PELAKSANAAN PEMBAYARAN NAFKAH IDDAH YANG … · 2014. 9. 14. · PELAKSANAAN . PEMBAYARAN NAFKAH...

166
PELAKSANAAN PEMBAYARAN NAFKAH IDDAH YANG DIAKIBATKAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA CIKARANG TAHUN 2013 Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Syarat memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: ROHMAD HERI TRICAHYO NIM : 109044100035 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM KONSENTRASI PERADILAN AGAMA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1435 H/ 2014 M

Transcript of PELAKSANAAN PEMBAYARAN NAFKAH IDDAH YANG … · 2014. 9. 14. · PELAKSANAAN . PEMBAYARAN NAFKAH...

  • PELAKSANAAN PEMBAYARAN NAFKAH IDDAH YANG

    DIAKIBATKAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA CIKARANG

    TAHUN 2013

    Skripsi

    Diajukan Untuk Memenuhi Syarat memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

    Oleh:

    ROHMAD HERI TRICAHYO

    NIM : 109044100035

    PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

    KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH

    J A K A R T A

    1435 H/ 2014 M

  • iii

  • iv

    LEMBAR PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa:

    1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang saya ajukan untuk memenuhi salah

    satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri

    (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.

    2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

    dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

    Hidayatulah Jakarta.

    3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil asli saya atau

    merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi

    yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.

  • v

    ABSTRAK

    ROHMAD HERI TRI CAHYO. 109044100035. Pelaksanaan Pembayaran

    Nafkah Iddah yang Diakibatkan Putusan Pengadilan Agama Cikarang. Peradilan

    Agama. Ahwal as-Syakhsiyyah. Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam

    Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2014. xi+ 98+ 80.

    Pasal 149, Bilamana perkawinan putus karena cerai talak maka bekas suami

    wajib: a) Memberikan mut`ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang

    atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al-dukhul; b) Memberi nafkah, maskan

    dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi

    talak ba`in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Banyak suami yang pergi

    begitu saja karena tidak mau membayar kewajiban nafkah iddah tersebut akibatnya

    putusan menjadi sia-sia. Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang dalam

    menentukan pembayaran nafkah iddah harus memberikan upaya dalam menjamin

    pelaksanaan pembayaran nafkah iddah yang diakibatkan putusan pengadilan tersebut

    agar putusan yang dikeluarkan memenuhi asas kepastian, kemanfaatan dan keadilan

    bagi pihak-pihak yang berperkara

    Tujuan penulisan penelitian ini adalah untuk menjelaskan apa pertimbangan

    hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Cikarang dalam

    memutuskan perkara nafkah iddah. Kemudian untuk menjelaskan bagaimana

    pelaksanaan putusan dan upaya Pengadilan Agama Cikarang untuk terlaksananya

    pembayaran nafkah iddah.

    Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

    deskriptif, dengan jenis penelitian kualitatif atau penelitian lapangan. Sumber data

    untuk mendeskripsikan masalah utama adalah umber data primer (penelitian

    lapangan) dan sumber data sekunder (studi kepustakaan).Teknik pengumpulan data

    dengan cara dokumentasi, wawancara, dan observasi. Metode analisis yang

    diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan Atas permasalahan yang dibahas adalah

    melalui Pendekatan kualitatif.

    Nafkah iddah adalah segala sesuatu yang diberikan oleh seorang suami

    kepada isteri yang telah diceraikannya untuk memenuhi kebutuhannya, baik itu

    berupa pakaian, makanan maupun tempat tinggal. Dasar hukum dalam penetapan

    nafkah iddah menggunakan pasal 149 (b) KHI, kemudian jumlah nafkah yang

    dikabulkan berdasarkan permintaan isteri dan kesanggupan pihak suami. Pelaksanaan

    putusan nafkah iddah dialakukan pada saat sidang ikrar talak. Upaya yang dilakukan

    Pengadilan Agama Cikarang dengan cara pendekatan persuasif dan diambil

    kesepakatan antara pihak yang berperkara.

    Kata kunci : Perceraian, Putusan, Iddah, Nafkah, Pelaksanaan.

    Pembimbing : Dr. Asmawi, MA

    DaftarPustaka : Tahun 1969 s.d Tahun 2014

  • vi

    KATA PENGANTAR

    بسم اهلل الرحمن الرحيم

    Segala puji bagi Allah Swt yang telah mencurahkan Rahmat dan Karunia-Nya

    sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan

    salam semoga senantiasa tercurah kepada pembimbing umat, Muhammad Rasulullah

    Saw, bagi keluarganya, para sahabatnya, dan pengikutnya sebagai suri tauladan yang

    baik bagi kita semua.

    Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak

    pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis, juga dengan penuh

    kesadaran penulis menyadari bahwa skripsi yang berjudul “PELAKSANAAN

    PEMBAYARAN NAFKAH IDDAH YANG DIAKIBATKAN PUTUSAN

    PENGADILAN AGAMA CIKARANG TAHUN 2013” tidak akan selesai tanpa

    dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil.

    Seperti juga perjalanan studi yang penulis lalui dari awal hingga akhir, tidak

    ada pekerjaan yang sukses dilalui dalam kesendirian. Dibalik keberhasilan selalu ada

    lingkaran lain yang memberikan semangat, motivasi bimbingan serta doa. Maka dalam

    kesempatan yang baik ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih dan

    penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

    1. Bapak Dr. H. JM. Muslimin, M.A. selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Bapak Drs H. A. Basiq Djalil, SH., MA., dan Ibu Rosdiana, MA., selaku ketua dan

    sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

  • vii

    3. Bapak Dr. Asmawi, MA selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar

    membimbing, memberikan arahan dan meluangkan waktunya kepada penulis

    sehingga penulisan skripsi ini selesai.

    4. Ketua, hakim, panitera, pegawai serta staf Pengadilan Agama Cikarang, terima

    kasih atas pelayanan dan bantuannya dalam memberikan data-data yang penulis

    perlukan dalam penyusunan skripsi ini.

    5. Ketua dan seluruh staf Perpustakaan Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama

    UIN Sayarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu dalam mendapatkan

    buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

    6. Ibu Dewi Sukarti, MA selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis selama kuliah

    di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    7. Seluruh civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ahwal as-

    Syakhsiyyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan

    satu-persatu yang telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis.

    8. Ayahanda tercinta Heri Santoso dan Ibunda tercinta Sulastri, terima kasih atas

    segala kasih sayang, perhatian dan motivasinya baik moril maupun materil, sujud

    abdiku kepada Ibunda atas doa dan pengorbanannya selama ini “Allahummagfirlii

    Waliwaalidayya Warhamhuma Kama Rabbayani shagiira”. Kepada adikku Rizal

    Aji Kurniawan kalian adalah motivasi dan inspirasiku.

    9. Teman-teman seperjuangan PA (A/B) dan AKI angkatan 2009 terimakasih atas

    kebersamaannya, selama kita empat tahun kita saling mengenal dan menjalin

    persahabatan bahkan persaudaraan.

    10. Seluruh sahabat karibku terimakasih atas kebaikan, dukungan dan semangat kalian,

    semoga persahabatan kita tidak akan pernah putus meskipun kita tidak bersama

    lagi.

    11. Especially Khusushan kepada seseorang yang telah banyak membantu dan

    memberikan semangat kepada penulis, sehingga dapat terselesaikannya penulisan

    skripsi ini.

  • viii

    Mengakhiri kata pengantar ini, atas semua bantuan yang telah diberikan, penulis

    hanya dapat memanjatkan do’a kepada Allah Swt semoga kebaikan yang telah

    diberikan dapat bernilai ibadah dan dibalas oleh Allah Swt.

    Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada

    semua pihak yang membacanya, memperoleh ridha Allah Swt, dan menjadi

    penyemangat bagi penulis untuk bisa mengembangkan keilmuan pada masa-masa

    berikutnya di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang

    dengan pesat pada era globalisasi ini.

    Jakarta, 12 Mei 2014

    Penulis

  • ix

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i

    LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ ii

    LEMBAR PENGESAHAN PANITIAN UJIAN ........................................................... iii

    LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................. iv

    ABSTRAK ........................................................................................................................ v

    KATA PENGANTAR ...................................................................................................... vi

    DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ix

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1

    B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................................... 6

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 7

    D. Tinjauan Penelitian Terdahulu .................................................................... 8

    E. Metode Penelitian ........................................................................................ 9

    F. Sistematika Penulisan .................................................................................. 13

    BAB II NAFKAH IDDAH MENURUT HUKUM ISLAM

    A. Pengertian Nafkah dan Iddah ...................................................................... 14

    B. Dasar Hukum Memberi Nafkah ................................................................... 20

    C. Syarat-syarat Isteri Menerima Nafkah ........................................................ 26

    D. Nafkah Isteri Setelah Perceraian ................................................................. 28

  • x

    BAB III PENGADILAN AGAMA CIKARANG

    A. Profil Pengadilan Agama Cikarang ............................................................. 35

    B. Tugas dan Kewenangan Pengadilan Agama Cikarang ................................ 40

    C. Perkara Yang Diterima dan diputus Pengadilan Agama Cikarang 2013 .... 44

    BAB IV PEMBAYARAN NAFKAH IDDAH AKIBAT PUTUSAN

    PENGADILAN AGAMA CIKARANG TAHUN 2013

    A. Putusan Pengadilan Agama Cikarang Tentang Nafkah Iddah .................... 45

    B. Analisis Putusan Pengadilan Agama Cikarang Tentang Nafkah Iddah ...... 61

    C. Pelaksanaan Putusan Nafkah Iddah di Pengadilan Agama Cikarang .......... 80

    D. Upaya Pengadilan Agama Cikarang Untuk Terlaksananya Pembayaran

    NafkahIddah.................................................................................................. 81

    E. Analisis Hukum Pelaksanaan Putusan dan Upaya Pengadilan Agama

    Cikarang Untuk Terlaksananya Pembayaran Nafkah Iddah....................... 86

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan .................................................................................................. 93

    B. Saran ............................................................................................................ 94

    DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 95

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

    1. Surat Bukti Wawancara

    2. Hasil Wawancara

    3. Putusan Nomor: 0292/Pdt.G/2013/PA.Ckr

    4. Putusan Nomor: 0510/Pdt.G/2013/PA.Ckr

  • xi

    5. Putusan Nomor : 0633/Pdt.G/2013/PA.Ckr

    6. Putusan Nomor: 1046/Pdt.G/2013/PA.Ckr

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Perkawinan merupakan suatu ketentuan dari ketentuan-ketentuan

    Allah di dalam menjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat

    umum, menyeluruh, dan berlaku tanpa terkecuali, baik bagi manusia, hewan, dan

    tumbuh-tumbuhan.1

    Pernikahan bagi umat manusia adalah sesuatu yang sangat sakral dan

    mempunyai tujuan yang sakral pula, dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan

    yang telah ditetapkan syariat agama. Orang yang melangsungkan sebuah

    pernikahan bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu birahi yang bertengger

    dalam tubuh dan jiwanya, melainkan untuk meraih ketenangan, ketentraman dan

    sikap saling mengayomi di antara suami istri dengan dilandasi cinta dan kasih

    sayang.2

    Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa

    perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dengan

    tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal berdasarkan

    Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi tujuan yang hakiki dalam sebuah perkawinan

    1 Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), cet. I, h. 41.

    2 Mohammad Asmawi, Nikah: Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam,

    2004), cet. I, h. 19.

  • 2

    adalah mewujudkan mahligai rumah tangga yang sakinah yang selalu dihiasi

    mawaddah dan rahmah.

    Hal ini sesuai dengan tujuan pernikahan menurut Undang-Undang No.

    1 Tahun 1974 tentang perkawinan, adalah membentuk keluarga bahagia dan

    kekal, masing-masing suami istri saling membantu dan melengkapi agar masing-

    masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai

    kesejahteraan spritual dan material.3

    Memang tujuan perkawinan sering tidak tercapai secara utuh, hal

    tersebut dapat dilihat beberapa peristiwa yang terjadi dalam perkawinan, yaitu

    suami atau istri tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban, sehingga

    menimbulkan percekcokan dan pertengkaran dalam rumah tangga. Percekcokan

    dan pertengkaran antara suami istri yang tidak dapat didamaikan biasanya akan

    berakhir dengan jalan perceraian.

    Tentu tidak bisa dikatakan salah satu tujuan pokok dalam hubungan

    keluarga itu adalah ketenangan, ketentraman, dan komunitas (keberlangsungan).

    Akan tetapi tidak dapat dipungkiri jika dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal

    yang menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti bila hubungan

    perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Dalam hal ini

    islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha

    3 A. Rofik, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), cet. IV, h.

    268.

  • 3

    melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan dengan begitu adalah sebagai

    suatu jalan keluar yang baik.

    Seandainya terjadi perceraian maka bukan berarti persoalan-persoalan

    rumah tangga akan berakhir begitu saja, justru dengan adanya perceraian maka

    akan timbul berbagai masalah yang akan diselesaikan oleh suami istri, selain

    permasalahan hak asuh anak, nafkah anak, harta bersama, juga akan yang tak

    kalah rumitnya adalah permasalahan nafkah istri dalam masa iddah beserta

    pengurusannya.

    Menurut hukum perkawinan di Indonesia, Pengadilan dapat

    mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan atau

    menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri (pasal 41 UU No.1 Th.1974).

    Ketentuan di atas dimaksudkan agar bekas istri yang telah diceraikan suaminya,

    jangan sampai menderita karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya

    sendiri.

    Dalam Kompilasi Hukum Islam apabila terjadi perceraian, maka

    mantan suami masih mempunyai kewajiban terhadap mantan istri, sebagaimana

    yang telah diatur pada pasal 149, Bilamana perkawinan putus karena cerai talak

    maka bekas suami wajib :

    a. Memberikan mut`ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau

    benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al-dukhul;

  • 4

    b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah,

    kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba`in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak

    hamil;

    c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al-

    dukhul;

    d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21

    tahun.

    Ketika sebuah perkara permohonan cerai talak dikabulkan dan

    putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka Pengadilan Agama

    dapat mengadakan sidang penyaksian ikrar talak, sejak itulah perceraian terjadi

    dan ikatan perkawinan antara suami istri menjadi putus.

    Dalam praktek, ketika Pengadilan Agama menggelar sidang

    penyaksian ikrar talak untuk memberi kesempatan kepada Pemohon

    mengikrarkan talaknya kepada Termohon sebagaimana isi amar putusan,

    Termohon menyatakan dirinya siap untuk menerima talak dari Pemohon dan

    sekaligus meminta kepada Pemohon agar setelah ikrar talak diucapkan, Pemohon

    segera pula menyerahkan kepadanya semua yang menjadi haknya sebagaimana

    dinyatakan dalam amar putusan yaitu nafkah iddah, namun sering sekali

    keinginan Termohon tersebut tidak bisa dipenuhi karena Pemohon dengan

    berbagai alasan menyatakan dirinya belum siap memenuhi perintah putusan

    tersebut.

  • 5

    Tapi secara realita justru dengan ditundanya ikrar talak karena ada

    kewajiban suami yang harus dibayar lebih dulu, kaum wanita sangat dirugikan,

    banyak pembacaan ikrar talak tidak bisa dijalankan karena menunggu suami

    membayar nafkah iddah yang ditetapkan oleh Hakim.

    Apabila Pemohon beritikad buruk, meskipun ia mampu membayar

    sesuai dengan isi putusan, akan tetapi ia tidak mau membayar, sehingga putusan

    hakim banyak yang tidak dilaksanakan, pada akhirnya putusan-putusan seperti

    itu dianggap sebagai putusan yang tidak berguna. Banyak suami yang pergi

    begitu saja karena tidak mau membayar kewajiban nafkah iddah tersebut

    akibatnya putusan menjadi sia-sia.

    Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang dalam

    menentukan pembayaran nafkah iddah yang menjadi hak seorang isteri yang

    dicerai harus memberikan upaya dalam menjamin pelaksanaan pembayaran

    nafkah iddah yang diakibatkan putusan pengadilan tersebut agar putusan yang

    dikeluarkan memenuhi asas kepastian, kemanfaatan dan keadilan bagi pihak-

    pihak yang berperkara. Dari latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik

    untuk meneliti lebih lanjut dan membuatnya dalam bentuk skripsi yang berjudul:

    “PELAKSANAAN PEMBAYARAN NAFKAH IDDAH YANG

    DIAKIBATKAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA CIKARANG

    TAHUN 2013”

  • 6

    B. Batasan dan Rumusan Masalah

    1. Batasan Masalah

    Kewajiban suami pasca perceraian dalam pasal 149 KHI banyak sekali

    cakupan dan pembahasannya, agar pembahasan ini tidak melebar dan

    memperjelas pokok pembahasan dalam penelitian serta mengingat keterbatasan

    ruang lingkup objek penelitian, maka pembahasan akan difokuskan pada :

    a. Nafkah iddah yang dibahas dalam skripsi ini dibatasi pada kewajiban suami

    memberi nafkah kepada mantan isterinya yang dicerai talak.

    b. Pengadilan agama dalam menjamin pelaksanaan pembayaran nafkah iddah isteri

    dalam perkara cerai talak khususnya di Pengadilan Agama Cikarang, pada tahun

    2013.

    2. Rumusan Masalah

    Pada pasal 149 Kompilasi Hukum Islam apabila perkawinan putus

    karena talak maka bekas suami wajib memberikan nafkah selama masa iddah

    kepada mantan isterinya. Tetapi dalam kenyataannya, apabila suami beritikat

    buruk tidak mau membayar nafkah iddah sesuai dengan isi putusan dan istri tidak

    dapat menuntut haknya ketika suami sudah tidak diketahui lagi dimana

    keberadaanya. Sebab dengan berakhirnya proses persidangan, maka suami

    terlepas dari istri, sehingga tidak ada lagi pihak-pihak yang dapat menjamin hak

    istri. Dengan adanya kekhawatiran seperti itulah Pengadilan Agama sebagai

    lembaga yang berwenang dalam menentukan pembayaran nafkah iddah yang

  • 7

    menjadi hak seorang isteri yang dicerai harus memberikan upaya untuk

    menjamin terlaksananya pembayaran nafkah iddah yang diakibatkan putusan

    pengadilan agama cikarang tersebut. Agar putusan yang dikeluarkan memenuhi

    asas kepastian, kemanfaatan dan keadilan bagi pihak-pihak yang berperkara.

    Sesuai masalah tersebut diatas, maka penulis rinci dengan bentuk

    pertanyaan sebagai berikut:

    1. Apa pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim Pengadilan

    Agama Cikarang dalam memutuskan perkara nafkah iddah ?

    2. Bagaimana pelaksanaan putusan dan upaya Pengadilan Agama Cikarang untuk

    terlaksananya pembayaran nafkah iddah ?

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang

    ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah :

    1. Untuk menjelaskan pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim

    Pengadilan Agama Cikarang dalam memutuskan perkara nafkah iddah.

    2. Untuk menjelaskan pelaksanaan putusan dan upaya Pengadilan Agama Cikarang

    untuk terlaksananya pembayaran nafkah iddah.

    Sedangkan manfaat penelitian ini :

    1. Secara akademik dalam rangka menambah wawasan dan pengetahuan serta

    mengkaji UU dan fikih dalam pelaksanaan pembayaran nafkah iddah di

    Pengadilan Agama Cikarang.

  • 8

    2. Secara praktis dapat menghasilkan informasi sebagai rujukan dalam memahami

    bagaimana pelaksanaan pembayaran nafkah iddah yang diakibatkan putusan

    Pengadilan Agama Cikarang.

    D. Tinjauan Penelitian Terdahulu

    Sejauh ini penulis belum menemukan skripsi yang secara khusus

    membahas judul dan masalah yang serupa khususnya di Fakultas Syariah dan

    Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam karya ilmiah ini, penulis

    menemukan data yang berhubungan dengan bahasan “Pelaksanaan Pembayaran

    Nafkah Iddah Yang Diakibatkan Putusan Pengadilan Agama Cikarang Tahun

    2013”, di antaranya:

    1. Abrokhul Isnaini, Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam, 2012, Judul

    Skripsi: Jaminan Pelaksanaan Nafkah Iddah di Pengadilan Agama Jakarta Timur.

    Pada skripsi ini hanya membahas tentang dasar hukum dalam pelaksanaan

    kewajiban nafkah iddah dan langkah langkah menjamin nafkah iddah di

    Pengadilan Agama Jakarta Timur. Sedangkan pada skripsi ini penulis juga

    membahas bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Agama Cikarang dalam

    memutuskan perkara nafkah iddah dan bagaimana upaya Pengadilan Agama

    Cikarang agar terlaksananya pembayaran nafkah iddah.

    2. Nurul Huda Binti Abdul Razak, Nafkah Masa Iddah Menurut Prespektif Fikih

    dan Implementasinya dalam Enakmen Keluarga Islam (studi pada Mahkamah

    rendah syariah perak Malaysia), 2009. Perbedaan dengan yang dibahas oleh

    penulis sangat berbeda karena penulis skripsi ini hanya membahas mengenai

  • 9

    nafkah masa iddah menurut prespektif fikih dan implementasinya dalam undang-

    undang di perak Malaysia.

    E. Metode Penelitian

    Dalam pengumpulan bahan/data penyusunan skripsi ini agar

    mengandung suatu kebenaran yang objektif, penulis menggunakan metode

    penelitian ilmiah sebagai berikut:

    1. Jenis Penelitian

    Dalam penelitian karya ilmiah ini, penulis menggunakan jenis penelitian

    lapangan (field research), studi pustaka (library research) dan menggunakan

    gabungan antara penelitian hukum normatif dan penelitian yuridis empiris.

    Penelitian hukum normatif adalah suatu penelitian hanya merupakan studi

    dokumen.4 dan penelitian yuridis empiris yaitu penelitian kenyataan lapangan

    yang bersifat das sein tidak sesuai dengan keadaan yang didambakan atau yang

    diharapkan yang bersifat das sollen.5 Dalam penelitian ini yang akan dicari

    perihal pelaksanaan pembayaran nafkah iddah di Pengadilan Agama dengan

    berpedoman pada aturan hukum yang berlaku.

    4 Afifi Fauzi Abbas, Metodologi Penelitian (Jakarta: ADELINA Bersaudara, 2010, cet. Pertama),

    h. 155.

    5 Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit Universitas Atma

    Jaya, 2007), h. 29.

  • 10

    2. Pendekatan Penelitian

    Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang

    memusatkan perhatian kepada prinsip-prinsip umum yang mendasar perwujudan

    satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, yaitu deskripsi berupa

    kata-kata, ungkapan, norma-norma atau aturan-aturan dari kasus yang diteliti,

    oleh karena itu penulis berupaya mencermati mengenai Pelaksanaan pembayaran

    nafkah iddah yang diakibatkan putusan di Pengadilan Agama Cikarang.

    Dilihat dari segi tujuan dalam penelitian ini termasuk dalam penelitian

    yang bersifat deskriptif yaitu penelitian lapangan yang menggambarkan data dan

    informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara umum dan

    mendalam. Kemudian, studi kasus penelitian yang pada umumnya bertujuan

    untuk mempelajari secara mendalam suatu individu, kelompok, institusi atau

    masyarakat tertentu tentang latar belakang, kondisi, faktor-faktor atau interaksi-

    interaksi sosial yang ada didalamnya.

    3. Tekhnik Pengumpulan Data

    a. Studi Pustaka

    Dalam studi kepustakaan, penulis mencari data primer yang berkaitan dengan

    masalah yang akan dijelaskan untuk dijadikan landasan teoritis bagi penelitian

    yang akan dilakukan.6

    1) Sumber Primer

    6 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum (Jakarta: Granit, 2010, edisi ketiga), h. 57.

  • 11

    Sumber primer yaitu data yang dikumpulkan diolah dan disajikan oleh

    peneliti dari sumber pertama atau sumber asli yang memuat informasi atau data

    tersebut.7 Sumber data primer dalam penelitian ini adalah Undang-Undang

    Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun

    1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

    perkawinan, Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo

    Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun

    2009, Kompilasi Hukum Islam, putusan Pengadilan Agama Cikarang,

    Ketua/Wakil Pengadilan Agama Cikarang, para Hakim dan Panitera serta para

    pihak yang terkait dengan masalah ini.

    2) Sumber Sekunder

    Data sekunder merupakan data yang mendukung data utama atau

    memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.8 Data sekunder dalam

    penelitian ini adalah studi kepustakaan, buku-buku, artikel ilmiah, arsip-arsip

    yang mendukung atau dokumen-dokumen data perceraian yang ada di

    Pengadilan Agama Cikarang yang berisikan informasi tentang data primer,

    terutama bahan pustaka bidang hukum dari sudut kekuatan mengikatnya dan

    meliputi literatur lainnya yang relevan dengan judul di atas.

    7 Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h.

    132.

    8 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h.

    195.

  • 12

    b. Wawancara (Interview)

    Dengan mengambil objek penelitian di Pengadilan Agama Cikarang,

    penulis menggunakan jenis penelitian lapangan (field research), yang bertujuan

    untuk memperoleh kejelasan dan kesesuaian antara teori dan praktek yang terjadi

    di lapangan mengenai tinjauan terhadap pelaksanaan putusan tentang nafkah

    iddah di Pengadilan Agama Cikaranag.

    Dilakukan dengan cara interview, adalah metode pengumpulan data

    dengan atau melalui wawancara, dimana dua orang atau lebih secara fisik

    langsung berhadap-hadapan yang satu dapat melihat muka yang lain dan masing-

    masing dapat menggunakan saluran komunikasi secara wajar dan lancar.9

    4. Tekhnik Analisis Data

    Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan

    menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu setelah data terkumpul, kemudian

    dipilah-pilah dan dianalisa dengan menggunakan analisis deduktif. Analisis

    kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis,

    yaitu apa yang dinyatakan oleh informan secara tertulis serta lisan yang nyata

    diteliti sebagai sesuatu yang utuh.10

    Metode deskriptif analisis ini akan digunakan

    untuk melakukan analisis terhadap wawancara hakim dan putusan Pengadilan

    9 Balitbang Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah RI, Metode Peneletian Sosial

    (Terapan dan Kebijaksanaan) (Jakarta: Balitbang Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah RI,

    2000), h. 39.

    10

    Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1984), h. 13.

  • 13

    Agama Cikarang. Selain itu metode ini akan digunakan ketika menggambarkan

    kasus yang ada dalam putusan tersebut.

    F. Sistematika Penulisan

    Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri dari sub-sub bab

    sebagai berikut:

    Bab pertama, dalam bab ini menguraikan latar belakang masalah,

    batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan penelitian

    terdahulu, metode penelitian dan penulisan serta sistematika penulisan.

    Bab kedua, dalam bab ini memuat pengertian nafkah iddah, dasar

    hukum nafkah iddah, syarat-syarat istri menerima nafkah, nafkah istri setelah

    perceraian.

    Bab ketiga, dalam bab ini membahas Profil Pengadilan Agama

    Cikarang, Tugas dan Kewenangan Pengadilan Agama Cikarang, Perkara Yang

    Diterima dan Diputus Pengadilan Agama Cikarang Tahun 2013.

    Bab keempat, dalam bab ini berisi putusan Pengadilan Agama

    Cikarang tentang nafkah iddah, analisa putusan Pengadilan Agama Cikarang

    tentang nafkah iddah, pelaksanaan putusan nafkah iddah di Pengadilan Agama

    Cikarang, upaya Pengadilan Agama Cikarang untuk terlaksananya pembayaran

    nafkah iddah dan analisis penulis.

    Bab kelima, memuat kesimpulan dari seluruh pembahasan untuk

    kemudian penulis memberikan saran-saran yang konstruktif.

  • 14

    BAB II

    NAFKAH IDDAH MENURUT HUKUM ISLAM

    A. Pengertian Nafkah dan Iddah

    Nafkah secara etimologi berasal dari kata ( النفقة ) yang berarti

    “belanja”, kebutuhan pokok” dan juga berarti biaya ataupun pengeluaran uang,11

    Dalam madzahib al arba‟ah disebutkan النفقة في اللغة االخراج yaitu

    pengeluaran.12

    Sekilas bisa dipahami kalau nafkah tentu berkaitan dengan

    kebutuhan hidup sehari-hari bagi manusia. Sementara dalam kamus Bahasa

    Indonesia, nafkah adalah belanja untuk hidup (uang) pendapatan.13

    Kata nafkah

    adalah bentuk masdar dari kata nafaqa yang berati harta yang dinafkahkan. Bila

    kata nafkah dihubungkan dengan pernikahan mengandung arti: “pemberian yang

    wajib dilakukan oleh suami terhadap isterinya dalam masa penikahan”.14

    Secara material nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang

    berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, minuman, pakaian,

    11

    Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawir, Cet-1, (Yogyakarta: upbk. PP. al-Munawir,

    1987) h. 1548.

    12 Al Juzairi, Fiqih Ala Madzahib Al Arba‟ah Juz IV. (Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyah, 1990), h.

    485.

    13

    Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 679.

    14 Amir Syarifudin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia; antara Fiqh Munakahat dan

    Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 165.

    14

  • 15

    rumah dan lain-lain.15

    Nafkah merupakan kewajiban suami terhadap isterinya

    dalam bentuk materi, karena kata nafaqa itu sendiri berkonotasi materi.

    Sedangkan kewajiban dalam bentuk non materi, seperti memuaskan hajat seksual

    istri tidak termasuk dalam artian nafakah, meskipun dilakukan suami terhadap

    isterinya.16

    Menurut Sayyid Sabiq tidak hanya hal-hal yang dapat memenuhi

    kebutuhan isteri yang bersifat primer akan tetapi juga sekunder sekalipun sang

    isteri dari keluarga yang mampu dan berkecukupan.17

    Secara terminologi, Sayyid Sabiq dalam bukunya fiqh as-Sunnah

    menyebutkan nafkah merupakan hak isteri dan anak-anak untuk mendapatkan

    makanan, pakaian dan kediaman serta beberapa kebutuhan pokok lainnya dan

    pengobatan, bahkan sekalipun seorang isteri itu adalah wanita yang kaya.18

    Sedangkan menurut Sulaiman Rasyid nafkah yaitu semua hajat dan

    keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempatnya, sehingga tidak dibatasi

    apakah mesti pokok, tidak pokok, ataupun kebutuhan pelengkap, sebab

    kewajiban nafkah menurut beliau yang dimaksud tidak terbatas pada kebutuhan

    pokok, sehingga jika masing-masing yang memiliki hak nafkah dan kewajiban

    nafkah kebutuhan pokonya sudah terpenuhi, tetap terkena kewajiban memenuhi

    15

    Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 2001), h. 383.

    16

    Amir syarifudin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia; antara Fiqh Munakahat dan Undang-

    Undang Perkawinan, h. 165.

    17

    Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 8, (Bandung: PT Al Maarif, 1980), h. 147.

    18

    Sayyid Sabiq, Fiqh as- Sunnah, (Beirut: Dar- al Fikr, 1983), Cet. Ke-4, Jilid 9, h. 28.

  • 16

    kebutuhan meskipun kebutuhan itu tidak pokok, artinya kebutuhan itu tergantung

    dan sesuai dengan keadaan dan tempatnya.19

    Hukum memberi nafkah untuk isteri dalam bentuk makan, minum, tempat

    tinggal dan pakaian, baik yang berisfat umum maupun khusus, serta saran-sarana

    hubungan kemasyarakatan lainnya yang diperlukan oleh isteri adalah wajib.20

    Kewajiban suami memberikan nafkah terhadap isteri ini tidak memandang status

    sosial suami baik dia seorang yang kaya maupun miskin, atau sebaliknya. Nafkah

    adalah persoalan yang sangat berat dan harus ditanggung oleh laki-laki sebagai

    suami.

    Menurut hukum Islam nafkah dibagi secara global menjadi dua macam,

    Pertama: nafkah untuk dirinya sendiri, yakni kewajiban seseorang manusia untuk

    memikul beban tanggung jawab dalam rangka memenuhi kebutuhannya sendiri,

    untuk kesejahteraan jasmani, dan rohaninya sendiri. Kedua: nafkah untuk orang

    lain, tentu saja dalam hal ini adalah anak, isteri, orang tuanya dan berbagai

    macam tanggung jawab nafkah bagi orang-orang diluar dirinya sendiri.21

    Perkawinan yang sah menyebabkan isteri mendapatkan hak-haknya dari

    sang suami, diantaranya itu dia berhak mendapatkan nafkah dari suaminya.

    19

    Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Cet. 32, (Bandung: Sinar Baru, 1998), h. 390.

    20

    Ali Husain Muhammad Makki al-Amili, Perceraian Salah Siapa?, penerjemah Mudhor Ahmad

    Assegaf dan Hasan Shaleh, (Jakarta: Lentera Basritama, 2001), Cet-1, h. 216.

    21

    Syeikh Abdullah Ibn Hasan al-Husain, Zadu Al-Mukhtaj bi Syahri al-Minhaj, Beirut: Al-

    Maktabah al-Isriyah, t.t, h. 563.

  • 17

    Dikarenakan isteri telah terikat dengan hak-hak suaminya yang menyebabkan

    seorang isteri tidak dapat mencari nafkah untuk dirinya.22

    Kewajiban suami untuk meberikan nafkah kepada isteri terdapat dalam

    Al-Qur‟an dan al-Hadits. Ini berarti bahwa masalah nafkah memang diperhatikan

    dalam agama Islam. Dalil-dalil yang dijadikan dasar kewajiban memberi nafkah

    adalah sebagai berikut:

    Q.S. an-Nissa (4): 34

    “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah

    Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain

    (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta

    mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi

    memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara

    (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah

    mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.

    Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan

    untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”

    Dari dalil-dalil diatas dapat disimpulkan bahwa Agama mewajibkan

    suami untuk memberikan nafkah pada isterinya karena dengan adanya ikatan

    perkawinan yang sah itu seorang isteri menjadi terikat semata-mata kepada

    22 Syekh Muhammad bin Umar an-Nawawi, Uqudulijain, (Semarang: Pustaka Alawiyah, 1995),

    h. 47.

  • 18

    suaminya dan tertahan sebagai miliknya, karena dia berhak menikmatinya secara

    terus menerus. Isteri wajib taat kepada suami, tinggal dirumahnya, mengatur

    rumah tangganya, memelihara dan mendidik anaknya. 23

    Sedangkan bagi suami,

    ia wajib memenuhi kebutuhan isteri dan memberi nafkah kepadanya, selama

    ikatan suami isteri masih berjalan dan isteri tidak durhaka, atau ada hal-hal lain

    yang menghalangi penerimaan nafkah.

    2. Pengertian Iddah dan Dasar Hukumnya

    Menurut bahasa Arab kata “iddah” masdar dari kata kerja “ عدد “

    berarti menghitung. Dalam hal ini, perempuan (isteri) menghitung hari-hari masa

    bersihnya setelah terjadi perceraian.24

    Dalam kamus almunawir iddah berasal

    dari kata al-„add yang bermakna perhitungan atau sesuatu yang dihitung.25

    Dalam Kamus Arab Indonesia karangan Mahmud Yunus, iddah berasal dari kata

    ,yang berarti menghitung.26 Dengan demikian jika ditinjau dari segi bahasa عّد

    maka kata iddah dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari

    suci pada wanita.27

    23

    Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 8, h. 147.

    24

    Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih Bahasa Nur Hasanuddin. LC,MA, dkk, (Jakarta: Pena Pundi

    Akasara, 2006), h. 224.

    25

    Ahmad Warson, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia, h. 904

    26

    Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1997), h. 42.

    27

    Chuzaiman T. Yanggo dkk., Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet. I, (Jakarta: PT.

    Pustaka Firdaus, 1994), h. 149.

  • 19

    Secara istilah iddah mengandung arti masa menunggu bagi wanita untuk

    melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai

    hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya

    atau untuk berpikir bagi suami. Para ulama mendefinisikan iddah sebagai waktu

    untuk menanti kesucian seorang isteri yang ditinggal mati atau diceraikan oleh

    suami, yang sebelum habis masa itu dilarang untuk dinikahkan.28

    Iddah secara terminologi hukum islam adalah masa tunggu yang

    ditetapkan oleh hukum syara‟ bagi wanita untuk tidak melakukan akad dengan

    lelaki lain dalam masa tersebut, sebagai akibat ditinggal mati atau perceraian

    dengan suaminya itu, dalam rangka membersihkan diri dari pengaruh dan akibat

    hubungan dengan suaminya itu.29

    Hukum iddah terdapat dalam firman Allah surat al-Baqarah (2) ayat 228:

    Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri

    (menunggu) tiga kali quru' tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang

    diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari

    akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika

    mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang

    seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para

    28

    Amiur Nuruddin dan Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada

    Media, 2004), h. 240.

    29

    Chuzaimah T. Yanggo dan Hafidz Anshory (Editor), Problematika Hukum Islam Kontemporer,

    (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), Buku I, Cet. Ke-4, hal 181.

  • 20

    suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha

    Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

    Dari definisi nafkah dan idah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

    pengertian dari nafkah iddah adalah segala sesuatu yang diberikan oleh seorang

    suami kepada isteri yang telah diceraikannya untuk memenuhi kebutuhannya,

    baik itu berupa pakaian, makanan maupun tempat tinggal.

    Sedangkan pengertian nafkah dalam perceraian sebagaimana terdapat

    dalam tafsir as-Sabuni, bahwa nafkah itu diartikan sebagai mut‟ah, yang berarti

    pemberian seorang suami kepada isterinya yang diceraikan, baik itu berupa uang,

    pakaian atau pembekalan apa saja sebagai bantuan dan penghormatan kepada

    isterinya itu serta menghindari dari kekejaman talak yang dijatuhkannya itu.30

    B. Dasar Hukum Memberi Nafkah

    Seorang suami ketika berkeluarga pada saat itu pula memiliki kewajiban

    nafkah, karena tanpa nafkah kebahagiaan keluarga tidak akan tercapai.

    Perkawinan yang sah menyebabkan isteri mendapatkan hak-haknya dari sang

    suami, diantaranya itu dia berhak mendapat nafkah dari suaminya. Dikanerakan

    isteri telah terikat dengan hak-hak suaminya yang menyebabkan seorang isteri

    tidak dapat mencari nafkah untuk dirinya.31

    30

    M. Ali as-Sabuni, Rawa‟I al-Bayan, Tafsir Ayat al-Ahkam, (Makkah: Tnp, t.t.), h. 610.

    31

    Syekh Muhammad bin Umar an-Nawawi, Uqudulijain, (Semarang: Pustaka Alawiyah, 1995),

    h.47.

  • 21

    Kewajiban memberi nafkah kepada isteri merupakan kewajiban agama.

    Hal ini dikuatkan dengan dalil Al-Qur‟an dan al- Hadits sehingga tidak ada

    alasan bagi suami untuk menghindar dari kewajibannya. Kewajiban tersebut

    berdasarkan firman Allah dalam QS. An-Nissa (4): 34:

    “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah

    Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain

    (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta

    mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi

    memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara

    (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah

    mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.

    Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan

    untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”

    Q.S. Al-Baqarah ayat 228:

    Artinya: “dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan

    kewajibannya menurut cara yang ma'ruf”

    Q.S. Al-Baqarah ayat 233:

    Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu

    dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar

    kesanggupannya.”

  • 22

    Menurut Muhammad Ali As-Sayis maksud pemberian dengan cara

    ma‟ruf ialah pemberian menurut ukuran keadaan suami, bukan berdasar pada

    keadaan isteri, namun hal tersebut tentu disesuaikan dengan besarnya kebutuhan

    hidup yang wajar bagi isteri.32

    Dalil-dalil tersebut diatas merupakan dasar kewajiban nafkah secara

    lahiriyah (materi) yang harus diberikan oleh seorang suami (atau ayah) untuk

    keluarganya (istri dan anak) dengan cara yang ma‟ruf sesuai dengan kadar

    kemampuan yang dimilikinya. Kemudian sehubungan dengan nafkah secara

    bathiniyah dapat diambil dari dalil sebagai berikut:

    ... ... ... ...

    Artinya: ”... ... dan bergaullah dengan mereka secara patut ... ... (Q.S Al

    Nisaa‟: 19)

    Mengenai lafadz “Asyara” dalam bahasa arab adalah sempurna dan

    optimal.33

    Dan juga akar kata Asyara yaitu ‟isyrah‟ )العشرة( adalah berkumpul atau

    bercampur.34

    Maka berkumpul disini adalah apa yang seharusnya ada pada suami

    istri seperti rasa saling terikat dan bertautan. Karena dalam syariat islam antara

    suami istri diwajibkan untuk bergaul dengan sebaik-baiknya, tidak diperbolehkan

    menunda hak dan kewajiban, dan juga tidak boleh saling membenci apalagi

    bersikap saling menyakiti sebagaimana dalam ayat tersebut. Oleh sebab itu dalam

    32

    Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Cet. 32, (Bandung: Sinar Baru, 1998), h. 390 33

    Syeikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2007). h. 327.

    34

    Saleh Al Fauzan, Fiqih Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006). h. 682.

  • 23

    memaknai lafadz tersebut Al Qusairi menyatakan dalam tafsirnya yaitu

    maksudnya mempergauli istri dengan ilmu-ilmu agama dan tata cara atau adab

    serta akhlaq yang baik.

    Dibawah ini merupakan ayat Al-Qur‟an yang berkaitan dengan pemberian

    nafkah bagi mantan isteri setelah perceraian, Allah SWT berfirman dalam Q.S.

    al-Azhab ayat 49:

    Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-

    perempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu

    mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang

    kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah

    mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”

    Ayat tersebut mewajibkan pemberian nafkah terhadap setiap wanita yang

    diceraikan, tidak membatasi masa pemberian nafkah bagi mantan isteri yang

    diceraikan, demikian juga tidak disebutkan berapa besar nafkah dan jangka

    waktu pemberiannya.35

    Q.S. Al-Baqarah ayat 241:

    35

    M. Ali as-Shabuni, Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam al-Quran, penerjemah: Saleh Mahfoed, Cet-

    1, (Bandung: al-Ma‟rif, 1994), h. 501.

  • 24

    Artinya: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh

    suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-

    orang yang bertakwa.”

    Dalam hal ini nafkah (mut‟ah) juga diartikan sebagai penghibur, nafkah

    sesuai dengan kemampuannya. Inti dari ayat tersebut merupakan perwujudan

    mendapatkan persesuaian kepada hukum Islam dalam hal ini nafkah setelah

    nafkah iddah habis. Mut‟ah juga berarti sesuatu yang dengannya dapat diperoleh

    suatu (beberapa) manfaat atau kesenangan.36

    Kewajiban suami terhadap nafkah juga terdapat dalam beberapa hadits

    Nabi diantaranya adalah:

    37

    Artinya: “Dari Aisyah r.a. Hindun istri Abu Sofyan berkata pada

    Rosulullah, Ya Rosulallah sesungguhnya Abu Sofyan adalah lelaki yang amat

    bakhil, tidak memberiku nafkah yang bisa mencukupiku dan anakku kecuali apa

    yang kuambil hartanya tanpa sepengetahuannya, apakah hal ini dosa bagiku?

    Rosulullah menjawab ambillah hartanya dengan baik dan mencukupi dirimu dan

    anakmu dengan cara yang baik.” (HR Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud,

    dan Nasai‟)

    36

    Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan,1992),

    h. 707.

    37

    Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul al-Bari, (Beirut: al-Maktabah al-Salafiyyah, 1470H), cet-III,

    Juz IX, h. 419-420.

  • 25

    Hadis ini menunjukkan kewajiban suami memberi nafkah kepada

    isterinya dan anak-anaknya. Menurut zhahirnya, sekalipun anak sudah besar.

    Hadis ini juga mengandung dalil bahwa yang wajib itu adalah mencukupi nafkah

    itu tanpa kikir.38

    Menurut hukum positif di Indonesia kewajiban memberi nafkah diatur

    dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 terdapat pada pasal 34 ayat

    1 yang berbunyi: Suami wajib melindungi isterinya dan memberi segala sesuatu

    keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.39

    Sementara

    nafkah setelah perceraian terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

    pada pasal 41 huruf c, yaitu: Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami

    untuk memberikan biaya penghidupan dan/ atau menentukan sesuatu kewajiban

    bagi bekas isteri.40

    Adapun bahwa nafkah merupakan kewajiban suami ditegaskan dalam

    pasal 80 ayat 4 Kompilasi Hukum Islam yaitu, sesuai dengan penghasilannya

    suami menanggung:

    1. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.

    2. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.

    38

    Abu Bakar Muhammad, Terjemah Subulussalam, (Surabaya: al-ikhlas, 1995), Cet ke- 1, h.

    790.

    39

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 34.

    40

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 41

    huruf (c).

  • 26

    3. Biaya pendidikan bagi anak.41

    Berdasarkan dalil-dalil diatas dapat disimpulkan bahwa suami wajib

    memberi nafkah kepada istrinya dengan jumlah yang disesuaikan dengan kadar

    kemampuannya. Jika suami memenuhi kewajibannya, maka istri wajib taat

    kepada suami. Namun jika istri telah melaksanakan kewajiban, tapi suami tetap

    tidak mau memberikan haknya, dalam hukum perdata, istri dapat mengajukan

    perkaranya ke Pengadilan Agama.

    C. Syarat-syarat Isteri Menerima Nafkah

    Pernikahan adalah satu sebab yang mewajibkan nafkah. Sebab dengan

    adanya ikatan perkawinan yang sah seorang wanita menjadi terikat dengan

    suaminya semata, dan tertahan sebagai miliknya. Hak istri memperoleh nafkah

    itu telah dipunyai, apakah suaminya kaya atau miskin selama istri masih terikat

    dengan kewajiban-kewajiban terhadap suaminya.42

    Adanya ikatan perkawinan yang sah tidak berarti istri yang telah ditalak

    berhak atas nafkah dari mantan suaminya. Istri yang ditalak raj‟i sebelum ia

    menyelesaikan iddahnya, wajib diberi nafkah dari suaminya. Begitu pula istri

    yang ditalak bain dan sedang menjalani masa iddahnya. Jika istri dalam keadaan

    hamil maka harus diberi nafkah sampai ia melahirkan.

    41

    Tim Citra Umbara, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum

    Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2010), h. 256.

    42

    Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,

    1974), h. 131.

  • 27

    Begitu pula istri yang tidak mau menyerahkan diri kepada suaminya, atau

    suami tidak dapat menikmati dirinya, atau istri enggan pindah ketempat yang

    dikendaki suami, maka dalam hal ini tidak ada kewajiban nafkah oleh suami atas

    isterinya. Sebab penahanan yang dimaksud sebagai dasar wajibnya nafkah tidak

    terwujud.43

    Imam Abdurrahman al-Jaziri mengatakan bahwa syarat atau sebab

    diwajibkannya pemberian nafkah adalah sebagai berikut:

    1. Adanya hubungan perkawinan

    2. Adanya hubungan kerabat

    3. Adanya kepemilikan.44

    Dalam hal ini semua ahli fiqih sependapat bahwa makanan, pakaian, dan

    tempat tinggal itu merupakan hak istri yang wajib dibayar oleh suaminya. Hak

    istri terhadap nafkah itu tetap berlaku, apakah ia kaya atau miskin, selama ia

    masih terikat dengan kewajiban-kewajiban terhadap suaminya. Berdasarkan

    keterangan isteri berhak menerima nafkah dari suaminya apabila:

    1. Telah terjadi akad yang sah antara suami dan istri. Bila akad nikah mereka masih

    diragukan keabsahannya, maka istri belum berhak menerima nafkah dari

    suaminya.

    2. Istri telah sanggup melakukan hubungan sebagai suami-istri dengan suaminya.

    43

    Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 8, (Bandung: PT. Al Maarif, 1981), h. 149.

    44

    Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Fiqh „ ala Madzhab al-Arba‟ah, Juz 4, Beirut: t. tp., 1969, h.

    553.

  • 28

    3. Istri telah terikat atau telah bersedia melaksanakan semua hak-hak suami.45

    Menurut Sayyid Sabiq, untuk mendapatkan nafkah dari suami, istri harus

    memenuhi beberapa syarat. Jika salah satu syarat ini tidak dipenuhi, maka ia

    tidak wajib diberi nafkah. Syarat tersebut adalah sebagai berikut:

    1. Adanya ikatan perkawinan yang sah

    2. Menyerahkan dirinya kepada suami

    3. Suami dapat menikmati dirinya

    4. Tidak menolak apabila diajak pindah ketempat yang dikehendaki suami

    5. Keduanya saling dapat menikmati.

    D. Nafkah Isteri Setelah Perceraian

    Tanggung jawab suami terhadap nafkah tidak hanya berlaku ketika ia sah

    menjadi suami dari seorang isteri, tetapi setelah terjadinya perceraian pun suami

    masih tetap bertanggung jawab terhadap isteri dan anak-anaknya dalam hal

    nafkah.

    Dalam pemberian nafkah, tidak semua isteri yang sedang menjalani masa

    iddah berhak mendapatkan nafkah. Berikut ini akan dijelaskan macam-macam

    isteri yang berhak mendapatkan nafkah dan yang tidak berhak mendapatkan

    nafkah.46

    1. Isteri yang berhak mendapatkan nafkah iddah, adalah:

    45

    Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh, Jilid II, (Jakarta: Ditjen Binbaga Islam, 1984/ 1985), h. 184.

    46

    Puenoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus-

    Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1998), Cet. I, h. 369.

  • 29

    Isteri dalam masa iddah raj‟i, para ulama telah sepakat bahwa isteri yang

    sedang menjalani iddah raj‟i berhak menerima nafkah lahir sepenuhnyta dari

    suaminya. Suami berkewajiban menjamin tempat tinggal, nafkah, pakaian dan

    kesehatan. Sedangkan isteri yang sedang hamil dalam masa iddah ba‟in, ulama

    telah sepakat bahwa isteri seperti itu berhak mendapat nafkah, tempat tinggal dan

    pakaian. Adapun iddah ba‟in karena suami wafat, meskipun isteri itu sedang

    hamil namun tidak mendapatkan nafkah, karena yang harus membiayai nafkah

    tersebut sudah tidak ada lagi.

    2. Isteri yang sedang beriddah dan tidak mendapatkan nafkah:

    Isteri yang beriddah wafat suaminya, karena yang berkewajiban memberi

    nafkah adalah suaminya dan ia telah meninggal. Kemudian isteri yang akad

    perkawinannya batal dan perempuan itu sudah dicampuri atau menjadi watak

    syubhat, karena perkawinan dengan akad fasid tidak wajib nafkah, maka

    demikian pula dalam masa iddahnya. Perceraian yang terjadi karena fasakh, yaitu

    karena kesalahan isteri, seperti isteri berbuat maksiat, maka maksiatnya itulah

    yang mencegah isteri tersebut mendapat nafkah iddahnya.

    Kita ketahui bahwa tidak jarang ketika setelah perceraian, seorang suami

    salah memperlakukan isterinya dan menyengserakan hidup isterinya selama masa

    iddah berlangsung. Hal ini merupakan sikap keliru, karena suami pada masa

    tersebut tetap harus menafkahi isterinya selama masa iddah berlangsung.

    Perceraian yang dimaksud disini ialah perceraian talak raj‟i, karena dalam

  • 30

    keadaan ini suami masih memiliki kesempatan untuk ruju‟ kepada isterinya.47

    Meskipun ruju‟ tidak dilakukan oleh suami, namun perceraian harus dilakukan

    secara terhormat, agar kedua belah pihak tidak memiliki dendam, sehingga tidak

    berimbas buruk kepada anak-anak mereka.

    Tanggung jawab suami tidak hanya ketika seorang wanita itu masih

    menjadi isterinya yang sah, akan tetapi kewajiban untuk memberikan nafkah juga

    pada saat perceraian, Karena hakekatnya ucapan cerai itu baru berlaku setelah

    habis masa iddahnya. Berkaitan dengan nafkah Allah SWT berfirman dalam Q.S.

    al-Baqarah ayat 233:48

    Artinya: Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para

    ibu dengan cara ma'ruf.

    Mengenai kewajiban suami untuk tetap memberi nafkah setelah

    nmenceraikan isterinya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 149,

    yang berisi sebagai berikut.

    Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

    a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang

    ataupun benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul.

    47

    Abdur Rahman I Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Islam (Syari‟ah), (Jakarta: PT. Raja

    Grafindo Persada, 2002), h. 124.

    48

    Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Cet-1, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), h. 83.

  • 31

    b. Memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam

    iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam

    keadaan tidak hamil.

    c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al

    dukhul.

    d. Memeberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur

    21 tahun.49

    Para ulama sependapat bahwa wanita yang sedang dalam masa iddah

    setelah terjadi talak raj‟i masih berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal,

    demikian juga wanita yang ditalak ba‟in dalam keadaan hamil.50

    Hal ini

    berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S. At-Talak ayat 6:

    Artinya: “Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,

    Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin”.

    Adapun dalam talak ba‟in, para ahli fiqih berbeda pendapat tentang hak

    nafkah jika isteri dalam keadaan tidak hamil:

    Menurut Imam Malik bin Anas dan Imam Syafi‟I, mantan isteri tersebut

    berhak mendapat nafkah, kecuali kalau hamil. Menurut Imam Abu Hanifah,

    mantan isteri tersebut berhak atas nafkah dan tempat tinggal, seperti perempuan

    49

    Tim Citra Umbara, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum

    Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2010), h. 281.

    50

    Mahmud Syaltut, Fikih Tujuh Mazhab, penerjemah Abdullah Zakiy Al-Kaaf, (Bandung: CV.

    Pustaka Setia, 2000), h. 223.

  • 32

    yang ditalak raj‟i. Karena ia wajib menghabiskan masa iddah dirumah suaminya.

    Sedangkan di rumah ini dia terkurung, karena suamimasih ada hak kepdanya.

    Nafkahnya ini dianggap sebgai hutang yang resmi sejak hari jatuhnya talak,

    tanpa bergantung kepada adanya persepakatan atau tidak adanya putusan

    pengadilan. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, mantan isteri tersebut tidak

    berhak atas nafkah dan tempat tinggal, sebab nafkah hanya diberikan kepada

    perempuan yang suaminya mempunyai hak rujuk.51

    Adapun dalam pemberian nafkah iddah, Muhammad Jawad Mughniyah

    mendefinisikan sebagaimana yang ada dalam beberapa mazhab, diantaranya

    yaitu sebagai berikut:

    1. Untuk isteri yang masih kecil.

    Isteri yang masih kecil (belum dapat digauli) dan terjadi perceraian, maka

    menurut mazhab yang ada (Hanafi, Hambali, Syafi‟i) mantan isterinya tidak

    berhak mendapat nafkah (suami tidak berkewajiban dalam memberikan nafkah),

    kecuali mazhab Hanafi yang mengadakan klasifikasi lebih lanjut.

    a. Kecil dalam arti tidak dapat dimanfaatkan, baik untuk melayani suami, maupun

    bermesraan, dan jika terjadi perceraian suami tidak berkewajiban

    memberikannya nafkah.

    b. Kecil, tetapi bisa digauli, maka jika terjadi perceraian suaminya berkeajiban

    memberikan nafkah, kecuali terjadi cerai li‟an.

    51

    Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jillid 8, h. 172.

  • 33

    c. Kecil dalam arti bisa diajak bermesraan, tetapi tidak bisa digauli, maka jika

    terjadi perceraian suami tidak berkewajiban memberikan nafkah.

    2. Untuk Suami yang masih kecil.

    Dalam hal ini kebalikan dari kondisi di atas, jika terjadi perceraian, maka

    menurut mazhab Hanafi, Syafi‟i dan Hambali pemberian nafkah wajib hukumnya

    bagi suami tersebut. Sedangkan mazhab maliki, berpendapat tidak berkewajiban

    bagi suami untuk memberikan nafkah.

    3. Jika isteri sakit, mandul atau mengalami kelainan pada alat seksualnya.

    Pada kondisi di atas, jika terjadi perceraian menurut mazhab yang ada

    (Hanafi, Syafi‟i, Hambali) kewajiban suami untuk memberikan nafkah tidak

    gugur, kecuali mazhab Maliki yang menyatakan gugur.

    4. Apabila isteri murtad.

    Isteri yang semula muslimah, kemudian menjadi murtad dan terjadi

    perceraian, maka tidak ada kewajiban suami untuk memberikan nafkah.

    5. Isteri yang Nusyuz.

    Isteri yang nusyuz atau durhaka, dan jika terjadi perceraian, maka suami

    tidak berkewajiban dalam memberikan nafkah.

    6. Talak Li‟an.

    Talak li‟an atau bersumpah untuk tidak akan kawin lagi, maka pihak

    suami tidak berkewajiban dalam memberikan nafkah.52

    52

    Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 403-404.

  • 34

    Para fuqaha berbeda pendapat dalam pemberian nafkah (mut‟ah) bagi

    mantan isteri, ada fuqaha yang berpendapat bahwa nafkah (mut‟ah) itu wajib

    diberikan kepada isteri yang diceraikannya, apabila suami telah sempat

    berhubungan dengannya, baik maharnya telah ditentukan atau belum, dan juga

    terhadap isteri yang telah diceraikannya sebelum sempat dicampurinya apabila

    maharnya telah ditentukan. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat al-

    Baqarah (2) ayat 241. Persoalan mut‟ah juga dimuat dalam Kompilasi Hukum

    Islam antara lain pasal 158, yang menyatakan Mut‟ah wajib diberikan oleh

    mantan suamiu dengan syarat belum ditetapkan mahar bagi isteri bada dukhul

    dan perceraian itu atas kehendak suami.53

    Tujuan pemberian mut‟ah seorang suami terhadap isteri yang telah

    diceraikannya adalah dengan adanya pemberian tersebut diharapkan dapat

    menghibur atau menyenangkan hati isteri yang telah diceraikan dan dapat

    menjadi bekal hidup bagi mantan isteri tersebut, dan juga untuk membersihkan

    hati kaum wanita dan menghilangkan kekhawatiran terhadap penghinaan kaum

    pria terhadapnya.54

    53

    Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakara: PT. Raja Grafindo

    Persada, 2004), h. 328.

    54

    Maulana Rasyid Ridha, Penerjemah Afif Muhammad, Panggilan Islam Terhadap Wanita, Cet-

    1, (Bandung: al-Bayan, 1986), h. 159.

  • 35

    BAB III

    PENGADILAN AGAMA CIKARANG

    A. Profil Pengadilan Agama Cikarang

    Menurut Cik Hasan Bisri peradilan adalah suatu pranata (institusi) dalam

    memenuhi hajat hidup, anggota masyarakat untuk menegakkan hukum dan

    keadilan. Sedangkan pengadilan merupakan satuan organisasi (insitute) yang

    menyelenggarakan penegakan hukum dan peradilan tersebut.55

    Dalam hukum Islam, kegiatan peradilan merupakan kegiatan muamalah,

    yaitu kegiatan antara manusia dalam kehidupan bersama (manusia dengan

    manusia/manusia dengan masyarakat). Melaksanakan amalan (kegiatan)

    peradilan hukumnya adalah fardhu kifayah; harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang

    dalam satu kelompok masyarakat, namun kalau sudah ada satu atau beberapa

    orang yang mengerjakan (melaksanakan), kewajiban telah terpenuhi. Al Mawardi

    di dalam buku al-Ahkam as Shulthaniyah menegaskan kegiatan peradilan adalah

    merupakan bagian pemerintah dalam rangka bernegara.56

    Selama ini sebagaimana diketahui bahwa kewenangan organisasi,

    administrasi dan finansial Peradilan Agama berada dibawah Departemen Agama,

    sedangkan kewenangan tekhnis yudisial berada di bawah Mahkamah Agung.

    Berdasarkan pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

    55

    Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum di Indonesia, dari Otoriter Konservatif

    Menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000), h. 27.

    56

    Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, (Jakarta: Darul Falah, 2000), h.142.

    35

  • 36

    Tahun 1945 yang telah diamandemen dikatakan bahwa “kekuasaaan kehakiman

    dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan perasilan yang ada

    dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama,

    lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh

    Mahkamah Konstitusi.” Dengan amandemen Undang-undang Dasar Negara

    Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, khususnya Bab IX tentang Kekuasaan

    Kehakiman pasal 24 telah membawa perubahan penting terhadap penyesuaian

    tersebut, lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang-undang

    Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman dan undang-Undang

    Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

    Berdasarkan pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

    tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa “ketentuan mengenai

    organisasi, administrasi dan finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud

    ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang

    sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.” Dengan

    demikian berdasarkan pasal tersebut, lahirlah apa yang disebut dengan peradilan

    satu atap. Sebagai realisasi dari pasal tersebut, lahirlah apa yang disebut dengan

    peradilan satu atap. Sebagai realisasi dari pasal tersebut lahirlah Undang-Undang

    Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7

    Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

    Pengadilan Agama Cikarang (selanjutnya disebut PA Cikarang) dibentuk

    oleh Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 145 Tahun 1998 tentang

    http://img.pa-cikarang.go.id/upload/Keppres_145_1998.PDF

  • 38

    Pembentukan Pengadilan Agama Cikarang secara historis pada dasarnya

    tidak jauh berbeda dengan pembentukan Pengadilan Agama lainnya yang ada di

    wilayah negara RI. Fase sebelum kemerdekaan dimana Indonesia mengalami

    beberapa kali masa penjajahan oleh bangsa lain seperti Belanda, Jepang, dan

    lain-lain mewarnai tumbuh kembang dan terbentuknya institusi Peradilan Agama

    di Indonesia.

    Peradilan Agama adalah salah satu dari tiga peradilan khusus di

    Indonesia. Sebagai peradilan khusus, Peradilan Agama mengadili perkara-

    perkara perdata tertentu dan hanya untuk orang-orang tertentu saja. Dengan

    perkataan lain, Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata Islam

    tertentu saja dan hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia. Oleh karena itu,

    Peradilan Agama dapat disebut sebagai peradilan Islam di Indonesia, yang

    pelaksanaannya secara limitatif telah disesuaikan dengan keadaan di Indonesia.59

    Oleh karena Peradilan Agama itu merupakan peradilan khusus, maka

    cakupan wewenangnya meliputi perkara-perkara tertentu di kalangan golongan

    rakyat tertentu. Perkara tertentu itu adalah perkara perdata di bidang perkawinan,

    kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah berdasarkan hukum Islam. Adapun

    golongan rakyat tertentu itu adalah orang-orang yang beragama Islam.

    59

    Roihan A. Rasjid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991, h. 6.

  • 39

    Kekhususan itu meliputi unsur perkara perdata tertentu, hukum Islam dan orang

    Islam.60

    Dengan adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-

    Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, secara formal

    maka keberadaan Peradilan Agama diakui, namun mengenai susunan dan

    kekuasaan (wewenang) masih beragam dan hukum acara yang dipergunakan

    adalah HIR serta peraturan-peraturan yang diambil dari hukum acara Peradilan

    Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, dewasa ini telah dikeluarkan Undang-

    Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mengatur: susunan,

    kekuasaan dan hukum acara Peradilan Agama. Undang-Undang ini kemudian

    mengalami perubahan pada Pasal-Pasal tertentu untuk menyesuaikan dengan

    perkembangan perundang-undangan yang ada maupun dengan kebutuhan di

    lapangan praktis dengan keluarnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006.61

    Pengadilan Agama Cikarang mempunyai dasar-dasar hukum yang sudah

    di atur di dalam :

    1). UUD 1945 Pasal 24.

    2). UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

    3). UU No.7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama.

    4). UU No.3 tahun 2006 tentang Amandemen UU No.7 tahun 2006.

    60

    Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000), h. 160.

    61

    Sulaikin Lubis, Wismar „Ain Marzuki dan Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 2.

  • 40

    Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

    badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum,

    lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan

    Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

    sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun

    2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, Pasal 2 menyatakan:

    Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi

    rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu

    yang diatur dalam undang-undang ini. Pasal 3 Undang-Undang Peradilan Agama

    tersebut menyatakan :

    1. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh:

    a. Pengadilan Agama.

    b. Pengadilan Tinggi Agama.

    2. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Pengadilan Agama berpuncak pada

    Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.

    B. Tugas dan Kewenangan Pengadilan Agama Cikarang

    Sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Republik Indonesia

    Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

    1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama Cikarang sebagai Pengadilan

    Tingkat Pertama bertugas dan berwenang menerima, memeriksa, memutus dan

    menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang

  • 41

    bergama islam di bidang: Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat,

    Infaq, Shadaqah, Ekonomi Syariah.

    Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang diatur dalam atau

    berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan

    menurut syari‟ah, antara lain:

    1. Izin beristri lebih dari seorang.

    2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun,

    dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan

    pendapat.

    3. Dispensasi kawin.

    4. Pencegahan perkawinan.

    5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

    6. Pembatalan perkawinan.

    7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri.

    8. Perceraian karena talak.

    9. Gugatan perceraian.

    10. Penyelesaian harta bersama.

    11. Mengenai penguasaan anak.

    12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak

    yang seharusnya bertanggungjawab tidak memenuhinya.

    13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas

    istri atau penentuan auatu kewajiban bagi bekas istri.

  • 42

    14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak.

    15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua.

    16. Pencabutan kekuasaan wali.

    17. Penunjukkan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan

    seorang wali dicabut.

    18. Menunjukkan seorang wali dalam hal seorang yang belum cukup umur 18

    tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukkan wali

    oleh orang tuanya.

    19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan

    kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya.

    20. Penetapan asal usul seorang anak.

    21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan

    perkawinan campuran.

    22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang

    No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang

    lain.62

    Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama Cikarang

    mempunyai fungsi sebagai berikut:

    1. Memberikan pelayanan teknis yudisial dan administrasi kepaniteraan bagi

    perkara tingkat pertama serta penyelesaian perkara dan eksekusi.

    62

    Lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

  • 43

    2. Memberikan pelayanan dibidang administrasi perkara banding, kasasi dan

    peninjauan kembali serta administrasi peradilan lainnya.

    3. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan

    Pengadilan Agama (umum, kepegawaian dan keuangan).

    4. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam pada

    instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta sebagaimana diatur

    dalam pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Nomor 50

    Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

    5. Memberikan pelayanan penyelesaian permohonan pertolongan pembagian harta

    peninggalan diluar sengketa antara orang-orang yang beragama islam yang

    dilakukan berdasarkan hukum Islam sebagaimana diatur dalam pasal 107 ayat (2)

    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-undang Nomor 50 Tahun

    2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

    tentang Peradilan Agama.

    6. Waarmerking akta keahliwarisan di bawah tangan untuk pengambilan deposito/

    tabungan, pensiunan dan sebagainya.

    7. Melaksanakan tugas penyelesaian sengketa ekonomi syari‟ah sesuai dengan pasal

    49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang telah diperbaharui yang

    kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.

    8. Melaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti penyuluhan hukum,

    memberikan/ melaksanakan hisab rukyat dalam penentuan awal pada tahun

    hijriyah.

  • 44

    C. Perkara Yang Diterima dan Diputus PA Cikarang Tahun 2013

    No Jenis Perkara Keadaan Perkara

    Sisa Akhir

    2012

    Perkara

    Diterima

    2013

    Jumlah Perkara

    Putus

    Sisa

    A.

    B.

    C.

    D.

    E.

    F.

    G.

    PERKAWINAN

    1. Izin Poligami 2. Izin Kawin 3. Dispensasi Kawin 4. Pencegahan Perkawinan 5. Penolakan Perkawinan Dari

    PPN

    6. Pembatalan Perkawinan 7. Kelalaian Atas Kewajiban

    Suami/Isteri

    8. Cerai Talak 9. Cerai Gugat

    10. Harta Bersama 11. Penguasaan Anak/ Hadhanah 12. Nafkah Anak Oleh Ibu 13. Hak-hak Bekas Isteri 14. Pengesahan Anak 15. Perwalian 16. Pencabutan Kekuasaan Orang

    Tua

    17. Penetapan Ahli Waris 18. Penunjukan Orang Lain

    Sebagai Wali

    19. Ganti Rugi Terhadap Wali 20. Asal Usul Anak 21. Penolakan Kawin Campuran 22. Istbat Nikah 23. Wali Adhol KEWARISAN

    WASIAT

    HIBAH

    WAKAF

    SHODAQOH

    LAIN-LAIN

    24. Pengangkatan Anak

    -

    -

    -

    -

    -

    1

    -

    130

    236

    -

    3

    -

    -

    -

    -

    -

    7

    -

    -

    -

    -

    174

    1

    1

    -

    -

    -

    -

    -

    -

    11

    -

    2

    -

    -

    3

    -

    578

    912

    7

    4

    -

    -

    -

    4

    -

    21

    -

    -

    -

    -

    785

    1

    1

    -

    -

    -

    -

    2

    3

    11

    -

    2

    -

    -

    4

    -

    708

    1148

    7

    7

    -

    -

    -

    4

    -

    28

    -

    -

    -

    -

    959

    2

    2

    -

    -

    -

    -

    2

    3

    9

    -

    2

    -

    -

    3

    -

    558

    866

    3

    6

    -

    -

    -

    3

    -

    22

    -

    -

    -

    -

    904

    1

    2

    -

    -

    -

    -

    -

    2

    2

    -

    -

    -

    -

    1

    -

    150

    282

    4

    1

    -

    -

    -

    1

    -

    6

    -

    -

    -

    -

    55

    1

    -

    -

    -

    -

    -

    2

    1

    JUMLAH 553 2334 2887 2381 506

  • 45

    BAB IV

    PEMBAYARAN NAFKAH IDDAH AKIBAT PUTUSAN PENGADILAN

    AGAMA CIKARANG

    A. Putusan Pengadilan Agama Cikarang Tentang Nafkah Iddah

    1. Putusan Nafkah Iddah Istri Nusyuz

    Putusan Nomor: 0292/Pdt.G/2013/PA.Ckr

    Pada perkara ini pihak Pemohon adalah Muhamad Yunus bin Sulemi,

    umur 38 tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawan Swasta, tempat tinggal di

    Kampung Sempu Jalan Pasir Gombong RT.03 RW.03 No.14 Desa

    Pasirgombong, Kecamatan Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi melawan Sri Tati

    binti Sriyanto, umur 41 tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawati Swasta, tempat

    tinggal di Perumahan Telaga Pesona Jalan Raya Telaga Pesona Blok M.3 RT.10

    RW.17 No.05 Desa Telagamurni, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi,

    selanjutnya disebut sebagai: “Termohon”.

    Duduk perkara perkara ini adalah bahwa Pemohon berdasarkan surat

    permohonannya tertanggal 01 Maret 2013 telah mengajukan permohonan cerai

    talak yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Cikarang pada tanggal

    tersebut dengan register Nomor : 0292/Pdt.G/2013/PA.Ckr telah mengajukan

    hal-hal sebagai berikut :

    Bahwa pada tanggal 05 Oktober 1999, Pemohon dengan Termohon

    melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor

    Urusan Agama Kecamatan Banjarharja, Brebes Jawa Tengah sebagaimana

    45

  • 46

    ternyata dalam Buku Kutipan Akta Nikah Nomor : 807/32/X/1999 tanggal 05

    Oktober 1999; Bahwa selama berumah tangga antara Pemohon dengan

    Termohon telah dikaruniai 1 orang anak bernama : DAFFA YUNUS

    ALFARIDZI, lahir tanggal 05 Oktober 2000.

    Bahwa rumah tangga Pemohon dengan Termohon pada awalnya

    berjalan rukun dan harmonis, akan tetapi sejak Juni 2006 mulai tidak rukun

    karena terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran. Bahwa sebagai

    penyebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran Pemohon dengan Termohon

    disebabkan masalah:

    1. Antara Pemohon dan Termohon sudah tidak ada komunikasi yang baik lagi;

    2. Termohon tidak menghargai Pemohon sebagai kepala rumah tangga;

    3. Termohon kurang menerima penghasilan Pemohon;

    4. Termohon tidak taat dan tidak patuh kepada Pemohon, bila diberi saran atau

    nasehat selalu melawan;

    Pemohon pernah mengajukan perkara dengan Nomor :

    1351/Pdt.G/2012/PA.Ckr, dan perkara tersebut dicabut pada tanggal 18

    Desember 2012 dengan upaya untuk rukun kembali akan tetapi keharmonisan

    tersebut tidak ada. Karena terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran,

    maka sejak September 2012 Pemohon dengan Termohon tidak tinggal bersama

    lagi atau terjadi pisah tempat tinggal dimana Pemohon tinggal di Kontrakan

    Bapak Enok di Pasir Gombong, sedangkan Termohon tinggal di Perumahan

    Telaga Pesona, Telaga Murni.

  • 47

    Tentang hukumnya Hakim menimbang, bahwa pada pokoknya Pemohon

    mendalilkan bahwa pada awalnya rumah tangga Pemohon dengan Termohon

    berjalan rukun dan harmonis, namun sejak bulan Juni 2006 rumah tangga

    Pemohon dan Termohon mulai dirasakan tidak rukun karena sering terjadi

    perselisihan dan pertengkaran disebabkan karena antara Pemohon dengan

    Termohon sudah tidak ada komunikasi yang baik lagi dan Termohon tidak

    menghargai Pemohon sebagai kepala rumah tangga serta Termohon kurang

    menerima penghasilan Pemohon dan Termohon sering menolak diajak

    berhubungan suami isteri, maka sejak September 2012 antara Pemohon dengan

    Termohon telah pisah rumah.

    Menimbang, bahwa dari jawab menjawab ternyata Termohon mengakui

    dan membenarkan dalil-dalil permohonan Pemohon dan Termohon tidak

    keberatan bercerai dengan Pemohon, namun dalam hal perceraian Pemohon tetap

    dibebani untuk membuktikannya.

    Menimbang. bahwa oleh karena itu permohonan Pemohon telah terbukti

    serta memenuhi alasan perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat 2

    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah

    Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam sehingga

    patut untuk dikabulkan.

    Pertimbangan hukum dalam menetapkan nafkah iddah. Menimbang,

    bahwa terhadap tuntutan tersebut Pemohon dalam repliknya menyatakan tidak

    keberatan anak diasuh oleh Termohon dan juga Pemohon menyanggupi akan

  • 48

    memberikan nafkah untuk anak setiap bulan sebesar Rp. 900.000, diluar biaya

    pendidikan dan kesehatan, dan mengenai nafkah iddah dan mut‟ah akan

    memberikan berupa uang sebesar Rp. 1.000.000,- dan Termohon dalam

    dupliknya menerima sesuai denan yang akan diberikan Pemohon.

    Menimbang, bahwa dengan telah dikabulkannya permohonan Pemohon

    untuk menceraikan isterinya dan berdasarkan pada pasal 149 huruf a dan b

    Kompilasi Hukum Islam, maka bekas suami wajib memberikan mut‟ah dan

    nafkah selama masa iddah terhadap Termohon, dan Pemohon telah menyatakan

    di dalam repliknya akan memberikan nafkah selama masa iddah dan mut‟ah

    sebesar Rp. 1.000.000, terhadap Termohon, maka berdasarkan kesanggupan

    tersebut Majelis Hakim menetapakan menghukum Pemohon untuk membayar

    nafkah selama masa iddah tiga bulan dan mut‟ah sebesar Rp. 1.000.000, kepada

    Termohon.

    Menimbang, bahwa mengenai nafkah anak berdasarkan pada pasal 105

    huruf (c) ditanggung oleh ayahnya dan Pemohon sebagai ayah dari anak tersebut

    telah menyatakan akan memberikan nafkah terhadap anaknya setiap bulan

    sebesar Rp. 900.000, sesuai dengan tuntutan Termohon diluar biaya pendidikan

    dan kesehatan, maka oleh karena itu Majelis Hakim menetapkan menghukum

    Pemohon untuk membayar nafkah anak setiap bulan sebesar Rp. 900.000, kepada

    Termohon.

    M E N G A D I L I

    1. Mengabulkan permohonan Pemohon;

  • 49

    2. Memberi izin kepada Pemohon ((MUHAMAD YUNUS bin SULEMI) untuk

    menjatuhkan talak satu raj‟i terhadap Termohon (SRI TATI binti SRIYANTO)

    didapan sidang Pengadilan Agama Cikarang,-

    3. Menghukum Pemohon untuk membayar nafkah selama masa iddah 3 bulan

    sebesar Rp. 600.000, dan mut‟ah sebesar Rp. 400.000, kepada Termohon,-

    4. Menetapkan hak asuh anak yang bernama Daffa Yunus Alfaridzi, berada pada

    Termohon,-

    5. Menghukum Pemohon untuk membayar nafkah anak setiap bulanya sebesar

    Rp. 900.000,- kepada Termohon,-

    6. Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 261.000,

    (dua ratus enam puluh satu ribu rupiah).

    Putusan Nomor: 1046/Pdt.G/2013/PA.Ckr

    Agus Sofyan Hadi bin Enceng Supriatna, Umur 28 tahun, Agama Islam

    pekerjaan Karyawan Swasta, tempat tinggal di Kampung Blok Situ Jalan

    Neglasari Rt. 21 Rw. 05 Desa Purwadadi Barat, Kecamatan Purwadadi,

    Kabupaten Subang Jawa Barat, sebagai Pemohon, melawan G. Indri Megawati

    binti Haryono, Umur 28 tahun, Agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga,

    tempat tinggal di Perumahan Griya Husada Asri Blok C.11 Rt.04 Rw.04 No.15

    Desa Cijengkol, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, sebagai Termohon.

    Tentang duduk perkarannya yaitu Pemohon berdasarkan surat

    permohonannya tanggal 10 September 2013 yang telah terdaftar di Kepaniteraan

  • 50

    Pengadilan Agama Cikarang pada tanggal tersebut dengan Register perkara

    Nomor : 1046/Pdt.G/2013/PA.Ckr telah mengajukan hal-hal sebagai berikut :

    Bahwa pada tanggal 01 Mei 2010, Pemohon dengan Termohon

    melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor

    Urusan Agama Kecamatan Mustikajaya Kota Bekasi sebagaimana ternyata

    dalam Buku Kutipan Akta Nikah Nomor : 297/04/V/2010 tanggal 01 Mei 2010.

    Bahwa setelah menikah Pemohon dan Termohon membina rumah tangga

    di Perumahan Griya Husada Asri Blok C.11 Rt.04 Rw.04 No.15 Desa Cijengkol,

    Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, sebagai tempat tinggal bersama. Bahwa

    selama berumah tangga antara Pemohon dengan Termohon telah dikaruniai 1

    orang anak bernama KEANU GAGAS ALRASKA, anak laki-laki, umur 9 bulan.

    Bahwa rumah tangga Pemohon dengan Termohon pada awalnya berjalan rukun

    dan harmonis, akan tetapi sejak tahun 2011 mulai tidak rukun karena terus

    menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran. Bahwa sebagai penyebab

    terjadinya perselisihan dan pertengkaran Pemohon dengan Termohon disebabkan

    masalah:

    a. Termohon pernah minta cerai pada Pemohon;

    b. Termohon pernah mencoba akan bunuh diri;

    c. Termohon pernah menampar wajah Pemohon;

    Bahwa karena terus menerus terjadi perselisihan dan pert