalah sebagai berikut:
a. Suami Istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga
yang sakinah, mawadah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat.
b. Suami istri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan memberi bantuan
lahir batin.
c. Suami Istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak
mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasannya,
serta pendidikan agamanya.
d. Suami Istri wajib memelihara kehormatannya.
e. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama.20
19
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat; Kajian Fikih Nikah Lengkap, cet.III.,
(Jakarta: Rajawali Press, 2013), h.154.
29
B. Hak dan Kewajiban Suami Terhadap Istri
1. Hak Suami Atas Istri
Diantara beberapa hak suami terhadap istrinya, yang paling pokok
adalah:
a. Ditaati dalam hal-hal yang tidak maksiat;
b. Istri menjaga dirinya sendiri dan harta suami;
c. Menjauhkan diri dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan
suami;
d. Tidak bermuka masam di hadapan suami; dan
e. Tidak menunjukkan keadaan yang tidak disenangi suami.21
Dalam Al-Qur’an Allah Saw. Menjelaskan bahwa istri harus bisa
menjaga dirinya, baik ketika berada di depan maupun di belakang suaminya,
dan ini merupakan salah satu ciri istri yang shalehah.
... ...34) / 4: نساء) ال
Artinya: “Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh
karena Allah telah memelihara.” (QS Al-Nisa: 34)
Maksud memelihara diri di balik pembelakangan suaminya, dalam
ayat tersebut adalah istri dapat menjaga dirinya ketika suaminya tidak ada
20
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat; Kajian Fikih Nikah Lengkap, cet.III.,
(Jakarta: Rajawali Press, 2013), h.157. 21
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat; Kajian Fikih Nikah Lengkap, cet.III.,
(Jakarta: Rajawali Press, 2013), h.158.
30
dan tidak berbuat khianat kepadanya, baik mengenai diri maupun harta
bendanya. Inilah merupakan kewajiban tertinggi bagi seorang istri terhadap
suami.22
2. Kewajiban Suami Terhadap Istri
Kewajiban suami terhadap istri mencakup kewajiban materi berupa
kebendaan dan kewajiban yang bukan berupa kebendaan.
a. Kewajiban materi berupa kebendaan
Sesuai dengan penghasilannya, suami mempunyai kewajiban terhadap
istri:23
1) Memberi nafkah, kiswah dan tempat tinggal.
Seorang suami diberi beban untuk memberikan nafkah kepada istri
berupa sandang, pangan, papan dan pengobatan yang sesuai dengan
lingkungan, zaman dan kondisinya.
2) Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan
anak.
3) Biaya pendidikan bagi anak. 24
22
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat; Kajian Fikih Nikah Lengkap, cet.III.,
(Jakarta: Rajawali Press, 2013), h.160. 23
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat; Kajian Fikih Nikah Lengkap, cet.III.,
(Jakarta: Rajawali Press, 2013), h.161. 24
Yusuf Al Qardhawi, Panduan Fikih Perempuan, Penerjemah: Ghazali Mukri, Salma
Pustaka, h.152.
31
C. Hak dan Kewajiban Istri Terhadap Suami
1. Hak istri terhadap suami
Demikian pula kaum wanita wanita mempunyai hak atas suami mereka,
dan tidak akan berlanjut kehidupan suami istri di atas keadilan yang
diperintahkan oleh Allah, kecuali jika setiap suami dan istri memenuhi hak-hak
diantara mereka. Adapun hak-hak istri adalah sebagai berikut:25
a. Hak isteri yang bersifat materi meliputi:
1) Hak mengenai harta, yaitu mahar atau mas kawin dan nafkah.
Sebagaimana firman Allah surat An-Nisa ayat 4:
4) / 4: نساء) ال
Artinya:“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan[267].
kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya. (QS An Nisa: 4).
Makna kata an nihlah dalam ayat di atas, adalah pemberian dan hadiah. Ia
bukan merupakan imbalan yang diberikan laki-laki karena boleh menikmati
perempuan, sebagaimana persepsi yang telah berkembang di sebagian
masyarakat. Sebenarnya dalam hukum sipil juga kita dapatkan bahwa perempuan
harus menyerahkan sebagian hartanya kepada laki-laki. Namun fitrah Allah telah
25
Abu Musa Abdurrahim, Kitab Cinta Berjalan. cet.I, (Jakarta: Gema Insani, 2011),
h.233.
32
menjadikan perempuan sebagai pihak menerima, bukan pihak yang harus
memberi.26
Penganut Mazhab Hanafi menetapkan batas minimal mahar adalah
sepuluh dirham. Sementara penganut Mazhab Maliki menetapkan tiga dirham,
tapi penetapan ini tidak mendasar pada dalil yang layak dijadikan sebagai
landasan, tidak pula hujjah yang dapat diperhitungkan.27
Mazhab hanafi
berpendapat bahwasanya tidak ada ketentuan syariat terkait besaran nafkah, dan
bahwasanya suami berkewajiban memenuhi kebutuhan istri secukupnya yang
terdiri dari makanan, lauk-pauk, daging, sayur-mayur, buah, minyal, mentega,
dan semua yang dikonsumsi untuk menopang hidup sesuai dengan ketentuan
yang berlaku secara umum, dan bahwasanya itu berbeda-beda sesuai dengan
perbedaan tempat, zaman, dan keadaan. Mereka berpendapat bahwa besaran
nafkah yang ditanggung suami disesuaikan dengan kondisi suami dari segi
kelapangan atau kesulitan, terlepas bagaimanapun keadaan istri.28
Berbeda dengan pendapat mazhab Syafi’i mengenai besaran nafkah
mengaitkan penetapan besaran nafkah dengan batas kecukupan. Mereka
mengatakan, besaran nafkah ditetapkan berdasarkan ketentuan syariat. Meskipun
26
Yusuf Al Qardawi, Panduan Fiqh Perempuan, cet I, (Yogyakarta: Salma Pustaka,
2004), h.151. 27
Raden Nugraha, “Istri Memberi Nafkah Keluarga dalam Perspektif Hukum Islam,”
(Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009),h.23 28
As- Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 3, cet.II, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011), h.
436.
33
demikian, mereka sepakat dengan mazhab Hanafi dalam mempertimbangkan
keadaan suami dari segi kelapangan atau kesulitan, dan bahwasanya suami yang
mengalami kondisi lapang, yaitu yang mampu memberikan nafkah dengan harta
dan penghasilannya, harus menafkahi sebanyak dua mud setiap hari (satu mud
kurang lebih setara dengan 543 gram). Sedangkan orang yang mengalami
kesulitan, yaitu yang tidak mampu memberikan nafkah dengan harta tidak pula
dengan penghasilan, harus menafkahi sebanyak satu mud setiap hari. Adapun
yang berada dalam kondisi pertengahan, maka dia harus menafkahi sebanyak
satu setengah mud. Sebagai dasarnya mereka berhujjah dengan Firman Allah
swt.,
65) / 7: االقط) ال
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberikan nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya.” (QS Ath-Thalâq : 7)
Mereka mengatakan, terdapat perbedaan antara orang yang memeliki
kelapangan rezeki dengan orang yang mengalami kesulitan, dan masing-masing
dari keduanya dibebani kewajiban sesuai dengan keadaannya namun tidak
34
dijelaskan besarannya. Dengan demikian, penetapan besaran nafkah ditentukan
melalui ijtihad29
b. Hak-Hak istri yang bersifat non materi
1) Hak mendapatkan perlakuan yang baik dari suami
Sebagaimana Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 19:
19) / 4: نساء) ال
Artinya : “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (Q.S. An-Nisa:
19)
Kewajiban isteri terhadap suami tidak berdasarkan pradigma lama dimana
posisi wanita lemah sehingga bisa diperlakukan sewenang-wenang oleh pria
(suami). Sebaiknya cara melihat wanita tetap berdasarkan pada pengakuan atas
harkat dan martabat wanita yang mulia, selaras dengan hak-hak yang harus
diterima dari suaminya, kewajiban istri pun tidak terlepas dari upaya yang
bersangkutan mendukung terciptanya kehidupan keluarga yang sakinah,
mawaddah, wa rahmah.30
Adapun tujuan dari hak dan kewajiban suami istri
adalah suami istri dapat menegakkan rumah tangga yang merupakan sendi dasar
29
As- Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 3, cet.II, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011), h. 437. 30
Hasbi Indra, Potret Wanita Sholehah, cet.III., (Jakarta: Penamadani, 2004), h.188.
35
dari susunan masyarakat, oleh karena itu suami istri wajib untuk saling
mencintai, saling menghormati, saling setia.31
2) Agar suami menjaga dan memelihara istrinya
Maksudnya ialah emnjaga kehormatan istri, tidak menyia-nyiakan, agar
selalu melaksankan perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya.
Sebagaimana Firman Allah dalam surat At-Tahrim ayat 6:
... 6) / 28: تحرىن) ال
Artinya : “Hai orang-orang yangberiman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka”. (QS At-Tahrim: 6).
3) Sabar dan kuat menghadapi masalah
Wanita hanyalah manusia biasa yang bisa saja baik dan jahat, benar dan
salah. Karena itu, suami harus sabar dan kuat menghadapi masalah dalam rangka
menjaga keutuhan hidup suami istri agar tidak hancur. Laki-laki muslim sejati
adalah yang bijaksana dan menerima kenyataan atas apa yang dikhayalkan,
sehingga akal sehatnya lebih dikedepankan dari perasannya. Mampu menahan
dan mengendalikan emosional tatkala perasaannya merasa tidak simpati kepada
sikap istrinya. Hal itu demi melanjutkan kehidupan rumah tangga sebagai respon
terhadap firman Allah dalam surat An-nisa ayat 19:
31
Wibowo Turnady, “Hak dan Kewajiban Istri”, artikel diakses pada 9 April 2016, jam
15.03 dari http://www.jurnalhukum.com/hak-dan-kewajiban-suami-istri/.
36
19) / 4: نساء) ال
Artinya : “Dan bergaul lah dengan mereka (istri) dengan cara yang
patut,Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka
sabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
(QS An-Nisa: 19).
2. Kewajiban Istri Terhadap Suami
Di antara beberapa kewajiban seorang istri terhadap suami adalah sebagai
berikut:32
1) Hormat dan patuh kepada suami dalam batas-batas yang ditentukan oleh
norma agama dan susila.
Sebagaimana Firman Allah di dalam surat An-Nisa [4] ayat 34:
34) / 4: نساء) ال
Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki)
atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-
laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu
Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan
32
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat; Kajian Fikih Nikah Lengkap, cet.III.,
(Jakarta: Rajawali Press, 2013), h.161.
37
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS An-
Nisa: 34).
Kewajiban istri terhadap suami yaitu bersikap taat dan patuh terhadap
suami dalam segala sesuatunya selama tidak merupakan hal yang dilarang Allah,
memelihara kepentingan suami berkaitan dengan kehormatan dirinya,
menghindari dari segala sesuatu yang akan menyakiti hati suami seperti bersikap
angkuh, menampakkan wajah cemberut atau penampilan buruk lainnya. Tetapi
kewajiban yang paling penting (hakiki) yang harus dijalankan dengan baik oleh
seorang istri adalah melayani dan mematuhi suaminya dalam hal yang
berhubungan dengan sebuah “kede33
katan keluarga antara suami dan istri,
sehingga suami benar-benar terhibur dan hatinya selalu bahagia memiliki istri
yang dapat dipertanggung jawabkan.”
Adapun kewajiban istri terhadap suami dalam persoalan nafkah batin
yaitu jika suami memperintahkan istri untuk segera mendatangi suaminya jika
suaminya sedang membutuhkannya. Dari Thalq bin Ali bahwasanya Rasulullah
SAW bersabda:
33
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2004), h.185.
38
Artinya: “Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk berhubungan
badan, lalu si istri menolak sehingga malam itu suaminya
jengkel terhadapnya, maka si istri dilaknat oleh para malaikat
hingga menjelang pagi.'" (HR. Muslim)
2) Mengatur dan mengurus rumah tangga, menjaga keselamatan dan mewujudkan
kesejahteraan keluarga.
Sebagaimana Firman Allah dalam surat Adz-Dzāriyāt ayat 29:
Artinya : “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (QS. Adz-
Dzāriyāt: 29).
Islam telah menyadari bahwa membina rumah tangga merupakan
kesepakatan dua belah pihak antara suami dan istri, oleh karena itu segala
sesuatunya harus dimusyawarahkan bersama. Termasuk pula dalam hal ini
adalah tata cara pembagian kerja rumah tangga. Pembagian kerja yang
bagaimana yang harus dilakukan agar suami dan istri bisa mencapai ketentraman
dalam rumah tangga harus dimusyawarhkan bersama. Kesepakatan harus dibuat
agar tidak ada satu pihak yang dirugikan. Dengan menyadari bahwa perkawinan
bertujuan untuk mencapau ketentraman kedua belah pihak yang menjalaninya,
39
maka tidaklah mungkin ini dicapai apabila pembagian kerja dalam rumah tangga
tidak adil.34
3) Memelihara dan mendidik anak sebagai amanah Allah
Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-Kahfi ayat 46:
46) / 18: كھف) ال
Artinya : “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan.” (QS.
Al-Kahfi: 46).
Dari ayat di atas menjelaskan bahwa wanita mempunyai peranan yang
penting dalam melahirkan umat terbaik, wanita harus menjadi istri yang baik, ibu
yang baik dan sekolah yang baik. Betapa banyak wanita baik di umat ini yang
telah dilahirkan ke dunia ini oleh keberadaan para ibu yang kompeten, yaitu para
ibu yang mendidik dan mengajari anak-anaknya. Tidak diragukan lagi, andaikan
umat ini ingin bangkit, sebagaimana kebangkitan sebelumnya, dan ingin kembali
menempati kedudukannya yang dengan itu akan dimuliakan Allah, maka yang
pertama-tama adalah hendaknya memperbaiki didikan pertama, menerapkan
adab-adab Islam dan mengajarkan ilmu-ilmunya, sehingga dengan begitu,
seorang ibu betul-betul menjadi sekolah, sebagaimana yang telah diungkapkan
oleh Ibrahim rahimahullah: “Ibu adalah sekolah, jika engkau mempersiapkannya
34
Istiadah,“Membangun Bahtera Keluarga yang Kokoh, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama), h.36.
40
maka ia akan mempersiapkan generasi yang bermoral baik.”35
Pengaruh
perempuan dalam keluarga tidak terbatasi hanya untuk mendidik anaknya, tetapi
termasuk juga pengaruh yangia miliki atas kehidupan laki-laki. Pengaruh ini
sungguh nyata, dan merefleksikan perhatian perempuan yang memfasilitasi
langkah suami mereka untuk meraih kesuksesan dalam kerja, atau telah
mendampingi suami mereka saat istirahat dan bersantai dari tuntutan kerja. 36
4) Memelihara dan menjaga kehormatan serta melindungi harta benda keluarga
Sebagimana Firman Allah dalam surat Al-Ahzāb [33] ayat 35:
...
35) / 33: ذحاا ) اال
Artinya : “…Laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya,
laki-laki dan perempuan yang menyebut (nama) Allah, Allah
telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang
besar.” (QS. Al-Ahzāb: 35).
5) Menerima dan menghormati pemberian suami serta mencukupkan nafkah yang
diberikannya dengan baik, hemat dan bijaksana. 37
Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-Furqān [25] ayat 67:
67) / 25: فرقان) ال
Artinya : “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka
berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, tapi adalah
(pembelanjaan itu) tengah tengah antara yang demikian. (QS.
Al-Furqān: 67).
35 Muhammad Albar, Wanita Karir dalam Timbangan Islam, cert. 1, (Jakarta: Daar Al-
Muslim, Beirut), h.61. 36
Qasim Amin, Sejarah Penindasan Perempuan, cet. I, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003),
h.127 37
Departemen Agama RI, Modul Pembinaan Keluarga Sakinah, (Jakarta: Dirjen Bimas
dan Haji, 2000), h.145.
41
6) Pandai mengambil hati suami melalui makanan dan minuman;
7) Mengatur rumah dengan baik;
8) Menghormati keluarga suami;
9) Bersikap sopan, penuh senyum kepada suami;
10) Tidak mempersulit suami, dan selalu mendorong suami untuk maju;
11) Rida dan syukur terhadap apa yang diberikan suami;
12) Selalu berhemat dan suka menabung;
13) Selalu berhias, bersolek untuk atau dihadapan suami;
14) Jangan selalu cemburu buta.38
38
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat; Kajian Fikih Nikah Lengkap, cet.III.,
(Jakarta: Rajawali Press, 2013), h.162.
42
BAB III
KETENTUAN NAFKAH DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DI INDONESIA DAN TUNISIA
A. Nafkah Dalam Perspektif Hukum Islam
Secara etimologis (bahasa), nafkah adalah nama untuk sesuatu yang
dinafkahkan seseorang kepada orang lain. Secara terminologis (istilah), syariat
adalah suatu yang dibutuhkan oleh istri, seperti; makanan, pakaian, perobatan,
pelayanan, dan segala sesuatu yang ia butuhkan menurut adat.1
Dalam perkawinan, wanita ditempatkan pada kedudukan yang terhormat,
dia diperlukan sebagai manusia yang mempunyai hak-hak kemanusiaan yang
sempurna. Selain mempunyai hak mahar, dia juga mempunyai hak nafkah yang
pada dasarnya adalah menjadi tanggung jawab suami.
Legitimasi Nash tentang hukum nafkah tercantum dalam beberapa ayat al-
Quran yang menjadi dasar legitimasi hukum nafkah secara umum, khususnya
dalam kewajiban-kewajiban yang timbul sebagai akibat terjadinya hubungan
perkawinan.2
1 Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, (Surakarta: Era
Intermedia, 2005), h.262. 2 Muhammad Thalib, Ketentuan Nafkah Istri dan Anak, cet.I, (Bandung: Irsyad Baitus
Salam, 2000) h.19.
43
Firman Allah SWT:
… ...
233) / 2: بقرة) ال
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada
Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah:
233)
Ayat tersebut menegaskan bahwa ayah diwajibkan menanggung segala
kebutuhan makan dan pakaian ibu yang menyusui anaknya sekalipun telah
diceraikan oleh ayah anaknya. Jika terhadap mantan istri yang masih menyusui
anaknya seoarng laki-laki diwajibkan menafkahinya, apalagi terhadap perempuan
yang masih jadi istrinya, sudah tentu lebih patut untuk diberi nafkah.3
Syarat mewajibkan suami memberi nafkah kepada istri tidak lain karena
berdasarkan akad nikah yang sah, istri telah menjadi pihak yang berkaitan erat
dengan suaminya dan terikat dengan hak suaminya lantaran suami berhak untuk
menikmati kesenangan dirinya, wajib mematuhi suaminya, tinggal di rumahnya,
mengurus rumahnya, mengasuh bayi, dan mendidik anak. Suami pun memiliki
kewajiban yang sama. Suami harus memenuhi kebutuhan istrinya dan memberi
nafkah kepadanya selama masih terjalin hubungan suami istri di antara keduanya
dan tidak ada pembangkangan atau sebab lain yang menghalangi pemberian
nafkah sebagai pengalaman terhadap ketentuan dasar secara umum, yaitu setiap
3 Muhammad Thalib, Ketentuan Nafkah Istri dan Anak, cet.I, (Bandung: Irsyad Baitus
Salam, 2000) h.21.
44
orang yang tertahan lantaran hak dan manfaat orang lain, maka nafkahnya
ditanggug oleh orang yang menyebabkan tertahan.4
Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Daud,
dan Nasai, dari Aisyah ra. Bahwasanya Hindun berkata, “wahai Rasulullah, Abu
Sufyan adalah sosok orang yang kikir. Dia tidak memberiku nafkah yang
mencukupiku dan juga anakku selain yang aku ambil darinya tanpa
sepengetahuannya? Beliau kemudian bersabda, “Ambilah yang mencukupimu dan
juga anakmu dengan sepatutnya.”
Dalam hadis ini terdapat indikasi dalil bahwa besaran nafkah disesuaikan
dengan kebutuhan istri dengan tetap mengacu pada asas kepatutan. Maksudnya,
sesuai dengan kepatutan yang umum yang diketahui diantara masing-masing
pihak dengan pertimbangan bahwa itulah yang terjadi secara umum dalam
keluarganya. Hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan zaman, tempat,
keadaan, dan masing-masing orang yang bersangkutan. Penulis ar-Raudhah an-
Nadiyah berpendapat bahwa kecukupan dalam hal makanan mencakup berbagai
macam makanan yang dibutuhkan istri, termasuk buah-buahan, dan pada
perayaan-perayaan hari besar kebutuhan itu semakin bertambah, termasuk
berbagai kebutuhan yang biasa dikonsumsi secara berkelanjutan, dimana jika
tidak terpenuhi maka akan menimbulkan dampak buruk, kebosanan atau kondisi
yang tidak stabil. Lebih lanjut penulis buku tersebut mengatakan, termasuk di
4 As-Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 3, cet.II, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011), h. 429-
430.
45
dalamnya adalah obat-obatan dan yang semacamnya. Inilah yang disinyalir dalam
firman Allah swt, “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan secara ma‟ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya.” (Al-Baqarah [2]: 233)
Ini merupakan ketentuan terkait salah satu bentuk nafkah yang berarti
bahwa orang yang menanggung nafkah harus memenihi kebutuhan pihak yang
ditanggung nafkahnya, dan makanan mencakup apa-apa yang telah kami
sebetukan sebelumnya.5
Pendapat yang dikemukakan oleh pengikut Mazhab Syafi’i dan sebagian
penganut Mazhab Hambali berkenaan dengan pertimbangan terhadap kondisi
suami dari segi materi saat kewajiban nafkah ditetapkan kepadanya, dan pendapat
inilah yang diterapkan sekarang di instansi-instansi pengadilan sebagai
implementasi terhadap butir 16 dari undang-undang nomor 25 tahun 1929 yang
berbunyi: Besaran nafkah istri ditanggung suaminya ditetapkan sesuai dengan
keadaan suami dari segi kelapangan dan kesulitan, apapun keadaan istri. Inilah
yang mungkin lebih adil, karena mempertemukan kesesuaian makna dalam dua
ayat yang telah disebutkan sebelum ini.6
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum nafkah memang harus
wajib ditunaikan oleh seorang suami terhadap istrinya. Hal tersebut juga telah
diatur dalam beberapa ayat al-Qur’an dan Hadis yang menjadi dasar legitimasi
5 As-Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 3, cet.II, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011), h. 434-
435. 6 As-Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 3, cet.II, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011), h. 439.
46
hukum nafkah. Syarat mewajbkan suami memberi nafkah kepada istri tidak lain
karena berdasarkan akad nikah yang sah. Dalam besaran nafkah pula para ulama
mazhab berbeda-beda pendapat tentang batasan atau ketentuan batas minimal
nafkah yang harus dikeluarkan suami.
B. Nafkah Suami terhadap Isteri di Indonesia
1. Sekilas Gambaran Umum Hukum Islam di Indonesia
Indonesia adalah salah satu negara yang secara konstitusional tidak
menyatakan diri sebagai negara Islam tetapi mayoritas penduduknya menganut
agama Islam. Secara sosiologis, hukum Islam dapat dikatakan telah berlaku di
Indonesia, sebab sebagian hukum Islam telah hidup dan berkembang di
masyarakat sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam, kemudian berlaku pada masa
penjajahan kolonial Belanda hingga zaman kemerdekaan. Secara yuridis,
sebagian hukum Islam telah dilaksanakan. Namun, perlu diketahui penerapan
prinsip berangsur-angsur dalam pengundangan hukum Islam di Indonesia.7
Para ahli sejarah telah banyak mengemukakan pendapatnya tentang kapan
tepatnya Islam datang ke Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa Islam datang
ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah (abad ke 7 Masehi), namun ada yang
mengatakan bahwa Islam datang ke Indonesia sekitar abad keempat Hijriyah.
Dugaan bahwa Islam telah datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah,
7 Supriyadi, Dedi dan Mustofa. Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam,
(Bandung: Pustaka Al-Fikriis,2009), h.183-184.
47
karena pada tahun 650 M, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin
Affan sudah ada orang Islam yang datang ke Sumatera.8
Sedang masuknya Islam ke tanah Jawa diperkirakan sudah terjadi pada
sekitar abad ke 10 M, melalui kota-kota pesisir. Islam telah masuk ke tanah Jawa
jauh sebelum kedatangan Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419
M, dan dimakamkan di Gresik. Hal ini antara lain dibuktikan oleh adanya makam
seorang wanita Islam di kota Gresik yang bernama Fatimah binti Maimun bin
Hibbatallah yang berangka tahun 475/485 H, bertepatan dengan tahun 1082/1102
M. Sebelum raja Kediri terakhir Kertajaya (1200-1222) sudah ada pedagang-
pedagang Islam yang datang ke tanah Jawa, bahkan dalam permulaan abad ke 13
agama Islam sudah tersiar luas di kalangan rakyat, hanya belum ada perhatian
para ahli sejarah, oleh karena rajanya masih beragama Hindu dan Budha.
Dari uraian singkat di atas, Nampak bahwa Islam datang ke kepulauan
Nusantara dan dipeluk sebagai agama oleh bangsa Indonesia, telah terjadi jauh
sebelum penjajah Belanda datang ke negeri ini, pada sekitar abad ke 15 M.9
Islam telah diterima oleh bangsa Indonesia jauh sebelum penjajah datang
ke Indonesia. Waktu penjajah Belanda datang di Indonesia (Hindia Belanda),
mereka menyaksikan kenyataan bahwa di Hindia Belanda sudah ada hukum
yang berlaku, yaitu agama yang dianut oleh penduduk Hindia Belanda, seperti
8 Suparman Usman, Hukum Islam; Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta, 2001), h. 105. 9 Suparman Usman, Hukum Islam; Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta, 2001), h. 106.
48
Islam. Hindu, Budha, dan Nasrani, di samping hukum adat bangsa Indonesia
(adatrecht).10
2. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia
Hukum keluarga dalam pengertian sempit yakni hukum perkawinan dan
perceraian, terdapat dalam berbagai kitab fiqih di suatu negara. Pada umumnya
kitab-kitab itu adalah hasil ijtihad pada mujâhid dari berbagai tingkatan untuk
memenuhi kebutuhan hukum masyarakat muslim pada masanya.
Sejarah hukum perkawinan di Indonesia, dapat ditegaskan pada
keyakinan atas hukum perkawinan sebagai bagian integral dari hukum islam.
Jadi, hukum islam mulai berlaku dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia,
bermula dari sifat hukum Islam yang melekat pada setiap diri seorang muslim.
Hukum Islam ada ketika pertama kali orang Islam menginjakkan kakinya di
Indonesia11
Dalam catatan sejarah di Indonesia, isu pembaharuan hukum keluarga
telah muncul sejak lama, sebelum kemerdakaan diraih. Pada momen Kongress
Perempuan 1928, isu ini muncul karena banyaknya kasus yang menimpa kaum
perempuan selama dalam kehidupan perkawinan. Seperti, terjadinya perkawinan
di bawah umur, kawin paksa, poligami, talak yang sewenang-wenang dan
mengabaikan hak-hak perempuan dan sebagainya.
10
Suparman Usman, Hukum Islam; Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta, 2001), h. 111. 11
Yayan Sopyan, Islam Negara; Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, cet.I, (Tangerang Selatan: UIN SyarifHidayatullah, 2011) h. 78.
49
Pada tahun 1937, pemerintah kolonial Belanda pernah menyusun
rancangan undang-undang perkawinan modern yang disebut ordonansi
pencatatan perkawinan. Langkah ini diambil atas desakan kuat dari organisasi-
organisasi perempuan yang ada pada saat itu.12
Dalam pembaharuan hukum Islam, Indonesia cenderung menempuh jalan
kompromi antara syariah dan hukum sekuler. Hukum keluarga di Indonesia
dalam upaya perumusannya selain mengacu pada kitab-kitab fikih klasik, fikih
modern, himpunan fatwa, keputusan pengadilan (yurisprudensi), juga ditempuh
wawancara kepada seluruh ulama Indonesia. Pengambilan terhadap hukum barat
sekuler memang tidak secara langsung dapat dibuktikan, tetapi karena di
Indonesia berjalan cukup lama hukum perdata (Burgelijk Wetbook) yang
diterjemahkan menjadi kitab undang-undang hukum perdata, hukum acara
perdata (reglemen Indonesia yang diperbarui) warisan Belanda, dan hukum-
hukum lain, berdasarkan asas konkordansi, adanya pengaruh hukum Barat yang
tidak bisa dinaifkan begitu saja. Seperti halnya dalam bidang pencatatan
perkawinan, kewarisan, perwakafan, wasiat, dan sebagainya. Upaya akomodasi
atau rekonsiliasi hukum keluarga Islam agar sesuai dengan perkembangan zaman
demi menciptakan ketertiban masyarakat menjadi salah satu bukti dari keunikan
tersebut.13
12
Eko Setiawan, “Dinamika Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia”
Volume 6 No.2, (Desember 2014): h.142. 13
Eko Setiawan, “Dinamika Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia”
Volume 6 No.2, (Desember 2014): h.140.
50
Hukum Perdata Islam dilihat dari aspek keberadaannya dalam perumusan
dasar negara yang dilakukan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia), yaitu para pemimpin Islam berusaha memulihkan dan
mendudukkan hukum Islam dalam negara Indonesia merdeka. Dalam tahap awal,
usaha para pemimpin dimaksud tidak sia-sia, yaitu lahirnya Piagam Jakarta pada
tanggal 22 Juni 1945 telah disepakati oleh pendiri negara bahwa negara berdasar
kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para
pemeluknya.14
Masa awal penjajahan Belanda, hukum perkawinan yang berlaku adalah
hukum perkawinan Islam khususnya yang berasal dari kitab-kitab fikih berbahasa
Arab atau dari kitab UU yang dibuat oleh beberapa kerajaan Islam. Kemudian
Belanda menterjemahkannya ke dalam bahasa Belanda. Compendium Freijer
adalah kitab hukum yang berisi aturan-aturan hukum Perkawinan dan Hukum
Waris menurut Islam.15
Apabila hukum perdata Islam dan kekuatan hukumnya dianalisis secara
ketatanegaraan di Negara Republik Indonesia, dapat dikatakan bahwa asasnya
adalah Pancasila dan UUD 1945. Kemudian dijabarkan melalui Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama dan beberapa instruksi Pemerintah; demikian juga
14
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.1-
2. 15
Yayan Sopyan, Islam Negara; Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, cet.I., (Tangerang Selatan: UIN SyarifHidayatullah, 2011) h. 79.
51
munculnya Kompilasi Hukum Islam yang menjadi pedoman bagi para hakim di
peradilan khusus (Peradilan Agama) di Indonesia. Hal ini merupakan pancaran
dari norma hukum yang tertuang dalam Pasal 29 UUD 1945. Oleh karena itu,
pemberlakuan dan ketentuan hukum Islam secara ketatanegaraan di Negara
Republik Indonesia adalah Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945.16
3. Nafkah Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Yang dimaksud dengan nafkah di sini adalah pemenuhan kebutuhan istri
berupa makanan, tempat tinggal, pelayanan, dan pengobatan meskipun istri
berkecukupan. Nafkah merupakan kewajiban (yang harus ditunaikan oleh suami)
dengan ketentuan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’.
Syarat-syarat wajib nafkah Perkawinan yang telah memenuhi rukun dan
syarat menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban. Artinya istri berhak
mendapatkan nafkah sesuai dengan ketentuan ayat dan hadist sebagaimana telah
penulis kemukakan sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa setelah terjadinya
akad nikah istri berhak mendapatkan nafkah.
Undang-undang maupun KHI telah merumuskan secarajelas mengenai
tujuan perkawinan yaitu untuk membina keluarga yang bahagia, kekal dan abadi
berdasarkan tuntunan syari’at dari Tuhan Yang Maha Esa. Jika tujuan
perkawinan tersebut ingin terwujud, sudah barang tentu tergantung pada
kesungguhan dari kedua pihak, baik itu dari suami maupun istri. Oleh karena itu
16
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.4.
52
perkawinan tidak hanya dipandang sebagai media untuk merealisasikan syari’at
Allah agar mendapatkan kebaikan di dunia dan diakhirat.17
Adapun dalam hal nafkah atas kewajiban suami terhadap istri mencakup
kewajiban materi berupa kebendaan dan kewajiban non materi yang bukan
berupa kebendaan18
secara khusus Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun
1974 telah merinci sebagai berikut:
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Bab VI
Pasal 30
Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga
yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum
(3) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga
17
Amir Syarifuddim, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media,
2007), h.159. 18
Slamet Abidin, Fiqh Munakahat I, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 157.
53
Pasal 32
(1) Sumai istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini
ditentukan oleh suami istri bersama
Pasal 33
Suami Istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada pengadilan.
4. Nafkah Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Selain merujuk Undang-undang Perkawinan, kewajiban suami dalam
rumah tangga juga terdapat dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang
mengatakan bahwa setiap orang yang dilarang menelantarkan dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada tersebut.
54
Sanksi bagi orang yang menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah
tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) UU PDKRT
berdasarkan berdasarkan pasal 49 huruf a UU PDKRT adalah pidana penjara
paling lama (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.0000
C. Nafkah Suami terhadap isteri di Tunisia
1. Sekilas tentang Negara Tunisia
Tunisia adalah sebuah negara yang terletak di pantai utara Afrika, di
sebelah selatan berbatasan dengan Libya, sebelah barat dengan Al-Jazair, dan di
sebelah utara dan timur dengan laut Mediteranian. Tunisia adalah Negara
berbentuk republik, Al-Jumhuriyyah at-Tunisiyyah, dengan ibukota Tunis. Motto
negaranya berbunyi: Hurriyyah, Nizham, „Adalah (Kebebasan, Ketertiban,
Keadilan), dan lagu kebangsaannya berjudul: Himat al-Hima. Sebagian
wilayahnya (40%) berupa padang pasir dan selebihnya merupakan tanah subur.
Pada 2012 penduduknya diperkirakan berjumlah 11 juta jiwa dengan usia
harapan hidup 75 tahun. Mata uangnya bernama Dinar Tunisia dan jumlah
income percapita Tunisia pada tahun 2012 adalah 9.774 dolar Amerika pertahun.
Sebagian terbesar penduduk Tunisia (98%) beretnik Arab dan beragama Islam,
selebihnya (1%) beragama Kristen dan lainnya (1%) Yahudi dan lain-lain.
Bahasa resminya adalah bahasa Arab dan banyak sekali orang (terutama yang
berpendidikan) berkemampuan Prancis.
55
Negara Tunisia terdiri dari 23 provinsi. Pada awalnya, negara Tunisia
merupakan provinsi otonom pada masa pemerintahan Turki Utsmani semenjak
tahun 1574. Pada tahun 1880-an, negara ini menjadi anggota persemakmuran
Perancis berdasarkan perjanjian La Marsa.19
Langkah nasionalisme bangsa Tunisia dipelopori gerakan kalangan elit
intelektual yang dikenal dengan Young Tunisians, yang bertujuan mengasimilasi
(memadukan) peradaban Perancis sampai akhirnya mereka dapat mengatur
negara mereka sendiri. Mereka menggerakkan semangat egalitarisme, namun
Perancis tidak menanggapinya secara serius. Langkah yang lebih serius dalam
gerakan dasar nasionalis yang terjadi hanya sesaat sebelum dan sesudah Perang
Dunia I dalam sebuah gerakan yang dipimpin oleh Abd al-Aziz Thaalbi. Langkah
ketiga datang pada tahun 1930-an saat seorang pengacara muda, Habib
Bourguiba, memutuskan hubungan dengan DESTOUR PARTY dan
memproklamasikan Neo-Destour. Prancis mengakui otonomi Tunisia pada tahun
1955 dan kemerdekaannya pada Maret 1956. Pada tahun 1957 negara Tunisia
memilih Bourguiba sebagai presiden pertamanya.20
Tunisia memperoleh kemerdekaan dari Prancis pada 20 Maret 1956. Pada
25 Juli 1957 Tunisia menyatakan diri sebagai negara Republik. Presiden pertama
Tunisia ialah Habib Bourguiba (dalam bahasa Arab: Abu Ruqaibah) yang juga
19
Aulia Rahmat, “Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia”, Al
Muqaranah Volume 5, no.1 (2014): h.30. 20
Muhammad Zaki Saleh, “Kriminalisasi dalam Hukum Keluarga di Negara-negara
Muslim”, Al-Risalah, Volume 11, no.1 (Mei 2011): h.335.
56
adalah pejuang dan pendiri Republik Tunisia.21
Undang-undang dasarnya
disahkan pada tanggal 1 Juni 1959, yang secara tegas dalam pasal 1 menyebutkan
bahwa Tunisia adalah Negara yang berdasarkan agama Islam. Bahkan lebih jauh
lagi, dalam pasal 38 dinyatakan bahwa presiden Republik Tunisia haruslah
seorang muslim.22
2. Sistem Politik dan Pemerintahan di Tunisia
Tunisia adalah negara republik yang menganut sistem hukum civil law.
Hal ini dipengaruhi karena Tunisia pernah dijajah oleh Perancis dari tahun 1881-
1883M.23
Bentuk negara serta pola struktur kekuasaan politik dan pemerintahan
di Tunisia tercemin dengan jelas dalam konstitusinya yang pertama kali
diberlakukan pada tanggal 1 Juni 1959. Pada perkembangan selanjutnya,
Konstitusi yang berisi 10 Bab dan 74 Pasal ini telah mengalami beberapa proses
amandemen yang kesemuanya terjadi pasca lengsernya Buorguiba dari kursi
kepresidenan. Amandemen pertama disahkan tanggal 12 Juli 1988, selanjutnya
berturut-turut tanggal 29 Juni 1991, tanggal 1 juni 2002, tanggal 13 Mei 2003
dan tanggal 28 Juli 2008.
Sebelum tahun 2002, badan legislatif Tunisia menganut sistem Uni-
kameral, dimana 214 kursi anggota parlemen hanya diduduki oleh perwakilan
21
M. Atho Mudzhar, Esai-esai Sejarah Sosial Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2014), h.50 22
Aulia Rahmat, “Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia”, Al
Muqaranah Volume 5, no.1 (2014): h.32. 23
http//:www.indfoprof.co.il/country/tunis2a.htm diakses pada tanggal 15 Juli
2015.
57
dari partai politik yang ikut serta dalam pemilu. Kekuasaan eksekutif berada di
tangan Presiden yang bertanggung jawab dalam semua penyelenggaraan
pemerintahan dan penetapan dasar-dasar fundamental pembangunan. Presiden
juga berperan sebagai kepala negara sebagaimana tercermin dalam fungsi
diplomatik dan posisinya sebagai pimpinan tertinggi militer.
Walaupun sepanjang sejarah berdirinya Republik Tunisia hanya memiliki
dua Presiden, Konstitusi menyebutkan bahwa jabatan tertinggi eksekutif ini
hanya dipegang selama lima tahun dan melalui proses pemilihan umum.
Seperti disebutkan di atas, Konstitusi Tunisia memberikan kekuasaan
yang begitu luas kepada Presiden yang jauh melampaui kekuasaan legislatif dan
judikatif. Kekuasaan Judikatif dipimpin oleh sebuah lembaga mirip Mahkamah
Agung yang bernama Superior Council of Magistrature yang diduduki oleh
hakim-hakim agung. Fungsi kehakiman di Tunisia menjalankan dua jenis
peradilan, umum (Court of Accounts) dan Administratif (Administrative
Tribunal), dan terdiri dari tiga level tingkatan berupa District Court, Court of
Appeal dan Highest Court (Cour de Cassation). Di atas kertas, kekuasaan
judikatif ini berdiri secara independent. Tetapi karena status hakim-hakim yang
dilantik dan diberhentikan oleh pemerintah, independensi mereka sangat rentan
terhadap “petunjuk” pemerintah terutama dalam kasus-kasus politis yang
sensitive.24
24
Ridwan Rosdiawan, “Revolusi Menuju Demokratisasi: Pengalaman Tunisia”, artikel
diakses pada 15 Juli 2016 dari http://www.academia.edu/5728612/Demokratisasi_di_tunisia.
58
3. Sejarah Hukum Keluarga di Tunisia
Untuk mengikuti perkembangan pemikiran mengenai hukum keluarga
di Tunisia, diperlukan pemahaman latar belakang mengenai sejarah Tunisia itu
sendiri sebagai bangsa dan Negara.25
Sejak masuk dan berkembangnya Islam di
Tunisia, mayoritas penduduknya menganut mazhab Maliki. Namun demikian,
Tunisia juga dipengaruhi oleh mazhab Hanafi sebagai konsekuensi dari posisinya
yang merupakan salah satu daerah otonom dinasti Usmaniyah (sejak tahun 1574).
Ketika bangsa Prancis menguasai Tunisia, mereka memberikan otoritas
berimbang kepada hakim-hakim kedua mazhab tersebut untuk menyelesaikan
kasus-kasus perkawinan, perceraian, warisan, dan kepemilikan tanah.
Dalam perjalanannya, secara perlahan-lahan mereka juga mengadopsi
prinsip-prinsip hukum Prancis. Sehingga output system hukum yang dihasilkan
merupakan perpaduan sinergis antara prinsip-prinsip hukum Islam (Maliki dan
Hanafi) dan prinsip-prinsip hukum sipil Prancis (French civil law).
Dimulai pada abad ke 20 negara negara muslim mulai memperbaharui
hukum keluargsanya dan beranjak dari hukum yang klasik kepada hukum yang
progresif, setidaknya ada 11 pokok persoalan yang dibahas pada pembaharuan
hukum keluarga di dunia Islam. Diantaranya, batas usia nikah, pengaturan hak
25
M. Atho Mudzhar, Esai-esai Sejarah Sosial Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2014), h.50.
59
asuh anak, pencatatan perkawinan, mahar, poligami, nafkah istri, perceraian di
pengadilan, hak-hak setelah perceraian.26
Pada tanggal 20 Maret 1956, Tunisia resmi merdeka.27
Setelah merdeka
pada 20 Maret 1956, Tunisia segera menyusun berbagai pembaharuan dan
kodifikasi hukum berdasarkan mazhab Maliki dan Hanafi. Upaya pembaharuan
ini didasarkan pada penafsiran liberal terhadap Syariah, terutama yang berkaitan
dengan hukum keluarga. Lahirlah Majallat al-Ahwal asy-Syakhshiyyah yang
kontroversial.28
Oleh banyak pengamat, hukum keluarga tersebut dianggap cukup
maju dalam mengiterprestasikan syariat Islam, terutama dalam membela hak-hak
perempuan, namun bagi kalangan tertentu hukum keluarga itu dianggap
menyalahi bahkan menentang syariat Islam.29
Hukum keluarga Tunisia diatur dengan UU Status Pribadi (Law of
Personal Status) tahun 1956 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1957. UU ini
dimaksudkan menggabungkan pendapat-pendapat hukum keluarga Mazhab
Maliki yang telah berkembang di sana sejak lama dan mazhab Hanafi yang
dibawa oleh penguasa Kerajaan Turki Usmani. UU itu berawal dari draft yang
dipersiapkan oleh sebuah kelompok ahli hukum pada sekitar tahun 1956 yang
mencoba membuat perbandingan antara pendapat mazhab Maliki dan Hanafi
26 M Atho Muzhar, Islam dan Islamic Law in Indonesia a Socio-Historical Approach.
(Jakarta,:Office of Religious Research and Development, and Training Ministry of Religious
Affairs Republic of Indonesia,2013), h. 158-159. 27
Aulia Rahmat, “Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia”, Al
Muqaranah Volume 5, no.1 (2014): h.33 28
Muhammad Zaki Saleh, “Kriminalisasi dalam Hukum Keluarga di Negara-negara
Muslim”, Al-Risalah, Volume 11, no.1 (Mei 2011): h.336. 29
Dedi Supriyadi, Perbandingan Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam, h. 108.
60
yang kemudian diberi judul Laihat Majallat Alhkam Al-Shariyyah. Setelah
Tunisia merdeka, kemudian dibentuk sebuah komite yang dipimpin oleh Syaikh
al-Islam Tunisia, Muhammad Juait, dan dibantu oleh Rektor Universitas
Zaytunah, Tahir bin Asyur, untuk mempersiapkan draft UU Hukum Keluarga.
Bahan yang digunakan komite itu ialah naskah Laihat yang disebutkan di atas
dan berbagai UU Hukum Keluarga yang telah diberlakukan di Turki (1917),
Mesir (1929), Yordan (1951), dan Syria (1953). Hasil akhir komite itu kemudian
diserahkan kepada pemerintah dan disahkan menjadi UU dengan judul Majallat
Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah (The Code of Personal Status) tahun 1956 yang berisi
170 Pasal.30
Menurut catatan Tahir Mahmood di dalam bukunya yang berjudul
“Family Law Reform in The Muslim World”, The Code of Personal Law Tunisia
1956 (Majallat al-Ahwal al-Syakhsiyyah) yang berisikan 170 pasal dengan 10
buku yang mulai berlaku ke seluruh Tunisia pada tanggal 1 Januari 1957 tersebut
telah mengalami kodifikasi dan perubahan (amandemen) beberapa kali yakni
melalui Undang-Undang Nomor 70 Tahun 1958, Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1962, Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1964, Undang-Undang Nomor
77 Tahun 1969 dan terakhir mengalami amandemen pada tahun 1981 melalui
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981.31
30
M. Atho Mudzhar, Esai-esai Sejarah Sosial Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2014), h.53. 31
Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, (New Delhi: Bombay,
1972), h.99
61
Sedangkan menurut catatan Lynn Welchman di dalam bukunya “Women
And Muslim Family Laws In Arab States: A Comparative Overview Of Textual
Development And Advocacy”. Undang-Undang Tunisia terakhir kali di
amandemen yaitu pada tahun 1993 melalui Undang-Undang Nomor 74 Tahun
1993. “Law No. 74/1993 of 12 July 1993 amending certain provisions of the
code of personal status”.32
Meskipun undang-undang hukum keluarga yang dikeluarkan oleh
Presiden Bourguiba menuai kritik dan kecaman, tetapi pembaharuan hukum
keluarga tidak sempat membuat goncang sosial dan politik di negara tersebut.
Atas saran dan dukungan beberapa elit ulama pembaharu, Bourguiba tetap
memberlakukan hukum keluarga tersebut. Ini tidak menutup kenyataan bahwa
beberapa ulama negara Timur Tengah terus melakukan kritik dan tetap
menyuarakan penolakan terhadap hukum ini. Bahkan, mereka menjadikannya
sebagai tolok ukur serta menggolongkan Tunisia sebagai negara sekuler yang
anti Islam padahal dalam konstitusinya Islam merupakan dasar negara.33
Ada sejumlah alasan pembentukan dan pemberlakuan UU baru Tunisia
tersebut, sebagai berikut:
a. Untuk menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi dan Maliki;
32
Lynn Welchman, Woman and Muslim Family Laws in Arab States: A Comparative
Overview of Textual Development and Advocacy, (Amsterdam: Amsterdam University Press,
2007),h. 160 33
Dedi Supriyadi, Perbandingan Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam, h. 108.
62
b. Untuk penyatuan pengadilan menjadi pengadilan nasional, sehingga tidak
ada lagi perbedaan antara pengadilan agama dan pengadilan negeri;
c. Untuk membentuk undang-undang modern, sebagai referensi para hakim;
d. Untuk menyatukan pandangan masyarakat secara keseluruhan yang
diakibatkan adanya perbedaan dari mazhab klasik;
e. Untuk memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai dengan tuntutan
modernitas.34
4. Nafkah Menurut Majallah al-Ahwal al-Syakhshiyah
Dalam perkawinan, wanita ditempatkan pada kedudukan yang terhormat,
dia diperlukan sebagai manusia yang mempunyai hak-hak kemanusiaan yang
sempurna. Selain mempunyai hak mahar, dia juga mempunyai hak nafkah yang
pada dasarnya adalah menjadi tanggung jawab suami. Dalam kasus Negara Syiria
dan Tunisia, Undang-undang Hukum Keluarga kedua negara ini telah
melakukan begitu mendetail masalah nafkah ini. Lingkup pembiayaan nafkah
tidak hanya terbatas pada sandang, pangan, papan melainkan juga meliputi biaya-
biaya pengobatan. Bahkan perbedaan agama istri tidak menjadi penghalang akan
wajibnya nafkah ini. Selain itu juga istri mempunyai hak untuk menolak untuk
mendampingi suami jika suami mengabaikan kewajiban ini. Lebih ekstrim lagi
bahwa pengabdian kewajiban ini bisa menjadi salah satu alasan istri untuk
memohon perceraian.
34
Muhammad Zaki saleh, “Kriminalisasi dalam Hukum Keluarga di Negara-negara
Muslim”, Al-Risalah, Volume 11, no.1 (Mei 2011): h.337.
63
Dalam masalah ini, kedua negara ini telah melakukan terobosan yang
signifikan dalam memberikan wewenang kepada istri untuk menuntut hak
nafkahnya yang begitu luas.35
Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia menerapkan prinsip-prinsip
mazhab Maliki dalam hal hak isteri untuk mendapatkan nafkah dari suaminya.
Hal ini secara rinci diatur dalam Undang-Undang Hukum Keluarga Tunisia yaitu
Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyah di buku ke empat tentang nafkah wajib
tertuang pada pasal 37 sampai pasal 53. Adapun inti sari dari pasal yang tertuang
dalam Undang-Undang Hukum Keluarga Tunisia tersebut telah penulis rangkum
dan rincikan sebagai berikut:
Pasal 37
Nafkah menjadi wajib karena nikah, orang tua dan janji
Pasal 38
Suami sudah diwajibkan memberi nafkah jika sudah terjadi dukhul dan selama
Iddah
Pasal 39
Suami yang miskin tidak diwajibkan memberi nafkah tetapi diberi kompensasi
selama 2 bulan tenggang waktunya. Jika dalam waktu kompensasi tidak dapat
memberikan nafkah juga, maka hakim akan menceraikan.
35
Masnun Tahir, “Hak-hak Perempuan dalam Hukum Keluarga Syiria dan Tunisia”, Al
Mawarid Edisi XVIII (2008): h.220.
64
Pasal 40
Suami yang tidak berpendapatan dalam waktu 1 bulan, istri dapat mengajukan
gugat cerai.
Pasal 41
Isteri diizinkan membelanjakan harta pribadinya yang digunakan sebagai biaya
hidup dengan maksud untuk diminta ganti dari suaminya.
Pasal 43
Yang mempunyai hak nafkah yaitu diantaranya:
a) Orang tua dan kakek nenek dari kedua belah pihak
b) Keturunan; anak, cucu
Pasal 44
Anak yang sudah mampu, wajib menafkahi orang tua maupun kakek/nenek yang
tidak mampu
Pasal 46
Orang tua wajib memberi nafkah kepada anak hingga dewasa atau sampai selesai
masa belajar mereka atau tidak sampai umur 25 tahun. Untuk anak perempuan
mempunyai hak nafkah lebih lama selama tidak mempunyai sumber pendapatan
atau tidak ditanggung suami (belum nikah). Untuk anak cacat mempunyai hak
nafkah hingga seumur hidup.
Pasal 48
Bagi istri yang tidak bisa menyusui, suami diwajibkan membayar biaya susu
Pasal 50
65
Nafkah terdiri dari: baju, tempat tinggal dan yang dianggap perlu menurut adat
dan kebiasaan.
Pasal 52
Adapun besarnya jumlah nafkah, tergantung kemampuan suami (pembayar) dan
status isteri, serta biaya hidup yang wajar (kepantasan).
Pasal 53
Setiap suami diperintahkan untuk wajib membayar pemeliharaan (nafkah). Jika
suami menghindari kewajibannya untuk memberi nafkah selama 1 bulan atau
batas kompensasi yang telah ditentukan, maka dikenakan hukuman penjara 3-12
bulan dan denda sebanyak 100-1000 dinar.36
Fiqh mazhab Maliki yang banyak dijadikan sumber rumusan undang-
undang Tunisia menyatakan bahwa nafkah wajib dibayar suami jika suami telah
terjadi dukhul dan suami telah balig. Pandangan ini berbeda dengan pendapat
Abu Hanifah dan salah satu pendapat Imam Syafi’i yang tidak menyaratkan
suami harus balig.37
Kesimpulannya dari paparan di atas ialah mengenai ketentuan nafkah
yang telah diatur dalam undang-undang perkawinan di Indonesia maupun Tunisia
mengalami perbedaan dan persamaan dalam peraturan perundang-undangannya.
Dapat dilihat bahwa dalam peraturan perundang-undangannya di Tunisia maupun
36
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries; History, Text and Comparative
Analysis, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987),h.158-159.
37
Atho Muzdhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press,
2003). h.91
66
di Indonesia sama-sama mengatur ketentuan nafkah dikarenakan lebih
melindungi hak-hak dan meningkatkan derajat kaum perempuan.
67
BAB IV
KOMPARASI PERUNDANG-UNDANGAN HUKUM KELUARGA DI
INDONESIA DAN TUNISA
A. Ketentuan Nafkah dalam Hukum Keluarga di Indonesia dan Tunisia
Berdasarkan pemaparan materi yang telah disampaikan pada bab
sebelumnya, dalam sebuah pernikahan, ada beberapa hal yang harus dijalani oleh
pasangan yang menjalani pernikahan itu, diantaranya adalah keharusan masing-
masing pasangan untuk menjalani kewajiban dan hak mereka dalam rumah
tangga.1
Salah satu dari kewajiban itu adalah masalah nafkah yang harus
dipenuhi oleh seorang suami kepada istrinya. Mengenai hak kewajiban suami
istri dalam persoalan nafkah, perundang-undangan perkawinan di Indonesia telah
mengatur secara tuntas dalam UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia dalam
satu bab yaitu Bab VI yang materinya secara esensial telah sejalan dengan apa
yang digariskan dengan dalam kitab-kitab fiqh2
serta diatur pula dalam
Kompilasi Hukum Islam sebagai penyempurna perundang-undangan hukum
Islam pada Bab XII Pasal 77 sampai 84 dan diatur pula pada Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Sedangkan di negara Tunisia yang merupakan salah satu negara yang melakukan
unifikasi hukum. Pada undang-undang hukum keluarganya di Tunisia yaitu Code
1 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.I., (Jakarta: Prenada
Media, 2006), h.159. 2 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, Edisi Pertama (Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2006), h.159.
68
Of Personal Status (Majallat al-ahwal Al-Syakshsiyah) dalam hal nafkah wajib
telah diatur secara rinci yang tertuang pada buku ke empat pasal 37-53.
B. Persamaan Peraturan Perundangan tentang Nafkah di Indonesia dan
Tunisia
1. Wajib nafkah
Al-Qur’an meletakkan tanggung jawab kepada suami untuk memberi
nafkah kepada istrinya, meskipun istri mempunyai kekayaan dan pendapatan. Istri
tidak diwajibkan memberi suaminya apa yang didapatkan atas jerihnya sendiri.
Adapun sebab wajib nafkah atas suami kepada istri adalah, karena dengan
selesainya akad yang sah, wanita menjadi terikat dengan hak suaminya.3
Dalam hukum di Indonesia maupun Tunisia kewajiban memberi nafkah
sama-sama berada pada tanggungan suami, seperti yang tertera dalam pasal 34
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
Dikuatkan lagi pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) khusus bagi yang
beragama Islam, kewajiban suami terkait dengan nafkah diatur dalam Pasal 80
ayat (4).
Dalam pasal itu diatur bahwa sesuai dengan penghasilannya, suami
menanggung:
3 Masnun Tahir, “Hak-hak Perempuan dalam Hukum Keluarga Syiria dan Tunisia”, Al
Mawarid Edisi XVIII (2008): h.211.
69
a. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi isteri;
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c. Biaya pendidikan bagi anak.
Sedangkan menurut perundang-undangan hukum keluarga di Tunisia
pun tidak jauh berbeda dengan Indonesia seperti yang tertera dalam pasal 23
Undang-undang Hukum keluarga Tunisia sebagaimana telah diubah menjadi
Undang-undang No.74 Tahun 1993
Tunisia 1956 as amended 1993;
[Article 23: Each spouse shall treat the other well and avoid injuring
the other. The spouses shall fulfill their conjugal duties according to
custom and usage. They shall cooperate in running family affairs and
bringing up the children and managing their affairs including their
education, travel and financial affairs. The husband, as head of the
family, shall provide for the maintenance of his spouse and the children
according to his means and their circumstances. The wife shall
contribute to maintaining the family if she has means.]
Inti sari dari maksud pasal di atas adalah: “Setiap pasangan harus
memperlakukan dengan baik dan menghindari dari perbuatan melukai satu sama
lain. Pasangan juga harus memenuhi tugas-tugas suami-istri sesuai dengan adat
dan kebiasaan yang telah ditentukan sebelumnya. Pasangan pula harus
menjalankan urusan rumah tangga dan membesarkan anak-anak termasuk
mengelola kewajiban pendidikannya, perjalanannya dan urusan keuangannya.
Suami yang menjadi kepala rumah tangga pula harus menyediakan
pemeliharaannya terhadap pasangannya (istri) serta anak-anaknya sesuai dengan
cara dan keadaan mereka. Peran istri pula harus berkontribusi untuk kerjasama
70
pada suami untuk melindungi keluarga dan mengatur segala sarana prasarana jika
ada”.
Disambung lagi pada Hukum Keluarga Tunisia yaitu Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1981 yang menjelaskan mengenai sebab wajib nafkah dan mulai
berlakunya kewajiban nafkah itu ditanggung oleh suami.
Pasal 37: nafkah menjadi wajib dikarenakan 3 alasan: yaitu karena pernikahan,
orang tua dan janji.
Pasal 38: Mulai berlakunya kewajiban suami untuk memberi nafkah itu jika
sudah terjadi dukhul dan selama Iddah
Pasal 50: Adapun tanggungan kewajiban nafkah yang diberikan kepada suami itu
terdiri dari: baju, tempat tinggal dan yang dianggap perlu menurut adat dan
kebiasaan.
2. Besaran Jumlah Nafkah
Nafkah suami terhadap istri selama perkawinannya itu dibangun atas akad
yang sah, kewajiban ini sudah menjadi kesepakatan maupun sudah menjadi
ketentuan para ulama maupun Al-Qur’an maupun Hadist dan aturan positif yang
mengaturnya. Untuk persoalan besaran nafkah negara Tunisia maupun Indonesia
dalam aturan perundang-undangan perkawinan nya sama-sama tidak membatasi
atau meminimalkan jumlah besaran nafkah yang harus dikeluarkan oleh suami.
Di Negara Indonesia yang terkenal sebagai negara muslim terbesar, dalam
hal besaran nafkah telah diatur secara khusus dalam perundang-undangan hukum
71
keluarganya yaitu pada Kompilasi Hukum Islam dan UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
Pada UU Nomor 1 Tahun 1974 Bab VI tentang Hak dan Kewajiban Suami Istri
Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
Pada Kompilasi Hukum Islam diatur pada Bab XII tentang Hak dan Kewajiban
Suami Istri Pasal 80 ayat (2)
(2) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
Ketentuan perundang-undangan di Indonesia di atas menyebutkan bahwa pada
asasnya jumlah nafkah yang berhak diterima istri dan jumlah sandang dan pangan
yang wajib ditunaikan tidak ditentukan dan disesuaikan dengan kemampuan
suami.
Adapun tentang besaran jumlah nafkah di Tunisia ini juga tergantung pada
kemampuan suami dan status istri serta biaya hidup yang wajar. Hal tersebut
sesuai dengan aturan perundang-undangan Hukum Keluarganya yang bernama
Majallat al-Ahwal al-Syakshshiyah (1956-1981) pada Undang-undang Nomor 7
Tahun 1981 pasal 52.
Dari uraian di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa besaran jumlah
nafkah antara kedua negara tersebut sama-sama tidak ditentukan dengan aturan
72
hukum keluarga masing-masing negara. Walaupun antara Indonesia dan Tunisia
berbeda mazhab yang dianut.
Dalam Al-Qur’an pula dijelaskan dalam surah At-Thalaq ayat 7 tentang
besaran nafkah yang harus diterima oleh istri :
7) / 65: طاالق) ال
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang disempitkan rezekinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.
Allah tidak memikulkan kepada seseorang melainkan (sekedar)
apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS.Ath-
Thalâq: 7)
Dari ayat di atas hendaknya dipahami, bahwa nafkah yang harus diterima,
jangan ditargetkan atau ditentukan jumlahnya, tetapi disesuaikan dengan
pemasukan (income), sehingga tidak menjadi beban bagi suami.4
C. Perbedaan Peraturan Perundangan tentang Nafkah di Indonesia dan
Tunisia
Hal Ketentuan
Indonesia Tunisia
Mazhab Syafi’i Maliki
Kompensasi Tidak ditemukan adanya Pasal 40 Undang-undang
4 M. Ali Hasan, Pedoman HIdup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Prenada
Media, 2003), h.215
73
pemberian nafkah ketentuan yang tegas
dalam hal kompensasi
untuk suami yang tidak
dapat memberi nafkah,
hanya saja dalam
Kompilasi Hukum Islam
(KHI) menjelaskan bahwa
istri dapat mengajukan
cerai gugat jika suami
tidak memberi nafkah
maksimal 2 tahun secara
berturut-turut yang sesuai
dengan KHI Bab XVI
Pasal 116.
Nomor 7 Tahun 1981
menyebutkan bahwa jika
suami meninggalkan istri
dan tidak memberikan
hak istri (nafkah,
perawatan,dsb) maka
pengadilan memberikan
waktu 1 bulan tenggang
waktunya, jika dalam
waktu tersebut suami
tidak kembali dan
menunaikan
kewajibannya dalam
jangka waktu yang
ditentukan maka
pernikahan akan
dibubarkan oleh
Pengadilan setelah istri
membuktikan tuduhan
tersebut dengan sumpah.
Berlakunya nafkah Undang-undang Nomor 1 Pasal 38 Undang-undang
74
Tahun 1974 tidak
mengatur secara rinci
tentang mulai berlakunya
suami untuk memberi
nafkah
Nomor 7 Tahun 1981
menyatakan bahwa
kewajiban suami
memberi nafkah tersebut
dimulai setelah dukhul
dan selama iddah.
Yang mempunyai hak
nafkah
Tidak diatur Pasal 34 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1981
menjelaskan bahwa yang
mempnyai hak nafkah:
a. Orang tua dan kakek-
nenek dari kedua
belah pihak
b. Keturunan: anak, cucu
Sanksi bagi suami
yang tidak
memberikan nafkah
Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 belum ada
ketentuan mengenai sanksi
terhadap suami yang tidak
memberi nafkah keluarga,
hanya saja pada Kompilasi
Hukum Islam menjelaskan
Pasal 53 A Undang-
undang Nomor 7 Tahun
1981 menjelaskan bahwa
setiap orang (suami)
diperintahkan untuk
membayar pemeliharaan
(nafkah) berdasarkan
75
bahwa istri dapat
mengajukan gugatan cerai
ke Pengadilan dalam
perkara Fasakh yang
dikarenakan suami tidak
memberi nafkah. Lebih
jauh lagi dalam UU
PDKRT Pasal 49 huruf a
menyatakan sanksi bagi
suami yang menelantarkan
orang lain dalam lingkup
rumah tangganya adalah
pidana paling lama (tiga)
tahun atau denda paling
banyak Rp.15.000.000,-.
pasal 31 dan 32 yang
menghindari
kewajibannya selama 1
bulan tenggang
waktunya, maka
dikenakan hukuman
penjara selama 3-12
bulan dan denda 100-
1000 dinar.
D. Analisisa Penulis
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa aturan nafkah di Tunisia
maupun Indonesia lebih progresif dalam persoalan nafkah, negara Tunisia
melakukan terobosan yang signifikan dalam memberikan wewenang kepada istri
untuk menuntut hak nafkahnya yang begitu luas. Hal ini berdasarkan adanya
76
peraturan mengenai sanksi yang diberikan kepada suami yang melalaikan
kewajibannya sebagai kepala rumah tangga yang diwajibkan untuk memberi
nafkah keluarga dalam Undang-undang hukum keluarganya tersebut. Hal
tersebut juga merupakan perbedaan yang mencolok apabila kita membandingkan
dengan peraturan hukum perkawinan di Indonesia, karena didalam peraturan
perundangan perkawinan di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tidak diatur secara tegas dan menjelaskan tentang sanksi bagi suami yang
lalai dalam kewajibannya untuk memberi nafkah, hanya saja pada Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga pasal 9 yang mengatakan bahwa setiap orang dilarang menelantarkan
dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya
atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan.
Sanksi bagi orang yang menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah
tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) UU PDKRT
berdasarkan berdasarkan pasal 49 huruf a UU PDKRT adalah pidana penjara
paling lama (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.0000
Di indonesia juga mengatur aturan tentang pengajuan cerai gugat ke
Pengadilan yang diajukan oleh istri jika ditinggal suami selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
yang diluar kemampuannya yang otomatis suami tidak memberikan nafkahnya
77
kepada keluarga. Hal tersebut sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam Bab XVI
Pasal 116 butir a.
Dari uraian di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa langkah
kedudukan wanita di dua negara muslim Indonesia dan Tunisia di atas telah
menunjukan suatu keberanjakan Hukum Keluarga dari aturan doktrin hukum
Islam konvensional. Pemberlakuan sanksi hukum tersebut menjadi salah satu ciri
dalam Undang-undang hukum keluarga di negara-negara modern.
Salah satu langkah reformasi Hukum Keluarga di negara-negara Muslim
modern adalah meninjau kembali sejumlah ketentuan hukum Islam klasik yang
dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi sosial dan tuntutan perubahan
zaman.5 Jadi, terobosan yang dilakukan Tunisia maupun Indonesia tampaknya tak
lebih dari revolusi interprestasi “fikih baru” dari sebuah negara yang sedang
gencar-gencarnya mengadakan pembaharuan di berbagai dimensi kehidupan
masyarakatnya.
Demikian pula halnya dalam masalah nafkah keluarga. Aturan fikih
konvensional yang menjadi referensi selama berabad-abad kini ditinjau kembali
dan digantikan dengan produk legislasi yang tampaknya diarahkan pada upaya
mengangkat status wanita dan merespon tuntutan dan perkembangan zaman.
Beberapa faktor penyebab negara Tunisia mengalami perbedaan dalam
hukum keluarganya dengan Hukum Keluarga Indonesia adalah karena adanya
5 Dinda Khairul Ummah, “ Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di dunia
Islam (Studi Komparatif Undang-Undang Hukum Keluarga Indonesia-Tunisia),” (Skripsi S1
Fakultas Syariah dan hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2014), h.61..
78
perbedaan mazhab yang dianut. Mazhab yang dianut oleh negara Tunisia adalah
mazhab Maliki dan Hanafi yang menjadi faktor terpenting dalam pembentukan
hukum keluarganya. Imam Malik itu sendiri merupakan seorang mujtahid dan
ahli ibadah sebagaimana halnya imam Abu Hanifah. Dalam menetapkan
hukumnya dan ketika memberi fatwa, beliau sangat berhati-hati.6 Fikih mazhab
Maliki yang banyak dijadikan rujukan dalam regulasi ini menyatakan bahwa
nafkah wajib dibayar suami jika telah terjadi dukhul dan suami telah baligh.7 Hal
tersebut pula tertuang dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 pasal 38 yang
menyebutkan bahwa Suami sudah diwajibkan memberi nafkah jika sudah terjadi
dukhul dan selama Iddah. Pasal 39 menyebutkan bahwa suami yang miskin tidak
diwajibkan memberi nafkah tetapi diberi kompensasi selama 2 bulan tenggang
waktunya. Jika dalam waktu kompensasi tidak dapat memberikan nafkah juga,
maka hakim akan menceraikan. Lebih jauh lagi, pada pasal 53 menyebutkan
bahwa setiap suami diperintahkan untuk wajib membayar pemeliharaan (nafkah).
Jika suami menghindari kewajibannya untuk memberi nafkah selama 1 bulan atau
batas kompensasi yang telah ditentukan, maka dikenakan hukuman penjara 3-12
bulan dan denda sebanyak 100-1000 dinar. Hal tersebut dapat dinyatakan bahwa
negara Tunisia ini cenderung lebih menghargai perempuan dan anak-anak serta
melindungi istrinya.
6
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar :Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos,
1997),h.104. 7 Aulia Rahmat, “Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia”, Al
Muqaranah, Volume V, no.1 (2014): h 45.
79
Sedangkan di Indonesia yang mayoritas penduduknya menganut Mazhab
Syari’i dan sekaligus dalam pembentukan undang-undang perkawinannya
Indonesia memakai pemikiran dan pendapat dari Mazhab Syafi’i yang memiliki
pengaruh kuat dalam pembentukan undang-undangnya. Diantaranya pada
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 33 ayat (1) menyebutkan bahwa
suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Hal ini sesuai dengan pendapat
Mazhab Syafi’i yang menyatakan bahwa tentang persoalan nafkah ini tidak
mengaitkan pendapat besaran nafkah dengan batas kecukupan. Beliau
mengatakan nafkah ditetapkan berdasarkan ketentuan syarat. Lebih jauh lagi di
Indonesia diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang mengatakan bahwa
setiap orang yang dilarang menelantarkan dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada
tersebut. Lalu Indonesia pun juga memberlakukan sanksi hukum terhadap suami
yang tidak memberi nafkah. Sanksi bagi suami yang menelantarkan orang lain
dalam ruang lingkup rumah tangganya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
9 ayat (1) UU PDKRT tertuang dalam pasal 49 huruf a UU PDKRT adalah
pidana paling lama (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.000,-.
Adapun faktor lain yang dapat berpengaruh membandingkan antara
peraturan undang-undang perkawinan di Indonesia maupun Tunisia yaitu faktor
80
politik. Sejak tahun 1883 Tunisia berada dalam dominasi politik Perancis, yang
ternyata berpengaruh pula dalam bidang hukum. Selama periode ini, budaya
hukum di Tunisia mengalami pem-Barat-an secara luas. Hukum perdata, hukum
pidana, hukum dagang, dan hukum acara berlaku sampai tahun 1956
menggambarkan secara jelas prinsip-prinsip yurisprudensial dan hukum perdata
Perancis.8
Dalam perjalanannya, secara perlahan-lahan Tunisia mengadopsi
prinsip-prinsip Prancis, sehingga output sistem hukum yang dihasilkan
merupakan perpaduan sinergis antara prinsip-prinsip hukum Islam (Maliki dan
Hanafi) dan prinsip-prinsip hukum sipil Prancis (French civil law).
Sedangkan di Indonesia saat ini berlaku berbagai sistem hukum yang
diantaranya hukum adat, hukum Islam serta hukum Barat (civil law dan common
law). Hal ini menunjukkan bahwasanya di Indonesia di dalam tata peraturan
perundang-undangannya Indonesia dipengaruhi oleh faktor sejarah (historis) dan
perkembangan masyarakatnya baik pada masa setelah kemerdekaan maupun
sebelum kemerdekaan yakni pada masa penjajahan kolonial. Walaupun Indonesia
tidak menyatakan diri sebagai Negara Islam namun di Indonesia peraturan hukum
keluarganya berpedoman terhadap hukum islam Khususnya dalam hukum
keluarga Islam di Indonesia. Sebab hukum Islam telah hidup dan berkembang di
Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka dan secara yuridis formisnya hukum
8
M Atho Mudzhar dan Khairudin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern:Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fikih, (Jakarta:
Ciputat Press, 2003), h.85.
81
Islam secara berangsur-angsur prinsipnya telah diterapkan di dalam tata peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
Dengan paparan yang telah dijelaskan di atas dapat menunjukkan
bahwasanya dengan diberlakukannya sanksi pada peraturan perundang-undangan
hukum keluarga di Tunisia pada masalah nafkah ini menjadi bagian inheren
dalam reformasi Hukum Keluarga di negeri-negeri Muslim modern. Hal tersebut
juga menjadi bagian dari implementasi semangat dasar Hukum Keluarga negara-
negara muslim yaitu melindungi hak-hak dan meningkatkan derajat kaum
perempuan. Pengaruh pemikiran yang digagas sejumlah tokoh cendikiawan
Muslim modern dalam mereinterpretasi sumber ajaran/nash menjadi sisi lain
bagaimana negara dapat memberlakukan suatu ketentuan keluar dari konsepsi
khazanah klasik. Hubungan antara ijtihad yang mengusung prinsip maslahat dan
siyasah syariah menjadi trend penting dalam pembangungan dan penerapan
Hukum Islam di negeri Muslim modern ini.
81
BAB V
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya
maka sebagai akhir ini dari bagian penelitian ini penulis akan menarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Nafkah menurut aturan hukum di Indonesia telah menjadi kewajiban
suami terhadap hak istri. Hal tersebut diatur dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Bab VI Pasal 30-34. Serta diatur pula dalam
Kompilasi Hukum Islam pada Bab XII Pasal 77-84. Sama halnya
dengan Negara Tunisia juga telah mengatur ketentuan tentang
kewajiban nafkah bagi suami. Aturan tentang nafkah di Indonesia
dalam ketentuan yang telah diatur di Tunisia terlihat berbeda, dalam
aturannya negara Tunisia sedikit lebih maju dan tegas atas undang-
undang perkawinannya yang tertuang dalam Majallat al-ahwal Al-
Syakshiyah Pasal 37-53.
2. Dalam ketentuan-ketentuan hukum persoalan kewajiban suami dalam
memberikan nafkah keluarga di Indonesia dengan tunisia itu terdapat
persamaan. Pertama, antara Indonesia dengan Tunisia dalam undang-
undang hukum keluarganya sama-sama mengatur wajib nafkah yang
menjadi tanggungan suami. Kedua, dalam hal besaran jumlah nafkah
negara Indonesia maupun Tunisia sama-sama tidak mengatur batasan
nominal yang dibebankan suami untuk memberi nafkahnya kepada
82
keluarga. Adapun perbedaannya antara aturan tentang nafkah di
Indonesia maupun Tunisia yaitu diantaranya, pertama, dalam hal
mazhabnya yang sangat berpengaruh pula dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan hukum keluarga. Di indonesia
menganut mazhab Syafi’i sedangkan di Tunisia Maliki. Kedua, dalam
hal kompensasi nafkah. Di Indonesia tidak ditemukan adanya ketentuan
tegas dalam hal kompensasi untuk suami yang tidak dapat memberi
nafkah, sedangkan di Tunisia diatur jelas dalam Pasal 40 Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1981. Ketiga, prihal berlakunya nafkah mulai
menjadi tanggung jawab suami di perundang-undangan hukum keluarga
Indonesia tidak mengatur secara rinci hal tersebut tetapi di Indonesia
dalam pasal 38 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 diatur. Keempat,
di Indonesia tidak adanya penjelasan aturan tentang yang mempunyai
hak nafkah. Sedangkan di Tunisia diatur dalam Pasal 34 Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1981. Kelima, dalam aturan sanksi yang tidak
dapat memberikan nafkah di perundangan hukum perkawinan di
Indonesia sama sekali tidak ada aturan sanksi yang mengatur, hanya
saja jika dilihat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Pasal 9 ayat (1), serta
pemberlakuan sanksi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) tertuang dalam pasal 49 huruf a UU PDKRT. Sedangkan di Tunisia
selangkah lebih maju menjelaskan secara rinci aturan hukum
83
keluarganya yang tertuang pada Pasal 53 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1981.
B. Saran
Sebagai catatan akhir maka penulis akan memberikan saran:
1. Aturan perkawinan khususnya persoalan nafkah di Indonesia ini
diharapakan bisa menampung semua aspirasi berbagai pihak,
khususnya penetapan sanksi terhadap suami yang tidak memberi
nafkah haruslah berdasarkan kemaslahatan bagi istri.
2. Pengetahuan perbandingan hukum keluarga Islam ini sangat penting di
Indonesia karena seringkali kita memperdebatkan masalah yang di
negara lain sudah selesai, contohnya di Indonesia tidak ada hukuman
bagi suami yang tidak memberi nafkah keluarga sedangkan di Tunisia
sudah ada hukumannya.
3. Agar Indonesia segera meng-amandemen undang-undang hukum
keluarganya yang sejak tahun 1974 belum pernah diamandemen
sedangkan peraturan mengenai Hukum Keluarga di Tunisia sudah
mengalami 6 kali amandemen. Agar peraturan hukum keluarga
khususnya nafkah lebih sesuai dengan perkembangan zaman.
4. Masalah sanksi hukuman bagi suami yang melalaikan kewajibannya
memberi nafkah di negara Tunisia haruslah diadopsi oleh Indonesia
karena selama ini Undang-undang Hukum keluarga di Indonesia hanya
sebatas pedoman karena tidak ada hukuman bagi orang yang
84
melanggar. Karena hal tersebut juga dapat membantu meningkatkan
derajat kaum perempan dan melindungi hak-haknya.
85
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahim, Abu Musa. Kitab Cinta Berjalan. cet.I. Jakarta: Gema Insani 2011.
Abidin, Slamet. Fiqh Munakahat. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Ahmad, Zubair. Relasi Suami Isteri Dalam Islam. Jakarta: Pusat Studi Wanita
UIN Syahid Jakarta, 2000.
Al qardhawi, Yusuf. Panduan Fikih Perempuan. Penerjemah: Ghazali Mukri,
Salma Pustaka.
Albar, Muhammad Wanita Karir dalam Timbangan Islam I, cet.1, Jakarta: Daar
Al-Muslim, Beirut.
Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Amin, Qasim. Sejarah Penindasan Perempuan, cet. I. Yogyakarta: IRCiSoD,
2003.
Al Syafi’I, Abu Abdullah Muhammad bin Idris Al Mukhtasar Kitab Al Umm Fii
Al Fi: Ringkasan Kitab Al Umm. Penerjemah. Imam Rosadi. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2004.
Bakry, Sidi Nazar. Kunci Keutuhan Rumah Tangga, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu
Jaya, 1993.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Departemen Agama RI, Modul Pembinaan Keluarga Sakinah. Jakarta: Dirjen
Bimas dan Haji, 2000.
Hasan, M. Ali. Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam. Jakarta: Prenada
Media, 2003.
Ibrahim, Johnmy. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:
Bayumedia, 2008.
Indra, Hasbi. Potret Wanita Sholehah, cet.III. Jakarta: Penamadani, 2004.
Istiadah. Membangun Bahtera Keluarga yang Kokoh, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Mahmood, Tahir. Family Law Reform in The Muslim World. New Delhi:
Bombay, 1972.
86
Mahmood, Tahir. Personal Law in Islamic Countries , First Edition. India: Times
Press, 1987.
Mahmood, Tahir. Personal Law in Islamic Countries; History, Text and
Comparative Analysis. New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987.
Manshur, Abd al-Qadri. Buku Pintar Fiqh Wanita, cet.1. Jakarta: Penerbit Zaman,
2009
Mathlub, Abdul Majid Mahmud Panduan Hukum Keluarga Sakinah. Surakarta:
Era Intermedia, 2005.
Mesraini, Membangun Keluarga Sakinah, cet.I. Jakarta: Makmur Abadi Press
(MA Press), 2010.
Mudzhar, M. Atho. Esai-esai Sejarah Sosial Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2014.
Muzdhar, M. Atho’ dan Khairuddin Nasution, ed., Hukum Keluarga di Dunia
Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari
Kitab-kitab Fikih, Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Muzhar, M Atho. Islam dan Islamic Law in Indonesia a Socio-Historical
Approach. Jakarta,: Office of Religious Research and Development, and
Training Ministry of Religious Affairs Republic of Indonesia, 2013).
Nasution, Khoirudin. Islam tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan
I) dilengkapi perbandingan undang-undang Negara muslim, Yogyakarta:
Tazzafa Academia, 2004
Nugraha, Raden. Istri Memberi Nafkah Keluarga dalam Perspektif Hukum Islam.
Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: PRENADA MEDIA, 2004.
Purwaka, Tommy Hendra. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas
Atma Jaya, 2007.
Rofiq, Ahmad Hukum Islam di Indonesia, Ed.1. Cet.6. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003.
Sabiq, Sayyid Fikih Sunnah, Penerjemah:Khairul Amru Harahap, Aisyah
Syaefuddin dan Masrukhin. cet.III. Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012.
Soemitro, Roni Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan Jarimetri. Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1990.
87
Sopyan, Yayan. Islam Negara (Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional), cet.II. Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia.
Supriyadi, Dedi dan Mustofa. Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam.
Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009.
Syarifudin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.I, Jakarta: Prenada
Media, 2006.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada
Media, 2007.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Edisi Pertama. Jakarta:
Kencana Prenadamedia, 2006.
Thalib, Muhammad. Ketentuan Nafkah Isteri dan Anak, cet I., Bandung: Irsyad
Baitus Salam, 2000.
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat; Kajian Fikih Nikah Lengkap,
cet.III, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Ummah, Dinda Khairul. Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di dunia
Islam (Studi Komparatif Undang-Undang Hukum Keluarga Indonesia-
Tunisia. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.
Usman, Suparman. Hukum Islam; Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam
dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta, 2001.
Yanggo, Huzaemah Tahido. Pengantar :Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos,
1997.
Yusuf, Ali. Fiqh Keluarga (Pedoman Berkeluarga dalam Islam). Jakarta: Amzah,
2010.
Zuhriah, Nurul. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan:Teori-Aplikas.
Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007.
Perundang-Undangan
Instruksi Presiden R.I No. 1 tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Perkawinan di Tunisia
88
Undang-undang Nomor 74 Tahun 1993 tentang Perkawinan di Tunisia
Sumber Internet
Rosdiawan, Ridwan. “Revolusi Menuju Demokratisasi: Pengalaman Tunisia”,
artikeldiaksespada15Juli2016darihttp://www.academia.edu/5728612/Dem
okratisasi_di_tunisia.
Turnady, Wibowo. “Hak dan Kewajiban Istri”, artikel diakses pada 9 April 2016,
jam 15.03 dari http://www.jurnalhukum.com/hak-dan-kewajiban-suami-
istri/.
Yusdani, “Pembaruan Hukum Keluarga di Dunia Muslim: Sejarah, Gerakan dan
Perbandingan”, artikel diakses pada 10 Februari 2016 dari
http://vantovich.blogspot.co.id/2009/02/pembaruan-hukum-keluarga-di-
dunia-muslim.html.
http//:www.indfoprof.co.il/country/tunis2a.htm diakses pada tanggal 15 Juli 2015.
Jurnal
Rahmat, Aulia. “Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia”, Al
Muqaranah, Volume V, no.1 (2014): h 45.
Saleh, Muhammad Zaki. “Kriminalisasi dalam Hukum Keluarga di Negara-
negara Muslim”, Al-Risalah, Volume 11, no.1 (Mei 2011): h.337.
Setiawan, Eko. “Dinamika Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia”
Volume 6 No.2, (Desember 2014): h.140.
Tahir, Masnun. “Hak-hak Perempuan dalam Hukum Keluarga Syiria dan
Tunisia”, Al Mawarid Edisi XVIII (2008): h.211.
Welchman, Lynn. Woman and Muslim Family Laws in Arab States: A
Comparative Overview of Textual Development and Advocacy,
(Amsterdam: Amsterdam University Press, 2007),h. 160