RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

205
STUDI EKOLOGI PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2013-2015 SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) Oleh: Rizki Amalia 1111101000030 PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/2016 M

Transcript of RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

Page 1: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

STUDI EKOLOGI PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

DI KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2013-2015

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan

Masyarakat (SKM)

Oleh:

Rizki Amalia

1111101000030

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1437 H/2016 M

Page 2: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf
Page 3: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

ii

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

EPIDEMIOLOGI

Skripsi, Maret 2015

Rizki Amalia, NIM: 1111101000030

STUDI EKOLOGI PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI

KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2013-2015

185 halaman, 2 gambar, 2 bagan, 13 tabel, 16 grafik, 4 peta, 6 lampiran

ABSTRAK

Penyakit DBD merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi

masalah kesehatan di Indonesia. Incidence rate (IR) Kota Tangerang Selatan

dalam 5 tahun terakhir melebihi target IR secara nasional. Salah satu faktor yang

menyebabkan peningkatan kasus DBD adalah faktor lingkungan (suhu udara,

kelembaban udara, curah hujan, kecepatan angin, angka bebas jentik, rumah sehat

dan kepadatan penduduk).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi spatialtemporal

penyakit DBD dan mengetahui hubungan antara suhu udara, kelembaban udara,

curah hujan dan kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kota Tangerang

Selatan tahun 2013-2015 menggunakan desain ecological study dimana

populasinya adalah semua kasus di seluruh Puskesmas yang ada wilayah Kota

Tangerang Selatan. Data berasal dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan,

BPS Kota Tangerang Selatan dan BMKG Ciputat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara spasial sebaran kasus DBD

yang tinggi lebih banyak ditemukan di Puskesmas dengan angka bebas jentik

tinggi (≥95%), rumah sehat tinggi (≥80%) dan kepadatan penduduk tinggi (>200

jiwa/ha). Sedangkan, secara temporal menunjukkan penurunan kasus DBD selama

3 tahun terakhir. Hasil uji statistik korelasi menunjukkan hubungan kuat secara

signifikan antara faktor iklim dengan kejadian DBD, kecuali kecepatan angin.

Incidence rate DBD pada tahun 2013-2015 di wilayah kerja Puskesmas

bagian Selatan Kota Tangerang Selatan masih tinggi. Pencegahan yang dilakukan

adalah peningkatan gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah

Dengue (PSN-DBD) melalui ‘3M Plus’ dan mengajak peran serta masyarakat agar

aktif dalam menjaga kebersihan lingkungan terkait breeding place nyamuk Aedes

aegypti.

Kata Kunci: Spasial, Temporal, Sistem Informasi Geografis, Demam

Berdarah Dengue, Korelasi, Iklim

Daftar bacaan: 86 (1990-2015)

Page 4: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

iii

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES

PUBLIC HEALTH

EPIDEMIOLOGY

Undergraduated Thesis, March 2015

Rizki Amalia, NIM: 1111101000030

ECOLOGICAL STUDY OF DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF) IN

THE CITY OF SOUTH TANGERANG YEAR 2013-2015

185 pages, 2 pictures, 2 bagan, 13 tables, 16 graphs, 4 maps, 6 attachments

ABSTRACT

Dengue hemorrhagic fever (DHF) is one of the diseases a health problem

in Indonesia. Incidence of DHF in South Tangerang City within the last 5 years is

still higher than the national target. The determinants of increase in dengue cases

are environmental factors (temperature, humidity, rainfall, wind speed, larva-free

numbers, house healthy and population density).

This research is aim to determine the distribution of the disease

spatialtemporal of DHF and to determine of the relationship between air

temperature, humidity, rainfall rain and wind speed with DHF in South Tangerang

City in 2013-2015 using ecological study which populations are all cases in all

health centers of South Tangerang City area. The data collected comes from

Health Department of South Tangerang City, the Central Statistics Agency South

Tangerang City, and Meteorology, Climatology and Geophysics of Ciputat.

Results of this research showed that spatially analysis is the distribution of

DHF cases is high are more prevalent with rate of larva-free is high (≥95%), high

percentage of healthy house (≥80%) and high population density (> 200

inhabitants/ha). Temporally analysis showed decrease in dengue cases over the last 3

years. Results of statistical test of correlation shows that there are significantly

strong relationship between climate factors and incidence of dengue, except for

the wind speed.

Incidence of DHF at 2013-2015 years by the working area of community

health centers in South of South Tangerang City is high. Prevention of dengue

disease is necessary to increase the movement of mosquito nest elimination of

DHF through ‘3M Plus’ and invites community participation to be proactive in

maintain a healthy environment which related to the breeding place of Aedes

aegypti.

Key: Spatial, Temporal, Geographic Information System, Dengue Hemorrhagic

Fever, Correlation, Climate

Page 5: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

i

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES

PUBLIC HEALTH

EPIDEMIOLOGY

Undergraduate, Maret 2015

Rizki Amalia, NIM: 1111101000030

ECOLOGICAL STUDY OF DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF) IN

THE CITY OF SOUTH TANGERANG YEAR 2013-2015

184 pages, 9 tables, 4 maps, 16 graphs, 3 bagan, 2 picture, 6 attachment

ABSTRACT

Dengue hemorrhagic fever (DHF) is one of the diseases a health problem

in Indonesia. Incidence of DHF in South Tangerang City within the last 5 years is

still more than the national target (≤ 51 per 100.000 population). The determinants

of increase in dengue cases are environmental factors (temperature, humidity,

rainfall, wind speed, larva-free numbers, house healthy and population density).

This research is aim to determine the distribution of the disease

spatialtemporal of DHF and to determine of the relationship between air

temperature, humidity, rainfall rain and wind speed with DHF in South Tangerang

City in 2013-2015 using ecological study which populations are all cases in all

health centers of South Tangerang City area. The data collected comes from

Health Department of South Tangerang City, the Central Statistics Agency South

Tangerang City, and Meteorology, Climatology and Geophysics of Ciputat.

Results of this research showed that spatially analysis is the distribution of

DHF cases is high are more prevalent with rate of larva-free is high (≥95%), high

percentage of healthy house (≥80%) and high population density (> 200

inhabitants/ha). Temporally analysis showed decrease in dengue cases over the last 3

years. Results of statistical test of correlation shows that there are significantly

strong relationship between climate factors and incidence of dengue, except for

the wind speed.

Incidence of DHF at 2013-2015 years by the working area of community

health centers in South of South Tangerang City is high. Prevention of dengue

disease is necessary to increase the movement of mosquito nest elimination of

DHF through ‘3M Plus’ and invites community participation to be proactive in

maintain a healthy environment which related to the breeding place of Aedes

aegypti.

Key: Spatial, Temporal, Geographic Information System, Dengue Hemorrhagic

Fever, Correlation, Climate

Page 6: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf
Page 7: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf
Page 8: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Rizki Amalia

Jenis Kelamin : Perempuan

TTL : Jakarta, 30 November 1993

No. Telp : 082113047625

Alamat : Jl. Sankis No.23 RT004/010 Perum. Depok Jaya Agung,

Pancoran Mas, Kota Depok 16435

Email : [email protected]

RIWAYAT PENDIDIKAN

1997-1999 : TK Tunas Bangsa

1999-2005 : SD Negeri Beji I Depok

2005-2008 : SMP Negeri 13 Depok

2008-2011 : MA Negeri 7 Jakarta Selatan

2011-sekarang : Peminatan Epidemiologi Program Studi Kesehatan

Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta

PENGALAMAN ORGANISASI

2013-2014 : Staf Departemen Pengembangan Sumber Daya

Epidemiology Student Association(ESA) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

Page 9: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Alah SWT , Dzat Yang maha Berkehendak, sehingga

atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Studi Ekologi

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Tangerang Selatan

Tahun 2013-2015”. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memnuhi salah

satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat dalam Peminatan

Epidemiologi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Masyarakat.

Atas semua bimbingan, bantuan, dukungan, perhatian serta do’a, penulis

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph. D sebagai Ketua Program Studi Kesehatan

Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Minsarnawati Tahangnacca, SKM, M. Kes sebagai penanggungjawab

peminatan Epidemiologi dan pembimbing skripsi I, terima kasih banyak Ibu

telah sabar dan menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan

masukan, arahan, bimbingan, motivasi dan dorongan semangat selama

penyusunan skripsi ini juga memberikan saya ridho untuk bisa maju sidang

skripsi.

4. Ibu Riastuti Kusuma Wardani, MKM sebagai pembimbing skripsi II, terima

kasih banyak Ibu telah sabar, menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk

Page 10: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

viii

memberikan masukan, arahan dan bimbingan selama penyusunan skripsi ini

juga telah memberikan saya ridho untuk bisa maju sidang skripsi.

5. Bapak Azib dan Ibu Ima selaku administrasi kemahasiswaan yang telah

membantu mengurus berkas yang dibutuhkan untuk bisa maju sidang skripsi

ini dan wisuda.

6. Bapak kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan yang telah

memberikan saya izin untuk melaksanakan penelitian di institusi ini.

7. Bapak Supriyadi selaku kepala seksi P2P Dinas Kesehatan Kota Tangerang

Selatan, Bapak Nicko selaku seksi Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan

Kota Tangerang Selatan dan Ibu Putri selaku pemegang Profil Dinas

Kesehatan Kota Tangerang Selatan telah meluangkan waktunya sewaktu saya

membutuhkan data, telah memberikan masukan dan pencerahan.

8. Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan yang telah mengizinkan

peneliti memiliki laporan Kecamatan Dalam Angka Kota Tangerang Selatan

Tahun 2010-2015.

9. Badan Meteorologi dan Klimatologi Geologi Ciputat yang telah mengizinkan

peneliti memiliki laporan iklim (suhu udara, kelembaban udara, curah hujan

dan kecepatan angin) Tahun 2010-2015.

10. Ibu Hj. Siti Hidayati, mama yang senantiasa mendoakan setiap langkah yang

penulis kerjakan juga bantuan dukungan moral dan material serta dengan

sabarnya terus-menerus mengingatkan agar penulis tetap semangat dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Page 11: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

ix

11. (Alm.) Bapak H. Waladi, bapak yang sudah tiada sejak Januari tahun 2015

sudah senantiasa mendoakan setiap langkah yang penulis kerjakan,

memberikan kasih sayang, dorongan semangat serta pesan terakhirnya

sebelum beliau tiada yaitu mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan

skripsi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

12. Kakak (Mas Ito), kakak ipar (Mba Nada), keponakan (Zainka) juga yang

tersayang telah memberikan bantuan moral, material dan doa serta dorongan

semangatnya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

13. Adik (Devi V.), Dina, Rini, Pipi (Putri A.), Dea, PW (Putri W.), Kemal, Upit

(Nur Fitri A.),Wulan, Kak Bayu, Kak Zata dan juga Kak Nida yang telah

membantu penulis dalam pembuatan skripsi ini dan juga doa, dorongan

semangat dan masukannya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

14. Komunitas Epidemiologi 2011 dan juga Epidemiologi 2013 yang telah

memberikan doa dan dorongan semangatnya.

15. Sahabat “Genk Remponkz” yang selalu kompak sejak semester 1 yang telah

memberikan dukungan moral, materil, doa serta dengan sabarnya terus-

menerus mengingatkan penulis agar menyelesaikan skripsi ini.

16. Seluruh teman mahasiswa Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Skripsi ini merupakan janji penulis kepada Alm.bapak dan juga mama

seperti yang telah dijanjikan penulis. Kepada mama yang selalu mendoakan,

menyemangati dan mengingatkan penulis agar tidak membuang-buang waktu

Page 12: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

x

yang bejalan, serta senantiasa mengajarkan pada penulis tentang nilai-nilai dalam

kehidupan.

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, penulis memohon maaf apabila

masih banyak terdapat kekuranagn dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi

ini bermanfaat bagi yang hendak mengembangkan maupun mendalami topic

bahasannya. Semoga Alloh SWT. berkenan membalas segala kebaikan semua

pihak yang telah membantu. Amin ya Rabbal’alamin.

Jakarta, 08 Maret 2016

Penulis

Page 13: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

xi

DAFTAR SINGKATAN

DBD : Demam Berdarah Dengue

WHO : World Health Organization

ABJ : Angka Bebas Jentik

IR : Incidence Rate

SIG : Sistem Informasi Geografis

Jumantik : Juru Pemantauan Jentik

KLB : Kejadian Luar Biasa

PJB : Pemantauan Jentik Berkala

PSN : Pemberantasan Sarang Nyamuk

PSN-DBD : Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue

3M Plus : Menutup, Mengubur, Menguras juga pemeliharaan ikan pemakan

jentik, tidak menggantung pakaian, penggunaan abate,

penggunaan repellent, kelambu

SKD-DBD : Sistem Kewaspadaan Dini Demam Berdarah Dengue

TPA : Tempat Penampungan Air

Page 14: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

xii

DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI……………………………………………. i

ABSTRAK………………………………………………………………..……….. ii

ABSTRACT………………………………………………………………..……… iii

LEMBAR PERSETUJUAN……………………………………..…………..…… iv

LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………….… v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP…………………………………………………… vi

KATA PENGANTAR………………………………………………………..…… vii

DAFTAR SINGKATAN………………………………………………………….. xi

DAFTAR ISI…………………………………………………………………..….. xii

DAFTAR BAGAN.................................................................................................... xvi

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………… xvi

DAFTAR GRAFIK………………………………………………………………. xvi

DAFTAR TABEL………………………………………………………………… xvii

DAFTAR PETA………………………………………………………………….. xviii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………..... 1

A. Latar Belakang…………………………………………………………....... 1

B. Rumusan Masalah………………………………………………………...... 7

C. Pertanyaan Penelitian…………………………………………………….... 8

D. Tujuan Penelitian………………………………………………………….. 9

E. Manfaat Penelitian……………………………………………………......... 11

F. Ruang Lingkup Peneliti………………………………………………......... 13

Page 15: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

xiii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………….. 14

A. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)……………………………….. 14

1. Definisi DBD………………………………………………………… 14

2. Etiologi DBD………………………………………………………… 14

3. Gejala DBD………………………………………………………….. 15

4. Vektor DBD…………………………………………………….......... 16

5. Mekanisme Penularan DBD…………………………………………. 19

B. Epidemiologi Deskriptif…………………………………………………… 21

1. Orang…………………………………………………………………. 21

2. Tempat………………………………………………………….......... 22

3. Waktu………………………………………………………………… 22

C. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)………………………….. 23

1. Host (Pejamu)………………………………………………………... 24

2. Agent………………………………………………………………… 28

3. Environment (Lingkungan)………………………………………….. 29

D. Sistem Informasi Geografis (SIG) atau Geographic Information System

(GIS)………………………………………………………………………. 41

1. Definisi SIG…………………………………………………….......... 41

2. Kegunaan SIG………………………………………………….......... 42

E. Analisis Spasial………………………………………………………….… 43

1. Definisi Analisis Spasial………………………………………….…. 43

2. Manfaat Analisis Spasial……………………………………………. 46

3. Teknik Analisis Overlay…………………………………………….. 46

F. Kerangka Teori……………………………………………………………. 46

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL…………. 51

A. Kerangka Konsep……………………………………………………….…. 51

B. Definisi Operasional…………………………………………………….… 55

C. Hipotesis Penelitian………………………………………………………... 58

Page 16: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

xiv

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN……………………………………….. 59

A. Desain Penelitian…………………….…………………………………….. 59

B. Lokasi, Waktu dan Populasi Penelitian………………………………......... 60

C. Manajemen Data…………………………………………………………… 60

1. Cara Pengumpulan Data……….…………………………………..… 60

2. Instrumen Penelitian…………………………………………………. 61

3. Pengolahan Data…………….……………………………………….. 63

D. Analisis Data………………………/………………………………………. 66

1. Analisis Univariat……………………………………………………. 66

2. Analisis Bivariat…………….……………………………………….. 67

3. Analisis Spatialtemporal…..………………………………………… 68

BAB V HASIL……………………………………………………………………. 70

A. Distribusi Kejadian Penyakit DBD………………………………………… 70

1. Distribusi Kejadian DBD Menurut Orang…………………………… 70

2. Distribusi Kejadian DBD Menurut Tempat………………………….. 72

3. Distribusi Kejadian DBD Menurut Waktu…………………………... 76

B. Distribusi Angka Bebas Jentik Menurut Wilayah Kerja Puskesmas……… 79

C. Distribusi Rumah Sehat Menurut Wilayah Kerja Puskesmas…………….. 84

D. Distribusi Kepadatan Penduduk Menurut Wilayah Kerja Puskesmas……. 90

E. Gambaran Faktor Iklim di Kota Tangerang Selatan………………………. 97

1. Gambaran Suhu Udara di Kota Tangerang Selatan …………………. 97

2. Gambaran Kelembaban Udara di Kota Tangerang Selatan………….. 98

3. Gambaran Curah Hujan di Kota Tangerang Selatan ………………… 99

4. Gambaran Kecepatan Angin di Kota Tangerang Selatan …………… 99

F. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Faktor Iklim di Kota Tangerang

Selatan……………………………………………………………………… 100

1. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Suhu Udara di Kota

Tangerang Selatan …………………………………………………... 101

2. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Kelembaban Udara di Kota

Tangerang Selatan……………………………………………………. 102

Page 17: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

xv

3. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Curah Hujan di Kota

Tangerang Selatan …………………………………………………… 104

4. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Kecepatan Angin di Kota

Tangerang Selatan …………………………………………………… 106

BAB VI PEMBAHASAN…………………………………………………………. 108

A. Keterbatasan Penelitian…………………………………………………….. 108

B. Distribusi Kejadian Penyakit DBD………………………………………… 109

1. Distribusi Kejadian DBD Menurut Orang…………………………… 109

2. Distribusi Kejadian DBD Menurut Tempat………………………….. 112

3. Distribusi Kejadian DBD Menurut Waktu…………………………... 114

C. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Lingkungan Fisik………. 116

D. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Lingkungan Biologi……. 128

E. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Lingkungan Non-Fisik…. 131

BAB VII PENUTUP…………………………………………………………....… 133

A. Simpulan…………………………………………………………………… 133

B. Saran……………………………………………………………………….. 135

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………... 139

LAMPIRAN………………………………………………………………………. 147

Page 18: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

xvi

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Paradigma Kesehatan Lingkungan (Teori Simpul)…………………….. 30

Bagan 2.2 Teori Simpul……………………………………………………………. 50

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Vektor Nyamuk Aedes aegypti…………………………..…………… 17

Gambar 2.2 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti………………………………… 19

DAFTAR GRAFIK

Grafik 5.1 Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Kelompok Umur di Kota

Tangerang Selatan Tahun 2013-2015…………………………………... 71

Grafik 5.2 Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Jenis Kelamin di Kota

Tangerang Selatan Tahun 2013-2015…………………………………... 72

Grafik 5.3 Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan IR DBD

Per 100.000 Penduduk Tahun 2013-2015…………………………….... 73

Grafik 5.4 Distribusi Kasus DBD Menurut Tahun di Kota Tangerang Selatan

Tahun 2013-2015……………………………………………………….. 77

Grafik 5.5 Distribusi Kasus DBD Menurut Bulan di Kota Tangerang Selatan

Tahun 2013-2015…………………………………………………….…. 78

Grafik 5.6 Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan Angka

Bebas Jnetik Tahun 2013-2015……………………………................... 80

Grafik 5.7 Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan Rumah

Sehat Tahun 2013-2015…………………………….............................. 86

Grafik 5.8 Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan Kepadatan

Penduduk Tahun 2013-2015……………………………....................... 92

Page 19: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Jenis Data Penelitian…………………………..………………………… 61

Tabel 4.2 Ukuran Epidemiologi Pada Variabel Penelitian………………………… 66

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi ABJ di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang

Selatan Tahun 2013-2015………………………………………………. 79

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Rumah Sehat di Wilayah Kerja Puskesmas Kota

Tangerang Selatan Tahun 2013-2015…………………………………… 85

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Kepadatan Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas

Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015……………………………... 91

Tabel 5.4 Distribusi Suhu Udara di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015….. 97

Tabel 5.5 Distribusi Kelembaban Udara di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-

2015……………………………………………………………………... 98

Tabel 5.6 Distribusi Curah Hujan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015…. 99

Tabel 5.7 Distribusi Kecepatan Angin di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-

2015……………………………………………………………………... 100

Tabel 5.8 Hasil Analisis Korelasi Suhu Udara dengan Kejadian DBD di Kota

Tangerang Selatan Tahun 2013-2015………………………………….. 101

Tabel 5.9 Hasil Analisis Korelasi Kelembaban Udara dengan Kejadian DBD di

Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015………………………….… 103

Tabel 5.10 Hasil Analisis Korelasi Curah Hujan dengan Kejadian DBD di Kota

Tangerang Selatan Tahun 2013-2015…………………………………. 105

Tabel 5.11 Hasil Analisis Korelasi Kecepatan Angin dengan Kejadian DBD di

Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015……………………………. 106

Page 20: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

xviii

DAFTAR PETA

Peta 5.1 Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD di Kota Tangerang

Selatan Tahun 2013-2015………………………………………………... 74

Peta 5.2 Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD dengan Angka Bebas

Jentik di Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Tahun

2013-2015………………………………………………………………... 81

Peta 5.3 Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD dengan Rumah Sehat di

Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-

2015……………………………………………………..……………….. 87

Peta 5.4 Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD dengan Kepadatan

Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Tahun

2013-2015………………………………………………………………... 93

Page 21: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu

penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat internasional dan

merupakan penyakit yang dapat berpotensi kematian, khususnya di negara-

negara tropis dan sub tropis. Dalam dekade terakhir, penyebaran kasus

Dengue oleh nyamuk Aedes aegypti banyak tersebar luas baik di perkotaan

maupun pedesaan dan menyebabkan tingginya kasus yang membutuhkan

rawat inap dan kematian pada anak-anak (WHO, 2009).

Organisasi kesehatan dunia (WHO) menyatakan bahwa lebih dari 70%

Kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat merupakan daerah yang paling

serius terkena dampak dari DBD (WHO, 2011). Hingga saat ini, WHO

memperkirakan sebanyak 50 sampai 100 juta orang terinfeksi Dengue setiap

tahunnya, termasuk sebanyak 500.000 kasus DBD, 22.000 kematian dimana

sebagian besar terjadi pada anak-anak (WHO, 2015; CDC, 2015). Pada tahun

2013, kasus Dengue terjadi di Florida (salah satu negara di Amerika) dan

Yunan, Provinsi Cina. Dengue terus berlanjut hingga sampai negara-negara

Amerika Selatan, yaitu Honduras, Costa Rica dan Meksiko.

Di wilayah Asia Tenggara, pada tahun 2012 negara Indonesia dan

Filipina memiliki tanggungan beban besar dalam kasus demam berdarah.

Pada tahun 2013 Indonesia menempati urutan ke-3 dengan kasus sebanyak

101.218 kasus setelah Filipina (166.107 kasus) dan Thailand (150.454 kasus)

Page 22: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

2

(sanofi, 2014). Sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, Indonesia tercatat

sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Kemenkes RI,

2010). Indonesia merupakan negara hiperendemis Dengue dimana ke-empat

serotipe virus Dengue sudah tersebar di 34 provinsi. Setelah Indonesia,

hiperendemis Dengue diikuti oleh negara Vietnam, Thailand, Philipina dan

Malaysia (Fullerton et al, 2014).

Pada tahun 2014, Incidence Rate (IR) atau angka kesakitan DBD di

Indonesia sebesar 39,8% per 100.000 penduduk dimana 3 provinsi dengan

Incidence Rate (IR) DBD tertinggi, yaitu Provinsi Kalimantan Timur (234,29

per 100.000 penduduk) Provinsi Bali (206 per 100.000 penduduk) dan

Provinsi Kepulauan Riau (202,08 per 100.000 penduduk) (Kemenkes RI,

2015). Ketiga provinsi tersebut tidak mencapai indikator menurunnya angka

kesakitan menjadi ≤ 51 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2014).

Beberapa Provinsi yang telah mencapai indikator, salah satunya Provinsi

Banten dengan IR sebesar 13,88 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2015).

Namun, di dalam Provinsi Banten juga terdapat beberapa kabupaten/kota

endemis DBD salah satunya, yaitu Kota Tangerang Selatan (Kemenkes RI,

2014).

Setelah dilakukan studi pendahuluan dengan melihat kasus DBD yang

terlaporkan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan diketahui bahwa

dalam 5 tahun terakhir IR DBD per 100.000 penduduk di Kota Tangerang

Selatan berada diatas indikator nasional (2010=76,2; 2011=52,1; 2012=59,9;

2013=54,2; 2014=51,8) (P2P Dinkes Kota Tangerang Selatan, 2014). Pada

Page 23: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

3

tahun 2015, setelah ditelusuri berdasarkan wilayah kerja puskesmas masih

ditemukan sebanyak 9 dari 25 puskesmas yang memiliki angka IR DBD > 51

per 100.000 penduduk dimana angka IR DBD tertinggi mencapai 311 per

100.000 penduduk, yaitu pada Puskesmas Setu (P2P Dinkes Kota Tangerang

Selatan, 2015).

Penyakit DBD merupakan penyakit berbasis lingkungan dengan

perkembangbiakan nyamuk yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan

sekitarnya sehingga berpotensi adanya kontak antara nyamuk infektif virus

Dengue dengan manusia dan menularkan virus tersebut. Dalam teori simpul

oleh Achmadi (2014), terdapat 5 macam simpul yaitu simpul 1 (penderita

penyakit DBD), simpul 2 (vektor nyamuk Aedes aegypti infektif virus

Dengue), simpul 3 (karakteristik masyarakat yang berisiko menderita

penyakit DBD), simpul 4 (dampak kontak antara nyamuk infektif virus

Dengue dengan manusia) dan simpul 5 (suhu udara, kelembaban udara, curah

hujan, kecepatan angin, rumah sehat, angka bebas jentik dan kependudukan)

(Achmadi, 2014).

Beberapa variabel iklim dapat mempengaruhi dalam transmisi

penularan penyakit dengan empat variabel yang paling signifikan

mempengaruhi kejadian penyakit, antara lain suhu udara, kelembaban udara,

curah hujan dan angin (Parham et al, 2010). Dalam laporan BMKG Kota

Tangerang Selatan didapat bahwa rata-rata curah hujan dan kelembaban udara

dalam kurun waktu 3 (tiga) terakhir adalah 189,9 mm dan 80%. Curah hujan

berbanding lurus dengan kelembaban udara sehingga apabila curah hujan

Page 24: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

4

tinggi, maka kelembaban udara juga tinggi. Kedua hal tersebut dapat

mempengaruhi jumlah vektor nyamuk dan umur vektor nyamuk yang

menyebabkan penularan DBD masih terus terjadi. Penelitian yang dilakukan

oleh Mu-Jean Chen et al (2012) di Taiwan tahun 1994-2008 menunjukkan

ada hubungan yang signifikan antara curah hujan dengan penyakit Dengue

dan Costa et al (2010) di Brazil menunjukkan terdapat hubungan antara

kelembaban udara dengan kejadian DBD.

Dalam laporan BMKG Kota Tangerang Selatan didapat bahwa rata-rata

suhu udara dalam kurun waktu 3 (tiga) terakhir adalah 27,7ºC. Suhu udara

dapat mempengaruhi perkembangan virus Dengue dalam tubuhnya dan

frekuensi menggigit ke beberapa orang. Penelitian yang dilakukan oleh Costa

et al (2010) di Brazil menunjukkan terdapat hubungan antara suhu dengan

DBD. Dalam laporan BMKG Kota Tangerang Selatan didapat bahwa rata-

rata kecepatan angin dalam kurun waktu 3 (tiga) terakhir adalah 4 knot.

Semakin tinggi kecepatan angin, maka semakin sulit nyamuk untuk terbang

sehingga penularan DBD tidak menyebar luas. Penelitian oleh Dini (2010)

menyatakan tidak ada hubungan bermakna antara kecepatan angin dengan

insiden DBD.

Faktor lainnya yang juga termasuk faktor lingkungan adalah Angka

Bebas Jentik (ABJ), kepadatan penduduk dan rumah sehat. Dalam laporan

Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan didapat bahwa rata-rata angka

bebas jentik dalam kurun waktu 3 (tiga) terakhir adalah sebesar 92,5%.

Wilayah dengan rata-rata ABJ yang masih dibawah indikator nasional, yaitu

Page 25: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

5

lebih dari sama dengan 95% mengartikan bahwa partisipasi masyarakat dalam

mencegah DBD dengan cara 3M di lingkungan sekitarnya belum optimal

sehingga kasus DBD masih sering terjadi. Penelitian yang dilakukan oleh

Sunardi (2007) secara spasial menunjukkan bahwa kasus DBD lebih banyak

pada wilayah dengan tingkat ABJ kurang dari 95%.

Dalam laporan BPS Kota Tangerang Selatan didapat bahwa rata-rata

kepadatan penduduk dalam kurun waktu 3 (tiga) terakhir adalah 232, 2

jiwa/ha. Kepadatan penduduk yang tinggi dapat meningkatkan penularan

kasus DBD. Nyamuk memiliki kemampuan terbang hingga 100 m, namun

dengan penduduk yang padat, nyamuk tidak perlu terbang sejauh itu sehingga

peluang besar untuk nyamuk Aedes aegypti menggigit pada banyak orang

dapat memberikan dampak penyebaran kasus DBD dengan cepat (Hairani,

2009). Penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih (2014) di Kecamatan

Karangmalang Kabupaten Sragen menunjukkan secara spasial bahwa kasus

DBD di desa/ kelurahan tinggi dengan kepadatan penduduk yang tinggi

dibandingkan wilayah lain.

Dalam laporan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan didapat bahwa

rata-rata persentase rumah sehat dalam kurun waktu 3 (tiga) terakhir adalah

sebesar 89%. Rumah sehat tidak hanya dilihat dari layak atau tidak bangunan

rumah sebagai tempat tinggal. Salah satu kriteria rumah dikatakan tidak sehat,

yaitu ditemukannya jentik pada tempat-tempat yang berpotensi sebagai

habitat perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti seperti pot-pot

bunga, tempat penampungan air (bak mandi, ember, tempayan). Penelitian

Page 26: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

6

Zainudin (2003) menyatakan bahwa negara Mali, Volta, Ghana, Togo

memiliki penyimpanan air domestik dengan menggunakan air yang besar

sehingga ditemukan kejadian DBD yang tinggi di negara tersebut.

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan analisis spatialtemporal

(ruang dan waktu) dengan tools sistem informasi geografis (SIG) secara

geografis dalam layer peta untuk melihat sebaran kejadian DBD berdasarkan

rumah sehat, ABJ dan kepadatan penduduk di Kota Tangerang Selatan.

Analisis spatialtemporal ini dapat mengetahui adanya faktor keruangan

(rumah sehat, ABJ dan kepadatan penduduk) yang berpengaruh terhadap

kejadian penyakit DBD dari waktu ke waktu selanjutnya. Selain itu juga

dapat membantu mengetahui daerah mana saja yang endemis DBD.

Setelah dilakukan studi pendahuluan di Dinas Kesehatan Kota

Tangerang Selatan diketahui bahwa belum tersedia peta rawan DBD

berdasarkan wilayah kerja Puskesmas. Untuk itu, peneliti melakukan

penelitian dengan memanfaatkan pendekatan spasial dalam upaya

penyelesaian masalah DBD di Kota Tangerang Selatan. Selain itu, dalam

penelitian ini peneliti juga melakukan uji korelasi statistik untuk mengetahui

kekuatan hubungan antara suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan

kecepatan angin dengan kejadian DBD. Oleh karena itu, analisis

spatialtemporal dengan tools SIG dan uji korelasi statistik dalam penelitian

ini diharapkan dapat membantu membuat perencanaan dan efektifitas

pengambilan keputusan yang lebih baik terhadap daerah endemis DBD yang

Page 27: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

7

telah diprioritaskan dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit

DBD.

B. Rumusan Masalah

Penyakit DBD merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan,

yaitu penyakit yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang dapat

mempengaruhi perkembangbiakan dan pertumbuhan vektor nyamuk DBD

sehingga berpotensi terhadap peningkatan kejadian DBD (IR DBD terus

berada > 51 per 100.000 penduduk) dan penularan penyakit DBD. Secara

geografis, wilayah Indonesia beriklim tropis dimana beberapa wilayah sudah

menjadi endemis DBD karena banyak tempat yang cocok untuk

perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti.

Faktor lingkungan dalam penelitian ini adalah lingkungan fisik yang

tidak baik (suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, kecepatan angin,

rumah sehat), lingkungan biologi (angka bebas jentik < 95%) dan lingkungan

non-fisik (kepadatan penduduk yang tinggi). Faktor lingkungan fisik dan

biologi dapat mempengaruhi perkembangbiakan dan pertumbuhan vektor

nyamuk Aedes aegypti, sedangkan faktor lingkungan non-fisik dapat

mempengaruhi persebarluasan penularan penyakit DBD.

Angka Incidence Rate (IR) DBD di Kota Tangerang Selatan dalam 5

tahun terakhir masih berada diatas indikator nasional. Di tahun 2014

ditemukan beberapa wilayah kerja puskesmas dengan IR DBD lebih dari

batas indikator nasional sehingga menjadi masalah kesehatan. Oleh karena itu,

peneliti ingin melakukan penelitian dengan pendekatan spasial bertujuan

Page 28: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

8

untuk mengetahui distribusi spatialtemporal kejadian DBD berdasarkan

angka bebas jentik, rumah sehat dan kepadatan penduduk. Analisis data

spasial dilakukan dengan memanfaatkan tools Sistem Informasi Geografis

(SIG). Selain itu, peneliti juga melakukan uji statistik korelasi bertujuan

untuk mengetahui kekuatan hubungan antara suhu udara, kelembaban udara,

curah hujan, kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kota Tangerang

Selatan tahun 2013-2015.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana distribusi penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

berdasarkan orang, tempat dan waktu di Kota Tangerang Selatan tahun

2013-2015?

2. Bagaimana distribusi faktor iklim (suhu udara, kelembaban udara, curah

hujan dan kecepatan angin), faktor kepadatan penduduk, faktor angka

bebas jentik dan faktor rumah sehat berdasarkan orang, tempat dan

waktu di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015?

3. Bagaimana distribusi spatialtemporal penyakit Demam Berdarah

Dengue (DBD) di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015?

4. Bagaimana distribusi spatialtemporal penyakit Demam Berdarah

Dengue (DBD) berdasarkan angka bebas jentik (ABJ) di Kota

Tangerang Selatan tahun 2013-2015?

5. Bagaimana distribusi spatialtemporal penyakit Demam Berdarah

Dengue (DBD) berdasarkan persentase rumah sehat di Kota Tangerang

Selatan tahun 2013-2015?

Page 29: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

9

6. Bagaimana distribusi spatialtemporal penyakit Demam Berdarah

Dengue (DBD) berdasarkan kepadatan penduduk di Kota Tangerang

Selatan tahun 2013-2015?

7. Bagaimana kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah Dengue

(DBD) dengan suhu udara di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-

2015?

8. Bagaimana kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah Dengue

(DBD) dengan kelembaban udara di Kota Tangerang Selatan tahun

2013-2015?

9. Bagaimana kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah Dengue

(DBD) dengan curah hujan di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-

2015?

10. Bagaimana kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah Dengue

(DBD) dengan kecepatan angin di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-

2015?

D. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui gambaran ekologi penyakit Demam Berdarah Dengue

(DBD) berdasarkan spatialtemporal di Kota Tangerang Selatan tahun

2013-2015.

Page 30: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

10

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui distribusi penyakit Demam Berdarah Dengue

(DBD) berdasarkan orang, tempat dan waktu di Kota Tangerang

Selatan tahun 2013-2015.

b. Untuk mengetahui distribusi faktor iklim (suhu udara,

kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin), faktor

kepadatan penduduk, faktor angka bebas jentik dan faktor rumah

sehat berdasarkan orang, tempat dan waktu di Kota Tangerang

Selatan tahun 2013-2015.

c. Untuk mengetahui distribusi spatialtemporal penyakit Demam

Berdarah Dengue (DBD) di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-

2015.

d. Untuk mengetahui distribusi spatialtemporal penyakit Demam

Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan angka bebas jentik (ABJ) di

Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.

e. Untuk mengetahui distribusi spatialtemporal penyakit Demam

Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan persentase rumah sehat di

Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.

f. Untuk mengetahui distribusi spatialtemporal penyakit Demam

Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan kepadatan penduduk di

Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.

Page 31: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

11

g. Untuk mengetahui kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah

Dengue (DBD) dengan suhu udara di Kota Tangerang Selatan

tahun 2013-2015.

h. Untuk mengetahui kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah

Dengue (DBD) dengan kelembaban udara di Kota Tangerang

Selatan tahun 2013-2015.

i. Untuk mengetahui kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah

Dengue (DBD) dengan curah hujan di Kota Tangerang Selatan

tahun 2013-2015.

j. Untuk mengetahui kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah

Dengue (DBD) dengan kecepatan angin di Kota Tangerang

Selatan tahun 2013-2015.

E. Manfaat

1. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

a. Hasil penelitian dapat memberikan informasi kepada petugas

kesehatan, pembuat kebijakan mengenai gambaran distribusi

spatialtemporal kasus DBD sehingga dapat melihat daerah

endemis DBD dan juga daerah yang berpotensi terjadi KLB DBD

di wilayah Kota Tangerang Selatan.

b. Hasil penelitian dapat memberikan informasi kepada petugas

kesehatan, pembuat kebijakan mengenai prediksi trend

perkembangan wabah DBD di wilayah Kota Tangerang Selatan.

Page 32: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

12

c. Hasil penelitian dapat membantu bagi pengambil keputusan

dalam intervensi penyakit DBD pada daerah rawan DBD yang

telah diprioritaskan berdasarkan hasil distribusi spatialtemporal di

Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015, baik berupa advokasi,

penyuluhan kesehatan lingkungan, fogging fokus, peningkatan

kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB), penggalakkan

kegiatan PSN 3M Plus maupun lainnya.

2. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota

Tangerang Selatan

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan menambah

wawasan kepada BMKG Kota Tangerang Selatan mengenai kejadian

penyakit DBD berkaitan dengan faktor iklim di Kota Tangerang Selatan.

3. Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tangerang Selatan

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan menambah

wawasan kepada BPS Kota Tangerang Selatan mengenai kejadian

penyakit DBD berkaitan dengan faktor kependudukan di Kota

Tangerang Selatan.

4. Masyarakat Kota Tangerang Selatan

Hasil penelitian dapat memberikan infromasi dan menambah

wawasan kepada masyarakat mengenai kejadian penyakit DBD dan

pencegahan penyakit DBD di Kota Tangerang Selatan.

5. Peneliti Lain

Sebagai bahan referensi dan informasi untuk penelitian selanjutnya

mengenai kejadian demam berdarah menurut ruang dan waktu sehingga

Page 33: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

13

diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu

kesehatan.

F. Ruang Lingkup Peneliti

Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi dengan menggunakan

desain studi ekologi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

pendekatan spasial dan tools sistem informasi geografis (SIG) bertujuan

untuk mengetahui spatialtemporal penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

berdasarkan kepadatan penduduk, angka bebas jentik dan rumah sehat. Selain

itu, peneltian ini juga bertujuan untuk mengetahui kekuatan hubungan

kejadian DBD dengan suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, kecepatan

angin di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 dengan uji statistik

korelasi.

Cara pengumpulan data dilakukan dengan data sekunder, yaitu berasal

dari beberapa instansi yang terkait di Kota Tangerang Selatan. Kemudian,

data tersebut dianalisis univariat, bivariat dan spasial. Analisis univariat

bertujuan untuk mengetahui karakteristik variabel berdasarkan orang, tempat

dan waktu (OTW). Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui keeratan

hubungan kejadian DBD dengan suhu udara, kelembaban udara, curah hujan

dan kecepatan angin. Sedangakan, analisis spasial bertujuan untuk

mengetahui gambaran, distribusi atau pola kasus DBD setelah

diinterpolasikan dengan faktor kepadatan vektor (ABJ), rumah sehat dan

faktor kepadatan penduduk. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2015

sampai Februari 2016.

Page 34: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

1. Definisi DBD

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang dapat

ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus

yang infektif oleh virus Dengue. Penyakit DBD yang ditularkan oleh

Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang dapat ditemukan di seluruh

dunia. Nyamuk yang sudah terinfeksi virus Dengue akan menjadi

infektif selama hidupnya (CDC, 2015).

2. Etiologi DBD

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit

yang disebabkan oleh virus Dengue. Terdapat empat jenis serotype

virus Dengue yang dikenal yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4.

Semua jenis serotype virus Dengue ini ditemukan di Indonesia dan

menunjukkan bahwa DEN-3 merupakan virus Dengue yang paling luas

distribusinya terhadap DBD berat disusul DEN-1, DEN-2 dan DEN-4

(Kemenkes RI, 2013).

Penyakit DBD disebabkan oleh salah satu dari empat serotype virus

dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae (WHO, 2015). Seseorang

yang telah terinfeksi dengan salah satu serotype virus Dengue akan

menyebabkan kekebalan seumur hidup terhadap serotype virus yang

bersangkutan. Setiap serotype cukup berbeda sehingga tidak ada

Page 35: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

15

proteksi-silang dan wabah yang disebabkan beberapa serotype

(hiperendemisitas) dapat terjadi (Gama & Betty, 2010; Kemenkes RI,

2013).

3. Gejala DBD

Umumnya DBD ditandai demam 2-7 hari disertai dengan

manisfestasi perdarahan, penurunan trombosit (trombositopenia),

adanya homokonsentrasi yang ditandai kebocoran plasma (peningkatan

hematokrit, asites, efusi pleura, hipoalbuminemia). Akan tetapi, dapat

juga disertai gejala yang tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri otot dan

tulang, ruam kulit atau nyeri belakang bola mata (Kemenkes RI, 2013).

Menurut World Health Organization (WHO), seseorang dikatakan

positif DBD apabila ditandai beberapa gejala antara lain (1) demam

atau adanya riwayat demam pada saat sekarang, (2) trombositopeni;

hitung platelet sama atau kurang dari 100 x 103/cu mm (Standar

Internasional sama atau kurang dari 100 x 109/L), (3) manifestasi

perdarahan seperti tes torniquet positif, petechiae atau fenomena

perdarahan yang jelas dan (4) berkurangnya plasma karena

meingkatnya permeabilitas vaskuler. Selain itu juga adanya kenaikan

hematokrit sebesar 20 % dibandingkan dengan nilai normal atau

ditemukannya efusi pleural atau efusi abdomen dengan pemeriksaan

ultrasonografi, tomografi ataupun sinar-X (Chin, 2012).

Menurut WHO derajat beratnya Demam Berdarah Dengue (DBD)

dibagi menjadi 4 tingkatan, yaitu (Soedarto, 1990):

Page 36: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

16

a. Derajat I: ringan, bila demam mendadak 2-7 hari disertai

gejalaklinik lain dan manifestasi perdarahan paling ringan yaitu

tes torniquet yang positif.

b. Derajat II: sedang, dengan gejala lebih berat daripada derajat

I,disertai manifestasi perdarahan kulit, epistaksis, perdarahan

gusi, hematemesis atau melena.

c. Derajat III: berat, terdapat gangguan sirkulasi darah perifer yang

ringan berupa kulit dingin dan lembab, ujung jari dan hidung

dingin.

d. Derajat IV: berat sekali, penderita syok berat, tensi tidak terukur

dan nadi tidak dapat diraba.

4. Vektor DBD

Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor penting di daerah

perkotaan (daerah urban), sedangkan di daerah pedesaan (daerah rural)

yang berperan dalam penularan adalah nyamuk Aedes aegypti dan

Aedes albopictus (Soedarto, 1990). Nyamuk yang paling sering

menimbulkan terjadinya penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti

dibandingkan nyamuk Aedes albopictus (Ditjen P2M & PL, 2007).

a. Ciri-ciri nyamuk vektor DBD

Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika

dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain. Nyamuk ini

mempunyai dasar hitam kecoklatan dengan bintik-bintik putih

pada bagian kepala, torak, abdomen dan kaki. Nyamuk Aedes

Page 37: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

17

aegypti dengan Aedes albopictus dapat dibedakan yaitu pada

bagian torak keduanya. Torak pada nyamuk Aedes aegypti

terdapat warna putih dan berbentuk bulat, sedangkan torak pada

nyamuk Aedes albopictus berbentuk garis lurus (Kemenkes RI,

2013).

Gambar 2.1

Vektor nyamuk Aedes aegypti

Sumber: Kemenkes RI, 2013

Nyamuk jantan menghisap cairan tumbuhan atau sari bunga

untuk keperluan hidupnya, sedangkan nyamuk betina mengisap

darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia daripada

binatang. Biasanya nyamuk betina mencari mangsanya pada siang

hari. Aktivitas menggigit biasanya pagi (pukul 9.00-10.00)

sampai petang hari (16.00-17.00). Aedes aegypti mempunyai

kebiasan mengisap darah berulang kali untuk memenuhi

lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat

infektif sebagai penular penyakit (Gama & Betty, 2010).

Page 38: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

18

b. Tempat berkembangbiak nyamuk vektor DBD

Tempat perindukan yang disenangi nyamuk Aedes aegypti

adalah tempat-tempat yang dapat menampung air di dalam, di luar

atau sekitar rumah serta tempat-tempat umum. Nyamuk ini tidak

dapat berkembangbiak di selokan atau got atau kolam yang

berhubunagn langsung dengan tanah (Nisa, 2007). Di Indonesia,

nyamuk Aedes aegypti tersebar luas, baik di kota maupun di desa

kecuali di wilayah dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di

atas permukaan laut (Suroso dan Umar, 2004). Tempat

perindukan nyamuk Aedes aegypti dibedakan menjadi (Kemenkes

RI, 2013):

1) Tempat penampuangan air (TPA) untuk keperluan sehari-

hari, seperti drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi

atau WC dan ember.

2) Tempat penampuangan air (TPA) bukan untuk keperluan

sehari-hari, seperti tempat minum burung, vas bunga,

kulkas atau dispenser, barang-barang bekas (contoh, botol,

plastik, ban, kaleng, dll).

3) Tempat penampungan air alamiah, seperti lubang pohon,

tempurung kelapa, pelepah pisang, potongan bambu dan

lain-lain.

Page 39: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

19

c. Siklus hidup nyamuk vektor DBD

Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti terdiri dari 4 bentuk,

yaitu telur – jentik (larva) – pupa – nyamuk dewasa. Stadium telur

hingga sampai menjadi pupa berlangsung di dalam air. Umumnya

telur menetas menjadi jentik (larva) dalam waktu ±2 hari setelah

telur tersebut terendam air. Stadium jentik (larva) biasanya

berlangsung selama 6-8 hari dan stadium kepompong (pupa)

berlangsung antara 2-8 hari. Pertumbuhan telur hingga sampai

menjadi nyamuk dewasa berlangsung selama 9-10 hari. umur

nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan (Kemenkes RI, 2013).

Gambar 2.2

Siklus Hidup Nyamuk Aedes agypti

Sumber: Kemenkes RI, 2013

5. Mekanisme Penularan DBD

Penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk yang infektif

terhadap virus Dengue. Berdasarkan konsep ekologi mengacu teori

simpul Achmadi (2014), mekanisme penularan DBD dimulai dari

Page 40: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

20

sumber agen penyakit (simpul 1) yaitu nyamuk Aedes aegypti

menggigit orang yang terdapat virus Dengue di dalam tubuhnya.

Kemudian, vektor penular (simpul 2) yaitu nyamuk Aedes aegypti

infektif virus Dengue yang dapat menularkan virusnya ke tubuh orang

yang sehat. Virus Dengue masuk bersama darah yang dihisapnya

(Suroso dan Umar, 2004). Nyamuk akan menjadi infektif 8-12 hari

sesudah menghisap darah penderita dan tetap infektif selama hidupnya

dan potensial menularkan virus Dengue kepada manusia lain (Ginanjar,

2004). Virus yang telah dihisap akan masuk ke dalam tubuh nyamuk

dan berkembangbiak dengan cara membelah diri dan menyebar di

seluruh bagian tubuh nyamuk, sebagian besar berada dalam kelenjar liur

nyamuk. Dalam waktu 1 minggu, jumlah virus dapat mencapai puluhan

sampai ratusan ribu dan siap untuk ditularkan atau dipindahkan kepada

orang lain. Sebelum menghisap darah host (pejamu) baru, air liur dari

kelenjar nyamuk dikeluarkan setelah alat tusuk nyamuk (probobis)

menemukan kapiler agar darah yang dihisap tidak membeku. Pada saat

itulah, virus Dengue ditularkan atau dipindahkan ke orang lain bersama

air liur nyamuk tersebut (Suroso dan Umar, 2004).

Orang yang telah digigit oleh nyamuk Aedes aegypti pembawa

virus Dengue tidak akan selalu menderita DBD melainkan terdapat

karakteristik seseorang yang dapat menjadi risiko menderita DBD

seperti usia, jenis kelamin, kekebalan tubuh (simpul 3). Orang dengan

kekebalan tubuh yang kuat terhadap virus Dengue, maka tidak akan

Page 41: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

21

menderita DBD meskipun di dalam darahnya terdapat virus tersebut.

Akan tetapi, apabila orang dengan kekebalan tubuh yang lemah

terhadap virus Dengue, maka akan muncul gejala DBD seperti demam

ringan bahkan demam berat, yaitu demam tinggi disertai perdarahan,

syok, tergantung dari tingkat kekebalan tubuh yang dimilikinya (Simpul

4).

Penyakit DBD merupakan penyakit berbasis lingkungan dengan

perkembangbiakan nyamuk yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan

sekitarnya sehingga berpotensi adanya kontak antara nyamuk infektif

virus Dengue dengan manusia dan menularkan virus tersebut. Adapun

kondisi lingkungan tersebut antara lain lingkungan fisik, lingkungan

biologi dan lingkungan non-fisik (Achmadi, 2014; Suroso dan Umar,

2004).

B. Epidemiologi Deskriptif

1. Orang

Dalam penyelidikan epidemiologi, variabel orang dapat digunakan

untuk mengetahui karakteristik populasi yang berisiko. Adapun variabel

orang seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan

sebagainya (Asmara, 2009). Dalam hal kejadian DBD, penyakit DBD

dapat menyerang semua golongan umur, sebagian besar menyerang usia

anak sekolah. Akan tetapi, dalam dekade terakhir ini penyakit DBD

pada orang dewasa juga meningkat. Aktivitas individu pada semua

Page 42: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

22

umur mengakibatkan peluang terinfeksinya virus Dengue melalui

gigitan nyamuk Aedes aegypti berbeda (Hairani, 2009).

Selain itu, kerentanan tubuh terhadap virus Dengue tidak dapat

dibedakan antara laki-laki dengan perempuan. Tidak semua orang yang

telah digigit nyamuk yang terdapat virus Dengue di dalam tubuhnya

akan jatuh sakit DBD. Hal ini bergantung dari sistem kekebalan tubuh

yang dimiliki oleh orang tersebut (Hairani, 2009).

2. Tempat

Dalam penyelidikan epidemiologi, variabel tempat dapat digunakan

untuk mengetahui distribusi geografis dari suatu penyakit sehingga

dapat dilakukan perencanaan pelayanan kesehatan dan dapat

mengetahui faktor penyebab dari suatu penyakit. Adapun variabel

tempat yang biasa digunakan adalah kelurahan, kecamatan, kabupaten

kotamadya, propinsi, perkotaan dan pedesaan (Asmara, 2009).

Berdasarkan hasil studi epidemiologi, outbreak DBD umumnya

terjadi pada daerah yang kondisinya optimal untuk transmisi virus

Dengue, yaitu daerah tropis dan subtropis dengan iklim dan temperatur

yang optimal bagi habitat nyamuk Aedes aegypty. Di daerah tersebut

juga ditemukan endemik berbagai tipe virus Dengue dalam waktu yang

bersamaan (Djunaedi, 2006).

3. Time (waktu)

Variabel waktu dilihat berdasarkan panjangnya waktu terjadinya

perubahan pada suatu penyakit dan dibedakan menjadi fluktuasi jangka

Page 43: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

23

pendek atau epidemi (jam, hari, minggu, dan bulan), perubahan secara

siklus dimana terjadi perubahan angka kesakitan yang berulang-ulang

(beberapa hari, beberapa bulan/musiman, tahunan, beberapa tahun) dan

fluktuasi jangka panjang atau disebut juga secular trends (bertahun-

tahun, puluhan tahun) (Asmara, 2009).

Epidemi demam berdarah Dengue (DBD) di negara-negara yang

memiliki 4 musim berlangsung pada musim panas walaupun ditemukan

kasus DBD yang sporadis pada musim dingin. Sedangkan, di negara-

negara kawasan Asia Tenggara epidemi DBD terjadi pada musim

hujan. Penyebaran penyakit DBD di Indonesia saat ini tidak mengenal

waktu, tiap bulan ditemukan adanya laporan kasus DBD meskipun

jumlah kasusnya tidak sebanyak kasus pada bulan di musim hujan.

Epidemi DBD yang berlangsung pada musim hujan ini berkaitan erat

dengan kelembaban yang tinggi. Kelembaban yang tinggi tersebut

merupakan lingkungan yang optimal bagi masa inkubasi (dapat

mempersingkat masa inkubasi) dan juga dapat meningkatkan aktivitas

vektor dalam menularkan virus Dengue (Djunaedi, 2006).

C. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)

Menurut teori Gordon dan La Richt (1950) dalam segitiga epidemiologi

menyebutkan bahwa muncul atau tidaknya penyakit pada manusia

dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu host, agent dan environment.

Gordon berpendapat bahwa (Rajab, 2009):

Page 44: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

24

1. Penyakit muncul karena ketidakseimbangan antara agent (penyebab)

dan host (manusia)

2. Keadaan keseimbangan bergantung pada sifat alami dan karakteristik

agent dan host (individu/kelompok)

3. Karakteristik agent dan hostakan mengadakan interaksi. Dalam

interaksi tersebut akan berhubunan langsung pada keadaan alami dari

lingkungan (lingkungan sosial, fisik, ekonomi dan biologis)

Keseimbangan ketiga faktor berhubungan dengan teori ekosistem

(Vanleeuwen, 1999). Berikut ini penjelasan terkait host, agent dan

environment dari Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD):

1. Host (Pejamu)

Faktor host adalah suatu kondisi yang mempengaruhi risiko

keterpajanan dan kerentanan seseorang terhadap penyakit. Adapun

kondisi tersebut antara lain faktor-faktor intrinsik seperti umur, jenis

kelamin, komposisi genetik dan ras. Faktor umur adalah salah satu

faktor host yang paling penting karena dapat mempengaruhi suatu

risiko keterpajanan dan status imunologik (Arias, 2009).

a. Umur

Biasanya umur anak-anak lebih rentan untuk terkena DBD,

salah satunya disebabkan oleh faktor imunitas (kekebalan) yang

relatif lebih rendah dibandingkan orang dewasa (Ginanjar, 2008).

World Health Organization (WHO) (2009) juga mengatakan

bahwa kelompok umur <12 tahun memiliki daya tahan tubuh

yang rendah dibandingkan dengan kelompok umur yang lebih tua.

Page 45: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

25

Aktivitas pada kelompok umur tersebut juga lebih sering bermain

atau sekolah dimana selama beberapa jam atau hampir seharian

berada di dalam kondisi dan waktu yang meingkatkan risiko

untuk terkena gigitan nyamuk penular DBD.

Faktor pola curah hujan yang tidak menentu dan aktivitas usia

produktif di lingkungan luar juga dapat menyebabkan orang

dewasa ikut terkena DBD. Siregar (2004) mengatakan bahwa

DBD dapat menyerang semua golongan umur, tetapi dalam

dekade terakhir ini terlihat terdapat kecenderungan kenaikan

proporsi penderita DBD pada orang dewasa. Semua umur dan

kelompok sosial masyarakat dapat berisiko tertular virus Dengue

melalui gigitan nyamuk (Yatim, 2007). Penyakit DBD menyerang

pada semua kelompok umur disebabkan penularan DBD yang

terjadi tidak hanya di rumah, tetapi juga di sekolah dan tempat

kerja (Kemenkes RI, 2010).

b. Jenis kelamin

Nyamuk pembawa virus Dengue tidak membedakan host

laki-laki atau perempuan (Yatim, 2007). Beberapa studi di

wilayah Asia Tenggara menunjukkan bahwa kasus DBD di rumah

sakit lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan (India,

Bangladesh, Singapura dan Malaysia) dan hanya sedikit studi

yang menunjukkan tidak ada perbedaan kasus DBD menurut jenis

kelamin (Bhatia, Dash & Sunyoto, 2013).

Page 46: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

26

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Syumarta, Hanif dan

Rustam (2014) menunjukkan bahwa penderita DBD lebih banyak

pada laki-laki (54,8%) daripada perempuan (45,2%) dengan rasio

perbandingan masing-masing sebesar 1,21:1. Hal ini juga sama

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Syahrifa, Kaunang

dan Ottay (2015) menunjukkan bahwa penderita DBD lebih

banyak pada laki-laki (53,8%) daripada perempuan (42,34%).

Dalam penelitian tersebut menunjukkan tidak terdapat hubungan

antara jenis kelamin dengan kejadian DBD. Sedangkan, penelitian

yang dilakukan oleh Wahyono dkk (2010) menunjukkan bahwa

terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian DBD

(OR=1,80; 95% CI; 1,07-3,01).

c. Status gizi

Penelitian yang dilakukan oleh Hakim dan Asep (2012)

menunjukkan bahwa status gizi berhubungan secara signifikan

dengan infeksi virus Dengue (Pvalue = 0,004; OR=1,250; 95%

CI: 1,297-3,955). Orang dengan status gizi tidak normal akan

lebih mudah mendapatkan infeksi virus Dengue dan terjadi

penularan dibanding orang dengan status gizi normal.

d. Pengetahuan

Penelitian yang dilakukan oleh Hasan, Alfiah dan Nurbaya

(2013) menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara

pengetahuan orangtua dengan kejadian DBD. Hal ini sejalan

Page 47: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

27

dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumekar (2005)

menunjukkan terdapat hubungan antara pengetahuan responden

dengan keberadaan jentik (Pvalue = 0,35) sehingga secara tidak

langsung dapat berpengaruh terhadap kejadian DBD.

e. Pekerjaan

Penelitian yang dilakukan oleh Hutagalung, Halim dan Koto

(2011) di Kecamatan Matur Kabupaten Agam Provinsi Sumatera

Barat menunjukkan terdapat hubungan antara pekerjaan dengan

kejadian luar biasa (KLB) DBD (Pvalue = 0,04). Pekerjaan

seperti petani, perkebunan tebu menyebabkan seseorang mudah

tergigit nyamuk Aedes aegypti karena bekerja di lingkungan luar

rumah. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Nizal MG et

al (2012) menunjukkan tidak terdapat hubungan secara signifikan

antara pekerjaan dengan DBD (Pvalue = 0,309).

f. Perilaku 3M

Penelitian yang dilakukan oleh Afriza dan Nasriati (2012)

menunjukkan terdapat hubungan antara perilaku 3M Plus

terhadap resiko kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas

Labuhanhaji Timur Kabupaten Aceh Selatan tahun 2012 (Pvalue

= 0,003). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Hutagalung, Halim dan Koto (2011) di Kecamatan Matur

Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat menunjukkan terdapat

Page 48: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

28

hubungan antara perilaku 3M Plus dengan kejadian luar biasa

(KLB) DBD (Pvalue = 0,03).

2. Agent

Sumber penyakit dikelompokkan menjadi dua, yaitu (Achmadi,

2014):

a. Sumber penyakit alamiah, misal proses pembusukan yang terjadi

karena proses alamiah.

b. Hasil kegiatan manusia, seperti industri, knalpot kendaraan

bermotor.

Sumber penyakit yang mengeluarkan dan mengandakan

mikroorganisme patogen adalah penderita penyakit menular, misal

mikroorganisme TBC, HIV/AIDS adalah penderita penyakit yang

bersangkutan. Sumber penyakit menular juga dapat berupa binatang

(reservoir), yaitu binatang tempat berkembangbiaknya agen penyakit,

meski binatang yang bersangkutan tidak menderita sakit, misal penyakit

Japanese Encephalitis dengan babi (reservoir). Sumber penyakit

binatang ini biasanya ditransmisikan oleh binatang lainnya, misal

nyamuk yang mengigit manusia (Achmadi, 2014).

Penyakit DBD disebabkan oleh virus Dengue yang termasuk dalam

grup B Antropod Borne Virus (Arboviroses) kelompok flavivirus dari

family flaviviridae. Virus Dengue terdiri dari empat serotipe, yaitu DEN

1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 dimana masing-masing saling berkaitan

sifat antigennya dan dapat menyebabkan sakit pada manusia (WHO,

Page 49: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

29

2009). Virus DEN 3 merupakan serotipe yang paling sering ditemui

selama terjadinya KLB di Indonesia diikuti DEN 2, DEN 1, dan DEN 4.

Virus DEN 3 juga merupakan serotipe yang paling dominan yang

berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit yang menyebabkan

gejala klinis yang berat dan penderita banyak yang meninggal

(Yuswulandari, 2010).

3. Environment (Lingkungan)

Kejadian penyakit merupakan hasil hubungan interaksi antara

manusia dan perilakunya serta komponen lingkungan yang memiliki

potensi penyakit. Perilaku penduduk, salah satu variabel kependudukan

seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, keturunan, kepadatan

penduduk, budaya dan sebagainya. Secara garis besar, kejadian

penyakit terjadi karena dipengaruhi oleh variabel-variabel

kependudukan dan variabel-variabel lingkungan (Achmadi, 2014).

Achmadi (2008) menggambarkan suatu kejadian penyakit berbasis

lingkungan dan kependudukan ke dalam teori simpul dimana komponen

lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan kesehatan

berinteraksi dengan manusia. Teori simpul ini diuraikan menjadi 5

simpul, yakni simpul 1 (sumber penyakit), simpul 2 (komponen

lingkungan yang merupakan media transmisi penyakit), simpul 3

(varibel kependudukan seperti umur, jenis kelamin, perilaku,

pendidikan, kepadatan), simpul 4 (penduduk dalam keadaan sehat atau

sakit setelah mengalami interaksi atau terpapar dengan komponen

Page 50: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

30

lingkungan yang mengandung agen penyakit) dan simpul 5 (variabel

lain yang memiliki pengaruh terhadap keempat simpul tersebut seperti

iklim, topografi) (Achmadi, 2014). Berikut penjelasaan masing-masing

simpul:

Bagan 2.1

Paradigma Kesehatan Lingkungan (Teori Simpul) (Achmadi, 2014)

Simpul

a. Simpul 1: Sumber Penyakit

Agen penyakit dalam simpul 1 adalah komponen lingkungan

yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan melalui media

perantara. Dalam hal kejadian DBD, virus Dengue (Arthrophod

borne virus) merupakan agent penyakit DBD. Virus ini berukuran

5

1 2 3 4

Sumber

Agen

Penyakit

Udara

Air

Pangan

Vekor Penular

Manusia

Variabel

Kependudukan

(Umur, jenis

kelamin, dsb)

Sakit

Sehat

Manajemen

Penyakit

Variabel lain seperti iklim,

topografi, dll

Agen Penyakit

Page 51: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

31

kecil (50nm) dan memiliki RNA tunggal. Genome (rangkaian

kromosom) virus Dengue berukuran panjang sekitar 11.000

pasangan basa dan tiga gen protein struktural (Kemenkes RI,

2013).

Terdapat 4 serotipe virus antara lain DEN-1, DEN-2, DEN-3

dan DEN-4. Dari keempat virus tersebut, DEN-3 sangat berkaitan

dengan kasus DBD berat di Indonesia. Host (manusia) yang telah

terinfeksi oleh salah satu virus dari keempat virus tersebut akan

menyebabkan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus

yang bersangkutan (Kemenkes RI, 2013).

b. Simpul 2: Media Transmisi Penyakit

Media transmisi penyakit dalam simpul ke-2 adalah

komponen lingkungan yang terdiri atas 5 komponen antara lain

udara ambient, air baik dikonsumsi maupun keperluan lainnya,

tanah/ pangan, binatang/ serangga penular/ vektor dan manusia

melalui kontak langsung. Apabila agen penyakit tidak terdapat di

dalam media transmisi, maka tidak berpotensi penyakit. Binatang

atau vektor penular dikatakan memiliki potensi dan menjadi

media transmisi jika di dalamnya terdapat virus (Achmadi, 2014)

Dalam hal kejadian penyakit DBD, penyakit ini ditularkan

melalui nyamuk. Di Indonesia teridentifikasi bahwa terdapat 3

nyamuk yang dapat menularkan virus Dengue yaitu nyamuk

Aedes albopictus, Aedes aegypti dan Aedes scutellaris (Kemenkes

Page 52: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

32

RI, 2013). Nyamuk yang paling sering menimbulkan terjadinya

penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti yang berwarna

hitam kecoklatan dengan bintik-bintik putih pada bagian kepala,

torak, abdomen dan kaki (Ditjen P2M & PL, 2007; Kemenkes RI,

2013).

c. Simpul 3: Perilaku Pemajanan (Behavioral Exposure)

Menurut Achmadi (1987) hubungan interaktif antara

komponen lingkungan dengan penduduk berikut perilakunya

dalam konsep disebut perilaku pemajanan atau behavioral

exposure (Achmadi, 2014). Dalam kejadian DBD, beberapa hasil

penelitian menyimpulkan bahwa perilaku 3M Plus berhubungan

dengan kejadian DBD (Afriza dan Nasriati, 2012; Hutagalung,

Halim dan Koto, 2011). Selain dari faktor perilaku, faktor dari

host sendiri seperti umur, jenis kelamin, status gizi, pengetahuan,

pekerjaan juga berhubungan dengan DBD (WHO, 2009;

Wahyono dkk, 2010; Hakim dan Asep, 2012; Hasan, Alfiah dan

Nurbaya, 2013; Hutagalung, Halim dan Koto, 2011).

d. Simpul 4: Kejadian Penyakit

Penyakit pada penduduk merupakan hasil hubungan interaktif

antara lingkungan dengan penduduk. Dalam piramida ditsribusi

kejadian penyakit terdapat tiga gradasi penderita penyakit yaitu

akut, subklinik, dan penderita penyakit kategori samar atau subtle.

Page 53: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

33

Akan tetapi, dalam kejadian penyakit DBD ini outcome nya

adalah angka Incidence Rate (IR) DBD.

e. Simpul 5: Variabel Supra Sistem

Simpul ke-5 ini adalah variabel-variabel yang dapat

mempengaruhi keempat simpul seperti variabel iklim, topografi,

temporal dan suprasystem (Achmadi, 2014).

1) Suhu udara

Dalam Permenkes No.35 Tahun 2012, suhu memiliki

hubungan erat dengan siklus perkembangan nyamuk dan

berpengaruh langsung terhadap perkembangan parasit di

dalam tubuh vektor nyamuk. Rata-rata suhu optimum untuk

perkembangbiakan vektor berkisar antara 25°C-27°C dan

memerlukan rata-rata selama 12 hari. Pada suhu di atas

suhu optimum (32°C-35°C) siklus hidup untuk vektor

nyamuk Aedes menjadi lebih pendek dengan rata-rata

selama 7 hari, potensi frekuensi feeding lebih sering, ukuran

tubuh nyamuk menjadi lebih kecil dari ukuran normal

sehingga nyamuk bergerak lebih agresif. Perubahan tersebut

dapat menimbulkan risiko penularan menjadi 3 kali lipat

lebih tinggi (Kemenkes RI, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Sintorini (2007) di DKI

Jakarta menunjukkan terdapat hubungan antara suhu dengan

DBD. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Page 54: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

34

Costa et al (2010) di Brazil menunjukkan terdapat

hubungan antara suhu dengan DBD. Dalam penelitian

tersebut mengatakan bahwa variasi suhu dapat berdampak

pada kegiatan reproduksi dan kelangsungan hidup nyamuk

Aedes aegypti. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh

Dini, Fitriany dan Wulandari (2010) di Kabupaten Serang

tahun 2007-2008 menunjukkan tidak ada hubungan antara

suhu udara dengan kejadian DBD (Pvalue = 0,321; r =

0,212).

2) Kelembaban udara

Dalam Permenkes No.35 Tahun 2012, kelembaban juga

dapat mempengaruhi umur vektor nyamuk. Kelembaban

berada dibawah 60 % umur nyamuk pendek sehingga

potensi sebagai vektor semakin menurun (Kemenkes RI,

2012). Penelitian yang dilakukan oleh Dini, Ftriany dan

Wulandari (2010) di Kabupaten Serang tahun 2007-2008

menunjukkan tidak ada hubungan antara kelembaban

dengan kejadian DBD (Pvalue = 0,941; r = -0,016). Akan

teteapi, penelitian yang dilakukan oleh Costa et al (2010) di

Brazil menunjukkan terdapat hubungan antara kelembaban

dengan DBD. Dalam penelitian tersebut mengatakan bahwa

variasi kelembaban dapat berdampak pada kegiatan

reproduksi dan kelangsungan hidup nyamuk Aedes aegypti.

Page 55: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

35

3) Curah hujan

Dalam Permenkes No.35 Tahun 2012, curah hujan

dapat mempengaruhi umur vektor nyamuk. Curah hujan

tinggi dan terus menerus dapat mengakibatkan lingkungan

menjadi banjir yang menyebabkan breeding places hanyut.

Hal ini dapat membantu mengurangi populasi nyamuk.

Akan tetapi, curah hujan yang sedang dalam waktu panjang

akan menambah breeding places sehingga berisiko terhadap

meningkatnya populasi vektor nyamuk (Kemenkes RI,

2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Sintorini (2007) di DKI

Jakarta menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna

antara curah hujan dengan DBD. Hal ini juga sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Mu-Jean Chen et al

(2012) di Taiwan tahun 1994-2008 menunjukkan ada

hubungan yang signifikan antara curah hujan dengan

penyakit Dengue (Pt-test = 0,0212; CI 1,53-2,52).

4) Kecepatan angin

Kecepatan angin adalah rata-rata laju pergerakan angin

yang merupakan gerakan horizontal udara terhadap

permukaan bumi suatu waktu yang diperolehdari hasil

pengukuran harian dan dirata-ratakan setiap bulan dan

memiliki satuan knot. Satuan yang biasa digunakan dalam

Page 56: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

36

menentukan kecepatan angin adalah km/jam atau knot (1

knot = 0,5148m/det = 1,854 km/jam) (Neiburger, 1995

dalam Ernyasih, 2012).

Kecepatan angin secara tidak langsung dapat

mempengaruhi suhu udara dan kelembaban. Sedangkan,

secara langsung dapat mempengaruhi kemampuan terbang

vektor nyamuk. Menurut Brown (1983) nyamuk Aedes

aegypti mempunyai jarak terbang sejauh 50-100 mil atau

81-161 km (Fitriyani, 2007). Kecepatan angin 11-14

m/detik dapat menghambat aktivitas terbang nyamuk

sehingga menyebabkan penyebaran vektor juga terbatas

(Vanleeuwen, 1999).

Menurut teori yang dikemukakan oleh Poorwo dalam

Purba (2006) angin sangat mempengaruhi arah terbang

nyamuk dan nyamuk melakukan perkawinan di udara.

Andriani dalam Dini (2010) menyatakan bahwa semakin

tinggi kecepatan angin, maka semakin sulit nyamuk untuk

terbang. Sebab, tubuh nyamuk yang kecil mengakibatkan

mudah terbawa angin. Oleh karena itu, nyamuk sulit untuk

berpindah-pindah tempat dengan jarak yang jauh, sehingga

kemungkinan penularan akibat nyamuk menjadi kecil.

Penelitian oleh Dini (2010) menyatakan tidak ada hubungan

bermakna antara kecepatan angin dengan insiden DBD.

Page 57: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

37

5) Kepadatan Vektor

Semakin tinggi angka kepadatan vektor akan

meningkatkan risiko penularan penyakit DBD (WHO, 2000

dalam Fathi, Keman dan Wahyuni, 2005). Penelitian yang

dilakukan oleh Devriany (2012) di Provinsi Sulawesi

Selatan tahun 2011 menunjukkan ada hubungan antara

angka bebas jentik (ABJ) dengan tingkat endemisitas DBD.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Nalole (2010) secara spasial di Gorontalo bahwa terdapat

hubungan antara ABJ dengan tingkat endemisitas DBD.

6) Rumah Sehat

Rumah sehat adalah bangunan tempat berlindung dan

beristirahat serta sebagai sarana pembinaan keluarga yang

menumbuhkan kehidupan sehat secara fisik, mental dan

sosial sehingga seluruh anggota keluarga dapat bekerja

secara produktif. Menurut American Public Health

Association (APHA) rumah dikatakan sehat, salah satunya

adalah apabila dapat melindungi penghuninya dari

penularan penyakit menular dengan memiliki penyediaan

air bersih, sarana pembuangan sampah dan saluran

pembuangan air limbah yang saniter dan memenuhi syarat

kesehatan.

Page 58: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

38

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor

829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan kesehatan

rumah tinggal sebagai berikut:

a) Bahan bangunan

(1) Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan

bahan yang dapat membahayakan kesehatan, antara

lain: debu total kurang dari 150 µg/m2, asbestos

kurang dari 0,5 serat/m3 per 24 jam, plumbum (Pb)

kurang dari 300 mg/kg bahan.

(2) Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi

tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme

patogen.

b) Komponen dan penataan ruangan

(1) Lantai kedap air dan mudah dibersihkan

(2) Dinding rumah memiliki ventilasi, sedangkan

kamar mandi dan kamar cuci kedap air dan mudah

dibersihkan

(3) Langit-langit rumah mudah dibersihkan

(4) Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan

peruntukannya

c) Pencahayaan

Pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun

tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan

Page 59: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

39

dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak

menyilaukan mata.

d) Kualitas udara

(1) Suhu udara nyaman antara 18 – 30ºC

(2) Kelembaban udara 40 – 70%

e) Ventilasi

Luas lubang ventilasi alamiah yang permanen minimal

10% luas lantai.

f) Vektor penyakit

Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang

di dalam rumah.

g) Penyediaan air

Tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitas

minimal 60 liter/ orang/hari.

h) Pembuangan Limbah

(1) Limbah cair yang berasal rumah tangga tidak

mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau,

dan tidak mencemari permukaan tanah.

(2) Limbah padat harus dikelola dengan baik agar

tidak menimbulkan bau, tidak mencemari

permukaan tanah dan air tanah.

Page 60: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

40

i) Kepadatan hunian

Luas kamar tidur minimal 8m2 dan dianjurkan tidak

untuk lebih dari 2 orang tidur.

Dalam penelitian Farahiyah dan Setiani (2014) di

Kabupaten Demak menunjukkan terdapat hubungan antara

kepadatan hunian rumah dengan IR DBD. Penelitian

Zainudin (2003) menyatakan bahwa negara Mali, Volta,

Ghana, Togo memiliki penyimpanan air domestik dengan

menggunakan air yang besar sehingga ditemukan kejadian

DBD yang tinggi di negara tersebut. Penelitian oleh

Wahyono (2010) menyatakan bahwa kondisi lingkungan

rumah pada kelompok penderita DBD adalah lebih dari

20% dengan pencahayaan di dalam rumah dan ventilasi

yang cukup atau kurang, lebih dari 5% rumah terdapat

jentik pada kontainer di dalam rumah dan lebih 20% dengan

atap rumah asbes.

7) Kepadatan Penduduk

Wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi

memberikan peluang besar nyamuk Aedes aegypti yang

terdapat virus Dengue di dalam tubuhnya dalam penularan

DBD (Kemenkes RI, 2012). Semakin padat suatu wilayah,

maka potensi penularan penyakit semakin besar (Faldy,

Kaunang & Pandelaki, 2015). Jumlah penderita dan luas

Page 61: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

41

daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan

kepadatan penduduk (Kemenkes RI, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Arsunan dkk (2013) di

Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan terdapat hubungan

antara kepadatan penduduk dengan DBD. Hal ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih (2014)

di Kecamatan Karangmalang Kabupaten Sragen

menunjukkan secara spasial terdapat hubungan antara

kepadatan penduduk dengan DBD. Dalam penelitian

tersebut menunjukkan bahwa kasus DBD di desa/ kelurahan

tinggi dengan kepadatan penduduk yang tinggi

dibandingkan wilayah lain. Akan tetapi, terdapat penelitian

yang menunjukkan sebaliknya. Penelitian yang dilakukan

oleh Syahrifa, Kaunang dan Ottay (2015) di Minahasa

Selatan menunjukkan tidak ada hubungan antara kepadatan

penduduk dengan DBD.

D. Sistem Informasi Geografis (SIG) atau Geographic Information System

(GIS)

1. Definisi SIG

Sistem informasi geografis merupakan sistem informasi berbasis

komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau

informasi geografis (Aronoff, 1989 dalam Marjuki, 2014). Secara

umum, sistem informasi geografis adalah suatu komponen yang terdiri

dari perangkat keras, perangkat lunak, sumber daya manusia dan data

Page 62: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

42

yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukkan, menyimpan,

memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi,

mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan data dalam suatu

informasi berbasis geografis (Marjuki, 2014).

Sistem informasi geografis merupakan suatu sistem yang dapat

mendukung dalam pengambilan keputusan dan mampu

mengintegrasikan deksripsi lokasi dengan karakteristik fenomena yang

ditemukan di suatu lokasi. Adapun input SIG dapat berasal dari data

hasil survei lapangan, data klimatologi, data demografi, data sosial

ekonomi (Charter & Agtrisari, 2004 dalam Farahiyah dkk, 2014).

2. Kegunaan SIG

Keunggulan utama dari SIG yaitu dapat melihat, memahami,

menginterpretasikan, menampilkan data spasial dalam banyak cara yang

memperlihatkan hubungan, pola dan trend secara spasial dalam bentuk

peta, globe, laporan dan grafik. Penggunaan SIG dapat membantu

dalam pemecahan masalah dengan cara menampilkan data

menggunakan cara yang mudah dipahami dan hasilnya mudah

disebarluaskan (Marjuki, 2014).

Dalam bidang kesehatan, aplikasi SIG berupa data spasial yaitu

data yang menunjukkan gambaran nyata suatu wilayah yang terdapat di

permukaan bumi dan data atribut (non-spasial) yaitu data berbentuk

tabel yang berisi informasi deskripstif seperti kependudukan (Suseno &

Agus, 2012; BAPPEDA Provinsi NTB, 2012). Kedua data tersebut

Page 63: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

43

dapat menggambarkan distribusi atau pola spasial penyebaran penderita

suatu penyakit, pola atau model penyebaran penyakit, distribusi unit-

unit pelayanan kesehatan (misal, jumlah tenaga medis (Prahasta, 2005).

Secara garis besar kegunaan SIG yaitu kemampuan pengukuran

(measurement), pemetaan (mapping), pemantauan (monitoring) dan

pemodelan (modeling) (Marjuki, 2014).

E. Analisis Spasial

1. Definisi Analisis Spasial

Analisis spasial dapat diartikan sebagai teknik-teknik yang

digunakan untuk meneliti dan mengeksplorasi data dari perspektif

keruangan (Kemenristek, 2013). Analisis spasial adalah bagian

manajemen penyakit berbasis wilayah yang menguraikan data penyakit

secara geografi yang berkenaan dengan kependudukan, persebaran,

lingkungan, perilaku, sosial ekonomi, kasus penyakit dan hubungan

antar variabel tersebut (Achmadi, 2005). Menurut Bailey (2001), data

yang dapat digunakan dalam analisis spasial dibagi menjadi empat,

sebagai berikut:

a. Data agregat, data yang dikumpulkan dari hasil sensus atau

administrasi seperti status ekonomi, sosial, jumlah kasus dan lain-

lain.

b. Data kasus, data yang dikumpulkan menurut lokasi orang yang

sakit, faktor risiko lingkungan dan lain-lain.

Page 64: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

44

c. Data geostatistik, data yang dikumpulkan secara langsung dengan

sampel di lokasi pengambilan data.

d. Data yang diukur terus menerus seperti iklim, curah hujan dan

lain-lain.

Menurut Lawson (2006), epidemiologi spasial merupakan salah

satu cabang ilmu epidemiologi yang fokus pada analisis distribusi

geografis atau keruangan kejadian penyakit. Kata “spasial” mengartikan

sesuatu yang dibatasi oleh ruang, komunikasi dan atau transformasi,

sedangkan data spasial merupakan data yang menunjuk posisi dari

obyek di muka bumi (Ruswanto, 2010). Data spasial adalah data yang

bereferensi geografis atas representasi obyek di bumi. Data spasial

dapat digunakan dalam berbagai bidang ilmu antara lain ekonomi,

sosial, kesehatan, meteorologi, klimatologi serta alam dan lingkungan.

Data spasial adalah data yang memuat informasi “lokasi”, tidak hanya

“apa” yang diukur tetapi juga menunjukkan lokasi dimana data itu

berada (Banerjee, 2004 dalam Faiz, 2013). Analisis data spasial dapat

fokus pada hubungan antara variabel atribut atau pada dimensi ruang

dan ruang-waktu atau kombinasi dari atribut dan ruang atau ruang-

waktu (Chakkaravarthy, Vincent & Ambrose, 2011).

Analisis spasial adalah pendekatan analisis dengan melihat kasus

penyakit berdasarkan ruang dan waktu (Ruswanto, 2010). Sebagian

besar pendekatan analisisnya merupakan eksplorasi data yang disajikan

dalam bentuk peta tematik. Peta tematik juga disebut peta statistik atau

Page 65: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

45

peta tujuan khusus, menghasilkan gambaran penggunaan ruangan pada

tempat tertentu sesuai dengan tema yang diinginkan. Peta-peta tematik

menekankan pada variasi penggunaan ruangan dari distribusi geografis,

baik berupa fenomena fisika seperti iklim, kepadatan penduduk atau

permasalahan kesehatan. Dengan demikian, semua data dan informasi

yang ada di peta merupakan representasi dari obyek di muka bumi

(Pfeiffer dkk, 2008 dalam Faiz, 2013).

Sistem informasi geografis dapat berfungsi memetakan distribusi

spasial berbagai penyakit dan variasinya atas ruang dan waktu. Analisis

spasial dengan metode sistem informasi geografis memiliki berbagai

kemampuan antara lain (Prahasta, 2005):

a. Memasukkan dan mengumpulkan data geografi

b. Mengintegrasikan data geografi

c. Memeriksa, mengedit data geografi

d. Menyimpan dan memanggil kembali data geografi

e. Mempresentasikan atau menampilkan data geografi

f. Mengelola data geografi

g. Memanipulasi data geografi

h. Menganalisa data geografi

i. Menghasilkan output data geografi dalam bentuk: peta tematik

(view dan layout), tabel, grafik (chart) laporan, dan lain-lain

Page 66: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

46

2. Manfaat Analisis Spasial

Manfaat analisis spasial tergantung dari fungsi yang dilakukan

(Kemenristek, 2013). Penggunaan analisis spasial dalam penelitian

kesehatan menurut Rosli et al. (2010) dapat digunakan untuk

mendeteksi dan mengukur pola kejadian penyakit yang dapat

memberikan wawasan epidemiologi penyakit (Puspitasari, 2011). Selain

itu, analisis spasial dapat dimanfaatkan sebagai early warning system

atau sistem kespadaan dini (SKD) dengan memperhitungkan faktor-

faktor lingkungan yang sangat berperan dalam pengamatan penyakit

berbasis vektor (Indriani, Fuad & Kusnanto, 2011).

3. Teknik Analisis Overlay

Teknik overlay merupakan salah satu jenis analisis spasial yang

memiliki fungsi dan penggunaan yang berbeda dibandingkan jenis

analisis spasial lainnya. Teknik overlay merupakan bagian terpenting

dari analisis spasial. Teknik overlay, yaitu menggabungkan beberapa

unsur spasial menjadi unsur spasial yang baru. Dengan kata lain, teknik

overlay didefinisikan sebagai operasi spasial yang menggabungkan

layer geografik yang berbeda untuk mendapatkan informasi baru

(Kemenristek, 2013).

F. Kerangka Teori

1. Simpul 1: Sumber Penyakit

Penyakit DBD adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

Dengue yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.

Page 67: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

47

Dalam kejadian penyakit DBD, penderita DBD dimana hasil

laboratorium mengatakan positif terdapat virus Dengue di dalam

tubuhnya merupakan sumber penyakit.

2. Simpul 2: Media transmisi

Penyakit DBD tidak dapat menular melalui air, tanah atau pangan,

udara ataupun kontak langsung dengan orang lain. Penyakit DBD hanya

dapat ditularkan melalui vektor nyamuk yang di dalamnya terdapat

virus Dengue yaitu Aedes aegypti. Demam berdarah Dengue tidak dapat

menular apabila hanya digigit oleh nyamuk Aedes aegypti dan tidak

terdapat virus Dengue. Penyakit DBD dapat tertular melalui proses dari

nyamuk Aedes aegypti menghisap darah penderita DBD yang terdapat

virus Dengue di dalam tubuhnya, kemudian memindahkannya ke orang

lain (orang sehat) saat menggigit orang tersebut.

3. Simpul 3: Perilaku pemajanan

Berdasarkan usia, semua usia dapat terkena penyakit DBD

meskipun sebagian banyak terjadi pada usia anak. Status gizi atau

imunitas seseorang dapat menentukan apakah akan mudah sakit atau

dapat bertahan terhadap virus Dengue yang telah masuk di dalam

tubuhnya. Perilaku 3M Plus yang merupakan faktor perilaku berisiko

terhadap DBD telah dibuktikan oleh beberapa penelitian bahwa terdapat

hubungan dengan kejadian DBD.

4. Simpul 4: Kejadian penyakit

Nyamuk Aedes menghisap darah dari penderita DBD yang positif

terdapat virus Dengue akan menjadi nyamuk infektif. Kemudian,

Page 68: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

48

nyamuk tersebut mengigit orang lain dan memindahkan virus Dengue

ke dalam tubuhnya. Apabila orang tersebut dengan status gizi atau

imunitas yang tidak baik, maka gejala khas akan muncul. Gejala khas

DBD yang muncul dan diperkuat hasil laboratorium hingga sampai

dirawat di rumah sakit atau di rumah, maka penderita ini termasuk

dalam segmen pertama (akut). Apabila penderita menunjukkan gejala

tidak jelas, khas dan spesifik DBD tetapi diperkuat hasil laboratorium

maka orang tersebut dapat dikatakan positif terkena DBD dan hal ini

termasuk dalam segmen kedua (subklinik). Penderita dengan gejala

tidak jelas, baik secara laboratoris maupun klinis tetapi dalam sewaktu-

waktu dapat menimbulkan KLB DBD maka hal ini termasuk dalam

segmen terakhir (samar). Secara garis besar, dalam kejadian DBD

outcomenya adalah angka incidence rate (IR) DBD.

5. Simpul 5: Variabel Supra Sistem

Perkembangbiakan nyamuk dapat dipengaruhi oleh iklim seperti

suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin. Suhu

lingkungan dan kelembaban dapat memberikan pengaruh besar

terhadap perkembangbiakan nyamuk terutama saat musim kemarau

seperti perilaku menggigit, perilaku perkawinan, lama menetas telur

nyamuk dan lain-lain. Curah hujan yang sedang dalam jangka waktu

panjang dapat menimbulkan banyaknya breeding place dan tingkat ABJ

yang rendah (dalam arti banyaknya jentik yang ditemukan) hingga

keduanya dapat menyebabkan banyaknya tempat perkembangbiakan

Page 69: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

49

dan pertumbuhan jentik. Begitupula dengan rumah yang tidak sehat

dapat menimbulkan banyak tempat kotor atau gelap sehingga banyak

tempat menjadi sarang nyamuk. Kecepatan angin mempengaruhi

pergerakan nyamuk dimana saat memulai mencari host baru sehingga

terjadinya penularan antara satu orang dengan yang lain. Kepadatan

penduduk memberikan kontribusi dalam penularan antara satu orang

dengan orang lain sehingga dapat memberikan dampak besar yaitu

terjadinya suatu kejadian luar biasa (KLB).

Page 70: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

50

Bagan 2.2

Teori Simpul (Achmadi, 2014)

Simpul

5

1 2 3 4

Sumber Agen

Penyakit

Penderita DBD

Vekor Penular

Nyamuk Aedes

aegypti

Variabel

Kependudukan

1. Umur

2. Jenis kelamin

3. Status gizi

4. Pengetahuan

5. Pekerjaan

6. Perilaku 3M

Plus

Sakit

Sehat

Manajemen

Penyakit

Variabel lain

1. Lingkungan Fisik

a. Iklim (suhu udara, kelembaban udara, curah hujan,

kecepatan angin)

b. Rumah Sehat

2. Lingkungan Biologi

a. Kepadatan vektor (ABJ)

3. Lingkungan Non-fisik

a. Kepadatan Penduduk

Agen Penyakit

DEN-1, DEN-2. DEN-3, DEN-4

Page 71: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

51

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Dalam penelitian ini, tidak semua variabel yang terdapat dalam kerangka

teori diteliti. Desain studi dalam penelitian ini adalah studi ekologi dimana

unit analisisnya adalah populasi sehingga variabel yang bersifat individu tidak

diteliti. Adapun variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah lingkungan

fisik, lingkungan non-fisik dan lingkungan biologi. Berikut penjelasan terkait

variabel yang diteliti dalam penelitian ini:

1. Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang

dapat memberikan peluang sebagai habitat perkembangan vektor

nyamuk Aedes aegypti sehingga dapat berkembang dan terus

meningkat. Adapun variabel yang diteliti, antara lain suhu udara,

kelembaban udara, curah hujan, kecepatan angin dan rumah sehat.

a. Suhu udara dan kelembaban udara diteliti karena kedua variabel

ini berpengaruh terhadap umur perkembangbiakan vektor nyamuk

dan potensi sebagai vektor penularan DBD. Apabila suhu udara

dan kelembaban udara mencapai optimum untuk

perkembangbiakan nyamuk, maka potensi sebagai vektor

penularan DBD semakin tinggi sehingga tingkat risiko penularan

DBD dapat menjadi 3 kali lipat lebih tinggi.

Page 72: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

52

b. Curah hujan diteliti karena dapat mempengaruhi tingkat populasi

vektor nyamuk. Pada saat musim penghujan dimana curah hujan

yang sedang dalam jangka waktu panjang, maka hal ini dapat

memicu banyaknya breeding place sehingga vektor nyamuk terus

berkembangbiak dan meningkat. Dengan begitu, vektor nyamuk

tersebut berpeluang menjadi vektor penular DBD dan

menyebabkan terjadinya KLB DBD di wilayah endemis.

c. Kecepatan angin secara langsung dapat mempengaruhi

kemampuan terbang vektor nyamuk. Kecepatan angin yang

rendah dapat mendukung vektor nyamuk untuk menular dari satu

orang dengan ke orang lain yang memiliki kekebalan tubuh

rendah dalam jarak jauh dan mendukung perkawinan di udara

sehingga dapat meningkatkan perkembangbiakan vektor nyamuk.

d. Penilaian rumah sehat dilakukan oleh sanitarian lingkungan

Puskesmas dibantu oleh kader setempat. Penilaian dilakukan

setiap 1 tahun sekali pada 20 rumah yang telah disampling oleh

petugas Puskesmas. Pada penilaian rumah juga diperiksa ada atau

tidaknya jentik dan apabila ditemukan adanya jentik, maka

penilaian rumah tersebut termasuk golongan tidak sehat. Rumah

yang tidak sehat dapat memicu timbulnya breeding places sebagai

habitat nyamuk Aedes aegypti dan memberikan potensi dalam

penularan DBD.

Page 73: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

53

2. Lingkungan Non-Fisik

Lingkungan non-fisik dalam penelitian ini adalah faktor-faktor

yang memungkinkan dapat terjadi adanya kontak antara manusia

dengan vektor nyamuk Aedes aegypti. Adapun variabel yang diteliti

adalah kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk diteliti karena faktor

ini dapat mempengaruhi peningkatan penularan dari satu orang ke

orang lain. Semakin tinggi kepadatan penduduk di suatu wilayah, maka

semakin tinggi pula risiko penularan DBD.

3. Lingkungan Biologi

Lingkungan biologi dalam penelitian ini adalah makhluk hidup

yang memiliki peran dalam terjadinya penyakit DBD. Adapun variabel

yang diteliti adalah kepadatan vektor (angka bebas jentik). Angka bebas

jentik didapat dari hasil pemeriksaan jumlah rumah yang diperiksa dan

banyaknya rumah yang terdapat jentik dalam kegiatan Pemeriksaan

Jentik Berkala (PJB) setiap minggu oleh kader jumantik di setiap

wilayah kerja Puskesmas. Kemudian, kader jumantik melapor ke

Puskesmas setiap bulan.

Kebenaran hasil PJB tidak selalu valid karena yang melakukan PJB

adalah kader jumantik tanpa didampingi petugas Puskesmas. Petugas

Puskesmas melakukan pemeriksaan jentik ketika ada kasus DBD yang

dilaporkan oleh masyarakat (penyelidikan epidemiologi). Jentik yang

masih banyak ditemukan pada tempat-tempat perindukan nyamuk dan

belumnya tercapai indikator standar nasional di wilayah endemis DBD

Page 74: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

54

dapat memberikan potensi besar jentik untuk terus berkembang

sehingga menjadi vektor penular DBD.

Variabel kejadian DBD dalam penelitian ini adalah kasus DBD di semua

Puskesmas dan rumah sakit wilayah Kota Tangerang Selatan yang terlapor

disertai bukti Keterangan Dari Rumah Sakit (KDRS) ke Dinas Kesehatan

Kota Tangerang Selatan.

Bagan 3.1

Kerangka Konsep

Keterangan:

Variabel diteliti dan dianalisis spatialtemporal dengan kejadian DBD

Variabel diteliti, dianalisis korelasi dan tidak dianalisis spatialtemporal

dengan kejadian DBD

Rumah sehat

Kepadatan vektor (ABJ)

Kepadatan penduduk

Suhu Udara

Kelembaban udara

Curah hujan

Kecepatan angin

Kejadian Demam

Berdarah Dengue

(DBD)

Page 75: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

55

B. Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Kejadian Demam

Berdarah Dengue

Jumlah kasus DBD

berdasarkan gejala klinis dan

bukti laboratorium puskesmas

atau RS yang ditemukan

dalam kurun waktu tahun

2013-2015

Telaah

dokumen

Dummy table,

Dokumen

Statistik

Incidence Rate per

100.000 penduduk

Spasial

Gradasi warna:

Tinggi = merah, jika

IR > 51 per 100.000

penduduk

Rendah = hijau, jika

IR ≤ 51 per 100.000

penduduk

Sumber: Kemenkes

RI, 2013

Rasio

Ordinal

Suhu Udara Rata-rata suhu per bulan di

Kota Tangerang Selatan yang

tercatat dalam laporan

bulanan BMKG selama tahun

2013-2015

Telaah

dokumen

Dummy table,

Dokumen

Statistik

Rata-rata per bulan

dalam °C, suhu

udara optimal 25°C-

27°C

Rasio

Kelembaban Udara Rata-rata kelembaban per

bulan di Kota Tangerang

Selatan yang tercatat dalam

laporan bulanan BMKG

selama tahun 2013-2015

Telaah

dokumen

Dummy table,

Dokumen

Statistik

Rata-rata per bulan

dalam %,

kelembaban udara

optimal <60%

Rasio

Page 76: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

56

Curah Hujan Jumlah hujan per bulan di

Kota Tangerang Selatan yang

tercatat dalam laporan

bulanan BMKG selama tahun

2013-2015

Telaah

dokumen

Dummy table,

Dokumen

Statistik

Rata-rata per bulan

dalam mm

Rasio

Kecepatan Angin Rata-rata kecepatan angin per

bulan di Kota Tangerang

Selatan yang tercatat dalam

laporan bulanan BMKG

selama tahun 2013-2015

Telaah

dokumen

Dummy table,

Dokumen

Statistik

Rata-rata per bulan

dalam knot

Rasio

Angka Bebas Jentik Jumlah rumah atau bangunan

yang tidak ditemukan jentik

dan mencapai indikator

nasional yaitu sebesar ≥ 95%

Telaah

dokumen

Dummy table,

Dokumen

Statistik

Rata-rata dalam %

Spasial

Gradasi warna:

Rendah = merah,

jika ABJ < 95%

Tinggi = hijau, jika

ABJ ≥ 95%

Sumber: Kemenkes

RI, 2013

Rasio

Ordinal

Kepadatan Penduduk Hasil dari jumlah penduduk

total dengan luas wilayah di

Kota Tangerang Selatan

Telaah

dokumen

Dummy table,

Dokumen

Statistik

Rata-rata dalam

jiwa/ha

Spasial

Gradasi warna:

Tinggi = merah, jika

>200 jiwa/ha

Rasio

Ordinal

Page 77: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

57

Sedang = kuning,

jika 150-200 jiwa/ha

Rendah = hijau, jika

<150 jiwa/ha

Sumber: Standar

Nasional Indonesia

(SNI) 03-1733-2004

Rumah Sehat Jumlah rumah atau bangunan

yang memenuhi syarat

kesehatan sesuai dengan

Keputusan Menteri

Kesehatan Nomor

829/Menkes/SK/VII/1999

Telaah

dokumen

Dummy table,

Dokumen

Statistik

Rata-rata dalam %

Spasial

Gradasi warna:

Rendah = merah,

jika rumah sehat <

80%

Tinggi = hijau, jika

rumah sehat ≥ 80%

Sumber: Kemenkes

RI, 2010

Rasio

Ordinal

Page 78: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

58

C. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Ada hubungan/ keeratan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

dengan suhu udara di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.

2. Ada hubungan/ keeratan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

dengan kelembaban udara di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.

3. Ada hubungan/ keeratan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

dengan curah hujan di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.

4. Ada hubungan/ keeratan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

dengan kecepatan angin di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.

Page 79: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

59

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi dengan menggunakan

desain studi ekologi, yaitu desain studi epidemiologi yang bertujuan untuk

mendeskripsikan antara penyakit DBD dan faktor risiko DBD. Dalam

penelitian ini, desain studi ekologi digunakan dengan pendekatan spasial

dan tools sistem informasi geografis (SIG). Unit observasi dan unit analisis

dalam studi ini adalah kelompok (agregat) individu, komunitas atau

populasi yang lebih besar yang dibatasi oleh secara geografik. Pada

penelitian ini, unit analisis adalah semua puskesmas di Kota Tangerang

Selatan.

Faktor-faktor risiko yang diambil adalah lingkungan fisik (suhu udara,

kelembaban, curah hujan, kecepatan angin dan rumah sehat), lingkungan

biologi (angka bebas jentik (ABJ)) dan lingkungan sosial dan ekonomi

(kepadatan penduduk). Data tersebut merupakan data agregat yang

kemudian dianalisis secara spasial untuk mengetahui distribusi, pola atau

trend kasus DBD setelah diinterpolasikan dengan faktor kepadatan

penduduk, kepadatan vektor dan rumah sehat di wilayah Kota Tangerang

Selatan tahun 2013-2015 sehingga desain studi ekologi ini cocok dilakukan

dalam penelitian ini. Untuk faktor suhu udara, kelembaban udara, curah

hujan dan kecepatan angin dianalisis bivariat untuk mengetahui kekuatan

Page 80: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

60

atau keeratan hubungannya dengan kejadian DBD di wilayah Kota

Tangerang Selatan tahun 2013-2015.

B. Lokasi , Waktu dan Populasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Tangerang Selatan dimulai pada bulan

Juni 2015 sampai bulan Februari 2016. Dalam penelitian ini tidak

menggunakan sampel melainkan populasi karena dilakukan dengan

menggunakan desain ekologi dimana data yang digunakan adalah data

agregat kasus DBD per wilayah kerja puskesmas. Populasi dalam penelitian

ini adalah semua puskesmas yang ada wilayah Kota Tangerang Selatan.

C. Manajemen Data

1. Cara Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data

sekunder yang berasal dari beberapa instansi yang terkait. Data kasus

DBD, ABJ dan rumah sehat diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota

Tangerang Selatan. Data kepadatan penduduk diperoleh dari Badan

Pusat Statistik (BPS) Kota Tangerang Selatan dalam bentuk laporan

Kecamatan Dalam Angka (KCDA). Data iklim (suhu udara,

kelembaban, curah hujan dan kecepatan angin) diperoleh dari laporan

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok

Betung. Berikut ini data-data yang dikumpulkan dengan menggunakan

data sekunder dalam penelitian ini:

Page 81: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

61

Tabel 4.1

Jenis Data Penelitian

2. Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini adalah laporan bulanan dan tahunan

yang telah dikumpulkan dari beberapa instansi yang terkait. Berikut ini

masing-masing variabel, instrument dan instansi penelitian:

a. Kasus DBD

Instrumen penelitiannya adalah laporan bulanan Seksi P2P

dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Kasus DBD

adalah kasus yang dilaporkan setiap minggu ke Dinas Kesehatan

Kota oleh Puskesmas, yaitu penderita yang dinyatakan positif

disertai bukti laboratorium dari rumah sakit.

No. Data Sumber Data

1. Kasus DBD Per Puskesmas Laporan Bulanan Seksi P2P

Dinkes Kota Tangerang

Selatan tahun 2013-2015

2. Iklim (Suhu udara,

kelembaban, curah hujan

dan kecepatan angin)

Laporan BMKG per bulan

tahun 2013-2015

3. Angka Bebas Jentik Per

Wilayah Kerja Puskesmas

Laporan Tahunan per

kecamatan Seksi Penyehatan

Lingkungan Dinkes Kota

Tangerang Selatan tahun 2013-

2015

4. Rumah Sehat Per Wilayah

Kerja Puskesmas

Laporan Tahunan per

kecamatan Seksi Penyehatan

Lingkungan Dinkes Kota

Tangerang Selatan tahun 2013-

2015

5. Jumlah Penduduk Per

Wilayah Kerja Puskesmas

BPS KCDA Kota Tangerang

Selatan Tahun 2013-2015

5. Kepadatan Penduduk Per

Wilayah Kerja Puskesmas

BPS KCDA Kota Tangerang

Selatan Tahun 2013-2015

6. Luas Wilayah Per Wilayah

Kerja Puskesmas

BPS KCDA Kota Tangerang

Selatan Tahun 2013-2015

Page 82: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

62

b. Iklim (suhu udara, curah hujan, kelembaban udara dan kecepatan

angin)

Instrumen penelitiannya adalah laporan bulanan iklim Kota

Tangerang Selatan dari BMKG Pondok Betung.

c. Kepadatan penduduk

Instrumen penelitiannya adalah laporan Kecamatan Dalam

Angka (KCDA) tahunan Kota Tangerang Selatan dari BPS Kota

Tangerang Selatan. Dari masing-masing kecamatan di Kota

Tangerang Selatan memberikan laporan rutin tahunan ke BPS

Kota Tangerang Selatan.

d. Angka bebas jentik (ABJ)

Instrumen penelitiannya adalah laporan tahunan berdasarkan

Puskesmas Seksi Penyehatan Lingkungan dari Dinas Kesehatan

Kota Tangerang Selatan. Kader jumantik melakukan pemeriksaan

jentik dengan jumlah 15-20 rumah/RW setiap bulan. Kemudian,

laporan hasil ABJ oleh kader jumantik dilaporkan ke Puskesmas

setiap bulan. Puskesmas melaporkan ke Dinas Kesehatan setiap

triwulan.

e. Rumah sehat

Instrumen penelitiannya adalah laporan tahunan berdasarkan

Puskesmas Seksi Penyehatan Lingkungan dari Dinas Kesehatan

Kota Tangerang Selatan. Hasil penilaian rumah sehat dilaporkan

ke Dinas Kesehatan setiap bulan oleh pemegang program

kesehatan lingkungan dari setiap Puskesmas. Pemegang program

Page 83: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

63

melakukan penilaian rumah sehat setiap minggu dengan sampel

sekali gerak sebanyak 20 rumah. Penilaian rumah dengan

menggunakan form rumah sehat.

3. Pengolahan Data

Data kasus DBD yang diperoleh merupakan jumlah kasus DBD

per tahun menurut kecamatan dan wilayah kerja puskesmas di Kota

Tangerang Selatan dimulai tahun 2013 hingga tahun 2015. Kemudian

data tersebut dikonversikan menjadi data kasus DBD menurut tahun

berdasarkan kecamatan dan wilayah kerja puskesmas untuk dianalisis

selanjutnya. Data iklim yang diperoleh merupakan rata-rata hasil

pengukuran iklim dimulai tahun 2013 hingga tahun 2015, kemudian

dikonversikan ke dalam bentuk rata-rata iklim per bulan. Berikut ini

penjelasan langkah-langkah dalam pengolahan data:

a. Statistik

1) Entry data. Sebelum data di-entry, data diperiksa terlebih

dahulu apakah data yang dianalisis sudah lengkap dan dapat

masuk ke tahap selanjutnya. Kemudian, entry data

dilakukan dengan memasukkan data ke dalam aplikasi

pengolah data yang mendukung agar data tersebut mudah

dianalisis. Data yang diuji statistik dilakukan dengan

bantuan aplikasi pengolah data tabular untuk kemudian

dilakukan uji normalisasi.

Page 84: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

64

2) Cleaning data. Data yang telah dimasukkan kemudian

dilakukan pengecekkan kembali. Hal ini bertujuan untuk

menghindari kesalahan dalam memasukkan data sehingga

tidak ada data yang ganda, tidak ada data yang hilang

(missing values) dan konsistensi. Dalam hal ini, data yang

telah di-entry dan cleaning keluar dalam bentuk tabular.

b. Spasial

Data spasial dioleh dengan menggunakan software SIG dan

menghasilkan output, yaitu peta tematik. Langkah-langkah awal

yang dilakukan untuk analisis spasial sama dengan langkah saat

ingin melakukan uji statistik. Berikut ini penjelasan langkah-

langkah dalam pengolahan data:

1) Data sudah lengkap dan telah siap untuk tahap selanjutnya.

Sebelum memasuki langkah entry data, data yang

selanjutnya dilakukan analisis spasial diberi kode terlebih

dahulu berupa gradasi warna. Untuk kasus DBD, variabel

Incidence Rate DBD dikelompokkan menjadi 2 bagian,

yaitu merah untuk kategori tinggi dan hijau untuk kategori

rendah. Sebaran kasus demam berdarah yang diikuti dengan

faktor risiko diberi batasan yang berwarna biru, ungu dan

kuning pada wilayah kerja puskesmas yang memiliki angka

IR DBD tinggi. Untuk ABJ dan rumah sehat diberi garis

tebal biru untuk kategori tinggi dan garis tebal kuning

Page 85: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

65

rendah untuk kategori rendah. Kepadatan penduduk diberi

garis tebal biru untuk kategori tinggi, garis tebal ungu untuk

kategori sedang dan garis tebal kuning untuk kategori

rendah.

2) Kemudian, entry data. Pada langkah ini, data dimasukkan

dengan bantuan aplikasi data tabular dan aplikasi data

spasial. Pada aplikasi data tabular, data dilakukan uji

normalisasi. Kemudian, membuka file “dbf” dari atribut

shapefile. Jika sudah terbuka, langkah selanjutnya meng-

copy kolom variabel utama ke dalam file “.dbf” tersebut.

3) File “.dbf” dengan kolom variabel utama tersebut

dimasukkan ke dalam lembar kerja pada aplikasi data

tabular yang telah dibuat dan memindahkan kolom variabel

utama dengan tujuan untuk mencocokkan nama puskesmas

dengan menggunakan teknik dragging. Apabila sudah

selesei, langkah selanjutnya melakukan pemeriksaan apakah

terdapat kesalahan saat pemasukan data ke dalam lembar

kerja tersebut. Kemudian, save data tabular dalam bentuk

“CSV” dan data dapat diintegrasikan ke dalam data spasial.

4) Cleaning data. Data yang telah dimasukkan kemudian

dilakukan pengecekkan kembali. Hal ini bertujuan untuk

menghindari kesalahan, baik dalam pengkodean maupun

membaca kode sehingga data dapat dianalisis.

Page 86: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

66

D. Analisis Data

1. Analisis Univariat

Data kasus DBD yang dilaporkan di Dinas Kesehatan Kota

Tangerang Selatan dianalisis secara univariat untuk mengetahui besar

masalah DBD di wilayah Kota Tangerang Selatan menurut orang (usia

dan jenis kelamin), tempat dan waktu. Data kepadatan penduduk

dianalisis secara univariat untuk mengetahui distribusi kependudukan di

wilayah Kota Tangerang Selatan berdasarkan wilayah kerja Puskesmas.

Data ABJ yang dilaporkan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

dianalisis untuk mengetahui distribusi ABJ dan dibandingan antara satu

Puskesmas dengan Puskesmas lainnya dalam kurun waktu 3 tahun

terakhir di Kota Tangerang Selatan. Data rumah sehat dianalisis secara

univariat untuk mengetahui distribusi rumah sehat dan dibandingan

antara satu Puskesmas dengan Puskesmas lainnya dalam kurun waktu 3

tahun terakhir di Kota Tangerang Selatan.

Semua variabel yang dianalisis ditampilkan dalam bentuk tabel

(Mean, Min dan Max) dan grafik. Berikut ini ukuran Epidemiologi

untuk masing-masing variabel:

Tabel 4.2

Ukuran Epidemiologi Pada Variabel Penelitian

No. Variabel Ukuran

1. Incidence Rate DBD Per Wilayah Kerja

Puskesmas

Rate

2. Iklim (suhu udara, kelembaban udara, curah

hujan dan kecepatan angin) Per bulan Kota

Tangerang Selatan

Proporsi

3. Angka Bebas Jentik (ABJ) Per Wilayah Kerja Proporsi

Page 87: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

67

Puskesmas

4. Kepadatan penduduk Per Wilayah Kerja

Puskesmas

Proporsi

5. Rumah sehat Per Wilayah Kerja Puskesmas Proporsi

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dalam penelitian ini dilakukan uji normalitas dan

uji statistik korelasi sebagai berikut:

a. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui data yang dianalisis

sudah terdistribusi normal atau tidak. Data dikatakan normal jika

memenuhi sebagai berikut ini (Hastono, 2006):

1) Nilai rasio Skewness berada diantara -2 sampai 2

2) Uji Kolomogorov Smirnov (n = > 30), Shapiro wilk (n = ≤

30) dengan p > 0,05

3) Grafik histogram berbentuk kurva normal

b. Uji Korelasi

Uji korelasi bertujuan untuk mengetahui kekuatan atau

keeratan hubungan antara variabel iklim (suhu udara,

kelembaban, curah hujan dan kecepatan angin) dengan kasus

DBD. Hubungan dua variabel numerik dapat berpola positif yang

artinya kenaikan satu variabel diikuti kenaikan variabel lain dan

negatif yang artinya kenaikan satu variabel diikuti penurunan

variabel yang lain.

Jika data terdistribusi normal, maka selanjutnya data dilakukan

uji korelasi Pearson Moment, sedangkan jika data tidak

Page 88: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

68

terdistribusi normal, maka data tersebut dilakukan uji non

parametrik Spearman-rho. Nilai korelasi disimbolkan dengan

koefisien korelasi (r). nilai r dan kekuatan atau keeratan hubungan

antara dua variabel dapat dibagi menjadi 4, sebagai berikut

(Colton dalam Hastono, 2006):

r = 0,00-0,25 → Tidak ada hubungan/hubungan lemah

r = 0,26-0,50 → Hubungan sedang

r = 0,51-0,75 → Hubungan kuat

r = 0,76-1,00 → Hubungan sangat kuat/sempurna

3. Analisis Spatialtemporal

Analisis spatialtemporal dilakukan dengan metode overlay, yaitu

dengan menggabungkan dua peta sehingga menghasilkan peta baru.

Peta baru atau area map tersebut dapat diketahui pola penyebaran kasus

DBD dengan kepadatan penduduk, angka bebas jentik dan rumah sehat.

Kemudian, dari peta tersebut dilihat korelasi antara variabel independen

dengan varaibel dependen dan dinarasikan untuk menunjukkan pola

hubungan spasial berdasarkan waktu dan tempat sesuai yang diinginkan

oleh peneliti.

Pada peta dalam penelitian ini diberi warna dan batas warna yang

berbeda. Variabel kejadian DBD diberi warna merah (IR DBD ≥ 51 per

100.000 penduduk) dan warna hijau (IR DBD < 51 per 100.000

penduduk). Sedangkan, pada peta baru yaitu setelah disusun tumpang

tindih (overlay) dengan variabel angka bebas jentik, rumah sehat dan

Page 89: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

69

kepadatan penduduk, kejadian DBD diberi batas garis putus-putus

warna biru (IR DBD ≥ 51 per 100.000 penduduk) dan batas garis warna

hitam (IR DBD < 51 per 100.000 penduduk).

Variabel angka bebas jentik diberi warna merah (ABJ < 95%) dan

warna hijau (ABJ ≥ 95%). Variabel rumah sehat diberi warna merah

(persentase rumah sehat < 80%) dan warna hijau (persentase rumah

sehat ≥ 80%). Variabel kepadatan penduduk diberi warna merah

(kepadatan penduduk > 200 jiwa/ha), warna kuning (150-200 jiwa/ha)

dan warna hijau (<150 jiwa/ha).

Page 90: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

70

BAB V

HASIL

A. Distribusi Kejadian Penyakit DBD

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh data kasus

Demam Berdarah Dengue (DBD) tahun 2013-2015 di wilayah kerja

Puskesmas Kota Tangerang Selatan. Berikut ini distribusi kejadian penyakit

DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 dijabarkan berdasarkan

orang, tempat dan waktu:

1. Distribusi Kejadian DBD Menurut Orang

a. Umur

Kasus DBD berdasarkan orang (umur) dibagi menjadi 4

kategori, yaitu 0-4 tahun, 5-9 tahun, 10-14 tahun dan ≥15 tahun.

Kasus DBD berdasarkan umur ini bertujuan untuk mengetahui

angka kesakitan atau Incidence Rate (IR) DBD menurut

kelompok umur di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2013-2015.

Biasanya kasus DBD lebih sering menyerang pada anak-anak,

namun seiring perkembangannya sampai sekarang DBD dapat

menyerang semua umur. Berikut ini distribusi kasus DBD

berdasarkan umur di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015:

Page 91: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

71

16.5

47.9

85.9

48.9

34.6

75.9

142.9

52.9

13.8

50.4

78.8

47.1

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

120.0

140.0

160.0

0-4 5-9 10-14 ≥15

Inci

den

ce R

ate

(IR

) D

BD

Per

10

0.0

00

Pen

du

du

k

Umur

2013

2014

2015

Grafik 5.1

Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Kelompok Umur di

Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Sumber: Data Kasus DBD Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

Tahun 2013-2015

Pada grafik 5.1 menunjukkan bahwa kelompok umur yang

paling banyak menjadi kasus DBD di Kota Tangerang pada tahun

2013-2015 adalah kelompok umur 10-14 tahun.

b. Jenis Kelamin

Kasus DBD dapat menginfeksi pada semua jenis kelamin,

baik laki-laki maupun perempuan. Berikut ini distribusi kasus

DBD berdasarkan jenis kelamin di Kota Tangerang Selatan tahun

2013-2015:

Page 92: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

72

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

2013 2014 2015

52% 51%

56%

48% 49%

44%

Per

sen

tase

(%

) K

asu

s D

BD

Tahun

Laki-laki

Perempuan

Grafik 5.2

Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Jenis Kelamin di

Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Sumber: Data Kasus DBD Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

Tahun 2013-2015

Pada grafik 5.2 menunjukkan bahwa kasus DBD menurut

jenis kelamin di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2013-2015

cenderung lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan.

Kasus DBD pada laki-laki tertinggi terjadi pada tahun 2015

(56%), sedangkan kasus DBD pada perempuan tertinggi terjadi

pada tahun 2014 (49%).

2. Distribusi Kejadian DBD Menurut Tempat

Kasus DBD menurut tempat bertujuan untuk mengetahui angka

kesakitan atau Incidence Rate (IR) DBD berdasarkan wilayah kerja

Puskesmas di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2013-2015. Dalam

Rencana Strategi (renstra) Kementerian Kesehatan untuk angka

Page 93: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

73

0

2

4

6

8

10

12

14

16

2013 2014 2015

14 14

16

11 11

9

Ju

mla

h P

usk

esm

as

Tahun

≤ 51 Per 100.000 Penduduk

> 51 Per 100.000 Penduduk

kesakitan (IR) DBD secara nasional adalah sebesar ≤ 51 per 100.000

penduduk (Kemenkes RI, 2015).

Grafik 5.3

Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan

IR DBD Per 100.000 Penduduk Tahun 2013-2015

Sumber: Data Kasus DBD Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

Tahun 2013-2015

Pada grafik 5.3 menunjukkan bahwa jumlah Puskesmas yang tidak

mencapai target nasional di Kota Tangerang Selatan paling banyak

jumlahnya pada tahun 2015, yaitu sebanyak 16 Puskesmas (dari 25

Puskesmas). Sebaran Puskesmas secara spatialtemporal dapat dilihat

melalui peta berikut ini:

Page 94: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

74

Peta 5.1

Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD di Wilayah Kerja

Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

2014

2013

Page 95: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

75

Target dalam upaya keberhasilan penurunan kasus DBD secara

nasional adalah angka kesakitan (Incidence Rate) kurang dari atau sama

dengan 51 per 100.000 penduduk. Pada peta 5.1 terlihat bahwa wilayah

kerja Puskesmas yang memiliki IR DBD tinggi (> 51 per 100.000

penduduk) ditandai dengan warna merah, sedangkan wilayah kerja

Puskesmas yang memiliki IR DBD rendah (≤ 51 per 100.000

penduduk) ditandai dengan warna hijau. Secara keseluruhan, secara

spasial terlihat bahwa sebaran kasus DBD yang tinggi lebih banyak

ditemukan di Kota bagian Selatan. Puskesmas dengan IR DBD yang

termasuk tinggi dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah

Puskesmas Rengas, Puskesmas Rawa Buntu, Puskesmas Kranggan dan

Puskesmas Pondok Benda. Sedangkan secara temporal, sebaran kasus

2015

Page 96: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

76

DBD yang tinggi di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan

pada tahun 2013-2015 cenderung semakin berkurang.

Pada tahun 2013 jumlah Puskesmas dengan IR DBD yang

termasuk tinggi, yaitu sebanyak 11 dari 25 Puskesmas dimana sebaran

kasusnya terlihat lebih banyak di wilayah bagian Utara. Pada tahun

2014, jumlah Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi masih

sama seperti tahun sebelumnya, namun perbedaannya terletak pada

sebaran kasusnya yaitu terlihat lebih banyak di wilayah bagian Selatan.

Pada tahun 2015 terjadi penurunan jumlah Puskesmas dengan IR

DBD yang termasuk tinggi dibanding 2 (dua) tahun sebelumnya

walaupun pengurangan tersebut hanya dua angka, yaitu dari 11 menjadi

9 Puskesmas. Sedangkan, sebaran kasusnya terlihat sama dengan tahun

2014, yaitu lebih banyak di wilayah bagian Selatan.

3. Distribusi Kejadian DBD Menurut Waktu

a. Tahun

Distribusi kasus DBD berdasarkan waktu (tahun) bertujuan

untuk mengetahui kecenderungan peningkatan, penurunan, atau

tetap dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir di Kota

Tangerang Selatan. Dalam Rencana Strategi (renstra)

Kementerian Kesehatan untuk angka kesakitan (IR) DBD secara

nasional adalah sebesar ≤ 51 per 100.000 penduduk (Kemenkes

RI, 2015). Berikut grafik:

Page 97: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

77

48.5

47.0

46.5

45.5

46.0

46.5

47.0

47.5

48.0

48.5

49.0

2013 2014 2015

IR D

BD

Per

10

0.0

00

Pen

du

du

k

Tahun

Grafik 5.4

Distribusi Kasus DBD Menurut Tahun di Kota Tangerang Selatan

Tahun 2013-2015

Sumber: Data Kasus DBD Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

Tahun 2013-2015

Pada grafik 5.4 menunjukkan bahwa kasus DBD di Kota

Tangerang Selatan pada tahun 2013-2015 mengalami penurunan

yaitu 48,5 per 100.000 penduduk menjadi 46,5 per 100.000

penduduk. Dari grafik tersebut juga menunjukkan bahwa IR DBD

dalam kurun waktu 3 (tiga) terakhir di Kota Tangerang Selatan

telah mencapai target indikator nasional.

b. Bulan

Distribusi kasus DBD berdasarkan waktu (bulan) bertujuan

untuk mengetahui kecenderungan pola penularan DBD di saat

musim hujan maupun musim kemarau. Berikut ini distribusi

Page 98: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

78

10%9%

10%10%

9%

11%

8%7%

9%

6%

8%

3%

12%

12% 11% 11%

7%

9%10%

11%

9%

3%2%

2%

12%

13%

11%

9%

16%

8%

9%

3% 2%

8% 8%

3%

0%

2%

4%

6%

8%

10%

12%

14%

16%

18%

Per

sen

tase

(%

) K

asu

s D

BD

Bulan

2013

2014

2015

kasus DBD berdasarkan bulan di Kota Tangerang Selatan tahun

2013-2015

Grafik 5.5

Distribusi Kasus DBD Menurut Bulan di Kota Tangerang Selatan

Tahun 2013-2015

Sumber: Data Kasus DBD Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

Tahun 2013-2015

Pada grafik 5.5 menunjukkan bahwa kasus DBD di Kota

Tangerang Selatan pada tahun 2013-2015 terjadi tidak hanya saat

musim hujan saja melainkan terjadi pada saat musim kemarau

juga sehingga bisa terjadi kapan saja. Puncak kasus DBD pada

tahun 2013 terjadi di bulan Juni, September dan November, tahun

2014 bulan Januari dan tahun 2015 bulan Januari, Mei dan

Oktober.

Page 99: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

79

B. Distribusi Angka Bebas Jentik (ABJ) Menurut Wilayah Kerja

Puskesmas

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh angka bebas

jentik di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan pada tahun 2013-

2015. Dalam rencana strategi (renstra) Kementerian Kesehatan untuk ABJ

secara nasional adalah sebesar ≥ 95% (Kemenkes RI, 2015). Berikut ini

distribusi ABJ tahun 2013-2015 di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang

Selatan:

Tabel 5.1

Distribusi Frekuensi ABJ di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang

Selatan Tahun 2013-2015

Tahun

Angka Bebas Jentik (ABJ)

Kota

Tangerang

Selatan

Min Puskesmas Maks Puskesmas

2013 95% 77% Ciputat 99% Pondok

Jagung

2014 93% 67% Ciputat

Timur 100%

Pondok

Jagung

2015 90% 75% Ciputat

Timur 98%

Pondok

Jagung

Sumber: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Pada tabel 5.1 menunjukkan bahwa ABJ rata-rata di Kota Tangerang

Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir semakin menurun. Pada

tahun 2013 persentase ABJ terendah berdasarkan wilayah kerja Puskesmas di

Kota Tangerang Selatan adalah Puskesmas Ciputat (77%). Pada tahun 2014

adalah Puskesmas Ciputat Timur (67%) dimana saat itu merupakan ABJ

terendah yang terjadi di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga)

tahun terakhir. Pada tahun 2015 adalah Puskesmas yang sama seperti tahun

sebelumnya, yaitu Puskesmas Ciputat Timur (75%).

Page 100: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

80

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

2013 2014 2015

18

15

87

10

17

Ju

mla

h P

usk

esm

as

Tahun

Tinggi, jika ≥ 95%

Rendah, jika < 95%

Grafik 5.6

Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan Angka Bebas

Jentik Tahun 2013-2015

Sumber: Data ABJ Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Pada grafik 5.6 menunjukkan bahwa jumlah Puskesmas yang tidak

mencapai target nasional (ABJ < 95%) di Kota Tangerang Selatan pada tahun

2013-2015 mengalami peningkatan sebanyak 7 Puskesmas pada tahun 2013

menjadi 17 Puskesmas pada tahun 2015. Persebaran Puskesmas secara

spatialtemporal dapat dilihat melalui peta berikut ini:

Angka Bebas Jentik:

Page 101: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

81

Peta 5.2

Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD dengan Angka Bebas Jentik di

Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

2013

2014

Page 102: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

82

2015

Target dalam upaya keberhasilan bebas jentik secara nasional adalah

angka bebas jentik lebih dari atau sama dengan 95%. Pada peta 5.2 terlihat

bahwa wilayah kerja Puskesmas yang memiliki ABJ rendah (< 95%) ditandai

dengan warna merah, sedangkan wilayah kerja Puskesmas yang memiliki

ABJ tinggi (≥ 95%) ditandai dengan warna hijau. Secara keseluruhan,

berdasarkan analisis spasial terlihat bahwa sebaran kasus DBD yang tinggi

lebih banyak ditemukan di wilayah kerja Puskesmas dengan ABJ yang

termasuk tinggi dan persebarannya lebih banyak di wilayah bagian Selatan.

Hal ini berarti kasus DBD yang tinggi di Kota Tangerang Selatan tidak selalu

terjadi pada wilayah kerja Puskesmas dengan ABJ yang rendah. Puskesmas

dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan ABJ yang tinggi dalam kurun

waktu 3 (tiga) Tahun terakhir adalah Puskesmas Rengas. Sedangkan,

Page 103: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

83

berdasarkan analisis temporal sebaran jentik di wilayah kerja Puskesmas Kota

Tangerang Selatan tahun 2013-2015 terlihat cenderung semakin bertambah.

Pada tahun 2013 jumlah Puskesmas dengan ABJ yang rendah, yaitu

sebanyak 11 dari 25 Puskesmas dimana persebarannya terlihat di wilayah

bagian Utara dan Selatan. Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi

dan ABJ yang rendah adalah sebesar 29% (2 dari 7 Puskesmas), yaitu

Puskesmas Pondok Pucung dan Puskesmas Perigi. Sebaran kasus DBD yang

tinggi dan ABJ yang rendah pada kedua Puskesmas tersebut terlihat di

wilayah bagian Utara. Sedangkan, Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk

tinggi dan ABJ yang tinggi adalah sebesar 50% (9 dari 18 Puskesmas), yaitu

Puskesmas Pondok Benda, Puskesmas Benda Baru, Puskesmas Sawah,

Puskesmas Ciputat Timur, Puskesmas Rengas, Puskesmas Paku Alam,

Puskesmas Pondok Aren, Puskesmas Rawa Buntu dan Puskesmas Kranggan.

Pada tahun 2014 jumlah Puskesmas dengan ABJ yang rendah berkurang

dibandingkan tahun sebelumnya, walaupun pengurangan tersebut hanya satu

angka, yaitu dari 11 menjadi 10 Puskesmas dimana persebarannya terlihat di

wilayah bagian Utara, Timur, Selatan dan Barat Daya. Puskesmas dengan IR

DBD yang termasuk tinggi dan ABJ yang rendah adalah sebesar 60% (6 dari

10 Puskesmas), yaitu Puskesmas Pondok Benda, Puskesmas Ciputat,

Puskesmas Pondok Pucung, Puskesmas Serpong 1, Puskesmas Setu dan

Puskesmas Kranggan. Sebaran kasus DBD yang tinggi dan ABJ yang rendah

pada keenam Puskesmas tersebut terlihat lebih banyak di wilayah bagian

Barat Daya. Sedangkan, Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi

Page 104: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

84

dan ABJ yang tinggi adalah sebesar 33% (5 dari 15 Puskesmas), yaitu

Puskesmas Pamulang, Puskesmas Pondok Ranji, Puskesmas Rengas,

Puskesmas Rawa Buntu dan Puskesmas Baktijaya.

Pada tahun 2015 jumlah Puskesmas dengan ABJ yang rendah bertambah

dan menjadi lebih banyak dibandingkan 2 (dua) tahun sebelumnya, yaitu

sebanyak 17 Puskesmas dan persebarannya terlihat hampir di seluruh wilayah

kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan. Puskesmas dengan IR DBD yang

termasuk tinggi dan ABJ yang rendah adalah sebesar 35% (6 dari 17

Puskesmas), yaitu Puskesmas Pondok Benda, Puskesmas Perigi, Puskesmas

Serpong 1, Puskesmas Rawa buntu, Puskesmas Kranggan dan Puskesmas

Baktijaya. Sebaran kasus DBD yang tinggi dan ABJ yang rendah pada

keenam Puskesmas tersebut terlihat lebih banyak di wilayah bagian Selatan.

Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan ABJ yang tinggi adalah

sebesar 38% (3 dari 8 Puskesmas), yaitu Puskesmas Pamulang, Puskesmas

Rengas dan Puskesmas Setu.

C. Distribusi Rumah Sehat Menurut Wilayah Kerja Puskesmas

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh data rumah

sehat tahun 2013-2015 di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan.

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999,

rumah atau bangunan dinilai sehat jika memenuhi syarat kesehatan dan

mencapai target, yaitu sebesar ≥ 80%. Distribusi rumah sehat tahun 2013-

2015 di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan:

Page 105: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

85

Tabel 5.2

Distribusi Frekuensi Rumah Sehat di Wilayah Kerja Puskesmas Kota

Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Tahun

Rumah Sehat

Kota

Tangerang

Selatan

Min Puskesmas Maks Puskesmas

2013 87% 3% Kranggan 100% Situ

Gintung

2014 91% 71% Pondok Ranji 100% Situ

Gintung

2015 89% 79% Kranggan 99% Pondok

Betung

Sumber: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa persentase rumah sehat rata-rata di

Kota Tangerang Selatan pada tahun 2013-2015 sudah mencapai target

indikator nasional. Pada tahun 2013 persentase rumah sehat terendah

berdasarkan wilayah kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan adalah

Puskesmas Kranggan (3%) dimana persentase rumah sehat Puskesmas

tersebut merupakan persentase terendah yang terjadi di Kota Tangerang

Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir. Pada tahun 2014 adalah

Puskesmas Pondok Ranji (71%) dan pada tahun 2015 adalah Puskesmas

Kranggan (79%).

Page 106: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

86

0

5

10

15

20

25

2013 2014 2015

22 2324

3 21

Ju

mla

h P

usk

esm

as

Tahun

Tinggi, jika ≥ 80%

Rendah, jika < 80%

Grafik 5.7

Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan Rumah Sehat

Tahun 2013-2015

Sumber: Data Rumah Sehat Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

Tahun 2013-2015

Pada grafik 5.7 menunjukkan bahwa jumlah Puskesmas yang tidak

mencapai target nasional (rumah sehat < 80%) mengalami penurunan

sebanyak 7 Puskesmas pada tahun 2013 menjadi 17 Puskesmas pada tahun

2015. Sebaran Puskesmas secara spatialtemporal dapat dilihat melalui peta

berikut ini:

Rumah Sehat:

Page 107: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

87

Peta 5.3

Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD dengan Rumah Sehat

di Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan

Tahun 2013-2015

2014

2013

Page 108: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

88

Target pencapaian rumah sehat secara nasional adalah lebih dari atau

sama dengan 80%. Pada peta 5.3 terlihat bahwa wilayah kerja Puskesmas

yang memiliki persentase rumah sehat rendah (< 80%) ditandai dengan warna

merah, sedangakan wilayah kerja Puskesmas yang memiliki persentase rumah

sehat tinggi (≥ 80%) ditandai dengan warna hijau. Secara keseluruhan,

berdasarkan analisis spasial terlihat bahwa kasus DBD yang tinggi lebih

banyak ditemukan pada wilayah kerja Puskesmas dengan persentase rumah

sehat yang termasuk tinggi dan persebarannya terlihat lebih banyak di

wilayah bagian Selatan. Hal ini berarti kasus DBD yang tinggi di Kota

Tangerang Selatan tidak selalu terjadi pada wilayah kerja Puskesmas dengan

persentase rumah sehat yang rendah. Puskesmas dengan IR DBD yang

termasuk tinggi dan persentase rumah sehat yang tinggi dalam kurun waktu 3

2015

Page 109: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

89

(tiga) tahun terakhir adalah Pondok Benda, Rengas dan Rawa Buntu.

Sedangkan, berdasarkan analisis temporal sebaran persentase rumah sehat

yang rendah di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2013-

2015 terlihat cenderung semakin berkurang.

Pada tahun 2013, jumlah Puskesmas dengan persentase rumah sehat yang

rendah hanya 3 dari 25 Puskesmas dimana persebarannya terlihat di wilayah

bagian Utara, Tenggara dan Barat Daya. Puskesmas dengan IR DBD yang

termasuk tinggi dan persentase rumah sehat yang rendah adalah sebesar 67%

(2 dari 3 Puskesmas), yaitu Puskesmas Sawah dan Puskesmas Kranggan.

Sebaran kasus DBD yang tinggi dan persentase rumah sehat yang rendah

pada kedua Puskesmas tersebut terlihat di wilayah bagian Utara dan Barat

Daya. Sedangkan, Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan

persentase rumah sehat yang tinggi adalah sebesar 41% (9 dari 22 Puskesmas),

yaitu Puskesmas Pondok Benda, Puskesmas Benda Baru, Puskesmas Ciputat

Timur, Puskesmas Rengas, Puskesmas Paku Alam, Puskesmas Pondok Aren,

Puskesmas Pondok Pucung, Puskesmas Perigi dan Puskesmas Rawa Buntu.

Pada tahun 2014 jumlah puskesmas dengan persentase rumah sehat yang

rendah berkurang dibandingkan tahun sebelumnya, walaupun pengurangan

tersebut hanya satu angka, yaitu dari 3 menjadi 2 Puskesmas dan

persebarannya terlihat di wilayah bagian Utara. Puskesmas dengan IR DBD

yang termasuk tinggi dan persentase rumah sehat yang rendah adalah sebesar

50% (1 dari 2 Puskesmas), yaitu Puskesmas Rengas dan persebarannya

terlihat di Kota bagian Timur Laut. Sedangkan, Puskesmas dengan IR DBD

Page 110: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

90

yang termasuk tinggi dan persentase rumah sehat yang tinggi adalah sebesar

43% (10 dari 23 Puskesmas), yaitu Puskesmas Pamulang, Puskesmas Pondok

Benda, Puskesmas Ciputat, Puskesmas Rengas, Puskesmas Pondok Pucung,

Puskesmas Serpong 1, Puskesmas Rawa Buntu, Puskesmas Setu, Puskesmas

Kranggan dan Puskesmas Baktijaya.

Pada tahun 2015 jumlah puskesmas dengan persentase rumah sehat yang

rendah semakin berkurang dibandingkan 2 (dua) tahun sebelumnya, walaupun

pengurangan tersebut hanya dua angka, yaitu dari 3 menjadi 1 Puskesmas.

Puskesmas tersebut adalah Puskesmas Kranggan dengan IR DBD yang

termasuk tinggi dimana persebarannya terlihat di wilayah bagian Barat Daya.

D. Distribusi Kepadatan Penduduk Menurut Wilayah Kerja Puskesmas

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh data

kepadatan penduduk tahun 2013-2015 di wilayah kerja Puskesmas Kota

Tangerang Selatan. Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1733-2004

tentang tatacara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan, kepadatan

penduduk di suatu wilayah diklasifikasi menjadi 4 (empat) kategori, yaitu

suatu wilayah dikatakan memiliki kepadatan rendah jika < 150 jiwa/ha,

kepadatan sedang jika 151-200 jiwa/ha, kepadatan tinggi jika 201-400 jiwa/ha

dan kepadatan sangat padat penduduknya jika > 400 jiwa/ha. Berikut ini

kepadatan penduduk di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan:

Page 111: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

91

Tabel 5.3

Distribusi Frekuensi Kepadatan Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas

Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Tahun

Kepadatan Penduduk (Jiwa/Ha)

Kota

Tangerang

Selatan

Min Puskesmas Maks Puskesmas

2013 225 63,6 Setu 513,6 Pondok

Jagung

2014 232 66,8 Setu 543,6 Pondok

Jagung

2015 240 70,1 Setu 574,9 Pondok

Jagung

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tangerang Selatan Tahun 2015

Pada tabel 5.3 menunjukkan bahwa kepadatan penduduk terendah dan

tertinggi di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2013-2015, yaitu Puskesmas

Setu dan Puskesmas Pondok Jagung. Dari tabel tersebut juga menunjukkan

bahwa kepadatan penduduk rata-rata cenderung meningkat. Pada tahun 2015

merupakan kepadatan penduduk tertinggi di Kota Tangerang Selatan dalam

kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir.

Page 112: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

92

0

2

4

6

8

10

12

14

16

2013 2014 2015

87

6

43 3

13

1516

Ju

mla

h P

usk

esm

as

Tahun

Rendah, jika <150 Jiwa/Ha

Sedang, jika 150-200 Jiwa/Ha

Tinggi, jika >200 Jiwa/Ha

Grafik 5.8

Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan

Kepadatan Penduduk Tahun 2013-2015

Sumber: Data Kepadatan Penduduk BPS Kota Tangerang Selatan

Tahun 2013-2015

Pada grafik 5.8 menunjukkan bahwa jumlah Puskesmas dengan

kepadatan penduduk yang termasuk tinggi di Kota Tangerang Selatan dalam

kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir mengalami peningkatan sebanyak 13

Puskesmas pada tahun 2013 menjadi 16 Puskesmas pada tahun 2015.

Sebaran Puskesmas secara spatialtemporal dapat dilihat melalui peta berikut

ini:

Kepadatan penduduk:

Page 113: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

93

Peta 5.4

Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD dengan Kepadatan Penduduk

di Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan

Tahun 2013-2015

2013

2014

Page 114: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

94

Pada peta 5.3 terlihat bahwa wilayah kerja Puskesmas yang memiliki

kepadatan penduduk rendah (>200 jiwa/Ha) ditandai dengan warna merah,

sedangkan wilayah kerja Puskesmas yang memiliki kepadatan penduduk

sedang (150-200 jiwa/Ha) ditandai dengan warna kuning dan wilayah kerja

Puskesmas yang memiliki kepadatan penduduk rendah (<150 jiwa/Ha)

ditandai dengan warna hijau. Secara keseluruhan, berdasarkan analisis spasial

terlihat bahwa kasus DBD yang tinggi lebih banyak ditemukan di Puskesmas

dengan kepadatan penduduk yang termasuk tinggi dimana persebarannya

terlihat lebih banyak di wilayah bagian Utara dan Timur. Puskesmas dengan

IR DBD yang termasuk tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi adalah

Puskesmas Rawa Buntu. Sedangkan, berdasarkan analisis temporal sebaran

kepadatan penduduk yang tinggi di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang

Selatan tahun 2013-2015 terlihat cenderung semakin berkurang.

2015

Page 115: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

95

Pada tahun 2013 jumlah Puskesmas dengan kepadatan penduduk yang

tinggi, yaitu sebanyak 13 dari 25 Puskesmas. Puskesmas dengan IR DBD

yang termasuk tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi adalah sebesar

38% (5 dari 13 Puskesmas), yaitu Puskesmas Benda Baru, Puskesmas Sawah,

Puskesmas Ciputat Timur, Puskesmas Pondok Aaren dan Puskesmas Rawa

Buntu. Sebaran kasus DBD yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi

pada ke-lima Puskesmas tersebut terlihat lebih banyak di wilayah bagian

Utara. Sedangkan, Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan

kepadatan penduduk yang sedang sebesar 25% (2 dari 8 Puskesmas), yaitu

Puskesmas Rengas dan Puskesmas Paku Alam. Puskesmas dengan IR DBD

yang termasuk tinggi dan kepadatan penduduk yang rendah sebesar 100% (4

dari 4 Puskesmas), yaitu Puskesmas Pondok Benda, Puskesmas Pondok

Pucung, Puskesmas Perigi dan Puskesmas Kranggan.

Pada tahun 2014 jumlah puskesmas dengan kepadatan penduduk tinggi

bertambah dibandingkan tahun sebelumnya, walaupun hanya dua angka, yaitu

dari 13 menjadi 15 Puskesmas dimana persebarannya hampir seluruh

Puskesmas di Kota Tangerang Selatan. Puskesmas dengan IR DBD yang

termasuk tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi adalah sebesar 33% (5

dari 15 Puskesmas), yaitu Puskesmas Pamulang, Puskesmas Ciputat,

Puskesmas Pondok Ranji, Puskesmas Serpong 1 dan Puskesmas Rawa Buntu.

Sebaran kasus DBD yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi pada

ke-lima Puskesmas tersebut terlihat lebih banyak di wilayah bagian Timur.

Sedangkan, Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan kepadatan

Page 116: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

96

penduduk yang sedang sebesar 67% (2 dari 3 Puskesmas), yaitu Puskesmas

Rengas dan Puskesmas Kranggan. Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk

tinggi dan kepadatan penduduk dan rendah sebesar 57% (4 dari 7 Puskesmas),

yaitu Puskesmas Pondok Benda, Puskesmas Pondok Pucung, Puskesmas Setu

dan Puskesmas Baktijaya.

Pada tahun 2015 jumlah puskesmas dengan kepadatan penduduk tinggi

bertambah dibandingkan tahun sebelumnya, walaupun hanya satu angka,

yaitu dari 15 menjadi 16 Puskesmas dimana persebarannya sama seperti pada

tahun sebelumnya hampir seluruh Puskesmas di Kota Tangerang Selatan.

Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan kepadatan penduduk

yang tinggi adalah sebesar 19% (3 dari 16 Puskesmas), yaitu Puskesmas

Pamulang, Puskemas Serpong 1 dan Puskesmas Rawa Buntu. Sebaran kasus

DBD yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi pada ke-tiga

Puskesmas tersebut terlihat di kota bagian tenggara dan barat daya.

Sedangkan, Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan kepadatan

penduduk yang sedang sebesar 67% (2 dari 3 Puskesmas), yaitu Puskesmas

Rengas dan Puskesmas Kranggan. Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk

tinggi dan kepadatan penduduk yang rendah sebesar 67% (4 dari 6

Puskesmas), yaitu Puskesmas Pondok Benda, Puskesmas Perigi, Puskesmas

Setu dan Puskesmas Baktijaya.

Page 117: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

97

E. Gambaran Faktor Iklim di Kota Tangerang Selatan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh data iklim

(suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin) tahun

2013-2015 di Kota Tangerang Selatan. Berikut ini gambaran suhu udara,

kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin di Kota Tangerang

Selatan tahun 2013-2015:

1. Gambaran Suhu Udara di Kota Tangerang Selatan

Gambaran suhu udara di Kota Tangerang Selatan (grafik 5.9

lampiran 3) terlihat bahwa suhu udara tertinggi dalam kurun waktu 3

(tiga) tahun terakhir adalah pada tahun 2015 sebesar 29,5C bulan

Oktober, sedangkan suhu udara terendah adalah pada tahun 2014

sebesar 26C bulan Januari. Trend penurunan suhu udara dalam kurun

waktu 3 (tiga) tahun terakhir di Kota Tangerang Selatan, yaitu bulan

Oktober sampai Desember. Sedangkan, trend peningkatan suhu udara

dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir di Kota Tangerang Selatan,

yaitu bulan Januari sampai Maret.

Tabel 5.4

Distribusi Suhu Udara di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Tahun Mean Median Std. Deviasi Min-Maks

2013-2015 27,7 27,9 0,8 26-29,5

Pada tabel 5.4 diketahui bahwa rata-rata suhu udara di Kota

Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah

27,7°C dan median 27,9°C dengan standar deviasi 0,8°C. Suhu udara

Page 118: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

98

minimal di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun

terakhir adalah 26°C dan nilai maksimal adalah 29,5°C.

2. Gambaran Kelembaban Udara di Kota Tangerang Selatan

Gambaran kelembaban udara di Kota Tangerang Selatan (grafik

5.10 lampiran 3) terlihat bahwa kelembaban udara tertinggi dalam

kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah pada tahun 2015 sebesar

93% bulan April tahun 2015. Sedangkan, kelembaban udara terendah

adalah pada tahun 2014 sebesar 67% bulan Oktober. Trend

peningkatan kelembaban udara dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun

terakhir di Kota Tangerang Selatan, yaitu pada bulan Oktober sampai

Januari dan bulan Desember sampai Februari. Sedangkan, trend

penurunan kelembaban udara dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir

di Kota Tangerang Selatan, yaitu pada bulan Mei sampai Oktober.

Tabel 5.5

Distribusi Kelembaban Udara di Kota Tangerang Selatan

Tahun 2013-2015

Tahun Mean Median Std. Deviasi Min-Maks

2013-2015 80 81 7 67-93

Pada tabel 5.5 diketahui bahwa rata-rata kelembaban udara di Kota

Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah

80% dan median 81% dengan standar deviasi 7%. Kelembaban udara

minimal di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun

terakhir adalah 67% dan nilai maksimal adalah 93%.

Page 119: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

99

3. Gambaran Curah Hujan di Kota Tangerang Selatan

Gambaran curah hujan di Kota Tangerang Selatan (grafik 5.11

lampiran 3) terlihat bahwa curah hujan tertinggi dalam kurun waktu 3

(tiga) tahun terakhir adalah 681,3 mm terjadi pada bulan Januari tahun

2014. Di Kota Tangerang Selatan pernah tidak hujan dalam satu hari

penuh atau curah hujan terendah, yaitu pada tahun 2015 bulan Juli.

Trend peningkatan curah hujan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun

terakhir di Kota Tangerang Selatan, yaitu pada bulan Desember sampai

Januari. Sedangkan, trend penurunan curah hujan dalam kurun waktu 3

(tiga) tahun terakhir di Kota Tangerang Selatan, yaitu pada bulan

Januari sampai April.

Tabel 5.6

Distribusi Curah Hujan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Tahun Mean Median Std. Deviasi Min-Maks

2013-2015 189.9 138 1,6 0-681,3

Pada tabel 5.6 diketahui bahwa rata-rata curah hujan di Kota

Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah

189,9 mm dan median 138 mm dengan standar deviasi 1,6 mm. Curah

hujan minimal di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga)

tahun terakhir adalah 0 mm dan nilai maksimal adalah 681,3 mm.

4. Gambaran Kecepatan Angin di Kota Tangerang Selatan

Gambaran kecepatan angin di Kota Tangerang Selatan (grafik 5.12

lampiran 3), diketahui bahwa kecepatan angin tertinggi dalam kurun

waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah pada tahun 2013 sebesar 8 knot

Page 120: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

100

bulan Maret. Sedangkan, kecepatan angin terendah, yaitu pada tahun

2013 sebesar 1 knot bulan Juni. Trend peningkatan kecepatan angin

dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir di Kota Tangerang Selatan,

yaitu pada bulan November sampai Januari. Sedangkan, trend

penurunan curah hujan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir di

Kota Tangerang Selatan, yaitu pada bulan Maret sampai Juni.

Tabel 5.7

Distribusi Kecepatan Angin di Kota Tangerang Selatan

Tahun 2013-2015

Tahun Mean Median Std. Deviasi Min-Maks

2013-2015 4 4 1 1-8

Pada tabel 5.7 diketahui bahwa rata-rata kecepatan angin di Kota

Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah 4

knot dan median 4 knot dengan standar deviasi 1 knot. Kecepatan angin

minimal di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun

terakhir adalah 1 knot dan nilai maksimal adalah 8 knot.

F. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Faktor Iklim di Kota

Tangerang Selatan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh data iklim

(suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin) dan data

kasus DBD tahun 2013-2015 di Kota Tangerang Selatan. Berikut ini hasil

korelasi antara suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan

angin dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.

Page 121: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

101

1. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Suhu Udara di Kota

Tangerang Selatan

Berdasarkan grafik 5.13 (lampiran 4), kasus DBD di Kota

Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa puncak kasus

DBD pada tahun 2013 terjadi bulan Juni dengan suhu udara rata-rata

sebesar 28°C, pada tahun 2014 terjadi bulan Januari dengan suhu udara

rata-rata sebesar 26°C dan pada tahun 2015 terjadi bulan Mei tahun

2015 dengan suhu udara rata-rata sebesar 28,3°C. Dalam kurun waktu 3

(tiga) tahun terakhir, kasus DBD tertinggi terjadi pada tahun 2015 bulan

Mei dan saat itu suhu udara rata-rata adalah sebesar 28,3°C. Sedangkan,

kasus DBD terendah terjadi pada tahun 2014 bulan Desember dan saat

itu suhu udara rata-rata adalah sebesar 27,7°C. Dengan demikian,

berdasarkan grafik tren kasus DBD dengan suhu udara di Kota

Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa kasus DBD

paling banyak terjadi pada suhu udara rata-rata sebesar ≥ 28°C.

Tabel 5.8

Hasil Analisis Korelasi Suhu Udara dengan Kejadian DBD di

Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Variabel Demam Berdarah Dengue

r p N Keterangan

Suhu Udara

2013-2015 -0,404 0,015 36

Korelasi negatif,

kekuatan sedang

dan bermakna

Suhu Udara

2013 0.069 0,832 12

Korelasi positif,

tidak ada hubungan

Suhu Udara

2014 -0,487 0,109 12

Korelasi negatif,

kekuatan sedang

dan tidak bermakna

Suhu Udara

2015 -0,423 0,171 12

Korelasi negatif,

kekuatan sedang

dan tidak bermakna

Page 122: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

102

Pada tabel 5.8 didapatkan nilai r sebagai berikut: pada tahun 2013-

2015 nilai r = -0,404 (arah negatif), tahun 2013 nilai r = 0,069 (arah

positif), tahun 2014 nilai r = -0,487 (arah negatif) dan tahun 2015 nilai r

= -0,423 (arah negatif). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa dalam

kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir terdapat hubungan dengan kekuatan

sedang dan signifikan antara suhu udara dengan kejadian DBD di Kota

Tangerang Selatan. Pada tahun 2014 dan 2015 terdapat hubungan antara

suhu udara dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan tetapi

tidak siginifikan.

Nilai r pada tahun 2013-2015 menunjukkan nilai negatif yang

artinya jika suhu udara tinggi, maka kasus DBD rendah atau sebaliknya.

Begitu juga dengan nilai r pada tahun 2014 dan 2015 menunjukkan nilai

negatif yang artinya jika suhu udara tinggi, maka kasus DBD rendah

atau sebaliknya. Sedangkan, pada tahun 2013 menunjukkan nilai positif

yang artinya jika suhu udara tinggi, maka kasus DBD juga tinggi.

2. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Kelembaban Udara di

Kota Tangerang Selatan

Berdasarkan grafik 5.14 (lampiran 4), kasus DBD di Kota

Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa puncak kasus

DBD pada tahun 2013 terjadi bulan Juni dengan kelembaban udara rata-

rata sebesar 79%, pada tahun 2014 terjadi bulan dengan kelembaban

udara rata-rata sebesar 88% dan pada tahun 2015 terjadi bulan Mei

dengan kelembaban udara rata-rata sebesar 78%. Dalam kurun waktu 3

(tiga) tahun terakhir, kasus DBD tertinggi terjadi pada tahun 2015 bulan

Page 123: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

103

Mei dan saat itu kelembaban udara rata-rata adalah sebesar 78%.

Sedangkan, kasus DBD terendah terjadi pada tahun 2014 bulan

Desember dan saat itu kelembaban udara rata-rata adalah sebesar 80%.

Dengan demikian, berdasarkan grafik tren kasus DBD dengan

kelembaban udara di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015

menunjukkan bahwa kasus DBD paling banyak terjadi pada

kelembaban udara rata-rata sebesar ≥ 79%.

Tabel 5.9

Hasil Analisis Korelasi Kelembaban Udara dengan Kejadian DBD di

Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Variabel Demam Berdarah Dengue

r p N Keterangan

Kelembaban

Udara 2013-

2015

0,434 0,008 36

Korelasi positif,

kekuatan sedang

dan bermakna

Kelembaban

Udara 2013 0.288 0,364 12

Korelasi positif,

kekuatan sedang

dan tidak bermakna

Kelembaban

Udara 2014 0,637 0,026 12

Korelasi positif,

kekuatan kuat dan

bermakna

Kelembaban

Udara 2015 0,502 0,096 12

Korelasi positif,

kekuatan sedang

dan tidak bermakna

Pada tabel 5.9 didapatkan nilai r sebagai berikut: pada tahun 2013-

2015 nilai r = 0,434 (arah positif), tahun 2013 nilai r = 0,288 (arah

positif), tahun 2014 nilai r = 0,637 (arah positif) dan pada tahun 2015

nilai r = 0,502 (arah positif). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa

dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir terdapat hubungan dengan

kekuatan sedang dan signifikan antara suhu udara dengan kejadian

DBD di Kota Tangerang Selatan. Pada tahun 2014 terdapat hubungan

Page 124: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

104

yang kuat dan signifikan antara kelembaban udara dengan kejadian

DBD di Kota Tangerang Selatan. Sedangkan, pada tahun 2013 dan

2015 terdapat hubungan dengan kekuatan sedang antara kelembaban

udara dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan tetapi tidak

signifikan. Secara keseluruhan, nilai r menunjukkan nilai positif yang

artinya jika kelembaban udara tinggi, maka kasus DBD juga tinggi.

3. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Curah Hujan di Kota

Tangerang Selatan

Berdasarkan grafik 5.15 (lampiran 4), kasus DBD di Kota

Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa puncak kasus

DBD pada tahun 2013 terjadi bulan Juni dengan curah hujan rata-rata

82,7 mm, pada tahun 2014 terjadi bulan Januari dengan curah hujan

rata-rata 681,3 mm dan pada tahun 2015 terjadi bulan Mei dengan curah

hujan rata-rata 129,9 mm. Dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir,

kasus DBD tertinggi terjadi pada tahun 2015 bulan Mei dan saat itu

curah hujan rata-rata adalah 129,9 mm. Sedangkan, kasus DBD

terendah terjadi pada tahun 2014 bulan Desember tahun 2014 dan saat

itu curah hujan rata-rata adalah 105,5 mm. Dengan demikian,

berdasarkan grafik tren kasus DBD dengan curah hujan di Kota

Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa kasus DBD

paling banyak terjadi curah hujan rata-rata sebesar ≥ 105,5mm.

Page 125: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

105

Tabel 5.10

Hasil Analisis Korelasi Curah Hujan dengan Kejadian DBD di

Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Variabel Demam Berdarah Dengue

r p N Keterangan

Curah Hujan

2013-2015 0,409 0,013 36

Korelasi positif,

kekuatan sedang

dan bermakna

Curah Hujan

2013 -0.112 0,730 12

Korelasi negatif,

tidak ada hubungan

Curah Hujan

2014 0,453 0,140 12

Korelasi positif,

kekuatan sedang

dan tidak bermakna

Curah Hujan

2015 0,609 0,036 12

Korelasi positif,

kekuatan kuat dan

bermakna

Pada tabel 5.10 didapatkan nilai r sebagai berikut: pada tahun

2013-2015 nilai r = 0,409 (arah positif), tahun 2013 nilai r = -0,112

(arah negatif), tahun 2014 nilai r = 0,453 (arah positif) dan pada tahun

2015 nilai r = 0,609 (arah positif). Hasil uji statistik menunjukkan

bahwa dalam kurun 3 (tiga) tahun terakhir terdapat hubungan dengan

kekuatan sedang dan signifikan dengan kejadian DBD di Kota

Tangerang Selatan. Pada tahun 2015 terdapat hubungan yang kuat dan

signifikan antara curah hujan dengan kejadian DBD di Kota Tangerang

Selatan. Sedangkan, pada tahun 2014 terdapat hubungan dengan

kekuatan sedang antara curah hujan dengan kejadian DBD di Kota

Tangerang Selatan tetapi tidak signifikan.

Nilai r pada tahun 2013-2015 menunjukkan nilai positif yang

artinya jika curah hujan tinggi, maka kasus DBD juga tinggi. Begitu

juga nilai r pada tahun 2014 dan 2015 men\unjukkan nilai positif yang

Page 126: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

106

artinya jika curah hujan tinggi, maka kasus DBD juga tinggi.

Sedangkan, pada tahun 2013 menunjukkan nilai negatif yang artinya

jika curah hujan tinggi, maka kasus DBD rendah atau.

4. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Kecepatan Angin di Kota

Tangerang Selatan

Berdasarkan grafik 5.16 (lampiran 4), kasus DBD di Kota

Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa puncak kasus

DBD pada tahun 2013 terjadi bulan Juni dengan kecepatan angin rata-

rata adalah 1 knot, pada tahun 2014 terjadi bulan Januari dengan

kecepatan angin rata-rata adalah 5 knot dan pada tahun 2015 terjadi

bulan Mei dengan kecepatan angin rata-rata adalah 4 knot. Dalam kurun

waktu 3 (tiga) tahun terakhir, kasus DBD tertinggi terjadi pada tahun

2015 bulan Mei dan saat itu kecepatan angin rata-rata adalah 4 knot.

Sedangkan, kasus DBD terendah terjadi pada tahun bulan Desember

dan saat itu kecepatan angin rata-rata adalah 5 knot.

Tabel 5.11

Hasil Analisis Korelasi Kecepatan Angin dengan Kejadian DBD di

Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Variabel Demam Berdarah Dengue

r P n Keterangan

Kecepatan

Angin 2013-

2015

0,097 0,574 36 Korelasi positif dan

tidak ada hubungan

Kecepatan

Angin 2013 -0,002 0,995 12

Korelasi negatif,

tidak ada hubungan

Kecepatan

Angin 2014 0,101 0,754 12

Korelasi positif,

tidak ada hubungan

Kecepatan

Angin 2015 0,307 0,331 12

Korelasi positif,

kekuatan sedang

dan tidak bermakna

Page 127: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

107

Pada tabel 5.11 didapatkan nilai r sebagai berikut: pada tahun

2013-2015 nilai r = 0,097 (arah positif), tahun 2013 nilai r = -0,002

(arah negatif), pada tahun 2014 nilai r = 0,101 (arah positif) dan pada

tahun 2015 nilai r = 0,307 (arah positif). Hasil uji statistik menunjukkan

bahwa dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir tidak ada hubungan

antara kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kota Tangerang

Selatan. Sedangkan, pada tahun 2015 terdapat hubungan dengan

kekuatan sedang antara kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kota

Tangerang Selatan tetapi tidak signifikan.

Nilai r pada tahun 2013-2015 menunjukkan nilai positif yang

artinya jika kecepatan angin tinggi, maka kasus DBD juga tinggi.

Begitu juga nilai r pada tahun 2014 dan 2015 menunjukkan nilai positif

yang artinya jika kecepatan angin tinggi, maka kasus DBD juga tinggi.

Sedangkan, pada tahun 2013 menunjukkan nilai negatif yang artinya

jika kecepatan angin tinggi, maka kasus DBD rendah atau sebaliknya.

Page 128: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

108

BAB VI

PEMBAHASAN

A. Keterbatasan Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan, yaitu

sebagai berikut:

1. Kecenderungan sekuler (secular trends) dapat melihat perubahan pola

penyakit yang terjadi atau terulangnya kejadian luar biasa dalam jangka

waktu yang lama (biasanya lebih dari 10 tahun). Pada penelitian ini data

yang diperoleh adalah 3 (tiga) tahun terakhir, yaitu tahun 2013-2015

sehingga kasus DBD menurut waktu tidak dapat melihat fluktuasi

angka kesakitan penyakit DBD, pola kejadian DBD dari waktu ke

waktu, pola yang mungkin terjadi di masa depan.

2. Unit analisis dalam penelitian ini adalah wilayah kerja Puskesmas.

Shapefile yang didapat untuk dibuat area map dengan tools Sistem

Informasi Geografis (SIG) adalah tingkat kelurahan sehingga batasan

wilayah kerja Puskesmas tidak dapat terlihat karena terdapat batas-batas

kelurahan.

B. Distribusi Kejadian Penyakit DBD di Kota Tangerang Selatan

Berikut ini pembahasan berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 mengenai distribusi

kejadian DBD berdasarkan orang (usia dan jenis kelamin), tempat dan waktu

(tahun dan bulan):

Page 129: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

109

1. Distribusi Kejadian DBD Menurut Orang

a. Usia

Kasus Dengue di negara-negara wilayah Asia Tenggara

endemis penyakit (Bangladesh, Indonesia, Singapura dan

Thailand) umumnya menyerang kelompok usia anak-anak

(Viennet et al, 2014). Hasil penelitian yang telah dilakukan di

Kota Tangerang Selatan menunjukkan bahwa angka kesakitan

DBD tertinggi pada tahun 2013-2015, yaitu pada kelompok usia

10-14 tahun (dalam per 100.000 penduduk tahun 2013=85,9;

2014=142,9; 2015=78,8) yang berarti bahwa kasus DBD tertinggi

diderita pada kelompok usia anak sekolah (grafik 5.1). Kasus

DBD pada kelompk usia ini disebabkan oleh infeksi virus Dengue

di sekolah lebih tinggi dibandingkan di rumah dan tempat kerja.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Samuel dan Imam (2015) di Provinsi Papua menunjukkan bahwa

kasus DBD tahun 2011-2014 lebih banyak pada kelompok umur

5-14 tahun.

Aktivitas nyamuk menggigit dan menghisap darah seseorang

dimulai pada waktu pagi hari (09.00-10.00) dan petang hari

(16.00-17.00). Pada waktu pagi hari, anak sekolah sudah

beraktifitas di lingkungan sekolah sedangkan, pada waktu petang

mereka beraktifitas di lingkungan rumah.

Page 130: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

110

Imunitas tubuh bisa menjadi faktor penyebab kejadian

penyakit DBD pada usia anak sekolah di Kota Tangerang Selatan.

Dalam kejadian penyakit DBD, tidak semua orang yang telah

tergigit nyamuk Aedes aegypti jatuh sakit DBD melainkan

tergantung pada sistem kekebalan tubuh pada masing-masing

individu (Hairani, 2009). Ketika nyamuk infektif Dengue

menggigit orang yang tidak memiliki kekebalan terhadap virus

Dengue, maka virus bersama air liur yang masuk ke dalam tubuh

orang tersebut menyebabkan terjadinya penyakit DBD

(Wiradharma, 1999). Pada usia anak sekolah memiliki banyak

kegiatan, baik di rumah ataupun sekolah yang mempengaruhi

menurunnya imunitas tubuh apabila tidak diiringi dengan asupan

makanan sehat. Sistem kekebalan tubuh yang rendah dapat

mengakibatkan tubuh menjadi rentan terhadap penyakit DBD.

Semakin rendah sistem kekebalan tubuh, maka semakin besar

pula peluang seseorang terpapar suatu penyakit DBD (Sudardjad,

1990 dalam Fitriyani, 2007).

b. Jenis Kelamin

Menurut Wahyuni (2011), paparan penyakit DBD

berdasarkan jenis kelamin perbedaannya tidak terlalu mencolok

pada laki-laki dibandingkan perempuan karena laki-laki maupun

perempuan memiliki peluang yang sama untuk terpapar penyakit

DBD. Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang

Page 131: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

111

Selatan menunjukkan bahwa kasus DBD pada tahun 2013-2015

adalah pada laki-laki (2013=52%; 2014=51%; 2015=56%) hampir

sama dengan perempuan (2013=48%; 2014=49; 2015=44%).

Jenis kelamin berkaitan dengan tingkat keterpaparan dan

kerentanan suatu penyakit. Peluang yang sama pada laki-laki dan

perempuan dalam keterpaparan dan kerentanan terhadap penyakit

DBD berkaitan dengan tempat perindukan dan kebiasaan istirahat

vektor nyamuk Aedes aegypti, baik di lingkungan rumah, sekolah

maupun tempat kerja. Selain itu juga, pengaruh lingkungan dalam

kehidupan sehari-hari dapat mempengaruhi keterpaparan dan

kerentanan pada laki-laki maupun perempuan. Hasil penelitian

lain yang dilakukan oleh Depkes RI tahun 2008 juga

menunjukkan penderita DBD pada laki-laki (53,78%) hampir

sama dengan perempuan (46,23%) (Kemenkes RI, 2010).

Artinya, berdasarkan jenis kelamin tidak ada perbedaan dalam

kejadian penyakit DBD (Yatim, 2007).

Faktor imunitas tubuh perlu diperhatikan karena faktor ini

dapat menentukan sehat atau sakit dalam keterpaparan suatu

penyakit DBD. Berdasarkan penelitian imunologi menunjukkan

bahwa imunitas tubuh laki-laki lebih rentan terhadap penyakit

DBD dibandingkan perempuan, hal ini dimungkinkan

dikarenakan cytokine pada perempuan lebih besar daripada laki-

Page 132: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

112

laki sehingga respon imun pada perempuan lebih baik daripada

laki-laki (Kusumawardani dan Achmadi, 2012).

2. Karakteristik Tempat

Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan

menunjukkan bahwa Incidence Rate (IR) tertinggi berdasarkan tempat

dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah wilayah kerja

Puskesmas Rawa Buntu, Rengas, Pondok Benda dan Kranggan. Angka

kejadian DBD yang tinggi pada ke-empat Puskesmas ini bisa terjadi

berkaitan dengan masih ditemukan tempat-tempat yang berpotensi

sebagai habitat perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti dan

juga banyak ditemukannya jentik. Angka Bebas Jentik (ABJ) dalam

rencana strategi (renstra) Kementerian Kesehatan untuk ABJ secara

nasional adalah sebesar ≥ 95% (Kemenkes RI, 2015). Rata-rata angka

bebas jentik di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga)

tahun terakhir diperoleh masih berada di bawah indikator nasional,

yaitu sebesar 93% (lampiran 1).

Setelah ditelusuri lebih dalam pada salah satu Puskesmas dari ke-

empat Puskemas tersebut diketahui bahwa lingkungan tempat tinggal

penderita DBD masih ditemukan adanya jentik pada ban bekas di luar

rumah, dispenser dan pot bunga. Angka bebas jentik yang masih rendah

mengartikan bahwa masyarakat masih kurang perhatian terhadap

pemeliharaan kebersihan lingkungan seperti tempat penampungan air,

tempat penimbunan sampah dan lainnya. Masyarakat juga masih kurang

Page 133: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

113

partisipasi dalam gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam

Berdarah Dengue (PSN-DBD). Kegiatan PSN-DBD yang kurang

optimal dapat mengakibatkan masih rendahnya ABJ (banyak ditemukan

jentik) dan tingginya angka kejadian DBD. Menurut Yuli (2008),

program pemberantasan vektor nyamuk DBD ditekankan pada

pembersihan jentik nyamuk perlu keterlibatan seluruh masyarakat di

tempat agar pemberantasan nyamuk dapat bersifat lebih

berkesinambungan sehingga lingkungan dapat terjaga dan bebas dari

vektor nyamuk Aedes aegypti.

Angka bebas jentik merupakan salah satu ukuran untuk mengetahui

kepadatan vektor (jentik) nyamuk Aedes aegypti sehingga dapat

memberikan gambaran besar perkembangan vektor penyakit Demam

Berdarah Dengue (DBD) tersebut pada suatu wilayah. Semakin tinggi

perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti hingga banyak

ditemukan jentik, maka semakin tinggi risiko terjangkit penyakit DBD

(Setyaningsih dan Setyawan, 2014). Angka bebas jentik juga

merupakan salah indikator keberhasilan dan sebagai tolak ukur

partisipasi masyarakat dalam mencegah DBD melalui gerakan

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M Plus. Wilayah

dengan rata-rata ABJ yang masih dibawah indikator nasional

mengartikan bahwa partisipasi masyarakat dalam mencegah DBD

dengan cara 3M Plus di lingkungan sekitarnya belum optimal sehingga

kasus DBD masih sering terjadi.

Page 134: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

114

3. Karaktersitik Waktu

a. Tahun

Peningkatan atau penurunan angka kejadian DBD dari tahun

ke tahun berkaitan dengan kegiatan Pemberantasan Sarang

Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) dan Angka Bebas

Jentik (ABJ). Faktor kondisi lingkungan fisik juga dapat

mempengaruhi peningkatan atau penurunan kejadian DBD. Hal ini

karena sanitasi lingkungan memiliki hubungan erat dengan

kejadian DBD yang dapat mempengaruhi pertumbuhan atau

perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti.

Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang

Selatan menunjukkan bahwa kejadian penyakit DBD di Kota

Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir telah

mencapai target nasional (≤ 51 per 100.000 penduduk). Angka

bebas jentik rata-rata dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir di

Kota Tangerang Selatan adalah sebesar 93% (lampiran 1), hal ini

berarti belum mencapai target indikator nasional dalam satu kota.

Namun, keberhasilan IR DBD yang berada dibawah target

indikator nasional dan mengalami penurunan bisa dikarenakan

faktor lain.

Persentase rumah sehat dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun

terakhir di Kota Tangerang Selatan adalah sebesar 89%. Setelah

ditelusuri sampai tingkat wilayah kerja Puskesmas di Kota

Page 135: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

115

Tangerang Selatan, masih terdapat beberapa tempat yang belum

tercapai indikator persentase rumah (peta 5.2). Namun, persentase

rumah sehat rata-rata dalam satu kota secara nasional sudah

mencapai target indikator (≥80%) (lampiran 1). Hal ini

mengartikan bahwa rumah-rumah di Kota Tangerang Selatan

sudah banyak yang telah memenuhi syarat rumah sehat.

b. Bulan

Kejadian demam berdarah di Indonesia setiap tahun terjadi

pada bulan September hingga sampai Februari dimana puncak

kejadian DBD bertepatan dengan musim hujan yaitu pada bulan

Desember atau Januari (Siregar, 2004). Pada musim hujan

populasi vektor nyamuk Aedes aegypti mengalami peningkatan

dengan bertambah banyaknya breeding place di luar rumah akibat

sanitasi lingkungan yang kurang bersih. Pada musim kemarau juga

dapat menyebabkan peningkatan populasi vektor nyamuk Aedes

aegypti karena banyak vektor nyamuk yang bersarang di bejana

yang selalu terisi air, seperti bak mandi, tempayan, drum dan

penampungan air (Depkes RI, 2010).

Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang

Selatan menunjukkan bahwa puncak kejadian penyakit DBD di

Kota Tangerang Selatan tahun 2013 adalah bulan Juni, September

dan November sedangkan, curah hujan pada saat itu adalah 82,7

mm, 34,8 mm dan 261,6 mm. Puncak kejadian penyakit DBD di

Page 136: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

116

Kota Tangerang Selatan tahun 2014 adalah bulan Januari

sedangkan, curah hujan pada saat itu adalah 681,3 mm. Puncak

kejadian penyakit DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2015

adalah bulan Januari, Mei dan Oktober sedangkan, curah hujan

pada saat itu adalah 354,6 mm, 129,9 mm dan 10 mm.

Curah hujan yang tinggi di Kota Tangerang Selatan

memberikan dampak signifikan terhadap jumlah kasus DBD. Hal

ini dikarenakan siklus perkembangan vektor nyamuk Aedes

aegypti pada musim hujan lebih mudah berkembang daripada

musim kemarau.

C. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Lingkungan Fisik

1. Suhu Udara

Suhu udara adalah suatu keadaan panas atau dinginnya udara yang

biasanya diukur dengan alat ukur thermometer. Suhu optimal rata-rata

untuk perkembangan larva dari vektor nyamuk DBD adalah 25°C –

27°C. Pemberhentian pertumbuhan nyamuk terjadi jika suhu kurang

dari 10°C atau lebih dari 40°C. (Yotopranoto et al, 1998 dalam

Yudhastuti dan Vidiyani, 2005). Hasil penelitian yang telah dilakukan

di Kota Tangerang Selatan menunjukkan bahwa rata-rata suhu udara

dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah 27,7°C (tabel 5.6).

Hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan dan signifikan antara

suhu udara dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan.

Page 137: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

117

Hasil penelitian ini mengartikan bahwa suhu udara di Kota

Tangerang Selatan tidak termasuk dalam suhu optimal perkembangan

larva vektor DBD, tetapi suhu udara tersebut termasuk suhu dimana

larva dapat terus berkembangbiak hingga sampai menjadi nyamuk

dewasa. Perubahan suhu yang terjadi dapat mempengaruhi musim

penularan (Bangs et al, 2007). Suhu udara memiliki hubungan dan

siginifikan dengan kejadian DBD mengartikan bahwa Kota Tangerang

Selatan dengan suhu udara berada diatas optimal namun masih sangat

mendukung dalam perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti

dapat memberikan dampak potensi penularan penyakit DBD yang

tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Mustazahid (2013) menunjukkan terdapat hubungan dan signifikan

antara suhu udara dengan kejadian DBD di Kota Semarang tahun 2006-

2011 (r = -0,439; Pvalue = 0,001).

Suhu udara secara tidak langsung berhubungan dengan kejadian

DBD tetapi berhubungan langsung dengan siklus hidup vektor nyamuk

Aedes aegypti. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa

suhu udara berhubungan dengan kemampuan bertahan hidup vektor.

Suhu udara dapat mempengaruhi perkembangan virus dalam tubuh,

frekuensi menggigit, istirahat dan perilaku kawin (Cahyati, 2006). Jika

suhu udara sudah termasuk optimum untuk perkembangbiakan vektor

nyamuk, maka jumlah vektor nyamuk tersebut semakin meningkat dan

berjumlah banyak sehingga dapat meningkatkan penularan penyakit

Page 138: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

118

DBD (WHO, 2003 & Bangs et al, 2007 dalam Fidayanto dkk, 2013;

Angel & Joshi, 2008). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Yudhastuti dan Vidiyani (2005) yang

menunjukkan bahwa suhu udara rata-rata di Kelurahan Wonokusumo

sebesar 29,9°C – 32°C sehingga berpotensi untuk berkembangnya

nyamuk Aedes aegypti.

Nilai r suhu udara pada tahun 2014 dan 2015 menunjukkan

berbanding terbalik dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan

yang artinya jika suhu udara semakin naik, maka kasus DBD menurun.

Hasil uji kekuatan pada kedua tahun tersebut menunjukkan terdapat

hubungan antara suhu udara dengan kejadian DBD tetapi tidak

signifikan. Hal ini berarti jika suhu udara naik, kasus DBD tidak selalu

menurun sebagaimana pada tahun 2014 terlihat di bulan April-Juni,

Agustus, November dan Desember sedangkan, pada tahun 2015 bulan

Februari, Mei-Juli, Oktober dan Desember (grafik 5.13 lampiran 4).

Peningkatan kasus DBD yang tidak diiringi dengan penurunan suhu

udara mengartikan bahwa adanya faktor lain yang lebih dominan

sehingga mempengaruhi kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan

seperti perilaku masyarakat dalam menjaga lingkungan sekitarnya

masih kurang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Masrizal (2010) yang menunjukkan bahwa terdapat

hubungan antara suhu udara dengan kejadian DBD dengan kekuatan

Page 139: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

119

sedang (r = 0,471) tetapi tidak signifikan (P value = 0,122) dan

berkorelasi negatif.

2. Kelembaban Udara

Kelembaban udara adalah perbandingan banyaknya uap air yang

terdapat di udara dengan banyaknya uap air maksimum yang dapat

dikandung oleh udara tersebut dalam suhu udara yang sama.

Kelembaban udara dinyatakan dalam persen (%). Kelembaban berada

dibawah 60 % umur nyamuk pendek sehingga potensi sebagai vektor

semakin menurun (Kemenkes RI, 2012). Hasil penelitian yang telah

dilakukan di Kota Tangerang Selatan menunjukkan bahwa kelembaban

udara rata-rata dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah sebesar

80% (tabel 5.7). Hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan dan

signifikan antara kelembaban udara dengan kejadian DBD di Kota

Tangerang Selatan.

Hasil penelitian ini mengartikan bahwa kelembaban udara di Kota

Tangerang Selatan termasuk optimum untuk vektor nyamuk Aedes

aegypti berpotensi tinggi sebagai vektor penularan DBD. Kelembaban

udara memiliki hubungan dan siginifikan mengartikan bahwa Kota

Tangerang Selatan dengan kelembaban udara berada diatas optimal (>

60%) dapat memberikan dampak potensi vektor nyamuk Aedes aegypti

sebagai vektor penularan penyakit DBD tinggi. World Health

Organization (WHO) menyatakan bahwa kejadian penyakit DBD

memiliki hubungan yang kuat dengan kelembaban udara. Hal ini

Page 140: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

120

dikarenakan terdapat korelasi Aedes aegypti dan penularan virus dari

satu manusia ke manusia lainnya (Khin & Than, 2003 dalam Fidayanto

dkk, 2013; Gubler et al, 2001). Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Mustazahid (2013) menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang kuat dan signifikan antara kelembaban udara

dengan kejadian DBD di Kota Semarang tahun 2006-2011 (r = 0,533; P

value = 0,001).

Kelembaban udara secara tidak langsung berhubungan dengan

kasus DBD, tetapi berhubungan dengan umur perkembangbiakan

nyamuk. Pada saat kelembaban lebih dari optimum (>60%), umur

nyamuk menjadi lebih panjang dan potensi sebagai vektor juga semakin

meningkat (Kemenkes RI, 2012). Vektor nyamuk infektif Dengue

bersifat sensitif terhadap kelembaban. Apabila nyamuk infektif Dengue

berada di lingkungan kering (tidak lembab), maka kemampuan nyamuk

untuk bertahan hidup semakin menurun dan menyebabkan ia tidak

cukup waktu untuk bisa menularkan virus ke orang lain (Bangs et al,

2007 dalam Fidayanto dkk, 2013; Gubler et al, 2001). Kelembaban

udara menentukan daya tahan alat pernafasan nyamuk (Hidayati, 2008).

Lingkungan dengan kelembaban rendah dapat menyebabkan terjadinya

penguapan air dari dalam tubuh vektor nyamuk. Penguapan inilah

menjadi faktor yang mempengaruhi bertahannya hidup nyamuk untuk

dapat menginfeksi orang lain (Cahyati, 2006).

Page 141: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

121

Nilai r kelembaban udara pada tahun 2013 dan 2015 menunjukkan

berbanding lurus dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan

yang artinya jika kelembaban udara semakin naik, maka kasus DBD

juga meningkat. Hasil uji kekuatan pada kedua tahun tersebut

menunjukkan terdapat hubungan antara kelembaban udara dengan

kejadian DBD tetapi tidak signifikan. Hal ini berarti jika kelembaban

udara naik, kasus DBD tidak selalu meningkat atau sebaliknya,

sebagaimana pada tahun 2013 terlihat di bulan Maret, Juni, Juli dan

Desember sedangkan, pada tahun 2015 bulan April, Mei, Juli dan

Desember (grafik 5.14 lampiran 4).

Kelembaban udara tinggi tidak selalu diikuti oleh peningkatan

kasus DBD. Peran serta masyarakat masih kurang optimal dalam

menjaga lingkungan agar tetap bersih menjadi salah satu hubungan

yang tidak signifikan antara kelembaban udara dengan kejadian DBD di

Kota Tangerang Selatan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Masrizal (2010) yang menunjukkan bahwa

terdapat hubungan tetapi tidak signifikan antara kelembaban udara

dengan kejadian DBD (r = 0,498; Pvalue = 0,100).

3. Curah Hujan

Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan

menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan dalam kurun waktu 3 (tiga)

tahun terakhir adalah 189,9 mm (tabel 5.8). Hasil uji statistik

menunjukkan terdapat hubungan dan signifikan antara curah hujan

Page 142: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

122

dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan. Hasil uji statitik

curah hujan pada tahun 2015 menunjukkan hubungan yang kuat dan

signifikan antara curah hujan dengan kejadian DBD di Kota Tangerang

Selatan. Nilai r menunjukkan arah positif yang artinya jika curah hujan

tinggi, maka kasus DBD juga tinggi. Hal ini terlihat terjadi pada musim

hujan, yaitu bulan September hingga Desember (grafik 5.15 lampiran 4).

Curah hujan memiliki hubungan yang kuat dan signifikan

mengartikan bahwa curah hujan di Kota Tangerang Selatan

memberikan dampak terhadap meningkatnya jumlah vektor nyamuk

Aedes aegypti sehingga potensi penularan DBD di musim hujan juga

tinggi. Curah hujan secara langsung dapat mengurangi atau

meningkatkan jumlah populasi vektor nyamuk karena banyaknya

genangan air sehingga menjadi tempat perindukan nyamuk. Biasanya

tempat perindukan nyamuk ditemui di sampah-sampah kering, seperti

botol bekas, kaleng, potongan bambu juga daun-daun yang mungkin

dapat menampung air sehingga menjadi tempat perindukan nyamuk.

Menurut Sukowati (2004) tempat perkembangbiakan vektor nyamuk

DBD di Indonesia dipengaruhi oleh musim penghujan dan tersedianya

air di pemukiman.

Curah hujan yang tinggi dapat menimbulkan genangan air di

tempat penampungan air sekitar rumah atau lainnya yang merupakan

tempat perkembangbiakan larva hinga menjadi nyamuk. Genangan air

tersebut meningkatkan breeding place nyamuk (Hidayati, 2008). Hasil

Page 143: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

123

penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mustazahid

(2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan dan signifikan antara

curah hujan dengan kejadian DBD di Kota Semarang tahun 2006-2011

(r = 0,403; P value = 0,001).

Nilai r curah hujan pada tahun 2014 menunjukkan berbanding lurus

yang artinya jika curah hujan tinggi, maka kasus DBD juga meningkat.

Hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan antara curah hujan

dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan, tetapi tidak

signifikan. Hal ini berarti jika curah hujan tinggi, maka kasus DBD

tidak selalu meningkat, sebagaimana terlihat pada bulan November

(grafik 5.15 lampiran 4). Perubahan curah hujan yang tidak sejalan

dengan perubahan kasus DBD menurut data per bulan menyebabkan

hubungan curah hujan tidak signifikan. Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Gustina dkk (2014)

menunjukkan terdapat hubungan yang kuat tetapi tidak signifikan antara

curah hujan dengan kejadian DBD di Kota Malang periode tahun 2002-

2011 (r = 0,525; Pvalue = 0,080).

4. Kecepatan Angin

Angin dapat mempengaruhi penerbangan dan penyebaran nyamuk.

Kecepatan angin dengan 11-14 m/detik atau 25-31 mil/jam dapat

menghambat aktivitas terbang nyamuk sehingga menyebabkan

penyebaran vektor nyamuk juga terbatas (Vanleeuwen, 1999). Hasil

penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan

Page 144: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

124

menunjukkan bahwa rata-rata kecepatan angin dalam kurun waktu 3

(tiga) tahun terakhir adalah 4 knot atau 2 m/detik (tabel 5.9). Hasil uji

statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara kecepatan angin

dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan.

Hal penelitian ini mengartikan bahwa kecepatan angin di Kota

Tangerang Selatan berada dibawah optimum sehingga aktivitas terbang

nyamuk tidak terhambat dan penyebaran vektor dapat meluas. Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Masrizal (2010) menunjukkan bahwa

kecepatan angin di Kota Padang tahun 2008-2010 berkisar 5 knot – 6

knot (tidak lebih dari 11 knot) yang mengartikan kecepatan angin di

Kota Padang tidak menghambat aktifitas terbang nyamuk. Andriani

dalam Dini (2010) menyatakan bahwa semakin tinggi kecepatan angin,

maka semakin sulit nyamuk untuk terbang karena tubuh nyamuk yang

kecil sehingga mengakibatkan mudah terbawa angin. Selain itu,

nyamuk juga sulit untuk berpindah-pindah tempat dengan jarak yang

jauh sehingga kemungkinan penularan akibat nyamuk menjadi kecil.

Kecepatan angin menurut per bulan dalam kurun waktu 3 (terakhir)

relatif berubah dan angka yang tidak bervariasi setiap tahunnya

menyebabkan tidak ada hubungan dengan kejadian DBD di Kota

Tangerang Selatan. Selain itu, vektor nyamuk Aedes aegypti

merupakan vektor yang menyukai tempat istirahat di dalam rumah, di

dalam kelas atau ruang tempat kerja sehingga pengaruh angin dalam

penyebaran vektor ini sangat kecil. Hasil penelitian ini sejalan dengan

Page 145: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

125

penelitian yang dilakukan oleh Mustazahid (2013) menunjukkan bahwa

tidak ada hubungan antara kecepatan angin dengan kejadian DBD di

Kota Semarang tahun 2006-2011 (r = 0,057; P value = 0,632).

Nilai r kecepatan angin pada tahun 2015 menunjukkan berbanding

lurus dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan yang artinya

jika kecepatan angin naik, maka kasus DBD meningkat. Hasil uji

statistik menunjukkan bahwa kecepatan angin berhubungan tetapi tidak

signifikan. Hal ini berarti jika kecepatan angin tinggi, maka kasus DBD

tidak selalu meningkat atau sebaliknya, sebagaimana terlihat pada bulan

Februari (grafik 5.15 lampiran 4).

Peningkatan kecepatan angin tidak diikuti oleh peningkatan

kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan. Penurunan daya dukung

lingkungan menjadi salah satu penyebab hubungan yang tidak

signifikan antara kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kota

Tangerang Selatan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Amah dkk (2010) di Kabupaten Serang menunjukkan

terdapat hubungan tetapi tidak signifikan antara kecepatan angin dengan

kejadian DBD (r = 0,338’ Pvalue = 0,196).

5. Rumah Sehat

Dalam pedoman teknis pembangunan rumah sederhana sehat dan

American Public Health Association (APHA) menyatakan bahwa salah

satu persyaratan kondisi fisik rumah dikatakan sehat adalah rumah atau

tempat tinggal dapat melindungi penghuninya dari bahaya atau

Page 146: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

126

gangguan kesehatan terutama penularan penyakit menular sehingga

memungkinkan penghuni rumah tersebut memperoleh derajat kesehatan

yang optimal. Rumah sehat merupakan bagian sanitasi lingkungan yang

memiliki hubungan erat dengan penyakit menular berbasis lingkungan,

salah satunya penyakit DBD. Apabila sanitasi lingkungan buruk, maka

dapat memberikan peluang sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk

Aedes aegypti sehingga nyamuk terus meningkat dan menyebabkan

penularan DBD yang tinggi.

Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan

tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa berdasarkan analisis spasial

sebaran kasus DBD tinggi lebih banyak ditemukan di wilayah kerja

Puskesmas yang memiliki persentase rumah sehat yang juga tinggi.

Puskesmas yang selalu memiliki IR DBD tinggi dan persentase rumah

sehat yang juga tinggi adalah Puskesmas Rawa Buntu, Puskesmas

Pondok Benda dan Puskesmas Rengas. Sedangkan, secara temporal

jumlah Puskesmas dengan persentase rumah sehat yang rendah

mengalami kecederungan menurun.

Setiap rumah yang terdapat penghuni dinilai untuk menilai apakah

rumah yang ditempatkan telah memenuhi syarat rumah sehat. Salah satu

dalam penilaian rumah sehat ini adalah ada atau tidaknya jentik yang

ditemukan. Penilaian rumah sehat oleh sanitarian lingkungan

Puskesmas dibantu oleh para kader setempat dilakukan sekali setiap

tahunnya. Setelah ditelusuri lebih dalam diketahui bahwa rumah-rumah

Page 147: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

127

yang berada di wilayah kerja Puskesmas Rawa Buntu, Puskesmas

Pondok Benda dan Puskesmas Rengas baik perumahan komplek

maupun non-komplek, masih banyak ditemukan adanya jentik.

Rumah yang dinilai dan ditemukan adanya jentik dikatakan sebagai

rumah tidak sehat. Namun, persentase rumah sehat di ke-tiga

Puskesmas tersebut berada diatas indikator yaitu sebesar 80% pada

tahun 2013-2015. Hal ini mengartikan bahwa dalam penilaian rumah

sehat, rumah yang diperiksa dan ditemukan adanya jentik tetap dinilai

sebagai rumah sehat. Padahal, jentik memiliki hubungan dalam kejadian

DBD. Selain itu, data penilaian rumah sehat juga menjadi tidak valid

dan representatif.

Jentik yang ditemukan tidak semuanya adalah jentik yang

berkembangbiak menjadi nyamuk Aedes aegypti. Namun, apabila jentik

itu adalah jentik nyamuk Aedes aegypti yang berkembangbiak menjadi

nyamuk dewasa kemudian menghisap darah dari orang yang terdapat

virus Dengue di dalam tubuhnya, maka nyamuk tersebut dapat

berpotensi sebagai vektor penular DBD. Dari hasil wawancara yang

dilakukan dengan saitarian lingkungan Puskesmas diketahui bahwa

jentik lebih sering ditemukan di bak mandi, dispenser, pot bunga dan

juga barang-barang bekas di luar rumah. Jentik yang ditemukan tersebut

mengartikan bahwa masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Rawa

Buntu, Puskesmas Pondok Benda dan Puskesmas Rengas masih kurang

dalam pasrtisipasi kegiatan Pemberansan Sarang Nyamuk Demam

Page 148: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

128

Berdarah Dengue (PSN-DBD) dengan 3M (menguras, menutup dan

mengubur) Plus (tidak menggantung pakaian, menggunakan repellent,

menggunakan kelambu ketika tidur, abatisasi, pemeliharaan ikan

cupang).

Dari hasil wawancara juga diketahui bahwa masyarakat

mengetahui tentang pencegahan penyakit DBD, yaitu dengan PSN

DBD tetapi hanya sebatas 3M (menguras, menutup dan mengubur)

tidak sampai Plus sehingga masih sering ditemukan jentik di dispenser,

pot bunga, barang bekas atau sampah di kebun yang dapat menampung

air hujan. Hal ini lah yang menjadi penyebab angka kejadian DBD

tinggi meskpin persentase rumah sehat juga tinggi. Hasil penelitian

yang dilakukan oleh Octaviana (2007) menyatakan bahwa wilayah

endemis DBD terjadi pada rumah yang sehat daripada rumah yang tidak

sehat.

D. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Lingkungan Biologi

1. Angka Bebas Jentik (ABJ)

Angka bebas jentik merupakan salah satu ukuran untuk mengetahui

kepadatan vektor (jentik) nyamuk Aedes aegypti sehingga dapat

memberikan gambaran besar perkembangan vektor penyakit Demam

Berdarah Dengue (DBD) pada suatu wilayah. Semakin banyak

ditemukannya jentik, maka dapat meningkatkan risiko penularan

penyakit DBD (WHO, 2000 dalam Fathi dkk, 2005). Wilayah atau

lingkungan dikatakan aman dari penyakit DBD bila persentase angka

Page 149: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

129

bebas jentik mencapai target indikator nasional. Pencapaian indikator

angka bebas jentik nasional dalam upaya menanggulangi penularan

penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah lebih dari sama

dengan 95% (Kemenkes RI, 2014).

Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan

tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa secara spasial kasus DBD tinggi

lebih banyak ditemukan di wilayah kerja Puskesmas dengan angka

bebas jentik yang juga tinggi (tidak ditemukan banyak jentik).

Puskesmas yang selalu memiliki IR DBD tinggi dan angka bebas jentik

yang juga tinggi adalah Puskesmas Rengas. Sedangkan, secara temporal

jumlah Puskesmas dengan ABJ rendah atau ditemukan banyak jentik di

Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 mengalami peningkatan.

Puskesmas Rengas hanya membawahi Kelurahan Rengas. Hasil

persentase angka bebas jentik di Kelurahan Rengas dalam kurun waktu

3 tahun berturut-turut adalah berada diatas indikator (>95%), tetapi

kasus DBD terus tinggi dengan IR DBD berada diatas indikator

nasional (>51 per 100.000 penduduk) meskipun terdapat pasien DBD

berasal dari luar wilayah kerja Puskesmas Rengas. Hal ini menunjukkan

bahwa hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang ada, yaitu

biasanya wilayah dengan angka bebas jentik tinggi, maka kasus DBD

rendah dan sebaliknya. Faktor yang memungkinan hal ini terjadi adalah

validitas data. Salah satu yang dapat menyebabkan ketidakvalidan data

angka bebas jentik, yaitu kinerja petugas survei yang kurang baik.

Page 150: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

130

Pada waktu pemeriksaan jentik, petugas survei jentik kurang teliti

dan hanya melakukan pemeriksaan pada tempat-tempat penampungan

air besar seperti bak mandi, ember dan drum. Namun, masih banyak

tempat keberadaan jentik yang tidak diperiksa seperti vas bunga,

penampungan air di belakang kulkas, penampungan tetesan air

conditioner (AC) sehingga mungkin masih ada jentik yang tidak terlihat

atau ditemukan, baik pada rumah yang diperiksa maupun tidak

diperiksa. Selain itu, rumah di Kelurahan Rengas sebagian besar adalah

komplek sehingga hanya sebagian rumah yang dapat diperiksa ada atau

tidak jentik oleh petugas survei jentik. Dengan begitu, hal ini

mengakibatkan banyak jentik Aedes aegypti yang tidak diketemukan

oleh petugas survei jentik.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Sungkar, dkk (2006) di Jakarta Utara yang menunjukkan bahwa angka

bebas jentik yang terlapor telah mencapai 95%, tetapi angka kasus

penderita DBD masih tetapi tinggi. Sungkar menyatakan salah satu

faktor yang menyebabkan angka bebas jentik tinggi diduga karena

faktor kinerja jumantik yang kurang teliti saat melakukan pemeriksaan

jentik.

Selain itu, angka kasus DBD yang tinggi sedangkan ABJ tinggi

juga dapat disebabkan oleh faktor mobilitas yang tinggi. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa penderita DBD di Kelurahan Rengas

tahun 2013-2015 terbanyak adalah pada usia ≥ 15 tahun (2013=64,5 per

Page 151: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

131

100.000 penduduk; 2014=114 per 100.000 penduduk; dan 2015=90 per

100.000 penduduk). Hal ini berarti penderita DBD tidak hanya tergigit

nyamuk infektif virus Dengue di lingkungan sekitar rumah saja, tetapi

juga dapat di lingkungan tempat kerja, pasar, tempat ibadah atau

tempat-tempat umum lainnya. Aktifitas dan pekerjaan penduduk

menyebabkan terjadinya mobilitas, baik dalam kota maupun luar kota

(Rahim dkk, 2013).

Faktor mobilitas merupakan salah satu faktor risiko yang dapat

menyebabkan virus DBD pada individu mudah berpindah dari satu

tempat ke tempat lain sehingga mempengaruhi penyebaran penyakit

DBD. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gama dan Betty (2010) di

Desa Mojosongo Kabupaten Boyolali menunjukkan bahwa mobilitas

berhubungan dengan kejadian DBD. Mereka yang memiliki kebiasaan

berpergian dengan minimal periode 2 minggu sebelum kejadian DBD

memiliki risiko 9,29 kali lebih besar daripada yang tidak berpergian.

E. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Lingkungan Non-Fisik

1. Kepadatan Penduduk

Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan

tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa berdasarkan analisis spasial

kasus DBD tinggi lebih banyak ditemukan di wilayah kerja Puskesmas

dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi. Berdasarkan analisis

temporal, jumlah Puskesmas dengan kepadatan penduduk tinggi tahun

2013-2015 mengalami kecenderungan yang meningkat. Puskesmas

Page 152: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

132

yang selalu memiliki IR DBD tinggi dengan kepadatan penduduk tinggi

adalah Puskesmas Rawa Buntu.

Kasus DBD di Puskesmas Rawa Buntu mengalami peningkatan

seiring kepadatan penduduk yang juga terus meningkat tahun 2013-

2015. Hal ini berarti kepadatan penduduk tinggi di Puskesmas Rawa

Buntu diikuti kejadian penyakit DBD. Suatu wilayah dengan kepadatan

penduduk tinggi dapat memberikan dampak mudah terjadi penularan

penyakit DBD melalui vektor nyamuk Aedes aegypti dari satu orang ke

orang lain. Vektor nyamuk Aedes aegypti memiliki kemampuan jarak

terbang sejauh 50-100 mil atau 81-161 km (Fitriyani, 2007) sehingga

wilayah dengan padat penduduknya dapat memudahkan vektor nyamuk

untuk menginfeksi penduduk karena jarak terbang untuk menggigit

orang lain semakin kecil. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Hasyim (2009) yang menunjukkan bahwa terdapat

hubungan secara positif antara kepadatan penduduk dengan kejadian

DBD, artinya semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk maka

kemungkinan juga menyebabkan peningkatan kejadian DBD. Hasil

penelitian ini yang dilakukan oleh Hariyadi (2007) juga menunjukkan

bahwa Kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi

berisiko 16 kali untuk tertular penyakit DBD.

Page 153: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

133

BAB VII

PENUTUP

A. Simpulan

1. Epidemiologi deskriptif penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

berdasarkan orang, tempat dan waktu di Kota Tangerang Selatan adalah

(1) Kejadian DBD tertinggi pada usia produktif (≥15 tahun), (2)

Kejadian DBD lebih sering terjadi di wilayah kerja Puskesmas

Kranggan dan (3) Kejadian DBD terjadi secara fluktuatif.

2. Rata-rata kondisi iklim di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3

(tiga) tahun terakhir adalah suhu udara 27,7°C, kelembaban udara 90%,

curah hujan 189,9 mm dan kecepatan angin 4 knot.

3. Distribusi spatialtemporal kejadian penyakit DBD di Kota Tangerang

Selatan secara spasial terlihat tersebar di bagian Selatan Kota.

Sedangkan, berdasarkan temporal terlihat semakin berkurang dan

terjadi penurunan kasus DBD selama 3 tahun terakhir dengan IR DBD

48,5 per 100.000 penduduk pada tahun 2013 menjadi 46,5 per 100.000

penduduk pada tahun 2015.

4. Distribusi spatialtemporal kejadian penyakit DBD dengan Angka

Bebas Jentik di Kota Tangerang Selatan secara spasial terlihat IR DBD

tinggi banyak ditemukan di Puskesmas dengan ABJ yang juga tinggi.

Secara temporal (trend), terjadi peningkatan proporsi wilayah kerja

Puskesmas yang memiliki angka bebas jentik rendah diiringi IR DBD

yang semakin menurun.

Page 154: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

134

5. Distribusi spatialtemporal kejadian penyakit DBD dengan rumah sehat

di Kota Tangerang Selatan secara spasial terlihat IR DBD tinggi banyak

ditemukan di Puskesmas dengan persentase rumah sehat yang juga

tinggi. Secara temporal, terjadi penurunan proporsi wilayah kerja

Puskesmas yang memiliki persentase rumah sehat rendah diiringi IR

DBD yang semakin menurun.

6. Distribusi spatialtemporal kejadian penyakit DBD dengan kepadatan

penduduk di Kota Tangerang Selatan secara spasial terlihat IR DBD

tinggi banyak ditemukan di Puskesmas dengan kepadatan penduduk

tinggi. Secara temporal, terjadi peningkatan proporsi wilayah kerja

Puskesmas yang memiliki kepadatan penduduk tinggi diiringi IR DBD

yang semakin menurun.

7. Pada tahun 2014 dan 2015 terdapat hubungan dengan kekuatan sedang

antara suhu udara dengan kejadian DBD tetapi tidak signifikan.

Sedangkan pada tahun 2013 tidak ada hubungan antara suhu udara

dengan kejadian DBD.

8. Pada tahun 2014 terdapat hubungan yang kuat dan signifikan antara

kelembaban udara dengan kejadian DBD. Sedangkan, pada tahun 2013

dan 2015 terdapat hubungan dengan kekuatan sedang antara

kelembaban udara dengan kejadian DBD tetapi tidak signifikan.

9. Pada tahun 2015 terdapat hubungan yang kuat dan signifikan antara

curah hujan dengan kejadian DBD. Pada tahun 2014 terdapat hubungan

dengan kekuatan sedang antara curah hujan dengan kejadian DBD

Page 155: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

135

tetapi tidak signifikan. Sedangkan, pada tahun 2013 tidak ada hubungan

antara curah hujan dengan kejadian DBD.

10. Pada tahun 2015 terdapat hubungan dengan kekuatan sedang antara

kecepatan angin dengan kejadian DBD tetapi tidak signifikan.

Sedangkan pda tahun 2013 dan 2014 tidak ada hubungan antara

kecepatan angin dengan kejadian DBD.

B. Saran

1. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

a. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan disarankan tetap

menggunakan dan dapat mengembangkan aplikasi Sistem

Informasi Geografis (SIG) untuk melakukan pemetaan kasus

DBD sehingga dapat mengetahui wilayah dengan insidens DBD

yang tinggi.

b. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan disarankan perlu

melakukan koordinasi secara intensif dan meningkatkan kinerja

proaktif kepada petugas Puskesmas seksi lingkungan di Kota

Tangerang Selatan dalam penanggulangan kasus DBD. Hal ini

agar faktor lingkungan yang memiliki pengaruh besar terhadap

kejadian DBD dapat teratasi dan penularan penyakit DBD tidak

semakin meluas serta tidak terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB)

DBD di Kota Tangerang Selatan.

Page 156: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

136

2. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota

Tangerang Selatan

a. Peningkatan suhu udara, kelembaban udara dan curah hujan

berpengaruh terhadap peningkatan kasus DBD di Kota Tangerang

Selatan. Oleh karena itu, BMKG Kota Tangerang Selatan sebagai

pihak yang berwenang terhadap data suhu udara, kelembaban

udara dan curah hujan perlu kerjasama dengan Dinas Kesehatan

Kota Tangerang Selatan.

b. Jika terjadi peningkatan suhu udara, kelembaban udara dan curah

hujan, pihak BMKG disarankan dapat menyebarluaskan informasi

hasil pengukuran berdasarkan bulan setiap tahunnya kepada Dinas

Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Dengan begitu, Dinas

Kesehatan setempat dapat melakukan Sistem Kewaspadaan Dini

Demam Berdarah Dengue (SKD-DBD) dan segera melakukan

kegiatan untuk mengantisipasi kejadian DBD dengan melakukan

kegiatan preventif, seperti survei lapangan, abatisasi, fogging dan

Pemantauan Jentik Berkala (PJB).

3. Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan

Kepadatan penduduk yang tinggi berpengaruh terhadap kejadian

DBD di Kota Tangerang Selatan. Badan Pusat Statistik Kota Tangerang

Selatan sebagai pihak yang berwenang terhadap data kependudukan

disarankan dapat menyebarluaskan informasi kependudukan setiap

tahunnya kepada dinas-dinas yang terkait terutama Dinas Kesehatan

Kota Tangerang Selatan. Dengan begitu, Dinkes setempat dapat

Page 157: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

137

melakukan Sistem Kewaspadaan Dini Demam Berdarah Dengue (SKD-

DBD) pada wilayah yang berisiko tinggi terjadi KLB DBD akibat

penduduk yang padat.

4. Masyarakat Kota Tangerang Selatan

a. Masyarakat disarankan dapat melakukan pemeriksaan jentik

secara mandiri minimal semingu sekali dalam waktu 30 menit,

tidak hanya pada Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan

3M (menutup, mengubur dan menguras) tetapi juga melalui

pemeliharaan ikan pemakan jentik, abatisasi. Hal ini bertujuan

untuk memberantas jentik vektor nyamuk Aedes aegypti, rumah

tempat tinggal menjadi rumah sehat dan bebas dari jentik vektor

nyamuk Aedes aegypti.

b. Masyarakat disarankan aktif dalam menjaga lingkungan terkait

breeding place nyamuk Aedes aegypti agar tetap bersih dan bebas

dari perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti. Hal ini

bertujuan agar penularan DBD tidak tinggi pada wilayah dengan

penduduk yang padat.

c. Masyarakat disarankan dapat melakukan pencegahan dan

pemberantasan penyakit DBD secara mandiri, seperti

penyemprotan dengan obat nyamuk di dalam rumah, sekolah

ataupun tempat kerja, menggunakan repellent sebelum tidur. Hal

ini bertujuan untuk membantu masyarakat terhindar dari gigitan

Page 158: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

138

nyamuk dan memperkecil potensi penularan DBD di Kota

Tangerang Selatan.

d. Masyarakat perlu kewaspadaan dini terhadap penyakit DBD pada

musim hujan terutama di akhir bulan Desember hingga awal

Januari. Pada bulan tersebut, populasi nyamuk Aedes aegypti

meningkat sehingga tingkat penularan DBD juga tinggi. Oleh

karena itu, perlu dilakukan upaya meningkatkan peran serta

masyarakat berpartisipasi dalam gerakan PSN 3M Plus juga

Pemantauan Jentik Berkala (PJB) di setiap tempat yang

berpotensi sebagai habitat perkembangbiakan vektor nyamuk

Aedes aegypti tidak hanya di lingkungan rumah, tetapi juga

lingkungan sekolah dan tempat kerja.

5. Peneliti Selanjutnya

Bagi peneliti lain perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

menggunakan alat bantu Global Positioning System (GPS) untuk

mengetahui pola persebaran insidens Demam Berdarah Dengue (DBD)

dengan menghitung Nearest Neighbour Index (NNI) atau indeks jarak

tetangga terdekat tingkat Puskesmas di Kota Tangerang Selatan.

Page 159: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

139

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Umar Fahmi. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

Afriza, Tuti dan Nasriati. 2012. “Pengaruh Perilaku Masyarakat dalam 3M Plus

Terhadap Resiko Kejadian Demam Berdarah di Wilayah Kerja Puskesmas

Labuhanhaji Timur Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2012”. Ejournal UII

Angel, B. & Joshi, V. 2008. “Distribution and Seasonality of Vertically

Transmitted Dengue Viruses in Aedes musquitoes in Arid and Semi-arid Areas

of Rajasthan, India”. Journal of Vector Borne Diseases. 2008: 45 (3):56-59.

Arias, Kathleen Meehan. 2009. Investigasi dan Pengendalian Wabah di Fasilitas

Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Arsunan AA, et al. 2013. “Eco-Epidemiology Analysis of Dengue Hemorrhagic

Fever Endemicity Status in Sulawesi Selatan Province, Indonesia”.

International Journal of Engineering Research & Technology (IJERT).Vol. 2

Issue 9, September – 2013. ISSN: 2278-0181

Asmara, Lela. 2009. Hubungan Angka Bebas Jentik (ABJ) dengan Insidens Rate

Kasus Tersangka Demam Berdarah Dengue di Tingkat Kecamatan Kotamadya

Jakarta Timur Tahun 2005-2007. Skripsi. Universitas Indonesia.

Bailey, Trevor C. 2001. “Spatial statistical methods in health”. Cad. Saúde

Pública, Rio de Janeiro, 17(5):1083-1098, set-out, 2001.

Bangs, M.J. et al. 2008. “Climatic Factors Associated with Epidemic Dengue in

Palembang, Indonesia: Implications of Short-Term Meterorological Events on

Virus Transmission”. Southeast Asian Journal Tropical Medicine Public

Health, Vol. 37, No. 6, November 2006.

BAPPEDA Provinsi NTB. 2012. “Modul Pelatihan Quantum GIS Tingkat Dasar”.

GIZ- Decentralization as Contribution to Good Governance. Mataram.

Bhatia, Rajesh, Dash, Aditya p. and Sunyoto, Temmy. 2013. “REVIEW:

Changing Epidemiology of Dengue in South-East Asia”. WHO South-East Asia

Journal of Publich Health, January- March 2013, 2(1).

BPS Kota Tangerang Selatan. 2015. Kota Tangerang Selatan Dalam Angka.

Tangerang Selatan: BPS Kota Tangerang Selatan.

CDC. 2015. Dengue. [Online]

Available at: http://www.cdc.gov/dengue/epidemiology/index.html

[Accessed August 2015].

Page 160: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

140

Candra, Aryu. 2010. “Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis dan

Faktor Risiko Penularan”. Jurnal AspiratorVol. 2, No. 2, Tahun 2010: 110 –

119.

Chakkaravarthy, VM., Vincent, S. & Ambrose, T. 2011. “Novel Approach of

Geographic Information System on Recents Outbreaks of Chikungunya in

Tamil Nadu, India”. Journal of Environmental Science and Technology.

Chin, J. 2012. Dengue Hemorragic Fever. In: N. Kandun, ed. Manual

Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta: Infomedika, p. 147.

Costa, Ethiene Arruda Pedrosa de Almeida et al. 2010. “Impact of Small

Variations in Temperature and Humidity on the Reproductive Activity and

Survival of Aedes aegypti (Diptera, Culicidae)”. Journal of Revista

Brasileira de Entomologia 54(3): 488–493, setembro 2010.

Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2014. Profil Kesehatan Kota

Tangerang Selatan Tahun 2014.

Dini, A. M. V., Fitriany, R. N. dan Wulandari, R. A. 2010. “Faktor Iklim dan

Angka Insiden Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Serang”. Makara,

Kesehatan, Vol. 14, No. 1, Juni 2010: 31-38

Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan

(Ditjen P2M & PL) Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2007.

Modul Pelatihan bagi Pengelola Program Pengendalian Penyakit Demam

Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Depkes RI.

Djunaedi, Djoni. 2006. “Demam Berdarah: Epidemiologi, Immunopatologi,

Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaannya”. UMM Press, Malang.

Faldy, R., Kaunang, W.P.J. dan Pandelaki, A.J. 2015. “Pemetaan Kasus Demam

Berdarah Dengue di Kabupaten Minahasa Utara”. Jurnal Kedokteran

Komunitas dan Tropik, Vol. III No. 2 April 2015.

Farahiyah, M., Nurjazuli dan Setiani, O. 2014. “Analisis Spasial Faktor

Lingkungan dan Kejadian DBD di Kabupaten Demak”. Buletin Penelitian

Kesehatan, Vol. 42, No. 1, 2014: 25 – 36.

Fathi, Keman, S., Wahyuni, C. U. 2005. “Peran Faktor Lingkungan dan perilaku

terhadap Penularan Demam Berdarah Dengue di Kota Mataram”. Jurnal

Kesehatan Lingkungan, Vol. 2, No.21, Juli 2005: 1-10.

Fidayanto, R., Susanto, H., Yohanan, A. dan Yudhastuti, R. 2013. “Model

Pengendalian Demam Berdarah Dengue”. Jurnal Kesehatan Masyarakat

Nasional, Vol.7, No, 11, Juni 2013.

Fitriyani. 2007. Penentuan Wilayah Rawan Demam Berdarah Dengue di

Indonesia dan Analisis Pengaruh Pola Hujan Terhadap Tingkat Serangan

Page 161: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

141

(Studi Kasus: Kabupaten Indramayu). Skripsi. Departemen Geofisika dan

Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut

Pertanian Bogor.

Fullerton, Laura M., Sarah K. Dickin, Corrine J. Schuster-Wallace. 2014.

Mapping Global Vulnerability to Dengue using the Water Associated

Disease Index. Ontario: United Nations University.

Gama, A. & Betty, F. 2010. “Analisis Faktor Risiko Kejadian Demam Berdarah

Dengue di Desa Mojosongo Kabupaten Boyolali”. Eksplanasi, 5(2).

Ginanjar, Genis. 2004. Demam Berdarah. Jakarta: PT Mizan Publika.

____________. 2008. Demam Berdarah. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.

Gubler, D.J. et al. 2001. “Climate Variability and Change in the United States:

Potential Impact on Vector-and Rodent-Borne Diseases”. Environmental

Health Perspectives. 2001;109:5.

Hairani, Lila Kesuma. 2009. Gambaran Epidemiologi Demam Berdarah Dengue

dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Angka Insidennya di Wilayah

Kecamatan Cimanggis, Kota Depok Tahun 2005-2008. Skripsi. Universitas

Indonesia.

Hakim, Lukman dan Kusnandari, Asep Jajang. 2012. “Hubungan Status Gizi dan

Kelompok Umur dengan Status Infeksi Virus Dengue”. Aspirator 4(1),

2012 : 34-45.

Hastono, Sutanto Priyo. 2006. Analisa Data. Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Indonesia.

Hasyim, H. 2009. “Analsis Spasial DBD di Provinsi Sumatera Selatan 2003-

2007”. Jurnal Pembangunan Manusia, Vol.9, No. 3 Tahun 2009.

Hasyimi, M., Ariati, Y. dan Hananto, M. 2011. “Hubungan Tempat Penampungan

Air Minum dan Faktor Lainnya dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue

(DBD) di Provinsi DKI Jakarta dan Bali”. Media Litbang Kesehatan, Vol.

21, No.2, Tahun 2011.

Hidayati, Rini. 2008. Pemanfaatan Informasi Iklim dalam Pengmbangan Model

Peringatan Dini dan Pengendalian Kejadian Penyakit Demam Berdarah

Dengue di Indonesia. Skrisp. Institut Pertanian Bogor.

Hutagalung, Jontari, Halim W. dan Koto A. 2011. “Demam Berdarah Dengue

(DBD) di Provinsi Sumatera Barat, Indonesia, 2009”. OSIR, Desember 2011,

Vol. 4, Issue 2, p.1-5.

Page 162: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

142

Indriani, C., Fuad, A. dan Kusnanto, H. 2011.“Pola Spasial-Temporal Epidemi

Demam Chikungunya dan Demam Berdarah Dengue di Kota Yogyakarta

Tahun 2008”. Berita Kedokteran Masyarakat. (pp.41-50)

Kemenkes RI. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi Demam Berdarah Dengue

(DBD). Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi. Jakarta: Direktorat Jendral

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia.

____________. 2011. Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue. Jakarta:

Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

____________. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 035 Tahun 2012

Tentang Pedoman Identifikasi Faktor Risiko Kesehatan Akibat Perubahan

Iklim. http://www.djpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2012/bn914-

2012lamp.pdf

____________. 2013. Pedoman Pengendalian Demam Berdarah Dengue di

Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

____________. 2013. Buku Saku Pengendalian Demam Berdarah Dengue Untuk

Pengelola Program DBD Puskesmas. Direktorat Jendral Pengendalian

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia.

____________. 2014. Petunjuk Teknis Jumantik – PSN Anak Sekolah. Jakarta:

Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

____________. 2014. Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue”. Jakarta:

Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

___________. 2015. Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN). [Online] Available

at: http://www.komdat.kemkes.go.id/ [Accessed October 2015].

___________. 2015. Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta: Direktorat Jendral

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia.

Kemenristek. 2013. Analisis Spasial. Modul 3.

Khoa T. D. Thai et al. 2010. “Dengue Dynamics in Binh Thuan Province,

Southern Vietnam : Periodicity, Synchronicity and Climate Variability”.

PLOS, Vol: 4, Issue: 7, e747. PLOS Neglected Tropical Diseases.

Page 163: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

143

Krianto, Tri. 2009. “Masyarakat Depok Memilih Fogging yang Tidak

Dimengerti”. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 4, No. 1, Agustus

2009.

Kusumawardani E. dan Achmadi, U. F. 2012. “Demam Berdarah Dengue di

Pedesaan”. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol.7, No. 3, Agustus

2012.

Lasut, dkk. 2009. “Karakteristik dan Pergerakan Sebaran Penderita DBD

berdasarkan Geographic Information System sebaga Bagian Sistem

Informasi Surveilans di Kecamatan Karawang Barat Kabupaten Karawang

Provinsi Jawa Barat”. Loka Litbang P2B2 Ciamis.

Marjuki, Bramantiyo. 2014. Sistem Informasi Geografi Menggunakan QGIS 2.0.1

Volume 2 dari Dasar Sistem Informasi Geografi.

Mely Caballero-Anthony, Alistair D. B. Cook, Gianna Gayle Herrera Amul and

Akanksha Sharma. 2015. Health Governance and Dengue in Southeast Asia.

NTS Report No.2, May 2015.

Mu-Jean Chen et al. 2012. “Effect of Extreme Precipitation to the Distribution of

Infectious Diseases in Taiwan, 1994-2008”. PloS ONE Journal, June 2012,

Volume 7, Issue 6, e34651.

Nisa, Hoirun. 2007. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: UIN Jakarta Press.

Nizal, MG et al. 2012. “Dengue Infections and Circulating Serotypes in Negeri

Sembilan, Malaysia”. Malaysian Journal of Public Health Medicine 2012,

Vol. 12 (1): 21-30.

Nugroho, Farid Setyo. 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan

Keberadaan Jentik Aedes aegypti di RW IV Desa Ketitang Kecamatan

Nogosari Kabupaten Boyolali. Skripsi. Universitas Muhammadiyah

Surakarta.

Octaviana, D. 2007. Faktor Risiko Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di

Wilayah Kecamatan Purwodadi Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. Tesis.

Parham, P. E. et al. 2010. Understanding and Modelling the Impact of Climate

Change on Infectious Diseases–Progress and Future Challenges. [Online]

Available at: http://cdn.intechopen.com/pdfs/19629 [Accessed February

2016].

Pohan, Zoelkarnain. 2014. Hubungan Iklim Terhadap Kasus Demam Berdarah

Dengue (DBD) di Kota Palembang Tahun 2003-2013. Skripsi. Universitas

Sriwijaya.

Praditya, Sofie. 2011. Gambaran Sanitasi Lingkungan Rumah Tinggal dengan

Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan

Page 164: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

144

Sumbersari Kabupaten Jember (Studi pada Wilayah Kerja Puskesmas

Sumbersari). Skripsi. Universitas Jember.

Prahasta, Eddy. 2005. Sistem Informasi Geografis Konsep-konsep Dasar.

Bandung: Informatika.

Puspitasari, Rheni dan Susanto, Irwan. 2011. Analisis Spasial Kasus Demam

Berdarah di Sukoharjo Jawa Tengah dengan Menggunakan Indeks Moran.

ISBN : 978 – 979 – 16353 – 6 – 3

Rahim, S., et al. 2013. “Hubungan Faktor Lingkungan dengan Tingkat

Endemisitas DBD di Kota Makassar”. Makassar: UNHAS.

Rahman, Fadhlur. 2010. “Dengue Shock Syndrome Teratasi” dalam mengikuti

kepaniteraan klinik madya bagian ilmu Kesehatan Anak RSU Prop.NTB-

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram.

Rajab, W. 2009. Buku Ajar Epidemiologi untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta:

EGC.

Rohmah, E.I., Moehammadi, N., Salamun. 2014. “Fluktuasi Populasi Larva Aedes

aegypti Pada Berbagai Jenis Tempat Perkembangbiakan di rumah Penderita

DBD”. Jurnal Ilmiah biologi, Vol. 2, No.1, April 2014. ISSN: 9 772303

342002

Setyaningsih, W. dan Setyawan, A. 2014. “Pemodelan Sistem Informasi

Geografis (SIG) pada Distribusi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

di Kecamatan Karangmalang Kabupaten Sragen”. Jurnal Terpadu Ilmu

Kesehatan, Volume 3, No 2, November 2014, hlm 106-214

Sihombing, G. F., Marsaulina, I. dan Ashar, T. 2014. “Hubungan Curah Hujan,

Suhu Udara, Kelembaban Udara, Kepadatan Penduduk dan Luas Lahan

Pemukiman dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Malang

Periode Tahun 2002-2011. Jurnal Kesehatan Lingkungan dan Keselamatan

Kerja, Vo. 3, No. 1, 2014.

Sintorini, Margareta Maria. 2007. “Pengaruh Iklim terhadap Kasus Demam

Berdarah Dengue”. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 2, No. 1,

Agustus 2007.

Siregar, Faziah A. 2004. “Epidemiologi dan Pemberantasan Demam Berdarah

Dengue (DBD) di Indonesia. Universitas Sumatera Utara”. Digitized by

USU digital library.

Soedarto. 1990. Penyakit-Penyakit Infeksi di Indonesia. Jakarta: Widya Medika.

Sukowati, S. 2004. “Hubungan Iklim dengan Penyakit Tular Vektor (DBD dan

Malaria)”. Makalah Seminar Sehari Dampak Perubahan Iklim terhadap

Kesehatan. 06 April 20014. Jakarta: Direktorat.

Page 165: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

145

Suksesi, Tri Wahyuni. 2012. Monitoring Populasi Nyamuk Aedes aegypti L.

Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Gedongkiwo

Kecamatan Mantrijeron Kota Yogyakarta. Jurnal Kesmas Vol. 6 No. 1,

Januari 2012: 1-74. ISSN : 1978-0575.

Sunardi. 2007. Deteksi Faktor Endemisitas Demam Berdarah Dengue. Tesis.

Sunaryo, Pramestuti N. “Surveilans Aedes aegypti di Daerah Endemis Demam

Berdarah Dengue”. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8,

Mei 2014.

Suroso, Thomas dan Umar, Ali imran. 2004. Epidemiologi dan Penanggulangan

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia saat ini. Balai

Penerbit Faklutas Kedokteran Universitas Indonesia.

Suseno, Adam dan Agus T., Ricky. 2012. Panduan Penggunaan Quantum GIS

dalam Sistem Informasi Geografis. Bogor.

Syarifa F., Dian dkk. 2015. “Pemetaan Penyebaran Penyakit Demam Berdarah

Dengue dengan Geographic Information System di Minahasa Selatan”.

Jurnal Kedokteran Komunitas dan Tropik : Volume III Nomor 2 April 2015.

Syumarta, Y., Hanif A. M. dan Rustam E. 2014. “Hubungan Jumlah trombosit,

Hematokrit dan hemoglobin dengan Derajat Klinik Demam Bedarah

Dengue pada Pasien Dewasa di RSUP M. Djamil Padang”. Jurnal

Kesehatan Andalas, (2014); 3(3).

Valeeuwen, J.A. 1999. “Envolving models of human health toward and ecosystem

context”. Ecosystem Health 5 (4) : 204 – 219.

Viennet E. et al. 2014. “Epidemiology of Dengue in A High-income Country: A

Case Study in Queensland, Australia”. Journal of Parasites & Vectors 2014,

7:379.

Wahyono, dkk. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi Demam Berdarah Dengue

(DBD). Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi. Jakarta: Direktorat Jendral

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia.

Wahyuni, R. D. dan Sabir, M. 2011. “Karakteristik Penderita Demam Berdarah

Dengue (DBD) di Rumah Sakita Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode

Januari – Desember 2010”. INSPIRASI, No.XIV Edisi Oktober 2011.

Wiradharma, Danny. 1999. “Diagnosis Cepat Demam Berdarah Dengue”. Jurnal

Kedokteran Trisakti, Mei-Agustus 1999, Vol.18, No.2.

Wirayoga, Mustazahid Agfadi. 2013. “Hubungan Kejadian Demam Berdarah

Dengue dengan Iklim di Kota Semarang Tahun 2006-2011”. Unnes Journal

of Public Health 2 (4) (2013).

Page 166: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

146

WHO. 2009. Dengue: Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention and

Control. ISBN 978 92 4 154787 1

_____. 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue

and Dengue Haemorrhagic Fever. ISBN 978-92-9022-387-0

Page 167: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

148

LAMPIRAN 1

Analisis Univariat

Rata-rata IR DBD Tahun 2013-2015

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Rerata IR DBD Tahun 2013-

2015 3 46.5 48.5 47.333 1.0408

Valid N (listwise) 3

Angka Bebas Jentik Tahun 2013-2015

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

ABJ2013-2015 75 67 100 92.51 6.900

Valid N (listwise) 75

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

ABJ2013 25 77 99 94.92 4.725

Valid N (listwise) 25

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

ABJ2015 25 75 98 89.88 6.451

Valid N (listwise) 25

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

ABJ2014 25 67 100 92.72 8.339

Valid N (listwise) 25

Page 168: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

149

Rumah Sehat Tahun 2013-2015

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

rumahsehat2013-

2015 75 3 101 89.37 15.813

Valid N (listwise) 75

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

rumahsehat2013 25 3 101 87.44 25.516

Valid N (listwise) 25

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

rumahsehat2014 25 71 100 91.20 7.969

Valid N (listwise) 25

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

rumahsehat2015 25 79 99 89.48 7.001

Valid N (listwise) 25

Kepadatan Penduduk Tahun 2013-2015

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

KepPend2013-2015 75 63.6 574.9 232.209 120.5765

Valid N (listwise) 75

Page 169: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

150

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

KepPenduduk 2013 25 63.6 513.6 224.516 116.8774

Valid N (listwise) 25

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

KepPenD 2014 25 66.8 543.6 232.180 121.9027

Valid N (listwise) 25

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

KepPend2015 25 70.1 574.9 239.932 127.2136

Valid N (listwise) 25

Suhu Udara Tahun 2013-2015

Statistics

Suhu Udara Tahun 2013-2015

N Valid 36

Missing 0

Mean 27.706

Median 27.850

Std. Deviation .8232

Skewness -.146

Std. Error of Skewness .393

Kurtosis .013

Std. Error of Kurtosis .768

Minimum 26.0

Maximum 29.5

Page 170: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

151

Kelembaban Udara Tahun 2013-2015

Statistics

Kelembaban Udara Tahun 2013-2015

N Valid 36

Missing 0

Mean 79.83

Median 81.00

Std. Deviation 6.967

Skewness -.327

Std. Error of Skewness .393

Kurtosis -.847

Std. Error of Kurtosis .768

Minimum 67

Maximum 93

Curah Hujan Tahun 2013-2015

Statistics

Curah Hujan Tahun 2013-2015

N Valid 36

Missing 0

Mean 189.922

Median 138.050

Std. Deviation 1.5647E2

Skewness 1.099

Std. Error of Skewness .393

Kurtosis 1.462

Std. Error of Kurtosis .768

Minimum .0

Maximum 681.3

Page 171: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

152

Kecepatan Angin Tahun 2013-2015

Statistics

Kecepatan AnginT ahun 2013-2015

N Valid 36

Missing 0

Mean 4.17

Median 4.00

Std. Deviation .941

Skewness .956

Std. Error of Skewness .393

Kurtosis 10.615

Std. Error of Kurtosis .768

Minimum 1

Maximum 8

Suhu Udara, Kelembaban Udara, Curah Hujan, Kecepatan Angin Rata-rata

Tahun 2013

Statistics

Suhu Udara

Rata-rata Tahun

2013

Kelembaban

Udara Rata-rata

Tahun 2013

Curah Hujan

Rata-rata Tahun

2013

Kecepatan Angin

Rata-rata Tahun

2013

N Valid 12 12 12 12

Missing 0 0 0 0

Mean 27.575 80.75 225.808 4.25

Median 27.800 82.00 226.000 4.00

Std. Deviation .6312 5.154 146.1257 1.545

Minimum 26.4 73 34.0 1

Maximum 28.2 89 526.8 8

Page 172: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

153

Suhu Udara, Kelembaban Udara, Curah Hujan, Kecepatan Angin Rata-rata

Tahun 2014

Statistics

Suhu Udara

Rata-rata Tahun

2014

Kelembaban

Udara Rata-rata

Tahun 2014

Curah Hujan

Rata-rata Tahun

2014

Kecepatan Angin

Rata-rata Tahun

2014

N Valid 12 12 12 12

Missing 0 0 0 0

Mean 27.600 80.50 223.058 4.17

Median 27.800 81.50 177.250 4.00

Std. Deviation .8893 7.317 182.6601 .577

Minimum 26.0 67 26.8 3

Maximum 29.4 88 681.3 5

Suhu Udara, Kelembaban Udara, Curah Hujan, Kecepatan Angin Rata-rata

Tahun 2015

Statistics

Suhu Udara

Rata-rata Tahun

2015

Kelembaban

Udara Rata-rata

Tahun 2015

Curah Hujan

Rata-rata Tahun

2015

Kecepatan Angin

Rata-rata Tahun

2015

N Valid 12 12 12 12

Missing 0 0 0 0

Mean 27.942 78.25 120.833 4.08

Median 28.200 77.00 86.650 4.00

Std. Deviation .9356 8.379 124.0669 .289

Minimum 26.4 67 .0 4

Maximum 29.5 93 354.6 5

Page 173: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

154

LAMPIRAN 2

Analisis Bivariat (Uji Korelasi Statistik)

Suhu Udara dengan Kasus DBD Tahun 2013-2015

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Kasus DBD Tahun 2013-

2015 .142 36 .063 .931 36 .027

Suhu Udara Tahun 2013-

2015 .164 36 .016 .958 36 .188

a. Lilliefors Significance Correction

Transformasi Suhu Udara dengan Kasus DBD 2013-2015

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Trans Suhu Udara Tahun

2013-2015 .170 36 .010 .956 36 .165

a. Lilliefors Significance Correction

Korelasi Uji Spearman rho

Correlations

Suhu Udara

Tahun 2013-

2015

Kasus DBD

Tahun 2013-

2015

Spearman's rho Suhu Udara Tahun 2013-

2015

Correlation Coefficient 1.000 -.404*

Sig. (2-tailed) . .015

N 36 36

Kasus DBD Tahun 2013-

2015

Correlation Coefficient -.404* 1.000

Sig. (2-tailed) .015 .

N 36 36

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Page 174: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

155

Suhu Udara dengan Kasus DBD Tahun 2013

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Kasus DBD Tahun 2013 .186 12 .200* .906 12 .192

Suhu Udara Tahun 2013 .245 12 .045 .856 12 .044

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Transformasi Suhu Udara dengan Kasus DBD 2013

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

Trans_SuhuUdara_2013 .248 12 .039 .852 12 .039

a. Lilliefors Significance Correction

Korelasi Uji Spearman rho

Correlations

Kasus DBD

Tahun 2013

Suhu Udara

Tahun 2013

Spearman's rho Kasus DBD Tahun 2013 Correlation Coefficient 1.000 .069

Sig. (2-tailed) . .832

N 12 12

Suhu Udara Tahun 2013 Correlation Coefficient .069 1.000

Sig. (2-tailed) .832 .

N 12 12

Suhu Udara dengan Kasus DBD Tahun 2014

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

Kasus DBD Tahun 2014 .235 12 .065 .857 12 .045

Suhu Udara Tahun 2014 .211 12 .145 .923 12 .316

Page 175: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

156

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

Kasus DBD Tahun 2014 .235 12 .065 .857 12 .045

Suhu Udara Tahun 2014 .211 12 .145 .923 12 .316

a. Lilliefors Significance Correction

Transformasi Kasus DBD dengan Kasus DBD Tahun 2014

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

Trans Kasus DBD Tahun

2014 .303 12 .003 .772 12 .005

a. Lilliefors Significance Correction

Korelasi Uji Spearman rho

Correlations

Kasus DBD

Tahun 2014

Suhu Udara

Tahun 2014

Spearman's rho Kasus DBD Tahun 2014 Correlation Coefficient 1.000 -.487

Sig. (2-tailed) . .109

N 12 12

Suhu Udara Tahun 2014 Correlation Coefficient -.487 1.000

Sig. (2-tailed) .109 .

N 12 12

Suhu Udara dengan Kasus DBD Tahun 2015

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

Kasus DBD Tahun 2015 .188 12 .200* .933 12 .413

Suhu Udara Tahun 2015 .151 12 .200* .949 12 .625

a. Lilliefors Significance Correction

Page 176: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

157

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

Kasus DBD Tahun 2015 .188 12 .200* .933 12 .413

Suhu Udara Tahun 2015 .151 12 .200* .949 12 .625

*. This is a lower bound of the true significance.

Korelasi Uji Pearson Moment

Correlations

Kasus DBD Tahun

2015

Suhu Udara Tahun

2015

Kasus DBD Tahun 2015 Pearson Correlation 1 -.423

Sig. (2-tailed) .171

N 12 12

Suhu Udara Tahun 2015 Pearson Correlation -.423 1

Sig. (2-tailed) .171

N 12 12

Kelembaban Udara dengan Kasus DBD Tahun 2013-2015

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

Kasus DBD Tahun 2013-

2015 .142 36 .063 .931 36 .027

Kelembaban Udara Tahun

2013-2015 .114 36 .200* .956 36 .166

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Page 177: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

158

Korelasi Uji Pearson Moment

Correlations

Kasus DBD Tahun

2013-2015

Kelembaban

Udara Tahun

2013-2015

Kasus DBD Tahun 2013-2015 Pearson Correlation 1 .434**

Sig. (2-tailed) .008

N 36 36

Kelembaban Udara Tahun

2013-2015

Pearson Correlation .434** 1

Sig. (2-tailed) .008

N 36 36

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Kelembaban Udara dengan Kasus DBD Tahun 2013

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic Df Sig.

Kasus DBD Tahun 2013 .186 12 .200* .906 12 .192

Kelembaban Udara Tahun

2013 .179 12 .200* .933 12 .410

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Korelasi Uji Pearson Moment

Correlations

Kasus DBD Tahun

2013

Kelembaban

Udara Tahun 2013

Kasus DBD Tahun 2013 Pearson Correlation 1 .288

Sig. (2-tailed) .364

N 12 12

Kelembaban Udara Tahun 2013 Pearson Correlation .288 1

Sig. (2-tailed) .364

N 12 12

Page 178: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

159

Kelembaban Udara dengan Kasus DBD Tahun 2014

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic Df Sig.

Kasus DBD Tahun 2014 .235 12 .065 .857 12 .045

Kelembaban Udara Tahun

2014 .223 12 .103 .870 12 .066

a. Lilliefors Significance Correction

Transformasi Kasus DBD Tahun 2014

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

Trans Kasus DBD Tahun

2014 .303 12 .003 .772 12 .005

a. Lilliefors Significance Correction

Korelasi Uji Spearman rho

Correlations

Kasus DBD

Tahun 2014

Kelembaban

Udara Tahun

2014

Spearman's rho Kasus DBD Tahun 2014 Correlation Coefficient 1.000 .637*

Sig. (2-tailed) . .026

N 12 12

Kelembaban Udara

Tahun 2014

Correlation Coefficient .637* 1.000

Sig. (2-tailed) .026 .

N 12 12

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Page 179: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

160

Kelembaban Udara dengan Kasus DBD Tahun 2015

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

Kasus DBD Tahun 2015 .188 12 .200* .933 12 .413

Kelembaban Udara Tahun

2015 .140 12 .200* .947 12 .597

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Korelasi Pearson Moment

Correlations

Kasus DBD Tahun

2015

Kelembaban

Udara Tahun 2015

Kasus DBD Tahun 2015 Pearson Correlation 1 .502

Sig. (2-tailed) .096

N

12

12

Kelembaban Udara Tahun 2015 Pearson Correlation .502 1

Sig. (2-tailed) .096

N 12 12

Curah Hujan dengan Kasus DBD Tahun 2013-2015

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

Kasus DBD Tahun 2013-

2015 .142 36 .063 .931 36 .027

Curah Hujan Tahun 2013-

2015 .157 36 .025 .911 36 .007

a. Lilliefors Significance Correction

Page 180: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

161

Trans Curah Hujan dengan Kasus DBD Tahun 2013-2015

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Trans Curah Hujan Tahun

2013-2015 .154 35 .035 .879 35 .001

a. Lilliefors Significance Correction

Korelasi Uji Spearman rho

Correlations

Kasus DBD

tahun 2013-2015

Curah Hujan

tahun 2013-2015

Spearman's rho Kasus DBD tahun 2013-

2015

Correlation Coefficient 1.000 .409*

Sig. (2-tailed) . .013

N 36 36

Curah Hujan tahun 2013-

2015

Correlation Coefficient .409* 1.000

Sig. (2-tailed) .013 .

N 36 36

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Curah Hujan dengan Kasus DBD Tahun 2013

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Kasus DBD Tahun 2013 .186 12 .200* .906 12 .192

Curah Hujan Tahun 2013 .153 12 .200* .937 12 .459

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Page 181: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

162

Korelasi Uji Pearson Moment

Correlations

Kasus DBD Tahun

2013

Curah Hujan

Tahun 2013

Kasus DBD Tahun 2013 Pearson Correlation 1 -.112

Sig. (2-tailed) .730

N 12 12

Curah Hujan Tahun 2013 Pearson Correlation -.112 1

Sig. (2-tailed) .730

N 12 12

Curah Hujan dengan Kasus DBD Tahun 2014

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Kasus DBD Tahun 2014 .235 12 .065 .857 12 .045

Curah Hujan Tahun 2014 .179 12 .200* .870 12 .064

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Transformasi Kasus DBD Tahun 2014

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

Trans Kasus DBD Tahun

2014 .303 12 .003 .772 12 .005

a. Lilliefors Significance Correction

Page 182: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

163

Korelasi Uji Spearman rho

Correlations

Curah Hujan

Tahun 2014

Kasus DBD

Tahun 2014

Spearman's rho Curah Hujan Tahun

2014

Correlation Coefficient 1.000 .453

Sig. (2-tailed) . .140

N 12 12

Kasus DBD Tahun

2014

Correlation Coefficient .453 1.000

Sig. (2-tailed) .140 .

N 12 12

Curah Hujan dengan Kasus DBD Tahun 2015

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Kasus DBD Tahun 2015 .188 12 .200* .933 12 .413

Curah Hujan Tahun 2015 .165 12 .200* .873 12 .072

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Korelasi Uji Pearson Moment

Correlations

Kasus DBD Tahun

2015

Curah Hujan

Tahun 2015

Kasus DBD Tahun 2015 Pearson Correlation 1 .609*

Sig. (2-tailed) .036

N 12 12

Curah Hujan Tahun 2015 Pearson Correlation .609* 1

Sig. (2-tailed) .036

N 12 12

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Page 183: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

164

Kecepatan Angin dengan Kasus DBD Tahun 2013-2015

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Kasus DBD Tahun 2013-

2015 .142 36 .063 .931 36 .027

Kecepatan angin Tahun

2013-2015 .376 36 .000 .595 36 .000

a. Lilliefors Significance Correction

Trans Kecepatan Angin dengan Kasus DBD Tahun 2013-2015

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Trans Kecepatan Angin

Tahun 2013-2015 Korelasi .430 36 .000 .501 36 .000

a. Lilliefors Significance Correction

Korelasi Uji Spearman rho

Correlations

Kasus DBD

Tahun 2013

Kecepatan

angin Tahun

2013

Spearman's rho Kasus DBD Tahun 2013-

2015

Correlation Coefficient 1.000 .097

Sig. (2-tailed) . .574

N 36 36

Kecepatan angin Tahun

2013-2015

Correlation Coefficient .097 1.000

Sig. (2-tailed) .574 .

N 36 36

Page 184: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

165

Kecepatan Angin dengan Kasus DBD Tahun 2013

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

Kasus DBD Tahun 2013 .186 12 .200* .906 12 .192

Kecepatan angin Tahun

2013 .352 12 .000 .737 12 .002

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Transformasi Kecepatan Angin dengan Kasus DBD Tahun 2013

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

Trans Kecepatan Angin

2013 .434 12 .000 .641 12 .000

a. Lilliefors Significance Correction

Korelasi Uji Spearman rho

Correlations

Kasus DBD

Tahun 2013

Kecepatan

angin Tahun

2013

Spearman's rho Kasus DBD Tahun 2013 Correlation Coefficient 1.000 -.002

Sig. (2-tailed) . .995

N 12 12

Kecepatan angin Tahun

2013

Correlation Coefficient -.002 1.000

Sig. (2-tailed) .995 .

N 12 12

Page 185: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

166

Kecepatan Angin dengan Kasus DBD Tahun 2014

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

Kasus DBD Tahun 2014 .235 12 .065 .857 12 .045

Kecepatan Angin Tahun

2014 .364 12 .000 .753 12 .003

a. Lilliefors Significance Correction

Transformasi Kasus DBD dan Kecepatan Angin dengan Kasus DBD Tahun

2014

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Trans_KasusDBD_2014 .303 12 .003 .772 12 .005

Trans_KecepatanAngin_201

4 .339 12 .000 .750 12 .003

a. Lilliefors Significance Correction

Korelasi Uji Spearman rho

Correlations

Kasus DBD

Tahun 2014

Kecepatan

Angin Tahun

2014

Spearman's rho Kasus DBD Tahun 2014 Correlation Coefficient 1.000 .101

Sig. (2-tailed) . .754

N 12 12

Kecepatan Angin Tahun

2014

Correlation Coefficient .101 1.000

Sig. (2-tailed) .754 .

N 12 12

Page 186: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

167

Kecepatan Angin dengan Kasus DBD Tahun 2015

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

Kasus DBD Tahun 2015 .188 12 .200* .933 12 .413

Kecepatan Angin Tahun

2015 .530 12 .000 .327 12 .000

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Transformasi Kecepatan Angin dengan Kasus DBD Tahun 2015

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

Trans Kecepatan Angin

Tahun 2015 .530 12 .000 .327 12 .000

a. Lilliefors Significance Correction

Korelasi Uji Spearman rho

Correlations

Kasus DBD

Tahun 2015

Kecepatan

Angin Tahun

2015

Spearman's rho Kasus DBD Tahun 2015 Correlation Coefficient 1.000 .307

Sig. (2-tailed) . .331

N 12 12

Kecepatan Angin Tahun

2015

Correlation Coefficient .307 1.000

Sig. (2-tailed) .331 .

N 12 12

Page 187: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

168

JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER

2013 26.4 27.2 28.1 27.9 27.9 28 26.5 27.7 28.2 28.2 27.7 27.1

2014 26 26.3 27.2 27.9 27.8 27.9 27.1 27.8 28.3 29.4 27.8 27.7

2015 26.4 26.5 27 27.5 28.3 28.1 28.3 28.4 28.6 29.5 28.8 27.9

24

25

26

27

28

29

30

Su

hu

Ud

ara

(°C

)

LAMPIRAN 3

DATA SUHU UDARA, KELEMBABAN UDARA, CURAH HUJAN DAN KECEPATAN

DI KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2013-2015

Grafik 5.9

Tren Suhu Udara Berdasarkan Bulanan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung Tahun 2013-2015

Page 188: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

169

JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER

2013 89% 86% 82% 84% 84% 79% 84% 73% 74% 74% 78% 82%

2014 88% 88% 86% 85% 87% 82% 81% 74% 68% 67% 80% 80%

2015 85% 87% 87% 93% 78% 76% 70% 69% 67% 71% 75% 81%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Kel

emb

ab

an

Ud

ara

(%

)

Grafik 5.10

Tren Kelembaban Udara Berdasarkan Bulanan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung Tahun 2013-2015

Page 189: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

170

JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER

2013 526.8 224.8 105.6 336.9 227.2 82.7 348.8 81.6 34.8 133.5 261.6 346.2

2014 681.3 402.7 138.3 137.8 263.2 297.2 216.2 109.3 33.1 26.8 265.3 105.5

2015 354.6 254.9 305 160.7 129.9 49.9 0 9.7 2 10 100.5 72.8

0

100

200

300

400

500

600

700

800C

ura

h H

uja

n (

mm

)

Grafik 5.11

Tren Curah Hujan Berdasarkan Bulanan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung Tahun 2013-2015

Page 190: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

171

JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER

2013 5 4 8 4 4 1 4 5 4 4 4 4

2014 5 4 4 4 4 4 4 4 5 4 3 5

2015 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Kec

epata

n A

ng

in (

Kn

ot)

Grafik 5.12

Tren Kecepatan Angin Berdasarkan Bulanan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung Tahun 2013-2015

Page 191: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

172

JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULIAGUS

TSEPT OKT NOV DES JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI

AGUST

SEPT OKT NOV DES JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULIAGUS

TSEPT OKT NOV DES

Suhu Udara 26.4 27.2 28.1 27.9 27.9 28 26.5 27.7 28.2 28.2 27.7 27.1 26 26.3 27.2 27.9 27.8 27.9 27.1 27.8 28.3 29.4 27.8 27.7 26.4 26.5 27 27.5 28.3 28.1 28.3 28.4 28.6 29.5 28.8 27.9

Kasus DBD 69 63 67 67 65 78 56 50 62 45 54 24 86 86 76 80 51 63 68 74 63 24 17 13 83 91 77 66 115 55 66 18 16 55 58 18

24

25

26

27

28

29

30

0

20

40

60

80

100

120

140

Suh

u U

dar

a (°

C)

Jum

lah

Kas

us

DB

D

LAMPIRAN 4

DATA SUHU UDARA, KELEMBABAN UDARA, CURAH HUJAN DAN KECEPATAN ANGIN DENGAN KASUS DBD

DI KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2013-2015

Grafik 5.13

Tren Kasus DBD dengan Suhu Udara di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Sumber: Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung Tahun 2013-2015 dan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Page 192: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

173

JAN FEBMA

RAPR MEI

JUN

IJULI

AG

UST

SEP

TOKT

NO

VDES JAN FEB

MA

RAPR MEI

JUN

IJULI

AG

UST

SEP

TOKT

NO

VDES JAN FEB

MA

RAPR MEI

JUN

IJULI

AG

UST

SEP

TOKT

NO

VDES

Kelembaban Udara 89% 86% 82% 84% 84% 79% 84% 73% 74% 74% 78% 82% 88% 88% 86% 85% 87% 82% 81% 74% 68% 67% 80% 80% 85% 87% 87% 93% 78% 76% 70% 69% 67% 71% 75% 81%

Kasus DBD 69 63 67 67 65 78 56 50 62 45 54 24 86 86 76 80 51 63 68 74 63 24 17 13 83 91 77 66 115 55 66 18 16 55 58 18

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

0

20

40

60

80

100

120

140

Ke

lem

bab

an U

dar

a (%

)

Jum

lah

Kas

us

DB

D

Grafik 5.14

Tren Kasus DBD dengan Kelembaban Udara di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Sumber: Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung Tahun 2013-2015 dan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Page 193: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

174

JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI AGUST SEPT OKT NOV DES JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI AGUST SEPT OKT NOV DES JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI AGUST SEPT OKT NOV DES

Curah Hujan 526.8 224.8 105.6 336.9 227.2 82.7 348.8 81.6 34.8 133.5 261.6 346.2 681.3 402.7 138.3 137.8 263.2 297.2 216.2 109.3 33.1 26.8 265.3 105.5 354.6 254.9 305 160.7 129.9 49.9 0 9.7 2 10 100.5 72.8

Kasus DBD 69 63 67 67 65 78 56 50 62 45 54 24 86 86 76 80 51 63 68 74 63 24 17 13 83 91 77 66 115 55 66 18 16 55 58 18

0

100

200

300

400

500

600

700

800

0

20

40

60

80

100

120

140

Cu

rah

Hu

jan

(m

m)

Jum

lah

Kas

us

DB

D

Grafik 5.15

Tren Kasus DBD dengan Curah Hujan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Sumber: Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung Tahun 2013-2015 dan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Page 194: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

175

JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULIAGU

STSEPT OKT NOV DES JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI

AGU

STSEPT OKT NOV DES JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI

AGU

STSEPT OKT NOV DES

Kecepatan Angin 5 4 8 4 4 1 4 5 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 4 5 4 3 5 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

Kasus DBD 69 63 67 67 65 78 56 50 62 45 54 24 86 86 76 80 51 63 68 74 63 24 17 13 83 91 77 66 115 55 66 18 16 55 58 18

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

0

20

40

60

80

100

120

140

Ke

cep

atan

An

gin

(K

no

t)

Jum

lah

Kas

us

DB

D

Grafik 5.16

Tren Kasus DBD dengan Kecepatan Angin di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Sumber: Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung Tahun 2013-2015 dan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

Page 195: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

177

LAMPIRAN 5

Dummy Table Incidence Rate (IR) Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja

Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

No. Puskesmas Incidence Rate

Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015

1. Pamulang 34 60 58

2. Pdk Benda 94 89 61

3. Benda Baru 56 33 32

4. Ciputat 4 64 30

5. Situ Gintung 36 21 21

6. Jombang 46 28 12

7. Sawah 70 19 17

8. Ciputat timur 52 46 21

9. Pdk Ranji 43 64 34

10. Pisangan 24 29 14

11. Rengas 75 144 118

12. Pdk Jagung 35 23 42

13. Paku Alam 54 28 43

14. Pdk Aren 64 43 27

15. Pdk Pucung 101 57 25

16. Pdk Betung 26 6 19

17. Jurang Manggu 10 15 14

18. Perigi 112 38 58

19. Pdk Kacang timur 36 0 9

20. Serpong 1 32 105 156

21. Serpong 2 24 8 30

22. Rawa Buntu 71 93 72

23. Setu 4 78 311

24. Kranggan 145 208 142

25. Baktijaya 22 92 157

Page 196: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

178

Dummy Table Angka Bebas Jentik di Wilayah Kerja Puskesmas Kota

Tangerang Selatan Tahun 2013-2015

No. Puskesmas Angka Bebas Jentik (ABJ)

Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015

1. Pamulang 98% 97% 96%

2. Pdk Benda 98% 91% 89%

3. Benda Baru 99% 96% 88%

4. Ciputat 77% 94% 94%

5. Situ Gintung 86% 99% 80%

6. Jombang 94% 96% 96%

7. Sawah 97% 95% 96%

8. Ciputat timur 95% 67% 75%

9. Pdk Ranji 97% 96% 96%

10. Pisangan 98% 99% 90%

11. Rengas 98% 98% 98%

12. Pdk Jagung 99% 95% 94%

13. Paku Alam 95% 100% 91%

14. Pdk Aren 96% 94% 95%

15. Pdk Pucung 96% 86% 85%

16. Pdk Betung 98% 69% 98%

17. Jurang Manggu 94% 98% 81%

18. Perigi 93% 93% 83%

19. Pdk Kacang timur 97% 98% 90%

20. Serpong 1 96% 90% 83%

21. Serpong 2 97% 98% 91%

22. Rawa Buntu 97% 96% 93%

23. Setu 99% 92% 95%

24. Kranggan 95% 85% 90%

25. Baktijaya 91% 96% 80%

Page 197: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

179

Dummy Table Rumah Sehat di Wilayah Kerja Puskesmas Tangerang Selatan

Tahun 2013-2015

No. Puskesmas Rumah Sehat

Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015

1. Pamulang 64% 85% 81%

2. Pdk Benda 96% 83% 89%

3. Benda Baru 96% 88% 88%

4. Ciputat 96% 84% 87%

5. Situ Gintung 100% 100% 99%

6. Jombang 95% 97% 97%

7. Sawah 10% 77% 87%

8. Ciputat timur 95% 100% 96%

9. Pdk Ranji 80% 71% 81%

10. Pisangan 97% 99% 83%

11. Rengas 90% 97% 98%

12. Pdk Jagung 97% 98% 81%

13. Paku Alam 100% 98% 98%

14. Pdk Aren 95% 99% 94%

15. Pdk Pucung 94% 90% 96%

16. Pdk Betung 101% 85% 92%

17. Jurang Manggu 94% 86% 81%

18. Perigi 96% 94% 83%

19. Pdk Kacang timur 98% 100% 97%

20. Serpong 1 97% 94% 95%

21. Serpong 2 97% 97% 80%

22. Rawa Buntu 97% 94% 98%

23. Setu 98% 86% 85%

24. Kranggan 3% 83% 79%

25. Baktijaya 100% 95% 92%

Page 198: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

180

Dummy Table Kepadatan Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Tangerang

Selatan Tahun 2013-2015

No. Puskesmas Kepadatan Penduduk

Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015

1. Pamulang 411 423 436

2. Pdk Benda 130 133 137

3. Benda Baru 461 474 488

4. Ciputat 232 234 235

5. Situ Gintung 99 102 105

6. Jombang 225 233 241

7. Sawah 257 268 279

8. Ciputat timur 236 236 236

9. Pdk Ranji 194 204 215

10. Pisangan 200 205 211

11. Rengas 170 172 175

12. Pdk Jagung 514 544 575

13. Paku Alam 179 185 191

14. Pdk Aren 201 208 216

15. Pdk Pucung 93 97 100

16. Pdk Betung 358 369 380

17. Jurang Manggu 343 356 369

18. Perigi 94 99 103

19. Pdk Kacang timur 244 252 260

20. Serpong 1 224 231 237

21. Serpong 2 132 137 143

22. Rawa Buntu 283 296 310

23. Setu 64 67 70

24. Kranggan 147 155 163

25. Baktijaya 124 125 125

Page 199: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

KEMENTERIAN AGAMAUNTYERSITAS ISLAM NEGERI ( UIN )SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

,. Kertamurti No. 5 pisangan ciputat i541e ffji;-" , ffi'J,:il:::rL: Ifr;,f1?'Jd,tffi.,.

Nomor : Un.0 I lF l}lTL.O\l 3 o69 A /ZOl S

Lampiran '. -Hal : Permohonan lzin pengambilan Data

Jakarta, 3aSeptember 201 5

Kepada Yth.Kepala Kesatuan Bangsa dan politik (Kesbangpol) Kota Tangerang Selatandi

Tempat

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Dengan hormat kami sampaikan, bahrva mahasiswa Program Studi Ilmu Kesehata,Masvarakat Fakultas Kedokteran dan Ihnu Kesehatan (FKiK) UIN Syarif HidayatullahJakarta Semester Ganjil berikut ini sedang menyusun skripsi dan alan mclaksanaka.Studi Pendahuluan.

Nama

NIMSemester

Judul skripsi

Tenrbusan:Dekan FKIK t,rlN

Sehubungan dengan hal tersebut, kami mohon mahasisr.va tersebut diizinkan urrtukmelakukan studi pendahuluan di instansi yang BapaUIbu pirnpin.

Dernikian atas perhatian dan kerjasarnanya. karni ucapkan terima kasih.

\\'assala mu'alaikum Wr. Wb.

cK), SH

Rizki Amalia1 1 il 104000030

IX (Sembilan)

{ry!1is .!hatialtemporal penyakit Demam Berdarah Dengue(DBD) di Kota Tangerang Selatan Tahun 2OlO-2014

Akademik,

rdjana, Sp. OG &I98709 I 00t

S_r arif Hidal,arullah .takarla

Page 200: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

kOTITAHG!RAHGSflATAN PEMERINTAH KOTA TANGERANG SELATAN BADAN KESATUAN BANGSA PO LITI I< DAN PERLI NDUNGAN M ASYARAKAT

MEMBACA

MENGINGAT

MEMPERHATIKAN

NAMA NIM FAKULTAS JUDUL PENELITIAN

LOKASI PENELITIAN LAMA PENELITIAN MAKSUD DAN TUJUAN

K ES B AN GP ' L I MA S JI.P u s pit e k No,l,Kecamatan Setu

Kot a Tangera n g Se la tan - Prov B<lllt c n

SURAT IZIN PENELITIAN Nomor : 0701 lSq" IKesbangpol inmas/2016

Surat dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Nomor : Un ,01 /F10/Tl.00/3069/2015 Tanggal30 September 2015 Pel'ihal Permohonan Izin Pengam bi lan Data, 1. Keputusan Mentel'i Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2003 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri. 2, Sural Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : SD,6/2/1 2 Tanggal 5 Ju li

i sn. tentang Kegiaiclr! Riset dan Su,vei diwajibkan melapor di ri kepada Gubernur Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk,

3. Keputusan Direktur Jenderal Sosial Politik Nomor : 14 Ta hun 1981 tentang Surat Pemberitahuan Penel ilian (SPP).

Proposal Penelitian Ybs.

MEMBERITAHUKAN BAHWA:

Rizkia Amalia 11 111 04000030 Kedokteran dan Ilmu Kesehatan "ANAL/SIS SPA TlAL TEMPORAL PENYAKIT DEMAN BERDARAH DENGUE ( DBD) 01 KOTA TA NGERANG SELATAN TAHUN 2010 - 2014" Kota Tangerang Selatan April s.d Juni 2016 Untuk mengetahui gambaran distribusi spasial dan temporal kasus DBD se l1 ingga d2. ;Jat melihat daerah end om is DBD dan juga daerah yang berpotensi terjadi KLB DBD diwi layah Kota Tangerang Selatan".

Sehubungan dengan maksud dan tujuan tersebut diatas dan berdasarkan pertimbangan kelengkapan penelitian, dengan ini memberikan izin kepada yang bersangkutan untuk melak ukan penelitian di lokasi yang diluju dengan me menu hi ketentuan sebagai berikut :

1. Sebelum melakukan keg iatan Penelil i,1n harus melaporkan kedatangannya kepada Walikota Cq Kepala Badan Kesbangpolinmas dengan menunjukkan sura l pemberitahuan.

2. Tidak dibenarkan melakukan Penel itian yang lidak sesuai/tidak ada kaitannya dengan judul penelitian dimaksud. 3, Harus mentaati ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta mengindahkan ad at istiadat setempat. 4. Apabila masa berlaku Surat Pemberitahuan ini sudah berakhir, sedangkan pelaksanaan penelitian belum selesai,

perpanjangan penelitian harus diajukan kembali kepada instansi pemohon, 5, Hasil kajian/penelitian agar dapat diserahkan 1 (satu) eksemplar kepada Badan Kesbangpolinmas Kota

Tangerang Selatan, 6. Surat Pemberitahuan ini akan dicabut kembali dan dinyatakan tidak berlaku , apabi la ternyata pemegang Surat

Pemberitahuan ini tidak mentaati /meng indahkan ketentuan-ketentuan seperti lersebut diatas.

Dikeluark an di

' 'V\' id od o N uu roh a d i.!VI M NIP, 19670905199303 1 003

Tembusan: 1. Yth. Badan Kesbangpol Kota Tangerang Sel atan (Sebagai Laporan) ; 2. Yth. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan; 3. Yang Bersangkutan; 4. Arsip

Page 201: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

KEMENTERIAN AGAMAtrNrvERSrTAS rSLAM NEGERT ( trrN )SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

,. Kertamukti No. 5 pisangan ciputat 154re ffiji;," , .*.**'lr:#t:'r[? I-?;fi?l|d,tX:-fl?.,.:-

Nomor : Un.0l/Fl0/TL.00l3ogotlZOtSLarnpiran : -

Hal : Permohonan Izin Pengambilan Data

Kepada Yth.Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang SelatanJl. Witana l{arja Komplek Sasmita Jaya No.27Pamulang, Banten Telp. (021) 744lSS7

Jakarta. ToSepternber 201 5

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Dengan hormat karni sampaikan. bahrva mahasisrva Prograrn StLrdi Ilmu KeselratanMasyarakat lrakultas Kedokteran dan ilmLr Kcschatan (l--KIK) LJIN Syarif llidavarLrllahJakarta Semester Canjil berikut ini sedarrg menyusun skripsi dan akan nrelaksanakarrStudi Pendahuluan.

Nama

NIMSemester

Judul skripsi

: Rizki Amalia: 1111104000030

: IX (Sembilan)

: Analisis Spatialtemporal Penyakit Demam Berdarah Dengue(DBD) di Kota Tangerang Selatan Tahun 2010-2014

Sehubungatl dengan hal tersebr-rt. karni rnolron mahasisu,a terscbr:t diizinkan untukme lakukan studi perrdalruluan di instansi varrg rlapak/rbLr pirnpirr.

Dernikiarr atas perhatian dan' kerjasarnanya. karli ucapkan terima kasih.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

l-ern busan:Dckan I-KlK L'lN Sr.arif I-lidararullah .lakarra

ang Akademik.

liana, Sp. OC & (K), SFI

t98709 I 00t

Page 202: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

PEMERINTAH KOTA TANGERANG SELATAN

DINAS KESEHATANJl. Raya Rawabuntu Rt.02l01, Kelurahan Ciater, Kecamatan Serpong

i_:W./'\;.::::.Lyy::-- Telepon . (021) 29307897 Fax (021) 29307989

Nomor

Sifat

Hal

: 070F7tB /Umpeg

: Biasa

. Pemberian lzin

Tangerang Selatan, 26 Januari 2016

Kepada

Yth, Dekan, FKIK, UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta

di -

TEMPAT

Menindaklanjuti Surat dari FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarla, Nomor

: Un.01/F10/T1.00/3069b/2015, tanggal 30 September 2015 perihal

Permohonan lzin Pengambilan Data atas nama :

Nama : RizkiAmalia

NIM :1111104000030

Judul : "Analisis Spatialtemporal Penyakit Demam Berdarah

Dengue (DBD) di Kota Tangerang SelatanTahun 2013-

2015".

Pada dasarnya kami Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tidak

keberatan untuk memberikan izin, adapun dalam pelaksanaan agar

berkoordinasi dengan Kepala UPT Puskesmas yang akan dikunjungi dan

memberikan laporan atau hasil kegiatan tersebut kepada Dinas Kesehatan

Kota Ta ng e ra ng Se I ata n.

Demikian atas perhatian dan kerjasama saudara, kami mengucapkan

terima kasih.

KEPALA DINAS KESEHATANKOTA TANGERANG SELATAN,

Tembusan :

1. Yth, Walikota Tangerang Selatan2. Kepala UPT Puskesmas se-Kota Tangerang Selatan3. Yang Bersangkutan.

Pembina Tk I

NrPl 96009241 98501 1 001

Page 203: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

KEMENTERIAN AGAMATNTVERSITAS ISLAM NEGERI ( TIIN )SYARIF ITIDAYATULLAH JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

Il. Kertamukti No. 5 Pisangan Ciputat 15419Telp. : (62-21) 74716718 Fax : (62-21) 740498sWebsite : www.uinjk.ac.id; E-mail : [email protected]

Nomor :

Lampiran :

IIal :

L.in.0 I /l: I 0,rl-l-.00 I 3o {z t l2O I 5

Permohonan Izin Pengambilan Data

.lakarta.?o Scptcrlbcr 20 1,5

Kepada Yth.Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tangerang SelatanJl. Raya Pahlarvan Seribu - Puspiptek Kel. Kademangan Kec. Setu'I'angerang Selatan 15313, 'l'elp (62-2l) 75791502

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Dengan hormat kami sampaikan, bahwa mahasiswa Program Studi llmu KesehatanN4asyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayarullah.lakarta Semester Canjil berikut ini sedang menyusun skripsi dan akarr melaksanakanStLrdi Pendahuluan.

Nama

NIIVl

Semester

Judul skripsi

: Rizki Arnalia: I I I I 104000030

: IX (Sembilan)

: Analisis Spatiultemporal Penyakit Dernarn []erdarah [)ensuc(DBD) di Kota Tangerang Selaran

-l-ahun 20l.0-20it4

Sehubungan dengan hal tersebut. kami mohon mahasiswa tersebut diizinkan untukmelakukan studi pendahuluan di instansi yangBapaVlbu pimpin.

Demikian atas perhatian dan kerjasamanya. kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu'alaiku m Wr. \1,b.

'T-enrbusan:

l)ekan FKIK IJIN Syarif Hidal'atullah Jakarta

A

rdjana. Sp. OC & (K98709 r 00 I

Page 204: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

KEMENTERIAN AGAMATINWERSITAS ISLAM NEGERI ( UIN )SYARIF HIDAYATULLAII JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

I. Kerramukti No.5 pisangan ciputat r54re ffil;u" , K'.]r:;:':'rl:;fr;,{1,;ldi,Xi,T:,,

Nomor : Un.0l/F10iTL.00l ?olT 0, 12015

Lampiran : I (satu)Eksemplarl-lal : Permohonan Tarif Nol Rupiah

[Jntuk Penga mtrilan Data

Jakarta. l<.r September 20 1 5

Kepada Yth.Kepala Kantor Pusat Badan Meteorologi,Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)Jl. KP Bulak Raya Cempaka Putih - Ciputat

Assalamu' ula ik um lVr. Wb.

Dengarr hormat,

Dalam rangka pencarian data untuk mata kuliah skripsi maka karni nrohon bantuanpengadaan data-data bagi mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat FakultasKedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berikut ini:

Nama : Rizki AmaliaNIM : ll lll0l000030.lurusan/Fakultas : KeselratanMasyarakat/FakultasKedokterandanIlntuKcschatanPernbirnbing/Prornotor : Minsarnawati Tahangnacca. Sl"M. M. Kes.

Riastuti Kusuma Wardarri. MKM: Maret 2016

: Analisis Spatiultentp<tral Perryakit Demar.rr Berdaralr Dcnguc(DBD) di Kota Dcpok dan Kota Tangerang Selatan 'l'ahLrn 2010-2014

. l. Suhu udara2. Kelembaban3. Curah hujan4. Kecepatan angin

. Kota Depok dan Kota Tangerang Selatan

. Tahun 2010-2014

Sehubungan dengan hal tersebut, kami mohon Bapak/lbu dapat memberikan izinkepada mahasisu,a tersebut.

Dernikian. atas perhatian dan ker.iasama Bapak/lbu. kami ucapkan tcrima kasilr.

lVassa Ia mu' aI a i k u m ll1r. lVh.

'l-embusan:

Dekan FKIK UIN Sy,arif Hidayatullah

Perkiraan WaktuSelesainyaJudul

Data yang dicari

LokasiPeriode waktu

(<

idang Akadcrnik.

r. H. Sardjana. Sp. OG &

Jakarta

19610416 198709 I 00r

Page 205: RIZKI AMALIA-FKIK.pdf

KEMENTERIAN AGAMAUNTYERSITAS ISLAM NEGERI ( IIIN )SYARIF HIDAYATT]LLAH JAKARTA

FAKTJLTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

r. Kertamukti No 5 pisangan ciputat 1541e lijl;n" ',lffitl,l{i'f'rll Ifr;,fii3,l'd,1,ii,1T. .

--NomorLampiranHal

: Urr.0l/FI0/"tL.00t ?r18 AtZOtS: I (satu) Eksemplar: Permohonan Tarif Nol Rupiah

Untuk Pengambilan Data

Kepada Yth.Kepala Kantor Pusat Badan Meteorologi,Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).II. KP Bulak Raya Cempaka Putih - Ciputar

Assa Ia mu' a lo ik um Wn Wb.

Dengan hormat, yang bertanda tangan di bawah ini:

NamaNIMNama instansi.labatanAlamatIIP/E-Mail

KegiatanDeskripsi Kegiatan.lenis Informasi

PeriodeLokasi/wilayah

Jakafta.go September 201 5

Rizki Amaliaril1t01000030FKIK UIN Syarif Hidayarullah JakarraMahasiswiJl. Sankis No.23 RT004/010 Perum. Depok Jaya Agung, Depok I 6435082 I I 304 7 625 / eshimizudani40T @gmai l.com

Dengan ini mengajukan permohonan pengenaan tarif sebesar Rp.0,00 (nol rupiah) atasPNBP untuk:

I nformasi Meteorologi, K I i rratologi. dan Ceofi s i kaData r-rntuk skripsi dalam menyclcsaikarr pcnclidikarr S I

l. Suhu udara2. Kelelnbaban3. Cural.r hu.ian4. Kecepatan anginTahun 2010-2014Kota Depok dan Kota Tangerang Selatarr

Sehubungan dengan hal tersebut, kami mohon Bapak/lbu dapat rnemberikan izinkepada mahasiswa tersebut.

Demikian, atas perhatian dan kerjasama Bapak/lbu, kami ucapkan terima kasih.

ll/ass a la mu' alaik um Wr. Wb.

l-embusan:Dekan FKIK UIN

n Bidang Akadernik.

I'1. Sard-iana. Sp. OC &416 198709 I 00t

Syari f H idayatul lah Jakarta

silv